ANALISIS FAKTOR-FAKTOR YANG MEMENGARUHI PEMINDAHAN IBUKOTA NEGARA
ECKY AGASSI
DEPARTEMEN ILMU EKONOMI FAKULTAS EKONOMI DAN MANAJEMEN INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR
2013
iii
PERNYATAAN MENGENAI SKRIPSI DAN SUMBER INFORMASI SERTA PELIMPAHAN HAK CIPTA* Dengan ini saya menyatakan bahwa skripsi berjudul Analisis FaktorFaktor yang Memengaruhi Pemindahan Ibukota Negara adalah benar karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir skripsi ini. Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada Institut Pertanian Bogor. Bogor, November 2013 Ecky Agassi NIM H14080111
ABSTRAK ECKY AGASSI. Analisis Faktor-Faktor yang Memengaruhi Pemindahan Ibukota Negara. Dibimbing oleh MUHAMMAD FIRDAUS. Salah satu solusi yang bisa dilakukan sebuah negara dalam mengatasi permasalahan ibukota adalah dengan memindahkan ibukotanya. Pemindahan ibukota yang didesain dan dieksekusi dengan baik dapat menjadi solusi dalam mengatasi permasalahan ibukota negara. Terdapat tiga alasan umum pemindahan ibukota, yaitu pertimbangan sosial ekonomi, pertimbangan politik, dan pertimbangan geografis. Jakarta sebagai ibukota Indonesia memiliki banyak permasalahan sehingga pemerintah mewacanakan pemindahan ibukota. Wacana pemindahan ibukota memerlukan pembelajaran dari negara lain yang telah memindahkan ibukotanya. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui faktor-faktor yang yang memengaruhi pemindahan ibukota negara dengan cara menganalisis 26 negara yang dipilih pada periode 1990, 2000, dan 2010, menggunakan regresi logistik. Negara-negara yang memindahkan ibukotanya umumnya adalah negara berkembang dan memiliki tipe ibukota split capitals. Faktor-faktor yang berpengaruh nyata terhadap pemindahan ibukota adalah GDP per kapita, luas wilayah, jumlah penduduk, kepadatan penduduk, dan tipe ibukota. Dalam rencana pemindahan ibukota, pemerintah sebaiknya menggunakan tipe split capitals karena ibukota dengan tipe ini lebih memungkinkan untuk dilakukan. Kata kunci: Jakarta, pemindahan ibukota, regresi logistik, split capitals
ABSTRACT ECKY AGASSI. Analysis of Affecting Factors of Moving Capital City. Supervised by MUHAMMAD FIRDAUS One of the possible solutions to overcome the problems of a country’s capital is to move its capital city. The moving of the capital which was well designed and well executed can be a solution to overcome the problems of the nation's capital. There are three common reasons for moving the capital, namely socio-economic considerations, political considerations, and geographical considerations. Jakarta as the capital of Indonesia has a lot of problems so that the government has discourses about moving its capital. Discourses of moving the capital require further investigation and learning from other countries who had moved its capital. This study aims to determine the factors that affect the transfer of the nation’s capital by analyzing 26 selected countries in the period of 1990, 2000, and 2010, by using logistic regression. Nations that moved its capital in general is developing countries, and has split-type capital cities. The factors that significantly affect the relocation of the capital is the GDP per capita, land area, population, population density, and type of the capital. In the plan of moving its capital, the government should use the split-type capital since this type of capital is more likely to be done. Keywords : Jakarta, moving capital cities, logistic regression, split capitals
ANALISIS FAKTOR-FAKTOR YANG MEMENGARUHI PEMINDAHAN IBUKOTA NEGARA
ECKY AGASSI
Skripsi Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Ekonomi Pada Departemen Ilmu Ekonomi
DEPARTEMEN ILMU EKONOMI FAKULTAS EKONOMI DAN MANAJEMEN INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR
2013
Judul Skripsi Nama NIM
: Analisis Faktor-Faktor yang Memengaruhi Pemindahan Ibukota Negara : Ecky Agassi : H14080111
Disetujui oleh
Prof. Muhammad Firdaus, Ph.D Pembimbing
Diketahui oleh
Dr. Ir. Dedi Budiman Hakim, M.Ec Ketua Departemen
Tanggal Lulus:
.i udul Skripsi Nama NIM
: Analisis Faktor-Faktor yang Memengaruhi Pemindahan Ibukota N egara : Ecky Agassi : H14080111
Disetujui oleh
Prof. Muham ad Firdaus Ph.D Pem imbing
Diketahui oleh
M.Ec
Tanggal Lulus:
2 4 DEC 013
PRAKATA Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Allah Subhanahu Wa Ta’ala atas segala karunia-Nya sehingga karya ilmiah ini berhasil diselesaikan. Tema yang dipilih dalam penelitian ini ialah bidang ekonomi regional dengan judul Analisis Faktor-Faktor yang Memengaruhi Pemindahan Ibukota Negara. Terima kasih penulis ucapkan kepada Profesor Muhammad Firdaus, Ph.D selaku pembimbing yang telah memberi arahan, dukungan, serta bantuan dalam menyelesaikan penelitian ini. Terima kasih penulis ucapkan pula kepada Dr. Ir. Wiwiek Rindayati, M.Si selaku dosen penguji utama dan Salahuddin El Ayyubi, Lc, MA selaku dosen penguji komisi pendidikan atas bimbingan, saran, dan kritikan dalam penyempurnaan skripsi ini. Ucapan terima kasih penulis sampaikan kepada ayah Supangat, Ibu Sundari, adik Muhammad Jaesy Aniko dan Siti Nabila Azzahra, atas dukungan, doa, semangat, kasih sayang, pengertian, dan bimbingan yang telah diberikan selama ini. Terimakasih penulis pula ucapkan kepada seluruh keluarga besar, saudara, dan sahabat yang telah mendukung, membantu, dan mendoakan penulis. Bentuk penghormatan saya sampaikan kepada segenap dosen dan staf Departemen Ilmu Ekonomi dan Fakultas Ekonomi dan Manajemen atas bantuannya selama ini, dan juga kepada keluarga Ilmu Ekonomi khususnya Ilmu Ekonomi angkatan 45 yang telah bersama-sama menimba ilmu di Institut Pertanian Bogor. Ungkapan terimakasih penulis ucapkan pula kepada seluruh pihak-pihak lainnya yang telah membantu, mendoakan, dan berkontribusi, yang tidak dapat disebutkan satu persatu. Semoga karya ilmiah ini bermanfaat baik bagi penulis maupun pihak-pihak lain.
Bogor, November 2013 Ecky Agassi
DAFTAR ISI DAFTAR TABEL
vi
DAFTAR GAMBAR
vi
DAFTAR LAMPIRAN
vi
PENDAHULUAN
1
Latar Belakang
1
Perumusan Masalah
6
Tujuan Penelitian
8
Manfaat Penelitian
8
Ruang Lingkup Penelitian
8
TINJAUAN PUSTAKA
9
METODE
20
HASIL DAN PEMBAHASAN
23
Gambaran Umum Negara yang Memindahkan Ibukotanya
23
Analisis Faktor-Faktor yang Memengaruhi Pemindahan Ibukota dengan Menggunakan Model Logistik
34
Hubungan antara Hasil Analisis dengan Kondisi di Indonesia
38
SIMPULAN DAN SARAN
40
Simpulan
40
Saran
40
DAFTAR PUSTAKA
41
LAMPIRAN
44
RIWAYAT HIDUP
55
DAFTAR TABEL 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13
Tipe ibukota dan contohnya Jumlah penduduk DKI Jakarta tahun 2008 – 2012 (jiwa) Negara yang memindahkan ibukotanya sejak Perang Dunia ke-2 Negara yang memindahkan ibukotanya sejak Perang Dunia ke-2 Hubungan GDP per kapita dengan pemindahan ibukota Hubungan antara pertumbuhan ekonomi dengan pemindahan ibukota Hubungan luas wilayah dengan pemindahan ibukota Hubungan jumlah penduduk dengan pemindahan ibukota Hubungan kepadatan penduduk dengan pemindahan ibukota Hubungan bentuk pemerintahan dengan pemindahan ibukota Hubungan bentuk wilayah dengan pemindahan ibukota Hasil Hosmer and Lemeshow Test dan Overall Percentage Analisis faktor-faktor yang memengaruhi pemindahan ibukota negara
2 3 7 26 27 28 29 30 31 32 34 34 35
DAFTAR GAMBAR 1 2 3 4 5 6 7 8
Jumlah kepadatan penduduk Jakarta, Jawa Barat, dan Jawa Timur tahun 2007-2011 (jiwa/ km2) Kerangka pemikiran Unifikasi ibukota Jerman dan Vietnam Contoh negara yang memindahkan ibukotanya Negara yang menjadi sampel dalam penelitian Distribusi negara berdasarkan luas wilayah Distribusi negara berdasarkan bentuk pemerintahan Distribusi negara berdasarkan bentuk wilayah
4 18 24 25 26 29 32 33
DAFTAR LAMPIRAN 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10
Daftar negara yang diteliti Data GDP per kapita (dolar AS) Data pertumbuhan ekonomi (persen) Data luas wilayah (km2) Data jumlah penduduk (jiwa) Data kepadatan penduduk (jiwa/ km2) Data bentuk pemerintahan Data bentuk wilayah Data tipe ibukota Output Logistic Regression
44 45 46 47 48 49 50 51 52 53
1
PENDAHULUAN Latar Belakang Ibukota adalah pusat negara yang memiliki status utama dalam pemerintahan negara yang diatur oleh Undang-Undang negara masing-masing. Dalam perannya sebagai pusat pemerintahan, ibukota umumnya berfungsi sebagai pusat kekuasaan politik dan ekonomi sehingga ibukota memainkan peran penting dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Di banyak negara, ibukota merupakan kota terbesar yang ada dalam sebuah negara dimana kota tersebut mencerminkan corak yang unik dari sisi ekonomi dan budaya masyarakatnya sehingga ibukota memiliki peran penting dalam menunjukkan karakter sebuah negara. Ibukota dikarakteristikan sebagai kota multifungsi yang memiliki misi diplomatik, institusi pemerintahan, dan pusat ekonomi yang begitu berkembang sehingga seringkali ibukota dipilih menjadi kota tujuan urbanisasi. Sebagai bagian dari identitas sebuah negara, ibukota dibangun untuk menjadikannya kota yang memiliki fungsi utama dalam pemerintahan. Berbagai negara membangun ibukotanya dengan cara yang berbeda-beda, dengan melanjutkan membangun kota yang menjadi ibukota di masa lalu, atau memilih dan membangun ibukota baru di kota yang berbeda. Sebagian besar negara di dunia termasuk Indonesia memiliki ibukota yang menjadi pusat dari fungsi eksekutif, legislatif, dan yudikatif (classic capital). Sebagian kecil negara lain memisahkan pusat eksekutif, legislatif, dan yudikatifnya ke kota yang berbeda (split capital) seperti Belanda (Amsterdam dan The Hague), Afrika Selatan (Pretoria, Bloemfontein, dan Cape Town), Bolivia (La Paz dan Sucre), Swaziland (Lobamba dan Mbabane), Malaysia (Kuala Lumpur dan Putrajaya), dan Sri Lanka (Colombo dan Sri Jayawardenapura Kotte). Campbell (2004) merangkum berbagai macam tipe ibukota dan membaginya kedalam enam kategori utama yaitu classic capitals, relocated capitals, constructed capitals, federal capitals, split capitals, archipelago capitals, dan capitals with unique jurisdictions. Menurut kategori Campbell, sebuah kota bisa termasuk lebih dari satu kategori, contohnya adalah Jakarta (classic capital dan archipelago capital), Mexico City (classic capital dan capitals with unique jurisdictions), dan Ottawa (constructed capitals dan capitals with unique jurisdictions). Dengan banyaknya kategori dalam mengelompokkan tipe ibukota, Campbell (2004) menentukan tiga faktor krusial yang dapat membedakan perkembangan ibukota, yaitu ukuran dan struktur pemerintahan, kondisi ekonomi sebuah negara, dan waktu dimana ibukota sudah bisa berdiri stabil relatif terhadap kondisi politik dan perkembangan ekonomi negara yang bersangkutan.
