BAB III PEMIKIRAN PROF. DR. HJ. ZAKIAH DARADJAT MENGENAI MODEL PENDIDIKAN AGAMA ISLAM PADA ANAK USIA DINI DI LINGKUNGAN KELUARGA A. Profil Zakiah Daradjat 1. Biografi Zakiah Daradjat. Zakiah Daradjat adalah sosok ilmuan perempuan yang multidimensi. Ia tidak hanya dikenal sebagai psikolog, tetapi juga muballigh dan pendidik sekaligus. Zakiah Daradjat dilahirkan di ranah Minang, tepatnya di kampung kota merapak, Kecamatan Ampek Angkek, Bukittinggi, pada tanggal 6 Nopember 1929. Anak sulung dari pasangan suami-isteri, Daradjat Ibn Husein, bergelar Raja Ameh (Raja Emas) dan Rapi’ah binti Abdul Karim. Beliau lahir sebagai anak pertama dari sebelas bersaudara dan satu hal yang sudah bisa dipastikan bahwa beliau mendapatkan bekal pendidikan awal (keluarga) secara memuaskan, baik dibidang umum maupun agama sehingga mengantarkan beliau pada kesuksesan. Zakiah Daradjat meninggal di Jakarta dalam usia 84 tahun pada 15 Januari 2013 sekitar pukul 09.00 WIB. Setelah disalatkan, jenazahnya dimakamkan di Kompleks UIN Ciputat pada hari yang sama. Menjelang akhir hayatnya, ia masih aktif mengajar, memberikan ceramah, dan membuka konsultasi psikologi. Sebelum
48
49
meninggal, ia sempat menjalani perawatan di Rumah Sakit Hermina, Jakarta Selatan pada pertengahan Desember 2012. Sejak kecil beliau sudah dibiasakan oleh ibunya untuk menghadiri pengajian-pengajian agama. Pada perkembangannya, Zakiah tidak sekedar hadir, kadang-kadang dalam usia yang masih belia itu Zakiah sudah di suruh memberikan ceramah agama. Pada usia 6 tahun, Zakiah mulai memasuki sekolah. Pagi belajar di standaard school (Sekolah Dasar) Muhammadiyah, sementara sorenya mengikuti sekolah Diniyah (Sekolah Dasar khusus agama). Hal ini dilakukan karena ia tidak mau hanya semata-mata menguasai pengetahuan umum, ia juga ingin paling tidak mengerti masalahmasalah dan memahami ilmu-ilmu keislaman. Setelah menamatkan Sekolah Dasar, Zakiah melanjutkan ke Kulliyatul Muballighat di Padang Panjang, sore harinya ia juga mengikuti kursus di SMP. Namun, pada saat duduk di bangku SMA, hal yang sama tidak lagi bisa dilakukan oleh Zakiah. Ini karena, lokasi SMA relatif jauh dari kampungnya yaitu di bukittinggi. Kiranya dasar-dasar yang diperoleh di Kulliyatul Muballigh ini terus mendorongnya untuk berperan sebagai muballigh hingga sekarang. Pada tahun 1951, setelah menamatkan SMA, Zakiah yang sejak awal ingin menjadi dokter, namun tidak kesampaian itu, mulai merantau meninggalkan kampung halaman untuk melanjutkan pendidikannya di jawa. Zakiah melanjutkan studinya pada Fakultas
50
Tarbiyah
Perguruan
Tinggi
Agama
Islam
Negeri
(PTAIN)
Yogyakarta, lagi-lagi ia belum puas studi di satu lembaga pendidikan sehingga semenjak di PTAIN ia juga kuliah di fakultas Hukum Universitas Islam Indonesia (UII), yogyakarta. Akan tetapi di tingkat tiga tahun 1995 Zakiah Daradjat dihadapkan pada dua pilihan, meneruskan di PTAIN atau FH UII Yogyakarta. Akhirnya fakultas tarbiyah PTAIN menjadi pilihannya. Setelah mengkhususkan
ke
