Jurnal
i
ii
Jurnal
Pembina : Rektor Universitas Mathlaul Anwar Prof. Dr. H. M. Bambang Pranowo, M.A. Penanggung Jawab : Ketua LP3M Universitas Mathlaul Anwar Drs. H. Syihabudin, M.M. Pemimpin Redaksi
: Ade Hidayat, S.Fil., M.Pd.
Penyunting Ahli :
Dr. Ukun Kurnia, M.Pd. Sanusi, S.E., M.M. Drs. Jihaduddin, M.Pd. Drs. Ali Nurdin, M.Si. Drs. Akhsan Sukroni, M.Si.
Red. Pelaksana : Agus Nurcholis Saleh, M.Ud. Enci Zarkasih, M.Pd. Yasser Arafat, M.Pd. Tata Usaha
: Nasrullah, S.Ip.
Mitra Bestari : Prof. Dr. H. Encep Syarifudin, M.A. (IAIN Serang) Ali Nurdin, Ph.D. (UIN Sunan Gunung Djati Bandung) Hilman Latif, Ph.D. candidate (Univ. Muhammadiyah Yogyakarta)
Penerbit: Lembaga Penelitian, Pengembangan, dan Pengabdian pada Masyarakat (LP3M) Universitas Mathla’ul Anwar Banten Alamat Redaksi: Jl.Raya Labuan KM. 23, Cikaliung, Saketi, Pandeglang 42273 Telp. (0253) 401307; Fax. (0253) 401308 Email: www.lp3m.unmabanten.ac.id Website: www.unmabanten.ac.id iii
iv
Salam Redaksi
Percikan pemikiran mengenai etika dan budi pekerti seakan tidak pernah menemukan tapal batas antara hulu dan hilir pengetahuan yang jelas. Perdebatannya seakan terus berkembang dan membuncah seiring ledakan ilmu pengetahuan sekarang. Kesepahaman setiap pola pikir para filsuf etika pun mengenai pentingnya etika dan budi pekerti, belum bisa menjawab setiap persoalan sosial-kemasyarakatan manusia post-modern sekarang. Teknologi memang semakin sangat massif. Namun keberadaannya berbanding terbalik dengan persoalan manusia yang semakin terasing. Jauh-jauh hari, kita semua diingatkan oleh Herbert Marcuse bahwasanya manusia memasuki babak baru apa yang disebutnya sebagai one dimentional man. Teknologi memang memudahkan hidup dan kehidupan manusia. Tetapi pula telah menyeret manusia dan dunia ini pada kehancuran. Manusia semakin terdesak kepada individualistik. Teknologi telah menyeret manusia berasyik-masyuk dengan dirinya sendiri, tanpa peduli dengan manusia lain. Humanisme seakan menjadi jargon saja, yang kenyataannya telah hilang dari dada dan hati setiap manusia. Manusia seakan hadir dalam sesosok “robot” yang be ngis, sadis, tanpa perasaan, dan mencabik-cabik setiap nurani dan budi pekerti. Kriminalitas dan kekerasan sesama manusia adalah nadi yang setiap hari berdetak. Sedangkan, dunia semakin sesak dengan polusi dan bahan kimia yang membunuh. Lalu dimanakah peran pendidikan sebagai guru terbaik penuntun umat manusia?! Berawal dari latar belakang di atas, jurnal ini mewujud. Sekedar berikhtiar dalam rangka merekonstruksi ulang dalam membentuk manusia yang paripurna. Manusia yang cerdas otaknya, lembut hatinya, dan terampil tangannya. Kami menyadari usaha praksis di lapangan berawal dari kesadaran pengetahuan di bangku ilmiah. Dalam jurnal ini kami mengawali pembaca de ngan mengajak pembaca berselancar menafakuri tulisan “Taharah Spiritual: Telaah atas Etika Bersuci Ibn ‘Arabi” karangan Ukun Kurnia. Tulisan sufistik ini mengingatkan kita semua betapa v
ibadah praksis berwudhu saja mengajarkan kepada kita untuk memiliki tangan, mulut, kaki, dan kepala yang suci. Lebih jauh tangan yang suci adalah tangan yang terbebas dari sifat dan sikap perilaku korupsi, yang konon ini sebagai penyakit akut bangsa ini. Tulisan ini pula memuat “Telaah Konsep Idealisme Pendidikan atas Krisis Pendidikan Indonesia: Sebuah Kritik” karangan Akhsan Sukroni, Guru sebagai Agen Pembelajaran: Kenangan Siswa terhadap Guru dala Pembelajaran” karangan Agus Nurcholis Saleh, dan kemudian tulisan “Efektivitas Program Mentoring Halaqah dalam Meningkatkan Kecerdasan Moral Siswa” karang an Ade Hidayat, yang memuat bagaimana sebuah konsep atas persoalan sosio-kemasyarakatan yang terus menganga. Sisi lain dalam jurnal ini ada dalam tulisan yang berjudul “Pendidikan