2
Tabel 1 Tipe ibukota dan contohnya Tipe Kota Classic Capitals
Relocated capitals
Constructed capitals
Federal capitals Split capitals Archipelago capitals
Capitals with unique jurisdictions
Contoh Jakarta (Indonesia), Bogota (Kolombia), Caracas (Venezuela), London (Inggris), Madrid (Spanyol), Mexico City (Meksiko) Ankara (dari Istanbul 1923, Turki), Astana (dari Almaty 1998, Kazakhstan), Lilongwe (dari Blantyre 1976, Malawi) Abuja (dari Lagos 1991, Nigeria), Brasilia (dari Rio de Janeiro 1960, Brasil), Canberra (dari Melbourne 1927, Australia), Islamabad (dari Karachi 1960, Pakistan) Canberra (Australia), Kinshasa (Kongo), Moscow (Rusia), Ottawa (Kanada) Amsterdam/ The Hague (Belanda), Kuala Lumpur/ Putrajaya (Malaysia) Jakarta (di pulau Jawa, Indonesia), Tokyo (di pulau Honshu, Jepang) Abuja (Federal Capital Territory, Nigeria), Brasilia (Federal District, Brasil), Mexico City (Federal District, Meksiko)
Sumber: Rawat (2005)
Dimasa lalu, perkembangan penelitian ibukota dalam ekonomi regional lebih menitikberatkan pada lokasi geografis yang berada di tengah (sentral) untuk menentukan lokasi terbaik dari ibukota terhadap perkembangan ekonomi wilayah. Hal ini telah banyak ditinggalkan karena memiliki banyak kekurangan teoritis dan terlalu menekankan pada faktor geografi yang gagal dalam mempertimbangkan faktor sosial, politik, ekonomi, budaya, dan sejarah (Wolfel 2002). Walaupun begitu beberapa negara masih menggunakan pertimbangan lokasi sentral sebagai variabel untuk menentukan lokasi sebuah kota. Mengelola ibukota bukanlah hal yang mudah karena ibukota adalah kota utama dalam kegiatan sosial, ekonomi, dan politik sehingga kesalahan pengelolaan berpotensi menimbulkan berbagai permasalahan. Ketika sebuah kota menjadi ibukota, kota tersebut biasanya akan mengalami pertumbuhan yang signifikan dan akibatnya menghasilkan dampak demografi dan ekonomi dari kekuatan yang terakumulasi (Dascher 2000). Dampak demografi dan ekonomi yang tidak diimbangi dengan pengelolaan yang baik akan menimbulkan berbagai masalah perkotaan. Masalah yang timbul akibat kesalahan pengelolaan ibukota antara lain terjadinya sentralisasi ekonomi dan politik, ketimpangan ekonomi, buruknya sistem transportasi, tingginya angka kemiskinan, pengangguran, serta timbulnya konflik horizontal. Selain itu, sebuah negara seringkali mengalami
3
masalah yang berkaitan dengan keadaan alam seperti banjir dan gempa bumi. Sebagai contoh, bencana angin topan yang menimpa Belize City di negara Belize telah menyebabkan negara tersebut memindahkan ibukotanya dari Belize City ke Belmopan. Angin topan tersebut melumpuhkan kegiatan pemerintahan Belize dan bahkan menyebabkan kerusakan dan kehilangan dokumen-dokumen penting pemerintahan. Di Indonesia sendiri bencana banjir seringkali menimpa Jakarta dan melumpuhkan kegiatan ekonomi dan pemerintahan. Untuk mengatasi berbagai permasalahan ibukota, salah satu solusi yang bisa dilakukan sebuah negara adalah dengan memindahkan ibukotanya. Schatz (2003) berpendapat bahwa secara teori pemindahan ibukota yang didesain dan dieksekusi dengan baik (well-designed and well-executed) dapat memberikan peluang ekonomi dan pelayanan pemerintahan sebagai solusi masalah ketimpangan pada daerah lain. Pasca Perang Dunia ke-2, beberapa negara telah memindahkan ibukotanya dengan berbagai alasan. Terdapat tiga alasan umum pemindahan ibukota yaitu pertimbangan sosial ekonomi, pertimbangan politik, dan pertimbangan geografis (Rukmana 2010). Di Indonesia, wacana untuk memindahkan ibukota telah lama muncul. Wacana ini timbul dilatarbelakangi oleh berbagai permasalahan Jakarta yang sangat kompleks. Masalah yang ada dikarenakan perkembangan Jakarta yang kompleks tidak diimbangi oleh manajemen kota yang baik sehingga pemerintah Jakarta terus kewalahan menghadapi berbagai masalah tersebut. Pembangunan Jakarta sebagai ibukota berdampak pada pembangunan ekonomi yang terlalu memusat sehingga menimbulkan adanya sentralisasi ekonomi nasional. Hal ini menyebabkan Jakarta semakin dipadati oleh para pendatang dari berbagai daerah yang berharap dapat memperbaiki kehidupan ekonominya sehingga menyebabkan tingginya arus urbanisasi. Besarnya jumlah penduduk yang ditambah dengan tingginya arus urbanisasi menyebabkan timbulnya berbagai masalah demografi di Jakarta. Tabel 2 Jumlah penduduk DKI Jakarta tahun 2008 – 2012 (jiwa) Wilayah
2008 Kepulauan Seribu 19333 Jakarta Selatan 1748251 Jakarta Timur 2195300 Jakarta Pusat 813905 Jakarta Barat 1635246 Jakarta Utara 1201431 DKI Jakarta 7616838
Tahun 2009 19587 1894889 2623288 924679 1635645 1422838 8523157
2010 21082 2062232 2693896 899515 2281945 1645659 9604329
2011 24928 2134830 2925622 1122974 2259606 1715538 10183498
2012 22220 2148261 2801784 908829 2395130 1715564 9991788
Sumber: Badan Pusat Statistik Provinsi DKI Jakarta (2013)
Jika hal ini terus dibiarkan, maka jumlah penduduk Jakarta akan kian membengkak dan semakin memperparah masalah demografi seperti kemacetan yang semakin merajalela karena jumlah kendaraan yang semakin banyak, buruknya ekologi, serta ancaman penurunan tingkat kesehatan. Lahan-lahan hijau
4
dan pohon-pohon yang semakin berkurang karena telah berubah menjadi lapisan beton untuk dibangun perumahan-perumahan baru, semakin membuat Jakarta gersang dan udara pun tidak sehat. Daerah penyerapan yang berkurang dan posisi Jakarta yang berada dibawah permukaan laut menyebabkan bencana banjir sulit untuk dihindari. 16000 14000 12000 10000 Jakarta 8000
Jawa Barat
6000
Jawa Timur
4000 2000 0 2007
2008
2009
2010
2011
Sumber: Badan Pusat Statistik, 2013 (diolah)
Gambar 1 Jumlah kepadatan penduduk Jakarta, Jawa Barat, dan Jawa Timur tahun 2007-2011 (jiwa/ km2) Besarnya jumlah penduduk dan tingginya kepadatan diprediksi akan terus bertambah. Hal ini dapat dilihat dari Gambar 1 yang menunjukkan tren kepadatan penduduk Jakarta yang semakin meningkat dari tahun ke tahun dibandingkan dengan kepadatan penduduk dua provinsi dengan jumlah penduduk terbesar di Indonesia yaitu Jawa Barat dan Jawa Timur. Selain masalah kependudukan, salah satu masalah besar yang menimpa Jakarta adalah kemacetan. Hasil kajian Dinas Pekerjaan Umum provinsi DKI Jakarta menyatakan bahwa secara ekonomi, kemacetan menyebabkan peningkatan waktu tempuh (inefisiensi waktu), biaya transportasi, gangguan serius pengangkutan produk ekspor-impor (logistik secara umum), penurunan tingkat produktivitas kerja, dan terbuangnya energi secara sia-sia.1 Penelitian Japan International Corporation Agency pada tahun 2004 dalam Mirlanda (2011) menyatakan bahwa bila tidak dilakukan perbaikan pada sistem transportasi di Jakarta, diperkirakan lalu lintas Jakarta akan macet total pada 2020 dengan estimasi kerugian ekonomi yang terjadi sebesar Rp 28,1 triliun dan kerugian nilai waktu perjalanan yang mencapai Rp 36,9 triliun. Komponen biaya kerugian sebesar di atas antara lain berupa biaya bahan bakar kendaraan, biaya 1
Kebijakan Mengatasi Kemacetan di Jakarta: Menuju Penguatan Peran Departemen PU. http://www.pu.go.id [Maret 2013]
5
operasi kendaraan, biaya kehilangan nilai waktu, biaya kehilangan potensi ekonomi, transaksi tertunda, biaya pencemaran udara/ polusi yang menyebabkan berbagai penyakit pernapasan, tekanan psikologis/ stress berat dan lainnya. Kementerian Pekerjaan Umum di tahun 2010 juga telah mengkaji wacana pemidahan ibukota dan merangkum berbagai masalah yang dihadapi Jakarta. Waduk dan situ mulai tercemar berat sebesar 83%, sedangkan 17% lainnya tercemar sedang. Kualitas air sungai kini tidak memenuhi baku mutu fisik, kimia, dan biologi (94% telah tercemar berat dan 6% tercemar sedang). Hal yang sama juga terjadi pada mutu air tanah, yaitu 12% tercemar berat, 20% tercemar sedang, 45% tercemar ringan, dan hanya 25% berada dalam kategori baik. Sementara itu, daya dukung lingkungan di Jakarta sudah berada pada taraf defisit. Telapak ekologis DKI Jakarta sudah mencapai sebesar 13,5 juta global hektar (gha), nilainya jauh lebih tinggi dari biokapasitasnya yang sebesar 142 ribu gha. Selanjutnya dari aspek infrastruktur perairan Jakarta dan sekitarnya telah mengalami krisis yang cukup serius. Kapasitas pengolahan dan distribusi air bersih masih tidak memadai, yaitu hanya 50% masyarakat terlayani, terlebih dengan adanya tingkat kebocoran yang relatif tinggi (sebesar 47%). Dari aspek tata kelola, kerjasama antar daerah dalam kerangka kawasan metropolitan hingga kini juga masih belum efektif. Masing-masing daerah masih belum mampu bersinergi sehingga masih memerlukan koordinasi yang efektif dalam perencanaan, pemrograman hingga implementasi program pembangunan. Kepemimpinan kolektif pada tingkat metropolitan kurang berjalan sebagaimana yang diharapkan, sehingga Jakarta dan sekitarnya belum mampu berkembang secara matang berdasarkan satu visi jangka panjang.2 Berbagai masalah yang menimpa Jakarta menyebabkan Jakarta dianggap tidak lagi tepat untuk menjadi Ibukota. Jakarta dianggap sudah tidak lagi mampu memikul tugas sebagai ibukota sebagaimana yang diamanatkan oleh UndangUndang Nomor 29 Tahun 2007 tentang ibukota. Jakarta dianggap gagal dalam tanggung jawabnya dibidang pengelolaan tata ruang, sumber daya alam dan lingkungan hidup, pengendalian penduduk dan permukiman, serta transportasi.3 Multifungsi kota Jakarta (pusat ekonomi, keuangan, bisnis, politik, pendidikan) merupakan dampak dari sistem pemerintahan sentralistis dan sistem multifungsi yang terpusat secara terus-menerus di Jakarta. Akibatnya sejumlah efek bernuansa sosial (kepadatan memicu konflik lokal, kejahatan jalanan), politik (monopoli pengelolaan keuangan pusat yang terus menerus), ekonomi (disparitas pemerataan ekonomi antar daerah dan intra daerah) dan ekologi (rusaknya tata ruang dan lingkungan karena kekuatan "tata uang" para pemodal kuat), menjadi persoalan dan beban Jakarta yang tak mudah diselesaikan tanpa jalan keluar yang inovatif yaitu pemindahan ibukota (Yunia dan Rozi 2007). Dengan berbagai fakta yang ada, didapat kecenderungan bahwa dalam analisis garis besar aspek keruangan, ekologis, serta dampak sosial, ekonomi, dan politik, menunjukkan bahwa penelitian tentang pemindahan ibu kota merupakan suatu keharusan yang harus dilakukan demi menciptakan ibukota yang baik bagi kelangsungan pemerintahan Indonesia.
2 3
Keynote Speech Menteri Pekerjaan Umum, 2010 Lorong Keluar dari Berbagai Paradoks Pembangunan, Menuju Indonesia yang Tertata. Visi Indonesia 2033. http://www.visi2033.or.id [Maret 2013]
6
Perumusan Masalah Salah satu solusi untuk mengatasi masalah Jakarta adalah dengan memindahkan ibukota. Ide untuk memindahkan ibukota negara dari Jakarta ke kota lain telah banyak diwacanakan baik dari kalangan pemerintahan maupun akademisi. Presiden Susilo Bambang Yudhoyono telah membicarakan wacana pemindahan ibukota negara dari Jakarta ketika menghadiri rapat kerja nasional Asosiasi Pemerintah Provinsi Seluruh Indonesia (APPSI) di Palangkaraya pada awal Desember 2009. Selain itu Presiden juga telah membentuk tim kecil yang bertugas untuk mengkaji kemungkinan pemindahan ibukota dari Jakarta ke kota lain.4 Melalui rilis Sekretariat Kabinet RI, pada 2013 Presiden telah membuat tim informal yang bertugas untuk meriset dan mempertimbangkan rencana pemindahan ibukota ke kota lain. Selanjutnya Presiden melalui siaran pers di Hotel Grand Emerald, St. Petersburg, Rusia, menyatakan bahwa jika secara ekonomi Indonesia sudah kuat melalui pertumbuhan ekonomi, GDP, dan income per kapita, dan di sisi lain memang tidak ada solusi yang lebih baik untuk mengatasi permasalahan Jakarta, ditambah jika ada urgensi yang tidak bisa ditunda-tunda lagi, adalah suatu hal yang tepat jika Indonesia memikirkan suatu tempat yang bisa dibangun untuk menjadi pusat pemerintahan yang baru. Jika tidak ada solusi tepat untuk mengatasi permasalahan Jakarta dan ada kepentingan mendesak, tidak keliru jika pemerintah mempertimbangkan membangun pusat pemerintahan baru.5 Dalam sejarah Indonesia, wacana pemindahan ibukota bukanlah hal yang baru. Di masa kolonialisme, pemerintah Hindia Belanda pernah merencanakan pemindahan ibukota dari Jakarta ke Bandung pada tahun 1906. Kemudian pada masa kemerdekaan, Presiden Sukarno sempat menggagas pemindahan ibukota negara ke Palangkaraya pada saat peresmian Palangkaraya sebagai Ibukota Provinsi Kalimantan Tengah pada tahun 1957. Bahkan Presiden Sukarno sempat dua kali mengunjungi langsung potensi kota Palangkaraya untuk menjadi ibukota negara. Pada periode pemerintahan Orde Baru, Presiden Suharto sempat juga menggagas pemindahan ibukota negara ke Jonggol, Jawa Barat melalui Keppres 1 tahun 1997 tentang Koordinasi Pengembangan Kawasan Jonggol sebagai Kota Mandiri. Rencana pemindahan ibukota ke Jonggol tidak berlanjut seiring dengan jatuhnya pemerintahan Orde Baru pada bulan Mei 1998 (Rukmana 2010). Kebutuhan analisis untuk mengatasi masalah Jakarta bukan lagi sebuah pilihan, tetapi sudah menjadi hal yang mendesak. Dalam pertimbangan untuk memindahkan ibukota, Indonesia tidak bisa hanya melihat pada masalah dalam negeri tanpa berkaca pada pengalaman dan faktor yang memengaruhi dari negara yang telah memindahkan ibukotanya. Pasca Perang Dunia ke-2, belasan negara sudah memindahkan ibukotanya dengan berbagai dorongan. Indonesia sebagai negara yang sedang berkembang sangat perlu untuk belajar dari negara lain tentang apa dan bagaimana negara memindahkan ibukotanya. 4 5
Kemana Istana Negara Akan Diboyong? http://www.analisadaily.com [Maret 2013] Soal Pemindahan Ibukota, Julian: Belum Ada Opsi Kota Yang Dianggap Layak http://setkab.go.id [Oktober 2013]
7
Tabel 3 Negara yang memindahkan ibukotanya sejak Perang Dunia ke-2 No.
Negara
Ibukota Lama
Ibukota Baru
Tahun Relokasi
1
Montenegro
Cetinje
Podgorica
1946
2
Brasil
Rio de Janeiro
Brasilia
1960
3
Pakistan
Rawalpindi
Islamabad
1967
4
Belize
Belize City
Belmopan
1970
5
Guinea Bissau
Boe
Bissau
1974
6
Malawi
Zomba
Lilongwe
1974
7
Filipina
Quezon City
Manila
1976
8
Sri Lanka
Colombo
Sri Jayawardenapura Kotte
1982
9
Pantai Gading
Abidjan
Yamoussoukro
1983
10
Nigeria
Lagos
Abuja
1991
11
Tanzania
Dodoma
Dar Es Salaam
1996
12
Kazakhstan
Almaty
Astana
1997
13
Myanmar
Rangoon
Naypyidaw
2005
Alasan umum pemindahan ibukota adalah pertimbangan sosial ekonomi, pertimbangan politik, dan pertimbangan geografis (Rukmana 2010). Indonesia perlu mempertimbangkan ketiga faktor tersebut dalam analisis untuk memindahkan ibukotanya, tidak hanya analisis di dalam negeri, namun juga analisis dari pengalaman negara lain di dunia yang sudah memindahkan ibukotanya. Pengalaman dari berbagai negara yang telah memindahkan ibukotanya akan memberikan masukan dan pertimbangan yang sekiranya dapat digunakan sebagai bahan analisis yang lebih tepat untuk mengkaji masalah di Indonesia. Hasil analisis dari negara-negara yang telah memindahkan ibukotanya akan menjadi penting karena akan menunjukkan seberapa besar faktor-faktor tertentu yang memengaruhi sebuah negara dalam memindahkan ibukotanya. Hal ini diperlukan agar keputusan yang nanti diambil dapat mempertimbangkan faktorfaktor yang signifikan dengan lebih baik dan mendalam dalam kaitannya dengan pemindahan ibukota negara. Berdasarkan beberapa penjelasan yang diuraikan di atas, perumusan masalah yang diangkat dalam penelitian ini adalah untuk mengetahui apa saja karakteristik dari negara-negara yang telah memindahkan ibukotanya? Apa saja faktor-faktor yang memengaruhi negara untuk memindahkan ibukotanya?
8
Tujuan Penelitian Berdasarkan latar belakang dan perumusan masalah yang telah dibahas, tujuan yang ingin dicapai dalam penelitian ini yaitu: 1. Mendeskripsikan karakteristik negara yang memindahkan ibukotanya 2. Menganalisis faktor-faktor yang memengaruhi pemindahan ibukota negara
Manfaat Penelitian Hasil penelitian ini diharapkan dapat berguna baik bagi penulis maupun pihak-pihak lain yang berkepentingan. Manfaat yang diharapkan tersebut antara lain adalah: 1. Memberikan gambaran mengenai karakteristik dan faktor yang memengaruhi negara untuk memindahkan ibukotanya. 2. Penelitian ini diharapkan dapat memberikan masukan dan menjadi landasan berpikir bagi pemerintah untuk merumuskan kebijakan pembangunan kota dan lebih lanjut dalam perumusan mengenai rencana pemindahan ibukota negara. 3. Diharapkan agar penelitian ini dapat menjadi sumber informasi dan masukan dalam penelitian-penelitian selanjutnya.
Ruang Lingkup Penelitian Penelitian ini akan mengalisis faktor-faktor dan karakteristik yang memengaruhi negara terhadap pemindahan ibukota. Data yang diambil merupakan data sekunder yang dikumpulkan dari berbagai sumber resmi seperti The World Bank, Global Finance Data (GFD), United Nation Data (UNdata) dan laporan statistik ekonomi negara tersebut. Data yang diambil adalah data-data yang diduga berhubungan dengan faktor yang menunjukkan karakteristik negara untuk memindahkan ibukotanya. Negara yang diteliti adalah negara-negara di dunia yang telah memindahkan ibukotanya dan negara yang belum memindahkan ibukotanya. Negara dikelompokkan menjadi dua, yaitu negara yang sudah memindahkan ibukotanya (relocated capitals atau constructed capitals) dan negara yang tidak memindahkan ibukotanya. Jumlah negara disesuaikan agar negara yang memindahkan ibukotanya dan negara yang tidak memindahkan ibukotanya perbandingannya sama. Pemilihan negara yang tidak memindahkan ibukotanya dilakukan melalui purposive sampling yang dianggap dapat merepresentasikan contoh.
9
TINJAUAN PUSTAKA Tinjauan Pustaka Pengertian Kota Dalam pengertian geografis, kota adalah suatu tempat yang penduduknya rapat, rumah berkelompok, dan mata pencaharian penduduknya bukan pertanian. Sementara menurut Bintarto dalam Marangkup dan Eka (2006), kota dalam tinjauan geografi adalah suatu bentang budaya yang ditimbulkan oleh unsur-unsur alami dan non alami dengan gejala-gejala pemusatan penduduk yang cukup besar, dengan corak kehidupan yang bersifat heterogen dan materialistis dibandingkan dengan daerah di belakangnya. Tinjauan di atas merupakan batasan kota dari segi sosial. Dalam perkembangannya, konsep-konsep kota paling tidak dapat dilihat dari empat sudut pandang, yaitu segi fisik, administratif, sosial, dan fungsional. Dengan banyaknya sudut pandang dalam membatasi kota, mengakibatkan pemahaman kota dapat berdimensi jamak dan selama ini tidak satupun batasan tolak ukur kota yang dapat berlaku secara umum. Kota dalam tinjauan fisik atau morfologi menekankan pada bentuk-bentuk kenampakan fisikal dari lingkungan kota. Smailes dalam Marangkup dan Eka (2006) memperkenalkan 3 unsur morfologi kota yaitu penggunaan lahan, polapola jalan dan tipe atau karakteristik bangunan. Sementara itu Conzen dalam Marangkup dan Eka (2006) juga mengemukakan unsur -unsur yang serupa dengan yang dikemukakan Smailes, yaitu plan, architectural style, dan land use. Berdasarkan pada berbagai macam unsur morfologi kota yang dikemukakan di atas, terlihat bahwa secara umum unsur-unsur morfologi kota berkisar antara karakteristik bangunan, pola jalan dan penggunaan lahan. Unsur-unsur ini yang paling sering digunakan untuk mengenali suatu daerah secara morfologis. Menurut Kostof dalam Ardian (2007), kota adalah leburan dari bangunan dan penduduk, sedangkan bentuk kota pada awalnya adalah netral tetapi kemudian berubah sampai hal ini dipengaruhi dengan budaya yang tertentu. Bentuk kota ada dua macam, yaitu geometri dan organik. Terdapat dikotomi bentuk perkotaan yang didasarkan pada bentuk geometri kota yaitu planned dan unplanned. Bentuk Planned (terencana) dapat dijumpai pada kota-kota Eropa abad pertengahan dengan pengaturan kota yang selalu regular dan rancangan bentuk geometrik. Bentuk Unplanned (tidak terencana) banyak terjadi pada kota-kota metropolitan, dimana satu segmen kota berkembang secara spontan dengan bermacam-macam kepentingan yang saling mengisi, sehingga akhirnya kota akan memiliki bentuk semaunya yang kemudian disebut dengan organic pattern, bentuk kota organik tersebut secara spontan, tidak terencana dan memiliki pola yang tidak teratur dan non-geometrik.
