PENDIDIKAN MORAL (Studi Analisis Terhadap Penanaman Nilai-nilai Moral Siswa MAN 1 Magelang Tahun 2010)
SKRIPSI Diajukan Guna Memperoleh Gelar Sarjana Pendidikan Agama Islam
Oleh:
RESTI BUDI HESTININGDYAH 11106125
JURUSAN TARBIYAH PROGRAM STUDI PENDIDIKAN AGAMA ISLAM SEKOLAH TINGGI AGAMA ISLAM NEGERI SALATIGA 2010
1
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah Dewasa ini pendidikan agama di sekolah-sekolah di seluruh indonesia dipandang sebagai sarana yang amat strategis untuk membentuk moral para siswa. Trend ke arah itu mulai nampak sejak masa Orde Baru, Yaitu ketika pendidikan agama dijadikan tumpuan utama untuk dapat membangun moral yang baik. Oleh sebagian besar tokoh agama, lembaga agama tampaknya tetap dipandang sebagai otoritas yang paling berkompeten untuk mengarahkan moral para penduduknya. Hal ini sebetulnya tidak menimbulkan masalah. Masalah akan muncul jika otoritas agama mengajarkan perilaku secara tidak profesional dan tidak rasional, misalnya dengan banyak menyampaikan perintah dan larangan tanpa disertai penjelasan yang memadai. Baik-buruk, benar-salah, dosatidak dosa, dilihat secara hitam putih dan secara sempit normatif saja. Dengan demikian, setiap kali umat beragama mau bertindak, ia tinggal bertanya “ini boleh dilakukan atau tidak?” atau “ini dosa atau tidak?” mereka hanya diberikan “resep” untuk bertindak, yang berupa “hukum”atau “norma”yang sudah pasti dan tinggal ditaati. Dalam hal ini, taat pada norma-norma yang digariskan oleh agama di yakini sebagai keutamaan yang unggul. Apakah di balik ketaatan tersebut ada kebebasan, kesadaran dan penalaran yang dapat dipertanggung jawabkan atau tidak, otoritas agama sering tidak memperdulikannya. 1
2 Jika pola pembinaan umat beragama seperti itu masih dipraktikkan maka tingkat kesadaran moral dan kedewasaan rohani umat beragama di Indonesia masih akan tetap rendah, mungkin masih sama seperti pada era-era sebelumnya, yaitu masih ditandai dengan kedangkalan, kesemuan, dan kepalsuan dalam hal iman maupun moral. Perilaku lahiriah umat dari luar akan tampak baik-baik saja (selaras dengan norma-norma), tetapi dibalik itu dapat saja tersembunyi segala kepalsuan yang memprihatinkan. Yang dibangun bukan kehidupan yang berakar pada kebebasan dan kesadaran hati nurani yang dewasa dan otentik, melainkan pada penampilan luar yang tampak baik-baik saja (selaras dengan normanorma), tetapi dibalik itu dapat saja tersembunyi segala kepalsuan yang memprihatinkan. Yang dibangun bukan kehidupan yang berakar pada kebebasan dan kesadaran hati nurani yang dewasa dan otentik, melainkan pada penampilan luar yang tampak baik-baik tetapi palsu. Dalam situasi seperti itu, Etika, sebagai ilmu yang menggunakan pendekatan kritis dan rasional, kiranya perlu dipelajari oleh orang beragama, khususnya para tokoh agama,demi mendewasakan pola pandang dan kesadaran moral/ iman mereka. Seperti ditegaskan oleh Magnis-Suseno (1987), Etika berguna untuk mengembangkan sikap moral yang dewasa dan otentik, karena dengn mempelajari etika,
orang akan mengenal prinsip-prinsip dlam
membangun moral yang baik dan otentik,dengan menggunakan seluruh kemampuan sebagai makhluk yang rasional. Walaupun sering dikatakan bahwa iman memang tidak selalu rasional, namun bagaimanapun dalam menjalani hidup ini orang beriman/ beragama tidak semestinya “mengistirahatkan" rasionya yang merupakan nilai lebih manusia dibanding makhluk-makhluk lain.
3 Jika umat beragama di Indonesia banyak dipimpin oleh pemuka-pemuka agama yang tidak pernah mempelajari filsafat (termasuk Etika), logika , teologi, dan lain-lain, maka kondisi umat beragama ditingkat grassroot akan sangat memprihtinkan.
Mereka
akan
mudah
diprovokasi,
diindoktrinasi,dan
dimanipulasi oleh para pemimpin mereka untuk tujuan-tujuan yang tidak dapat dipertanggungjawabkan. Maka pendidikan moral entah dalam formal apa,perlu diberikan kepada umat beragama pada umumnya dan kepada para calon pemuka agama pada khususnya (Magnis-Suseno 1991). Para siswa MAN 1 Magelang bisa dikategorikan sebagai para calon pemuka agama. Hal itu dilihat dari karateristik MAN1 Magelang yang merupakan lembaga pendidikan agama. Dan untuk menjadikan para siswa sebagai pemuka agama diperlukan suatu pendidikan terutama nilai moral. Dalam hal ini, peran guru sangatlah penting. Peran guru disini adalah bagaimana cara guru dalam menanamkan nilai moral yang tepat pada siswa? Melihat permasalahan diatas, penulis tertarik untuk membahasnya. Maka, melalui penelitian ini, peneliti mengambil judul “Pendidikan Moral” (Studi Analisis terhadapPenanaman Nilai-nilai Moral Siswa, MAN 1 Magelang Tahun 2010). B. Rumusan Masalah 1. Bagaimana penanaman nilai-nilai moral siswa di MAN 1 Magelang? 2. Bagaimana keadaan moral siswa MAN 1 Magelang? C. Fokus Penelitian Penelitian ini hanya membahas dalam konteks nilai-nilai moral. Dan dalam pembahasan, peneliti ingin mengetahui metode atau cara apa yang tepat dalam
4 penanaman nilai-nilai moral kepada siswa agar penanaman itu berhasil hingga memotivasi siswa untuk selalu berusaha melakukan moral yang baik. D. Tujuan Penelitian Penelitian ini memiliki tujuan sebagai berikut : 1. Untuk mengetahui bagaimana penanaman nilai-nilai moral di MAN 1 Magelang. 2. Untuk mengetahui bagaimana keadaan moral siswa MAN 1 Magelang. E. Kegunaan Penelitian 1. Kegunaan Teoritis Penelitian
ini
diharapkan
dapat
memberikan
kontribusi
bagi
pengembangan pendidikan terutama dalam meningkatkan penanaman nilainilai moral. 2. Praktis a. Secara praktis, penelitian ini dapat menjadi acuan bagi guru untuk meningkatkan penanaman nilai-nilai moral kepada siswa. b. Digunakan untuk memenuhi persyaratan guna memperoleh gelar Sarjana Jurusan Tarbiyah Ilmu Keguruan Sekolah Tinggi Agama Islam Negeri (STAIN) Salatiga. F. Penegasan Istilah 1. Pendidikan Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 2 Tahun 1989 tentang Sistem Pendidikan Nasional, Pendidikan adalah usaha sadar untuk
5 menyiapkan peserta didik melalui kegiatan bimbingan, pengajaran, dan atau latihan bagi perananya di masa yang akan datang (UU SPN No.2 Th.1989, Bab I, Pasal I, Ayat I ). Pendidikan juga bisa diartikan segala usaha orang dewasa dalam pergaulannya dengan anak-anak untuk memimpin perkembangan jasmani dan rohaninya ke arah kedewasaan (Purwanto, 1985 : 10) 2. Moral Secara etimologis kata “moral” berasal dari kata latin “mos” yang berarti tata cara, adat istiadat, sedangkan jamaknya adalah “mores”. Dalam arti adat istiadat, kata “moral” mempunyai arti yang sama dengan kata yunani “ethos”, yang menurunkan kata “etika”. Dalam bahasa Arab kata “moral” berarti budi pekerti adalah sama dengan “akhlak”, sedangkan dalam bahasa Indonesia, kata “moral” dikenal dengan arti “kesusilaan”. (Daroeso, 1986 : 22) Dalam
Kamus
Umum
bahasa
Indonesia,
yang
disusun
oleh
W.J.S.Purwadarminta (1984 : 654), kata “moral” berarti ajaran tentang baik buruk perbuatan dan kelakuan (akhlak, kewajiban, dsb). Dengan kata lain moral atau kesusilaan adalah kesempurnaan sebagai manusia. Moral sebagai tingkah laku hidup manusia, yang mendasarkan diri pada kesadaran, bahwa ia terikat oleh keharusan untuk mencapai yang baik sesuai dengan nilai dan norma yang berlaku dalam lingkungannya. Dengan demikian moral atau kesusilaan adalah keseluruhan norma yang mengatur tingkah laku manusia di masyarakat untuk melaksanakan perbuatan-perbuatan yang baik dan benar.
6 Syarat untuk menjadi manusia yang bermoral, adalah memenuhi salah satu ketentuan kodrat yaitu adanya kehendak yang baik. Kehendak yang baik ini mensyaratkan adanya bertingkah laku dan tujuan yang baik pula. Jadi predikat moral mensyaratkan adanya kebaikan yang berkesinambungan, nulai munculnya kehendak yang baik sampai dengan tingkah laku dalam mencapai tujuan yang baik pula. Karena itu, orang yang bertindak atau bertingkah laku baik kadang-kadang belum dapat disebut orang yang bermoral. 3. Nilai Dalam
Kamus
Umum
Bahasa
Indonesia,
yang
disusun
oleh
W.j.s.Purwadarminta (1984 : 677), nilai adalah : a) harga dalam arti taksiran, misal nilai intan; b) harga sesuatu, misalnya uang; c) angka kepandian; d) kadar, mutu; e) sifat-sifat atau hal-hal yang penting atau berguna bagi kemanusiaan, misalnya : nilai-nilai agama. Nilai juga bisa diartikan suatu penghargaan atau kualitas terhadap sesuatu atau hal, yang dapat dasar penentu tingkah laku seseorang, karena sesuatu atau hal itu menyenangkan, memuaskan, menarik, berguna, menguntungkan atau merupakan suatu sistem keyakinan (daroeso, 1986 : 20). 4. Analisis Dalam Kamus Umum Bahasa Indonesia, yang disusun oleh W.J.S. Purwadarminta (1984 : 39), analisis adalah : a) penyelidikan kimia dengan menguraikan sesuatu untuk mengetahui zat-zat bagianya,
dsb; b)
7 penyelidikan sesuatu peristiwa (karangan, perbuatan,dsb) untuk mengetahui apa sebab-sebabnya, bagaimana duduk perkaranya,dsb. Analisis juga bisa diartikan usaha integritas menjadi unsur-unsur atau bagian-bagian sehingga menjadi jelas hierarkinya atau susunannya (Sudjana, 2005 : 27). G. Metode Penelitian 1. Penderkatan dan jenis penelitian Penelitian ini termasuk dalam jenis penelitian lapangan yang dalam pelaksanaanya menggunakan metode pendekatan kualitatif deskriptif analisis yang pada umumnya menggunakan strategi multi metode yaitu wawancara, pengamatan, dan penelaahan dokumen yang antara satu dengan yang lain saling melengkapi, memperkuat, dan menyempurnakan (Sukmadinata, 2008 : 108). 2. Waktu Penelitian Penelitian dan pengumpulan data-data di MAN 1 Magelang dilaksanakan pada tanggal 12 Juli 2010 s.d. selesai yang disertai dengan kegiatan akhir berupa penyusunan skripsi. 3. Lokasi Penelitian Penelitian ini dilaksanakan di MAN 1 Magelang. Selain letaknya yang strategis, alasan lain pemilihan tempat penelitian adalah berkaitan dengan upaya pengembangan penanaman nilai moral yang sangat penting terutama bagi institusi pendidikan yang dikelola departemen keagamaan. 4. Sumber Data
8 Data merupakan suatu fakta dari obyek yang diteliti. Menurut Logland dan Lofland (1984 : 47) (dalam Moleong, 2007 : 157), sumber data utama dalam penelitian kualitatif adalah kata-kata, dan tindakan, selelebihnya adalah data tambahan seperti dokumen. Sumber data dibedakan menjadi 2 yaitu : a. Data Primer Sumber dan jenis data primer penelitian ini adalah kata-kata dan tindakan subyek serta gambaran dan pemahaman dari subyek yang diteliti sebagai dasar utama melakukan interpretasi data. Data tersebut diperoleh secara langsung dari orang-orang yang dipandang mengetahui masalah yang akan dikaji dan bersedia memberi data yang diperlukan. Sedangkan untuk pengembalian data dilakukan dengan bantuan catatan dan observasi mendalam oleh penelitian di MAN 1 Magelang. Dalam pemilihan sampel informan, peneliti menggunakan teknik Pur posive Sampling dengan variasi Sampling Rujukan Berantai yaitu salah satu informan mengetahui secara mendetail terhadap tema kajian yang nantinya akan mengusulkan nama-nama individu lain yang mempunyai pengetahuan yang lebih mendalam yang mendukung riset tersebut (daymon, 2002 : 251 ). Data ini diperoleh melalui kepala sekolah, tata usaha, Guru BP, guru pengajar, dan para siswa. Sementara observasi dilakukan dengan melakukan pengamatan secara langsung segala aktivitas di MAN 1 Magelang. b. Data Sekunder Data sekunder adalah data yang diperoleh dari sumber-sumber lain selain data primer. Diantaranya buku-buku literatur, majalah, arsip, dokumen
9 pribadi, dan dokumen resmi lembaga-lembaga yang terkait dengan penelitian ini. Data tersebut diantaranya seperti buku-buku referensi, seperti kamus, buku indeks, ensiklopedi dan sebagainya. 5. Prosedur Pengumpulan Data Dalam
penelitian
ini,
peneliti
menggunakan
metode-metode
pengumpulan data sebagai berikut : a. Metode observasi Observasi adalah pengamatan dan pencatatan sesuatu objek dengan sistematika fenomena yang diselidiki (Arikunto, 1988 : 69 ). Metode ini digunakan untuk mengetahui gambaran umum lokasi penelitian. b. Metode wawancara Wawancara adalah suatu proses tanya jawab, dalam mana dua orang atau lebih berhadapan secara fisik, yang satu dapat melihat muka yang lain dan mendengar dengan telinga sendiri dari suaranya (Arikunto, 1988 : 88 ). Dalam metode ini,peneliti menggunakan teknik kuesioner yaitu dengan membuat daftar pertanyaan secara tertulis dengan tujuan pokok untuk memperoleh data informasi yang relefan dengan tujuan penelitian (Koentjaraningrat, 1986 : 138). Metode ini digunakan untuk memperoleh data tentang pendidikan moral di lokasi penelitian. c. Metode dokumentasi Dokumentasi adalah pengumpulan data
yang dilakukan melalui
penelusuran dokumen yang dapat berupa buku, majalah, notulen rapat, kitab dan lainnya (Arikunto 1988 :120 ).
