195
Pendidikan 1inggi Hukum
PEMBINAAN PENDIDIKAN TINGGI HUKUM DALAM PEMBANGUNAN JANGKA PANJANG KEDUA (P J P T ..,. .
Mardjono Reksodiputro·· Pembinaan pendidikan tinggi hukum dtzkun Pembangunan Jangka Pairjang II tidak dopat dilepaskan dari pendidikan tinggi hukum slllll ini (1970-1995) dan masa. lolu (1945-1970). Dari pengalartUln sejarah kiJa tlU!ngetDhui apa yang masih dapaJ kiJa perlahankan dari pendu/ikan tinggi hukum yang lartUl, dan nuzna yang sudah perlu disempurnakan allJupun diganti. Melolui UUD 1945 kiJa tlU!nyatJJkan bahwa negara Republik Indonesia adalah negara berdasarkan hukum. Keinginan un/uk mewujudkan Hnegara berdasarkan hukum H (rechtstlllll) inilah yang horus selalu tlU!ndasari pendidikan tinggi hukum Indonesia.
Pendahuluan Suatu uraian tentang bagaimana kiranya pendidikan tinggi hukum di masa yang akan datang (dalam hal ini dalam 25 tahun yang akan datang) tentunya tidak lepas dari pendidiklln tinggi hukum sekarang ini (dalam tahun 1970-1995). Dan apa yang ada sekarang, tidak mungkin lepas dari keadaan yang telah lalu (antara lain dalam tallUn 1945-1970). Tetapi pendidikan tinggi
'"Disampaikan dalam Tcmu Wicara ·Pelaksanaan Pcmbangunan Hukum Dalam PJP 0- yang diselenggaralcanoleh Badan Pembinaan Huleum Nasional. DepartemcnKehakiman. Jakarta. 14Juni 1995. -Penulis sangat berterima Icasih Icepada Prof. Harsja W. Bachtiar dan Sdc. Koesriani Siswo.oebroto. SH yang telah membantu a.1. dengan meminjamkan habao dan arsip mereD tentang pendidikan hukum. Idlususnya semasa Hindia Belanda. Namun, interpretasi baban dan isi makalab scpeouhoya tanggung jawab penulis.
Nomor J Tahun XXV
196
Hukum dan Pembangunan
hukum (seperti pula pendidikan tinggi teknik dan pendidikan tinggi kedokteran) telah mulai jauh sebelumnya di Indonesia. Yaitu sebelum Perang Ounia Kedua (1940-1945) pada waktu Indonesia masih dikuasai pemerintah Hindia Belanda. Karena itu suatu uraian sejarah (meskipun dilakukan secara singkat dan hanya akan memberi gambaran umum) tidak dapat dihindari. Oari pengalaman sejarah ini kita dapat mengetahui apa yang masih dapat kita pertahankan dari pendidikan tinggi hukum yang lama, dan mana yang sudah perlu disempurnakan ataupun diganti. Melalui Undang-Undang Oasar yang disahkan tanggal 18 Agustus 1945 (selanjutnya UUO 1945) kita menyaiakan bahwa. negani I~epublik Indonesia adalah negara berdasarkan hukum. Salah satu fungsi pendidikan tinggi hukum Indonesia adalah mengamalkan amanat UUO' '1945 tersebut. Rumusan lengkap dan oteritik UUO 1945 adalah yang dimuat dalam Berita Republik Indonesia, tahun ke-II, nomor 7, pada halaman 45-48, dengan penjelasannya di halaman 51-56. Pemahaman kita tentang ."negara berdasarkan hukum" (rechtstaat) inilah serta keinginan kita mewujudkannya, yang selalu harus mendasari pendidikan tinggi hukum Indonesia. Usaha para akademisi hukum untuk masih memperdebatkan pimgertian "negara hukum" itu, harus dilihat sebagai salah satu kegiatan dalam pendidikan tinggi hukum untuk mengamalkan amanat UUD 1945. Masa pendudukan mil iter Jepang di Indonesia C±. niulai bulan Maret 1942) mempunyai dampak pula pad a pelaksanaan hukum di Indonesia, tidak saja karena dibentuknya Peradilan Militer Jepang (Gunritsu Kaigi) tetapijuga karena Peradilan Sipil diletakkan di bawah Pemerintahan Militer (Gunsei Hooin). Perubahan ini dilakukan melalui peraturan yang dinamakan Osamu Gun Rei No. 1 (2 Maret 1942). Sejarah mencatat bahwa semua gurubesar Belanda di Jakarta ditangkap dan gedung Rechtshogeschool menjadi kantor
Kempeitai.' Rechtshogeschool atau RH di Batavia (nama lama Jakarta) merupakan leinbaga pendidikan tinggi (hooger onderwijs) yang kedua setelah Technische Hogeschool atau TH di Bandung. Mula-mula Pemerintah Hindia Belanda 'Masa pendudukan mililer Jepang ini jarang dibicarak.an dalam pembahllsan tentang perkembangan hukum di Indonesia. Muogkin karena waktu pendudukannya yang relatif pendek <±. 3,5 IAhuo) dan tidak ada arsip-arsip yang Jcngkap. Menurut saya masa liga setengah Wlun ini patut dipelajari para ahli sejarah hukum dan ahli sosioiogi hukum. Penghapusan sistem hublm Hindia Belanda (termasuk hukum leara pidana HIR yang sebenamya belum pemah sungguh-sungguhdiberlakukandi Hindia Belanda, karena baN diundangkan tahuo 1941 menggaRli IR) dan sikap -bennuauhan- 'emadap -hukum Hindia Belanda - , lelah mempuq,yai dampal:: yang besar pad. pandangan orang Indonesia temadap hukum barat dan tatacara pcradilannya. Sebaiknya k.ita mulai mempclajari dengan sungguh-sungguh apa yang schemmya teljadi di Tanah Air kita selama 'iga setengah tahun iN, dan tidak melihatnya .cbagai auatu -intermezzo- (lihat Lmnpiron-I).
Juni 1995
Pendidikan 1inggi Hukum
197
dalam pendiilikan untuk ahli hukum hanya menyediakan sekolah yang merupakan lanjulan dari sekolah dasar Eropa (Europees Lagere School - ELS) untuk pendidikan selama enam tahun (karena itu dilihat dari lama pendidikan, lulusannya sama dengan lulusan SLTA sekarang). Sekolah hukum ini didirikan tahun 1909 (S. 09-93) dengan nama Opleidingsschool voor Inlandsche Rechtskundigen (OSVIR), yang juga seperti STOVIA dan NIAS (yang didirikan untuk mendidik "dokter Jawa" dan "Indische amen J, hanya menerima anak muda pribumi untuk dididik menj"adi "ambtenaar hukum" (rechtsambtenaar), yang akan menempati jabatan-jabatan rendah dalam pemerintahan yang selama ini dipegang oleh orang Eropa (Europeanen) .2 Adalah lain sekali tujuan dari pendidikan di RH, seperti yang dikatakan Paul Scholten dalam pidato pembukaan RH (28 Oktober 1924): "... zij is hoogeschool. zal dus wetenschap moeten nastreven ...• (" ... dia adalah sekolah tinggi, karena itu harus mengejar i1mu pengetahuan ... ") dan selanjutnya bagian dari pidatonya: 3
"Tot nu toe sprak ik over de Rechtshoogeschool als hooge-school. ... ik moet nog stil staan by het feit. dat het een faculteit van rechtsgeleerdheid is. die hier is gesticht. Die stichting voldoet niet aileen aan een begeerte naar weten, "ook naar een begeene naar recht. Z1j valt in een tijd van crisis voor recht en rechtswetenschap beide" ".. Is er ooit een tijd geweest. die meer reden gaf dan de onze om de vraag the stel-len. of er wei zoo iets als recht bestaat? Nu ja. er zijn wetten. er zijn regels. maar zijn dat niet regels. die gelden juist zoolang als een machthebber dat wi! en die verbroken worden als die machthebber naar groter macht grijpt?"
1"fechnische Hoogeschool dibuka oleh Gubemur 1endera! pada tanggal3 luti 1920 sebagai lembaga swasla (parnculiere insulling) dan ..Koninklijk Instiluul voor hooger rechnisch onikrwijs in Nederlandsch/ndie" yang berkedudukan di Amsterdam (l::emudian TH ini diambil alih oleh Negara pada tanggal 18 Oktober 1924 dengan Keputusan Gubemur Ienderal tanggal14 Oktober 1924. No.2. dalam 5-24-476). SedangkanRH sendiri dibuka oleh Gubemur lenderal D. Foek (yang juga seorang Musler in de Rechlen) daJam suatu upacara tanggal 28 Oktober 1924, dimana sebelumnya Prof. Mr. P. Scholten, gurubesar Universitas Amsterdam, membenkan pidato (red~). Paul Scholten memang diutus ke Hindia Belanda untuk mempersiapkan pendirian RH dan menjadi dekannya (voorVlkr) pertama untuk beberapa bulan. sebelum menyerahkannyakepada Prof. Me. J. Va~ KIln (dikatakan bahwa Scholten adalah "pencipla" alau "schepper" dari RH sedangkan Van Kan adalah "ursIe uitbouwer en ond~rhouder" atau yang pertama "mengembaogkan" dan "memelihara" lembaga itu"). (lihat pula Lampiran-II). 'Dikutip dari pamnet lepas: Opening der RuhlShoogeschool Te Balavia op 28 October 1924, yang memuat piagam (oorlwnde) pembukaan, pidato (Openingswoord) Direktur Pendidikan dan Agama (&rediensl) J.F.W. Van Der Meulen, pidato (Rede) Prof. Mr. P. Scholten. pidato (Red~) Gubernur lenderal Mr. D. Foek. sejumlah foto dan daftar hadiah-hadiah yang diberikan kepada RH oieh a.l.: Pam BuwonoX SusuhunanSurakarta, Hamengku Buwono vm Sultan Yogyakarta, Mangku Negoro vn. Paku Alam vn, Seoat Universitas Leidl!o. KOlapraja (Gemeente) Batavia.