10
Tipe Ibukota Dalam menjalankan perannya, ibukota memiliki beberapa tipe yang berbeda. Sebuah kota ada yang menjadi pusat eksekutif, legislatif, dan yudikatif sekaligus, dan ada kota yang menjadi pusat salah satu dari fungsi tersebut saja. Meskipun sebagian besar ibukota memiliki fungsi yang paling dominan dalam pemerintahan, namun tidak semua kota sama. Hall (2006) membagi kota dalam tujuh tipe, yaitu: 1. Multi-Function Capitals: mengkombinasikan semua atau sebagian besar fungsi tertinggi dari fungsi pemerintahan di level nasional (London, Paris, Madrid, Stockholm, Moscow, Tokyo). 2. Global Capitals: kondisi spesial dari tipe pertama dimana ibukota juga memiliki peran di tingkat super-nasional dalam politik, komersial (ekonomi), atau keduanya (London, Tokyo). 3. Political Capitals: memiliki fungsi sebagai kota pusat pemerintahan, tetapi tidak memiliki peran sebagai kota pusat ekonomi (The Hague, Bonn, Washington, Ottawa, Canberra, Brasília). 4. Former Capitals: kota yang pernah menjadi ibukota (tidak lagi memiliki status sebagai ibukota) tetapi tetap memertahankan fungsi historisnya (St. Petersburg, Philadelphia, Rio de Janeiro). 5. Ex-Imperial Capitals: kondisi spesial dari tipe ketiga, dimana kota merupakan mantan ibukota dimasa kerajaan yang kembali menjadi ibukota dimasa modern. Kota tersebut juga memiliki fungsi penting dalam kegiatan ekonomi dan budaya untuk wilayah mantan kerajaannya (London, Madrid, Lisbon, Vienna). 6. Provincial Capitals: kondisi spesial dalam negara federal. Mirip seperti tipe ketiga, sebuah kota pernah memiliki status sebagai ibukota secara de facto, namun di era modern telah kehilangan statusnya. Perubahan status tersebut tidak memengaruhi fungsi mereka terhadap daerah di sekelilingnya (Milan, Turin, Stuttgart, Munich, Montréal, Toronto, Sydney, Melbourne). 7. Super Capitals: kota yang memiliki peran dan fungsi sebagai pusat dari organisasi internasional. Kota ini hanyalah kota biasa ataupun kota yang memiliki status sebagai sebuah ibukota (Brussels, Strasbourg, Geneva, Rome, New York). Selain tujuh tipe diatas, Campbell (2004) merangkum berbagai macam tipe ibukota dan membaginya kedalam enam kategori utama. Campbell merangkum dengan mempertimbangkan aspek historis yang ada dalam kota tersebut. Kategorinya adalah: 1. Classic Capitals: Jakarta, Bogota, Caracas, London, Madrid, Mexico City). 2. Relocated Capitals: Ankara (dari Istanbul 1923, Turki), Astana (dari Almaty 1998, Kazakhstan), Lilongwe (dari Blantyre 1976, Malawi). 3. Constructed Capitals: Abuja (dari Lagos 1991, Nigeria), Brasilia (dari Rio de Janeiro 1960, Brasil), Canberra (dari Melbourne 1927, Australia), Islamabad (dari Karachi 1960, Pakistan). 4. Federal Capitals: Canberra (Australia), Kinshasa (Kongo), Moscow (Rusia), Ottawa (Kanada). 5. Split Capitals: Amsterdam/ The Hague (Belanda), Bloemfontein/ Cape Town (Afrika Selatan).
11
6. Archipelago Capitals: Jakarta (di pulau Jawa, Indonesia), Tokyo (di pulau Honshu, Jepang). 7. Capitals with Unique Jurisdictions: Abuja (Federal Capital Territory, Nigeria), Brasilia (Federal District, Brasil), Mexico City (Federal District, Meksiko). Berdasarkan pengkategorian dari Hall dan Campbell, sebuah ibukota yang memindahkan ibukotanya dapat dikategorikan dalam tipe former capitals, relocated capitals, dan constructed capitals. Faktor yang Berpengaruh Dalam Perkembangan Kota Dalam perkembangan kota terdapat banyak faktor yang memengaruhinya, baik sosial, ekonomi, maupun geografi, yang seringkali sangat signifikan. Perkembangan kota dipengaruhi berbagai aspek yang sangat signifikan ini membuat pengembangan wilayah tidak dapat lepas dari adanya ikatan-ikatan ruang perkembangan wilayah baik secara geografis maupun sosial-ekonomi. Raharjo dalam Marangkup dan Eka (2006) mengungkapkan variabel-variabel yang memengaruhi perkembangan kota, yaitu: 1. Penduduk, keadaan penduduk, proses penduduk, lingkungan sosial penduduk. 2. Lokasi yang strategis, sehingga aksesibilitasnya tinggi. 3. Fungsi kawasan perkotaan. 4. Kelengkapan fasilitas sosial ekonomi yang merupakan faktor utama timbulnya perkembangan dan pertumbuhan pusat kota. 5. Kelengkapan sarana dan prasarana transportasi untuk meningkatkan aksesibilitas penduduk ke segala arah. 6. Faktor kesesuaian lahan. 7. Faktor kemajuan dan peningkatan bidang teknologi yang mempercepat proses pusat kota mendapatkan perubahan yang lebih maju. Hendarto dalam Novita (2003) mengatakan bahwa pertumbuhan dan perkembangan kota pada prinsipnya menggambarkan proses berkembangnya suatu kota. Pertumbuhan kota mengacu pada pengertian secara kuantitas, yang dalam hal ini diindikasikan oleh besaran faktor produksi yang dipergunakan oleh sistem ekonomi kota tersebut. Sedangkan perkembangan kota mengacu pada kualitas, yaitu proses menuju suatu keadaan yang bersifat pematangan. Indikasi ini dapat dilihat pada struktur kegiatan perekonomian dari primer ke sekunder atau tersier. Secara umum kota akan mengalami pertumbuhan dan perkembangan melalui keterlibatan aktivitas sumber daya manusia berupa peningkatan jumlah penduduk dan sumber daya alam dalam kota yang bersangkutan. Pada umumya terdapat tiga faktor utama yang memengaruhi perkembangan kota, yaitu: 1. Faktor penduduk, yaitu adanya pertambahan penduduk baik disebabkan karena pertambahan alami maupun karena migrasi. 2. Faktor sosial ekonomi, yaitu perkembangan kegiatan usaha masyarakat
12
3. Faktor sosial budaya, yaitu adanya perubahan pola kehidupan dan tata cara masyarakat akibat pengaruh luar, komunikasi, dan sistem informasi. Dalam menentukan perkembangan kota memang terdapat berbagai variabel yang diukur. Mengenai hal ini Campbell (2004) menentukan tiga faktor penting yang dapat membedakan perkembangan ibukota yaitu ukuran dan struktur pemerintahan, kondisi ekonomi sebuah negara, dan waktu dimana ibukota sudah bisa berdiri stabil relatif terhadap kondisi politik dan perkembangan ekonomi negara yang bersangkutan. Penentuan faktor ini berguna agar penggunaan variabel yang terlalu banyak dapat dihindari, dan sebaliknya, tiga faktor tersebut dapat dielaborasi lebih lanjut sehingga dapat menentukan variabel-variabel baru yang dapat diukur untuk menentukan perkembangan sebuah kota ataupun ibukota. GDP Gross Domestic Product (GDP) atau Produk Domestik Bruto (PDB) diyakini sebagai indikator ekonomi terbaik dalam menilai perkembangan ekonomi suatu negara. Mankiw (2008) mendefinisikan GDP sebagai nilai pasar semua barang-barang dan jasa-jasa yang diproduksi dalam perekonomian selama kurun waktu tertentu, dan perhitungan pendapatan nasional ini mempunyai ukuran makro utama tentang kondisi suatu negara. Pada umumnya perbandingan kondisi antar negara dapat dilihat dari pendapatan nasionalnya. Dalam menentukan apakah suatu negara berada dalam kelompok negara maju atau berkembang, maka Bank Dunia (The World Bank) melakukannya melalui pengelompokan besarnya GDP, dan GDP suatu negara sama dengan total pengeluaran atas barang dan jasa dalam perekonomian (Todaro dan Smith 2003). Todaro dan Smith (2003) lebih lanjut mengatakan bahwa GDP adalah indikator yang mengukur jumlah output final barang (goods) dan jasa (services) yang dihasilkan oleh perekonomian suatu negara, dalam wilayah negara tersebut, baik oleh penduduk (warga negara) sendiri maupun bukan penduduk (misalnya, perusahaan asing), tanpa memandang apakah produksi output tersebut nantinya akan dialokasikan ke pasar domestik atau luar negeri. Dengan demikian warga negara yang bekerja di negara lain, pendapatannya tidak dimasukan ke dalam GDP. Sebagai gambaran, GDP Indonesia dihitung melalui kontribusi Warga Negara Indonesia (WNI) maupun Warga Negara Asing (WNA) yang ada di Indonesia tetapi tidak mengikutsertakan produk WNI di luar negeri. Pertumbuhan Ekonomi Secara umum, pertumbuhan ekonomi didefinisikan sebagai peningkatan kemampuan dari suatu perekonomian dalam memproduksi barang-barang dan jasa-jasa. Pertumbuhan ekonomi menunjukkan sejauh mana aktivitas perekonomian akan menghasilkan tambahan pendapatan masyarakat pada suatu periode tertentu. Pada dasarnya aktivitas perekonomian adalah suatu proses penggunaan faktor-faktor produksi untuk menghasilkan output, maka proses ini pada gilirannya akan menghasilkan suatu aliran balas jasa terhadap faktor produksi yang dimiliki oleh masyarakat. Perekonomian dianggap mengalami pertumbuhan jika seluruh balas jasa riil terhadap penggunaan faktor produksi pada
13
tahun tertentu lebih besar dari pada tahun sebelumnya. Berdasarkan hal ini, maka dengan kata lain perekonomian dikatakan mengalami pertumbuhan jika pendapatan riil masyarakat pada tahun tertentu lebih besar dari pada pendapatan riil masyarakat pada tahun sebelumnya (Basri dalam Sihombing 2012). Dengan kata lain dapat disimpulkan bahwa pertumbuhan ekonomi lebih menunjukkan kepada perubahan yang bersifat kuantitatif (quantitative change) dan biasanya diukur dengan menggunakan data Gross Domestic Product (GDP) atau pendapatan atau nilai akhir pasar (total market value) dari barang-barang akhir dan jasa-jasa (final goods and services) yang dihasilkan dari suatu perekonomian selama kurun waktu tertentu (biasanya satu tahun). Negara Kepulauan Menurut United Nations Convention on the Law of the Sea/ UNCLOS, sesuai dengan Pasal 46 UNCLOS, definisi negara kepulauan itu adalah terdiri atas satu atau lebih kepulauan, sedangkan "kepulauan" adalah sekelompok pulau, termasuk bagian pulau, perairan, dan fitur alami yang terkait erat membentuk entitas geografi, ekonomi, dan politik intrinsik. Persyaratan negara kepulauan sesuai dengan Pasal 47 UNCLOS adalah menarik garis pangkal lurus kepulauan yang menghubungkan pulau terluar, tidak mengabaikan konfigurasi umum kepulauan, rasio daratan dan lautan dari mulai 1:1 hingga 9:1, dan panjang garis pangkal tidak lebih dari 125 mil laut.6 Model Logit Analisis regresi logit merupakan bagian dari analisis regresi. Analisis ini mengkaji hubungan pengaruh-pengaruh peubah penjelas (χ) terhadap peubah respon (Y) melalui model persamaan matematis tertentu. Namun jika peubah respon dari analisis regresinya berupa kategorik, maka analisis regresi yang digunakan adalah analisis regresi logit (Hosmer dan Lemeshow 1989). Peubah kategori bisa merupakan suatu pilihan ya/ tidak atau suka/ tidak. Sedangkan peubah penjelas pada analisis regresi logit ini dapat berupa peubah kategori maupun numerik, untuk menduga besarnya peluang kejadian tertentu dari kategori peubah respon. Model logit diturunnkan berdasarkan fungsi peluang logistik kumulatif yang dispesifikasikan sebagai berikut: Pi = F(Zi) = F(α+βXi) =
=
=
(1) (2)
Peubah Pi/ (1-Pi) dalam persamaan di atas disebut odds, yang sering juga diistilahkan dengan risiko atau kemungkinan, yaitu rasio peluang terjadi pilihan satu terhadap peluang terjadinya pilihan nol alternatifnya. Nilai Odds adalah suatu 6
United Nations Convention on the Law of the Sea , 10 Desember 1982
14
indikator kecenderungan seseorang menentukan pilihan satu. Jika persamaan (2) ditransformasikan dengan logaritma natural maka: = ln
→
ln
=
= α+βXi
(3)
Persamaan (3) ini menunjukan bahwa salah satu karakteristik penting dari model logit adalah bahwa model ini mentransformasikan masalah prediksi peluang dalam selang (0;1) ke masalah prediksi log odds tentang kejadian (Y=1) dalam selang bilangan riil (Juanda 2009). Tinjauan Penelitian Terdahulu Studi tentang konsep pemindahan ibukota yang dilakukan oleh Schatz (2003) mengungkapkan bahwa pemindahan ibukota (pemindahan secara fisik pusat negara dari satu lokasi ke lokasi lain) adalah cara biasa (tidak seaneh seperti yang terlihat) yang dilakukan untuk membuat bentuk suatu negara. Dalam penelitian ini diungkapkan bahwa ada keterkaitan antara politik geografi dengan pembangunan nasional dalam pemindahan ibukota. Pemindahan ibukota seringkali tidak hanya dilakukan atas dasar rasional-teknik semata, namun lebih daripada itu ada alasan politis dan sosial yang dilakukan dalam pemindahan tersebut. Pemindahan ibukota adalah salah satu cara inovatif untuk membentuk negara (buiding states) dan karakter bangsa (national identification). Kebijakan ini merupakan kebijakan besar dimana kebanyakan pemimpin tidak berani untuk melakukannya karena besarnya biaya finansial, logistik, dan politik. Seperti kebijakan-kebijakan politis, kebijakan pemindahan ibukota dipengaruhi oleh berbagai faktor. Perbedaan perspektif akan menghasilkan suatu variabel yang berbeda dengan variabel yang diambil dengan perspektif lain. Dari analisis yang telah dilakukan dapat diambil kesimpulan bahwa pemindahan ibukota (khususnya dalam analisis mengenai pemindahan ibukota Kazakhstan dari Almaty ke Astana) tidak hanya dilakukan berdasarkan alasan rasional-teknis, namun lebih dari itu dilakukan atas dasar pertimbangan sosial dan budaya seperti pembentukan karakter bangsa dan negara. Pemindahan ibukota juga sangat dipengaruhi oleh corak negara tersebut seperti pemerintahan negara, persebaran budaya, dan kondisi negara setelah masa imperialisme. Hal penting lain yang juga ditemukan adalah ketika lokasi dari pemindahan ibukota seringkali dikompetisikan dalam formasi dan konsolidasi dari pemerintah (yang seringkali menimbulkan kontroversi), walaupun kontroversi tersebut bertedensi menghilang setelah pemilihan ibukota baru. Mewacanakan pemindahan ibukota keluar Jakarta mesti dipahami sebagai suatu proses penting sebelum menentukan keputusan besar untuk memindahkan ibukota keluar Jakarta atau tetap menempatkan Jakarta sebagai ibukota negara. Rukmana (2010) mengungkapkan pengalaman dari berbagai negara menunjukkan bahwa pemindahan ibukota tidak semata didorong oleh pertimbangan kondisi ibukota lama yang sudah terlalu padat dan kurang tersedianya infrastruktur dan fasilitas perkotaan. Pertimbangan politik dan sosio-ekonomi juga menjadi faktor penting dalam keputusan pemindahan ibukota negara. Sementara itu terdapat tiga alasan umum pemindahan ibukota, yaitu pertimbangan politik, pertimbangan sosio-ekonomi, dan pertimbangan fisik. Pertimbangan politik seringkali menjadi
15
