FUNGSI PENDIDIKAN AGAMA ISLAM PADA ANAK MENURUT PROF. DR. ZAKIAH DARADJAT Skripsi Diajukan kepada Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan (FITK) Sebagai Salah Satu Syarat untuk Memperoleh Gelar Sarjana Pendidikan Islam (S.Pd.I)
Oleh : Welly Catur Satioso NIM : 106011000204
JURUSAN PENDIDIKAN AGAMA ISLAM FAKULTAS ILMU TARBIYAH DAN KEGURUAN UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA 1432 H/2011 M
ABSTRAK Welly Catur Satioso, 106011000204, Pendidikan Agama Islam, Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan. “Fungsi Pendidikan Agama Islam pada Anak Menurut Prof. Dr. Zakiah Daradjat” Keluarga merupakan institusi pendidikan yang pertama dan utama bagi seorang anak, sebelum ia berkenalan dengan dunia sekitarnya, ia akan berkenalan terlebih dahulu dengan situasi dan kondisi dalam keluarga. Pengalaman dalam keluarga akan memberikan pengaruh yang sangat besar bagi perkembangan dan pertumbuhan anak untuk masa yang akan datang. Pendidikan agama yang diberikan pada anak menuntut peran serta keluarga, sekolah dan masyarakat karena dari ketiga institusi dapat memberikan pengaruh kepada anak. Pelaksanaan pendidikan agama pada anak dalam keluarga bertujuan untuk membimbing anak agar bertakwa, berakhlak mulia, menjalani ibadah dengan baik serta mencerminkan dari sikap dan tingkah laku anak dalam hubungannya dengan Allah, diri sendiri, sesama manusia dan sesama makhluk, serta lingkungannya. Sesuai dengan karakteristik masalah yang diangkat dalam skripsi ini maka dalam penulisannya, penulis menggunakan Metode metode deskriptif analisis, yaitu memaparkan masalah-masalah sebagaimana adanya, disertai argumen-argumen dari pemikiran tokoh yang diangkat dalam skripsi ini. Metode ini penulis gunakan untuk menganalisis fungsi pendidikan agama Islam pada anak menurut Prof. Dr. Zakiah Daradjat. Maka dengan sendirinya penganalisaan data ini lebih difokuskan pada Penelitian Kepustakaan (Library Research), yakni dengan membaca, menelaah dan mengkaji buku-buku dan sumber tulisan yang erat kaitannya dengan masalah yang dibahas serta diperkuat dengan wawancara langsung Prof. Dr. Zakiah Daradjat. Hasil penelitian yang penulis temukan terkait dengan fungsi pendidikan agama Islam pada anak menurut Prof. Dr. Zakiah Daradjat adalah bahwa lingkungan keluarga merupakan awal pendidikan dalam menanamkan nilai-nilai agama pada anak. Yaitu menanamkan nilai-nilai akidah pada anak, pembinaan ibadah pada anak, menanamkan nilai-nilai akhlak pada anak. Begitu juga dengan fungsi sekolah dan masyarakat dalam pada pendidikan yang dilakukan untuk anak. Dengan demikian anak akan mampu tumbuh berkembang dan mampu menghadapi tantangan zaman modern sekarang ini, serta mampu menjalani kehidupannya sebagai hamba Allah.
v
KATA PENGANTAR
Syukur Alhamdulillah penulis panjatkan kehadirat Allah SWT Tuhan seru sekalian alam atas berkat, rahmat, taufik, hidayah dan limpahan petunjuk-Nyalah akhirnya penulisa dapat menyelesaikan skripsi yang berjudul: “FUNGSI PENDIDIKAN AGAMA ISLAM PADA ANAK MENURUT PROF. DR. ZAKIAH DARADJAT. Shalawat serta salam semoga senantiasa tercurah kepada Nabi Muhammad SAW beserta keluarga dan para sahabatnya yang telah membawa petunjuk dan pedoman hidup bagi manusia. Oleh karena itu, tanpa mengurangi rasa terimakasih kepada orang-orang yang tidak penulis sebutkan namanya, penulis perlu menyampaikan terima kasih secara khusus kepada: 1. Prof. Dr. Dede Rosyada, MA, Dekan Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan, Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta. 2. Bapak Bahrissalim, M.Ag, Kepala Jurusan Pendidikan Agama Islam, yang selalu memberikan kemudahan dalam setiap kebijakan yang beliau berikan selama penulis menjadi mahasiswa di jurusan PAI. 3. Drs. Sapiudin Shiddiq, M.Ag, Sekretaris Jurusan Pendidikan Agama Islam Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan, Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta. 4. Abdul Ghofur M.A, Dosen Penasehat Akademik Jurusan Pendidikan Agama Islam, yang memberikan dukungan dan bimbingan kepada penulis. 5. Heny Narendrany Hidayati, S.Ag, M.Pd, Dosen Pembimbing skripsi, yang tidak pernah menutup pintu keluasan waktunya untuk membimbing dan memberikan semangat dan arahan dalam penulisan skripsi ini. 6. Seluruh dosen dan karyawan Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan (FITK), terutama untuk Jurusan Pendidikan Agama Islam, yang telah memberikan motivasi dan kontribusi, selama penulis menjadi mahasiswa. 7. Pimpinan dan seluruh staf Perpustakaan Utama dan Perpustakaan FITK, yang turut memberikan pelayanan kepada penulis dalam menyelesaikan skripsi ini.
vi
8. Yang paling utama untuk orang tuaku tercinta, Ayah ibu tercinta Tarmuzi A. Siregar dan Habsah, Mbah Dakir dan Ibu, Kakak-kakak terbaik Rahmat Jaya Santika (a’ Ucok), MD. Fajri, Teh Kunet, Mbak Anggi, Teh Yanah, A’ Rosadi,
Mbak Mie (yang sabar ya mbak semoga Allah memberi jalan
terbaik), Mas Pur, Mbak Surani. Buat keponakan tersayang Ilham, Dea, Ncin, Fawazd, Eki, Rafi dan Rasya Skripsi ini untuk kalian semua. 9. Unayah yang telah mewarnai hari-hari penulis dari kejenuhan dan segala kesulitan, yang memberikan inspirasi dan motivasi terbesar, dan selalu ada buat penulis, baik suka maupun duka. 10. Abah Jaenudin, Ibu, Mia dan Ayu terimakasih motivasi yang selama ini diberikan. Semoga harapan dan doa kita terkabul. 11. Kawan-kawan yang aktif di Ikatan Mahasiswa Muhammadiyah, para alumni Cecep, Fadli, dkk., atas segala bimbingannya dan yang senior lain yang tak mungkin tersebut satu persatu, teman-teman Pimpinan Cabang 2009-2010 Iqbal, Arji, Aos, Muhib, Muis, Ipul, Irma, Sarah, Rini dan Ewi. Teman-teman Pimpinan Cabang 2010-2011 Fahmi, Mayang, Ida, Dimas, Nuy, Amel, Rina, Beni, Muamar, Redi, Iman, Adik-adik di komisariat Tarbiyah maupun yang lain Rendi, Fauzi, Rivaldi, Zuhri, Coco, Qiqi, Fadli, Dimas, Fahmi, Dinah, Shidiq dan yang lain tetaplah berlatih berorganisasi, dan selalu semangat dalam berjuang untuk ikatan kelak kalian akan tahu arti sebuah tanggung jawab. 12. Gen B (Azzavirtium) yang ada di Jakarta semoga kita tetap bisa menjaga almamater dengan baik dan lebih bermanfaat bagi kemanusiaan. 13. Kawan-kawan jurusan PAI khususnya kelas E Sule dan Ana (Semoga anak pertama lahir dengan selamat dan menjadi anak yang shaleh), IRAK TEAM dan yang lain semoga persaudaraan dan persahabatan yang kita jalin selama ini membawa kebaikan buat kita semua. 14. Kawan-kawan Ipunk’s Hotel maaf selalu disibukkan, SC team terimakasih buat waktunya. 15. Dan kepada semua pihak yang telah membantu serta memberikan dukungan kepada penulis baik secara moral maupun material.
vii
Akhirnya, penulis berharap tulisan ini akan bermanfaat dan tidak hanya sekedar jadi tuntutan kuliah belaka. Billâhi fî sabîlilhaq fastabiqulkhairât.. Ciputat, 15 Mei 2011
Penulis Welly C.S
viii
DAFTAR ISI LEMBAR PENGESAHAN DOSEN PEMBIMBING................................... ii LEMBAR PERNYATAAN ........................................................................... iii LEMBAR PENGESAHAN PENGUJI .......................................................... iv ABSTRAK ....................................................................................................... v KATA PENGANTAR .................................................................................... vi DAFTAR ISI ................................................................................................... ix
BAB I
PENDAHULUAN .......................................................................... 1 A. Latar Belakang Masalah ............................................................. 1 B. Identifikasi Masalah ................................................................... 4 C. Pembatasan dan Perumusan Masalah ......................................... 4 D. Tujuan dan Manfaat Penelitian .................................................. 4
BAB II
KAJIAN TEORITIK ..................................................................... 6 A. Acuan Teori ............................................................................... 6 1. Biografi Prof. Dr. Zakiah Daradjat ....................................... 6 a. Riwayat Hidup dan Pendidikan Prof. Dr. Zakiah Daradjat ................................................. 6 b. Aktivitas dan Karya-karyanya ......................................... 10 2. Pendidikan Islam .................................................................. 13 a. Pengertian Pendidikan Islam ........................................... 13 b. Dasar-dasar Pendidikan Islam ......................................... 17 c. Tujuan dan Fungsi Pendidikan Islam ............................... 23 d. Metodologi Pendidikan Islam .......................................... 26 e. Ruang Lingkup Pendidikan Islam .................................... 28 3. Perkembangan pada Anak .................................................... 29 a. Pengertian Anak .............................................................. 29 ix
b. Pengertian Perkembangan Anak ...................................... 30 c. Ciri-ciri Perkembangan Anak .......................................... 32 d. Fase-fase Perkembangan Anak ........................................ 34 e. Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Perkembangan Anak ........................................................ 37 f. Perkembangan Anak Secara Umum ................................. 38 g. Perkembangan Agama pada Anak ................................... 44 B. Pembahasan Kajian yang Relevan ............................................. 47
BAB III METODOLOGI PENELITIAN ................................................. 51 A. Waktu Penelitian ....................................................................... 51 B. Metodologi Penulisan ................................................................ 51 C. Fokus Penelitian ........................................................................ 53 D. Prosedur ..................................................................................... 53 BAB IV HASIL PENELITIAN .................................................................. 55 A. Temuan Hasil Analisis Kritis Deskriptif ................................... 55 1. Pendidikan Agama pada Anak Menurut Prof. Dr. Zakiah Daradjat ..................................................... 55 a. Fungsi Keluarga dalam Pendidikan Agama pada Anak Menurut Prof. Dr. Zakiah Daradjat . ................................ 56 1). Keluarga sebagai Wadah Pertama Pendidikan Anak 56 2). Keluarga sebagai Peletak Dasar Kepribadian Anak . 66 3). Peran Keluarga dalam Pendidikan Agama Anak ...... 77 4). Peran Keluarga dalam Pembentukan Sifat-Sifat Terpuji pada Anak ..................................................... 81 b. Fungsi Sekolah dalam Pendidikan Agama pada Anak Menurut Prof. Dr. Zakiah Daradjat . ................................ 84 1). Taman Kanak-kanak .................................................. 85 2). Sekolah Dasar ............................................................ 86 x
c. Fungsi Masyarakat dalam Pendidikan Agama pada Anak Menurut Prof. Dr. Zakiah Daradjat . ...................... 92
BAB V
KESIMPULAN DAN SARAN .................................................... 96 A. Kesimpulan ................................................................................ 96 B. Saran .......................................................................................... 97
DAFTAR PUSTAKA ..................................................................................... 98 LAMPIRAN-LAMPIRAN
xi
1
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Keluarga mempunyai peranan penting dalam pendidikan, baik dalam lingkungan masyarakat Islam maupun non-Islam. Karena keluarga merupakan tempat pertumbuhan anak yang pertama di mana ia mendapatkan pengaruh dari anggota-anggotanya pada masa yang amat penting dan paling kritis dalam pendidikan anak, yaitu tahun-tahun pertama dalam kehidupannya (usia prasekolah). Sebab pada masa tersebut apa yang ditanamkan dalam diri anak akan sangat membekas, sehingga tak mudah hilang atau berubah sesudahnya.1 Keluarga adalah lingkungan pertama dan utama bagi seorang anak. Hal ini terjadi, karena seorang anak memiliki ikatan darah/keturunan dengan kedua orang tuanya yang tidak bisa dipisahkan hingga akhir hayat. Bagi ayah dan ibu, anak bukan hanya sebagai amanah yang harus dipelihara dengan sebaik-baiknya,
1
Yusuf Muhammad Al-Hasan, Pendidikan Anak Dalam Islam, (Jakarta: Yayasan alSofwa, 1997), Cet. I, h. 10
1
2
melainkan juga2 kehadiran anak di tengah-tengah keluarga merupakan keinginan dan dambaan hampir setiap pasangan suami-istri. Salah satu dari tujuan pernikahan adalah menghasilkan keturunan. Fakta sosial sering menunjukkan, pernikahan yang tak kunjung membuahkan momongan, kehidupan rumah tangganya sering diwarnai percekcokan dan saling menyalahkan seputar siapa pihak yang tidak mampu memberikan keturunan. Bahkan kelestariannya pun acap kali sulit dipertahankan. Keharmonisan keluarga dan keserasian antara bapak dan ibu, punya pengaruh besar terhadap tingkah laku anak. Sekian banyak penyakit moral; egois, anarkhis, hilangnya rasa percaya diri, sombong, munafik (hipokrit), dan tidak bertanggung jawab adalah bersumber dan berawal dari suasana kehidupan keluarga. Sekolah dan masyarakat tak akan mampu meluruskannya. 3 Keluarga bagi anak adalah segala-galanya. Citra diri anak mengidentifikasikan dari citra kedua orang tuanya. Dalam hal ini Prof. Dr. Zakiah Daradjat (tokoh yang akan diteliti dalam skripsi ini) mempunyai pandangan tentang pendidikan anak. Karyanya antara lain adalah Pendidikan Islam dalam Keluarga dan Sekolah, Ilmu Pendidikan Islam, dan Ilmu Jiwa Agama. Prof. Dr. Zakiah Daradjat mengatakan pembentukan identitas anak menurut Islam, dimulai jauh sebelum anak diciptakan. Islam memberikan berbagai syarat dan ketentuan pembentukan keluarga, sebagai wadah yang akan mendidik anak sampai umur tertentu yang disebut sebagai baligh berakal.4 Dengan demikian dapat dipahami bahwa pembinaan kepribadian anak telah mulai dalam keluarga sejak ia lahir, bahkan sejak dalam kandungan. Kepribadian yang 2
Abuddin Nata, Pendidikan Dalam Persperktif al-Qur’an, (Jakarta: UIN Jakarta Press, 2005), Cet. I, h. 256 3
Abuddin Nata, dan Fauzan, Pendidikan Dalam Perspektif Hadits, (Jakarta: UIN Jakarta Press, 2005), Cet. I, h. 236 4
Zakiah Daradjat, Pendidikan Islam Dalam Keluarga dan Sekolah, (Jakarta: CV. Ruhama, 1995), Cet. II, h. 41
3
masih dalam permulaan pertumbuhan sangat peka dan mendapatkan unsur pembinanya melalui pengalaman yang dirasakan, baik melalui pendengaran, penglihatan, perasaan dan perlakuan yang diterimanya. Anak masih belum mampu menilai baik dan buruk, bahkan belum dapat mengerti tentang apa yang dimaksud dengan kata baik dan kata buruk, apalagi kata-kata lain di luar jangkauan pengalamannya secara nyata. Karena kecerdasannya masih dalam permulaan pertumbuhan, belum dapat berpikir logis dan abstrak, pada umur tujuh tahun barulah mulai pertumbuhan pemikiran logis pada anak.5 Anak adalah masa pertumbuhan manusia sejak usia 0-12 tahun. Masa usia dapat dibagi dua, yaitu masa usia anak awal atau pra sekolah yaitu sejak usia 0 sampai 6 tahun dan masa usia anak akhir adalah masa Sekolah Dasar yaitu sejak usia 6 sampai 12 tahun.6 Seorang anak masih membutuhkan perhatian dan pengawasan yang ekstra dari orang tuanya, tetapi yang terlihat sekarang banyak anak-anak yang menghabiskan waktunya hanya untuk bermain. Banyak terlihat warnet-warnet atau PS yang diisi oleh anak-anak dari siang hingga malam hari. Lalu dimanakah peran orang tua dalam mendidik dan mengajarkan anak-anak mereka? Prof. Dr. Zakiah Daradjat menambahkan tentang prinsip-prinsip penting dalam pendidikan, pendidikan dalam keluarga dan pendidikan di sekolah. Konsep pendidikan anak yang ditawarkan oleh Prof. Dr. Zakiah Daradjat menurut hemat penulis perlu mendapat sorotan yang serius dan diharapkan dapat memberikan solusi bagi permasalahan pendidikan anak di Indonesia. Oleh karena itu, sebagai upaya untuk mengenal lebih jauh konsep pendidikan anak menurut Prof. Dr. Zakiah Daradjat maka penulis tuangkan dalam skripsi yang berjudul “FUNGSI PENDIDIKAN AGAMA
ISLAM
PADA ANAK MENURUT PROF. DR. ZAKIAH DARADJAT”
5
Zakiah Daradjat, Kepribadian Guru, (Jakarta: PT. Bulan Bintang, 2005), h. 3
6
Zakiah Daradjat, Ilmu Jiwa Agama, (Jakarta: Bulan Bintang, 2009), Cet. XVII, h. 69
4
B. Identifikasi Masalah Seperti yang telah dipaparkan dalam latar belakang masalah di atas, maka penulis mengidentifikasi masalah dalam penelitian ini sebagai berikut: 1. Bagaimana pemikiran Prof. Dr. Zakiah Daradjat tentang pendidikan anak. 2. Bagaimana fungsi keluarga dalam pendidikan agama pada anak menurut Prof. Dr. Zakiah Daradjat. 3. Isi pendidikan anak dalam keluarga menurut Prof. Dr. Zakiah Daradjat 4. Bagaimana pendidikan agama pada anak di Sekolah 5. Bagaimana pendidikan agama pada anak di lingkungan masyarakat.
C. Pembatasan dan Perumusan Masalah 1. Pembatasan Masalah Dari permasalahan yang telah disampaikan di atas, maka penulis merasa perlu untuk membatasi pembahasan pada masalah sebagai berikut: Fungsi keluarga, sekolah, dan masyarakat dalam pendidikan agama Islam pada anak dalam buku Pendidikan Islam dalam keluarga dan Sekolah, Ilmu Pendidikan Islam menurut Prof. Dr. Zakiah Daradjat.
2. Perumusan Masalah Dengan demikian rumusan masalah dari penulisan skripsi ini adalah untuk menjawab pertanyaan bagaimana sebenarnya fungsi pendidikan agama Islam pada anak menurut Prof. Dr. Zakiah Daradjat?
D. Tujuan dan Mafaat Penelitian. Pembahasan dalam skripsi ini diharapkan mampu menggali informasi yang sebanyak-banyaknya dari pemikiran Prof. Dr. Zakiah Daradjat sebagai tokoh pembaharuan pendidikan di Indonesia tentang fungsi keluarga, sekolah dan masyarakat dalam pendidikan agama pada anak. Adapun manfaat yang dapat diambil dari penulisan skripsi ini adalah selain untuk memberikan informasi bagi siapa saja yang ingin mengetahui tentang tokoh, pemikiran dan konsep Prof. Dr. Zakiah Daradjat tentang fungsi keluarga,
5
sekolah dan masyarakat dalam pendidikan agama pada anak, juga sumbangsih kepada khzanah keilmuan bagi para akademisi, para intelektual dan para pembaca yang ingin mengenal lebih dalam tentang sosok tokoh pendidikan Prof. Dr. Zakiah Daradjat.
6
BAB II KAJIAN TEORITIK A. Acuan Teori 1. Biografi Prof. Dr. Zakiah Daradjat a. Riwayat Hidup dan Pendidikan Prof. Dr. Zakiah Daradjat Zakiah Daradjat dilahirkan di Ranah Minang, tepatnya di Kampung Kota Merapak, kecamatan Ampek Angkek, Bukittinggi, Sumatera Barat, pada 6 November 1929. Ayahnya bernama H. Daradjat Husain, yang memiliki dua istri. Dari istrinya yang pertama, Rafi‟ah, ia memiliki enam anak, dan Zakiah adalah anak pertama dari keenam bersaudara. Sedangkan dari istrinya yang kedua, Hj. Rasunah, ia dikaruniai lima orang anak. Dengan demikian, dari dua istri tersebut, H. Daradjat memiliki 11 orang putra. Walaupun memiliki dua istri, ia cukup berhasil mengelola keluarganya. Hal ini terlihat dari kerukunan yang tampak dari putraputrinya. Zakiah memperoleh perhatian yang besar dari ibu tirinya, sebesar kasih sayang yang ia terima dari ibu kandungnya. 1 H. Daradjat yang bergelar Raja Ameh (Raja Emas) dan Rapi‟ah binti Abdul Karim, sejak kecil tidak hanya dikenal rajin beribadah, tetapi juga tekun belajar. Keduanya dikenal aktif dalam kegiatan-kegiatan sosial. Ayahnya dikenal aktif di Muhammadiyah sedangkan ibunya aktif di Partai
1
Abuddin Nata, Tokoh-tokoh Pembaharuan Pendidikan Islam di Indonesia, (Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2005), h. 233
6
7
Sarekat Islam Indonesia (PSII). Seperti diketahui kedua organisasi tersebut menduduki
posisi
penting dalam
dinamika
Islam
di
negeri
ini.
Muhammadiyah sering disebut sebagai organisasi yang sukses mengelola lembaga-lembaga pendidikan yang bercorak modern, sementara PSII adalah organisasi Islam yang memiliki kontribusi besar terhadap bangkitnya semangat nasionalisme di kalangan masyarakat muslim Indonesia. Sebagaimana umumnya masyarakat Padang, kehidupan keagamaan mendapat perhatian serius di lingkungan keluarganya. Keluarga Zakiah sendiri, seperti diakuinya, bukan dari kalangan ulama atau pemimpin agama. “Kakek saya bahkan seorang abtenar,” katanya. Kakek Zakiah dari pihak ayah menjabat sebagai tokoh adat di Lembah Tigo Patah Ampek Angkek Candung. Kampung Kota Merapak pada dekade tahun 30-an dikenal sebagai kampung yang relijius. Zakiah menuturkan, “Jika tiba waktu shalat, masyarakat kampung saya akan meninggalkan semua aktivitasnya dan bergegas pergi ke masjid untuk menunaikan kewajibannya sebagai Muslim.” Pendeknya, suasana keagamaan di kampung itu sangat kental. Dengan suasana kampung yang relijius, ditambah lingkungan keluarga yang senantiasa dinafasi semangat keislaman, tak heran jika sejak kecil Zakiah sudah mendapatkan pendidikan agama dan dasar keimanan yang kuat. Sejak kecil ia sudah dibiasakan oleh ibunya untuk menghadiri pengajian-pengajian agama. Pada perkembangannya, Zakiah tidak sekedar hadir, kadang-kadang dalam usia yang masih belia itu Zakiah sudah disuruh memberikan ceramah agama. Pada usia 6 tahun, Zakiah mulai memasuki sekolah. Pagi belajar di Standard Shcool (Sekolah Dasar) Muhammadiyah, sementara sorenya mengikuti sekolah Diniyah (Sekolah Dasar Khusus Agama). Hal ini dilakukan karena ia tidak mau hanya semata-mata menguasai pengetahuan umum, ia juga ingin mengerti masalah-masalah dan memahami ilmu-ilmu keislaman. Setelah menamatkan Sekolah Dasar, Zakiah melanjutkan ke Kulliyatul Muballighat di Padang Panjang. Seperti halnya ketika duduk di Sekolah Dasar, sore harinya ia juga mengikuti kursus di SMP. Namun, pada
8
saat duduk di bangku SMA, hal yang sama tidak lagi bisa dilakukan oleh Zakiah. Ini karena, lokasi SMA yang relatif jauh dari kampungnya, yaitu Bukittinggi. Kiranya, dasar-dasar yang diperoleh di Kulliyatul Mubalighat ini terus mendorongnya untuk berperan sebagai mubaligh hingga sekarang. Pada tahun 1951, setelah menamatkan SMA, Zakiah meninggalkan kampung halamannya untuk melanjutkan studinya ke Yogyakarta. Pada masa itu anak perempuan yang melanjutkan pendidikan di kota lain masih sangat langka. Kesadaran masyarakat akan pentingnya pendidikan bagi anak perempuan masih sangat kecil. Kesadaran itu hanya muncul di kalangan pejabat, pemerintah, dan elit masyarakat pada umumnya. Akan tetapi hal itu tampaknya tidak berlaku bagi masyarakat Minang. Kuatnya tradisi merantau di kalangan masyarakat Minang dan garis keluarga yang bercorak materilinial membuka kesempatan luas bagi perempuan Minang untuk melakukan aktivitas-aktivitas sosial, termasuk melanjutkan studi di kota lain. Konteks sosial budaya semacam ini merupakan pondasi bagi Zakiah untuk terus meningkatkan kualitas dirinya melalui pendidikan. Di kota pelajar, Zakiah masuk Fakultas Tarbiyah Perguruan Tinggi Agama Islam Negeri (PTAIN)-kelak menjadi IAIN Sunan Kalijaga. Di samping di PTAIN, Zakiah juga kuliah di Fakultas Hukum Universitas Islam Indonesia (UII). Pertimbangannya seperti diungkapkan adalah keinginan untuk menguasai ilmu-ilmu agama dan umum. Akan tetapi kuliahnya di UII harus berhenti di tengah jalan. “Pada tahun ketiga di PTAIN, saya mendapat teguran dari beberapa dosen. Mereka menyarankan agar saya konsentrasi saja di PTAIN,” cerita Zakiah prihal keluarnya dari UII. Zakiah dari awal tercatat sebagai mahasiswa ikatan dinas di PTAIN. Sekitar tahun 50-an PTAIN merupakan perguruan tinggi yang masih baru. Tenaga pengajarnya, lebih-lebih yang memiliki spesialisasi dalam bidang ilmu tertentu boleh dibilang sedikit terutama jika dibandingkan dengan Universitas Gadjah Mada (UGM). Karena kondisi inilah PTAIN banyak menawarkan ikatan dinas kepada mahasiswanya.
9
Belajar ke Mesir Setelah Zakiah mencapai tingkat Doktoral Satu (BA), bersama sembilan orang temannya yang kebetulan semuanya laki-laki mendapatkan tawaran dari DEPAG untuk melanjutkan studi ke Kairo, Mesir. Beasiswa ini merupakan realisasi dari kerjasama antara pemerintah Indonesia dengan pemerintah Mesir dalam bidang pendidikan. Di antara kandidat, Zakiah merupakan satu-satunya perempuan yang mendapatkan kesempatan melanjutkan studi. Tawaran itu disambut Zakiah dengan perasaan gembira sekaligus was-was. Gembira karena tawaran ini memberikan kesempatan untuk meneruskan pendidikan ke tingkat yang lebih tinggi. Lagi pula pada saat itu perempuan Indonesia yang melanjutkan studi ke luar negeri boleh dibilang langka. Was-was karena merasa kuatir tidak sanggup menjalaninya dengan baik. Namun sebelum menyatakan menerima tawaran itu, Zakiah terlebih dahulu konsultasi dengan kedua orang tuanya. Ternyata kedua orang tuanyapun tidak keberatan Zakiah melanjutkan studinya ke Mesir. Tradisi melanjutkan studi ke Timur Tengah, khususnya Haramain (Mekkah dan Madinah) dan Mesir sudah berlangsung lama. Kaum terpelajar Indonesia sejak abad-abad lalu telah menjadikan Timur Tengah sebagai kiblat keilmuan. Tidak sedikit tamatan Timur Tengah yang mewarnai percaturan intelektual di negeri ini, khususnya berkaitan dengan upayaupaya pembaharuan Islam. Pada tahun 1956, Zakiah bertolak ke Mesir dan langsung diterima (tanpa dites) di Fakultas Pendidikan Universitas Ein Syams, Kairo, untuk program S2. Pada waktu itu, antara pemerintah Indonesia dan Mesir sudah menjalin kesepakatan bahwa doktoral satu di Indonesia disamakan dengan S1 di Mesir. Inilah kiranya yang menyebabkan Zakiah langsung diterima tanpa tes di Universitas Ein Syams. Zakiah berhasil meraih gelar MA dengan tesis tentang Problema Remaja di Indonesia pada 1959 dengan spesialisasi mental-hygiene dari Universitas Eins Syams, setelah setahun sebelumnya mendapat diploma pasca sarjana dengan spesialisasi pendidikan dari Universitas yang sama.
