STUDI KOMPARASI PEMIKIRAN ABDULLAH NASHIH ULWAN DAN ZAKIAH DARAJAT TERHADAP PENDIDIKAN AGAMA ISLAM PADA ANAK SKRIPSI Diajukan Kepada Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruanuntuk Memenuhi Syarat Mencapai Gelar Sarjana Pendidikan Islam (S.Pd.I)
Oleh:
Rendi Setiawan NIM 108011000112
JURUSAN PENDIDIKAN AGAMA ISLAM FAKULTAS ILMU TARBIYAH DAN KEGURUAN UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA 2013
ABSTRAK Rendi Setiawan Studi Komparasi Pemikiran Abdullah Nashih Ulwan dan Zakiah Darajat terhadap Pendidikan Agama Islam pada Anak Setiap manusia dilahirkan dalam keadaan fitrah. Untuk memelihara fitrah tersebut, manusia harus mengetahui nilai baik dan buruknya sesuatu yang didapatkan melalui pendidikan. Pendidikan merupakan sebuah proses pembelajaran atau pendewasaan anak sehingga otak dan pemikirannya berkembang. Untuk itu pendidikan menjadi kebutuhan primer bagi manusia. Namun dewasa ini, walaupun sebagian besar anak-anak mengenyam pendidikan baik di sekolah maupun di masyarakat, seringkali kejadian-kejadian buruk tetap terjadi seperti tawuran, narkoba, perzinaan, dan sebagainya. Itu terjadi dikarenakan nilai moral yang rendah dan pemahaman agama yang dangkal. Oleh karena itu, pendidikan agama juga dinilai sangat penting untuk menjadikan akhlak seseorang menjadi lebih baik. Karena agama adalah sebuah pedoman dalam perjalanan hidup di dunia. Akan tetapi untuk menerapkan nilai-nilai pendidikan agama tersebut memerlukan konsep dan cara yang tepat agar dapat terserap dengan baik. Bedasarkan latar belakang masalah di atas, yang menjadi pertanyaan adalah, Bagaimana konsep Pendidikan agama Islam pada anak menurut Abdullah Nasih Ulwan dan Zakiah Darajat? Kemudian Apa persamaan dan perbedaan konsep pendidikan agama Islam pada anak menurut Nasih Ulwan dan Zakiah Darajat? Nashih Ulwan dan Zakiyah Darajat membuat konsep pendidikan agama Islam pada anak berdasarkan materi, metode, dan lingkungan pendidikan. Materi yang perlu diajarkan di antaranya: pendidikan iman, moral, fisik, rasio, sosial, kejiwaan dan seksual. Adapun tambahan materi menurut Zakiyah Darajat, yaitu pendidikan kepribadian dan ibadah. Kemudian metode pendidikan yang diterapkan di antaranya adalah pendidikan dengan keteladanan dan kebiasaan. Lalu lingkungan pendidikan yang dimaksud adalah lingkungan keluarga, sekolah, dan masyarakat. Penelitian ini merupakan penelitian pustaka (library research) yaitu mengumpulkan data yang terdapat dalam buku-buku di perpustakaan. Oleh karena itu, penelitian ini menggunakan pendekatan kualitatif. Dan dalam penyajian datanya digunakan metode deskriptif analisis. Persamaan pemikiran Nashih Ulwan dan Zakiyah Darajat, di antaranya yaitu mereka mengaitkan materi pendidikan dengan berbagai tanggung jawab orang tua atau pendidik lainnya seperti guru. Kemudian metode pendidikan yang memiliki kesamaan yaitu metode penerapan keteladanan dan metode dengan adat kebiasaan. Sementara itu perbedaan pemikiran mereka terdapat pada dalam penerapan metode pendidikan dengan memberikan hukuman, di mana Nashih Ulwan melegalkan hukuman dalam pendidikan agama, sedangankan Zakiah tidak menerapakan pendidikan hukuman dalam mendidik anak. Keyword: Konsep, Nashih Ulwan, Zakiyah Darajat, Pendidikan Agama Islam i
KATA PENGANTAR
Alhamdulillah puji dan syukur senantiasa terucap kepada Allah SWT dari hamba-Nya yang beriman, atas segala nikmat-nikmat yang telah diberikan olehNya. Terutama nikmat sehat sehingga peneliti mempunyai kesempatan untuk menyusun tugas akhir kuliah ini. Shalawat serta salam senantiasa terucap kepada manusia yang mulia, yang luhur budi pekertinya, yang tidak pernah lelah untuk mengajak umatnya kepada jalan yang benar serta yang akan menyelamatkan umatnya di Dunia dan di Akhirat beliau adalah Nabi Besar Muhammad SAW. Pada
kesempatan
ini,
Alhamdulillah
akhirnya
peneliti
berhasil
menyelesaikan tugas akhir kuliah berupa skripsi ini. Tidak sedikit halangan dan rintangan yang dihadapi dalam penulisan skripsi ini. Peneliti sadar akan kelemahan dan keterbatasan yang ada. Namun dengan motivai yang tinggi akhirnya peneliti dapat melaluinya. Semua itu tidak terlepas dari dukungandukungan yang diberikan kepada peneliti, terutama dukungan dari keluarga. Dukungan dari pihak lain pun sangat membantu peneliti dalam menyelesaikan penulisan skripsi ini seperti teman-teman, dosen, terutama dosen pembimbing yang selalu mengarahkan dan mengoreksi penulisan skripsi ini. Untuk itu peneliti mengucapkan terima kasih sebesar-besarnya kepada semua pihak yang terkait dalam penyusunan skripsi ini, yaitu: 1. Prof. Dr. Rif’at Syauqi Nawawi, M.A selaku Dekan Fakultas Ilmu Tarbiyah dan keguruan, Pembantu Dekan Bid. Akademik Nurlena Rif'ai, MA. Ph.D, Pembantu Dekan Bid. Adm. Umum Abd. Rozak, M.Si, Pembantu Dekan Bid. Kemahasiswaan Dr. Muhbib Abdul Wahab, M.Ag. 2. Bapak Bahrissalim, MA, selaku Kepala Jurusan Pendidikan Agama Islam dan Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan. 3. Bapak Tanenji, MA, selaku Penasehat Akademik yang senantiasa memberikan nasihat, arahan dan motivasinya kepada penulis.
ii
4. Prof. Dr. H. Ahmad Syafi’ie Noor, selaku dosen pembimbing yang telah mengarahkan, mengoreksi dan sangat membantu dalam penulisan skripsi ini. 5. Dosen-dosen Jurusan Pendidikan Agama Islam yang telah banyak memberikan ilmu kepada penulis selama diperkuliahan. 6. Keluarga tercinta, yang telah memberikan dukungan baik secara moril maupun materil. Terutama untuk ayahanda Rinaldi (Al-marhum) dan ibunda Rosmiati S.pd.I dan juga Apak Johari, S.pd.I yang selalu mengingatkan dan memberikan semangat dalam penulisan skripsi ini. Robbighfirlii wa li waliddayya warhamhuma kama robbayani shoghiro. 7. Dan juga adinda tercinta Rifkie Victony, Wahyudi Akbar, Hafizha alYani, Dan juga kepada keluarga Besar Pak Ali Usman dan Pak Ismail yang senantiasa memberi semangat dan motivasi dalam penulisan skripsi. 8. Untuk teman-teman senasib seperjuangan mahasiswa PAI “D” angkatan 2008 yang telah berjuang dan membantu memberi dukungan moril maupun materil selama kuliah. Dan teman-teman kosan pak lubis 14b kalian telah menjadi sahabat, tempat berbagi cerita, tawa dan tangis. 9. Serta semua pihak yang telah banyak membantu penulis namun tidak bisa disebutkan satu persatu. Semoga Allah membalas semua kebaikan kalian. Dengan segala keterbatasan yang ada, penulis mengakui skripsi ini masih jauh dari sempurna. Untuk itu, dengan hati terbuka, penulis mengharapkan saran dan kritik yang membangun demi kemajuan penulis. Sekali lagi peneliti mengucapkan terima kasih sebesar-besarnya untuk semua pihak yang telah memberikan dukungan, dan peneliti berharap skripsi ini akan bermanfaat untuk kedepannya. Tidak hanya untuk peneliti tetapi untuk semua yang membaca skripsi ini.
Jakarta, 27 Mei 2013
Rendi Setiawan 108011000112 iii
DAFTAR ISI
ABSTRAK ................................................................................................ i KATA PENGANTAR .............................................................................. ii DAFTAR ISI ............................................................................................. v
BAB 1
PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah ..................................................... 1 B. Identifikasi Masalah ........................................................... 7 C. Pembatasan dan Perumusan Masalah ................................. 8 D. Tujuan Penelitian ............................................................... 8 E. Manfaat Penelitian ............................................................. 9
BAB II
KAJIAN TEORITIS A. Pendidikan Islam................................................................. 10 1. Pengertian Pendidikan Islam ......................................... 10 2. Tujuan Pendidikan Agama Islam .................................. 16 3. Dasar-Dasar Pendidikan Islam ...................................... 18 4. Metode pendidikan Islam............................................... 21 B. Konsep Pendidikan Agama Islam Pada Anak Menurut Abdullah Nasih Ulwan dan Zakiah Darajat ....................... 24 1. Abdullah Nasih Ulwan a. Riwayat Hidup .......................................................... 24 b. Riwayat Pekerjaan dan Karya Abdullah Nashih Ulwan ........................................... 27 c. Pemikiran Nashih ulwan tentang pendidikan agama pada anak ...................................................... 30 2. Zakiah Darajat .............................................................. 44 a. Riwayat Hidup .......................................................... 44 b. Riwayat Pekerjaan dan Karya Zakiah Darajat ........ 49 iv
c. Pemikiran Zakiah Darajat tentang pendidikan agama pada anak ................................... 51 C. Kajian relevan ..................................................................... 63
BAB III
METODOLOGI PENELITIAN A. Waktu Penelitian ................................................................ 66 B. Metodologi Penelitian ........................................................ 66 C. Fokus Penelitian ................................................................. 68 D. Prosedur Penelitian ............................................................ 69
BAB IV
KOMPARASI PEMIKIRAN KONSEP PENDIDIKAN AGAMA ISLAM PADA ANAK MENURUT ABDULLAH NASHI ULWAN DAN ZAKIAH DARAJAT A. Persamaan Pemikiran Abdullah Nashi Ulwan dan Zakiah Darajat 1. Materi Pendidikan Agama Islam .................................... 70 2. Metode Pendidikan Agama Islam .................................. 75 3. Lingkungan Pendidikan Agama islam ........................... 76 B. Perbedaan Pemikiran Abdullah Nashi Ulwan dan Zakiah Darajat .................................................................... 79 C. Kontribusi Pemikiran Abdullah Nashih Ulwan dan Zakiah Darajat terhadap Pendidikan Agama Islam terhadap Anak pada saat ini .............................................................. 81
BAB V
PENUTUP A. Kesimpulan ........................................................................ 85 B. Saran ................................................................................... 87
DAFTAR PUSTAKA ............................................................................... 88 LAMPIRAN-LAMPIRAN
v
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah Pada hakekatnya manusia adalah makhluk yang dilahirkan dalam keadaan lemah dan tak berdaya, namun demikian ia telah mempunyai potensi bawaan yang bersifat laten. Dalam perkembangannya, manusia dipengaruhi oleh pembawaan dan lingkungan, dan salah satu sifat hakiki manusia adalah mencapai kebahagiaan. Sebagaimana yang dipaparkan oleh Muhaimin dan Abdul Mujib dalam bukunya Pemikiran Pendidikan Islam, “Sejak dilahirkan anak membawa fitrah beragama. Di dalam fitrah terkandung pengertian baik buruk, benar salah, indah jelek, lempeng sesat, dan seterusnya. Oleh karenanya pelestarian fitrah ini dapat dibentuk lewat pemeliharaan sejak awal atau mengembalikannya pada kebaikan setelah ia mengalami penyimpangan”.1 Untuk memelihara fitrah manusia dan mengetahui nilai baik dan buruknya sesuatu maka manusia memerlukan sebuah pendidikan dan pembelajaran, agar dapat membedakan mana yang benar dan mana yang salah.
1
Muhaimin dan Abdul Mujib, Pemikiran Pendidikan Islam; Kajian Filosofis dan Kerangka Dasar Operasionalisasinya, (Trigenda Karya: Bandung, 1993) hlm. 27
1
2
Pendidikan adalah proses pembelajaran seseorang untuk mengetahui apa yang belum diketahui. Dalam perkembangannya agar manusia mengerti bagaimana menjalankan kehidupan yang benar dan sempurna. Karena hanya melalui pendidikanlah otak dan pemikiran manusia dapat berkembang. Adapun pengertian pendidikan menurut Hery Jamhari Muchtar, “Pendidikan adalah suatu proses mendewasakan manusia dengan kata lain pendidikan merupakan suatu upaya untuk “memanusiakan” manusia. Melalui pendidikan, manusia tumbuh dan berkembang secara wajar dan “sempurna” sehingga ia dapat melaksanakan tugas sebagai manusia”.2 Upaya itu pun diperjelas oleh Imam Ghozali dalam bukunya Ihya Ulumudin yang menjelaskan bahwa pendidikan merupakan proses memanusiakan manusia sejak masa kejadiannya sampai akhir hayatnya melalui berbagai ilmu pengetahuan yang disampaikan dalam bentuk pengajaran secara bertahap dimana proses pengajaran itu menjadi tanggung jawab orang tua dan masyarakat menuju pendekatan diri pada Allah hingga menjadi manusia sempurna.3 Dengan kata lain, pendidikan merupakan kebutuhan manusia, kebutuhan pribadi manusia. Kebutuhan yang tidak dapat diganti dengan yang lain. Karena pendidikan merupakan kebutuhan setiap individu untuk mengembangkan kualitas, pontensi dan bakat diri. Pendidikan membentuk manusia dari tidak mengetahui menjadi mengetahui, dari kebodohan menjadi kepintaran dari kurang paham menjadi paham, intinya adalah pendidikan membentuk jasmani dan rohani menjadi paripurna. Untuk itu kebutuhan pendidikan tidak hanya berhenti pada tingkat pendidikan akademik saja yang kebanyakan mempelajari ilmu-ilmu umum. Melainkan pendidikan keagamaan yang bersifat rohani dinilai sangat perlu, sebagai landasan pedoman hidup. Untuk itu perlu kiranya pendidikan Agama Islam diterapkan di keluarga, sekolah, dan masyarakat.
2
Hery Jamhari Muchtar, Fiqih Pendidikan, (Bandung: Rosda Karya, 2005), hlm. 1 Abidin Ibn Rusn, Pemikiran al-Ghazali tentang Pendidikan, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 1998), hlm. 56. 3
3
Selain itu, pentingnya pendidikan agama juga sebagai batasan-batasan anak dalam berperilaku. Karena dewasa ini, walaupun sebagian besar anak-anak mengenyam pendidikan di sekolah, tetapi banyak terjadi kasus-kasus seperti tawuran, perzinaan, dan konsumsi obat-obat terlarang (narkoba). Itu semua terjadi karena kurangnya pemahaman mereka terhadap norma-norma yang ditetapkan oleh agama tentang bagaimana bersikap dan berpetilaku. Untuk itu pendidikan agama harus benar-benar terserap dan terealisasikan dalam kehidupan sehari-hari anak, dengan keadaan lingkungan-lingkungan yang mendukung. Mengkaji pendidikan agama Islam, tidak dapat dilepaskan dengan persoalan moralitas. Pandangan simplistis menyatakan bahwa kebangkrutan moral tersebut ada kaitannya dengan kegagalan sistem pendidikan sekarang, termasuk di dalamnya adalah kegagalan pendidikan agama di sekolah. Meskipun pendapat ini tidak sepenuhnya salah, namun harus disadari bahwa pendidikan pada dasarnya tidak terbatas pada lingkup sekolah, namun juga pada keluarga dan masyarakat. Pendidikan Islam sangat penting, dan harus dipelajari oleh seluruh umat Islam karena dasar-dasar agama Islam menjadi pedoman hidup. Kemudian Menurut Ahmad Tafsir dalam bukunya Ilmu Pendidikan Islam mendefinisikan bahwa “Pendidikan Islam adalah pengembangan kepribadian dalam semua aspeknya secara maksimal sesuai dengan ajaran Islam.”4 Dengan pengertian pengembangan pribadi antara lain mencakup pendidikan oleh diri sendiri, lingkungan dan orang lain (guru). Dalam pendidikan itu sendiri, mencakup pendidikan jasmani, akal, dan hati. Agar pribadinya dapat berkembang secara maksimal dan menjadi Muslim sejati. Dalam
lingkungan
pendidikan,
keluarga
dan
masyarakat
adalah
lingkungan yang banyak mempengaruhi pribadi anak, sehingga kedua institusi itu juga bertanggung jawab terhadap pendidik anak-anak. Keluarga adalah lingkungan yang pertama kali dikenal anak, perhatian yang penuh dari orang tua untuk mendidik adalah suatu bekal yang sangat berharga untuk mengukir pribadi anak, sedangkan masyarakat sebagai lingkungan yang lebih luas, maka memiliki 4
Ahmad Tafsir, Ilmu Pendidikan Islam, ( Remaja Rosdakarya :Bandung ).h. 32
4
pengaruh positif dan negatif terhadap kepribadian anak. Karena lingkungan masyarakat memiliki tingkat akulturasi yang tinggi, maka kontrolsosial yang kuat dari masyarakat sangat dibutuhkan, sehingga masyarakat juga menyadari tentang arti pentingnya membentuk suatu masyarakat yang tentram dan damai. Kemudian pendidikan Islam itu memberikan bimbingan secara sadar dari pendidik (orang dewasa) kepada anak yang masih dalam proses pertumbuhannya berdasarkan norma-norma yang Islami agar berbentuk kepribadian muslim. Sebagaimana dijelaskan oleh Abdul Kholiq dalam bukunya Pemikiran Pendidikan Islam, bahwa “Pendidikan anak-anak adalah bagian dari pendidikan individu yang mendasar yang bertujuan menyiapkan dan membina setiap individu supaya menjadi anggota masyarakat yang berguna dan menjadi insan soleh di dalam hidup masyarakat”.5 Anak adalah generasi yang akan meneruskan orang tuanya. Apabila orang tua mempunyai sejarah yang baik, maka sebaiknya anak mempunyai sejarah yang lebih baik lagi, sehingga rentetan generasi dari yang tua kepada yang muda menjadi lebih baik. jika keadaan anak sama dengan orang tua, maka tidak ada kemajuan. Yang menjadi permasalahan adalah siapa yang harus bertanggung jawab untuk menjadikan anak lebih baik dari orang tuanya. Agar anak lebih baik keadaan orang tuaya, maka harus mendapat pendidikan yang cukup. Dan yang bertanggung jwab dalam hal ini adalah orang dewasa. Terutama orang tuanya sendiri dan guru. Dalam agama Islam perlu diarahkan agar anak didik menjadi soleh, yang paling tepat untuk menjadikan anak yang soleh adalah pendidikan agama. kemudian untuk menjadi anak yang soleh, harus tahu norma tentang yang baik dan buruk. Untuk mengetahui norma tersebut, anak harus mendapat pendidikan agama, karena agama memberikan norma-norma yang pasti dan mutlak mengenai baik dan buruk, serta benar dan salah yang akan berlaku sepanjang masa.
5
Abdul Kholiq dkk, Pemikiran Pendidikan Islam (Yogyakarta: Fakultas Tarbiyah IAIN Walisongo Semarang dan Pustaka Pelajar, 1999), h. 56
5
Para pemuda pada zaman sekarang adalah anak-anak yang telah beranjak dewasa. Mereka adalah buah dari tanaman yang telah disirami pada tahun-tahun lalu. Karena itu kita harus mengerahkan segenap perhatian dan dukungan, juga mempelajari masa yang mendasar masa ini agar bisa menjadi akar yang kokoh bagi remaja. Pendidikan anak pada masa balita adalah yang sungguh-sungguh membentuk karakteristik pemuda. Kekuatan dasar yang harus dilakukan dalam mendidik pemuda. Jika tidak dilakukan sejak dini (masa kanak-kanak), maka akan sia-sialah usaha yang dikerahkan (untuk memperbaiki pemuda) dan hilanglah kaidah yang difokuskan padanya. Kemudian menurut Imam Abu Khamid, “sesungguhnya anak itu adalah amanah dari Allah yang harus dibina, dipelihara dan diurus secara seksama dan sempurna agar kelak menjadi insan kamil, berguna bagi agama, bangsa dan Negara dan secara khusus dapat menjadi pelipur lara orang tua, penenang hati ayah dan bunda serta sebagai kebanggaan keluarga”.6 Semua pengharapan yang positif dari anak tersebut tidaklah dapat terpenuhi tanpa adanya bimbingan yang memadai, selaras dan seimbang dengan tuntutan dan kebutuhan fitrah manusia secara kodrati. Dan semua itu tidak akan didapatkan secara sempurna kucuali pada ajaran Islam. Karena bersumber pada wahyu Illahi yang paling mengerti tentang hakikat manusia sebagai makhluk ciptaanNya . Banyak orang tua yang mempercayakan seratus persen pendidikan agama bagi anaknya kesekolah. Karena disekolah ada pendidikan agama dan ada guru agama. Orang tua agaknya merasa bahwa upaya itu telah mencukupi. Ada sebagian orang tua yang menambah pendidikan agama islam bagi anaknya dengan cara menitipkan anaknya kepesantren sungguhan, pesantren kilat atau mendatangkan guru agama kerumah. Dengan cara itu mereka akan menjadi orang yang beriman dan bertaqwa. Tindakan orang tua seperti itu merupakan tindakan yang benar, tetapi itu ternyata belum mencukupi.
6
Imam Abu Khamid Al-Ghazali, Ihya Ulumuddin, Juz 7, jilid III, 1980, hlm.130.
6
Suatu proses pendidikan akan berhasil apabila diantara kelompok yang ada (keluarga, sekolah, dan masyarakat) saling bekerja sama untuk menciptakan lingkungan pendidikan yang kondusif.7 Rumah tangga (keluarga) merupakan satuan sosial terkecil. Bapak dan ibu berfungsi sebagai pendidik kodrati. Artinya secara kodrat mereka adalah pendidik bagi anak-anaknya. Dan dengan demikian beban yang diberikan kepada keduanya, agar bertanggung jawab terhadap pendidikan anaknya yang memang tumbuh dari naluri orang tuanya (faktor bawaan). Ayah dan ibu memiliki pengaruh penting dan dampak langsung terhadap perjalanan nasib dan masa depan anak-anak mereka, baik pengaruh pada masa kanak-kanak, remaja maupun dewasa. Lantaran itu Islam menganggap tugas pendidikan anak sebagai suatu kewajiban yang harus didahulukan. Islam secara tegas dan jelas telah mengajarkan bahwa pembangunan masyarakat harus diawali dari kehidupan terkecil yakni kehidupan perseorangan dalam sebuah keluarga. Allah berfirman dalam Surat At-Tahrim ayat 66;
Hai orang-orang yang beriman, peliharalah dirimu dan keluargamu dari api neraka yang bahan bakarnya adalah manusia dan batu; penjaganya malaikat-malaikat yang kasar, yang keras, yang tidak mendurhakai Allah terhadap apa ang diperintahkan-Nya kepada mereka dan selalu mengerjakan apa yang diperintahkan. (QS. At Tahrim 66:6)
Sebagian ulama berpendapat bahwa
itu termasuk di dalamnya
anak-anak, karena anak-anak merupakan bagian darinya (keluarga) dan peran keluarga disini sangatlah penting. Maka harus diajarkan halal dan haram, menjauhkan dari maksiyat dan dosa-dosa. Dari berbagai penjelasan di atas, dapat disimpulkan, bahwasannya pendidikan agama itu harus diterapkan sejak masa kanak-kanak, karena kehidupan
7
dan pendidikan masa kanak-kanak sangat besar pengaruhnya terhadap perkembangan dan pembentukan kepribadian dan juga keluarga, sekolah dan masyarakat harus saling mendukung. Apabila kehidupan anak diliputi oleh suasana kasih sayang yang dilandasi oleh pendidikan agama, maka anak akan menjadi sehat jasmani dan rohaninya. Namun menerapkan pembelajaran agama terhadap anak tidak semudah mengembalikan telapak tangan. Karena setiap anak mempunyai karakter yang beragam
dengan
permasalahan-permasalannya
masing-masing.