pertimbangan utama dalam pemindahan ibukota. Dalam pertimbangan ini berguna untuk meningkatkan persatuan nasional (national cohesion), membangun simbol kebangkitan negara, dan merepresentasikan lebih baik keragaman suku bangsa adalah pertimbangan yang digunakan pemerintah Brasil, Nigeria, dan Pakistan dalam memindahkan ibukota negaranya masing-masing. Rawat (2005) melakukan penelitian tentang perspektif global-lokal dalam pemindahan ibukota menyatakan bahwa faktanya, kebijakan pemindahan ibukota dalam sejarahnya banyak dilakukan oleh pemimpin yang kuat dan ambisius jika dibandingkan oleh kekuatan demokrasi. Hal ini karena sulitnya usaha —yang melibatkan aliansi politik— untuk meyakinkan publik bahwa biaya besar yang dikeluarkan oleh sumberdaya pemerintah tidak sia-sia dan bermanfaat. Selanjutnya, kemunculan ibukota-ibukota baru di pertengahan abad ke-20 datang untuk merepresentasikan harapan dan mimpi dari negara yang baru merdeka. Hal ini menunjukkan bahwa banyak negara yang memindahkan ibukotanya untuk membangun kembali negaranya dari keterpurukan. Perpindahan ibukota tidak hanya dilihat dalam persepektif lokal, namun juga perspektif global untuk menciptakan kota yang memiliki budaya hibrid, kosmopolitan, dan memiliki daya saing global yang baik yang terhubung dalam jaringan internasional. Dalam penelitiannya tentang hubungan antara politik dengan geografi di kawasan Eropa, Dascher (2000) menganalisis hubungan antara pengaruh kekuatan politik di ibukota dan kekuatan politik regional dan dampaknya terhadap ekonomi. Dari hasil analisis dapat diambil kesimpulan bahwa lokasi geografi dan politik memiliki hubungan dan berdampak pada ekonomi rumah tangga serta landskap ekonomi negara. Walaupun kota yang berbeda memiliki ukuran kota yang berbeda pula, namun kekuatan politik dari pusat pemerintahan yang ada di ibukota memiliki kekuatan yang lebih kuat dalam hal produksi dan konsumsi jika dibandingkan dengan kekuatan regional. Besarnya kota dianggap sebagai hasil endogenus dimana besaran kota memengaruhi besarnya eksternalitas. Sutikno (2007) merangkum permasalahan yang dialami Jakarta yaitu: (1) pemerintahan sentralitis, sehingga sistem kekuasaan yang memusat membuat sistem pemerintahan daerah kehilangan kemandirian dan fungsi birokrasi tidak dapat berkembang melayani dan memfasilitasi partisipasi masyarakat; (2) kedekatan sumber pusat pemerintahan dan pusat ekonomi yang mengerucut pada elite dan hampir tanpa kontrol dari rakyat secara konstitusional maupun publik; (3) pemusatan fungsi yang akhirnya membawa beban bagi Jakarta yang ditandai dengan ledakan jumlah penduduk, kemacetan lalu lintas, kesenjangan ekonomi, kerawanan sosial, kekerasan, dan kejahatan; (4) permasalahan selanjutnya diikuti krisis ekologi, yang berupa pencemaran udara, pencemaran air tanah, air bersih, banjir rutin, tataruang yang semrawut, munculnya kawasan kumuh, lingkungan hidup yang kurang nyaman; (5) konflik mudah terjadi antara kepentingan ekonomi dan ekologi, kepentingan sesaat dan jangka panjang, kepentingan elit dan masyarakat. Dalam analisis dihasilkan dua kesimpulan yaitu (1) pemindahan ibu kota merupakan suatu keharusan, tetapi dengan tenggang waktu, dan seharusnya tidak sebagai wacana lagi; (2) ibu kota negara tetap di Jakarta tetapi pemindahan beberapa departemen dan pusat-pusat kegiatan dialihkan ke luar Jakarta. Dalam kasus wacana pemindahan ibukota di Indonesia, wacana ini dianggap sangat memungkinkan karena di dalam Undang-Undang Dasar Republik
16
Indonesia dan Amandemennya, tidak atau belum mengatur secara tegas tentang hal tersebut. Dalam Bab II ayat (2) UUD NKRI tertulis: Majelis Permusyawaratan Rakyat bersidang sedikitnya sekali dalam lima tahun di ibu kota negara. Dalam UUD tersebut tidak ada pasal yang menyebutkan dimana dan bagaimana ibu kota negara diatur. Dengan demikian, terdapat fleksibilitas yang tinggi dalam mengatur termasuk memindahkan ibu kota negara. Selanjutnya dalam penelitian terhadap opini masyarakat internal ISIIP Jakarta dan analisis literatur, menunjukkan bahwa dalam waktu lima tahun ke depan wacana perpindahan ibukota mesti sudah ditindaklanjuti oleh pihak terkait dengan serius. Pertama, secara umum (34%) responden memberikan respon bahwa gagasan pemindahan ibu kota di Indonesia baru sekedar wacana, dan ada 25% responden yang berpandangan optimis pemindahan ibukota harus segera diwujudkan dalam waktu 10 tahun ke depan. Kedua, mayoritas (46%) responden setuju terhadap gagasan pemindahan ibukota secara bergilir di antara propinsi di Indonesia atau di antara tiga daerah waktu. Ketiga, alasan yang menjadi pertimbangan pokok pemindahan ibukota negara. Suara terbanyak (17%) responden mensyaratkan lokasi tersebut belum padat. Sebanyak 16% responden mensyaratkan lokasinya kondusif dan strategis. Sekitar 14% responden mensyaratkan efisien ditempuh dari ibukota yang lama. Keempat, bagaimana sebaiknya pemindahan ibu kota dilakukan. Mayoritas (33%) responden berpandangan pemindahan ibukota dilakukan dengan langkah teknis seperti memindahkan kantor kepresidenan, departemen, parlemen dan kedutaan asing secara bertahap (Yunia dan Rozi 2007). Kerangka Pemikiran Peran Jakarta yang sangat mendominasi dalam berbagai aspek di Indonesia tidak lepas dari faktor sejarah. Jakarta merupakan ibukota yang termasuk dalam ex-imperial capitals dalam tujuh tipe ibukota Peter Hall, dimana Jakarta menjadi ibukota karena peran tersebut yang telah melekat sejak jaman pejajahan Belanda. Sejak dahulu, Belanda telah menjadikan Jakarta sebagai pusat keluar-masuk barang dari dan ke Indonesia dan pusat pemerintahan sehingga Jakarta menjelma sebagai pusat ekonomi dan politik jaman penjajahan. Di era kemerdekaan, peran tersebut tidak berubah dan bahkan semakin kuat dan melebar ke dominasi politik dan ekonomi terhadap daerah-daerah lain di Indonesia. Kekuatan Jakarta yang tak diimbangi dengan manajemen dan perencanaan kota yang baik mengakibatkan timbulnya berbagai permasalahan yang menerpa Jakarta dan merembet pula di skala nasional. Permasalahan yang menerpa Jakarta mulai dari masalah demografi, ekologi, dan ekonomi, seperti tingginya kepadatan penduduk, kencangnya arus urbanisasi, potensi bencana banjir, pencemaran lingkungan, kemiskinan, kesehatan, dan kriminalitas. Selain itu pemusatan berbagai aspek kehidupan di Jakarta menimbulkan sentralisasi yang sangat buruk di Indonesia sehingga menimbulkan kecemburuan sosial serta ketimpangan ekonomi. Berbagai permasalahan yang ada akhirnya menimbulkan wacana kebijakan untuk memindahkan ibukota dari Jakarta ke kota lain di Indonesia. Wacana pemindahan ibukota sebenarnya bukanlah wacana baru. Sejak zaman penjajahan, Orde Lama, Orde Baru, hingga era demokrasi wacana ini terus bergulir. Sayangnya selama ini wacana hanyalah sekedar menjadi wacana tanpa eksekusi matang dan penelitian lebih lanjut. Pemerintah terlihat kurang memiliki
17
political will untuk menyelesaikan masalah Jakarta dan Indonesia dengan kebijakan yang strategis, sedangkan menurut Rawat (2005) kebijakan pemindahan ibukota dalam sejarahnya banyak dilakukan oleh pemimpin yang kuat dan ambisius jika dibandingkan oleh kekuatan demokrasi. Sebagaimana Nehru dari India, Khan dari Pakistan, Kubitschek dari Brasil, yang percaya bahwa kota yang direncakan dengan baik (well planned) akan berkontribusi dalam modernisasi dan menjadi dasar bagi pembangunan di masa depan. Dalam penelitian tentang pemindahan ibukota, Indonesia harus banyak belajar dari negara lain yang telah memindahkan ibukotanya. Sejak Perang Dunia ke-2, belasan negara telah melakukan kebijakan untuk memindahkan ibukotanya. Kebijakan pemindahan ibukota tak bisa dilepaskan dalam teori perkembangan ibukota. Hendarto dalam Novita (2003) mengungkapkan tiga faktor utama perkembangan ibukota yaitu faktor penduduk, faktor sosial ekonomi, dan faktor sosial budaya. Dascher (2000) juga mengungkapkan bahwa ada keterkaitan antara politik dengan geografi dalam analisis cross section ibukota negara. Schatz (2004) dalam penelitiannya dengan negara mantan Uni Soviet dalam 12 periode dan negara Afrika dalam 26 tahun periode mengungkapkan bahwa pemindahan ibukota juga berfungsi untuk membangun karakter bangsa dan negara. Analisis dari negara lain akan menjadi masukan dan pelajaran yang berharga untuk Indonesia. Dengan melihat faktor pendorong dari negara lain, Indonesia dapat membandingkan kondisinya dengan hasil analisis sehingga dapat menentukan kebijakan dengan lebih baik. Berikut adalah kerangka pemikiran yang disajikan dalam Gambar 2.
18
Pemindahan Ibukota Negara Dunia
Permasalahan Ibukota
Ekonomi
Masalah Jakarta
Politik
Geografi
Masalah Nasional
Wacana Pemindahan Ibukota
Kondisi di Indonesia
Analisis Regresi Logistik
Rekomendasi Kebijakan
Gambar 2 Kerangka pemikiran
Hipotesis Penelitian Berdasarkan rumusan masalah, tujuan penelitian dan kerangka pemikiran, maka hipotesis penelitian ini adalah: a. GDP per kapita memiliki pengaruh negatif terhadap peluang negara untuk memindahkan ibukotanya. Hal ini dikarenakan semakin tinggi GPD per kapita yang dimiliki sebuah negara maka negara tersebut termasuk dalam kategori negara maju. Negara maju biasanya memiliki perekonomian,
19
b.
c.
d.
e.
f.
g.
h.
teknologi, dan manajamen kota yang baik. Hal ini biasanya membuat negara maju sehingga bisa mengatasi berbagai masalah ekonomi dan demografi yang biasanya timbul di ibukota sehingga negara maju tidak perlu sampai memindahkan ibukotanya. Pertumbuhan ekonomi memiliki pengaruh negatif terhadap peluang negara untuk memindahkan ibukotanya, sebab semakin tinggi pertumbuhan ekonomi maka semakin baik kondisi perekonomian sebuah negara. Negara yang memiliki perekonomian yang baik biasanya termasuk kedalam negara maju yang memiliki kebijakan dan tata kelola kota yang baik sehingga bisa mengatasi berbagai masalah yang timbul di ibukotanya. Luas wilayah memiliki pengaruh negatif terhadap peluang negara untuk memindahkan ibukotanya, karena semakin luas sebuah negara maka negara tersebut memiliki lahan yang cukup untuk menampung pertumbuhan penduduk dan kepadatan populasi negaranya. Populasi memiliki pengaruh positif terhadap peluang negara untuk memindahkan ibukotanya. Hal ini dikarenakan semakin tinggi populasi sebuah negara maka negara tersebut akan semakin padat dan cenderung memiliki permasalahan demografi dalam kotanya sehingga semakin mendorong sebuah negara untuk memindahkan ibukotanya. Kepadatan penduduk memiliki pengaruh positif terhadap peluang negara untuk memindahkan ibukotanya. Hal ini dikarenakan semakin tinggi kepadatan penduduk suatu negara maka negara tersebut lebih cenderung memiliki masalah-masalah demografi. Kota yang terlampau padat juga biasanya memiliki kualitas hidup yang tidak baik karena tingginya harga dan berbagai masalah perkotaan. Masalah yang timbul akibat kepadatan penduduk bisa menciptakan masalah yang mengharuskan negara tersebut memindahkan ibukotanya. Bentuk negara republik memiliki pengaruh negatif terhadap peluang negara untuk memindahkan ibukotanya, sebab negara republik yang demokratis cenderung sulit untuk meyakinkan rakyatnya untuk memindahkan ibukotanya. Selain itu, kebijakan pemindahan ibukota dalam sejarahnya banyak dilakukan oleh pemimpin yang kuat dan ambisius jika dibandingkan oleh kekuatan demokrasi. Bentuk wilayah kepulauan memiliki pengaruh positif terhadap peluang negara untuk memindahkan ibukotanya karena negara kepulauan seringkali mengalami masalah bencana alam dan memiliki daerah yang terpisah-pisah oleh laut sehingga memerlukan kebijakan khusus untuk mengatasi sentralisasi perekonomian dan pemerintahan. Tipe ibukota memiliki pengaruh positif terhadap peluang negara untuk memindahkan ibukotanya karena memecah ibukota menjadi dua adalah hal yang lebih memungkinkan dalam pemindahan ibukota. Hal ini dikarenakan sumberdaya yang sudah memusat di ibukota lama yang tidak mungkin untuk ditinggalkan. Pemecahan ibukota menjadi lebih dari satu meningkatkan peluang sukses sebuah negara untuk memindahkan ibukotanya.
20
METODE Jenis dan Sumber Data Penelitian ini menggunakan jenis data sekunder dengan rentang jarak sepuluh tahun yaitu tahun 1990, 2000, dan 2010. Data sekunder yang digunakan adalah data yang diperlukan untuk pengambilan keputusan pemindahan suatu negara meliputi variabel keputusan pemindahan ibukota (pindah atau tidak), GDP per kapita, pertumbuhan ekonomi, jumlah penduduk, kepadatan penduduk, luas wilayah, bentuk pemerintahan (republik atau non-republik), bentuk wilayah (kepulauan atau non-kepulauan), dan tipe ibukota (dipisah dan non-dipisah). Data dibuat dengan metode pooled data sebelum dianalisis menggunakan perangkat lunak IBM SPSS. Data sekunder yang digunakan didapat dari berbagai sumber yaitu The World Bank, The World Factbook dari The Central Intelligence Agency USA (CIA), Global Finance Data (GFD), United Nation Data (UNdata) dan sumber lainnya. Selain itu pula dilakukan studi pustaka yang bersumber dari buku literatur, jurnal, dan hasil penelitian terkait. Metode Analisis dan Pengolahan Data Metode analisis yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode kualitatif. Metode yang digunakan untuk melihat karakteristik dan faktor pendorong negara yang memindahkan ibukotanya menggunakan analisis regresi logistik. Pada penelitian ini, pengolahan data dilakukan secara bertahap. Tahap yang pertama adalah pengelompokkan data berdasarkan tahun yang dilanjutkan dengan penyatuan data dalam bentuk pooled data. Tahap yang berikutnya adalah pengolahan data dalam model analisis. Pengolahan data dilakukan dengan menggunakan software Microsoft Excel 2010 dan IBM SPSS Statistics versi 22 untuk Windows. Metode Logit Metode analisis data yang digunakan untuk menentukan faktor-faktor yang memengaruhi persepsi individu adalah logistic regression model. Regresi logistik merupakan analisis yang mengkaji hubungan pengaruh peubah-peubah penjelas ( ) terhadap peubah respon ( ) melalui model persamaan matematis tertentu. Analisis regresi logistik merupakan suatu teknik untuk menerangkan peluang kejadian tertentu dari kategori peubah respon (Firdaus 2008). Menentukan keputusan negara untuk memindahkan Ibukotanya berdasarkan karakteristik yang telah ditentukan dan berupa data biner. Data biner merupakan bentuk data yang menggambarkan pilihan ―Ya atau Tidak‖. Dalam kondisi seperti ini, jenis penggunaan regresi yang sesuai untuk pemodelan adalah regresi logit. Logistik yang digunakan dalam penelitian ini adalah model regresi logistik dengan dua pilihan (binary logistic regression) yaitu regresi logistik dengan dua kategori atau binomial pada variabel dependennya ―1‖ jika negara pernah memindahkan ibukotanya, dan ―0‖ jika negara tidak memindahkan ibukotanya.
