DEIKSIS - JURNAL PENDIDIKAN BAHASA DAN SASTRA INDONESIA |
EFEUMISME DALAM BAHASA SUNDA SEBAGAI PENDIDIKAN KARAKTER
Rani Siti Fitriani Dosen Prodi PBS. Indonesia FKIP UNINUS
[email protected]
ABSTRAK Orang Sunda sudah memiliki landasan hidup yang berorientasi kepada pembentukan karakter. Orang Sunda memiliki filosofi hidup silih asih, silih asuh, dan silih asah. Tingkat tutur (undak usuk) dalam bahasa Sunda menjadi salah satu dari alat pembentukan karakter. Tingkat tutur (undak usuk) bahasa Sunda saat ini lebih ditunjukkan kepada tiga kode kata yaitu halus, sedeng, dan kasar Gunardi (2012: 8). Efeumisme dalam Bahasa Sunda sebagai Pembentukan Karakter dapat diwujudkan dalam pengajaran satra berupa wawangsalan yang berbentuk nasehat, contoh, perintan dan larangan; kemahiran membaca baik pada wacana atau teks maupun percakapan atau dialog; dan latihan soal seperti pilihan ganda. Hal tersebut dapat dilihat dari penggunaan tingkat tutur atau undak usuk yang tepat pada diksi kata kerja, kata ganti orang, kata keterangan tempat, maupun tuturan yang tidak langsung pada kalimat perintah, contoh, larangan, dan nasehat. Kata Kunci: Efeumisme, bahasa Sunda, dan pendidikan karakter
81
| DEIKSIS - JURNAL PENDIDIKAN BAHASA DAN SASTRA INDONESIA A. PENDAHULUAN Pendidikan karakter merupakan hal penting yang menjadi tujuan dari suatu pembelajaran. Kurikulum 2013 bertujuan untuk mempersiapkan manusia Indonesia agar memiliki kemampuan hidup sebagai pribadi dan warga negara yang beriman, produktif, kreatif, inovatif, dan afektif serta mampu berkontribusi pada kehidupan bermasyarakat berbangsa, bernegara, dan peradaban dunia sehingga menjadikan bangsa Indonesia yang cerdas dan kompetitif. Pendidikan karakter meliputi pendidikan nilai bertujuan mengembangkan kemampuan peserta didik untuk memberikan keputusan baik-buruk, memelihara apa yang baik dan mewujudkan kebaikan itu dalam kehidupan sehari-hari dengan sepenuh hati. Dalam Undang-Undang 2013 tentang Sistem Pendidikan Nasional menyebutkan bahwa kurikulum adalah seperangkat rencana dan pengaturan mengenai tujuan, isi, dan bahan pelajaran serta cara yang digunakan sebagai pedoman penyelenggaraan kegiatan pembelajaran untuk mencapai tujuan pendidikan tertentu. Berdasarkan pengertian tersebut, ada dua dimensi kurikulum, yang pertama adalah rencana dan pengaturan mengenai tujuan, isi, dan bahan pelajaran, sedangkan yang kedua adalah cara yang digunakan untuk kegiatan pembelajaran. Menurut Khan (2010: 121) pendidikan karakter bisa dipadukan ke dalam mata pelajaran, pendidikan agama, pendidikan moral, pancasila, pendidikan kewarganegaraan, pendidikan sejarah bangsa, pendidikan kesusastraan, pendidikan budi pekerti,
82