PTAIN satu tahun, kemudian di tingkat empat tepatnya pada tahun 1956 beliau mendapatkan beasiswa dari DEPAG untuk melanjutkan studinya di Ein Shame, Cairo, Mesir. Kesempatan ini tidak beliau siasiakan terbukti dua tahun kemudian yaitu pada tahun 1958 berhasil menyelesaikan progam spesial Diploma (Faculty of Education, Ein Shame University), keberhasilan awal tersebut mengantarkan beliau pada kesuksesan berikutnya dengan berhasil meraih gelar MA. Tidak seperti teman-teman seangkatannya dari indonesia, setelah meraih MA, Zakiah tidak langsung pulang, tetapi ia menempuh progam S3 di Universitas yang sama. Ketika menempuh progam S3 ini, kesibukan Zakiah tidak hanya belajar. Sementara sambil kuliah dan menyelesaikan disertasi, ia mengajar di Sekolah Tinggi Bahasa untuk mata pelajaran bahasa Indonesia. Selain mengajar bahasa Indonesia beliau ikut terjun langsung menangani dan mengahadapi pasien (klien) yang ada di Universitas. Dimana beliau melanjutkan studi guna menyelesaikan progam
51
doktornya. Ketekunan beliau dalam menangani pasien di klinik jiwa tersebut berlangsung selama kurang lebih lima tahun yakni sampai tahun 1964. Kemudian setelah beliau melalui berbagai perjuangan akhirnya pada tanggal 23 juli 1964, Zakiah Daradjat berhasil meraih gelar Doktor (Phd) dalam bidang pendidikan dengan spesialis psikoterapi (perawatan jiwa) dari Universitas Ein Shame. Setelah beliau kembali ke tanah air beliau diangkat menjadi Pegawai Tinggi Departemen Agama Pusat pada Biro Perguruan Tinggi Agama, Departemen Agama Republik Indonesia (1967-1972). Beliau diangkat menjadi Departemen Pendidikan Agama (DEPAG) 1972-1977. Pada tahun 1977-1984 beliau menjadi Direktur Pembinaan Perguruan Tinggi Agama Islam Departemen Agama RI, pada tahun 1983-1988 beliau menjadi anggota DPA. Tahun 1984-1992 ia dipercaya menjadi Dekan Fakultas Pascasarjana IAIN Sunan Kalijaga Yogyakarta. Tahun 1993-1998, beliau menjadi ketua umum Perhimpunan Wanita Alumni Timur Tengah.
2. Karya-karya Zakiyah Dardajat Sebagai guru besar Ilmu Pendidikan, beliau tergolong produktif dalam penulisan buku diantaranya: 1. Problema Remaja di Indonesia (1974) 2. Perawatan Jiwa untuk Anak-anak (1982) 3. Islam dan Peranan Wanita (1978)
52
4. Ilmu Jiwa Agama (1970) 5. Ilmu Pendidikan Islam (1996) 6. Peranan Agama dalam Kesehatan Mental (1970) 7. Ketenangan dan Kebahagian dalam Keluarga (1974) 8. Menghadapi masa Menopouse (Mendekati Usia Tua) (1974) 9. Pendidikan Agama dalam Pembinaan Mental (1970) 10. Membina Nilai-nilai Moral di Indonesia (1971) 11. Pembinaan Jiwa/Mental (1974) 12. Pendidikan Islam dalam Keluarga dan Sekolah (1994) 13. Kunci Kebahagiaan (1977) 14. Pembinaan Remaja (1975) 15. Pendidikan Orang Dewasa (1975), dan lain-lain. Zakiah
Daradjat
juga
menerjemahkan
beberapa
buku
diantaranya : a.
Pokok-pokok Kesehatan Mental (1974) Judul asli : Ususus-Shihhah an-Nafsiyah Pengarang : Prof. Dr. Abdul Aziz El-Quusy.
b.
Ilmu Jiwa; Prinsip-prinsip dan Implementasinya dalam pendidikan (1976) Judul asli
: Ilmu-Nafsi, Ususuhu wa Tathbiqatuhu fitTarbiyah
Pengarang : Prof. Dr. Abdul Aziz El-Quusy.
53
c.