21
Hal yang membedakan model regresi logit dengan regresi biasa adalah peubah terikat dalam model bersifat dikotomi (Hosmer dan Lameshow, 1989). Menurut Ghozali (2006), kelebihan model regresi logistik adalah lebih fleksibel dibanding teknik lainnya, antara lain: 1. Regresi logistik tidak memiliki asumsi normalitas atas variabel bebas yang digunakan dalam model. Artinya variabel penjelas tidak harus memiliki distribusi normal linier maupun memiliki varian yang sama setiap grup. 2. Variabel bebas dalam regresi logistik bisa merupakan campuran dari variabel kontinyu, diskrit dan dikotomis. Regresi logistik digunakan apabila distribusi respon atas variabel terikat diharapkan non-linier dengan satu atau lebih variabel bebas. Spesifikasi Model Logit untuk Faktor-Faktor yang Memengaruhi Pemindahan Ibukota Perumusan model secara lengkap dapat dinotasikan dalam persamaan matematis sebagai berikut:
pi Logit(pi) log e 1 pi
dimana: Logit(pi) 0
GD PT LS JP KP
= Peluang negara memindahkan ibukotanya (bernilai 1 untuk ―pindah‖ dan bernilai 0 untuk ―tidak pindah‖) = Intersep = Koefisien dari regresi = GDP per kapita (dolar) = Pertumbuhan ekonomi (persen) = Luas wilayah (km2) = Jumlah penduduk (jiwa) = Kepadatan penduduk (jiwa/ km2) = Dummy bentuk pemerintahan (republik=1, non-republik=0) = Dummy bentuk wilayah (kepulauan=1, non-kepulauan=0) = Dummy tipe ibukota (dipisah=1, non-dipisah=0) = Galat
Pengujian terhadap parameter model dilakukan untuk memeriksa kebaikan model. Uji statistik yang dilakukan adalah dengan menggunakan statistik Odds Ratio, uji G atau likelihood ratio, dan statistik uji Wald. Penjelasan setiap pengujian adalah sebagai berikut : 1. Odds Ratio Odds Ratio merupakan rasio peluang terjadi pilihan-1 terhadap peluang terjadi pilihan-0. Koefisien bertanda positif menunjukan nilai odds ratio
22
yang lebih besar dari satu, hal tersebut mengindikasikan bahwa peluang kejadian sukses lebih besar dari peluang kejadian tidak sukses. Sedangkan koefisien yang bertanda negatif mengindikasikan bahwa peluang kejadian tidak sukses lebih besar dari peluang kejadian sukses (Juanda, 2009). 2. Uji Wald Uji Wald digunakan untuk uji nyata parsial bagi masing-masing koefisien variabel. Dalam pengujian hipotesa, jika koefisien dari variabel penjelas sama dengan nol, hal ini berarti variabel penjelas tidak berpengaruh pada variabel respon. Uji wald mengikuti sebaran normal baku dengan kaidah keputusan menolak H0 jika W > Zα/2 atau p-value < α. (Hosmer dan Lemeshow, 1989). Rumus umum untuk uji Wald sebagai berikut :
H0 : βi = 0 H1 : βi ≠ 0 dimana ; βi = Vektor koefisien dihubungkan dengan penduga (koefisien X) SE (βi) = Galat dari kesalahan βi Definisi Operasional Penelitian Variabel tak bebas yang digunakan dalam penelitian ini adalah respon terhadap pemindahan ibukota negara. Sementara untuk variabel bebas yang digunakan adalah GDP per kapita (GD), pertumbuhan ekonomi (PT), luas wilayah (LS), jumlah penduduk (JP) dan kepadatan penduduk (KP). Penelitian ini juga menggunakan tiga dummy dalam model regresinya yaitu dummy bentuk pemerintahan (D1), dummy bentuk wilayah (D2), dan dummy tipe ibukota (D3). Data dari variabel-variabel ini merupakan data sekunder yang didapat dari berbagai sumber. Berikut adalah definisi operasional dalam penelitian ini: a. Pemindahan ibukota negara Variabel ini adalah variabel yang mencerminkan kebijakan suatu negara dalam dua pilihan yaitu telah memindahkan ibukotanya atau tidak memindahkan ibukotanya. Variabel ini memiliki nilai ukuran nominal, dimana: 1 = Jika negara memindahkan ibukotanya 0 = Jika negara tidak memindahkan ibukotanya b. GDP per kapita Variabel ini menunjukkan nilai GDP per kapita yang dimiliki sebuah negara dalam tahun tertentu. Variabel ini diukur menggunakan ukuran rasio dengan satuan dolar Amerika ($).
23
c. Pertumbuhan ekonomi Variabel ini menunjukkan nilai pertumbuhan ekonomi yang dimiliki sebuah negara dalam tahun tertentu. Variabel ini diukur menggunakan ukuran rasio dengan satuan persen (%). d. Luas wilayah Variabel ini menunjukkan ukuran luas land area sebuah negara. Land area adalah wilayah yang berupa daratan yang dapat ditinggali oleh penduduk. Variabel ini diukur menggunakan ukuran rasio dengan satuan kilometer persegi (km2) e. Jumlah penduduk Variabel ini menunjukkan nilai jumlah penduduk sebuah negara dalam tahun tertentu. Variabel ini diukur menggunakan ukuran rasio dengan satuan jiwa. f. Kepadatan penduduk Variabel ini menunjukkan nilai kepadatan penduduk sebuah negara dalam tahun tertentu. Variabel ini dihitung dengan membagi jumlah penduduk dengan luas daratan sebuah negara dan diukur menggunakan ukuran rasio dengan satuan jiwa per km2 luas daratan. g. Bentuk pemerintahan Variabel ini adalah variabel dummy yang mencerminkan bentuk pemerintahan yang dianut sebuah negara dalam menjalankan negaranya. Variabel ini memiliki nilai ukuran nominal, dimana: 1 = Negara memiliki bentuk pemerintahan republik 0 = Negara tidak memiliki bentuk pemerintahan republik (non-republik) h. Bentuk wilayah Variabel ini adalah variabel dummy yang mencerminkan bentuk wilayah yang dimiliki sebuah negara. Variabel ini memiliki nilai ukuran nominal, dimana: 1 = Negara memiliki bentuk wilayah kepulauan 0 = Negara tidak memiliki bentuk wilayah kepulauan (non-kepulauan) i. Tipe Ibukota Variabel ini adalah variabel dummy yang mencerminkan tipe ibukota yang dimiliki sebuah negara. Variabel ini memiliki nilai ukuran nominal, dimana: 1 = Negara memiliki tipe ibukota yang dipisah 0 = Negara tidak memiliki tipe ibukota yang dipisah (non-dipisah)
HASIL DAN PEMBAHASAN Gambaran Umum Negara yang Memindahkan Ibukotanya Sejak Perang Dunia ke-2 berakhir, terdapat belasan negara yang telah memindahkan ibukotanya. Pemindahan ibukota yang terjadi dilakukan dengan berbagai alasan, tapi secara umum terdapat tiga alasan utama negara memindahkan ibukotanya yaitu pertimbangan sosial ekonomi, pertimbangan politik, dan pertimbangan geografis. Pemindahan ibukota ke kota baru yang
24
dirancang dan dieksekusi dengan baik (well-designed and well-executed) dianggap dapat menjadi solusi berbagai permasalahan dalam skala regional maupun skala nasional. Negara yang telah memindahkan ibukotanya termasuk dalam tipe relocated capitals atau constructed capitals. Relocated atau constructed capitals menunjukkan bahwa negara tersebut telah memindahkan ibukota lama dan dan membangun ibukota baru. Berikut adalah gambar contoh negara yang telah memindahkan ibukotanya.
Sumber: Rawat, 2010 (diolah)
Gambar 3 Unifikasi ibukota Jerman dan Vietnam Gambar 3 menunjukkan dua negara yaitu Jerman dan Vietnam yang memindahkan ibukotanya setelah konflik selesai. Jerman memindahkan ibukotanya dari Bonn ke Berlin sebagai hasil dari unifikasi Jerman Barat dan Jerman Timur pada tahun 1990. Vietnam menyatukan ibukotanya ke Hanoi setelah konflik Vietnam Utara dan Vietnam Selatan pada tahun 1975. Berlin merupakan ibukota yang juga merupakan kota terbesar di Jerman, sedangkan Vietnam memiliki ibukota (Hanoi) yang bukan merupakan kota terbesar di negaranya (Ho Chi Minh City yang dahulu bernama Saigon). Gambar 4 menunjukkan contoh negara yang memindahkan ibukotanya dari kota lama ke kota yang baru. Terlihat dalam gambar bahwa kota yang menjadi ibukota baru bukanlah kota terbesar dalam negara tersebut. Turki memindahkan ibukotanya dari Istanbul ke Ankara pada 1923, Brasil memindahkan ibukotanya dari Rio De Janeiro ke Brasilia pada tahun 1960. Malawi memindahkan ibukotanya dari Blantyre ke Lilongwe pada tahun 1975, Nigeria memindahkan ibukotanya dari Lagos ke Abuja pada tahun 1991, dan Kazakhstan memindahkan ibukotanya dari Almaty ke Astana pada tahun 1998.
25
Sumber: Rawat, 2010 (diolah)
Gambar 4 Contoh negara yang memindahkan ibukotanya Berikut pada Table 4 adalah daftar tabel negara yang telah memindahkan ibukotanya setelah Perang Dunia ke-2. Tabel 4 menunjukkan setidaknya terdapat tiga belas negara yang telah memindahkan ibukotanya sejak Perang Dunia ke-2 berakhir. Ketiga belas negara tersebut adalah negara yang memindahkan ibukotanya sehingga ibukotanya masuk kedalam kategori relocated capitals atau constructed capitals. Tabel 4 tidak memasukkan negara-negara yang tidak memindahkan ibukotanya (hanya memisahkan antara kota eksekutif dan legislatif (split capitals)). Contoh ibukota yang termasuk kategori split capitals adalah Amsterdam - The Hague (Belanda) dan Kuala Lumpur - Putrajaya (Malaysia). Negara dalam Tabel 4 adalah negara-negara yang akan dimasukkan dalam model analisis sebagai negara yang telah memindahkan ibukotanya. Dalam tiga dasawarsa pertama sejak Perang Dunia ke-2 berakhir terdapat enam negara yang memindahkan ibukotanya. Kemudian dalam tiga dasawarsa selanjutnya terdapat tujuh negara yang memindahkan ibukotanya. Negara terbaru yang memindahkan ibukotanya adalah Myanmar. Negara dari Asia Tenggara ini memindahkan ibukotanya dari Rangoon ke Naypyidaw pada tahun 2005.
26
Tabel 4 Negara yang memindahkan ibukotanya sejak Perang Dunia ke-2 No.
Negara
Ibukota Lama
Ibukota Baru
Tahun Relokasi
1
Montenegro
Cetinje
Podgorica
1946
2
Brasil
Rio de Janeiro
Brasilia
1960
3
Pakistan
Rawalpindi
Islamabad
1967
4
Belize
Belize City
Belmopan
1970
5
Guinea Bissau
Boe
Bissau
1974
6
Malawi
Zomba
Lilongwe
1974
7
Filipina
Quezon City
Manila
1976
8
Sri Lanka
Colombo
Sri Jayawardenapura Kotte
1982
9
Pantai Gading
Abidjan
Yamoussoukro
1983
10
Nigeria
Lagos
Abuja
1991
11
Tanzania
Dodoma
Dar Es Salaam
1996
12
Kazakhstan
Almaty
Astana
1997
13
Myanmar
Rangoon
Naypyidaw
2005
Gambar 5 Negara yang menjadi sampel dalam penelitian Karakteristik Negara Berdasarkan GDP per Kapita Untuk tujuan penelitian dan analisis, Bank Dunia mengklasifikasikan negara dalam empat klasifikasi pendapatan, yaitu: Pendapatan rendah, yaitu negara yang memiliki pendapatan $1.005 atau kurang.
27
Pendapatan menengah bawah, yaitu negara yang memiliki pendapatan antara $1.006 sampai $3.975. Pendapatan menengah atas, yaitu negara yang memiliki pendapatan antara $3.976 sampai $12.275. Pendapatan tinggi, yaitu negara yang memiliki pendapatan lebih dari $12.275 Negara pendapatan rendah dan menengah adalah negara yang disebut juga sebagai kelompok negara berkembang. Sementara itu negara dengan pendapatan tinggi adalah golongan yang disebut juga sebagai kelompok negara maju. Hubungan antara pemindahan ibukota dengan GDP per kapita bisa dilihat pada Tabel 5. Tabel dibuat berdasarkan tahun, keterangan pemindahan ibukota serta kategori GDP per kapita negara yang diteliti. Terlihat bahwa negara yang memiliki GPD tinggi relatif tidak memindahkan ibukotanya jika dibandingkan dengan negara yang memiliki GDP menengah dan rendah. Tabel 5 Hubungan GDP per kapita dengan pemindahan ibukota GDP per kapita Tahun
Keterangan
Menengah
Menengah
Bawah
Atas
Rendah
Tinggi
Pindah
9
4
0
0
Tidak Pindah
5
3
2
3
Pindah
8
5
0
0
Tidak Pindah
4
2
4
3
Pindah
4
5
4
0
Tidak Pindah
1
4
3
5
1990
2000
2010
Berdasarkan Tabel 5 dapat dilihat bahwa tidak ada satu pun negara yang memindahkan ibukotanya termasuk dalam kategori GPD per kapita tinggi di tahun 1990, 2000, maupun 2010. Walaupun tidak ada yang termasuk kategori GPD per kapita tinggi, dari tahun ke tahun terjadi peningkatan jumlah negara yang naik dari GDP per kapita lebih rendah ke GDP per kapita lebih tinggi. Untuk negara yang memindahkan ibukotanya, pada tahun 1990 terdapat sembilan negara di kategori GDP per kapita rendah, lalu pada tahun 2000 berkurang menjadi delapan negara, dan berkurang lagi secara signifikan menjadi hanya empat negara pada tahun 2010. Di kategori GDP per kapita menengah kebawah terjadi peningkatan jumlah negara yang memindahkan ibukotanya. Jumlah ini meningkat karena adanya perpindahan status negara dari kategori GDP per kapita rendah ke menengah kebawah. Untuk kategori GDP per kapita menengah atas, jika pada tahun 1990 dan 2000 tidak ada satu pun negara yang memindahkan ibukotanya yang masuk dalam kategori tersebut, pada tahun 2010 terjadi peningkatan sebanyak empat negara. Hal ini menunjukkan bahwa negara-negara yang
28
memindahkan ibukotanya terus mengalami peningkatan GDP per kapita dari tahun ke tahun. Karakteristik Negara Berdasarkan Pertumbuhan Ekonomi Dalam penelitian World Bank (2004), pertumbuhan ekonomi di negara berkembang dalam rata-rata lebih tinggi dibandingkan negera maju. Dalam rentang waktu 1965 – 1999, pertumbuhan rata-rata di negara pendapatan rendah adalah sebesar 4,1%, negara pendapatan menengah sebesar 4,2%, dan negara pendapatan tinggi sebesar 3,2%. Hal ini menunjukkan bahwa pertumbuhan ekonomi tidak menunjukkan status perkembangan suatu negara. Tingkat pertumbuhan ekonomi negara yang dianalisis dalam penelitian ini memiliki nilai yang bervariasi. Pada tahun 1990 negara dengan pertumbuhan ekonomi terbesar adalah Belize dengan 10,6% dan negara dengan pertumbuhan ekonomi terkecil adalah Kazakhstan dengan -8,2%. Pada tahun 2000 Myanmar menjadi negara dengan pertumbuhan ekonomi terbesar dengan 13,7% dan Pantai Gading menjadi negara dengan pertumbuhan ekonomi terkecil dengan -3,7%. Selanjutnya pada tahun 2010 pertumbuhan ekonomi terendah adalah Portugal dengan 1,4% dan pertumbuhan ekonomi tertinggi adalah Cina dengan 10,4%. Tabel 6 Hubungan antara pertumbuhan ekonomi dengan pemindahan ibukota Pertumbuhan Ekonomi Tahun
Keterangan negatif
1% - 4%
4% - 7%
≥7%
Pindah
4
2
4
3
Tidak Pindah
3
4
5
1
Pindah
1
2
6
4
Tidak Pindah
1
6
4
2
Pindah
0
5
2
6
Tidak Pindah
0
4
6
3
1990
2000
2010
Hubungan antara pemindahan ibukota dengan pertumbuhan ekonomi bisa dilihat pada Tabel 6. Di tahun 1990 keadaan antara negara yang memindahkan ibukotanya dengan negara yang tidak memindahkan ibukotanya relatif berimbang. Perbedaan terbesar ada di kategori 1% - 4% dan diatas 7% dimana terdapat perbedaan sebanyak dua negara. Di tahun 2000 dan 2010 terlihat bahwa negara yang memindahkan ibukotanya memiliki pertumbuhan ekonomi yang lebih baik dimana negara banyak yang masuk dalam kategori pertumbuhan ekonomi 4% 7% dan diatas 7%. Hal ini menunjukkan bahwa negara yang memindahkan ibukotanya banyak memiliki pertumbuhan ekonomi yang tinggi. Terlihat bahwa semakin tinggi pertumbuhan ekonomi, negara cenderung untuk memindahkan ibukotanya. Secara umum ekonomi dunia berjalan dengan lebih baik dilihat dari
29
menurunnya jumlah negara yang memiliki pertumbuhan ekonomi yang negatif dari tahun 1990 – 2010. Karakteristik Negara Berdasarkan Luas Wilayah Luas wilayah dari negara yang diteliti memiliki nilai yang bervariasi. Luas wilayah dihitung berdasarkan land area sebuah negara. Land area adalah wilayah yang berupa daratan yang dapat ditinggali oleh penduduk. Negara dengan luas wilayah terkecil adalah Montenegro dengan luas wilayah 13.450 km2 dan negara dengan luas terbesar adalah Cina dengan luas wilayah 9.327.480 km2. 9.2 9 8.8 8.6 8.4 8.2 8 7.8 7.6 7.4 10ribu - 100ribu
100ribu - 1juta
≥ 1juta frekuensi negara
Gambar 6 Distribusi negara berdasarkan luas wilayah Dalam Gambar 6 dapat dilihat bahwa kelompok minoritas adalah negaranegara yang memiliki luas antara 10.000 – 100.000 km2 dengan frekuensi sebanyak delapan negara. Kelompok dengan rentang 100.000 – 1000.000 km2 memiliki frekuensi sebanyak sembilan negara. Jumlah ini sama dengan jumlah negara dalam kelompok negara yang memiliki luas diatas 1000.000 km2. Tabel 7 Hubungan luas wilayah dengan pemindahan ibukota Luas Wilayah 10ribu – 100ribu km2
100ribu – 1juta km2
≥ 1juta km2
Pindah
5
5
3
13
Tidak Pindah
3
4
6
13
Total
8
9
9
26
Respon
Total
Dalam Tabel 7 dapat dilihat hubungan antara luas wilayah dengan pemindahan ibukota. Dalam rentang 10.000 – 100.000 km2 terdapat lima negara
30
yang memindahkan ibukotanya dan tiga negara yang tidak memindahkan ibukotanya. Dalam rentang 100.000 – 1000.000 km2 terdapat lima negara yang memindahkan ibukotanya dan empat negara yang tidak memindahkan ibukotanya, sedangkan hanya tiga negara yang memindahkan ibukotanya dalam kelompok yang memiliki luas wilayah diatas 1000.000 km2 dengan enam negara yang tidak memindahkan ibukotanya. Karakteristik Negara Berdasarkan Jumlah Penduduk World Bank (2004) menyatakan bahwa dinamika populasi adalah satu dari faktor kunci yang harus dipertimbangkan dalam penelitian tentang perkembangan (development). Dalam skala global, negara berkembang memiliki share paling besar dalam kontribusi terhadap jumlah penduduk dunia. Dalam perkembangan kedepan, pertumbuhan dan jumlah penduduk yang semakin besar akan memengaruhi tren dan kebijakan ekonomi negara-negara dunia khususnya negara berkembang yang belum memiliki pondasi dan kebijakan yang kuat dalam struktur ekonominya. Tabel 8 Hubungan jumlah penduduk dengan pemindahan ibukota Jumlah Penduduk Tahun
Keterangan
≤ 25 juta
25 juta – 50 juta
50 juta – 100 juta
≥ 100 juta
Pindah
7
2
2
2
Tidak Pindah
7
1
3
2
Pindah
7
2
1
3
Tidak Pindah
7
1
3
2
Pindah
7
2
1
3
Tidak Pindah
7
1
1
4
1990
2000
2010
Hubungan jumlah penduduk dengan pemindahan ibukota dapat dilihat dalam Tabel 8. Negara lebih banyak terkonsentrasi dalam kategori negara dengan jumlah penduduk dibawah 25 juta orang dengan jumlah yang sama antara negara yang memindahkan ibukotanya dengan yang tidak memindahkan ibukotanya yaitu tujuh. Jumlah ini tetap konstan sejak tahun 1990 hingga tahun 2010. Dari tahun ke tahun dapat dilihat bahwa jumlah negara dalam masing-masing kategori relatif konstan, kategori dibawah 25 juta dan 25 – 50 juta tidak ada yang berubah sejak 1990 hingga 2010. Terjadi sedikit perubahan di kategori 50 – 100 juta dan diatas 100 juta dengan perbandingan yang tidak terlalu berbeda antara negara yang memindahkan ibukotanya dengan yang tidak memindahkan ibukotanya. Berdasarkan Tabel 8 dapat dilihat bahwa diatas rentang 25 juta, banyak negara yang memindahkan ibukotanya adalah negara dengan jumlah penduduk menengah antara 25 – 50 juta.