dan kepada pendidikan filsafat ilmu (bagi mahasiswa). Karakter orang Sunda yang diharapkan sebagai manusia yang memiliki kepribadian, memiliki sikap, memiliki karisma, dan memiliki jiwa kepedulian sosial, yaitu (1) kudu hade gogog hade tagog, yaitu memiliki penampilan yang meyakinkan, optimistik, dan karismatik; (2) nyaur kudu diukur, nyaba kudu diungang, yaitu harus menjaga ucapan; tindakan atau perbuatan agar tidak menyakiti orang; (3) Batok bulu eusi madu, yaitu harus memiliki otak atau kecerdasan yang baik; (4) ulah bengkung bekas nyalahan, yaitu jangan salah berbuat karena hasilnya akan sia-sia atau hasilnya tidak baik; (5) ulah elmu ajug, yaitu jangan menasihati orang tetapi diri sendirinya butuh nasihat orang lain atau jangan mengajak orang lain berbuat baik sendiri saja tidak baik; (6) sacangreud pageuh sagolek pangkek, yaitu hidup harus memiliki prinsip; (7) ulah gindi piker belang bayah, yaitu jangan berbuat jahat memiliki pikiran jelek kepada orang lain; (8) kudu leuleus jeujeur liat tali, yaitu hidup itu harus kuat, menanggung beban seberat apapun jangan menyerah. Bahasa memiliki berbagai macam fungsi dalam kehidupan masyarakat. Fungsi-fungsi itu terdiri dari fungsi yang paling sederhana dan konkret, yaitu sebagai alat komunikasi; sebagai alat kerja sama di antara pemakainya; sebagai alat untuk mewariskan budaya untuk generasi berikutnya; sampai kepada fungsi yang amat luas dan abstrak, yaitu sebagai saka guru kebudayaan (Koetjaraningrat, 1980: 57). Tuturan yang santun akan mencerminkan karakter
DEIKSIS - JURNAL PENDIDIKAN BAHASA DAN SASTRA INDONESIA | penutur yang santun dan sebaliknya tuturan yang tidak santun akan mencerminkan karakter penutur yang tidak santun atau kasar. Oleh Karena itu, pendidikan karakter melalui pembelajaran bahasa yang santun menjadi hal penting. B. PEMBAHASAN 1. Tingkat Tutur (Undak Usuk) dalam Bahasa Sunda Dalam bahasa dikenal tingkat tutur atau undak usuk bahasa. Bahasa Sunda yang digunakan untuk orang yang lebih muda, lebih tua, atau seusia akan berbeda. Begitupun bahasa yang digunakan kepada mitra tutur dipengaruhi oleh latar belakang sosial, pendidikan, profesi, dan sebagainya. Intonasi pun mempengaruhi kesantunan dalam berbahasa. Jadi, diksi kata kerja, diksi kata ganti orang, diksi kata benda untuk keterangan tempat, diksi untuk kata sifat atau keadaan, dan sebagainya pun berbeda. Dalam bahasa Indonesia tidak mengenal tingkat tutur sehingga penutur tidak akan kesulitan dalam berkomunikasi. Namun, dengan adanya tingkat tutur dalam bahasa Sunda justru dapat menjadi strategi dalam pembelajaran bahasa untuk pembentukan karakter siswa. Gugun Gunardi (2012: 7) membagi tiga hal yang harus diperhatikan oleh penutur dalam berkomunikasi. 1) Penggunaan diksi dalam tindak tutur kepada mitra tutur yang (usia, kedudukan, atau status sosial) lebih tinggi. 2) Penggunaan diksi dalam tindak tutur kepada mitra tutur yang (usia, kedudukan, atau status sosial) sama.