Semakin
berkembangnya zaman, berkembang pula ilmu pengetahuan. Semua itu berpengaruh juga pada perkembangan anak, sehingga anak zaman sekarang lebih cenderung kritis dan selalu mempertanyakan apa yang membuatnya penasaran. Untuk itu para guru dan orang tua harus lebih cerdas dan kreatif dalam mendidik anak-anakya. Mendidik anak membutuhkan banyak pengetahuan mengenai konsep pendidikan untuk menerapkannya kepada anak-anak didik ketika di keluarga, sekolah, bahkan masyarakat agar si anak tumbuh menjadi pribadi yang baik, pintar dan soleh/solehah. Baik guru maupun orang tua memerlukan konsep pendidikan yang tepat dan terarah agar dapat menjadi orang tua dan pendidik yang baik. Beberapa tokoh pendidikan mengemukakan pendapat terkait konsep pendidikan Agama Islam Pada anak seperti Abdullah Nashih Ulwan dan Zakiah Darajat yang mempunyai banyak karya-karya tentang pendidikan. Konsep pendidikan meliputi hakekat dari pendidikan agama Islam, kemudian tujuan pendidikan agama Islam, dasar pendidikan agama Islam, materi yang akan disampaikan dan metode yang digunakan pendidik kepada anak-anak. Berdasarkan latar belakang di atas, maka penelitian ini diberi judul: Studi
Komparasi Pemikiran Abdullah Nashih Ulwan dan Zakiah Darajat terhadap Pendidikan Agama Islam Pada Anak
8
B. Identifikasi Masalah 1. Pentingnya Pendidikan Agama Islam pada anak dalam membentuk kepribadian 2. Cara Mendidik yang tepat dalam menyampaikan Pendidikan Agama Islam pada anak 3. Pemikiran Abdullah Nash Ulwan mengenai konsep pendidikan Agama Islam terhadap anak 4. Pemikiran Zakiah Darajat mengenai konsep pendidikan Agama Islam terhadap anak. C. Pembatasan dan Perumusan Masalah 1. Pembatasan Masalah Pendidikan agama dalam membentuk kepribadian anak sangat beragam dari berbagai sudut, di antarnya pendidikan ketika di sekolah, pendidikan yang diberikan oleh guru di sekolah akan sangat berpengaruh pada pertumbuhan anak baik dari segi sikap segi maupun wawasan. Kemudian dalam kehidupan seharihari, dalam keluarga, ketika bergaul dengan teman-temannya, dan lain sebagainya. Selain itu, materi agama juga sangat penting diketahui dan dipahamai oleh guru ataupun orang tua agar dapat menyampaikannya kepada anak dengan baik. Untuk itu, Agar lebih terarah, konsep Pendidikan Agama Islam Pada Anak yang dimaksud dalam penelitian ini adalah materi pendidikan agama Islam, metode pendidikan agama Islam, dan Lingkungan pendidikan mencakup lingkungan keluarga, sekolah dan masyarakat menurut Abdullah Nashih Ulwan dan Zakiah Darajat. 2. Perumusan masalah dalam penelitian ini yaitu: a. Bagaimana konsep Pendidikan agama Islam pada anak menurut Abdullah Nasih Ulwan dan Zakiah Darajat? b. Apa persamaan dan perbedaan konsep pendidikan agama Islam pada anak menurut Nashih Ulwan dan Zakiah Darajat?
9
D. Tujuan dan Manfaat Penelitian 1. Tujuan Penelitian Tujuan yang ingin dicapai dalam penelitian ini adalah sebagai berikut: a. Untuk mengetahui kensep pendidikan anak dalam Islam menurut Abdullah Nashih Zakiah Darajat b. Mengetahui persamaan dan perbedaan konsep pendidikan anak dalam Islam menurut pemikiran Abdullah Nashih Ulwan dan Zakiah Darajat. c. Mengetahui konsep pendidikan yang relevan digunakan untuk mendidik anak saat ini. 2. Manfaat Penelitian a. Manfaat Akademis Penelitian ini diharapkan dapat menambah ilmu dan wawasan bagi para pendidik baik guru ataupun orang tua dalam mengenai konsep pendidikan anak dalam islam. Selain itu diharapkan pula dapat menjadi salah satu referensi terkait konsep metode pendidikan anak bagi para penulis dan peneliti di bidang pendidikan. b. Penelitian ini diharapkan dapat menjadi acuan bagi para guru dan orang tua dalam menerapkan pendidikan agama terhadap anaknya agar dapat membentuk kepribadian yang baik, intelektual, dan berakhlak mulia.
BAB II KAJIAN TEORI A. Pendidikan Islam 1. Pengertian Pendidikan Islam Masalah pendidikan merupakan suatu kajian yang sangat menarik, karena pemahaman makna tentang pendidikan sendiri pun juga beragam. Perlu diketahui bahwa banyak sekali istilah-istilah dalam pendidikan itu sendiri. Seperti pengajaran, pembelajaran, pedagogi, pendidikan, pelatihan, dan lain sebagainya. Semua itu dapat dijumpai dalam buku-buku yang mengkaji tentang pendidikan. Istilah pendidikan secara sederhana dapat diartikan sebagai usaha manusia untuk membina kepribadiannya sesuai dengan nilai-nilai yang terdapat di dalam masyarakat dan bangsa. Pendidikan adalah bimbingan atau pimpinan secara sadar oleh pendidik terhadap perkembangan jasmani dan rohani anak didik menuju terbentuknya kepribadian yang utama. Sebagaimana yang telah dijelaskan oleh Marimba bahwa dalam pendidikan terdapat beberapa unsur, diantaranya yaitu: a. Usaha (kegiatan) yang bersifat bimbingan dilakukan secara sadar. b. Ada pendidik, pemimpin atau penolong. c. Ada peserta didik, anak didik. 10
11
d. Bimbingan itu mempunyai dasar dan tujuan. e. Dalam usaha itu terdapat alat-alat yang dipergunakan1 Pemaknaan pendidikan menurut Marimba ini dikatakan terbatas, karena pemahaman arti tersebut hanya bersifat kelembagaan saja, baik dikeluarga, sekolah maupun masyarakat. Kenyataanya bahwa dalam proses menuju perkembangan yang sempurna itu seseorang tidak hanya dipengaruhi oleh orang lain, tetapi ia juga menerima pengaruh dari selain manusia, contohnya dari perkembangan teknologi, dan lain-lain. Sementara itu, Menurut Arifin definisi pendidikan yang telah disepakati adalah “bimbingan yang diberikan kepada seseorang agar ia berkembang secara maksimal”.2 Lebih lengkapnya, menurut Abdul Mujib dan Jusuf Mudzakir, “pendidikan adalah proses transinternalisasi pengetahuan dan nilai-nilai kepada peserta didik melalui upaya pengajaran, pembiasaan, bimbingan, pengasuhan, pengawasan, dan pengembangan potensinya, guna mencapai keselarasan dan kesempurnaan hidup”.3 Dari pengertian pendidikan di atas, maka Pendidikan Agama Islam merupakan salah satu subjek pelajaran yang diberikan kepada anak yang beragama Islam dalam rangka untuk mengembangkan keberagaman Islam bagi anak. Menurut Ahmadi, “pendidikan agama Islam adalah usaha yang lebih khusus ditekankan untuk mengembangkan fitrah keberagamaan subjek peserta didik agar lebih mampu memahami, menghayati, dan mengamalkan ajaran-ajaran agama Islam”.4 Adapun pendidikan Islam, menurut Al Qardhawi adalah “pendidikan manusia seutuhnya, akal dan hatinya, rohani dan jasmaninya, akhlak dan keterampilannya. Karenanya pendidikan Islam berupaya menyiapkan manusia untuk hidup baik dalam keadaan damai maupun perang, dan menyiapkannya untuk 1
Ahmad D. Marimba, Pengantar Filsafat Pendidikan Islam, (Bandung: al Ma’arif, 1989}, hlm19. 2 Arifin, Ilmu Pendidikan Islam (Tinjauan Teoritis dan Praktis Berdasarkan Pendekatan Interdisiplinier), (Jakarta: Bumi Aksara, 2008), hlm. 22 3 Abdul Mujib dan Jusuf Mudzakkir, Ilmu Pendidikan Islam, (Jakarta: Kencana Prenada Media, 2006), hlm. 27-28. 4 Ahmadi, Islam sebagai Paradigma Ilmu pendidikan, (Yogyakarta: Aditya Media, 1992), hlm. 20.
12
menghadapi masyarakat dengan segala kebaikan dan kejahatannya, manis dan pahitnya.”5 Sementara itu, Hasan langgulung merumuskan pendidikan Islam sebagai”suatu proses penyiapan generasi muda untuk mengisi peranan, memindahkan kemampuan pengetahuan dan nilai-nilai islam yang dilaraskan dengan fungsi manusia untuk beramal dan memetik hasilnya kelak diakhirat”.6 Kemudian Bakir Yusuf Barmawi berpendapat, bahwa “pendidikan agama Islam bukanlah semata-mata pelajaran agama yang diberikan secara sengaja dan teratur oleh guru sekolah saja. Akan tetapi yang terpenting adalah penanganan jiwa agama yang dimulai dari rumah tangga, sejak anak masih kecil dengan membiasakan anak pada kebiasaan yang baik”.7 Hal ini akan sangat berpengaruh pada perkembangan anak, karena pada usia anak-anak, mereka akan menyerap arahan atau pembelajaran dengan baik. Keluarga dan masyarakat adalah lingkungan pendidikan yang banyak mempengaruhi pribadi anak, sehingga keduanya itu juga bertanggung jawab terhadap pendidik anak. Keluarga adalah lingkungan yang pertama kali dikenal anak, perhatian yang penuh dari orang tua untuk mendidik adalah suatu bekal yang sangat berharga untuk mengukir pribadi anak, sedangkan masyarakat sebagai lingkungan yang lebih luas, maka memiliki pengaruh positif dan negatif terhadap kepribadian anak. Karena lingkungan masyarakat memiliki tingkat akulturasi yang tinggi, maka kontrol sosial yang kuat dari masyarakat sangat dibutuhkan, sehingga masyarakat juga menyadari tentang arti pentingnya membentuk suatu masyarakat yang tentram dan damai. Menurut Marasudin Siregar, “Pendidikan Agama Islam adalah usaha sadar untuk menyiapkan peserta didik dalam menyakini, memahami dan mengamalkan agama Islam melalui kegiatan bimbingan, pengajaran dan latihan dengan memperhatikan tuntutan untuk menghormati agama lain dalam 5
Yusuf al Qardhawi, Pendidikan Islam dan Madrasah Hasan al Banna, Terj. Bustami A.Gani ,(Jakarta: Bulan Bintang, 1980), hlm 39. 6 Hasan Langgulung, Beberapa Pemikiran tentang Pendidikan Islam, (Bandung: al Ma’arif, 1980),hlm 6. 7 Bakir Yusuf Barmawi, Pembinaan Kehidupan Beragama Islam pada Anak, (Semarang: Dimas, 1993), hlm. 38.
13
hubungan kerukunan antar umat beragama dalam masyarakat untuk mewujudkan persatuan nasional”.8 Jadi pendidikan agama Islam tidak hanya mengajarkan syariat agama Islam pada anak untuk diterapkan dalam kehidupan sehari-sehari, tetapi juga mengajarkan bagaimana cara tenggang rasa dan menghormati agama lain. Karena hidup di Indonesia mempunya keberagaman suku dan agama, untuk itu selain menjadi umat beragama yang baik, juga harus menjadi anak bangsa yang baik. Kemudian menurut Nurcholis Madjid, “pendidikan agama adalah suatu pendidikan untuk pertumbuhan secara total terhadap seorang anak didik. Pendidikan agama pada dasarnya tidak hanya dibatasi pada pengertianpengertian konvensional dalam masyarakat”.9 Sebenarnya pendidikan agama itu sangat luas dan mendalam, karena ini tidak hanya untuk mengetahui pengetahuan agama agar anak dapat bersikap baik saja, melainkan tentang kebatinan atau kebutuhan rohani. Setiap manusia membutuhkan ketentraman dalam hatinya. Dalam pendidikan agamalah mereka akan mendapatkannya. Berkaitan dengan pengertian pendidikan agama, maka Musthafa alGhulayani berpendapat tentang fungsi pendidikan, yaitu: “Pendidik anak dalah menanamkan akhlak yang mulia dalam jiwa murid serta menyiraminya dengan petunjuk dan nasehat, sehingga menjadi
kecenderungan jiwa yang
membuahkan keutamaan, kebaikan serta cinta bekerja yang berguna bagi tanah air”.10 Dan F.J.Mc Donald mengatakan: “Education in thesense used here, is aprocess or an activity which is directed at producing desirable changes in thebehavior of human being”.11 Maksudnya, pendidikan dalam pengertian
8
Marasudin Siregar, "Pengelolaan Pengajaran (Suatu Dinamika Profesi Keguruan)”, dalam M. Chabib Thohadan Abdul Mu’thi, PBM-PAI di Sekolah Eksistensidan Proses Belajar Mengajar Pendidikan Agama Islam,(Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 1998), hlm.180 9 Nurcholis Madjid, MasyarakatReligius, (Jakarta: Paramadina, 2000), hlm. 93. 10 Musthafa al-Ghulayani, Idhah al-Nashiin, (Pekalongan: Rajamurah, 1953), hlm. 189 11 F.J. Mc Donald, Educational Psychology, (USA: Wadsworth Publishing, 1959), hlm, 4.
14
yang digunakan ini adalah suatu proses atau aktivitas yang diarahkan untuk menghasilkan perubahan yang diinginkan dalam perilaku manusia. Dari uraian di atas dapat disimpulkan, bahwa pendidikan agama Islam adalah usaha secara sadar untuk menumbuhkan pemahaman terhadap nilainilai keagamaan, sehingga anak didik dapat bersikap dan berprilaku sesuai dengan ajaran agama Islam.
2. Tujuan Pendidikan Agama Islam Persoalan pendidikan adalah persoalan yang menyangkut hidup dan kehidupan manusia yang senantiasa harus berproses dalam perkembangan kehidupannya. Setiap tindakan dan aktivitas harus berorientasi pada tujuan atau rencana yang telah ditetapkan. Maka Ali Ashraf mengatakan dalam bukunya yang berjudul Horison Baru Pendidikan Islam, bahwa “pendidikan seharusnya
bertujuan
mencapai
pertumbuhan
yang
seimbang
dalam
kepribadian manusia secara total melalui latihan semangat intelek, rasional diri, perasaan dan kepekaan rasa tubuh”.12 Dari rumusan di atas dapat dikatakan, bahwa tujuan pendidikan agama Islam ialah membentuk manusia yang berkepribadian muslim, yakni manusia yang takwa dengan sebenar-benarnya terhadap Allah SWT. Sesuai dengan tujuan pendidikan tersebut, jelas bahwa sebuah tujuan memiliki nilai yang sangat penting dalam proses pendidikannya. Menurut Omar Muhammad al-Toumy al-Syaibany mengemukakan bahwa tujuan pendidikan agama Islam mencakup empat ciri pokok sebagai berikut: 1. Sifat yang bercorak agama dan akhlak 2. Sifat komprehensif yang mencakup segala aspek pribadi pelajar dan semua aspek perkembangan dalam masyarakat 3. Sikap keseimbangan, kejelasan, tidak ada unsur pertentangan antara unsur-unsur dan cara pelaksanaannya 4. Sifat realistis dan dapat dilaksanakan, penekanan dan perubahan yang dikehendaki pada tingkah laku dan pada kehidupan memperhitungkan perbedaan-perbedaan perorangan di antara individu, masyarakat dan
12
Ali Ashraf, Horison Baru Pendidikan Islam, (Jakarta : Pustaka Firdaus, 1989), hlm.
25
15
kebudayaan di mana-mana dan kesanggupan untuk berubah dan berkembang bila diperlukan.13 Abdurrahman An-Nahlawi berpendapat, bahwa “tujuan pendidikan agama Islam adalah untuk mendidik seluruh kecenderungan, dorongan dan fitrah, kemudian mengarahkan semuanya kepada tujuannya yang tertinggi menuju ibadah kepada Allah”.14 Sementara itu, Muhammad Quthb mengatakan dalam bukunya yang berjudul Sistem Pendidikan Islam bahwa: Islam melakukan pendidikan dengan pendekatan yang menyeluruh terhadap wujud manusia, sehingga tidak ada yang tertinggal dan terabaikan sedikitpun, baik segi jasmani maupun rohani, baik kehidupannya secara mental dan segala kegiatannya di bumi ini. Islam memandang manusia secara totalitas, mendekatinya atas dasar apa yang terdapat dalam dirinya, atas dasar fitrah yang diberikan Allah kepadanya, tidak ada sedikit pun yang diabaikan dan tidak merasa apapun selain apa yang dijadikannya sesuai dengan fitrahnya.15 Berdasarkan tujuan pendidikan agama Islam yang telah diuraikan di atas, maka setiap orang tua tentu menginginkan anaknya menjadi orang yang berkembang dengan sempurna. Untuk mencapai tujuan itu, orang tua menjadi pendidik pertama dan utama. Kaidah ini ditetapkan secara kodrati, artinya orang tua tidak dapat berbuat lain. Mereka harus bertanggung jawab terhadap pendidikan anaknya. Sebagaimana yang dikemukakan Ahmad tafsir dalam bukunya Ilmu Pendidikan Dalam Perspektif Islam bahwa “tujuan pendidikan dalam rumah tangga ialah agar anak mampu berkembang secara maksimal. Itu meliputi seluruh aspek perkembangan anaknya, yaitu jasmani, akal dan rohani. Tujuan
13
Omar Muhammad al-Toumy al-Syaibani, Falsafah Pendidikan Islam, Terj. Langgulung, (Jakarta : Bulan Bintang, 1979), hlm. 436. 14 Abdurrahman an-Nahlawi, Prinsip-prinsip dan Metode Pendidikan Islam, (Bandung: Diponegoro, 1989), hlm.182. 15 Muhammad Quthb, Sistem Pendidikan Islam, terj. Salman Harun, (Bandung: al Ma’arif, 1984),27
16
lain ialah membantu sekolah/lembaga kursus dalam mengembangkan pribadi anak didiknya”.16 3. Dasar-Dasar Pendidikan Islam Dasar-dasar pendidikan Islam sebagaimana yang dikemukakan oleh Djurmansyah, secara prinsipil diletakkan pada dasar-dasar ajaran Islam dan seluruh perangkat kebudayaannya yaitu: a. Al-Qur’an dan Sunnah, karena memberikan prinsip yang penting bagi pendidikan yaitu penghormatan kepada akal, kewajiban menuntut ilmu, dan lain sebagainya. b. Nilai-nilai sosial kemasyarakatan yang tidak bertentangan dengan ajaran Islam atas prinsip mendatangkan kemanfaatan dan menjauhkan kemudharatan bagi manusia. c. Warisan pemikiran Islam, yang merupakan refleksi terhadap ajaranajaran pokok Islam.17 Sedangkan dasar pelaksanaan pendidikan agama Islam mempunyai status yang sangat kuat. Adapun dasar pelaksanaan tersebut dapat ditinjaudari beberapa segi sebagaimana yang dijelaskan Zuhairani dalam bukunya Metodik Khusus Pendidikan Agama yaitu : a. Dasar yuridis atau hukum, yakni peraturan dan perundang-undangan yang mengatur pelaksanaan pendidikan agama di wilayah suatu Negara. Adapun dasar dari segi yuridis di Indonesia adalah : Pancasila; dasar pendidikan agama yang bersumber pancasila khususnya sila pertama ini mengandung pengertian bahwa Indonesia harus percaya kepada Tuhan Yang Maha Esa. Untuk merealisasikan sila pertama ini diperlukan adanya pendidikan agama, karena tanpa pendidikan agama akan sulit mewujudkan sila pertama ini. UUD 1945; yang digunakan sebagai dasar dari UUD 1945 mengenai pendidikan agama ini sebagaimana yang tertera dalam pasal 29 ayat 1 dan 2 yang berbunyi “Negara berdasarkan atas keTuhanan Yang Maha Esa. Negara menjamin kemerdekaan tiap-tiap penduduk untuk memeluk agama masing-masing dan beribadah menurut agamanya dan kepercayaannya itu” Berdasarkan pada UUD 1945 tersebut, maka bangsa Indonesia merupakan bangsa yang menganut suatu agama dan kepercayaan kepada Tuhan Yang 16
Ahmad Tafsir, Ilmu Pendidikan dalam Perspektif Islam, (Bandung: Remaja Rosdakarya, 1992), hlm. 155. 17 Djumransjah, dkk, Pendidikan Islam ; Menggali “Tradisi”, Meneguhkan Eksistensi, (Malang: UIN-Malang Press, 2007), hlm 25-26
17
Maha Esa. Dalam arti Negara melindungi umat beragama untuk menunaikan ajaran agamanya dan beribadah menurut agamnya masingmasing.18 b. Dasar religius, yakni mengenai dasar pendidikan agama Islam iniadalah Al Quran dan Hadits, yang tidak diragukan lagi kebenarannya.Hal ini sesuai dengan firman Allah QS Al Baqarah ayat 2:
Kitab (Al Quran) ini tidak ada keraguan padanya; petunjuk bagi mereka yang bertaqwa Berdasarkan dari ayat tersebut, maka dapat disimpulkan bahwa AlQuran itu tidak diragukan lagi kebenarannya dan merupakan petunjuk bagi orang bertaqwa. Dengan demikian, Al Quran merupakan kitab yang mengandung nilai-nilai luhur dan norma-norma untuk mengembangkan kehidupan manusia ke arah kesempurnaan atau manusia dalam arti seutuhnya, yaitu manusia sebagai makhluk individu, sosial, berakhlak atau bermoral dan sebagai makhluk ciptaan Tuhan. Menurut ajaran Islam, melaksanakan pendidikan agama merupakan perintah dari Tuhan dan merupakan ibadah kepada-Nya. Dalam alQuran banyak ayat yang menunjukkan adanya perintah tersebut, antara lain sebagai berikut.
1) Dalam Al Quran surat an-Nahl ayat 125, yang berbunyi :
serulah (manusia) kepada jalan Tuhan-mu dengan hikmah dan pelajaran yang baik dan bantahlah mereka dengan cara yang baik. Sesungguhnya Tuhanmu Dialah yang lebih mengetahui tentang siapa yang tersesat dari jalan-Nya dan Dialah yang lebih mengetahui orang-orang yang mendapat petunjuk. 2) Dalam Al Quran surat Ali Imran ayat 104, yang berbunyi 18
Zuhairini, Dkk, Metodik Khusus Pendidikan Agama, (Malang : Biro Ilmiah Tarbiyah IAIN,1981), hlm 21
18
Dan hendaklah ada di antara kamu segolongan umat yang menyeru kepada kebajikan, menyuruh kepada yang ma'ruf dan mencegah dari yang munkar; merekalah orang-orang yang beruntung. 3)
Selain itu ada hadits dari riwayat Bukhori
ﳝﺤﺴــﺎﻧﻪ
ـﺪ ﻋ ﻠ ﻰ ﻛﻞ ﻣﻮﻟﺪ ﻳﻮﻟـ
setiap anak yang dilahirkan itu telah membawa fitrah beragama (perasaan percaya kepada Allah), maka kedua orang tuanyalah yang menjadikan anak tersebut beragama Yahudi, Nasrani, atau Majusi” (HR Baihaki) Ayat-ayat dan hadits tersebut memberikan pengertian bahwa dalam ajaran Islam memang ada perintah untuk mendidik agama baik pada keluarga maupun kepada orang lain sesuai dengan kemampuannya walaupun hanya sedikit.
c. Dasar
sosial
psikologi,
yakni
bagi
manusia
pemenuhan
kebutuhan jasmani saja belum cukup tanpa keutuhan rohani. Untuk memenuhi keutuhan tersebut, maka dibutuhkan suatu pegangan hidup yang disebut agama, karena dalam ajaran agama tersebut ada perintah untuk saling tolong menolong. Dengan agama pula lah, mereka akan merasa tenang dan tentram hatinya bila mereka mendekatkan diri dan mengabdi pada Dzat Yang Maha Kuasa. Hal ini sesuai dengan firman Allah SWT dalam QS. Ar-Ra’ad ayat 28, yang berbunyi:
(yaitu) orang-orang yang beriman dan hati mereka manjadi tenteram dengan mengingat Allah. Ingatlah, hanya dengan mengingati Allah-lah hati menjadi tenteram.
19
4. Metode Pendidikan Islam Pada Anak Dari segi bahasa metode berasal dari dua perkataan, yaitu meta dan hodos. Meta berarti “melalui” dan hodos berarti “jalan” atau “cara”.19 Dengan demikian metode dapat berarti cara atau jalan yang harus dilalui untuk mencapai suatu tujuan. Runes sebagaimana yang dikutip oleh Mohammad Noor Syam, secara teknis menerangkan bahwa metode adalah : 1) Sesuatu prosedur yang dipakai untuk mencapai suatu tujuan tertentu. 2) Sesuatu teknik mengetahui yang dipakai dalam proses mencari ilmu pengetahuan dari suatu materi tertentu. 3) Suatu ilmu yang merumuskan aturan-aturan dari suatu prosedur.20 Berdasarkan pendapat runes tersebut, Samsul Nizar berpendapat bila dikaitkan dengan proses kependidikan Islam, maka “metode berarti suatu prosedur yang dipergunakan pendidik dalam melaksanakan tugas-tugas kependidikan untuk mencapai tujuan yang telah ditetapkan (dari segi pendidik)”.21 Sehubungan dengan hal tersebut, maka Ahmad Tafsir secara umum membatasi bahwa “metode pendidikan adalah semua cara yang dipergunakan dalam upaya mendidik”.22 Kemudian, menurut Abdul Munir Mulkan sebagaimana yang dikutip oleh Samsul Nizar mengemukakan bahwa “metode pendidikan adalah salah satu cara yang dipergunakan untuk menyampaikan atau mentransformasikan isi atau bahan pendidikan kepada anak didik”.23 Sementara itu Omar Mohammad al-Syaibani menjelaskan bahwa metode pendidikan adalah “segala segi kegiatan yang terarah yang dikerjakan oleh guru dalam rangka kemesti-mestian mata pelajaran yang diajarkannya, 19
H.M. Arifin, Ilmu Pendidikan Islam: Suatu Tinjauan Teoritis Dan Praktis Beradasarkan Pendekatan Interdisipliner (Jakarta: Bumi Aksara, 1991), hlm. 61 20 Mohammad Noor Syam, Falsafah Pendidikan Pancasila(Surabaya: Usaha Nasional, 1986),hlm.24 21 Samsul Nizar, Filsafat Pendidikan Islam Pendekatan Historis, Teoritis dan Praktis (Jakarta: Ciputat Pres, 2002), hlm 66 22 Ahmad Tafsir, Ilmu Pendidikan dalam Perspektif Islam, (Bandung: PT Remaja Rosdakarya, 2005), hlm. 31 23 Samsul Nizar, loc.cit.