Nomor 3 Tahun XXV
Hukum dan Pembangunan
198
(" sampai kini saya bicara mengenai Sekolah Tinggi Hulcuin sebagai sekolah tinggi. ... saya masih harus berhenti pada kenyataan, bahwa yang didirikan sekarang ini adalah falcultas ilmu hulcum. Lembaga ini tidak hanya memenuhi hasrat untuk mengetahui, juga hasrat untuk hulcum. Hal ini terjadi dalam masa krisis tentang kedua-duanya hulcum dan ilmu pengetahuan hulcum. ... Adakah pernah suatu masa yang memberikan alasan yang lebih baik untuk mengajukan pertanyaan, apakah ada yang dinamakan hulcum itu? Tentu saja, ada undang-undang, ada aturan-aturan, tetapi apakah ini bukan aturan-aturan, yang berlalcu hanya selama seorang pemegang-kuasa ·menghendakinya dan yang akan dilanggar apabila si pemegang-lcuasa meraih kekuasaan yang lebih besar?"). Mendengar ucapan Paul Scholten, yang disampaikan lebih dari tujuhpuluh (70) tahun yang lalu, kita dapat bergumam sendiri.bagaimana beratnya tugas yang diberikannya kepada RH dalam suatu masyarakat kolonial. Dan gumaman itu dapat kita lanjutkan, dengan mengatakan betapa kelirunya para pengritik RH yang sering menyatakan kekecewaannya tentang pendidikan RH karena hanya bertujuan menghasilkan "ambtenar-hulcum" atau "yuris-birokrat" , dan berkesimpulan bahwa kurang berhasilnya pendidikan tinggi hulcum yang sekarang adalah karena "keras kepala"~nya pendidikan ini yang tidak mau melepaskan diri dari pendidikan di RH yang bersifat kolonial. Sebagaimana diketahui oleh para pakar yang mempelajari masyarakat, tidak mudah untuk mengetahui hubungan sebab-akibat dalam suatu gejala sosial dan karena itu seorang pengamat sosial diharapkan untuk selalu berusaha bersifat netral dan tidak terperangkap dalam keinginan "mencari kambing hitam" (atau "evil cause evil fa/aCY l .' Kehati-hatian dan sikap tidak cepat mengambil kesimpulan ini diperlukan, karena akan membantu mencari sebab permasalahannya yang benar dan tidak memandangnya sepihak. Mengetahui
·Paul Scholten dikenal di Indonesia (dalam kalangan hukum) terutama karena pengolahannya atas buku-seri As.ser lerulama buku Alg~mun Dul (1931) yang dianggap suIIU buku k.lasik dalam filsafat hukum: Karc:na penentangannya kepada pcndudukan 8clanda oleb Jc:nnan (pO-II), rnak. tabuo 1942 dia dipecat dari jabatannya dan baN dipulihkan kembali 'lebagai gurubesar di Universitaa Amsterdam selelah perang selesai. Namun langgal25 Oktober 1945 die menyampaikanpidatoperpisahan (afsch~dsrede) dan meninggaJ 1 Mei- 1946. Pandangan yang sangal bitis tem.clap pendidikan linggi hukum Indonesia dengan mempersaJahkan pendidikan RH adalab aotara lain pidato Menleri Kehakiman Ismail Saleh, SH pada Kongres PERSAHI di YogyakArta (11-12 Desember 1986) dan urangan Prof, Soetandyo Wignjosoebroto, ·Perkembangan HuJcum Nasional Dan Pendidiun HuJcum Di Indonesia Pada En Pascakolonial-, makalah yang disampaikan dalam Penataran Pengajaran Antropologi HuJcum dan Sosiologi Hukum untuk StafPengajar FaJcultas Hukum SeluNh IndOllClia (di .Fakultas Huirum Univenitas Indonesia, i 8-30 Juli (994) . ~w~rldng)
Juni 1995
Pendidikan 1inggi Hukum
199
akar permasalahan dengan baik diharapkan dapat membantu usaha memecahkan permasalahan tersebut.
Misi Pendidikan Tinggi Hukum Misi pendidikan hukum dalam pemerintahan Hindia Belanda dapat dibag.i dua. Yang pertama adalah pada OSVIR (1909) yang kemudian juga dikenal sebagai Rechtsschool (S.22-343)dan bertujuan mendidik ahli hukum (rechtskundigen). Yang kedua adalah misi pada Rechtshoogeschool (1924) yang kemudian dikenal pula sebagai Faculteit der Rechtsgeleerdheid en Sociale Wetenschappen (1947), yang bertujuanmenghasilkan rechtsgeleerden (sarjana hukum). Harus diakui bahwa misi yang kedua di atas pada mulanya belum sempuma dapat dilakukan oleh RH. Pemikiran untuk hanya mendidik ahli hukum Indonesia yang dapat menduduki jabatan-jabatan rendah dalam sistem pemerintahan dan peradilan Hindia Belanda, apalagi setelah Rechtsschool (selanjutnya RS) ditutup dalam pada tanggal 18 Mei 1928, pasti masih terdapat dalam pemikiran-pemikiran pemerintahan kolonial pada waktu itu. Pemikiran ini dapat kita lihat dari notula perdebatan tentang apakah RS juga harus dibuka untuk golongan non-pribumi, maupun dalam perbedaan pendapat tentang apakah sudah waktunya di Hindia Belanda didirikan suatu pend idikan tinggi hukum. Waktu yang tersedia tidak memungkinkan untuk menguraikan hal ini lebih panjang, namun seperti dapat diduga pertanyaan yang diajukan oleh para penentang pembukaan RH adalah, apakah anak-anakpribumi cukup matang untuk mengikuti pendidikan tinggi (hooger onderwijs) atau universitas. Para penentang ini juga mengajukan dalih, bahwa pengetahuan hukum Barat (Belanda) yang akan diajarkan berasal dari hukum Romawi (karena itu diperlukan pengetahuan bahasa Latin) yang sangat berbeda dengan hukum yang dikenal anak-anak pribumi ini.'
'Pembaharuan pe ndidikan umule golongan pribumi merrumg tidak lepas dari alssan-alssan pOlitik dan ekonomi. Reaksi masyarakat Belanda sendio terhadap ·Culluurslelsel" (yang dimulai.± pertengahan abad ke-19) adalah anlara lain dengan membayar "eereschllld" (yang timbul karena kemiskinan penduduk. akibat "culwurstelsel,,) tersebut dengan meningkatkan pendidikan, dan dimulai akhir ahad ke-19 (tulisan C. Th. van Deventer, denganjudul "£en eereschuur ditulis pada tahuo 1&99 dalam De Gids). Setelah kurang lebih sepuluh tahun RS dibuka, maka melalui Keputusan Gubememen (Gouvemementsbesluil) tanggal4 Januari '1919 dibentuk Komisi untuk rrtemberikan nasihat a.1. tentang pembukaan RS untuk golongan penduduk yang lain ,dan juga pembukaan RS di tempat-tempat lain (Komisi Pemerintahan ini diketuai oJeh Prof. Mr. J .H. Carpentier Alling, Ketua Hooggerechlshot). Dalam laporan komisi setahun kemudian (21 luti 1920) diajukan pula suatu usuJ tentang pend irian RH dan pendidikan yang lebih rendah -School \loor Rechr en Adminislrarie -. Oi samping itu terdapat pula suatu Komisi yang didirikanoleh -hel
Namar 3 Tahun XXV
Hulaun dan Pl!IIIbangllllll1l
200
Misi pendidikan tinggi hukum RH yang ingin pula menghasiJkan sorjana hukum (rechtsgeleerden) antara lain dapat dilihat pada kutipan pidato Paul Scholten di atas, tetapi juga dari tenaga-tenaga dosen piJihan yang dipergunakan .6 Gurubesar-gurubesar Belanda inilab yang kemudian menghasilkan pula.cendekiawan-cendekiawan Indonesia yang membuka kembali RH dan menjadikannya Fakultas Hukum dan Pengetahuan Masyarakat dalam tahun 1950.' Tentu saja misi pendidikan tinggi hukum sesudah tabun 1949 (pada Fakultas Hukum di Universitas Gajah Mada yang masih berstatus swasta) dan tahun 1950 (pada Fakultas Hukum Universitas Indonesia - UU Darurat No.7 dan pada Fakultas Hukum Universitas Gajab Mada - Pecaturan Pemerintah No . 37) mengalami perubahan. Meskipun lulusannya rilasih memakai gelar Belanda "Meesler in de Rechten" atau Mr, yaitu sampai tabun 1962 karena setelah itu diganti resmi menjadi Sarjana Hukum atau SU, tetapi para lulusan ini sudah diharapkan memahami suasana hukum yang telab berbeda. Suasana hukum yang meskipun masih menggunakan hukum Uindia 8elanda (dan karena itu perlu dipelajari di FR.-UI dan FH-UGM), tetapi harus diresapi dan ditafsirkan daJam alam kemerdekaan dengan negara Republik Indonesia sebagai negara berdaulat penuh. Apalagi setelah antara tabUR 1950
Balaviaasch GefWOlSchap van KunslnJ m W~lmSchap~n· yang mcngcdarb.o augtd tqJrada scjum1ah pemuka masyarakat Hindia Beland. tentang perluny. pendirian RH (dalam Komisi Swasaa _.1. duduk Raden Dr. Hoessein Djajadiningnt selaro wakil sekrc:taris - angkct diedartan pada pt:dCIIpban tahuo 1920). Di Iuae kedua Komisi ini pembicaraan mengcnai abn diadabnnya RH jup dipcdaa:yabn dan didiskusikan dalam -Koloniale OnJ~rwijs-congrt!ssm· yang melatUbn pertemuan-pertc:myadalam bulan Aguslus 1916, Oktober 1919 dan April 1924. o.ri notula-notula koogrcs-toapaiai...-.pundari jawaban angtci (rnq~llt!) kepada Komisi Swasta di atas dapst dibac. dukuopn II'IMIfUD ~ lentang pendirian suatu Icmbaga pendidikan linggi hukum di Hindia Belanda. 6Dalam pamflet lepas yang disebul dalam 0) di alaS terdapat pollet yang DlCmpc::iIiJatbo: (dudut) Prof. R .A. Dr. Hoessein Djajadiningrat, Prof. ·Mr. P . Schollen dan Prof. Dr. BJ.D. Sc:hricte. scrta (herdin) Dr. E. Bessem, Prof. J .H.A. Logemann, Prof. Mr. B. let Haar. Prof. Mr. EM. Baron van Asbe(:k , Prof. Mr. R.D . Kollewijn, J . Kala dan Prof. Dr. J.H. Boeke. YangkemudiaDlIIUib pertudicalal &ebagai gurubesar RH ini adalah: Prof. Mr. J. Van Kan (Denn setdah Prof. P. SchoIIaI). Prof. Mr. I.M.I . Schepp'" (Debn sebelum PO Prof. Mr. W.F. Weru.eim (sebelum PO D meujodi Sctmari. Fakullas) , Prof. Mr. Zeijlemaker (Denn setelah Prof. Schepper). Prof. Mr. J. F.gcasdaD Prof. Hattum.
m.