Kesehatan Jiwa dalam Keluarga, Sekolah dan Masyarakat (1977) Judul asli : As-Shihhah an-Nafsiyah Pengarang : Prof. Dr. Mustafa Fahmi. Dari sekian banyak karya tulis Zakiah Daradjat baik yang
terjemah atau karangan sendiri yang berhubungan dengan anak dan pendidikan keluarga, yang menjadi fokus peneliti adalah buku yang berjudul ilmu pendidikan Islam, ilmu jiwa agama, pendidikan Islam dalam keluarga dan sekolah. B. Pendidikan agama Islam di lingkungan keluarga menurut Zakiah Daradjat 1. Pendidikan Islam di lingkungan keluarga. Menurut Zakiah Daradjat pendidikan agama Islam adalah pendidikan dengan melaui ajaran-ajaran agama Islam, yakni berupa bimbingan dan asuhan terhadap anak didik agar nantinya setelah selesai dari pendidikan ia dapat memahami, menghayati dan mengamalkan ajaran-ajaran agama Islam yang telah diyakininya secara menyeluruh, serta menjadikan ajaran agama Islam itu sebagai suatu pandangan hidupnya demi keselamatan dan kesejahteraan hidup di dunia maupun di akhirat kelak. Hal tersebut karena pendidikan Islam memiliki konsep yang mencakup
kehidupan
manusia
seutuhnya,
tidak
hanya
memperhatikan segi akidah, ibadah, dan akhlak saja, akan tetapi jauh lebih luas dan lebih dalam dari pada itu, jika di jabarkan pendidikan islam itu memiliki konsep bahwa : pertama pendidikan islam mecakup semua dimensi manusia sebagaimana ditentukan oleh Islam, kedua pendidikan Islam menjangkau kehidupan di akhirat
54
secara seimbang, ketiga pendidikan Islam memperhatikan manusia dalam semua gerak kegiatannya, serta mengembangkan padanya daya hubungan dengan orang lain, keempat pendidikan Islam berlangsung sepanjang hayat, mulai dari manusia sebagai janin dalam kandungan ibunya, sampai kepada berakhirnya hidup di dunia ini, kelima kurikulum pendidikan Islam, akan menghasilkan manusia yang memperoleh hak di dunia dan hak di akhirat nanti. Zakiah Daradjat mengatakan bahwa orang tua merupakan pendidik utama dan pertama bagi anak-anak mereka, karena dari merekalah anak mula-mula menerima pendidikan. Dengan demikian bentuk pertama dari pendidikan terdapat dalam kehidupan keluarga. Orang tua atau ibu dan ayah memegang peranan yang penting dan amat berpengaruh atas pendidikan anak-anaknya. Dalam hal ini lingkup pendidikan agama di lingkungan keluarga merupakan tanggung jawab orang tua. Sehingga orang tua mempunyai tanggung jawab penuh terhadap pendidikan awal di keluarga dan kunci pendidikan dalam keluarga sebenarnya terletak pada pendidikan rohani atau pendidikan agama bagi anak. Karena pada dasarnya pendidikan agama itu ditunjukan kepada anak seutuhnya, mulai dari pembinaan sikap dan pribadinya, sampai kepada pembinaan tingkah laku (akhlak) yang sesuai dengan ajaran agama. 2. Pentingnya Hubungan Orang tua dan Anak Perasaan anak terhadap orang tua sebenarnya sangat kompleks, perasaan itu adalah campuran dari bermacam-macam
55
emosi dan dorongan yang selalu melakukan inter-aksi, pertentangan dan memuncak pada umur menjelang 3 tahun, yaitu umur dimana hubunganya dengan ibunya tidak lagi terbatas kepada kebutuhan akan bantuan fisik, akan tetapi telah meningkat kepada hubungan emosi, dimana ibu menjadi objek yang dicintai dan butuh akan kasih sayangnya, takut akan terjauh dari padanya atau kehilangan kesayangannya. Peranan Ibu dalam keluarga amat penting. Dialah yang membuat rumah tangganya menjadi surga bagi anggota keluarganya, menjadi mitra sejajar yang saling menyayangi dengan suaminya. Yang dapat menjaga diri dari kemungkinan salah dan kena fitnah dan mampu menentramkan suami apabila gelisah, dapat mengatur keadaan rumah, sehingga tampak rapi. Anak biasanya meniru perangai ibunya dan biasanya seorang anak lebih cinta kepada ibunya. Ibu merupakan orang yang mulamula dikenal anak, yang mula-mula menjadi temannya dan yang mula-mula dipercayainya. Selain ibu, Pengaruh ayah terhadap anaknya besar pula. Dimata anaknya ia seorang yang tertinggi gengsinya dan terpandai diantara orang-orang yang dikenalnya. Cara ayah melakukan pekerjaan sehari-hari berpengaruh pada cara pekerjaan anaknya. Kepribadian orang tua, sikap dan cara hidup mereka, merupakan unsur-unsur pendidikan yang tidak langsung, yang