20
ciri-ciri perkembangan peserta didiknya, dan suasana alam sekitarnya dan tujuan membimbing peserta didik untuk mencapai proses belajar yang diinginkan dan perubahan yang dikehendaki pada tingkah laku mereka”.24 Adapun Macam-macam Metode Pendidikan Islam adalah sebagai berikut: 1) Metode Hiwar (percakapan) Qurani dan Nabawi Hiwar (dialog) ialah percakapan silih berganti antara dua pihak atau lebih melalui tanya jawab mengenai suatu topik mengarah kepada suatu tujuan.hiwar mempunyai dampak yang sangat dalam terhadap jiwa pendengar dan pembaca yang mengikuti topik percakapan secara seksama dan penuh perhatian. Adapun macam-macam metode hiwar sebagaimana yang dikemukakan Abdurrahman An-Nahlawi, yaitu: a) b) c) d) e)
Hiwar Khitabi atau ta’abudi (percakapan pengabdian), Hiwar Washfi (percakapan diskriptif) Hiwar qishashi (percakapan berkisah) Hiwar jadali (percakapan dialektis) Hiwar nabawi.25
2) Pendidikan dengan teladan Murid-murid cenderung meneladani pendidiknya: ini diakui oleh semua ahli pendidikan, baik dari barat maupun dari Timur. Dasarnya ialah karena secara psikologis anak memang senang meniru: tidak saja yang baik, yang jelek pun juga akan ditiru.26Dengan demikian, maka mendidik dengan cara teladan sangat baik dilakukan. Selayaknya seorang pendidik menjadi figur teladan yang patut untuk ditiru. 3) Pendidikan dengan latihan dan pengamalan Diakui, bahwa dengan metode belajar “laearning by doing” atau dengan jalan mengaplikasikan teori dengan praktek, sangat terkesan dalam jiwa, 24
Omar Mohammad al-Syaibani Falsafah Pendidikan Islam. Terj. Hasan Langgulung(Jakarta: Bulan Bintang,1979).hlm 553 25 Abdurrahman an-nahlawi, Pendidikan islam di rumah sekolah dan masyarakat, (Jakarta: Gema insani press, 1995), hlm. 283 26 Tafsir, Ilmu Pendidikan dalam Perspektif Islam, (Bandung: PT Remaja Rosdakarya, 2005), hlm. 143
21
mengokohkan ilmu dalam kalbu dan menguatkan jiwa. Belajar dengan maksud diterapkan dalam amal saleh merupakan salah satu syarat keabsahan ilmu untuk diterima di sisi Allah. Salah satu metode yang digunakan Rasulullah saw. Dalam mendidik para sahabat adalah dengan metode latihan (pembiasaan). Inti pembiasaan adalah pengulangan. Karena pembiasaan berintikan pengulangan, maka metode pembiasaan juga berguna untuk menguatkan hafalan. 4) Metode ibrah dan Mau’idhoh Ibrah dan I’tibar adalah suatu kondisi psikis yang menyampaikan manusia untuk mengetahui inti sari sesuatu perkara yang di saksikan, diperhatikan, di diskusikan , di timbang-timbang, di ukur, dan diputuskan oleh manusia secara nalar yang menyebabkan hati mengakuinya. Pendidikan Islam memberikan perhatian yang khusus kepada metode ibrah agar pelajar dapat mengambilnya dari kisah-kisah dalam Al-Quran, sebab kisah itu bukan sekedar sejarah, melainkan sengaja diceritakan Tuhan karena ada pelajaran (ibrah) yang penting didalamnya. Mau’idhah adalah pemberian nasehat dan peringatan kebaikan dan kebenaran dengan cara menyentuh qalbu dan menggugah untuk mengamalkannya. 5) Pendidikan dengan Targhib dan Tarhib Ahmad Tafsir menjelaskan dalam bukunya Ilmu Pendidikan Islam Dalam Perspektif Islam tentang metode pendidikan ddengan taghrib dan tarhib, yaitu: Targhib ialah janji terhadap kesenangan, kenikmatan akhirat yang disertai bujukan. Tarhib ialah ancaman karena dosa yang dilakukan. Targhib bertujuan agar orang mematuhi aturan Allah. Sama halnya dengan Tarhib, namun titik tekannya ialah Targhib agar melakukan kebaikan, sedang Tarhib menjauhi kejahatan. Targhib dan tarhib dalam pendidikan islam berbeda dari metode ganjaran dan hukuman dalam pendidikan Barat. Perbedaan utamanya adalah Targhib dan tarhib berdasarkan ajaran Allah, sedangkan ganjaran dan hukuman bersandarkan hukuman dan ganjaran duniawi.27 27
Ahmad Tafsir, Ilmu Pendidikan dalam Perspektif Islam, (Bandung: PT Remaja Rosdakarya, 2005),hlm. 146-147
22
Kemudian Abdurrahman An-Nahlawi menekankan, “hendaknya pendidik menanamkan keimanan dan aqidah yang benar di dalam jiwa anakanak, agar kita dapat menjanjikan (Targhib) surga kepada mereka dan mengancam (Tarhib) mereka dengan azab Allah, sehingga Targhib dan Tarhib ini langsung atau tak langsung”.28 B. Konsep Pendidikan Agama Islam Pada Anak Menurut Abdullah Nashi Ulwan dan Zakiyah Darajat 1. Abdullah Nashi Ulwan a. Riwayat Hidup Abdullah Nashih Ulwan merupakan pemerhati masalah pendidikan terutama pendidikan anak dan dakwah Islam. Abdullah Nashih Ulwan dilahirkan pada tahun 1928 di daerah Qadhi Askar yang terletak di kota Halb, Syiria.29Beliau dibesarkan dikalangan keluarga yang berpegang teguh pada agama.Ayahnya Syeikh Said Ulwan merupakan seorang ulama sekaligus seorang dokter yang disegani. Selain dari menyampaikan risalah islam di seluruh pelosok kota Halb, beliau juga menjadi tumpuan untuk mengobati berbagi penyakit dengan ramuan akar kayu yang dibuat sendiri. Ketika merawat orang yang sakit, lidahnya senantias membaca Al-Qur’an dan menyebut nama Allah. Syeikh Said Ulwan senantiasa mendoakan anakanaknya lahir sebagai seorang ulama.
Murabbi yang dapat memandu
masyarakat. Allah memperkenankan doa beliau dengn lahirnya Abdullah Nashih Ulwan sebagi ulama (Murabbi) pendidik rohani dan jasmani yang disegani di abad ini.30 Abdullah Nashih Ulwan menghabiskan umurnya dalam dunia pendidikan sebagai pendidik dan pendakwah. Abdullah Nashih Ulwan 28
Abdurrahman An-Nahlawi, Prinsip-prinsip dan Metode Pendidikan Islam. (Bandung: CV. Diponegoro,1992), hlm. 414. 29 Abdullahh Nashih Ulwan, Tarbiyatul Aulad Fil Islam, trjm. Jamaluddin Miri (Jakarta: Pustaka Amani, 2007), jilid II,hlm. 30 Muhammad Abdullah bin Suradi, Selagi Nadi, Http://Tamanulama.Blogspot.Com/ 2008/01/Dr.-Abdullah Nashih Ulwan-Selagi Nadi.Html.
23
diangkat sebagai pendidik pertama kali di sebuah sekolah dikota kelahirannya yaitu dikota Halb.31 Adapun riwayat pendidikan beliau yaitu pendidikan tingkat rendahnya (Ibtidaiyyah) dimulai oleh Abdullah Nashih Ulwan di kota kelahirannya yaitu di kota Halb. Setelah Abdullah Nashih Ulwan berusia 15 Tahun, Syeikh Said Ulwan memasukkan beliau ke Madrasah Agama untuk mempelajari ilmu Agama dengan cara yang lebih luas. Ketika Abdullah Nashih Ulwan berumur 15 tahun, beliau sudah menghafal Al-Quran dan sudah mampu menguasai Bahasa Arab dengan baik. Selama beliau berada di madrasah, beliau merima bimbingan dari Guru-Guru mursyid. Abdullah Nashih Ulwan
sangat
mengagumi Syeikh Raghib al Tabhakh, seorang ulama hadist di kota Halb. Abdullah Nashih Ulwan
merupakan orang yang sangat cerdas sehingga
senantiasa menjadi tumpuan rekan-rekanya di Madrasah, beliau juga seorang yang aktif dalam organisasi sehingga mahir berpidato dan menjadi ketua kantor penerbitan yang bertanggung jawab dalam menerbitkan tulisan ilmiah kepada masyarakat sekitar. Beliau di kenal sebagai orang yang berpegangan teguh pada kebenaran serta mempunyai kemahiran dalam pergaulan dan dakwah.Sewaktu
usia
remaja beliau sudah gemar membaca tulisan ulama-ulama terkenal di waktu itu seperti Dr Syeikh Mustafa al Sibaei. Pada tahun 1949 beliau melanjutkan pendidikan di salah satu universitas di Mesir dalam bidang Syariah Islamiyah. Setelah menyelesaikan dalam bidang Syari’ah Islamiyah
Abdullah Nashih
Ulwan melanjutkan pendidikannya di Universitas al Azhar pada tahun 1950 pada fakultas Ushuluddin
dan memperoleh ijazah pertama dalam Fakultas
Usuluddin pada tahun 1952, seterusnya beliau memperoleh gelar megister pendidikan pada tahun 1954 di almamater yang sama, kemudian pada tahun 1982 Abdullah Nashih Ulwan memperoleh ijazah kedoktoran dari Universitas al Sand Pakistan dengan tesis yang berjudul “fiqh Dakwah wa al Da’iah’.32 Setelah Abdullah Nashih Ulwan 31 32
pulang dari al Azhar ia
ibid. Abdullah Ulwan, Tarbiyat Al-Awlad Fi Al- Islam, hlm. 1119
memulai
24
pengabdianya sepanjang masa sebagai pendakwah. Beliau di angkat sebagai guru di sebuah sekolah dikota kelahirannya yaitu di kota Halb . Beliaulah orang yang memperkenalkan mata pelajaran Tarbiyah islamiyah, yang harus di ambil oleh seluruh murid-murid menengah Syria.Pelajaran Tarbiyah Islamiyah menjadi pelajaran wajib bagi murid-murid menengah di syiria. Pada tahun 1980 Abdullah Nashih Ulwan
mendapat tawaran jadi
dosen pada jurusan Studi Islam di Universitas Malik Abd Aziz, di kota Jeddah. Beliau menjadi dosen di Universitas tersebut hingga ia wafat 33 Dunia Islam merasa kehilangan salah seorang `ulama' dan da'i yang mukhlis ketika Syeikh Abdullah Nashi `Ulwan kembali ke Rahmatullah setelah diserang penyakit selama tiga tahun. Abdullah Nashih Ulwan meninggal dunia tanggal 5 Muharram 1408 H dalam usia 59 tahun di Rumah Sakit Universitas Malik Abdul Aziz di Jeddah Saudi Arabia. Jenazahnya dibawa ke masjidil Haram untuk disembahyangkan dan dikebumikan di Mekah.. Jadi dapat disimpulkan bahwa Abdullah Nashih Ulwan semasa hidupnya banyak menghabiskan waktunya dalam dunia pendidikan dan dunia dakwah. b. Riwayat Pekerjaan dan Karya Abdullah Nashih Ulwan Abdullah Nashih Ulwan dalam aktifitas dakwahnya
menggunakan
mesjid Umar bin Abd Aziz sebagai markaz tarbiyah generasi pemuda Syiria. Dimesjid inilah Abdullah Nashih Ulwan menyampaikan kuliah, Kuliah yang disampaikan di masjid ini adalah kuliah Fiqh, Tafsir dan Shirah. Di samping memberi kuliah, Abdullah Nashih Ulwan telah mendidik pemuda-pemuda dengan kemahiran-kemahiran berpidato dan penulisan serta kemahiran uslub berdakwah.Hasil daripada pengabdian ini lahirlah ratusan generasi muda yang berakhlak mulia dan menjadi agen penggerak dakwah Islamiyah di Syiria. Walaupun sibuk dengan tugas menyampaikan risalah Islam di hampir seluruh Syiria, Abdullah Nashih Ulwan juga sangat dikenal di kalangan
25
masyarakat Syiria sebagai seorang yang berbudi luhur.Menjalin hubungan baik sesama anggota masyarakat dan senantiasa menjalankan khidmat kepada masyarakat apabila diperlukan. Beliau juga mempunyai hubungan yang sangat erat dengan ulama-ulama Syiria serta Abdullah nashih Ulwan menjadi anggota Majelis Ulama Syiria, beliau sangat dihormati di kalangan mereka. Beliau adalah seorang yang gigih dalam gerakan Islam, mengabdikan diri untuk dakwah dan bergabung dengan Ikhwanul Muslimin. Beliau berhubungan erat dengan Asy-Syahid Abdul Qadir ‘Audah, Sayyid Qutb dan Al Ustadz Abdul Badi’ Shaqar ( Rahimahumullah Jami’an). Siapa saja menyampaikan dakwah Islamiyah pasti akan di uji oleh Allah, ujian untuk membuktikan kebenaran dakwah yang dibawa serta menambah keyakinan dan keteguhan yang utuh hanya kepada Allah. Allah-lah yang
berhak
memberikan
ujian
kepada
siapa
saja
yang
dikehendakinya.Abdullah Nashih Ulwan juga menerima ujian ini, sehingga memaksa beliau meninggalkan Syiria pada tahun 1979 menuju Jordan. Sewaktu di Jordan beliau terus menjalankan peranan sebagi da’i. Menyampaikan kuliah daan dakwah hampir di seluruh tempat.Menerima undangan-undangan di masjid-masjid, perayaan hari kebesaran Islam dan ceramah umum. Beliau meninggalkan Jordan pada tahun 1980 setelah mendapat tawaran sebagai pengajar di Fakultas Pengajian Islam di Universitas Malik Abd Aziz, Jeddah, Saudi Arabia, beliau menjadi pengajar di Universitas tersebut hingga beliau dipanggil ( wafat ) oleh Allah.34 Abdullah Nashih Ulwan tidak hanya aktif dalam berdakwah tetapi ia juga gemar menulis di manapun ia berada. Walaupun sibuk dengan kuliah, undangan dan ceramah, beliau tetap
meluangkan waktu untuk menulis
sehingga ia banyak menghasilkan karya-karya besar tentang agama. Di antara kitab karangan beliau yang terkenal adalah:
34
Arsyah, Biografi Ringkas Syeikh Abdullah Nashih Ulwan.Tersedia di http://arsyah9110.blogspot.com/2012/03/biografi-ringkas-syeikh-abdullah-Nashi.html. diakses tgl 20 Desember 2012
26
a. Ila Waratsatil Anbiya ( Kepada Pewaris Para Nabi ) berisikan tentang kewajiban menyampaikan ajaran islam dengan hikmah dan ajaran yang baik kepada ulama b. At-Takafulul Ijtima’i Fil Islam( Jaminan Sosial Dalam Islam ). Buku ini banyak membahas urusan sosial yang harus di lakukan oleh para pejabat pemerintahan. c. Hatta Ya’lama Asy-Syabab ( Hingga Para Pemuda Mengetahui ) Buku ini lebih menekankan kepada para pemuda terkait dengan ilmu-ilmu yang harus diketahui. d. Shalahudin Al-Ayyubi Berisikan tentang kejayaan mas islam pada masa Shalahudin alAyyubi. e. Tarbiyatul Aulad Fil –Islam ( Pendidikan Anak-Anak Dalam Islam) Buku ini merupakan karya monumentalnya beliau yang mengupas
secara
konfrehensif
tentang
bagaiman
menerapkan
pendidikan anak secara islami.35 f. Syubuhad Wa Ar-Rudud ( Keragu-Raguan Dan Berbagi Sanggahan ) Buku ini banyak menekankan pentingya pelajar mengetahui ilmu-ilmu yang menyimpang dan solusinya, sehingga terbebas dari aqidah yang sesat. g. Ahkam Ash-Shiyam ( Hukum-Hukum Puasa) Buku ini menjelaskan tentang hukum-hukum puasa dan rukun serta syarat puasa h. Ahkam az-Zakat ( Hukum Pada Zakat) Buku ini banyak menekankan tentang hukum membayar zakat dan tata cara zakat i. Ahkam At-Ta’min ( Hukum-Hukum Asuransi) Didalam buku ini beliau menyebutkan bahaya asuransi serta menjelaskan penggantinya yang benar dalam jaminan sosial berdasrkan asas-asas islam. 35
Abdullah Nashih Ulwan, Op.Cit, h. 1119
27
j. Masy uliyah At-tarbiyatu Al-Jinsiyah36 Dari karya-karya yang ditinggalkan oleh Abdullah Nashih Ulwan ternyata ia tidak hanya membahas tentang masalah agama saja tetapi ia juga membahas tentang masalah duniawi. Diperhatikan dari hasil karya yang telah dihasilkan oleh Abdullah Nashih Ulwan ternyata ia tidak hanya membahas tentang pendidikan anak saja. Abdullah Nashih Ulwan juga membahas tentang permasalahan agama, baik itu masalah zakat, hukum asuransi, dan lain sebagainya. c. Pemikiran Abdullah Nashih ulwan tentang pendikan agama pada anak 1) Materi pendidikan agama pada anak Untuk mewujudkan generasi yang kokoh iman dan Islamnya. Abdullah Nashih Ulwan menekankan materi pendidikan yang bersifat mendasar dan universal. Materi-materi tersebut adalah: pendidikan iman, moral, fisik, intelektual, psikis, sosial, dan seksual. a)
Pendidikan Iman Yang pertama dalam memberikan materi kepada anak didik adalah
dengan menanamkan keimanan. Yang dimaksud dengan pendidikan Iman adalah, mengikat anak dengan dasar-dasar keimanan sejak ia mengerti, membiasakannya dengan rukun Islam sejak ia memahami, dan mengajarkan kepadanya dasar-dasar syariat usia tamyiz. Yang dimaksud dengan dasar-dasar keimanan ialah, segala sesuatu yang ditetapkan melalui pemberitaan secara benar, berupa hakikat keimanan dan masalah ghaib, semisal beriman kepada Allah Swt.,beriman kepada para malaikat, beriman kepada kitab-kitab samawi, beriman kepada semua Rasul, beriman bahwa manusia akan ditanya oleh dua malaikat, beriman kepada siksa kubur, beriman kepada hari kebangkitan, hisab, surga, neraka, dan seluruh perkara gaib lainnya.37
36
Ibid, hlm. 1120 Abdullahh Nashih Ulwan, Tarbiyatul Aulad Fil Islam, trjm. Jamaluddin Miri (Jakarta: Pustaka Amani, 2007), jilid II, hlm. 165 37
28
Pendidikan Iman yang dijelaskan oleh Abdullah nashih Ulwan telah merujuk pada ajaran Rasulullah, berikut rincian ajaran Rasulullah dalam hal pendidikan Iman: 1) Membuka kehidupan anak dengan kalimat “Laa Ilaaha Illallaah”, 2) Mengenalkan hukum halal-haram kepada anak Sejak Dini, 3) Menyuruh anak untuk beribadah ketika telah memasuki usia Tujuh Tahun, 4) Mendidik anak untuk mencintai Rasul, keluarganya, dan membaca Al- Qur‟an.38 b)
Pendidikan Moral Abdullah Nashih Ulwan menempatkan pendidikan moral sebagai hal
yang sangat penting. Pendidikan moral adalah serangkaian prinsip dasar moral dan keutamaan sikap serta watak (tabiat) yang harus dimiliki dan dijadikan kebiasaan oleh anak sejak masa pemula hingga menjadi seorang mukalaf.39 Jika sejak masa kanak-kanaknya, ia tumbuh dan berkembang dengan berpijak pada landasan Iman kepada Allah dan terdidik untuk selalu takut, ingat, pasrah, meminta pertolongan dan berserah diri kepada-Nya, maka ia akan memiliki kemampuan dan bekal pengetahuan dalam menerima setiap keutamaan, kemuliaan, disamping terbiasa dengan akhlak mulia. Abdullah Nashih Ulwan menjelaskan apa saja tanggung jawab pendidik atau orang tua pada pendidikan moral ini sebagai berikut: Dalam bidang moral ini, tanggung jawab mereka meliputi masalah perbaikan jiwa mereka, meluruskan penyimpngan mereka, mengangkat mereka dari seluruh kehinaan dan menganjurkan pergaulan yang baik dengan orang lain.40 Pendidikan moral merupakan tanggung jawab yang besar bagi para pendidik, sehingga pendidikan moral perlu mendapatkan perhatian oleh para orang tua, wali dan pendidik. Hal ini sesuai dengan ungkapan Abdullah Nashih Ulwan sebagai berikut: Diantara etika dasar yang perlu mendapat perhatian dan perlu diterapkan oleh para orang tua dan pendidik di dalam 38
Abdullahh Nashih Ulwan, Tarbiyatul Aulad Fil Islam… hlm. 166-168 Ibid,. hlm. 193 40 Ibid,. hlm 199 39
29
mendidik anak-anak adalah membiasakan mereka berakhlak baik, sopan santun, dan bergaul dengan baik bersama orang lain.41 c)
Pendidikan Fisik Diantara tanggung jawab lain yang diberikan Islam di atas pundak para
pendidik, termasuk ayah, ibu, dan para pengajar, menurut Abdullah Nashih Ulwan adalah tanggung jawab pendidikan fisik. Hal ini dimaksudkan agar anak-anak tumbuh dewasa dengan kondisi fisik yang kuat, sehat, bergairah, dan bersemangat. Berikut ini adalah beberapa dasar-dasar ilmiah yang digariskan islam dalam mendidik fisik anak-anak, supaya para pendidik dapat mengetahui besarnya tanggung jawab dan amanat yang diserahkan Allah, diantaranya adalah: 1) Kewajiban memberi nafkah kepada keluarga dan anak 2) Mengikuti aturan-aturan yang sehat dalam makan, minum, tidur 3) Melindungi diri dari penyakit menular 4) Pengobatan terhadap penyakit 5) Merealisasikan prinsip-prinsip “tidak boleh menyakiti diri sendiri dan orang lain”. 6) Membiasakan anak berolah raga dan bermain ketangkasan Berolah raga dan bermain ketangkasan adalah anjuran agama Islam, dalam hal ini Abdullah Nashih Ulwan mengutib firman Allah dalam surat Al-Anfal: 60 sebagai berikut:
… Dan siapkanlah untuk menghadapi mereka kekuatan apa saja yang kamu sanggupi … (Qs. Al-Anfal:60)42
41 42
Media).
Ibid,. hlm. 238 Qs. Al-Anfal: 60, Al-Qur‟an dan Terjemahnya. (Jakarta: PT. Syamil Cipta
30
Dari perintah tersebut, maka Islam menyerukan untuk mempelajari renang, memanah, dan menunggang kuda. 7) Membiasakan anak untuk zuhud dan tidak larut dalam kenikmatan 8) Membiasakan anak bersikap tegas dan menjauhkan diri dari pengangguran, penyimpangan, dan kenakalan Para pendidik, terutama para ibu, wajib memelihara anak-anak mereka sejak kecil, dan menamkan makna kejantanan (tegas dan tidak kolokan), zuhud (besahaja) dan budi pekerti yang baik di dalam jiwa mereka.43 Abdullah Nashih Ulwan juga tidak melupakan fenomena yang membahayakan dan dapat merusak kehidupan anak-anak, para remaja, pemuda, maupun orang dewasa. Bahaya ini harus diketahui dan diperhatikan serta diberitahukan oleh para pendidik, terutama orang tua dan mereka yang berhak
mendapatkan
pendidikan,
sehingga
mereka
tidak
terjerumus
kedalamnya. Diantara fenomena tersebut ialah: 1) Merokok 2) Kebiasaan Onani 3) Minuman keras dan narkotika 4) Zina dan homoseksual44 d)
Pendidikan Rasio (Akal) Pendidikan rasio atau akal merupakan pendidikan yang menjadikan
Islam mengalami kemajuan karena terlahirnya para intelektual Islam yang ahli dalam ilmu pengetahuan. Oleh karena itu mengembangkan potensi akal sangatlah penting, sebagaimana ungkapan Abdullah Nashih Ulwan,“yang dimaksud pendidikan rasio (akal) adalah, membentuk (pola) pikir anak dengan segala sesuatu yang bermanfaat, seperti: ilmu-ilmu agama, kebudayaan dan peradaban. Dengan demikian pikiran anak menjadi matang, bermuatan ilmu, kebudayaan, dan sebagainya.