31
Karakteristik Negara Berdasarkan Kepadatan Penduduk Kepadatan penduduk adalah salah faktor penting yang dianalisis sebagai bagian dari perumusan kebijakan ekonomi regional. Negara-negara yang dianalisis dalam penelitian ini memiliki jumlah kepadatan penduduk yang bervariasi. Negara yang memiliki jumlah kepadatan penduduk terkecil adalah Mongolia dengan kepadatan penduduk 1 jiwa/ km2 pada tahun 1990, sedangkan negara yang memiliki jumlah kepadatan penduduk terbesar adalah Belanda dengan kepadatan penduduk 493 jiwa/ km2 pada tahun 2010. Tabel 9 Hubungan kepadatan penduduk dengan pemindahan ibukota Jumlah Penduduk Tahun
Keterangan
≤ 50 jiwa
50 – 100 jiwa
101 – 150 jiwa
≥ 151 jiwa
Pindah
7
2
2
2
Tidak Pindah
5
2
4
2
Pindah
6
2
2
3
Tidak Pindah
4
3
4
2
Pindah
4
4
0
5
Tidak Pindah
4
3
4
2
1990
2000
2010
Hubungan kepadatan penduduk dengan pemindahan ibukota dapat dilihat dalam Tabel 9. Negara lebih banyak terkonsentrasi dalam kategori negara dengan kepadatan penduduk dibawah 50 jiwa/ km2. Di tahun 1990 dan 2000 terdapat perbedaan perbandingan antara negara yang memindahkan ibukotanya dengan yang tidak memindahkan ibukotanya dalam kategori kepadatan penduduk dibawah 50 jiwa/ km2. Jika dibandingkan dalam kategori tersebut maka lebih banyak negara yang memindahkan ibukotanya dibandingkan dengan negara yang tidak memindahkan ibukotanya. Pada tahun 2010 jumlah masing-masing negara dalam kategori tersebut sama banyak dengan jumlah empat negara. Berdasarkan tabel dapat dilihat bahwa negara yang memindahkan ibukotanya memiliki kepadatan penduduk yang terus naik dibandingkan dengan negara yang tidak memindahkan ibukotanya. Negara yang tidak memindahkan ibukotanya bahkan jumlahnya konstan dalam tiap kategori di tahun 2000 dan 2010. Kepadatan penduduk di negara yang memindahkan ibukotanya terus naik hingga pada tahun 2010 terdapat lima negara yang memindahkan ibukotanya dalam kategori kepadatan penduduk diatas 150 jiwa/ km2. Hal ini menunjukkan bahwa semakin padat sebuah negara maka negara tersebut cenderung memindahkan ibukotanya.
32
Karakteristik Negara Berdasarkan Bentuk Pemerintahan Bentuk pemerintahan yang dianalisis dalam penelitian ini membagi negara dalam dua kategori yaitu republik dan non-republik. Dalam Gambar 7 dapat dilihat distribusi negara berdasarkan bentuk pemerintahan. Terdapat delapan belas negara yang memiliki bentuk pemerintahan republik dan sisanya yaitu delapan negara memiliki bentuk pemerintahan non-republik. 20 18 16 14 12 10 8 6 4 2 0 Republik
frekuensi negara
Non-Republik
Gambar 7 Distribusi negara berdasarkan bentuk pemerintahan Tabel 10 Hubungan bentuk pemerintahan dengan pemindahan ibukota Bentuk Pemerintahan Keterangan
Total
Republik
Non-Republik
Pindah
9
4
13
Tidak Pindah
9
4
13
Total
18
8
26
Hubungan antara pemindahan ibukota dengan bentuk pemerintahan dapat dilihat dalam Tabel 10. Terdapat masing-masing sembilan negara dengan bentuk pemerintahan republik yang memindahkan dan tidak memindahkan ibukotanya. Selanjutnya terdapat masing-masing empat negara dengan bentuk pemerintahan non-republik yang memindahkan dan tidak memindahkan ibukotanya. Hasil dalam tabel menunjukkan bahwa terdapat keseimbangan hubungan antara bentuk pemerintahan republik dan non-republik. Jumlah antara negara yang pindah dan tidak pindah tepat sama yaitu sembilan untuk bentuk pemerintahan republik dan empat untuk bentuk pemerintahan non-republik. Berdasarkan tabel dapat dilihat
33
bahwa negara yang memindahkan ibukotanya lebih banyak memiliki bentuk pemerintahan republik yaitu sebanyak sembilan negara dibandingkan dengan yang memiliki bentuk pemerintahan non-republik sebanyak empat negara. Karakteristik Negara Berdasarkan Bentuk Wilayah Bentuk wilayah yang dianalisis dalam penelitian ini membagi negara dalam dua kategori yaitu negara kepulauan dan negara non-kepulauan. Dalam Gambar 8 dapat dilihat bahwa terdapat lima negara dengan bentuk wilayah kepulauan dan terdapat 21 negara dengan bentuk wilayah non-kepulauan. 25
20
15
10
5
0 Kepulauan
frekuensi negara
Non-Kepulauan
Gambar 8 Distribusi negara berdasarkan bentuk wilayah Hubungan antara pemindahan ibukota dengan bentuk pemerintahan dapat dilihat dalam Tabel 11. Terdapat tiga negara kepulauan yang memindahkan ibukotanya dan dua negara kepulauan yang tidak memindahkan ibukotanya. Selanjutnya terdapat sepuluh negara non-kepulauan yang memindahkan ibukotanya dan sebelas negara non-kepulauan yang tidak memindahkan ibukotanya. Hasil pada Tabel 11 menunjukkan bahwa lebih banyak negara nonkepulauan yang memindahkan ibukotanya dibandingkan dengan negara kepulauan. Perbedaan jumlah cukup besar dengan sepuluh negara non-kepulauan yang pindah dan tiga negara kepulauan yang pindah. Hal ini menunjukkan bahwa negara nonkepulauan lebih cenderung untuk memindahkan ibukotaya dibandingkan dengan negara kepulauan.
34
Tabel 11 Hubungan bentuk wilayah dengan pemindahan ibukota Bentuk Wilayah Keterangan
Total
Kepulauan
Non-Kepulauan
Pindah
3
10
13
Tidak Pindah
2
11
13
Total
5
21
26
Analisis Faktor-Faktor yang Memengaruhi Pemindahan Ibukota dengan Menggunakan Model Logistik Uji regresi logistik yang dilakukan adalah uji binomial dengan dua kategori variabel dependen, yakni memindahkan ibukota dan tidak memindahkan ibukota. Model regresi logistik yang digunakan dalam penelitian ini adalah model regresi logistik dengan dua pilihan (binnary logistic regression) yaitu regresi logistik dengan dua kategori atau binomial pada variabel dependennya (1 = jika memindahkan ibukota, 0 = jika tidak memindahkan ibukota). Variabel-variabel penjelas yang digunakan dalam model ini terdiri dari lima variabel yaitu GDP per kapita, pertumbuhan ekonomi, luas wilayah, jumlah penduduk, kepadatan penduduk, dan tiga dummy yaitu bentuk pemerintahan, bentuk wilayah, dan tipe ibukota. Tabel 12 dan Tabel 13 menyajikan hasil dari pengujian untuk model logit yang diperoleh, maka interpretasi dari nilai-nilai adalah sebagai berikut : 1. Hasil Hosmer and Lemeshow Test dapat dilihat nilai dari p-value yaitu sebesar 0,82 yang artinya nilai tersebut lebih besar dari taraf nyata 5 persen (0,05) maka tolak H0 yang artinya model logit fit dan dapat diterima serta pengujian hipotesis dapat dilakukan. 2. Nilai Overall Precentage sebesar 78,2 yang artinya model logit mampu mengklasifikasikan secara tepat sebesar 78,2 persen. Tabel 12 Hasil Hosmer and Lemeshow Test dan Overall Percentage Hasil Pengujian Model Hosmer and Lemeshow Test Overall Percentage
Nilai yang Diperoleh 0,82 78,2
35
Tabel 13 Analisis faktor-faktor yang memengaruhi pemindahan ibukota negara Variabel
Koefisien
P-value
Odd Ratio
-39,373
0,001*
0,0001
Pertumbuhan Ekonomi
0,072
0,381
1,074
Luas Wilayah
0,074
0,021*
1,077
Jumlah Penduduk
-0,001
0,067**
0,999
Kepadatan Penduduk
0,014
0,017*
1,014
Bentuk Pemerintahan
-0,849
0,428
0,428
Bentuk Wilayah
-0,383
0,702
1,467
Tipe Ibukota
1,566
0,040*
4,786
Konstanta
-0,136
0,885
0,873
GDP per kapita
Keterangan: * signifikan pada taraf nyata 5% ** signifikan pada taraf nyata 10%
Berdasarkan hasil output pada Tabel 8 maka model logit yang diperoleh adalah:
Tabel 13 menunjukkan hasil dari analisis dengan mengunakan model logistik. Dapat dilihat dalam tabel bahwa terdapat empat variabel yang signifikan yaitu GDP per kapita, luas wilayah, jumlah penduduk, dan kepadatan penduduk. Penjelasan untuk masing-masing varibel akan dijelaskan sebagai berikut: 1. GDP per kapita Hasil model logit diperoleh p-value sebesar 0,001 yang nilainya lebih kecil dari taraf nyata 5 persen (0,05), yang artinya signifikan pada taraf kepercayaan 95 persen sehingga tolak H0. Hal ini menunjukkan bahwa GDP per kapita berpengaruh nyata terhadap peluang pemindahan ibukota. GDP per kapita memiliki koefisien negatif sehingga semakin tinggi GDP maka negara akan semakin tidak memindahkan ibukotanya. Hal ini sesuai dengan hipotesis awal bahwa GDP per kapita berhubungan negatif terhadap pemindahan ibukota. Variabel GDP per kapita memiliki nilai odd ratio sebesar 0,0001 yang artinya semakin tinggi nilai GDP maka peluang untuk tidak memindahkan ibukotanya adalah 0,0001 kalinya dibandingkan dengan memindahkan ibukotanya. Kesimpulan yang didapat adalah semakin tinggi GDP per kapita suatu negara maka negara tersebut cenderung tidak memindahkan ibukotanya, begitu juga sebaliknya. Hal ini menunjukkan bahwa negara maju dengan GDP per kapita yang lebih besar biasanya memiliki tata kota yang lebih baik sehingga lebih sedikit mengalami masalah demografi dan perkotaan.
