PEMIKIRAN PROF. DR. ZAKIAH DARADJAT TENTANG PENDIDIKAN ISLAM DALAM PERSPEKTIF PSIKOLOGI AGAMA
NASKAH PUBLIKASI
Disusun Untuk Memenuhi Tugas dan Syarat Guna Memperoleh Gelar Sarjana Pendidikan Islam (S.Pd.I) Program Studi Pendidikan Agama Islam (Tarbiyah)
Oleh : IWAN JANU KURNIAWAN G000080066
FAKULTAS AGAMA ISLAM UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH SURAKARTA 2012
ABSTRAK PEMIKIRAN PROF. DR. ZAKIAH DARADJAT TENTANG PENDIDIKAN ISLAM DALAM PERSPEKTIF PSIKOLOGI AGAMA Pendidikan Islam mempunyai hubungan yang sangat erat dengan psikologi agama, seerat dua sisi koin yang tidak mungkin dilepaskan, satu sama lain saling melengkapi. Biasanya psikologi agama sering digunakan sebagai salah satu pendekatan untuk menyampaikan pesan-pesan yang diusung oleh pendidikan Islam baik di lingkungan keluarga maupun sekolah. Tentunya dalam rangka untuk melahirkan generasi yang beriman, unggul dan tangguh dalam menghadapi persoalan-persoalan yang akan selalu dihadapi dirinya, keluarga dan bangsa ini. Penelitian ini bertujuan untuk menganalisa pemikiran Prof. Dr. Zakiah Daradjat tentang pendidikan Islam dalam perspektif psikologi agama, yang menarik di sini; ialah psikologi agama merupakan disiplin ilmu yang merupakan bagian dari hidupnya, sebab bisa dipastikan di dalam setiap karyanya teori-teori psikologi agama selalu ada. Hal ini dibuktikan dalam sepak terjangnya pada dunia terapi, pendidikan dan dakwah. Beliau sering mengaitkan ide-idenya dengan fenomemafenomena sosial yang terjadi di lingkungan sekitar, misalnya kenakalan remaja, tindakan anarkis, seks bebas, narkoba, dan lain sebagainya. Permasalahan dalam penelitian ini ialah ”Bagaimana pemikiran Prof. Dr. Zakiah Daradjat tentang pendidikan Islam dalam perspektif psikologi agama”. Penelitian ini merupakan penelitian kepustakaan (library research) dan sumber data yang digunakan terdiri dari sumber data primer yaitu seluruh karya dari Prof. Dr. Zakiah Daradjat dengan spesifikasi pada buku Ilmu Jiwa, Ilmu Pendidikan Islam, Pendidikan Agama dalam Pembinaan Mental, dan sumber data sekunder yaitu berupa buku-buku, yang relevan dengan penelitian ini untuk memperkuat argumen serta untuk melengkapi data dari hasil penelitian. Teknik analisis data yang digunakan penulis dalam penelitian ini ialah analisis isi (content analisys). Dengan demikian, dapat ditarik kesimpulan dalam penelitian ini ialah (1). Pendidikan Islam tidak dilepaskan dari psikologi agama, yang satu sama saling membutuhkan, (2). Pendidikan Islam merupakan usaha sengaja yang dilakukan dengan melalui proses bimbingan, arahan, pembinaan terhadap peserta didik, yang berpedoman kepada al- Qur’an dan as Sunnah dan psikologi agama sebagai salah satu pendekatannya, (3). Pembinaan mental tidaklah dimulai dari sekolah melainkan dari keluarga bahkan sejak sebelum anak dilahirkan, setelah dilahirkan oleh orang terdekat dengannya, saudara kandung dan kerabat yang lainnya, yang memberikan dasar-dasar pembentukan kepribadian. Kata Kunci : Pendidikan Islam, Psikologi Agama dan Pembinaan Mental.
PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Pendidikan memegang peranan yang menentukan terhadap eksistensi dan perkembangan masyarakat. Hal ini karena pendidikan merupakan proses usaha melestarikan, mengalihkan, serta mentransformasikan nilai-nilai kebudayaan dalam segala aspek dan jenisnya kepada generasi penerus (Arifin, 2008: 8). Sementara itu, Arifin (2008: 7) mengemukakan bahwa pendidikan Islam adalah sistem pendidikan yang dapat memberikan kemampuan seseorang untuk memimpin kehidupannya sesuai dengan citacita dan nilai-nilai Islam yang telah menjiwai dan mewarnai corak kepribadiannya. Pendidikan dalam Islam sering dijumpai dengan menggunakan istilah al-tarbiyah, al-ta`lim, alta`dib dan al-riyadah (al-Attas, 1994: 35-83). Tentunya semua terminologi tersebut memiliki makna yang berbeda-beda dalam konteks tertentu meskipun pada konteks yang lain memiliki makna yang sama. Senada dengan hal ini, As’aril Muhajir (2011: 76) dalam bukunya “Ilmu Pendidikan Perspektif Kontekstual” tentang pengistilahan pendidikan Islam yang merupakan hasil seminar pada bulan mei tahun 1960 di Bogor, yakni mendefinisikan pendidikan Islam sebagai bimbingan terhadap pertumbuhan ruhani dan jasmani menurut ajaran Islam dengan hikmah mengarahkan, melatih,
mengasuh, dan mengawasi berlakunya ajaran Islam. Keberadaannya merupakan salah satu bentuk manifestasi dari cita-cita hidup Islam yang bisa melestarikan, mengalihkan, menanamkan (internalisasi) dan mentransformasikan nilai-nilai Islam kepada generasi penerus sehingga nilai-nilai kultural-religius yang dicita-citakan dapat tetap berfungsi dan berkembang dalam masyarakat dari waktu ke waktu (Arifin, 2008: 8). Pendidikan Islam memiliki hubungan yang sangat erat dengan psikologi agama. Yaitu pada penanaman nilai-nilai kebaikan dan keadilan dalam diri seseorang. Menurut Quraish Shihab (2007: 434-435), tujuan pendidikan alQur`an (Islam) adalah membina manusia secara pribadi dan kelompok sehingga mampu menjalankan fungsinya sebagai hamba dan khalifah-Nya, serta guna membangun dunia ini sesuai dengan konsep yang ditetapkan Allah Swt. Bahkan psikologi agama sering digunakan sebagai salah satu pendekatan dalam pelaksanaan pendidikan Islam. Misalnya dalam perkembangan agama pada anak, terjadi melalui pengalaman hidupnya sejak kecil, dimulai dari keluarga, sekolah dan lingkungan masyarakat. Selanjutnya kenapa harus psikologi agama? karena manusia memiliki potensi luhur, yaitu fitrah dan ruh yang tidak terjamah dalam psikologi umum (versi barat yang dipopulerkan oleh Pythagoras 572-497) (Harun
