PEMIKIRAN PROF. DR. ZAKIAH DARADJAT, MA. TENTANG PENDIDIKAN MORAL (Analisis Buku Membina Nilai-nilai Moral Di Indonesia)
SKRIPSI Diajukan untuk Memperoleh Gelar Sarjana Pendidikan (S.Pd)
Oleh: ZAKIYATUL FITRI NIM: 111-12-135
PROGRAM STUDI PENDIDIKAN AGAMA ISLAM (PAI) FAKULTAS TARBIYAH DAN ILMU KEGURUAN (FTIK) INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI (IAIN) SALATIGA TAHUN 1437 H/ 2016 M
PEMIKIRAN PROF. DR. ZAKIAH DARADJAT, MA. TENTANG PENDIDIKAN MORAL (Analisis Buku Membina Nilai-nilai Moral di Indonesia)
SKRIPSI Diajukan untuk Memperoleh Gelar Sarjana Pendidikan (S.Pd)
Oleh: ZAKIYATUL FITRI NIM: 111-12-135
PROGRAM STUDI PENDIDIKAN AGAMA ISLAM (PAI) FAKULTAS TARBIYAH DAN ILMU KEGURUAN (FTIK) INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI (IAIN) SALATIGA TAHUN 1437 H/ 2016 M
i
ii
iii
iv
v
MOTTO
Sesungguhnya Allah tidak merubah keadaan sesuatu kaum sehingga mereka merubah keadaan yang ada pada diri mereka sendiri. (QS. Ar Ra’du:11)
Katakan pada diri sendiri tuk “tidak menyerah” untuk selalu melakukan perbaikan (Penulis)
vi
PERSEMBAHAN
Skripsi ini penulis persembahkan kepada:
Ibuku, Ibu Dainah yang selalu memberikan kasih sayang, semangat, do’a yang tak pernah lelah dipanjatkan untuk putra-putrinya, motivasi yang tak ternilai, baik dari segi materil atau non materil sehingga skripsi ini bisa penulis selesaikan, serta doa teruntuk ayahku Abdur Rochim yang sudah berada di pangkuan-Nya semoga Allah menempatkan engkau di Raudotan min Riyadil Jinan, Amin…
Kakak-kakaku tercinta Mas Torik dan Mba Anti, Mba Luthfi dan Mas Wahyu, Mba Endang dan Mas Zaenal, Mas Edi dan Mba Fia serta adek kembar Masruhan dan Masruhin yang tak pernah lelah memberikan motivasi dan nasehat kepada penulis.
Segenap Keluarga besar Pondok Pesantren Al-Hikmah 02 Benda, Brebes, pengasuh, kyai-kyai dan Guru-guru dengan keikhlasanya mendidik penulis, yang selalu penulis harapkan barokah dari ilmunya. Serta tak lupa saudara seperjuangan di Ma’had ‘Aly Al-Hikmah.
Keluarga besar Pengasuh Panti Asuhan Darul Hadlanah khususnya kepada Bapak Ghufron dan Ibu Muizzah beserta keluarga dengan keikhlasanya mendidik penulis serta adik-adik. Dan selalu memberikan motivasi, bimbingan arahan serta nasehat dan pelajaran berharga di Darul Hadlanah, tempat dimana saya mengukir kenangan dan menimba banyak ilmu.
Masya_Pembimbing, motifator independen yang tak pernah lelah selalu memarahi dengan kritikan pedasnya yang membangun, dalam rangka vii
memompa semangat penulis. Yang tanpa pamrih mengingatkan, mengoreksi, memberikan masukan dan mendorong penulis agar karya sederhana ini dapat terselesaikan.
Teman seperjuangan di Darul Hadlanah, Mas Abdul Majid, Mba Nunung Suciati, Mba Neny Muthiatul Awaliyah, Mba Novi Oktaviani, Mba Nurul Azmi dan Mba Maya Mushoffa serta adek-adek panti teman belajar yang selalu menjadi penyemangat ketika lelah menghampiri.
Teman karib yang selalu ada dan motivator selama kuliah Hayu A’la Aslami, Tri oktaviani, Zahra Ridho Hasanah dan Nurul Robikah.
Teman-teman PPL, KKL, dan KKN yang berjuang bersama dalam suka dan duka untuk menyelesaikan tugas Negara.
Rekan-rekan HMJ PAI: Mba Endang, Mba Aisyah, Mba Fajri, Mb Fia, Mas Didik, Mas Ro’in, Mas Wisnu, dan segenap anggota HMJ PAI.
Teman-teman seperjuangan di kampus IAIN
Almamaterku tercinta IAIN Salatiga.
Adek Angkatan Jurusan PAI.
Pendamping hidup kelak InsyaAllah, yang masih dirahasiakan oleh Allah yang namanya masih terlukis di Lauhil Mahfudz.
viii
KATA PENGANTAR
ﺑﺴﻢ ﷲ اﻟ ّﺮﺣﻤﻦ اﻟﺮّﺣﯿﻢ Puji syukur penulis panjatkan kepada Sang Raja alam semesta (Allah ‘Azza wa Jalla). Atas limpahan rahmat dan hidayah-Nya penulis dapat menyelesaikan skripsi ini, meskipun dalam wujud yang sederhana dan jauh dari sempurna. Sholawat dan Salam Allah SWT, semoga senantiasa terlimpahkan kepada Sang Pemimpin hidup manusia dan yang menjadi cakrawala rindu para umatnya (Nabi Muhammad SAW). Penulis menyadari bahwa penulisan skripsi ini tidak akan dapat diselesaikan tanpa dukungan dan bantuan dari berbagai pihak. Untuk itu, penulis menyampaikan terima kasih yang sedalam-dalamnya kepada: 1. Bapak Dr. Rahmat Hariyadi, M.Pd. Selaku Rektor Institut Agama Islam Negeri (IAIN) Salatiga. 2. Bapak Suwardi, M.Pd. Selaku Dekan Fakultas Tarbiyah dan Ilmu Keguruan (FTIK) Institut Agama Islam Negeri (IAIN) Salatiga. 3. Ibu Siti Ruhayati, M.Ag. Selaku Ketua Jurusan Pedidikan Agama Islam. 4. Bapak
Rasimin,
S.Pd.I,
M.Pd.
Selaku
pembimbing
yang
telah
membimbing dalam penulisan skripsi ini. 5. Ibu Dra. Sri Suparwi, M.A. Selaku dosen pembimbing akademik yang telah membimbing dan mengarahkan selama kuliah. 6. Bapak/ ibu dosen dan seluruh karyawan IAIN Salatiga yang telah memberikan pelayanan kepada penulis.
ix
x
ABSTRAK Fitri, Zakiyatul. 2016. Pemikiran Prof. DR. Zakiah Daradjat, M.A. tentang Pendidikan Moral. Skripsi. Jurusan Pendidikan Agama Islam. Fakultas Tarbiyah dan Ilmu Keguruan Institut Agama Islam Negeri Salatiga. Pembimbing: Rasimin, S.Pd.I, M.Pd. Kata kunci: Pemikiran Zakiah Daradjat, Pendidikan Moral. Era Globaisasi sekarang ini banyak fenomena yang beredar, baik melalui media cetak maupun elektronik yang memberitakan berbagai penyimpangan yang dilakukan oleh generasi penerus bangsa. Maraknya peredaran dan penggunaan narkoba, tawuran, pelecehan seksual, pergaulan bebas dan berbagai perilaku menyimpang lainya. Dengan demikian pendidikan moral memegang peranan yang sangat urgent. Salah satu tokoh perempuan dengan pemikiranya yang cemerlang berkaitan dengan pendidikan moral ialah Zakiah Daradjat, oleh karena itu penulis terarik dan ingin mengatahui lebih dalam tentang pendidikan moralnya yang memang sedang menjadi perbincangan diberbagai kalangan. Pertanyaan yang ingin dijawab melalui penelitian ini adalah: (1) Bagaimanakah pemikiran Zakiah Daradjat tentang pendidikan moral (2) Bagaimana relevansi pemikiran Prof. DR. Zakiyah Daradjat tentang pendidikan moral dalam Era globalisasi Metode penelitian yang digunakan adalah penelitian kepustakaan (library research). Sumber data primer adalah buku Membina Nilai-nilai Moral di Indoesia karangan Zakiah Daradjat, sumber sekundernya adalah buku-buku lain yang bersangkutan dan relevan dengan penelitian. Analisa data yang digunakan dalam penelitian ini adalah: Metode Analisis Isi (Content Analysis). Temuan penulis berkaitan dengan pertanyaan penulis bahwa Pendidikan moral Zakiah Daradjat ialah pendidikan yang berlandaskan pada Pancasila yang menjadikan sila pertamanya yaitu Ketuhanan yang Maha Esa menjadi jiwa atau ruh bagi butir sila yang lain dalam menjalankan pendidikan moral yang ada. Sehingga dalam melaksanakan pendidikan moral Zakiah Daradjat memberikan penekanan kepada semua pilar-pilar pendidikan moral dalam hal ini keluarga, sekolah dan masyarakat maupun pemerintah untuk bersama-sama menjadikan Pancasila menjadi pegangan hidup, tidak cukup hanya menghafalkan teks melainkan dengan cara mengamalkan menyelaraskan antara perbuatan dan ucapan dengan nilai-nilai yang terkandung didalamnya. Pemikiran Zakiah Daradjat tentang pendidikan moral jika dikaitkan dengan era globalisasi, berupa Pembinaan mental melalui pendidikan agama dan melalui pembinaan moral Pancasila sangat relevan, disamping memberikan solusi sesuai dengan permasalahan dekadensi moral yang ada sekarang ini, juga memberikan dasar pendidikan moral sesuai dengan dasar yang menjadi pedoman bangsa indonesia yaitu Pancasila.
xi
DAFTAR ISI
HALAMAN JUDUL.........................................................................
i
LEMBAR BERLOGO......................................................................
ii
PERETUJAN PEMBIMBING.........................................................
iii
PENGESAHAN KELULUSAN ......................................................
iv
PERNYATAAN KEASLIAN TULISAN........................................
v
MOTTO.............................................................................................
vi
PERSEMBAHAN..............................................................................
vii
KATA PENGANTAR ......................................................................
ix
ABSTRAK.........................................................................................
xi
DAFTAR ISI......................................................................................
xii
BAB I PENDAHULUAN..................................................................
1
A. Latar Belakang………………………………………………
1
B. Penegasan Istilah…………………………………………….
5
C. Rumusan Masalah…………………………………………...
7
D. Signifikansi Penelitian………………………………………
7
E. Studi Pustaka………...………………………………………
8
F. Kerangka Teori………………………………………………
9
G. Metode Penelitian……..…………..…………………………
12
H. Teknik Analisis Data...………………………………………
15
I. Sistematika Penulisan Skripsi.………………………………
15
BAB II HISTORIKA BOIGRAFI ZAKIAH DARADJAT……...
17
A. Latar Belakang Keluarga…………………………………….
17
xii
B. Latar Belakang Pendidikan………………………………….
18
C. Karier…………...………...………………………………….
20
D. Hasil Karya…………….…………………………………….
24
E. Deskripsi Buku Membina Nilai-nilai Moral di Indonesia…...
28
BAB III DESKRIPSI PEMIKIRAN……………………………...
30
A. Pendidikan Moral……………………………………………
30
1. Pengertian Pendidikan Moral……………………………
30
2. Tujuan Pendidikan Moral………..………………………
34
B. Pendidikan Moral Zakiah Daradjat…………………………
36
1. Pendidikan Moral Zakiah Daradjat……………………...
36
2. Faktor-faktor yang Menyebabkan Merosotnya moral Anak-anak…………………………………………..…
42
3. Usaha-usaha Mencapai Perbaikan Moral………………..
46
BAB IV PENDIDIKAN MORAL DI ERA LOBALISASI………
58
A. Signifikansi Pendidikan Moral Di Era Lobalisasi…...………
58
B. Relevansi Pendidikan Moral Zakiah Daradjat di Era Globalisasi…………………………………………………...
62
1. Pendidikan Moral Pancasila……………………………..
62
2. Pilar-pilar Pendidikan Moral…………………………….
69
3. Usaha Perbaikan Moral………………………………….
77
xiii
BAB V PENUTUP………………………...………………………..
80
A. Kesimpulan………………………………………………….
80
B. Saran…………………………………………………………
81
DAFTAR PUSTAKA LAMPIRAN-LAMPIRAN
xiv
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Arus globalisasi telah melanda berbagai penjuru dunia tidak terkecuali Indonesia. Globalisasi di Indonesia telah mengubah aspek kehidupan dalam berbagai bidang, baik dalam bidang ekonomi, sosial, budaya, politik dan juga dalam bidang pendidikan. Perubahan tersebut tentunya memberikan dampak poitif yang mendatangkan kemajuan maupun dampak negatif yang justru menjadi pemicu terjadinya dekadensi moral. Di era globalisasi ini, terdapat hal yang menjadi ciri utama dan tidak dapat diingkari yaitu adanya revolusi teknologi, transportasi, informasi, dan komunikasi. Tentunya kemajuan-kemajuan yang ada ini akan memberikan berbagai macam dampak dalam kehidupan terlebih dalam dunia pedidikan. Kemajuan Informasi dan komunikasi yang ada telah menjadi suatu kebutuhan yang dianggap penting bagi para peserta didik untuk memudahkan mereka dalam belajar. Dengan fasilitas yang sedemikian mudahnya tanpa landasan pendidikan moral yang baik akan sangat berpotensi terjadinya penyimpangan-penyimpangan. Islam mengajarkan semua tata cara hidup termasuk pedoman berperilaku dan bersikap. Dasar pendidikan akhlak dalam Islam adalah alQur’an dan al-Hadits. Al-Qur’an dan al-Hadits sebagai pedoman hidup umat Islam menjelaskan kriteria baik dan buruknya suatu perbuatan. Al-Qur’an
1
sebagai dasar akhlak menjelaskan tentang kebaikan Rasulullah SAW sebagai teladan bagi seluruh umat manusia. Sebagaimana firman Allah SWT dalam Q.S. Al-Ahzab ayat: 21
Artinya: “Sungguh Telah ada pada (diri) Rasulullah itu suri teladan yang baik bagimu (yaitu) bagi orang yang mengharap (rahmat) Allah dan (kedatangan) hari kiamat dan dia banyak menyebut Allah. Ayat tersebut telah jelas sekali menunjukan bahwa telah ada contoh yang baik yang terdapat pada Rasulullah SAW. Tentunya bagi orang yang merasa sebagai umatnya tidak akan mencontoh selain dari pada Rasulullah. Negara Indonesia yang notabennya sebagai salah satu Negara yang mengedepankan pendidikan telah mengatur dan melindungi sistem pendidikan yang ada, salah satunya diatur dalam Undang-Undang Sistem Pendidikan Nasional (UU SISDIKNAS) Nomor 20 tahun 2003 yang menerangkan
bahwa
tujuan
Pendidikan
Nasional
adalah
untuk
mengembangkan kemampuan dan membentuk watak yang bermartabat, dimana dalam proses pendidikan harus ditanamkan nilai-nilai moral. Sejalan dengan dalil Qur’an dan undang-undang diatas Zakiah Daradjat dalam pendidikan moralnya memberikan sumbangsih berupa pemikiran-pemikiran yang monumental berkaitan dengan pembinaan moral. Karena moral adalah pondasi dari suatu bangsa. Jika moral yang ada dalam
2
suatu bangsa tidak baik, maka hancurlah tatanan bangsa tersebut (Daradjat, 1977:9). Uraian di atas menjelaskan begitu urgennya moralitas dalam kehidupan terlebih dalam dunia pendidikan. Bahkan Negara Indonesia melalui undang-undangnyapun turut serta melindungi dan mengatur Sistem Pendidikan Nasional yang ada. Salah satunya melalui penekankan penanaman nilai-nilai moral. Akan tetapi di era globalisasi sekarang ini dihadapkan pada persoalan yang semakin berat. Krisis moral yang timbul secara real ditandai dengan maraknya berbagai persoalan seperti: menyontek, tawuran, membolos, kekerasan antar pelajar, minum-minuman keras, penggunaan dan pengedaran narkoba, pemerkosaan, hingga pergaulan bebas. Ini adalah suatu problem yang sangat menyimpang dari ketentuan norma yang ada dalam masyarakat dan hal tersebut seakan sudah menyeluruh ke berbagai penjuru daerah, baik di kota-kota besar sampai pelosok desa. Sebagaimana contoh yang diberitakan Tribunkaltim.Com pada 4 April 2016 tentang penemuan mayat Yuyun siswi SMP kelas VII Ulak Tandik, kabupaten Rejang Lebong, Bengkulu yang diperlakukan tidak senonoh hingga meninggal dibunuh oleh 14 orang yang masih remaja, dua diantaranya adalah kakak kelasnya sendiri, Eno yang diperlakukan tidak senonoh oleh teman dekatnya sendiri kemudian dibunuh dengan sadis, dan pembunuhan dosen di Universitas Muhammadiyah Sumatra Utara (UMSU) oleh mahasiswanya, dan masih banyak lagi rentetan peistiwa asusila dan
3
pelanggaran norma, ini menunjukan bahwa bangsa Indonesia mengalami darurat
moral.