10 Metode ini digunakan untuk mencari data tentang lokasi penelitian seperti sejarahnya, visi misinya, dan sebagainya. 6. Metode Analisis Data Untuk menganalisis data, peneliti menggunakan
metode analisis
kualitatif dengan menerapkan metode berpikir induktif dan metode berpikir deduktif. a. Metode induktif yaitu suatu metode berpikir
yang bertolak dari
fenomena yang khusus, yang kongkrit dan kemudian menarik kesimpulan yang bersifat umum. b. Mdetode deduktif yaitu pola berfikir yang bertitik tolak dari pernyataan yang bersifat umum, dan menarik kesimpulan yang bersifat khusus (Sukandarrumidi, 2002 : 38 – 40). 7. Pengecekan Keabsahan Data Untuk mengetahui apakah data yang telah dikumpulkan dalam penelitian memiliki tingkat kebenaran atau tidak, maka dilakukan pengecekan data yang disebut dengan validitas data. Untuk menjamin validitas data, peneliti menggunakan teknik perpanjangan kehadiran penelitian di lapangan dan observasi yang diperdalam. H. Sistematika Penulisan Untuk memudahkan pemahaman dalam skripsi ini, maka akan dikemukakan sistematika hasil yng secara garis besar dapat dilihat sebagai berikut : BAB I :
PENDAHULUAN
11 Bab ini berisi tentang latar belakang masalah, rumusan masalah, tujuan penelitian, penegasan istilah, metode penelitian, sistematika penelitian. BAB II :
KAJIAN PUSTAKA Bab ini berisi tentang pendidikan, nilai-nilai moral, dan pentingnya pengajaran etika bagi orang beragama.
BAB III:
PAPARAN DATA Bab ini berisi tentang gambaran umum MAN 1 Magelang.
BAB IV:
ANALISIS DATA Bab ini berisi tentang paparan data dan pembahasan mengenai penanaman nilai-nilai moral siswa MAN 1 Magelang dan keadaan moral siswa Man 1 Magelang.
BAB V:
PENUTUP Bab ini berisi tentang kesimpulan dan saran.
BAB II LANDASAN TEORI
A. Pendidikan 1. Pengertian Pendidikan Berdasarkan buku dalam Dictionary of Education, pendidikan adalah proses dimana seseorang mengembangkan kemampuan sikap dan bentuk-bentuk tingkah laku lainnya di dalam masyarakat dimana dia hidup, proses sosial dimana orang dihadapkan pada pengaruh lingkungan yang terpilih dan terkontrol (khususnya yang datang dari sekolah) sehingga ia dapat memperoleh atau mengalami perkembangan kemampuan sosial dan kemampuan individual yang optimum (Ditjen Dikti, 1983 : 19). Pendidikan bukan semata-mata sebagai sarana untuk persiapan kehidupan anak sekarang yang sedang mengalami perkembangan menuju tingkat kedewasaannya. Berdasarkan pengertian tersebut di atas diberikan ciri umum dalam pendidikan, yaitu : 1.
Pendidikan mengandung tujuan yang ingin dicapai yaitu individu yang kemampuan-kemampuan dirinya berkembang sehingga bermanfaat untuk kehidupannya sebagai seorang individu, warga negara atau warga masyarakat.
2.
Untuk mencapai tujuan tersebut, pendidik perlu melakukan usaha yang disengaja dan berencana dlam memilih isi, strategi kegiatan, teknik penilaian yang sesuai.
3.
Kegiatan tersebut dapat diberikan dalam lingkungan keluarga, sekolah dan masyarakat, pendidikan formal dan non formal ( Ditjen Dikti, 1983 : 20). 12
13
Anak yang sedang mengalami perkembangan menuju ke tingkat kedewasaannya. Yang dimaksud dengan dewasa ialah dapat bertanggung jawab terhadap diri sendiri baik secara biologis, psikologis, paedagogis dan sosiologis. Biologis, apabila seseorang telah dapat menurunkan keturunan, dengan kata lain ia telah akil baligh. Psikologis,
apabila
bermacam-macam
fungsi
kejiwaanya
telah
berkembang sepenuhnya dan telah berdeferensiasi. Dengan kata lain, fungsifungsi kejiwaan seseorang telah matang.Paedagogis, apabila telah menyadari dan mengenal diri sendiri atas tanggung jawab sendiri. Sosiologis, apabila seseorang telah memenuhi syarat untuk hidup bersama yang telah ditentukan masyarakat (Zahara Idris, 1982 : 10). Menurut Tim Pengrembangan MKDK IKIP Negeri Semarang (1989), fungsi pendidikan secara mikro adalah membantu secara sadar perkembangan jasmani dan rohani peserta didik. Sedang fungsi pendidikan secara makro adalah sebagai berikut : 1. Pengembangan pribadi 2. Pengembangan kebudayaan 3. Pengembangan warga negara 4. Pengembangan bangsa Pada prinsipnya,
mendidik
adalah
memberi
tuntunan,
bantuan,
pertolongan kepada peserta didik. Di dalam pengertin memberi tuntunan telah tersimpul suatu dasar pengakuan bahwa anak memiliki potensi untuk berkembang. Potensi ini secara berangsur-angsur tubuh dan berkembang dari dalam diri anak. Untuk menjamin berkembangnya potensi agar menjadi lancar dan terarah, diperlukan pertolongan, tuntunan dari luar. Jikalau unsur
14
pertolongan tidak ada, maka potensi tersebut tetap tinggal potensi belaka yang tak sempat diaktualisasikan. Dalam kehidupan manusia dari sejak lahir hingga tua adalah merupakan proses meniti tahapan-tahapan perkembangan, dimana masing-masing tahap memiliki tugas tertentu yang perlu dilalui untuk menuju tahapan selanjutnya. Dalam tugas ini pendidikan sangat berfungsi untuk menghantarkan pribadi menuju ke tujuan yang sesuai dengan apa yang dikehendaki dalam perkembangannya. Pendidikan dan kebudayaan nampaknya sulit untuk dipisahkan sebab memang keduanya memiliki fungsi yang saling terkait, dimana pendidikan sangat mendukung terhadap kemajuan kebudayaan, sementara kebudayaan sendiri sebagai sarana pendidikan. Pendidikan dapat merubah pola pikir seseorang dan pada giliranya pola pikir tersebut menentukan perilaku berbudaya. Seiring dengan fungsi pengembangan pribadi dan pengembangan kebudayaan, pendidikan juga merupakan alat pengembangan warga negara. Dengan pendidikan, dapat ditingkatkan kecerdasan masyarakat, bangsa dan negara (Haryati, 1997 : 7-8). Di dalam Al Qur’an ada beberapa ayat tentang pendidikan,salah satunya Q.S. Al Baqoroh : 151 yang berbunyi:
Artinya : Sebagaimana (kami telah menyempurnakan kepadamu). Kami telah mengutus kepadamu Rosul diantara kamu yang membacakan ayat-ayat
15
kami kepada kamu dan menyucikan kamu dan mengajarkan kepadamu Al Kitab dan Al Hikmah serta mengajarkan kepada kamu apa yang belum kamu ketahui. (Al-Qur’an dan terjemahannya, :23). 2. Pentingnya Pendidikan dan Ilmu Pendidikan Kata pendidikan bagi awam atau pembaca umumnya langsung mengaitkanya dengan masalah sekolah dalam arti pertemuan guru dan siswa. Sehingga orang tua merasa berkewajiban untuk mendidik anaknya baik secara langsung maupan tidak langsung lewat persekolahan.
Mengapa pendidikan itu penting? Hal ini dapat disoroti lewat : 1. Segi anak Anak adalah makhluk yang sedang tumbuh, oleh karena itu pendidikan penting sekali karena mulai sejak bayi belum dapat berbuat sesuatu untuk kepentingan dirinya sendiri, semua kebutuhan tergantung orang tua. 2. Segi orang tua Pendidikan adalah karena dorongan orang tua yaitu hati nuraninya yang terdalam yang mempunyai sifat kodrati untuk mendidik anaknya ( Ahmadi, Uhbiyati 1991 : 74). Pendidikan dilakukan baik segi phisik, sosial, emosi maupun inteligensinya agar memperoleh keselamatan, kepandaian, agar mendapat kebahagiaan hidup yang mereka idam-idamkan, sehingga ada tanggung jawab moral atas hadirnya anak tersebut yang diberikan oleh Tuhan Yang Maha Kuasa untuk dapat dipelihara dan dididik dengan sebaik-baiknya. Manusia bukanlah seekor makhluk biologis, melainkan seorang pribadi, seorang person, seorang subyek, artinya ia mengerti akan dirinya,ia mampu
16
menempatkan dirinya dalam situasinya, ia dapat mengambil sikap dan menentukan dirinya, nasibnya ada ditangan sendirri(Ahmadi, Uhbiyati 1991 : 71) Mendidik adalah memanusiakan manusia muda, mendidik itu adalah proses hominisasi dan humanisasi, yaitu pemanusiaan manusia dari taraf potensial, ketaraf “maksimal”
(telah mampu berbuat sebagai selayaknya
manusia), dan menunjukkan perkembangan yang lebih tinggi. Pemanusiaan disini mempunyai dua arti : pendidikan memanusiakan anak didik, dan anak didik memanusiakan dirinya. Pemanusiaan itulah yang merupakan proses dalam pendidikan. Proses itu akan berakhir, jika anak sudah dapat memanusiakan dirinya sendiri sebagai manusia purnawan. Disamping halhal yang telah diuraikan diatas, pendidikan juga memandang bahwa anak didik itu memiliki sifat-sifat : Individualitas, sosialitas, moralitas dan unisitas. Pengingkaran salah satu saja dari keempat hal itu, maka pendidikan akan mengalami kesulitan dalam pelaksanaannya. Menurut pendapat Notonagoro, bahwa pendidikan itu dapat di mulai sejak anak itu masih dalam kenangan. Muda-mudi dapat mepersiapkan diri dengan jalan mendidik dirinya sendiri, sehingga mereka dapat menjadi bibit dan persemaian yang lebih baik, dan pendidikan itu berlangsung sepanjang hayat (Ahmadi, Uhbiyati 1991 : 75). Ilmu Pendidikan merupakan ilmu pengetahuan rohani, karena situasi pendidikan berdasar atas tujuan manusia, tidak membiarkan anak kepada keadaan alamnya melainkan memandangnya sebagai makhluk susila dan akan dibawa kearah manusia yang berbudaya. Pada umumnya tiap-tiap bangsa dan negara sependapat tentang pokokpokok tujuan pendidikan, yaitu : mengusahakan supaya tiap-tiap orang sempurns
17
pertumbuhan tubuhnya, sehat otaknya, baik budi pekertinya dan sebagainya. Sehingga ia dapat mencapai puncak kesempurnaan dan berbahagia hidupnya lahir batin. 3.
Pentingnya Mempelajari Ilmu Pendidikan Pentingnya mempelajari ilmu pendidikan dapat di jelaskan sebagai berikut : 1) Untuk Pengembangan Individu : Manusia sebagai makhluk berbudaya dapat mengembngkan dirinya sedemikian rupa sehingga mampu membentuk norma dan tatanan kehidupan yang didasari oleh nilai-nilai luhur untuk kesejahteran hidup, baik perorangan maupun untuk kehidupan bersama. Hal ini disebabkan oleh : a. Adanya kemampuan-kemampuan atau potensi dasar yang ada pada manusia. b. Adanya usaha pengembangan potensi manusia tersebut sehingga terwujud kemampuan yang nyata dan adanya usaha penyerahan nilai atau norma tersebut yang sudah dimiliki oleh kehidupan manusia dari generasi ke generasi berikutnya. 2) Bagi pendidik pada umumnya Dengan memahami pendidikan, pendidik dapat : a. Memudahkan praktek pendidikan. b. Dapat menimbulkan rasa kecintaan pada diri pendidik terhadap tugasnya, terhadap anak didik dan terhadap kebenaran. c. Dapat menghindari banyak kesukaran dan kesalahan dalam melaksanakan praktek pendidikan. 3) Dari segi pembangunan
18
Begitu
pentingnya
pendidikan
untuk
penmbangunan
bangsa
maka
pemerintah telah berusaha keras untuk a.
meningkatkan usaha pemerataan pendidikan
b.
meningkatkan mutu pendidikan dalam setiap tingkat pendidikan
c.
meningkatkan relevansi pendidikan terhadap kebutuhan masyarakat dan kebutuhan akan pelaksanaan pembangunan yang terus dilaksanakan
d.
meningkatkan efektivitas dan efisiensi pelaksanaan kegiatan pendidikan di semua jenjang pendidikan
Dari segala jenis usaha pemerintah tersebut dapat disimpulkan bahwa pendidikan memang dipandang mempunyai peranan yang besar untuk menciptakan masa depan yang gemilang yang menjadi idaman kita bersama. 4.