43 44
Abdullah Nashih Ulwan, Tarbiyatul Aulad,… jilid I,hlm. 245-259 Abdullah Nashih Ulwan, Tarbiyatul Aulad,… hlm. 259
31
Semua materi yang dijelaskan diatas saling berkaitan erat. Karena, pendidikan keimanan adalah sebagai penanaman fondasi, tanggung jawab pendidikan fisik/jasmani merupakan persiapan dan pembentukan, dan pendidikan moral merupakan penanaman dan pembiasaan. Sedangkan pendidikan
rasio
(akal)
merupakan
penyadaran,
pembudayaan
dan
pengajaran.45 e)
Pendidikan Kejiwaan Materi pendidikan yang kelima adalah pendidikan kejiwaan. Maksud
dari pendidikan kejiwaan ini adalah mendidik anak semenjak anak mulai mengerti agar anak berani terbuka, mandiri, suka menolong, bisa mengendalikan amarah dan senang kepada seluruh bentuk keutamaan jiwa dan moral secara mutlak. Tujuan pendidikan ini adalah untuk membentuk kepribadian anak. Tujuan dari pendidikan ini adalah membentuk, membina dan meyeimbangkan kepribadian anak. Sehingga ketika anak taklif (dewasa), ia dapat melaksanakan kewajiban-kewajiban yang dibebankan pada dirinya secara baik dan sempurna.”46 Abdullah Nashih Ulwan berpendapat bahwa faktor-faktor terpenting yang harus dihindarkan oleh para pendidik dari anak-anak dan murid-murid adalah: sifat minder, sifat penakut, sifat kurang percaya diri, sifat dengki, sifat pemarah. f) Pendidikan Sosial Menurut Abdullah Nasih Ulwan, “Pendidikan sosial adalah mendidik anak sejak kecil agar terbiasa menjalankan perilaku sosial, dasar-dasar kejiwaan yang mulia bersumber pada akidah Islam yang kekal dan kesadaran iman yang mendalam, agar di tengah-tengah masyarakat ia mampu bergaul dan berperilaku dengan baik, serta memiliki keseimbangan akal yang matang dan tindakan yang bijaksana”.47 Abdullah Nashih Ulwan menjelaskan bahwa keselamatan dan kekuatan masyarakat tergantung kepada individu-individunya dan kepada cara yang 45
Abdullahh Nashih Ulwan, Tarbiyatul Aulad Fil Islam …, hlm. 301 Ibid., hlm. 363 47 Ibid., hlm. 435 46
32
digunakan untuk mempersiapkan anak-anak mereka. Oleh karena itu, para pendidik yang berdedikasi agar melakasanakan tanggung jawabnya dengan sebaik-baiknya didalam pendidikan sosial. Diantara dasar sosial yang terpenting dalam membentuk perangai dan mendidik kehidupan sosial anak, adalah membiasakan anak sejak kecil untuk melakukan pengawasan dan kritik sosial yang dapat membangun pergaulan dengan setiap individu, meneladani atau memberi teladan yang baik, memberi nasehat
kepada
setiap
individu
yang
tampaknya
menyimpang
dan
meyeleweng.48 g)
Pendidikan Seksual Menurut Abdullah Nasih Ulwan, “Pendidikan seksual adalah upaya
pengajaran, penyadaran, dan penerangan tentang masalah-masalah seksual kepada anak, sejak ia mengenal masalah-masalah yang berkenaan dengan naluri seks dan perkawinan.49 Pendidikan seksual ini dimaksudkan agar ketika anak tumbuh dewasa, maka ia memahami dan mengetahui pergaulan yang diharamkan dan dihalalkan. 2) Lingkungan Pendidikan agama Islam a) Lingkungan keluarga Abdullah Nashih Ulwan menyoroti bahwa jika anak mendapatkan pendidikan yang baik di dalam lingkungan keluarga, pergaulan yang baik dan lingkungan belajar yang aman, maka anak akan tumbuh menjadi baik. Ungkapan tersebut dapat dipahami bahwa Abdullah Nashih Ulwan cenderung mengakui adanya pengaruh lingkungan keluarga, sebagai lingkungan pertama dan utama terhadap pertumbuhan dan perkembangan seorang anak. Selain itu anak juga berinteraksi dengan lingkungan masyarakat, baik sesama usia maupun dengan orang yang lebih tua. Tak terkecuali juga anak membutuhkan sekolah sebagai tempat belajar setelah memasuki usia sekolah. Dengan
48 49
Abdullahh Nashih Ulwan, Tarbiyatul Aulad Fil Islam … hlm. 607 Abdullah Nashih Ulwan,.jilid II, …hlm.1
33
demikian ada hubungan yang signifikan antara lingkungan keluarga, sekolah, dan masyarakat. Sebagaimana yang dijelaskan Abdullah Nashih Ulwan dalam bukunya Tarbiyah al-Aulad, Keluarga dipandang sebagai tempat pendidikan awal dan utama bagi anak, sebab anak secara otomatis menyaksikan segala gerak-gerik orang tua dan seluruh anggota keluarga lainnya. Oleh karena itu, Abdullah Nashih Ulwan
menyoroti bahwa anak-anak di bawah umur biasanya
mengikuti jejak sang kakak, bahkan memandang sebagai ikutan dalam segala sesuatu dan mengikuti segala sifat moral dan adat kebiasaan sosialnya. Menyikapi kondisi demikian, kedua orang tua harus memusatkan perhatiannya kepada anak yang pertama, kemudian anak-anak di bawah usianya, agar sang sulung menjadi teladan yang baik bagi adik-adiknya.50 Dengan demikian, jelas bahwa peran penting orang tua dan anggota keluarga lain adalah sangat mempengaruhi arah kepribadian anak akan terbentuk. Jika sepanjang kehidupan anak dalam keluarga dipenuhi dengan sikap yang harmonis, jelas akan membawa dampak yang baik, namun demikian jika dalam keluarga anaksering menemui sikap yang apatis dan tidak harmonis justru akan membawa anak pada kepribadian yang tidak baik. Oleh karena itu, pengaruh dari masing-masing anggota keluarga akan sangat mewarnai anak, sebab secara tidak langsung anak akan meniru dan menyerap apa yang dipraktikkan dalam lingkungan keluarga. b) Lingkungan sekolah Lingkungan yang lebih luas adalah lingkungan sekolah dan masyarakat. Dalam lingkungan sekolah anak akan bertemu dengan guru yang mengajar, teman sekelas atau teman satu sekolah, dan termasuk juga dengan orang-orang yang berhubungan dengan sekolah, misalnya penjaga sekolah, satpam dan lain-lainnya. Dengan demikian anak memiliki keluasan untuk bergaul dan berinteraksi dengan mereka. Dalam kondisi demikian secara bertahap besar kemungkinan anak akan mendapatkan pengaruh dari mereka. 50
Abdullah Nashih Ulwan, Tarbiyah al-Aulad, jilid 1, hlm. 662-663.
34
Abdullah Nashih Ulwan memberikan sorotan bahwa “mencarikan sekolah yang dipandang baik adalah sangat penting. Untuk itu, anak ditempatkan
pada
sekolah
yang
berpayung
Islam”.51
Pentingnya
menyekolahkan anak pada lembaga yang berada dalam naungan Islam dapat dipahami bahwa anak pada masa-masa awal pertumbuhannya adalahrentan terhadap pengaruh yang masuk dalam dirinya. Apabila anak berada dalam lingkungan yang tidak sesuai dengan ajaran agama, maka menyebabkan anak akan cenderung mudah terbawa arus, bahkan akan mengalami kebingungan. Oleh karena itu, pada masa awal pembentukan kepribadaian anak, maka akan lebih tepat jika anak ditempatkan pada lingkungan pendidikan yang dapat membentuk bangunan kepribadian yang kuat dan aman. Artinya anak membutuhkan pembentukankepribadian yang jelas, terarah dan lurus sesuai dengan ajaran agama. c) Lingkungan masyarakat Lingkungan yang lain adalah lingkungan masyarakat. Dalam hubungan ini seorang anak tidak dapat terlepas dari berinteraksi dengan lingkungan masyarakat. Anak akan selalu membutuhkan orang lain, baik sebagai teman, tetangga, pembimbing, atau yang lainnya. Beragamnya person yang ada dalam kehidupan anak jelas akan membawa pengaruh yang beraneka pula, ada sisi positif dan ada pula sisi negatif. Pergaulan anak dalam berinteraksi dengan masyarakat luas harus mendapatkan perhatian dan pantauan dari orang tua khususnya dan pendidik pada umumnya. Menurut Abdullah Nashih Ulwan orang tua harus mengetahui secara jelas teman bergaul anak, sehingga diketahui apakah termasuk anak yang nakal atau tidak.52 Jika anak dibiarkan bergaul dengan anak yang nakal besar kemungkinannya anak menjadi nakal. Dengan demikian lebih tepat anak dipilihkan teman bergaul yang diketahui jelas identitasnya, yakni teman yang saleh.
51 52
Ibid., hlm. 161-162 Abdullah Nashih Ulwan, Tarbiyah al-Aulad, jilid 1, hlm. 202.
35
Sehubungan dengan masalah lingkungan Abdullah Nashih Ulwan memberikan sorotan terhadap pengaruh media massa, baik pesawat televisi, radio, computer, DVD, internet, dan lain-lainnya. Beliau berpendapat bahwa “media tersebut cenderung bermuatan hal-hal yang berbau glamour dan erotis, sehingga sangat berbahaya bagi anak”.53 Bagi Abdullah Nashih Ulwan merebaknya berbagai media yang mudah didapatkan anak akan mempengaruhi kepribadiannya. Apalagi dalam media tersebut cenderung bermuatan hal-hal yang berbau porno, oragan, dan glamour. Yang demikian ini jelas mengakibatkan dampak yang buruk. Untuk itu, menjadi tugas penting bagi pendidik dan orang tua untuk menfilter anak dari berbagai ragam tayangan yang dapat merusak kepribadiannya. 3) Metode Pendidikan agama pada anak Sebagai seorang pendidik setelah mengetahui ilmu pengetahuan tentang mendidik anak, maka akan mencari metode yang efektif untuk mendidik anak. Menurut Abdullah Nashih Ulwan ada lima metode pendidikan yang dapat di gunakan oleh pendidik, yaitu: a. Metode pendidikan dengan keteladanan Keteladanan dalam pendidikan merupakan metode yang efektif untuk mendidik anak karena anak akan meniru apa yang di lihat dan di dengar. Sebesar apapun usaha yang dipersiapkan untuk mendidik anak agar tumbuh menjadi pribadi yang baik dan berbudi luhur, selama anak itu tidak melihat sang pendidik sebagai teladan yang mempunyai nilai-nilai moral yang tinggi, maka usaha itu tidak akan berpengaruh. Nashih Ulwan berpendapat “sesuatu yang sangat mudah bagi pendidik yaitu mengajari anak dengan berbagai materi pendidikan, akan tetapi adalah sesuatu yang teramat sulit bagi anak untuk melaksanakannya, ketika ia melihat orang yang memberikan pengarahan dan bimbingan kepadanya tidak mengamalkannya”.54
53 54
Abdullah Nashih Ulwan, Hukm al-Islam, hal. 7. Abdullahh Nashih Ulwan, Tarbiyatul Aulad Fil Islam … hlm. 142.
36
Oleh karena itu, pendidikan dengan keteladanan sangat diperlukan anak didik, mengingat pendidik adalah figur terbaik bagi mereka. b. Metode pendidikan dengan adat kebiasaan Abdullah Nashih Ulwan memulai penjelasan topik ini dengan ayat AlQuran terkait dengan fitrah manusia yang disusul dengan penjelasan pendidikan Islam dan lingkungan yang kondusif yang harus dilakukan oleh pendidik kepada anak didiknya sebagaimana keterangan berikut: Termasuk masalah yang sudah merupakan ketetapan dalam syari’at Islam, bahwa anak sejak lahir telah diciptakan dengan fitrah tauhid yang murni, agama yang benar, dan iman kepada Allah. Sesuai dengan firman Allah:55
Maka hadapkanlah wajahmu dengan Lurus kepada agama Allah; (tetaplah atas) fitrah Allah yang telah menciptakan manusia menurut fitrah itu. tidak ada peubahan pada fitrah Allah. (Itulah) agama yang lurus; tetapi kebanyakan manusia tidak mengetahui 56 Dari dalil di atas dapat dipahami bahwa seorang anak dilahirkan
dengan naluri tauhid dan iman kepada Allah. Dari sini tampak peranan pembiasaan, pengajaran dan pendidikan bagi pertumbuhan dan perkembangan anak dalam menemukan tauhid yang murni, budi pekerti yang mulia, rohani yang luhur dan etika religi yang lurus. Abdullah Nashih Ulwan mengemukakan dalam bukunya Tarbiyatul Aulad, bahwa “ada dua faktor yang dapat mendukung perkembangan anak yaitu pendidikan Islami dan lingkungan yang baik. Tidak ada yang menyangkal, bahwa anak akan tumbuh dengan iman yang benar, berhiaskan diri dengan etika islami, bahkan sampai pada puncak nilai-nilai spiritual yang
55 56
Abdullahh Nashih Ulwan, Tarbiyatul Aulad Fil Islam … hlm. 185 Al-Qur‟an dan Terjemahnya (Jakarta: PT. Syamil Cipta Media), hlm. 645
37
tinggi, dan kepribadian yang utama, jika ia hidup dengan dibekali kedua faktor tersebut”.57 Selain itu, Abdullh Nashih Ulwan juga mengemukakan bahwa metode Islam dalam upaya perbaikan terhadap anak-anak adalah mengacu pada dua hal pokok, yaitu: “pengajaran dan pembiasaan. Yang dimaksud dengan pengajaran adalah sebagai dimensi teoritis dalam upaya perbaikan dan pendidikan. Sedangkan yang dimaksud dengan pembiasaan adalah dimensi praktis dalam upaya pembentukan (pembinaan) dan persiapan”.58 c. Metode pendidikan dengan Nasehat Salah satu metode pendidikan Islam yang diyakini oleh Abdullah Nashih Ulwan sebagai metode yang berpengaruh dalam pembentukan jiwa anak adalah metode dengan nasehat. “Metode nasehat adalah salah satu metode yang cukup berhasil dalam pembentukan akidah anak dan mempersiapkannya baik secara moral, emosional maupun sosial, adalah pendidikan anak dengan petuah dan memberikan kepadanya nasehat-nasehat. Karena nasehat dan petuah memiliki pengaruh yang cukup besar dalam membuka mata anak-anak kesadaran akan hakikat sesuatu, mendorong mereka menuju harkat dan martabat yang luhur, menghiasinya dengan akhlak yang mulia, serta membekalinya dengan prinsip-prinsip islam”.59 Al-Quran penuh dengan ayat yang menggunakan metode nasehat sebagai dasar dakwah, jalan menuju perbaikan individu, dan petunjuk kepada berbagai kelompok. Diantara bentuk penggunaan metode Nashiat dalam AlQuran menurut pendapat Abdullah nashih Ulwan adalah sebagai berikut:60 1) Seruan yang menyenangkan, seraya dibarengi dengan kelembutan atau upaya penolakan. a) Contoh untuk seruan anak-anak:
57
Abdullahh Nashih Ulwan, Tarbiyatul Aulad Fil Islam hlm …185-186 Abdullahh Nashih Ulwan, Tarbiyatul Aulad Fil Islam… hlm. 203 59 Abdullahh Nashih Ulwan, Tarbiyatul Aulad Fil Islam…hlm. 209 60 Abdullahh Nashih Ulwan, Tarbiyatul Aulad Fil Islam,…hlm. 215-221 58
38
“Dan (ingatlah) ketika Luqman berkata kepada anaknya, di waktu ia memberi pelajaran kepadanya: "Hai anakku, janganlah kamu mempersekutukan Allah, Sesungguhnya mempersekutukan (Allah) adalah benar-benar kezaliman yang besar".61 b) Contoh seruan untuk kaum wanita
“Dan (ingatlah) ketika Malaikat (Jibril) berkata: "Hai Maryam, Sesungguhnya Allah telah memilih kamu, mensucikan kamu dan melebihkan kamu atas segala wanita di dunia (yang semasa dengan kamu). Hai Maryam, taatlah kepada Tuhanmu, sujud dan ruku'lah bersama orang-orang yang ruku'”(QS. AliImran: 42-43)62 2) Metode cerita, disertai perumpamaan yang Mengandung pelajaran dan Nasehat Metode ini mempunyai pengaruh tersendiri bagi jiwa dan akal, dengan argumentasi-argumentasinya yang logis dan rasional. Al-Quran menggunakan ini dibeberapa tempat, lebih-lebih dalam berita tentang para rasul dan kaumnya. Allah telah menceritakan kepada Rasulullah Saw.cerita-cerita yang paling baik, tentang kejadian yang baik, sebagai cermin bagi umat manusia, dan menjadi peneguh Rasulullah saw. 3) Metode Wasiat dan Nasehat Al-Quran sangat dipenuhi oleh ayat-ayat yang disertai wasiat dan nasehat, nash-nash yang mengandung arahan kepada pembaca terhadap apa yang mendatangkan manfaat dalam agama, dunia, dan akhiratnya. Abdullah 61 62
Q.S Luqman 13, Al-Quran dan Terjemahnya… hlm. 412. Q.S Ali Imran: 42-43, Al-Quran dan Terjemahnya… hlm.82
39
Nashih Ulwan mengharapkan agar pendidik menggunakan metode yang terdapat dalam Al-Quran. Berikut ini adalah rincian dari wasiat, nasehat, pengarahan, perintah, dan larangan yang terdapat dalam ayat-ayat Al-Quran: a) b) c) d) e) f) g) h) i) j) k) l) m) n) o) p) q)
Pengarahan dengan kata penguat Pengarahan dengan pertanyaan yang mengandung kecaman. Pengarahan dengan argumentargumen logika. Pengarahan dengan keuniversalan Islam Pengarahan dengan yurisprudensi (ilmu hukum) Menggunakan metode dialog Memulai nasehat dengan bersumpah kepada Allah. Mencampur nasehat dengan humor. Sederhana dalam nasehat agar tidak membosankan. Nasehat yang berwibawa dan berbekas bagi hadirin. Nasehat dengan memberikan perumpamaan. Nasehat dengan memperagakan tangan. Nasehat dengan memperagakan gambar. Nasehat dengan amalan praktis. Nasehat dengan disesuaikan dengan situasi. Nasehat dengan mengalihkan kepada yang lebih pening. Nasehat dengan menunjukkan sesuatu yang haram (agar dijauhi).63
Jika pendidik setiap harinya mempraktikan metode itu, maka tidak lama ia akan menyaksikan anak-anaknya yang diperhatikan dan dibimbing dalam pengawasannya, akan berada dalam barisan orang-orang yang mendapatkan petunjuk, sebagai hamba-hamba Allah yang saleh, yang menjadi gantungan harapan, dan ditangan merekalah kemenangan islam akan tercapai.64 d. Metode pendidikan dengan perhatian/pengawasan Metode pendidikan yang selanjutnya adalah pendidikan dengan perhatian/pengawasan, maksud dari metode ini menurut Abdullah Nashih Ulwan adalah “seorang pendidik harus selalu memperhatikan, mengikuti dan mengawasi perkembangan anak didik dalam segala sendi kehidupannya”.65 Karena memperhatikan dan mengawasi adalah asas pendidikan yang paling utama. Mengingat anak terletak dibawah perhatian dan pengawasan dalam pendidikan, maka pendidik harus memperhatikan terhadap segala gerak-gerik, 63
Abdullahh Nashih Ulwan, Tarbiyatul Aulad Fil Islam…, hlm. 227 Abdullahh Nashih Ulwan, Tarbiyatul Aulad Fil Islam…, hlm. 272 65 Abdullahh Nashih Ulwan, Tarbiyatul Aulad Fil Islam…, hlm.278-279 64
40
ucapan, perbuatan dan orientasinya. Jika melihat sesuatu yang baik, dihormati, maka doronglah sang anak untuk melakukannya. Dan jika melihat sesuatu yang jahat, cegahlah mereka, berilah peringatan dan jelaskan akibat yang membinasakannya dan membahayakannya. Jika pendidik melalaikan anak didiknya, sudah barang tentu anak didik akan menyeleweng dan terjerumus ke jurang kehancuran dan kebinasaan. Permasalahan yang harus diketahui oleh para pendidik adalah pendidikan dengan perhatian dan pengawasan tersebut tidak hanya terbatas pada satu-dua aspek perbaikan dan pembentukan jiwa umat manusia. Tetapi harus mencakup semua aspek: keimanan, mental, moral, fisik, spiritual maupun sosial. Sehingga pendidikan dapat menghasilkan buah dalam menciptakan individu muslim yang memiliki kepribadian integral, matang, dan sempurna, yang dapat memenuhi hak semua orang. e. Pendidikan dengan hukuman Hukuman yang dimaksud disini adalah tidak lain hukuman yang bertujuan mendidik anak. Abdullah Nashih Ulwan berpendapat, bahwa “metode pemberian hukuman adalah metode yang paling akhir. Dengan demikian jika mendidik dengan keteladanan, adat istiadat, nasehat, dan perhatian/pengawasan dapat memperbaiki jiwa anak, maka pemberian hukuman tidak perlu dilakukan”.66 Hal ini menunjukkan bahwa pendidik tidak boleh menggunakan hukuman yang lebih keras jika yang lebih ringan sudah bermanfaat. Pendidik hendaknya bijaksana dalam menggunakan cara hukuman yang sesuai, tidak bertentangan dengan tingkat kecerdasan anak, pendidikan, dan pembawaannya. Demikianlah Abdullah Nashih Ulwan dalam menjelaskan metode pemberian hukuman pada anak didik. Kemudian ada beberapa syarat pemberian Pukulan kepada anak sesuai dengan ajaran Islam yang diungkapkan oleh Abdullah Nashih Ulwan sebagai berikut: 1) Pendidik tidak terburu menggunakan metode pukulan, kecuali setelah menggunakan semua metode lembut, yang mendidik dan membuat jera. 66
Abdullahh Nashih Ulwan, Tarbiyatul Aulad Fil Islam…, hlm. 315
41
2) Pendidik tidak memukul ketika dalam keadaan sangat marah, karena dikhawatirkan menimbulkan bahaya terhadap anak. 3) Ketika memukul hendaknya menghindari anggota badan yang peka, seperti kepala, muka, dada, dan perut. 4) Pukulan untuk hukuman, hendaklah tidak terlalu keras dan tidak menyakiti, pada kedua tangan atau kaki dengan tongkat yang tidak besar. Diharapkan pula, pukulan berkisar antara satu hingga tiga kali pada anak dibwah umur. Dan jika pada orang dewasa, setelah tiga pukulan tidak membuatnya jera, maka boleh ditambah hingga sepuluh kali. 5) Tidak memukul anak, sebelum ia berusia sepuluh tahun, sebagaimana perintah Rasulullah saw, “suruhlah anak-anakmu mengerjakan salat, ketika mereka berusia tujuah tahun, dan pukullah mereka jika melalaikannya, ketika mereka sudah berusia sepuluh tahun”. 6) Jika kesalahan anak adalah pertama kalinya, hendaknya ia diberi kesempatan untuk bertobat dari perbuatan yang telah dilakukan, memberi kesempatan untuk minta maaf, dan diberi kelapangan untuk didekati seorang penengah, tanpa memberikan hukuman, tetapi mengambil janji untuk tidak mengulangi kesalahanya itu. 7) Pendidik hendaknya menggunakan tangannya sendiri, dan tidak menyerahkan kepada saudara-saudaranya, atau teman-temannya. Sehingga, tidak timbul api kebencian dan kedengkian di antara mereka. 8) Jika anak sudah menginjak usia dewasa dan pendidik melihat bahwa pukulan sepuluh kali tidak juga membuatnya jera, maka boleh ia menambah dan mengulanginya, sehingga anak menjadi baik kembali.67 2. Zakiah Darajat a. Riwayat Hidup Zakiah Daradjat dilahirkan di Ranah Minang, tepatnya di Kampung Kota Merapak, kecamatan Ampek Angkek, Bukittinggi, Sumatera Barat, pada 6 November 1929. Ayahnya bernama H. Daradjat Husain, yang memiliki dua istri. Dari istrinya yang pertama, Rafi’ah, ia memiliki enam anak, dan Zakiah adalah anak pertama dari keenam bersaudara. Sedangkan dari istrinya yang kedua, Hj. Rasunah, ia dikaruniai lima orang anak. Dengan demikian, dari dua istri tersebut, H. Daradjat memiliki 11 orang putra. Walaupun memiliki dua istri, ia cukup berhasil mengelola keluarganya. Hal ini terlihat dari kerukunan yang tampak dari putra-putrinya. Zakiah memperoleh perhatian yang besar dari ibu tirinya, sebesar kasih sayang yang ia terima dari ibu kandungnya.