10
Selama menempuh program S2 inilah Zakiah mulai mengenal klinik kejiwaan. Ia bahkan sudah sering berlatih praktik konsultasi psikologi di klinik universitas. Pada waktu Zakiah menempuh program S3 perkembangan ilmu psikologi di universitas Ein Syams masih didominasi oleh psikoanalisa, suatu mazhab psikologi-dipelopori oleh Sigmund Freud- yang mendudukkan alam tak sadar sebagai faktor penting dalam kepribadian manusia. Sedangkan metode non-directive dari Carl Rogers yang menjadi minat Zakiah baru mulai dirintis dan diperkenalkan di universitas. Karena itu, ketika Zakiah mengajukan disertasinya mengenai psikoterapi model nondirective dengan fokus psimoterapi bagi anak-anak bermasalah, ia mendapatkan dukungan sepenuhnya dari pihak universitas. Selanjutnya, pada tahun1964, dengan disertasi tentang perawatan jiwa anak, Zakiah berhasil meraih gelar doktor dalam bidang psikologi dengan spesialisasi kesehatan mental dari universitas Eins Syams.2 b. Aktivitas dan Karya-karyanya 1) Menapaki Karier di Dunia Birokrasi Pada dekade 1960-an, Departemen Agama dipimpin oleh KH. Saifuddin Zuhri, kiai-politisi dari lingkungan NU. Situasi politik saat itu diwarnai oleh persaingan, bahkan konfrontasi antara tiga golongan, yaitu golongan nasionalis, komunis, dan agama. Membaca situasi seperti itu, langkah pertama yang ditempuh Saifuddin adalah merumuskan acuan operasional yang bersifat yuridis-formal tentang keberadaan dan fungsi Depag. Langkah ini dimaksudkan untuk memperkokoh posisi Depag dalam percaturan politik di Indonesia. Saifuddin juga menaruh perhatian khusus kepada perkembangan lembaga-lembaga pendidikan Islam yang berada di bawah naungan Depag (Madrasah dan IAIN) pada masa kementrian Saifuddin, IAIN yang semula berjumlah dua, Jakarta dan 2
Tim Penerbitan Buku 70 Tahun Prof. Dr. Zakiah Daradjat, Perkembangan Psikologi Agama dan Pendidikan Islam di Indonesia 70 tahun Prof.Dr. Zakiah Daradjat, (Ciputat: PT Logos Wacana Ilmu dengan Pusat penelitian IAIN Syarif Hidayatullah, 1999) Cet. I, h. 4-9
11
Yogyakarta, berkembang menjadi Sembilan. Secara berturut-turut berdiri IAIN di kota-kota Surabaya, Banda Aceh, Ujung Pandang, Banjarmasin, Padang, Palembang, dan Jambi, serta cabang-cabangnya yang berlokasi di kota-kota kabupaten. Dalam situasi itulah Zakiah tiba di tanah air. Setelah meraih gelar Doktor Psikologi, Zakiah langsung pulang ke Indonesia. Sebagai mahasiswa ikatan dinas, pertama-tama yang dilakukannya adalah melapor kepada Menteri Agama Saifuddin Zuhri. Menag memberi keleluasaan kepada Zakiah untuk memilih tempat tugas. Meskipun demikian, sepenuhnya Zakiah menyerahkan penugasannya kepada Menag. Bagi Zakiah memang banyak tawaran mengajar. IAIN Yogya (pada 1960-an PTAIN sudah diubah menjadi IAIN) sebagai almamaternya, meminta agar Zakiah kembali ke sana; sementara IAIN Padang dan IAIN Palembang yang masih tergolong baru, juga meminta kesediaan Zakiah untuk “mengabdikan” ilmunya. Zakiah memaparkan undangan mengajar itu kepada Menag. Sebagai jalan tengah, oleh Menag, Zakiah ditugaskan di Departemen Agama Pusat, di Jakarta, dengan pertimbangan agar Zakiah bisa mengajar di berbagai IAIN sekaligus. Sejak itu, Zakiah menjadi dosen keliling, dan ia tetap berkantor di Jakarta. Pada 1967, Zakiah ditunjuk untuk menduduki jabatan Kepala Dinas Penelitian dan Kurikulum Perguruan Tinggi di Biro Perguruan Tinggi dan Pesantren Luhur. Jabatan ini dipegang hingga Menag digantikan oleh KH. Muhammad Dachlan. Bahkan ia baru meninggalkan jabatan ini ketika kursi Menag diduduki oleh A. Mukti Ali. Pada 1977, ketika A. Mukti Ali menjabat sebagai Menag, Zakiah dipromosikan untuk menjadi Direktur di Direktorat Pendidikan Agama. Ketika menjabat direktur inilah muncul dua peristiwa besar yang menyangkut pendidikan Islam di Indonesia, yaitu SKB Tiga Menteri, dan “Kasus Uga” (Urusan Guru Agama). 3 3
Jajat Burhanudin, ed, Ulama Perempuan Indonesia, (Jakarta: PT. Gramedia Pustaka Utama, 2002), h. 143-149
12
2) Karya-karya Prof. Dr. Zakiah Daradjat Di antara karya Prof. Dr. Zakiah Daradjat adalah: a) Penerbit Bulan Bintang (1) Ilmu Jiwa Agama tahun 1970. (2) Pendidikan Agama dalam Pembinaan Mental tahun 1970. (3) Problema Remaja di Indonesia tahun 1974. (4) Perawatan Jiwa untuk anak-anak tahun 1982. (5) Membina nilai-nilai moral di Indonesia tahun 1971. (6) Perkawinan yang Bertanggung Jawab tahun 1975. (7) Islam dan Peranan Wanita tahun 1978. (8) Peranan IAIN dalam Pelaksanaan P4 tahun 1979. (9) Pembinaan Remaja tahun 1975. (10) Ketenangan dan Kebahagiaan dalam Keluarga tahun 1974. (11) Pendidikan Orang Dewasa tahun 1975. (12) Menghadapi Masa Manopoase tahun 1974. (13) Kunci Kebahagiaan tahun 1977. (14) Membangun Manusia Indonesia yang Bertakwa kepada Tuhan YME tahun 1977. (15) Kepribadian Guru tahun 1978. (16) Pembinaan Jiwa/Mental tahun 1974 Penerbit PT Bulan Bintang. b) Penerbit Gunung Agung. (1) Kesehatan Mental tahun 1969. (2) Peranan Agama dalam Kesehatan Mental tahun 1970. (3) Islam dan Kesehatan Mental tahun 1971. c) Penerbit YPI Ruhama (1) Shalat Menjadikan Hidup Bermakna tahun 1988. (2) Kebahagiaan tahun 1988. (3) Haji Ibadah yang Unik tahun 1989. (4) Puasa Meningkatkan Kesehatan Mental tahun 1989. (5) Doa Menunjang Semangat Hidup tahun 1990.
13
(6) Zakat Pembersih Harta dan Jiwa tahun 1991. (7) Remaja, Harapan dan Tantangan tahun 1994. (8) Pendidikan Islam dalam Keluarga dan Sekolah tahun 1994. (9) Shalat untuk anak-anak tahun 1996. (10) Puasa untuk anak-anak tahun 1996 Penerbit YPI Ruhama. d) Penerbit Pustaka Antara (1) Kesehatan Jilid I, II, III tahun 1971. (2) Kesehatan (Pertolongan Pertama Pada Kecelakaan) Jilid IV tahun 1974. (3) Kesehatan Mental dalam Keluarga tahun 1991.4 2. Pendidikan Islam a. Pengertian Pendidikan Islam Secara alamiah, manusia sejak dalam rahim ibu sampai meninggal dunia mengalami proses tumbuh dan berkembang tahap demi tahap. Begitu pula kejadian alam semesta ini diciptakan oleh Tuhan dalam proses setingkat demi setingkat. Baik perkembangan manusia maupun kejadian alam semesta yang berproses adalah terjadi dan berlangsung menurut ketentuan Allah yang biasa disebut sebagai sunatullah. Tidak ada satu makhluk ciptaan Tuhan di atas dunia ini dapat mencapai kesempurnaan dan kematangan hidup tanpa melalui proses. Demikian pula pendidikan sebagai salah satu usaha untuk membina dan mengembangkan seluruh aspek kepribadian manusia jasmani dan rohani agar menjadi manusia yang berkepribadian harus berlangsung secara bertahap. Dengan kata lain, terbentuknya kepribadian yang bulat dan utuh sebagai individu, sosial dan sebagai manusia bertuhan hanya dapat tercapai apabila berlangsung melalui proses menuju kearah akhir pertumbuhan dan perkembangannya sampai kepada titik optimal kemampuannya. Menurut
4
Tim Penerbitan Buku 70 Tahun Prof. Dr. Zakiah Daradjat, Perkembangan Psikologi Agama dan Pendidikan Islam di Indonesia 70 tahun Prof. Dr. Zakiah Daradjat..., h. 62-64
14
Herbert Spencer (seorang filosof pendidikan Inggris) pendidikan adalah mempersiapkan manusia untuk hidup sempurna.5 Menurut John Dewey pendidikan adalah proses pembentukan kecakapan-kecakapan fundamental secara intelektual dan emosional kearah alam dan sesama manusia. Menurut Ahmad D. Rimba pendidikan adalah bimbingan atau pimpinan secara sadar oleh si pendidik terhadap perkembangan jasmani dan rohani si terdidik menuju terbentuknya kepribadian yang utama. Menurut Ki Hajar Dewantara pendidikan adalah tuntunan di dalam hidup tumbuhnya anak-anak. Yaitu menuntun segala kekuatan kodrat yang ada pada anak-anak, agar mereka sebagai manusia dan sebagai anggota masyarakat dapat mencapai keselamatan dan kebahagiaan yang setinggitingginya.6 Menurut UU No. 20 Tahun 2003 pendidikan adalah usaha sadar dan terencana untuk mewujudkan suasana belajar dan proses pembelajaran agar peserta didik secara aktif mengembangkan potensi dirinya untuk memiliki kekuatan spiritual keagamaan, pengendalian diri, kepribadian, kecerdasan, akhlak mulia, serta keterampilan yang diperlukan dirinya, masyarakat, bangsa dan Negara.7 Jadi pendidikan menunjukkan adanya suatu proses bimbingan, tuntunan atau pimpinan yang di dalamnya mengandung unsurunsur seperti pendidik, anak didik, tujuan dan sebagainya. Pendidikan Islam secara etimologi pengertiannya diwakili oleh istilah ta‟lim dan tarbiyah yang berasal dari kata dasar: „allama dan rabba yang digunakan dalam al-Qur‟an, walaupun konotasi kata tarbiyah lebih luas karena mengandung arti memelihara, membesarkan, dan mendidik serta sekaligus mengandung makna mengajar („allama). Dalam konteks pendidikan Islam ada beberapa konsep yang sering digunakan secara 5
HM. Djumransjah, dan Abdul Malik Karim Amrullah, Pendidikan Islam; Menggali “Tradisi”, Mengukuhkan Eksistensi, (Malang: UIN Malang Press, 2007), Cet. I, h.11-12 6 Hasbullah, Dasar-Dasar Ilmu Pendidikan, (Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2006), h. 2-4 7 Anwar Arifin, Memahami Paradigma Baru Pendidikan Nasional dalam UndangUndang SISDIKNAS, (Jakarta: Detjen Kelembagaan Agama Islam Depag, 2003), Cet. II, h. 34
15
bergantian yaitu: (a) Ta‟lim, pendidikan yang menitikberatkan pada pengajaran, penyampaian informasi, dan pengembangan ilmu, (b) Tarbiyah, yaitu
pendidikan
yang
menitikberatkan
pada
pembentukan
dan
pengembangan pribadi dalam rangka penerapan norma dan etika, (c) Ta‟dib, yaitu pendidikan yang memandang peroses sebagai usaha keras untuk membentuk keteraturan susunan ilmu yang berguna bagi diri sendiri dan masyarakat, sehingga peserta didik mampu melaksanakan kewajibankewajibannya secara fungsional, teratur dan terarah serta efektif.8 Pendidikan Islam menurut Dr. Miqdad Yaljan (seorang Guru Besar Ilmu-Ilmu Sosial di Universitas Muhammad bin Su‟ud di Riyadh Saudi Arabia) diartikan sebagai usaha menumbuhkan dan membentuk manusia muslim yang sempurna dari segala aspek yang bermacam-macam: aspek kesehatan, akal, keyakinan, kejiwaan, akhlak, kemauan, daya cipta dalam semua tingkat pertumbuhan yang disinari oleh cahaya yang dibawa oleh Islam dengan versi dan metode-metode pendidikan yang ada. Pendidikan Islam menurut Dr. Mohammad Fadil al-Jamaly (Guru Besar Pendidikan di Universitas Tunisia) adalah proses yang mengarahkan manusia kepada kehidupan yang baik dan yang mengangkat derajat kemanusiaannya, sesuai dengan kemampuan dasar atau fitrah dan kemampuan ajarnya (pengaruh dari luar).9 Pendidikan Islam menurut Prof. H. Muzayyin Arifin, M.Ed. adalah usaha yang diarahkan kepada pembentukan kepribadian anak yang sesuai dengan ajaran Islam atau suatu upaya dengan ajaran Islam, memikir, memutuskan dan berbuat berdasarkan nilai-nilai Islam, serta bertanggung jawab sesuai dengan nilai-nilai Islam.10
8
Rahmat Rais, Modal Sosial Sebagai Strategi Pengembangan Madrasah; Studi Pengembangan Madrasah pada MAN I Surakarta, (Jakarta: Litbang dan Diklat Departemen Agama RI, 2009), Cet. I, h. 55-56 9 HM. Djumransjah, dan Abdul Malik Karim Amrullah, Pendidikan Islam; Menggali “Tradisi”, Mengukuhkan Eksistensi…, h. 16-17 10 Muzayyin Arifin, Filsafat Pendidikan Islam, (Jakarta: Bumi Aksara, 2008), Cet. VI, h. 152
16
Pendidikan Islam adalah sebuah proses dalam membentuk manusiamanusia muslim yang mampu mengembangkan potensi yang dimilikinya untuk mewujudkan dan merealisasikan tugas dan fungsinya sebagai khalifah Allah SWT baik kepada Tuhannya, sesama manusia, dan sesama makhluk lainnya.11 Menurut Prof. Dr. Zakiah Daradjat pendidikan Islam adalah pembentukan kepribadian; pendidikan Islam ini telah banyak ditujukan kepada perbaikan sikap mental yang akan terwujud dalam amal perbuatan sesuai dengan petunjuk ajaran Islam; karena itu pendidikan Islam tidak hanya bersifat teoritis tetapi juga bersifat praktis atau pendidikan Islam adalah sekaligus pendidikan iman dan pendidikan amal”.12 Dari beberapa definisi tentang pendidikan Islam di atas maka dapat diambil beberapa pengertian tentang pendidikan Islam, yaitu: 1) Sebagai usaha bimbingan ditujukan untuk mencapai keseimbangan pertumbuhan jasmani dan rohani menurut ajaran Islam. 2) Suatu usaha sadar untuk mengarahkan dan mengubah tingkah laku individu untuk mencapai pertumbuhan kepribadian yang sesuai dengan ajaran Islam dalam proses kependidikan melalui latihan-latihan akal pikiran (kecerdasan), kejiwaan, keyakinan, kemauan dan perasaan, serta pancaindra dalam seluruh aspek kehidupan manusia. 3) Bimbingan secara sadar dan terus-menerus yang sesuai dengan kemampuan dasar (fitrah) dan kemampuan ajarnya (pengaruh dari luar), secara individual maupun kelompok sehingga manusia mampu memahami, menghayati dan mengamalkan ajaran Islam secara utuh dan benar.
11
Armai Arief, Pengantar Ilmu dan Metodologi Pendidikan Islam, (Jakarta: Ciputat Press, 2002), Cet. I, h. 40-41 12 M. Alisuf Sabri, Pengantar Ilmu Pendidikan, (Jakarta: UIN Jakarta Press, 2005), Cet. I, h. 150
17
b. Dasar-Dasar Pendidikan Islam Setiap usaha, kegiatan dan tindakan yang disengaja untuk mencapai suatu tujuan harus mempunyai landasan tempat berpijak yang baik dan kuat. Oleh karena itu, pendidikan Islam sebagai usaha membentuk manusia, harus mempunyai landasan kemana semua kegiatan dan semua perumusan tujuan pendidikan Islam itu dihubungkan. Landasan itu terdiri dari al-Qur‟an dan Sunnah Nabi Muhammad SAW yang dapat dikembangkan dengan ijtihad, al-Maslahah al-Mursalah, Istihsan, Qiyas, dan sebagainya.13 1) Al-Qur‟an Penurunan al-Qur‟an diawali dengan ayat-ayat yang mengandung konsep pendidikan, dapat menunjukkan bahwa tujuan al-Qur‟an yang terpenting adalah mendidik manusia melalui metode yang bernalar serta sarat dengan kegiatan meneliti, membaca, mempelajari, dan observasi ilmiah terhadap manusia sejak manusia masih dalam bentuk segumpal darah dalam rahim ibu. Sebagaimana firman Allah:14
“Bacalah dengan (menyebut) nama Tuhanmu Yang Menciptakan. Dia telah menciptakan manusia dari segumpal darah. Bacalah, dan Tuhanmulah Yang Maha Mulia. Yang mengajar (manusia) dengan perantara pena. Dia mengajarkan manusia apa yang tidak diketahuinya.” (QS. Al-„Alaq: 1-5).15 Dasar pelaksanaan pendidikan Islam, Allah berfirman:
13
Zakiah Daradjat, dkk, Ilmu Pendidikan Islam, (Jakarta: Bumi Aksara, 1996), Cet. III,
h. 19 14
Abdurrahman Annahlawi, Pendidikan Islam di Rumah, Sekolah dan Masyarakat,Terj. Dari Ushulut Tarbiyah Islamiyah wa Asalibiha fil Baiti wal Madrasati wal Mujtama‟ oleh Shihabuddin, (Jakarta: Gema Insani Press, 1995), Cet. I, h. 31 15 Departemen Agama RI, al-Qur‟an dan Terjemahannya, (Bandung: PT. Sygma Examedia Arkanleema, 2009), h. 597
18
“Dan demikianlah Kami wahyukan kepadamu (Muhammad) ruh (alQur‟an) dengan perintah Kami. Sebelumnya engkau tidaklah mengetahui apakah Kitab (al-Qur‟an) dan apakah iman itu, tetapi Kami jadikan al-Qur‟an itu cahaya, dengan itu Kami memberi petunjuk siapa yang Kami kehendaki di antara hamba-hamba Kami. Dan sungguh, engkau benar-benar membimbing (manusia) kepada jalan yang lurus.” (QS. Asy-Syura: 52).16 Ayat ini menjelaskan bahwa al-Qur‟an diturunkan kepada umat manusia untuk memberi petunjuk kearah jalan hidup yang lurus dalam arti memberi bimbingan dan petunjuk kearah jalan yang diridhai Allah SWT.17 Al-Qur‟an merupakan kalam Allah yang diwahyukan kepada nabi Muhammad SAW bagi seluruh umat manusia. Al-Qur‟an merupakan kitab Allah SWT yang memiliki perbendaharaan luas dan besar
bagi
pengembangan kebudayaan manusia. Ia merupakan sumber pendidikan yang terlengkap, baik pendidikan kemasyarakatan (sosial), moral (akhlak), maupun spiritual (kerohanian), serta material (kejasmanian) dan alam semesta. Al-Qur‟an merupakan sumber nilai yang absolut dan utuh. Eksistensi al-Qur‟an tidak akan pernah mengalami perubahan. Kemungkinan terjadinya perubahan hanya sebatas interpretasi manusia terhadap teks ayat yang menghendaki kedinamisan pemaknaannya, sesuai dengan konteks zaman, situasi, kondisi, dan kemampuan manusia dalam melakukan interpretasi. Isi al-Qur‟an mencakup seluruh dimensi manusia dan mampu menyentuh seluruh potensi manusia, baik motivasi untuk mempergunakan pancaindera dalam menafsirkan alam semesta bagi kepentingan formulasi lanjut pendidikan manusia (pendidikan Islam), motivasi agar manusia mempergunakan akalnya, lewat tamsilan-tamsilan Allah SWT dalam alQur‟an maupun motivasi agar manusia mempergunakan hatinya agar mampu mentransfer nilai-nilai pendidikan Ilahiah, dan lain sebagainya. Ini semua merupakan sistem umum pendidikan yang ditawarkan Allah SWT
16 17
Departemen Agama RI, al-Qur‟an dan Terjemahannya…, h. 489 Zuhairini, dkk, Filsafat Pendidikan Islam, (Jakarta: Bumi Aksara, 2009), Cet. V, h. 154
19
dalam al-Qur‟an, agar manusia dapat menarik kesimpulan dan melaksanakan semua petunjuk tersebut dalam kehidupan sebaik mungkin. Bila ditinjau dari proses turunnya al-Qur‟an yang berangsur-angsur dan sesuai dengan berbagai peristiwa yang melatarbelakangi turunnya, merupakan proses pendidikan yang ditunjukkan Allah kepada manusia. Dengan proses tersebut memberikan nuansa baru bagi manusia untuk melaksanakan proses pendidikan secara terencana dan berkesinambungan, layaknya proses turunnya al-Qur‟an, dan disesuaikan dengan perkembangan zaman dan tingkat kemampuan peserta didiknya. 2) As-Sunnah Sunnah secara bahasa banyak artinya, antara lain adalah:
suatu perjalanan yang diikuti, baik dinilai perjalanan baik atau perjalanan buruk. Misalnya sabda Nabi:
“Barang siapa yang membuat suatu jalan (Sunnah) kebaikan, kemudian diikuti orang maka baginya pahalanya dan sama dengan pahala orang yang mengikutinya tanpa mengurangi pahala mereka sedikitpun. Dan barang siapa yang membuat suatu jalan (Sunnah) yang buruk, kemudian diikutinya maka atasnya dosa dan dosa orang yang mengikutinya, tanpa mengurangi dosa mereka sedikitpun.” (HR. at-Tirmidzi). Makna sunnah yang lain adalah
yaitu tradisi yang
18
kontinu , misalnya firman Allah: “Sebagai suatu sunnatullah yang telah berlaku sejak dahulu, kamu sekali-kali tiada akan menemukan perubahan bagi sunnatullah itu.” (QS. Al-Fath: 23).19
18 19
Abdul Majid Khon, Ulumul Hadis, (Jakarta: AMZAH, 2009), Cet. I, h. 5 Departemen Agama RI, al-Qur‟an dan Terjemahannya…, h. 513
20
Menurut istilah sunnah terjadi perbedaan pendapat di kalangan para ulama, di antaranya adalah: Menurut ulama hadits (Muhadditsin), sunnah adalah segala perkataan Nabi SAW. perbuatannya, dan segala tingkah lakunya. Menurut ulama Ushul Fikih (Ushuliyun) sunnah adalah segala sesuatu yang diriwayatkan dari Nabi SAW. baik yang bukan dari al-Qur‟an baik berupa segala perkataan, perbuatan, dan pengakuanyang patut dijadikan dalil hokum syara‟. Menurut ulama Fikih (Fuqaha) sunnah adalah sesuatu ketetapan yang datang dari Nabi SAW. dan tidak termasuk kategori fardhu dan wajib, maka ia menurut mereka adalah sifat syara‟ yang menuntut pekerjaan tapi tidak wajib dan tidak disiksa bagi yang meninggalkannya. Menurut ulama maw‟izah (Ulama al-Wazhi wa al-Irsyad) sunnah adalah sesuatu yang datang dari nabi dan para sahabat.20 Contoh yang diberikan oleh beliau dapat dibagi kepada tiga bagian. Pertama, hadits qauliyah yaitu yang berisikan ucapan, pernyataan, dan persetujuan Nabi Muhammad SAW. Kedua, hadits fi‟liyah yaitu yang berisi tindakan dan perbuatan yang pernah dilakukan nabi. Ketiga, hadits taqririyat yaitu yang merupakan persetujuan nabi atas tindakan dan peristiwa yang terjadi. Ini merupakan sumber dan acuan yang dicontohkan oleh nabi kepada umat Islam dalam seluruh aktivitas kehidupannya. Hal ini disebabkan karena syari‟ah yang terkandung dalam al-Qur‟an masih bersifat global, walaupun secara umum bagian terbesar dari syari‟ah Islam telah terkandung di dalamnya, namun muatan hukum yang terkandung, belum mengatur berbagai dimensi aktivitas kehidupan umat secara terperinci dan analitis. Keberadaan hadits Nabi sangat diperlukan sebagai penjelas dan penguat hukum-hukum Quraniah yang ada, sekaligus sebagai petunjuk (pedoman) bagi kemaslahatan hidup manusia dalam semua aspek
20
Abdul Majid Khon, Ulumul Hadis,… h. 5-8
21
kehidupan,21untuk membina umat menjadi manusia seutuhnya atau muslim yang bertakwa. Untuk itu Rasulullah menjadi guru dan pendidik utama. Beliau mendidik pertama kali dengan menggunakan rumah al-Arqam ibn Abi al-Arqam, kedua dengan memanfaatkan tawanan perang untuk mengajar baca tulis, ketiga dengan mengirim para sahabat ke daerah-daerah yang baru masuk Islam. Semua itu adalah pendidikan dalam rangka pembentukan manusia muslim dan masyrakat Islam. Oleh karena itu, Sunnah merupakan landasan kedua bagi pembinaan pribadi manusia muslim. Sunnah selalu membuka kemungkinan penafsiran berkembang. Itulah sebabnya, mengapa ijtihad perlu ditingkatkan dalam memahaminya termasuk Sunnah yang berkaitan dengan pendidikan.22 3) Ijtihad Ijtihad secara etimologi adalah usaha keras dan bersungguh-sungguh (gigih) yang dilakukan oleh para ulama, untuk menetapkan hukum suatu perkara atau suatu ketetapan atas persoalan tertentu. Secara terminologi ijtihad adalah ungkapan atas kesepakatan dari sejumlah ulil amri dari umat Muhammad SAW dalam suatu masa, untuk menetapkan hukum syari‟ah terhadap berbagai peristiwa yang terjadi (batasan yang dikembangkan oleh al-Amidy). Menurut Abu Zahrah ijtihad adalah produk ijma‟ (kesepakatan) para mujtahid muslim, pada suatu periode terhadap berbagai persoalan yang terjadi setelah wafatnya Nabi Muhammad SAW, untuk menetapkan hukum syara‟ atas berbagai persoalan umat yang bersifat amaly.23 Menurut para fuqaha, ijtihad adalah berpikir dengan menggunakan seluruh ilmu yang dimiliki oleh ilmuwan syari‟at Islam untuk menetapkan atau menentukan suatu hukum syari‟at Islam dalam hal-hal yang ternyata belum ditegaskan hukumnya oleh al-Qur‟an dan Sunnah. Ijtihad dapat saja meliputi seluruh aspek kehidupan manusia, termasuk pendidikan, tetapi tetap berpedoman pada al-Qur‟an dan Sunnah. Dengan bahasa lain pelaksanaan 21
Samsul Nizar, Pengantar Dasar-dasar Pemikiran Pendidikan Islam, (Jakarta: Gaya Media Pratama, 2001), Cet. I, h. 95-97 22 Zakiah Daradjat, dkk, Ilmu Pendidikan Islam…, h. 21 23 Samsul Nizar, Pengantar Dasar-dasar Pemikiran Pendidikan Islam…, h. 100
22
ijtihad harus tetap mengikuti koridor yang telah diatur oleh mujtahid dan tidak bertentangan dengan al-Qur‟an dan as-Sunnah.24 Ijtihad dipandang sebagai salah satu sumber hukum Islam yang sangat dibutuhkan sepanjang masa setelah wafatnya Rasulullah. Sasaran ijtihad ialah segala sesuatu yang diperlukan dalam kehidupan, yang senantiasa
berkembang.