3) Penggunaan diksi dalam tindak tutur kepada mitra tutur yang (usia, kedudukan, atau status sosial) lebih rendah. Penekanan dalam kesantunan bahasa atau efeumisme adalah latar usia mitra tutur. Jadi, meskipun latar sosialnya, pendidikan, atau jabatannya lebih rendah tetap rambu-rambu untuk menghormati yang lebih tua itu sangat penting. Menurut Gunardi (2012: 8) tingkat tutur (undak usuk) bahasa Sunda saat ini lebih ditunjukkan kepada tiga kode kata sebagai berikut. 1) Bahasa Kasar (bahasa Loma) Bentuk bahasa ini biasa digunakan dalam tuturan bahasa Sunda dengan lawan bicara yang sudah diangap akrab. Kata-kata bahasa ini pun biasa digunakan untuk menceritakan orang lain yang sudah dianggap akrab pula. Contoh: (1) Naha kamari silaing teu sakola? „Mengapa kemarin kamu tidak sekolah?‟ (2) Ari si Wardi teh geus cager? „Sudah sembuhkah Wardi?‟ 2) Bahasa Sedeng Bahasa sedang adalah bahasa halus untuk diri sendiri. Bentuk bahasa ini digunakan untuk menghaluskan katakata atau tuturan bagi diri sendiri, atau untuk orang lain yang dianggap selevel dengan penutur. Fungsi dari bentuk bahasa ini adalah untuk menghormati diri sendiri ketika bertutur dengan orang lain, terutama dengan orang yang dianggap perlu dihormati. Contoh:
83
| DEIKSIS - JURNAL PENDIDIKAN BAHASA DAN SASTRA INDONESIA (1) Enjing abdi bade mios ka Jakarta teh. „Besok saya akan berangkat ke Jakarta.‟ (2) Rorompok abdi tebih ti dieu. „Rumah saya jauh dari sini.‟ Bentuk tuturan pada tingkat tutur sedeng, mengharuskan si penutur untuk memilih bahasa sedang (bentuk hormat untuk diri sendiri). 3) Bahasa Lemes Bahasa lemes adalah bentuk yang digunakan untuk berbicara dengan orang lain yang dihormati, atau kepada orang yang levelnya dianggap lebih tinggi dari si penutur (baik dari segi usia, pangkat, maupun gelar), serta digunakan dalam bertutur kepada orang lain yang dianggap belum kenal betul (belum akrab). Contoh: (1) Iraha pisumpingeunana Uwa teh? „Kapan kira-kira akan satangnya Uwa.‟ (2) Dupi Bapa iraha bade angkat ka Amerika teh? „Kapan Bapa akan berangkat ke Amerika?” 4) Bahasa Cohag Bentuk bahasa ini adalah bahasa Sunda yang sangat kasar. Pada lingkungan masyarakat Sunda tertentu, kosakata cohag ini masih banyak digunakan, terutama untuk penggunaan pada binatang, dan dalam kondisi yang sangat marah sekali. Bagi masyarakat Sunda (baduy), di daerah Kanekes kebiasaan kebiasaan berbahasa Sunda menggunakan kosakata cohag
84
bukan hal yang tabu Karena mereka tidak mengenal tingkat tutur (undakusuk) bahasa Sunda. Jadi, dalam tuturan sehari-hari, mengucapkan kosakata cohag ini sudah biasa. Akan tetapi, bagi masyarakat Sunda di daerah lain yang mengenal tingkat tutur penggunaan kosakata cohag ini sangat dihindari, kecuali dalam situasi tertentu. Contoh: (1) Hulu anjing. „kepala anjing.‟ (2) Kokod maneh. „Tangan kamu.‟ Efeumisme berfungsi untuk menghaluskan sebuah tuturan. Fungsi ini merupakan fungsi yang paling umum dari fungsi-fungsi efeumisme lainnya. Katakata atau frasa atau kalimat yang memiliki denotasi yang kurang halus atau dianggap kasar bila dituturkan dan kadang-kadang berkonotasi rendah atau kurang hormat, harus diungkapkan dengan cara-cara yang tidak langsung guna menghindari berbagai hal yang berakibat pada hal yang tidak diinginkan. Bentuk efeumisme bahasa Sunda dalam pendidikan karakter dapat diwujudkan oleh tuturan pendidik baik guru ataupun dosen kepada siswa atau mahasiswa saat pembelajaran. Efeumisme bahasa Sunda dalam pendidikan karakter pun dapat dilakukan di lingkungan keluarga dan masyarakat. Ketika orang tua bertutur yang santun kepada anak, kerabat, tetangga, dan sebagainya akan menjadi model bagi anggota keluarga khususnya anak-anak dalam bertutur yang santun ketika ia bertutur dengan orang lain. Sama halnya seorang duru atau dosen harus dapat menjadi figur yang baik