(http://www.antaranews.com/berita/558931/kasus-yuyun-
tunjukan-bangsa-indonesia-darurat-moral) Contoh dan pemaparan di atas menunjukan bahwa moral peserta didik bangsa telah terdekadensi oleh zaman sehingga pendidikan moral adalah suatu hal yang penting yang harus diterapkan dan ditekankan baik dalam lingkungan keluarga, sekolah, maupun di lingkungan masyarakat. Pentingnya pendidikan moral untuk diserukan dengan semangat agar lahir kesadaran bersama untuk membangun moral generasi muda bangsa yang kokoh. Sehingga, generasi penerus bangsa ini tidak terombang-ambing oleh modernisasi yang menjanjikan kebahagiaan sesaat serta mengorbankan kebahagiaan masa depan yang panjang dan abadi. Sejalan dengan pemaparan diatas salah satu tokoh perempuan yang memiliki semangat pendidikan moral adalah Prof. DR. Hj. Zakiah Daradjat. Zakiah merupakan tokoh multi talent, perempuan yang luar biasa, beliau seorang ahli psikolog, pendidik, guru besar dan juga pembaharu dalam Pendidikan Islam di Indonesia yang pernah menetapkan keputusan bersama tiga mentri yaitu Mentri dalam Negri (MENDAGRI), Kementrian Agama (KEMENAG),
dan
Kementrian
Pendidikan
dan
Kebudayaan
(KEMENDIKBUD) terkait keputusan tentang penetapan jam pelajaran pendidikan agama agar diperbanyak. Keahlian Zakiah Daradjat dalam bidang psikologi rupanya mempengaruhi pemikiran beliau dalam pendidikan moral. Pemikiran pendidikan moral Zakiah Daradjat seakan memberikan
4
Pencerahan
terhadap
probematika-problematika
di
era
globalisasi
sebagaimana yang terjadi sekarang ini. Zakiah menyerukan bagi peserta didik agar dapat menjadi generasi penerus bangsa yang memiliki prinsip keteguhan moral yang baik, tidak mudah goyah, jika dihadapkan dengan berbagai permasalahan yang melanda bangsa Indonesia di era globalisasi ini. Pemikiran-pemikiran Prof. Dr. Hj. Zakiah Daradjat tentang pendidikan moral sejalan dengan sistem pendidikan yang sedang dicanangkan oleh pemerintah, yang tidak mengedepankan nilai akademik. Pendidikan moral yang berlandaskan pada dasar Negara Indonesia yaitu Pancasila sebagaimana pemikiran beliau menjadi hal yang menarik untuk dikaji. Maka penulis tertarik untuk mengangkatnya sebagai bahan penulisan skripsi yang berjudul: “Pemikiran Prof. Dr. Zakiah Daradjat Tentang Pendidikan Moral (Analisis Buku Membina Nilai-nilai Moral di Indonesia)”.
B. Penegasan Istilah Penegasan istilah dalam penelitian ini sangat diperlukan agar tidak terjadi penafsiran yang berbeda dengan maksud penulis, maka penulis akan menjelaskan istilah-istilah lain didalam judul ini. Istilah yang perlu penulis jelaskan sebagai berikut: 1. Pemikiran Dalam Kamus Umum Bahasa Indonesia adalah cara atau hasil Berfikir (KBBI, 2006: 892)
5
2. Pendidikan Moral Pendidikan merupakan upaya yang dilakukan dengan sadar untuk mendatangkan perubahan sikap dan perilaku seseorang melalui pengajaran dan latihan (Ensiklopedi Nasional Indonesia: 365). Proses perubahan sikap dan tata laku seseorang atau kelompok orang dan usaha mendewasakan manusia melalui upaya pengajaran dan pelatihan (Kamus Besar Bahasa Indonesia: 263). Moral adalah (ajaran tertentu) baik buruk perbuatan dan kelakuan (akhlak, kewajiban dsb) (KBBI, 1982:654) Moral berasal dari kata mores yang berarti tata cara dalam kehidupan atau adat istiadat yang berhubungan dengan nilai-nilai susila, larangan dan tindakan yang membicarakan salah atau benar. Moral selalu mengacu pada baik buruknya manusia sehingga bidang moral adalah bidang kehidupan manusia dilihat dari segi kebaikannya sebagai manusia. (Budiningsih, 2004: 24). Pendidikan moral adalah upaya yang dilakukan dengan sadar untuk mendatangkan perubahan sikap dan perilaku seseorang melalui pengajaran dan latihan yang mengacu pada baik buruknya manusia. Sehingga bidang moral adalah bidang kehidupan manusia dilihat dari segi kebaikannya sebagai manusia.
6
C.
Rumusan Masalah 1. Bagaimana pemikiran Prof. DR. Zakiah Daradjat tentang pendidikan moral? 2. Bagaimana relevansi pemikiran Prof. DR. Zakiyah Daradjat tentang pendidikan moral di Era globalisasi ini?
D. Sinifikansi Penelitian 1. Tujuan Penelitian Tujuan penelitian ini adalah: a. Untuk mengetahui pemikiran Prof. DR. Zakiah Daradjat tentang pendidikan moral. b. Untuk mengetahui relevansi pemikiran Prof. DR. Zakiyah Daradjat tentang pendidikan moral dalam Era globalisasi ini. 2. Manfaat Penelitian a. Manfaat Teoritik Hasil penelitian ini diharapkan bermanfaat bagi pengembangan ilmu
pengetahuan
dalam
hal
memberikan
gambaran
tentang
Pendidikan moral secara filosofis untuk dijadikan sebagai acuan Pendidikan Islam dalam mencari solusi atas persoalan yang menghambat pembangunan peradaban manusia.
7
b. Manfaat Praktik Hasil penelitian ini diharapkan menjadi masukan bagi praktisi pendidikan dalam hal memberikan pemantapan implementasi atau kontribusi pemikiran dalam upaya peningkatan ilmu pengetahuan dan pembenahan moral yang sesuai dengan ajaran agama dan sebagaimana yang diamanatkan oleh Undang-undang yang ada.
E. Studi Pustaka Kajian pustaka digunakan sebagai bahan perbandingan terhadap penelitian yang ada, baik mengenai kekurangan dan kelebihan yang ada sebelumnya. Selain itu juga mempunyai andil besar dalam rangka mendapatkan suatu informasi yang ada sebelumya tentang teori-teori yang ada kaitannya dengan judul yang digunakan untuk mendapatkan landasan teori ilmiah. Sejauh pengamatan dan penelusuran penulis ke berbagai literatur kepustakaan yang dilakukan, penulis belum menemukan penelitian yang secara khusus mengkaji pemikiran Zakiah Daradjat tentang pendidikan moral dan relevansinya di era globalisasi sekarang ini. Akan tetapi penulis menemukan beberapa judul skrirpsi yang mempunyai kajian hampir serupa yaitu membahas tentang moral, akan tetapi dengan fokus dan tokoh yang berbeda sebagaimana berikut:
Dedik Fatkul Anwar, Nilai pendidikan Moral dalam Pesan-pesan K.H. Ahmad Dahlan dan Relevansinya Terhadap Pendidikan Islam (kajian
8
materi). Skripsi. Fakutas Tarbiyah dan Ilmu Keguruan UIN Sunan Kalijaga. 2010, yang membahas tentang pendidikan moral melalui pesan-pesan yang disampaikan oleh KH. Ahmad Dahlan. Kemudian Nurul Faizah. konsep pendidikan moral (stuudi analisis pemikiran Raden Ngabehi Ranggawarsita). 2009. Yang memaparkan dan membagi konsep moral menjadi
beberapa meliputi habluminallah,
habluminannas dan habluminal alam. Dari kajian pustakta yang penulis hadirkan di atas, semuanya menggunakan content analysis demikian juga penulis. Akan tetapi berbeda tokoh dan tentunya berbeda juga dalam pemikiranya. Penelitian yang akan dilakukan penulis lebih berfokus gagasan Zakiah daradjat tentang pendidikan moral dan relevansinya dalam dunia era globalisasi.
F. Kerangka Teori Pendidikan didefinisikan sebagai humanisasi, yaitu suatu upaya dalam rangka membantu manusia (peserta didik) agar mampu hidup sesuai dengan martabat kemanusiaannya (Wahryudin, 2009: 1.29) artinya, bahwa pendidikan menjadi usaha untuk membuat manusia (peserta didik) menjadi seseorang yang lebih baik, bermartabat, bermoral dan berbudi pekerti yang baik bukan malah sebaliknya. Pendidikan menjadi sarana untuk mengubah perilaku manusia menjadi lebih baik. Pendidikan didapatkan dari lingkungan keluarga, sekolah dan masyarakat. Pendidikan yang pertama kali diberikan adalah dari lingkungan keluarga kemudian sekolah dan masyarakat.
9
Pendidikan dari segi istilah dapat merujuk kepada berbagai sumber yang diberikan ahli pendidikan. Dalam undang-undang tentang System Pendidikan Nasional (SISDIKNAS) UU RI No.2 Tahun 1989 dinyatakan bahwa “pendidikan adalah usaha sadar untuk menyiapkan peserta didik melalui kegiatan bimbingan, pengajaran, atau latihan bagi peranan di masa yang akan datang” (UU SISDIKNAS, 1993:3) Selanjutnya, Bapak Pendidikan Nasional, Ki Hajar Dewantara dikutip oleh Prof. Dr. Abuddin Nata, MA. menyatakan bahwa: Pendidikan berarti daya upaya untuk memajukan pertumbuhan budi pekerti (kekuatan batin, karakter). Pikiran (intellect) dan tumbuh anak yang antara satu dan lainya saling berhubungan agar dapat memajukan kesempurnaan hidup, yakni kehidupan dan penghidupan anak-anak yang kita didik selaras dengan dunianya” (Nata, 2004:33). Istilah Moral berasal dari bahasa Latin. Bentuk tunggal kata ‘moral’ yaitu mos sedangkan bentuk jaxmaknya yaitu mores yang masing-masing mempunyai arti yang sama yaitu kebiasaan, adat. Lebih luas moral adalah nilai-nilai dan norma-norma yang menjadi pegangan bagi seseorang atau suatu kelompok dalam mengatur tingkah lakunya. K. Bertens, mengungkapkan bahwa moral itu adalah nilai-nilai dan norma-norma yang menjadi pegangan bagi seseorang atau kelompok dalam mengatur tingkah lakunya. Makna yang hampir sama untuk kata moral juga ditampilkan oleh Lorens Bagus, mengungkapkan antara lain, menyangkut kegiatan-kegiatan manusia yang dipandang sebagai baik/buruk, benar/salah, tepat/tidak tepat, atau menyangkut cara seseorang bertingkah laku dalam hubungan dengan orang lain (Bertens, 1993:48).
10
Dari definisi diungkap di atas tercermin, bahwa kata moral itu, paling tidak memuat dua hal yang amat pokok yakni, 1) sebagai cara seseorang atau kelompok bertingkah laku dengan orang atau kelompok lain, 2) adanya norma-norma atau nilai-nilai yang menjadi dasar bagi cara bertingkah laku tersebut. Pendidikan moral mencakup pengetahuan, sikap, kepercayaan, keterampilan, dan perilaku yang baik, jujur, dan penyayang dapat dinyatakan dengan istilah bermoral. Tujuan utama pendidikan moral adalah menghasilkan individu yang otonom, yang memahami nilai-nilai moral dan memiliki komitmen untuk bertindak konsisten dengan nilai-nilai tersebut. Pendidikan moral mengandung beberapa komponen, yaitu pengetahuan tentang moralitas, penalaran moral, perasaan kasihan dan memerhatikan kepentingan orang lain, serta tendensi moral (Zuchdi, 2010:43). Adapun moral menurut Elizabeth Hurlock dalam bukunya Child Development sebagaimana yang di kutip Zakiah Daradjat yaitu: True Morality is behavior wich conforms to social standards and wich is also carried out poluntarily by the individual. It comes with the transition from eksternal to internal authority and consist of conduct regulated from within. It is accompanied by a feeling of personal responsibility for the act. Added to this it involves giving primary consideration to the welfare of the group, while personal desires or gains are relegated to apposition of secondary importance”. Yang terpokok dari kutipan tersebut ialah yang pertama: moral ialah kelakuan yang sesuai dengan ukuran-ukuran masyarakat, yang timbul dari hati sendiri (bukan paksaan dari luar). Kedua: rasa tangung jawab atas tindakan
11
itu, dan ketiga: mendahuluan kepentingan umum dari pada keinginan atau kepentingan pribadi. Dari beberapa pengertian diatas dapat disimpulkan bahwa pendidikan moral ialah sarana yang diupayakan dan diusahakan dengan sadar untuk menjadikan manusia memiliki nilai-nilai atau norma yang diaplikasikan dengan komitmen dan rasa tanggung jawab untuk kepentingan bersama baik individu itu sendiri maupun masyarakat secara umum.
G. Metode Penelitian Sebagai pendukung dari penulisan dan pembahasan agar diperoleh hasil yang komprehensif dan dapat dipertanggungjawabkan secara akademis, maka perlu adanya metodologi untuk mengetahui Hasil eksplorasi ini diharapkan dapat memberi pandangan baru tentang pendidikan moral dalam dunia era globalisasi. Adapun metode penelitian yang digunakan adalah sebagai beriku1t: 1. Jenis Penelitian Penelitian ini adalah Penelitian Kepustakaan (library research). Menurut Mestika Zed (2004:3) yaitu serangkaian kegiatan yang berkenaan dengan metode pengumpulan data pustaka, membaca dan mencatat serta mengolah bahan penelitian. Alasan dari pemilihan jenis penelitian ini adalah efektifitas dari cara pengungkapan informasi moral dalam pendidikan moral menurut Zakiah Daradjat yang terdapat dalam buku Membina Nilai-nilai Moral di
12
Indonesia, yakni dengan membaca, memahami buku-buku, majalah maupun literatur lain yang berhubungan dengan tema yang diambil oleh penulis secara komprehensif.
2. Pendekatan Penelitian Adapun pendekatan yang digunakan dalam penelitian ini adalah factual-historis. Pendekatan faktual-historis yaitu suatu pendekatan dengan mengemukakan historisitas faktual mengenai tokoh (Bekker & Zubair, 1990: 61). Pendekatan ini penulis gunakan untuk mengungkapkan seluk-beluk perkembangan pemikiran Zakiah Daradjat dari masa kecil sampai pada pemikirannya tentang nilai-nilai moral. 3. Metode Pengumpulan Data Dalam penelitian ini, untuk mendapatkan data yang valid dan akurat penulis menggunakan metode dokumentasi agar dapat membantu dan memperlancar dalam mengeksplorasi jalanya penelitian. Sebagai penelitian pustaka (library research), pengumpulan data dilakukan dengan menghimpun data dari berbagai literatur, baik dari perpustakaan maupun tempat lainnya. Metode dokumentasi, menurut Arikunto (2003: 235) yaitu mencari data mengenai hal-hal atau variable yang berupa catatan, transkrip, buku, surat kabar, majalah, prasasti, notulen rapat, lengger, agenda, dan sebagainya.
13
Data yang dihimpun merupakan sumber tertulis yang secara garis besar ada dua macam sumber, yaitu: a. Sumber Data Primer Adapun sumber data primer yang peneliti gunakan adalah buku “Membina Nilai-nilai Moral Di Indonesia” karangan Zakiah Daradjat. b. Sumber Data Sekunder Data sekunder adalah data informasi yang diperoleh dari sumber-sumber lain selain data primer, yang secara tidak langsung bersinggungan dengan tema penelitian yang peneliti lakukan. Diantaranya buku-buku literatur, internet, majalah atau jurnal ilmiah, arsip, dokumen pribadi, dan dokumen resmi lembaga-lembaga yang terkait dengan penelitian ini. Sumber sekunder yang berupa buku meliputi: 1. Ulama
Perempuan
Indonesia.
(Jajat
Burhanudin,
Jakarta:
Gramedia Pustaka Utama. 2002) 2. Pembelajaran Moral ( Asri Budiningsih. Jakarta: Asdi Mahasatya. 2004) 3. Dimensi-dimensi pendidikan Moral.
(Cheppy Hari
Cahyo.
Semarang: IKIP. 1995) 4. Pemikiran Para Tokoh Pendidikan Islam di Indonesia (Abuddin Nata. Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada. 2000) 5. Membangun Lembaga Pendidikan Islam Berkualitas (Arif Subhan. Jakarta: Logos Wacana Ilmu. 1999)
14
6. Pendidikan Islam dan Krisis Moralisme Masyarakat Modern (Umiraso. Dkk. Jogjakarta: IRCiSoD. 2010)
H. Teknik Analisis Data Analisa data yang digunakan dalam penelitian ini adalah: Metode Analisis Isi (Content Analysis). Analisis isi (Content Analysis) adalah teknik penelitian untuk membuat inferensi-inferensi yang dapat ditiru (replicable), dan shahih data dengan memperhatikan konteksnya. Dengan metode analisis ini, penulis akan mengkaji dan menafsirkan pokok-pokok pikiran yang terdapat dalam buku, teks atau naskah yang berhubungan dengan pendidikan moral Zakiah Daradjat secara komprehensif. Satuan makna dan kategori dianalisis, dicari hubungan satu dan lainnya untuk menemukan makna, arti, tujuan dan isi dari kata yang secara eksplisit maupun implisit berhubungan dengan pembangunan pendidikan moral Zakiah Daradjat. Hasil analisis ini kemudian dideskripsikan dalam bentuk laporan penelitian sebagaimana pada umumnya.