Ijtihad
bidang pendidikan
sejalan
dengan
perkembangan zaman yang semakin maju, terasa semakin urgen dan mendesak, tidak saja di bidang materi atau isi, melainkan juga di bidang sistem dalam artinya yang luas. Ijtihad di bidang pendidikan sangat penting karena ajaran Islam yang terdapat dalam al-Qur‟an dan Sunnah adalah bersifat pokok-pokok dan prinsip-prinsipnya saja. Jika ada yang terperinci, perincian itu adalah sekedar contoh dalam menerapkan yang prinsip tersebut. Sejak turunnya alQur‟an sampai wafatnya Nabi Muhammad SAW, ajaran Islam telah tumbuh dan berkembang melalui ijtihad yang dituntut oleh perubahan situasi dan kondisi sosial yang tumbuh dan berkembang pula.25 Ijtihad di bidang pendidikan, utamanya pendidikan Islam sangat perlu dilakukan, karena media pendidikan merupakan sarana utama untuk membangun pranata kehidupan sosial dan kebudayaan manusia untuk mencapai kebudayaan yang berkembang secara dinamis, hal ini ditentukan oleh sistem pendidikan yang dilaksanakan dan senantiasa merupakan pencerminan dan penjelmaan dari nilai-nilai serta prinsip pokok al-Qur‟an dan Hadits. Proses ini akan mampu mengontrol manusia dalam seluruh aspek kehidupannya, sekaligus sebagai sarana untuk mendekatkan diri kepada Tuhan.26
24
Hasniyati Gani Ali, Ilmu Pendidikan Islam,(Jakarta: Quantum Teaching, 2008), Cet. I,
25
Zakiah Daradjat, dkk, Ilmu Pendidikan Islam…, h. 21-22 Samsul Nizar, Pengantar Dasar-dasar Pemikiran Pendidikan Islam…, h. 101
h. 27 26
23
c. Tujuan dan Fungsi Pendidikan Islam Tujuan pendidikan Islam adalah membina umat manusia agar menjadi hamba yang senantiasa beribadah kepada Allah SWT, dengan mendekatkan diri kepada Allah, melaksanakan perintah dan menjauhi larangan-Nya, baik ibadah yang yang telah ditentukan aturan dan tatacaranya oleh Allah dan Rasul-Nya (Ibadah Makhdah), maupun yang belum ditentukan. Rumusan tujuan ini diilhami oleh firman Allah27:
Dan Aku tidak menjadikan jin dan manusia melainkan supaya mereka menyembah-Ku. (QS. Al-Dzariyat: 56).28 Tujuan tertinggi pendidikan Islam menurut al-Syaibani, adalah mempersiapkan kehidupan dunia dan akhirat.29 Sesuai dengan firman Allah:
“Ya Tuhan kami, berilah kami kebaikan di dunia dan kebaikan di akhirat, dan lindungilah kami dari azab neraka.” (QS. Al-Baqarah: 201).30 Sementara tujuan akhir yang akan dicapai adalah mengembangkan fitrah peserta didik, baik ruh, fisik, kemauan, dan akalnya secara dinamis, sehingga terbentuk pribadi yang utuh dan mendukung bagi pelaksanaan fungsinya sebagai khalifah fil ardh.31 Menurut Muhammad Fadhil al-Jamaly, tujuan pendidikan Islam menurut al-Qur‟an meliputi: 1) menjelaskan posisi peserta didik sebagai manusia di antara makhluk Allah lainnya dan tanggung jawabnya dalam kehidupan ini, 2) menjelaskan hubungan sebagai makhluk sosial dan tanggungjawabnya dalam tatanan kehidupan bermasyarakat, 3) menjelaskan 27
Abuddin Nata, Pendidikan dalam Perspektif al-Qur‟an, (Jakarta: UIN Jakarta Press, 2005), h. 173 28 Departemen Agama RI, al-Qur‟an dan Terjemahannya…, h. 523 29 Omar Mohammad al-Toumy al-Syaibany, Falsafah Pendidikan Islam, Terj. Dari Falsafatut Tarbiyyah al-Islamiyah oleh Hasan Langgulung, (Jakarta: Bulan Bintang, 1979), Cet. I, h. 406 30 Departemen Agama RI, al-Qur‟an dan Terjemahannya…, h. 31 31 Hasan Langgulung, Manusia dan Pendidikan; Suatu Analisa Psikologi dan Pendidikan, (Jakarta: PT. al-Husna Zikra, 1995), Cet. III, h. 67
24
hubungan manusia dengan alam dan tugasnya untuk mengetahui hikmah penciptaan dengan cara memakmurkan alam semesta, 4) menjelaskan hubungannya dengan Khaliq sebagai pencipta alam semesta.32 Muhammad
Athiyah
al-Abrasyi,
mengatakan
bahwa
tujuan
pendidikan Islam terdiri dari 5 sasaran, yaitu: 1) membentuk akhlak mulia, 2) mempersiapkan kehidupan dunia dan akhirat, 3) persiapan untuk mencari rizki dan memelihara dari segi kemanfaatannya, 4) menumbuhkan semangat ilmiah di kalangan peserta didik, 5) mempersiapkan tenaga profesional yang terampil.33 Jadi tujuan pendidikan Islam merupakan usaha dalam membangun manusia yang utuh dalam rangka pembentukan kepribadian, moralitas, sikap ilmiah dan keilmuan, kemampuan berkarya, profesionaliasi sehingga mampu menunjukkan iman dan amal shaleh sesuai dengan nilai-nilai keagamaan dan kehidupan. Dari beberapa definisi di atas dapat dipahami bahwa pendidikan Islam merupakan proses membimbing dan membina fitrah peserta didik secara maksimal dan bermuara pada terciptanya pribadi peserta didik sebagai muslim paripurna (insan al-kamil). Melalui sosok pribadi yang demikian, peserta didik diharapkan mampu memadukan fungsi iman, ilmu, dan amal secara integral bagi terbinanya kehidupan yang harmonis, baik dunia maupun akhirat. Fungsi pendidikan Islam menurut Kurshid Ahmad sebagaimana yang dikutip oleh Abdul Majid dan Jusuf Mudzakir dalam buku Ilmu Pendidikan Islam, adalah: 1) Alat untuk memelihara, memperluas dan menghubungkan tingkattingkat kebudayaan, nilai-nilai tradisi dan sosial, serta ide-ide masyarakat dan bangsa. 2) Alat untuk mengadakan perubahan, inovasi dan perkembangan yang secara garis besarnya melalui pengetahuan dan skill yang baru 32
Al-Rasidin, dan Samsul Nizar, Filsafat Pendidikan Islam; Pendekatan Historis, Teoritis dan Praktis, (Ciputat: PT. Ciputat Press, 2005), Cet. II, h. 36-37 33 Omar Mohammad al-Toumy al-Syaibany, Falsafah Pendidikan Islam…, h. 416-417
25
ditemukan, dan melatih tenaga-tenaga manusia yang produktif untuk menemukan perimbangan perubahan sosial ekonomi.34 Fungsi pendidikan Islam di sekolah menurut Abdul Majid dan Dian Andayani adalah sebagai: 1) Pengembangan, yaitu meningkatkan keimanan dan ketakwaan peserta didik kepada Allah SWT yang telah ditanamkan dalam lingkungan keluarga. Pada dasarnya dan pertama-tama kewajiban menanamkan keimanan dan ketakwaan dilakukan oleh setiap orang tua dalam keluarga. Sekolah berfungsi untuk menumbuh kembangkan lebih lanjut dalam diri anak melalui bimbingan, pengajaran dan pelatihan agar keimanan dan ketakwaan tersebut dapat berkembang secara optimal sesuai dengan tingkat perkembangannya. 2) Penanaman nilai sebagai pedoman hidup untuk mencari kebahagiaan hidup di dunia dan akhirat. 3) Penyesuaian
mental,
yaitu
untuk
menyesuaikan
diri
dengan
lingkungannya baik lingkungan fisik maupun lingkungan sosial dan dapat mengubah lingkungannya sesuai dengan ajaran Islam. 4) Perbaikan, yaitu untuk memperbaiki kesalahan-kesalahan, kekurangankekurangan dan kelemahan-kelemahan peserta didik dalam keyakinan, pamahaman dan pengalaman ajaran Islam. 5) Pencegahan, yaitu untuk menangkal hal-hal negatif dari lingkungannya atau budaya lain yang dapat membahayakan dirinya dan menghambat perkembangannya menuju manusia Indonesia seutuhnya. 6) Pengajaran tentang Ilmu pengetahuan keagamaan secara umum, sistem dan fungsionalnya. 7) Penyaluran, yaitu untuk menyalurkan anak-anak yang memiliki bakat khusus di bidang agama Islam agar bakat tersebut dapat berkembang
34
Abdul Mujib, dan Jusuf Mudzakkir, Ilmu Pendidikan Islam, (Jakarta: Kencana, 2008), Cet. II, h. 69
26
secara optimal sehingga dapat dimanfaatkan untuk dirinya sendiri dan orang lain.35 d. Metodologi Pendidikan Islam Metodologi secara etimologi berasal dari bahasa Yunani “metodos”, yang terdiri dari dua suku kata; yaitu “metha” yang berarti melalui atau melewati dan “hodos” yang berarti jalan atau cara. Metode berarti jalan yang dilalui untuk mencapai tujuan.36 Dalam KBBI, metode adalah cara teratur yang digunakan untuk melaksanakan suatu pekerjaan agar tercapai sesuai dengan yang dikehendaki.37 Sehingga dapat dipahami bahwa metode berarti suatu cara yang harus dilalui untuk menyajikan bahan pelajaran agar tercapai tujuan pengajaran. Dapat pula diartikan bahwa metodologi adalah ilmu tentang jalan atau cara yang harus dilalui untuk mencapai tujuan.38 Sementara itu pendidikan merupakan usaha membimbing dan membina serta bertanggung jawab untuk mengembangkan intelektual pribadi anak didik kearah kedewasaan dan dapat menerapkannya dalam kehidupan sehari-hari. Maka pendidikan Islam adalah sebuah proses dalam membentuk manusia-manusia muslim yang mampu mengembangkan potensi yang dimilikinya untuk mewujudkan dan merealisasikan tugas dan fungsinya sebagai khalifah Allah SWT baik kepada Tuhannya, sesama manusia, dan sesama makhluk lainnnya. Pendidikan yang dimaksud selalu berdasarkan kepada ajaran al-Qur‟an dan al-Hadits. Oleh karena itu, yang dimaksud dengan metodologi pendidikan Islam adalah cara yang dapat ditempuh dalam memudahkan pencapaian tujuan pendidikan Islam.39 Secara garis besar metode pendidikan Islami terdiri dari lima, yaitu: 35
Abdul Majid, dan Dian Andayani, Pendidikan Agama Islam Berbasis Kompetensi; Konsep dan Implementasi Kurikulum 2004, (Bandung: PT. Remaja Rosdakarya, 2006), Cet. III, h. 134-135 36 M. Arifin, Ilmu Pendidikan Islam, (Jakarta: Bumi Aksara, 1996), Cet. V, h. 65 37 Departemen Pendidikan Nasional, Kamus Besar Bahasa Indonesia, (Jakarta: Balai Pustaka, 2007), Edisi ke-3, Cet. IV, h. 740 38 Nur Uhbiyati, Ilmu Pendidikan Islam, (Bandung: CV. Pustaka Setia, 1999), Cet. II, h. 99 39 Armai Arief, Pengantar Ilmu dan Metodologi Pendidikan Islam…, h. 40-41
27
1) Metode keteladanan. Metode keteladanan adalah metode yang lebih unggul dibanding dengan metode yang lain. Dengan metode keteladanan para orang tua, pendidik atau da‟i memberi contoh atau teladan terhadap anak atau peserta didik bagaimana cara berbicara, berbuat, bersikap, mengerjakan sesuatu atau cara beribadah, dan sebagainya. Melalui metode ini maka anak atau peserta didik dapat melihat, menyaksikan dan meyakini cara yang sebenarnya sehingga mereka dapat melaksanakan dengan lebih baik dan lebih mudah. 2) Metode pembiasaan. Untuk melaksanakan tugas dan kewajiban secara benar dan rutin terhadap anak atau peserta didik harus dibiasakan dididik sejak masih kecil. Misalnya, agar anak atau peserta didik dapat melaksanakan shalat secara benar dan rutin maka mereka perlu dibiasakan shalat sejak kecil, dari waktu ke waktu supaya tidak keberatan ketika sudah dewasa. Dalam melaksanakan metode ini diperlukan pengertian, kesabaran, dan ketelatenan orang tua, pendidik dan da‟i terhadap anak atau peserta didik. 3) Metode nasihat. Metode nasihat adalah metode yang paling sering digunakan oleh para orang tua, pendidik dan da‟i terhadap anak atau peserta didik dalam proses pendidikannya. Memberi nasihat merupakan kewajiban orangorang muslim, sebagaimana tertera dalam al-Qur‟an surat al-Ashr ayat 3, agar kita senantiasa memberi nasihat dalam hal kebenaran dan kesabaran. 4) Metode memberi perhatian. Metode ini biasanya berupa pujian dan penghargaan. Jarang orang tua, pendidik atau da‟i memuji atau menghargai anak atau peserta didiknya. Sebenarnya tidak sukar untuk memuji anak atau orang lain, ada pribahasa mengatakan “ucapan atau perkataan itu tidak dibeli” hanya ada keengganan atau gengsi yang ada di dalam hati.
28
5) Metode hukuman. Metode hukuman berhubungan dengan pujian dan penghargaan. Imbalan atau tanggapan terhadap orang lain terdiri dari dua, yaitu penghargaan
(reward/targhib)
dan
hukuman
(punishman/tarhib).
Hukuman dapat diambil sebagai metode pendidikan apabila terpaksa atau tidak ada alternatif lain. Islam memberi arahan dalam memberi hukuman terhadap anak atau peserta didik hendaknya memperhatikan hal-hal sebagai berikut: (a) Tidak menghukum anak ketika marah, karena terbawa emosional yang dipengaruhi nafsu syetan. (b) Tidak menyakiti perasaan dan harga diri anak. (c) Tidak merendahkan derajat dan martabat yang dihukum. (d) Tidak menyakiti secara fisik. (e) Bertujuan mengubah perilaku yang tidak atau kurang baik.40 e. Ruang Lingkup Pendidikan Islam Ruang lingkup pendidikan Islam menurut Abu Ahmadi pada dasarnya mengacu pada lima hal, yaitu: 1) Perencanaan. Perencanaan adalah suatu kegiatan yang dilakukan sebelum melakukan suatu aktivitas. 2) Bahan pembelajaran. Bahan, disebut juga dengan materi yaitu sesuatu yang diberikan kepada siswa saat berlangsungnya proses belajar mengajar (PBM). 3) Strategi pembelajaran. Strategi yang berarti “rencana yang cermat mengenai kegiatan untuk mencapai sasaran khusus” adalah tindakan guru dalam melaksanakan rencana pembelajaran. Artinya, usaha guru dalam menggunakan
40
Heri Jauhari Muchtar, Fikih Pendidikan, (Bandung: PT. Remaja Rosdakarya, 2005), Cet. I, h. 18-22
29
beberapa variabel pembelajaran (tujuan, bahan, metode, dan alat, serta evaluasi). 4) Media pembelajaran. Media disebut juga dengan alat yaitu sarana yang dapat membantu PBM atau menetapkan alat penilaian untuk menilai sasaran (anak didik) tersebut. 5) Evaluasi. Evaluasi atau penilaian pada dasarnya adalah memberikan pertimbangan atau nilai berdasarkan kriteria tertentu. Hasil yang diperoleh dalam penilaian dinyatakan dalam bentuk hasil belajar. Oleh karena itu tindakan atau kegiatan tersebut dinamakan penilain hasil belajar.41 3. Perkembangan pada Anak a. Pengertian Anak Anak dalam KBBI adalah keturunan yang kedua, manusia yang masih kecil.42Anak dalam ajaran Islam ialah amanat dari Allah yang dititipkan kepada kedua orangtuanya. Pandangan ini mengisyaratkan adanya keterpautan eksistensi anak dengan al-Khaliq maupun dengan kedua orangtuanya. Istilah amanat mengimplikasikan keharusan menghadapi dan memperlakukan anak dengan sungguh-sungguh, hati-hati, teliti dan cermat. Sebagai amanat, anak harus dijaga, diraksa, dibimbing dan diarahkan selaras dengan apa yang diamanatkan. Anak dilahirkan tidak dalam keadaan lengkap dan tidak dalam keadaan kosong. Ia dilahirkan dalam keadaan fitrah. Memang ia dilahirkan dalam keadaan tidak tahu apa-apa, akan tetapi ia telah dibekali dengan pendengaran, penglihatan dan kata hati (Af Idah), sebagai modal yang harus
41
Armai Arief, Pengantar Ilmu dan Metodologi Pendidikan Islam…, h. 89-92 Departemen Pendidikan Nasional, Kamus Besar Bahasa Indonesia, (Jakarta: Balai Pustaka, 2007), Edisi ke-3, Cet. IV, h. 41 42
30
dikembangkan dan diarahkan kepada martabat manusia yang mulia, yaitu yang mengisi dan menjadikan kehidupannya sebagai takwa kepada Allah.43
“Sungguh, yang paling mulia di antara kamu di sisi Allah ialah orang yang paling bertaqwa, …. (QS. Al-Hujurat: 13).44 Anak adalah buah hati, belahan jiwa, perhiasan dunia, dan kebanggaan orang tua yang merupakan karunia terbesar karena anak pahala orang tua mengalir walaupun mereka sudah meninggal. 45 Allah berfirman:
”Harta dan anak-anak adalah perhiasan kehidupan dunia tetapi amal kebajikan yang terus-menerus adalah lebih baik pahalanya di sisi Tuhanmu serta lebih baik untuk menjadi harapan.:” (al-Kahfi: 46).46 Ngalim Purwanto mengatakan bahwa anak atau manusia adalah makhluk yang berpribadi dan berkesusilaan. Ia dapat dan sanggup hidup menurut norma-norma kesusilaan, ia dapat memilih dan menentukan apaapa yang akan dilakukan, juga menghindari atau menolak segala yang tidak disukainya.47 b. Pengertian Perkembangan Anak Perkembangan pribadi manusia menurut Psikolog perkembangan berlangsung secara konsepsi sampai mati; yaitu sejak terjadinya sel bapakibu (konsepsi) sampai mati individu senantiasa mengalami perubahanperubahan atau perkembangan-pekembangan. Perkembangan tersebut adalah 43
Muhammad „Ali Quthb, Sang Anak dalam Naungan Pendidikan Islam , Terj. Dari Auladuna fi Dlau-it Tarbiyyatil Islamiyyah oleh Bahrun Abu Bakar Ihsan, (Bandung: CV. Diponegoro, 1993), h. 11-12 44 Departemen Agama RI, al-Qur‟an dan Terjemahannya…, h. 517 45 Al-Maghribi bin as-Said al-Maghribi, Begini Seharusnya Mendidik Anak, Panduan Mendidik Anak Sejak Masa Kandungan hingga Dewasa, Terj. Dari Kaifa Turabbi Waladan Shalihan oleh Zainal Abidin, (Jakarta: Darul Haq, 2007), Cet. V, h. 86 46 Departemen Agama RI, al-Qur‟an dan Terjemahannya…, h. 299 47 M. Ngalim Purwanto, Ilmu Pendidikan Teoritis dan Praktis, (Bandung: PT. Remaja Rosdakarya, 2007), Cet. XVIII, h. 5
31
suatu proses tertentu yaitu proses yang terus menerus, dan proses yang menuju ke depan dan tidak begitu saja dapat diulang kembali. Atau dapat diartikan sebagai rangkaian perubahan dalam susunan yang berlangsung secara teratur, progresif, jalin-menjalin dan terarah kepada kematangan atau kedewasaan. Ada beberapa psikolog yang lebih setuju menggunakan kata perkembangan
dengan
istilah
pertumbuhan,
dan
ada
pula
yang
menggunakan kedua istilah tersebut (pertumbuhan dan perkembangan) secara bergantian karena dianggap mempunyai pengertian sama. Tapi kebanyakan ahli psikolog lebih cenderung membedakan pengertian kedua istilah tersebut; yaitu istilah pertumbuhan dimaksudkan untuk menunjukkan kepada perubahan-perubahan yang bersifat kuantitatif yang menyangkut aspek-aspek fisik jasmaniah, seperti perubahan-perubahan organ dan struktur organ fisik, sehingga anak semakin besar semakin tinggi badannya, dan sebagainya. Perkembangan secara khusus diartikan sebagai perubahan-perubahan yang bersifat kualitatif dan kuantitatif yang menyangkut aspek-aspek mental psikologis manusia. Misalnya; perubahan-perubahan yang berkaitan dengan pengetahuan, kemampuan, sifat sosial, moral, keyakinan agama, kecerdasan, dan sebagainya, sehingga akan bertambah pengetahuan, kemampuannya, bertambah baik sifat sosial, moralnya dan sebagainya. 48 Al-Maghribi
bin
as-Said
al-Maghribi
mengatakan
bahwa
perkembangan anak menurut para pakar ilmu jiwa ialah masa perubahan tubuh, intelegensi, emosional, dan kemampuan interaksi yang memberi pengaruh pada utuhnya individu dan matangnya kepribadian.49 Perkembangan adalah perubahan yang terjadi pada diri individu (organisme) menuju tingkat kedewasaan atau kematangan (maturation) yang berlangsung secara sistematis, progresif dan berkesinambungan baik 48
M. Alisuf Sabri, Pengantar Psikologi Umum dan Perkembangan, (Jakarta: CV. Pedoman Ilmu Jaya, 2006), Cet. IV, h. 136 49 Al-Maghribi bin as-Said al-Maghribi, Begini Seharusnya Mendidik Anak, Panduan Mendidik Anak Sejak Masa Kandungan hingga Dewasa…, h. 131
32
menyangkut fisik (jasmaniah) maupun psikis (rohaniah) dimulai dari individu lahir sampai mati (meninggal).50 c. Ciri-ciri Perkembangan Anak Perkembangan merupakan suatu seri perbuatan menurut aturanaturan tertentu dari keadaan semula menuju keadaan yang lebih lengkap atau lebih matang (mature). Perkembangan terjadi dengan teratur, di mana tiap tingkat perkembangan mempunyai hubungan dengan tingkat berikutnya. Sesuatu yang terjadi pada tingkat perkembangan akan diteruskan pada tingkat berikutnya dan bahkan mempengaruhi perkembangan pada tingkat selanjutnya. Tingkat perkembangan berikutnya adalah hasil dari tingkat perkembangan sebelumnya, jadi bukan sekedar penambahan ciri-ciri baru dari tingkat perkembangan sebelumnya. Ada dua ciri-ciri perubahan pokok dari perkembangan, yaitu: 1) Adanya penambahan ukuran/berat serta perbedaan perbandingan ukuran/berat/kesanggupan. Pada anak yang tumbuh dan berkembang secara normal, akan tampak perubahan ukuran jasmaniah sejalan dengan bertambahnya umur anak. Ukuran-ukuran badan akan bertambah besar, baik yang tampak (kaki, tangan, tinggi badan dan lain-lain) maupun yang tak tampak (jantung, paru-paru, ginjal, dan lain-lain). Bidang rohani pun mengalami perubahan, yaitu bertambahnya kemampuan, kesanggupan untuk mengamati, mengingat, merasa, dan sebagainya, sejajar dengan pertumbuhan jasmani. Jiwa yang sehat akan berkembang sejalan dengan pertumbuhan jasmani yang sehat pula. 2) Hilangnya ciri-ciri yang lama dan munculnya ciri-ciri baru. Sejak anak dalam kandungan (embryo) sampai dewasa, dia banyak sekali memperoleh ciri-ciri baru atau hal-hal yang baru sebagai pengganti terhadap ciri-ciri/hal-hal yang lenyap. Hal ini sejajar dengan kebutuhan anak dalam perkembangannya. Ciri-ciri/hal-hal yang lenyap 50
Heny Narendrany Hidayati, dan Andri Yudiantoro, Psikologi Agama, (Jakarta: UIN Jakarta Press, 2007), Cet. I, h. 72
33
tidak akan dibawa ke masa dewasanya, antara lain gigi, rambut bayi, membrane, yang masing-masing diganti dengan gigi baru, rambut baru, dan kemampuan berbicara. Dengan pergantian yang baru ini, memungkinkan anak untuk makan makanan yang keras, menjaga kulit, dan berkomunikasi.51 Menurut Dr. Syamsu Yusuf LN, M.Pd dalam bukunya Psikologi Perkembangan Anak dan Remaja, perkembangan secara umum mempunyai ciri-ciri sebagai berikut: 1) Terjadinya perubahan dalam a) aspek fisik; perubahan tinggi dan berat badan serta organ-organ tubuh lainnya, b) aspek psikis: semakin bertambahnya perbendaharaan kata dan matangnya kemampuan berpikir, mengingat, serta menggunakan imajinasi kreatifnya. 2) Terjadinya perubahan dalam proporsi: a) aspek fisik: proporsi tubuh anak berubah sesuai dengan fase perkembangannya dan pada usia remaja proporsi tubuh anak mendekati proporsi usia remaja, b) aspek psikis: perubahan imajinasi dari yang fantasi ke realitas, dan perubahan perhatiannya dari yang tertuju kepada dirinya sendiri perlahan-lahan beralih kepada orang lain (kelompok teman sebaya). 3) Lenyapnya tanda-tanda yang lama: a) tanda-tanda fisik: lenyapnya kelenjar Thymus (kelenjar kanak-kanak) yang terletak pada bagian dada, kelenjar Pineal pada bagian bawah otak, rambut-rambut halus dan gigi susu, b) tanda-tanda psikis: lenyapnya masa mengoceh (meraban), bentuk gerak-gerik kanak-kanak (seperti merangkak) dan perilaku impulsive (dorongan untuk bertindak sebelum berpikir). 4) Diperolehnya tanda-tanda yang baru: a) tanda-tanda fisik: pergantian gigi dan karakteristik seks pada usia remaja, baik primer (menstruasi pada anak wanita, dan mimpi “basah” pada anak pria), b) tanda-tanda psikis: seperti berkembangnya rasa ingin tahu terutama yang
51
Ahmad Fauzi, Psikologi Umum, (Bandung: CV. Pustaka Setia, 1999), Cet. II, h. 95
34
berhubungan dengan seks, ilmu pengetahuan, nilai-nilai moral, dan keyakinan beragama.52 d. Fase-Fase Perkembangan Anak Fase-fase perkembangan atau periodesasi perkembangan yaitu pembagian masa-masa perkembangan dengan ciri pertumbuhan dan perkembangan yang terdapat pada masing-masing fase tersebut.53 Dapat pula diartikan sebagai penahapan rentang perjalanan kehidupan individu yang diwarnai ciri-ciri khusus atau pola-pola tingkah laku tertentu. Mengenai masalah periodesasi perkembangan ini para ahli berbeda pendapat. Pendapat-pendapat itu secara garis besar dapat digolongkan menjadi tiga, yaitu berdasarkan analisa biologi, didaktis, dan psikologis. Sekelompok ahli menentukan penahapan itu berdasarkan keadaan atau proses pertumbuhan tertentu. 1) Tahap perkembangan berdasarkan analisis biologis, para ahli tersebut antara lain: a) Aristoteles yang menggambarkan perkembangan anak sejak lahir sampai dewasa dalam tiga tahapan.: (1) Tahap I: Fase anak kecil: dari 0,0 - 7,0, masa bermain. (2) Tahap II: Fase anak sekolah: dari 7,0 – 14,0; masa belajar atau masa sekolah rendah. (3) Tahap III: Fase remaja: dari umur 14,0 – 21,0; masa peralihan dari anak menjadi orang dewasa. b) Elizabeth
Hurlock
mengemukakan
penahapan
perkembangan
individu sebagai berikut: (1) Tahap I: Fase prenatal (sebelum lahir) mulai masa konsepsi sampai proses kelahiran yaitu sekitar 9 bulan atau 280 hari. 52
Syamsu Yusuf LN, Psikologi Perkembangan Anak dan Remaja, (Bandung: PT. Remaja Rosda karya, 2010), Cet. XI, h. 16 53 M. Alisuf Sabri, Pengantar Psikologi Umum dan Perkembangan…, h.146
35
(2) Tahap II: Infancy (orok) mulai lahir sampai 10 sampai 14 hari. (3) Tahap III: Babyhood (bayi) mulai dari 2 minggu sampai usia 2 tahun. (4) Tahap IV: Childhood (kanak-kanak) mulai 2 tahun sampai masa remaja (puber). Dan masa anak-anak tersebut dapat dibagi menjadi: masa kanak-kanak awal (2-6) tahun dan masa kanakkanak akhir (6-10 atau12) tahun. (5) Tahap V: Adolescence/puberty mulai usia 10 atau 12 tahun sampai 18 tahun, dapat dibagi menjadi: masa puber/pramasa remaja pada usia 10 atau 12-13 atau 14 tahun, masa remaja pada usia 13 atau 14-18 tahun. (6) Tahap VI: Dewasa, dibagi menjadi masa dewasa dini pada usia 18-40 tahun, masa dewasa madya pada usia 40-60 tahun, masa dewasa lanjut (usia lanjut) pada masa 60 tahun sampai kematian. c) Prof. Dr. Hj. Zakiah membagi penahapan perkembangan individu pada empat tahap: (1) Tahap I: kanak-kanak pada tahun-tahun pertama (o-6)tahun. (2) Tahap II: kanak-kanak pada umur sekolah (7-12) tahun. (3) Tahap III: masa remaja pertama (13-16) tahun. (4) Tahap IV: masa remaja terakhir (17-21) tahun. 2) Tahap perkembangan berdasarkan didaktis. Dasar didaktis atau instruksional yang dipergunakan oleh para ahli ada beberapa kemungkinan yaitu: a) Apa yang harus diberikan kepada anak didik pada masa-masa tertentu? b) Bagaimana caranya mengajar atau menyajikan pengalaman belajar kepada anak didik pada masa-masa tertentu? c) Kedua hal tersebut dilakukan secara bersamaan. Yang dapat digolongkan kedalam penahapan berdasarkan didaktis, antara lain pendapat dari Rosseau: (1) Tahap I: 0 sampai 2 tahun, usia asuhan.
36
(2) Tahap II: 2 sampai 12 tahun, masa pendidikan jasmani dan latihan panca indra. (3) Tahap III: 12 sampai 15 tahun, periode pendidikan akal. (4) Tahap IV: 15 sampai 20 tahun, periode pendidikan watak. 3) Tahap perkembangan berdasarkan psikologis. Para
ahli
menggunakan
aspek
psikologis
sebagai
landasan
menganalisa tahap perkembangan yang khas bagi individu pada umumnya dapat digunakan sebagai masa perpindahan dari fase yang satu ke fase yang lain dalam perkembangannya. Dalam hal ini para ahli berpendapat bahwa dalam perkembangan pada umumnya individu mengalami kegoncangan. Kegoncangan tersebut terjadi dua kali yaitu pada tahun ketiga dan keempat dan pada permulaan masa pubertas. Berdasarkan dua masa kegoncangan tersebut, perkembangan individu dapat digambarkan melewati tiga periode atau masa yaitu: 1) dari lahir sampai masa kegoncangan pertama (tahun ketiga atau keempat yang disebut masa kanak-kanak, 2) dari masa kegoncangan pertama sampai masa kegoncangan kedua yang disebut masa keserasian bersekolah, 3) dari masa kegoncangan kedua sampai akhir masa remaja yang disebut masa kematangan. Pendapat para ahli tentang pembagian fase atau rentangan manusia adalah beragam tetapi pada umumnya setiap fase melewati atau melalui proses perkembangan yang sama. Dan pada umumnya fase usia tersebut terdapat pada tiga fase usia yaitu masa kanak, masa remaja dan masa dewasa.54 Fase-fase perkembangan menurut al-Maghribi bin as-Said alMaghribi pada anak adalah: 1) Fase balita, adalah masa menyusui dan menyapih yaitu setelah anak berumur dua tahun.
54
Heny Narendrany Hidayati, dan Andri Yudiantoro, Psikologi Agama…, h. 73-75
37
2) Fase balita antara umur 3 hingga 5 tahun yaitu masa pendidikan pra sekolah dan play group. 3) Fase kanak-kanak yaitu antara umur 6 tahun hingga 8 tahun yaitu fase anak mulai masuk sekolah dasar. 4) Fase peralihan yaitu umur 9 hingga 12 tahun yaitu akhir anak memperoleh pendidikan dasar.55 e. Faktor-faktor yang Mempengaruhi Perkembangan Anak Yang mempengaruhi perkembangan menurut para ahli berbeda-beda jawaban: Para
ahli
yang
beraliran
“Nativisme”
berpendapat
bahwa
perkembangan individu semata-mata ditentukan oleh unsur pembawaan. Jadi perkembangan
individu
dasar/pembawaan.