DEIKSIS - JURNAL PENDIDIKAN BAHASA DAN SASTRA INDONESIA | dalam realisasi kesantunan berbahasa sebagai wujud dari efeumisme bahasa Sunda dalam pedidikan karakter. Wawangsalan merupakan salah satu bentuk karya sastra dalam bahasa Sunda yang mengandung pendidikan karakter. Isi wangsalan mengandung beragam perintah, nasihat, contoh, larangan, petunjuk, dan sebagainya yang bertujuan sebagai pendidikan karakter yang diungkapkan secara tidak langsung karena sangat memperhatikan efeumisme. Wawangsalan baris pertama, memiliki kemampuan untuk menghimpun keperluan-keperluan dalam dunia pendidikan. Selnnya, juga disampaikan penuh dengan simbol-simbol yang juga mengajak lawan bicara atau pendengar untuk memaknai lebih dalam isi wawangsalan tersebut. 2. Efeumisme dalam Bahasa Sunda sebagai Pendidikan Karakter Pemakaian atau pemlihan diksi yang berkaitan dengan tingkat tutur dapat menggunakan cara dalam bentuk latihan atau soal; dialog atau percakapan; wacana atau teks; dan sebagainya. 1) Latihan soal (1) Teu kenging … di mana wae, rujit, sareng bilih seueur laluer! a. Nyiduh b. Ngaludah Kalimat imperatif pada soal no (1) merupakan kalimat imperatif yang santun karena digunakan pemarkah kesantunan imperatif teu kenging bukan menggunakan tong atau teu menang. Oleh Karena itu, diksi kata kerja yang tepat untuk kalimat imperatif tersebut adalah ngaludah. Kata kerja ngaludah lebih santun
dibandingkan kata kerja nyiduh. Bandingkan dengan kalimat berikut Teu kenging nyiduh di mana wae, rujit, sareng bilih seueur laluer! Kata kerja nyiduh lebih kasar dibandingkan kata kerja ngaludah. (2) Pa Haji nuju teu raos …, margi haben ngemutan kontrakan kantor anu tos ampir seep. a. Dahar b. Neda c. Tuang Kalimat deklaratif pada soal no (2) memiliki subjek orang yang dihormati atau dihargai karena faktor usia atau faktor sosial. Oleh Karena itu, dalam penggunaan diksi kata kerja akan digunakan tingkat tutur yang sesuai dengan latar belakang Pa Haji. Pa Haji nuju teu raos tuang, margi haben ngemutan kontrakan kantor anu tos ampir seep. Bandingkan dengan pemakaian kata kerja dahar dan neda berikut ini. 2) Percakapan Abus, asup (BK) - Lebet (BS) – Lebet (BL) “Maneh rek asup sakola moal?” tanya Arif ka Rafli. „”Kamu mau masuk sekolah gak? tanya Arif kepada Rafli.”‟ “Abdi moal waka lebet ka bumi, bade balanja heula ka warung,” ceuk Bu Imas ka Bu Sri.” „”Saya tidak akan masuk rumah, mau belanja dulu ke warung,” kata Bu Imas.”‟ “Ku margi Bu Titin henteu lebet ngawulang dinten ieu, barudak
85
| DEIKSIS - JURNAL PENDIDIKAN BAHASA DAN SASTRA INDONESIA dipasihan tugas,” ceuk Pa Iwan ka bu Nita.” „”Karena Bu Titin tidak masuk mengajar hari ini, nanti anak-anak diberi tugas,” kata Pak Iwan kepada Bu Nita.‟” 3) Wacana Kura Nyieun Suling Sakadang kuya manggih (mendakan) tulang maung ti leuweung. Ceuk pikirna alus lamun dijieun suling. Ngan kusabab manehna mah teu bisaeun (tiasaeun) ngaliangan, kapaksa menta tulung ka sakadang bangbara. Sanggeus diliangan tulang maung teh bisa ditiup. “Tret tot tret trot, suling aing tulang maung, diliangan ku bangbara, torotot heong.” Ngan ceukpikir kuya masih keneh kurang alus, kudu ditroktokeun heula. Harita manehna (anjeunna) nepungan sakadang caladi. Kabeneran (kaleresan) caladina teh daekeun. Sanggus ditroktokan mah suling teh rada alus. “Tret tot tret trot, suling aing (kuring/abdi) tulang maung, diliangan ku bangbara, ditroktrokan ku caladi, torotot heong.” Sakadang kuya ngarasa can sugema, sabab ceuk rasana suling the acan sampurna. Keur nyampurnakeun kudud dipasieup heula. Ceuk dina pikir kuya nu ahli masieup teu aya deui lian ti sakadang sireupen. Harita keneh kuya indit nepungan sireupen. Sanggeus dipasieup suling teh ditiup deui. “Tret tot tret trot, suling aing tulangmaung, diliangan ku bangbara, ditroktrokan ku caladi, torotot heong.”