67
Abdullahh Nashih Ulwan, Tarbiyatul Aulad Fil Islam … 325-327
42
Itulah sebagaimana yang dijelaskan oleh Abudin Nata dalam bukunya Tokohtokoh Pembaharuan Pendidikan Islam di Indonesia. 68 Adapun ayah Zakiyah darajat yang bernama H. Daradjat, bergelar Raja Ameh (Raja Emas) dan Rapi’ah binti Abdul Karim. Sejak kecil beliau tidak hanya dikenal rajin beribadah, tetapi juga tekun belajar. Keduanya dikenal aktif dalam kegiatan-kegiatan sosial. Ayahnya dikenal aktif di Muhammadiyah sedangkan ibunya aktif di Partai Sarekat Islam Indonesia (PSII). Seperti diketahui kedua organisasi tersebut menduduki posisi penting dalam dinamika Islam di negeri ini. Muhammadiyah sering disebut sebagai organisasi yang sukses mengelola lembaga-lembaga pendidikan yang bercorak modern, sementara PSII adalah organisasi Islam yang memiliki kontribusi besar terhadap bangkitnya semangat nasionalisme di kalangan masyarakat muslim Indonesia. Kakek Zakiah dari pihak ayah menjabat sebagai tokoh adat di Lembah Tigo Patah Ampek Angkek Candung. Kampung Kota Merapak pada dekade tahun 30-an dikenal sebagai kampung yang relijius. Zakiah menuturkan, “Jika tiba waktu shalat, masyarakat kampung saya akan meninggalkan semua aktivitasnya dan bergegas pergi ke masjid untuk menunaikan kewajibannya sebagai Muslim.” Pendeknya, suasana keagamaan di kampung itu sangat kental. Pada usia 6 tahun, Zakiah mulai memasuki sekolah. Pagi belajar di Standard Shcool (Sekolah Dasar) Muhammadiyah, sementara sorenya mengikuti sekolah Diniyah (Sekolah Dasar Khusus Agama). Hal ini dilakukan karena ia tidak mau hanya semata-mata menguasai pengetahuan umum, ia juga ingin mengerti masalah-masalah dan memahami ilmu-ilmu keislaman. Setelah menamatkan Sekolah Dasar, Zakiah melanjutkan ke Kulliyatul Muballighat di Padang Panjang. Seperti halnya ketika duduk di Sekolah Dasar, sore harinya ia juga mengikuti kursus di SMP. Namun, pada saat duduk di bangku SMA, hal yang sama tidak lagi bisa dilakukan oleh Zakiah. Ini karena, lokasi SMA yang 68
Abuddin Nata, Tokoh-tokoh Pembaharuan Pendidikan Islam di Indonesia, (Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2005), hlm. 233
43
relatif jauh dari kampungnya, yaitu Bukittinggi. Kiranya, dasar-dasar yang diperoleh di Kulliyatul Mubalighat ini terus mendorongnya untuk berperan sebagai mubaligh hingga sekarang. Pada tahun 1951, setelah menamatkan SMA, Zakiah meninggalkan kampung halamannya untuk melanjutkan studinya ke Yogyakarta. Pada masa itu anak perempuan yang melanjutkan pendidikan di kota lain masih sangat langka. Kesadaran masyarakat akan pentingnya pendidikan bagi anak perempuan masih sangat kecil. Kesadaran itu hanya muncul di kalangan pejabat, pemerintah, dan elit masyarakat pada umumnya. Akan tetapi hal itu tampaknya tidak berlaku bagi masyarakat Minang. Kuatnya tradisi merantau di kalangan masyarakat Minang dan garis keluarga yang bercorak materilinial membuka kesempatan luas bagi perempuan Minang untuk melakukan aktivitas-aktivitas sosial, termasuk melanjutkan studi di kota lain. Konteks sosial budaya semacam ini merupakan pondasi bagi Zakiah untuk terus meningkatkan kualitas dirinya melalui pendidikan. Di kota pelajar, Zakiah masuk Fakultas Tarbiyah Perguruan Tinggi Agama Islam Negeri (PTAIN)-kelak menjadi IAIN Sunan Kalijaga. Di samping di PTAIN, Zakiah juga kuliah di Fakultas Hukum Universitas Islam Indonesia (UII). Pertimbangannya seperti diungkapkan adalah keinginan untuk menguasai ilmu-ilmu agama dan umum. Akan tetapi kuliahnya di UII harus berhenti di tengah jalan. “Pada tahun ketiga di PTAIN, saya mendapat teguran dari beberapa dosen. Mereka menyarankan agar saya konsentrasi saja di PTAIN,” cerita Zakiah prihal keluarnya dari UII. Zakiah dari awal tercatat sebagai mahasisiwa ikatan dinas di PTAIN. Sekitar tahun 50-an PTAIN merupakan perguruan tinggi yang masih baru. Tenaga pengajarnya, lebih-lebih yang memiliki spesialisasi dalam bidang ilmu tertentu boleh dibilang sedikit terutama jika dibandingkan dengan Universitas Gadjah Mada (UGM). Karena kondisi inilah PTAIN banyak menawarkan ikatan dinas kepada mahasiswanya. Setelah Zakiah mencapai tingkat Doktoral Satu (BA), bersama sembilan orang temannya yang kebetulan semuanya laki-laki mendapatkan
44
tawaran dari DEPAG untuk melanjutkan studi ke Kairo, Mesir. Beasiswa ini merupakan realisasi dari kerjasama antara pemerintah Indonesia dengan pemerintah Mesir dalam bidang pendidikan. Di antara kandidat, Zakiah merupakan
satu-satunya
perempuan
yang
mendapatkan
kesempatan
melanjutkan studi. Tawaran itu disambut Zakiah dengan perasaan gembira sekaligus was-was. Gembira karena tawaran ini memberikan kesempatan untuk meneruskan pendidikan ke tingkat yang lebih tinggi. Lagi pula pada saat itu perempuan Indonesia yang melanjutkan studi ke luar negeri boleh dibilang langka. Was-was karena merasa kuatir tidak sanggup menjalaninya dengan baik. Namun sebelum menyatakan menerima tawaran itu, Zakiah terlebih dahulu konsultasi dengan kedua orang tuanya. Ternyata kedua orang tuanyapun tidak keberatan Zakiah melanjutkan studinya ke Mesir. Tradisi melanjutkan studi ke Timur Tengah, khususnya Haramain (Mekkah dan Madinah) dan Mesir sudah berlangsung lama. Kaum terpelajar Indonesia sejak abad-abad lalu telah menjadikan Timur Tengah sebagai kiblat keilmuan. Tidak sedikit tamatan Timur Tengah yang mewarnai percaturan intelektual di negeri
ini, khususnya berkaitan dengan upaya-upaya
pembaharuan Islam. Pada tahun 1956, Zakiah bertolak ke Mesir dan langsung diterima (tanpa dites) di Fakultas Pendidikan Universitas Ein Syams, Kairo, untuk program S2. Pada waktu itu, antara pemerintah Indonesia dan Mesir sudah menjalin kesepakatan bahwa doktoral satu di Indonesia disamakan dengan S1 di Mesir. Inilah kiranya yang menyebabkan Zakiah langsung diterima tanpa tes di Universitas Ein Syams. Zakiah berhasil meraih gelar MA dengan tesis tentang Problema Remaja di Indonesia pada 1959 dengan spesialisasi mental-hygiene dari Universitas Eins Syams, setelah setahun sebelumnya mendapat diploma pasca sarjana dengan spesialisasi pendidikan dari Universitas yang sama. Selama menempuh program S2 inilah Zakiah mulai mengenal klinik kejiwaan. Ia bahkan sudah sering berlatih praktik konsultasi psikologi di klinik universitas. Pada waktu Zakiah menempuh program S3 perkembangan ilmu psikologi di
45
universitas Ein Syams masih didominasi oleh psikoanalisa, suatu mazhab psikologi-dipelopori oleh Sigmund Freud- yang mendudukkan alam tak sadar sebagai faktor penting dalam kepribadian manusia. Sedangkan metode nondirective dari Carl Rogers yang menjadi minat Zakiah baru mulai dirintis dan diperkenalkan di universitas. Karena itu, ketika Zakiah mengajukan disertasinya mengenai psikoterapi model non-directive dengan fokus psimoterapi
bagi
anak-anak
bermasalah,
ia
mendapatkan
dukungan
sepenuhnya dari pihak universitas. Selanjutnya, pada tahun1964, dengan disertasi tentang perawatan jiwa anak, Zakiah berhasil meraih gelar doktor dalam bidang psikologi dengan spesialisasi kesehatan mental dari universitas Eins Syams.69 Zakiah Daradjat meninggal di Ciputat dalam usia 83 tahun pada 15 Januari 2013 sekitar pukul 09.00 WIB. Setelah disalatkan, jenazahnya dimakamkan di Kompleks UIN Ciputat pada hari yang sama. Menjelang akhir hayatnya, ia masih aktif mengajar, memberikan ceramah, dan membuka konsultasi psikologi. Sebelum meninggal, ia sempat menjalani perawatan di Rumah Sakit Hermina, pada pertengahan Desember 2012 b. Karir/Riwayat Pekerjaan Zakiah Darajat Pada dekade 1960-an, Departemen Agama dipimpin oleh KH. Saifuddin Zuhri, kiai-politisi dari lingkungan NU. Situasi politik saat itu diwarnai oleh persaingan, bahkan konfrontasi antara tiga golongan, yaitu golongan nasionalis, komunis, dan agama. Membaca situasi seperti itu, langkah pertama yang ditempuh Saifuddin adalah merumuskan acuan operasional yang bersifat yuridis-formal tentang keberadaan dan fungsi Depag. Langkah ini dimaksudkan untuk memperkokoh posisi Depag dalam percaturan politik di Indonesia. Saifuddin juga menaruh perhatian khusus kepada perkembangan lembaga-lembaga pendidikan Islam yang berada di bawah naungan Depag (Madrasah dan IAIN) pada masa kementrian Saifuddin, IAIN 69
Tim Penerbitan Buku 70 Tahun Prof. Dr. Zakiah Daradjat, Perkembangan Psikologi Agama dan Pendidikan Islam di Indonesia 70 tahun Prof.Dr. Zakiah Daradjat, (Ciputat: PT Logos Wacana Ilmu dengan Pusat penelitian IAIN Syarif Hidayatullah, 1999) Cet. I, hlm. 4-9
46
yang semula berjumlah dua, Jakarta dan Yogyakarta, berkembang menjadi Sembilan. Secara berturut-turut berdiri IAIN di kota-kota Surabaya, Banda Aceh, Ujung Pandang, Banjarmasin, Padang, Palembang, dan Jambi, serta cabang-cabangnya yang berlokasi di kota-kota kabupaten. Dalam situasi itulah Zakiah tiba di tanah air. Setelah meraih gelar Doktor Psikologi, Zakiah langsung pulang ke Indonesia. Sebagai mahasiswa ikatan dinas, pertama-tama yang dilakukannya adalah melapor kepada Menteri Agama Saifuddin Zuhri. Menag memberi keleluasaan kepada Zakiah untuk memilih tempat tugas. Meskipun demikian, sepenuhnya Zakiah menyerahkan penugasannya kepada Menag. Bagi Zakiah memang banyak tawaran mengajar. IAIN Yogya (pada 1960-an PTAIN sudah diubah menjadi IAIN) sebagai almamaternya, meminta agar Zakiah kembali ke sana; sementara IAIN Padang dan IAIN Palembang yang masih tergolong baru, juga meminta kesediaan Zakiah untuk “mengabdikan” ilmunya. Zakiah memaparkan undangan mengajar itu kepada Menag. Sebagai jalan tengah, oleh Menag, Zakiah ditugaskan di Departemen Agama Pusat, di Jakarta, dengan pertimbangan agar Zakiah bisa mengajar di berbagai IAIN sekaligus. Sejak itu, Zakiah menjadi dosen keliling, dan ia tetap berkantor di Jakarta. Pada 1967, Zakiah ditunjuk untuk menduduki jabatan Kepala Dinas Penelitian dan Kurikulum Perguruan Tinggi di Biro Perguruan Tinggi dan Pesantren Luhur. Jabatan ini dipegang hingga Menag digantikan oleh KH. Muhammad Dachlan. Bahkan ia baru meninggalkan jabatan ini ketika kursi Menag diduduki oleh A. Mukti Ali. Pada 1977, ketika A. Mukti Ali menjabat sebagai Menag, Zakiah dipromosikan untuk menjadi Direktur di Direktorat Pendidikan Agama. Ketika menjabat direktur inilah muncul dua peristiwa besar yang menyangkut pendidikan Islam di Indonesia, yaitu SKB Tiga Menteri, dan “Kasus Uga” (Urusan Guru Agama).70 c. Karya-karya Zakiah Daradjat 70
Jajat Burhanudin, ed, Ulama Perempuan Indonesia, (Jakarta: PT. Gramedia Pustaka Utama, 2002), h. 143-149
47
Karya Prof. Dr. Zakiah Daradjat di antaranya adalah: 1) Ilmu Jiwa Agama tahun 1970 Penerbit PT Bulan Bintang. 2) Pendidikan Agama dalam Pembinaan Mental tahun 1970 Penerbit PT Bulan Bintang. 3) Problema Remaja di Indonesia tahun 1974 Penerbit PT Bulan Bintang. 4) Perawatan Jiwa untuk anak-anak tahun 1982 Penerbit PT Bulan Bintang. 5) Membina nilai-nilai moral di Indonesia tahun 1971 Penerbit PT Bulan Bintang. 6) Perkawinan yang Bertanggung Jawab tahun 1975 Penerbit PT Bulan Bintang. 7) Islam dan Peranan Wanita tahun 1978 Penerbit PT Bulan Bintang. 8) Peranan IAIN dalam Pelaksanaan P4 tahun 1979 Penerbit PT Bulan Bintang. 9) Pembinaan Remaja tahun 1975 Penerbit PT Bulan Bintang 10) Ketenangan dan Kebahagiaan dalam Keluarga tahun 1974 Penerbit PT Bulan Bintang 11) Pendidikan Orang Dewasa tahun 1975 Penerbit PT Bulan Bintang 12) Menghadapi Masa Manopoase tahun 1974 Penerbit PT Bulan Bintang 13) Kunci Kebahagiaan tahun 1977 Penerbit PT Bulan Bintang 14) Membangun Manusia Indonesia yang Bertakwa kepada Tuhan YME tahun 1977 Penerbit PT Bulan Bintang 15) Kepribadian Guru tahun 1978 Penerbit PT Bulan Bintang 16) Pembinaan Jiwa/Mental tahun 1974 Penerbit PT Bulan Bintang 17) Kesehatan Mental tahun 1969 Penerbit Gunung Agung 18) Peranan Agama dalam Kesehatan Mental tahun 1970 Penerbit Gunung Agung 19) Islam dan Kesehatan Mental tahun 1971 Penerbit Gunung Agung
48
20) Shalat Menjadikan Hidup Bermakna tahun 1988 Penerbit YPI Ruhama 21) Kebahagiaan tahun 1988 Penerbit YPI Ruhama 22) Haji Ibadah yang Unik tahun 1989 Penerbit YPI Ruhama 23) Puasa Meningkatkan Kesehatan Mental tahun 1989 Penerbit YPI Ruhama 24) Doa Menunjang Semangat Hidup tahun 1990 Penerbit YPI Ruhama 25) Zakat Pembersih Harta dan Jiwa tahun 1991 Penerbit YPI Ruhama 26) Remaja, Harapan dan Tantangan tahun 1994 Penerbit YPI Ruhama 27) Pendidikan Islam dalam Keluarga dan Sekolah tahun 1994 Penerbit YPI Ruhama 28) Shalat untuk anak-anak tahun 1996 Penerbit YPI Ruhama. 29) Puasa untuk anak-anak tahun 1996 Penerbit YPI Ruhama. 30) Kesehatan Jilid I, II, III tahun 1971 Penerbit Pustaka Antara. 31) Kesehatan (Pertolongan Pertama Pada Kecelakaan) Jilid IV tahun 1974 Penerbit Pustaka Antara. 32) Kesehatan Mental dalam Keluarga tahun 1991 Penerbit Pustaka Antara.71
d. Konsep pendidikan agama pada anak menurut Zakiah Darajat 1) Materi pendidikan Agama pada Anak a) Pembinaan Iman dan Tauhid. Dalam ayat 13, Luqman menggunakan kata pencegahan dalam meNashiati anaknya agar tidak menyekutukan Allah.
(١٣ 71
Tim Penerbitan Buku 70 Tahun Prof. Dr. Zakiah Daradjat, Perkembangan Psikologi Agama dan Pendidikan Islam di Indonesia 70 tahun Prof. Dr. Zakiah Daradjat..., hlm. 62-64
49
”Dan (ingatlah) ketika Luqman berkata kepada anaknya, ketika dia memberi pelajaran padanya, “Wahai anakku! Janganlah engkau mempersekutukan Allah, sesungguhnya mempersekutukan (Allah) adalah benar-benar kezaliman yang besar.” (QS. Luqman: 13).72 Ayat ini menjelaskan bahwa pendidikan tauhid dilakukan dengan katakata, maka anak Luqman ketika itu telah berumur sedikitnya dua belas tahun. Sebab kemampuan kecerdasan untuk dapat memahami hal yang abstrak (maknawi) terjadi apabila perkembangan kecerdasan mencapai ke tahap mampu memahami hal-hal di luar jangkauan alat-alat indera, yaitu umur 12 tahun. Syirik adalah sesuatu hal yang abstrak, tidak mudah dipahami oleh anak yang perkembangan kecerdasannya belum sampai pada kemampuan tersebut. Lanjutan ayat tersebut adalah “Syirik itu adalah kezaliman yang besar”, maka untuk memahaminya diperlukan kemampuan mengambil kesimpulan yang abstrak dari kenyataan yang diketahui. Biasanya kemampuan demikian, tercapai pada umur kira-kira 14 tahun. Maka umur anak Luqman ketika itu sedikitnya 14 tahun. Pembentukan iman seharusnya mulai sejak anak dalam kandungan, sejalan dengan pertumbuhan kepribadian. Berbagai hasil pengamatan pakar kejiwaan menunjukkan bahwa janin yang dalam kandungan, telah mendapat pengaruh dari keadaan sikap dan emosi ibu yang mengandungnya. Hal tersebut tampak dalam perawatan kejiwaan, di mana keadaan keluarga, ketika si anak dalam kandungan, mempunyai pengaruh terhadap kesehatan mental si janin di kemudian hari. Oleh karena itu, pendidikan iman terhadap anak, sesungguhnya telah dimulai sejak persiapan wadah untuk pembinaan anak, yaitu pembentukan keluarga, yang syarat-syaratnya ditentukan Allah di dalam beberapa ayat, di antaranya: (a) Persyaratan keimanan (QS. Al-Baqarah: 221) (b) Persyaratan akhlak (QS. An-Nuur: 3)
72
QS. Luqman: 13, Al-Qur’an dan Terjemahannya, hlm. 412
50
(c) Persyaratan tidak ada hubungan darah (QS. An-Nisaa’: 22-23)73 b) Pembinaan Akhlak Akhlak adalah implementasi dari iman dalam segala bentuk perilaku. Di antara contoh akhlak yang diajarkan oleh Luqman kepada anaknya adalah: (a) Akhlak anak terhadap kedua ibu-bapak. (b) Akhlak terhadap orang lain. (c) Akhlak dalam penampilan diri.74 Sebagaimana tergambar di dalam surat Luqman ayat 14, 15, 18 dan 19. Akhlak terhadap ibu-bapak, dengan berbuat dan berterima kasih kepada keduanya. Dan diingatkan Allah, bagaimana susah dan payahnya ibu mengandung dan menyusukan anak sampai umur dua tahun:
(١٤ “Dan Kami perintahkan kepada manusia (agar berbuat baik) kepada kedua orang tuanya. Ibunya telah mengandungnya dalam keadaan lemah yang bertambah-tambah, dan menyapihnya dalam usia dua tahun. Bersyukurlah kepada-Ku dan kepada kedua orangtuamu. Hanya kepada Aku kembalimu.” (QS. Lukman: 14).75 Bahkan anak harus tetap hormat dan memperlakukan kedua orang tuanya dengan baik, kendatipun mereka mempersekutukan Tuhan, hanya yang dilarang adalah mengikuti ajakan mereka untuk meninggalkan iman-tauhid.
(١٥ “Dan jika keduanya memaksamu untuk mempersekutukan Aku dengan sesuatu yang engkau tidak mempunyai ilmu tentang itu, maka janganlah engkau menaati keduanya, dan pergaulilah keduanya di dunia dengan baik, dan ikutilah jalan orang yang kembali kepada-Ku. Kemudian hanya kepada-Ku tempat kembalimu, maka akan Aku 73
Zakiah Daradjat, Pendidikan Islam dalam Keluarga dan Sekolah…, h. 54-55 Zakiah Daradjat, Pendidikan Islam dalam Keluarga dan Sekolah…, h. 55-58 75 QS. Luqman: 14, al-Qur’an dan Terjemahannya…, h. 412 74
51
beritahukan kepadamu apa yang telah kamu kerjakan.” (QS. Luqman: 15). Kemudian akhlak terhadap orang lain, adalah adab, sopan santun dalam bergaul, tidak sombong dan tidak angkuh, serta berjalan sederhana dan bersuara lembut.
(١٩-۱٨ “Dan janganlah kamu memalingkan wajah dari manusia (karena sombong) dan janganlah kamu berjalan di muka bumi dengan angkuh. Sungguh, Allah tidak menyukai orang-orang yang sombong dan membanggakan diri. Dan sederhanakanlah dalam berjalan dan lunakkanlah suaramu. Sesungguhnya seburuk-buruk suara ialah suara keledai.” (QS. Luqman: 18-19).76 Pendidikan akhlak dalam keluarga dilaksanakan dengan contoh dan teladan dari orang tua. Perilaku dan sopan santun orang dalam hubungan dan pergaulan antara ibu dan bapak, perlakuan orang tua terhadap anak-anak mereka, dan perlakuan orang tua terhadap orang lain dalam lingkungan keluarga dan lingkungan masyarakat, akan menjadi teladan bagi anak-anak. Anak memperhatikan sikap orang tua dalam menghadapi masalah, ada yang berjalan dengan gaya bapak yang dikaguminya atau gaya ibu yang disayanginya. Perkataan dan cara berbicara, bahkan gaya menanggapi temanteman atau orang lain, terpengaruh oleh orang tuanya. Juga cara mengungkapkan emosi, marah, gembira, sedih dan sebagainya, dipelajari pula dari orang tuanya. Adapun akhlak, sopan santun dan cara menghadapi orang tuanya, banyak tergantung kepada sikap orang tua terhadap anak. Apabila anak merasa terpenuhi semua kebutuhan (jasmani, kejiwaan dan sosial), maka anak akan sayang, menghargai dan menghormati orang tuanya. Akan tetapi apabila anak merasa terhalang pemenuhan kebutuhannya oleh orang tuanya, misalnya ia merasa tidak disayangi atau dibenci, suasana dalam keluarga yang tidak 76
Q.S Luqman 18-19, al-Qur’an dan Terjemahannya, hlm. 412
52
tenteram, sering kali menyebabkannya takut dan tertekan oleh perlakuan orang tuanya, atau orang tuanya tidak adil dalam mendidik dan memperlakukan anak-anaknya, maka perilaku anak tersebut boleh jadi bertentangan dengan yang diharapkan oleh orang tuanya, karena ia tidak mau menerima keadaan yang tidak menyenangkan itu. c) Pembinaan Ibadah dan Agama Pembinaan ketaatan beribadah anak, juga mulai dalam keluarga. Anak yang masih kecil, kegiatan ibadah yang lebih menarik baginya adalah yang mengandung gerak, sedangkan pengertian tentang ajaran agama belum dapat dipahaminya. Karena itu, ajaran agama yang abstrak tidak menarik perhatiannya. Anak-anak suka melakukan shalat, meniru orang tuanya, kendatipun ia tidak mengerti apa yang dilakukannya. Pengalaman keagamaan yang menarik bagi anak di antaranya shalat berjamaah, lebih-lebih lagi bila ia ikut shalat di dalam shaf berjamaah bersama orang dewasa. Di samping itu anak senang melihat dan berada dalam tempat ibadah (masjid, mushalla, surau dan sebagainya) yang bagus, rapi dan dihiasi dengan lukisan atau tulisan yang indah. Pengalaman ibadah yang tidak mudah dilupakan anak, suasana shalat tarawih pada bulan Ramadhan di masjid tempat ia tinggal dan shalat hari raya. Pada bulan ramadhan anak-anak senang ikut berpuasa dengan orang tuanya, walaupun ia belum kuat untuk melaksanakan ibadah puasa sehari penuh. Kegembiraan yang dirasakannya karena dapat berbuka puasa bersama dengan ibu-bapak dan seluruh anggota keluarga, setelah itu mereka bergegas shalat Maghrib, kemudian pergi ke masjid atau langgar bersama teman-temannya untuk melakukan shalat tarawih, amat menyenangkan bagi anak-anak dan remaja. Anak-anak yang masih kecil, umur antara 2-5 tahun pun ikut gembira untuk melakukan shalat tarawih, walaupun mereka belum mampu duduk atau berdiri lama, seperti orang dewasa, namun pengalaman tersebut, amat penting bagi pembentukan sikap positif terhadap agama dan merupakan unsur-unsur
53
positif dalam pembentukan kepribadiannya yang sedang tumbuh dan berkembang.77 Sebagaimana Luqman menggambarkan ketika menyuruh anaknya untuk shalat.