Tokoh
semata-mata utama
aliran
tergantung ini
yang
kepada
faktor
terkenal
adalah
Schopenhauer. Berbeda dengan aliran Nativisme, para ahli yang mengikuti aliran “Empirisme” berpendapat bahwa perkembangan individu sepenuhnya ditentukan
oleh
faktor
lingkungan/pendidikan
sedangkan
faktor
dasar/pembawaan tidak berpengaruh sama sekali. Aliran Empirisme menjadikan faktor lingkungan/pembawaan maha kuasa dalam menentukan perkembangan seorang individu. Tokoh aliran ini adalah Jhon Locke. Aliran yang menengahi kedua pendapat aliran tersebut adalah “aliran Konvergensi” dengan tokohnya yang terkenal adalah William Stern. Menurut aliran Konvergensi, perkembangan individu sebenarnya ditentukan oleh kedua kekuatan tersebut. Baik faktor dasar/pembawaan maupun faktor lingkungan/pendidikan kedua-duanya secara konvergent akan menentukan atau mewujudkan perkembangan seorang individu. Sejalan dengan pendapat aliran ini Ki Hajar Dewantara, tokoh pendidikan kita juga mengemukakan adanya dua faktor yang mempengaruhi perkembangan individu yaitu faktor
55
Al- Maghribi bin as-Said al –Maghribi, Begini Seharusnya Mendidik Anak, Panduan Mendidik Anak Sejak Masa Kandungan hingga Dewasa…, h. 131-132
38
dasar atau pembawaan (faktor internal) dan faktor ajar/lingkungan (faktor eksternal). Sedangkan menurut Elizabeth B. Hurlock, baik faktor kondisi internal ataupun eksternal akan dapat mempengaruhi tempo atau kecepatan dan sifat atau kualitas perkembangan seseorang. Tetapi sejauh mana pengaruh kedua faktor tersebut sukar untuk ditentukan, lebih-lebih lagi untuk dibedakan mana yang penting dan kurang penting. Beberapa faktor tersebut antara lain: Intellegensi, seks, kelenjar-kelenjar, kebangsaan (ras), posisi dalam keluarga, makanan, luka dan penyakit, hawa dan sinar, serta kultur budaya. Selain faktor tersebut Elizabeth B. Hurlock juga mengemukakan beberapa hal yang menjadi penyebab terjadinya perkembangan (Causes of Development) yaitu: Kematangan, belajar dan latihan (learning), kombinasi kematangan dan belajar (Interaction of Maturation and Learning).56 Salisu Shehu menyatakan bukan hanya faktor hereditas dan faktor lingkungan yang penting dalam mempengaruhi perkembangan manusia. Dalam perspektif Islam, faktor ketentuan Allah merupakan hal yang juga mempengaruhi proses perkembangan dan pertumbuhan. Dengan demikian, dalam Islam faktor-faktor yang mempengaruhi perkembangan meliputi faktor hereditas, faktor lingkungan dan faktor ketentuan Allah.57 f. Perkembangan Anak Secara Umum Masa anak disebut juga masa anak sekolah. Masa matang untuk belajar dan masa matang untuk sekolah. Pada masa sekolah anak sudah mengalami masa perkembangan-perkembangan yang membantu anak untuk menerima bahan yang diajarkan oleh gurunya. Antara lain:
56
M. Alisuf Sabri, Pengantar Psikologi Umum dan Perkembangan…, h. 173-177 Hasan Aliah B. Purwakania, Psikologi Perkembangan Islami; Menyingkap Rentang Kehidupan Manusia dan Prakelahiran hingga Pascakematian, (Jakarta: PT. Rajagrafindo Persada, 2006), H. 34 57
39
1) Perkembangan sifat sosial anak. Sifat sosial merupakan sifat kodrat yang dibawa anak sejak lahir, pertama berkembang dalam keluarga saja, semakin lama bertambah luas dengan anggota masyarakat. Mulai mencari teman sebaya untuk bermain dalam kelompok sepermainan, makin lama ruang lingkup pergaulannya makin luas.58 Anak mulai memiliki kesanggupan menyesuaikan diri sendiri kepada sikap bekerja sama atau mampu memperhatikan kepentingan orang lain. Anak ingin diterima menjadi anggota kelompok dalam kegiatan-kegiatan sebayanya, jika tidak diterima ia merasa tidak senang. Dalam proses belajar di sekolah kematangan perkembangan sosial dapat dimanfaatkan atau dimaknai dengan memberikan tugastugas kelompok, maupun tugas yang membutuhkan pikiran. Tugas-tugas kelompok harus memberikan kesempatan kepada setiap peserta didik untuk menunjukkan prestasinya, tetapi harus diarahkan untuk mencapai tujuan bersama. Peserta didik dapat belajar tentang sikap dan kebiasaan dalam bekerja sama, saling menghormati, bertenggang rasa dan bertanggung jawab.59 2) Perkembangan Perasaan Anak. Semula anak hanya merasakan senang dan sedih, makin lama perasaan terdiferensi menjadi perasaan-perasaan menyesal, kasihan atau iba, jengkel, simpati, bersalah, wajib dan sebagainya. Hal ini disebabkan karena pengalaman dan pergaulan anak makin luas maka tingkah laku makin bervariasi. Bagi orang tua, dan pemimpin pemuda dapat membantu perkembangan perasaan ini dengan melatih mereka bekerja sama, belajar dalam kelompok, bermain atau bekerja secara sportif, saling memberi dan menerima, saling membutuhkan pertolongan dan sebagainya sehingga terbina rasa persatuan.60 58
Agus Sujanto, Psikologi Perkembangan, (Jakarta: PT. Rineka Cipta, 1996), Cet. VII, h.
59
Syamsu Yusuf LN, Psikologi Perkembangan Anak dan Remaja…, h. 180-181 Agus Sujanto, Psikologi Perkembangan…, h. 69-70
69 60
40
Ciri-ciri perasaan adalah: Pertama, perasaan tidak berdiri sendiri karena selalu bersangkutan dengan gejala-gejala jiwa yang lain seperti mengamati sesuatu, memikirkan sesuatu, teringat sesuatu, berfantasi dengan sesuatu. Kedua, perasaan selamanya bersifat berseorangan.61 3) Perkembangan Motorik. Perkembangan ini memungkinkan anak dapat melakukan segala sesuatu, yang terdapat dalam jiwanya dengan sewajarnya. Dengan perkembangan ini anak semakin kaya dalam bertingkah laku, memungkinkan
anak
memperkaya
perkembangan
mainannya,
memindahkan aktivitas bermainnya, kreativitas belajar dan bekerja, dapat melakukan perintah, melakukan kewajiban, tugas-tugas, dan keinginan-keinginannya sendiri.62 Setiap gerakan pada masa ini sesuai dengan kebutuhan atau minatnya, ditandai dengan kelebihan gerak atau aktivitas motorik yang lincah. Usia ini merupakan masa yang ideal untuk belajar keterampilan seperti menulis, menggambar, melukis, mengetik, berenang, main bola, dan atletik.63 4) Perkembangan Bahasa. Pergaulan anak yang semakin luas di luar keluarga, seperti permainan dalam kelompok, memberikan kesempatan pada anak untuk memperkaya perbendaharaan bahasa, secara pasif, yaitu menerima ekspresi jiwa orang lain, maupun aktif, yaitu menyampaikan isi jiwanya kepada orang lain. Orang tua atau guru hendaknya melatih anak agar mengalami perkembangan bahasanya dengan baik pula, agar dapat mendengar suruhan atau perintah sebaik-baiknya untuk dilakukan. Demikian pula orang tua atau guru terpaksa atau harus melarang anak melakukan sesuatu karena adanya bahaya. Semua ini dilakukan harus sesuai dengan kemampuan anak, agar anak menerima dengan perasaan senang, jika perintah atau larangan terlalu panjang diucapkannya, akan
61
Nety Hartati, dkk, Islam dan Psikologi, (Ciputat: UIN Jakarta Press, 2003), Cet. I, h. 93 Agus Sujanto, Psikologi Perkembangan…, h. 70 63 Syamsu Yusuf LN, Psikologi Perkembangan Anak dan Remaja…, h. 183-184 62
41
sukar dimengerti oleh anak, sehingga ia tidak mampu atau tidak mengerti apa yang harus dilakukannya.64 Ada dua faktor penting yang mempengaruhi perkembangan bahasa, yaitu: a) Proses jadi matang, yaitu anak menjadi matang untuk berkata-kata (organ-organ suara atau bicara sudah berfungsi). b) Proses belajar, yaitu anak yang telah matang untuk berbicara lalu mempelajari bahasa orang lain dengan jalan meniru ucapan atau kata-kata yang didengarnya. Kedua hal ini berlangsung sejak bayi dan kanak-kanak, sehingga pada usia sekolah dasar sudah sampai pada tingkat: dapat membuat kalimat lebih sempurna dan dapat membuat kalimat majemuk, serta dapat menyusun dan mengajukan pertanyaan.65 5) Perkembangan Pikiran. Perkembangan
pikiran
setingkat
dan
sejalan
dengan
perkembangan sosial, bahasa adalah alat untuk berpikir. Pada masa ini anak baru berada pada tingkat berpikir konkrit. Pikiran anak masih erat kaitannya dengan benda atau keadaan-keadaan nyata.66 Periode ini ditandai dengan tiga kemampuan atau kecakapan baru, yaitu mengklasifikasikan (mengelompokkan), menyusun, atau mengasosiasikan (menghubungkan atau menghitung) angka-angka atau bilangan.
Kemampuan
berhitung
(angka),
seperti
menambah,
mengurangi, mengalikan, dan membagi. Pada akhir masa ini mulai mampu memiliki kemampuan memecahkan masalah yang sederhana. Pada masa ini anak sudah dapat diberikan dasar-dasar keilmuan, seperti membaca, menulis dan berhitung, serta pengetahuan tentang manusia, hewan, lingkungan alam sekitar dan sebagainya. 67
64
Agus Sujanto, Psikologi Perkembangan…, h. 71 Syamsu Yusuf LN, Psikologi Perkembangan Anak dan Remaja…, h. 179-180 66 Agus Sujanto, Psikologi Perkembangan…, h. 72 67 Syamsu Yusuf LN, Psikologi Perkembangan Anak dan Remaja…, h. 178-179 65
42
6) Perkembangan Pengamatan. Proses perkembangan pengamatan pada anak dimulai dari keseluruhan yang kabur ke makin lama makin jelas karena adanya bagian-bagian integral dalam keseluruhan itu. Misalnya proses yang dialami oleh anak untuk mengenal wajah ibunya, melalui proses seperti timbulnya gambar dalam TV yang baru saja dihubungkan dengan arus listrik. Jadi dari keseluruhan yang kabur sampai jelas tampak bagianbagiannya.68 7) Perkembangan Kesusilaan atau Agama. Perkembangan agama ditandai dengan ciri-ciri: a) Sikap keagamaan bersifat reseptif disertai dengan pengertian. b) Pandangan dan paham ketuhanan diperoleh secara rasional berdasarkan kaidah-kaidah logika yang berpedoman pada indikator alam semesta sebagai manifestasi dari keagungan-Nya. c) Pelaksanaan kegiatan ritual diterima oleh anak sebagai keharusan moral. Pada usia sekolah dasar semua pihak yang ada di sekolah yang terlibat dalam pendidikan, baik guru agama, kepala sekolah dan guruguru yang lain mempunyai peran yang sangat penting dalam membentuk kualitas keagamaan anak, pendidikan agama (pengajaran, pembiasaan, dan penanaman nilai-nilai). Jika semua pihak yang terlibat telah memberikan contoh (suri tauladan) dalam melaksanakan nilai-nilai agama yang baik, maka akan berkembang sikap positif terhadap agama dan akan berkembang kesadaran beragama pada diri anak.69 Menurut Zakiah Daradjat pendidikan agama di Sekolah Dasar merupakan dasar pembinaan sikap positif anak terhadap agama dan dapat membentuk pribadi dan akhlak mulia agar anak mempunyai pegangan atau bekal dalam menghadapi goncangan di masa remaja.
68 69
Agus Sujanto, Psikologi Perkembangan…, h. 74 Syamsu Yusuf LN, Psikologi Perkembangan Anak dan Remaja…, h. 182-183
43
Dalam pemberian materi agama, selain mengembangkan pemahaman, juga memberikan latihan atau pembiasaan keagamaan yang menyangkut ibadah, seperti melaksanakan shalat, berdoa dan membaca al-Qur‟an, juga dibiasakan melakukan ibadah sosial, seperti akhlak terhadap sesama manusia, seperti: hormat kepada orangtua, guru dan orang lain, membantu orang lain, menyayangi fakir miskin, memelihara kebersihan dan kesehatan, bersikap jujur dan bertanggung jawab.70 8) Perkembangan Tanggapan. Anak memperoleh bermacam-macam tanggapan dari hasil pengamatannya di dunia luar yang berasosiasi secara mekanis dan menghasilkan tanggapan yang bersifat kompleks dan emosional yang akhirnya anak akan mampu berpikir logis dan mampu menentukan hubungan sebab akibat.71 9) Perkembangan Fantasi. Sejak anak bersekolah fantasi dalam permainan mulai mundur, bukan mundur dalam arti lenyap, tetapi mencari lapangan baru dalam berkembang
karena
perhatian
anak
terhadap
kenyataan
mulai
berkembang. Lapangan baru itu adalah lapangan hiburan, membaca buku,
dan
mendengarkan
cerita-cerita,
sehingga
fantasi
anak
memberikan kesempatan pada anak untuk menghayati semuanya. Sering anak menempatkan dirinya sebagai pelaku utama, sebagai pahlawan dalam kisah-kisah yang dibaca atau didengarnya. 72 10) Perkembangan Mengambil Keputusan. Kemampuan mengambil keputusan anak berhubungan erat dengan perkembangan daya abstraksinya. Artinya, makin konkrit, anak makin mudah mengambil keputusan dan makin abstrak sesuatu yang dipecahkan anak, makin sukar dalam mengambil keputusan. Saat masih kecil anak hanya mampu mengambil keputusan sederhana, misalnya: panas–dingin, buruk–baik, enak–tidak enak, dan sebagainya, makin lama 70
Syamsu Yusuf LN, Psikologi Perkembangan Anak dan Remaja…, h. 182-183 Agus Sujanto, Psikologi Perkembangan…, h. 78 72 Agus Sujanto, Psikologi Perkembangan…, h. 80-81 71
44
anak dapat membedakan sesuatu atas beberapa keputusan. Misalnya: buruk sekali, agak buruk, hampir buruk dan sebagainya.73 11) Perkembangan Perhatian. Perhatian merupakan salah satu faktor kemampuan psikis yang dibawa anak sejak lahir, dan berkembang yang ditentukan oleh faktor endogen dan faktor eksogen. Perkembangan perhatian berkembang dari sifat yang subjektif ke arah yang objektif. Perkembangan perhatian dipengaruhi daya analisis anak. Hal-hal yang menarik perhatian anak ialah sesuatu yang baru, aneh, bagus dan lebih.74 12) Perkembangan Estetika. Estetika adalah kemampuan jiwa yang dipergunakan untuk menentukan sesuatu dengan ukuran bagus atau tidak bagus, indah atau tidak indah, ini merupakan kemampuan kodrat yang juga ditentukan oleh faktor endogen dan faktor eksogen.75 g. Perkembangan Agama pada Anak Perkembangan agama pada anak-anak menurut Ernest Harmas yang ditulis oleh Dr. Jalaluddin dan Dr. Ramayulis dalam bukunya Pengantar Ilmu Jiwa Agama ada tiga tingkatan: 1) Tingkat dongeng (The Fairy Tale Stage). Dimulai pada anak umur 3-6 tahun. Konsep tentang Tuhan pada tingkatan ini lebih banyak dipengaruhi oleh fantasi dan emosi. Pada usia ini bagi anak konsep ke Tuhanan kurang masuk akal, sesuai dengan tingkat perkembangan intelektualnya. Usia ini anak masih banyak berfantasi sehingga dalam menanggapi agamapun akan masih menggunakan konsep fantastis. 2) Tingkat kenyataan (The Realistic Stage). Dimulai pada usia anak mulai masuk Sekolah Dasar hingga usia adolesense. Ide ke-Tuhanan anak sudah sesuai dengan kenyataan, yang didapatkan anak dari lembagalembaga keagamaan dan pengajaran agama dari orang yang lebih 73
Agus Sujanto, Psikologi Perkembangan…, h. 79 Agus Sujanto, Psikologi Perkembangan…, h. 80 75 Agus Sujanto, Psikologi Perkembangan…, h. 82 74
45
dewasa. Ide keagamaan anak didasarkan atas emosional, maka mereka melahirkan konsep Tuhan yang formalis. Anak-anak tertarik dan senang pada lembaga keagamaan yang dilakukan oleh orang-orang dewasa di lingkungan mereka, diikuti dan tertarik untuk mempelajarinya. 3) Tingkat individu (The Individual Stage). Pada tingkat individu anak telah memiliki kepekaan emosi yang tinggi sejalan dengan perkembangan usia mereka. Konsep ini terbagi atas tiga golongan, yaitu: a. Konsep ke-Tuhanan yang konvensional dan konservatif, yang sedikit dipengaruhi oleh fantasi yang disebabkan pengaruh dari luar. b. Konsep ke-Tuhanan yang lebih murni dengan yang dinyatakan dengan pandangan yang bersifat perorangan. c. Konsep ke-Tuhanan yang bersifat humanistik. Hal ini dipengaruhi faktor usia dan faktor luar berupa pengalaman.76 Perkembangan agama pada anak ditandai dengan ciri-ciri: a. Sikap keagamaan bersifat reseptif disertai dengan pengertian. b. Pandangan dan paham ke-Tuhanan diperoleh secara rasional berdasarkan kaidah-kaidah logika yang berpedoman pada indikator alam semesta sebagai manifestasi dari keagungan-Nya. c.
Pelaksanaan kegiatan ritual diterima oleh anak sebagai keharusan moral. Pada usia Sekolah Dasar semua pihak yang ada di sekolah yang
terlibat dalam pendidikan, baik guru agama, kepala sekolah dan guru-guru yang lain mempunyai peran yang sangat penting dalam membentuk kualitas keagamaan anak, pendidikan agama (pengajaran, pembiasaan, dan penanaman nilai-nilai). Jika semua pihak yang terlibat telah memberikan contoh (suri tauladan) dalam melaksanakan nilai-nilai agama yang baik, maka akan berkembang sikap yang positif terhadap agama dan akan berkembang kesadaran beragama pada diri anak.77
76
Jalaluddin dan Ramayulis, Pengantar Ilmu Jiwa Agama, (Jakarta: Kalam Mulia, 1993), Cet. II, h. 33-35 77 Syamsu Yusuf LN, Psikologi Perkembangan Anak dan Remaja…, h. 182-183
46
Menurut Zakiah Daradjat pendidikan agama di Sekolah Dasar merupakan dasar pembinaan sikap positif anak terhadap agama dan dapat membentuk pribadi dan akhlak mulia agar anak mempunyai pegangan atau bekal dalam menghadapi goncangan di masa remaja. Pada permulaan masa sekolah kepercayaan anak kepada Tuhan bukan berupa keyakinan hasil pemikiran, tapi merupakan sikap emosi yang membutuhkan pelindung. Hubungan anak dengan Tuhan bersifat individual dan emosional. Maka yang harus ditonjolkan kepada anak adalah sikap Pengasih dan Penyayang Tuhan, dan tidak membicarakan sifat-sifat Tuhan yang Menghukum, Membalas dengan azab neraka dan sebagainya. Semakin besar anak, semakin besar pula fungsi agama bagi anak, misalnya pada umur 10 tahun, agama mempunyai fungsi moral dan sosial bagi anak. Anak mulai menerima bahwa nilai-nilai agama lebih tinggi daripada nilai-nilai pribadi atau nilai-nilai keluarga, anak mulai mengerti agama bukan kepercayaan pribadi atau keluarga, tetapi kepercayaan masyarakat. Maka sembahyang berjamaah, pergi ke masjid beramai-ramai, dan ibadah sosial, sangat menarik bagi anak. Pertumbuhan agama tidak terjadi sekaligus matang, tetapi melalui tahap-tahap pertumbuhan yang merupakan tangga yang dilaluinya, dari keluarga, sekolah dan akhirnya masyarakat.78 Dalam
pemberian
materi
agama,
selain
mengembangkan
pemahaman, juga memberikan latihan atau pembiasaan keagamaan yang menyangkut ibadah, seperti melaksanakan shalat, berdoa dan membaca alQur‟an, juga dibiasakan melakukan ibadah sosial, seperti akhlak terhadap sesama manusia, seperti: hormat kepada orangtua, guru dan orang lain, membantu orang lain, menyayangi fakir miskin, memelihara kebersihan dan kesehatan, bersikap jujur dan bertanggung jawab.79
78
Zakiah Daradjat, Ilmu Jiwa Agama, (Jakarta: PT. Bulan Bintang, 2005), Cet. XVII, h.
79
Syamsu Yusuf LN, Psikologi Perkembangan Anak dan Remaja…, h. 182-183
131-132
47
B. Pembahasan Kajian yang Relevan Menurut Abdurrahman An-Nahlawi dalam bukunya yang berjudul Pendidikan Islam di Rumah, Sekolah dan Masyarakat menjelaskan bahwa: 1. Keluarga. Keluarga muslim adalah keluarga yang mendasarkan aktivitasnya kepada pembentukan keluarga yang sesuai dengan syariat Islam, berdasarkan al-Qur‟an dan as-Sunnah, dapat dikatakan bahwa tujuan pembentukan keluarga yang menjadi tempat pendidikan anak adalah: a. Mendirikan syariat Islam dalam segala permasalahan rumah tangga. b. Mewujudkan ketenteraman dan ketenangan psikologi. c. Mewujudkan Sunnah Rasulullah SAW dengan melahirkan anak-anak saleh sehingga umat manusia merasa bangga dengan kehadiran anak. d. Memenuhi kebutuhan cinta-kasih anak-anak. Naluri menyayangi anak adalah potensi yang diciptakan bersamaan dengan penciptaan manusia dan binatang. e. Menjaga
fitrah
anak
agar
anak
tidak
melakukan
penyimpangan-
penyimpangan.80 2. Sekolah Fungsi-fungsi fundamental pendidikan Islam melalui sekolah meliputi: a. Fungsi penyederhanaan dan penyimpangan. b. Fungsi penyucian dan pembersihan. c. Memperluas wawasan dan pengalaman anak didik melalui transfer tradisi. d. Fungsi mewujudkan keterikatan, integrasi, homogenitas, dan keharmonisan antar siswa. e. Fungsi penataan dan validasi sarana pendidikan. f. Penyempurnaan tugas keluarga dalam pendidikan.81 3. Masyarakat
80
Abdurrahman Annahlawi, Pendidikan Islam di Rumah, Sekolah dan Masyarakat…, h.
81
Abdurrahman Annahlawi, Pendidikan Islam di Rumah, Sekolah dan Masyarakat…, h.
139-145 152-161
48
Tanggung jawab masyarakat terhadap pendidikan anak menjelma dalam beberapa perkara dan cara yang dipandang merupakan metode pendidikan masyarakat yang utama. Cara-cara itu antara lain adalah: a. Allah menjadikan masyarakat sebagai penyuruh kebaikan dan pelarang kemungkaran. b. Dalam masyarakat Islam seluruh anak dianggap anak sendiri atau anak saudaranya. c. Untuk menghadapi orang-orang yang membiasakan dirinya berbuat buruk. d. Masyarakat dapat melakukan pembinaan melalui pengisolasian, pemboikotan, atau pemutusan hubungan kemasyarakatan. e. Pendidikan kemasyarakatan dilakukan melalui kerjasama yang utuh, karena masyarakat muslim adalah masyarakat yang padu. f. Pendidikan kemasyarakatan bertumpu pada landasan afeksi masyarakat, khususnya rasa saling mencintai. g. Pendidikan masyarakat harus mampu mengajak generasi muda untuk memilih teman dengan baik dan berdasarkan ketakwaan kepada Allah.82 Menurut Ki Hajar Dewantara tokoh pendidikan di Indonesia sebagai pendiri Taman Siswa, lingkungan pendidikan meliputi lingkungan keluarga, lingkungan sekolah dan lingkungan organisasi pemuda, yang disebut dengan Tri Pusat Pendidikan. Pendidikan keluarga berfungsi sebagai pengalaman pertama masa kanak-kanak, menjamin kehidupan emosional anak, menanamkan dasar pendidikan moral, memberikan dasar pendidikan sosial dan memberikan dasardasar pendidikan agama bagi anak-anak. Sekolah sebagai lembaga yang membantu lingkungan keluarga, maka sekolah bertugas mendidik dan mengajar serta memperbaiki dan memperhalus tingkah laku anak didik yang dibawa dari keluarganya. Tanggung jawab sekolah antara lain adalah membantu orang tua mengerjakan kebiasaan-kebiasaan yang baik serta menanamkan budi pekerti yang baik, memberikan pendidikan untuk
82
176-185
Abdurrahman Annahlawi, Pendidikan Islam di Rumah, Sekolah dan Masyarakat…, h.
49
kehidupan dalam masyarakat yang sukar atau tidak dapat diberikan di rumah, melatih anak-anak memperoleh kecakapan-kecakapan seperti membaca, menulis, berhitung, menggambar serta ilmu-ilmu lain yang sifatnya mengembangkan kecerdasan dan pengetahuan, sertadiberikan pelajaran etika, keagamaan, estetika, membedakan benar atau salah, dan sebagainya. Peran utama organisasi pemuda adalah dalam upaya pengembangan sosialisasi
kehidupan
pemuda.
Melalui
organisasi
kehidupan
pemuda
berkembanglah semacam kesadaran sosial, kecakapan-kecakapan dalam pergaulan dengan sesama kawan (social skill) dan sikap yang tepat dalam membina hubungan dengan sesama manusia (social attitude).83
Menurut Dra. Zuhairini lingkungan merupakan faktor pendidikan yang ikut serta menentukan corak pendidikan Islam, serta mempengaruhi pendidikan anak. Lembaga-lembaga pendidikan dapat dibedakan menjadi tiga golongan sesuai dengan fungsinya: 1. Keluarga sebagai lembaga pendidikan yang pertama, pendidikan dalam keluarga diperlukan pembiasaan dan pemeliharaan dan rasa kasih sayang dari orang tua. Fungsi keluarga antara lain adalah sebagai peletak dasar-dasar kepribadian anak, dan tempat pertama pendidikan agama bagi anak dan pendidikan umum serta pendidikan keterampilan. 2. Sekolah adalah lembaga pendidikan setelah keluarga. Fungsi sekolah bagi pendidikan anak antara lain adalah sebagai pembantu keluarga dalam mendidik anak, memberikan pendidikan dan pengajaran kepada anak didik. Pendidikan berupa pendidikan budi pekerti dan keagamaan. 3. Masyarakat merupakan lembaga pendidikan yang ketiga setelah keluarga dan sekolah. Fungsi masyarakat bagi pendidikan anak antara lain adalah sebagai pembentuk kebiasan, pembentukan pengetahuan, sikap dan minat, maupun pembentukan kesusilaan dan keagamaan.84
83
Hasbullah, Dasar-Dasar Ilmu Pendidikan, (Jakarta: PT. Rajagrafindo Persada, 2006),
84
Zuhairi, Filsafat Pendidikan Islam, (Jakarta: Bumi Aksara, 2004), Cet. III, h. 177-180
h. 34-43
50
Lingkungan pendidikan dalam al-Qur‟an, terdapat dalam buku Pendidikan dalam Perspektif al-Qur‟an karya Prof. Dr. Abudin Nata dijelaskan bahwa dalam al-Qur‟an terdapat ayat-ayat yang berkaitan dengan perlunya membina rumah tangga yang mawadah, sakinah dan marhamah, membangun sarana prasarana peribadatan seperti masjid, dan perlunya mewujudkan sebuah pemerintahan yang sejahtera, adil dan makmur di bawah kepemimpinan yang bijaksana, jujur, amanah dan bertanggung jawab terhadap terwujudnya kesejahteraan kehidupan manusia. Perhatian ini menunjukkan tentang adanya lingkungan pendidikan, yakni lingkungan keluarga (rumah tangga), lingkungan masyarakat yang dilambangkan dengan pembangunan sarana dan prasarana ibadah, serta lingkungan sekolah, sebagai bentuk lembaga pendidikan yang disediakan oleh pemerintah dalam rangka mensejahterakan rakyatnya. 1. Lingkungan Keluarga. Fungsi keluarga antara lain adalah sebagai pembentukan identitas kepribadian anak, tempat pendidikan dan pengajaran, terpenuhi rasa kasih sayang anak dari orang tua atas pemberian dari Allah kepada orang tua. 2. Lingkungan Sekolah. Para ahli umumnya berpendapat bahwa sekolah adalah lingkungan pendidikan yang bersifat formal. Fungsi sekolah antara lain adalah tempat pembinaan pendidikan dan pengajaran dengan sengaja, teratur dan terencana. 3. Lingkungan Masyarakat. Masyarakat dapat diartikan sebagai komunitas yang heterogen dengan berbagai aspeknya. Fungsi masyarakat adalah sebagai lingkungan yang dapat mendukung kegiatan pendidikan, baik kegiatan dalam bidang agama, sosial, ekonomi, politik, seni budaya, ilmu pengetahuan, dan lain sebagainya. 85
85
Abudin Nata, Pendidikan dalam Perspektif al-Qur‟an, (Jakarta: UIN Jakarta Press, 2005), Cet. I, h. 256-278
51
BAB III METODOLOGI PENELITIAN A. Waktu Penelitian Penelitian yang berjudul “KONSEP PENDIDIKAN AGAMA PADA ANAK
(USIA
6-12
TAHUN)
MENURUT
PROF.
DR.
ZAKIAH
DARADJAT” ini dilaksanakan dalam waktu beberapa bulan, dengan pengaturan waktu sebagai berikut: bulan Desember 2010 sampai bulan Maret 2011 digunakan untuk pengumpulan data mengenai sumber-sumber tertulis yang diperoleh dari teks book yang ada di perpustakaan, serta sumber lain yang mendukung penelitian, terutama yang berkaitan dengan pendidikan anak, fungsi keluarga dari beberapa sumber sebagai sumber primer, dan mengadakan wawancara langsung dengan Prof. Dr. Zakiah Daradjat sebagai penguat dalam penulisan skripsi ini. Kemudian menyusun data dalam bentuk hasil penelitian (laporan) dari sumbersumber yang telah ditemukan.