86
Wacana di atas adalah fabel dengan tokoh sakadang kuya „seekor kurakura‟ dan sakadang caladi „seekor burung pelatuk‟. Pilihan diksi kata kerja manggih „menemukan‟ dan bisaeun „bisa; mampu‟ dan kata ganti orang manehna „dia‟ dan aing „saya‟ disesuaikan dengan tokoh cerita yang berupa hewan. (www.ArenaBerbagi.Com) 4) Wawangsalan a. Nasihat (1) Alun-alun paleuwengan, gagal temen mun teu jadi --- tegal „Alun-alun palewuengan, sayang sekali gagal kalau karena tak jadi‟ Gancang anggeuksen sakola the bisi alun-alaun paleuwungan „Segera selesaikan sekolah, jangan sampai sayang sekali kalau gagal Karena tak jadi.‟ b. Contoh (1) Asal hiji jadi dua, temah matak sesah hati --- walimah „Asal hiji jadi dua, berakibat menyusahkan hati.‟ Bongan boga budak diantep teuing, jadi we asal hiji jadi dua. „Akibat punya anak terlalu dibiarkan, jadi asal hiji jadi dua.” „Akibat punya anak terlalu dibiarkan, berakibat menyusahakan hati.” c. Perintah (1) Keuteup gede saba laut, teu hade liar tipeuting---kapiting „Keuyeup gede saba laut, tak baik ke luar waktu malam.‟ Ceuk kiai keuyeup gede saba laut mending cicing di imah jeung pamajikan.
DEIKSIS - JURNAL PENDIDIKAN BAHASA DAN SASTRA INDONESIA | „kata kiai pun keuyeup gede saba laut, lebih baik diam di rumah dengan istri.‟ „Kata kiai pun tak baiK ke luar waktu malam, lebih baik diam di rumah bersama istri.‟ d. Larangan (1) Anjeun somah pakampungan, kajeun bedo ti kiwari---bodo „Anjeun somah pakampungan, biar tak jadi dari kemarin.‟ Bisi sengsara di akhir, ceuk uing anjeun somah pakampungan. „Kalau-kalau sengsara di akhir, menurut saya anjeun somah pakampungan.‟ „Daripada sengsara di akhir, menurut saya lebih baik batal dari kemarin.‟ C. SIMPULAN Efeumisme dalam Bahasa Sunda sebagai Pembentukan Karakter dapat diwujudkan dalam pengajaran satra berupa wawangsalan yang berbentuk nasehat, contoh, perintan dan larangan; kemahiran membaca baik pada wacana atau teks maupun percakapan atau dialog; dan latihan soal seperti pilihan ganda. Penggunaan bahasa yang halus, sedeng, dan kasar dalam bahasa Sunda merupakan bentuk efeumisme dalam
pembentukan karakater. Pilihan diksi kata kerja dan kata ganti orang yang tepat sesuai tingkat tutur juga tuturan perintah; larangan; nasehat; dan contoh tidak langsung merupakan salah satu bentuk dari efeumisme dalam bahasa Sunda sebagai pembentukan karakter. DAFTAR PUSTAKA Ardiwinata, d.k. 1984. Tata Bahasa Sunda. Jakarta: Balai Pustaka. Badudu, J. S. 1985. Cakrawala Bahasa Indonesia. Jakarta: Gramedia. Djajasudarma, Fatimah. 1993. Metode Linguistik: Ancangan Metode Penelitian dan Kajian. Bandung: Eresco. Djajasudarma, Fatimah. 1993. Tata Bahasa Acuan Bahasa Sunda. Jakarta: Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa Departemen Kebudayaan. Kridalaksana, Harimurti. 1980. Fungsi Bahasa dan Sikap Bahasa. Ende Flores: Nusa Indah. Leech, Geoffrey. 1993. Prinsip-Prinsip Pragmatik. Jakarta: Universitas Indonesia.
87