(۱٧ “Wahai anakku! Laksanakanlah salat dan suruhlah (manusia) berbuat yang makruf dan cegahlah (mereka) dari yang mungkar dan bersabarlah terhadap apa yang menimpamu, sesungguhnya yang demikian itu termasuk yang penting.”(QS. Luqman: 17).78 Pelaksanaan perintah tersebut bagi anak-anak adalah dengan persuasi, mengajak dan membimbing mereka untuk melakukan shalat. Jika anak-anak telah terbiasa shalat dalam keluarga, maka kebiasaan tersebut terbawa sampai dewasa, bahkan sampai tua. d) Pembinaan Kepribadian dan Sosial Anak Pembentukan kepribadian terjadi dalam masa yang panjang, mulai sejak dalam kandungan sampai umur 21 tahun. Pembentukan kepribadian berkaitan erat dengan pembinaan iman dan akhlak. Secara umum para pakar kejiwaan berpendapat, bahwa kepribadian merupakan suatu mekanisme yang mengendalikan dan mengarahkan sikap dan perilaku seseorang. Apabila kepribadian seseorang kuat, makanya sikapnya tegas, tidak mudah terpengaruh oleh bujukan dan faktor-faktor yang datang dari luar, serta ia bertanggung jawab atas ucapan dan perbuatannya. Dan sebaliknya, apabila kepribadiannya lemah, maka ia mudah terombang-ambing oleh berbagai faktor dan pengaruh dari luar. Terbentuknya kepribadian melalui semua pengalaman dan nilai-nilai yang diserapnya dalam pertumbuhan dan perkembangannya. Apabila nilainilai agama banyak masuk ke dalam pembentukan kepribadian seseorang, 77 78
Zakiah Daradjat, Pendidikan Islam dalam Keluarga dan Sekolah…, h. 59-61 Q.S luqman 17, al-Qur’an dan Terjemahannya…, h. 412
54
maka tingkah laku orang tersebut akan banyak diarahkan dan dikendalikan oleh nilai-nilai agama. Disinilah letak pentingnya pengalaman dan pendidikan agama pada masa-masa pertumbuhan dan perkembangan seseorang. Nilai-nilai agama yang terkandung dalam cara Luqman mendidik anaknya, mulai dari penampilan pribadi Luqman yang beriman, beramal saleh, bersyukur kepada Allah dan bijaksana dalam segala hal. Yang Luqman lakukan dalam mendidik dan mengingatkan anaknya adalah kebulatan iman kepada Allah semata, akhlak sopan santun terhadap kedua orang tua, dan kepada semua manusia, serta taat beribadah. Secara khusus ditanamkan kepada anaknya kesadaran akan pengawasan Allah terhadap semua manusia dan makhluk-Nya, baik yang terlihat maupun yang tersembunyi di manapun, di langit maupun di bumi,79 sebagaimana firman Allah:
(۱٦ “(Lukman berkata), “Wahai anakku! Sungguh, jika ada (sesuatu perbuatan) seberat biji sawi, dan berada dalam batu atau langit atau di bumi, niscaya Allah akan memberinya (balasan). Sesungguhnya Allah Maha Halus, Maha Teliti.” (QS. Luqman: 16).80 Dengan kesadaran akan pengawasan Allah yang tumbuh dan berkembang dalam pribadi anak, maka akan masuklah unsur pengendali terkuat di dalamnya. Ditambah dengan unsur akhlak yang mengajak orang untuk berbuat baik dan menjauhi yang mungkar, serta sifat sabar dalam menghadapi berbagai musibah dan keadaan. Selanjutnya kepribadian tersebut hendaknya dihiasi pula dengan sifat-sifat yang menyenangkan yaitu ramah, rendah hati, dan suasana lemah lembut. Maka keutuhan pribadi muslim yang dinasehatkan oleh Luqman adalah pribadi beriman, taat beribadah, teguh pendirian, pandai bergaul, ramah dan mempunyai kepedulian terhadap masyarakat. 79 80
Zakiah Daradjat, Pendidikan Islam dalam Keluarga dan Sekolah…, h. 62-63 Q.S. Luqman: 16, al-Qur’an dan Terjemahannya…, h. 412
55
Pada umumnya para pendidik muslim menjadikan Nashiat Luqman terhadap anaknya, sebagai dasar pendidikan Islam. Pribadi Luqman sebagai sosok seorang bapak yang terpilih untuk menjadi teladan bagi anak-anaknya, yang seluruh penampilan iman, Islam dan akhlaknya dapat diserap oleh anaknya pada tahun-tahun pertama dari umurnya (0-6 tahun). Intisari dari Nashiat Luqman adalah tentang pembinaan iman, (tauhid), amal saleh (ibadah), akhlak terpuji dan kepribadian yang sehat, kuat dan penuh kepedulian terhadap masyarakat. 2) Metode Pendidikan agama pada anak a)
Metode Pendidikan dengan Keteladanan Keteladanan dalam pendidikan merupakan metode yang berpengaruh
dan terbukti paling berhasil dalam mempersiapkan dan membentuk aspek moral, spritual dan etos sosial anak. Mengingat pendidikan adalah seorang figur terbaik dalam pandangan anak, yang tindak tanduk dan sopan-santunnya disadari atau tidak, akan ditiru oleh mereka. Bahkan bentuk perkataan, perbuatan dan tindak tanduknya, akan senantiasa tertanam dalam kepribadian anak.81. Hal juga dikemukakan oleh Muhammad Said Mursi dalam bukunya seni mendidik anak “anak kecil akan selalu menuru orang dewasa, khususnya kedua orang tua atau gurunya dalam hal baik maupun tidak baik”82. Oleh karena itu orang dewasa harus bisa mencontohkan dan menjadi teladan bagi anak- anak Menurut Elizabeth Metode keteladanan lebih tepat diterapkan pada anak dengan kisaran usia 2 – 5 tahun.83 Teladan yang baik merupakan landasan yang fundamental dalam membentuk anak, baik dalam segi agama maupun akhlak. Anak tidak melihat kecuali orang-orang di sekitarnya dan tidak meniru kecuali orang-orang di sekitarnya pula. Jika dia melihat kebaikan, maka dia akan menirunya dan
81
Abdullah Nashih Ulwan, Tarbiyatul Aulad, terj. Drs. Jamaludin, M.Si., Lc., Pendidikan Anak dalam Islam, (Jakarta: Pustaka Amani, 1994), Jilid 2, hlm. 142 82 Muhammad Said mursi, seni mendidik anak, (Jakarta:Pustaka Al-Kautsar, 2003), hlm.11 83 Elizabeth B. Hurlock, Psikologi Perkembangan, (Jakarta: Erlangga, t.th.), Edisi V hlm. 109
56
tumbuh pada kebaikan itu. Jika dia melihat keburukan maka dia akan menirunya dan tumbuh pada keburukan itu. Jika sudah begitu tentu sulit merubah dan meluruskannya. Sekalipun anak memiliki kesiapan yang besar untuk menjadi baik, sekalipun fitrahnya bersih dan lucu, tapi dia tidak akan tertuntun kepada prinsi-prinsip pendidikan yang utama selagi pendidik tidak memiliki akhlak dan nilai-nilai kemuliaan yang luhur.84 “Pada anak usia dini keteladanan orang tua sangat berpengaruh terhadap kepribadian anak. Oleh karena itu, baik buruknya pribadi anak, taat tidaknya anak pada ajaran agama, akan sangat tergantung pada contoh dan teladan yang dilihatnya dari keseharian orangtuanya”. 85 Dari pendapat Zakiah diatas dapat dianalisa bahwa sebuah nilai tidak akan tertanam di dalam diri seorang anak dengan begitu saja tetapi melalui penyerapan, lalu masuk dan menjadi bagian dalam kepribadian anak. Proses ini terjadi disela-sela upaya pengenalan kepada anak tentang sebuah nilai melalui proses keteladanan. Umat Islam seharusnya bersyukur karena Allah telah mengutus seorang insan kamil (manusia sempurna) ke dunia ini untuk diteladani, sayang sekali manusia yang sesungguhnya wajib menjadi idola kaum muslimin dan muslimat itu (seperti) kurang dikenal oleh umat Islam sendiri karena tidak mempelajari sejarah hidup Rasulullah secara sistematis, baik dan benar. 86 Keteladanan merupakan metode terbaik dalam pendidikan, apalagi dalam periode awal kanak-kanak. Keteladanan yang baik pada periode ini berasal dari ayah dan ibu, kemudian dari anggota keluarga yang lain. Dalam kenyataannya kemampuan anak dalam meniru sesuatu lebih cepat dari pada yang kita bayangkan. b) Metode Pendidikan dengan Adat Kebiasaan Kebiasaan adalah cara bertindak atau berbuat seragam. Dan pembentukan kebiasaan ini menurut Wetherington melalui 2 cara. Pertama
84
Haya Binti Mubarok al-Bank, Ensiklopedi Wanita Muslimah, (Jakarta: Darul Falah, 1419), cet IV, hlm. 248 85 Zakiah Daradjat, Pendidikan Islam dalam Keluarga dan Sekolah, op. cit., hlm. 57. 86 Prof. H. Mohammad Daud Ali, SH., Pendidikan Agama Islam, (Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2000), cet III, hlm. 349-350
57
dengan cara pengulangan dan kedua dengan disengaja dan direncanakan.87 Peranan pembiasaan, pengajaran dan pendidikan dalam pertumbuhan dan perkembangan anak akan menemukan tauhid yang murni, keutamaankeutamaan budi pekerti, spiritual dan etika agama yang lurus. Menurut Elizabeth Metode kebiasaan lebih tepat diterapkan pada anak dengan kisaran usia 2 – 5 tahun.88 Tujuan dari pembiasaan ini ialah penanaman kecakapan-kecakapan berbuat dan mengucapkan sesuatu, agar cara-cara yang tepat dapat dikuasai oleh di terdidik. Harus diingat, bahwa pembentukan kepribadian tidaklah berhenti sampai disini, kalau hanya sampai disini karena mendidik manusia sama saja dengan mengajar binatang-binatang untuk main di sirkus. Bagi pendidikan manusia pembiasaan itu mempunyai implikasi yang lebih mendalam dari pada sekedar penanaman cara-cara berbuat dan mengucapkan (melafadzkan). Pembiasaan ini harus merupakan persiapan untuk pendidikan selanjutnya. Dan pendidikan tidak usah berpegang teguh pada garis pembagian yang kaku. Dimana mungkin berilah penjelasan-penjelasan sekedar makna gerakan-gerakan,
perbuatan-perbuatan
dan
ucapanucapan
itu
dengan
memperhatikan taraf kematangan si terdidik.89 Seorang Muslim dianjurkan oleh Rasulullah SAW membaca “Bismillahirrahmaanirrahim” (Dengan Menyebut Nama Allah Yang Maha Pengasih Lagi Maha Penyayang), Dengan membaca Bismillah waktu memulai tiap pekerjaan, akan semakin terasa kasih sayang Allah itu kepada kita. Menentramkan hati adalah pokok yang terpenting dalam suksesnya suatu pekerjaan yang sedang dihadapi. Suatu pekerjaan yang dikerjakan dengan hati yang gelisah akan kurang beres. Anak-anak sekolah yang menghadapi ujian dengan hati cemas, takut dan gelisah, seringkali bingung atau tak dapat berpikir karena kecemasan atau kegelisahannya menyebabkan lupa pelajaran 87
Dr. Jalaluddin, Psikologi Agama, (Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2000), cet.
4, hlm. 206 88
Elizabeth B. Hurlock, Psikologi Perkembangan, (Jakarta: Erlangga, t.th.), Edisi V
hlm. 111 89
Drs. Ahmad D. Marimba, Pengantar Filsafat Pendidikan Islam, (Bandung: PT. alMa’arif, 1989), hlm. 82
58
yang sebenarnya telah dihafalkannya. Dan orang yang makan dengan hati yang gelisah, akan merasa seolah-olah kerongkongannya tersumbat, perutnya sakit atau sekurang-kurangnya alat-alat pencernaannya akan terganggu, sehingga mengakibatkan sakit perut atau tidak bisa buang air besar. Itulah sebabnya barangkali, Nabi Muhammad SAW sangat menegaskan pentingnya membaca Bismillah dalam setiap memulai pekerjaan.90 Melihat fenomena tersebut metode pembiasaan sangat tepat dalam rangka menginternalisasikan nilai-nilai religius pada anak agar terbentuklah motivasi beragama pada anak, mereka laksanakan berdasarkan pengalaman menurut tuntunan yang diajarkan kepada mereka baik oleh keluarga, sekolah maupun masyarakat maka perlu adanya pembiasaan pada anak. c) Metode Cerita Anak-anak pada umur umur 3-6 tahun tertarik kepada cerita-cerita pendek yang berkisah tentang peristiwa yang sering dialaminya atau dekat dengan kehidupan sehari-hari. Hal tersebut sangat membantu perkembangan jiwa beragama padanya, lebih-lebih lagi karena anak pada masa kanak-kanak awal cenderung kepada meniru (imitatif).91
Pada usia sekolah (kira-kira umur 6 tahun ke atas) anak juga lebih suka cerita fantasi. Keadaan ini dapat dimanfaatkan untuk menumbuhkan motivasi beragama pada anak dan membina identitas anak, karena ia meniru tokoh yang dibaca, didengar atau dilihatnya. Oleh karena itu cerita anak-anak harus menampilkan atau menyajikan tokoh-tokoh yang saleh, yang kelakuannya selalu terpuji.
3) Lingkungan Pendidikan agama Dalam kegiatan pendidikan, unsur pergaulan dan unsur lingkungan tidak bisa dipisahkan tetapi dapat dibedakan. Dalam pergaulan tidak selalu berlangsung pendidikan walaupun di dalamnya terdapat faktor-faktor yang
90
Zakiah Daradjat, Islam dan Kesehatan Mental, (Jakarta: Gunung Agung, 1986),
91
Zakiah Daradjat, Pendidikan Islam dalam Keluarga dan Sekolah, op. cit., hlm. 77.
hlm. 27.
59
berdaya guna untuk mendidik. Pergaulan merupakan unsur lingkungan yang turut serta mendidik anak. Lingkungan secara luas mencakup iklim dan geografis, tempat tinggal, adat istiadat, pengetahuan, pendidikan dan alam. Dengan kata lain lingkungan ialah segala sesuatu yang tampak dan terdapat dalam alam kehidupan yang senantiasa berkembang. Lingkungan adalah seluruh yang ada, baik manusia maupun benda buatan manusia, atau alam yang bergerak, kejadian-kejadian atau hal-hal yang mempunyai hubungan dengan lingkungannya, sejauh itu pula terbuka peluang masuknya pengaruh pendidikan kepada anak. Di luar lingkungan sekolah (sebagai lingkungan pendidikan kedua), terdapat lingkungan keluarga sebagai lingkungan pendidikan pertama dan masyarakat sebagai lingkungan pendidikan ketiga.92 a) Pendidikan anak dalam lingkungan keluarga (1) Keluarga sebagai Wadah Pertama Pendidikan Anak Dalam kegiatan pendidikan, keluarga adalah lingkungan pendidikan pertama. Keluarga merupakan masyarakat alamiah yang pergaulan di anggota masyarakatnya bersifat khas. Dalam lingkungan keluarga terletak dasar-dasar pendidikan. Dalam keluarga pendidikan berlangsung dengan sendirinya sesuai dengan tatanan pergaulan yang berlaku di dalamnya, artinya tanpa harus diumumkan atau dituliskan terlebih dahulu agar diketahui dan diikuti oleh seluruh anggota keluarga. Dalam keluarga pula diletakkan dasar-dasar pengalaman melalui kasih sayang dan penuh kecintaan, kebutuhan akan kewajiban dan nilai-nilai kepatuhan. Justru karena pergaulan yang demikian itu berlangsung dalam hubungan yang bersifat pribadi dan wajar, maka penghayatan terhadapnya mempunyai arti yang amat penting. 93 (2) Keluarga sebagai Peletak Dasar Kepribadian Anak Ibu yang baik, saleh, penyayang, dan bijaksana, sebelum mengandung telah memohon kepada Allah agar mendapatkan anak yang saleh, yang berguna bagi bangsa, Negara dan agamanya. Ketika mulai mengandung, 92 93
Zakiah Daradjat, Ilmu Pendidikan Islam (Jakarta: Bumi Aksara, 1996),, hlm. 63-66 Zakiah Daradjat, Ibid., hlm. 66
60
hatinya gembira menanti kelahiran sang anak. Sejak dalam kandungan bayi mendapatkan pengaruh yang positif dalam kepribadiannya yang akan tumbuh di masa yang akan datang. Ketika dalam kandungan, janin mendapatkan pengaruh dari sikap dan perasaan ibunya, melalui saraf-saraf yang terdapat dalam rahim. Sikap positif sang ibu terhadap janin dan ketentraman batinnya dalam hidup menyebabkan saraf-saraf bekerja lancar dan wajar, karena tidak ada kegoncangan jiwa yang menegangkan. Maka unsur-unsur dalam pertumbuhan kepribadian anak yang akan lahir cukup baik dan positif, yang nantinya menjadi dasar pertama dalam pertumbuhan setelah lahir. Pendidikan anak pada dasarnya adalah tanggung jawab orang tua. Hanya karena keterbatasan kemampuan orang tua, maka perlu adanya bantuan dari orang yang mampu dan mau membantu orang tua dalam pendidikan anakanaknya, terutama dalam mengajarkan berbagai ilmu dan keterampilan yang selalu berkembang dan dituntut perkembangannya bagi kepentingan manusia.94 b) Pendidikan agama pada anak di lingkungan sekolah Lembaga pendidikan yang melaksanakan pembinaan pendidikan dan pengajaran dengan sengaja, teratur dan terencana adalah sekolah. Sekolah adalah tempat anak-anak berlatih dan menumbuhkan kepribadiannya. Sekolah bukanlah sekedar tempat untuk menuangkan ilmu pengetahuan ke otak murid, tetapi sekolah juga harus dapat mendidik dan membina kepribadian anak, di samping memberikan pengetahuan kepadanya. Karena itu, adalah kewajiban sekolah untuk ikut membimbing anak dalam menyelesaikan dan menghadapi kesukaran-kesukaran dalam hidup. Pembinaan dan pendidikan kepribadian anak yang telah dimulai dari rumah, harus dapat dilanjutkan dan disempurnakan oleh sekolah. Banyak kesukaran-kesukaran yang dihadapi oleh anak-anak ketika mulai masuk sekolah, masuk kedalam lingkungan yang baru, yang berbeda dari rumah.
94
Zakiah Daradjat, Pendidikan Islam dalam Keluarga dan Sekolah…, hlm. 63-64
61
Sekolah mempunyai peraturan-peraturan yang harus dipatuhi dan mempunyai larangan-larangan yang harus diindahkan.95 Guru agama di sekolah akan mengalami kesulitan jika tidak ditunjang oleh guru kelas dan guru lainnya dalam memperbaiki pengajaran agama yang kurang tepat di rumah atau di Taman Kanak-Kanak dulu, dalam rangka menjadikan anak agar tumbuh menjadi anak yang beriman dan berakhlak terpuji. Artinya, semua guru yang mengajar di Sekolah Dasar hendaknya dapat menjadi contoh teladan bagi anak didik, terutama dalam keimanan, amal saleh, akhlak, dan sikap hidup serta caranya berpikir. Pendidikan agama yang dilakukan oleh semua guru secara terpadu akan memberikan hasil yang baik dan memantul dalam kehidupannya sehari-hari.96 Kepribadian merupakan faktor terpenting bagi seorang guru. Kepribadian akan menentukan apakah ia seorang pendidik dan pembina yang baik bagi anak didiknya, ataukah perusak dan penghancur bagi hari depan anak. Terutama pada usia anak Sekolah Dasar yang sedang mengalami kegoncangan jiwa.97 Dalam pemilihan materi pendidikan agama yang diberikan di Sekolah Dasar harus disesuaikan dengan perkembangan jiwa anak didik, dengan metode yang tepat dan sesuai dengan perkembangan kejiwaan anak pada umumnya, yaitu mulai dengan contoh, teladan, pembiasaan dan latihan, kemudian berangsur-angsur memberikan penjelasan secara logis dan maknawi. Cara hidup aktif, kreatif dan disiplin perlu dikembangkan sejak dini. Anak perlu dilatih bertanggung jawab atas dirinya sesuai dengan pertumbuhan dan perkembangannya. Supaya anak terbiasa dengan kehidupan yang disiplin, aktif dan kreatif sampai dewasa nantinya.98
95
Zakiah Daradjat, Kesehatan Mental, (Jakarta: PT. Gunung Agung, 1985), Cet. XII,
96
Zakiah Daradjat, Pendidikan Islam dalam Keluarga dan Sekolah…, hlm. 77-82 Zakiah Daradjat, Kepribadian Guru, (Jakarta: PT. Bulan Bintang, 2005), Cet. IV,
hlm. 71 97
hlm. 11 98
Zakiah Daradjat, op.cit., hlm. 82-86
62
c)
Pendidikan agama pada anak di lingkungan masyarakat Masyarakat
merupakan
unsur
pendidikan
yang ketiga
dalam
pendidikan dan turut serta memikul tanggung jawab pendidikan. Masyarakat secara sederhana dapat diartikan sebagai kumpulan individu dan kelompok yang diikat oleh kesatuan Negara, kebudayaan dan agama. Setiap masyarakat mempunyai cita-cita, peraturan-peraturan dan sistem kekuasaan tertentu. Masyarakat mempunyai pengaruh yang besar dalam memberi arah terhadap pendidikan anak, terutama para pemimpin masyarakat atau penguasa yang ada di dalamnya. Pemimpin masyarakat muslim tentu saja menghendaki agar setiap anak dididik menjadi anggota yang taat dan patuh menjalankan agamanya, baik dalam lingkungan keluarganya, anggota sepermainannya, kelompok kelas dan sekolahnya. Jika sudah besar, anak diharapkan menjadi anggota yang baik pula sebagai warga desa, warga kota dan warga Negara. Dengan
demikian,
di
pundak
mereka
terpikul
keikutsertaan
membimbing pertumbuhan dan perkembangan anak. Berarti pemimpin dan penguasa dari masyarakat ikut bertanggung jawab terhadap penyelenggaraan pendidikan. Sebab tanggung jawab pendidikan pada hakikatnya merupakan tanggung jawab moral dari setiap orang dewasa baik sebagai perseorangan maupun sebagai kelompok sosial. Tanggung jawab ini ditinjau dari segi ajaran Islam, secara implisit mengandung pula tanggung jawab pendidikan. Sekalipun Islam menekankan tanggung jawab perseorangan dan pribadi bagi manusia dan menganggapnya sebagai asas, ia tidaklah mengabaikan tanggung jawab sosial yang menjadikan masyarakat sebagai masyarakat solidaritas, terpadu dan kerjasama membina dan mempertahankan kebaikan. Semua anggota masyarakat memikul tanggung jawab membina, memakmurkan, memperbaiki, mengajak kepada kebaikan, memerintahkan yang makruf, melarang yang mungkar, di mana tanggung jawab manusia melebihi perbuatan-perbuatannya yang khas, perasaannya, pikiran-pikirannya, keputusan-keputusannya
dan
maksud-maksudnya,
sehingga
mencakup
masyarakat tempat ia hidup dan alam sekitar yang mengelilinginya. Islam
63
tidak membebaskan manusia dari tanggung jawab tentang apa yang berlaku pada masyarakatnya dan apa yang terjadi di sekelilingnya atau terjadi dari orang lain. Terutama jika orang lain termasuk orang yang berada di bawah perintah dan pengawasannya seperti istri, anak dan lain-lain. Allah berfirman:
(۱١٠ “Kamu (umat Islam) adalah umat terbaik yang dilahirkan untuk manusia,(karena kamu) menyuruh (berbuat) yang makruf, dan beriman dan mencegah dari yang mungkar, dan beriman kepada Allah.” (QS. Ali Imran: 110).99
(١٠٤ “Dan hendaknya di antara kamu ada segolongan orang yang menyeru kepada kebajikan, menyuruh (berbuat) yang makruf, dan mencegah dari yang mungkar. Dan mereka itulah orang-orang yang beruntung.”(QS. Ali Imran: 104).100 Jelaslah bahwa tanggung jawab dalam Islam bersifat perseorangan dan sosial sekaligus. Selanjutnya siapa yang memiliki syarat-syarat tanggung jawab tidak hanya bertanggung jawab terhadap perbuatannya dan perbaikan dirinya, tetapi juga bertanggung jawab terhadap perbuatan orang-orang yang berada di bawah perintah, pengawasan, tanggungannya dan perbaikan masyarakatnya. Hal ini berlaku atas diri pribadi, istri, bapak, guru, golongan, lembaga-lembaga pendidikan dan pemerintah.101 C. Kajian yang relevan Tulisan-tulisan tentang biografi Abdullah Nashih Ulwan dan Zakiah Darajat sudah banyak dikaji orang, begitu juga dengan penelitian-pelitian tentang dua tokoh ini dikarenakan kedua Tokoh ini sangat pengaruh
99
Departemen Agama RI, al-Qur’an dan Terjemahannya…, hlm. 64 Ibid., hlm. 63 101 Zakiah Daradjat, Ilmu Pendidikan Islam…, hlm. 44-47 100
64
dibidangnya dengan bukti karya-karya yang sampai sekarang masih dapat dibaca dan dikaji. Sepengetahuan penulis, ada beberapa penelitian yang sudah membahas dan mengkaji mengenai konsep pemikiran Abdullah Nashih Ulwan dan Zakiah Darajat dalam bidang pendidikan, baik dalam bentuk buku, skripsi, tesis, diantaranya adalah: 1. Tim Penerbitan Buku 70 Tahun Prof. Dr. Zakiah Daradjat, Perkembangan Psikologi Agama dan Pendidikan Islam di Indonesia 70 tahun Prof.Dr. Zakiah Daradjat
2. Konsep pendidikan akhlak perpektif Abdullah Nashih Ulwan (studi kitab tarbiyatul aulad fil Islam) skripsi karya Ita humairo. Dalam skripsi ini lebih membahas tentang Akhlak kepada Allah dan Akhlak kepada manusia. 3. “Fungsi pendidikan Agama Islam pada anak menurut Prof. Dr. Zakiah Darajat” Skripsi karya Welly Catur sutioso dalam skripsi ini lebih menekankan kepada aspek lingkungan pendidikan menurut Prof. Dr. Zakiah Darajat. 4. “Pemikiran
Pendidikan
Anak
menurut
Abdullah
Nashih
Ulwan”disertasi karya khasnah Syaidah. Demikianlah beberapa penelitian tentang pemikiran pendidikan Abddullah Nashih Ulwan dan Zakiah darajat yang penulis temukan, baik yang diambil dari buku maupun penelitian ilmiah yang lainnya. Para peneliti dengan potensi masing-masing sudah mengkajipemikiran pendidikan Abdullah Nashih Ulwan dan Zakiah Darajat dalam berbagai hal. Berdasarkan penelitian-penelitain yang sudah ada mengenai pemikiran kedua tokoh tersebut, penulis bermaksud mencari dan menemukan persamaan dan perbedaan pemikiran tentang pendidikan agama islam pada anak dari kedua tokoh ini (komparasi), karena berdasarkan penelusuran dan pengamatan penulis sampai saat ini, kajian komperatif mengenai konsep Pendidikan Agama Islam pada anak belum mendapatkan perhatian yang
65
proposional. Oleh karena itu, kajian ini menjadi fokus peneliti dalam menyusun skripsi ini.