B. Metodologi Penulisan Untuk mendapatkan data dalam penelitian ini, penulis menggunakan metode penelitian kualitatif, dengan pendekatan contend analisis. Dalam pengumpulan data, penulis menggunakan metode penelitian kepustakaan. Untuk mendapatkan data-data penelitian, penulis mengumpulkan bahan kepustakaan, dengan cara membaca, menelaah buku-buku, majalah, surat kabar dan bahan-
51
52
bahan informasi lainnya terutama yang berkaitan dengan pendidikan anak dan fungsi keluarga dari beberapa sumber di antaranya adalah sebagai berikut: Dalil-dalil al-Qur’an dan terjemahannya, buku-buku karya Prof. Dr. Zakiah Daradjat sebagai buku acuan utama, buku Pendidikan Islam dalam Keluarga dan Sekolah, yang diterbitkan oleh PT. Remaja Rosdakarya Bandung tahun 1995, yang di dalamnya dijelaskan tentang peranan pendidikan dalam keluarga yang dimulai dari peranan ibu ketika menyusui dan mengasuh anak, peran ibu dalam pembentukan kepribadian anak, mulai dari pembinaan iman dan tauhid, pembinaan akhlak, ibadah dan agama, kepribadian dan sosial anak. Pembentukan sifat-sifat terpuji dan pendidikan anak secara umum. Ilmu Pendidikan Islam, yang diterbitkan oleh Bumi Aksara tahun 1996. Buku-buku lain seperti Tokoh-tokoh Pembaharuan Pendidikan Islam di Indonesia karya Prof. Dr. Abudin Nata, Perkembangan Psikologi Agama dan Pendidikan Islam di Indonesia 70 tahun Prof. Dr. Zakiah Daradjat, Ulama Perempuan Indonesia ed, Jajat Burhanudin, dan buku lain sebagai sumber sekunder. Selain itu akan dilengkapi dengan berbagai data dan buku-buku yang berkaitan dengan pendidikan anak dan fungsi keluarga yang terkait untuk memperkuat analisa penelitian ini. Buku-buku inilah yang menginspirasi penulis dalam penyusunan skripsi ini, dan untuk memperkuat data yang diperoleh, penulis melakukan wawancara langsung kepada Prof. Dr. Zakiah Daradjat. Kemudian dalam penelitian ini, penulis menggunakan teknik Analisis Isi (Conten Analysis), dan dengan menggunakan bentuk Catatan Deskriptif yaitu catatan informasi faktual yang menggambarkan segala sesuatu apa adanya dan mencakup penggambaran secara rinci dan akurat terhadap berbagai definisi yang terkait dengan semua aspek peneliti. Maka, di sini
penulis menggambarkan
permasalahan yang akan dibahas dengan mengambil materi-materi yang relevan dengan permasalahan yang akan dibahas, kemudian dianalisa, sehingga dihasilkan suatu kesimpulan.
53
C. Fokus Penelitian Subjek penelitian ini adalah pandangan Prof. Dr. Zakiah Daradjat tentang konsep pendidikan agama Islam pada anak. Objek penelitian ini adalah fungsi pendidikan agama pada anak dalam keluarga, sekolah dan masyarakat. Cara penyajiannya bersifat deskriptif analitik. Penyajian deskriptif adalah menjelaskan tentang pengertian, maksud, tujuan dari pendidikan anak yang terdapat dalam buku Pendidikan Islam dalam Keluarga dan Sekolah serta Ilmu Pendidikan Islam serta wawancara langsung kepada Prof. Dr. Zakiah Daradjat untuk memperkuat data yang didapat penulis. Analisisnya adalah menganalisa pemikiran Prof. Dr. Zakiah Daradjat tersebut dengan berbagai dalil-dalil yang berkaitan, baik al-Qur’an, hadits, dan juga dari beberapa disiplin ilmu pengetahuan lainnya.
D. Prosedur Dalam penulisan skripsi ini, penulis menggunakan metode penelitian deskriptif analisis, metode yang dilakukan adalah: 1. Teknik pengumpulan data Teknik pengumpulan data dilakukan dengan mempelajari literatur yang ada hubungannya dengan masalah yang diteliti dengan mengumpulkan data-data melalui bahan bacaan dengan bersumber pada buku-buku primer dan buku-buku sekunder yang berkaitan dengan masalah yang dibahas. 2. Teknik pengolahan data Setelah data-data terkumpul lengkap, berikutnya yang penulis lakukan adalah membaca, mempelajari, meneliti, menyeleksi, dan mengklasifikasi datadata yang relevan dan yang mendukung pokok bahasan, untuk selanjutnya penulis analisis, simpulkan dalam satu pembahasan yang utuh.
54
3. Analisa data Dalam menganalisis data, penulis menggunakan metode deskriptif analisis, yaitu memaparkan masalah-masalah sebagaimana adanya, disertai argumen-argumen. 4. Teknik penulisan Teknik atau metode penulisan ini berpedoman pada Pedoman Penulisan Skripsi Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta tahun 2007.
55
BAB IV HASIL PENELITIAN A. Temuan Hasil Analisis Kritis Deskriptif 1. Pendidikan Anak Menurut Prof. Dr. Zakiah Daradjat. Prof. Dr. Zakiah Daradjat mengatakan bahwa beliau secara khusus belum mempunyai teori sendiri tentang pendidikan, kalaupun ada dalam bukubuku karya beliau merupakan karya orang yang dimodifikasi sesuai dengan kebutuhan baik Rogers non-direktif maupun direktif dan psikoanalisa. Beliau sebagai konsultan kesehatan jiwa dalam prakteknya sering menggunakan nondirektif, walaupun tidak menutup kemungkinan tidak kesemua orang, terkadang direktif dan jika perlu psikoanalisa, semua disesuaikan dengan kondisi dan keadaan pasiennya. Non-direktif karya Rogers yang banyak dipraktekkan oleh Prof. Dr. Zakiah Daradajat adalah perawatan jiwa tidak langsung. Teori ini didasarkan atas pengertian bahwa bagi setiap kelakuan ada sebabnya dan sebab-sebab itu ditentukan oleh cara individu menanggapi dirinya dan lingkungan di mana ia hidup. Serta pengertian bahwa hanya individu itulah yang mengerti faktor-faktor dan dinamikanya yang telah mempengaruhi cara ia menanggapi diri dan lingkungannya. Anak yang telah berumur 6-12 tahun mempunyai kemampuan berpikir yang baru tumbuh, anak seumur itu banyak pengaruh ibu bapaknya, kakak-kakaknya atau saudara-saudaranya, orang lain yang dekat dengan keluarganya, dalam hal ini yang digunakan adalah direktif. Direktif digunakan
55
56
sesuai keadaan orang yang dihadapi, menurut beliau tidak mungkin kita menggunakan non-direktif yang dalam prakteknya tanpa penjelasan dan arahan, jika bertemu dengan orang yang kecerdasannya terbatas maka kita menggunakan direktif. Seperti jangan kesana, kesini. Kamu harus gini dan gitu.1 Dalam kegiatan pendidikan, unsur pergaulan dan unsur lingkungan tidak bisa dipisahkan tetapi dapat dibedakan. Dalam pergaulan tidak selalu berlangsung pendidikan walaupun di dalamnya terdapat faktor-faktor yang berdaya guna untuk mendidik. Pergaulan merupakan unsur lingkungan yang turut serta mendidik anak. Lingkungan secara luas mencakup iklim dan geografis, tempat tinggal, adat istiadat, pengetahuan, pendidikan dan alam. Dengan kata lain lingkungan ialah segala sesuatu yang tampak dan terdapat dalam alam kehidupan yang senantiasa berkembang. Lingkungan adalah seluruh yang ada, baik manusia maupun benda buatan manusia, atau alam yang bergerak, kejadian-kejadian atau hal-hal yang mempunyai hubungan dengan lingkungannya, sejauh itu pula terbuka peluang masuknya pengaruh pendidikan kepada anak. Di luar lingkungan sekolah (sebagai lingkungan pendidikan kedua), terdapat lingkungan keluarga sebagai lingkungan pendidikan pertama dan masyarakat sebagai lingkungan pendidikan ketiga.2 a. Fungsi Keluarga dalam Pendidikan Anak Menurut Prof. Dr. Zakiah Daradjat 1) Keluarga sebagai Wadah Pertama Pendidikan Anak Dalam kegiatan pendidikan, keluarga adalah lingkungan pendidikan pertama. Dalam lingkungan keluarga terletak dasar-dasar pendidikan. Dalam keluarga pendidikan berlangsung dengan sendirinya sesuai dengan tatanan pergaulan yang berlaku di dalamnya, artinya tanpa harus diumumkan atau dituliskan terlebih dahulu agar diketahui dan diikuti oleh seluruh anggota 1
Hasil wawancara penulis dengan Prof. Dr. Zakiah Daradjat pada hari Senin 04 April 2011 pukul 17:18-18:08 WIB di kediaman beliau, juga pada hari Rabu 12 April 2011 pukul 11:1011:50 WIB di kampus UIN Syarif Hidayatullah Jakarta 2 Zakiah Daradjat, Ilmu Pendidikan Islam, (Jakarta: Bumi Aksara, 1996), Cet. III, h. 6366
57
keluarga. Dalam keluarga pula diletakkan dasar-dasar pengalaman melalui kasih sayang dan penuh kecintaan, kebutuhan akan kewajiban dan nilai-nilai kepatuhan. Justru karena pergaulan yang demikian itu berlangsung dalam hubungan yang bersifat pribadi dan wajar, maka penghayatan terhadapnya mempunyai arti yang amat penting.3 Pembentukan identitas anak menurut Islam, dimulai jauh sebelum anak diciptakan. Islam memberikan berbagai syarat dan ketentuan pembentukan keluarga, sebagai wadah yang akan mendidik anak sampai umur tertentu yang disebut baligh-berakal. Beberapa syarat dituangkan dalam al-Qur’an dan Hadits dalam pembentukan keluarga di antaranya, yaitu: a) Larangan menikah dengan wanita yang dalam hubungan darah dan kerabat tertentu,
4
seperti disebut dalam al-Qur’an surat an-Nisaa’: 22-
23:
“Dan janganlah kamu menikahi perempuan-perempuan yang telah dinikahi oleh ayahmu, kecuali (kejadian pada masa) yang telah lampau. Sungguh, perbuatan itu sangat keji dan dibenci (oleh Allah) dan seburuk-buruk jalan (yang ditempuh).”5
“Diharamkan atas kamu (menikahi) ibu-ibumu, anak-anakmu yang perempuan, saudara-saudaramu yang perempuan, saudara-saudara ayahmu yang perempuan, saudara-saudara ibumu yang perempuan, 3
Zakiah Daradjat, Ilmu Pendidikan Islam…, h. 66 Zakiah Daradjat, Pendidikan Islam dalam Keluarga dan Sekolah, (Jakarta: CV. Ruhama, 1995), Cet. II, h. 41-44 5 Departemen Agama RI, al-Qur’an dan Terjemahannya, (Bandung: PT. Sygma Examedia Arkanleema, 2009), h. 81 4
58
anak-anak perempuan dari saudara-saudaramu yang laki-laki, anak-anak perempuan dari saudara-saudaramu yang perempuan, ibu-ibumu yang menyusui kamu, saudara-saudara perempuanmu sesusuan, ibu-ibu istrimu (mertua), anak-anak istrimu (anak tiri) yang dalam pemeliharaanmu dari istri yang telah kamu campuri, tetapi jika kamu belum campur dengan istrimu itu (dan sudah kamu ceraikan) maka tidak berdosa kamu (menikahinya), (dan diharamkan bagimu) istri-istri anak kandungmu (menantu), dan (diharamkan) mengumpulkan (dalam pernikahan) dua perempuan yang bersaudara, kecuali yang telah terjadi pada masa lampau, Sungguh, Allah Maha Pengampun, Maha Penyayang.” (an-Nisaa: 23)6 b) Larangan menikah dengan orang yang berbeda agama. Disebutkan dalam al-Qur’an surat al-Baqarah: 221:
“Dan janganlah kamu nikahi perempuan musyrik, sebelum mereka beriman. Sungguh, hamba sahaya perempuan yang beriman lebih baik daripada perempuan musyrik meskipun dia menarik hatimu. Dan janganlah kamu nikahkan orang (laki-laki) musrik (dengan perempuan yang beriman) sebelum mereka beriman. Sungguh, hamba sahaya yang beriman lebih baik daripada laki-laki musyrik, meskipun dia menarik hatimu. Mereka mengajak ke neraka, sedangkan Allah mengajak ke surga dan ampunan dengan izin-Nya. (Allah) menerangkan ayat-ayat-Nya kepada manusia agar mereka mengambil pelajaran. (al-Baqarah: 221).7 c) Larangan menikah dengan orang yang berzina. Diutarakan dalam alQur’an surat An-Nuur: 3.
“Pezina laki-laki tidak boleh menikah kecuali dengan pezina perempuan, atau dengan perempuan musyrik; dan pezina perempuan tidak boleh menikah kecuali dengan pezina laki-laki atau dengan 6 7
Departemen Agama RI, al-Qur’an dan Terjemahannya…, h. 81 Departemen Agama RI, al-Qur’an dan Terjemahannya…, h. 35
59
laki-laki musyrik; dan yang demikian itu diharamkan bagi orangorang mukmin. (QS. An-Nuur: 3).8 d) Kriteria pemilihan pasangan. Nabi Muhammad SAW bersabda:
“Dari Abu Hurairah r.a. katanya, bersabda Rasulullah SAW: mengawini wanita itu karena salah satu dari empat sebab: hartanya, keturunannya, kecantikannya dan agamanya. Maka hendaklah anda peroleh yang taat kepada agamanya, yang jadi pilihan anda. (HR. Abu Hurairah).9 Setelah syarat-syarat bagi kedua calon suami-istri dipenuhi, maka dilaksanakanlah pernikahan menurut ketentuan yang diwajibkan Allah. Setelah mereka diikat oleh tali perkawinan, maka masing-masing pasangan suami-istri mempunyai hak dan kewajiban yang ditentukan. Mereka dibekali dengan beberapa petunjuk dalam mendayungkan bahtera rumah kehidupan dengan kasih sayang dan kepatuhan kepada ketentuan Allah, agar mereka memperoleh ketentraman dan kebahagiaan (sakinah). Firman Allah SWT:
“Dan di antara tanda-tanda (kebesaran)-Nya ialah Dia menciptakan pasangan-pasangan untukmu hidupmu dari jenismu sendiri, agar kamu cenderung dan merasa tenteram kepadanya, dan Dia menjadikan di antaramu rasa kasih dan sayang. Sungguh pada yang demikian itu benar-benar terdapat tanda-tanda (kebesaran Allah) bagi kaum yang berpikir.” (QS. Ar-Ruum: 21).10 Nabi Muhammad SAW memberikan petunjuk do’a ketika akan melakukan hubungan intim antara suami-istri:
8
Departemen Agama RI, al-Qur’an dan Terjemahannya…, h. 350 A. Razak, dan Rais Lathief, Terjemahan Hadis Shahih Muslim, Jilid II, (Jakarta: Pustaka al-Husna: 1980), Cet. I, h. 203 10 Departemen Agama RI, al-Qur’an dan Terjemahannya…, h. 406 9
60
“Dari Ibnu Abbas r.a bahwa Rasulullah SAW bersabda: “Seandainya salah seorang di antara kamu ingin menggauli istrinya lalu membaca doa: (artinya: Dengan nama Allah, Ya Allah jauhkanlah setan dari kami dan jauhkanlah setan dari apa yang Engkau anugerahkan pada kami), maka jika ditakdirkan dari pertemuan keduanya itu menghasilkan seorang anak, setan tidak akan mengganggunya selamanya”. (HR. Muttafaq Alaih).11 Setelah terbentuk keluarga muslim yang memenuhi persyaratan yang ditentukan Allah, dan siap mendapatkan keturunan, ada beberapa petunjuk dan pedoman yang membantu terciptanya kehidupan sakinah, selanjutnya adalah petunjuk do’a yang baik diucapkan dari Allah, yaitu:
“Ya Tuhanku, berilah aku keturunan yang baik dari sisi-Mu. Sesungguhnya Engkau Maha Pendengar doa. (QS. Ali Imran: 38).12 a) Masalah Kejiwaan Masalah kejiwaan menampilkan diri dalam berbagai bentuk, ada yang dalam ketidaktenteraman batin, cemas, gelisah, takut, sedih, marah, bimbang, tertekan, frustasi, rasa rendah diri, rasa sombong, tidak percaya diri, pesimis, putus asa, apatis dan sebagainya. Keadaan tidak tenteram boleh jadi disertai dengan tidak dapat tidur, hilang nafsu makan, sulit buang air, atau tidak mampu mengendalikannya. Keadaan yang tidak tenteram dapat mempengaruhi kemampuan berpikir, sehingga orang menjadi pelupa, tidak dapat berkonsentrasi, sulit melanjutkan pemikiran yang teratur, malas, lesu, bosan, cepat lelah, mudah dipengaruhi orang, sulit berprestasi, baik dalam belajar maupun dalam bekerja dan sebagainya. Hal ini dapat pula mempengaruhi kesehatan badan, misalnya pusing, sakit kepala, tekanan darah tinggi atau darah rendah, sesak 11
Ibnu Hajar Atsqalani, Tarjamah Hadits Bulughul Maram Terj. Dari Bulughul Maram min Adilatil Ahkaam oleh Masdar Helmy, (Bandung: CV. Gema Risalah Press, 2009), Cet. V, h. 426-427 12 Departemen Agama RI, al-Qur’an dan Terjemahannya…, h. 55
61
nafas, pencernaan tidak teratur, sering ditimpa penyakit, sakit jantung, wasir, lumpuh pada sebagian anggota tubuh seperti tangan, kaki, jari, lidah (jadi bisu), mata (jadi tidak melihat karena keadaan kejiwaan yang tidak sehat). Pengaruh kejiwaan terhadap kelakuan, orang menjadi jahat, nakal, tidak berperasaan, tidak tahu malu, atau berbagai pelanggaran hukum, pelanggaran terhadap ketentuan agama, dan berbagai penyimpangan lainnya. Hal-hal ini adalah gejala kejiwaan yang sering terjadi pada orangorang yang tidak mampu menyesuaikan diri, kurang kuat imannya, tidak tenteram batinnya, dan karena berbagai sebab lainnya. Faktor-faktor terjadinya masalah kejiwaan antara lain adalah: (1) Terdapat dalam diri sendiri. Misalnya kegoncangan perasaan yang dialami oleh remaja yang sedang mengalami pertumbuhan dan perkembangan dengan cepat, perubahan kelenjar yang mengalir di dalam tubuhnya, pertumbuhan kecerdasan yang mendekati selesai dan perubahan sikap sosial dan perkembangan kepribadian. (2) Faktor luar, di antaranya perubahan nilai dan keadaan sosial-ekonomi yang menyebabkan orang kehilangan pegangan atau tidak mudah menyesuaikan diri. b) Peranan Ibu dalam Keluarga Keluarga adalah wadah pertama dan utama bagi pertumbuhan dan perkembangan anak. Jika
suasana dalam keluarga
itu baik dan
menyenangkan, maka anak akan tumbuh dengan baik pula. Jika tidak, maka akan terhambatlah pertumbuhan anak. Peranan ibu dalam keluarga amat penting. Ibulah yang mengatur, membuat rumah tangganya menjadi surga bagi anggota
keluarga, menjadi mitra sejajar yang saling menyayangi
dengan suami. Sebagai istri, hendaklah ia bijaksana, tahu hak dan kewajibannya yang telah ditentukan oleh agama. Untuk mencapai ketenteraman dan kebahagiaan dalam keluarga diperlukan istri yang salehah, yang dapat menjaga
diri
dari
kemungkinan
salah
dan
kena
fitnah, mampu
62
menenteramkan suami apabila gelisah, serta dapat mengatur keadaan rumah, sehingga tampak rapi. Membuat seluruh anggota keluarga senang dan nyaman berada di rumah. Istri yang bijaksana mampu mengatur situasi dan keadaan, hubungan yang saling melegakan dalam keluarga. Langkah penciptaan suasana yang baik antara lain adalah menciptakan suasana saling pengertian, saling menerima, saling menghargai, saling mempercayai dan saling menyayangi di antara suami-istri dan antara seluruh anggota keluarga. Dengan adanya pengertian, penerimaan, penghargaan, kepercayaan dan kasih sayang yang dilandasi oleh keimanan yang mendalam, yang terpancar dalam kehidupan sehari-hari, maka akan dapat dihindarkan berbagai masalah negatif yang kadang-kadang terjadi dalam tindakan dan sikap masing-masing atau salah seorang (suami-istri). Suami akan bekerja dengan tenang dan penuh gairah dalam menghadapi tugasnya, tidak akan berpikir mencari sesuatu yang tidak diridhai Allah SWT. Demikian pula istri, dengan hati lembut yang penuh keimanan, dapat menerangi suasana keluarga sehingga menjadi cerah ceria. Tanah yang subur adalah suasana keluarga dalam penyemaian tunas-tunas muda yang ada dalam keluarga. (1) Penyusuan dan Pengasuhan Anak Seorang bayi lahir dalam keadaan lemah dan tidak berdaya untuk memenuhi kebutuhan pokok yang menolongnya dalam kelangsungan hidupnya. Orang pertama dan utama yang dikenal oleh bayi adalah ibunya, yang sejak dalam kandungan telah membantunya untuk tumbuh dan berkembang, baik disadari ataupun tidak oleh ibunya. Manusia, baik yang kecil maupun yang besar, muda ataupun yang tua, dibekali oleh Allah dengan seperangkat kebutuhan jasmani yang perlu dipenuhi. Jika tidak dipenuhi, misalnya dalam hal makanan dan minuman, maka akan terganggu kelangsungan pertumbuhan jasmaninya. Juga dibekali dengan seperangkat kebutuhan kejiwaan yang jika tidak dipenuhi akan terhambatlah perkembangan rohaninya, mungkin akan mempengaruhi hidupnya, bahkan sampai tua.
63
Untuk memenuhi kebutuhan jasmani anak yang masih bayi, secara alamiah Allah menciptakan air susu ibu (ASI), yang dipersiapkan bersamaan dengan pertumbuhan janin dalam kandungan. Serentak dengan kelahiran bayi, ASI pun sudah tersedia pada ibu yang melahirkan bayi itu. Jika sang ibu tidak mau memberikan ASI kepada bayi yang dilahirkannya, maka bayi akan mengalami kegoncangan dan penderitaan. Jika tidak ada pertolongan orang lain, boleh jadi kelangsungan hidupnya akan terganggu, bahkan terhenti. Oleh karena itu, dapat dikatakan bahwa tanggung jawab ibu dalam kelangsungan hidup anak yang masih bayi sangat besar.13 Allah berfirman:
“Dan ibu-ibu hendaklah menyusui anak-anaknya selama dua tahun penuh, bagi yang ingin menyusui secara sempurna. Dan kewajiban ayah menanggung nafkah dan pakaian mereka dengan cara yang patut …” (QS. Al-Baqarah: 233).14 Anak tidak hanya mempunyai kebutuhan jasmani saja, akan tetapi ia juga
mempunyai
kebutuhan-kebutuhan
kejiwaan
yang
menentukan
perkembangan selanjutnya. Ada dua kebutuhan pokok kejiwaan yang harus dipenuhi anak sejak lahir, yaitu kebutuhan akan rasa kasih sayang, dan rasa aman. Setelah anak lahir, membutuhkan pemeliharaan dari orang yang membantunya untuk melindungi dari terpaan udara, baik panas maupun dingin, dan dari berbagai
gangguan yang dapat menyakiti
atau
mengganggunya. Ia memerlukan bantuan dari orang yang mengerti kebutuhannya dan bersedia membantunya setiap saat. Ibu yang telah melahirkan anak, yang mengalami berbagai kesulitan dan penderitaan selama anak dalam kandungan, yang secara kodrati diberi oleh Allah perasaan kasih sayang dan kemampuan untuk menyayangi serta kecondongan untuk menolong dan merawat anak. Maka ibu pulalah yang
13 14
Zakiah Daradjat, Pendidikan Islam dalam Keluarga dan Sekolah…, h. 45-48 Departemen Agama RI, al-Qur’an dan Terjemahannya…, h. 37
64
memikul tanggung jawab terhadap pemenuhan kebutuhan rohani yang paling pokok pada anak.15 Allah memberikan petunjuk dengan firmannya:
“Dan Kami perintahkan kepada manusia agar berbuat baik kepada kedua orang tuanya, ibunya telah mengandungnya dengan susah payah, dan melahirkannya dengan susah payah (pula). Masa mengandung sampai menyapihnya selama tiga puluh bulan ….” (QS. Al-Ahqaaf: 15).16 Anak tidak akan mengenal kasih sayang dalam hidupnya jika ketika bayi ibu tidak mampu atau tidak mau menyayangi anak yang membutuhkan kasih sayangnya dan akan megalami penderitaan sepanjang hayatnya. Tanpa kasih sayang ibu, rasa amanpun tidak akan tercapai, karena anak akan dibiarkan tanpa perlindungan terhadap berbagai gangguan dan ancaman bagi kelangsungan hidupnya. (2) Manfaat Menyusui dalam Membina Rasa Tanggung Jawab Ibu. Rasa tanggung jawab ibu terhadap masa depan anak tidak terjadi secara otomatis, dengan melahirkan anak. Ada ibu yang merasa anak adalah beban dan penghambat bagi kegiatannya. Ada pula sebagian ibu yang berpendapat bahwa tugas mendidik, merawat, dan menyusukan anak, bukanlah tugas ibu saja, akan tetapi tugas bersama antara ibu dan bapak. Jika ibu sebagai wanita karir atau bekerja di luar rumah seperti sang suami, maka ia ingin bebas dari tugas kerumahtanggaan, pemeliharaan, dan pendidikan anak, seperti halnya dengan suami. Menyusukan anak untuk sebagian wanita mungkin merupakan tugas berat yang tidak menyenangkan. Jika anak memperoleh ASI langsung dari ibu maka akan berdampak positif dan terpenuhinya kebutuhan jiwa akan kasih sayang dan rasa aman. Barometer yang digunakan anak untuk mengukur berbahaya atau tidaknya
15 16
Zakiah Daradjat, Pendidikan Islam dalam Keluarga dan Sekolah…, h. 49 Departemen Agama RI, al-Qur’an dan Terjemahannya…, h. 504
65
sesuatu terhadap dirinya adalah sikap ibunya dalam menanggapi sesuatu. 17 ASI memiliki banyak manfaat dan kelebihan karena ASI menjadi makanan bayi ketika masih dalam kandungan dan setelah lahir yang merupakan tindak lanjut dari proses pertumbuhan pasca kelahiran. Di antara manfaat ASI adalah: a) Bayi langsung mendapat makanan bersih dan steril. b) ASI tidak terlalu dingin dan tidak terlalu panas bahkan bersuhu sedang sehingga cocok buat anak. c) Siap saji setiap saat, tidak mengenal surut dan tidak pernah kehabisan. d) ASI tidak mengalami kerusakan karena lamanya penyimpanan, dan tidak mengalami perubahan dalam kondisi apapun. e) Cocok dan sesuai kebutuhan perut bayi hingga sampai usia dua tahun. f) Mencukupi kebutuhan bayi yang sedang menyusu. g) ASI memberi amunisi dan kekebalan tubuh bayi dari berbagai gangguan bakteri dan penyakit. h) Asi membuat bayi terhindar dari problema kegemukan bagi bayi dan ibu. i) Menyusui bisa membantu dalam mengatur masa kelahitan bagi sebagian wanita. j) Menyusui menumbuhkan perasaan kasih saying dan cinta orang tua kepada anak dan menguatkan hubungan batin antara anak dan ibu. k) Menyusui memberi pengaruh pada mental anak hingga menjadi stabil, penampilan yang tenang dan baik tingkah lakunya, serta bagus dalam pembentukan jaringan otak, emosional, intelejensi dan jasmani.18 Rasa tanggung jawab ibu terhadap masa depan anak terjadi berangsur-angsur melalui pengalaman yang dilalui bersama anaknya. Apabila ibu tidak melakukan perawatan langsung terhadap anaknya, maka kasih sayang kepada anak kurang, bahkan terkadang tidak terasa sama
17
Zakiah Daradjat, Pendidikan Islam dalam Keluarga dan Sekolah…, h. 51 Al-Maghribi bin as-Said al-Maghribi, Begini Seharusnya Mendidik Anak; Panduan Mendidik Anak Sejak Masa Kandungan hingga Dewasa, Terj. Dari buku Kaifa Turrabi Waladan Shalihan,oleh Zaenal Abiddin, (Jakarta: Darul Haq, 2004), h. 108-109 18
66
sekali. Bila perawatan, pemeliharaan dan pendidikan, serta menyusui tidak dilakukan oleh ibu, dan ia hanya melihat anaknya sebagai objek yang harus diurus, tanpa ada ikatan batin dengan dirinya, dan tugas tersebut dapat diserahkan kepada orang lain, seperti pembantu, nenek, bibi atau lainnya, tanpa merasa kehilangan sesuatupun, bahkan mungkin tidak terpikir olehnya tentang masa depan anaknya. Lain halnya dengan seorang ibu yang mengurus dan menyusukan anaknya secara langsung, ia akan merasa tertarik kepada anak yang tumbuhkembang dari hari ke hari. setiap pengalaman, baik berat maupun ringan yang dilakukan ibu terhadap anak, menimbulkan kesan yang menarik dan merangsangnya untuk memikirkan hari depan anaknya. Lambat laun pemikiran masa depan anak memenuhi relung-relung hatinya. Maka akan berkembanglah rasa tanggung jawabnya terhadap masa depan anak. Hubungan timbal balik antara ibu dan anak yang disusuinya, ditandai dengan saling menyayangi. Keduanya sama-sama mendapatkan objek yang disayangi dan sama-sama merasakan bahwa dirinya disayangi. Inilah modal penting bagi anak untuk merasa bahagia dalam kehidupannya di kemudian hari.19 2) Keluarga sebagai Peletak Dasar Kepribadian Anak Ibu
yang
baik,saleh,
penyayang,
dan
bijaksana,
sebelum
mengandung telah memohon kepada Allah agar mendapatkan anak yang saleh, yang berguna bagi bangsa, Negara dan agamanya. Ketika mulai mengandung, hatinya gembira menanti kelahiran sang anak. Sejak dalam kandungan bayi mendapatkan pengaruh yang positif dalam kepribadiannya yang akan tumbuh di masa yang akan datang. Ketika dalam kandungan, janin mendapatkan pengaruh dari sikap dan perasaan ibunya, melalui sarafsaraf yang terdapat dalam rahim. Sikap positif sang ibu terhadap janin dan ketentraman batinnya dalam hidup menyebabkan saraf-saraf bekerja lancar dan wajar, karena tidak ada kegoncangan jiwa yang menegangkan. Maka 19
Zakiah Daradjat, Pendidikan Islam dalam Keluarga dan Sekolah…, h. 52
67
unsur-unsur dalam pertumbuhan kepribadian anak yang akan lahir cukup baik dan positif, yang nantinya menjadi dasar pertama dalam pertumbuhan setelah lahir. Pendidikan anak pada dasarnya adalah tanggung jawab orang tua. Hanya karena keterbatasan kemampuan orang tua, maka perlu adanya bantuan dari orang yang mampu dan mau membantu orang tua dalam pendidikan anak-anaknya, terutama dalam mengajarkan berbagai ilmu dan keterampilan yang selalu berkembang dan dituntut perkembangannya bagi kepentingan manusia. Pada umumnya para pendidik muslim menjadikan Luqmanul Hakim sebagai contoh dalam pendidikan, di mana nasihatnya kepada anaknya terdapat dalam surat Luqman ayat 13-19.20 Allah mengatakan Luqman dikarunia-Nya hikmah dan kebijaksanaan.