Hadiwijono, 1980: 19). Psikologi umum hanya berlandaskan pada paham rasional saja, yang kemudian dijadikan sebagai dasar pijakan bagi konsep-konsep pendidikannya. Ini sangat berbeda dengan Islam yang menjadikan al Qur’an dan as Sunnah sebagai konsep pendidikannya. Sehingga, dengan merujuk pada kedua pedoman tersebut, diharapkan dapat diperoleh hakikat pendidikan Islam. Hakikat pendidikan Islam harus mencakup kehidupan manusia seutuhnya. Pendidikan Islam yang sesungguhnya tidak hanya memperhatikan satu aspek saja, seperti aspek aqidah, ibadah dan akhlaknya saja, melainkan harus mencakup seluruhnya bahkan lebih luas dari itu. Akan tetapi, tak jarang di lapangan, ditemukan bahwa pendidikan nasional maupun pendidikan Islam hanya memfokuskan pada satu aspek saja, semisal aspek aqidah atau aspek akhlaknya saja. Padahal pendidikan Islam harus mencakup semua dimensi manusia, yang pada akhirnya dapat menjangkau kehidupan di dunia dan akhirat (Nata, 2005: 242). Terkait pendidikan Islam, Tafsir (2008: 47) mengungkapkan hal yang sama, menurutnya pendidikan Islam harus mempersiapkan manusia supaya beribadah sebagai hamba-Nya yang taat, sehingga aspek ibadah lebih didahulukan guna meraih kesempurnaan insan untuk mengapai kebahagian dunia dan akhirat. Namun, teori-teori tersebut bertolak belakang dengan apa terjadi di lapangan. Akhir-akhir ini, di tengah-tengah masyarakat terjadi
fenomena-fenomena yang sangat memilukan, seperti tindakan kekerasan, asusila, anarkis, kenakalan remaja, tawuran antar pelajar, bentrok antar warga, seks bebas, dan korupsi bahkan tidak sedikit dari fenomena tersebut menelan korban jiwa hingga berujung pada kematian. Lantas yang menjadi pertanyaan sekarang ialah apa gerangan yang menjadi penyebab terjadi itu semua?, apakah pola asuh dari orang tua dan sekolah yang selama ini salah, atau keadaanlah yang harus mengharuskan terjadi yang demikian?. Tentu jawabannya sangat kompleks dan setiap individu memiliki pandangan yang berbeda pula. Akan tetapi, ini merupakan pekerjaan rumah (PR) bagi semua orang tanpa terkecuali, baik orang tua, tenaga pendidik maupun pemerintah. Menurut Zakiah Daradjat (1996: 31) terjadi fenomenafenomena tersebut mengindikasikan bahwa jiwa mayoritas masyarakat Indonesia mengalami ganguan jiwa (kesehatan mental mengalami gangguan). Terjadinya penyakit atau gangguan jiwa tersebut bukan disebabkan kerusakan organik pada tubuh, tetapi karena kondisi jiwa, merasa tertekan, kecewa, gelisah, was-was dan sebagainya. Oleh karena itu, betapa pentingnya peranan agama dan pendidikan Islam, dalam rangka untuk mengatasi problem-problem gangguan jiwa tersebut. Menurut Zakiah bahwa agama memiliki peran yang sangat mendasar dalam memahami esensi kejiwaan manusia. Pengaruh keyakinan agama diyakini oleh seseorang akan
berimplikasi terhadap perilakunya. Oleh karena itu agama dapat dijadikan dasar pijakan psikologi. Kemudian melalui jalur pendidikan Islam, yakni bagaimana proses bimbingan, arahan, pengajaran dan pembinaan terhadap peserta didik itu dilakukan. Sebab jalur tersebut merupakan jalur yang efektif untuk digunakan. Pembinaan tersebut dapat dilakukan mulai dari keluarga. Di sini orang tua diharapkan dapat menanamkan pendidikan tentang aqidah, budi pekerti (akhlak atau moral), dan lain sebagainnya kepada anaknya. Sebab keluarga merupakan pendidikan pertama dan utama bagi perkembangan anak selanjutnya. Kemudian dilanjutkan di sekolah, tentunya dengan metode atau pendekatan yang sesuai dengan karakteristik peserta. Maka, Zakiah menyimpulkan bahwa pendidikan Islam harus bersifat integralistik dan komprehensif, yaitu mencakup seluruh dimensi, eksistensi, subtansi dan relasi manusia (Nata, 2005: 243). Dalam rangka untuk menyampaikan visi dan misi yang diusung oleh pendidikan Islam, psikologi agama biasanya dijadikan sebagai salah satu pendekatannya. Sebab cara berpikir, bersikap, dan bertingkah laku yang tidak bisa dipisahkan dari keyakinan agama. Maka pada frame dalam penelitian yang berjudul “Pemikiran Prof. Dr. Zakiah Daradjat tentang Pendidikan Islam dalam Perspektif Psikologi Agama” inilah, penulis berupaya untuk menganalisa dan mengeksplorasi tentang sejauh mana peranan agama, psikologi agama dan pendidikan Islam dalam menggapai
kesehatan mental. Dan harapan penulis tentang penelitian ini ke depannya dapat memberikan kontribusi yang lebih berarti lagi. B. Tujuan Penelitian Penelitian ini bertujuan untuk memahami dan mendeskripsikan pemikiran Prof. Dr. Zakiah Daradjat tentang pendidikan Islam dalam perspektif psikologi agama. C. Manfaat Penelitian Manfaat yang diharapkan dalam penelitian ini yaitu; pertama, secara teoritis, dapat memperkaya khazanah pemikiran Islam para akademisi Fakultas Agama Islam, terutama program studi Tarbiyah. Kemudian, dapat menjadi stimulus bagi penelitian selanjutnya sehingga kajian-kajian secara mendalam tentang pemikiran Islam lebih banyak lagi. Kedua, secara praktis, dapat bermanfaat bagi masyarakat secara umum, sehingga mampu menumbuhkan kepedulian terhadap pendidikan Islam. LANDASAN TEORI A. Pendidikan Islam 1. Definisi Pendidikan Islam Konsep pendidikan Islam itu mengacu pada makna dan asal kata yang membentuk kata pendidikan itu sendiri dalam hubungan dengan ajaran Islam (Jalaluddin, 2001: 70). Definisi pendidikan dapat diartikan sebagai latihan mental, moral, dan fisik yang bisa menghasilkan manusia yang berbudaya tinggi, sebab pendidikan menumbuhkan