Van
I. ._
lSetelah Belanda dalang kembali te Jndonesia (Jakarta) pada ~ 1946. mab T«Ir1aiscN Hoog(schooi (didirikan 1920), RuJus Hoog~scJtool. (didirikan 1924). Gcn rlvrf~ H~ (didirikan 1927) dan Faculuit der ulUrm en WJjsbegUTk (didiritan (940) clipbaac: cIaIam Hood Universiteir, yang pada lan"al21 Maret 1947berubah nama mcnjadi Univenilcil: fbDtriaIab Republik Indonesia setelah proklamasi (1945) mendirikan Ralai Perguruan Tingci RcpubIit IDdoaesia (BPTRl) yang juga mempunyai Fatullas Hukum. Setelah peagakuan ted?"latan (Dc:seaiJc:r 1949). oab BPTR.J mengambil alib Univeniteit van Indonem (2 ~ruari 1950) dan FatuIIas Hubm BPJ'RI digabung dengan Facubeit der RechlsgeleenJheid en SocialL WelnlSC/uJppm l.IrtiwniIrit ... bwlDffml'. menjadi FairuilaS Hutum dan Pengetahuan Masyarabt.
JIIIIi 1995
Pendidikan 1inggi Hukum
201
sarnpai 1955 , para gurubesar hulcum yang berkebangsaan Belanda kembali ke negara mereka, maka penentuan misi ini berada sepenuhnya dalam tangan gurubesar-gurubesar Indonesia (yang sebagian memang diambil dari kalangan peradilan).8 Dapatlah dipahami bahwa hasrat yang besar pada waktu itu adalah mengisi lowongan jabatan-jabatan pemerintahan dengan tenaga-tenaga Indonesia yang setia kepada perjuangan kemerdekaan kita. Terutarna untuk ' bidang pemerintahan dan peradilan, dapat diharapkan pengisian lowongan itu dengan lulusan pendidikan tinggi hulcum. Kalaupun misi pendidikan tinggi hulcum pada waktu ini, masih merujuk pada ahli-ahli hulcum (Indonesia) yang memahami hukum positif yang berlalcu, yang pada dasarnya adalah hulcum Hindia Belanda, hal ini bukanlah suatu kekeliruan dari para gurubesar hulcum yang mengajar pada falcultas-falcultas hulcum di Indonesia. Kalaupun hingga tahun 1961 atau 1962, pola pendidikan tinggi hulcum masih didasarkan lcurilculum dan sistem pendidikan RH, adalah keliru untuk menafsirkannya sebagai suatu sikap konservatif para gurubesar dan dosen lainnya lembaga pendidikan tinggi hukum.' Usaha perubahan telah dan sedang berjalan,
' Oan suatu buku Japoran berjudul: Un.iversitas Indonesia - Fakullas Hulwm dan Pengelahuan MaryaraJw.l, Djalwrta - Pedoman Tahun Pelajaran 1956/195711958, pada waktu mana Penulis makalah tercatat sebagai tdah lulus dalarn Tingleat Persiapan (no. urut 14, no. pokok 3705 , 14oggaI14-8-1956), tercantum dU8 tugas yang harus dijalankan Fakultas Hukum: I. • Menjalankan tugas pengajaran (opleidende alau onderw;junde loak), tugas ilimiah (welenschappelijke loak), dan tugas kemasyarakatan (maatschappelijke laak)-. dan II. " . .. menjalankan tugas polilik pengaja ran yang ditentukan oleh Pemerintah Republik Indonesia, yaiIU palilik nasionalisasi~ (diubah menjadi ejaan baru oleh PenulisJ. Dalam laporan tentang tugas pengajaran dikatakan bahwa: "Tenaga pengajar asing yang ada sekarang hanyalah ernpat orang. yaitu: Prof. Dr. R.F. Seerling . Prof. Dr. P.N. Drost, Ny. Mr. Ch. Pieters-Gill dan Drs. H.J. Heeren ... ~ [kernudian diajukan rencana dan kesulitan mengganti tenaga asing tersebuI]. Mengenai tugas ilmiah dikernukakana.l.: ~a. Mengadakan pubHcaties, b. Menghirnpun bahan-bahan ... , c. Menghirnpun buku-buku, karangan-karangan dan bahan-bahan yang terdapat dalam archief-archief pemenntah, d. Menjalankan survey atau research .. . , dan e. Mendidik para mahasiswa dapat memenuhi tugasnya kemudian, sebagai seorang academicus, artinya dengan secara "lelf slalUiig" dapat memberikan fahamnya tentang sesuatu soal" . (hal. 9, 17,25-26). Pimpinan fakultas dalam masa laporan ini adalah Prof. Mr. Djokosoetono (Ketua Fakultas Hukum dan merangkap pula anggota Presidium Universitas Indonesia), dan Prof. Mr. R. Socbekti (Panitera Fakultas). ~Suatu bukti bahwa gurubesar Indonesia (setidak-tidamya di Fakultas Hukum Universitas Indonesia) tidak "konservatif" seperti dikl!takan Soetandyo Wignjpsoebroto, Op.cil. , hal. 6-7 . dst-nya~ terlihat dalam laporao di alas (no. 8) dimana ada rencana unlu" membentuk suatu Lembaga Hukum, yang anlara lain akan lerdiri dan Bagian Hukum Adat di samping Bagian-bagian lain tentang Hukum Barnt. Dikemukakan selanjutnya: ..... timbul pertilnyaanapakah dengandemikian tidak ada 'toenadenng'-anlara Hukum Perdata Barat dengan Hukum Adal, suatu soal yang penting sekali bagi pembentukan Hukum NasionaL Toenadering harus diselidiki pula 'te~velde' jadi menjalankan ' Research' yang merupakan 'Field-work'. Scbab dalam bergolaknya masyarskat dalam masa revolusi mungkin ada "toenadering' antars 'stad dan platteland' sehingga terdapat 'vervorming' dan 'niewvorming' dan pada Hukum Adat. Jadi tugas Lembaga Hukum tidak saja terletak dalam lapangan ilmiah yaitu memajukan ilmu pengelahuan, tetapijuga
Nomor 3 Tahull XXV
202
Hukum dan Pembangunan
namun kondisi pendidikan tinggi pada umumnya, lchususnya pendidikan tinggi hukum, memang tidak memungkinkan perubahan radikal. Keengganan mengambil keputusan radikal, mungkin merupakan suatu "blessing in disguise" apabila kita mengingat kekacauan hukum dan pelanggaran hak asasi manusia yang terjadi selama masa pendudukan mil iter Jepang. Kekecewaan terhadap sikap kalangan politik terhadap hukum semasa Orde Lama dan tuntutan akan kepastian hukum yang lebih besar yang diminta dalam Seminar Hukum Nasional Kedua pada awal masa Orde Baru, hams meyakinkan kita bahwa suatu perombakan pendidikan hukum untuk mendukung "hukum revolusi" Bung Karno akan sangat merugikan sistem hukum Indonesia. to Misi pendidikan tinggi hukum sejak awal Orde Baru dan Seminar Hukum Nasional Kedua (1968), adalah jelas menghasilkan sarjana hukum yang berkemampuan untuk menjabarkan lebih lanjut UUD 1945 (termasuk Pembukaan dan Penjelasannya) ke dalam hukum yang akan berlaku di Indo-
mengumpulkan bahan bagi pemcrintah menjaiani.:an politik hukum yang ditujukan kepada tercapainya Hukum Nasional " (hal. 30). Oi samping Prof. Dr. Hazairin ya ng memherikan "Hukum Adat Materieele", akan diminla pula mengajar Prof. Mr. Dr. Soepomo lenlang "Huku m Adal Formi)" yang berisi pula "Jurisprudentie yang mengena i Hukum Adat" (hal. 16). 'OPada tahuo 1961 Presiden Soekamo menyatakan kebcrangannya tentang kalangan sarjana hukum yang tidak dapat diajak berevolusi. Hal ini dianggap oleh Soelandyo Wignjosoebroto sebagai bukti bahwa .. ... yuris-yuns Indonesia smat l.-urang berkepekaan dan kurang tanggap pada perubahan·perubahanyang tengah terjadi~. Menurutnya: ~ ... para yuris ini eenderung sulea melihat dan menyelesailean berbagai perkara euma dari perspektif yang serba yuridis dan do ktrinal saja .. . ~ Ket id alesabaran Soetandyo diungkapkannyaa.l. dengan tidak dapa! dimengerti olehnya mengapa para yuns Indonesia (akademisi dan praktisi) menolak anjuran Menten Kehakiman Sahardjo dan Ketua Mahkamah Agung W irjono Prodjodikoro uniule - ... berani membebaskan din dan sembarang bentuk imperative yang diturunkan lewat hukum dan peraturan·peraturan kolonial " ... dan bahwa " ... semua ketentuan-ketentuanhukum yang lermual dalam Burg~rlijk Welboek dan Welboek van Koophandel harus dipandang tak lagi mempunyai kekuatan hukum ... hanya bo1ch dipandang sebagai kilab koleksi komentar lentang hukum perdata dan hukum dagang" . (Op.cil, hal. 7-8) . Dan seeara sinis ditulisnya bahwa Soebeleti dalam tahun 1963 telah be rani "meneabar" (menghilangkan days?) pemikiran hukum Sahardjo dan Wirjono dan setelah Soebekti dalam tahun 1967 menjadi Ketua Mahkamah Agung (menggantikan Wirjono)" ... memperoleh pengakuan sebagai lokoh yang berhasil menormalkan kembali eara berpikir yuiidis di seluruh jajaran badan-badan peradilan" (Op .Cil. hal. 12). Pandangan Soetandyo ini rupanya lidsk. memperhatikan: (a) kezaliman yang terjadi semasa ada kek.aburan hukum di bawah pemerintahan mililer Jepang yang ingin membuang semua yang berasal dan pemerintah Hindia-Belanda, (b) kntik pedas yang diajukan dalam Seminar Hukum Nasional ke-ll (1968) lentang peJaksanaan hukum semasa pemenntahan Presiden Soekamo, khususnya lentang pelaksanaan penangkapan, interogasi dan penuntutan seorang tersangka, (c) ussha-usaha yang teJah dilakukan dalam pendidik:an tinggi hukum untuk mempelajan hukum adat. serta (d) bahwa 'dalam pelaksanaan peradilan di Indonesia hukulJl aoat se}alu mendapat perhatia~ dan tempat yang layale dalam keputusanhakim. Terhadap keangkuhan seorang ahli sosiologi hukum dapal dikutip pendapat: Sociologists oj law dll~ lh~ms~lv~s and lh~;r au.dienc~ if lh~ r~pr~senl sociology as an unprobl~maric 1001 for Ih~
study of law.