I. Sistematika Penulisan Skripsi Bagian awal ini, meliputi: sampul, lembar berlogo, judul (sama dengan sampul), persetujuan pembimbing, pengesahan kelulusan, pernyataan keaslian tulisan, motto, persembahan, kata pengantar, abstrak, daftar isi, dan daftar lampiran. Bagian Inti berisi:
15
Bab I: Pendahuluan memuat latar belakang masalah, fokus penelitian, tujuan penelitian, kegunaan penelitian, metode penelitian, penegasan istilah, dan sistematika penulis skripsi. Bab II: Biografi memuat riwayat hidup Prof. DR. Hj. Zakiah Daradjat yang memuat latar belakang keluarga, pendidikan, karier, hasil karya dan deskripsi buku. Bab III: Deskripsi Pemikiran memuat pemikiran Prof. DR. Zakiah Daradjat tentang pendidikan moral, faktor-faktor merosotnya moral anak-anak dan usaha-usaha mencapai perbaikan moral. Bab IV: Analisis tentang pendidikan moral di era globalisasi yang di dalamnya membahas pendidikan moral diera globalisasi, tentang signifikansi pendidikan moral di era globalisasi dan relevansi pendidikan moral Zakiah Daradjat di era Globalisasi. Bab V: Penutup memuat kesimpulan dan saran. Bagian akhir dari skripsi ini, memuat: Daftar Pustaka, Lampiran-lampiran, dan Daftar Riwayat Hidup Penulis.
16
BAB II HISTORIKA BIOGRAFI ZAKIAH DARADJAT
a. Latar Belakang Keluarga Zakiah Daradjat dilahirkan di Jorong Koto Marapak, Nagari Lambah, Ampek Angkek, Agam, Kotamadya Bukit Tinggi Sumatera Barat, 6 November 1929. Ayahnya, Haji Daradjat Husain merupakan aktivis organisasi Muhammadiyah dan ibunya, Rafi'ah aktif di Sarekat Islam. Ia merupakan anak pertama dari pasangan tersebut. Sejak kecil Zakiah Daradjat telah ditempa pendidikan agama dan dasar keimanan yang kuat. Ia sudah dibiasakan oleh ibunya untuk menghadiri pengajian-pengajian agama dan dilatih berpidato oleh ayahnya. Zakiah Daradjat meninggal di Jakarta dalam usia 83 tahun pada 15 Januari 2013 sekitar pukul 09.00 WIB. Setelah disalatkan, jenazahnya dimakamkan di Kompleks UIN Ciputat pada hari yang sama. Menjelang akhir hayatnya, ia masih aktif mengajar, memberikan ceramah, dan membuka konsultasi psikologi. Sebelum meninggal, ia sempat menjalani perawatan di Rumah Sakit Hermina, Jakarta Selatan pada pertengahan Desember 2012 (Nata, 2005:235). Semasa hidup, Zakiah Daradjat tidak hanya dikenal sebagai psikolog dan dosen, tetapi juga mubaligh dan tokoh masyarakat. Rektor UIN Syarif Hidayatullah Jakarta Komaruddin Hidayat menyebut Zakiah Daradjat sebagai pelopor psikologi Islam di Indonesia. Sementara itu, Wakil Menteri Agama Nasaruddin Umar mencatat, Zakiah Daradjat adalah sosok yang bisa diterima
17
dengan baik oleh semua kalangan. Umar menambahkan, sosok Zakiah Daradjat seperti sosok Hamka dalam versi Muslimah.
B. Latar belakang Pendidikan Pada usia tujuh tahun, Zakiah sudah mulai memasuki sekolah. Pagi ia belajar di Standard School Muhammadiyah dan sorenya belajar lagi di Diniyah School. Semasa sekolah ia memperlihatkan minat cukup besar dalam bidang ilmu pengetahuan dan agama. Selain itu, saat masih duduk di bangku kelas empat SD, ia telah menunjukkan kebolehannya berbicara di muka umum. Setelah tamat pada 1941, Zakiah dimasukkan ke salah satu SMP di Padang Panjang sambil mengikuti sekolah agama di Kulliyatul Muballighat. Ilmu-ilmu yang diperolehnya dari Kulliyatul Mubalighat kelak ikut mendorongnya untuk menjadi mubaligh (Subhan, 1999:4). Pada tahun 1951, ia menamatkan pendidikannya di SMA Setelah itu, ia memutuskan meninggalkan kampung halamannya untuk melanjutkan studinya ke Yogyakarta. Di Yogyakarta, ia mendaftar ke dua perguruan tinggi dengan fakultas yang berbeda, yaitu Fakultas Tarbiyah Perguruan Tinggi Agama Islam Negeri (PTAIN) Yogyakarta dan Fakultas Hukum Universitas Islam Indonesia (UII). Meskipun ia diterima di kedua Fakultas tersebut, ia akhirnya hanya memilih mengambil Fakultas Tarbiyah PTAIN Yogyakarta atas saran kedua orang tuanya. Pada tahun 1956, ia menerima beasiswa dari Departemen Agama untuk melanjutkan pendidikan ke Mesir.
18
Di Mesir ia langsung diterima di Fakultas Pendidikan Universitas Ain Shams, Ia mengambil spesialisasi Diploma Faculty of Education dan memperoleh gelar Magister pada bulan oktober 1959 dengan tesis The Problems of Adolescence in Indonesia (Ensiklopedi Islam, 1994:285). Tesis ini banyak mendapat sambutan dari kalangan terpelajar dan masyarakat umum di Cairo waktu itu, sehingga seringkali menjadi bahan berita para wartawan. Prof. Zakiah Daradjat sendiri tidak tahu dengan pasti, apa yang menyebabkan masyarakat terpelajar Mesir tertarik akan isi tesisnya itu entah karena masalah yang dibahas itu cukup menarik bagi mereka, karena menyangkut Indonesia, yang belum banyak mereka kenal, sedangkan hubungan antara Republik Persatuan Arab dan Republik Indonesia waktu itu sedang erat-eratnya. Akan tetapi, besar kemungkinan yang menyebabkan mereka tertarik, adalah objek masalah yang diteliti dan diuraikan oleh tesis itu, yaitu problema remaja, yang bagi orang Mesir waktu itu, memang sedang menjadi perhatian karena mereka sedang giat membangun, bahkan dalam kabinet Mesir waktu itu ada Kementrian Pemuda (Daradjat, 1974:5). Tesisnya tentang problema remaja di Indonesia mengantarnya meraih gelar MA pada tahun 1959, setelah setahun sebelumnya mendapat diploma pasca-sarjana dengan spesialisasi pendidikan. Tidak
seperti
teman-teman
seangkatannya
dari
Indonesia,
setelah
menyelesaikan program S-2, Zakiah tidak langsung pulang. Ia justru malah melanjutkan program S-3 di universitas yang sama. Ketika menempuh program S-3, kesibukan Zakiah tidak hanya belajar. Pada tahun 1964, dengan disertasi tentang perawatan jiwa anak, ia berhasil meraih gelar doktornya
19
dalam bidang psikologi dengan spesialisasi psikoterapi dari Universitas Ain Shams (Nata, 2005:236).
C. Karier Setelah kembali ke Indonesia pada tahun 1964, Zakiah Daradjat mengabdikan di Kementrian Agama dan mengembangkan ilmunya untuk kepentingan masyarakat (Burhanuddin, 2002:146-154). Sambil bekerja, Zakiah diberi ruangan khusus untuk membuka praktik konsultasi psikologi bagi karyawan Kementerian Agama. Namun, karena semakin banyak klien yang datang, ia mulai membuka praktik sendiri di rumahnya di Wisma Sejahtera, Jalan Fatmawati, Cipete, Jakarta Selatan pada tahun 1965. Ketika diwawancara oleh Republika pada tahun 1994, ia menuturkan, "Setiap hari, selama lima hari dalam sepekan, rata-rata saya menerima tiga hingga lima pasien, tanpa memandang apakah mereka dari golongan masyarakat mampu atau bukan." Zakiah mengaku, sering tidak menerima bayaran apa-apa, "karena memang tujuan saya untuk menolong sesama manusia. Pada 1967, Zakiah diangkat oleh Menteri Agama Saifuddin Zuhri sebagai Kepala Dinas Penelitian dan Kurikulum Perguruan Tinggi di Biro Perguruan Tinggi, Kementerian Agama, Pada periode selanjutnya, Zakiah Daradjat menjabat sebagai Direktur Pendidikan Agama mulai tahun 1972, dan tahun 1977 sebagai Direktur Perguruan Tinggi Agama Islam. Pemikiran Zakiah Daradjat di bidang pendidikan agama banyak mempengaruhi wajah sistem pendidikan di Indonesia. Semasa menjabat direktur di Kementerian Agama, beliau
20
memanfaatkan sebaik-baiknya untuk pengembangan dan pembaharuan dalam bidang Pendidikan Islam . Pembaharuan yang monumental yang sampai sekarang masih terasa pengaruhnya adalah keluarnya Surat Keputusan Bersama Tiga Menteri (Menteri Agama, Mendikbud, dan Mendagri) pada tahun 1975, yaitu sewaktu jabatan Menteri Agama diduduki oleh Mukti Ali. Melalui surat keputusan tersebut Zakiah menginginkan peningkatan penghargaan terhadap status madrasah, salah satunya dengan memberikan pengetahuan umum 70 persen dan pengetahuan agama 30 persen. Aturan yang dipakai hingga kini di sekolah-sekolah agama Indonesia ini memungkinkan lulusan madrasah diterima di perguruan tinggi umum. Upaya lain yang dilakukan Zakiah Daradjat adalah Peningkatan mutu Pengelolan (administrasi) dan akademik madrasah-madrasah yang ada di Indonesia Sehingga mulai munculah apa yang disebut sebagai Madrasah Model (Nata, 2005:237). Ketika menempati posisi sebagai Direktur Perguruan Tinggi Agama Islam, seperti dituturkan cendikiawan Azyumardi Azra, Zakiah Daradjat banyak melakukan sentuhan bagi pengembangan Perguruan Tinggi Agama Islam (PTAI). Salah satu contoh, untuk mengatasi kekurangan guru bidang studi umum di madrasah-madrasah, Zakiah Daradjat membuka jurusan tadris pada IAIN dan menyusun rencana pengembangan Perguruan Tinggi Agama Islam yang menjadi referensi bagi IAIN seluruh Indonesia. Melalui rencana pengembangan ini Kementerian Agama dapat meyakinkan Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (Bappenas) sehingga IAIN memperoleh anggaran yang relatif memadai.
21
Di luar aktivitasnya di lingkungan kementerian, Zakiah Daradjat mengabdikan ilmunya dengan mengajar sebagai dosen keliling pada IAIN Syarif Hidayatullah Jakarta (kini UIN) dan beberapa IAIN lainnya. Pada 1 Oktober 1982, Zakiah dikukuhkan oleh IAIN Jakarta sebagai guru besar di bidang ilmu jiwa agama. Sebagai pendidik dan guru besar, ia setia di jalur profesinya hingga akhir hayatnya. Hingga usia senja, meski telah pensiun dari tugas kedinasan, Zakiah masih aktif mengajar di UIN Syarif Hidayatullah dan perguruan tinggi lain yang membutuhkan ilmunya. Ia aktif mengikuti seminarseminar di dalam dan luar negeri Ia juga menjadi ketua umum Perhimpunan Wanita Alumni Timur Tengah (1993-1998). Selain itu, Zakiah Daradjat sering memberikan kuliah subuh di RRI Jakarta sejak tahun 1969 sampai dekade 2000-an. Ia kerap pula diminta mengisi siaran Mimbar Agama Islam di TVRI Jakarta. Pada 19 Agustus 1999, Zakiah Daradjat memperoleh Bintang Jasa Maha Putera Utama dari Pemerintah Rapublik Indonesia (Nata, 2005:238). Sebagai pendidik dan ahli psikologi Islam, ia mempunyai sejumlah pemikiran dan ide menyangkut masalah remaja di Indonesia. Bahkan, ia tercatat sebagai guru besar yang paling banyak memperhatikan problematik remaja, sehingga sebagian besar karyanya mengetengahkan obsesinya untuk pembinaan remaja di Indonesia. Menurutnya, sekarang ini anak manusia sedang menghadapi suatu persoalan yang cukup mencemaskan kalau mereka tidak memperhatikan dengan sungguh-sungguh masalah akhlak atau moral dalam masyarakat. Ketenteraman telah banyak terganggu, kecemasan dan kegelisahan orang telah banyak terasa, apabila mereka yang mempunyai anak
22
remaja yang mulai menampakkan gejala kenakalan dan kekurang acuhan terhadap nilai moral yang dianut dan di pakai orang tua mereka. Di samping itu ia melihat kegelisahan dan kegoncangan dalam banyak keluarga karena antara lain kehilangan keharmonisan dan kasih sayang. Banyak remaja yang enggan tinggal di rumah, senang berkeliaran di jalanan, tidak memiliki semangat belajar, bahkan tidak sedikit yang telah sesat (Ensiklopedi Islam, 1994:286). Menurutnya, sebab-sebab kemerosotan moral di Indonesia adalah: kurangnya pembinaan mental, dan orang tua tidak memahami perkembangan remaja; kurangnya pengenalan terhadap nilai-nilai Pancasila; kegoncangan suasana dalam masyarakat; kurang jelasnya masa depan di mata anak muda dan pengaruh budaya asing (Daradjat, 1977:48). Untuk mengatasinya ia mengajukan jalan keluar, antara lain: melibatkan semua pihak (ulama, guru, orang tua, pemerintah, keamanan dan tokoh masyarakat); mengadakan penyaringan terhadap kebudayaan asing; meningkatkan pembinaan mental; meningkatkan pendidikan agama di sekolah, keluarga dan di masyarakat; menciptakan rasa aman dalam masyarakat; meningkatkan pembinaan sistem pendidikan nasional; dan memperbanyak badan bimbingan dan penyuluhan agama (Daradjat, 1977:60-78). Pada tindakan nyata ia merealisasi obsesinya itu dalam bentuk antara lain kegiatan sosial dengan melakukan perawatan jiwa (konsultasi). Setiap hari ia melayani empat sampai lima pasien. Masalah yang ditangani mulai dari kenakalan anak sampai gangguan rumah tangga. Ia aktif memberi bimbingan agama dan berbagai pertemuan pada remaja dan orang
23
tua, giat mempersiapkan remaja yang baik dengan mendirikan Yayasan Pendidikan Islam Ruhama di Cireundeu Ciputat.
D. Hasil Karya Sebagai guru besar ilmu pendidikan, Zakiah Daradjat tergolong produktif dalam menulis buku di antaranya: 1. Problema Remaja di Indonesia 2. Pembinaan Remaja. 3. Membina Nilai-nilai Moral di Indonesia. 4. Perawatan Jiwa untuk Anak-Anak. 5. Islam dan Kesehatan Mental. 6. Kesehatan (untuk SD, empat Jilid). 7. Salat Menjadikan Hidup Bermakna. 8. Puasa Meningkatkan Kesehatan Mental. 9. Pendidikan Islam dalam Keluarga dan Sekolah 10. Haji Ibadah yang Unik. 11. Kebahagiaan, Remaja, Harapan dan Tantangan. 12. Doa Meningkatkan Semangat Hidup 13. Zakat Pembersih Harta dan Jiwa. 14. Ilmu Jiwa Agama (Nata, 2005:238). Dari sekian banyak karya tulisnya yang berhubungan dengan remaja dan atau kenakalan remaja dan yang ada di tangan peneliti sekaligus akan diberi komentar singkat adalah:
24
1) Buku yang berjudul: Problema Remaja di Indonesia. Buku ini merupakan terjemahan dari tesis yang diajukan olehnya untuk mencapai gelar M.A dalam bidang pendidikan, dengan spesialisasi tentang kesehatan mental. Tesis ini telah dipertahankan dalam sidang munaqasah umum, Fakultas Pendidikan, Universitas Ein Shams, Cairo, Mesir, pada bulan Oktober tahun 1959. Salah satu yang menarik dari buku tersebut, ia telah mampu mendeskripsikan problema remaja yang ada di Indonesia. Terlihat dalam pernyataanya, bahwa menurutnya problema terbesar pada umur remaja itu ialah kurangnya pengertian orang tua terhadap problema remaja. Pada halaman lain ia menyampaikan nasehat kepada para ibu agar berupaya memahami jiwa remaja, karena remaja adalah suatu masa dari umur manusia yang paling banyak mengalami perubahan, sehingga membawanya pindah dari masa anak-anak menuju kepada masa dewasa. 2) Perawatan Jiwa untuk Anak-anak Di antara uraian buku tersebut yang peneliti pandang sangat menarik adalah pernyataannya tentang orang tua. Menurutnya: orang tua seringkali menyangka bahwa mereka cukup sayang kepada anaknya akan tetapi banyak sekali anak-anak yang menderita, karena mereka merasa tidak disayangi. Dimanakah letak perbedaan ini? Pada umumnya, orang tua menyayangi anak dengan cara masing-masing. Ada yang membelikan segala macam permainan berharga, mencukupkan makan dan pakaian serta mengabulkan segala permintaannya. Sementara, orang tua lainnya merasa
25
cukup sayang apabila ia mengkhususkan seorang pembantu untuk anaknya. Menurut Zakiah Daradjat, sebenarnya yang sangat dibutuhkan anak, bukanlah benda-benda atau hal-hal lahir itu, melainkan jauh lebih penting dari itu adalah kepuasan batin, merasa dapat tempat yang wajar dalam hati kedua ibu bapaknya. Mungkin saja kebutuhan materil kurang terpenuhi, karena orang tuanya tidak mampu, namun ia cukup merasakan kasih sayang dari kedua orang tuanya itu. 3) Membina Nilai-nilai Moral di Indonesia Dalam buku ini, Zakiah Daradjat sangat memberi perhatian yang sangat besar pada aspek moral. Hal ini sebagaimana tampak dalam uraiannya memberi porsi yang banyak pada kajian moral anak-anak. Ia menawarkan suatu solusi guna mencapai perbaikan moral yaitu : a. Penyaringan terhadap kebudayaan asing. b. Pembinaan mental harus ditingkatkan. c. Menciptakan rasa aman dalam masyarakat. d. Perbaikan sistem pendidikan nasional. e. Peningkatan perhatian terhadap pendidikan. f. Memperbanyak badan bimbingan dan penyuluhan. g. Bimbingan dalam pengisian waktu senggang. 4) Remaja, Harapan dan Tantangan, buku ini merupakan rangkaian dari Berbagai bahan yang pernah disajikannya selama beberapa tahun yang silam, baik lewat radio, televisi, konferensi, seminar, diskusi, ceramahumum dan sebagainya. Setelah mengupas panjang lebar tentang
26
remaja, ia kemudian melontarkan ide pembinaan dan penanggulangan masalah remaja lewat peranan agama; peranan keluarga; peranan sekolah; dan peranan pramuka. Dalam bagian penutup buku itu ia mengemukakan: kita seharusnya mengerti dan menyadari, bahwa masa remaja itu penuh tantangan dan permasalahan baik yang timbul dari dalam dirinya maupun yang datang dari keluarga, lingkungan sosial, dan terutama sekali dari berbagai alat dan media masa yang selalu datang silih berganti. 5) Kesehatan Mental Buku ini telah mengalami beberapa cetak ulang, dan yang kebetulan peneliti miliki telah mencapai cetakan ke-10. Yang menarik dari buku ini adalah penjelasannya ringkas namun padat. Ia menyatakan yang menyebabkan timbulnya kenakalan anak remaja adalah kurangnya didikkan agama; kurang pengertian orang tua tentang pendidikan; kurang teraturnya pengisian waktu; tidak stabilnya keadaan sosial politik dan ekonomi; kemerosotan moral dan mental orang dewasa, banyaknya film dan buku-buku bacaan yang tidak baik; pendidikan dalam sekolah yang kurang baik; dan kurangnya perhatian masyarakat terhadap pendidikan anak-anak. Maka sebagai usaha untuk menghadapi kenakalan anak-anak Prof. Zakiah Daradjat memberikan enam butir pemecahan yaitu melalui pendidikan agama; orang tua harus mengerti dasar-dasar pendidikan; pengisian waktu terluang dengan teratur; membentuk markas-markas bimbingan dan penyuluhan; pengertian dan pengamalan ajaran agama; penyaringan buku-buku cerita, komik dan sebagainya.