Kedudukan Ilmu Pendidikan pada Ilmu Pengetahuan Al-Ghazali membagi ilmu pengetahuan menjadi dua yaitu : 1) Duniawi :Ilmu hitung, Ilmu kedokteran, Ilmu Ukur, dll. 2) Ukhrowi : a. Mukasyafah : Iman, Islam, dan Ikhsan b. Mu’amalah: a) Batin : Terpuji, Tercela b) Dhohir : Adat, Peribadatan
Apabila diperhatikan akan menunjukkan bahwa antara yang MUKASYAFAH dengan yang MU’AMALAH sangat erat hubungannya, MUKASYAFAH tentang Iman, Islam dan Ikhsan dengan Mu’amalah Dhohir peribadatan atau Mu’amalah batin terpuji. 5.
Jenis-jenis Pendidikan 1.
Menurut tempat berlangsungnya pendidikan
19
Pendidikan di dalam keluarga
Pandidikan di dalam sekolah dan
Pendidikan di dalam masyarakat
2.
Menurut sifatnya
Pendidikan informal, yaitu pendidikan yang diperoleh seseorang dari pengalaman sehari-hari dengan sadar atau tidak sadar sepanjang hayat. Pendidikan ini dapat berlangsung dalam keluarga dalam pergaulan sehari-hari maupun dalam pekerjaan, masyarakat, organisasi.
Pendidikan formal, yaitu pendidikan yang berlangsung secara teratur, bertingkat dan mengikuti syarat-syarat tertentu secara ketat. Pendidikan ini berlangsung di sekolah.
Pendidikan non formal, yaitu pendidikan yang dilaksanakan secara tertentu dan sadar tetapi tidak terlalu mengikuti peraturan yang ketat.
3.
Menurut cara berlangsungnya pendidikan
Pendidikan fungsional, yaitu pendidikan yang berlangsung secara naluriah tanpa rencana dan tujuan tetapi berlangsung begitu saja.
Pendidikan intensional, yaitu pendidikan yang berlangsung secara naluriah dengan rencana dan tujuan yang sudah direncanakan
4.
Menurut aspek yang disentuh, jadi tidak menyentuh seluruh dari kepribadian anak didik misalnya pendidikan bahasa, pendidikan kesenian, pendidikan sosial.
B. Nilai-nilai Moral 1. Arti klarifikasi Nilai dan Nilai yang Sesungguhnya Menurut Hall, klarifikasi nilai adalah suatu metodologi atas proses dengan mana kita menolong orang untuk menemukan nilai-nilai yang melatar
20
belakangi tingkah lakunya, perasaannya, gagasan-gagasannya, dan pilihanpilihan penting yang telah dibuatnya dan dalam kenyataanya orang yang bersangkutan terus bertindak berdasarkan nilai-nilai itu dalam hidupnya. Dengan klarifikasi nilai, siswa tidak hanya disuruh menghafal dan tidak “disuapi” dengan nilai-nilai yang sudah dirumuskan pihak lain, melainkan diajari untuk menemukan, menghayati, mengembangkan, dan mengamalkan nilai-nilai hidupnya sendiri. Siswa diberi kesempatan untuk menentukan sendiri apa yang mau dikejar, diperjuangkan atau diutamakan dalam hidupnya. Denga demikian, siswa semakin mandiri, semakin mampu mengambil keputusan sendiri dan mengarahkan hidupnya sendiri (Soewandi, dkk., 2005 : 111) Yang ditekankan dlam klarifikasi nilai adalah proses pembentukan nilai. Fokusnya ialah bagaimana orang sampai pada pemilikan nilai-nilai tertentu dan membentuk pola-pola tingkah laku. Proses pembentukan nilai mencakuptujuh sub proses yang biasanya digolongkan menjadi tiga kategori (Soewandi,dkk., 2005 : 112). Ketiga sub proses pembentukan nilai yang dimaksudkan ialah : a. Memilih (kognitif) 1) Memilih dengan bebas Memilih nilai secara bebas berarti bebas dari segala bentuk tekanan. Lingkungan dapat memaksaka sesuatu nilai pada seseorang yang sebenarny tidak disukainya. Ada kalanya lingkungan menuntut kita untuk melakukan sesuatu yang tidak berdasarkan keyakinan kita. 2) Memilih dari berbagai alternatif Memilih secara bebas mengandaikan ada berbagai alternatif. Kalau tidak ada alternatif pilihan, maka tidak ada kebebasan memilih.
21
3) Memilih ssesudah memperhitungkan konsekuensinya dari masingmasing alternatif Memilih
nilai
berarti
menemukan
suatu
nilai
sesudah
mempertimbangkan konsekuensi dari semua alternative yang ada. Dan dengan mengetahui akibat-akibat dari alternatif-alternatif yang ada, dapatlah dibuat pilihan yang lebih tepat (Soewandi, dkk., 2005 : 113). b. Menghargai (afektif) 1) Menghargai dan senang dengan pilihan yang dibuat Seseorang yang menentukan pilihannya dan ternyata sesudah melakukan pilihannya itu, dia menjadi gembira, senang, maka dia menemukan nilai bagi dirinya. 2) Bersedia mengakui pilihan dimuka umum Orang yang menjunjng tinggi suatu nilai, maka orang yang bersangkutan bisa diharapkan bisa mengkomunikasikannya kepada orang lain (Soewadi,dkk., 2005 : 114). c. Bertindak (psikomotorik) 1) Berperilaku sesuai dengan pilihan Agar sesuatu benar-benar merupakan nilai bagi seseorang, maka tindakan yang bersangkutan harus berdasarkan nilai itu. Nilai itu harus diwujudkan dalam tingkah lakunya. 2) Berulang-ulang berperilaku sesuai dengan pilihan sehingga terbentuk suatu pola hidup Agar sesuatu sungguh-sungguh merupakan nilai bagi seseorang, maka tindakanya dalam berbagai situasi harus sesuai dengan nilai itu.
22
Dia bertindak berdasarkan nilai yang diyakininya dan ini berulang-ulang sehingga merupakan pola hiaupnya Soewandi, dkk., 2005 : 115). 2. Indikator Nilai Indikator nilai adalah sesuatu yang belum memenuhi ketujuh kriteria untuk menjadi nilai yang sesungguhnya. Boleh jadi indikator nilai itu telah memenuhi lima atau enam kriteria tetapi hal yang bersangkutan belum berulang-ulang dipraktekkan sehingga belum merupakan pola hidupnya. Atau boleh jadi orangnya sudah bertindak berdasarkan indikator nilai itu, tetapi sebenarnya bukan merupakan pilihannya sendiri. Terpenuhinya ketujuh kriteria itu yidak mesti berurutan, bisa berperilaku tertentu dulu, baru menyusul sub proses memilih dengan bebas. Jadi, sesuatu nilai yang belum memenuhiketujuh kriteria tersebut hanyalah merupakan indikator nilai. Indikator nilai dapat berkembang menjadi nilai yang sesungguhnya (Soewandi, dkk., 2005 : 115). Sejalan dengan ketujuh sub proses pembentukan nilai tersebut, pendidik perlu mengusahakan hal-hal berikut : a. Memberikan kesempatan kepada siswa untuk menentukan pilihan dan sikapnya sendiri b. Membantu siswa untuk memeriksa alternative-alternatif yang tersedia c. Membantu siswa untuk mempertimbangkan konsekuensi dari setiap alternatif yang tersedia d. Membantu siswa untuk menghargai dan menyenangi pilihannya e. Memberikan kesempatan kepada siswa untuk menyatakan pilihannya di depan f. Mendorong dan mengingatkan siswa untuk bertingkah laku secara konsekuen sesuai pilihannya
23
g. Mendorong siswa untuk secara konsisten berperilaku sesuai pilihannya (Soewandi, dkk., 2005 : 116). 3. Macam- macam Pendekatan Nilai Macam-macam pendekatan nilai adalah sebagai berikut : a. Memoralisasi Menurut pendekatan ini, siswa diharuskan untuk menerima warisan nilainilai hidup dari para guru. Cara-cara yang digunakan, misalnya, pemberian nasihat, khotbah, dan ceramah. b. Bersikap membiarkan Guru membiarkan siswa menentukan sendiri apa yang dimauinya, siswa dibiarkan tumbu dan berkembang secara alamiah, dengan “jatuh dan bangun”dari pengalamannya sendiri. c. Menjadi model Guru berusaha menmpilkan dirinya sebagai model yang hidup menurut nilai-nilai tertentu. Guru menjadi teladan. Siswa diharapkan terkesan oleh cara hidup si model dan berusaha menirunya. d. Pendekatan klarifikasi nilai Siswa dilatih untuk menentukan dan mengembangkan sendiri nilai-nilai hidup yang ingin diperjuangkan (Soewandi, dkk., 2005 : 110). 4. Cara-cara Memahami Nilai-nilai Moral Menurut Drs. D.A. Wila Huky, BA., cara-cara memahami nilai-nilai moral adalah : a. Moral sebagai tingkah laku hidup manusia, yang mendasarkan diri pada kesadaran, bahwa ia terikat oleh keharusan untuk mencapai yang baik sesuai dengn nilai dan norma yang berlaku dalam lingkungannya
24
b. Moral adalah ajaran tentang tingkah laku hidup yang baik berdasarkan padangan hidup atau agama tertentu c. Moral sebagai perangkat ide-ide tentang tingkah laku hidup, dengan wrna dasar tertentu yang dipegang oleh sekelompok manusia di dalam lingkungan tertntu. (Daroeso, 1986 : 22). 5. Sumber-sumber Moral a. Ketentuan agama yang berdasarkan wahyu b. Ketentuan kodrat yang terutama dalam diri manusia, termasuk didalamnya ketentuan moral universal yaitu moral yang seharusnya c. Ketentuan adat istiadat buatan manusia, termasuk didalamnya ketentuan moral yang sedang berlaku pada suatu waktu d. Ketentuan hokum buatan manusia, baik berbentuk adat kebiasaan atau hukum Negara (Daroeso, 1986 : 22) 6. Obyek-obyek Moral a. Tingkah laku manusia secara individual maupun kelompok b. Perbuatan manusia c. Tindakan manusia (Daroeso, 1986 : 25) 7. Unsur-unsur Moral a. Kehendak yaitu pendorong pada jiwa manusia yang memberi memberi alas an pada manusia untuk melakukan perbuatan b. Perwujudan dari kehendak yang berbentuk cara melakukan perbuatan dalam segala situasi dan kondisi c. Perbuatan tersebut dilakukan dengan sadar dan kesadaran inilah yang memberikan corak dan warna perbuatan tersebut (Daroeso, 1986 : 22) 8. Tahap-tahap Perkembangan Moral
25
Melalui hasil penelitiannya, Kohlberg menyatakan hal-hal sebagai berikut : a. Ada prinsip-prinsip moral dasar yang mengatasi nilai-nilai moral lainnya dan prinsip-prinsip moral dasar itu merupakan akar dari nilai-nilai moral lainnya b. Manusia tetap merupakan subyek yang bebas dengan nilai-nilai yang berasal dari diri sendiri c. Dalam bidang penalaran moral ada tahap-tahap perkembangan yang sama dan universal bagi setiap kebudayaan d. Tahap-tahap perkembangan penalaran moral ini banyak ditentukan oleh factor kognitif atau kematangan intelektual (Budiningsih, 2004 : 27-28). Menurut Kohlberg, tahap-tahap perkembangan moral adalah sebagai berikut : a. Preconventional level Pada tahap ini, anak peka terhadap aturan-aturan yang mempunyai latar belakang budaya dan terhadap penilaian baik dan buruk, benar atau salah. Tetapi dalam menafsirkan tanda baik atau buruk, benar atau salah, dipandang dari sudut, akibat fisik suatu tindakan atau orang, dsb, atua dari sudut ada tidaknya kekuasaan fisik dari orang-orang yang mengeluarkan aturan-aturan dan atau yang memberi penilaian baik-buruk itu. Tingkatan ini dibagi menjadi dua tahap : Tahap pertama : tahap orientasi kepada hukuman dan kepatuhan. Yang menentukan baik dan buruknya suatu tindakan adalah akibat fisik yang akan diperoleh seseorang, bila seseorang tidak mematuhi peraturan. Menghindari hukuman dan tunduk pada kekuasaan, adalah nilai baginya.