kepribadian dan menanamkan rasa tanggung jawab (Arifin, 2006: 7). Berdasarkan tujuan dan sasaran dari pendidikan, Arifin (2006: 7) mengartikan bahwa pendidikan Islam merupakan sistem pendidikan yang memberikan kemampuan seseorang untuk memimpin kehidupannya sesuai dengan citacita dan nilai-nilai Islam yang telah menjiwai dan mewarnai corak kepribadiannya. Sementara itu, Muhaimin (1993: 15) mengatakan dengan lugas bahwa pendidikan Islam ialah pendidikan yang falsafah dasar, tujuan-tujuannya dan prinsip-prinsip dalam melaksanakan pendidikan didasarkan atas nilai-nilai dasar Islam yang terkandung dalam al Qur’an dan as Sunnah. Dengan demikian, pendidikan Islam sebagai sistem pendidikan dapat memberikan kemampuan sesorang untuk memimpin kehidupannya sesuai dengan citacita dan nilai-nilai Islam yang telah menjiwai dan mewarnai corak kepribadiannya (Arifin, 2006: 7). 2. Dasar-dasar Pendidikan Islam Islam merupakan sistem kepercayaan yang melandaskan seluruh aktifitasnya bersumber pada al Quran dan as Sunnah. Oleh karena itu, sudah menjadi keharusan ketika kita
membicarakan hal-hal yang terkait dengan pendidikan Islam tidak boleh lepas dari kedua hal tersebut, yakni al Qur’an dan as Sunnah. a. Al Qur’an Al Qur’an merupakan kitab suci umat Islam dan sebagai pedoman terlengkap, yang meliputi seluruh aspek kehidupan dan bersifat universal. Tentunya, dasar pendidikan Islam harus bersumber kepada al Qur’an (Ramayulis, 1998 : 13-14). Pada awal pertumbuhan Islam, Nabi Muhammad Saw sebagai pendidik pertama telah menjadikan al Qur’an sebagai dasar pendidikan Islam. Kedudukan al-Qur’an sebagai sumber pokok pendidikan Islam dapat dipahami dari ayat al Qur’an itu sendiri, seperti kalam Allah Swt dalam surat Shaad, 29 : “Ini adalah sebuah Kitab yang kami turunkan kepadamu penuh dengan berkah supaya mereka memperhatikan ayat-ayatNya dan supaya mendapat pelajaran orang-orang yang mempunyai pikiran”(Qs Shaad: 29) (Departemen Agama RI, 2005: 455). Kelebihan al Quran terletak pada metode yang menakjubkan dan unik sehingga dalam konsep pendidikan yang terkandung di dalamnya, alQuran mampu menciptakan
individu yang beriman dan senantiasa bertauhid kepada Allah Swt, serta mengimani akhirat. Al Quran telah memberikan kepuasan penalaran yang sesuai dengan kesederhanaan dan fitrah manusia tanpa unsur paksaan dan di sisi lain disertai dengan pengutamaan afeksi dan emosi manusiawi. Al Quran mengawali konsep pendidikannya dari hal-hal yang bersifat konkrit, seperti hujan, angin, tumbuh-tumbuhan, guntur atau kilat menuju hal yang abstrak seperti keberadaan, kebesaran, kekuasaan dan berbagai sifat kesempurnaan Allah Swt (AnNahlawi, 2004: 28-31). Olehkarena itu, al Quran menjadi sumber dari seluruh jenis dan proses pendidikan yang berlaku di tengah-tengah masyarakat. b. As Sunnah Selain al Qur’an, dasar pendidikan Islam yang kedua ialah as- Sunnah. As Sunnah merupakan perbuatan, perkataan atau pengakuan yang dilakukan oleh Nabi Muhammad Saw dalam proses perubahan sikap hidup seharihari. Allah Swt menjadikan Muhammad Saw sebagai suri teladan bagi umatnya. Maka, Nabi Muhammad Saw sebagai fiqur dalam dunia pendidikan dan beliau juga menjunjung tinggi terhadap pendidikan dan pengajaran, sebagaimana kalam Allah Swt: “Sesungguhnya telah ada pada (diri) Rasulullah itu suri teladan yang baik bagimu …
(Qs. al Ahzab: 21) (Departemen Agama RI, 2005: 420). Dalam dunia pendidikan, as Sunnah memiliki dua manfaat pokok, yaitu; pertama, asSunnah mampu menjelaskan konsep dan kesempurnaaan pendidikan Islam sesuai konsep al Quran serta lebih merinci pesan-pesan yang terkandung dalam al Quran. Kedua, asSunnah dapat menjadi contoh yang tepat dalam penentuan metode pendidikan (Ramayulis, 1998 : 13-14). c. Ijtihad Para fuqaha’ mengartikan ijtihad sebagai usaha berfikir dengan menggunakan seluruh ilmu yang dimiliki oleh ilmuan syari’at Islam. Dalam mengkaji hal-hal yang belum ditegaskan hukumnya oleh al Qur’an dan as Sunnah. Maka, perlu ada penetapan hukum yang harus dilakukan, yakni dengan ijtihad. Ijtihad dapat dilakukan dengan ijma’, qiyas, istishan, dan lainlain (Ramayulis, 1998 : 18). Urgensi ijtihad dalam bidang pendidikan sangat diperlukan, sebab ajaran Islam yang terdapat dalam al Qur’an dan as Sunnah adalah bersifat pokok-pokok dan prinsipnya saja (Zakiah, 2011: 22). Dengan demikian, untuk melengkapi dan mengkomprehensifkan halhal dalam pendidikan sangat dibutuhkan ijtihad. Sebab globalisasi al Qur’an dan asSunnah belum menjamin tujuan pendidikan Islam akan tercapai (Ramayulis, 1998 : 18). Di samping itu, pendidikan
Islam di Indonesia juga mengacu kepada Undangundang Sisdiknas No. 20 tahun 2003 pasal 36 ayat 3 yaitu tentang hal-hal yang harus diperhatikan dalam penyusunan kurikulum, dalam undangundang sebagai berikut : “Kurikulum disusun sesuai dengan jenjang pendidikan dalam kerangka Negara Kesatuan Republik Indonesia dengan memperhatikan: peningkatan iman dan takwa; peningkatan akhlak mulia; peningkatan potensi, kecerdasan, dan minat peserta didik; keragaman potensi daerah dan lingkungan; tuntutan pembangunan daerah dan nasional; tuntutan dunia kerja; perkembangan ilmu pengetahuan, teknologi, dan seni, agama, dinamika perkembangan global dan persatuan nasional dan nilainilai kebangsaan”. Serta pasal 37 ayat 1 tentang tentang kurikulum sebagai berikut; “Kurikulum pendidikan dasar dan menengah wajib memuat; a). pendidikan agama, b). Pendidikan Kewarganegaraan, c). Bahasa, d). Matematika, e). Ilmu pengetahuan alam, f). Ilmu pengetahuan sosial, g). Seni dan budaya, h). Pendidikan jasmani dan olahraga, i). Ketrampilan atau kejuruan, j). Muatan lokal” (UU RI Sisdiknas no 20 th 2003). 3. Tujuan Pendidikan Islam Tujuan pendidikan Islam harus sesuai dengan falsafah dan pandangan hidup yang
