PEMERIAN TENTANG DEIKSIS DALAM BAHASA INDONESIA (RUMUSAN TENTANG TIPE BAHASA INDONESIA) Oleh: Dra. Rahayu Sulistyowati Abstrak Tulisan ini membahas tentang rumusan tipe-tipe deiksis dalam bahasa Indonesia. Pemerian tentang deiksis dalam tulisan ini berkaitan dengan tipologi bahasa berdasarkan pengertian tipologi struktural. Ada dua hal yang perlu diperhatikan dalam mendeskripsi bahasa, yaitu (a) bagaimana cara dan strategi menemukan tipe dan semestaan bahasa; dan (b) temuannya (tipe dan semestaan bahasa apa saja yang diperoleh dalam pemerian itu). Berdasarkan kerangka kerja ini, dalam memerikan tentang “Deiksis dalam Bahasa Indonesia” diusahakan untuk dapat menemukan semestaan bahasa Indonesia berdasarkan kaidah-kaidah tentang deiksis dalam bahasa Indonesia. Dari hasil pemerian dapat disusun sepuluh rumusan mengenai semestaan tentang deiksis untuk bahasa-bahasa yang setipe dengan bahasa Indonesia. Kata kunci: Deiksis, Tipe Bahasa Indonesia
1. Pendahuluan Berbicara masalah tipe bahasa, teringat akan pernyataan tentang semestaan bahasa (language universals) oleh Joseph H. Creenberg. Menurut Greenberg, bahasa-bahasa dunia dapat dikelompokkan berdasarkan tipologinya. Sudaryanto (via Kaswanti Purwo, 1989;77) memberikan pengertian istilah tipologi mengacu pada dua konsep, yaitu konsep mengenai bahasa-objek-linguistik dan konsep mengenai cabang linguistik. Tipologi sebagai cabang linguistik dapat berarti pencorakan bahasa atau pengelompokan bahasa menurut tipenya, dapat juga berarti pencorakan dengan semata-mata melihat struktur internalnya, tanpa memperhatikan sejarah, tempat, dan peranan sosialnya. Berdasarkan pengertian pertama, yaitu tipologi yang berarti pencorakan bahasa sesuai dengan tipenya dapat dibedakan atas (1) tipologi genetis, (2) tipologi struktural, (3) tipologi areal, (4) tipologi sosiolingual, dan (4) tipologi pragmatig (Verhaar, 1980'3234; Sudaryanto, 1983:22). Pemerian tentang deiksis dalam bahasa Indonesia dalam tulisan ini berkaitan dengan tipologi bahasa (Indonesia) berdasarkan pengertian kedua, yaitu tipologi struktural. Hal pemerian yang demikian itu dilandasi oleh suatu anggapan dasar bahwa pemerian itu selalu bersifat fungsional, dalam arti bahwa pemerian dan hasilnya merupakan suatu yang berada dalam keterikatan dengan dan ditentukan oleh bumi manusia (oleh suatu semestaan). Jadi, sehubungan dengan hal itu, menyangkut pemerian bahasa Indonesia misalnya, sebelum pemerian dilakukan, terlebih dahulu perlu melihat secara kritis kehidupan bahasa Indonesia di tengah-tengah bahasa lain yang juga dikenal oleh pemakai bahasa Indonesia. Konsekuensi dari kesemuanya itu ialah bahwa pemerian tentang bahasa Indonesia (dalam tulisan ini berkaitan dengan deiksis) harus memiliki kemungkinan sebesar-besarnya untuk diperbandingkan dengan bahasa-bahasa lain. Dalam artian, pemerian tersebut juga memperhitungkan pandangan-pandangan semestaan dan corakan bahasa (language universals dan language tipes).