26
Jadi bukan karena rasa hormat pada peraturan moral yang didukung oleh hukuman dan otoritas. Tahap kedua : tahap orientasi relativis instrumental. Pada tahap ini baik buruknya tindakan, apabila tindakan itu memberi kepuasan pada diri sendiri atau kadang-kadang terhadap orang lain. Dalam hubungan dengan orang lain, ada prinsip timbale balik di mengerti secara fisis dan pragmatis (kebaikan dibalas kebaikan, keburukan dibalas keburukan). Disini tidak ada prinsip loyal hormat atau adil (Daroeso, 1986 : 33) b. Conventional level Pada tingkat ini, memenuhi usaha-usaha untuk mempertahankan harapan keluarga, kelompok atau bangsa, di pandang sebagai sesuatu yang bernilai bagi dirinya sendiri tanpa melihat akibat langsung dan nyata. Sikap yang ada bukan hanya akan menyesuaikan diri dengan harapan-harapan orang tertentu atau dengan ketertiban social, tetapi suatu sikap ingin loyal, ingin menjaga, menunjang
dan
memberi
yustifikasi,
ketertiban
itu
dan
sikap
menghubungkan diri dengan individu-individu atau kelompok yang ada di dalamnya. Dalam tingkatan ini ada dua tahap : Tahap ketiga : orientasi masuk ke kelompok “anak baik” dan “anak manis”. Tingkah laku dikatakan baik apabila menyenangkan atau dapat membantu orang lain dan mendapat persetujuan orang lain itu. Tingkah laku tersebut dinilai menurut kadarnya
“ Dia bermaksud baik”dan kemudian
orang berusaha agar lingkungan menerima dengan sikap “manis”. Tahap keempat : orientasi hokum dan ketertiban.
27
Tingkah laku yang baik berupa melakukan kewajiban dan penghargaan terhadap penguasa dan ikut serta memelihara ketertiban social. Dalam tahap ini orientasinya pada penguasa, peraturan-peraturan yang ada dan pemeliharaan ketertiban sosial (Daroeso, 1986 : 34). c. Tingkat pasca-konventional, autonomi atau berprinsip Pada tingkat ini tampak dengan jelas untuk menetapkan nilai-nilai dan prinsip-prinsp moral yang memiliki kesahihan ( validity ). Penetapan tersebut terlepas dari : satu : penguasa kelompok atau orang yang memegang prinsipprinsip tersebut, dua : apakah individu yang bersabgkutan masuk dalam kelompok atau tidak. Tingkatan ini mempunyai dua tahap : Tahap kelima : orientasi pada konsensus sosial yang sah menurut hukum (social contract-legalistic orientation). Ada kecenderungan pada tahap ini, bahwa suatu tindakan yang baik atau benar dilihat dri segi hak-hak individu dan norma-norma yang telah dikaji dari seluruh masyarakat. Disini telah ada kesadaran, bahwa nilai dan pendapat pribadi itu relatif, karena itu perlu ada perbuatan yang mengatur untuk mencapai kata sepakat. Selain daripada itu, ada suatu pandangan bahwa segala sesuatu itu sah, menurut hukum (legalistis), tetapi hukum dapat diubah untuk kepentingan kemaslahatan masyarakat. Di luar hukum ada kebebasan untuk membuat persetujuan dan kontrak, yang mengikat hak dan kewajiban yang timbul karena persetujuan itu. Tahap keenam : orientasi pada asas etika universal (universal, ethical, principle orientation).
28
Dalam tahap ini suatu kebaikan/ kebenaran didasarkan pada suara hati, sesuai dengan prinsip-prinsip etika yang dipilih sendiri yang menunjukkan sifat komprehensif, umum dan ajeg (konsisten). Prinsip-prinsip bersifat abstrak dan ethis (susila) dan bukan peraturan moral yang konkrit seperti Sepuluh Perintah Tuhan. Di dalamnya terkandung makna, prinsip umum, keadilan, azas timbal balik persamaan hak dan penghargaan terhadap manusia sebagai manusia pribadi (Daroeso, 1986 : 35) Selanjutnya dengan adanya tahap-tahap perkembangan moral, Lawrence kohlbeg mengemukakan empat sifat dalam perkembangan moral itu. Sifatsifat tersebut adalah sebagai berikut : 1) Perkembangan setiap tahap selalu sama (stage development is invariant) Seseorang harus mengikuti tahap demi tahap secara berurutan dan seseorang tidak dapat mencapai suatu tahap dengan tidak melalui tahaptahap sebelumnya. 2) Dalam perkembangan tahap, seseorang tidak dapat memahami penalaran moral. Dalam perkembangan moral seseorang, orang yang berada dalam tahap kedua, kiranya tidak dapat memahami penalaran pada tahap keempat, paling bisa tahap ketiga. 3) Dalam perkembangan tahap, seseorang secara kognitif tertarik untuk berfikir satu tahap di atas tahapnya sendiri. Seseorang yang berada dalam tahap pertama akan dirangsang untuk berfikir pada tahap kedua, dan tahap kedua oleh tahap ketiga dan seterusnya, menurut Lawrence Kohlberg bahwa berfikir secara kognitif pada tahap yang lebih tinggi lebih memadai bilamana dibandingkan
29
dengan cara berfikir pad tahap di bawahnya, sebab dapat memecahkan masalah secara lebih baik. 4) Dalam tahap perkembangan ini, tindakan dari tahap ketahap disamping oleh terciptanya cognitive disequeilibrium. Bilamana seseorang merasa tidak cukup mampu untuk menyelesaikan suatu dilemma moral yang dihadapinya, ia akan dirangsang untuk melakukan pertimbangan-pertimbangan yang lebih memadai dalam memecahkan dilema moral yang dihadapinya (Daroeso, 1986 : 35) Menurut John Dewey, tahap-tahap perkembangan moral adalah sebagai berikut : 1) Tingkat pre-moral Pada tahap ini, tingkah laku seseorang dimotivasi oleh dorongan social dan biologis. 2) Tingkat tingkah laku konsensional Pada tahap ini, individu menerima ukuran-ukuran yang terdapat dalam kelompoknya dengan berefleksi secara kritis pada tingkat yang rendah. 3) Autonomi Pada tahap ini, tingkah laku dibimbing oleh pikiran individu sendiri (Daroeso, 1986 : 32). Menurut Nouman J. Bull, tahap-tahap perkembangan moral adalah sebagai berikut : 1) Anomi 2) Heteronomi 3) Sosionomi
30
4) Autonomi Dengan tahap anomi, anak belum memiliki perasaan moral dan belum ada perasaan untuk menaati peraturan-peraturan yang ada. Tahap heteronomi, pada tahap ini nmoralitas terbentuk karena pengaruh luar (external morality). Pada heteronomi ini peraturan dipaksakan oleh orang lain, dengan pengawasan, kekuatan atau paksaan, karena itulah peraturan tersebut di atas. Tahan sosionomi, adalah suatu kenyataan adanya kerjasama antar individu, menjadi sadar bahwa dirinya merupakan anggota kelompok. Pada diri individu terjadi kemajuan moral, sebab individu menyadari adanya tanggung jawab dan kewajibannya sebagai anggota kelompok. Tahap autonomi, menurut Nouman J.Bull merupakan tahapan perkembangan pertimbangan moral yang paling tinggi. Pembentukan moral dari individu bersumber pada diri individu sendiri,termasuk di dalamnya pengawasan tingkah laku moral individu tersebut. Istilah moral secara sepenuhnya baru tepat digunakan dalam tahap autonomi ini (Daroeso, 1986 : 29). Dalam mengamati dan menelaah perkembangan moral yang terjadi pada individu ada tiga sudut tinjauan yang perlu diperhatikan. Pertama, perkembangan moral dilihat dari sudut tinjauan tingkah laku moral (moral behavior), Kedua, perkembangan moral dilihat dari sudut pernyataan moral (moral statemen) dan ketiga, perkembangan moral dilihat dari sudut pertimbangan moral (moral judgmen). Tahap-tahap moral harus dilalui, tidak akan terjadi loncatan-loncatan tahap, tetapi perlu diketahui bahwa semakin muda tingkat usia seseorang semakin tinggi tingkat heteronomi dan sebaliknya. Demikian juga bahwa
31
tingkat sosionomi anak perempuan lebih tinggi bilamana dibandingkan dengan anak laki-laki (Daroeso, 1986 : 30). Bertitik tolak pada perkembangan moral individu yang ditinjau dari sudut tingkah laku, pernyataan moral dan keputusan moral, maka dalam konteks tersebut Jean Piaget lebih menekankan kajian pertimbangan moral yang dimiliki oleh seseorang. Jean Piaget (guru besar psikologi eksperimental Universitas Genewa) telah mengadakan penelitian lebih dari 50 tahun mengenai asal usul dan perkembangan struktur kognitif dan perkembangan pertimbangn moral. Yang dianalisis oleh J. Piaget ialah “Sikap verbal anak” terhadap turan permainan, tindakan keliru (clumsiness), mencuri dan menipu. Dalam tingkat moralitas, Jean Piaget bertolak pada keyakinan “seluruh moralitas terkandung dalam sistem peraturan dan hakekat seluruh moralitas harus dicari dalam sikap hormat kepada peraturan”. Ada dua indikator moralitas itu yang dideteksi dan diamati melalui : 1)
Kesadaran akan peraturan atau rasa hormat pada peraturan atau sejauh mana peraturan tersebut dianggap sebagai yang membatasi tingkah laku.
2)
Pelaksanaan dari peraturan itu (Daroeso, 1986 : 30) Untuk kepentingan tersebut, Jean Piaget mengamati anak-anak yang
berbagai usi yang sedang bermain kelereng. Pada peraturan permainan kelereng itu tidak dijumpai adanya ganjaran dan hukuman. Tujuan utamanya apakah para peserta permainan kelereng itu menganggap peraturan itu dari luar dan suci dan tidak dapat diubah oleh peserta pemain (heteronomi) atau mereka sadar akan peraturan itu merupakan hasil dari persetujuan bersama
32
dari pada peserta pemain (autonomi) terhadap kesadaran. Dalam permainan kelereng itu Jean Piaget mempunyai : 1) anak-anak sampai usia dua tahun, mereka bermain kelereng tiada aturan yang mengendalikan aktivitas mereka (aktivitas motorik) dan tidak ada kesadaran akan peraturan yang mengatur penggunaan butir-butir kelereng. 2) Pada usia dua sampai enam tehun mulai timbul secara berangsur-angsur kesadaran akan peraturan. Akan tetapi ia menganggap bahwa aturanaturan itu suci dan tidak dapat diganggu gugat. Pelaksanaan peraturannya bersifat egosentris, artinya, dia hanya menirukan apa yang dilihatnya. Ia menggambar lingkaran, meletakkan dan menyentikkan kelereng dan sebagainya, adalah mempunyai tujuan-tujuan sendiri, tanpa disadari bahwa apa yang ia lakukan merupakan permainan bersama. 3) Anak usia tujuh sampai sepuluh tahun, mulailah anak beralih dari kesenangan psikomotor menuju pada tingkat kesadaran adanya kerangka aturan yang disepakati.pada akhirnya anak berkembang menuju tahap autonomi seirama dengan perkembanganny kematangan kognitif. 4) Anak usia sebelas sampai duabelas tahun, anak berkembang menuju pada kemampuan berfikir abstrak, dimana pada saat itu dirasakan pentingnya penghimpun aturan (codifikasi of rules). Tidak ada hal yang kecil yang lolos dari perhatian mereka, yang kemungkinan mempengaruhi permainan mereka. Dapat terjadi waktu habis untuk mewasiti kejadian yang terjadi lebih dari pada waktu yang digunakan untuk melangsungkn permainannya sendiri (Daroeso, 1986 : 31) Berkenaan dengan pentahapan perkembangan moral itu ada beberapa hal yang patut dicatat :
33
a) Titik
heteronomi
dan
autonomi
lebih
menggambarkan
proses
perkembangan dari pada totalitas orientasi mental individu. b) Dengan memulai pergaulan dan kerjasama anak mengembangkan pengertian tentang tuluan dan sumber aturan-aturan. c) Anak sampai usia tujuh atau delapan tahun menempatkan dirinya dikendalikan oleh seluruh aturan. d) Dalam menghargai aturan yang diterima dari luar, anak belum memiliki pengertian dan motivasi untuk berbuat ajeg (konsistent) dengan aturan itu. e) Baru
pada
tahap
autonomi
anak
menyadari
akan
aturan
dan
menghubungkan dengan pelaksanaannya. f) Tujuan dan arah perkembangan kesadaran akan aturan adalah pengertian yang autonomi dan merupakan pelaksanaan aturan itu. (Daeroeso, 1986 : 31) Pengaruh heteronomi pada perkembangan anak mengenai benar dan salah, bagi anak kecil segala peraturan itu sama. Dari proses perkrmbangan hormat kepada peraturan moral ada suatu periode dimana peraturan moral dianggap suci atau/dan tidak dapat diganggu gugat dan pelaksnaan peraturan bersifat egosentris, yaitu hanya melulu apa yang dilihat. Pemahaman anak terhadap peraturan-peraturan moral seperti itu. Jean Piaget menyebut dengan istilah “realisme moral”. Dengan realisme moral dimaksudkan adalah “suatu kecenderungan untuk menganggap kewajiban dan nilai yang melekat padanyan sebagai bagian, yang berdiri sondari dan bebas dari pengaruuh akal manusia, sebagai sesuatu yang mempengaruhi sendiri tanpa memandang