BAB III METODOLOGI PENELITIAN
A. Waktu Penelitian Penelitian yang berjudul “ Studi Komparasi Pemikiran Abdullah Nashih Ulwan dan Zakiah Darajat Terhadap Pendidikan Agama Islam pada Anak” ini dilaksanakan dalam waktu beberapa bulan, dengan pengaturan waktu sebagai berikut: bulan Desember 2012 sampai bulan Mei 2013 digunakan untuk pengumpulan data mengenai sumber-sumber tertulis yang diperoleh dari teks book yang ada di perpustakaan, serta sumber lain yang mendukung penelitian, terutama yang berkaitan dengan pendidikan anak, fungsi keluarga dari beberapa sumber sebagai sumber primer, sebagai penguat dalam penulisan skripsi ini. Kemudian menyusun data dalam bentuk hasil penelitian (laporan) dari sumbersumber yang telah ditemukan. B. Metodologi Penelitian Dalam pengumpulan data, peneliti menggunakan metode penelitian kepustakaan (library research). Sesuai dengan pokok masalah yang telah dirumuskan, data dan informasi yang dihimpun dalam penelitian ini bersifat kualitatif. Oleh karena itu, penelitian ini menggunakan metode kualitatif. Dalam penyajian data digunakan metode deskriptif analisis. Metode deskriptif digunakan
65
66
untuk menguraikan dan menggambarkan data dan informasi yang diperoleh dalam bentuk kalimat yang disertai dengan kutipan-kutipan data.1 Dalam proses mengumpulkan bahan kepustakaan, peneliti melakukannya dengan cara membaca, menelaah buku-buku, majalah, surat kabar dan bahanbahan informasi lainnya terutama yang berkaitan dengan pendidikan anak dan lingkungan pendidikan dari beberapa sumber di antaranya adalah sebagai berikut: Dalil-dalil al-Qur’an dan terjemahannya, buku-buku karya Prof. Dr. Zakiah Daradjat dan Syekh Abdullah Nashi ulwan sebagai buku acuan utama, buku Pendidikan Islam dalam Keluarga dan Sekolah, yang diterbitkan oleh PT. Remaja Rosdakarya Bandung tahun 1995, yang di dalamnya dijelaskan tentang peranan pendidikan dalam keluarga yang dimulai dari peranan ibu ketika menyusui dan mengasuh anak, peran ibu dalam pembentukan kepribadian anak, mulai dari pembinaan iman dan tauhid, pembinaan akhlak, ibadah dan agama, kepribadian dan sosial anak. Pembentukan sifat-sifat terpuji dan pendidikan anak secara umum. Ilmu Pendidikan Islam, yang diterbitkan oleh Bumi Aksara tahun 1996. Dan Karya Abdullah Nashi Ulwan adalah kitab “Tarbiyatul Aulad Fil– Islam” telah diterjemahkan ke dalam Bahasa Indonesia dengan judul “Pedoman Pendidikan Anak dalam Islam” oleh penerbit Asy-syifa` Semarang, Kitab “Tarbiyatul Aulad Fil Islam” memiliki karakteristik tersendiri. Keunikan karakteristik itu terletak pada uraiannya yang menggambarkan totalitas dan keutamaan Islam dalam mendidik anak. Islam sebagai agama yang tertinggi dan tidak ada yang melebihi ketinggiannya adalah menjadi obsesi Ulwan dalam setiap analisa dan argumentasinya, sehingga tidak ada satu bagian pun dalam kitab tersebut yang uraiannya tidak didasarkan atas dasar-dasar dan kaidah-kaidah nash. Buku-buku lain seperti Perkembangan Psikologi Agama dan Pendidikan Islam di Indonesia 70 tahun Prof. Dr. Zakiah Daradjat, Ulama Perempuan Indonesia ed, Jajat Burhanudin, Pendidikan Islam di Rumah, Sekolah dan Masyarakat karya Abdurrahman Annahlawi, Sang Anak dalam Naungan 1
Lexy J. Moelong, Metodologi Penelitian Kualitatif, (Bandung: PT Rosda Karya, 2004), cet ke-18, h. 6.
67
Pendidikan Islam karya Muhammad ‘Ali Quthb, Begini Seharusnya Mendidik Anak karya Al-Maghribi bin as-Said al-Maghribi, sebagai sumber sekunder. Selain itu akan dilengkapi dengan berbagai data dan buku-buku yang berkaitan dengan metode pendidikan anak dan lingkungan pendidikan yang terkait untuk memperkuat analisa penelitian ini. Kemudian dalam penelitian ini, peneliti menggunakan teknik Analisis Isi (Conten Analysis), yaitu menggunakan deskriptif analisis, seperti yang telah diuraikan sebelumnya. Dalam catatan deskriptif ini peneliti memberikan informasi faktual yang menggambarkan segala sesuatu apa adanya dan mencakup penggambaran secara rinci dan akurat terhadap berbagai dimensi yang terkait dengan semua aspek peneliti, yaitu mengenai konsep pendidikan agama Islam pada anak dalam pemikiran Abdullah Nashih Ulwan dan Zakiah Darajat. Kemudian setelah itu, dengan mengambil materi-materi yang relevan dengan permasalahan yang akan dibahas, kemudian peneliti menganalisis data tersebut, sehingga menghasilkan suatu kesimpulan. C. Fokus Penelitian Subjek penelitian ini adalah pandangan
Abdullah Nashih Ulwan dan
Zakiah Daradjat tentang konsep metode pendidikan agama Islam pada anak. Objek penelitian ini adalah fokus kepada metode yang digunakan dalam mendidik anak secara islam, kemudian mengkomparasikan metode yang dipaparkan oleh kedua tokoh tersebut. Cara penyajiannya bersifat deskriptif analitis. Penyajian deskriptif adalah menjelaskan tentang pengertian, maksud, tujuan dari pendidikan anak yang terdapat dalam buku “Tarbiyatul Aulad Fil Islam karangan Abdullah nashih ulwan dan buku-buku Zakiyah Darajat. Analisisnya adalah menganalisa pemikiran Prof. Dr. Zakiah Daradjat tersebut dengan berbagai dalil-dalil yang berkaitan, baik al-Qur’an, hadits, dan juga dari beberapa disiplin ilmu pengetahuan lainnya.
68
D. Prosedur Penelitian Dalam penulisan skripsi ini, penulis menggunakan metode penelitian deskriptif analisis, metode yang dilakukan adalah: 1. Teknik pengumpulan data Teknik pengumpulan data dilakukan dengan mempelajari literatur yang ada hubungannya dengan masalah yang diteliti dengan mengumpulkan data-data melalui bahan bacaan dengan bersumber pada buku-buku primer dan buku-buku sekunder yang berkaitan dengan masalah yang dibahas. 2. Teknik Pengelolahan data Setelah data-data terkumpul lengkap, berikutnya yang penulis lakukan adalah membaca, mempelajari, meneliti, menyeleksi, dan mengklasifikasi datadata yang relevan dan yang mendukung pokok bahasan, untuk selanjutnya penulis analisis, simpulkan dalam satu pembahasan yang utuh. 3. Analisa data Dalam menganalisis data, penulis menggunakan metode deskriptif analisis, yaitu memaparkan masalah-masalah sebagaimana adanya, disertai argumen-argumen. Kemudian menguraikan susunan pembahasan kepada bagian yang signifikan, setelah di analisis, dipadukan kembali unsur-unsur tersebut untuk mencapai suatu kesimpulan. 4. Teknik penulisan Teknik atau metode penulisan ini berpedoman pada Pedoman Penulisan Skripsi Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta tahun 2011.
BAB IV KOMPARASI PEMIKIRAN ABDULLAH NASHIH ULWAN DAN ZAKIAH DARAJAT A. Persamaan Pendidikan Agama Islam pada Anak menurut Abdullah Nashih Ulwan dan Zakiah Darajat 1. Materi Pendidikan Agama Islam Telah kita ketahui bahwa di era globalisasi ini atau di masa pendidikan modern telah terjadi dikotomi terhadap materi pendidikan agama Islam. Penyelenggara pendidikan saat ini lebih mengedepankan penyampaian materi pendidikan umum dari pada pendidikan agama. Pendidikan Agama tidak lagi menjadi perioritas utama dalam pengembangan pendidikan, sehingga perilakuperilaku negatif marak terjadi di kalangan pelajar. Oleh karena itulah, bagaimana pandangan Abdullah Nashih Ulwan dan Zakiah Darajat
terhadap materi
Pendidikan Agama Islam pada anak. Dalam hal ini peneliti akan memaparkan ideide mereka terkait dengan materi pendidikan agama pada anak sebagai berikut: Materi pendidikan dalam pandangan Abdullah Nashih Ulwan dan Zakiah Darajat dikaitkan dengan berbagai tanggung jawab orang tua atau pendidik terhadap anak. Secara rinci materi yang sama antara kedua tokoh ini meliputi:
69
70
pendidikan keimanan, moral, Intelektual, dan sosial. Hal ini dapat dilihat dari ungkapan Abdullah Nashih Ulwan dan Zakiah Darajat berikut: Pendidikan dengan keimanan menurut Abdullah Nashih Ulwan adalah mengikat anak-anak dengan dasar-dasar iman, rukun Islam dan dasar-dasar syariah sejak anak mulai mengerti dan memahami sesuatu. Dalam hal ini pendidik berkewajiban untuk menumbuhkan dasar-dasar pendidikan keimanan dan ajaran Islam kepada anak sejak masa pertumbuhannya dengan tujuan anak terikat dengan Islam, baik akidah maupun ibadah, dan hanya akan mengenal Islam sebagai agamanya, al-Qur`an sebagai imamnya dan Rasulullah saw, sebagai pemimpin dan teladannya. Dan cara penerapan Pendidikan keimanan dalam pandangan Ulwan meliputi: “Pertama, membuka kehidupan anak dengan kalimat Lâ Ilâha Illâ Allâh, Kedua, mengenalkan hukum- hukum halal dan haram kepada anak agar anak setelah besar telah mengetahui perintah-perintah Allah dan mampu melaksanakan, bahkan menjauhi larangan-Nya, Ketiga, menyuruh anak untuk beribadah pada usia tujuh tahun agar setelah besar cenderung mentaati Allah dan bersandar kepada-Nya, Keempat, mendidik anak untuk mencintai Rasul, ahl albait dan membaca al-Qur'an”.1 Sedangkan pendidikan keimanan menurut Zakiah darajat mengenalkan dan menumbuhkan nilai-nilai tauhid kepada anak mulai dari kecil. Ketika anak lahir kedunia segera dikumandangkan adzan dekat telinganya, agar pengalaman pertama lewat pendengarannya adalah kalimat-kalimat tauhid. Bayi yang baru lahir memang belum mengerti arti kalimat tersebut, namun demikian dasar-dasar keimanan dan keislaman sudah masuk dalam hatinya. Zakiah Daradjat juga sangat setuju jika seorang anak sejak kecil dibiasakan ikut serta dalam ibadah salat bersama orang tuanya. Sebab dengan terbiasa melihat orang tuanya salat, maka anak akan ikut-ikutan menirukan gerakan salat dan membiasakan sholat dalam kehidupannya. Jadi demikian pendidikan keimanan yang dimaksud Ulwan dan Zakiah adalah sebagai upaya pembentukan kekuatan akidah seorang anak agar menjadi 1
'Abdullah Nashih Ulwan, Hatta Ya'lam al-Syabab, cet. ke-13, hal. 113-115.
71
satu keyakinan dan pegangan dalam kehidupannya kelak. Keimanan bukan hanya cukup meyakini dan mengucapkan, namun harus mampu diaplikasikan dalam seluruh kehidupannya. Artinya, keimanan adalah pondasi dari seluruh segi kehidupan manusia. Untuk itu, pendidikan keimanan adalah hal yang krusial dikenalkan semenjak dini kepada anak agar menjadi pedoman sekaligus barometer yang mampu mengarahkan dan membimbing anak dalam hal sikap, ucapan dan perilakunya dalam lapangan kehidupan yang luas. Dan yang kedua yaitu Pendidikan akhlak. Pendidikan akhlak adalah serangkaian dasar-dasar moral dan keutamaan perangai, tabiat yang harus dimiliki dan dijadikan kebiasaan oleh anak sejak masa mumayyiz hingga menjadi seorang mukallaf. Adapun upaya pendidikan akhlak dalam pandangan Ulwan adalah meliputi: Pertama, mendidik seorang anak semenjak kecil didik untuk berlaku benar, dapat dipercaya, istiqamah, mementingkan orang lain, menghargai orang besar, menghormati tamu, berbuat baik kepada tetangga, dan mencintai orang lain; Kedua, membersihkan lidah anak dari kata-kata yang buruk dan cela serta dari segala perkataan yang menimbulkan dekadensi moral dan buruknya pendidikan; Ketiga, membiasakan anak-anak dengan perasaan-perasaan manusiawi yang mulia, seperti berbuat baik kepada anak yatim, kaum fakir dan mengasihi para janda dan kaum miskin.2 Berkaitan dengan pendidikan akhlak Ulwan menekankan pentingnya menjauhkan anak dari gejala suka dusta, mencuri, mencela dan mencemooh, serta kenakalan dan penyimpangan yang dewasa ini telah menjamur dalam kehidupan masyarakat. Keempat gejala tersebut merupakan gambaran kehidupan masyarakat dewasa ini. Uraian di atas dapat dipahami bahwa akhlak sebagai cerminan dari ucapan, perilaku dan tindakan seseorang yang tercermin dalam dirinya. Akhlak juga merupakan implementasi dari iman yang tercermin dalam setiap perbuatan. Seseorang yang mempunyai dasar iman yang kuat cenderung akan berperilaku dan bertindak sesuai dengan ajaran agama, begitu juga sebaliknya, orang yang 2
Abdullah Nashih Ulwan, Tarbiyah al-Aulad, jilid 1, hal. 180.
72
tidak punya dasar keimanan yang kuat akan cenderung berperilaku dan bertindak tanpa mengindahkan nilai-nilai ajaran agama. Adapun pendapat Zakiah Daradjat tentang pendidikan akhlak adalah kelakuan yang timbul dari hasil perpaduan antara hati nurani, pikiran, perasaan bawaan, dan kebiasaan yang menyatu membentuk suatu kesatuan tindak akhlak yang dihayati dalam kenyataan hidup keseharian. Dari kelakuan itu lahirlah perasaan moral yang terdapat di dalam diri manusia sebagai fitrah, sehingga ia mampu membedakan mana yang baik dan mana yang jahat, mana yang bermanfaat dan mana yang tidak berguna, mana yang cantik dan mana yang buruk. Dan zakiah menambahkan bahwa Akhlak adalah implementasi dari iman dalam segala bentuk perilaku. Di antara contoh akhlak yang diajarkan pendidik kepada anaknya adalah: (1) Akhlak anak terhadap kedua ibu-bapak. (2) Akhlak terhadap orang lain. adalah adab, sopan santun dalam bergaul, tidak sombong dan tidak angkuh, serta berjalan sederhana dan bersuara lembut. (3) Akhlak dalam penampilan diri.3 Materi yang sama lainnya dari kedua tokoh ini adalah Pendidikan sosial. Sebagai makhluk sosial, manusia selalu membutuhkan kehadiran orang lain sebagai partner dalam berbagai aktivitasnya. Begitu pula seorang anak akan senantiasa berada di tengah-tengah orang lain. Oleh karena itu, dibutuhkan tata cara berinteraksi dengan orang lain yang sesuai dengan ajaran agama. Abdullah Nashih Ulwan
mendefinisikan pendidikan sosial adalah
mendidik anak agar terbiasa menjalankan adab sosial yang baik dan dasar-dasar psikis yang mulia dan bersumber pada akidah islamiyah yang abadi dan perasaan keimanan yang mendalam, agar di dalam masyarakat nanti bisa tampil dengan pergaulan dan adab yang baik, keseimbangan akal yang matang dan tindakan yang bijaksana. 3
Zakiah Daradjat, Pendidikan Islam dalam Keluarga dan Sekolah, (Jakarta: CV. Ruhama, 1995), Cet. II, hlm. 55-58
73
Adapun Pendidikan sosial yang dimaksud Abdullah Nashih Ulwan meliputi: Pertama, menanamkan dasar-dasar psikis yang mulia pada anak, seperti takwa, persaudaraan, kasih sayang, mengutamakan orang lain, memberi maaf, dan berjiwa berani; Kedua, menyampaikan pada anak tentang hak-hak orang lain, baik hak terhadap kedua orang tua, saudara-saudara, guru, teman, dan orang besar atau orang yang lebih tua; Ketiga, menyampaikan pada anak tentang tata kesopanan sosial, seperti adab makan dan minum, memberi salam, meminta izin, berbicara, menjenguk orang sakit, ta'ziyah, bersin dan menguap; Keempat, mengajarkan kepada anak tentang kewajiban memerintahkan kebaikan dan mencegah kemunkaran. Sedangkan menurut Zakiah Darajat adalah Kecenderungan manusia untuk bergaul dapat diamati semenjak dari kecil. Anak-anak membutuhkan pertolongan orang yang lebih dewasa untuk memenuhi kebutuhannya. Anak-anak mulai bergaul dalam lingkungan keluarga, kemudian teman pergaulan, terutama anak yang telah mencapai usia sekolah akan senang bergaul dengan teman sebaya, bahkan kadang-kadang berteman dengan teman-teman yang lebih dewasa maupun orang tua. Oleh karena itu, agar anak dalam pergaulan dan kehidupannya mempunyai sifat-sifat yang mulia dan etika pergaulan yang baik, maka anak diberikan pengetahuan tentang etika sosial, sehingga ia dapat menyesuaikan diri dengan lingkungannya dan bahkan membatasi pergaulannya. Misalnya: anak diajarkan menghormati dan patuh kepada kedua orang tua dan orang dewasa lainnya, merendahkan diri dan lemah lembut dalam bertutur kata dan bersikap, dan lain-lain.
2. Metode Pendidikan Metode merupakan salah satu unsur pendidikan yang sangat penting, dalam hal ini seorang pendidik harus terus mencari berbagai metode yang lebih efektif, mencari kaidah-kaidah pendidikan yang influentif dalam mempersiapkan anak secara mental, moral, spiritual dan sosial, sehingga anak dapat mencapai kematangan yang sempurna.
74
Ungkapan di atas memberikan pemahaman bahwa dalam menyampaikan materi dibutuhkan cara-cara (metode) yang tepat dan sesuai, sehingga keterampilan seorang pendidik sangat berpengaruh dalam menggunakan metode yang ditempuh, sebab metode sangat banyak jenisnya. Penggunaan metode yang tepat akan sangat menentukan keberhasilan pendidikan. Dengan demikian seorang pendidik harus memiliki kemampuan dan keterampilan dalam menyampaikan pelajaran kepada anak sesuai dengan situasi dan kondisi yang terus berkembang. Oleh karena itu, seorang pendidik harus cakap dan tanggap dalam merespon segala kemajuan ilmu dan teknologi serta memilah mana yang tepat dan sesuai keberadaan anak didiknya. Dalam memandang metode pembelajaran pendidikan agama Islam pada anak Abdullah Nashih Ulwan dan Zakiah Darajat ada beberapa metode yang memiliki kesamaan antara kedua tokoh ini dalam menetapkan metode pendidikan agama pada anak diantaranya metode keteladanan dan metode kebiasaan. Dalam pandangan Abdullah Nashih Ulwan metode keteladanan adalah sebagai sarana yang sangat berpengaruh untuk mempersiapkan anak secara psikis dan sosial. Dalam hal ini pendidik dipandang anak sebagai teladan yang utama. Dalam menerapkan metode keteladanan, Ulwan menekankan pada pentingnya mengenalkan keteladanan dalam diri Rasulullah dan sahabat dalam berbagai aspek kehidupan, misalnya: ibadah, budi pekerti, keberanian, kasih sayang, dan berjihad. Dan ulwan menambahkan, keteladanan mereka dapat dijadikan cermin dalam setiap kehidupan umat manusia bagi generasi Muslim masa kini laki-laki, wanita, tua, muda, besar maupun kecil, sehingga mereka mampu meniru dan memberikan kepada orang lain suatu contoh yang baik, akhlak yang mulia, perilaku yang baik, dan sifat-sifat islami yang terpuji. Dan ulwan juga menyoroti bahwa anak-anak di bawah umur biasanya mengikuti jejak sang kakak, bahkan memandang sebagai ikutan dalam segala sesuatu dan mengikuti segala sifat moral dan adat kebiasaan sosialnya. Oleh karena itu, wajib bagi kedua orang tua untuk memusatkan perhatiannya kepada
75
anak yang terbesar, kemudian anak-anak di bawah usianya, agar sang sulung menjadi teladan yang baik bagi adik-adiknya.4 Sedangkan Zakiah Darajat melihat tentang keteladanan lebih kepada orang yang berada disekitar anak. Karena dengan pendidikan keteladan akan mempengaruhi akhlak anak dalam kesehariannya. Perilaku dan sopan santun orang dalam hubungan dan pergaulan antara ibu dan bapak, perlakuan orang tua terhadap anak-anak mereka, dan perlakuan orang tua terhadap orang lain dalam lingkungan keluarga dan lingkungan masyarakat, akan menjadi teladan bagi anakanak. Anak memperhatikan sikap orang tua dalam menghadapi masalah, ada yang berjalan dengan gaya bapak yang dikaguminya atau gaya ibu yang disayanginya. Perkataan dan cara berbicara, bahkan gaya menanggapi temanteman atau orang lain, terpengaruh oleh orang tuanya. Juga cara mengungkapkan emosi, marah, gembira, sedih dan sebagainya, dipelajari pula dari orang tuanya. Oleh karena itu pendidik harus selalu bisa tampil didepan anak didiknya dengan penampilan yang bisa dijadikan sebagai teladan yang baik dalam segala hal. Sehingga anak didik sejak usia pertumbuhan bisa tumbuh dalam kebaikan dengan akhlak yang mulia. Dan adapun metode kebiasaan menurut Abdullah Nashih Ulwan tidak hanya untuk anak-anak saja akan tetapi juga bisa diterapkan oleh orang dewasa sebagai untuk memperbaiki kesalahan yang dilakukan oleh anak. Ulwan juga berpendapat bahwasanya pendidik hendaklah memberikan pengajaran dan pembiasaan dengan disertai: 1) Metode pemberian dorongan, misalnya dengan kata-kata yang baik, dan memberikan hadiah pada kesempatan tertentu; 2) Metode pengenalan untuk disenangi (targhib); 3) Metode pengenalan untuk dibenci (tarhib); 3) Metode pemberian hukuman pada kesempatan terpaksa dan jika dipandang maslahat untuk anak dalam meluruskan kebengkokannya. Pada penerapannya ulwan menganjurkan pendidik untuk mengajarkan rukun sholat kepada anak-anak dan mengamalkannya, dan mencintai Nabi dan sejarah perjalanannya dan beraklak yang baik seta bejihad dijalan Allah. Ini 4
Abdullâh Nashih Ulwan, Tarbiyah al-Aulad , jilid 2, hal. 181
76
bertujuan anak bisa membiasakan apa yang ia pelajari dan dapan dibiasakan dalam kehidupannya. Adapun menurut zakiah darajat Pembiasaan dalam pendidikan Agama pada anak sangat penting terutama dalam pembentukan pribadi, akhlak dan agama pada umumnya. Karena pembiasaan-pembiasaan agama itu akan memasukkan unsur-unsur positif dalam pribadi anak yang sedang tumbuh. Semakin banyak pengalaman agama yang didapat melalui pembiasaan-pembiasaan itu akan semakin banyaklah unsur agama dalam pribadinya dan semakin mudahlah ia memahami ajaran agama yang dijelaskan oleh guru agama dibelakang hari.5 Pada pembiasaan salat bagi anak sangat memungkinkan sekali untuk diberikan. Sebab, “anak yang masih kecil, kegiatan ibadah yang lebih menarik baginya adalah yang mengandung gerak” sedangkan pada pengertian tentang ajaran agama belum dapat dipahaminya secara baik. Karena itu, ajaran agama yang abstrak tidak menarik dalam perhatiannya. Anak-anak suka melakukan salat, meniru orang tuanya, meskipun ia tidak mengerti apa yang dilakukannya itu. Jadi metode pendidikan agama pada anak ini dapat dijadikan perantara untuk membentuk akidah dan budi pekerti anak sehingga ketika anak beranjak dewasa mereka tumbuh dalam akidah Islam yang kokoh serta Akhlak yang luhursesuai dengan ajaran al-Quran.
3. Lingkungan Pendidikan Keberhasilan pelaksanaan pendidikan Agama pada anak sangat tergantung pada lingkungan, karena lingkungan merupakan sebuah wadah atau pusat untuk menyukseskan pelaksanaan pendidikan anak. Dalam hal ini, Abddullah Nashih Ulwan dan Zakiah Darajat juga sependapat dengan pernyataan tersebut. Karena, dalam usaha mencapai kepribadian anak yang baik menurut tidak dapat dilakukan sendirian, tetapi harus bersama-sama atas dasar saling menolong dan saling melengkapi antara ketiga lingkungan ini yaitu keluarga, sekolah, dan masyarakat. Menurut Abdullah Nashih ulwan keluarga merupakan sebagai tempat pendidikan awal dan utama bagi anak, sebab anak secara otomatis menyaksikan
5
Zakiah Daradjat, Ilmu Jiwa Agama, (Jakarta: Bulan Bintang, 1979), hlm. 81.