Mor~over, th~
dtaprion is compound~d if law is taken as an unprobl~maric objecl oj sludy"
(dalam Clive Gnee and Philip Wilinson, Sociological Inquiry And Legal Phenomena, London : Co~lier Macmillan, 1978, hal. 5). Pendapat yang mengatakan bahwa pendidikan linggi hukum di Indonesia tidak mengalami perubahan $l:jak mass Hindia Belanda. juga dibantah oleh Prof. Mochtar Kusuma-Atmadja dalam -Masalah-Masalah Pendidikan Hukum Di Indonesia Dewasa ini-, ceramah yang disampaikan pada Simposium Persahi, Jakarta, 24 Nopember 1989.
Juni 1995
Pendidikan Tinggi Hukum
203
nesia untuk semua warganegara dan penduduk lainnya. Dengan melihat fungsi hukum, pertama-tama sebagai "pengatur keserasian hubungan" dan bukanlah semata-mata untuk memperoleh "keseragaman norma", maka misi di atas dapat dirumuskan menjadi lebih operasional sebagai "menghasilkan sarjana hukum yang dapat memecahkan persoalan hukum, dengan berpikir analitis dan kreatif menafsirkan hukum dalam penerapannya pada kasus-kasus yang dihadapinya" .11 Ini adalah tugas minimal pendidikan tinggi hukum dan diharapkan tentunya ada sebagian dari lulusan ini yang mampu dan mau untuk mengembangkan ilmu pengetahuan hukum Indonesia, yang dapat dinamakan hukum nasional, yang berakar pada budaya bangsa tanpa melupakan keperluan hukum dalam hubungan trans-nasional. Kepada mereka (yang biasanya hanya merupakan kelompok kecillulusan dan umumnya berprestasi di bidang akademik) inilah tugas yang dirumuskan sebagai "mencabut atau menggantikan hukum kolonial yang masih berlaku di Indonesia, dengan peraturan hukum nasional yang secara utuh bersumber pada Pancasila dan UUD 1945", akan dipercayakan. Tentu saja kepada para sarjana hukum yang akan memperoleh kepercayaan ini harus pula diberikan sarana untuk mengembangkan diri mereka. Tidaklah cukup mereka ini didorong meningkatkan kemampuannya dengan hanya berpedoman kepada "kritikan pedas " ataupun "slogan-slogan". Bukti keberhasilan kalangan akademisi di bidang ekonomi, teknik dan kedokteran di Indonesia, adalah karena adanya kemauan politik yang jelas untuk meningkatkan bidang-bidang ilmu tersebut dengan tunjangan sarana yang cukup sekali. Keadaan Pendidikan Tinggi Hukum Untuk memahami keadaan pendidikan tinggi hukum pada waktu ini, kita dapat memulainya dengan melihat apa yang sekarang sedang dilakukan, dengan sekali-sekali menengok mengapa hal tersebut diadakan. Sebagai awal uraian dapat kita pergunakan Keputusan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan (Mendikbud) No. 0325/U/1994 yang merupakan penyempurnaan Keputusan Mendikbud No. 17/0/0/1993. Melalui keputusan (-keputusan) ini telah dilakukan pembaharuan pendidikan tinggi hukum, yang sebelumnya diatur de-
l1Lihat pula Mardjono ReksodipUlro, ·Pendidikan Hukum di Indonesia Sebuah Catalan", disampaikan pada Simposium Persahi, Nopember 1989, dalam KumpuJan Makalah P~nyuJuhan Temang MasaJaJrMasaJah Yang Buunaan Dengan Pendidikan 7ingg; Hu/cum. Sen Konsorsium IImu Hukum (KIH) No: 2, September, 1993.
Nomor 3 Tahun XXV
204
Hukum dan Pembangunan
ngan Keputusan Direktur Pendidikan Tinggi (Dilcti) No. 30/DJ/Kep/1983. 12 Usaha penyempurnaan telah dilakukan pula sebelumnya, sampai dengan Konsorsium ilmu Hukum (KIH) yang sekarang (dipimpin oleh Prof. Mochtar Kusuma-Atmadja sebagai Ketua), yang memulai tugasnya tahun 1990. Telah terjadi tiga kali penggantian Ketua KIH (berturut-turut: Prof. Mochtar Kusuma-Atmadja, Prof. Padmo Wahjono dan Prof. Satjipto Rahardjo). Masing-masing mereka telah berusaha untuk menjalankan program-program perbaikan pendidikan tinggi hukum. Dalam periode pimpinan Prof. Satjipto Rahardjo (dengan Sekretaris KIH Prof. J.E. Sahetapy) malahan telah dilakukan kerjasama hukum dengan universitas-universitas Belanda untuk memperbaiki mutu dosen-dosen fakultas hukum negeri maupun swasta. Kerjasama ini telah berlangsung + 4 tahun (1987-1991) dan meliputi a.!. penataran-penataran di Indonesia (dengan mendatangkan gurubesar-gurubesar Belanda), pengiriman dosen Indonesia ke Belanda dan perbaikan koleksi bahan pustaka perpustakaan beberapa fakultas hukum negeri. Kerjasama yang direncanakan masih akan berlanjut untuk tahap kedua selama empat tahun lagi terputus dalam tahun 1992. Perbaikan melalui kemampuan dalam negeri sendiri juga telah dilakukan a.!. melalui program pendidikan magister hukum (di USU , UI , UNPAD, UGM, UNDIP, UNAIR dan UNHAS; dan segera akan ditambah di UNSRAT) dan program dolctor hukum (di UI, UNPAD, UGM, UNAIR dan UNHAS; dan segera akan ditambah di UNDIP). Penyempurnaan kurikulum (dalam usaha untuk menyesuaikan dengan keperluan masyarakat dan arahan pemerintah) telah dilakukan sejak tahun 1972 (duapuluh tahun yang lalu). Kurikulum 1972 (yang dikenal sebagai kurikulum minimum) merupakan perubahan resmi pertama dari kurikulum RH, sebagaimana diundangkan tahun 1924 sampai perubahan terakhirnya pada tahun 1936, tentu saja dengan mengingat bahwa kurikulum RH pun telah berubah pada tahun 1947 dan kemudian tahun 1950 (setelah "nasionaIisasi" Faculteit der Rechtsgeleerdheid en Sociale Wetenschappen menjadi Fakultas Hukum dan Pengetahuan Masyarakat). Antara tahun 1950 sampai tahun 1972 kita mengenal pula perubahan-perubahan yang dilakukan secara
12Keputusan Menctikbud No. 0325 hampir identik dengan Keputusan Mendikbud No. 17 yang dasamya dirancang oleh Konsorsium Dmu Hukum (KIH). Rancangan tersebut disusun dalam sejumlah pertemuan anlara Ketu! dan Sekrelaris dengsn lima Tim (A sid E) yang dibentuk untuk melakukan studi lentang penataanFaKultas. Jurusan dan ProgramStudi Perguruan Tinggi dalam Bidang Hukum. Kemudian hasil Tim dibawa dalam Rapat KlH dengsn para De!.:.an dari duapuluh enBm (26) FabJitas Hukum Negeri dan dikonsuh.asikan dengan Kelompok Ahli KJH. Kegiatan-kegiatan ini berlangsung dalam tahun 1990 dan 1991. Pembiayaan kegiatan ini diperoJeh dari Direktoral Jenderal Pendidikan Tinggi dalam Proyek Peng~mbangan Perguruan Tinggi Bantuan Luar Negeri - P3TBLN (World Bank Education XXI Project Loan No. 2944-IND). Hasil keseluruhannya telah disusun dalam suatu laponn yang dilerbitkan dan merupakan Seri KJH No. I. luli 1991.