Demokratis Jalanan dalam Banyolan Stiker Gaul Sepeda Motor” yang ditulis berdua oleh Heri Mohamad Tohari dan A. Syihabudin. Tulisan ini memotret fenomena humor yang ada di lapangan, pada sebuah stiker yang teronggok di plat motor. Fenomena ini memberikan pembelajaran yang luar biasa mengenai nilai demokrasi yang sesungguhnya. Semoga dengan kehadiran jurnal perdana ini menjadi obat penawar akan dahaga kita semua yang merindukan sosok-sosok manusia baru yang memiliki Etika dan Budi Pekerti yang luar biasa. Kehadiran jurnal yang belia ini, menandai minimnya sebuah pengalaman. Serasa kepala ini bersimpuh memohon maklum atas segala noda dan kekurangan yang hadir dalam jurnal ini. Teriring doa semoga jurnal ini bermanfaat untuk sekalian pembaca. Salam hangat, Redaksi
vi
DAFTAR ISI
v
Pengantar
vii
Daftar Isi
1
Ukun Kurnia Taharah Spiritual: Telaah atas Etika Bersuci Ibn ‘Arabi
13
Akhsan Sukroni Telaah Konsep Idealisme Pendidikan atas Krisis Pendidikan Indonesia: sebuah Kritik
20
Ade Hidayat Efektivitas Program Mentoring Halaqah dalam Meningkatkan Kecerdasan Moral Siswa
36
Heri Mohamad Tohari, A. Syihabudin Pendidikan Demokratis Jalanan dalam Banyolan Stiker Gaul Sepeda Motor
44
Agus Nurcholis Saleh Guru sebagai Agen Pembelajaran: Kenangan Siswa terhadap Guru dalam Pembelajaran
63
Yasser Arafat Peranan Sastra dalam Kehidupan Beragama (Kajian terhadap Sajak-Sajak Mustofa W. Hasyim)
75
Hayatunnisa, Lambang Satria H. Bahaya Hiv/Aids dan Pengendalian Hubungan yang Sehat di Kalangan Mahasiswa: Studi di Universitas Mathla’ul Anwar Banten Tahun 2012 vii
viii
TAHARAH SPIRITUAL: TELAAH ATAS ETIKA BERSUCI IBN ‘ARABI Ukun Kurnia
Wakil Rektor 1 Universitas Mathlaul Anwar Banten
ABSTRAK: Semua agama memiliki corak khas dalam menggambarkan prosesi pensucian diri. Tidak terkecuali Islam, agama ini memiliki sketsa khusus mengenai bersuci. Perbuatan bersuci atau taharah mengandung arti kebersihan. Bagi Ibn ‘Arabi, taharah ada yang bersifat maknawi (supra-sensory) dan ada pula yang bersifat inderawi-jasmani (sensory). Taharah yang bersifat maknawi atau disebut juga sebagai taharah spiritual adalah salah satu jendela untuk menghampiri Sang Pencipta. Kajian ini adalah suatu penelusuran hakikat bersuci, menggali makna rahasia etika bersuci dari pemikiran filsuf-mistikus Islam, Ibn ‘Arabi. Taharah dengan menggunakan air dan debu, pada hakikatnya adalah salah satu ritus hamba untuk mendekatkan diri kepada Allah, baik dengan jalan menjaga kebersihan jasmani, maupun dengan jalan menjaga kesucian spiritual dengan membersihkan perasaan, pikiran, dan hati. Kata Kunci: Etika, Taharah Spiritual, Ibn ‘Arabi
PENDAHULUAN Dalam pentas sejarah, dimanapun dan kapan pun, agama selalu bertalian erat dengan ritualitas yang mengatur hubungan manusia dengan manusia, hubungan manusia dengan dunia sekitar, dan hubungan spiritual manu sia dengan Tuhannya. Ritualitas tersebut sesung guhnya berkenaan dengan kewajiban-kewa jiban dan larangan-larangan Tuhan yang harus diemban penganutnya. Semuanya ada dalam term yang sama: sebuah misi dan prosesi “suci” untuk mencapai singgasana manusia “suci”. Pada zaman pra sejarah, pengejaran menuju sosok manusia suci pun dilakukan dengan
berbagai cara. Kajian Nickie Robert –penulis buku Western Society: Prostitution in Western Society,jugaseorangstripper(penaritelanjang) di Soho—tentang ritualitas suci manusia dalam peradaban kuno Timur Tengah, sekitar tahun 3000 SM. Ternyata didapati Sang Dewi Agung, pertama kali dikenal bernama Inanna, kemudian Ishtar, menebar pengaruhnya di daerah tersebut. Ia dipuja dengan ritualnya yang disebut pelacuran suci (Femina no. 21/ xxv, 1997: 5). Berbeda dengan masa sekarang, pada zaman itu ternyata pelacuran menjadi suatu prosesi suci ritus agama. Ritus peristiwa yang khas di atas, terutama di kalangan masyarakat tradisional, dianggap