77
segala gerak-gerik orang tua danseluruh anggota keluarga lainnya. Oleh karena itu pembinaan kepribadian anak akan mengikut kepada orang terdekatnya. Senada dengan Ulwan, Zakiah Darajat juga berpendapat bahwasanya pendidikan pertama terdapat didalam keluarga, dan keluarga merupakan tempat meletakkan dasar kepribadian anak. Oleh karena itu pendidik atau orang tua harus mencontohkan dan mengajarkan kata-kata thayibah agar tumbuh kembang anak dengan positif. Dalam
menentukan
sekolah
Ulwan
memberikan
sorotan
bahwa
mencarikan sekolah yang dipandang baik adalah sangat penting. Untuk itu, anak ditempatkan pada sekolah yang berpayung Islam. Pentingnya menyekolahkan anak pada lembaga yang berada dalam naungan Islam dapat dipahami bahwa anak pada masa-masa awal pertumbuhannya adalah rentan terhadap pengaruh yang masuk dalam dirinya. Apabila anak berada dalam lingkungan yang tidak sesuai dengan ajaran agama, maka menyebabkan anak akan cenderung mudah terbawa arus, bahkan akan mengalami kebingungan. Oleh karena itu, pada masa awal pembentukan kepribadaian anak, maka akan lebih tepat jika anak ditempatkan pada lingkungan pendidikan yang dapat membentuk bangunan kepribadian yang kuat dan aman. Artinya anak membutuhkan pembentukan kepribadian yang jelas, terarah dan lurus sesuai dengan ajaran agama. Ini senada dengan Zakiah darajat, guru yang mengajar di Sekolah Dasar hendaknya dapat menjadi contoh teladan bagi anak didik, terutama dalam keimanan, amal saleh, akhlak, dan sikap hidup serta caranya berpikir6. Kepribadian merupakan faktor terpenting bagi seorang guru. Kepribadian akan menentukan apakah ia seorang pendidik dan pembina yang baik bagi anak didiknya, ataukah perusak dan penghancur bagi hari depan anak. Terutama pada usia anak Sekolah Dasar yang sedang mengalami kegoncangan jiwa. Dan selanjutnya ulwan menyoroti tentang media yang berkembang dimasyarakat seperti televisi dan majalah-majalah karena dengan media yang ada bisa mempengaruhi kepribadian anak, dan juga anak hendaknya berteman dengan 6
Zakiah Daradjat, Pendidikan Islam dalam Keluarga dan Sekolah…, h. 77-82
78
orang yang baik-baik. Nashih Ulwan berharap orang tua dan pendidik lainnya dapat mengawasi anak didik agar tidak terjerumus kepada kemaksiatan. Dewasa ini kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi telah banyak membawa kemudahan hidup, termasuk televisi yang sudah merambah masuk ke rumah-rumah di seluruh pelosok tanah air, mulai dari kota sampai ke desa-desa, bahkan sampai desa terpencil. Maka apa saja yang ditayangkan di TV dapat disaksikan oleh anak-anak, termasuk anak yang masih di bawah umur lima tahun. Anak akan menyerap apa yang disaksikan lewat layar kaca yang ada di rumahnya, matanya melihat dan menangkap apa yang ditayangkan, dan telinganya mendengar dan menyerap apa yang diucapkan oleh penyair, penyanyi, atau film yang ditayangkan. Semua akan terserap oleh anak dan menjadi unsur-unsur dalam pribadinya yang sedang dalam proses pertumbuhan. Jika yang ditayangkan oleh TV baik dan menunjang pembentukan iman dan takwa, maka peranannya dalam pembentukan pribadi dan identitas agama pada anak akan besar. Sebaliknya, jika yang ditayangkan tidak mendukung atau merusak nilai-nilai agama, maka anak juga akan menyerap nilai-nilai yang merusak tersebut, selanjutnya pribadinya akan diliputi pula oleh hal-hal yang merusak iman dan penampilan diri anak akan jauh dari agama.
B. Perbedaan Pendidikan Agama Islam pada Anak antara Abdullah Nashih Ulwan dan Zakiah Darajat Dalam menerapkan metode ada perbedaan antara Abdullah Nashih ulwan dan Zakiah Darajat terutama dalam menerapkan pendidikan dengan hukuman. Abdullah Nashih Ulwan beranggapan bahwasanya metode hukuman dapat menjadi metode alternatif dalam pendidikan agama islam pada anak, dan ulwan menambahkan dalam hal ini kasih sayang dan lemah lembut harus tercermin dalam sikap seorang pendidik dalam memberikan hukuman. “Adapun cara yang diterapkan islam dalam menghukum anak adala: 1) Bersikap lemah lembut dan kasih sayang; 2) Memperhatikan tabiat anak; 3) Memberikan hukuman secara bertahap."
79
Lebih lanjut 'Ulwan memberikan rambu-rambu yang harus diperhatikan ketika seorang pendidik terpaksa memukul seorang anak. Hal-hal yang harus diperhatikan adalah: (1) Memukul dilakukan jika metode lembut lainnya tidak mempan; (2) Pendidik dilarang memukul jika dalam keadaan sangat marah, karena dikhawatirkan menimbulkan bahaya terhadap anak; (3) Apabila memukul harus dihindari anggota badan yang peka, seperti kepala, muka, dada dan perut; (4) Pukulan pertama untuk hukuman, hendaknya tidak terlalu keras dan tidak menyakiti, pada kedua tangan dan kaki dengan tongkat yang tidak besar. Diharapkan pula, pukulan berkisar antara satu hingga tiga kali pada anak di bawah umur. Jika pada orang dewasa, setelah pukulan tidak membuatnya jera, maka boleh ditambah hingga sepuluh kali; (5) Tidak memukul anak, sebelum ia berusia sepuluh tahun; (6) Jika kesalahan anak adalah untuk pertama kalinya, hendaknya ia diberi kesempatan untuk bertaubat dari perbuatan yang telah dilakukan, memberi kesempatan untuk meminta maaf, dan diberi kelapangan untuk didekati seorang penengah, tanpa memberikan hukuman, tetapi mengambil janji untuk tidak mengulangi kesalahannya itu. Upaya ini tampak lebih utama dibanding menggunakan pukulan atau mengecam di hadapan umum; (7) pendidik hendaknya memukul anak dengan tangannya sendiri dan tidak menyerahkan kepada saudarasaudaranya, atau teman-temannya. Sehingga tidak timbul api kebencian dan kedengkian di antara mereka; (8) jika anak menginjak usia dewasa, dan pendidik melihat bahwa pukulan sepuluh kali juga tidak membuatnya jera, maka boleh ia menambah dan mengulangi, sehingga anak menjadi baik kembali. Adapun Zakiah Darajat memandang pendidikan dengan hukuman lebih hati-hati dalam penerapannya karena menurut beliau bahwasanya hukuman tidak selamanya diikuti oleh anak untuk perbaikan dan dorongan baginya untuk maju, bahkan boleh jadi hukuman barakibat sebaliknya, menyebabkan anak kehilangan kepercayaan diri, dan membenci lingkungannya. Oleh karena itu pendidik harus menghindari hukuman, kecuali jika terpaksa dalam batas peraturan pendidikan. Yang dimaksud dengan hukuman yang ddiisinkan adalah mencela, memalingkan perhatian, tidak boleh sama sekali hukuman badan.
80
Seiring perubahan zaman, di Indonesia sendiri hukuman yang seringkali dilakukan oleh orang tua maupun guru adalah dengan menggunakan kekerasan. Sudah jelas hal ini sangat tidak mendidik, dan tidak menjamin si anak didik akan sadar dan berubah, yang ada hanya rasa dendam. Kejadian ini tidak hanya terjadi satu atau dua kali saja, melainkan lebih dari itu. Berdasarkan kasus tersebut, Indonesia menetapkan Undang-Undang Perlindungan anak No 23 Tahun 2002, yang berisi “Anak adalah seseorang yang belum berusia 18 tahun, termasuk anak dalam kandungan”. Defenisi undang-undang ini mencakup janin, bayi, anak-anak sampai berumur 18 tahun. Undang-undang ini juga mengatur tanggung jawab sosial anak dan tanggung jawab anak dimuka hukum. Kekerasan (Bullying) menurut Komisi Perlindungan Anak (KPA) adalah kekerasan fisik dan psikologis berjangka panjang yang dilakukan seseorang atau kelompok terhadap seseorang yang tidak mampu mempertahankan diri dalam situasi dimana ada hasrat untuk melukai atau menakuti orang atau membuat orang tertekan, trauma/depresi dan tidak berdaya. Batas-batas kekerasan menurut Undang-Undang Perlindungan Anak nomor 23 tahun 2002 ini, Tindakan yang bisa melukai secara fisik maupun psikis yang berakibat lama, dimana akan menyebabkan trauma pada anak atau kecacatan fisik akibat dari perlakuan itu. Dengan mengacu pada defenisi, segala tindakan apapun seakan-akan harus dibatasi, dan anak harus dibiarkan berkembang sesuai dengan hak-hak yang dimilikinya (Hak Asasi Anak). Hak anak untuk menentukan nasib sendiri tanpa intervensi dari orang lain. C. Kontribusi Pemikiran Abdullah Nashih Ulwan dan Zakiah Darajat terhadap Pendidikan Agama Islam Pendidikan Anak pada saat ini Rangkaian materi- materi pendidikan Agama Islam pada anak yang telah dijelaskan Abdullah Nashih Ulwan dan Zakiah Darajat, pada umumnya masih relevan untuk diterapkan dalam dunia pendidikan anak dewasa ini. Di Indonesia misalnya. Rangkaian materi pendidikan keimanan, akhlak,dan sosial tersebut dapat dijumpai dalam kurikulum pendidikan anak di Indonesia yang pada
81
umumnya disebut pendidikan agama islam. Pendidikan agama diberikan didasarkan pada pandangan bahwa agama mempunyai peranan penting dalam kehidupan manusia, yakni sebagai tata nilai, pedoman, pembimbing, dan pendorong manusia untuk mencapai kualitas hidup yang lebih baik dan sempurna. Oleh karena itu, agama wajib diketahui, dipahami, diyakini dan diamalkan. Selain itu ketakwaan kepada Tuhan Yang Maha Esa merupakan tujuan pendidikan nasional dalam rangka pengembangan bangsa dan budaya bangsa. Untuk mencapai tujuan tersebut, maka pendidikan agama diberikan kepada semua jenis, jenjang, dan jalur sekolah, baik negeri maupun swasta. Dari sini dapat dipahami bahwa pendidikan agama adalah bagian kurikulum pendidikan anak baik usia Taman Kanak-Kanak sampai Sekolah Menengah Atas (SMA). Pendidikan agama merupakan mata pelajaran yang wajib diikuti oleh semua anak didik. Hal-hal yang berkaitan dengan upaya pendidikan agama tersebut dikemas menjadi satu paket mata pelajaran, yakni bidang studi pendidikan agama bagi sekolah umum dan ada pula yang diperinci menjadi beberapa bidang studi bagi sekolah agama (madrasah). Misalnya untuk Sekolah Dasar pendidikan agama merupakan satu paket khusus, sedangkan untuk Madrasah Ibtidaiyah pendidikan agama diperinci menjadi pelajaran akidah, akhlak, dan lain-lain. Dengan demikian dapat ditarik pengertian bahwa pendidikan keimanan, Akhlak, Sosial
seperti yang dikemukakan oleh Abdullah Nashih Ulwan dan
Zakaih Darajat sebagian besar mempunyai nilai relevansi yang cukup tinggi dengan pendidikan anak dewasa ini, terutama di Indonesia. Hal ini dibuktikan dengan adanya pendidikan keimanan, Akhlak dan sosial
yang diistilahkan
pendidikan agama islam dalam lingkup pendidikan anak di Indonesia. Pendidikan agama menjadi bagian mata pelajaran yang harus diikuti oleh semua peserta didik. Dengan demikian, apa yang ditawarkan Abdullah Nashih Ulwan dan Zakiah Darajat masih relevan dijadikan pijakan dalam penyusunan kurikulum, hanya saja perlu diadakan perincian menjadi mata pelajaran yang jelas.
82
Tabel 5.1 Matrik Komparasi Konsep Pendidikan Agama Islam pada Anak Abdullah Nashih Ulwan dan Zakiah Darajat No
Aspek
1
Materi pendidikan agama islam pada anak
2 Metode pendidikan agama islam pada anak
3
Lingkungan pendidikan agama Islam pada anak
Konsep pendidikan agama
Konsep pendidikan Agama
Abdullah Nashih Ulwan
Zakiah Darajat
Materi pendidikan dalam pandangan Abdullah Nashih Ulwan dikaitkan dengan berbagai tanggung jawab orang tua atau pendidik terhadap pendidikan agama islam terhadap anak. Secara rinci materi tersebut meliputi:pendidikan keimanan, pendidikan fisik, pendidikan moral, pendidikan akal, pendidik psikis, pendidikan sosial, dan pendidikan seksual. Diantara metode pendidikan menurut Abdullah Nashih Ulwan yang efektif terhadap pendidikan agama anak adalah: 1. Keteladanan 2. Pembiasaan 3. Pemberian Nasehat 4. Pemberian Perhatian 5. Pemberian Hukuman 1. Keluarga dipandang Ulwan sebagai tempat pendidikan awal dan utama bagi anak, sebab anak secara otomatis menyaksikan segala gerakgerik orang tua dan seluruh anggota keluarga lainnya. 2. Lingkungan sekolah. Ulwân terlihat begitu hatihati dalam memilih lembaga pendidikan dimana anak
Materi dalam pendidikan agama islam terhadap anak menurut Zakiah Darajat adalah: Pembinaan Iman dan Tauhid. Pembinaan Akhlak, Pembinaan Ibadah dan Agama, Pembinaan Kepribadian dan Sosial Anak
metode pendidikan agama islam pada anak menurut Zakiah Darajat adalah dengan keteladanan, kebiasaan, latihan-latihan dan cerita
1. Keluarga menurut Zakiah Darajat tempat pendidikan pertama anak 2. Sekolah adalah tempat anak-anak berlatih dan menumbuhkan kepribadiannya. 3. Masyarakat mempunyai pengaruh yang besar dalam memberi arah terhadap pendidikan anak,
83
akan belajar. 3. Lingkungan yang ketiga adalah lingkungan masyarakat. Dalam kaitan ini ulwan memberikan sorotan bahwa melalui lingkungan masyarakat inilah anak akan mendapatkan kebebasan bergaul, bermain dan lainlainnya tanpa memandang perbedaan usia.
terutama para pemimpin masyarakat atau penguasa yang ada di dalamnya.
Tabel 5.2 Matrik Persamaan dan Perbedaan Konsep Pendidikan Agama Islam pada Anak Abdullah Nashih Ulwan dan Zakiah Darajat No 1
Aspek Persamaan
2
Perbedaan
Pembahasan Dalam konsep yang dikemukakan Abdullah Nashih Ulwan dan Zakiah darajat ada beberapa kesamaan: 1. Materi: pendidikan keimanan, moral, Intelektual, dan sosial 2. Metode : pendidikan dengan keteladanan, pendidikan dengan kebiasaan. 3. Lingkungan pendidikan: keluarga, sekolah dan masyarakat. a. Membuka kehidupan anak dengan tauhid b. Orang tua dan guru menjadi tauladan oleh anak karena itu pendidik mengamalkan perintah Allah swt dan Rasul-nya c. Keluarga merupakan tempat pendidikan pertama bagi anak Adapun bentuk perbedaan antara Abdullah Nashih ulwan dan Zakiah darajat dalam memandang pemberi hukuman terhadap anak, Ulwan memberikan hukum sebagi metode terakhir untuk merubah akhlak dan kebiasaan buruk anak agar dapat berubah kepada yang lebih baik, sedangkan Zakiah tidak membenarkan hal itu dalam pendidikan dengan beranggapan bahwasanya hukuman dapat menghilangkan kepercayaan anak didik dan membenci lingkungannya.
BAB V PENUTUP A. Kesimpulan Dari uraian dan analisis hasil penelitian sebagaimana dipaparkan pada babbab sebelumnya, maka dapat disimpulkan sebagai berikut: 1. Pemikiran pendidikan agama Islam terhadap anak menurut Abdullah Nashih Ulwan ditinjau dari segi materi terdiri dari beberapa bagian, diantarnya yaitu: Pendidikan iman, pendidikan moral, pendidikan fisik, pendidikan rasio (akal), pendidikan sosial, dan pendidikan seksual. Kemudian ditinjau dari segi lingkungan pendidikan, Nashih Ulwan mengklasifikasikannya menjadi tiga lingkungan pendidikan, yaitu lingkungan keluarga, lingkungan sekolah, dan lingkungan masyarakat. Pendidikan dalam keluarga merupakan pedidikan yang paling awal dan utama, dan yang paling berperan penting adalah orang tua. Kemudian setelah memasuki umur 5 tahun anak mulai diperkenalkan pada lingkungan sekolah yang merupakan tanggung jawab seorang guru untuk mendidik muridnya. Setelah itu, ketika anak sudah mulai bermain di lingkungan luar rumah atau masyarakat, maka orang tua harus memantau lebih dalam lagi terhadap gerak-gerik anak, karena lingkungan 84
85
dalam bergaul di masyarakat sangat berpengaruh terhadap perkembangan anak. Kemudian pendidikan anak menurut Nashih Ulwan ditinjau dari segi metode pendidikan, terdiri dari lima macam metode, di antaranya yaitu: 1) metode pendidikan dengan keteladanan; 2) metode pendidikan dengan adat kebiasaan; 3) metode pendidikan dengan nasehat; 4) metode pendidikan dengan perhatian dan pengawasan; 5) pendidikan dengan hukuman. 2. Pemikiran pendidikan agama Islam terhadap anak menurut Zakiah Darajat ditinjau dari segi materi pendidikan terdiri dari empat, yaiyu: 1) Pembinaan iman dan tauhid; 2) pembinaan akhlak; 3) pembinaan ibadah dan agama; 4) pembinaan kepribadian dan sosial anak. Kemudian ditinjau dari segi lingkungan pendidikan, tidak berbeda jauh dengan Nashih Ulwan, beliau mengkalisifikasikannya menjadi tiga bagian juga, yaitu dalam lingkungan keluarga, lingkungan sekolah, dan lingkungan masyarakat. Kemudian untuk metode pendidikan agama pada anak, Zakiah mengemukakan tiga bentuk metode pendidikan, yaitu: 1) metode pendidikan dengan keteladanan, sama dengan pendapat Nashih Ulwan; 2) metode pendidikan dengan adat kebiasaan; dan 3) metode dengan bercerita. 3. Beberapa persamaan dari pemikiran Abdullah Nashih Ulwan dan Zakiah Darajat di antaranya pada materi pendidikan, mereka mengaitkan materi pendidikan dengan berbagai tanggung jawab orang tua atau pendidik lainnya seperti guru terhadap anak. Secara rinci materi yang sama antar kedua tokoh ini, adalah: pendidikan keimanan, moral, intelektual, dan sosial. Kemudian untuk metode pendidikan agama Islam yang memiliki kesamaan antara kedua tokoh tersebut yaitu metode penerapan keteladanan yang dianggap sangat penting, dan metode dengan adat kebiasaan. Untuk pendapat mengenai lingkungan pendidikan antara Nashih Ulwan dan Zakiah Darajat tidak memiliki banyak perbedaan, mereka berpendapat bahwa pantauan atau pengawasan, kemudian perhatian yang dilakukan oleh pendidik baik orang tua maupun guru sangatlah penting dan berpengaruh dalam menyaring mana yang baik dan mana yang tidak baik untuk perkembangan anak didik.
86
Kemudian untuk perbedaan pemikiran antara Abdullah Nashih Ulwan dan Zakaih Darajat terdapat dalam penerapan metode pendidikan dengan memberikan hukuman, di mana Nashih Ulwan melegalkan hukuman dalam pendidikan agama, sedangankan Zakiah tidak menerapakan pendidikan hukuman dalam mendidik anak. B. Saran-Saran 1. Menurut peneliti kajian Abddullah Nashih Ulwan dan Zakiah Darajat ini relevan dan dapat dijadikan acuan untuk memperbaiki pendidikan agama pada zaman sekarang, karena pemikiran pendidikan akhlak kedua tokoh ini tidak hanya memiliki nuansa dinamis tetapi juga fleksibel. Oleh karena itu, doktrin tersebut dapat terus menerus berlaku sesuai dengan tantangan zamannya tanpa menghilangkan nilai-nilai esensial dari pokok keutamaan agama Islam. 2. Dalam proses pembelajaran PAI guru perlu menerapkan konsep pendidikan Agama Islam pada Anak dari Abdullah Nashih Ulwan dan Zakiah Darajat karena dengan Materi, metode dan lingkungan pendidikan yang ditawarkan masih relevan diterapkan pada saat ini. 3. Studi pemikiran mengenai konsep pendidikan agama pada anak pada khususnya dan sarjana-sarjana muslim pada umumnya masih perlu dilanjutkan, mengingat masih banyak problema pendidikan seperti merosotnya agama dan akhlak para pemuda dan pemudi. Dalam literatur keIslam-an ternyata banyak sekali konsep pendidikan Agama yang dimajukan para filosof Islam dan para ulama yang hingga saat ini belum digali sepenuhnya. Untuk itu perlu adanya kajian lebih lanjut tentang konsep pendidikan Agama dari para pemikir Islam lainnya.
DAFTAR PUSTAKA
Al-Qur’an dan Terjemahnya. Jakarta: PT. Syamil Cipta Media. 2005 Al Qardhawi, Yusuf. Pendidikan Islam dan Madrasah Hasan al Banna. Terj. Bustami A.Gani. Jakarta: Bulan Bintang, 1980. Al-Syaibani, Omar Mohammad al-Taoumy. Falsafah Pendidikan Islam. Terj. Hasan Langgulung. Jakarta: Bulan Bintang, 1979. Al-Ghulayani, Musthafa. Idhah al-Nashiin. Pekalongan: Rajamurah, 1953. Ahmadi. Islam sebagai Paradigma Ilmu pendidikan. Yogyakarta: Aditya Media, 1992. An-Nahlawi, Abdurrahman. Prinsip-prinsip dan Metode Pendidikan Islam. Bandung: CV. Diponegoro, 1992. An-Nahlawi, Abdurrahman. Pendidikan islam di rumah sekolah dan masyarakat, Jakarta: Gema insani press, 1995. Arifin, H.M. Ilmu Pendidikan Islam: Suatu Tinjauan Teoritis Dan Praktis Beradasarkan Pendekatan Interdisipliner. Jakarta: Bumi Aksara, 1991. Ashraf, Ali. Horison Baru Pendidikan Islam. Jakarta : Pustaka Firdaus,1989. Ali, Mohammad Daud. Pendidikan Agama Islam. Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2000. Barmawi, Bakir Yusuf. Pembinaan Kehidupan Beragama Islam pada Anak. Semarang: Dimas, 1993. Burhanudin, Jajat. Ulama Perempuan Indonesia. Jakarta: PT. Gramedia Pustaka Utama, 2002. Darajat, Zakiah. Ilmu Pendidikan Islam. Jakarta: Bumi Aksara, 1996. ----------------------. Kepribadian Guru, Jakarta: PT. Bulan Bintang, 2005 ----------------------. Islam dan Kesehatan Mental. Jakarta: Gunung Agung. 1986. ----------------------. Kesehatan Mental. Jakarta: PT. Gunung Agung, 1985.
87
88
Haya Binti Mubarok al-Bank, Ensiklopedi Wanita Muslimah. Jakarta: Darul Falah. Hourlock, Elizabeth B. Psikologi Perkembangan. Jakarta: Erlangga, 1996. H.M. Arifin, Ilmu Pendidikan Islam: Suatu Tinjauan Teoritis Dan Praktis Beradasarkan Pendekatan Interdisipliner. Jakarta: Bumi Aksara, 1991. Jalaluddin, Psikologi Agama. Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada. Langgulung, Hasan. 1980. Beberapa Pemikiran tentang Pendidikan Islam. Bandung: al Ma’arif, 2000 Madjid, Nurcholis. Masyarakat Religius. Jakarta: Paramadina, 2000. Marimba, Ahmad D. Pengantar Filsafat Pendidikan Islam. Bandung: al-Ma’arif, 1989. Moleong, Lexy J. Metode Penelitian Kualitatif. Bandung: Remaja Karya, 2004. Muchtar, Heri Jauhari. Fikih Pendidikan. Bandung: Rosdakarya, 2005. Mujib, Abdul Muhaimin. Pemikiran Pendidikan Islam; Kajian Filosofis dan Kerangka Dasar Operasionalisasinya. Trigenda Karya. Bandung, 1993. Mujib, Abdul dan Jusuf Mudzakkir. Ilmu Pendidikan Islam. Jakarta: Kencana Prenada Media, 2006 Mursi, Muhammad Said. Seni mendidik anak. Jakarta:Pustaka Al-Kautsar, 2003 Nashih Ulwan, Abdullah. Pendidikan Anak menurut Islam: Kaidah-kaidah Dasar Pendidikan. Terjm. Ahmas Masjkur Hakim. Bandung: PT. Remaja Rosdakarya, 1992. Nashih Ulwan, Abdullah. 2007. Tarbiyatul Aulad Fil Islam. Jilid 1 dan II. Terjm. Jamaluddin Miri. Jakarta: Pustaka Amani Nata, Abuddin. Tokoh-tokoh Pembaharuan Pendidikan Islam di Indonesia. Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2005. Nizar, Samsul. Filsafat Pendidikan Islam Pendekatan Historis, Teoritis dan Praktis. Jakarta: Ciputat Pres, 2002. Noor Syam, Mohammad. Falsafah Pendidikan Pancasila. Surabaya: Usaha Nasional, 1986.
89
Quthb, Muhammad. Sistem Pendidikan Islam terj. Salman Harun. Bandung: al Ma’arif, 1984 Rusn, Abidin Ibn. Pemikiran al-Ghazali tentang Pendidikan. Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 1998 Siregar, Marasudin Pengelolaan Pengajaran (Suatu Dinamika Profesi Keguruan. dalam M. Chabib hohadan Abdul Mu’thi. PBM-PAI di Sekolah Eksistensidan Proses Belajar Mengajar Pendidikan Agama Islam. Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 1998. Tafsir, Ahmad. Ilmu Pendidikan dalam Perspektif Islam. Bandung: Remaja Rosdakarya, 2005. Tim Penerbitan Buku 70 Tahun Prof. Dr. Zakiah Daradjat. Perkembangan Psikologi Agama dan Pendidikan Islam di Indonesia 70 tahun Prof.Dr. Zakiah Daradjat, Ciputat: PT Logos Wacana Ilmu dengan Pusat penelitian IAIN Syarif Hidayatullah, 1999 Zuhaili, Muhammad. Pentingnya Pendidikan Islam Sejak Dini. Jakarta : A.H. Ba’dillah Press, 1999 Zuhairini, Dkk. Metodik Khusus Pendidikan Agama. Malang : Biro Ilmiah Tarbiyah IAIN, 1981.