Juni 1995
Pendidika" Tinggi Hukum
205
masing-masing oleh 23 Fakultas Hukum Negeri pada waktu itu. Kita ingal pemikiran-pemikiran tentang "baccalaureat hukum", "sarjana madya" , "ahli hukum" dan FH dengan "terminal program" . Kurikulum 1972 dapat kita katakarr merupakan suatu kompromi untuk berpindah dari kurikulum RH dengan men-" adopsi" berbagai perubahan yang secara perJahan-lahan masuk dalam kurikulum fakultas hukum tanpa ada pedoman yang berlaku umum. Ciri-ciri pendidikan hukum yang menyertai Kurikulum 1972 adalah antara lain: 13 (I) sistem studi terpimpin (dibedakan dari sistem "studi bebas" atau "vrijestudie", yang sering pula disebut "sistem studi liberal", yang merupakan ciri studi fakultas hukum dalam tahun 1950-an dan 1960-an); (2) ujian dilakukan secara tertulis (sebelumnya dikenal: testimonium, tentamen dan ujian lisan); (3) penulisan karya tulis dan atau skripsi (penulisan skripsi sebagai karya tulis akhir untuk diuji menjadi sarjana baru diwajibkan pada pertengahan tahun 1960-.an; sebelumnya ·scriptie" dalam arti "essay" sudah dikenal di RH sebagai bukti tugas mandiri, seperti "referat" yang dikenal di Fakuitas Kedokteran sebagai suatu iaporan tugas); (4) kewajiban dosen menyusun siiabus dan menyediakan bahan perkuiiahan satu tahun (sekarang dikenai dengan "Satuan Acara Perkuliahan" dan "course materia!"); (5) pengenaian metode dan teknik penelitian hukum (sekarang sering dikacaukan dengan metode peneiitian sosiai yang sifatnya empiris); (6) dianjurkan pendidikan ianjutan (secara terarah dan dengan bimbingan gurubesar) untuk para dosen (umumnya untuk menyusun disertasi doktor; daiam S.24-457·terdapat peraturan (pasai 37-45) yang menentukan tatacara penu lisan disertasi dan ujian (promosi) doktor daiam ilmu hukum di RH); (7) diperkenalkannya kegiatan bantuan dan/atau konsuitasi hukum yang dikeiola dosen (biasanya dari hukum acara) dengan para mahasiswa sebagai pengamat dan peiaksana (kegiatan ini yang menumbuhkan birobiro bantuan hukum, yang sekarang dipersukar kegiatannya karena "dicurigai" oieh pemerintah, padahal dimaksudkan untuk mengenalkan mahasiswa dengan dunia peradilan); (8) diperkenaikannya kegiatan "pendidikan hukum klinis" (clinical legal
13Lihat Mardjono Relc.sodiputro. "Catalan Tentafig Kurilc.ulum Baru Fakultas Hurum (Later Belabng dan Arah Re-Orientasi Pendidilc.an Hulcum)" . disampailc.andi Fakultas Hukum Universitas Brawijaya (303-1 Juli 1993) dan di Fa!c.ultas Hulc.um Universitas Udayana (9-10 Agustus 1993), dalam Kumpulan Makola}, P~1Iyulllhan .. .• Sen KIH No.2 . op.cir. hal. 43·70.
Nomor 3 Tahufl XXV
Hukum dan Pembangunan
206
education) yang bermaksud untuk memberi kemah iran hukum kepada . mahasiswa dalam hal-hal yang membantu mereka lebih siap-kerja; (9) mengikuti sistem RH, terdapat empat (4)"tingkat pendidikan: Persiapan (Propadeuse), Sarjana Muda I Candidaat eerste gedeelte), Sarjana Muda II (Candidaat tweede gedeelte), sarjana I (Doctoraal eerSle gedeelte) dan Sarjana II (Doctoraal tweede gedeelte); dalam Sarjana II terdapat jurusan (richtingen): Hukum Perdata, Hukum Pidana, Hukum Tatanegara dan Hukum Intemasional (pada RH jurusan ke-4 adalah:
sociologisch-economisch richting); (10) diperkenalkannya matakuliah wajib jurusan dan matakuliah pilihan jurusan serta skripsi menurut jurusan (secara keliru pembagian dalam jurusan ini kemudian diterima masyarakat sebagai suatu spesialisasi dan adanya perbedaan jenis lulusan, antara "sarjana hukum perdata" dan "sarjana hukum pidana"). Ketika sepuluh tahun kemudian Kurikulum 1972 diganti dengan Kurikulum 1983 (dikenal dengan sebutan Kurikulum Inti), maka kesepuluh ciri di atas tetap dipertahankan dengan perkecualian tingkat pendidikan (lihat no. 9 di atas) karena diubah dengan sistem kredit semester (SKS) yang tidak mengenal tingkat pendidikan. Selanjutnya ciri-ciri di atas bertambah dengan; (11) diperkenalkannya sistem kredit semester (SKS) yang mewajibkan dosen menyelesaikan perkuliahan dalam semester yang bersangkutan (bahan perkuliahan diselesaikan dalam setengah tahun - lihat ' ciri no. 4) dan menjadikan pengumpulan "satuan kredit" (credit units) sebagai syarat pendidikan (mengikuti sistem pendidikan Amerika Serikat) dengan jumlah 114-160 SKS (satuan kredit semester) sebagai syarat kelulusan . sebagai Sarjana Hukum (lihat ciri no. 9); (12) memperkenalkan penggolongan matakuliah menjadi Mata Kuliah Dasar Umum (MKDU), Mata Kuliah Dasar Keahlian (MKDK), Mata Kuliah Keahlian (MKK), Mata Kuliah Pendalaman, Mata Kuliah Penunjang dan Mata Kuliah Pembulat Studi (dalam Kurikulum 1973 hanya dikenal: matakul iah i1mu hukum dan hukum positif, serta matakuliah nonhukum). Dengan sendirinya telah terjadi pula penggantian nama matakuliah maupun penambahan matakuliah, mulai dari Kurikulum RH (24 matakuliah dalam tahun 1936), Kuriku1um 1972 (28 lebih matakuliah) dan Kurikulum 1983 (50 lebih matakuliah). Dengan Kurikulum 1993 (sekarang harusnya disebut Kurikulum 1994), yang dikenal pula dengan sebutan kurikulum nasional, maka yang terutama ingin diubah dan
Juni 1995
Pendidikan TInggi Hukum
207
disempurnakan adalah "sistem pengajarannya" dan "pendekatan terhadap lulusan yang akan dihasilkan". Karena itu pembaharuan kurikulum ini ingin dicanangkan sebagai "re-Qrientasi pendidikan hukum" . Meskipun sudah lebih berkembang dalam konsepsinya, namun konsep dasarnya harus dicari pada tulisan Prof. Mochtar Kusuma-Atmadja mengenai pembaharuan pendidikan hukum yang dikaitkan dengan pembinaan profesi hukum (Lembang: 26-27 Maret 1975).14 . Dengan diperkenalkannya dalam pendidikan tinggi di Indonesia program Pasca Sarjana C± sekitar awal tahun 1980-an), yang terdiri atas Program Magister (S-2) dan Program Doktor (S-3), maka Program Sarjana Hukum (S-I)·diinginkan akan lebih mencerminkan pendidikan ke arah profesi hukum, tanpa melupakan bobo! akademik yang diperlukan lulusan untuk mampu bersikap kritis, analitis dan kreatif. Sistem pendidikan akademik di S-1 dimaksudkan sebagai pendidikan dalam suatu "professional school" (konsep Anglo American dan jangan dikacaukan dengan istilah pendidikan profesional menurut Pasal 4 (3) dan Pasal 5 (3) PP No. 30/1990 tentang Pendidikan Tinggi)." Dalam pendidikan seperti ini ingin didekatkan teori dengan praktek, karena itu pendidikan S-I hukum harus secara lebih mendalam mengajarkan hukum positif dan membahas secara kritis kasus-kasus mutakhir. Dengan demikian dapatlah ditambahkan beberapa ciri lagi pada pola pendidikan tinggi hukum kita, yang dikenalkan oleh Kurikulum 1993, yaitu: (13) menegaskan bahwa program pendidikan sarjana hukum (S-I adalah program pendidikan akademik yang diarahkan sebagai "pendidikan profesional" (dalam arti "professional school"), yang menghasilkan lulusan yang "siap kerja"; merupakan program pendidikan akademik pertama yang dapat dilanjutkan ke program pascasarjana (S-2 atau magister dan S-3 atau doktor) yang secara bertahap mempunyai bobot akademik yang lebih besar; dalam tahap pendidikan strata-I ini para lulusan dapat pula mengambil pendidikan di universitas yang bersifat
L·Lihat Mochtar Kusuma-Almadja, "Pembaharuan Pendidikan Hukum dan Pembinaan Profesi Hukum" . disampaikan pada Simposium Pembaharuan Pendidikan Hukum dan Pembinaan Profesi Hukum. Lembang: 26-27 Maret 1975.
"Kedudukan seorang sarjana hukum dalam masyarakat. apabila ia melakukan tugasnya sebagai seorang "8hli hukum", adalah sebagai seorang profesional stau sebagai seorang anggota profesi hukum. dalam arti seorang palear hukum (seseorang yang mempunyai kemahirandan pengetahuan khusushukum). Apa yang ingin dikord.:si dengall pengertian "professional school~ ini untuk pendidikan tinggi hukum, adalah unluk membedakannya dengan pendidikan yang bersifat ~Iiberal arts~. seperti dalam Hmu pengetahuan bahasa, filsafal, sejarah dan sebagainya .