JURNAL ETIKA DAN PEKERTI—Volume I, no.1, 2013
1
Ukun Kurnia
sebagai simbol atau mitos yang sarat makna. Terlihat, misalnya, hampir di setiap sistem budaya mengenal apa yang dalam khasanah antropologi disebut menstrual taboo. Keter aturan (kosmos) menstruasi dahulu dianggap sebagai simbol dan mitos penuh makna. Darahnya dianggap tabu, kotor, berbau mistik, dan kutukan (Umar, 1995: 70). Alhasil, hampir di setiap suku bangsa, agama, dan kepercayaan mempunyai perlakuan khusus terhadap mens truasi-cosmos yaitu diperlukannya ritus pen sucian. Semua agama memiliki corak khas dalam menggambarkan prosesi pensucian diri. Tidak terkecuali Islam, agama ini memiliki sketsa khusus mengenai bersuci. Namun usaha untuk mendiskusikan tentang ritual bersuci dalam Islam merupakan wilayah rawan yang penuh bahaya generalisasi yang berlebihan. Sebab sebagaimana diketahui, Islam terdiri dari berbagai sekte atau golongan, yang bisa saling bertentangan dan berbeda pendapat atau keyakinan satu sama lain. Tindakan bersuci (thaharah)–selanjutnya ditulis taharah—mengandung arti kebersihan. Bagi Ibn ‘Arabi, taharah ada yang bersifat maknawi (supra-sensory) dan ada pula yang bersifat inderawi (sensory); ada taharah hati, dan taharah anggota-anggota badan yang telah ditentukan. Taharah maknawi ialah mensucikan jiwa dari segenap karakter (akhlaq) buruk dan tercela, membersihkan akal dari segenap noda pemikiran spekulatif dan samar-samar (syubhat), dan menjernihkan mata budi (sirr) dari memandang selain Allah. Taharah inderawi yang bersifat lahiriah ada dua macam, yaitu pertama kebersihan badan seluruhnya (nazhafah), kedua membersihkan bagian-bagian tubuh yang telah ditetapkan dalam syariat, yang tata caranya tidak boleh ditambah atau dikurangi. Ada tiga istilah dari taharah inderawi, yaitu wudhu, mandi (gushl), dan tayamum (‘Arabi, 2002: 27-28). Merujuk pada pendapat Al-Ghazali, bahwa dengan adanya perintah bersuci secara lahiriah, harus diikuti dengan kewajiban bersuci secara batiniah (taharah spiritual). Bagi Al-Ghazali 2
JURNAL ETIKA DAN PEKERTI—Volume I, no.1, 2013
bersuci secara lahiriah saja tidak cukup, karena semata-mata untuk kesucian luarannya saja, yakni dengan menyiramkan air di badan dan membersihkan anggota luar belaka, maka harus dilanjutkan dengan membersihkan batin dari kotoran-kotoran dan daki-daki yang mem buat hati atau kalbu jadi rusak dan buruk (AlGhazali, 1996: 33). Taharah lahiriah dilakukan dengan mem bersihkan anggota badan dengan air dan debu yang memiliki syarat-syarat khusus. Melalui dua benda tersebut, menurut Ibn ‘Arabi secara maknawi dapat dilakukan juga bentuk taharah spiritualnya. Air mewakili rahasia kehidupan, dan debu mensimbolkan asalusul alami-kodrati. Wudhu dengan rahasia kehidupan adalah untuk menyaksikan Sang Maha Hidup dan Maha Lestari, sedangkan tayamum dengan asal-usul alamiah, induk dari segenap keturunan, tidak lain adalah untuk merenungkan dan memikirkan esendi diri agar manusia dapat memahami siapa yang menciptakan atau mewujudkannya (‘Arabi, 2002: 33). Begitulah Ibnu ‘Arabi menerangkan kerangka taharah spiritual dengan melakukan pengadaian dari sifat alami air dan debu. PujianterhadappemikiranIbn‘Arabidatang dari Sachiko Murata, menurutnya, sebagian besar kosmologi Islam mengingatkannya pada kosmologi Cina yang melukiskan alam semesta dalam batasan-batasan kerangka yin dan yang, juga bisa dipahami sebagai prinsipprinsip eksistensi yang bersifat aktif dan reseptif atau pria dan wanita (Murata, 1996: 28). Dalam pandangan Ibn ‘Arabi, air dan debu adalah rahasia kehidupan, yang pertama bersih, yang kedua tidak selalu bersih, yang kesatu benda cair yang mengalir, yang kedua benda padat yang tidak mengalir.