keadaan, dimana individu
menemukan dirinya”. Rasa wajib dari anak pada tahap heteronomy dipandang
34
sebagai penjabaran dari pemerintah dan pengaruh orang dewasa, misalnya melarang menipu, melarang mencuri, melarang mabuk-mabukan, dan sebagainya. Itulah permulaan timbulnya suara hati dalam arti moral. Dengan kata lain realisme morah akan tercapai pada tahap autonomi. (Daeroeso, 1986 :32) Adanya bermacam pendapat tentang Filsafat Moral atau Filsafat Kesusilaan menyebabkan timbulnya aliran-aliran. Ada yang berpendapat bahwa kesusilaan itu ditentukan oleh tuuan manusia/hidup terutama hidup yang mengutamakan kenikmatan hidup. Suatu perbuatan dipandang memenuhi kesusilaan apabila perbuatan tadi ditujukan untuk mencapai kenikmatan. (Daeroeso, 1986 :36) Adapula yang berpendpat behwa kesusilaan itu berdasarkan pada manfat perbuatan tersebut dan ada yang berpendapat bahwa yang dikatakan susila ialah yang sesuai dengan Agama. Adapun aliran-aliran Filsafat Moral di antaranya ialah : 1) Hedonisme Ukuran baik dan buruk bagi aliran ini ialah segala perbuatan yang membawa dan kenikmatan yang merupakan tujuan manusia. Yang dimaksud dengan kebahagian ialah suatu keadaan yang tanpa menderita, yang dapat dicapai dengan akal manusia. Hedonisme dapat digolongkan dalam dua macam golongan, yaitu : a) Hedonisme yang egoistic Aliran ini mengatakan bahwa manusia harus mencari kenikmatan yang sebesar-besarnya untuk diri sendiri. Sesuatu perbuatan yang dipilih
harus
dipertimbannngkan
apakah
perbuatan
tersebut
35
mengandung kenikmatan yang lebih besar bagi dirinya sendiri. Kalau memang demikian, maka perbuatan tersebut sebaiknya dikerjakan. b) Hedonisme yang universalistic Aliran ini orang dalam hidupnya harus berusaha untuk mencapai kebahagiaan dan kenikmatan bagi seluruh umat manusia. Baik dan buruk berdasarkan pada adanya manfaat dan kesenangan bagi semua orang. Baik apabila membawa kenikmatan semua manusia dan buruk, apabila membawa penderitaan bagi manusia seluruhnya. 2) Utilitarisme Aliran ini mengatakan bahwa yang baik ialah yang ada manfaatnya atau “utility”. Semua perbuatan manusia harus diarahkan kepada kema’rifatan, jadi baik dan buruk diukur dari adanya manfaat. John Stuart Mill, tokoh aliran ini mengatakan : “kemanfaatan adalah kebahagiaan untuk jumlah manusia yang sebanyak-banyaknya”. Bagi aliran ini perbuatan moral yang baik ialah yang bertujuan untuk mencapai suatu kehidupan yang bebas dari kesusahan, aliran ini lebih mementingkan “utility” bagi masyarakat dan “utility” bagi perseorangan. Maka pengorbanan adalh suatu perbuatan yang baik, karena pengorbanan bermaksud memberikanmanfaat bagi orang banyak. Maka pengorbanan adalah perbuatan yang bermoral. 3) Naturalisme Menurut aliran ini kebahagiaan manusia dapat dicapai dengan menuruti panggilan “nature” atau panggilan alam. Sesuatu perbuatan dikatakan bermoral apabila aesuai dengan panggilan alam. Tugas manusia didunia ini adalah memenuhi kebutuhannya untuk memenuhi
36
panggilan alam, ialah kelangsungan hidup. Gangguan terhadap kelangsungan hidup akan mengakibatkan hilangnya kebahagiaan (Daroeso, 1986 : 37) 4) Vitalisme Perbuatan manusia dianggap bermoral ialah apabila perbuatan tersebut menunjukkan daya hidup. Seseorang yang bermoral tinggi ialah yang dapat menunjukkan kekuatannya sebagai seorang yang kuat, seorang yang istimewa “Ubermensch”. Tokoh dari aliran ini adalah seorang ahli filsafat Jerman Friedrich Nietzsche (tahun 1844 -1900). I mengatakan ada dua macam moral, yaitu : Herrenmoral dan Sklaven moral. a) Herrenmoral Nietzsche mengatakan bahwa Herrenmoral adalah moral yang dipunyai oleh “tuan-tuan besar” atau moral kepunyaan “orang yang kuat” atau “moral penguasa”, moral Ubermensch. Seseorang Ubermensch adalah seseorang yang dapat menentukan hidupnya sendiri dengnan aturanaturan yang berlaku bagi kelompoknya sendiri. Ubermensch tidak perlu merasa bersalah dan berdosa dan tidak perlu mempunyai rasa takut, karena salah, rasa takut dan rasa berdosa hanya patut bagi anak-anak dan budak. Jadi yang dikatakan moral penguasa, yaitu moral bagi tuan-tuan ialah semua tindakan yang disukai, tidak tergantung pada ukuran atau normayang ada. b) Sklaven-moral Pada dasarnya menurut Nietzsche masyarakat itu hanya dua golonngan, yaitu Herren dan Sklaven, tuan dan budak, si kuat dan si lemah.
37
Golongan lemah hanya patut menjadi budak dari golongan penguasa dan segala sesuatu yang baik bagi si kuat merupakan halangan bagi si lemah. Perbuatan baik bagi si lemah atau si budak-budak iajah selalu mengabdi kepada yang kuat, kepada penguasa. Golongan Sklaven tidak dibenarkan berbuat yang menentang Herren, yang boleh bertindak sekehendak sendiri. Demikianlah pandangan moral dari Nietzsche yang pada dasarnya merupakan penyokongan bagi kehendak untuk berkuasa “Der Wille zur Macht”. 5) Theologi Aliran moral ini mengatakan, bahwa sesuatu perbuatan dikatakan bermoral baik apabila perbuatan tersebut sesuai dengan agama. Artinya : perbuatan tersebut sesuai dengan perintah Tuhan dan menjauhi laranganNya. Tuntutan kesusilaan dalam hal ini telah digariskan oleh agama dan tertulis dalam kitab suci masing-masing agama, norma-norma tersebut tidak sama, tetapi dalam garis besarnya tuntutan kesusilaan dalam agama ada kesamaan (Daroeso, 1986 : 38) 9.
Aliran dalam Filsafat Moral a. Hedonisme Ukuran baik dan buruk bagi aliran ini adalah segala perbuatan yang membawa kebahagiaan dan kenikmatan yang merupakan tujuan hidup manusia. b. Utilitarisme
38
Aliran ini mengatakan bahwa yang baik adalah yang ada manfaatnya. Dan perbuatan moral yang baik adalah yang bertujuan untuk mencapai suatu kehidupan yang bebas dari kesusahan (Daroeso, 1986 :36) 10. Sanksi-sanksi Moral a. Sanksi yang dijatuhkan oleh Tuhan Yang Maha Esa yang berupa nestapa di akhirat nanti b. Sanksi terhadap diri sendiri yang bersifat Ketuhanan, yang mungkin pula sampai pada kematian c. Sanksi pada diri sendiri yang bersifat kejiwaan, misalnya : sedih, resah, malu dan sebagainya d. Sanksi yang berasal dari keluarga atau masyarakat, misalnya : dihina, diasingkandari masyarakatitu (Daroeso, 1986 :40). Di dalam Al Qur’an ada beberapa ayat tentang moral/etika, salah satunya QS. Al Ahzab : 21 yang berbunyi :
Artinya : Sungguh, telah ada suri tauladan yang baik pada (diri) Rasullah bagimu, (yaitu) bagi orang yang mengharap (rahmat) Allah dan (kedatangan) Hari Kiamat dan yang banyak mengingat Allah (Al Qur’an dan terjemahannya, :420) Sebelum melakukan perbuatan, manusia menentukan sendiri apa yang akan dikerjakan. Ia telah menentukan sikap,mana yang harus dilaksanakan, mana yang yang tidak boleh dilaksanakan (Daroeso, 1986 : 25)
39
C. Pendidikan Moral 1. pengertian pendidikan Usaha manusiawi yang membantu anak dalam perkembangan agar anak itu mengembangkan potensi-potensi dan memperoleh kemampuan untuk mewujudkan dirinya menjadi manusia yang seutuhnya. Usaha pribadi insani dalam rangka memperbaiki dan menyempurnakan diri sendiri untuk menjadi manusia yang lebih berarti dan lebih bernilai. Kegiatan mendidik merupakan suatu proses terus-menerus sepanjang hayat, mengembangkan memperbaiki dan meningkatkan diri, dalam rangka pembinaan dan peningkatan keamanan intelektual, memperkaya pengetahuan verbal, menerapkan kemampuan intelektual dan pengetahuan verbal untuk pengembangan ilmu dan teknologi, pengembangan dan peningkatan ketangkasan dan keterampilan serta membina sikap dan kepribadian. Membangun manusia seutuhnya adalah masalah dan tugas untuk membantu manusia dalam perkembngannya menjadi Insan Kamil, yang merupakan tugas pendidikan di lingkungan keluarga, sekolah, pesantren, madrasah, lingkungan masyarakat,dll. Menjadi manusia seutuhnya jelaslah adanya keharusan untuk memiliki kesehatan jasmani dan rohani, memiliki pengetahuan, ilmu dan teknologi serta kemampuan untuk pengembangan ilmu dan teknologi tersebut guna mengeksplorasi dan mengembangkan sumbersumber daya manusiawi dan alami dalam rangka pembangunan dan memajukan mastarakat, bangsa dan negara. Kegiatan mendidik merupakan suatu proses terus menerus sepanjang hayat, mengembangkan memperbaiki dan meningkatkan diri, dalam rangka pembinaan dan peningkatan keamanan intelektual, memperkaya pengetahuan
40
verbal, menerapkan kemampuan intelektual dan pengetahuan verbal untuk pengembangan
ilmu
dan
teknologi,
pengembangan
dan
peningkatan
ketangkasan dan keterampilan serta membina sikap dan kepribadian. Pendidikan terjadi dalam saling hubungan atau pergaulan sesama manusia. Anak bersifat tidak berdaya, oleh karena itu memerlukan pimpinan dari orang dewasa (pendidik) untuk dapat berdiri sendiri, mempunyai kemampuan untuk belajar memilih dan mengintegrasikan norma-norma kehidupan (moral), sehingga terbentuklah suatu realita baru dalam hidup yang terdidik (Daroeso, 1986 : 45) 2. Pengertian Moral Moral yang berasal dari kata mores yang artinya mengungkapkan dapat atau tidaknya sesuatu perbuatan tindakan diterima oleh sesamanya dalam hidup kemasyarakat. Mores mengandung prinsip dan nilai/ norma imanen. Etik mengungkapkan kadar perbuatan dan tindakan seorang dalam hubungan dengan sesamanya, bagaimana terintegrasinya norma-norma kehidupan diukur dari pernyataan melalui kata dan perbuatan. Etik tidak hanya mengungkapkan norma immanen, intinya ialah norma-norma transenden. Bahwa pendidikan moral itu adalah menyangkut aspek dari pada watak seseorang yang sama pendidikannya,watak itu tidak dapat baru dimulai pada saat ia masuk sekolah. Watak itu merupakan suatu keseluruhan yang berkembang secara sistematis, harmonis sesuai dengan perkembangan anak, yang dengan sendirinya tidak dapat secara terpisah-pisah, karena kehidupan si anak itu berasal dari kehidupan keluarga, bahkan sebelumnya dilahirkan pada dalam pengaruhnya. Manusia pada hakekatnya adalah etis, mempunyai potensi untuk menjadi manusia yang bermoral, potensi untuk hidup penuh
41
dengan nilai/norma. Potensi itu harus dikembangkan, agar dapat berkembang harus ada bantuan orang dewasa (pendidik). Hidup bermoral dalam konsepsi bangsa dan masyarakat indonesia berintikan norma-norma yang supra alami, norma-norma transendental, yaitu Iman dan Takwa pada Tuhan Yang Maha Esa. 3. Pengertian Pendidikan Moral Pendidikan moral adalah salah satu bidang studi dalam sistem pendidikan pancasila yang merupakan usaha sadar untuk membentuk kepribadian dan mengembangkan
kemampuan
seseorang
dengan
cara;
mengalihkan
pengetahuan/ menanamkan pemahaman tentang pancasila dan menanamkan kemampuan untuk menghayati dan mengamalkan pancasila (Daroeso, 1986 : 47). Pengertian tersebut mengandung ketegasan bahwa pendidikan moral merupakan proses pendidikan dan bukan hanya proses pengajaran yang merupakan pengalihan pengetahuan saja. Sebagai proses pendidikan, kegiatannya menyangkut usaha sadar tentang pembentukan kepribadian, pembentukan sikap/ mental dan mengarah kepada tingkah laku perbuatan (behavior) dari seseorang. Pendidikan moral pancasila serta unsur-unsur yang dapat meneruskan dan mengembangkan jiwa, semangat, dan nilai-nilai kepada generasi muda harus makin ditingkatkan dalam kurikulum sekolah, mulai dari taman kanak-kanak sampai perguruan tinggi, baik negeri mupun swasta, dan lingkungan masyarakat (Daroeso, 1986 : 47) Dalam pembinaan anak didik menjadi Manusia seutuhnya itu perlu diperhatikan : a. Hakekat manusia yang mono pluralis, yaitu :
42