Nomor 3 Tahun XXV
208
Hukum dan Pembangunan
spesialisasi setelah S-I (misalnya Pendidikan Notariat; Pel)didikan "Patent Lawyer", "Oil & Gas Lawyer", dan yang sejenis; namun harus dibedakan dari ·spesialisasi" karenajabatan seperti yang diberikan oleh instansi yang bersangkuian: kejaksaan, hakim, perbankan, dan yang sejenis); (14) mengubah penggolongan matakuliah program S-I hukum menjadi: Mata Kuliah Umum (MKU), Mata Kuliah Dasar Keahlian (MKDK), Mata Kuliah Keahlian (MKK), Mata Kuliah Pembulat (MKPb) dan Mata Kuliah Kemahiran (MKKm); (15) memperkenalkan MKKm dengan nama ·Pendidikan dan Latihan Kemahiran Hukum" (sebesar 6 SKS) yang dikembangkan melalui suatu "Laboratorium Hukum", serta penegasan kembali bahwa bahan pendidikan (course material) harus terdiri dari unsur-unsur: teori, hukum positif dan kasus; (16) matakuJiah wajib untuk semua mahasiswa fakultas hukum dikenal sebagai kurikulum yang berlaku secara nasional (sebanyak 84 SKS) dan menjadi materi kurikulum utuh (144 SKS - 160 SKS) dengan menambahkan materi yang ditetapkan oleh masing-masing fakultas hukum (dikenal dengan sebutan kurikulum muatan lokal) dan dapat menjadi satu atau lebih program kekhususan; (17) menegaskan kembali (karena sebenarnya sudah dicantumkan dalam Keputusan Dikti No. 30 tahun 1983) bahwa program pendidikan sarjana hukum (S-I) hanya mempunyai satu program studi, yaitu program studi ilmu hukum yang menghasilkan hanya satu jenis sarjana hukum, meskipun kurikulum muatan lokal dapat diracik dalam lebih dari satu program kekhususan (dapat disebut "majoring" atau "konsentrasi") yang bllkan ':spesialisasi" dan bukan "penjurusan"; (18) menegaskan penghapusan pengertian "spesialisasi" maupun penghapusan adanya "jurusan" (terutama penting untuk fakultas hukum swasta) dan menggantikannya dengan "bagian" (ada 8 bag ian) dalam program pendidikan sarjana hukum (S- I). Penyempurnaan kurikulum pendidikan tinggi sarjana hukum sebagaimana diuraikan di atas, karena ·itu juga dimaksudkan agar program pendidikan ini dapat secara lebih mudah mengaitkan peranannya pada kemajuankemajuan yang telah maupun akan dicapai masyarakat. Yang perlu mendapat perhatian khusus pendidikan ini adalah kemajuan-kemajuan yang terjadi dalam bidang-bidang ekonomi, sains dan teknologi. Penyempurnaan ini bukanlah suatu perombakan total atau perubahan radikal, dan karena itu hanya bersifat "re-orientasi" untuk memberikan fleksibilitas yang lebih besar Juni 1995
Pendidikiln 1inggi Hukum
209
kepada kurikulum hukum menghadapi tantangan-tantangan dalam abad ke-21.
Pembinaan Pendidikan Tinggi Hukum ke Masa yang Akan Datang Uraian di muka yang mencoba untuk menelusuri sejarab pendidikan hukum di Indonesia mudah-mudahan dapat memberikan gambaran (meskipun tidak dimaksudkan lengkap) tentang dinamika pendidikan ·ini. Meskipun lambat (namun belum terlambat) pendidikan tinggi hukum telah berusaha untuk "membuka" sistem pendidikannya kepada tuntutan yang lebih besar akan "profesionalisasi" yang lebih tinggi dari lulusan S-I-nya, tanpa menutup kemungkinan untuk bergerak ke luar dari perkuliahan yang semata-mata bersifat penjelasan kritikal dan doktrinal tentang hukum maupun analisa deskriptif tentang lembaga-Iembaga dan proses-proses hukum. Suatu kilasbalik kepada sejarah pembentukan RH maupun "nasionalisasi" RH menjadi fakultas hukum Indonesia, mudah-mudahan juga telah meyakinkan kita, bahwa para gurubesar-hukum Indonesia pada waktu itu juga bermaksud menjadikan pendidikan tinggi hukum suatu tempat yang dapat memperkaya para mahasiswa dengan pengetahuan yang luas dan dalam tentang hukum, dengan mengacu kepada cita-hukum (rechtsidee) yang terdapat dalam UUD 1945 kita. Dehgan memperhatikan jenjang atau tingkat dalam pendidikan tinggi di Indonesia, maka pembaharuan (re-orientasi) dalam kurikulum jenjang S-I pendidikan tinggi hukum mempergunakan strategi sebagai berikut:'6 a. Pembaharuan bersifat "incremental", yaitu "menambah nilai" dalam kurikulum yang berjalan, dengan sedapat mungkin mempertahankan struktur yang ada dan bersumber pada peraturan yang berlaku. b. Nalar pembaharuan (yaitu re-orientasi pendidikan) diletakkan pada penciptaan keahlian (competence) dan kemah iran (skills) pada lulusan yang profesional, tanpa melepaskan diri dari suatu pendidikan akademik (scholarship),. sehingga caranya adalah bahwa materi teoritis dikurangi dan keahlian praktis ditambah; c. Inti pembaharuan diletakkan pada penyusunan dan pengelompokan
16Lihat Konsorsium Jlmu Hukum, /.Dporan Slud; PeMlaan FakulllJ$, Jurusan Dan Program Studi Perguruan Tlngg; Da/am Sidang Ilmu Hulcum, 1991, Seri K1H No. I. hal. 63-65. Laporan mi. yang disebut dalam catatan no. 12. yang tebalnya 95 halaman (belum tennasut lampiran-tampiran) telah dikirimk8n ke 210 lembag. pendidikan tinggi hukum negeri dan swasta uolut menjadi dasar pen1bc:nahan organisasi dan kurikulum merek. masing-masing.
Nomor 3 Tahull XXV
210
d.
e.
HuJaun dan PembanglUllJll
kembali secara cermat mata lruliah, bahan lruliah dan proses belajarmengajar; Perlruliahan harns disusun menurnt model AA (Applied Approach) dengan menuangkannya ke dalam susunan yang terdiri atas: (i) teori, (ii) ketentuan-ketentuan hulrum positif, dan (iii) kasus serta bahan dolrumentasi lainnya; Materi lrurilrulum nasional ditambah dengan pendidikan dan Iatihan kemah iran hulrum, penguasaan penelitian hulrum, kemampuan melalrukan penulisan hulrum dan kepekaan akan etika profesi hulrum.
Selanjutnya, rincian model sarjana hulrum profesional (Iulusan S-1 yang diperkirakan akan segera terjun ke lapangan kerja di masyarakat) yang 'siap kerja·, adalah selrurang-lrurangnya sebagai berilrut: (I) Menguasai pengetahuan dasar hulrum untuk dapat bekelja secara analitis, seperti antara lain: kemampuan mengidentifikasi masalah hulrum, kemampuan membedakan secara tajam antara hal yang relevan, lrurang dan tidak rei evan dalam suatu permasalahan serta kemampuan untuk mengurai suatu masalah ke dalam komponen-komponennya; (2) Menguasai kemahiran dasar untuk melalrukan pekerjaan yang diperlukan dalam profesi hulrum, seperti antara lain: mengumpulkan bahan atau fakta tentang suatu peristiwa, melalrukan komunikasi secara lisan dan tulisan, mempergunakan bahan-bahan dalam suatu perpustakaan hulrum dan pusat dolrumentasi hulrum, menyusun laporan, railcangan peraturan dan kontrak, serta melalrukan wawancara dan interogasi seseorang; (3) Faham akan sekalian lembaga hulrum yang harus dimasuki dalam melalrukan profesinya dan mampu berperilalru sesuai dengan yang dituntut oleh profesinya itu. Juga faham akan linglrungan lembagalembaga tersebut serta linglrungan hulrum itu sendiri, seperti linglrungan . politik, ekonomi dan teknologi. . Sedangkan untuk lulusan pendidikan S-2 (Magister Hulrum) dan lulusan pendidikan S-3 (Doktor I1mu Hulrum) diutamakan kemampuan mereta untuk berpikir secara kritis dan akademis (critical and theoretical thinking). Diharapkan bahwa para Magister Hulrum dan Doktor I1mu Hulrum ini berkemampuan untuk melalrukan riset hulrum yang menunjang penyusunan teori (theory building) untuk masyarakat Indonesia. Rincian model Iulusan pendidikan S-2 hulrum dan S-3 hulrum diharapkan memenuhi ciri-ciri sebagai '
JIIIIi 1995
Pendidikan TInggi Hukum
211
berikut (sekaligus juga merupakan sasaran pendidikan): 17 Untuk Magister Hukum: (I) Mampu meningkatkan pelayanan profesi hukum dengan melalui rise! dan pengembangan hukum; (2) Mampu mengembangkan penampilan profesi hukum dalam spektrum yang lebih luas, dengan cara mengaitkannya dengan berb~gai bidang i1mu hukum maupun profesi lain yang sejalan; (3) Mampu merumuskan pendekatan yang sesuai untuk memecahkan berbagai masalah dalam -masyarakat dengan cara penalaran i1miah. Untuk Doktor IImu Hukum: Mampu untuk mengembangkan konsep baru di dalam bidang i1munya atau profesinya dengan melalui kegiatan riset; (2) Mampu merencanakan, mengorganisasikan, melaksanakan dan memimpin suatu program riset; (3) Mampu melakukan pendekatan interdisiplin dalam suatu kegiatan akademik maupun profesional.
(I)
Proses pembaharuan ini sedang dan masih terus akan berlangsung. Bagaimanapun banyaknya kendala, pembaharuan ini harus terus kita lanjutkan, untuk menyesuaikan diri dengan kenyataan-kenyataan yang ada di dalam lembaga pendidikan hukum sendiri, maupun yang terjadi di luar lembaga (di dalam masyarakat) . Tentunya dapat diperkirakan bahwa tidak semua anggota staf pengajar akan dapat sepenuhnya menyetujui pembaharuan-pembaharuan yang disarankan oleh Konsorsium I1mu Hukum. Hal ini akan berarti bahwa masih akan terdapat jalan yang panjang, dimana perubahan kurikulum maupun percobaan-percobaan dalam metode pengajaran yang dilakukan, masih akan diperdebatkan. Mungkin kompromi-kompromi masih perlu dilakukan. Namun demikian jalan ini harus mau ditempuh bersama, karena kita harus ingat bahwa pada waktu ini terdapat 210 (duaratus sepuluh) lembaga pendidikan tinggi hukum di Indonesia" yang memerlukan bantuan untuk dapat menghadapi tantangan dalam PJP II ini!