“Dan sungguh, telah Kami berikan hikmah kepada Luqman, yaitu, “Bersyukurlah kepada Allah! Dan barang siapa bersyukur (kepada Allah), maka sesungguhnya dia bersyukur untuk dirinya sendiri; dan barang siapa tidak bersyukur (kufur), maka sesungguhnya Allah Mahakaya, Maha Terpuji.” (QS. Luqman: 12).21
a) Pembinaan Iman dan Tauhid. Dalam ayat 13, Luqman menggunakan kata pencegahan dalam menasihati anaknya agar tidak menyekutukan Allah.
”Dan (ingatlah) ketika Luqman berkata kepada anaknya, ketika dia memberi pelajaran padanya, “Wahai anakku! Janganlah engkau mempersekutukan Allah, sesungguhnya mempersekutukan (Allah) adalah benar-benar kezaliman yang besar.” (QS. Luqman: 13).22 20
Zakiah Daradjat, Pendidikan Islam dalam Keluarga dan Sekolah…, h. 50-53 Departemen Agama RI, al-Qur’an dan Terjemahannya…, h. 412 22 Departemen Agama RI, al-Qur’an dan Terjemahannya…, h. 412 21
68
Ayat ini menjelaskan bahwa pendidikan tauhid dilakukan dengan kata-kata, maka anak Luqman ketika itu telah berumur sedikitnya dua belas tahun. Sebab kemampuan kecerdasan untuk dapat memahami hal yang abstrak (maknawi) terjadi apabila perkembangan kecerdasan mencapai ke tahap mampu memahami hal-hal di luar jangkauan alat-alat indra, yaitu umur 12 tahun. Syirik adalah sesuatu hal yang abstrak, tidak mudah dipahami oleh anak yang perkembangan kecerdasannya belum sampai pada kemampuan tersebut. Lanjutan ayat tersebut adalah “Syirik itu adalah kezaliman yang besar”, maka untuk memahaminya diperlukan kemampuan mengambil kesimpulan yang abstrak dari kenyataan yang diketahui. Biasanya kemampuan demikian, tercapai pada umur kira-kira 14 tahun. Maka umur anak Luqman ketika itu sedikitnya 14 tahun. Pembentukan iman seharusnya mulai sejak anak dalam kandungan, sejalan dengan pertumbuhan kepribadian. Berbagai hasil pengamatan pakar kejiwaan menunjukkan bahwa janin yang dalam kandungan, telah mendapat pengaruh dari keadaan sikap dan emosi ibu yang mengandungnya. Hal tersebut tampak dalam perawatan kejiwaan, di mana keadaan keluarga, ketika si anak dalam kandungan, mempunyai pengaruh terhadap kesehatan mental si janin di kemudian hari. Luqmanul Hakim orang yang diangkat Allah sebagai manusia contoh dalam pendidikan anak, telah dibekali oleh Allah dengan iman dan sifat-sifat terpuji, di antaranya syukur kepada Allah, yang sudah pasti beriman dan bertakwa kepada-Nya. Oleh karena itu, pendidikan iman terhadap anak, sesungguhnya telah dimulai sejak persiapan wadah untuk pembinaan anak, yaitu pembentukan keluarga, yang syarat-syaratnya ditentukan Allah di dalam beberapa ayat, di antaranya:23 (1) Persyaratan keimanan (QS. Al-Baqarah: 221) (2) Persyaratan akhlak (QS. An-Nuur: 3) 23
Zakiah Daradjat, Pendidikan Islam dalam Keluarga dan Sekolah…, h. 54-55
69
(3) Persyaratan tidak ada hubungan darah (QS. An-Nisaa’: 22-23). Setelah syarat tersebut terpenuhi, maka hubungan kedua calon suami-istri diikat dengan tali pernikahan yang ditentukan Allah. Kemudian kehidupan dan hubungan antara suami dan istri diatur pula dengan hak dan kewajiban masing-masing yang dipedulikan. Ibu dan bapak yang beriman dan taat beribadah, tenteram hatinya dan mendoakan agar anak dan keturunannya beriman dan takwa kepada Allah SWT, doa dan harapan melalui ucapan lisan dan bisikan dalam hatinya akan memantul kepada janin yang ada dalam kandungan ibu. Karena itu, seharusnya muncul berbagai usaha berupa kegiatan dan kepedulian terhadap ibu-ibu hamil, yang bersikap positif terhadap janin yang dikandungnya. Setelah lahir, pertumbuhan jasmani anak akan berjalan cepat. Perkembangan akidah, kecerdasan, akhlak, kejiwaan, rasa keindahan dan kemasyarakatan anak (tujuh dimensi manusia), berjalan serentak dan seimbang. Anak mulai mendapatkan unsur-unsur pendidikan serta pembinaan yang berlangsung tanpa disadari oleh orang tuanya. Mata anak melihat dan merekam apa saja yang tampak olehnya, rekaman tersebut tinggal lama dalam ingatan, sehingga ada pakar kejiwaan yang mengatakan bahwa manusia belajar lewat penglihatannya itu sebanyak 85%, kemudian telinga juga mulai berfungsi setelah ia lahir, dan menangkap apa yang sampai ke gendang telinganya, dia mendengar bunyi, kata-kata, yang diucapkan oleh ibu, bapak, kanak-kanak, dan orang lain dalam keluarga, atau suara dari radio, TV, dan sebagainya. Lewat pendengaran anak belajar sebanyak 11%.24 Ditemukan bahwa anak umur satu tahun dapat menangkap tiga kata, umur dua tahun 272 kata, umur tiga tahun 896 kata, umur empat tahun 1.540 kata, umur lima tahun 2.072 kata dan umur enam tahun 2.562 kata. Katakata terdengar oleh anak terkandung pada apa yang yang dikatakan orang tuanya. Bila mereka orang beriman dan beramal saleh, sering berdoa dan 24
Zakiah Daradjat, Pendidikan Islam dalam Keluarga dan Sekolah…, h. 56
70
mengucapkan kata-kata thayibah, maka kata-kata itulah yang sering terdengar oleh anaknya dan menjadi akrab ke hati anak, lalu menjadi bagian dari kepribadiannya. Sedangkan sentuhan, pencicipan dan penciuman bersama-sama memberi pengaruh sebanyak 6%. Jadi pengaruh terbesar adalah lewat penglihatan dan pendengaran, yaitu 94%. Pertumbuhan kecerdasan anak sampai umur enam tahun masih terkait kepada alat indranya. Maka dapat dikatakan bahwa anak pada umur 0-6 tahun berpikir indrawi. Artinya anak belum mampu memahami hal yang maknawi (abstrak). Oleh karena itu pendidikan, pembinaan iman dan takwa anak, belum dapat menggunakan kata-kata (verbal), akan tetapi diperlukan contoh, teladan, pembiasaan dan latihan yang terlaksana dalam keluarga sesuai dengan pertumbuhan dan perkembangan anak, yang terjadi secara alamiah. Kecenderungan meniru dan unsur identifikasi dalam jiwa anak, akan membawanya kepada meniru orang tuanya, bahkan umur satu setengah tahun mungkin akan ikut-ikutan shalat bersama orang tuanya, hanya sekedar meniru gerakan mereka, mengucapkan kata-kata thayibah, atau doa-doa dan membaca surat-surat pendek dari al-Qur’an.25 Kebiasaan orang tua membaca bismillah dan alhamdulilah ketika menolong anak waktu makan-minum, ganti pakaian, buang air, dan sebagainya, akan mendorong anak untuk meniru lebih banyak lagi, karena kata tersebut berkaitan erat dengan pemenuhan kebutuhan anak waktu makan, minum dan sebagainya. Setelah anak masuk sekolah, mulai dari Taman Kanak-Kanak, Sekolah Dasar dan Sekolah Lanjutan, orang tua harus tetap menunjukkan kepeduliannya terhadap perkembangan keimanan dan amal ibadah anak. Kepedulian itu dapat ditunjukkan dalam bentuk pertanyaan, diskusi atau memperhatikan sikap dan perilakunya. Terkadang anak dalam menghadapi hal-hal baru atau berbeda dengan apa yang biasa dialaminya dalam keluarga,
25
Zakiah Daradjat, Pendidikan Islam dalam Keluarga dan Sekolah…, h. 56-57
71
maka keraguan atau kemungkinan terjadinya kecemasan pada anak, segera dapat dihilangkan.26 b) Pembinaan Akhlak Akhlak adalah implementasi dari iman dalam segala bentuk perilaku. Di antara contoh akhlak yang diajarkan oleh Luqman kepada anaknya adalah: (1) Akhlak anak terhadap kedua ibu-bapak. (2) Akhlak terhadap orang lain. (3) Akhlak dalam penampilan diri.27 Sebagaimana tergambar di dalam surat Luqman ayat 14, 15, 18 dan 19. (1) Akhlak terhadap ibu-bapak, dengan berbuat dan berterima kasih kepada keduanya. Dan diingatkan Allah, bagaimana susah dan payahnya ibu mengandung dan menyusukan anak sampai umur dua tahun:
“Dan Kami perintahkan kepada manusia (agar berbuat baik) kepada kedua orang tuanya. Ibunya telah mengandungnya dalam keadaan lemah yang bertambah-tambah, dan menyapihnya dalam usia dua tahun. Bersyukurlah kepada-Ku dan kepada kedua orangtuamu. Hanya kepada Aku kembalimu.” (QS. Lukman: 14).28 Bahkan anak harus tetap hormat dan memperlakukan kedua orang tuanya dengan baik, kendatipun mereka mempersekutukan Tuhan, hanya
yang
dilarang
adalah
mengikuti
ajakan
mereka
meninggalkan iman-tauhid.
26
Zakiah Daradjat, Pendidikan Islam dalam Keluarga dan Sekolah…, h. 57-58 Zakiah Daradjat, Pendidikan Islam dalam Keluarga dan Sekolah…, h. 58 28 Departemen Agama RI, al-Qur’an dan Terjemahannya…, h. 412 27
untuk
72
“Dan jika keduanya memaksamu untuk mempersekutukan Aku dengan sesuatu yang engkau tidak mempunyai ilmu tentang itu, maka janganlah engkau menaati keduanya, dan pergaulilah keduanya di dunia dengan baik, dan ikutilah jalan orang yang kembali kepada-Ku. Kemudian hanya kepada-Ku tempat kembalimu, maka akan Aku beritahukan kepadamu apa yang telah kamu kerjakan.” (QS. Luqman: 15). (2) Akhlak terhadap orang lain, adalah adab, sopan santun dalam bergaul, tidak sombong dan tidak angkuh, serta berjalan sederhana dan bersuara lembut.
“Dan janganlah kamu memalingkan wajah dari manusia (karena sombong) dan janganlah kamu berjalan di muka bumi dengan angkuh. Sungguh, Allah tidak menyukai orang-orang yang sombong dan membanggakan diri. Dan sederhanakanlah dalam berjalan dan lunakkanlah suaramu. Sesungguhnya seburuk-buruk suara ialah suara keledai.” (QS. Luqman: 18-19).29 Pendidikan akhlak dalam keluarga dilaksanakan dengan contoh dan teladan dari orang tua. Perilaku dan sopan santun orang dalam hubungan dan pergaulan antara ibu dan bapak, perlakuan orang tua terhadap anak-anak mereka, dan perlakuan orang tua terhadap orang lain dalam lingkungan keluarga dan lingkungan masyarakat, akan menjadi teladan bagi anak-anak. Anak memperhatikan sikap orang tua dalam menghadapi masalah, ada yang berjalan dengan gaya bapak yang dikaguminya atau gaya ibu yang disayanginya. Perkataan dan cara berbicara, bahkan gaya menanggapi teman-teman atau orang lain, terpengaruh oleh orang 29
Departemen Agama RI, al-Qur’an dan Terjemahannya…, h. 412
73
tuanya. Juga cara mengungkapkan emosi, marah, gembira, sedih dan sebagainya, dipelajari pula dari orang tuanya. Adapun akhlak, sopan santun dan cara menghadapi orang tuanya, banyak tergantung kepada sikap orang tua terhadap anak. Apabila anak merasa terpenuhi semua kebutuhan (jasmani, kejiwaan dan sosial), maka anak akan sayang, menghargai dan menghormati orang tuanya. Akan tetapi apabila anak merasa terhalang pemenuhan kebutuhannya oleh orang tuanya, misalnya ia merasa tidak disayangi atau dibenci, suasana dalam keluarga yang tidak tenteram, sering kali menyebabkannya takut dan tertekan oleh perlakuan orang tuanya, atau orang tuanya tidak adil dalam mendidik dan memperlakukan anak-anaknya, maka perilaku anak tersebut boleh jadi bertentangan dengan yang diharapkan oleh orang tuanya,
karena
menyenangkan itu.
ia
tidak
mau
menerima
keadaan
yang tidak
30
c) Pembinaan Ibadah dan Agama Pembinaan ketaatan beribadah anak, juga mulai dalam keluarga. Anak yang masih kecil, kegiatan ibadah yang lebih menarik baginya adalah yang mengandung gerak, sedangkan pengertian tentang ajaran agama belum dapat dipahaminya. Karena itu, ajaran agama yang abstrak tidak menarik perhatiannya. Anak-anak suka melakukan shalat, meniru orang tuanya, kendatipun ia tidak mengerti apa yang dilakukannya. Pengalaman keagamaan yang menarik bagi anak di antaranya shalat berjamaah, lebihlebih lagi bila ia ikut shalat di dalam shaf berjamaah bersama orang dewasa. Di samping itu anak senang melihat dan berada dalam tempat ibadah (masjid, mushalla, surau dan sebagainya) yang bagus, rapi dan dihiasi dengan lukisan atau tulisan yang indah. Pengalaman ibadah yang tidak mudah dilupakan anak, suasana shalat tarawih pada bulan Ramadhan di masjid tempat ia tinggal dan shalat hari raya. Pada bulan ramadhan anak-anak senang ikut berpuasa dengan orang 30
Zakiah Daradjat, Pendidikan Islam dalam Keluarga dan Sekolah…, h. 60
74
tuanya, walaupun ia belum kuat untuk melaksanakan ibadah puasa sehari penuh. Kegembiraan yang dirasakannya karena dapat berbuka puasa bersama dengan ibu-bapak dan seluruh anggota keluarga, setelah itu mereka bergegas shalat Maghrib, kemudian pergi ke masjid atau langgar bersama teman-temannya untuk melakukan shalat tarawih, amat menyenangkan bagi anak-anak dan remaja. Anak-anak yang masih kecil, umur antara 2-5 tahun pun ikut gembira untuk melakukan shalat tarawih, walaupun mereka belum mampu duduk atau berdiri lama, seperti orang dewasa, namun pengalaman tersebut, amat penting bagi pembentukan sikap positif terhadap agama dan merupakan unsur-unsur positif dalam pembentukan kepribadiannya yang sedang tumbuh dan berkembang.31 Zakiah Daradjat mengatakan “kalau waktu saya kecil dulu, saya kan anak pertama, dibuatkanlah oleh ibu mukna kecil terus adik-adik tiga orang laki-laki dibuatkan sarung kecil. Ini adalah sesuatu yang baik untuk dilakukan sebagai upaya penanaman rasa agama pada anak sejak kecil. Ketika makan atau melakukan sesuatu perbuatan orang tua selalu memulai dengan ucapan bismillah, anak awalnya tidak mengerti dengan apa yang diucapkan orang tua, tapi karena ia selalu mendengar kata-kata yang baik maka akan dicontoh oleh anak karena anak mengikuti orang yang paling terdekat yaitu orang tua dan keluarganya.” Jadi kepribadian anak akan terwujud.32 Sebagaimana Luqman menggambarkan ketika menyuruh anaknya untuk shalat.
“Wahai anakku! Laksanakanlah salat dan suruhlah (manusia) berbuat yang makruf dan cegahlah (mereka) dari yang mungkar dan
31
Zakiah Daradjat, Pendidikan Islam dalam Keluarga dan Sekolah…, h. 60-61 Hasil wawancara penulis dengan Prof. Dr. Zakiah Daradjat pada hari Senin 04 April 2011 pukul 17:18-18:08 WIB di kediaman beliau, juga pada hari Rabu 12 April 2011 pukul 11:1011:50 WIB di kampus UIN Syarif Hidayatullah Jakarta. 32
75
bersabarlah terhadap apa yang menimpamu, sesungguhnya yang demikian itu termasuk yang penting.”(QS. Luqman: 17).33 Pelaksanaan perintah tersebut bagi anak-anak adalah dengan persuasi, mengajak dan membimbing mereka untuk melakukan shalat. Jika anak-anak telah terbiasa shalat dalam keluarga, maka kebiasaan tersebut terbawa sampai dewasa, bahkan sampai tua.34 d) Pembinaan Kepribadian dan Sosial Anak Pembentukan kepribadian terjadi dalam masa yang panjang, mulai sejak dalam kandungan sampai umur 21 tahun. Pembentukan kepribadian berkaitan erat dengan pembinaan iman dan akhlak. Secara umum para pakar kejiwaan berpendapat, bahwa kepribadian merupakan suatu mekanisme yang mengendalikan dan mengarahkan sikap dan perilaku seseorang. Apabila kepribadian seseorang kuat, maka sikapnya tegas, tidak mudah terpengaruh oleh bujukan dan faktor-faktor yang datang dari luar, serta ia bertanggung jawab atas ucapan dan perbuatannya. Dan sebaliknya, apabila kepribadiannya lemah, maka ia mudah terombang-ambing oleh berbagai faktor dan pengaruh dari luar. Terbentuknya kepribadian melalui semua pengalaman dan nilai-nilai yang diserapnya dalam pertumbuhan dan perkembangannya. Apabila nilainilai agama banyak masuk ke dalam pembentukan kepribadian seseorang, maka tingkah laku orang tersebut akan banyak diarahkan dan dikendalikan oleh nilai-nilai agama. Disinilah letak pentingnya pengalaman dan pendidikan agama pada masa-masa pertumbuhan dan perkembangan seseorang. Nilai-nilai agama yang terkandung dalam cara Luqman mendidik anaknya, mulai dari penampilan pribadi Luqman yang beriman, beramal saleh, bersyukur kepada Allah dan bijaksana dalam segala hal.
33 34
Departemen Agama RI, al-Qur’an dan Terjemahannya…, h. 412 Zakiah Daradjat, Pendidikan Islam dalam Keluarga dan Sekolah…, h. 62
76
Yang Luqman lakukan dalam mendidik dan mengingatkan anaknya adalah kebulatan iman kepada Allah semata, akhlak sopan santun terhadap kedua orang tua, dan kepada semua manusia, serta taat beribadah. Secara khusus ditanamkan kepada anaknya kesadaran akan pengawasan Allah terhadap semua manusia dan makhluk-Nya, baik yang terlihat maupun yang tersembunyi di manapun, di langit maupun di bumi, 35 sebagaimana firman Allah:
“(Lukman berkata), “Wahai anakku! Sungguh, jika ada (sesuatu perbuatan) seberat biji sawi, dan berada dalam batu atau langit atau di bumi, niscaya Allah akan memberinya (balasan). Sesungguhnya Allah Maha Halus, Maha Teliti.” (QS. Luqman: 16).36 Dengan kesadaran akan pengawasan Allah yang tumbuh dan berkembang dalam pribadi anak, maka akan masuklah unsur pengendali terkuat di dalamnya. Ditambah dengan unsur akhlak yang mengajak orang untuk berbuat baik dan menjauhi yang mungkar, serta sifat sabar dalam menghadapi berbagai musibah dan keadaan. Selanjutnya kepribadian tersebut hendaknya dihiasi pula dengan sifat-sifat yang menyenangkan yaitu semua perilaku baik dan diridhai oleh Allah SWT yang dihayati di dalam hati. Menghayati sesuatu berarti menjadikannya bagian dari kepribadian, menyatu dan tidak terpisahkan lagi. Jadi menghayati akhlak mahmudah berarti semua bentuk dari akhlak mahmudah yang telah diketahui masuk menjadi bagian dari pribadi, dan tidak terpisahkan lagi. Yang berakibat selanjutnya adalah pandangan hidup, cara berpikir dan bersikap akan dipengaruhi oleh sesuatu yang telah dihayati. 37 Hingga terhindar dari timbulnya egoistis yang bermuara pada tumbuhnya sikap angkuh dan sombong pada diri sendiri, yang akhirnya memandang rendah orang lain
35
Zakiah Daradjat, Pendidikan Islam dalam Keluarga dan Sekolah…, h. 62-63 Departemen Agama RI, al-Qur’an dan Terjemahannya…, h. 412 37 Zakiah Daradjat, Pendidikan Islam dalam Keluarga dan Sekolah…, h. 69-72 36
77
sekaligue tumbuhlah cikal bakal mafsadah (kerusakan) di muka bumi.38 Firman Allah:
“Dan janganlah kamu memalingkan wajah dari manusia (karena sombong) dan janganlah kamu berjalan di muka bumi dengan angkuh. Sungguh, Allah tidak menyukai orang-orang yang sombong dan membanggakan diri.” (QS. Luqman: 18).39 Maka keutuhan pribadi muslim yang dinasihatkan oleh Luqman adalah pribadi beriman, taat beribadah, teguh pendirian, pandai bergaul, ramah dan mempunyai kepedulian terhadap masyarakat. Pada umumnya para pendidik muslim menjadikan nasihat Luqman terhadap anaknya, sebagai dasar pendidikan Islam. Pribadi Luqman sebagai sosok seorang bapak yang terpilih untuk menjadi teladan bagi anak-anaknya, yang seluruh penampilan iman, Islam dan akhlaknya dapat diserap oleh anaknya pada tahun-tahun pertama dari umurnya (0-6 tahun). Intisari dari nasihat Luqman adalah tentang pembinaan iman, (tauhid), amal saleh (ibadah), akhlak terpuji dan kepribadian yang sehat, kuat dan penuh kepedulian terhadap masyarakat. Para pendidik muslim masih perlu mengkaji dan mengolah prinsipprinsip pendidikan Luqman dengan berbagai teori pendidikan dan psikologi yang ada, untuk kemudian keluar dengan suatu teori pendidikan Islam yang mudah dilaksanakan dalam keluarga, sekolah dan masyarakat.40 3) Peran Keluarga dalam Pendidikan Agama pada Anak Begitu besar dan ampuh arti agama bagi manusia dalam kehidupannya. Fungsi agama bagi manusia antara lain adalah: a) Agama memberikan bimbingan dalam hidup manusia.