Ada dua hal yang perlu diperhatikan dalam mendeskripsi bahasa, yaitu (a) bagaimana cara dan strategi menemukan tipe dan semestaan bahasa; dan (b) temuannya (tipe dan semestaan bahasa apa saja yang diperoleh dalam pemerian itu). Berdasarkan kerangka kerja ini, dalam memerikan tentang “Deiksis dalam Bahasa Indonesia” diusahakan untuk dapat menemukan semestaan bahasa Indonesia berdasarkan kaidah-kaidah tentang deiksis dalam bahasa Indonesia. Data yang digunakan dalam pemerian ini diambil dari hasil penelitian (Desertasi) yang dilakukan oleh Bambang Kaswanti Purwo tentang “Deiksis dalam Bahasa Indonesia” yang diterbitkan oleh PN. Balai Pustaka (1984). Data tersebut pada akhirnya dapat untuk menentukan semestaan bahasa Indonesia berkaitan dengan pemakaian kata-kata deiksis. Pemerian tentang deiksis ini dilakukan untuk menggambarkan semestaan bahasa Indonesia dalam hubungannya dengan tipologi struktural berdasarkan tipologi tradisi Greenberg. 2. Tentang Tipe Bahasa Indonesia Penelitian sintaksis yang dikerjakan oleh ahli bahasa akhir-akhir ini (antara lain Li dan Thompson 1976) mengetengahkan dasar pengelompokkan bahasa-bahasa di dunia berdasarkan “bahasa penampil topik” dan “bahasa penampil subjek (topicprominent-languages dan subject-prominent-languages). Di samping kedua tipe tersebut masih ada tipe lain yang sedang dalam proses perkembangan menuju pada salah satu dari kedua tipe tersebut. Bahasa bertipe (i) “penampil topik dan subjek” sedang berada dalam proses perkembangan yang nantinya berganti menjadi bahasa yang bertipe (ii) “penampil topik”. Bahasa yang bertipe “penampil topik” akan berkembang menuju pada bahasa bertipe (iii) “penampil bukan topik dan bukan subjek”. Bahasa bertipe (iii) ini sedang dalam proses berkembang menjadi bahasa bertipe (iv) “penampil subjek”. Bahasa bertipe (iv) akan berkembang menjadi bahasa bertipe (i), begitu seterusnya sehingga merupakan suatu lingkaran yang tidak ada titik awal dan titik akhirnya. Dalam kerangka teori tipologi Li dan Thomson tersebut di atas, bahasa Indonesia dimasukkan ke dalam kelompok bahasa yang bertipe (iv)”penampil subjek” berada dalam kelompok yang sama dengan bahasa-bahasa Indo-Eropa dan beberapa bahasa lainnya (Kaswanti Purwo, 1984:261). Bahasa Indonesia yang dikelompokkan oleh Li dan Thomson ke dalam tipe (iv) itu adalah bahasa Indonesia hasil analisis Soemarno (1970), yang menggunakan kerangka teori Transformational Grammar. Dalam hal ini yang dimaksud dengan subjek mencakup lebih dari satu tataran. Bahasa Indonesia memiliki fleksibelitas verbal, selain mempunyai bentuk meN- juga memiliki bentuk pasif (pasif di- dan pasif nol). Jadi, dalam hal ini bahasa Indonesia mirip dengan bahasa-bahasa Indo-Eropa. Akan tetapi konstruksi pasif dalam BI dan konstruksi pasif dalam bahasa-bahasa Indo-Eropa memiliki perbedaan yang cukup jauh. Dalam bahasa Indo-Eropa konstituen agentif dalam konstruksi pasif adalah konstituen (menganggur) karena tidak wajib hadir secara formatif dan tidak mempunyai pengaruh terhadap verbanya. Konstituen agentif dalam konstruksi pasif BI juga opsional dan juga tidak berpengaruh secara fungsional terhadap predikatnya, tetapi konstituen tersebut masih berhubungan erat dengan predikatnya dalam hal peran. Adanya persesuaian subjek dalam bahasa-bahasa Indo-Eropa menyebabkan harus selalu adanya konstituen formatif di tempat subjek. Oleh karena itu, dikenal adanya subjek semu (dummy subject), seperti terlihat pada kalimat berikut : (1) It rains every day here. (2) It is hot here.