RIWAYAT HIDUP DAN PEMIKIRAN IBN ‘ARABI Ibn ‘Arabi bernama lengkap Muḥammad Ibn ‘Alī Ibn Muḥammad Ibn ‘Arabī al-Ṭā’ī alHātimī. Nama ini dibubuhkan oleh Ibn ‘Arabī
Taharah Spiritual
dalam Fihrist (katalog karya-karyanya). Orang-orang sezamannya, khususnya Ṣadr alDīn al-Qūnawī memanggilnya Abū ‘Abd Allāh. Banyak penulis pada umumnya menyebut dia sebagai Ibn ‘Arabī. Nama singkat ini telah lama dipakai oleh para penulis Barat, sebagian mungkin meniru gaya pengarang Turki dan Iran, namun singkatan ini juga berfungsi untuk membedakan dirinya dengan salah seorang tokoh Andalusia lain yang terkenal, yakni Abū Bakr Muḥammad Ibn ‘Arabī (10761148), kepala hakim Sevilla. Kelak Ibn ‘Arabī belajar kepada salah seorang sepupu dari tokoh ini (Hirtenstein, 2001: 43). Dari nama lengkap tersebut kemudian oleh orang-orang setelahnya terutama yang mengaguminya ia diberi gelar, antara lain: Muḥyi al-Dīn (Penghidup Agama) dan Syaikh al-Akbar (Doktor Maximus). Lalu banyak penulis yang menggabungkan dua gelar itu menjadi: Syaikh al-Akbar Muhyi al-Dīn Ibn ‘Arabī. Dalam banyak penulisan, tokoh ini seringkali hanya disingkat dengan Ibn al-‘Arabī (dengan Al), atau Ibn ‘Arabī saja (tanpa al). Ibn ‘Arabī dilahirkan pada 17 Ramadhan 560 H, bertepatan dengan 28 Juli 1165 M, di Murcia, Spanyol bagian tenggara. pada waktu kelahirannya Murcia diperintah oleh Muḥammad Ibn Sa’īd Ibn Mardanīsy. (Noer, 1995: 17). Sebagai anak pertama dan satusatunya lelaki, kelahirannya jelas merupakan kebahagiaan besar bagi orang tuanya. Tujuh tahun pertama kehidupannya tampaknya di habiskan ditengah konflik dan ketegangan lokal. Ayahnya bertugas sebagai tentara Ibn Mardanīsy, penguasa lokal yang mendirikan kerajaan kecil untuk diri sendiri dengann bantuan tentara bayaran Kristen. Dalam tradisi Rodrigo Diaz (El Cid), leluhurnya yang terkenal pada abad ke XI, Ibn Mardanīsy berdiam di Murcia dan Valencia dan oleh orang-orang Kristen dijuluki “Raja Serigala”. Dia beresekutu dengan raja-raja dari Castile dan Aragon dan selama 25 tahun membela kerajaannya melawan kekuatan baru dari al-Muwaḥhị dīn, meskipun kekuasaannya semakin surut ketika Ibn ‘Arabī lahir.
Dinasti al-Muwaḥhị dīn berasal dari sukusuku Berber dari pegunungan Atlas Maroko, pengikut dari pemimpin keagamaan Ibn Tumart, dan muncul pertama kalinya di tahun 1145. Menjelang tahun 1163 mereka menyerbu Afrika Utara sampai Tripoli. Sepanjang 20 tahun sebelum kelahiran Ibn ‘Arabī, al-Muwaḥhị dīn telah membangkitkan dan merekonsolidasi persatuan muslim di Andalusia, membangun benteng pertahanan untuk melawan gangguan dari orang-orang Kristen di utara. Mereka menjadikan Sevilla sebagai ibukota lokal dan membangun stabilitas di seluruh daerah Afrika Utara (Hirtenstein, 2001: 44). Pada tahun 1172 Ibn Mardanīsy wafat, dan berakhirlah perlawanan terhadap kekuasaan alMuwaḥhị dīn. Ayah Ibn ’Arabī bersama-sama dengan rombongan pengikut Ibn Mardanīsy yang terkemuka, tampaknya mengalihkan kesetiaannya pada Sultan al-Muwaḥhị dīn, Abū Ya’qūb Yūsuf I dan menjadi salah satu penasehat militernya. Pada tahun itu juga semua keluarganya pindah ke Sevilla, pusat kosmopolit yang ramai dan makmur, dan menjadi ibukota kerajaan al-Muwaḥhị dīn di Spanyol. Program-program pembangunan baru yang dibiayai oleh Sultan; seperti me mulihkan kembali sistem air Romawi kuno, membuat Sevilla menjadi kota utama di ne