38
Samsul Nizar, Dasar-Dasar Pemikiran Pendidikan Islam, (Jakarta: Gaya Media Pratama, 2001), Cet. I, h. 70-71 39 Departemen Agama RI, al-Qur’an dan Terjemahannya…, h. 412 40 Zakiah Daradjat, Pendidikan Islam dalam Keluarga dan Sekolah…, h. 63-64
78
b) Agama menolong dalam menghadapi kesukaran. c) Agama menentramkan batin manusia.41 Agama memberikan bimbingan hidup dari yang terkecil sampai yang terbesar, mulai dari kehidupan pribadi, keluarga, masyarakat, dan hubungan dengan Allah, bahkan dengan alam semesta dan makhluk hidup lain. Kesukaran yang paling sering dihadapi oleh manusia adalah kekecewaan. Jika kekecewaan sering dihadapi akan membawa orang kepada perasaan rendah diri, pesimis, dan apatis dalam hidupnya dan akan menggelisahkan batinnya. Jika kekecewaan menimpa orang yang benarbenar menjalankan agamanya, ia tidak akan putus asa, tapi akan bersikap tenang, ingat kepada Tuhan, dan dapat menganalisa faktor-faktor penyebab kekecewaan sehingga dapat menghindari gangguan perasaan atau gangguan jiwa akibat kekecewaan itu. Bagi jiwa yang gelisah, agama akan memberi jalan dan siraman penenang hati. Tidak sedikit orang yang kebingungan dalam hidup selama tidak beragama, tetapi setelah mengenal dan menjalankan agama, ketenangan jiwa pun datang. Agama sangat penting bagi manusia dalam menjalani hidup, baik bagi orang tua, maupun bagi anak-anak. Bagi anakanak, agama merupakan bibit terbaik yang diperlukan dalam pembinaan kepribadiannya.42 Dalam Islam penyemaian rasa agama dimulai sejak pertemuan ibu dan bapak yang membuahkan janin dalam kandungan, yang dimulai dengan doa kepada Allah. Selanjutnya memanjat doa dan harapan kepada Allah, agar janinnya kelak lahir dan besar menjadi anak saleh. Begitu si anak lahir, dibisikkan ketelinganya kalimat adzan dan iqamah, dengan harapan kata-kata thayibah yang pertama kali didengar anak kemudian ia akan berulang kali mendengarnya, setiap waktu shalat tiba, baik
41
Zakiah Daradjat, Peranan Agama dalam Kesehatan Mental, (Jakarta: PT. Gunung Agung, 1982), Cet. VI, h. 56-62 42 Zakiah Daradjat, Peranan Agama dalam Kesehatan Mental, (Jakarta: PT. Gunung Agung, 1982), Cet. VI, h. 56-62
79
didengar di rumahnya atau pun di luar rumah. Kata-kata thayibah dan katakata lain yang berisikan jiwa agama, akan sering didengar oleh anak melalui ibunya, waktu ia disusukan, dimandikan, ditidurkan dan diganti pakaian oleh ibunya. Ia mendengar kata-kata thayibah ketika sedang memperoleh pemenuhan kebutuhan pokok. Pengalaman yang seperti itu akan menyuburkan tumbuhnya rasa agama dalam jiwa anak, dan akan tetap hidup dalam jiwanya. Jika ia melihat ibu dan bapaknya shalat, ia pun akan menyerap apa yang dilihatnya, lebih-lebih lagi jika disertai dengan kata-kata yang bernafaskan agama. Agama bukan ibadah saja. Agama mengatur seluruh segi kehidupan. Semua penampilan ibu dan bapak dalam kehidupan sehari-hari yang disaksikan dan dialami oleh anak bernafaskan agama, di samping latihan dan pembiasaan tentang agama, perlu dilaksanakan sejak kecil, sesuai pertumbuhan dan perkembangan jiwanya. Apabila anak tidak mendapatkan pendidikan, latihan dan pembiasaan keagamaan waktu kecil, ia akan besar dengan sikap acuh atau anti agama.43 Anak mengenal Tuhan, melalui ucapan ibunya waktu ia kecil. Apapun yang dikatakan ibunya tentang Tuhan, akan diterima dan dibawanya sampai dewasa. Oleh karena itu ibu perlu berhati-hati menjawab pertanyaan anak tentang Tuhan atau pokok-pokok keimanan lainnya. Jika ibu salah menjelaskannya, maka konsep agama yang salah itu akan tumbuh dan berkembang dalam jiwa anak nantinya. Dalam memperkenalkan sifat-sifat Allah kepada anak, hendaknya didahulukan sifat-sifat Allah yang mendekatkan hatinya kepada Allah, misalnya Penyayang, Pengasih, Pemurah, Adil dan sebagainya, pada umur anak belum mencapai 12 tahun. Kualitas hubungan anak dan orang tuanya, akan mempengaruhi keyakinan beragamanya di kemudian hari. Apabila ia merasa disayang dan diperlakukan adil, maka ia akan meniru orang tuanya dan menyerap agama dan nilai-nilai yang dianut oleh orang tuanya. Jika yang tejadi sebaliknya, 43
Zakiah Daradjat, Pendidikan Islam dalam Keluarga dan Sekolah…, h. 64-65
80
maka ia akan menjauhi apa yang diharapkan orang tuanya, mungkin ia tidak mau melaksanakan ajaran agama dalam hidupnya, tidak shalat, tidak puasa dan sebagainya.44 Tidak semua orang tua, terutama ibu, mampu mengajarkan agama kepada anak-anaknya. Tugas pemberian pelajaran dan pengetahuan tentang agama yang lebih luas dan beragam, agalah guru agama di sekolah. Tetapi yang mempengaruhi pertumbuhan dan perkembangan agama pada anak sekolah bukan hanya guru agama saja. Guru atau pegawai lainnya ada hubungannya dengan anak. Begitu juga dengan iklim yang terdapat di sekolah. Semakin kecil umur anak, semakin besar pengaruh guru terhadap anak. Dewasa ini kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi telah banyak membawa kemudahan hidup, termasuk televisi yang sudah merambah masuk ke rumah-rumah di seluruh pelosok tanah air, mulai dari kota sampai ke desa-desa, bahkan sampai desa terpencil. Maka apa saja yang ditayangkan di TV dapat disaksikan oleh anak-anak, termasuk anak yang masih di bawah umur lima tahun. Anak akan menyerap apa yang disaksikan lewat layar kaca yang ada di rumahnya, matanya melihat dan menangkap apa yang ditayangkan, dan telinganya mendengar dan menyerap apa yang diucapkan oleh penyair, penyanyi, atau film yang ditayangkan. Semua akan terserap oleh anak dan menjadi unsur-unsur dalam pribadinya yang sedang dalam proses pertumbuhan. Jika yang ditayangkan oleh TV baik dan menunjang pembentukan iman dan takwa, maka peranannya dalam pembentukan pribadi dan identitas agama pada anak akan besar. Sebaliknya, jika yang ditayangkan tidak mendukung atau merusak nilai-nilai agama, maka anak juga akan menyerap nilai-nilai yang merusak tersebut, selanjutnya pribadinya akan diliputi pula oleh hal-hal yang merusak iman dan penampilan diri anak akan jauh dari agama. 44
Zakiah Daradjat, Pendidikan Islam dalam Keluarga dan Sekolah…, h. 66
81
Perkembangan sikap sosial pada anak terbentuk mulai di dalam keluarga. Orang tua yang penyayang, lemah lembut, adil dan bijaksana, akan menumbuhkan sikap sosial yang menyenangkan pada anak. Ia akan terlihat ramah, gembira dan segera akrab dengan orang lain. Karena ia merasa diterima dan disayangi oleh orang tuanya, maka akan tumbuh pada dirinya rasa percaya diri dan percaya terhadap lingkungannya, hal yang menunjang terbentuknya pribadi yang menyenangkan dan suka bergaul. Demikian pula jika sebaliknya orang tua keras, kurang perhatian kepada anak dan kurang akrab, sering bertengkar antara satu sama lain (ibu-bapak), maka anak akan berkembang menjadi anak yang kurang pandai bergaul, menjauh dari temantemannya, mengisolasi diri dan mudah terangsang untuk berkelahi, pribadi negatif, yang condong kepada curiga dan antipati terhadap lingkungannya. 45 4) Peran Keluarga dalam Pembentukan Sifat-Sifat Terpuji pada Anak. Dalam ajaran Islam, akhlak tidak dapat dipisahkan dari iman. Iman merupakan pengakuan hati, dan akhlak adalah pantulan iman pada perilaku, ucapan dan sikap. Iman adalah maknawi, sedangkan akhlak adalah bukti keimanan dalam perbuatan, yang dilakukan dengan kesadaran dan karena Allah semata. Dalam al-Qur’an banyak ayat-ayat yang mendorong manusia untuk beriman dan beramal saleh dengan berbagai janji,46 di antaranya:
“Dan sampaikanlah berita gembira kepada mereka orang-orang yang beriman dan berbuat kebajikan, bahwa untuk mereka (disediakan) surga-surga yang mengalir di bawahnya sungaisungai….” (QS. Al-Baqarah: 25).47
45
Zakiah Daradjat, Pendidikan Islam dalam Keluarga dan Sekolah…, h. 67 Zakiah Daradjat, Pendidikan Islam dalam Keluarga dan Sekolah…, h. 67 47 Departemen Agama RI, al-Qur’an dan Terjemahannya…, h. 5 46
82
“Sesungguhnya orang-orang yang beriman dan mengerjakan kebajikan, niscaya diberi petunjuk oleh Tuhan karena keimanannya ….” (QS. Yunus: 9).48
“Maka orang-orang yang beriman dan mengerjakan kebajikan, mereka memperoleh ampunan dan rezeki yang mulia.” (QS. Al-Haj: 50).49
“... Allah menjanjikan kepada orang-orang yang beriman dan mengerjakan kebajikan di antara mereka, ampunan dan pahala besar.”(QS. Al-Fath: 29).50 Dorongan Allah kepada manusia adalah agar beriman kepada-Nya dan mengerjakan amal saleh (perbuatan terpuji), dengan janji akan mendapatkan surga di akhirat nanti, dikeluarkan dari kegelapan menuju tempat yang terang benderang, memperoleh bimbingan atau petunjuk Allah dalam menjalani kehidupan, meraih ampunan, pahala dan rezeki dari Allah. Janji Allah terhadap orang yang beriman dan mengerjakan amal saleh jika ditinjau dari sudut pandang psikologi, semuanya membawa kepada ketenteraman batin dan kesehatan mental. Janji akan mendapatkan surga di akhirat nanti memberikan kepastian bagi orang yang merasa akan mati. Biasanya orang menjadi gelisah bila ia tidak tahu kemana ia setelah mati nanti.51 Dalam kehidupan duniawi, orang merasa lega bila dia merasa dibimbing dan diberi hidayah oleh Allah. Sebaliknya, kehidupan yang jauh dari petunjuk dan bimbingan Allah, menjadikan manusia gelisah, terbentur dan tersendat-sendat dalam menjalani kehidupannya. Bimbang dan ragu, dalam istilah kejiwaan, disebut mudah terjatuh kepada konflik batin. Adapun
48
Departemen Agama RI, al-Qur’an dan Terjemahannya…, h. 209 Departemen Agama RI, al-Qur’an dan Terjemahannya…, h. 338 50 Departemen Agama RI, al-Qur’an dan Terjemahannya…, h. 515 51 Zakiah Daradjat, Pendidikan Islam dalam Keluarga dan Sekolah…, h. 69 49
83
merasa diampuni Allah terhadap dosa-dosa yang pernah dilakukan, adalah salah satu obat bagi gangguan kejiwaan. Seseorang yang merasa berdosa atau bersalah, merupakan salah satu penyebab dari gangguan dan penyakit kejiwaan. Sedangkan pahala atau imbalan terhadap apa yang dikerjakan, merupakan harapan setiap manusia. Namun, tidak semua perbuatan baik manusia mendapat imbalan langsung di dunia, karena tidak semua orang yang memperoleh bantuan atau jasa orang lain, mampu membalasnya dengan setimpal. Karena imbalan yang pasti adalah yang datang dari Allah. Allah tidak menyia-nyiakan amal saleh seseorang, betapapun kecilnya, akan ditentukan nanti di akhirat. Janji Allah akan membalas setiap amal saleh dengan pahala yang berlipat ganda, akan menjadikan manusia beramal dengan ikhlas tanpa mengharapkan balasan dari orang yang ditolongnya, atau yang disebut dengan istilah tanpa pamrih. Adapun rezeki yang dijanjikan Allah bagi orang yang beriman dan beramal saleh, menjadikan manusia terjauh dari sifat loba dan tamak, yang sering menyeretnya kepada perbuatan salah dan menyimpang. Dalam alQur’an disebutkan bentuk-bentuk amal saleh, yang sifatnya sebagai pengendali bagi perilaku manusia, seperti sifat jujur, benar, pemaaf, ikhlas, sabar, istiqamah, lemah lembut, suka menolong dan sebagainya. Semuanya menjadi pengendali dari sikap dan perilaku manusia. Suatu janji yang juga menarik bagi orang yang beriman dan mengerjakan amal saleh adalah akan dikeluarkan dari kegelapan ke dalam cahaya. Dikeluarkan dari kegelapan artinya maknawi, yaitu mereka tidak akan mengalami kekalutan, kebingungan atau gelap hati. Mereka akan selalu menjalani jalan yang terbentang, nyata, dan jelas, karena iman dan perbuatan yang baik, tidak ada yang menggoncangkan jiwanya dan tidak pula ada yang menakutkannya.52
52
Zakiah Daradjat, Pendidikan Islam dalam Keluarga dan Sekolah…, h. 69-70
84
b. Fungsi Sekolah dalam Pendidikan Agama Islam pada Anak Menurut Prof. Dr. Zakiah Daradjat. Lembaga pendidikan yang melaksanakan pembinaan pendidikan dan pengajaran dengan sengaja, teratur dan terencana adalah sekolah. Sekolah adalah tempat anak-anak berlatih dan menumbuhkan kepribadiannya. Sekolah bukanlah sekedar tempat untuk menuangkan ilmu pengetahuan ke otak murid, tetapi sekolah juga harus dapat mendidik dan membina kepribadian anak, di samping memberikan pengetahuan kepadanya. Karena itu, adalah kewajiban sekolah untuk ikut membimbing anak dalam menyelesaikan dan menghadapi kesukaran-kesukaran dalam hidup. Sikap anak terhadap agama dibentuk pertama kali di rumah, kemudian disempurnakan oleh guru di sekolah. Guru agama harus bisa membuat dirinya disayangi oleh murid, karena dengan hal itu akan mudah bagi guru agama membina sikap positif pada siswa. Guru harus mampu memahami perkembangan jiwa dan kebutuhan siswa, dan melaksanakan pendidikan agama sesuai dengan umur anak. Guru adalah orang pertama sesudah orang tua yang mempengaruhi pembinaan kepribadian anak, dan bagi anak didik guru adalah contoh teladan yang sangat penting dalam pertumbuhannya. Kalau tingkah laku dan akhlak guru tidak baik, maka pada umumnya akhlak anak didik akan rusak olehnya, karena anak mudah terpengaruh oleh orang yang dikaguminya. 53 Pembinaan dan pendidikan kepribadian anak yang telah dimulai dari rumah, harus dapat dilanjutkan dan disempurnakan oleh sekolah. Banyak kesukaran-kesukaran yang dihadapi oleh anak-anak ketika mulai masuk sekolah, masuk kedalam lingkungan yang baru, yang berbeda dari rumah. Sekolah mempunyai peraturan-peraturan yang harus dipatuhi dan mempunyai laranganlarangan yang harus diindahkan.54 Jenjang pendidikan sekolah anak adalah:
53
Hasil wawancara penulis dengan Prof. Dr. Zakiah Daradjat pada hari Senin 04 April 2011 pukul 17:18-18:08 WIB di kediaman beliau, juga pada hari Rabu 12 April 2011 pukul 11:1011:50 WIB di kampus UIN Syarif Hidayatullah Jakarta. 54 Zakiah Daradjat, Kesehatan Mental, (Jakarta: PT. Gunung Agung, 1985), Cet. XII, h. 71
85
1) Taman Kanak-kanak Semakin kecil anak, maka semakin besar pengaruh guru terhadapnya. Anak yang masih kecil, terutama pada umur Taman Kanak-Kanak, belum mampu berpikir abstrak, mereka lebih banyak meniru dan menyerap pengalaman lewat panca inderanya. Pada umur Taman Kanak-Kanak anak lebih tertarik kepada guru yang ramah, penyayang dan memperhatikannya, bahkan terkadang anak lebih mengagumi dan menyayangi gurunya dari pada orang tuanya, terutama mereka yang kurang mendapatkan kasih sayang dari orang tuanya. Selain guru, semua yang ada di Taman Kanak-Kanak memberi pengaruh pembentukan jiwa agama anak, akhlak dan kepribadiannya. Gambar yang tergantung di dinding dan macam-macamnya dalam kelas, permainan yang ada di dalam kelas maupun di luar kelas, apapun yang dapat dilihat oleh anak, merupakan pendidikan dan pembentukan pengalaman dan pembinaan akhlak dan agama anak.55 Anak yang belum tumbuh pemikiran logisnya, baginya gambar-gambar yang ada tidak berbeda, baik hewan, besar, kecil, atau patung manusia, hewan, semuanya mempunyai arti bagi anak. Sesuatu yang tampil mengagumkan, akan dipandangnya sebagai sesuatu yang hebat. Begitu pula sebaliknya, sesuatu yang terlihat kerdil, remeh atau buruk, anak akan menyangka dalam kenyataan semua itu memang kerdil, remeh dan buruk. Oleh karena itu, guru di Taman Kanak-Kanak, harus jeli dan menyadari hal tersebut, supaya pemilihan permainan yang akan diberikan kepada anak di kelas maupun di lingkungan sekolah mendorong anak untuk tertarik dan kagum kepada agama Islam. Sehingga anak gembira dan bangga menjadi orang Islam. Lebih baik lagi jika lokasi Taman Kanak-kanak terletak dekat masjid, yang kondisinya indah, menarik dan ramai dikunjungi oleh jamaah. Peranan guru terhadap anak-anak Taman Kanak-Kanak umur pra sekolah sangat penting, penampilan guru, dari agamanya, keyakinannya, akhlaknya, cara berjalan, berbicara, memperlakukan anak didik dan sebagainya, 55
Zakiah Daradjat, Pendidikan Islam dalam Keluarga dan Sekolah…, h. 78
86
diserap oleh anak yang mulai mengembangkan pribadinya lewat pengalaman di luar keluarga. Gurulah yang memperlakukan dan melatih anak didik menurut teori perkembangan anak, sedangkan orang tua memperlakukan anaknya sesuai dengan pengetahuan dan pengalaman yang ada padanya. Jika guru memperkenalkan kepada anak alam raya, tumbuh-tumbuhan, binatang, tanah dan sebagainya, sebagai ciptaan Allah, maka tanpa diajarkan anak akan kagum dan rindu kepada Allah sang pencipta. Kecintaan kepada Allah akan ditunjang pula dengan doa-doa dan lagu-lagu pujian terhadap-Nya. Gambar-gambar, permainan, bacaan sederhana, cerita tentang anak-anak yang berakhlak baik, yang saleh, membentuk identitas anak muslim. Anak-anak pada umur 3-6 tahun tertarik kepada cerita-cerita pendek yang berkisah tentang peristiwa yang sering dialaminya atau dekat dengan kehidupannya sehari-hari. Hal tersebut sangat membantu perkembangan jiwa keagamaannya, terlebih karena anak pada masa kanak-kanak awal, condong kepada meniru.56 2) Sekolah Dasar Pada umur Sekolah Dasar pertumbuhan fisik anak berjalan wajar dan hampir sama
pada
semua anak. Pertumbuhan otot-otot
halus telah
memungkinkannya untuk melakukan kegiatan yang memerlukan keserasian gerak, seperti melukis, menggambar dan melakukan gerak shalat. Anak-anak pada umur sekolah (6-12 tahun) berbeda dengan kanak-kanak dibawah umur enam tahun. Anak-anak umur 6-12 tahun, ditandai dengan perkembangan kecerdasan cepat. Umur tujuh tahun pemikiran logis terus tumbuh dan berkembang dengan cepat sampai umur 12 tahun, di mana anak telah mampu memahami hal yang abstrak. Karena itu, pada usia Sekolah Dasar, anak telah mampu memahami pelajaran yang memerlukan pemikiran, dan sudah dapat dilatih mengikuti disiplin ringan atau sederhana. Mereka suka mendengarkan cerita yang sesuai dengan perkembangan kecerdasannya, suka berfantasi, tidak jarang mereka 56
Zakiah Daradjat, Pendidikan Islam dalam Keluarga dan Sekolah…, h. 78-79
87
merasa bahwa pahlawan atau tokoh cerita adalah dirinya sendiri, atau dapat dikatakan bahwa ia mengidentifikasikan dirinya kepada tokoh cerita.57 Bagi anak-anak, cerita tidak terlalu dibedakan dari kenyataan. Keadaan ini dapat dimanfaatkan untuk membentuk dan membina identitas anak, karena ia meniru tokoh cerita yang dibaca, didengar atau dilihatnya. Oleh sebab itu, cerita anak-anak harus menyajikan tokoh-tokoh anak saleh, yang kelakuannya selalu terpuji. Jika tokoh cerita yang dikagumi oleh anak mempunyai sifat dan kelakuan yang tercela, maka anak akan meniru kelakuan yang tidak terpuji tersebut. Oleh karena itu, penyajian cerita baik dalam buku, radio, tv, film dan sebagainya haruslah menampilkan akhlak terpuji dan dihindari dari tindakan atau kelakuan yang tercela. Anak-anak sangat peka dan cepat menyerap apa yang dilihat, didengar dan dibacanya. Perkembangan anak pada umur antara 7-9 tahun condong kepada teman sebaya di mana sering terjadi pengelompokkan teman sebaya. Anak-anak sering terpengaruh oleh teman-temannya, terutama teman yang mempunyai kelebihan, seperti kepandaian, keterampilan tertentu, kekuatan anggota tubuh atau pemberani. Terkadang anak pada umur 7-9 tahun lebih suka bermain yang jaraknya jauh dari rumah untuk menghindari campur tangan orang tuanya. Kegiatan bersama seperti pramuka, kesenian, pengajian dan permainan tertentu akan disukai bila bersama teman-temannya. Umur 7-9 tahun ketergantungan anak kepada orang tua mulai berkurang, terutama umur 9 tahun. Peran guru lebih meningkat, tidak jarang anak menjadikan guru sebagai idola. Hal ini sangat penting dalam pembentukan identitas anak terutama guru kelas yang membawa kepribadian, agama, akhlak, dan sikapnya ke dalam kelas. Jika keyakinan beragama orang tua berbeda dengan keyakinan beragama guru, maka dapat menimbulkan kegoncangan jiwa pada anak, karena mereka belum mampu memilih mana yang akan diikutinya, sehingga ia terombang-ambing di antara orang tua dan gurunya. 58
57 58
Zakiah Daradjat, Pendidikan Islam dalam Keluarga dan Sekolah…, h. 79 Zakiah Daradjat, Pendidikan Islam dalam Keluarga dan Sekolah…, h. 80
88
Ketika anak masuk Sekolah Dasar, ia telah memiliki pengalaman dan pengetahuan yang membantu peletakan dasar-dasar keagamaan, akhlak dan kepribadian, sesuai dengan lingkungan keluarga yang mengasuh dan mendidiknya. Pengalaman dan pendidikan telah mewarnai pertumbuhan dan pembentukan kepribadian anak. Bagi anak yang mendapatkan pendidikan di Taman Kanak-Kanak, maka pembentukan kepribadiannya mulai terarah sesuai dengan cita-cita dan tujuan penyelenggaraan Taman Kanak-Kanak. Terutama guru yang setiap harinya membimbing selama dua jam atau lebih. Guru membawa ide, agama dan aspirasi tertentu yang digariskan oleh pemilik atau penyelenggara Taman Kanak-Kanak tersebut. Apabila cita-cita dan aspirasi yang mendasari penyelenggaraan Taman Kanak-Kanak sama dengan cita-cita dan keinginan orang tua anak, maka pertumbuhan kepribadian, agama dan akhlak anak akan berjalan lancar dan membawa kepada pertumbuhan mental yang sehat, keimanan yang baik dan akhlak yang terpuji, serta sikap yang positif terhadap agama.59 Akan tetapi, jika yang terdapat di Taman Kanak-Kanak bertentangan atau berlawanan dengan prinsip dan agama yang dianut dan dipegang oleh orang tua, maka anak mulai mengalami semacam kegoncangan dalam pembentukan pribadi dan agamanya. Boleh jadi anak mempunyai sikap positif terhadap agama dan suasana dalam keluarganya, atau menjadi negatif dan menentang apa yang diharapkan orang tuanya, atau secara diam-diam ia menyerap kedua macam agama yang ia alami di rumah dan sekolah, maka akan terjadi percampuran antara kedua agama pada diri anak, yang akan berkembang kearah konflik kejiwaan di masa yang akan datang. Guru agama di sekolah akan mengalami kesulitan jika tidak ditunjang oleh guru kelas dan guru lainnya dalam memperbaiki pengajaran agama yang kurang tepat di rumah atau di Taman Kanak-Kanak dulu, dalam rangka menjadikan anak agar tumbuh menjadi anak yang beriman dan berakhlak terpuji. Artinya, semua guru yang mengajar di Sekolah Dasar hendaknya dapat menjadi contoh teladan bagi anak didik, terutama dalam keimanan, amal saleh, 59
Zakiah Daradjat, Pendidikan Islam dalam Keluarga dan Sekolah…, h. 81
89
akhlak, dan sikap hidup serta caranya berpikir. Pendidikan agama yang dilakukan oleh semua guru secara terpadu akan memberikan hasil yang baik dan memantul dalam kehidupannya sehari-hari.60 Kepribadian
merupakan
faktor
terpenting
bagi
seorang
guru.
Kepribadian akan menentukan apakah ia seorang pendidik dan pembina yang baik bagi anak didiknya, ataukah perusak dan penghancur bagi hari depan anak. Terutama pada usia anak Sekolah Dasar yang sedang mengalami kegoncangan jiwa.61 Dalam pemilihan materi pendidikan agama yang diberikan di Sekolah Dasar harus disesuaikan dengan perkembangan jiwa anak didik, dengan metode yang tepat dan sesuai dengan perkembangan kejiwaan anak pada umumnya, yaitu mulai dengan contoh, teladan, pembiasaan dan latihan, kemudian berangsur-angsur memberikan penjelasan secara logis dan maknawi. Pendidikan agama dan akhlak bagi anak dalam keluarga pada umur Taman Kanak-Kanak dan Sekolah Dasar masih diperlukan, walaupun di sekolah telah diberikan oleh guru agama dan guru kelas serta situasi sekolah yang menunjang. Sikap orang tua dalam melaksanakan ajaran agama ikut mempengaruhi sikap anak didik yang telah dibina oleh guru dan sekolah pada umumnya. Orang tua yang kurang melaksanakan ajaran agama dalam kehidupan sehari-hari, kurang mendorong anak untuk melaksanakan ibadah, seperti shalat misalnya, akan menimbulkan dampak negatif pada diri anak.62 Sikap orang tua kepada guru agama, pemuka agama atau ajaran agama, juga akan mempengaruhi keberagamaan anak. Jika orang tua memuji dan menunjukkan kebaikan kepada guru agama khususnya, guru sekolah umumnya dan pemuka agama, akan menambah gairah anak untuk melaksanakan kegiatan keagamaan dalam kehidupannya, dan ia akan merasa bangga terhadap agamanya. Akan tetapi, bila orang tua dan orang dewasa dalam keluarganya sering mencela agama, guru, sekolah dan tokoh agama, maka pada diri anak
60
Zakiah Daradjat, Pendidikan Islam dalam Keluarga dan Sekolah…, h. 81-82 Zakiah Daradjat, Kepribadian Guru, (Jakarta: PT. Bulan Bintang, 2005), Cet. IV, h. 11 62 Zakiah Daradjat, Pendidikan Islam dalam Keluarga dan Sekolah…, h. 83 61
90
akan tumbuh perasaan kurang menghargai agamanya, bahkan mungkin timbul sikap negatif terhadap agamanya. Keadaan masjid, mushalla, dan tempat-tempat penyelenggaraan kegiatan keagamaan, juga mempengaruhi sikap anak terhadap agamanya. Bila masjid, mushalla dan tempat-tempat kegiatan keagamaan bagus, rapi, bersih, dan menarik, anak akan merasa bahwa agamanya baik, agung dan terpandang, sebagaimana ditampilkan oleh keadaan fisik dari masjid, mushalla tersebut. Akan tetapi jika masjid, mushalla dan ruang keagamaan kurang baik, kurang bersih dan tidak teratur, atau terlalu sederhana jika dibandingkan dengan rumahrumah penduduk di sekitarnya yang tampak bagus, mewah dan amat menyenangkan, maka anak akan merasa bahwa agamanya kurang bergengsi. 63 Di sekolah, penampilan guru agama juga mempengaruhi anak didik. Jika guru agama berpenampilan rapi, necis, berwibawa, percaya diri dan air mukanya memancarkan keimanan dan ketenteraman batin, maka anak didik akan tertarik kepada guru agamanya. Anak didik akan hormat, kagum dan sayang kepadanya. Hal tersebut akan menimbulkan sikap yang lebih positif terhadap agama yang diajarkan oleh guru tersebut. Perkembangan agama pada anak di umur sekolah amat penting. Karena agama diperlukan untuk mengembangkan dirinya sebagai anak yang baik citra dirinya. Agama yang hidup dalam lingkungan masyarakat tempat anak dibesarkan sangat menentukan perkembangan pribadinya. Dalam keluarga dan lingkungan yang taat beragama, akan mengembangkan pribadi beragama pada anak. Dorongan orang tua sangat penting dalam membentuk pribadi yang beragama.64 Pendidikan agama yang diperoleh anak dari guru di sekolah, merupakan bimbingan,
latihan
dan
pelajaran
yang
dilaksanakan
sesuai
dengan
perkembangan jiwanya, akan menjadi bekal yang sangat penting bagi kehidupannya di masa yang akan datang. Pendidikan agama dan pendidikan akhlak pada umur sekolah pada anak perlu dikaitkan, karena akhlak adalah 63 64
Zakiah Daradjat, Pendidikan Islam dalam Keluarga dan Sekolah…, h. 84 Zakiah Daradjat, Pendidikan Islam dalam Keluarga dan Sekolah…, h. 85
91
refleksi dari keimanan dalam kehidupan nyata. Jika bekal keimanan dan pengetahuan agama yang sesuai dengan perkembangan jiwanya cukup mantap maka agama akan sangat menolongnya dalam bergaul, bermain, berperangai, bersikap terutama dalam belajar dan bekerja. Ketika anak berumur 7-9 tahun perkembangan jiwa kemasyarakatannya terjadi cepat, yang terkenal dengan pembentukan kelompok sebaya. Anak mulai mengembangkan diri dan daya pikirnya, serta memerlukan teman yang mempunyai pengalaman dan perasaan yang hampir sama dengannya. Sehingga mereka mendapatkan kesempatan untuk mengungkapkan diri dengan leluasa. Karena itu pengaruh teman pada usia 7-9 tahun amat besar, kadang dapat mengalahkan pengaruh orang tua, terutama orang tua yang tidak akrab dengan anak, karena kesibukan atau kurang perhatian. Orang tua dan guru hendaknya membantu anak dalam memilih teman yang baik, karena pengaruh teman sangat besar bagi anak. Ukuran baik dan buruk terdapat dalam nilai-nilai yang absolut yang tidak berubah karena keadaan, zaman, dan tempat, yang terdapat dalam agama. Kerjasama antara keluarga, sekolah dan masyarakat harus ada dan saling mendukung, tidak bertentangan, agar anak tidak kebingungan memilih mana yang harus dilakukannya.65 Anak pada umur sekolah dalam taraf pengembangan segala aspek pribadinya (agama, akhlak, pemikiran, perasaan, rasa keindahan dan kemasyarakatan), maka pengaruh luar cukup besar terhadap anak. Sebaiknya hal-hal yang kurang baik terhadap anak perlu dijauhkan, karena kemampuan anak untuk memilih mana yang baik dan berguna baginya masih sangat lemah. Perkembangan kecerdasan anak belum mampu memahami hal yang abstrak sebelum umur 12 tahun. Secara khusus latihan, pembiasaan dan penjelasan tentang sopan santun dalam pergaulan perlu diperhatikan. Seperti cara bicara dan bersikap terhadap orang tua, guru, dan orang yang lebih besar dari pada dirinya, perlu diingatkan dari waktu ke waktu sesuai dengan kebutuhan. 65
Zakiah Daradjat, Pendidikan Islam dalam Keluarga dan Sekolah…, h. 85-86
92
Cara hidup aktif, kreatif dan disiplin perlu dikembangkan sejak dini. Anak perlu dilatih bertanggung jawab atas dirinya sesuai dengan pertumbuhan dan perkembangannya. Supaya anak terbiasa dengan kehidupan yang disiplin, aktif dan kreatif sampai dewasa nantinya.66 c. Fungsi Masyarakat dalam Pendidikan Agama pada Anak Menurut Prof. Dr. Zakiah Daradjat. Masyarakat merupakan unsur pendidikan yang ketiga dalam pendidikan dan turut serta memikul tanggung jawab pendidikan. Masyarakat secara sederhana dapat diartikan sebagai kumpulan individu dan kelompok yang diikat oleh kesatuan Negara, kebudayaan dan agama. Setiap masyarakat mempunyai cita-cita, peraturan-peraturan dan sistem kekuasaan tertentu. Masyarakat mempunyai pengaruh yang besar dalam memberi arah terhadap pendidikan anak, terutama para pemimpin masyarakat atau penguasa yang ada di dalamnya. Pemimpin masyarakat muslim tentu saja menghendaki agar setiap anak dididik menjadi anggota yang taat dan patuh menjalankan agamanya, baik dalam lingkungan keluarganya, anggota sepermainannya, kelompok kelas dan sekolahnya. Jika sudah besar, anak diharapkan menjadi anggota yang baik pula sebagai warga desa, warga kota dan warga Negara. Dengan demikian, di pundak mereka terpikul keikutsertaan membimbing pertumbuhan dan perkembangan anak. Berarti pemimpin dan penguasa dari masyarakat ikut bertanggung jawab terhadap penyelenggaraan pendidikan. Sebab tanggung jawab pendidikan pada hakikatnya merupakan tanggung jawab moral dari setiap orang dewasa baik sebagai perseorangan maupun sebagai kelompok sosial. Tanggung jawab ini ditinjau dari segi ajaran Islam, secara implisit mengandung pula tanggung jawab pendidikan.67 Sebelum anak masuk sekolah, anak sudah mulai bergaul dengan masyarakat dalam arti teman sebaya yang ada di sekitar lingkungannya,
66 67
Zakiah Daradjat, Pendidikan Islam dalam Keluarga dan Sekolah…, h. 86-87 Zakiah Daradjat, Ilmu Pendidikan Islam…, h. 44-45
93
dengan ini anak berkesempatan untuk belajar bergaul, memberi dan menerima, membela diri, dan mempertahankan hak miliknya. Pengalaman yang didapatkan oleh anak dalam hidupnya sejak lahir sampai masuk sekolah merupakan unsur-unsur yang membentuk sikap dan pribadinya. Masyarakat bisa teman sebaya, teman sekolah, atau masyarakat yang ada di lingkungan tempat anak tinggal. Yang menarik bagi anak adalah yang mengadung gerak dan tidak asing bagi anak. Aktivitas yang ada di sekolah atau di masjid tempat anak tinggal sangat menarik pula jika anak ikut aktif di dalamnya. Karena anak merasa gembira bersama-sama dengan temantemannya. Pendidikan pembiasaan dalam pendidikan anak sangat penting, utamanya dalam pembentukan pribadi, akhlak dan agama. Dengan pembiasaan-pembiasaan agama akan memasukkan unsur positif dalam pribadi anak yang sedang tumbuh. Masyarakat sangat besar pengaruhnya dalam memberi arah terhadap pendidikan anak, di pundak mayarakat terpikul keikutsertaan membimbing pertumbuhan dan perkembangan anak. Karena pendidikan merupakan tanggung jawab moral dari setiap orang dewasa baik sebagai perseorangan maupun sebagai kelompok sosial. Ajaran Islam berisi ajaran tentang sikap dan tingkah laku yang tujuannya kesejahteraan individu dan masyarakat, maka pendidikan Islam adalah pendidikan individu dan masyarakat. 68 Prof. Dr. Oemar al-Toumy al-Syaibany, mengemukakan bahwa di antara ulama-ulama mutakhir yang telah menyentuh persoalan tanggung jawab adalah Abbas Mahmud al-Akkad yang menganggap rasa tanggung jawab sebagai salah satu ciri pokok bagi manusia pada pengertian al-Qur’an dan Islam, sehingga dapat ditafsirkan manusia sebagai “makhluk yang bertanggung jawab.”