Dalam konstruksi (1 ) dan (2) di atas, konstituen subjek diadakan secara formatif untuk menjalankan tugas sintaksis saja dan tidak memiliki arti semantis. Dalam BI gatra untuk subjek semu selalu kosong, seperti terlihat pada contoh berikut : (3) Setiap hari hujan di sini. (4) Panas di sini. Tidak adanya persesuaian subjek dalam BI memungkinkan leksem persona ketiga, seperti bapak, kakak, dokter dapat dipergunakan sebagai penunjuk persona kedua atau pertama. Misalnya, seperti pada contoh berikut : (5) Bapak itu sudak tua. (5a) Bapak mau kemana? Pada kalimat (5a) kata bapak tidak menunjuk pada orang ketiga tetapi menunjuk pada orang kedua. Pelesapan konstituen subjek dalam bahasa Indo-Eropa hanya dimungkinkan dalam, struktur antar klausal, dan klausa dari konstituen nominal yang dilesapkan itu harus berada dalam konteks yang anaforis dengan klausa induknya. Dalam BI pelesapan konstituen nominal juga dimungkinkan dalam konstruksi yang tidak koreferensial, seperti terlihat pada contoh berikut : (6) A : Sudah diambil? B : Sudah. Dan sudah saya kirimkan lewat Eltetha. Mungkin karena BI tidak mengenal adanya persesuaian subjek, maka BI tidak kaya akan bentuk pronominal, sehingga untuk menghindari penyebutan konstituen yang redundan dipergunakan konstituen nol (contoh 6). Kekurangan bentuk pronominal dalam BI juga dilihat pada kenyataan tidak adanya bentuk pronominal untuk persona ketiga yang bukan insan. Untuk itu strategi yang ditempuh dalam konstruksi yang koreferensial adalah menyebut ulang konstituen yang menjadi titik tolaknya (koreferennya). (7) ... datanglah tuan bupati dari Rembang dengan mobil. Waktu mobil itu masuk ke…… Penyebutan ulang seperti pada contoh (7) terjadi karena kedua konstituen yang bersangkutan memiliki bentuk formatif dan referen yang sama. Penyebutan konstituen dapat pula terjadi bila hanya bentuk formatifnya saja yang sama sedangkan referen yang ditunjuknya berbeda, seperti terlihat pada contoh berikut : (8) Kutarik kursiku ke dekat kursi tempat Meri duduk. Hal seperti ini tidak terjadi dalam bahasa Inggris, dalam bahasa Inggris yang digunakan bukan penyebutan ulang konstituen tetapi dipergunakan bentuk pronominal, seperti pada contoh berikut : (9) I drew my chair nearer to the one on which Mary was sitting. Kekayaan bentuk pronominal mungkin merupakan ciri bahasa yang memiliki persesuaian subjek, sedangkan penyebutan ulang konstituen merupakan ciri bahasa yang tidak mempunyai persesuaian subjek. Hasil perbandingan peristiwa pelesapan dalam struktur antarklausal bahasa-bahasa IndoEropa dan BI di atas memperlihatkan bahwa peristiwa pelesapan dalam bahasa-bahasa Indo-Eropa dikendalikan oleh fungsi, sedangkan dalam BI dikendali oleh peran. Penelitian yang dilakukan Sudaryanto (1979) terhadap konstruksi penguasa-pembatas menunjukkan bahwa dalam BI selain ada transitivitas fungsional juga ada transitivitas peran. Berdasarkan kenyataan ini, kalau dikatakan bahwa BI merupakan bahasa penampil
subjek tidak dapat diterima sepenuhnya. Akan tetapi juga tidak dapat dikatakan bahwa BI merupakan bukan bahasa penampil subjek sama sekali. Barangkali apa yang dikatakan oleh Verhaar merupakan jalan keluarnya, yaitu bahwa bahasa penampil subjek dapat dibedakan lagi atas bahasa yang memiliki persesuaian subjek dan yang tidak. Atau mungkin dapat, dikatakan bahwa BI sedang berada dalam proses sebagai bahasa penampil subjek (kedudukan struktur peran mengalami kegoyahan, kedudukkan struktur fungsi belum mantap). 