geri ini. Kota ini menjadi titik temu antara berbagai ras dan kultur di mana penyanyi serta penyair bergaul dengan para filosof dan teolog, dan para wali berdampingan dengan para pendosa. Jadi, sejak usia 7 tahun Ibn ’Arabī tumbuh di lingkungan yang penuh dengan ide-ide penting pada masa itu, ilmu pengetahuan, agam dan filsafat. Ketika komunikasi massa sebagaimana kita kenal sekarang belum ada, lingkungan semacam ini menjadi unsur penting dalam perkembangan dirinya. Sevilla abad ke XII pada masa Ibn ’Arabī masih muda bisa disamakan dengan gabungan kota London, Paris dan New York di masa sekarang –sebuah campuran yang luar biasa dari berbagai orang, bangunan dan peristiwa (Hirtenstein, 2001: 47). JURNAL ETIKA DAN PEKERTI—Volume I, no.1, 2013
3
Ukun Kurnia
Sebagian besar dari kehidupan awalnya dihabiskan seperti lazimnya anak-anak muda yang baru tumbuh. Pendidikannya adalah pendidikan standar untuk keluarga muslim yang baik, meskipun tampaknya ia tidak belajar di sekolah resmi, hampir bisa dipastikan ia mendapatkan pelajaran privat di rumah. Dia diajari al-Qur’ān oleh salah seorang tetangganya, Abū ‘Abdallāh Muḥammad al-Khayyat, yang kemudian sangat ia cintai dan tetap menjadi sahabat dekatnya selama bertahun-tahun (Hirtenstein, 2001: 51). Sejak menetap di Sevilla ketika berusia delapan tahun, Ibn ‘Arabī memulai pendidikan formalnya. Di kota pusat ilmu pengetahuan itu, di bawah bimbingan sarjana-sarjana terkenal mempelajari al-Qur’ān dan tafsirnya, Ḥadīṣ, fiqh, Teologi dan Filsafat Skolastik. Sevilla adalah suatu pusat sufisme yang penting pula, dengan sejumlah guru sufi terkemuka yang tinggal di sana (Noer, 1995: 18). Selama menetap di Sevilla, Ibn ’Arabī muda sering melakukan perjalanan ke berbagai tempat di Spanyol dan Afrika Utara. Kesempatan itu dimanfaatkannya untuk mengunjungi para sufi dan sarjana terkemuka. Salah satu kunjungannya yang sangat mengesankan ialah ketika berjumpa dengan Ibn Rusyd (w. 595 H) di Kordova (Noer, 1995:18). Ibn ’Arabī dikirim oleh ayahnya untuk bertemu dengan filosof besar Ibn Rusyd yang berasal dari keluarga yang sangat terpandang di Kordova. Ibn Rusyd, dari semua tokoh abad pertengahan Spanyol, mungkin orang yang paling terkenal di Eropa, sebab ia memperkenalkan kembali karya-karya Aristoteles—astronomi, meteorologi, pengobat an, biologi, etika dan logika—dan ulasanulasannya berpengaruh luar biasa terhadap Eropa ketika orang-orang Eropa kemudian menemukan kembali Aristoteles (Hirtenstein, 2001: 74). Percakapan Ibn ’Arabī dengan filosof besar ini membuktikan kecemerlangan yang luar biasa dalam wawasan spiritual dan intelektual. Percakapan tersebut menjelaskan perbedaan dan pertentangan asasi antara jalan akal logis 4
JURNAL ETIKA DAN PEKERTI—Volume I, no.1, 2013
dan jalan imajinasi gnostik. Fakta bahwa sufi muda ini mengalahkan filosof peripatetik itu dalam tukar pikiran tersebut dengan tepat menunjukkan titik buhul pemikiran filosofis dan pengalaman mistik Ibn ’Arabī yang mem perlihatkan bagaimana mistisisme dan filsafat berhubungan satu sama lain dalam pemikiran metafisikanya. Pengalaman-pengalaman visioner mistiknya berhubungan erat dan disokong oleh pemikiran filosofisnya yang ketat. Ibn ’Arabī adalah seorang mistikus yang sekaligus seorang guru filsafat peripatetik, sehingga ia bisa memfilsafatkan pengalaman spiritual batinnya secara tepat ke