27
E. Deskripsi Buku Membina Nilai-nilai Moral di Indonesia Buku karangan zakiah Daradjat tersebut memiliki sebanyak 123 halaman yang telah diterbitkan oleh penerbit Bulan Bintang Jakarta sebanyak Empat kali cetakan. Cetakan pertama pada Tahun 1971, cetakan kedua pada Tahun 1973, cetakan ketiga pada Tahun 1976 dan cetakan yang terakhir Tahun 1977. Buku Membina Nilai-nilai Moral di Indonesia terdiri dari Empat bagian pembahasan meliputi: Bagian Pertama, masalah pendidikan moral di Indonesia. Pada bagian ini membahas masalah moral yang sedang dihadapi, faktor-faktor yang menyebabkan merosotnya moral anak-anak, dan pendidikan moral guna menyelamatkan generasi yang akan datang. Bagian keDua, masalah dekadensi moral di Indonesia. Pada bagian ini membahas ketentuan tentang nilai moral, nilai-ilai moral menurut Pancasila, keadaan moral dalam masyarakat ditinjau dari moral Pancasila, sebab-sebab kemerosotan moral, dan usaha-usaha perbaikan moral. Bagian keTiga, pola penanggulangan kenakalan anak dan remaja. Pada bagian ini membahas usaha preventif yang meliputi; bidang-bidang pendidikan, bidang-bidang sosial, bidang kesehatan, dan usaha-usaha mengurangi dan menghilangkan penyakit-penyakit masyarakat. Usahausaha represif meliputi; bidang hukum dan acara pidana dan sarana-sarana represif. Usaha-usaha rehablitasi meliputi; bidang mental dan spiritual, bidang fisik, bdang sosial dan sarana-sarana rehabilitasi.
28
Bagian keEmpat, Masalah remaja. Pada bagian ini membahas masalah remaja serta remaja dan agama. Bagian keLima, pembinaan moral. Padabagian ini membahas tentang masalah yang dihadapi, anlisa masalah dan pembinaan moral.
29
BAB III DESKRIPSI PEMIKIRAN
A. Pendidikan Moral 1. Pengertian Pendidikan Moral Pendidikan
di
definisikan
sebagai
humanisasi
(upaya)
memanusiakan (manusia), yaitu suatu upaya dalam rangka membantu manusia (peserta didik) agar mampu hidup sesuai dengan martabat kemanusiaannya (Wahyudin, 2009:29). Dalam buku pedagogik, makna pendidikan dapat dilihat dalam pengertian secara khusus dan pengertian secara luas. Dalam arti khusus, Langeveld mengemukakan bahwa pendidikan adalah bimbingan yang diberikan oleh orang dewasa kepada anak yang belum dewasa untuk mencapai
kedewasaannya.
Pendidikan
dalam
arti
khusus
ini
menggambarkan upaya pendidikan yang terpusat dalam lingkungan keluarga (Sadulloh, 2010: 3). Pendidikan dalam arti luas merupakan usaha manusia untuk meningkatkan kesejahteraan hidupnya, yang berlangsung sepanjang hayat. Menurut Henderson, pendidikan merupakan suatu proses pertumbuhan dan perkembangan, sebagai hasil interaksi individu dengan lingkungan sosial dan lingkungan fisik, berlangsung sepanjang hayat sejak manusia lahir. Dalam Undang-Undang R.I No. 20 tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional dikatakan bahwa: Pendidikan adalah usaha sadar dan terencana
30
untuk mewujudkan suasana belajar dan proses pembelajaran agar peserta didik secara aktif mengembangkan potensi dirinya untuk memiliki kekuatan spiritual keagamaan, pengendalian diri, kepribadian, kecerdasan, akhlak mulia, serta keterampilan yang diperlukan dirinya, masyarakat, bangsa, dan negara (Sadulloh, 2010:5). Dari pengertian-pengertian pendidikan dalam arti luas di atas, ada beberapa prinsip dasar tentang pendidikan: Pertama, bahwa pendidikan berlangsung seumur hidup. Kedua, bahwa tanggung jawab pendidikan merupakan tanggung jawab bersama semua manusia, baik tanggung jawab orang tua, masyarakat, dan pemerintah. Ketiga, bagi manusia pendidikan merupakan suatu keharusan, karena dengan pendidikan manusia akan memiliki kemampuan dan kepribadian yang berkembang, yang disebut manusia seluruhnya (Sadulloh, 2010:6). Sedangkan Kata moral berasal dari bahasa Latin mos (jamak: mores) yang berarti kebiasaan atau adat. Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) moral adalah (ajaran tertentu) baik buruk perbuatan dan kelakuan (KBBI, 1982:654). Dalam bahasa Inggris dan banyak bahasa lain, termasuk bahasa Indonesia, kata mores masih dipakai dalam arti yang sama. Moral berasal dari bahasa latin“mores” yang artinya adat istiadat, kelakuan, tabiat, atau kebiasaan (Soenarjati, 1989: 25). Moral selalu mengacu pada baik buruknya manusia sebagai manusia, sehingga bidang
31
moral adalah bidang kehidupan manusia dilihat dari segi kebaikannya sebagai manusia (Budiningsih, 2004: 24). Moral merupakan standar baik-buruk yang ditentukan bagi individu oleh nilai-nilai sosial budaya dimana individu tersebut menjadi anggota komunitas sosial. Moralitas merupakan aspek kepribadian yang diperlukan seseorang dalam kaitannya dengan kehidupan sosial secara harmonis, adil, dan seimbang. Perilaku moral diperlukan demi terwujudnya kehidupan yang damai penuh keteraturan, ketertiban, dan keharmonisan (Asrori, 2007: 155). Adapun menurut Bertens moral yaitu nilai-nilai dan norma-norma yang menjadi pegangan bagi seseorang atau suatu kelompok dalam mengatur tinggah lakunya (Bertens, 1993:7) Menurut Djahiri yang dikutip dari Kohlberg dalam bukunya Cognitive Development Theory The Practice of Collective Moral Education, moral diartikan sebagai segala hal yang mengikat, membatasi, dan menentukan serta harus dianut, diyakini, dilaksanakan atau diharapkan dalam kehidupan dinamika kita berada. Moral ada dalam kehidupan serta menuntut dianut, diyakini akan menjadi moralitas sendiri. Djahiri mengatakan lebih lanjut, bahwa moral itu mengikat seseorang karena: (1) dianut orang, kelompok atau masyarakat di mana kita berada, (2) diyakini orang, kelompok atau masyarakat di mana kita berada, (3) dilaksanakan orang, kelompok atau masyarakat di mana kita berada, dan (4) merupakan nilai
32
yang diinginkan atau diharapkan atau dicita-citakan kelompok atau masyarakat di dalam kehidupan kita (Djahiri, 2004:4). Adapun moral sebagimana yang di kutip Zakiah Daradjat kepada Elizabeth Hurlock dalam bukunya Child Development yaitu: “True Morality is behavior wich conforms to social standards and wich is also carried out poluntarily by the individual. It comes with the transition from eksternal to internal authority and consiste of conduct regulated from within. It is accompanied by a feeling of personal responsibility for the act. Added to this it involves giving primary consideration to the welfare of the group, while personal desires or gains are relegated to apposition of secondary importance” (Daradjat, 1977:08). Yang terpokok dari kutipan tersebut ialah yang pertama: moral ialah kelakuan yang sesuai dengan ukuran-ukuran masyarakat, yang timbul dari hati sendiri (bukan paksaan dari luar). Kedua: rasa tangggung jawab atas tindakan itu, dan ketiga: mendahuluan kepentingan umum dari pada keinginan atau kepentingan pribadi. Dari beberapa definisi diatas dapat disimpulkan bahwa pendidikan moral adalah suatu usaha atau upaya dalam rangka membantu manusia (peserta didik) untuk menanamkan nilai-nilai moral atau sopan santun, norma-norma serta etika yang baik dalam kehidupan sehari-hari sehingga terbentuk individu yang otonom, yang memahami nilai-nilai dan normanorma yang berlaku dalam suatu kelompok atau masyarakat tertentu yang didalamnya memuat penilaian baik dan tidak baik yang menjadi tolak ukur masyarakat tertentu.
33
2. Tujuan Pendidikan Moral Tujuan dari pendidikan moral mengacu pada tujuan Pendidikan Nasional yaitu Pendidikan adalah usaha sadar dan terencana untuk mewujudkan peserta didik memiliki kekuatan spiritual keagamaan, pengendalian
diri,
kepribadian,
kecerdasan,
akhlak
mulia,
serta
keterampilan yang diperlukan dirinya, masyarakat, bangsa, dan negara. Dalam pandangan Emile Durkheim tujuan pendidikan moral adalah segala sesuatu yang berobyekan pada masyarakat, ranah moral akan berkembang pada ranah sosial dimulai dari keterlibatan seseorang masyarakat dan bukan tindakan-tindakan yang merefleksikan kepentingan individu semata (Cahyono, 1995:297). Adapun tujuan perbuatan moral menurut al-Ghazali adalah tercapainya kebahagiaaan yang identik dengan kebaikan utama dan kesempurnaan diri. Adapun kebahagiaan menurutnya terbagi menjadi dua yaitu kebahagiaan duniawi dan kebahagiaan ukhrawi. Kebaikan-kebaikan tersebut terangkum dalam empat hal yaitu Hikmah, Syaja’ah, Iffah dan ‘Aadalah (Umiarso, 2010:147). Pertama adalah Hikmah (kebijaksanaan) yaitu kekuatan dan keutamaan akal. Meliputi pengaturan yang baik, kebaikan hati, kebersihan pemikiran, dan kebenaran perkiraan. Yang dimaksud dengan pengaturan yang baik adalah kebaikan fikiran dalam mengambil keputusan yang lebih maslahat dan lebih utama dalam mencapai kebaikan yang agung dan tujuan-tujuan yang mulia dari hal-hal yang berhubungan dengan diri sendiri. Adapun kebaikan hati adalah
34
kemampuan membenarkan hukum dikala terjadi kekaburan pendapat dan perselisihan dalam pendapat. Kemudian yang dinamakan kebersihan pemikiran adalah kecepatan mengerti tentang sarana-sarana yang menyampaikan akibat-akibat terpuji. Sedangkan kebenaran perkiraan adalah sesuainya kebenaran pada hal-hal yang nyata tanpa bantuan anganangan. Kedua, Syaja’ah (keberanian) maksudnya adanya kekuatan nafsu marah. Sifat-sifat yang termasuk dalam keutamaan keberanian diantaranya murah hati, besar hati, berani menanggung derita, merasa senang dengan perbuatan-perbuatan yang mulia, bijaksana dan sopan. Ketiga, Iffah (pemeliharan diri) maksudnya adalah keutamaan syahwat. Sifat-sifat yng termasuk dalam Iffah adalah adanya perasaan malu, toleransi, sabar, murah hati, menjauhi dosa, ramah, dan suka menolong. Keempat, ‘Aadalah suatu kondsi bagi terjadinya tiga kekuatan diatas dan sesuai ketertiban yang semestinya. Tujuan pendidikan moral al-Ghazali adalah terbentuknya moral yang baik pada peserta didik sesuai landasan agama. Moral yang baik yang terstruktur dari Hikmah, Syaja’ah, Iffah dan ‘Aadalah. Adapun tujuan akhir dari moral adalah mencapai kebahagian utama yaitu ma’rifatullah (Umiarso, 2010:150) Dari beberapa pendapat diatas tentang tujuan pendidikan moral, penulis dapat menyimpulkan bahwa tujuan dari pendidikan moral ialah untuk membentuk manusia yang berakhlak mulia yang berlandaskan pada
35
agama yang diaplikasikan terhadap dirinya sendiri maupun masyarakat secara luas dengan tujuan untuk mencapai kebahagiaan.
B. Pendidikan Moral Zakiah Daradjat 1. Pendidikan Moral Zakiah Daradjat Dalam pendidikaan moral, Zakiah Daradjat menentukan dan merumuskan dasar moral yang berlandaskan pada Pancasila, tidak harus mencari pendapat ahli moral dari dunia barat atau timur. Cukuplah kembali kepada dasar Negara yang diakui bersama menjadi landasan hidup setiap warga negara Indonesia yaitu “Pancasila”. Adapun rumusan nilai moral Pancasila ialah realisasi dari Pancasila itu sendiri (Daradjat, 1977:29-34): a. Ketuhanan yang maha Esa Sila pertama dari Pancasila adalah Ketuhanan Yang Maha Esa artinya setiap warga Negara Indonesia harus hidup ber-Tuhan. Realisasi dari Ketuhanan Yang Maha Esa itu hanya mungkin dalam agama. Konsekwensi dari pengakuan tersebut adalah pengakuan atas nilai moral yang di tentukan oleh Tuhan, yang dituangkan dalam ajaran agama. Maka bagi seorang muslim misalnya, nilai moral yang diyakininya adalah yang tercakup dalam ajaran Islam, demikian pula bagi yang beragama Kristen atau Hindu dan sebagainya. Pendek kata nilai moral tidak boleh berlawanan atau bertentangan dengan agama yang dianutnya. Apabila seseorang yang
36
mengaku beragama, akan tetapi ia tidak mengakui Nilai Moral yang diajarkan oleh agamanya, berarti ia tidak mengakui Sila Pertama dari Pancasila. Pengakuan harus ada realisasinya dalam sikap, tindakan dan perbuatan. b. Kemanusiaan yang adil dan beradab. Dalam sila kedua dari Pancasila, dengan tegas disebutkan bahwa setiap orang Indonesia itu dalam segala tindakan dan kelakuanya harus berdasarkan peri kemanusiaan, keadilan dan adabsopan. Untuk membuat patokan dasar dan ketentuan tentang nilai moral, maka harus cocok dengan sila lain dalam Pancasila. Jika tidak, akan kaburlah artinya dan berbagai tafsiran dapat dibuat sesuai selera masing-masing. Demikian seterusnya, sehingga arti kemanusiaan yang adil dan beradab itu dapat ditafsirkan dan ditanggapi dengan berbagai pengertian yang mungkin bertentangan satu sama lain. Kesimpulnya bahwa nilai moral yang berhubungan dengan Sila kedua adalah nilai kemusiaan yang mempunyai kecenderungan kepada sikap adil dan beradab, yang dikehendaki oleh Tuhan. c. Persatuan Indonesia Setiap warga Negara Indoesia yang benar-benar mengerti Pancasila dan menjadikan Pancasila sebagai falsafah hidupnya, harus mempunyai kecenderungan untuk ingin bersatu dan mempersatukan. Nilai moral yang ketiga harus dijelaskan kaitanya dengan sila lain
37
terutama sila pertama (Ketuhanan Yang Maha Esa). Jika tidak dijiwai oleh Ketuhanan. Maka bagi orang yang berkepentingan dan cerdas bisa membuat penafsiran untuk mencari keuntungan bagi dirinya maupun golongnya. d. Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmah kebijaksanaan dalam permusyawaratan perwakilan. Nilai moral yang harus dianut dan hidup dalam diri setiap orang sebagaimana amanat dalam sila ke-empat adalah “Rasa kerakyatan yang dipimpin oleh hikmah kebijaksanaan dalam permusyawaratan”, yaitu yang berlandaskan pada Ketuhanan. Artinya bahwa setiap orang mengaku dirinya seorang yang bermoral Pancasila harus betul-betul merasa bahwa jiwanya terdorong untuk bertindak sesuai dengan ketentuan Pancasila, takut melanggar dan memutarbalikan pengertianya. Maka seorang tidak boleh merasa bahwa lebih berhak dari pada yang lainya. Segala hak dan kewajiban ditentukan dengan hukum yang sama secara adil, jujur dan benar sesuai dengan ketentuan Tuhan. e. Keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia Pada sila ke-lima ini Zakiah daradjat memaparkan bahwa nilai moral yang terkandung adalah tentang nilai keluhuran yang mencerminkan sikap dan suasana kekeluargaan dan kegotong royongan. Keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia akan secara
38
keseluruhan tercipta dengan baik jika dijiwai oleh sila pertama yaitu Ketuhanan yang Maha Esa. Sebagai
kesimpulannya
dapat
dikatakan
bahwa,
untuk
menentukan ada atau tidak adanya dekadensi moral sekarang ini, perlu ada patokan dan ketentuan yang menjelaskan nilai moral yang dianut. Bagi kita sebagai bangsa yang dengan resmi mengakui bahwa filsafat hidup harus berdiri di atas landasan Pancasila, maka ketentuan tentang nilai moral yang akan dijadikan ukuran harus berdasarkan Pancasila. Tanpa ketentuan itu, akan mudah diubah nilai moral sesuai dengan selera seorang yang berpengaruh. Jika orang itu baik, maka akan baik pula nilai yang ditentukanya. Akan tetapi sebaliknya jika tidak baik maka akan tidak baik pula nilai yang ditentukanya sebagai nilai moral bangsa dan hal itu dapat dipertahankanya dengan sombong dan angkuh. Sejalan dengan nilai moral Zakiah Daradjat yang dipaparkan diatas yaitu berlandaskan Pancasila yang memuat butir-butir sila yang harus saling berkaitan. Demi terwujudnya moral yang baik bagi penerus bangsa, zakiah membagi pendidikan moral menjadi tiga (Daradjat, 1977:19-21) diantaranya sebagai berikut: Pertama, pendidikan moral dalam rumah tangga, dalam pendidikan moral keluarga, yang pertama kali harus diperhatikan adalah bagaimana terjalinya hubungan baik antara bapak dan ibu, sehingga pergaulan dan kehidupan mereka bisa menjadi contoh bagi
39
anak-anaknya. Pendidikan moral sudah harus mulai dilaksanakan sejak anak kecil dengan cara membiasakan mereka kepada peraturan yang baik, benar, jujur, adil dan perilaku terpuji lainya. Hal tersebut akan lebih dapat dirasakan akibatnya jika dilakukan dengan pengalaman langsung dalam kehidupan sehari-hari. Kedua, pendidikan moral dalam sekolah, diusahakan supaya sekolah menjadi lapangan yang baik bagi penumbuhan dan perkembangan mental dan moral peserta didik, disamping sebagai tempat
pemberian
pengetahuan,
pendidikan
ketrampilan,
pengembangan bakat dan kecerdasan sekolah juga mampu menjadi lapangan sosial yang baik, dimana pertumbuhan mental, moral, sosial dan segala aspek kepribadian dapat tumbuh dan berkembang. Di dalam sekolah pendidikan agama juga haruslah dilakuan dengan intensif, baik dari segi ilmu maupun amal agar dapat dirasakan secara langsung oleh peserta didik. Hal ini juga dalam rangka mengembangkan didikan agama yang sudah diterimanya dirumah. Hendaknya
segala
sesuatu
yang
berhubungan
dengan
pendidikan dan pengajaran (baik guru, pegawai, buku, perturan dan alat-alat) dapat membawa anak didik kepada pembinaan mental yang sehat, moral yang tinggi sehingga anak dalam pertumbuhanya dan jiwanya tidak goncang. Karena kegoncangan jiwa dapat menimbulkan perilaku yang idak baik.