1) Bahwa hakekat kodrat manusia yang terdiri dari jiwa (akal, rasa dan kehendak) dan raga (unsur binatang,tumbuhan dan benda mati). 2) Bahwa sifat kodrat manusia adalah makhluk individu dan makhluk sosial. 3) Bahwa kedudukan kodrat manusia itulah makhluk Tuhan Yang Maha Esa dan sebagai makhluk mandiri. b. Variable-varable individu anak didik yaitu tingkah laku, potensi dan aspirasinya, kesadaran serta usaha, kegiatan, partisipasi, tanggung jawabnya. Pendidikan moral pada taip-tiap Negara berbeda satu dengan lainnya.dalam negara yang menjadikan agama sebagai hukum dasarnya maka pendidikan moral bersumberkan pada agama yang berlaku di Negara itu. Bagi negara yang tidak memakai agama sebagai hukum dasarnya, pendidikan moral didasarkan pada hukum dasar dan nilai-nilai yang terkandung dalam hukum dasar itu (Daroeso, 1986 : 53). Pendidikan moral dan pendidikan religi telah ada pada bangsa Indonesia meskipun bentuknya tidak seperti sekarang ini, Pendidikan moral bersumber pada religi, adat istiadat dan kebiasaan yang dalam tata kehidupan masyarakat itu. Pendidikan moral berupaya membentuk anak didik menjadi warga Negara dan warga masyarakat yang baik dan bertanggung jawab, dalam arti mau dan mampu menghayati dan mengamalkan pancasila dan UndangUndang Dasar 1945. Seperti telah diuraikan diatas, bahwa pendidikn moral telah ada pada masyarakat Indonesia. Dengan pendidikan moral, masyarakat menghendaki agar para anggotanya, memahami, mengamalkan dan melestarikan nilai-nilai
43
yang telah menjadi kesepakatan bersama masyarakat itu. Untuk kepentingan tersebut harus ada proses internalisasi nilai-nilai yang terkandung dalam pancasila ke manusia Indonesia sebagai pendukung pancasila. Proses itu dapat dilakukan dengan pendidikan, imitasi, latihan dan suri tauladan ( Daroeso, 1986 : 56) D. Pentingnya Pengajaran Etika Terhadap Orang yang Beragama 1. Pengajaran Etika adalah salah satu cabang dari ilmu pengetahuan yang secara khusus membahas tentang tindakan. Sebagai ilmu, Etika mempunyai obyek (obyek formal dan obyek material) dan menggunakan metode pendekatan ilmiah, yakni yang didasarkan pada data-data atau pemikiran-pemikiran yang dapat dipertanggung jawabkan kebenarannya. Etika sering di golongkan juga ke dalam ilmu filsafat. Filsafat adalah ilmu pengetahuan yang khusus, yang memiliki dua keistimewaan, yaitu pembahasannya bersifat ”menyeluruh” (comprehensive) dan ”mendasar” (foundational). Menyeluruh artinya mengusahakan pengetahuan yang menyangkut segala bidang kehidupan atau seluruh kenyataan, mendasar artinya dalam mempelajari sesuatu
filsafat
selalu ingin menemukan unsur-unsurnya yang hakiki atau dasariah. Pendidikan budi pekerti adalah jiwa dari pendidikan islam dan islam telah menyimpulkan bahwa pendidikan budi pekerti dan akhlak adalah jiwa pendidikan islam. Tapi ini tidak berarti bahwa kita tidak mementingkan pendidikan jasmani atau akal atau ilmu ataupun segi-segi praktis lainnya tetapi artinya ialah bahwa kita memperhatikan segi-segi pendidikan akhlak seperti juga segi-segi lainnya itu (Ahmadi, Uhbiyati 1991 : 112) 2. Keterkaitan Antara Etika dan Agama
44
Etika tidak sama dengan agama dan tidak dapat menggantikan agama. Namun Etika juga tidak bertentangan dengan agama, bahkan diperlukan oleh agama. Demikian pula etika memerlukan agama.Etika dan agama sesungguhnya dapat menjadi partner yang baik, karena dapat saling melengkapi. Selain itu, keduanya memiliki landasan yang sama, yaitu samasama : a. memandang bahwa manusia memiliki martabat yang luhur, yang ditandai oleh adanya “akal budi” untuk memahami soal baik-buruk dan “kehendak bebas” untuk menentukan tindakan yang baik, b. bertujuan untuk mencapai tujuan akhir yang sama, yaitu “kesempurnaan hidup yang paripurna” yang merupakan jalan mencapai kebahagiaan sejati, c. menggariskan bagaimana cara mencapai tujuan akhir tersebut, yakni dengan mengusahakan hidup yang baik/baik. Agama memberikan dua landasan yang merupakan “gisi” yang dapat membuat etika menjadi sehat dan kuat, yaitu : (1) perspektif hidup yang mencakup dunia dan akhirat; hal ini dapat membuat orang mampu untuk tetap setia memegang teguh kebaikan dan tabah menanggung derita maupun kesusahan dalam situasi krisis, penuh kesulitan, cobaan, dan godaan, karena ada harapan akan adanya “pengadilan terakhir” yang seadil-adilnya bagi setiap orang diakhir jaman nanti; sehingga orang yang hidupnya baik tetapi selama di dunia banyak menderita, dapat berharap nanti akan mendpatkn sorga di akhirat. (2) tolok-ukur moral berupa “kebaikan yang tinggi” (kesempurnaan, Summum Bonum) yang sekaligus menjadi cita-cita dan tujuan terakhir seluruh usaha untuk hidup baik; tolok ukur seperti itu dapat
45
ditemukan pada figur atau pribadi Tuhan Allah sendiri (Yang Maha Baik dan Maha Sempurna). Yang ketetapan kehendakNya dapat dikenali oleh manusia melalui perwahyuan (kitab suci), hati nurani manusiawi, dan hukum alam yang mendasari gerak alam semesta. Pendidikan moral tidak akan memasuki atau mengambil alih fungsi pendidikan agama. Pendidikan moral pancasila mendorong dan menumbuhkan suasana yang baik agar warganegara Indonesia percaya dan takwa kepada Tuhan Yang Maha Esa sesuai dengan agama dan kepercayaannya masing-masing menurut dasar kemanusiaan yang adil dan beradab (Daroeso, 1986 : 50). Etika yang murni humanis atau antroposentris akan cenderung bersifat pragmatismaterialis, artinya hanya sekedar berfungsi untuk menunjang pencapaian tujuan-tujuan duniawi dan inderawi (materialis/empirik) yang bersifat sementara semata. Etika yang humanistis tidak akan dapat bertahan jika berhadapan dengan situasi yang sulit. Agama berbicara tentang Tuhan, kehidupan abadi, akhirat, pengadilan akhir, sorga neraka, dan akhlak/moral yang harus dihayati dengan sikap teguh dan taat dalam hidup di dunia ini. Kehidupan di dunia ini bersifat relatif, dalam srti tidak merupakan segalagalanya. Orang baik yang banyak menderita selama hidupnya di dunia, masih dapat berharap akan memperoleh kebahagiaan abadi di sorga. Agama menentukan tolok ukur manusiawi bagi baik buruknya tingkah laku manusia berdasarkan tolok ukur Ilahi, yaitu kebaikan tertinggi atau kesempurnaan, yang hanya dimiliki oleh Tuhan. Agama adalah akar yang tanpa itu pohon moral kita akan mati. Etika tanpa Agama ibarat pohon tanpa akar. Hal itu tidak berarti bahwa etika yang benar harus tampil sebagai ”etika teologis” , yakni etika yang selalu mendasarkan prinsip-prinsipnya pada
46
wahyu Ilahi. Dengan demikian, agama sesungguhnya membutuhkan etika, khususnya dalam usaha untuk : (1) menangkap dan menginterpretasikan (menafsirkan) kejelasan isi/maksud ayat-ayat yang tertulis di dalam kitab suci. (2) menemukan pemecahan atau jalan keluar yang secara moral dapat dipertanggungjawabkan atas masalah-masalah baru yang tidak secara eksplisit ditulis dan diatur dalam kitab suci. 3. Etika dan Kitab Suci Kitab Suci pada setiap agama yang ditulis ratusan bahkan ribuan yang tahun lalu tidak dapat dilepaskan dari konteks sosio-kultural pada saat itu. Maka, untuk dapat memahami isi ayat-ayat Kitab Suci secara tepat, kita mesti melalui proses penafsiran (hermeneutik) yang jernih, luas, dan terang. Yang perlu kita ikuti adalah kehendak Allah, bukan kata-kata yang tersurat dalam Kitab suci. Maka, ayat-ayat dalam kitab suci selalu harus ditafsirkan, untuk dapat menangkap isinya(kehendak Allah) yang sebenar-benarnya, yang tersurat didalamnya. Etika sangat kritis terhadap praktik hidup yang berupa ketaatan buta pada perintah dan larangan yang termuat dalam kitab suci. Etika ingin mengoreksi praktik banyak orang beragama yang didasari logika pemikiran yang salah. Orang beragama sering berpandangan bahwa ”suatu tindakan itu baik karena diperintahkan dn buruk karena dilarang dalam kitab suci”. Sehingga apapun yang diperintahkan dalam kitab suci dipandang baik dan apapun yang dilarang dipandang buruk. Jadi, kalau kitab suci memerintahkan suatu tindakan, itu mesti karena tindakan tersebut mengandung kebaikan dan sebaliknya. Tugas kita adalah untuk meneliti, merenungkan, menafsirkan,
47
dan meresapkan dimana letak kebaikannya seterang-terangnya, selaras dengan kerangka dan logika pemikiran kita yang jujur dan terbuka. 4. Pentingnya Orang Beragama Mempelajari Etika Pendidikan bertujuan mengembangkan seluruh aspek dalam diri manusia: aspek moral, intelektual, fisik, dan mental-spiritualnya. Mengingat manusia adalah makhluk yang rasional (yang memiliki akal-budi dan kehendak bebas), untuk dapat berkembang mencapai kepenuhan/keutuhan dirinya sebagai manusia, ia harus dididik. Dalam pendidikan aspek moral merupakan aspek yang paling utama untuk dikembangkan, karena moral menyangkut sikap-sikap dan tingkah laku yang baik, yang sesuai dengan tuntutan kemanusiaan (keluhuran martabat manusia). Oleh sebab itu, pendidikan akan dan harus selalu berusaha membentuk dan mengembangkan sikap dan tingkahlaku yang baik yang benar, dan yang lurus sesuai dengan prinsip-prinsip moral yang dikembangkan dalam etika (Soewandi,dkk, 2005 : 146). Etika merupakan sarana bagi manusia untuk membangun hidup yang baik/benar demi mencapai kesempurnaan hidupnya. Dalam hal ini, etika sesbagai ilmu menyediakan teori dan metode yang dapat digunakan untuk mengembangkan penalaran atau pemikiran yang kritis, logis, rasional, sistematis, menyeluruh dan mendasar untuk dapat mempertimbangkan dan menemukan mana sikap tindakan yang baik yang selayaknya dilakukan dan tindakan yang buruk yang sepantasnya dijauhi. Etika memberikan kejelasan arah atau orientasi yang mesti kita ikuti dalam hidup ini agar hidup kita dapat sampai pada tujuan yang sebenarnya.
48
Etika dengan demikian merupakan ilmu yang mengkaji hal-hal yang sangat fundamental bagi hidup yang baik dan benar, maka etika semestinya dipelajari oleh siapa saja, dari kalangan agama manapun, dan dijadikan landasan dalam pengembangan ilmu-ilmu maupun dalam praktik hidup dalam bidang apapun. Etika yang sehat adalah yang seimbang, yakni yang berlandaskan pada wawasan pengetahuan yang luas dan prinsip-prinsip yang dapat dipertanggung jawabkan kebenaran/kebaikannya, etika yang sehat memerlukan studi yang tekun dan teliti serta memerlukan keterbukaan terhadap segala masukan dan kritik. Pengajaran etika menyampaikan ilmu tentang moralitas, yaitu teori-teori atu prinsip-priasip dasar tentang bagaimana orang dapat hidup baik. Etika mengacu pada pencapaian kualitas hidup (keutuhan/kesempurnaan diri sebagai manusia). Kualitas baik buruk moral manusia ditentukan oleh kualitas keseluruhan tindakan lahiriah, sikap batin,/ motivasinya, dampak, dan akibatnya. Dalam praktik, kualitas baik buruknya suatu tindakan moral dinilai berdasarkan aspek-aspek : (1) normatif/boleh tidak boleh; (2) orientasi subyektif kepada kebaikan atau kebenaran yang obyektif dalam otonomikebebasan hati nurani dan (3) dampak akibatnya : ada sanksinya atau tidak, akibat langsung dan tidak langsungnya baik atau tidak. Dalam hal ini selalu ada kecenderungan pada umat beragama untuk mempersempit peletakan kualitas hidup dengan menekankan salah satu dari ketig aspek di atas secara berat sebelah. Orang yang berpijak pada pandangan yang normatifkuantitatif sempit memberlakukan dan mentaati norma-norma bukan dalam rangka membangun hidup yang berkualitas sebaik-baiknya, melainkan untuk topeng agar dirinya tampak baik-baik di mata orang-orang. Dalam hal ini,
49
banyak orang justru mengembangkan ”moralitas kuburan” atau ”moralitas topeng” (Soewandi,dkk., 2005 : 150). Orang yang berpijak pada pandangan yang subyektif sempit bertolak pada apa yang menurut dirinya sendiri saja atau pada hati nuraninya yang sempit dan naif. Asal maksud dan tujuannya baik atau asal menurut pemikirannya sendiri baik, maka apapun yang ia lakukan dia beranggapan bahwa tindakannya itu baik/benar (entah itu membunuh penjahat, membakar rumah orang yang dicurigai jahat,dll). Orang yang berpijak pada pandangan yang konsekuensialis sempit hanya memperhatikan dampak akibat langsungnya bagi diri sendiri dan untuk saat sekarang saja. Hal ini masih sering dipersempit pada dampak langsungnya secara kuntitatif.