56
dengan sendirinya akan masuk dalam pribadi anak yang sedang tumbuh. Hubungan orang tua sesama mereka sangat mempengaruhi pertumbuhan jiwa anak. Agar tercipta hubungan yang baik antara anak dan orang tua, kita sebagai orang tua perlu mengetahui bahwa anak merupakan penerus kehidupan di muka bumi ini, bagi orang tua anak merupakan harapan kedua orang tua, juga merupakan harta karun bagi umat manusia. Ia adalah cabang dari pohonnya, buah dari tanamannya. Sehingga seseorang yang diharapkan untuk menjadi lebih baik darinya adalah anaknya sendiri. Sebagaimana firman Allah dalam Qur’an surat Alkahfi ayat 46 yang berbunyi :
َنوُنَبْلاَوُلاَمْلا ُةَنيِز ِةاَيَحْلا اَيْنُّدلا ُتاَيِقاَبْلاَو ُتاَحِلاَّصلا ٌرْيَخ َدْنِع َكِّبَر اًباَوَث ٌرْيَخَو ًالَمَأ Artinya: Harta dan anak-anak adalah perhiasan kehidupan dunia tetapi amalan-amalan yang kekal lagi saleh adalah lebih baik pahalanya di sisi Tuhanmu serta lebih baik untuk menjadi harapan. (Qs. Al-Kahfi : 46). Perlu diketahui, bahwa kualitas hubungan anak dan orang tuanya, akan mempengaruhi keyakinan beragamanya dikemudian hari. Apabila ia merasa disayang dan diperlakukan adil, maka ia akan meniru orang tuanya dan menyerap agama dan nilai-nilai yang dianut oleh orang tuanya. Dan jika yang terjadi sebaliknya, maka ia menjauhi apa yang diharapkan orang tuanya, mungkin ia tidak mau melaksanakan ajaran agama dalam hidupnya, tidak shalat, tidak puasa dan sebagainya. 3. Hal yang harus dilakukan orang tua dalam mendidik anak
57
Karena orang tua memegang tanggung jawab utama untuk mendidik, mempersiapkan, membudayakan, dan mengarahkan anakanak mereka kejalan yang dicintai serta di ridhoi oleh Allah Swt, maka yang harus dilakukan orang tua dalam mendidik anaknya yang pertama dan paling penting adalah orang tua harus memiliki pengetahuan tentang yang sahih, pengetahuan tentang syari’at dan moral Islami, disamping memiliki akhlak yang utama. Menurut Zakiah Daradjat dalam proses pengenalan ajaran agama kepada seorang anak atau remaja tidak dapat dilakukan sembarangan tanpa memahami perkembangan dan pertumbuhan kejiwaan mereka. Selain itu pemahaman terhadap psikologi akan membantu seseorang mampu mengarah pendidikan agama secara tepat terhadap seorang bayi, bahkan terhadap seorang jabang bayi yang ada dalam kandungan ibu yang sedang hamil. Zakiah Daradjat percaya bahwa pendidikan agama itu dapat diberikan secara tepat berdasarkan psikologi terhadap umur dan kemampuan mereka karena pada dasarnya setiap anak manusia memiliki kepercayaan terhadap Tuhan yang ikut dibawanya sejak lahir. Setelah anak lahir, pertumbuhan jasmani anak berjalan cepat dan perkembangan akidah, kecerdasan, akhlak, kejiwaan, rasa keindahan dan kemasyarakatan anak (tujuh dimensi manusia), berjalan serentak dan seimbang. Pendidikan, pembinaan keimanan, dan ketakwaan anak belum dapat menggunakan kata-kata (verbal). Dalam hal ini anak melakukan didikan dengan cara pemberian contoh, teladan, pembiasaan, dan latihan yang dilaksanakan sesuai dengan pertumbuhan dan perkembangan anak. Ada beberapa aspek yang wajib diperhatikan oleh kedua orang tua dalam mendidik anak :
58
1) Memberikan kasih sayang. 2) Membiasakan anak berdisiplin sejak usia dini. 3) Hendaklah kedua orang tua menjadi teladan yang baik. 4) Anak dibiasakan dengan berbagai kebiasaan yang umum dilakukan dalam pergaulannya. Menurut Zakiah Daradjat, dalam mendidik anak dalam keluarga yang dilakukan orang tua agar anak lebih Islami adalah : 1. Begitu anak lahir diperdengarkan adzan ditelinganya. Semakin sering terdengar olehnya suara adzan itu, semakin akrab jiwanya kepada agama dam sikap mental yang positif. 2. Orang tua setiap menjalankan suatu perbuatan atau kegiatan harus diiringi dengan kata-kata thayibah, seperti Bismillahirrahmaanirrahim, Alhamdulillahirabbil’alamin, Subkhanallah, Allahu akbar, Astaghfirullah, dsb. 3. Setelah anak dikiranya bisa diajak keluar, hendaklah orang tua mengikut sertakan anak dalam kegiatan agama dilingkungan sekitar, seperti : shalat berjama’ah dimasjid, ikut memperingati hari besar islam, dll. Karena suasana keagamaan tersebut, dapat menggugah si anak untuk mengikuti dan mengetahuinya. C. Model pendidikan agama Islam pada anak usia dini menurut Zakiah Daradjat