40
Agar sekolah dan lembaga pendidikan dibersihkan dari tenaga yang kurang baik moralnya dan kurang mempunyai keyakinan beragama. Disetiap sekolah sebisa mungkin harus ada kantor atau biro bimbingan dan penyuluhan, yang akan menampung dan memberikan tuntutan khusus bagi anak yang membutuhkanya. Dengan tujuan untuk mengurangi meluasnya kelakuan moral yang tidak baik kepada temantemanya. Selain itu untuk menolong anak-anak yang memiliki gejala pada kerusakan moral. Ketiga,
pendidikan
moral
dalam
masyarakat,
sebelum
menghadapi pendidikan anak, apabila didalam masyarakat itu memang sudah ada kerusakan moral maka perlu adanya perbaikan yang dimuai dari diri sendiri, keluarga dan orang terdekat. Karena kerusakan moral sangat besar pengaruhnya dalam pembinaan moral anak. Mengusahakan supaya masyarakat, pimpinan dan penguasanya menyadari betapa pentingnya masalah pendidikan anak, terutama pendidikan agama Dari penjelasan diatas dapat disimpulklan bahwa pendidikan moral Zakiah Daradjat berlandaskan butir-butir yang ada pada Pancasila dan untuk merealisasikan pendidikan moral yang ada, perlu adanya pendidikan moral secara bersamaan dan saling menguatkan, baik dalam keluarga, sekolah dan juga masyarakat secara umum.
41
2. Faktor-faktor Yang Menyebabkan Merosotnya Moral Anak-anak Faktor-faktor penyebab dari kemerosotan moral dewasa ini sesungguhnya banyak sekali antara lain yang terpenting adalah: (Daradjat, 1977:13-19) a. Kurang tertanamnya jiwa agama pada tiap-tiap orang dalam masyarakat Keyakinan beragama yang didasarkan atas pengertian yang sungguh-sungguh dan sehat tentang ajaran agama yang dianutya, kemudian
diiringi
dengan
pelaksanaan
ajaran-ajaran
tersebut
merupakan benteng moral yang paling kokoh. Sebagaimana contoh dalam ajaran Islam, yang menjadi ukuran mulia atau hinanya seorang adalah hati dan perbuatanya, hati yang takwa dan perbuatan yang baik. Karena apabila jiwa taqwa telah tertanam dan bertumbuh dengan baik dalam pribadi seseorang, maka dengan sendirinya ia akan berusaha mencari
pengertian
membimbingnya
tentang
dalam
ajaran-ajaran
hidup.
Selain
itu
Islam apabila
yang
akan
keyakinan
beragamanya itu benar-benar telah menjadi bagian integral dari keribadian seseorang, maka keyakinanya itulah yang akan mengawasi segala tindakan, perkataan bahkan perasaanya. b. Keadaan masyarakat yang kurang stabil, baik dari segi ekonomi, sosial dan politik. Faktor kedua yang ikut mempengaruhi moral masyarakat ialah kurang stabilnya keadaan, baik ekonomi, sosial, maupun politik. 42
Kegoncangan atau ketidak stabilan suasana yang melingkungi seseorang menyebabkan gelisah dan cemas, akibat tidak dapatnya mencapai rasa aman dan ketentraman dalam hidup. Misalnya apabila keadaan ekonomi goncang harga barang-barang naik turun dalam batas yang tidak dapat diperkirakan lebih dahulu oleh orang-orang dalam masyarakat, maka untuk mencari keseimbangan jiwa kembali, orang terpaksa berusaha keras. Jika ia gagal dalam usahanya yang sehat, maka ia akan menempuh jalan yang tidak sehat, disinilah terjadi penyelewengan-penyelewengan, pada mulanya karena kebutuhan, tapi bisa tumbuh menjadi keserakan atau loba tamak. Demikian juga dengan keadaan sosial politik, jika tidak stabil, akan menyebabkan orang merasa takut, cemas dan gelisah. c. Pendidikan moral tidak terlaksana sebagaimana mestinya, baik dirumah tangga, sekolah, maupun masyarakat. Faktor ketiga yang juga penting adalah tidak terlaksananya pendidikan moral dengan baik, dalam rumah tangga, sekolah dan masyarakat. Pembinaan moral seharusnya dilaksanakan sejak si anak kecil, sesuai dengan kemampuan dan umurnya. Karena setiap anak yang lahir belum mengetahui mana yang benar dan mana yang salah, dan belum tahu batas-batas dan ketentuan moral yang berlaku dalam lingkunganya. Tanpa dibiasakan menanamkan sikap-sikap yang dianggap baik buat penumbuhan moral, anak-anak akan dibesarkan tanpa pengenalan moral itu.
43
d. Suasana rumah tangga yang kurang baik. Faktor yang terlihat pula dalam masyarakat ialah kerukunan hidup dalam rumah tangga kurang terjamin tidak tampak adanya saling pengertian, saling menerima, saling menghargai, saling mencintai diantara suami isteri. Tidak rukunya ibu dan bapak menyebabkan gelisahnya anakanak, mereka menjadi takut, cemas dan tidak tahan berada di tengah orang tua yang tidak rukun. Maka anak-anak yang gelisah dan cemas itu mudah terdorong pada perbutan-perbuatan yang merupakan ungkapan dari rasa hatinya, biasanya mengganggu ketentraman orang lain. Demikian juga halnya dengan anak-anak yang merasa kurang mendapat perhatian, kasih sayang dan pemeliharaan orang tua akan mencari kepuasan diuar rumah, hal yang demikian umumnya mereka datang dari rumah tangga yang berantakan. e. Diperkenalkanya secara populer obat-obatan dan alat-alat anti hamil. Suatu hal yang sementara tidak disadari bahayanya terhadap moral anak-anak muda adalah diperkenalkanya secara populer obatobatan dan alat-alat yang digunakan untuk mencegah kehamilan. Sebagaimana diketahui bahwa usia muda adalah usia yang baru mengalami dorongan seksual akibat pertumbuhan biologis yang dilaluinya, mereka belum mempunyai pengalaman, dan jika mereka belum mendapat didikan agama yang mendalam, dengan mudah
44
mereka dapat dibujuk oleh orang-orang yang tidak baik (laki-laki ataupun perempuan) yang hanya melampiaskan hawa nafsunya. Maka obat-obat tersebut sangat memungkinkan sekali di gunakan oleh anak muda yang tidak terkecuali anak sekolah atau mahasiswa yang dapat dibujuk oleh orang yang tidak baik ataupun kemauan sendiri karena sudah terbawa arus tanpa terkendali. Orang tidak akan mengetahui karena bekasnya tidak terlihat dari luar. f. Banyaknya
tulisan-tulisan, gambar-gambar,
video, siaran-siaran
kesenian yang tidak mengindahkan dasar-dasar tuntunan moral Suatu hal yang akhir-akhir ini kurang menjdi perhatian bersama ialah tulisan-tuluisan, bacaan-bacaan, video, lukisan-lukisan, keseniankesenian dan permainan-permainan yang seolah-olah mendorong anak muda untuk mengikuti arus mudanya. Segi-segi moral dan mental kurang mendapat perhatian hasil-hasil seni itu sekedar ungkapan dari keiginan dan kebutuhan yang sesungguhnya tidak dapat dipenuhi begitu saja. Akan tetapi tidak mengindahkan nilai-nilai moral yang ada. g. Kurang adanya bimbingan untuk mengisi waktu luang (leisure time) dengan cara yang baik, dan yang membawa kepada pembinaan moral. Suatu faktor yang juga mempermudah rusaknya moral anakanak muda ialah kurangnya bimbingan dalam mengisi waktu luang dengan cara baik dan sehat. Umur muda adalah umur suka berhayal, melamun hal yang jauh. Kalau mereka dibiarkan tanpa bimbingan
45
dalam mengisi waktunya maka akan banyaklah lamunan dan kelakuan yang kurang sehat timbul dari mereka. h. Tidak ada atau kurangnya markas-markas bimbingan dan penyuluhan bagi anak-anak dan pemuda-pemuda. Kurangnya
markas
bimbingan
dan
penyuluhan
akan
menyalurkan anak-anak kearah mental yang sehat. Dengan kurangnya atau tidak adanya tempat kembali bagi anak-anak yang gelisah dan butuh bimbingan itu. Memungkinkan mereka pergi bergabung dengan dengan anak-anak yang sama-sama memiliki problem. Dan pada akhirnya akan memuncukan perilaku yang kurang menyenangkan. 3. Usaha-Usaha mencapai Perbaikan Moral Maka diantara usaha yang sangat penting itu hendaklah dilakukan oleh yang berwajib, yang secara resmi adalah penanggung jawab atas bisa dan tidaknya Pancasila menjadi landasan perjuangan pemerintahan dan landasan moral masyarakat, usaha itu antara lain (Daradjat, 1977:57): a. Penyaringan terhadap Kebudayaan Asing Penyaringan tersebut bisa melalui berbagai hal diantaranya: 1) Pengamanan alat komunikasi milik instasi atau lembaga pemerintah dari penghidangan, pertunjukan film, video, permainan, gambar dan pementasan yang bertentangan dengan jiwa Pancasila. Hal tersebut dilakukan untuk meminimalisir penyimpangan yang diakibatkan oleh tayangan-tayangan televisi baik sinetron, film, iklan serta gambar-gambar yang tidak sesuai dengan norma yang ada.
46
2) Sebagai tindakan curatif dan preventif hendaknya segera dilarang pertunjukan film maksiat, gambar dan lukisan yang merangsang untuk berbuat maksiat, pertunjukan dan pemainan sadis yang cendrung pada kekerasan. Singkatnya segala bentuk dan acam hiburan yang bertentangan dengan moral Pancasila segera dilarang tanpa kecuali. Sejalan dengan hal tersebut pemerintah harus segera menertibkan dan mengatur tempat-tempat hiburan seperti taman, rumah, cafe dan club sedemikian rupa. Agar moral Pancasila tidak di injak-injak dan dipandang remeh sebagai tempat kemaksiatan. 3) Gejala kebudayaan asing Budaya asing yang sudah mulai diperkenalkan di Negara Indonesia akhir-akhir ini. Terutama dikota-kota besar seperti pemilihan Ratu Kecantikan, pembukaan night Club, pengembangan kaum homo sex dan perilaku menyimpang lainya. Jika diteliti lebih mendalam adalah bertentangan dengan moral Pancasila. Akan tetapi sangat disayangkan para penguasa tidak sadar, bahwa hal tersebut akan menghancurkan nilai Pancasila. 4) Pelarangan permainan kekerasan Dalam rangka penyaringan terhadap budaya yang tidak baik yang berkembang salah satunya permainan atau pertunjukan yang bersifat kekerasan seperti mengadu binatang ataupun permainan matador dari sepanyol yang pernah dipertunjukan di Jakarta, dimana permain terebut melukai binatang yang digunakanya. Hendaknya
47
pemerintah melarang dan tidak mendatangkan permainan tersebut. Permainan atau pertunjukan yang membuat orang yang menontonya gembira melihat binatang teraniaya itu sangat buruk akibatnya 5) Pelarangan peredaran secara bebas obat-obatan yang membatasi kelahiran. Hal tersebut bisa disalah gunakan oleh remaja maupun anakanak yang belum memiliki kemampuan jiwa untuk mengendalikan diri dari segala bentuk gejolak jiwa yang mengarah pada hal yang negatif. 6) Penertiban dan pengawasan terhadap media cetak yang beredar Penertiban dan pengawasan harus dilakukan terhadap tulisan, gambar dan cerita yang dimuat di surat-surat kabar, majalah, selebaran, dan sebagainya. Sehingga moral Pancasila dapat di amankan dan dipelihara dari unsur kebudayaan asing yang bertentangan dengan Pancasila. Dan banyak lagi macam kebudayaan asing yang bertentangan dengan Pancasila. Hal yang menjadi kunci utama adalah bagaimana penyaringan budaya itu dapat dilakukan dengan sungguh-sungguh dan dilakukan secara bersama baik oleh pihak penguasa, pejabat pemerintah, pendidik, alim ulama dan masyarakat pada umunya. b. Peningkatan pembinaan mental Jika berbicara tentang moral, maka hal tersebut tidak akan lepas dari masalah mental pada umunya. Karena moral adalah wajah dari kondisi mental. Seseorang yang bermental sehat, otomatis dapat diperkirakan
48
moralnya akan baik karena diantara gejala gangguan kejiwaan akan terpantul dan tampak dengan jelas pada moral dan tingkah laku. Dinamika yang menjadi penggerak suatu perbuatan adalah tingkah laku, perangai dan perkataan serta sikap pada umunya adalah mental atau kepribadian secara keseluruhan. Maka untuk menjadikan seseorang sehat mentalnya dan sempurna kepribadianya, harus melalui pembinaan yang sungguh-sungguh yang dilakukan sejak kecil. Adapun pembinaan mental tersebut meliputi (Daradjat, 1977:65): 1) Peningkatan Pendidikan agama Kadang-kadang orang menyangka bahwa penddikan agama itu terbatas kepada ibadah, shalat, puasa, mengaji dan sebagainya. Padahal pendidikan agama harus mencakup keseluruhan hidup yang mejadi pengendali dalam segala tindakan. Bagi orang tua yang membatasi tentang agama, maka pendidikan agama untuk anak-anak dicukupkanya hanya dengan memanggil guru ngaji kerumah, atau hanya menyuruh anak-anaknya untuk pergi mengaji kesekolah atau tempat-tempat kursus lainya. Padahal
yang terpenting dalam
pembinaan jiwa agama adalah keluarga dan harus terjadi melalui pengalaman hidup sianak dalam keluarga, apa yang dilihat di dengar dan dirasakan oleh anak sejak kecil akan mempengaruhi pembinaan mentalnya (Daradjat, 1977:66). Agar pembinaan jiwa agama itu betul-betul dapat membuat kuatnya jiwa anak untuk menghadapi segala tantangan zaman
49
hendaknya terbina sejak lahir, bahkan sejak dalam kandungan sampai usia dewasa dalam masyarakat. Untuk itu pemerintah, pemimpin dan mayarakat, alim ulama dan para pendidik mengadakan usaha peningkatan pendidikan agama bagi keluarga, sekolah dan masyarakat. Hal itu dapat dilakukan dngan cara sebagai berikut: (1) Pendidikan agama dalam keluarga Pendidikan agama dalam keluarga sebagaimana dalam pandangan zakiah daradjat perlu adanya kursus yang diperuntukan bagi para calon suami atau istri tentang penjeasan bagaimana membangun keluarga bahagia ysang tercakup dalam ketentuan hak dan kewajiban suami istri yang ditentukan oleh agama. Selanjutnya
bimbingan
dilakukan
dengan
pedoman
beribadah secara mendalam agar direalisasikan sebagai tameng kebahagian hidup. Kewajiban mendidik dan memelihara anak dengan cara yang diajarkan oleh agamapun harus diketahui oleh setiap calon ibu atau bapak. Bagaimana cara menghadapi dan mendidik anak adalah masalah penting yang tidak boleh diabaikan dalam keluarga (Daradjat, 1977:67). Dari sinilah akan timbul tindakan cara hidup dan bimbingan terhadap anak-anaknya sesuai dengan ajaran agama. Apabila si anak hidup dalam kelurga yang beriman selalu melihat orang tuanya rukun dan damai serta patuh menjalankan ibadah kepada
50
Tuhan maka bibit pertama yang masuk dalam pribadi anak adalah apa yang dialaminya itu yaitu ketentraman hati dan kecintaan kepada Tuhan. Jadi sejak permulaan hidupnya anak mulai mengenal agama dalam kehidupan orang tuanya. Cara perlakuan orang tua terhadap anak dan anggota keluarga lainya. Di samping kebiasaan hidup yang sesuai dengan agama yang dialaminya sejak kecil. Inilah yang akan membina mental beragama pada anak di kemudian hari. (2) Pendidikan agama di sekolah Pembinaan jiwa agama yang telah dimulai di rumah, dapat diteruskan disekolah. Dalam peningkatan pendidikan agama di sekolah, yang dimaksud pendidikan agama bukanlah yang diberikan oleh guru agama saja, akan tetapi oleh seluruh staf pengajar, staf pimpinan sekolah, pegawai, alat serta peraturan dan tata tertib yang berlaku di sekolah. Maka setiap guru, baik guru agama ataupun umum harus berjiwa agama dan menjunjung tinggi ajaran agama, walaupun tidak mendalaminya, namun kepribadian, akhak dan sikapnya, hendaknya dapat mendorong anak didik untuk mencintai agama dan hidup sesuai dengan ajaran agama. Sebagai contoh dalam pendidikan jasmani dan olah raga, hendaknya anak juga dapat merasakan bahwa agama menyuruh orang
berolah
raga
dan
51
memperkuat
jasmaninya.