BAB III PAPARAN DATA
A. Gambaran Umum Lokasi dan Subyek Penelitian 1. Sejarah Madrasah Aliyah Negeri (MAN) I Magelang beralamat di Jalan Sunan Bonang No 17, Telepon (0293)362928 Kota Mgelang. Madrasah ini setidaknya telah mengalami tiga kali perpindahan atau perubahan alamat dan tiga kali perubahan jenis pendidikan. Pertamakali didirikan pada tahun 1950 bernama Sekolah Guru Hakim Islam (SGHI), beralamat di Kampung Kejuron Kota Magelang sampai tahun 1957. Tahun 1957 ketika masih bernama SGHI, alamatnya berpindah dari Kampung Kejuron Kota Magelang ke Jalan Tidar 21 Kota Magelang sampai dengan tahun 1971, pada tahun ini, namanya sudah berubah menjadi Pendidikan Guru Agama (PGA) 6 tahun. Kemudian pada tahun 1971, alamatnya berpindah ke Jalan Sunan Bonang No 17 Magelang sampai sekarang. Pada tahun 1980, sekolah ini berganti nama dari PGA 6 tahun menjadi Pendidikan Guru Agama Negeri (PGAN) sampai pada tahun 1991 terjadi konversi seiring dihapuskannya sekkolah keguruan, yakni dari PGAN menjadi Madrasah Aliyah Negeri (MAN).Tambahan label “model “ ditetapkan berdasarkan keputusan Direktur Jendral Pembinaan Kelembagaan Agama (DIRJEN BINBAGA) No.E-IV/PP.066/ KEP/17-A/98 tanggal 20 Februari 1998 tentang penetapan sebanyak 33 MAN Model se-Indonesia, diantaranya MAN Model Magelang. 52
53
2. Visi dan Misi Visi
: Berakhlak Mulia, Disiplin, Terampil, Dan Berprestasi
Indikator Visi : a. Berakhlakul Karimah 1. Senyum, Salam, Sapa ketika berjumpa dengan sesama warga madrasah 2. Rendah hati, simpatik dan tidak sombong 3. Melaksanakan sholat wajib secara berjamaah 4. Gemar melakukan sholat dan puasa sunnah 5. Senang bershodaqoh dan menolong orang lain 6. Memulai dan mengkhiri kegiatan dengan membaca do’a 7. Tidak berkata kotor, porno dan berbantah b. Disiplin 1. Bangun tidur sebelum waktu shubuh 2. Datang ke madrasah tepat waktu 3. Mengerjakan tugas sesuai dengan bidangnya 4. Mengerjakan pekerjaan rumah 5. Mengikuti upacara bendera dan upacara hari besar nasional atau islam 6. membayar SOP, infaq dan iurn wajib yang ditetaqpkan madrasah 7. mengikuti semua kegiatan yang diprogramkan madrasah c. Terampil 1. Bisa berwudhu, sholat dan baca Al-Qur’an dengan benar 2. Bisa menyelesaikan tugas yang diberikan kepadanya 3. Memiliki kompetensi dasar yang distandarkan
54
4. Cakap berbahasa, berkarya seni, dan berolah raga yang menjadi pilihan ekstra kurikuler 5. 30 % lulusnya diterima di perguruan tinggi negeri dan 70 % lainya diterima masyarakat Misi a. menumbuhkan pemhaman, penhayatan, dan pengamalan ajaran Islam b. Menumbuhkan semangat kerja dan disiplin tinggi c. Melatih warga madrasah untuk hidup mandiri d. Menuelenggarakan
pembelajaran
dan
bimbingan
terpadu
yang
aktif,kreatif,efektif,demokratif dan menyenangkan e. Menciptakan suasana kerja yang sejuk,dinamis,dan sinergi menuju puncak prestasi 3.
Tujuan dan sasaran
Tujuan : Melalui proses pembelajaran dan bimbingan terpadu yang aktif,kreatif, efektif, demokratif dan menyenangkan bertujuan untuk menghasilkan manusia muslim yang beriman dan bertaqwa kepada Allah SWT, berakhlakul karimah, disiplin, cerdas, terampil, bertanggung jawab, dan berwawasan luas. Sasaran : Tampil sebagai institusi pendidikan yang mampu menyelenggarakan pendidikan secara professional, mendemonstrasikan proses pembelajaran yang komprehensif sebagai institusi percontohan dan lembaga pendidikan yang diakui masyarakat. 4.
Fungsi
55
2)
Percontohan bagi madrasah yang berada disekitarnya dalam
hal
mutu
kelembagaan,
proses,
dan
hasil
pembelajaran, serta prestasi lainnya. 3)
Penyedia
kesempatan kepada madrasah lain untuk
memanfaatkan didalamnya
fasilitas bagi
pembinaan
peningkatan
yang mutu
tersedia madrasah
dilingkungannya. 4)
Pusat pemberdyaan yang menumbuhkan sikap mandiri bagi madrasah dan lingkungannya sehingga memiliki sumber daya, sarana dan prasarana yang setara dengan madrasah dan lingkungan masyarakat
5.
Nilai
Motto : “Taqwa Ilahial ilmu yang amaliah Amal yang ilmiah dan Akhlakul karimah” Nilai-nilai :
6.
5)
Integritas, loyalitas dan totalitas
6)
Transparansi dan kredibilitas
7)
Kualitas dan kreativitas
8)
Saling percaya dan menghormati
9)
Disiplin
10)
Pelayanan prima sepenuh hati
11)
Moralitas
Bidang Sumber Daya Manusia ( SDM )
56
MAN I Magelang telah memilki SDM yang lebih dari cukup. Hal tersebut dapat dilihat bahwa jumlah guru 61 orang dengan kualifikasi S-2
11 orang, S-1 50
orang, didukung oleh 28 karyawan, adapun dari 28 karyawan terdiri dari 5 orang PNS dan 23 orang non PNS. Hal ini dapat dipandang sebagai modal untuk mendukung terciptanya kualitas madrasah. 7.
Bidang Kurikulum
Kekuatan : a. Mayoritas S-1 dan beberapa lainnya S-2 b. Mayoritas guru mengajar sudahsesuai dengan bidangnya c. Adanya tempat belajar yang cukup memenuhi syarat d. Lokasi madrasah strategis dan luas e. Memilki 2 laboratorium bahasa f. Memiliki laboratorium computer g. Memiliki jaringan internet h. Memiliki lapangan olah raga dan GOR i. Memiliki asrama siswa dan gedung PSBB Kelemahan : a. Input sinwa rata-rata berkemampuan rendah b. Motivasi belajar siswa rata-rata rendah c. Kreatifitas guru masih kurang d. Buku-buku untuk pegangan guru dan siswa masih sangat kurang e. Jumlah mata pelajaran terlalu banyak f. Laboratorium fisika, biologi dan kimia belum layak
57
g. Tidak ada laboratorium sesuai kebutuhan h. Kegiatan prktikum masih kurang i. Belum terlaksana MGMP madrasah j. Belum terlaksana kurikulum secara maksimal k. Raport kurang praktis 8.
Bidang Kesiswaan a. Memiliki guru-guru yang dapat membimbing kegiatan siswa b. Fasilitas untuk kegiatan siswa relative banyak c. Jumlah siswa banyak d. Sudah memiliki tata tertib dengan system point System point yaitu pemberian angka-angka yang telah ditentukan terhadap suatu pelanggaran tata tertib yang dilakukan oleh para siswa. e. Sudah ada ekstra kurikuler OR, KIR, dan Seni f. Ada Pramuka, OSIS, Rohis
9. Bidang Sarana dan prasarana a. Letak strategis, luas dengan infrastruktur lengkap b. Mempunyai Lapangan
gedung sepak
PPSB, bola,
GOR,
Workshop
keterampilan dan kamar mandi c. Tersedia
asrama
siswa,
masjid
dan
mushola d. Masih tersedia lahan untuk pembangunan
58
gedung e. Tersedia pemancar radio paradigma FM f. Tersedia laboratorium IPA, bahasa dan computer g. Mempunyai satpam h. Tersedia tenaga pendidik yang memadai 10. Bidang Ketrampilan Kekuatan : a. Kurikulumnya
hampir
sama
dengan
SMK b. Ada program reparasi sepeda motor, reparasi peralatan listrik, dan tata busana c. Gurunya S-1 d. Ada
penyeleksian
untuk
mengikuti
keterampilan e. Ada workshop/bengkel kerja memadai f. Dibuat tata tertib sendiri untuk program keterampilan g. Menjalin
kerja
Disnakertrans di perusahaan Kelemahan : a. Kurang kerja sama yang baik dengan perusahaan b. Beban siswa terlalu berat
samadengan
59
c. Keterbatasan jumlah guru d. Kurangnya alat praktek 11. Bidang ke Islaman Kekuatan : a.
Semua Guru dan Siswa muslim
b.
Sarana Ibadah memadai c.