berdasarkan hidup yang digariskan oleh al Qur’an (Ramayulis, 1998: 25). Sementara itu, Jalaluddin dan Said (1994: 39), membagi tujuan pendidikan Islam menjadi tiga, di antaranya, pertama; bersifat fitrah, yaitu membimbing perkembangan manusia sejalan dengan fitrah kejadiannya. Kedua; merentang pada dua dimensi, yaitu tujuan akhir bagi keselamatan hidup di dunia dan akhirat. Ketiga; mengandung nilai-nilai yang bersifat universal yang tak terbatas oleh ruang lingkup geografis dan paham-paham (isme) tertentu. Sama halnya dengan Jalaluddin dan Said, Ahmad Tafsir (2008: 46-51) juga mengklarifikasi tujuan pendidikan Islam menjadi dua, yakni bersifat umum dan khusus. Tujuan pendidikan Islam yang umum harus diketahui terlebih dahulu ciri manusia sempurna menurut Islam, yaitu dengan mengetahui hakikat manusia menurut Islam. Sedangkan tujuan pendidikan Islam yang bersifat khusus dengan mengetahui tugas manusia sebagai khalifah di muka bumi dan sebagai pengalaman ibadah kepada Tuhan dalam arti yang luas, sebagaimana kalam-Nya: “Dan Aku tidak menciptakan jin dan manusia melainkan supaya mereka mengabdi kepada-Ku”. (Adz- Dzariyat: 56) (Departemen Agama RI, 2005: 523). Maka, dalam kerangka
inilah tujuan pendidikan Islam haruslah mempersiapkan manusia agar beribadah seperti itu, agar ia menjadi hamba Allah („ibad al rahman) sehingga lebih didahulukan aspek ibadah dalam kesempurnaan insan untuk mengapai kebahagian dunia dan akhirat (Tafsir, 2008: 47). 4. Objek dan Lembaga Pendidikan Islam. Salah satu sistem yang memungkinkan proses pendidikan berlangsung secara efektif, konsisten dan berkesinambungan dalam rangka mencapai tujuan pendidikan ialah institusi atau lembaga pendidikan Islam. Telaah pendidikan Islam mengarah pada objek konkret satu bentuk dari lembagalembaga pendidikan Islam yang bereksistensi dalam wujud fisik. Telaah ini menunjukkan tempat dimana integrasi jasad dan ruh pendidikan itu berada yang secara khusus tertuju pada lembaga pendidikan Islam, seperti madrasah, pesantren, majlis taklim (Jasa, 2005: 153181). Pendidikan Islam merupakan lembaga pendidikan yang dikelola, dilaksanakan dan diperuntukkan bagi umat Islam. Pendidikan Islam memandang keluarga, masyarakat dan tempat-tempat peribadahan seperti taman pendidikan alQur’an (TPA) sebagai lembaga pendidikan di luar sekolah. Sedangkan bentuk lembaga pendidikan Islam di dalam sekolah, seperti sekolah Islam,
madrasah, lembaga pendidikan kejuruan (LPK) Islam, balai latihan kerja (BLK) Islam, perguruan tinggi Islam (Jasa, 2005: 154). Sedangkan Daulay (2001: vii), membedakan lembaga pendidikan Islam di Indonesia dalam 3 kelompok, yaitu; (1) sekolah Islam dan atau madrasah (2) pesantren dan (3) pendidikan non formal, seperti pendidikan di keluarga, TPA atau majelis taklim. B. Psikologi Agama dan Kesehatan Mental 1. Definisi Psikologi Agama Psikologi agama berasal dari dua suku kata, yaitu psikologi dan agama, yang memiliki pengertian yang berbeda. Dari segi bahasa, kata psikologi berasal dari perkataan psyche yang diartikan jiwa dan kata logos yang berarti ilmu atau ilmu pengetahuan (Tohirin, 2006: 4). Oleh karena itu, psikologi sering diterjemahkan dengan ilmu pengetahuan tentang jiwa atau ilmu jiwa (Bimo Walgito, 2003: 1). Menurut Syah (2001:10) psikologi merupakan ilmu pengetahuan yang mempelajari tingkah laku terbuka dan tertutup pada manusia baik selaku individu maupun kelompok, dalam hubungannya dengan lingkungan. Sedangkan definisi agama sendiri memiliki bermacammacam arti, sebab setiap agama mempunyai sudut pandangan yang berbeda satu sama lain. Dalam bahasa Sansekerta, istilah
agama berasal dari a = ke sini, gam = gaan, go, gehen = berjalan-jalan, sehingga berarti peraturan-peraturan tradisional, ajaran-ajaran, kumpulan hukumhukum, serta apa saja yang diwariskan turun temurun dan ditentukan oleh adat istiadat (Mudjahid, 1994: 1-2). Namun, dalam Islam, agama berasal dari kata yaitu al Din, bahasa Arab mengandung arti menundukkan, menguasai, patuh, utang, balasan, kebiasaan. Adapun kata agama terdiri kata dari a = tidak, gam = pergi, mengandung arti tidak pergi atau diwarisi turun temurun (Nasution, 1974: 9-10). Maka, dapat disimpulkan pengertian dari psikologi agama ialah ilmu yang meneliti pengaruh agama terhadap sikap dan tingkah laku seseorang atau mekanisme yang bekerja dalam diri seseorang yang menyangkut tata cara berpikir, bersikap, berkreasi dan bertingkah laku yang tidak dapat dipisahkan dari keyakinannya, karena keyakinan itu masuk dalam kontruksi kepribadiannya (Sururi, 2004 : 6). 2.Sejarah dan Perkembangan Psikologi Agama Sururi (2004: 17) mengatakan sulit untuk mengetahui kepastian kapan agama itu diteliti secara psikologi, sebab dalam agama itu sendiri telah terkandung di dalamnya pengaruh agama terhadap jiwa. Namun Zakiah (1991: 11) mengatakan seluruh kitab-kitab suci setiap agama banyak sekali ayat-ayat yang menjelaskan tentang proses atau keadaan jiwa yang dipengaruhi