Dalam
pelaksanaan pendidikan jasmani dan olah raga itu, hendaknya sekolah menjaga jangan sampai larangan agama terlanggar. Misalnya dalam latihan berenang, agar dipisah antara laki-laki dan wanita. Karena dalam agama laki-laki dan wanita tidak boleh melihat tubuh lawan jenisnya kecuali dalam batasan-batasan yang sudah di tentukan. Apabila guru renang tidak mengindahkan aturan agama dalam hal pakaian misalnya, maka pendidikan yang diberikan oleh guru renang akan berlawanan dengan apa yang akan disampaikan oleh guru agama dan bertentangan sekaligus dengan moral Pancasila. Disetiap sekolah harus terjamin pelaksanaan ajaran agama, sedangkan pendidikan agama khusus yang diberikan oleh guru agama harus di tingkatkan pula dalam segala segi. Peningkatan harus terjadi dalam kurikulum, metodik dan guru itu sendiri. Dengan baiknya kurikulum, metodik dan guru agama, maka kecintaan anak didik kepada agama akan meningkat. Untuk menjamin peningkatan pendidikan sekolah perlu diadakan upgrading guru umum dalam bidang agama dan up-grading guru agama dalam bidang ilmu jiwa perkembangan dan ilmu mendidik. Serta up-greding. Bagi seluruh aparatur sekolah dalam bidang agama (Daradjat, 1977:68).
52
(3) Pendidikan agama dalam masyarakat Setelah penanaman jiwa agama dilaksanakan dalam keluarga dan sekolah. Maka hendaknya dalam masyarakat dapat terpelihara dan terjamin hidupnya jiwa agama. Misalnya dalam kehidupan mayarakat hendaknya terjamin kesempatan untuk melakukan ibadahnya antara lain: mengutamakan waktu shalat dari pada pekerjaan lainya ketika waktu shalat datang, pendidikan agama ditingkatkan disetiap RT dan RW seperti diadakan kursus dan pelajaran agama secara teratur. Pengajaran agama itu hendaknya mencakup segala kehidupan, semua perbuatan dan kemungkinan yang menyebabkan terjadinya pelanggaran terhadap ajaran agama harus dihindarkan dari masyarakat (Daradjat, 1977:70) 2) Pembinaan moral Pancasila Untuk menjamin hidupnya moral Pancasila dalam hati setiap orang, hendaknya pendidikan moral itu dilaksanakan dengan sungguh-sungguh. Walaupun ketentuan dan batas-batas yang tegas tentang moral Pancasila dalam undang-undang belum ada, namun nilai itu sudah ada dan dapat dilasanakan dan setiap orang perlu dibina kearah itu. Pembinaan moral Pancasila sesungguhnya jauh lebih penting dari pada menghafalkan teks dan sejarah Pancasila. Karena moral Pancasila itulah yang dapat menjadikan Pancasila sebagai landasan hidup. Tanpa melaksanakan moral Pancasila dalam hidup,
53
tidak mungkin seorang dikatakan pancasialis. Pembinaan moral Pancasila harus dilaksanakan disekolah terhadap anak didik, di kantor terhadap pegawai atau petugas dan masyarakat dengan segala lapisanya. Moral Pancasila yang akan dibina ialah yang tercermin dari setiap sila dalam Pancasila. Maka tujuan dari pembinaan moral Pancasila ialah agar setiap orang dalam hidupnya mengatur dan mengendalikan tingkah laku dan perbuatanya sehingga tidak bertentangan dengan Pancasila. Untuk itu pembinaan moral Pancasila, harus melalui pembinaan moral pada umumnya yaitu dengan memberi contoh dalam hidup, jika ada seorang guru dan ingin membina moral anak didiknya, maka harus melaksanakan nilai moral itu dalam hidupnya, yaitu sesuai dengan ajaran agama, hidup sopan, beradab dan menjunjung tinggi perikemanusiaan, bersatunya perkataan dan perbuatan dan jauh dari perkataan dan perbuatan yang menimbulkan perpecahan. Selanjutnya moral kerakyatan dan keadilan harus tercermin dengan nyata dalam tindakan menghadapi anak didik (Daradjat, 1977:70) . c. Menciptakan rasa aman dalam masyarakat Rasa aman merupakan salah satu faktor yang mempengaruhi moral. Diantara faktor yang menyebabkan timbulnya kerusakan moral adalah perasaan gelisah dan kurang aman. Dan rasa aman ini harus diciptakan dan
54
dijamin oleh pemerintah, para penguasa dalam setiap instasi lembaga dan masyarakat pada umunya. Salah satu hal yang sangat penting demi terciptanya keamanan alam masyarakat adalah berjalanya kepastian hukum, apabila undang-undang peraturan dan ketentuan hukum pada umunya dijamin pelaksanaanya secara adil dan jujur, maka rasa aman masyarakat akan terjamin. Dalam pelaksanaanya hukum itu hendaknya bersifat yang benar dibenarkan dan yang salah disalahkan. Hal tersebut diterapkan terhadap siapa saja, baik diri sendiri, golongan sendiri maupun orang lain. Jika ada hal yang terjadi, seseorang yang berbuat salah secara hukum dan telah menimbulkan kerugian pada orang lain hendaknya orang tersebut ditindak secara hukum dengan adil. Jangan sampai dilindungi dan dicarikan alasan untuk membela dan membebaskanya walaupun hal tersebut dilakukan oleh kalangan sendiri. Jika terjadi ketidak adilan kenyataan dan pembelaan yang tidak benar, akan timbulah rasa tidak tentram dan tidak puas pada orang yang merasa dirugikan dan merasa kehilangan tempat berlindung. Ketidak puasan dan rasa tertekan itu akan menimbulkan tindakan balas dendam dan pada akhirnya akan terjadi gejala rusaknya moral (Daradjat, 1977:73). d. Perbaikan sistem pendidikan nasional Sistem pendidikan nasional hendaknya dapat membawa setiap anak didik kearah rasa aman dan pasti dalam dirinya. Setiap tingkat yang
55
dilaluinya hendaknya menjadi jaminan, apakah ia akan meneruskan pada jenjang yang lebih tinggi atau akan terjun langsung kedalam masyarakat. Pendidikan kejuruan seyogyanya diperbanyak. Keadaan Negara yang luas dan mempunyai keistimewaan yang bermacam-macam dapat dimanfaatkan untuk pengembangan bakat anak didik sesuai dengan kemampuan yang ada padanya. Dalam rangka mencetak masa depan yang lebih baik harus diatur sedemikian rupa oleh pemerintah. Karena kekurangan keahlian dan kepandaian telah menyebabkan kerugian besar pada bangsa dan Negara. Misalnya pengawetan makanan, minyak tanah, karet, rotan dan semuanya diserahkan kepada tenaga asing padahal rakyat Indonesia sendiri membutuhkan pekerjaan. Korban pendidikan yang terlalu teoristis dan kurang mengindahkan ketrampilan dan kejuruan menengah itu, telah sangat banyak dan telah memepercepat kemerosotan moral. Karena para remaja yang kebingungan dan kehilangan pandangan untuk masa depan itu akan menjadi nakal jika agama tidak merasuk dalam kehidupanya (Daradjat, 1977:75). e. Peningkatan perhatian terhadap pendidikan Dalam peningkatan perhatian dalam pendidikan Zakiah Daradjat menekankan pada kesejahteraan guru. Karena apabila terjadi kurangnya perhatian pemerintah dalam hal tersebut maka akan timbul kebijaksanaan sekolah untuk mencari biaya yang kadang-kadang menimbulkan peningkatan biaya bagi orang tua siswa, yang selanjutnya akan
56
menimbulkan kegelisahan. Disamping sekolah mayarakat secara serentak juga melakukan perhatian terhadap pendidikan secara sunggguh-sungguh (Daradjat, 1977:76). f. Memperbanyak badan bimbingan dan penyuluhan Untuk mengurangi kegelisahan dan kebingungan dan menghadapi kesusahan dan problema hidup perlu adanya biro konsultasi atau badan yang dapat memberikan bimbingan dan penyuluhan (Daradjat, 1977:77). Persoalan hidup baik yang dirasakan oleh orang secara pribadi maupun kelompok, jika tidak diselesaikan akan bertambah bertambah berat dan menimbulkan komplikasi jiwa oleh karena itu badan bimbingan dan penyuluhan sangat dibutuhkan. g. Bimbingan dalam pengisian waktu senggang Ukuran
maju
mundurnya
suatu
bangsa
seringkali
dipakai
kemampuan bangsa itu untuk mengisi waktu senggangnya dengan cara yang baik dan sehat. Waktu senggang (leisure time), yang banyak akan menyebabkaan orang kebingungan (Daradjat, 1977:78). Pengaturan atau bimbingan untuk mengisi waktu senggang itu, harus dikerjakan dengan sengaja, dengan program yang baik dan menyenangkan. Bisa dengan memberikan pelatihan ketrampilan membuka kesempatan untuk bekerja ditempat latihan tersebut. Pengisian terhadap waktu senggang yang teratur dan terarah dengan baik akan menolong dalam pembinan mental dan moral.
57
BAB IV PENDIDIKAN MORAL DI ERA GLOBALISASI
A. Signifikansi Pendidikan Moral di Era Globalisasi Sebagaimana yang telah disinggung pada bab-bab sebelumnya bahwa, globalisasi merupakan proses yang bergerak sangat cepat meresap kesegala aspek kehidupan, baik ekonomi, politik, sosial budaya maupun pedidikan. Gejala yang khas dari proses globalisasi adalah kemajuan_kemajuan ilmu pengetahuan, teknologi komunikasi-informasi dan teknologi transportasi. Kemajuan teknologi rupanya mempengaruhi sangat kuat struktur ekonomi, politik sosial budaya dan pendidikan sehingga globalisasi menjadi hal yang tidak terelakan dan menantang. Namun, globalisasi sebagai suatu proses yang bersifat ambivalen (Dewanta, 2003:20). Hal ini didasarkan pada kenyataan bahwa kemajuan manusia dibidang ilmu pengetahuan dan tekologi akibat globalisasi tidak selalu sebanding dengan peningkatan di bidang moral (Asdi, 1995:23). Dalam satu sisi kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi memang membuat manusia lebih menyelesaikan persoalan hidup, namun disisi lain berdampak negatif ketika ilmu pengetahuan dan teknologi tidak berfungsi sebagai pembebas manusia, melainkan membelenggu dan menguasai manusia. Isu-isu yang berkembang dewasa ini menunjukan adanya dekadensi moral yang signifikan. Berbagai tindak kriminal dan permasalahan sosial lainya menjadi persoalan nasional yang harus segera di tindak lanjuti. Maraknya peredaran dan penggunaan narkoba, minuman keras, pergaulan
58
bebas dan berbagai perilaku moral lainya menarik berbagai pihak untuk segera menanggulanginya. Karena jika hal tersebut dibiarkan berkelanjutan maka generasi yang akan datang cenderung terancam kehilangan eksistensinya. Penanggulangan maupun pencegahan dekadensi moral melibatkan berbagai pakar dan praktisi diberbagai bidang, diantaranya; pendidikan, moral, psikologi dan agama. Banyaknya pemikiran-pemikiran dikontribusikan untuk membina kembali moralitas generasi muda terutama anak-anak dan remaja ataupun pelajar dan mahasiswa. Namun disisi lain, perilaku amoral atau dekadensi moral masih banyak dijupai diberbagai kalangan mulai dari perkotaan sampai di desa-desa seluruh penjuru tanah air. Hal tersebut dapat dilihat dari dampak krisis moral remaja yang diketahui dengan adanya kemajuan informasi. Di satu sisi remaja merasa diuntungkan dengan adanya media yang membahas seputar masalah dan kebutuhan mereka. Sedangkan di sisi lain media merasa kaum remajalah yang tepat menjadi konsumen dari berbagai produk yang ditawarkan. Seperti diketahui bersama bahwa media berperan besar dalam pembentukan budaya masyarakat dan proses peniruan gaya hidup, tidak megherankan pada masa sekarang adanya perubahan cepat dalam teknologi informasi menimbulkan pengaruh negatif meskipun pengaruh positifnya masih terasa. Hal ini terlihat jika dapat diumpamakan remaja perkotaan sudah tertular dengan gaya hidup barat. Terlihat pada sikap remaja yang mengikuti perkembangan mode dunia, mulai dari fashion, gaya rambut, casing hand phone, pakaian, cara makan, cara bertutur kata yang lebih sering menggunakan “loe gue” dari pada “aku atau
59
saya, kamu”. Bahkan itu pun mereka ucapkan pada saat berbicara kepada orang yang lebih tua. Padahal menurut budaya timur, harusnya kita harus sopan jika berbicara dengan orang yang lebih tua. Lebih jauh lagi, dampak bagi remaja dapat dilihat khususnya perempuan cenderung tertanam dalam pandangan mereka. Jika perempuan menarik adalah perempuan yang agresif dan seksi. Selain itu, dengan semakin mudahnya remaja mendapatkan VCD porno dan internet yang menampilkan gambar-gambar porno membuat para remaja penasaran untuk mencobanya melalui kehidupan seks bebas atau bahkan jika hasrat seksualnya tinggi bisa nekat melakukan pemerkosaan. Disamping itu, terdapat pula banyak pemilik warung kecil yang dengan bebas menjual kondom bahkan obat perangsang berupa permen karet yang berdampak meningkatkan libido pada wanita. Ini sangat memprihatinkan jika dilihat dari latar belakang Negara kita yang merupakan Negara Timur bukanlah Negara barat. Selain itu, terdapat fenomena kehidupan remaja di perkotaan sering terlihat terdapat pasangan muda mudi yang belum resmi, melakukan sikap yang menyimpang dari moral dan norma, ironisnya lagi terkadang terjadi penggeledahan di hotel-hotel maupun tempat-tempat hiburan malam yang dilakukan oleh pihak yang berwenang karena terdapat praktek mesum dan banyak diantara mereka adalah remaja usia sekolah yang melakukan praktik mesum. Selain itu juga remaja putri yang berjilbab pun patut dipertanyakan meskipun tidak semuanya. Sungguh pemandangan yang kiranya menandakan bahwa moral remaja bangsa ini sudah benar-benar merosot. Faktor keimanan dan niat untuk benar-benar menjauhi sikap buruk,
60
peran keluarga dan media masa sangat berpengaruh terhadap perkembangan moral remaja. media masa harus benar-benar memberikan informasi untuk meningkatkan rasa percaya diri, bebas dari diskriminasi, terlindung dari pelecahan,
kekerasan,
penganiayaan
maupun
eksploitasi
seksualitas
(http://www.kompasiana.com/ditarahayu/makalah-krisis-moral-remaja-padaera-globalisasi diunduh pada pukul 10:13, Selasa, 14 juni 2016) Melihat fakta yang sedemikian rupa, menjadi hal yang tidak bisa dipungkiri bahwa Pendidikan moral memegang peranan penting dalam segala aspek kehidupan manusia. Sehingga menjadikan manusia yang mampu dan bermartabat sebagaimana yang di serukan oleh Pendidikan Nasional (UU SISDIKNAS) Nomor 20 tahun 2003 yang menerangkan bahwa tujuan Pendidikan Nasional adalah untuk mengembangkan kemampuan dan membentuk watak yang bermartabat, dimana dalam proses pendidikan harus ditanamkan nilai-nilai moral. Untuk mewujudkan pendidikan moral tersebut dapat diperoleh dari lingkungan sekolah, lingkungan masyarakat maupun lingkungan keluarga. Di lingkungan sekolah merupakan kewajiban guru untuk memberikan pendidikan moral pada siswanya. Begitu pula sebaliknya, lingkungan keluarga merupakan tugas orang tua, dan lingkungan masyarakat tugas dari diri sendiri untuk membedakan antara yang baik dan yang buruk (Daradjat, 1977:19).