dalam suatu pandangan dunia metafisis yang sangat kompleks. Pada usia relatif muda, mungkin 16 tahun, Ibn ’Arabī menjalani pengasingan diri (khalwat). Menurut kisah yang ditulis lebih dari 150 tahun setelah wafatnya, diceritakan bahwa Ibn ’Arabī pada suatu ketika mengikuti pesta makan bersama teman-temannya dan sebagaimana kebiasaan di Andalusia, setelah hidangan daging lalu disajikan anggur. Saat dia hendak mulai minum segelas anggur, tiba-tiba dia mendengar seruan, “Wahai Muḥammad, bukan untuk ini engkau diciptakan!” karena ketakutan mendengar suara yang tegas ini, dia lari ke sebuah pemakaman di luar kota Sevilla. Di sana dia menjumpai reruntuhan yang mirip sebuah gua. Selama empat hari ia tetap tinggal di sana sendirian melakukan khalwat, berzikir dan hanya keluar saat shalat (Hirtenstein, 2001: 67). Ibn ’Arabī tampaknya di takdirkan untuk mengikuti jejak ayahnya. Ia bertugas dalam pasukan tentara Sultan al-Muwaḥhị dīn selama beberapa waktu dan dijanjikan kedudukan sebagai asisten untuk gubernur Sevilla. Dia sendiri menyebut periode kehidupan ini sebagai periode kejahilan. Periode kejahilan atau kebodohan ini diakhiri oleh pengalaman pencerahan (Hirtenstein, 2001: 52). Setelah pertemuannya dengan Ibn Rusyd dan mengalami pencerahan spiritual, pada tahun 580 H (1184 M), Ibn ’Arabī mengundurkan diri dari ketentaraan dan segala urusan duniawi yang dimilikinya. Peristiwa terakhir yang
Taharah Spiritual
memberinya keputusan bulat adalah saat ia dan panglima al-Muwaḥhị dīn bersama-sama shalat di Masjid Agung Kordova. Alasan aku menolak dan mengundurkan diri dari ketentaraan dan alasanku untuk menempuh jalan (Tuhan) dan kecenderunganku terhadap jalan itu adalah sebagai berikut: Aku pergi bersama tuanku, Panglima (al-Muwaḥhị dīn) Abū Bakr Yūsuf bin Abd al-Mu’min bin ‘Alī, menuju ke Masjid Agung Kordova dan aku melihat dia bersimpuh, sujud dengan rendah hati memohon kepada Allah. Kemudian pikiran melintas (khātir) menerpaku (sehingga) aku berkata pada diriku sendiri, “jika penguasa negeri ini begitu pasrah dan sederhana di hadapan Allah, maka dunia ini tidak ada artinya.” Lalu aku meninggallkannya pada hari itu juga dan tidak pernah melihatnya lagi. Sejak itu aku mengikuti jalan ini (Hirtenstein, 2001: 67). Dalam periode sepuluh tahun sejak peng unduran dirinya dari pemerintahan al-Mu waḥhị dīn dan memasuki jalan rohani, Ibn ’Arabī melakukan perjalanan yang menandai masa instruksi dalam kebijaksanaan kenabian. Ia memulai sebagai Īsāwī, kemudian menjadi Mūsāwī, dan setelah bertemu dengan Hūd dan semua nabi, ia akhirnya sampai pada warisan Muḥammad SAW. Terkadang proses ini berada di bawah bimbingan para guru spiritual, terkadang melalui campur tangan langsung dari para nabi itu sendiri. Ibn ’Arabī dengan jelas melihat seluruh proses perkembangan spiritual dan kewalian dari segi kebijaksanaan khusus dari para nabi dan rasul. Baginya, kebijaksanaan-kebijaksanaan itu tidak lain adalah ekspresi integral dan menyatukan kebijaksanaan Muḥammad. Wa risan kenabian ini membentuk basis riil dari semua tulisannya. Ia mulai sebagai pengikut Īsā, menekankan pada penarikan diri, dan kemudian di dalam jalan spiritual Mūsā , saat cahaya wahyu diturunkan. Setelah melalui tempat-tempat wahyu diwakili oleh masingmasing nabi, ia akhirnya sampai pada warisan sempurna dari Muḥammad (Hirtenstein, 2001: 120).