oleh agama. Seperti dalam alQur’an, terdapat ayat-ayat yang menunjukkan keadaan jiwa orang beriman dan sebaliknya (orangorang kafir), sikap, tingkah laku dan doa-doa. Selain itu, terdapat ayat-ayat yang menerangkan kesehatan mental, penyakit dan gangguan jiwa serta perawatan jiwa. Mengenai jiwa, manusia pertama kali yang diciptakan Allah Swt, Nabi Adam as, sudah pernah mengalami kegelisahan jiwanya, merasa berdosa dan sedih. Untuk menghilangkan perasaan gelisah karena dirundung rasa berdosa tersebut, beliaupun memohon kepada Allah Swt untuk diampuni, sebagaimana terkandung dalam kalamNya: “Kemudian Adam menerima beberapa kalimat[40] dari Tuhannya, Maka Allah menerima taubatnya. Sesungguhnya Allah Maha Penerima taubat lagi Maha Penyayang”. (Qs. Al Baqarah (2) : 37) (Departemen Agama RI, 2005: 6) Selain itu, Nabi Ibrahim juga pernah mengalami kegelisahan dalam proses pencarian Tuhan dan memimpin ummatnya untuk bertauhid kepada Allah Swt, dimana upaya beliau dalam rangka meluruskan kekeliruan pengikutnya yang menyembah benda-benda alam (Jalaluddin, 2001: 26-27). Sedangkan ilmuwan Barat mengklaim bahwa psikologi agama tergolong ilmu cabang dari filsafat. Sebab jauh sebelum masehi, jiwa manusia sudah
menjadi topik pembahasan para filosof yang telah membicarakan aspek-aspek kejiwaan manusia. Ketika itu, psikologi sangat dipengaruhi oleh filsafat. Hal ini dikemungkinkan para ahli psikologi juga ahli filsafat dan sebaliknya, ahli filsafat juga ahli psikologi (Alex Sobur, 2003: 20 & 73). Dimulai oleh Pythagoras (572-497 SM) melalui pendapatnya yang menyatakan bahwa jiwa merupakan sesuatu yang berdiri sendiri dan tidak dapat mati (Hadiwijono, 1980: 19). Selain itu, menurut Fauzi Ahmad (dalam Alex Sobur, 2003: 73) sebelum tahun 1879, jiwa dipelajari oleh filosof dan para ahli ilmu faal (fisiologi), sehingga psikologi dianggap sebagai bagian dari kedua ilmu tersebut. Pada zaman kuno, tidak ada spesialisasi dalam lapangan keilmuan, sehingga boleh dikatakan bahwa semua ilmu tergolong dalam apa yang disebut dengan filsafat. Bagi para ilmuwan Barat (termasuk filosof), yang menganggap filsafat merupakan induk dari segala ilmu pengetahuan(Alex Sobur, 2003: 77). Dengan demikian, psikologi agama dan cabang psikologi lainnya termasuk disiplin ilmu filsafat (Jalaluddin, 2001: 7). Sedangkan di dunia Islam, perkembangan psikologi agama juga bisa dijumpai dari karyakarya para ilmuwan Muslim, seperti tulisan Muhammad Ishaq ibn Yasar pada abad ke 7 M, yang berjudul al Sujar wa al
Maghazi (yang memuat berbagai fragmen dari biografi Nabi Muhammad Saw), lalu risalah yang ditulis oleh Ibn Tufail (1106-1185) yang memuat proses keagamaan seseorang, serta karya yang sangat fenomenal dan agung yakni Ihya „Ulum al Din dan al Munqid min al Dhalal yang ditulis oleh Abu Hamid Muhammad Al Ghazali(10591111M) (Sururi, 2004: 19). Sekitar abad ke 19, para ahli psikologi agama menilai bahwa kajian psikologi agama mulai populer dilakukan. Psikologi agama berkembang digunakan sebagai alat untuk melakukan pengkajian terhadap agama, sehingga dapat membantu pemahaman terhadap cara bertingkah laku, berfikir dan mengemukakan perasaan keagamaan (Jalaluddin, 2001: 27). Selain itu, Jalaluddin mengatakan kajian psikologi agama sudah dilakukan yaitu ditandai dengan munculnya beberapa tulisan dalam bentuk buku-buku, seperti terbitnya buku The Psychology of Religion, An Empirical Study of the Growth of Religion Consciousness (1899) karya Edwin Diller Starbuck (Jalaluddin, 2001: 28 & Zakiah, 1996: 13), disusul pada tahun 1901 Revelations of Devine Love karya Dame Julian (Jalaluddin, 2001: 28), pada tahun 1903 The Varieties of Religious Experience, sebagai kumpulan materi kuliah dari William James (Zakiah, 1996: 16), di empat Universitas Skotlandia, lalu The Spiritual Life karya George
Albert Coe pada tahun 1900 (Jalaluddin, 2001: 28) dan tahun 1916 buku keduanya terbit dengan judul The Psychology of Religion, lalu pada tahun 1912 A Psychological Study of Religion karya James H Leuba, pada tahun 1920 The Religious Consciousness karya J.B. Pratt (Zakiah, 1996: 14, 15, 21 & Jalaluddin, 2001: 28), pada tahun 1921 The Sadhu karya A. J Appasamy dan B.H. Streeter, The Belief in God and Immortality, pada tahun 1921 sebagai karya kedua dari J.H Leuba, Studies in Islamic Mysticism pada tahun 1921 karya R. A Nicholson, lalu An Introduction to the Psychology of Religion tahun 1923 karya Robert H. Thouless. Perkembangan selanjutnya, orang non Barat (yaitu orang India) pun tidak mau ketinggalan, terbukti dengan munculnya buku yang berjudul The Song pf God: Baghavad Gita terjemahan Isherwood dan Prabhavanada pada tahun 1947, lalu Swami Madhavananda menulis buku dengan judul Viveka-Chumadami of Sankaracharya pada tahun 1952, pada tahun 1966 Thera Nyanoponika dengan judul The Life of Sariptta dan pada tahun 1946 disusul oleh Swami Ghananda dengan judul Sri Ramakrisna: His Unique Massage. Sedangkan sebagai disiplin ilmu, psikologi agama dapat merujuk pada karya-karya penulis Barat seperti Jonathan Edward, Emile Durkheim, Edward B Taylor, Stanley Hall yang memuat kajian mengenai
agama suku-suku primitif dan mengenai konversi agama (Jalaluddin, 2001: 28-30). 3. Objek Kajian Psikologi Agama Sebagai disiplin ilmu yang otonom, psikologi agama memiliki objek kajian, sebagaimana yang diutarakan oleh Sururi (2004: 6) bahwa objek lapangan psikologi agama menyangkut gejala-gejala kejiwaan dalam kaitannya dengan realisasi keagamaan (amaliah) dan mekanisme antara keduanya. Selanjutnya lebih spesifik, Sururi (2004: 7) mengklarifikasi bahwa lapangan kajian psikologi agama adalah proses beragama, perasaan dan kesadaran beragama dengan pengaruh serta akibat-akibat yang dirasakan sebagai hasil dari keyakinan. Sedangkan objek pembahasan psikologi agama ialah gejalagejala psikis manusia yang berkaitan dengan tingkah laku keagamaan, kemudian mekanisme antar psikis manusia dengan tingkah laku keagamaan secara timbal balik dan hubungan pengaruh antara satu dengan lainnya. 4. Kesehatan Mental (Mental Hygiene) a. Definisi Kesehatan Mental Secara bahasa mental hygiene atau ilmu kesehatan mental, kata hygiene berasal dari kata hygeia yaitu nama seorang dewi kesehatan dalam kepercayaan Yunani kuno. Sedangkan mental berasal dari kata latin yang berarti mens, mentis artinya jiwa, nyawa, sukma, roh, semangat (Kartini,