36
Selain itu banyak negara yang memindahkan ibukotanya dengan tujuan pemerataan dan peningkatan ekonomi nasional, sehingga negara-negara dengan GDP per kapita rendah lebih memiliki kecenderungan untuk memindahkan ibukotanya dengan harapan mendapatkan keuntungan dalam sisi ekonomi. 2. Pertumbuhan Ekonomi Hasil model logit diperoleh p-value sebesar 0,381 yang nilainya lebih besar dari taraf nyata 5 persen (0,05) yang artinya terima H0. Hal ini memiliki arti bahwa pertumbuhan ekonomi tidak berpengaruh nyata terhadap peluang pemindahan ibukota. Variabel pertumbuhan ekonomi juga memiliki nilai odd ratio sebesar 1,074 yang artinya semakin tinggi nilai pertumbuhan ekonomi maka peluang untuk tidak memindahkan ibukotanya adalah 1,074 kalinya dibandingkan dengan memindahkan ibukotanya. Hasil ini berbeda dengan hipotesis awal bahwa pertumbuhan ekonomi berhubungan negatif terhadap pemindahan ibukota. Pertumbuhan ekonomi berhubungan positif terhadap pemindahan ibukota karena pertumbuhan ekonomi tidak selalu mencerminkan kemajuan suatu negara. Pertumbuhan ekonomi seringkali dipengaruhi oleh situasi ekonomi lokal dan global sebuah negara yang tidak dapat menunjukkan status maju atau tidaknya sebuah negara. Banyak negara maju yang ternyata memiliki pertumbuhan ekonomi yang lebih rendah dibandingkan dengan negara berkembang, dan sebaliknya. 3. Luas Wilayah Luas wilayah adalah bagian penting dalam tata wilayah dalam wilayah perkembangan urban. Dalam penelitian didapatkan hasil model logit p-value sebesar 0,074 yang nilainya lebih kecil dari taraf nyata 5 persen (0,05), yang artinya signifikan pada taraf kepercayaan 95 persen sehingga tolak H0. Hal ini menunjukkan bahwa luas wilayah berpengaruh nyata terhadap peluang pemindahan ibukota. Variabel luas wilayah berbeda dengan hipotesis awal karena ternyata luas wilayah memiliki koefisien positif sehingga semakin luas wilayah sebuah negara maka negara akan cenderung memindahkan ibukotanya. Semakin luas wilayah maka semakin luas pula berbagai kemungkinan dan kebijakan yang diambil oleh pemerintah. Hal ini menunjukkan bahwa semakin luas wilayah sebuah negara, negara tersebut akan memiliki lebih banyak pilihan untuk mengatasi masalah demografi dan kependudukan. Salah satu pilihan dan solusi yang bisa diambil oleh negara adalah memindahkan ibukotanya. Solusi pemindahan ibukota memerlukan banyak pilihan dalam hal spasial, dan dengan semakin luas wilayah sebuah negara maka negara tersebut akan semakin memiliki banyak pilihan dalam kebijakan spasialnya. Variabel luas wilayah juga memiliki nilai odd ratio sebesar 1,077 yang artinya semakin tinggi luas wilayah maka peluang untuk memindahkan ibukotanya adalah 1,077 kalinya dibandingkan dengan tidak memindahkan ibukotanya. 4. Jumlah Penduduk Faktor penduduk adalah salah satu hal utama yang memengaruhi perkembangan suatu kota. Bertambahnya jumlah penduduk karena adanya penambahan alami maupun karena migrasi berpengaruh dalam kebijakan
37
suatu kota karena termasuk dalam hal yang memengaruhi masalah demografi. Hasil model logit diperoleh p-value sebesar 0,067 yang nilainya lebih kecil dari taraf nyata 10 persen (0,1) yang artinya tolak H0. Hal ini memiliki arti bahwa jumlah penduduk berpengaruh nyata terhadap peluang pemindahan ibukota. Jumlah penduduk memiliki koefisien negatif yaitu 0,001 yang berbeda dengan hipotesis awal. Jumlah penduduk memiliki koefisien negatif yang artinya semakin tinggi jumlah penduduk maka negara cenderung untuk tidak memindahkan ibukotanya. Hal ini dikarenakan jumlah penduduk tidak selalu berbanding lurus dengan kepadatan. Banyak masalah perkotaan yang disebabkan bukan hanya oleh jumlah penduduk, tapi juga lonjakan kepadatan. Jumlah penduduk yang besar tidak langsung menunjukkan bahwa negara tersebut memiliki masalah perkotaan pada ibukotanya. Variabel jumlah penduduk juga memiliki nilai odd ratio sebesar 0,999 yang artinya semakin tinggi jumlah penduduk maka peluang untuk tidak memindahkan ibukotanya adalah 0,999 kalinya dibandingkan dengan memindahkan ibukotanya. 5. Kepadatan Penduduk Kepadatan yang terlalu tinggi akan menimbulkan berbagai permasalahan kota seperti masalah demografi, dan lingkungan. Hasil model logit diperoleh p-value sebesar 0,017 yang nilainya lebih kecil dari taraf nyata 5 persen (0,05), yang artinya signifikan pada taraf kepercayaan 95 persen sehingga tolak H0. Hal ini menunjukkan bahwa kepadatan penduduk berpengaruh nyata terhadap peluang pemindahan ibukota. Kepadatan penduduk memiliki koefisien positif sehingga semakin padat penduduknya maka negara akan semakin memindahkan ibukotanya. Hal ini sesuai dengan hipotesis awal bahwa kepadatan penduduk berpengaruh positif terhadap pemindahan ibukota. Kepadatan yang tinggi dan tak terkendali akan menimbulkan berbagai permasalahan kota sehingga semakin tinggi kepadatan penduduk sebuah negara maka negara tersebut akan semakin memindahkan ibukotanya. Masalah yang ditimbulkan tingginya kepadatan penduduk antara lain menurunnya kualitas hidup, terbentuknya area kumuh, degradasi lingkungan, tingginya harga, dan disparitas ekonomi. Variabel kepadatan penduduk juga memiliki nilai odd ratio sebesar 1,014 yang artinya semakin tinggi nilai kepadatan penduduk maka peluang untuk memindahkan ibukotanya adalah 1,014 kalinya dibandingkan dengan tidak memindahkan ibukotanya. 6. Bentuk Pemerintahan Hasil model logit diperoleh p-value sebesar 0,428 yang nilainya lebih besar dari taraf nyata 5 persen (0,05) yang artinya terima H0. Hal ini memiliki arti bahwa bentuk pemerintahan tidak berpengaruh nyata terhadap peluang pemindahan ibukota. Bentuk pemerintahan memiliki koefisien negatif sehingga negara dengan bentuk pemerintahan republik lebih cenderung untuk tidak memindahkan ibukotanya dibandingkan negara dengan bentuk pemerintahan non-republik. Hal ini sesuai dengan hipotesis karena negara republik biasanya memiliki sistem pemerintahan demokrasi. Sistem demokrasi adalah sistem pemerintahan dimana warga negara lebih bebas untuk mengungkapkan pendapatnya. Pada sistem demokrasi, jika pemerintah tidak dapat meyakinkan rakyatnya untuk memindahkan
38
ibukotanya maka hal ini akan membuka peluang adanya kontroversi, penolakan, diskusi yang berlarut-larut, dan gagalnya rencana pemerintah. Selain itu, kebijakan pemindahan ibukota dalam sejarahnya banyak dilakukan oleh pemimpin yang kuat dan ambisius dibandingkan dengan melalui kekuatan demokrasi. 7. Bentuk Wilayah Hasil model logit diperoleh p-value sebesar 0,702 yang nilainya lebih besar dari taraf nyata 5 persen (0,05) yang artinya terima H0. Hal ini memiliki arti bahwa bentuk wilayah tidak berpengaruh nyata terhadap peluang pemindahan ibukota. Bentuk wilayah memiliki koefisien negatif sehingga negara dengan bentuk wilayah kepulauan lebih cenderung untuk tidak memindahkan ibukotanya dibandingkan negara dengan bentuk pemerintahan non-kepulauan. Hal ini berbeda dengan hipotesis awal dimana negara kepulauan lebih cenderung untuk memindahkan ibukotanya. Kecenderungan ini timbul ini dikarenakan negara kepulauan memiliki wilayah yang terpisah-pisah oleh laut dimana mobilitas relatif lebih sulit dibandingkan dengan negara non-kepulauan. Bentuk wilayah yang terpisahpisah membuat negara kepulauan lebih sulit untuk memindahkan ibukotanya karena mobilisasi sumber daya manusia dan ekonomi yang akan lebih sulit dan mahal dibandingkan dengan negara bukan kepulauan. 8. Tipe Ibukota Hasil model logit diperoleh p-value sebesar 0,040 yang nilainya lebih besar dari taraf nyata 5 persen (0,05) yang artinya terima H0. Hal ini memiliki arti bahwa tipe ibukota berpengaruh nyata terhadap peluang pemindahan ibukota. Bentuk wilayah memiliki koefisien positif sehingga negara yang memutuskan untuk membentuk ibukotanya dengan tipe split capitals yaitu memisahkan ibukotanya akan lebih sukses dalam pemindahan ibukotanya. Hal ini sesuai dengan hipotesis awal dimana pemilihan bentuk split capitas memiliki hasil positif terhadap peluang negara untuk memindahkan ibukotanya. Hal ini dikarenakan memecah ibukota menjadi dua adalah hal yang lebih memungkinkan dalam pemindahan ibukota. Sumberdaya yang sudah memusat di ibukota lama yang tidak mungkin untuk ditinggalkan sehingga ibukota lama membutuhkan peran baru dalam pemerintahan agar sumberdayanya tidak disia-siakan. Selain itu hal ini dapat menekan biaya relokasi dan pembuatan ibukota baru. Kebijakan pemecahan ibukota menjadi lebih dari satu akan meningkatkan peluang sukses sebuah negara untuk memindahkan ibukotanya. Hubungan antara Hasil Analisis dengan Kondisi di Indonesia Hasil menunjukkan bahwa negara-negara yang memindahkan ibukotanya umumnya adalah negara berkembang. Negara-negara ini memiliki GDP per kapita yang rendah, luas wilayah yang besar, jumlah penduduk yang besar, dan kepadatan penduduk yang tinggi. Indonesia sebagai negara berkembang memiliki karakteristik yang hampir mirip dengan hal tersebut. Indonesia memiliki GPD per kapita menengah bawah, luas wilayah yang sangat besar dengan urutan terbesar ke-15 di seluruh dunia. Indonesia juga memiliki jumlah penduduk yang besar di urutan ke-4 terbesar di dunia dan memiliki kepadatan penduduk yang tinggi
39
khususnya di kota-kota besar. Hal ini menunjukkan bahwa Indonesia memiliki peluang besar untuk memindahkan ibukotanya karena Indonesia masih termasuk negara berkembang. Dari analisis faktor-faktor yang memingkatkan peluang pemindahan ibukota dengan menggunakan model logistik, GDP per kapita, luas wilayah, jumlah penduduk, kepadatan penduduk, dan tipe ibukota adalah faktor-faktor yang meningkatkan peluang negara untuk memindahkan ibukotanya. Semakin tinggi GDP per kapita sebuah negara maka akan menurunkan peluang negara tersebut untuk memindahkan ibukotanya. Semakin luas wilayah sebuah negara maka akan meningkatkan peluang negara tersebut untuk memindahkan ibukotanya. Dalam kepadatan penduduk, semakin padat sebuah negara maka akan meningkatkan peluang negara tersebut untuk memindahkan ibukotanya. Terakhir, pemindahan ibukota dengan tipe split capitals akan meningkatkan peluang sukses untuk memindahkan ibukotanya. Kondisi Indonesia saat ini masih memiliki GDP per kapita menengah kebawah, selain itu Indonesia juga memiliki luas wilayah yang besar yang masih bisa dieksplorasi dan dibangun menjadi kota-kota baru. Selanjutnya Indonesia memiliki kepadatan penduduk yang tinggi sehingga meningkatkan peluangnya untuk memindahkan ibukota. Berdasarkan hal tersebut, pemindahan ibukota Indonesia adalah hal yang sangat mungkin. Pemindahan ibukota diharapkan akan menjadi kebijakan yang bermanfaat untuk mengatasi permasalahan regional maupun nasional. Pemindahan ibukota ke daerah yang tepat diharapkan dapat mengatasi berbagai permasalahan ibukota lama dan meningkatkan pemerataan pembangunan yang selama ini terpusat di Jakarta. Dalam pemilihan tipe ibukota, akan lebih baik jika Indonesia menggunakan tipe split capitals dimana ibukota dipisah sesuai dengan perannya masing-masing. Secara historis, dari tiga belas negara yang telah memindahkan ibukotanya pasca Perang Dunia ke-2, setidaknya terdapat enam negara yang memiliki tipe split capitals yaitu memisahkan ibukotanya. Negara-negara tersebut adalah Montenegro (Podgorica dan Cetinje), Myanmar (Naypyidaw dan Rangoon), Nigeria (Lagos dan Abuja), Pantai Gading (Yamoussoukro dan Abidjan), Sri Lanka (Colombo dan Sri Jayawardenapura Kotte), serta Tanzania (Dodoma dan Dar Es Salaam). Hal ini menunjukkan hampir setengah negara yang sukses menindahkan ibukotanya menggunakan tipe split capitals dalam membangun ibukota baru. Pemisahan ini dilakukan karena sumberdaya yang telah ada dan berkembang di ibukota lama seperti infrastruktur, pusat ekonomi, sumber daya manusia, kemudahan akses, dan sebagainya akan sia-sia jika tidak dimanfaatkan. Pemisahan ibukota biasanya terbagi menjadi kota yang memiliki peran utama masing-masing misalnya Malaysia yang menjadikan Kuala Lumpur sebagai ibukota resmi, ibukota kerajaan, dan pusat legislatif, sementara Putra Jaya dijadikan sebagai pusat administratif dan pusat peradilan (yudikatif). Selain itu ada pula Sri Lanka yang menjadikan Colombo sebagai pusat komersial ekonomi, pemerintahan eksekutif, dan peradilan, sementara Sri Jayawardenapura Kotte dijadikan sebagai pusat lembaga legislatif. Jakarta telah menjadi pusat perekonomian, pemerintahan, peradilan, legislatif, dan memiliki sumberdaya manusia maupun infrastruktur yang maju dibanding daerah lain di Indonesia. Jakarta sudah memiliki semua hal yang diperlukan untuk menjalankan sebuah pemerintahan negara. Hal ini menyebabkan
40
pemindahan semua fungsi pemerintahan negara dari Jakarta ke daerah lain akan memakan biaya yang sangat besar karena pembangunan infrastruktur dan pendukung di daerah baru akan sangat mahal. Biaya pemindahan ibukota negara akan sangat besar, namun di sisi lain kerugian bila ibukota tetap di Jakarta pun juga besar. Melihat hal ini, akan lebih baik jika pemerintah lebih serius dalam kajiannya untuk memindahkan ibukota. Pemindahan ibukota ke kota baru pun akan mendorong adanya arah pembangunan yang lebih merata dan tidak terpusat di Jakarta. Hal ini juga menghindari Indonesia dari perekonomian nasional yang sangat tergantung pada laju pesat perekonomian segelintir kota besar yang menjadi pusat segala kegiatan. Hal ini dapat dilihat dari Jakarta yang menjadi pusat segala kegiatan ekonomi dan pemerintahan padahal kondisi ini yang disertai dengan kehidupan sosial-ekonomi yang kontras di dalamnya akan membahayakan perekonomian nasional itu sendiri. Gurr dalam Visi Indonesia 2033 mengatakan bahwa hal tersebut akan menimbulkan potensi ledakan sosial dan politik yang bersumber pada deprivasi relatif (relative depreviation) yang berupa kesenjangan dan ketidakpuasan yang terjadi di berbagai elemen masyarakat. Jika pemerintah ingin melaksanakan pemindahan ibukota negara, Jakarta dapat dimanfaatkan sebagai pusat perekonomian agar sumberdaya yang telah terkumpul tidak disia-siakan. Selain itu hal ini dapat menekan biaya pembangunan di ibukota baru yang diestimasi sebesar 100 triliun dalam 10 tahun pembangunan. Selanjutnya ibukota baru dapat dibangun dengan peran sebagai pusat pemerintahan dimana kota tersebut bebas dari berbagai masalah perkotaan dan kependudukan yang selama ini melanda Jakarta. Selain itu tipe split capitals juga bermanfaat untuk dapat mengurangi beban ibukota baru dalam menjalankan perannya karena sebagian tugas sudah dilaksanakan oleh ibukota lama.
SIMPULAN DAN SARAN Simpulan Negara-negara yang memindahkan ibukotanya umumnya adalah negara berkembang. Negara-negara yang memindahkan ibukotanya pasca Perang Dunia ke-2 belum memiliki karakteristik perekonomian sebaik negara maju. Negaranegara ini memiliki GDP per kapita yang rendah, luas wilayah yang besar, jumlah penduduk yang besar, dan kepadatan penduduk yang tinggi. Berdasarkan hasil analisis faktor-faktor yang memengaruhi pemindahan ibukota dapat disimpulkan bahwa GDP per kapita, luas wilayah, jumlah penduduk, kepadatan penduduk, dan tipe ibukota adalah faktor-faktor yang memengaruhi peluang negara untuk memindahkan ibukotanya. Saran Dalam kajian pemindahan ibukota, sebaiknya pemerintah memberikan perhatian yang besar terhadap perekonomian makro negara khususnya GDP per kapita, serta proyeksi dan rencana jangka panjang dalam pembangunan regional. Kestabilan ekonomi makro diperlukan agar perekonomian Indonesia lebih stabil
41
sehingga apapun kebijakan mengenai pemindahan ibukota di masa depan akan lebih mudah dan tidak mengganggu kestabilan ekonomi dan politik negara. Indonesia masih sangat berpeluang untuk memindahkan ibukotanya. Dalam rencana pemindahan ibukota, pemerintah sebaiknya menggunakan tipe split capitals karena tipe ini lebih memungkinkan untuk dilakukan. Pemberian peran baru kepada ibukota lama akan menekan biaya pembangunan dan membuat sumberdaya dari ibukota lama bisa terus dimanfaatkan. Disisi lain beban ibukota baru akan lebih terbantu jika sebagian perannya dimaksimalkan oleh ibukota lama. Pemerintah perlu melakukan kebijakan demografi berupa pengaturan jumlah dan pemerataan sebaran kepadatan penduduk sehingga tidak terjadi penumpukan penduduk di ibukota. Selain itu pemerintah harus melakukan desentralisasi pembangunan agar perekonomian lebih merata dan menghindari pemusatan kegiatan perekonomian di ibukota.
DAFTAR PUSTAKA Analisadaily. 2013 Mar. Kemana Istana Negara Akan Diboyong? [internet]. Analisadaily. Tersedia pada http://www.analisadaily.com Ardian, B. 2007. Teori Pertumbuhan Kota [internet]. Tersedia pada http://www.p2kp.org Badan Pusat Statistik (ID). 2013. Informasi Statistik DKI Jakarta 2012. Badan Pusat Statistik DKI Jakarta. _____________________. 2013. Statistik Indonesia, Statistical Yearbook of Indonesia 2013. Badan Pusat Statistik. Campbell, S. 2004. The Enduring Importance of National Capital Cities in the Global Era. URRC. 03(08):1-32. Dascher, K. 2000. Are Politics and Geography Related?: Evidence from a Crosssection of Capital Cities. Public Choice. 105: 373-392. Firdaus, M. 2008. Aplikasi Metode Kuantitatif Terpilih Untuk Manajemen dan Bisnis. Bogor (ID): IPB Pr. Ghozali, I. 2006. Aplikasi Analisis Multivariate dengan Program SPSS. Semarang (ID): BP UNDIP. Hall, P. 2006. Seven Types of Capital City. Didalam: Gordon P, editor. Planning Twentieth Century Capital Cities. London (GB): Routledge. Hosmer D, Lemeshow S. 1989. Applied Logistic Regression. New York (US): John Wiley and Sons Inc. [IDRE] Institute for Digital Research and Education. 2013. Annotated SPSS Output Multinomial Logistic Regression [internet]. Los Angeles (US): University of California. Tersedia pada http://www.ats.ucla.edu/stat/spss/ output/mlogit.htm Juanda, B. 2009. Ekonometrika Pemodelan dan Pendugaan. Bogor (ID): IPB Pr. Juanda, B. 2009. Metodologi Penelitian Ekonomi dan Bisnis, Ed ke-2. Bogor (ID): IPB Pr.