68
Hasil wawancara penulis dengan Prof. Dr. Zakiah Daradjat pada hari Senin 04 April 2011 pukul 17:18-18:08 WIB di kediaman Prof. Dr. Zakiah Daradjat, dan pada hari Rabu 12 April 2011 pukul 11:10-11:50 WIB di kampus UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.
94
“Setiap orang terikat dengan apa yang dikerjakannya.” (QS. Ath-Thur: 21).69 Sekalipun Islam menekankan tanggung jawab perseorangan dan pribadi bagi manusia dan menganggapnya sebagai asas, ia tidaklah mengabaikan tanggung jawab sosial yang menjadikan masyarakat sebagai masyarakat solidaritas, terpadu dan kerjasama membina dan mempertahankan kebaikan. Semua anggota masyarakat memikul tanggung jawab membina, memakmurkan, memperbaiki, mengajak kepada kebaikan, memerintahkan yang makruf, melarang yang mungkar, di mana tanggung jawab manusia melebihi perbuatanperbuatannya
yang
khas,
perasaannya,
pikiran-pikirannya,
keputusan-
keputusannya dan maksud-maksudnya, sehingga mencakup masyarakat tempat ia hidup dan alam sekitar yang mengelilinginya. Islam tidak membebaskan manusia dari tanggung jawab tentang apa yang berlaku pada masyarakatnya dan apa yang terjadi di sekelilingnya atau terjadi dari orang lain. Terutama jika orang lain termasuk orang yang berada di bawah perintah dan pengawasannya seperti istri, anak dan lain-lain. Allah berfirman:
“Kamu (umat Islam) adalah umat terbaik yang dilahirkan untuk manusia,(karena kamu) menyuruh (berbuat) yang makruf, dan mencegah dari yang mungkar, dan beriman kepada Allah.” (QS. Ali Imran: 110).70
“Dan hendaknya di antara kamu ada segolongan orang yang menyeru kepada kebajikan, menyuruh (berbuat) yang makruf, dan mencegah dari yang mungkar. Dan mereka itulah orang-orang yang beruntung.”(QS. Ali Imran: 104).71
69
Departemen Agama RI, al-Qur’an dan Terjemahannya…, h. 524 Departemen Agama RI, al-Qur’an dan Terjemahannya…, h. 64 71 Departemen Agama RI, al-Qur’an dan Terjemahannya…, h. 63 70
95
Jelaslah bahwa tanggung jawab dalam Islam bersifat perseorangan dan sosial sekaligus. Selanjutnya siapa yang memiliki syarat-syarat tanggung jawab tidak hanya bertanggung jawab terhadap perbuatannya dan perbaikan dirinya, tetapi juga bertanggung jawab terhadap perbuatan orang-orang yang berada di bawah perintah, pengawasan, tanggungannya dan perbaikan masyarakatnya. Hal ini berlaku atas diri pribadi, istri, bapak, guru, golongan, lembaga-lembaga pendidikan dan pemerintah.72
72
Zakiah Daradjat, Ilmu Pendidikan Islam…, h. 45-47
96
BAB V KESIMPULAN DAN SARAN A. Kesimpulan Setiap pengalaman yang didapat oleh anak baik melalui penglihatan, pendengaran, maupun perlakuan yang diterimanya akan ikut menentukan perkembangan kepribadian mereka. Untuk itu peran orang tua sangat penting dalam memberikan pengaruh yang baik pada anaknya, sehingga anak menjadi sosok pribadi muslim yang bertakwa, dan semua itu dapat diberikan melalui pembiasaan, latihan, dan bimbingan secara intensif. Sebagai penutup skripsi ini penulis memberikan beberapa kesimpulan, yaitu: Pendidikan menurut Prof. Dr. Zakih Daradjat adalah pembentukan kepribadian; pendidikan Islam ini telah banyak ditujukan kepada perbaikan sikap mental yang akan terwujud dalam amal perbuatan sesuai dengan petunjuk ajaran Islam; karena itu pendidikan Islam tidak hanya bersifat teoritis tetapi juga bersifat praktis atau pendidikan Islam adalah sekaligus pendidikan iman dan pendidikan amal. Fungsi keluarga bagi pendidikan agama pada anak adalah sebagai wadah pertama pendidikan anak, sebagai peletak dasar kepribadian anak, sebagai tempat penyemaian pendidikan agama anak, keluarga tempat dalam membentuk sifatsifat terpuji pada Anak. Fungsi sekolah bagi pendidikan agama pada anak adalah melaksanaan pembinaan pendidikan dan pengajaran dengan sengaja, teratur dan terencana. Guru yang melaksanakan pembinaan, pendidikan dan pengajaran adalah orang 96
97
yang telah mengetahui tentang anak didik, dan memiliki kemampuan untuk melaksanakan tugas kependidikan. Fungsi masyarakat bagi pendidikan agama pada anak adalah memberi arah terhadap pendidikan anak, terutama para pemimpin masyarakat atau penguasa yang ada di dalamnya. Masyarakat secara sederhana dapat diartikan sebagai kumpulan individu dan kelompok yang diikat oleh kesatuan Negara, kebudayaan dan agama. Pemimpin masyarakat muslim tentu saja menghendaki agar setiap anak dididik menjadi anggota yang taat dan patuh menjalankan agamanya, baik dalam lingkungan keluarganya, anggota sepermainannya, kelompok kelas dan sekolahnya. Jika sudah besar, anak diharapkan menjadi anggota yang baik pula sebagai warga desa, warga kota dan warga Negara.
B. Saran Setelah melaksanakan penelitian dan analisa tersebut. Penulis dapat memberikan saran antara lain: 1. Bagi orang tua hendaknya berupaya mengoptimalisasikan perannya sebagai pendidik pertama dan utama bagi anak yang tentunya dilandasi dengan konsep Islam. Maka orang tua hendaknya memperioritaskan sikap-sikap tersebut untuk dikembangkan dan diajarkan pada anak-anak, serta selalu mengawasi anak-anaknya. Orang tua tidak hanya memerintahkan anak untuk shalat, puasa, dan sebagainya, tetapi harus memberikan contoh dan tauladan kepada anak. 2. Hendaknya orang tua menanamkan nilai-nilai agama pada anak sedini mungkin, karena pada saat usia anak masih kecil akan lebih mudah untuk menanamkannya, jika dibandingkan pada saat anak sudah beranjak dewasa. Hal ini sesuai dengan pepatah yang mengatakan “Belajar di waktu kecil, bagai mengukir di atas batu, belajar di waktu besar, bagai mengukir di atas air”. 3. Ketiga lembaga pendidikan baik keluarga, sekolah dan lingkungan masyarakat, hendaknya bekerja sama dalam hal pendidikan pada anak, dan jika hal ini dapat tercapai maka akan dapat membentuk manusia yang seutuhnya.
98
DAFTAR PUSTAKA Ali, Hasniyati Gani, Ilmu Pendidikan Islam, Jakarta: Quantum Teaching, Cet. I, 2008. Annahlawi,
Abdurrahman,
Pendidikan
Islam
di
Rumah,
Sekolah
dan
Masyarakat,Terj. Dari Ushulut Tarbiyah Islamiyah wa Asalibiha fil Baiti wal Madrasati wal Mujtama’ oleh Shihabuddin, Jakarta: Gema Insani Press, , Cet. I, 1995. Arief, Armai, Pengantar Ilmu dan Metodologi Pendidikan Islam, Jakarta: Ciputat Press, Cet. I, 2002. Arifin, Anwar, Memahami Paradigma Baru Pendidikan Nasional dalam UndangUndang SISDIKNAS, Jakarta: Detjen Kelembagaan Agama Islam Depag, Cet. II, 2003. Arifin M., Ilmu Pendidikan Islam, Jakarta: Bumi Aksara, Cet. V, 1996 Arifin, Muzayyin, Filsafat Pendidikan Islam, Jakarta: Bumi Aksara, Cet. VI, 2008. Atsqalani, Ibnu Hajar, Tarjamah Hadits Bulughul Maram Terj. Dari Bulughul Maram min Adilatil Ahkaam oleh Masdar Helmy, Bandung: CV. Gema Risalah Press, Cet. V, 2009. Purwakania, Hasan Aliah B., Psikologi Perkembangan Islami; Menyingkap Rentang Kehidupan Manusia dan Prakelahiran hingga Pascakematian, Jakarta: PT. Rajagrafindo Persada, 2006. Burhanudin, Jajat, ed, Ulama Perempuan Indonesia, Jakarta: PT. Gramedia Pustaka Utama, 2002. Daradjat, Zakiah, Ilmu Jiwa Agama, Jakarta: PT. Bulan Bintang, Cet. XVII, 2005.
98
99
_____, dkk, Ilmu Pendidikan Islam, Jakarta: Bumi Aksara, Cet. III, 1996. _____, Kepribadian Guru, Jakarta: PT. Bulan Bintang, Cet. IV, 2005. _____, Kesehatan Mental, Jakarta: PT. Gunung Agung, Cet. XII, 1985. _____, Pendidikan Islam dalam Keluarga dan Sekolah, Jakarta: CV. Ruhama, Cet. II, 1995. _____, Peranan Agama dalam Kesehatan Mental, Jakarta: PT. Gunung Agung, Cet. VI, 1982. Djumransjah H.M., dan Amrullah, Abdul Malik Karim, Pendidikan Islam; Menggali “Tradisi”, Mengukuhkan Eksistensi, Malang: UIN Malang Press, Cet. I, 2007 Departemen Pendidikan Nasional, Kamus Besar Bahasa Indonesia, Jakarta: Balai Pustaka, Edisi ke-3, Cet. IV, 2007. Departemen Agama RI, al-Qur’an dan Terjemahannya, Bandung: PT. Sygma Examedia Arkanleema, 2009 Fauzi, Ahmad, Psikologi Umum, Bandung: CV. Pustaka Setia, Cet. II, 1999. Hartati, Nety, dkk, Islam dan Psikologi, Ciputat: UIN Jakarta Press, Cet. I, 2003. Hasan, Yusuf Muhammad Al-, Pendidikan Anak dalam Islam, Jakarta: Yayasan al-Sofwa, Cet. I, 1997. Hasbullah, Dasar-Dasar Ilmu Pendidikan, Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2006. Hidayati, Heny Narendrany, dan Yudiantoro, Andri, Psikologi Agama, Jakarta: UIN Jakarta Press, Cet. I, 2007. Jalaluddin dan Ramayulis, Pengantar Ilmu Jiwa Agama, Jakarta: Kalam Mulia, Cet. II, 1993. Khon, Abdul Majid, Ulumul Hadis, Jakarta: AMZAH, Cet. I, 2009.
100
Langgulung, Hasan, Manusia dan Pendidikan; Suatu Analisa Psikologi dan Pendidikan, Jakarta: PT. al-Husna Zikra, Cet. III, 1995. Majid, Abdul, dan Andayani, Dian, Pendidikan Agama Islam Berbasis Kompetensi; Konsep dan Implementasi Kurikulum 2004, Bandung: PT. Remaja Rosdakarya, Cet. III, 2006. Maghribi, Al-Maghribi bin as-Said, Begini Seharusnya Mendidik Anak, Panduan Mendidik Anak Sejak Masa Kandungan hingga Dewasa, Terj. Dari Kaifa Turabbi Waladan Shalihan oleh Zainal Abidin, Jakarta: Darul Haq, Cet. V, 2007. Muchtar, Heri Jauhari, Fikih Pendidikan, Bandung: PT. Remaja Rosdakarya, Cet. I, 2005. Mujib, Abdul, dan Mudzakkir, Jusuf, Ilmu Pendidikan Islam, Jakarta: Kencana, Cet. II, 2008. Nata, Abuddin, Pendidikan dalam Perspektif al-Qur’an, Jakarta: UIN JakartSa Press, Cet. I, 2005. _____, Tokoh-tokoh Pembaharuan Pendidikan Islam di Indonesia, Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2005. Nata, Abuddin, dan Fauzan, Pendidikan dalam Perspektif Hadits, Jakarta : UIN Jakarta Press, Cet. I, 2005. Nizar, Samsul, Pengantar Dasar-Dasar Pemikiran Pendidikan Islam, Jakarta: Gaya Media Pratama, Cet. I, 2001. Purwanto, M. Ngalim, Ilmu Pendidikan Teoritis dan Praktis, Bandung: PT. Remaja Rosdakarya, Cet. XVIII, 2007.
101
Quthb, Muhammad ‘Ali, Sang Anak dalam Naungan Pendidikan Islam , Terj. Dari Auladuna fi Dlau-it Tarbiyyatil Islamiyyah oleh Bahrun Abu Bakar Ihsan, Bandung: CV. Diponegoro, 1993. Rais, Rahmat, Modal Sosial Sebagai Strategi Pengembangan Madrasah; Studi Pengembangan Madrasah pada MAN I Surakarta, Jakarta: Litbang dan Diklat Departemen Agama RI, Cet. I, 2009. Rasidin, Al-, dan Nizar, Samsul, Filsafat Pendidikan Islam; Pendekatan Historis, Teoritis dan Praktis, Ciputat: PT. Ciputat Press, Cet. II, 2005. Razak, A., dan Lathief, Rais, Terjemahan Hadis Shahih Muslim, Jilid II, Jakarta: Pustaka al-Husna, Cet. I, 1980. Sabri, M. Alisuf, Pengantar Ilmu Pendidikan, Jakarta: UIN Jakarta Press, Cet. I, 2005. _____, Pengantar Psikologi Umum dan Perkembangan, Jakarta: CV. Pedoman Ilmu Jaya, Cet. IV, 2006. Sujanto, Agus, Psikologi Perkembangan, Jakarta: PT. Rineka Cipta, Cet. VII, 1996. Syaibany, Omar Mohammad al-Toumy Al-, Falsafah Pendidikan Islam, Terj. Dari Falsafatut Tarbiyyah al-Islamiyah oleh Hasan Langgulung, Jakarta: Bulan Bintang, Cet. I, 1979. Tim Penerbitan Buku 70 Tahun Prof. Dr. Zakiah Daradjat,
Perkembangan
Psikologi Agama dan Pendidikan Islam di Indonesia 70 tahun Prof.Dr. Zakiah Daradjat, Ciputat: PT Logos Wacana Ilmu dengan Pusat penelitian IAIN Syarif Hidayatullah, Cet. I, 1999. Uhbiyati, Nur, Ilmu Pendidikan Islam, Bandung: CV. Pustaka Setia, 1999, Cet. II
102
Yusuf LN, Syamsu, Psikologi Perkembangan Anak dan Remaja, Bandung: PT. Remaja Rosda karya, Cet. XI, 2010. Zuhairini, dkk, Filsafat Pendidikan Islam, Jakarta: Bumi Aksara, Cet. V, 2009.
Instrumen Wawancara KONSEP PENDIDIKAN AGAMA PADA ANAK (Umur 6-12 tahun) MENURUT PROF. DR. ZAKIAH DARADJAT
1. Bagaimana pendidikan menurut pandangan ibu? Terutama pendidikan anak? 2. Bagaimana fungsi keluarga dalam pendidikan agama pada anak menurut ibu? 3. Kapan pendidikan agama pada anak dalam keluarga dimulai? 4. Siapa yang sangat berperan dalam pendidikan anak di keluarga? Baik agama dan kepribadian? 5. Apa fungsi sekolah dalam pendidikan agama pada anak? 6. Bagaimana fungsi masyarakat dalam mendidik agama pada anak? 7. Seberapa besar peranan masyarakat dalam mendidik anak menurut ibu?
BERITA WAWANCARA Konsep Pendidikan Agama pada Anak (Usia 6-12 Tahun) Menurut Prof. Dr. Zakiah Daradjat Hasil wawancara hari Senin 04 April 2011 pukul 17:15-18:08 di kediaman Prof. Dr. Zakiah Daradjat dan Wawancara kedua hari Rabu tanggal 13 April 2011 pukul 11:10 - 11:50. Teori-teori itukan banyak non-direktif yang karya Rogers, yang satu lagi saya lupa namanya itu direktif, terus psikoanalisa, direktif dan non-direktif itu berbeda. Kalau psikoanalisa untuk umur 12 tahun itu kan baru tumbuh, berkembang. Konsep pendidikan inikan terlalu luas, Saya tidak punya pandangan sendiri, saya kait-kaitkan semua orang itu. 1. Bagaimana pendidikan menurut pandangan ibu? Terutama pendidikan anak? Saya belum punya pandangan khusus, kan ada pendidikan direktif dan non-direktif , kemudian ada…. Apa.. psiko analisa-analisa itu. Jadi kalau dikatakan menurut pandangan saya nanti jadinya malah berkepanjangan dan tidak fokus kan? Saya tidak punya pendirian sendiri, kalau ada saya uraikan di buku itu diantara buku yang saya uraikan itu pendapat orang, dan saya katakan itu. dari pendapat mana, dari orang barat. Teori-teori yang berlaku itu saya belum membentuk sendiri. Yang saya ikuti agak banyak yang saya praktekkan itu yang pakai teori non-direktif, tapi tidak terus. Yang saya pakai tu apa? Saya tidak pakai teori psiko analisis tapi saya memakai teori orang juga, nondirektif karya Rogers, dan saudara terpaksa mengkaji karya Rogers itu apa yang saya gunakan yang mana yang saya buat. Jawaban tentang pendidikan itukan sederhana sekali, yang sederhana diungkap, saudara mengembangkannya bagaimana?
Saya memang menggunakan non-direktif karya Rogers tapi juga tidak full, tapi apakah itu sudah saya setujui? Ternyata saya dalam banyak hal mendukung, ada hal lain tergantung pada seseorang yang saya hadapi. Kalau Rogers itu dia non-direktif, ndak da pengarahan, ndak ada menyuruh ndak ada melarang. Pendidikan apa modelnya kayak gitu? Itukah yang akan dikatakan nanti tu? Menurut saya apa? Juga belum tentu saya sendiri setuju, karena ada di sisi lainnya ndak setuju saya, kan yang Rogers tu di Barat, kalau saya pidato, saya pidatoin saja orang tapi kalau untuk serius tu kita harus kembali kepada konsep. Misalnya bagaimana fungsi keluarga dalam pendidikan agama pada anak menurut pandangan ibu, itu kan pidato bukan riset yang saya temukan sendiri. Dalam pidato ada saya sebut macam-macam begini, tapi kalau kita buat skripsi, kan ilmiah harus dipertahankan benar kan, saya mempertahankan gemana, karena tidak semua orang yang datang saya menggunakan nondirektif, tidak semua juga saya layani dengan direktif, sudah jelas anak itu bodoh, tidak bisa bergerak ndak bisa apa-apa tidak pas non-direktif, terpaksa harus direktif yang saya gunakan, apa yang direktif itu mungkinnya dipakai atau diganti, kan akhirnya kembali ke pertanyaan lebih jauh. Jadi saya belum mempunyai teori, teeori yang saya anggap, teori yang saya pakai itu teori orang, direktif, non-direktif, terus satu lagi tu psiko analisis, psiko analisis tu sulit tapi kadang-kadang perlu juga. Saat ini saya berkhayal, ada orang yang bertanya, bu apa teori ibu tentang pendidikan anak? Yang ada saya memakai teori Rogers non-direktif itu, tapi itu bukan teori saya, teori orang. Kita tidak boleh mengakui itu sebagai teori kita. Tapi ini bukan pendirian saya karena tidak bisa dipakai buat semua orang. Ini kan tentang pendidikan, tentu harus tahu alasannya, saya tidak tahu apa alasannya, kenapa itu saya pilih, saya buatnya kan dulu di Kairo kan, ada orang minta nasihat lalu ndak diarahkan, ndak saya jawab apa yang ditanyakan itu, jadi yang banyak saya gunakan tapi bukan saya yang buat ya,
dalam buku saya, saya katakana itu Rogers yang punya, non-direktif tanpa arahan. Kalau terhadap anak 6-12 tahun berarti kemampuan pikir yang baru tumbuh, anak seumur itu banyak pengaruh ibu bapaknya, kakak-kakaknya ada, orang lain ada, kita menggunakan direktif disitu. Dari pada saudara susah nanti saya mengatakan yang pahitnya saja ya, saudara nanti sudah susah-susah buat, sementara saya belum punya teori, konsep itu. Saya belum berani mengatakan itu konsep saya. Karena saya masih makai konsep orang, mau tidak mau pada orang bodoh saya menggunakan direktif . Kebiasaan kita, orang tua kita dalam keseharian itu direktif, seperti jangan kesana, kesini. Kamu harus gini-gini, kalau yang seperti itu direktif namanya. Tapi sekarang kepada umur berapa, non-direktif, ndak da pengarahan itu pada umur berapa? Yang saudara tanyakan itu umur berapa? Kenapa umur itu? Kan harus dijawab…. Kalau dalam pidato-pidato bisa, orang yang bertyanya saja lupa dengan apa yang ia tanyakan tadi kan? Kalau dikatakan menurut Zakiah kan menjadi lain, saya memang belum ada penelitian untuk membela pendirian kalau saya ucapkan, kan harus tahu sumbernya dari mana?
2. Bagaimana fungsi keluarga dalam pendidikan agama pada anak menurut ibu? Itu pidato, bukan riset yang saya temukan sendiri.Saya belum berani mengaku itu konsep saya, saya masih mengikuti orang punya. Ajaran agama yang menarik bagi anak adalah yang mengandung gerak, seperti shalat bersama dengan meniru orang tuanya, terlebih bila anak ikut shalat di shaf dengan orang dewasa, misalnya suasana shalat tarawih pada bulan Ramadhan, dan shalat hari raya. Pada bulan Ramadhan anak senang ikut berpuasa bersama orang tuanya walaupun anak belum kuat untuk melaksanakan puasa sehari penuh. Kegembiraan saat berbuka bersama. Ini
kan pengalaman yang penting dan baik bagi pembentukan sikap positif pada anak terhadap agama. Anak membutuhkan contoh, teladan, pembiasaan dan latihan dalam keluarga yang ini terjadi secara alamiah. Misalnya ibu dan bapak yang taat terhadap agama sering dilihat oleh anak sedang shalat, doa, membaca alQur’an, sopan santun dalam bergaul, dan mengajak anak berdoa kepada Allah maka anak akan meniru hal tersebut. Mereka hanya sekedar ikut-ikutan, ikut shalat bersama orang tua, meniru gerakan mereka. Kebiasaan orang tua yang baik, membaca basamallah dan hamdalah dalam setiap aktivitas akan mendorong anak meniru lebih banyak lagi.
3. Kapan pendidikan agama pada anak dalam keluarga dimulai? Kalau ditulis sebagai tulisan lepas itu ringan kan ya? Tapai kalau kita sudah menulis konsep, ni konsep ya? konsep pendidikan agama pada anak menurut ibu Zakiah, saya membohongi orang lain kalau dikatakan konsep saya, orang yang tahu akan mengatakan ini ini ini, menunju kesalahan, kontan ditunjuk orang. Saya gunakan itu yang saya praktekkan itu tapi tidak ke semua orang juga saya laksanakan itu, mungkin saya gunakan direktif
kalau
orangnya kayak apa saya gunakan direktif , orang yang ditrektif tu ndak ada arahan, saya diprotes banyak orang mengatakan itu diprotes saya, belum keluar sebagai teori ya? Jelas orang tu kesini minta arahan, minta petunjuk tanpa arahan, nah tu kan tergantung pada orang yang datang. Kapan pendidikan anak dimulai? Saya sendiri tidak yakin, kalau saya dibantah orang. Ada saya sebutkan dimana-mana itu, akan tetapi itu belum, belum. Ketika anak setelah lahir, dibersihkan, kemudian digedong, setelah itu dibisikkan ke telinga kanannya adzan, anak belum mengerti itu, tapi anak sudah bisa mendengar, dan akan berulang-ulang itu didengarnya nanti. Bahkan sebelum lahirnya anak itu, pertumbuhan jasmani anak berjalan sangat
cepat. Dari perkembangan akidah, kecerdasan, akhlak, kejiwaan, rasa keindahan dan kemasyarakatan, berjalan serentak dan seimbang. Anak mulai mendapat unsur-unsur pendidikan tanpa disadari oleh orang tuanya. Setelah lahir anak dibersihkan, digedong, setelah itu dibisikkan ke telinga kanannya adzan, anak belum mengerti apa yang dibisikkan ditelinganya, tapi anak sudah bisa mendengar, dan akan berulang-ulang hal itu didengarnya. Ketika anak belum mampu untuk berbicara, ia telah dapat melihat dan mendengar katakata, barangkali belum berarti apa-apa bagi anak.
4. Siapa yang sangat berperan dalam pendidikan anak di keluarga? Baik agama maupun kepribadian? Kalau kita katakan ibu, kapan bapak berperannya? Harus dijelaskan, lalu kenapa? Tergantung siapa yang paling dekat dengan anak, bisa pembantu, nenek dan yang lainnya. Yang sebaiknya adalah ibu. Misalnya dengan mengajak anak shalat berjamaah di rumah maupun di masjid, anak memang belum mengerti apa yang dilakukannya karena anak belum memikirkan itu, anak masih mengikuti apa yang dilakukan oleh orang tuanya, anak senang dengan apa yang dilakukan secara bersama-sama, contohnya ketika bulan ramadhan. Kalau waktu saya kecil dulu, saya kan anak pertama, dibuatkalah oleh ibu mukna kecil terus adik-adik tiga orang laki-laki dibuatkan sarung kecil. Ini adalah sesuatu yang baik untuk dilakukan sebagai upaya penanaman rasa agama pada anak sejak kecil. Ketika makan atau melakukan sesuatu perbuatan orang tua selalu memulai dengan ucapan bismillah, anak awalnya tidak mengerti dengan apa yang diucapkan orang tua, tapi karena ia selalu mendengar kata-kata yang baik maka akan dicontoh oleh anak karena anak mengikuti orang yang paling terdekat yaitu orang tua dan keluarganya.
5. Apa fungsi sekolah dalam pendidikan agama pada anak? Sikap agama anak pertama kali dibentuk di rumah, kemudian dilanjutkan di sekolah. Di sekolah guru agama harus berusaha membuat anak didik tu menyayanginya, dengan itu akan mudah bagi guru agama membina sikap positif pada siswa kan. Bisa memahami perkembangan jiwa dan kebutuhan siswa, sesuai dengan umur anak. Nah…guru itu orang pertama setelah orang tua yang membina kepribadian anak, dan siswa akan menjadikan guru sebagai contoh teladan, ini sangat penting dalam pertumbuhannya nanti. Kalau tingkah laku dan akhlak guru tidak baik, maka pada umumnya akhlak anak didik akan rusak pula, karena anak mudah terpengaruh oleh orang yang dikaguminya. Kecerdasan anak umur Sekolah Dasar belum bisa dia berpikir logis dan belum dapat memahami hal-hal yang abstrak, yang dikatakan kepada anak akan diterimanya saja. Anak tu belum dapat menjelaskan kenapa harus percaya kepada Tuhan?? Belum bisa menentukan mana yang salah dan mana yang baik. Di sekolah tu hendaknya harus ada latihan keagamaan yang menyangkut ibadah seperti sembahyang berjamaah, kalau di rumah anak tu mengikuti orang tuanya kan, nah di sekolah dia pun mengikuti guru yang mengajarinya juga, doa, membaca al-Qur’an, di sekolah, mesjid, surau, langgar, harus dibiasakan sejak kecil, sehingga akan tumbuh rasa senang melakukan ibadah dengan sendirinya,
tanpa suruhan. Latihan-latihan ini
dilakukan dengan contoh yang diberikan orang tua dan guru, oleh karena itu hendaknya guru agama mempunyai kepribadian yang mencerminkan ajaran agama, dan sikapnya dapat melatih kebiasaan baik sesuai ajaran agama, guru yang menyenangkan dan tidak kaku.
6. Bagaimana fungsi masyarakat dalam mendidik agama anak? Sebelum anak masuk sekolah, anak sudah mulai bergaul dengan masyarakat dalam arti teman sebaya yang ada di sekitar lingkungannya, dengan ini anak berkesempatan untuk belajar bergaul, memberi dan menerima, membela diri, dan mempertahankan hak miliknya. Pengalaman yang didapatkan oleh anak dalam hidupnya sejak lahir sampai masuk sekolah merupakan unsur-unsur yang membentuk sikap dan pribadinya. Masyarakat bisa teman sebaya, teman sekolah, atau masyarakat yang ada di lingkungan tempat anak tinggal. Yang menarik bagi anak adalah yang mengadung gerak dan tidak asing bagi anak. Aktivitas yang ada di sekolah atau di masjid tempat anak tinggal sangat menarik pula jika anak ikut aktif di dalamnya. Karena anak merasa gembira bersama-sama dengan temantemannya. Pendidikan pembiasaan dalam pendidikan anak sangat penting, utamanya dalam pembentukan pribadi, akhlak dan agama.
7. Seberapa besar peranan masyarakat dalam mendidik anak menurut ibu? Masyarakat yang seperti apa? Teman sebaya, teman sekolah, atau bagaimana itukan tergantung. Masyarakat sangat besar pengaruhnya dalam memberi arah terhadap pendidikan anak, masyarakat juga kan ikutserta membimbing anak dalam pertumbuhan dan perkembangan. Karena pendidikan merupakan tanggung jawab moral dari setiap orang, baik secara individu maupun sebagai kelompok sosial. Ajaran Islam berisi ajaran tentang sikap dan tingkah laku yang tujuannya kesejahteraan individu dan masyarakat, maka pendidikan Islam adalah pendidikan individu dan masyarakat.