2000: 3). Secara istilah, hygiene mental sebagai upaya yang dilakukan agar tercapai mental yang sehat (M. Surya (1976) dalam Yusuf, 2004: 7). Kartini (2000: 3) mengatakan dengan tegas bahwa mental hygiene merupakan Ilmu yang mempelajari masalah kesehatan mental atau jiwa, bertujuan mencegah timbulnya gangguan atau penyakit mental dan gangguan emosi dan berusaha mengurangi atau menyembuhkan penyakit mental serta memajukan kesehatan jiwa. Mental hygiene ini sering disebut pula sebagai psiko-hygiene. b. Ruang Lingkup Mental Hygiene Pada dasarnya mental hygiene diperuntukkan bagi individu dalam rangka mengembangkan mentalnya yang sehat dan memperbaiki masalah kesehatan mental atau penyesuaian diri. Tetapi pada ranah implikasinya harus diterapkan pada unit sosial yang terorganisir seperti lingkungan keluarga, sekolah, dan lingkungan sosial lainnya, meliputi lingkungan kerja, kehidupan politik, hukum dan kehidupan beragama (Yusuf, 2004: 8-12). c. Prinsip-prinsip Mental Hygiene Dalam merumuskan prinsip-prinsip mental hygiene, perlu merujuk kepada hakikat, kreteria kesehatan mental dan kondisi-kondisi yang mempengaruhi atau
menentukan hubungan antara kesehatan mental atau kepribadian dengan aspekaspek lainnya yang beragam. Prinsip-prinsip ini didasarkan pada beberapa kotegori yaitu: 1).Hakikat manusia sebagai organisme, 2).Hubungan manusia dengan lingkungan, 3).Hubungan manusia dengan Tuhan (Schneirders (1964) dalam Yusuf, 2004: 13-14). d. Fungsi Mental Hygiene Mental yang sakit biasanya ditandai dengan beberapa ciri-ciri, sebagai berikut: 1). Kecemasan atau kegelisahan dalam menghadapi kehidupan, 2).Perasaan mudah tersinggung (perasa), 3).Sikap agresif (pemarah) atau berprilaku menyerang dan deskruktif (merusak), 4).Sikap kurang mampu mengahdapi kenyataan secara realistik (tidak sabar) sehingga mudah frustasi, 5).Memiliki gejala psikosomatis (sakit fisik yang disebabkan oleh gangguan psikis karena stress), 6).Tidak beriman kepada Allah Swt (Yusuf, 2004: 17). Oleh karena itu, diharapkan peran dari mental hygiene untuk bisa mengatasi masalah-masalah mental yang sakit tersebut, seperti pemeliharaan, pencegahan, dan pengembangan atau peningkatan (Yusuf, 2004:15). Sementara itu, Schneiders (1964) mengklarifikasi mental hygiene menjadi tiga fungsi sebagai berikut:
1) Preventif (pencegahan), fungsi ini berupaya mencegah untuk mencegah terjadinya kesulitan atau ganguan mental dan penyesuaian diri. 2) Amelioratif (perbaikan), fungsi ini merupakan upaya memperbaiki kepribadian dan meningkatkan kemampuan menyesuaikan diri, sehingga gejala-gejala tingkah laku dan mekanisme pertahanan diri dapat dikendalikan. 3) Suportif (pengembangan), fungsi ini berupaya untuk mengembangkan mental yang sehat atau kepribadian, sehingga seseorang mampu menghindari kesulitankesulitan psikologis yang mungkin dialaminya. METODE PENELITIAN Metode penelitian adalah suatu cara strategi yang digunakan untuk memahami, menemukan, mengembangkan dan menguji kebenaran suatu pengetahuan di mana usaha itu dilakukan dengan metode ilmiah dalam memecah masalah (Joko Subagyo, 2006: 12). Dalam melakukan penelitian ini penulis menggunakan berbagai macam metode yang bersifat sesuai dengan penelitian kualitatif dan tersusun secara sistematis, dengan tujuan agar data yang diperoleh valid, sehingga penelitan ini layak diuji kebenarannya. Maka, untuk mendukung metode yang digunakan penulis menggunakan teknik penelitian sebagai berikut: 1. Jenis Penelitian dan Pendekatan
Penelitian ini termasuk jenis penelitian bibliografi, karena penelitan ini dilakukan untuk mencari, menganalisis, membuat interpretasi, serta generalisasi dari fakta-fakta hasil pemikiran, ide-ide yang telah ditulis oleh pemikir dan ahli (Nazir,1988:62). Dilihat dari tempat dimana penelitian ini dilakukan, maka penelitian termasuk jenis penelitian kepustakaan (library research) dengan analisis data kualitatif, yaitu penelitian yang memfokuskan pembahasan pada literatur-literatur baik berupa buku, jurnal, makalah, maupun tulisan-tulisan lainnya. Yang dilakukan dengan membaca buku-buku karangan Prof. Dr. Zakiah Daradjat itu sendiri sebagai data primer serta buku dan jurnal yang mengenai pendidikan Islam terutama yang diwarnai oleh psikologi agama sebagai sumber sekunder. Pendekatan yang digunakan dalam penelitian ini adalah pendekatan filosofis. Yang dimaksud dengan filosofis adalah menganalisis sejauh mungkin pemikiran yang diungkapkan sampai kepada landasan yang mendasari pemikiran tersebut (Muhammadsyah, dkk. 1991: 19). 2. Sumber Data Dalam penelitian kepustakaan ini, penulis menggunakan metode dokumenter atau yang lebih populernya dengan metode dokumentasi (Arikunto, 1989: 131), yaitu data yang diperoleh dari bahan-bahan tertulis yang berhubungan dengan masalah penelitian, baik dari sumber dokumen, foto-foto, buku-buku, majalah, ensiklopedi, karya tulis dan