59
1. Pendidikan agama pada anak usia dini Pendidikan Agama pada masa anak usia dini yakni umur 0-6 tahun dilakukan melalui semua pengalaman anak, baik melalui ucapan yang didengarnya, tindakan, perbuatan dan sikap yang dilihatnya, maupun perlakuan yang dirasakannya. Dalam usia ini anak belum mampu berpikir dan perbendaharaan kata kata yang mereka kuasai masih sangat terbatas, serta mereka belum mampu memahami kata-kata yang abstrak. Oleh karnanya pendidikan agama yang diberikan pada anak usia dini adalah orang tua memberikan latihan pendidikan berupa perilaku yang bernafaskan agama, pendidikan yang paling mendasar kepada anak adalah diajak shalat bersama ayah dan ibu dengan memakaikan mukena atau sarung dan peci sesuai dengan jenisnya. ia pun di ajak berjama’ah ke masjid dan duduk pada shaf yang sama dengan ibu atau bapaknya. selain itu diperkenalkan
sifat-sifat
Allah
kepada
anak,
dalam
memperkenalkan sifat-sifat Allah kepada anak adalah penyayang, pengasih, pemurah, adil, dan sebagainya. Anak-anak pada umur 3-6 tahun tertarik pada cerita pendek yang berkisah tentang peristiwa yang sering dialaminya atau dekat dengan kehidupannya sehari-hari. Hal tersebut dapat membantu perkembangan jiwa keagamaan padanya, lebih-lebih
60
lagi, karena anak pada masa kanak-kanak awal, condong kepada meniru (identifikasi). Anak-anak bukanlah orang dewasa yang kecil, oleh karena itu, agama yang cocok untuk orang dewasa tidak akan cocok bagi anak-anak. Kalau kita ingin agama mempunyai arti bagi anak-anak hendaklah disajikan dengan cara yang lebih konkrit, dengan bahasa yang dipahaminya dan kurang bersifat dogmatik. Anak ingin supaya kebutuhannya untuk tahu dapat terpenuhi. 2. Pertumbuhan agama anak usia dini. Si anak mulai mengenal Tuhan melalui orang tua dan lingkungan keluarganya. Sebelum anak dapat bicara, dia telah dapat melihat dan mendengar kata-kata, yang barangkali belum mempunyai arti apa-apa baginya. Namun pertumbuhan agama telah dimulai ketika itu. Kata Allah akan mempunyai arti tersendiri bagi anak, sesuai dengan pengamatannya terhadap orang tuanya ketika mengucapkannya. Sebelum mencapai umur ± 7 tahun, perasaan si anak terhadap tuhan pada dasarnya adalah negatif, yakni takut, menentang dan ragu. Dia berusaha untuk menerima pemikran tentang kebesaran dan kemuliaan tuhan, sedang gambarannya terhadap tuhan sesuai dengan emosinya.
61
Kepercayaan anak kepada tuhan dan agama pada umumnya, tumbuh melalui latihan dan pembiasaan sejak kecil. Pembiasaan dan pendidikan agama itu didapatnya dari orang tuanya dan gurunya, terutama guru agama. Pembiasaan dalam pendidikan anak sangat penting, terutama dalam pembentukan pribadi, akhlak dan agama pada umumnya. Karena pembiasaanpembiasaan agama itu akan memasukkan unsur-unsur positif dalam pribadi anak yang sedang tumbuh. Semakin banyak pengalaman agama yang didapatnya melalui pembiasaan itu, akan semakin baiklah unsur agama dalam pribadinya dan semakin mudahlah memahami ajaran agama yang dijelaskan oleh guru agama dibelakang hari. Di samping itu, perlu di ingat bahwa usia anak-anak sampai umur 12 tahun, belum mampu berpikir abstrak (maknawi), oleh karena itu agama harus diberikan dalam jangkauannya, yaitu dalam kehidupan nyata. 3. Perkembangan agama anak usia dini Perkembangan agama pada masa anak terjadi melalui pengalaman hidupnya sejak kecil dalam keluarga, di sekolah, dan dalam masyarakat lingkungan. Semakin banyak pengalaman yang bersifat agama (sesuai dengan ajaran agama), dan semakin banyak unsur agama, maka sikap, tindakan, kelakuan dan caranya mengahadapi hidup akan sesuai dengan ajaran agama.