3. Susunan Beruntun dan Deiksis Salah satu ciri utama bahasa adalah bahwa konstituen-konstituennya disusun secara linier. Konstituen-konstituen yang diurutkan itu membentuk susunan beruntun. Satuan ini dapat dibedakan antara yang berupa kata sebagai satuan yang bermakna gramatikal (subjek, predikat, objek) dan kata sebagai satuan semantis. Kemudian masing-masing dapat dibedakan lagi antara yang berada dalam hubungan antarklausal dan hubungan intraklausal. Penelitian terhadap struktur beruntun menghasilkan tipologi bahasa, yaitu bahasa yang bertipe VO dan OV6). Pola urutan susunan beruntun struktur inti dalam bahasa Indonesia telah diteliti secara mendalam oleh Sudaryanto (1979). Apabila kaidah susunan beruntun dalam struktur intraklausal ditentukan oleh ciri tipologis bahasa (OV dan VO), konstituen-konstituen yang membentuk susunan beruntun dalam struktur antarklausal ada yang urutannya mengikuti urutan peristiwa sesuai dengan saat terjadinya, ada pula yang tidak. Pola susunan yang berdasarkan pada urutan waktu kejadian disebut pemetaan kronologis (Kaswanti Purwo, 1984:201 ). Apabila susunan beruntun yang beraspek gramatikal dan yang berada dalam struktur antarklausal berkenaan dengan pemetaan kronologis, susunan beruntun beraspek semantis yang berada dalam hubungan intraklausal dapat ditemukan pada struktur beku. Susunan beruntun beraspek semantis yang berada dalam hubungan antarklausal dijumpai pada struktur koreletif. Deiksis Luar Tuturan dan Pemetaan Kronologis Kata deiksis adalah kata yang mempunyai referen berpindah-pindah atau berganti-ganti, tergantung pada siapa yang menjadi pembicara dan tergantung pada saat dan tempat dituturkannya kata itu (Kaswanti Purwo, 1984:1). Kata saya, ini, dan sekarang adalah kata-kata yang bersifat deiktis. Deiksis yang menunjuk pada referen di luar tuturan disebut dengan eksofora. Pembicaraan tentang deiksis luar tuturan bertitik berat pada semantik leksikal. Akan tetapi bidang sintaksis tidak dapat dilepaskan sama sekali dari pembicaraan semantik leksikal ini. Deiksis luar tuturan bersifat egosentris, dalam arti bahwa si pembicara berada pada titik nol, dan segala sesuatunya diarahkan dari sudut pandangnya (Lyons via Kaswanti Purwo, 1984:8). Deiksis luar tuturan ini menyangkut tiga hal, yaitu deiksis persona, deiksis ruang dan deiksis waktu. Deiksis persona menyangkut tentang nomina dan pronomina, Deiksis ruang berhubungan dengan leksem verbal dan adjektival, sedangkan deiksis waktu berhubungan dengan leksem adverbial. Givon (1979) dalam penelitiannya terhadap berbagai bahasa di dunia sampai pada kesimpulan bahwa nomina lahir lebih dulu daripada verba. Lebih lanjut dikemukakan bahwa modalitas utama dari nomina adalah deiksis ruang, sedangkan modalitas yang biasa dikaitkan dengan verba adalah deiksis waktu. Adanya hirarki kedeiktisan tersebut didukung oleh kenyataan bahwa semua leksem persona (dalam BI) adalah leksem deiktis, sedangkan leksem ruang dan waktu ada yang deiktis dan ada yang tidak. Dibanding dengan leksem waktu, leksem ruang lebih tinggi
kadar kedeiktisannya, sebab leksem ruang dapat dipergunakan dalam pengertian waktu, tetapi tid,ak sebaliknya. Dalam urutan penyebutan hal ruang dan waktu leksem ruang mendahului penyebutan leksem waktu (dalam struktur beku). Seperti terlihat pada contoh berikut : (10) Pertunjukan semacam itu kabarnya akan dipergelarkan di Jakarta, tempat dan waktunya akan ditentukan kemudian. Akan tetapi pada urutan penyebutan yang tidak beku, urutan penyebutan ruang dan waktu bersifat bebas. Hal ruang dapat mendahului waktu atau sebaliknya, seperti terlihat pada contoh berikut : (11) Rapat itu akan diadakan di Rawamangun pada tanggal 19 April. (12) Rapat itu akan diadakan pada,tanggal 19 April di Rawamangun. Pada, contoh (11) hal ruang mendahului waktu, sedangkan pada sebaliknya hal waktu mendahului ruang.