Ada beberapa pondok pesantren di lingkungan MAN
Kelemahan : a. Kerja sama belum terlaksana dengan baik b. Pelaksanaan ibadah belum terlaksana dengan maksimal c. MAN belum menunjukkan secara nyata kehidupan islami di madrasah 12. Bidang Humas Kekuatan : a. MAN sebagai sekolah yang bercirikan islam b. MAN sebagai MAN keterampilan c. Lingkungan sekitar adalah lingkungan perkampungan muslim Kelemahan : a. MAN belum dapat mengoptimalkan perannya sebagai MAN keterampilan b. Kekompakan guru/ pegawai MAN perlu perhatian khusus c. Kurangnya kualitas akademik siswa 13. Bidang Administrasi a. Administrasi umum Kekuatan :
60
1) Memiliki ruang perkantoran yang memenuhi standart pelayanan 2) Perabotan dan perlengkapan sangat mendukung 3) Tersedia jaringan komunikasi melalui internet 4) Tersedia computer dan peralatan yang memenuhi standart pelayanan minimal sekolah Kelemahan : 1) Etos kerja belum maksimal 2) Kualitas dan kuantitas pegawai belum memenuhi kebutuhan yang ada 3) Masih ada pegawai merangkap guru 4) Masih banyak pegawai honorer 5) Job diskribtion kurang jelas 6) Masih ada sistem birokrasi yang berbelit b. Ketatalaksanaan kearsipan Kekuatan : 1) Tersedia komputer yang memadai 2) Tempat penyimpanan yang memenuhi syarat keamanan arsip Kelemahan : 1) Kesulitan mendapat tempat yang layak dan memenuhi syarat 2) Terbatasnya tenaga dan kekurangan tenaga terampil 3) Kurangnya sosialisasi dari instansi yang terkait 4) Volume arsip tambah c. Inventarisasi Barang Milik Negara 1) Adanya sistem inventarisasi yang memadai
61
2) Melakukan pembelian, pergudangan, pendistribusian, pemeliharaan, penghapusan, pengawasan, pelaporan dan administrasi d. Administrasi keuangan Kekuatan : 1) Ada sumber dana yang jelas dari DIPA, proyek dan wali siswa 2) Ada alokasi dana untuk kegiatan madrasah yang tertuang dalam RAPBM 3) Ada alokasi dana untuk pegawai yang jelas 4) Ada penanaman dan realisasi APBM yang jelas 5) Melakukan verifikasi yang memadai 6) Melakukan rapat evaluasi bendahara rutin setiap minggu/ sebulan sekali 7) Adanya laporan semua pelaksanaan rencana penggunaan dana sumber lain yang transparan 8) Kesejahteraan guru dn pegawai yang memadai 9) Tersedia kesejahteran bagi guru dengan adanya sertifikasi/ tunjangan profesi 10) Pembayaran gaji lewat rekening Kelemahan : 1) Terbatasnya tenaga 2) Sering terjadi penggunaan dana diluar rencana 3) Belum
mengikutsertakan
komponen
madrasah
dalam
pembuatan perencanaan 4) Pelaporan realisasi keuangan masih belum disosialisasikan pada semua komponen madrasah
62
5) Apabila pembayaran gaji lewat rekening bermasalah, menambah beban kerja petugas keuangan B. Daftar Informan Daftar informan di bawah ini berisi nama-nama siswa yang dijadikan obyek penelitian. Untuk lebih jelasnya penulis sajikan dalam bentuk tabel sebagai berikut : Tabel 1 Daftar Informan NO NAMA 1 A. Farid C 2 Ahmad Ubaydillah 3 Anis Febriyani 4 Anisa Margina Azzahra 5 Ari prasetyo 6 Ari Susanto 7 Atik Umi Arti 8 Atika Ainu 9 Bagus D.H 10 Dedi Setiyawan 11 Dewi Ernasari 12 Erna Fitria Mandasari Lanjutan Tabel NO NAMA 13 Fitriana Fatma A 14 Handayani M 15 Hesti Ardiyani 16 Iin Arifah Hidayati 17 Iis Purnawati 18 Ismu 19 Ista’in 20 Kanti Purwanti 21 Kurniawan 22 Lailatu Lina 23 M. Adi Sulistiyo 24 M. Yusuf 25 Nira Ellena Zela Yeta 26 Novi Safitri 27 Nur Fadillah 28 Nur Fatmawati 29 Nur Hidayati 30 Nurfi Karisma 31 Nurul Azizah
L/P L L P P L L P P L L P P L/P P P P P P L L P L P L L P P P P P P P
63
32 33 34 35 36 37 38 39 40 41 42 43 44 45 46 47 48 49 50
Nurul Muthoharoh Pujo Utomo Redoni Ryan S Siti Munawaroh Siti Solikah Sittatullaili Sephie A Tesa Arsha Tri Handoko Utami Saraswati Wahyu Dwi Wahyu Murniati Wahyu S Widhi Widyaning Tyas T.S Yuli Rahmawati Yulita Yulita Rismawati
P L L L P P P P P L P L P L P P P P P
BAB IV ANALISIS DATA
Di MAN 1 Magelamg, pokok bahasan tentang nilai-nilai moral telah masuk dalam kurikulum madrasahnya. Yaitu pada mata pelajaran Agama Islam, Sosiologi, dan Kewarganegaraan. Pada mata pelajaran Agama Islam misalnya disana terbagi menjadi beberapa ruang lingkup yang mencakup Alqur’an hadist, Aqidah Akhlak, Fiqih dan SKI. Dari beberapa ruang lingkup mata pelajaran Agama Islam tersebut terdapat beberapa mata pelajaran yang silabinya memuat nilai-nilai moral yaitu mata pelajaran Aqidah Akhlak. Adapun dalam mata pelajaran yang lain yaitu sosiologi nilai-nilai moral masuk dalam materi nilai dan norma, sedangkan dalam mata pelajaran kewrganegaraan, nilai-nilai moral masuk dalam materi nilai, macam-macam norma dan sanksinya. Hal tersebut tidak membatasi guru-guru untuk tetap menanamkan nilai-nilai moral. Selain guru, tanggung jawab pengajaran dan penanaman nilai-nilai moral juga merupakan tanggung jawab bersama semua lapisan dilingkungan MAN 1 Magelang. Untuk mendukung penanaman nilai-nilai moral, Kepala madrasahnya membuka berbagai kegiatan yang dapat menunjang minat dan bakat para siswa yang tentunya berlandaskan Islam. Kegiatan tersebut diantaranya OSIS, Rohis, kepramukaan, dsb. Dan kegiatan yang paling mendukung adalah ROHIS. Di dalam berbagai kegiatan tersebut diberikan materi yang berkaitan dengan penanaman nilai-nilai moral sehingga moral para siswa akan tetap terpelihara, misalnya dalam kegiatan kepramukaan terdapat
63
64
Tri Satya dan Dasa Darma. Selain
dari kegiatan-kegiatan tersebut
penanaman nilai-nilai moral juga
dilalakukan dalam amanat ketika dilaksanakan upacara bendera. Setiap ada kesempatan penanaman nilai-nilai moral tetap dilakukan walaupun diluar jam sekolah. Dan tentang penanaman nilai-nilai moral dan keadaan moral siswa MAN 1 Magelang adalah sebagai berikut :
A. Penanaman Nilai Moral Siswa di MAN 1 Magelang 1. Mengenai ada tidaknya penanaman nilai moral di MAN 1 Magelang, 50 siswa menjawab sudah ada dan tidak ada siswa yang menjawab belum ada maupun tidak ada penanaman nilai moral. Dengan kata lain, penanaman nilai moral sudah ada di MAN 1 Magelang. 2. Mengenai cara penanaman nilai moral di MAN 1 Magelang,47 siswa menjawab dengan pemberian nasehat dan pemberian contoh, 2 siswa menjawab dengan pemberian nasehat saja,dan 1 siswa menjawab dibiarkan saja. Dengan kata lain, cara penanaman nilai moral yang tepat di MAN 1 Magelang adalah dengan Pemberian nasehat dan juga pemberian contoh atau teladan. 3. Mengenai ketat tidaknya penanaman nilai moral di MAN 1 Magelang, 42 siswa menjawab cukup ketat, 8 siswa menjawab kurang ketat, dan tidak ada siswa yang menjawab tidak ketat. Dengan kata lain, penanaman nilai moral di MAN 1 Magelang cukup ketat. 4. mengenai ada tidaknya sanksi bagi pelanggaran moral di MAN 1 Magelang, 50
65
siswa menjawab sudah ada, dan tidak ada siswa yang menjawab belum ada maupun tidak ada sanksi bagi pelanggaran moral. Dengan kata lain, sanksi bagi pelanggaran moral sudah ada di MAN 1 Magelang. 5. Mengenai cara pemberian sanksi bagi pelanggaran moral di MAN 1 Magelang, 45 siswa menjawab dengan sistem point, 4 siswa menjawab dengan dimarahi, 1 siswa menjawab dengan dipukul. Dengn kata lain, cara pemberian sanksi bagi pelanggaran moral di MAN 1 Magelang adalah dengan sistem point. Sistem point yaitu pemberian angka atau skor atas pelanggaran yang dilakukan oleh para siswa dan diumumkan ketika upacara bendera dilakukan, sehingga para siswa tidak mengulangi pelanggaran yang pernah dilakukannya. 6. Untuk mengecek keabsahan data diatas, peneliti melakukan observasi yang mendalam dengan waktu yang panjang. Ketika observasi, peneliti melihat ada guru yang sedang menanamkan nilai moral kepada siswanya dengan pemberian nasehat ketika proses pembelajaran dan juga memberikan contoh kepada siswanya, misalnya, ketika waktu sholat datang, guru segera melaksanakan sholat di masjid sekolah. Dan di sisi lain, peneliti juga melihat guru yang sedang memberikan sanksi kepada siswanya karena melakukan pelanggaran moral dengan sistem point. Sebagai contoh, waktu itu ada siswa yang terlambat dan guru memberikan point 5 kepada siswa tersebut. Dengan observasi ini, peneliti dapat mengetahui bahwa penanaman nilai moral di MAN 1 Magelang cukup ketat.
B. Keadaan Moral Siswa di MAN 1 Magelang
66
Pada dasarnya keadaan moral siswa di MAN 1 Magelang senantiasa terjaga karena memang berada dalam lingkungan religius. 1. Mengenai sering tidaknya siswa melakukan moral yang baik, 26 siswa menjawab sering, 24 siswa menjawab kadang-kadang, dan tidak ada siswa yang menjawab tidak. Dengan kata lain, kebanyakan siswa di MAN 1 Magelang sering melakukan moral yang baik. 2. Mengenai cara siswa bertingkah laku, 31 siswa menjawab selalu sesuai peraturan yang ada, 18 siswa menjawab kadang-kadang,sesuai dengan peraturan yang ada,dan 1 siswa menjawab terserah diri sendiri. Dengan kata lain, kebanyakan siswa MAN 1 Magelang bertingkah laku sesuai dengan peraturan yang ada. 3. Mengenai motivasi siswa melakukan morl yang baik, 47 siswa menjawab motivasi dari diri sendiri dan Tuhan, 3 siwa menjawab motivasi dari diri sendiri saja, dan tidak ada siswa yang menjawab tidak ada motivasi. Dengan kata lain, kebanyakan siswa melakukan moral yang baik dengan motivasi dari diri sendiri dan Tuhan. 4. Mengenai sikap siswa apabila melkukan moral yang buruk, 34 siswa menjawab menyesal dan tidak akan mengulangi lagi, 11 siswa menjawab hanya menyesal, dan 5 siswa menjawab biasa-biasa saja. Dengan kata lain, kebanyakan siswa menyesal dan tidak mengulangi lagi apabila melakukan moral yang buruk. 5. Mengenai sikap seorang siswa apabila ada siswa lain yang melakukan moral yang buruk, 41 siswa menjawab menasihati dengan baik, 1 siswa manjawab memarahi, dan 8 siswa menjawab membiarkan saja. Dengan kata lain, kebanyakan siswa menasehati dengan baik apabila ada siswa yang melakukan moral yang buruk.
67
6. Untuk mengecek keabsahan data diatas, peneliti melakukan observasi yang mendalam dengan waktu yang panjang. Ketika observasi, peneliti melihat kebanyakan siswa sering melakukan moral yang baik dengan bukti kebanyakan siswa bertingkah laku sesuai praturan yang ada. Sebagai contoh, antara siswa yang satu dengan yang lain melakukan 3S yaitu Senyum, Salam, Sapa yang merupakan salah satu visi MAN 1 Magelang. Contoh lain, kebanyakan siswa memakai sepatu hitam yang merupakan salah satu peraturan yang ada di MAN 1 Magelang. Dan di sisi lain, peneliti melihat sikap siswa yang menyesal dan tidak mengulangi lagi atas moral yang buruk yang telah dilakukannya. Sebagai contoh, waktu itu ada siswa laki-laki yang mengejek siswa perempuan sampai menangis, kemudian siswa lakilaki itu meminta maaf kepada siswa perempuan itu dan tidak mengejeknya lagi. Peneliti juga melihat seorang siswa yang menasihati siswa lain dengan baik karena kurang menghargai seorang guru.
BAB V PENUTUP
A. Kesimpulan Berdasarkan pembahasan yang telah peneliti lakukan, maka penelitian ini dapat ditarik kesimpulan sebagai berikut : 1. Penanaman Nilai-nilai Moral Siswa di MAN 1 Magelang Penanaman nilai-nilai moral siswa sudah ada di MAN 1 Magelang. Cara penanaman nilai-nilai moral di sana sudah menggunakan cara yang tepat yaitu dengan pemberian nasihat dan pemberian contoh atau teladan. Penanaman nilai-nilai moral disana cukup ketat, sebagai bukti, di sana ada sanksi bagi pelanggaran moral dengan cara yang tepat juga yaitu dengan sistem point. 2. keadaan moral siswa di MAN 1 Magelang Kebanyakan siswa MAN 1 Magelang sering melakukan moral yang baik, sebagai bukti, kebanyakan siswa melakukan moral yang baik selalu sesuai dengan peraturan yang ada. Dan kebanyakan siswa melakukan moral yang baik dengan motivasi dari diri sendiri dan Tuhan. Namun, apabila melakukan moral yang buruk, kebanyakan siswa menyesal dan tidak mengulangi lagi. Dan apabila ada siswa yang melakukan moral yang buruk, maka siswa lain menasihati dengan baik. Berawal dari sikap saling menasihati inilah keadaan moral siswa MAN 1 Magelang senantiasa terjaga dan terpelihara, selain itu juga 68
69 terdapat sanksi-sanksi sebagai pencegah pelanggaran moral. Tanggung jawab dari penanaman nilai-nilai moral tidak hanya menjadi tanggung jawab guru semata tetapi dilakukan oleh segenap warga MAN 1 Magelang. B. Saran 1. Bagi Guru Hendaknya meningkatkan penanaman nilai moral kepada siswa dengan menggunakan cara yang tepat. 2. Bagi Orang Tua Hendaknya lebih memperhatikan moral anak dan bisa menjadi teladan yang baik bagi anak. 3. Bagi Siswa Hendaknya mampu memahami, menghayati dan mengamalkan nilainilai moral
70 DAFTAR PUSTAKA Arikunto, Suharsimi. 1988. Prosedur Penelitian Suatu Pendekatan Praktek. Jakarta : Rineka Cipta. Ahmadi, Abu. Drs.H. 1991. Ilmu Pendidikan. Jakarta : PT. Rineka Daroeso, Bambang. 1986. Dasar dan Konsep Pendidikan Moral Pancasila. Semarang : Aneka ilmu. Departemen Agama RI. 2006. Qur’an Tajwid dan Terjemahnya. Jakarta : Maghfirah Pustaka. Ditjen Dikti (1983/ 1984) Haryati, Sri. 1997. Pengantar Pendidikan. Magelang :FKIP Universitas Tidar Magelang Press. Moleong, J. Lexy. 2007. Metode Penelitin Kualitatif. Bandung : PT. Remaja Rosda Karya. Poerwadarminta, W.J.S. 1984. Kamus Umum Bahasa Indonesia. Jakarta : Balai Pustaka Purwato, M. Ngalim. 1985. Ilmu Pendidikan Teoritis dan Praktis. Bandung : PT Remaja Rosda Karya. Sudjana, Nana. 2005.Penilaian Hasil Proses Belajar Mengajar. Bandung : Remaja Rosda Karya. Sukandarrumidi, 2004. Metodologi Penelitian Petunjuk praktis untuk Peneliti Pemula. Yogyakarta : Gadjah Mada university Press. Sukmadinata, Nana Syaodih. 2008. Metode Penelitian Pendidikan. Bandung : PT. Remaja Rosda Karya. Soewandi, A. M. Slamet, dkk.. 2005. Perspektif Pembelajaran Berbagai Bidang Studi. Yogyakarta : Universitas Sanata Dharma. Tim pengembangan MKDK IKIP Semarang.1990. Dasar-Dasar Pendidikan. Semarang : IKIP Semarang Press. Zahara, Idris. 1987. Dasar-Dasar Pendidikan. Padang : Angkasa Raya. (1980),Undang-undang Republik Indonesia Nomor 2 Tahun 1989 tentang system Pendidikan Nsional. Jakarta : PT. rmas Duta Jaya.