61
B. Relevansi pendidikan moral Zakiah Daradjat di era Globalisasi Sebagaiama yang telah dipaparkan sebelumnya bahwa pendidikan moral merupakan suatu yang sangat urgent bagi keberlangsungan suatu bangsa. Karena Pendidikan moral sangat berkitan dengan spirit atau jiwa yang menghidupi gerak dan dinamika masyarakat, sehingga keadaan masyarkat tersebut semakin berbudaya dan bermartabat. Keadaan tersebut pada giliranya akan membentuk karakter bangsa (Nata, 2013:150) Zakiah Daradjat dalam pemikiranya memberikan sumbangsih berupa gagasan-gagasan yang mendasar berkaitan dengan pendidikan moral yang bertujuan untuk membentuk bangsa yang sejahtera dan bermartabat. Maka perlu dipaparkan apakah gagasan tersebut masih relevan jika dikaitkan dengan era globalisasi sekarang ini ataupun tidak. Adapun gagasan Zakiah Daradjat Sebagai berikut: 1. Pendidikan Moral Pancasila a. Moral sila pertama Setiap warga negara Indonesia yang seharusnya percaya dan mengakui
ketuhanan
YME,
moralnya
harus
mencerminkan
kepercayaan kepada Tuhan (Daradjat, 1977:36), maka ukuran yang dipakai adalah ukuran dan ketentuan agama, karena realisasi dari ketuhanan YME, hanya mungkin dalam agama. Maka moral dalam agama Islam bagi orang yang beragama Islam.
62
Batas dan ketentuan agama tentang akhlak yang mulia dalam Islam sangat banyak, ketentuan itu dijelaskan dalam bentuk suruhan maupun larangan. Adapun ketentuan-ketentuannya meliputi: 1. Benar dan Jujur Setiap orang yang mengakui Pancasila menjadi landasan hidupnya harus bersifat benar dan jujur (Daradjat, 1977:37). Hal tersebut diterapkan dalam berbagai kondisi dan keadaan yang direalisasikan melalui ucapan dan perbuatan. Karna sudah sangat jelas bahwa agama sangat melarang tindakan yang tida benr dan berbuat tidak jujur sebagaimana yang termaktub dalam alQur’an surt al-Baqarah ayat 42 (Kementrian Agama, 2009:7)
Artinya: “Dan janganlah kamu campur adukkan yang hak dengan yang bathil dan janganlah kamu sembunyikan yang hak itu, sedang kamu Mengetahui”. Dan surat An-Nisa’ ayat 111 dan 112 (Kementrian Agama, 2009:96):
Artinya: “Barangsiapa yang mengerjakan dosa, Maka Sesungguhnya ia mengerjakannya untuk (kemudharatan)
63
dirinya sendiri. dan Allah Maha mengetahui lagi Maha Bijaksana,.. Dan barangsiapa yang mengerjakan kesalahan atau dosa, Kemudian dituduhkannya kepada orang yang tidak bersalah, Maka Sesungguhnya ia Telah berbuat suatu kebohongan dan dosa yang nyata”. Dapat dikatakan secara tegas bahwa moral agama adalah berkata benar dan berbuat jujur (Daradjat, 1977:37). Jika dikaitkan dengan fakta yang ada maka nilai kejujuran dan kebenaran telah mengalami
degradasi
sehingga
bermunculan
penyimpangan-
penyimpangan seperti kolusi, korupsi dan nepotisme, plagiatisme dan perilaku-perilaku amoral lainya. 2. Berani Keberanian adalah suatu sifat yang harus dimiliki oleh orang yang percaya kepada Tuhan. Berani mengatakan dan melakukan yang benar (Daradjat, 1977;38). Al-Quran menjelasan didalam surat alBaqarah ayat 150 (kementrian Agama, 2009:23)
Artinya: “…Maka janganlah kamu takut kepada mereka dan takutlah kepada-Ku (saja). dan agar Ku-sempurnakan nikmat-Ku atasmu, dan supaya kamu mendapat petunjuk”. Dan surat fushilat ayat 30 (kementrian Agama, 2009:480)
64
Artinya: “Sesungguhnya orang-orang yang mengatakan: "Tuhan kami ialah Allah" Kemudian mereka meneguhkan pendirian mereka, Maka malaikat akan turun kepada mereka dengan mengatakan: "Janganlah kamu takut dan janganlah merasa sedih; dan gembirakanlah mereka dengan jannah yang Telah dijanjikan Allah kepadamu". Dalam ajaran Islam yang ditauti hanyalah Allah saja. Maka tidak ada alasan bagi orang yang tidak menentang ketentuan Allah untuk takut lagi. Karna yang mejadi pelindung orang yang beriman adalah Allah. Jika diteliti dan ditinjau dalam kehidupan sosial politik dan ekonomi di Negara sekarang ini, maka dapat dikatakan bahwa keberanian untuk mengatakan kebenaran agak kurang. Bahkan seringkali justru yang ada adalah keberanian berlebih-lebihan dalam membela tindakan atau perbuatan yang tidak dibenarkan oleh ajaran agama yang dianutnya sendiri (Daradat, 1977:39). Yang banyak terjadi dalam era globalisasi sekarang ini adalah ketakutan (ketidak beranian) mengemukakan yang benar dan menegur yang salah. Takut jikalau kedudukan yang diperolehnya akan digeser ketika yang bersalah adalah atasanya atau orang yang dipandang berkuasa dan dapat menentukan kehidupan dan mata pencaharianya. Selain itu banyak juga terjadi seorang muslim yang angkuh dan sombong dapat dengan terang-terangan menentang ajaran agama yang di anutnya karena merasa dirinya telah mampu dan berkuasa. Maka keberanian yang di angkat dalam pandangan Zakiah adalah keberanian yang memiliki ruh agama yang merujuk kepada
65
keberanian dalam kebenaran. Bukan keberanian hukum rimba yang kuat semakin kuat dengan kedudukan dan hartanya yang kecil semakin lemah dan tertindas walaupun pada jalan yang benar. 3. Adil Setiap orang pada umumnya mengatakan bahwa dia adalah seorang pecinta keadilan dan bertindak adil (Daradjat, 1977:39) dalam kenyataanya hal tersebut sangat sulit untuk mendapatkan pembenaran. Demikian seorang muslimpun di suruh Tuhan untuk belaku adil dalam segala hal, sekalipun terhadap diri sendiri. Sebgaimana termaktub dla Qur’an Surat An-Nahl ayat 90 (Kementrian Agaama, 2009:277):
Artinya: “Sesungguhnya Allah menyuruh (kamu) berlaku adil dan berbuat kebajikan, memberi kepada kaum kerabat, dan Allah melarang dari perbuatan keji, kemungkaran dan permusuhan. dia memberi pengajaran kepadamu agar kamu dapat mengambil pelajaran”. Dalam ayat ini Tuhan menyuruh kita berbuat adil dan benar dalam menjadi saksi. Keadilan yang diajarkan oleh agama Islam jika diterapkan dalam hidup dengan benar dan diakui sebagai salah satu dari nilai moral maka akan selamatlah bangsa dan Negara (Daradjat, 1977:41).
66
Bukan menjadi rahasia lagi yang terjadi dalam masyarakat sekarang ini bahwa nilai moral yang berhubungan dengan keadilan itu seolah-olah telah menjadi beku dan tidak dilaksanakan baik dari kalanan rakyat jelata maupun dari kalangan tinggi pejabat pemerintah, pedagang petani, pengusaha, pegawai kecil dan sebagainya. Pendidikan moral sila pertama yang diusung zakiah Daradjat pada dasarnya memberikan gambaran yang bersifat universal untuk kebaikan pelaku moral itu sendiri dengan berbuat kebaikan dan berlaku jujur dan juga kebaikan untuk semua orang dengan bersikap berani mempertahankan kebenaran dan berlaku adil. b. Moral sila kedua Untuk mengukur sejauh mana moral sila kedua tercermin dalam kehidupan bangsa maka harus dikaitkan dengan sila pertama yang menjadi jiwa dari sila-sila berikutnya (Daradjat, 1977:44) Realita yang sangat mencolok sudah tercermin dalam kehidupan masyarakat sekarang ini. Kemanusian yang adil sulit dicari. Orang hidup hanya mengedepankan kepentingan diri dan golonganya (Dradjat, 1977:44). Hal tersebut seakan sudah menjadi kebiasaan yang membahayakan, kadang-kadang fitnah dan dusta dengan sengaja dibuat untuk mencari keuntungan diri sendiri. Yang salah dibenarkan dan yang benar disalahkan. Sehingga nilai moral yang kedua ini dijungkirbalikan oleh masyarakat tidak hanya terbatas dalam rakyat
67
secara umum, melainkan dikalangan pemimpin dan penguasa instansi dan lembaga pemerintah. c. Moral sila ketiga Untuk dapat merealisasikan sila ketiga ini Zakiah memberikan gambaran harus adanya kesesuaian antara ucapan dan perbuatan. Karena orang banyak yang menyerukan persatuan akan tetapi sikapnya menunjukan dan menimbulkan perpecahan (Daradjat, 1977:45) oleh karena itu pembinaan moral untuk mencapai persatuan harus segera diwujudkan dan dilaksanakan oleh semua lapisan dalam suatu masyarakat tidak hanya pada golongan tertentu. Sebagaimana
yang
terkandung
dalam
ketetapan
MPR
No.II/MPR/1978 bahwa nilai yang terkandung pada sila ketiga adalah: menempatkan persatuan, kesatuan, keselamatan dan kepentingan bangsa dan Negara diatas kepentingan pribadi atau golongan, rela berkorban untuk Negara, bangga sebagai bangsa Indonesia dan bertanah air Indonesia dan kesatuan bangsa yang ber-Bhineka Tunggal Ika (Syarbaini, 2011:34) b. Moral sila keempat Jika sila keempat dari Pancasila dapat menjadi bagian dari nilai moral setiap orang di tanah air Indonesia tentu tidak akan pernah tedengar orang yang merasa dikucikan dan tidak diperhatikan oleh orang-orang yang berkuasa diatasnya. Sebagaimana dalam ketetapan MPR No.II/MPR/1978 bahwa nilai yang terkandung pada sila keempat
68
adalah: mengutamakan kepentingan Negara dan masyarakat, tidak memaksakan kehendak pada orang lain, mengutaman musyawarah dalam mengambil keputusan untuk epentingan bersama, musyawarah untuk mencapai mufakat diliputi oleh semangat kekeluargaan, dengan itikat baik dan rasa tangung jawab menerima dan melaksanakan hasil putusan musyawarah, musyawarah dilakukan dengan akal sehat dan sesuai dengan hati nurani yang luhur. Keputusan yang diambil harus dapat dipertanggung jawabkan secara moral kepada Tuhan yang maha Esa, menjunjung tinggi harkat dan martabat manusia serta nilai-nilai kebenaran dan keadilan (Syarbaini, 2011:34) c. Moral sila kelima Pancasila butir kelima yang berbunyi keadian sosial bagi seuruh rakyat Indonesia sebagaimana yang tercantum dalam ketetapan MPR No.II/MPR/1978 bahwa nilai yang terkandung pada sila kelima adalah: mengembangkan perbuatan-perbuatan yang luhur, bersikap adil, menjaga keseimbangan antara hak dan kewajiban, menghormati hak-hak orang lain, suka memberi pertolongan kepada orang lain, tidak bersikap
boros,
tidak
melakukan
perbuatan
yang
merugikan
kepentingan umum, menghargai hasil karya orang lain dan bersamasama mewujudkan kemajuan yang merata dan berkeadilan sosial. 2. Pilar-pilar Pendidikan Moral Berbagai terlaksananya
kenyataan pendidikan
dan
realitas
moral,…sebagai
69
yang
menghambat
pilar-pilar
bagi
pendukung
pendidikan karakter tersebut kian hari tampak semakin parah dan lemah (Nata, 2013:154) keadaan tersebut jika tidak diatasi, maka pendidikan yang diharapkan dapat mengatasi dekadensi moral dan akhlak bangsa ini akan sulit diwujudkan. Selanjutnya untuk merealisasikan pendidikan moral Zakiah Daradjat membagi tiga pilar utama lembaga pendidikan diantaranya sebagai berikut: a. Pendidikan Moral dalam Keluarga Keluarga merupakan unit sosial terkecil dalam masyarakat merupakan lingkungan budaya pertama dan utama dalam rangka menamkan norma dan mengembangkan berbagai kebiasaan dan perilaku yang dianggap penting bagi kehidupan pribadi, keluarga dan masyarakat. Dalam buku The National Studi on Family Strength, Nick dan De Frain (Mahmud, 2011:99) mengemukakan beberapa hal tentang pegangan menuju hubungan keluarga dan bahagia, yaitu: Pertama, Terciptanya kehidupan keberagamaan dalam keluarga Kedua, Tersedianya waktu untuk bersama keluarga ketiga, Interaksi segitiga antara ayah, ibu dan anak keempat, Keluarga menjadi prioritas utama dalam setiap situasi dan kondisi yang sehat. Seiring kriteria keluarga yang diungkapkan diatas, maka dapat ditarik benang merah bahwa fungsi keluarga yang terdiri dari fungsi biologis, edukatif, religious, protektif, sosialis dan ekonomis. Dari fungsi tersebut fungsi religius dianggap fungsi paling penting karena sangat erat kaitanya dengan edukatif, sosialisasi dan protektif. Jika fungsi keagamaan dapat dijalankan, maka keluarga tersebut akan
70
memiliki kedewasaan dengan pengakuan pada suatu system dan ketentuan norma beragama yang direalisasikan dalam lingkungan sehari-hari termasuk lingkungan keluarga. Sebagaimana termaktub dalam Q.S. al-Baqarah ayat 132:
Artinya: “Dan Ibrahim Telah mewasiatkan Ucapan itu kepada anakanaknya, demikian pula Ya'qub. (Ibrahim berkata): "Hai anakanakku! Sesungguhnya Allah Telah memilih agama Ini bagimu, Maka janganlah kamu mati kecuali dalam memeluk agama Islam". Sejalan dengan hal tersebut
Zakiah dalam gagasanya
memberikan saran bahwa sudah menjadi keharusan dalam pendidikan moral keluarga, yang pertama kali harus diperhatikan adalah bagaimana terjalinya hubungan baik antara bapak dan ibu, sehingga pergaulan dan kehidupan mereka bisa menjadi contoh bagi anakanaknya. Pendidikan moral sudah harus mulai dilaksanakan sejak anak kecil dengan cara membiasakan mereka kepada peraturan yang baik, benar, jujur, adil dan perilaku terpuji lainya. Hal tersebut akan lebih dapat dirasakan akibatnya jika dilakukan dengan pengalaman langsung dalam kehidupan sehari-hari (Daradjat, 1977:20). Zakiah memberikan point yang terpenting yaitu keteladanan orang tua, dengan norma yang baik yang dilandaskan pada Pancasila
71
yang dijiwai oleh sila pertama yaitu ketuhanan Yang maha Esa dalam hal ini adalah norma agama. Seringkali orang menyangka bahwa pendidikan agama dalam keluarga adalah pemberian pelajaran agama kepada anak. Anggapan tersebut dirasa kurang tepat karna pada hakikatnya yang dimaksud adalah pembinaan jiwa agama pada anak. Atau dengan kata lain “pembinaan pribadi” anak sedemikian rupa sehingga segala tindak tanduknya dalam hidup, sesuai dengan ajaran agama. Dalam agama terdapat kewajiban yang dibebankan kepada orang tua, mulai dari anak lahir, misalnya dengan mengadzankanya. Setelah itu mendidik dan memperlakukanya sesuai dengan ajaran agama. Berkaitan dengan hal tersebut sebagaimana pendapat salah sorang tokoh Psychoterapy, yang mengatakan bahwa: Setiap pengalaman yang dilalui anak dalam hidupnya baik melalui penglihatan, pendengaran, perlakuan yang diterimanya, dan sebagainya ikut menjadi bagian yang membentuk pribadinya. Maka anak yang sering mendengar orang tuanya megucapkan nama Allah, akan mulai mengenal Allah, yang kemudian dapat menolong bertumbuhnya jiwa agama padanya. Dan apabila anak sering melihat orang tuanya ibadah, maka hasil penglihatanya itupun merupakan bibit lainya dalam pembinaan jiwa agama padanya. Demikian selanjutya dengan pergaulan orang tua sesama mereka, perlakuan yang diterimanya secara pribadi atau bersamasama dengan saudara-saudaranya, jika mencerminkan kasih sayang dan ketentraman, akan bertumbuh pulalah pada jiwanya rasa kasih sayang dan rasa aman. Hal itu akan menolongnya dalam mencintai Tuhan. Tapi sebaliknya, jika pengalaman yang dilalui anak dalam masa permulaan dari pembinaan pribadi (dalam keluarga), jauh dari unsur keagamaan maka akan jauh pulalah rasa agama anak dan pribadinya kosong dari agama (Daradjat, 1977).