(12)
Deiksis persona merupakan dasar orientasi bagi deiksis ruang dan waktu. Leksemleksem ruang dan waktu yang tidak deiktis menjadi deiktis bila dikaitkan dengan leksem persona. Hal tersebut dapat dijelaskan berdasarkan data berikut : (13) Sala dekat dengan Yogya. (14) Bagi kereta api Indonesia jarak itu terlalu jauh. (15) Menurut ukuran orang Indonesia si Dul itu tinggi. Leksem ruang dekat, jauh, tinggi pada kalimat (13), (14), dan (15) tidak bersifat deiktis. Akan tetapi apabila dirangkaikan dengan bentuk persona leksem ruang yang tidak deiktis itu menjadi deiktis, seperti tampak pada contoh berikut : (16) Rumah si Dul dekat dengan rumah saya. (17) Tempat itu terlalu jauh baginya, meskipun bagimu tidak. (18) Menurut saya si Dul itu pendek, tetapi menurut si Yem tinggi. Berkaitan dengan deiksis persona, dalam bentuk morfemisnya, bentuk persona dibedakan antara bentuk bebas dan bentuk terikat. Dalam distribusi sintaksisnya bentuk terikat dibedakan antara yang lekat kanan dan yang lekat kiri. Karena Bahasa Indonesia adalah bahasa bertipe VO yang konsisten, maka dalam konstruksi posesif bentuk persona senantiasa lekat kanan (Sudaryanto 1979). (19) anakku anakmu anaknya Bentuk yang lekat kiri hanya dapat berupa persona pertama dan kedua saja, dan hanya berada dalam rangkaian dengan verba mengisi gatra untuk konstituen pelaku. (20) Buku itu sudah kuambil. (21) Buku itu sudah kauambil. Bentuk lekat kanan yang mengisi gatra konstituen pelaku hanya dapat berupa persona ketiga saja, dan dengan prefiks dirangkaikan dengan verba. (22) Buku itu sudah diambilnya. Sistem pronomina demonstratif dalam bahasa Indonesia tidak paralel dengan kata penunjuk tempat. Hanya dikenal adanya dua pronomina demonstratif dalam bahasa Indonesia, yaitu ini untuk menunjuk pada benda atau tempat yang dekat dengan
persona pertama, dan itu untuk menunjuk pada benda yang jauh dari persona pertama atau dekat dehgan persona kedua. Berkaitan dengan deiksis waktu, ada beberapa leksem ruang yang mengungkapkan pengertian waktu. Leksem ruang seperti depan, belakang, panjang, dan pendek yang dipakai dalam pengertian waktu memberikan kesan seolah-olah waktu merupakan hal yang diam, sedangkan leksem ruang seperti datang, lalu, tiba, dalam pengertian waktu memberikan kesan bahwa waktulah yang bergerak. Contoh: (23) (24) (25) (26)
Maka Juli depan, tim ekspedisi Gelanggang .... Diketahui belakangan ini memang lahir barisan….. Tapi lima tahun sudah berlalu, ternyata Johny…. Makin dekat dengan hari D, Sisroni semakin cemas.
Leksem waktu seperti pagi, siang, sore, dan malam tidak bersifat deiktis karena perbedaan masing-masing leksem ditentukan oleh posisi planet bumi terhadap matahari. Leksem waktu menjadi deiktis apabila yang menjadi patokan adalah pembicara. Misalnya, kata sekarang bertitik labuh pada saat si pembicara mengucapkan kata itu. Kata besok bertitik labuh pada satu hari sesudah saat tuturan. Selain istilah deiksis luar tuturan dikenal istilah pemetaan kronologis. Antara keduanya mempunyai kemiripan, yaitu kedua-duanya sama-sama memiliki referen pada setting. Akan tetapi, pemetaan kronologis hanya berkenaan dengan hal waktu saja. Bahasa Jepang dan bahasa Isiwara adalah contoh dari bahasa yang ketat mentaati kaidah pemetaan kronologis (Kaswanti Purwo, 1984:202). Dalam kedua bahasa itu urutan penyusunan konstituen-konstituen harus sesuai dengan urutan terjadinya peristiwa yang digambarkan. Dalam bahasa Indonesia, kaidah pemetaan kronologis tidak perlu dipatuhi apabila konjungsi yang bersangkutan disebutkan secara formatif. Contoh : (27) a. Setelah kau mandi, kau boleh makan. b. Kau boleh makan setelah kau mandi. (28) a. Sebelum berangkat sekolah, dia makan roti. b. Dia makan roti sebelum berangkat sekolah. Apabila