62
Perkembangan agama pada anak sangat ditentukan oleh pendidikan dan pengalaman yang dilaluinya, terutama pada masamasa pertubuhan yang pertama (masa anak) dari umur 0-12 tahun. Seorang anak yang pada masa itu tidak mendapat didikan agama dan tidak pula mempunyai pengalaman keagamaan, maka ia nanti setelah dewasa akan cenderung kepada sikap negatif terhadap agama. Pikiran anak, pada masa balita seperti tanah yang memungkinkan bagi orang tuanya untuk dibentuk sekehendak mereka. Jiwanya seperti kertas putih yang memungkinkan ayah dan ibunya untuk menulis apapun di kertas itu, menurut keinginannya. Seyogyanya
agama
masuk
kedalam
pribadi
anak
bersamaan dengan pertumbuhan pribadinya, yakni sejak lahir, bahkan lebih dari itu, sejak dalam kandungan. Karena dalam pengamatan ahli jiwa terhadap orang-orang yang mengalami kesukaran kejiwaan, tampak bahwa keadaan dan sikap orang tua ketika si anak dalam kandungan telah mempunyai pengaruh terhadap pertumbuhan jiwa anak di kemudian hari. 4. Model pendidikan agama islam pada anak usia dini a. Pengajaran Keimanan Dalam hal ini menurut Zakiah Daradjat, pendidikan keimanan yang di ajarkan adalah tentang rukun iman yang enam,
63
yaitu : percaya kepada Allah, kepada para rasul Allah, kepada para malaikat, kepada kitab-kitab suci yang diturunkan kepada rasul Allah dan qadha/qadar. Jika yang diajarkan masih anak-anak atau masih di tingkat rendah terbatas hanya memperkenalkan nama-nama istilah saja, malah tidak semua nama itu dapat diajarkan seperti qadha/qadar misalnya, mungkin belum perlu diajarkan kepada anak kecil. Perlu diketahui pengajaran keimanan itu lebih banyak berhubungan dengan aspek kejiwaan dan perasaan. Nilai pembentukan yang diutamakan adalah keaktifan fungsi-fungsi jiwa (pembentukan fungsional). pengajaran lebih banyak bersifat efekttif. Jangan terlalu dibebani dengan banyak hafalan-hafalan atau hal-hal yang lebih banyak bersifat pikiran, yang penting anak diajarkan supaya menjadi orang yang beriman bukan ahli pengetahuan tentang keimanan. b. Pengajaran akhlak Menurut Zakiah Daradjat pengajaran akhlak disini membicarakan nilai suatu perbuatan menurut ajaran agama, membicarakan sifat-sifat terpuji dan tercela menurut ajaran agama,
membicarakan
berbagai
hal
yang
langsung
ikut
mempengaruhi pembentukan sifat-sifat itu pada diri seseorang secara umum.
64
Pada masa anak-anak, sifat-sifat baik dan terpuji diberikan pada anak-anak melalui cerita-cerita para pahlawan dan tokohtokoh agama yang banyak memperhatikan sifat-sifat terpuji itu. Dan tentu saja lebih tepat kalau diberikan melalui sejarah atau hikayat para nabi dan rasul, para sahabat nabi dan imam mujtahid. c. Pengajaran ibadah Karena pengajaran ibadah ini termasuk dalam ruang lingkup pengajaran agama, maka rasa keagamaanlah yang perlu ditanamkan lebih dulu dari materi ibadah itu sendiri. Sebaliknya dalam pelaksanaan pengajaran ibadah ini, situasi keagamaanlah yang diciptakan lebih dahulu, karena dengan situasi itu proses belajar mengajar akan dapat berjalan dengan baik. Karena luasnya ruang lingkup pengajaran ibadah ini, meliputi semua rukun Islam, membicarakan hal yang wajib, yang sunnah, yang dapat membuat ibadah itu sah atau batal, rukun syarat,
kaifiyat
dan
bai’atnya,
tidak
mungkin
diajarkan
keseluruhannya dalam suatu tingkat pengajaran. Untuk tingkat yang paling rendah seusia anak-anak (tingkat rendah) diajarkan pokok-pokoknya saja. Dalam proses belajarnya dimulai dari yang mudah, di ikuti dengan yang agak sukar dan seterusnya dengan yang lebih sukar lagi, sesuai dengan kemampauan anak, pengajaran ibadah ini dimulai dari ibadah harian yang utama seperti shalat lima waktu, shalat sunnah dan sebagainya.