"Laporan Sludi Pmataan .... Sen KIH No . 1, Op.cil., hal. 72 .
IIVolume pennasalahan yang dihadapi dapat dilihat dari Lampiran Ill.
Nomor 3 Tahun XXV
Hukum dan Pembangunan
212
Penutup Kiranya jelas dari uraian di atas, babwa masih banyak pekerjaan yang harus diselesaikan dalam mempersiapkan pendidikan hukum kita untuk masuk dalam program pembangunan hukum dalam PJP II. Bagi dunia pendidikan tinggi hukum masa-masa yang akan datang harus dialami seb~gai masa perkembangan yang sungguh menarik untuk membawa hukum menjadi "a truly learned profession and an intellectual discipline in
the society of scholars". LAMPIRAN I Pendudukan Indonesia oleh Jepang (1942-1945) . Sebagai suatu catatan khusus dan untuk dikaji bersama, di bawab ini disampaikan garis besar perubahan yang terjadi di bidang hukum dalam jaman pendudukan oleh pemerintab militer Jepang (disadur dari Jacob Zwaan, Nederlands-Indie 1940-1946, Japans Intermezzo: 9 Maret 1942 - 15 Agustus 1945, Den Haag: Omniboek (tanpa tabun), hal. 13,235,238,243 dan 255): a. Melalui Oendang-Oendang No, I (7-3-2602) dari Pembesar Bala-tentara Dai Nippon, telab dinyatakan babwa merekalab yang sekarang "memegang kekuasaan Pemerintab Militer yang tertinggi dan juga segala kekuasaan yang dabulu ada di tangan Gubernur Jenderal" (pasal 2). Selanjutnya dinyatakan pula babwa "semua badan-badan pemerintaban dan kekuasaannya, hukum dan undang-undang dari Pemerintab yang dabulu, tetap diakui sab bagi sementara waktu , asal saja tidak bertentangan dengan aturan pemerintab militer" (pasal 3). Dan karena itu "barangsiapa yang melanggar perintab Balatentara dan Pembesarpembesar Nippon, atau mengacaukan keamanan umum .. . akan dihukum berat menurut undang-undang hukum militer". b. Dengan Osamu Gun Rei No. I, dibentuk Gunritsu Kaigi (peradilan mil iter) yang mengadili segala macam perkara yang berhubungan dengan pemberontakan, spionase, dan pelanggaran peraturan-peraturan militer Jepang. Selanjutnya dibentuk pula Gunsei Hooin (peradilan sipil di bawab pemerintab mil iter) yang mengadili segala macarn perkara yang berhubungan dengan pelanggaran peraturan Hindia Belanda atau dari pemerintaban militer yang tidak bersifat menentang militer Jepang.
Juni 1995
Pendidikmt TlIIggi Hukum
c.
d.
213
Peradilan· pidana ini memakai hokum acara militer Jepang dan tidak memakai HIR. Ketentoan ini dikeluarkan pada tanggal 2 Maret 1942. Pada tanggal 29 April 1942, sistem peradilan Hindia Belanda (a.1. berdasarkan Indische Staatsregelmg, S. 25-447, tentang de lustitie: ps .. 130-159; R.O., S. 1848-57; dan Rechtsreglement Buitengewesten, S. 27-227) diganti me1alui Oendang-Oendang No. 14 (kemudian disempurnakan dengan Oendang-Oendang No. 34-26 September 1942) sebagai berilrut: (1) LmuJrOJJd,menjadi Tdwo Hoom ICua Bun In (di Jakarta) (2) Landgerecht, meojadi Keiztli Hoom (3) RegentscJwpsgerecht, menjadi Ken Hooin (4) Districhtsgerecht, menjadi Gun Hooin (5) Ho/voor Islamitische Zaken, menjadi Kaikyoo Kootoo Hooin (6) PriesterrOJJd, menjadi Sooryo Hooin Mula-mula Residentsgerecht, ROJJd van lustitie dan Hooggerechtsho/ dihapus. Tdwo Hooin mengadili pula perkara-perkara yang dahulunya termasuk wewenang Residentsgerecht dan Raad van luscitie. Perkara-perkara pidana diadili oleh Keizai Hooin . Kemudian didirikan pula (Oendang-Oendang No. 34): (7) !Woto Hoom (Raad van Justitie) (8) Saiko Hooin (Hooggerechtshof) Hukum Barat dalam perkara-perkara perdata dan dagang tidak diberlakukan. Tugas Kooto Hooin dan Sailw Hooin sebenarnya bukan lagi banding atau kasasi, tetapi memeriksa kembali perkaraperkara bersangkutan. Melalui Osamu Seirei (OS) No. 21 (I Juli 1943) dilakukan lagi penyempurnaan sistem peradilan, yaito: Tdwo Hooin (LandrOJJd) mengambil a1ih togas-togas Kooto Hooin (R0JJd van lustitie), menurut daerah masing-masing. Kooto Hooin tidak dihapuskan, tetapi hanya memeriksa perkara-perkara merek dagang dan penetapan hak eigendom. Di Jakarta Tdzoo Hooin Kita Bun In merupakan bagian (kamar) khusus dari Tdzoo Hooin. Tugasnya sekarang hanyalah perkaraperkara: kuratil (curatelen), perwalian, akta catatan sipil, perceraian, dsb-nya. Selanjutnya Ken Hooin (Regentschapsgerecht) dan Gun Hooin (Districtgerecht) dihapuskan (khususnya di daerah perkotaan). Perkara-perkara yang merupakan wewenang Residentsgerecht (dihapuskan) diserahkan pula ke Tdzoo Hooin.
Nomor 3 Tahllll XXV
214
e.
Hukum dan Pembangullan
Dengan demikian pengadilan sipil yang kemudian betfungsi adalah: TIhoo Hooin (dahulu Landraad) , Koolo Hooin (dahulu Raad van Juslitie) , Sailw Hooin (dahulu Hooggerechlshoj) , dan untuk perkara pidana Keizai Hooin (Landgerechl atau Hakim Kepolisian) .
Catatan: Perombakan sistem peradilan di Indonesia (berikut hukum acaranya) oleh pemerintahan militer Jepang, tidak menguntungkan warga masyarakat sebagaimana dicatat sejarah tentang kesengsaraan penduduk pada waktu itu. Proses peradilan pidana Indonesia mengalami "proses belajar" dari kekejaman Kempeitai (polisi militer Jepang) maupun cara-cara penanganan kasus kejahatan dalam suatu pemerintahan militer asing. Setelah selesainya perang kemerdekaan Indonesia dan terwujudnya negara kesatuan Republik Indonesia, seharusnya masyarakat Indonesia dapat mengalami proses peradilan pidana yang lebih baik dari apa yang dialaminya selama pemerintahan (kolonial) Hindia Belanda maupun jaman pendudukan mil iter Jepang. Sayangnya adalah bahwa pemerintah Republik Indonesia tidak mengambil alih sistem peradilan pidana yang berlaku untuk golongan Eropa, melainkan yang berlaku untuk golongan pribumi (bumiputera). Sebenarnya acara peradilan pidana yang dimuat dalam Regiemelll op de Slrajvordering (yang dipergunakan untuk golongan Eropa) jauh lebih baik dari HIR (atau Reglemen Bumiputera Yang Dibarui, S.41-44) yang berlaku untuk golongan pribumi .
LAMPIRAN II
Rechtschool dan Rechtshoogeschool (1909-1928 dan 1924-1950) Pada tanggal 21 Nopember 1903 Raden Toemenggoeng Achmad Djajadiningrat, Bupati (Regent) Serang, mengajukan surat permohonan kepada Gubernur Jenderal Hindia Belanda, Rooseboom. Dalam surat ini Bupati menanyakan apakah seorang pribumi yang memenuhi persyaratan kecakapan . dapat diberikan jabatan dalambidang kekuasaan kehakiman (rechtterlijke machO Hindia Belanda. Apabila tidak, apakah naturalisasi dapat membuka jalan bagi yang bersangkutan. Surat tersebut diajukan untuk kepentingan salah seorang adiknya, Raden Hoesssein Djajadiningrat.