konjungsi waktu tidak disebutkan secara formatif, kaidah pemetaan kronologis wajib dipatuhi. Contoh : (29) Melihat polisi, pencuri itu lari. (30) Pencuri itu lari, melihat polisi. Kalimat (28) apabila dibalik menjadi kalimat (29) menjadi tidak gramatikal. Urutan klausa pada (29) menjadi gramatikal apabila konjungsi disebut secara formatif, seperti pada kalimat (30) berikut : (31) Pencuri itu lari ketika melihat polisi. Dalam bahasa Indonesia (dan bahasa-bahasa yang lain) ada elemen-elemen tertentu yang membentuk suatu rangkaian memiliki urutan penyebutan yang tidak dapat dipertukartempatkan. Struktur yang demikian ini disebut dengan struktur beku (freezes menurut istilah Cooper dan Ress via Kaswanti Purwo, 1984;204). Contoh : (32) di sana sini (33) luar dalam
(34) dulu atau sekarang Selain itu dalam bahasa Indonesia juga banyak dijumpai adanya struktur beku yang mengikuti kaidah pemetaan kronologis seperti terlihat pada contoh-contoh berikut : (35) tanya jawab (36) jatuh bangun (37) hidup mati (38) siang malam (39) sebelum dan sesudahnya Akan tetapi ada pula struktur beku yang tidak mengikuti kaidah pemetaan kronologis, misalnya : (40) pulang pergi (41) keluar masuk (42) tua muda Struktur beku dalam bahasa Indonesia seperti contoh (36) mengikuti kaidah pemetaan kronologis, sedangkan dalam bahasa Jawa dan Batak Toba struktur beku seperti itu tidak mematuhi kaidah pemetaan kronologis. Contoh : (43) mati urip „mati hidup‟ (44) mate manang mangolu „mati atau hidup‟ Sebaliknya struktur beku seperti contoh (38) dalam bahasa Indonesia tidak mengikuti kaidah pemetaan kronlologis, sedangkan dalam bahasa Jawa tidak mentaati kaidah pemetaan kronologis, seperti terlihat pada contoh berikut : (45) menyang mulih „pergi pulang‟ (46) mlebu metu „masuk keluar‟ Berdasarkan perbandingan ketiga bahasa tersebut belum cukup kuat untuk membuktikan bahwa tidak ada alasan kuat untuk menyangkutpautkan tipologi bahasa dengan pemetaan kronologis. Akan tetapi bahwa struktur beku yang mengikuti kaidah pemetaan kronologis merupakan semestaan bahasa masih perlu dikaji lebih lanjut. Deiksis DalamTuturan (Endofora) Dalam pembicaraan tentang deiksis luar tuturan (eksofora) titik fokus pembicaraan pada semantik leksikal, sedangkan dalam endofora berhubungan dengan masalah sintaksis. Salah satu akibat dari penyusunan konstituen-konstituen bahasa secara linier adalah kemungkinan adanya konstituen tertentu yang sudah disebutkan sebelumnya disebut ulang pada penyebutan selanjutnya, baik dengan bentuk pronominal atau tidak. Kedua konstituen yang sama itu disebut sebagai konatituen yang berkoreferensi. Berkaitan dengan endofora dikenal istilah anafora dan katafora. Istilah anafora (anaphora) berarti pengulangan bunyi, kata, atau hal (fungsi) yang menunjuk kembali pada sesuatu yang telah disebutkan sebelumnya. Sedangkan katafora adalah penunjukan ke sesuatu yang disebut di belakang Bentuk pronominal dalam bahasa Indonesia dapat menjadi pemarkah katafora apabila bentuk pronominal itu berada dalam konstruksi posesif, dan dalam kedudukan sebagai objek verba transitif, seperti terlihat pada contoh berikut :
(47) Dalam sambutannya, Presiden Soeharto mengemukakan bahwa riset dan teknologi ... (48) Sebelum lelaki itu sempat melihatnya, Hari sudah bersembunyi di semak-semak. Leksemn nya pada kalimat (47) menunjuk pada leksem Presiden yang disebut kemudian. Begitu juga pada kalimat (48), leksem nya menunjuk pada leksem Hari yang disebut kemudian. Jadi, dalam hal ini nya sebagai pemarkah katafora. Dalam bahasa Indonesia tidak ada pemarkah anafora waktu, yang ada adalah kata itu yang dirangkaikan dengan leksem waktu, misalnya : (49) Tahun 1230, kejatuhan Sriwijaya mulai tampak, demikian tulisannya. Waktu itu, raja dari ….. Leksem