65
Menurut Zakiah Daradjat dalam pemberian pengajaran kepada anak, apalagi anak usia dini jangan dituntut untuk menghafalkan bacaan-bacaan yang sukar. Jangkauan tujuan pengajaran bagi anak itu jangan terlalu jauh dan dalam, sehingga menyulitkan dan membosankan mereka. d. Pengajaran fiqih Dalam pelaksanaannya, pengajaran fiqih ini pada tingkat permulaan tentu diberikan materi-materi yang sifatnya sederhana, tidak banyak membutuhkan pikiran yang berbelit-belit, tidak banyak menggunakan dalil-dalil dan praktis mudah diamalkan. Zakiah Daradjat menuturkan bahwa pengajaran fiqih ini adalah pengajaran yang bersifat amaliah, harus mengandung unsur teori dan praktek. Belajar fiqih untuk diamalkan, bila berisi suruhan atau perintah, harus dapat dilaksanakan, bila berisi larangan, harus di tinggalkan atau di jauhi. Bukan sekedar teori yang berarti ilmu untuk ilmu. Lebih ekstrim lagi kalau dikatakan ilmu fiqih untuk diketahui, diamalkan dan sekaligus menjadi pedoman atau pegangan hidup. Dalam pembelajaran fiqih, orang tua bisa saja mengikut sertakan
anak
membagikan
dalam
zakat
kegiatan
fitrah
di
keagamaan, malam
seperti
lebaran,
ikut
kemudian
mengajarkan kepada anak untuk menyisakan sedikit uangnya untukberamal dan sebagainya. e. Pengajaran Qiraat Qur’an Qiraat Qur’an artinya membaca Al Qur’an. Membaca Al Qur’an tidak sama dengan membaca buku atau membaca Kitab Suci lain. Al Qur’an adalah wahyu Allah yang dibukukan, yang diturunkan kepada Nabi Muhammad saw, sebagai suatu mukjizat, membacanya di anggap ibadah, sumber utama ajaran Islam.
66
Menurut Zakiah Daradjat Pengajaran Al Qur’an pada tingkat pertama berisi pengenalan huruf hija’iyah dan kalimat (kata). Melatih dan membiasakan mengucapkan huruf arab dengan makhrajnya yang betul pada tingkat permulaan, akan membantu dan mempermudah mengajarkan tajwid dan lagu pada tingkat membaca dengan irama. Cara mengucapkan huruf dan kalimat Arab itu tidak mudah bagi anak-anak karena bukan bahasa ibunya. Karena itu perlu latihan dan pembiasaan. membaca lancar dengan lagu diajarkan setelah mereka mengenal kata-kata. Mereka hanya diajar membaca yang mereka tidak tahu artinya. Kemudian diajar melagukan bacaan itu dengan irama yang khusus untuk tilawatil Qur’an. Di samping itu kepada mereka diberikan pengertian dan sugesti agar mereka senang membaca Al Qur’an. Menjelaskan kepada mereka bahwa membaca Qur’an itu adalah ibadah walaupun tidak tahu terjemahannya.
D. Faktor-faktor yang mempengaruhi pendidikan agama Islam pada anak usia dini di lingkungan keluarga menurut Zakiah Daradjat. Dalam memberikan pendidkan agama pada anak, terdapat faktor yang dapat mempengaruhi pendidikan agama pada anak usia dini, faktor tersebut antara lain : 1. Usia dini merupakan usia produktif dalam penanaman pendidikan agama anak Dari segi psikologi, usia 3-4 tahun dikenal sebagai “masa pembangkang” atau “masa krisis”. Dari segi pendidikan justru pada masa itu terbuka peluang ketidakpatuhan yang sekaligus merupakan landasan untuk menegakkan kepatuhan yang sesungguhnya. Artinya, di saat itulah terbuka peluang ke arah
kesediaan menerima yang
sesungguhnya. Setelah itu anak mulai memiliki “kesadaran batin” atau
67
motivasi dalam perilakunya. Di sinilah pula mulai terbuka penyelenggaraan pendidikan, artinya sentuhan-sentuhan pendidikan untuk menumbuh kembangkan motivasi anak dalam perilakunya kearah tujuan-tujuan pendidikan. Zakiah Daradjat menuturkan pendidikan agama pada anak harus diberikan saat anak masih kecil, semakin kecil umur si anak, hendaknya semakin banyak latihan dan pembiasaan agama dilakukan pada anak. Dan semakin bertambah umur si anak hendaknya semakin bertambah penjelasan dan pengertian agama itu diberikan sesuai dengan perkembangan kecerdasannya. Mulai umur 3 dan 4 tahun anak-anak sering mengemukakan pertanyaan yang ada hubungannya dengan agama, misalnya:”siapa Tuhan, dimana surga, bagaimana cara pergi kesana?”. Dan caranya memandang alam ini seperti memandang dirinya, belum ada pengertian yang metafisik. Hal-hal seperti kelahiran, kematian, pertumbuhan dan unsur-unsur lain diterangkan secara agamis. 2. Kasih sayang dan perhatian orang tua dalam keluarga. Rasa Kasih sayang adalah kebutuhan jiwa yang paling pokok dalam hidup manusia. Anak kecil yang merasa kurang disayangi oleh ibu bapaknya akan menderita batinnya. Kesehatan badannya mungkin terganggu, kecerdasannya mungkin akan berkurang, kelakuannya mungkin menjadi nakal, keras kepala, dan sebagainya. Hal tersebut diperkuat dengan teori Vygotsky yang mengatakan bahwa kasih sayang dan perhatian orang dewasa memberian pengaruh yang signifikan dalam perkembangan anak.