lain-lain (Nawawi, 1987: 97). Sumber data yang digunakan terdiri dari macam, yaitu sumber data primer dan sumber data sekunder. Sumber data primer ialah seluruh buku karangan sendiri dari Zakiah Daradjat yang berjumlah 32 buah. Namun, pada penelitian ini penulis lebih memfokuskan pada 3 buku yakni, pertama; Ilmu Jiwa Agama. Kedua; Pendidikan Agama dalam Pembinaan Mental. Ketiga; Ilmu Pendidikan Islam, yang membahas konsep pendidikan Islam yang didasarkan pada pandangan tentang manusia dalam perspektif ilmu jiwa. Sedangkan sumber data sekunder yaitu literatur-literatur yang terdiri dari buku-buku, jurnal, artikel baik itu yang dimuat di media cetak maupun media elektronik, yang memiliki relevansi dan menunjang dari penelitian ini. Yaitu tulisan yang membahas tentang pendidikan Islam dan psikologi serta yang sangat urgen ialah tulisan yang memuat tentang sosok Zakiah, baik itu tentang kepribadian maupun pemikirannya. 3. Analisis Data Analisis dalam penelitian ini adalah seluruh rangkaian kegiatan sebagai upaya menarik kesimpulan dari hasil kajian konsep atau teori yang mendukung penelitian ini. Dalam menganalisis data digunakan analisis isi atau content analysis. Content analysis adalah suatu teknik untuk membuat inferensi-inferensi yang dapat ditiru dan sahih data dengan memperhatikan konteksnya (Klaus dalam Wajidi (terj), 1993: 15). Metode ini digunakan untuk menganalisis dilakukan terhadap makna-makna yang terkandung
dalam keseluruhan gagasan Zakiah tersebut. HASIL PENELITIAN Setelah menelusuri berbagai literatur-literatur yang berkaitan dengan pemikiran dari Prof. Dr. Zakiah Daradjat baik yang membahas tentang pendidikan Islam maupun psikologi agama disinergikan dengan teori-teori pendidikan Islam dan psikolgi agama dari beberapa pemikiran tokoh lainnya. Penulis menemukan teori-teori yang bisa menjawab permasalahan yang akhir-akhir ini terjadi, seperti tindakan kekerasan, anarkis, asusila, seks bebas, narkoba, korupsi, dan pembunuhan. Diantaranya; betapa pentingnya peranan agama, psikologi agama dan pendidikan Islam. Selain sebagai suatu bentuk keyakinan yang memuat ajaran-ajaran yang harus dijalankan oleh setiap pemeluknya. Agama juga, sebagai pengendalian moral seseorang dengan aturan-aturan di dalamnya, kemudian sebagai terapi terhadap jiwa yang mengalami gangguan, dengan pedoman atau petunjuk yang terkandung di dalam al Qur’an dan as Sunnah. Psikologi agama merupakan salah satu pendekatan yang biasanya digunakan untuk menyampaikan visi dan misi yang diusung oleh pendidikan Islam. Sedangkan pendidikan Islam merupaka jalur yang efektif yang dapat ditempuh untuk membimbing, mengarahkan, mendidik dan membina peserta didik terutama bagi yang mengalami gangguan pada mental. Tentunya dengan metode dan kurikulum pembelajaran yang sesuai dengan karakteristik peserta didik. KESIMPULAN Dari pembahasan skripsi yang
berjudul “Pemikiran Prof. Dr. Zakiah Daradjat tentang Pendidikan Islam dalam Perspektif Psikologi Agama” ini dapat disimpulkan sebagai berikut : 1. Psikologi agama mempunyai peranan yang sangat penting dalam kesehatan mental. Psikologi agama akan meneliti, menelaah, mempelajari dan mengkaji pengaruh agama terhadap sikap dan tingkah orang atau mekanisme yang bekerja dalam diri seseorang, karena cara berpikir, bersikap, bereaksi dan bertingkah laku yang tidak dapat dipisahkan dari keyakinannya, sebab keyakinan itu terkotegori dalam konstruksi kepribadiannya. Dengan begitu terhindar dari gejala-gejala gangguan jiwa dan penyakit jiwa. 2. Peranan agama sangatlah urgen, agama berfungsi sebagai terapi bagi jiwa yang gelisah dan terganggu, sebagai alat pencegah terhadap kemungkinan gangguan kejiwaan. Sebab agama memberikan berbagai pedoman dan petunjuk agar memperoleh ketentraman jiwa dan bimbingan hidup di segala bidang, baik bagi diri sendiri, keluarga dan orang lain atau bermasyarakat. Agama juga berfungsi sebagai pengendali moral bagi seseorang, hendaknya agama itu diinternalisasi dalam proses pembinaan kepribadiannya. Apabila agama diinternalisasi dalam pembangunan mental, maka pengetahuan agama yang dicapai akan merupakan ilmu pengetahuan yang dapat mengendalikan tingkah laku dan sikap manusia, sehingga kesehatan mental dapat terwujud. 3. Jalur pendidikan merupakan jalur efektif yang digunakan untuk melakukan pembinaan kesehatan mental. Pembinaan tersebut
memerlukan proses panjang, yang bisa dimulai dari lingkungan keluarga, lingkungan sekolah dan lingkungan masyarakat. Mengingat betapa pentingnya kesehatan mental, pendidikan mempunyai dua aspek penting, yaitu; pertama, aspek yang ditujukan kepada jiwa atau pembentukan kepribadian. Kedua, aspek yang ditujukan kepada pikiran yaitu memahami ajaran-ajaran agama, kepercayaan kepada Tuhan akan sempurna apabila sudah memahami dasar-dasar, hukumhukum, syarat-syarat, kewajibankewajiban, batas-batas, dan normanorma dari ajaran agama dengan benar. DAFTAR PUSTAKA An Nahlawi, Abdurahman. 1995. Pendidikan Islam di Rumah Sekolah dan Masyarakat. Jakarta: Gema Insani Press. Arikunto, Suharsimi. 1998. Prosedur Penelitian (Suatu Pendekatan Praktek). Yogyakarta: Rineka Cipta. Baharuddin. 2009. Pendidikan dan Psikologi Perkembangan. Yogyakarta: Ar- Ruzzmedia. Bastaman, Hanna Djumhana. 2011. Integrasi psikologi dengan Islam; menuju Psikologi Islami. Yogyakarta: Pustaka Pelajar. Bawani, Imam. 1987 . Segi-segi Pendidikan Islam. Surabaya: Al Ikhlas. Charis, Ahcmad dan Anton Bakker.1990. Metodologi Penelitian Filsafat. Yogyakarta: Kanisius. Daulay, Haidar Putra. 2001. Historitas dan Eksistensi Pesantren, Sekolah dan Madrasah.