waktu itu adalah sebagai pemarkah anafora yang menunjuk pada leksem tahun 1230 yang sudah disebut sebelumnya. Diantara ketiga kata penunjuk dalam bahasa Indonesia (sana, situ, dan sini), hanya sana yang dapat dipergunakan sebagai pemarkah anafora tempat. Contoh : (50) Kami menuju ke tempat rapat. Tiba di sana ternyata rapat sudah berlangsung. Pemarkah anafora dan katafora selain diwujudkan oleh leksem, dapat juga berupa konstituen nol. Hal ini dapat dijumpai pada klausa yang berkonjungsi subordinatif. Misalnya seperti terlihat pada data berikut : (51) a. Setelah makan, mereka pergi. b. Mereka pergi setelah makan. (52) a. Ketika masih kecil, ia suka sekali makan telur. b. Ia suka sekali makan telur ketika masih kecil. Dari data tersebut terlihat bahwa klausa yang diawali dengan konjungsi kubordinatif bila disebutkan pertama, maka konstituen nol bersifat kataforis. Sebaliknya, apabila klausa itu disebutkan kedua maka konstituen nol bersifat anaforis. 4. Simpulan: Semestaan tentang Deiksis untuk Bahasa-Bahasa yang Setipe dengan Bahasa Indonesia Berdasarkan uraian-uraian tentang deiksis dalam bahasa Indonesia dalam hubungannya dengan tipe bahasa Indonesia, pada bagian tiga ( dan 3.1 dan 3.2) tulisan ini, maka dapat disusun mengenai semestaan tentang deiksis untuk bahasa-bahasa yang setipe dengan bahasa Indonesia sebagai berikut. 1. Semua leksem persona merupakan leksem deiktis, sedangkan leksem-leksem ruang dan waktu ada yang deiktis ada yang tidak. 2. Deiksis persona merupakan dasar orientasi bagi deiksis ruamg dan waktu. Leksemleksem yang tidak deiktis menjadi deiktis apabila dikaitkan dengan leksem persona. 3. Apabila dalam konstruksi posesif, bentuk persona selalu lekat kanan. 4. Dalam klausa yang berkonjungsi subordinatif konstituen nol atau frasa nominal yang dilesapkan dapat bersifat anaforis dan juga bersifat kataforis. 5. Apabila klausa yang diawali dengan konjungsi subordinatif disebutkan pertama maka konstituen nol bersifat kataforis. 6. Apabila klausa yang diawali dengan konjungsi subordinatif disebutkan kedua maka konstituen nol bersifat anaforis.
7. Apabila konjungsi subordinatif tidak disebutkan secara formatif, konstituen nol hanya bersifat kataforis. 8. Apabila bentuk pronominal berada dalam konstruksi posesif dan dalam kedudukan sebagai objek verba transitif, bentuk Pronominal itu dapat menjadi pemarkah katafora. 9. Apabila konjungsi dalam suatu konstruksi disebutkan secara formatif, kaidah pemetaan kronologis tidak perlu dipatuhi. 10. Apabila konjungsi waktu tidak disebutkan secara formatif, kaidah pemetaan kronologis wajib dipatuhi.
DAFTAR PUSTAKA Kaswanti Purwo, Bambang. 1984. Deiksis dalam Bahasa Indonesia . Jakarta: PN Pustaka.
Balai
Sudaryanto. 1983. Predikat-Objek dalam Bahasa Indonesia: Keselarasan Pola-Urutan. Jakarta : Djambatan. 1985. Linguistik: Esai tentang Bahasa dan pengantar ke dalam Ilmu Bahasa. Yogyakarta: Gadjah Mada University Press. “Perkembnngan Tipologi Bahasa: Tinjauan Selayang”. dalam Bambang Kaswanti Purwo (ed.). 1989. PELLBA 2. Yogyakarta : Kanisius. 1992. Metode Linguistik: Ke Arah Memahami Metode Linguistik. Yogyakarta: Gadjah Mada University Press. Verhaar. J.W.M. 1980. Teori Linguistik dan Bahasa Indonesia. Yogyakarta : Kanisius. 1981. Pengantar Linguistik. Yogyakarta : Gadjah Mada University Press.
Catatan : 1) Tipologi yang dikerjakan oleh Greenberg adalah tipologi struktural. 2) Remakai istilah Van Peursen (dalam Sudaryanto, 1992:22), pemerian bahasa tidak pernah subtansial, pemerian itu selalu fungsional. 3) Pinjam istilah Sudaryanto (1990:22). 4) Dalam tulisan ini berkaitan dengan deiksis dalam bahasa Indonesia. 5) Pinjam istilah Kaswanti Purwo (1984:262) 6) Sudaryanto (1983) menggunakan istilah PO untuk bahasa Indonesia.