68
Dinamika kehidupan dan kebudayaan akan memberikan motivasi dan menjadi pranata untuk menjadi pribadi yang baik. 3. Pembiasaan agama yang dilakukan orang tua dalam memberikan pendidikan pada anak. Pembiasaan dalam pendidikan anak sangat penting, terutama dalam pembentukan pribadi, akhlak dan agama pada umumnya. Karena pembiasaan-pembiasaan agama itu akan memasukkan unsurunsur positif dalam pribadi anak yang sedang bertumbuh. Semakin banyak pengalaman agama yang didapatnya melalui pembiasaan itu, akan semakin banyaknya unsur agama dalam pribadinya dan semakin mudahlah ia memahami ajaran agama yang akan dijelaskan oleh guru agama di belakang hari. 4. Perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi di zaman modern. Dewasa ini Kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi telah banyak membawa kemudahan hidup, termasuk televisi, hp, dll. Maka apa saja yang ditayangkan oleh tv dapat disaksikan oleh anak-anak, termasuk anak-anak yang masih dibawah umur lima tahun, bahkan kadang-kadang bayi ada juga yang ikut menyaksikan. Sungguh besar pengaruh tv dalam pembentukan pribadi anak. Apabila yang ditayangkan oleh tv itu baik dan menunjang pembentukan iman dan takwa, maka peranannya dalam pembentukan pribadi dan identitas agama pada anak akan besar. Sebaliknya, jika tayangan itu tidak mendukung atau merusak nilai-nilai agama, anak
69
juga akan menyerap nilai-nilai yang merusak itu,selanjutnya pribadinya akan diliputi pula oleh hal-hal yang merusak iman dan penampilan diri si anak akan jauh dari agama. 5. Perilaku Orang tua dan Teman sepermainan anak di luar rumah. Sebenarnya anak pada umur 3 atau 4 tahun, mulai tertarik kepada anak lain seumur mereka, karena mereka mulai suka bergaul, mencoba memberi, disamping menerima, dan belajar memperhatikan orang lain, bukan hanya mementingkan dirinya sendiri. Karena itu pelaksanaan pendidikan agama yang bersifat gerak, bermain dan bersama
dengan
teman-teman
sebayanya
akan
membantu
pengembangan akhlak agamis. Faktor identifikasi dan meniru pada anak-anak amat penting sehingga mereka terbina dan terdidik dan belajar dari pengalaman langsung dari pengamatan orang tuanya di rumah, suasana keluarga, ketaatan ibu-bapak beribadah, dan perilaku, sikap dan cara hidup yang sesuai dengan ajaran Islam, akan menjadikan anak yang lahir dan dibesarkan dalam keluarga, baik beriman dan berakhlak terpuji. Anak-anak mau pergi ke pengajian, selama kawan-kawannya juga pergi ke pengajian. Selain teman sepermainan orang tua sendiri juga bisa mempengaruhi pendidikan agama, seperti halnya apabila dalam suatu keluarga jarang pergi ke tempat ibadah, anaknya akan kurang aktif dalam soal-soal agama. Sebaliknya anak-anak yang hidup dalam keluarga yang kurang menjalankan agama dalam kehidupannya
70
sehari-hari, maka perhatian anak-anak terhadap agama akan kurang pula.