42
Kirmanto, D. 2010. Keberlanjutan Jakarta Sebagai Ibu Kota Negara dan Kota Pusat Pemerintahan [internet]. Jakarta (ID): Kementerian PU RI. [diunduh 28 Februari 2013]. Tersedia pada http://www.penataanruang.net/ taru/upload/paper/KeynoteMPU_PSIL_221110.pdf Mankiw, N G. 2008. Makroekonomi, Ed ke-6. Jakarta (ID): Erlangga. Marangkup H, Ulin E. 2006. Identifikasi Pola Pengembangan Daerah Pinggiran dan Pola Jaringan Jalan Kota Semarang [skripsi]. Semarang (ID): Universitas Diponegoro. Mirlanda, A M. 2011. Kerugian Ekonomi Akibat Kemacetan Lalu Lintas di Ibukota [skripsi]. Depok (ID): Universitas Indonesia. Novita, F. 2003. Pengaruh Perkembangan Ekonomi Kota Bandar Lampung Terhadap Perkembangan Kawasan Pesisir [tesis]. Semarang (ID): Universitas Diponegoro. Pusat Kajian Strategis Kementerian PU. 2012. Kebijakan Mengatasi Kemacetan di Jakarta: Menuju Penguatan Peran Departemen PU [internet]. Jakarta (ID): Kementerian PU RI. Tersedia pada http://www.pu.go.id/isustrategis/ view/24 Rawat, R. 2005. Capital City Relocation: Global-Local Perspective in The Search for an Alternative Modernity [internet]. [diunduh 28 Februari 2013]. Rukmana, D. 2010. Pemindahan Ibukota Negara [internet]. Savannah (US): Savannah State University. [diunduh 28 Februari 2013]. Tersedia pada http://bulletin.penataanruang.net/upload/data_artikel/edisi5i.pdf Schatz, E. 2003. When Capital Cities Move: The Political Geography of Nation and State Building. Kellog Institute. 303:1-29. Schatz, E. 2004. What Capital Cities Say About State and nation Building. Nationalism and Ethnic Politics, 9:111–140. doi: 10.1080/ 13537110390444140. [Setkab] Sekretariat Kabinet RI. 2013 Okt. Soal Pemindahan Ibukota, Julian: Belum Ada Opsi Kota Yang Dianggap Layak [internet]. Sekretariat Kabinet RI. Tersedia pada http://setkab.go.id/berita-10204-soal- pemindahanibukota-julian-belum-ada-opsi-kota-yang-dianggap-layak.html Sihombing, M N. 2012. Pengaruh Pengeluaran Pemerintah dan Pertumbuhan Ekonomi Terhadap Penerimaan Pajak di Indonesia [skripsi]. Bandung (ID): Universitas Komputer Indonesia. Sutikno. 2007. Perpindahan Ibukota Negara Suatu Keharusan Atau Wacana?. Di dalam Diskusi Sejarah, Kota dan Perubahan Sosial Dalam Perspektif Sejarah; 2007 Apr 11-12; Yogyakarta (ID): Balai Pelestarian Sejarah dan Nilai Tradisional Yogyakarta. Tempo.co. 2010 Nov. Andrinof: Kita Belum Memiliki Ibukota Berkelas Dunia [internet]. Tempo Media Group. Tersedia pada http://www.tempo.co/read/ news/2010/11/15/173292054/Andrinof-Kita-Belum-Memiliki-IbukotaBerkelas-Dunia Todaro MP, Smith SC. 2003. Pembangunan Ekonomi di Dunia Ketiga, Ed ke-8. Jakarta (ID): Erlangga. [UN] United Nations. 1994. United Nations Convention on the Law of the Sea, Montego Bay (JM): UN.
43
Visi Indonesia 2033 (ID). 2010. Pemindahan Ibu Kota ke Kalimantan: Lorong Keluar dari Berbagai Paradoks Pembangunan, Menuju Indonesia yang Tertata [internet]. Jakarta (ID): Visi Indonesia 2033. Tersedia pada http://www.visi2033.or.id/news_8.htm Wolfel, R L. 2002. North to Astana: Nationalistic Motives for the Movement of the Kazakh Capital. Nationalities Papers, 30(3):485-506. doi:10.1080/ 0090599022000011723. Worldbank. 2004. Beyond Economic Growth, An Introduction to Sustainable Development. WBI Learning Resources Series, 2nd Ed. Washington (US): The World Bank. Yunia L, Rozi S. 2007. Wacana Pemindahan Ibukota di Indonesia (Studi Kasus Opini Mahasiswa, Dosen, dan Karyawan IISIP Jakarta). IISIP Jakarta.
44
LAMPIRAN Lampiran 1 Daftar negara yang diteliti No. Negara Keterangan Ibukota 1 Argentina tidak pindah 2 Australia tidak pindah 3 Belanda tidak pindah 4 Bolivia tidak pindah 5 Ceko tidak pindah 6 Cina tidak pindah 7 Indonesia tidak pindah 8 Italia tidak pindah 9 Kamboja tidak pindah 10 Meksiko tidak pindah 11 Mesir tidak pindah 12 Mongolia tidak pindah 13 Portugal tidak pindah 14 Belize pindah 15 Brasil pindah 16 Filipina pindah 17 Guinea Bissau pindah 18 Kazakhstan pindah 19 Malawi pindah 20 Montonegro pindah 21 Myanmar pindah 22 Nigeria pindah 23 Pakistan pindah 24 Pantai Gading pindah 25 Sri Lanka pindah 26 Tanzania pindah
45
Lampiran 2 Data GDP per kapita (dolar AS) No. 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20 21 22 23 24 25 26
Negara Argentina Australia Belanda Bolivia Ceko Cina Indonesia Italia Kamboja Meksiko Mesir Mongolia Portugal Belize Brasil Filipina Guinea Bissau Kazakhstan Malawi Montenegro Myanmar Nigeria Pakistan Pantai Gading Sri Lanka Tanzania
Tahun 1990 4330 18251 19722 731 3787 314 621 20065 106 3116 759 1168 7779 2185 3087 719 240 1647 200 2171 231 292 358 862 472 172
2000 7696 11471 24180 1011 5725 949 773 19388 294 5817 1476 471 11471 3330 3696 1048 174 1229 155 1556 459 372 512 628 855 308
2010 9124 43100 46623 1979 18910 4433 2952 33787 795 9128 2698 2250 21538 4057 10993 2140 551 9070 362 6510 702 1443 1017 1161 2400 527
46
Lampiran 3 Data pertumbuhan ekonomi (persen) No. 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20 21 22 23 24 25 26
Negara Argentina Australia Belanda Bolivia Ceko Cina Indonesia Italia Kamboja Meksiko Mesir Mongolia Portugal Belize Brasil Filipina Guinea Bissau Kazakhstan Malawi Montenegro Myanmar Nigeria Pakistan Pantai Gading Sri Lanka Tanzania
Tahun 1990 -2.4 3.6 4.2 4.6 -1.2 3.8 9 2 1.1 5.1 5.7 -3.2 4 10.6 -4.3 3 6.1 -8.15 5.7 -4.8 2.8 8.2 4.5 -1.1 6.4 7
2000 -1 4 4 3 4 8 5 4 9 7 5 1 4 13 4 4 8 10 2 3 13.7 5 4 -4 6 5
2010 9.2 2.3 1.6 4.1 7.5 10.4 6.2 1.8 6 5.5 5.1 6.4 1.4 2.9 7.5 7.6 3.5 7.3 6.5 2.5 5.2 7.9 3.5 2.4 8 7
47
Lampiran 4 Data luas wilayah (km2) No.
Negara
Luas Wilayah
1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20 21 22 23 24 25 26
Argentina Australia Belanda Bolivia Ceko Cina Indonesia Italia Kamboja Meksiko Mesir Mongolia Portugal Belize Brasil Filipina Guinea Bissau Kazakhstan Malawi Montenegro Myanmar Nigeria Pakistan Pantai Gading Sri Lanka Tanzania
2736690 7682300 33730 1083300 77250 9327480 1811570 294140 176520 1943950 995450 1553560 91470 22810 8459420 298170 28120 2699700 94280 13450 653520 910770 770880 318000 62710 885800
48
Lampiran 5 Data jumlah penduduk (jiwa) No. 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20 21 22 23 24 25 26
Negara Argentina Australia Belanda Bolivia Ceko Cina Indonesia Italia Kamboja Meksiko Mesir Mongolia Portugal Belize Brasil Filipina Guinea Bissau Kazakhstan Malawi Montenegro Myanmar Nigeria Pakistan Pantai Gading Sri Lanka Tanzania
Tahun 1990 32642442 7677850 14951510 6658462 10333355 1135185000 184345939 56719240 9531928 84306602 56843275 2192553 9983218 189000 149650206 61628668 1016695 16348000 9380892 608816 39268304 97552057 111844679 12517730 17015000 25478979
2000 36930709 19153000 15925513 8307248 10272322 1262645000 213395411 56942108 12446949 99959594 67648419 2411369 10225836 249800 174425387 77309965 1240655 14883626 11228756 632606 44957660 123688536 144522192 16581653 19102000 34038161
2010 40412376 22299800 16615394 9929849 10519792 1337825000 239870937 60483385 14138255 113423047 113423047 2756001 10637346 344700 194946470 93260798 1515224 16323287 14900841 631490 47963012 158423182 173593383 19737800 20653000 44841226
49
Lampiran 6 Data kepadatan penduduk (jiwa/ km2) No. 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20 21 22 23 24 25 26
Negara Argentina Australia Belanda Bolivia Ceko Cina Indonesia Italia Kamboja Meksiko Mesir Mongolia Portugal Belize Brasil Filipina Guinea Bissau Kazakhstan Malawi Montenegro Myanmar Nigeria Pakistan Pantai Gading Sri Lanka Tanzania
Tahun 1990 12 2 443 6 134 122 102 193 54 43 57 1 109 8 18 207 36 6 100 45 60 107 145 39 271 29
2000 13 2 472 8 133 135 118 194 71 51 68 2 112 11 21 259 44 6 119 47 69 136 187 52 305 38
2010 15 3 493 9 136 143 132 206 80 58 81 2 116 15 23 313 54 6 158 47 73 174 225 62 329 51
50
Lampiran 7 Data bentuk pemerintahan No.
Negara
Bentuk Negara
1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20 21 22 23 24 25 26
Argentina Australia Belanda Bolivia Ceko Cina Indonesia Italia Kamboja Meksiko Mesir Mongolia Portugal Belize Brasil Filipina Guinea Bissau Kazakhstan Malawi Montenegro Myanmar Nigeria Pakistan Pantai Gading Sri Lanka Tanzania
republik non-republik republik republik republik republik republik republik non-republik non-republik republik republik republik non-republik non-republik republik non-republik republik republik republik republik non-republik republik republik republik republik
51
Lampiran 8 Data bentuk wilayah No.
Negara
Bentuk Wilayah
1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20 21 22 23 24 25 26
Argentina Australia Belanda Bolivia Ceko Cina Indonesia Italia Kamboja Meksiko Mesir Mongolia Portugal Belize Brasil Filipina Guinea Bissau Kazakhstan Malawi Montenegro Myanmar Nigeria Pakistan Pantai Gading Sri Lanka Tanzania
non-kepulauan non-kepulauan non-kepulauan non-kepulauan non-kepulauan non-kepulauan kepulauan kepulauan non-kepulauan non-kepulauan non-kepulauan non-kepulauan non-kepulauan non-kepulauan non-kepulauan kepulauan kepulauan non-kepulauan non-kepulauan non-kepulauan non-kepulauan non-kepulauan non-kepulauan non-kepulauan kepulauan non-kepulauan
52
Lampiran 9 Data tipe ibukota No. Negara 1 Argentina 2 Australia 3 Belanda 4 Bolivia 5 Ceko 6 Cina 7 Indonesia 8 Italia 9 Kamboja 10 Meksiko 11 Mesir 12 Mongolia 13 Portugal 14 Belize 15 Brasil 16 Filipina 17 Guinea Bissau 18 Kazakhstan 19 Malawi 20 Montonegro 21 Myanmar 22 Nigeria 23 Pakistan 24 Pantai Gading 25 Sri Lanka 26 Tanzania
Tipe Ibukota tidak dipisah tidak dipisah dipisah dipisah tidak dipisah tidak dipisah tidak dipisah tidak dipisah tidak dipisah tidak dipisah tidak dipisah tidak dipisah tidak dipisah tidak dipisah tidak dipisah tidak dipisah tidak dipisah tidak dipisah tidak dipisah dipisah dipisah dipisah tidak dipisah dipisah dipisah dipisah
53
Lampiran 10 Output Logistic Regression Omnibus Tests of Model Coefficients Chi-square Step 1
df
Sig.
Step
41,804
8
,000
Block
41,804
8
,000
Model
41,804
8
,000
Model Summary
Step
Cox & Snell R
Nagelkerke R
Square
Square
-2 Log likelihood
1
66,327
a
,415
,553
a. Estimation terminated at iteration number 7 because parameter estimates changed by less than ,001.
Hosmer and Lemeshow Test Step
Chi-square
1
df
4,421
Sig. 8
,817
Classification Table
a
Predicted Y Observed Step 1
Y
tidak pindah tidak pindah pindah
Overall Percentage
a. The cut value is ,500
Percentage pindah
Correct
29
10
74,4
7
32
82,1 78,2
54
Variables in the Equation
B Step 1
a
GDP
S.E.
Wald
df
Sig.
Exp(B)
-39,373
11,623
11,476
1
,001
,000
Growth
,072
,082
,766
1
,381
1,074
luas
,074
,032
5,315
1
,021
1,077
JML
-,001
,001
3,363
1
,067
,999
bentuknegara
-,849
,796
1,138
1
,286
,428
bentukwilayah
,383
1,001
,147
1
,702
1,467
kepadatan
,014
,006
5,681
1
,017
1,014
tipeibukota
1,566
,761
4,229
1
,040
4,786
Constant
-,136
,945
,021
1
,885
,873
Variables in the Equation 95% C.I.for EXP(B) Lower Step 1
a
Upper
GDP
,000
,000
Growth
,914
1,242
luas
1,005
1,131
JML
,997
1,000
bentuknegara
,155
2,516
bentukwilayah
,136
5,825
1,002
1,025
kepadatan Constant
a. Variable(s) entered on step 1: GDP, Growth, luas, JML, bentuknegara, bentukwilayah, kepadatan.
55
RIWAYAT HIDUP Penulis bernama Ecky Agassi, lahir pada 21 Oktober 1989 di Bogor. Penulis adalah anak pertama dari tiga bersaudara dari pasangan Bapak Supangat dan Ibu Sundari Ratnaningrum. Penulis mendapatkan pendidikan menengah atas di SMA Negeri 1 Depok dan lulus pada tahun 2007. Pada tahun 2008 penulis melanjutkan pendidikan ke jenjang perguruan tinggi di Institut Pertanian Bogor (IPB) melalui ujian Seleksi Nasional Masuk Perguruan Tinggi Negeri (SNMPTN) dan diterima di Program Studi Ekonomi dan Studi Pembangunan, Departemen Ilmu Ekonomi, Fakultas Ekonomi dan Manajemen (FEM). Selama menjadi mahasiswa, penulis aktif di berbagai kegiatan pemuda dan kemahasiswaan. Pada Tingkat Persiapan Bersama (TPB) penulis menjadi ketua Dewan Perwakilan Mahasiswa (DPM) TPB IPB. Pada tingkat dua penulis masih berkecimpung di dunia legislatif kampus di Komisi 2 DPM FEM. Pada tingkat tiga penulis aktif di kegiatan Badan Ekskutif Mahasiswa (BEM) dengan menjadi ketua Departemen Komisi dan Informasi. Penulis pernah menjadi delegasi IPB dalam Konferensi Mahasiswa Ekonomi Indonesia (KMEI) yang diselenggarakan pada tahun 2011 oleh BEM Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia. Pada tahun 2012 penulis berserta tim berhasil lolos Pekan Kreativitas Mahasiswa bidang penelitian yang didanai Direktorat Pendidikan Tinggi (Dikti). Selain berorganisasi, penulis juga menjadi pekerja lepas di bidang desain grafis, web developer, fotografi, dan sudah pernah bekerja dengan klien dalam skala pribadi maupun perusahaan.