Ketika ayahnya meninggal dunia, lalu disusul ibunya beberapa bulan kemudian, Ibn ’Arabī menerima kenyataan bahwa ia harus merawat kedua saudarinya, yakni Umm Sa’d dan Umm ‘Alā’, sehingga ia harus meninggalkan kehidupan spiritualnya (Addas, 2004: 131). Desakan duniawi juga muncul, ketika terjadi ketegangan politik antara al-Muwaḥhị dīn di Sevilla dan Raja Alfonso VIII dari Castile. Ibn ’Arabī mendapat tawaran pekerjaan dalam pasukan pengawal Sultan. Karena teringat ucapan Sāliḥ al-Adawī, Ibn ’Arabī menolak tawaran itu. Kemudian ia meninggalkan Sevilla membawa kedua saudarinya menuju Fez dan tinggal di sana untuk beberapa tahun. Setelah kedua adiknya mendapatkan suami, tanggungjawab duniawinya selesai dan ia kembali mencurahkan diri pada jalan spiritual (Hirtenstein, 2001: 142-143). Fez tampaknya menandai periode keba hagiaan yang luar biasa dalam kehidupannya, di mana ia bisa mengabdikan dirinya secara penuh kepada kegiatan spiritual dan bergaul dengan orang-orang yang sepaham dan memiliki aspirasi yang sama. Dia tidak hanya bertemu dengan para wali yang merupakan pewaris Muḥammad—dia sendiri juga semakin jauh masuk ke dalam warisan ini. Di Masjid al-Azhar di Fez ia memasuki tingkatan baru dari visi di dalam bentuk cahaya –visi cahaya ini adalah sejenis rasa pendahuluan dari perjalanan cahaya yang besar. Di tahun berikutnya, pada usia 33 tahun, Ibn ’Arabī mengalami suatu perjalanan yang luar biasa dari semuanya, yaitu pendakian (mi’rāj) yang mencerminkan perjalanan malam Nabi Muḥammad yang terkenal. Perjalanan ini kemudian tertuang dalam Kitāb al-Isrā’. (Hirtenstein, 2001: 148-149). Setelah dianugerahi visi yang paling terang tentang takdirnya, Ibn ’Arabī kembali ke semenanjung Liberia untuk terakhir kalinya pada tahun 1198. Di bulan Desember tahun itu ia berada di Kordova daat pemakaman Ibn Rusyd. Kemudian dari Kordova, bersama sahabat dekatnya al-Habsyi mereka menuju ke Granada dan kembali bertemu dengan JURNAL ETIKA DAN PEKERTI—Volume I, no.1, 2013
5
Ukun Kurnia
‘Abdallāh al-Mawrūrī. Pada bulan Januari 1199 di Granada Ibn ’Arabī mendapat visi yang memperkuat makna dari penutup para wali (Hirtenstein, 2001: 161). Dari Granada mereka menuju Murcia. Setelah dua tahun berada di negeri kelahirannya ini, mereka pergi ke Marakesy. Pada awal 1201 (597) dari kota ini mereka menuju Bugia lagi, setelah itu berkelana ke Tripoli, Tunisia, Mesir dan kemudian menuju Makkah (Usmani, 1998: 30). Di akhir perjalanan panjangnya dari barat, Ibn ’Arabī akhirnya tiba di Makkah pada pertengahan 1202. Di kota ini namanya mencuat, para tokoh dan ilmuwan pun sering menemuinya. Di antara mereka adalah Abū Syujā’ al-Imām al-Muwakkil yang mempunyai seorang putri cantik dan cerdas bernama Niẓām. Gadis ini memunculkan inspirasi pada diri Ibn ’Arabī sehingga lahirlah karyanya Tarjumān al-Asywāq (Usmani, 1998: 31). Menurut Ibn ’Arabī dalam mukadimah kar yanya itu, secara lahiriah karya itu merupakan untaian puisi cintanya kepada gadis rupawan itu, tapi sebenarnya karya itu merupakan ungkapan cintanya kepada Sang Pencipta (‘Arabi, 1994: 38-39). Selama dua tahun di Makkah (1202-1204), Ibn ’Arabī sibuk dalam penulisan. Karyakaryanya pada periode ini adalah: Misykāt al-Anwār, Hilyat al-Abdāl, Rūh al-Quds dan Tāj al-Rasā’il. Namun karyanya yang paling monumental adalah Futuḥāt al-Makkiyyah, yang diklaimnya merupakan hasil pendidikan langsung dari Tuhan. Penulisan kitab yang menjadi masterpiece-nya ini berawal dari peristiwa saat ia bertawaf di Ka’bah, di mana dia bertemu dengan figur pemuda misterius yang memberinya pengetahuan tentang makna esoterik dari al-Qur’ān . Di samping itu, sebuah visi tentang nabi Muḥammad melengkapi perjalanan rohaninya menuju puncak, yakni sebagai penutup kewalian (Hirtenstein, 2001: 198-202). Pada periode Makkah ini juga ter jadi pertemuan antara dia dengan Syaikh Majd al-Dīn Ishāq bin Yūsuf dari Anatolia (daerah Rum). Syaikh ini adalah seorang tokoh 6