72
Oleh karena itu menjadi suatu keniscayaan bahwa keluarga merupakan pondasi pertama bagi terbentuknya nilai moral untuk keberlangsungan bangsa yang bermartabat. Apalagi di dunia era globalisasi sekarang ini yang memiliki banyak sekali tantangan yang berbeda dan lebih berfariatif. b. Pendidikan moral di Sekolah Pendidikan moral dalam sekolah, diusahakan supaya sekolah menjadi lapangan yang baik bagi penumbuhan dan perkembangan mental dan moral peserta didik, disamping sebagai tempat pemberian pengetahuan, pendidikan ketrampilan, pengembangan bakat dan kecerdasan sekolah juga mampu menjadi lapangan sosial yang baik, dimana pertumbuhan mental, moral, sosial dan segala aspek kepribadian dapat tumbuh dan berkembang (Daradjat, 1977:21). Di dalam sekolah pendidikan agama juga haruslah dilakuan dengan intensif, baik dari segi ilmu maupun amal agar dapat dirasakan secara langsung oleh peserta didik (Daradjat, 1977:21). Hal ini juga dalam rangka mengembangkan didikan agama yang sudah diterimanya dirumah. Bagi guru selain guru agamapun hendaknya menerapan prinsip agama dalam segala aspek pembelajaranya misalnya bagi guru olahraga ketika Praktik renang berlangsung, maka perlu menerapkan syariat Islam yaitu dengan cara memisahkan antara laki-laki dan
73
perempuan dan juga tidak mengizinkan murid perempuanya memakai pakaian renang yang ketat. Ketika disekolah hal yang penting yang tidak boleh dianggap remeh adalah mengawasi pergaulan diantara murid-muridnya, apakah sudah mengarah kepada pergaulan yang sehat ataukah terbawa oleh pergaulan yang kurang sehat. Hendaknya
segala
sesuatu
yang
berhubungan
dengan
pendidikan dan pengajaran (baik guru, pegawai, buku, perturan dan alat-alat) dapat membawa anak didik kepada pembinaan mental yang sehat, moral yang tinggi sehingga anak dalam pertumbuhanya dan jiwanya tidak goncang. Karena kegoncangan jiwa dapat menimbulkan perilaku yang tidak baik. Disetiap sekolah sebisa mungkin harus ada kantor atau biro bimbingan dan penyuluhan, yang akan menampung dan memberikan tuntutan khusus bagi anak yang membutuhkanya. Dengan tujuan untuk mengurangi meluasnya kelakuan moral yang tidak baik kepada temantemanya. Selain itu untuk menolong anak-anak yang memiliki gejala pada kerusakan moral, seperti yang akhir-akhir ini banyak terjadi perilaku yang dilakukan oleh siswa kepada gurunya. Orang tua perlu memilih sekolah yang mengedepankan pembentukan moral, bukan hanya sekolah yang mengejar prestasi akademik (being smart) namun mengabaikan moral (being good). Hasil riset menunjukkan bahwa IQ hanya menyumbang sekitar 20%
74
bagi kesuksesan anak, yang lain (80%) adalah faktor kecerdasan yang lain, seperti kejujuran, disiplin, setian kawan, komitmen, tanggung jawab, yang semuanya itu masuk dalam kawasan moral. Orang tua dalam mengawal perkembangan anak agar anak dapat berkembangan sesuai
dengan
potensi
awal
yang
dimilikinya
(http://www.infodiknas.com/pendidikan-moral-dalam-keluargamodern-perspektif-ekologi-sosial.html10:32 8/11/2016) Dalam rangka membentuk anak yang bermoral melalui sekolah, orang tua harus proaktif melibatkan diri dalam kegiatan pendidikan anaknya di sekolah. Sayangnya hal ini tidak mudah, karena beberapa orang tua mempunyai pemahaman yang keliru ketika anakanak mereka masuk sekolah, mereka melepaskan tanggung jawab dan membiarkan sekolah mengambil alih sepenuhnya tanggung jawab mendidik anak-anak mereka. Mereka kurang menyadari bahwa keluarga dan sekolah harus bekerja sama dalam kemitraan untuk mengembangkan sepenuhnya potensi anak-anak. Ketika seorang anak pergi ke sekolah, ia memperoleh nilai-nilai, sikap, dan pengetahuan baru yang harus diperkuat oleh keluarga. Ketika keluarga gagal mensuport pembelajaran hal-hal yang baru, anak mungkin akan terperangkap di antara nilai-nilai yang berbeda dan menjadi bingung. Tidak selayaknya jika orang tua menyerahkan sepenuhnya kepada sekolah atas urusan pendidikan anaknya dengan alasan apapun,
75
karena orang tua bersama anggota keluargalah yang memiliki pengaruh besar dalam pembentukan performa anak. c. Pendidikan Moral Dalam Masyarakat Pendidikan moral dalam masyarakat, sebelum menghadapi pendidikan anak, apabila didalam masyarakat itu memang sudah ada kerusakan moral maka perlu adanya perbaikan yang dimuai dari diri sendiri, keluarga dan orang terdekat. Karena kerusakan moral sangat besar pengaruhnya dalam pembinaan moral anak (Daradjat, 1977:22). Mengusahakan supaya masyarakat, pimpinan dan penguasanya menyadari betapa pentingnya masalah pendidikan anak, terutama pendidikan agama Lingkungan sosial juga termasuk salah satu element sosial yang mempengaruhi performa moral anak. Sebagaimana telah disinggung di bagian awal, bahwa anak akan terpengaruh dengan segala interaksi yang dijumpainya. Anak menganggap apa yang disaksikan di sekelilingnya sebagai kebenaran yang harus diikutinya. anak belum memiliki daya selektif yang tinggi terhadap berbagai hal yang ada di sekitarnya. Para orang tua perlu memperjuangkan penciptaan lingkungan sosial yang baik, yang dapat mengapresiasi nilai-nilai kebaikan dalam pergaulan. Mereka juga perlu berusaha untuk menghilangkan faktorfaktor pemicu yang dapat munculkan perilaku amoral dalam lingkungan sosialnya. Usaha penciptaan lingkungan sosial yang baik
76
ini dilakukan sebagai perwujudan tanggung jawab bersama dalam pendidikan antara keluarga, sekolah, masyarakat, dan pemerintah. Kesepakatan penciptaan lingkungan yang baik ini dapat diwujudkan dalam bentuk aturan-aturan sosial yang dimaksudkan untuk melindungi anak-anak dari pengaruh-pengaruh yang tidak baik. Misalnya pemberlakuan jam belajar malam antara jam 19.00 – 21.00, pendirian sanggar belajar di lingkungan, poster-poster moral, sosialisasi pendidikan anak pada berbagai pertemuan lingkungan, gerakan sosial untuk keluarga kurang mampu, dan sebagainya 3. Usaha Perbaikan moral Moral merupakan element terpenting dari suatu bangsa yang beradab. Tanpa moral akan hancurlah tatanan bangsa tersebut. Maka ketika suatu bangsa telah menunjukan gejala dekadensi moral, sudah menjadi keharusan setiap orang, baik individu ataupun kelompok untuk bersama-sama megadakan upaya perbaikan. Zakiah pada masa orde baru era 1977an memberikan banyak sumbangsih dalam pemikiranya. Tentunya dalam setiap generasi, permasalahan yang timbul juga berbeda. Diera globalisasi sekarang ini teknologi merupakan ciri utama dari era tersebut. Hal tersebut bisa diketahui dari lingkungan sekitar, penggunaan teknologi komunkasi baik hand phone, laptop, maupun alat komunikasi lainya sudah bukan sesuatu yang asing lagi. Dulu yang menggunakan hand phone didominasi oleh orang dewasa sekarang anak-anak yang seharusnya belum berkebutuhan untuk menggunakanyapun sudah banyak yang
77
memiliki hand phone maupun laptop yang mereka gunakan. Sehingga menjadi keharusan bagi pilar-pilar pendidikan moral salah satunya orang tua, dengan bijak untuk memonitori anak dan mengarahkan dalam penggunaan alat komunikasi tersebut kepada hal-hal yang positif. Tidak dapat dipungkiri bahwa penggunaan alat komunikasi bagi anak-anak sejatinya belum merupakan hal yang pokok. Sehingga jika orang tua tidak mengawasi dan mengarahkan justru akan lebih banyak dampak negatif yang di dapat dari pada dampak positif. Penyaringan terhadap kebudayaan asing juga merupakan upaya dalam pembinaan moral anak. Hal ini merupakan tanggung jawab semua pihak baik orang tua, sekolah, masyarakat terutama bagi pihak-pihak yang menjadi pintu masuknya budaya asing tersebut misalnya pengamanan alat komunikasi milik lembaga ataupun pemerintah yang menampilkan tayangan-tayangan yang didalamnya bertentangan dengan Pancasila (Daradjat, 1977:60). Selain hal tersebut peningkatan pembinaan mental (Daradjat, 1977:65) menjadi keharusan yang harus dibangun agar menjadi pondasi yang kuat bagi generasi penerus bangsa agar tidak terbawa oleh arus globalisasi. Pembinaan mental melalui pendidikan agama dan melalui pembinaan moral Pancasila. Pendidikan agama yang dimaksud adalah pendidikan pembinaan jiwa agama agar betul-betul dapat membuat kuatnya jiwa anak untuk menghadapi segala tantangan zaman. Hal tersebut harus dibina semenjak lahir bahkan semenjak masih dalam kandungan
78
sampai mencapai usia dewasa dalam masyrakat. Maka Zakiah dalam pemikiranya menyarankan perlunya pemerintah, pemimpin masyarakat, alim-ulama dan para pendidik untuk mengadakan usaha peningkatan pendidikan agama bagi keluarga, sekolah dan masyarakat. Ketika pembinaan moral bisa terealisasikan dengan baik maka halhal yang menjadi faktor dekdensi moral secara perlahan bisa berkurang dan akan tercipta masyarakat yang sejahtera dan damai. Dan pada akhirnya ketika suatu bangsa bermoral akan menjadikan bangsa tersebut menjadi bangsa yang maju dan bermartabat.
79
BAB V PENUTUP
A. Kesimpulan Berdasarkan pembahasan dan analisis dari bab I sampai dengan bab IV guna menjawab fokus masalah dalam penelitian yang dilakukan dan telah disesuaikan dengan tujuan penulisan skripsi di atas, maka ada beberapa hal yang menjadi titik tekan sebagai kesimpulan dalam skripsi ini, yaitu: 1. Pendidikan moral Zakiah Daradjat ialah pendidikan yang berlandaskan pada Pancasila yang menjadikan sila pertamanya yaitu Ketuhanan yang Maha Esa menjadi jiwa atau ruh bagi butir sila yang lain dalam menjalankan pendidikan moral yang ada. Sehingga dalam melaksanakan pendidikan moral Zakiah Daradjat memberikan penekanan kepada semua pilar-pilar pendidikan moral dalam hal ini keluarga, sekolah dan masyarakat
maupun
pemerintah
untuk
bersama-sama
menjadikan
Pancasila menjadi pegangan hidup, tidak cukup hanya menghafalkan teks melainkan dengan cara mengamalkan menyelaraskan antara perbuatan dan ucapan dengan nilai-nilai yang terkandung didalamnya. Disamping itu, Zakiah Daradjat memberikan perhatian yang sangat besar pada aspek moral. Hal ini sebagaimana tampak dalam uraiannya memberi porsi yang banyak pada kajian moral anak-anak. Ia menawarkan suatu solusi guna mencapai perbaikan moral yaitu: Penyaringan terhadap kebudayaan asing,
80
Pembinaan mental harus ditingkatkan, Menciptakan rasa aman dalam masyarakat, Perbaikan sistem pendidikan nasional, Peningkatan perhatian terhadap pendidikan, Memperbanyak badan bimbingan dan penyuluhan dan Bimbingan dalam pengisian waktu senggang. 2. Pemikiran Zakiah Daradjat tentang pendidikan moral jika dikaitkan dengan era globalisasi, berupa Pembinaan mental melalui pendidikan agama dan melalui pembinaan moral Pancasila sangatlah relevan, disamping memberikan solusi sesuai dengan permasalahan dekadensi moral yang ada sekarang ini, juga memberikan dasar pendidikan moral sesuai dengan dasar yang menjadi pedoman bangsa indonesia yaitu Pancasila. Sehingga pedidikan moral Zakiah Daradjat bisa dijadikan pedoman dan pondasi bagi penerus bangsa agar menjadi generasi yang memiliki prinsip keteguhan moral yang baik, tidak mudah goyah, jika dihadapkan dengan berbagai permasalahan yang melanda bangsa Indonesia di era globalisasi ini
B. Saran Dari hasil kesimpulan di atas, perlu kiranya penulis memberikan saran konstruktif bagi dunia pendidikan yakni; 1. Bagi Pendidik Berusaha semaksimal mungkin untuk memiliki jiwa Pancasila, bukan hanya hafal teksual naskah Pancasila akan tetapi dapat mengambil nilai-nilai yang terkandung didalamya sehingga dapat mengaplikasikanya
81
baik dalam ucapan maupun tindakan nyata. Pada giliranya akan menjadi suri tauladan bagi peserta didiknya. 2. Bagi Sekolah atau Instansi Pendidikan Telah disebutkan dalam pembahasan bahwa sila pertama menjadi ruh atau jiwa dalam Pancasila yaitu Ketuhanan Yang Maha Esa, dalam hal ini berkaitan dengan agama maka saran yang membangun kepada sekolah atau instansi pendidikan berusaha untuk menerapkan pendidikan agama bukan hanya diberikan oleh guru agama saja, melainkan mencakup seluruh isi pendidikan yang diberikan tiap-tiap guru, segala peraturan yang berlaku disekolah dan seluruh suasana dan tindakan yang tercermin dalam tindakan semua staf pendidikan, pegawai dan alat yang digunakan dalam pendidikanpun harus mencerminkan pendidikan dan ajaran agama. 3. Bagi Pemerintah Diharapkan sebisa mungkin memfilter kebudayaan-kebudayaan yang bertentangan dengan nilai-nilai Pancasila melalui pengamanan alat komunikasi milik pemerintah, pelarangan film-film yang kurang mendidik. Selain hal tersebut perlu kiranya pemerintah benar-benar mengawasi peredaran obat anti hamil ataupun sejenisnya agar tidak sampai disalahgunakan oleh orang-orang yang tidak bertanggung jawab.
82
DAFTAR PUSTAKA
Bertens, K. 1993. Etika. Jakarta: PT. Gramedia Pustaka Utama. Budiningsih, Asri. 2004. Pembelajaran Moral. Jakarta: Asdi Mahasatya. ___________ , Asri. 2004. Pembelajaran Moral. Jakarta: PT Rineka Cipta. Burhanuddin, Jajat. 2002. Ulama Perempuan Indonesia. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama. Cahyo, Cheppy Hari. 1995. Dimensi-dimensi pendidikan Moral. Semarang: IKIP Press. Darajat, Zakiah. 1968. Membina Nilai-nilai Moral di Indonesia. Jakarta: Bulan Bintang. _____________ , 1977. Problema Remaja di Indonesia. Jakarta: Bulan Bintang. Dewanta, Aria. 2003. Upaya Meluruskan Etika ekologi Global, dalam jurnal Basis No. 01-02 Tahun 52 Januari-Februari. Dewan Redaksi Ensiklopedi Islam. 1994. Ensiklopedi Islam. Cet. 3. Jakarta: PT. Ichtiar Baru Van Hoeve. Kohlberg, Lawrence (1972). Cognitive Development Theory The Practice of Collective Moral Education, New York: Gordon & Breach. Kosasih A. Djahiri, 2004, Hand Out; Dimensi Nilai Moral dan Norma, Bandung: PPs-UPI Muhadjir, Noeng. 2003. Ilmu Pendidikan dan Perubahan Sosial. Yogyakarta: Rake Sarasin. Nata, Abuddin, 2005. Tokoh-tokoh Pembaharuan Pendidikan Islam di Indonesia. Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada. Nata, Abuddin, 2000. Pemikiran Para Tokoh Pendidikan Islam di Indonesia. Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada. ____________, 2013. Kapita Selekta Pendidikan Islam. Jakarta: Raja Wali Pers. Poerwadarminta, WJS. 1982. Kamus Umum Bahasa Indonesia. PN. Jakarta: Balai Pustaka.
Poerwadarminta, WJS. 2006. Kamus Umum Bahasa Indonesia. PBDP N. Jakarta: Balai Pustaka. Sadullah, Uyoh. 2010. Pedagogik. Bandung: Alfabeta. Subhan, Arif.. 1999. Membangun Lembaga Pendidikan Islam Berkualitas. Jakarta: Logos Wacana Ilmu. Syarbaini, Syahrial. 2011. Pendidikan Pancasila, Implementasi Nilai-nilai karakter Bangsa di Perguruan Tinggi. Bogor: Ghalia Indonesia Umiraso. Makmur, Haris Fathoni. 2010. Pendidikan Islam dan Krisis Moralisme Masyarakat Modern. Jogjakarta: IRCiSoD. UU SISDIKNAS. 1993. Undang-undang tentang Sistem Pendidikan Nasional dan Perturan Pelaksanaan (UU RI No.2 Thn.1989). Jakarta: Sinar Grafika, Cet. IV. Wahyudin, Dina, dkk. 2009. Pengantar Pendidikan. Jakarta: Universitas Terbuka http://www.infodiknas.com/pendidikan-moral-dalam-keluarga-modern-perspektifekologi-sosial.html diunduh pada kamis, 10:32 8/11/2016