Yogjakarta: Tiara Wacana Yogja. Daradjat, Zakiah, 1982. Peran Agama dalam Pembinaan Mental. Jakarta: PT Gunung Agung. --------------------. 1993. Pendidikan Islam dalam Keluarga dan Sekolah. Jakarta: Ruhama. -------------------. 1996. Ilmu Jiwa Agama. Jakarta: Bulan Bintang -------------------. 1999. Perkembangan Psikologi Agama dan Pendidikan Islam di Indonesia. Jakarta Selatan: PT Logos Wacana Ilmu. ---------------------. 2001. Islam dan Kesehatan Mental. Jakarta: PT. Gunung Agung. --------------------. 2001. Kesehatan Mental. Jakarta: PT. Gunung Agung. --------------------. 2011. Ilmu Pendidikan Islam. Jakarta: Rajawali Pers. Darma, Surya. 2007. Pemikiran Munir Mulkhan tentang Pendidikan Multikultural. Surakarta: FAIUMS. Departemen Pendidikan Nasional. 2005. Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI). Jakarta: Balai Pustaka. Departemen Agama RI. 2005. Al Qur‟an dan Terjemahannya. Bandung: PT Syaamil Cipta Media. Fatmawati. 2004. Pendidikan Agama pada Usia Remaja (studi pemikiran Prof. Dr Zakiah Daradjat). Yogyakarta: Uin Suka. Hadiwijono, Harun.1980. Sari Sejarah Filsafat. Yogyakarta: penerbit Kanisius Hajar, Ibnu. 1996. Dasar-dasar Metodelogi Penelitian
Kualitatif dalam Pendidikan. Jakarta: Raja Grafindo. Hakim MN, Abdul. 2008. Konsep Pendidikan Islam menurut Abdul Malik Fadjar. Surakarta: FAI-UMS. Jalaluddin. 2001. Psikologi Agama. Jakarta: PT Raja Grafindo Persada. Jalaluddin dan Said, Usman. 1994. Falsafat Pendidikan Islam: konsep dan Perkembangan Pemikirannya. Jakarta: PT Raja Grafindo Persada. Kartono, Kartini. 2000. Hygiene Mental. Bandung. CV. Mandar Maju. Magfirah, Siti. 2003. Pembinaan Mental Keagamaan pada Usia Remaja menurut Zakiah Daradjat. Yogyakarta: Uin Suka. Mudyaharjdo, Redja. 2002. Filsafat Ilmu Pendidikan Suatu Pengantar. Bandung: PT Remaja Rosdakarya. Muflihah, Titik Snain. 2007. Pemikiran Zakiah Daradjat tentang Peran Agama dalam Pembinaan Mental. Surakarta: FAI-UMS Muhaimin. 1993. Konsep Pendidikan Islam; Sebuah Telaah Konponen Dasar Kurikulum. Surakarta: Ramadhani. Muhajir, As’aril. 2011. Ilmu Pendidikan. Yogyakarta: Ar Ruzzmedia. Muhammadsyah, Ismail, dkk. 1991. Filsafat Hukum Islam. Yogyakarta: Bumi Aksara. Nata, Abuddin. 2005. Tokoh-tokoh Pembaruan Pendidikan Islam di Indonesia. Jakarta: PT Raja Grafindo. Nawawi, Hadari. 1987. Metode Penelitian Bidang Sosial.
Yogyakarta : Gadjah Mada University Press. Naquib, al Attas. 1994. Konsep Pendidikan dalam Islam. Bandung: Mizan. Nazir, Moh. 1988. Metode Penelitian. Jakarta : Ghalia Indonesia. Klippendorff, Klaus. 1993. Analisis isi: Pengantar Teori dan Metodelogi. Terjemahan Farid Wajidi. Jakarta: Raja Grafindo Persada. Purwanto, Ngalim. 1985. Ilmu Pendidikan Teoritis dan Praktis. Bandung: Rosdakarya. Rafi’ah, Siti. 2004. Pemikiran Zakiah Daradjat tentang Pendidikan Anak dalam Keluarga. Surakarta: FAI-UMS. Ramayulis. 1998. Ilmu Pendidikan Islam. Jakarta: Kalam Mulia Shihab, Quraish. 2007. Wawasan Al Qur‟an. Bandung: Mizan. Sobur, Alex. 2003. Psikologi Umum. Bandung: CV. Pustaka Setia. Subagyo, Joko. 2006. Metedelogi Penelitian dalam Teori dan Praktek. Jakarta: Rineka Cipta. Sururi.
2004. Ilmu Jiwa Agama. Jakarta: PT Raja Grafindo Persada. Suprayogi, Imam. 2005. Pemikiran Rasyid Ridho tentang Pembaharuan Pendidikan Islam. Surakarta: FAI-UMS. Syah. Muhibbin. 2001. Psikologi Pendidikan dengan Pendekatan Baru. Bandung: PT. Remaja Rosdakarya. Tafsir, Ahmad. 2007. Ilmu Pendidikan Islam dalam Perspektif Islam. Bandung: PT Remaja Rosdakarya. Tohirin, M.Pd. 2006. Psikologi Pembelajaran Pendidikan
Agama Islam. Jakarta: PT Raja Grafindo Persada. Ulfa, Maria. 2008. Konsep Pendidikan menurut Syed Muhammad al Naquib al- Attas. Surakarta: FAI-UMS. Undang-undang RI. Sistem Pendidikan Nasional (Sisdiknas), No. 20 tahun 2003. 2005. Surakarta: CV Kharisma. Ungguh Muliawan, Jasa. 2005. Pendidikan Islam Integratif. Yogyakarta: Pustaka Pelajar. Walgito, Bimo. 2003. Pengantar Psikologi Umum. Yogyakarta: Penerbit Andi. Yusuf, Syamsu. 2004. Mental Hygiene. Bandung: Pustaka Bani Quraisy.