JUlli 1995
Pel/didikail Iil/ggi Hukum
215
Permintaan nasihat oleh Gubernur J enderal kepada beberapa kalangan di Hindia Belanda menimbulkan pendapat pro dan kontra. Pendapat yang mendukung umumnya melihat kepada keadilan y.ang hams diberikan kepada go long an pribumi untuk berkesempatan menduduki jabatan yang sederajat dengan orang Belanda. Sedangkan pendapat yang menentang melihat kepada kemampuan intelektual orang pribumi, atau kalau hal inipun dapat diatasi harus dipikirkan apakah orang pribumi mempunyai "integritas diri" untuk mendudukijabatan di bidang kehakiman, misalnya menjadi hakim landraad. Surat Bupati Serang dengan nasihat-nasihat yang diperolehnya diteruskan Gubernur Jenderal ke Menteri Jajahan dengan a.l. pendapatnya sendiri bahwa adalah mungkin untuk di Hindia Belanda membuka sekolahsekolah untuk jabatan-jabatan tertentu (opleidingsscholen). Melalui sekolahsekolah ini dapat dihasilkan pegawai-pegawai yang praktis (practische ambtenaren) dengan mewajibkan uj ian akhir yang lebih mudah daripada yang diwajibkan dalam ujian serupa untuk pegawai-pegawai di Eropa. Dicontohkannya sekolah "dokter lawa" yang ada dan sekolah yang masih akan didirik~n yaitu untuk perwira pribumi (inlandsche oJJicieren). Apabila persyaratan di sekolah-sekolah tersebut direndahkan, maka bukan merupakan ketidakadilan untuk membayar mereka pun dengan gaji yang lebih rendah (alasan yang terakhir ini dikaitkan dengan rencana memperluas lembagalembaga pemerintahan dan kehakiman, sedangkan keadaan keuangan HindiaBelanda terbatas). Dimungkinkannya pendidikan hukum di Hindia Belanda adalah juga karena ada peru bah an dalam politik pendidikan kolonial (koloniale onderwijspolitiek). Perubahan ini a.!. telah memberikan kesempatan yang lebih besar kepada para anak pribumi untuk mendapat pendidikan Barat. Perubahan ini terjadi pada akhir abad ke-19, a.!. ketika pada tahun 1892 mulai diadakan dua jenis sekolah dasar pribumi (inlandse scholen), yaitu yang untuk anak-anak para kepala masyarakat pribumi (inlandse hoofden) dan mereka yang terpandang atau kaya, serta sekolah untuk anak anggota masyarakat pribumi pada umumnya. Yang terakhir ini mempunyai masa belajar tiga tahun dan mengajarkan: membaca, menulis dan b.erhitung. Sedangkan yang pertama berlangsung lima tahun dan mengajarkan ketiga pelajaran di atas, tetapi juga ilmu bumi, sejarah, pengetahuan alam, menggambar tang an dan mengukur tanah. Untuk sekolah terakhir ini diperlukan guru-guru lulusan kweekschool. Menteri lajahan dalam suratnya tanggal 14 Oktober 1905 memerintahkan kepada Gubernur lenderal untuk membentuk panitia penasihat yang membantu pelaksanaan pend irian suatu sekolah hukum (rechtsschool), sejenis Nomor 3 Tahun XXV
216
Hukum dan Pembangunan
sekolah "dokter lawa" (didirikan 21anuari 1849 dengan mula-mula masa pendidikan hanya satu tahun, tetapi kemudian menjadi dua tahun dan dalam tahun 1875 menjadi enam tahun), dan perencanaan jabatan-jabatan di bidang kehakiman (magistratuur) yang dapat dipergunakan para pribumi lulusan sekolah hukum ini. Dengan keputusan Gubernur lenderal no. 12, tanggal 8 lanuari 1906, panitia ini dibentuk dengan ketuanya Dr. C. Snouck Hurgronje (yang juga menjabat Penasihat untuk Persoalan Pribumi dan Arab). Pada tanggal 26 luli 1909 didirikanlah sekolah hukum ini, dengan nama resmi Opleidingsschool voor Inlandsche Rechtskundigen (OSYIR). [Uraian di atas disarikan dari makalah (belum terbit) Koesriani Siswosoebroto, SH, "De Rechtsschool" (concept 11 luni 1992)] Suatu laporan dari Komisi Pemerintah (dibentuk 4 lanuari 1919) berjudul "Het Rechtskundige Hooger Onderwijs" a.!. menyimpulkan bahwa keberadaan Rechtsschool (RS) ·tidak dapat lagi dipertahankan, a.!. karen a adanya rencana menyatukan sistem peradilan untuk semua go long an penduduk. Alasan utama yang diajukan adalah karena RS " ... .niet de
toegallg opem tot ambten bij de magistratur boven die van landraadvoorziner .. . en dit ook niet kan doen. omdat de ajkomelingen van de Rechtsschool mel gegradueerde juristen niet op een lijn gesteld kunnen worden H. Kekecewaan tentang jabatan tertinggi yang dapat dipegang (ketua landraad) dan tidak dipandang samanya lulusan RS dengan yuris yang lulus dari universitas. menghasilkan usul Komisi: H... dat de Regeering eerst dan op afdoende wijze in het nijpend tekon aan voldoend juridisch onderlegd ambtenaarspersoneel
zal kwznen voorzien. waaneer zij besluit tot oprichting van een instelling. die beoogt hooger rechtsgeleerd onderwijs te geven. welke instelling echter ook open moet sraan voor allen . die. zander voor de gouvernements dienst te verbinden. zoodanig onderwijs wenschen te genieten. Het is te verwachten dat deze laatsen niet gering in aantal zullen blijken te zijn ". Rupanya Komisi optimis bahwa dengan membuka Sekolah Tinggi lImu Hukum (hooger rechtsgeleerd onderwijs), tidak saja jabatan ambtenaar pada gubernemen yang dapilt diisi tetapi juga jabatan di luar peme,intahan (seperti advokat). Laporan tersebut kemudian mengusulkan: ,HEr wordt dus ingesteld een
Reehtshoogesehool aan welk het onderwijs za/ worden gegeven. hoofdzakelijk. door Hoogleeraren. een school al dadelijk sraande op een lijn met een reehtsgeleerde faeulteit in Nederland. daaraan ten volle gelijkwaardig. zij het dan. gelijk dadelijk zal blijken. niet ge/ijkvormig . ... Het resultaat eehter• ...• bereiJa zal worden, is dit: dat de geslaagde in het eindexamen aan de Reehtshoogesehool zeker niet ten aehter staat bij hem. die in NederJuni 1995
217
Pendidikan TInggi Hukum
land den doctorstitel na verdediging van stellingen zal hebben behaald". Dengan uraian di atas Komisi Pemerintah (yang diketuai oleh Ketua Hooggerechtshofl ingin membentuk suatu Sekolah Tinggi Hukum yang memang tidak sarna bentuknya dengan fakultas yang ada di Belanda, tetapi sarna derajatnya. Lulusan yang dihasilkan RH ini tidak akan kalah dengan mereka yang di Belanda telah lulus dan mendapat gelar doktor dalam ilmu hukum! Yang dimaksud dengan "bentuk berbeda" (niet gelijkvormig) adalah dalam metode mengajar dan matakuliah . Dalam pengajaran diminta selalu harus ada kontak antara dosen dan mahasiswa, misalnya melalui "responsi", ' "debat-avonden" "praktische oefeningen", dan "privatissima" (terutama untuk mahasiswa yang tertarik) yang harus mempunyai sifat "laboratoria" (dimana para mahasiswa di bawah bimbingan dosen melakukan penelitian mandiri ataupun mengerjakan suatu bahan hukum secara mandiri). Jumlah dosen dengan mahasiswa sebaiknya tidak lebih dari I :24. Juga ada kewajiban hadir pada kuliah, melakukan latihan praktis dan adanya bimbingan yang terus menerus dari para dosen kepada para mahasiswa (karena itu " .. . dat van de vrije studie aldus weinig sprake zal zijn). Kurikulum memuat matakuliah yang berbeda dengan di Belanda: a.1. "de sociologie", "her lavaansch
of het Maleisch n, "het adatrecht", Whet intergentielrecht", "de beginselen van het Mohammedaansch recht ", "de insrellingen van den Islam", "economische geschiedenis", "sociale aardrijkskunde" dan "de leer vanfinancien". (Reglement van de Rechtshoogeschool, S. 1924-457 - Besluit No. I tanggal 9 Oktober 1924). Pada tanggal 28 Oktober 1924 Rechtshoogeschool dibuka oleh Gubernur lenderal D. Fock dan dengan pidato Prof. Mr. P. Scholten (Iihat catatan no. 2), bertempat di gedung yang sekarang dikenal sebagai "Musium Gajah" di Jakarta.
LAMPI RAN III Keadaan Lembaga Pendidikan Tinggi Hukum Garis besar jumlah lembaga pendidikan tinggi hukum di Indonesia adalah sebagai berikut (statistik tahun (990): a. terdapat 26 fakultas hukum negeri yang tersebar di 22 propinsi (propinsi yang tidak mempunyai fakultas hukum negeri adalah: Riau, Kalimantan Tengah, Kalimantan Timur, Sulawesi Tenggara dan Timor Timur); b. terdapat 184 lembaga pendidikan tinggi swasta S-I hukum, yaitu 158 fakultas hukum dan 26 sekolah tinggi hukum, tersebar di 24 propinsi
Nomor 3 Tahun XXV
218
Hukum dan Pembangunan
(yang tidak mempunyai adalah propinsi Sulawesi Tenggara dan Timor Timur). Apabila peta geografi penyebaran di atas dibagi dalam tiga wilayah atau kawasan, maka terdapat gambar sebagai berikpt: a. di Wilayah Barat terdapat 45 lembaga (diantaranya 7 fakultas hukum negeri); luas wilayahnya seluruh pulau Sumatera dengan 8 propinsi; b. di Wilayah Tengah terdapat 132 lembaga (diantaranya II fakultas hukum negeri); luas wilayahnya seluruh pulau Jawa dan pulau Kalimantan dengan 9 propinsi; c. di Wilayah Timur terdapat 33 lembaga (diantaranya 8 fakultas hukum negeri); luas wilayahnya adalah seluruh pulau Sulawesi (4 propinsi) dan propinsi-propinsi: Bali, NTB, NTT, Maluku, Irian Jaya dan Timor Timur, sehingga seluruhnya 10 propinsi. Apabila kita sekarang mencoba menghitung jumlah lulusan S- I hukum dalam setahun, maka diperkirakan bahwa setiap fakultas hukum negeri menghasilkan rata-rata ISO lulusan per tahun, sehingga jumlah seluruh lulusannya per tahun adalah: 3.900 sarjana hukum. Sedangkan bila diperkirakan 158 fakultas hukum swasta dan 26 sekolah tinggi (ilmu) hukum menghasilkan rata-rata 50 lulusan per tahun, maka semua lulusannya per tahun berjumlah: 9.200 sarjana hukum. Dengan demikian jumlah semua lulusan sarjana hukum (negeri dan swasta) adalah: 13 . 100 orang lulusan baru per tahun atau setiap bulan dihasilkan rata-rata lebih dari 1.000 (seribu) sarjana hukum baru. Mereka inilah yang perlu kita pikirk:in agar mempunyai kemahiran profesional dan siap kerja mandiri di dalam masyarakat!
Orang yang mengajar dan mendidik dirinya lebib pantas dihormati dari pada orang yang mengajar dan mendidik orang lain.
Juni 1995