JURNAL ETIKA DAN PEKERTI—Volume I, no.1, 2013
spiritual penting yang menjadi penasehat raja di Istana Seljuk, yang suatu saat nanti akan menjadi ayah dari Ṣadr al-Dīn al-Qūnawī, salah seorang tokoh kunci di antara muridmurid Syaikh al-Akbar (Hirtenstein, 2001: 205). Pada tahun 1204 (601 H) Ibn ’Arabī meninggalkan Makkah menuju Baghdad dan tinggal selama 12 hari, lalu melanjutkan perjalanan ke Mosul. Selama tinggal di sini ia berhasil menyelesaikan tiga karya, yaitu Tanazzulāt al-Mawṣiliyyah, Kitāb al-Jalāl wa al-Jamāl, dan Kitāb Kunh mā lā budda li al-Murīd Minhu. Dari Mosul, selama tahun 1205 (602 H) mereka (Ibn ’Arabī dan Habasyī) berangkat ke utara melalui Dyarbakir dan Malatya sampai Konya. Pada tahun ini Ibn ’Arabī menyusun Risālat alAnwār (Risalah Cahaya). Dan untuk pertama kalinya berhubungan dengan Awhad al-Dīn alKirmānī, seorang guru spiritual dari Iran. Pada tahun 1206 Ibn ’Arabī menuju ke Yerussalem lalu Hebron (di sini berhasil menulis Kitāb alYaqīn) dan menunaikan ibadah haji di Makkah pada bulan Juli 1206. Menjelang 1207 mereka kembali berada di Kairo, berkumpul bersama sahabat lama Ibn ’Arabī dari Andalusia, yaitu al-Khayyāṭ (Addas, 2004: 54) dan al-Mawrūrī (Austin, 1994: 234-236). Akan tetapi sayangnya lingkungan di Kairo tidak simpati pada Ibn ’Arabī, karena ajaranajarannya dianggap menyimpang dan dituduh melakukan bid’ah. Mereka merasa tertekan dengan keadaan ini, pada akhir tahun 1207 Ibn ’Arabī kembali ke Makkah untuk melanjutkan belajar Ḥadīṣ dan juga mengunjungi keluarga Abū Syujā’ bin Rustām. Setelah tinggal di Makkah sekitar satu tahun lalu berjalan lagi ke utara menuju Asia kecil. Tiba di Konya pada tahun 1210 (607 H) dan disambut baik oleh penguasa Kay Kaus dan orang-orang di sana (Austin, 1994: 43). Pada tahun 1212 (609 H) Ibn ’Arabī kembali mengunjungi Baghdad. Di sana dia bertemu dengan guru sufi terkenal Syihāb alDīn ‘Umar al-Suhrawardī, pengarang kitab ‘Awārif al-Ma’ārif (Austin, 1994: 46). Pada
Taharah Spiritual
periode antara 1213-1221 Ibn ’Arabī berkelana lagi ke Aleppo, Makkah, Anatolia, Malatya dan kembali ke Aleppo lagi. Sewaktu tinggal di Malatya Ibn ’Arabī sempat menulis Iṣtị lāḥāt al-Shūfiyyah. Pada tahun 1221 di Aleppo, Majd al-Dīn Ishāq wafat dan Ibn ’Arabī mengambil tugas membesarkan dan mendidik putra Majd al-Dīn, Ṣadr al-Dīn Qūnawī yang saat itu berusia sekitar 7 tahun. Tidak berapa lama kemudian sahabatnya al-Habasyī juga wafat (Hirtenstein, 2001: 249). Pada tahun 1223 (620 H) Ibn ’Arabī menetap di Damaskus hingga akhir hayatnya, kecuali sekedar kunjungan singkat ke Aleppo pada tahun 1231. Perjalanan yang panjang, hasil karya yang luar biasa, kefakiran dan kemiskinan yang menjadi panggilan hidupnya, semua telah menggerogoti kesehatannya. Kini dia amat terkenal dan dihormati di manamana. Penguasa Damaskus al-Malik al-‘Adl menawarinya untuk tinggal di istana. Di sini Ibn ’Arabī merampungkan karya besarnya Futuḥāt al-Makkiyyah dan juga Fuṣūṣ alHikam sebagai ikhtisar ajaran-ajarannya. Selain itu menyelesaikan puisinya Dīwān alAkbar (Austin, 1994: 50-51). Adapun Ṣadr al-Dīn al-Qūnawī yang telah dibesarkan dan dididiknya selalu mendampinginya dengan setia, bersama dengan Awhad al-Dīn Kirmānī, sahabat Ibn ’Arabī sekaligus guru Qūnawī. Ibn ’Arabī wafat di Damaskus pada 16 November 1240 (28 Rabi’ul Tsani 638 H) dalam usia 76 tahun. Qaḍi ketua di Damaskus dan dua orang murid Ibn ’Arabī melakukan upacara pemakamannya (Noer, 1995: 24).
Karya-karya Ibn ‘Arabī Dalam catatan sejarah pemikiran umat Islam, Ibn ‘Arabī adalah yang memberi konstribusi besar terhadap trasisi intelektual secara tertulis. Separuh akhir dari kehidupannya telah menghasilkan ratusan karya yang mempunyai nilai sastra, intelektual dan spiritual yang tidak ternilai harganya. Memang ia adalah pemikir yang paling tinggi tingkat produktifitasnya
dibanding pemikir lain. Namun sampai saat ini belum ada jumlah pasti yang disepakati para peneliti atas karya-karya Ibn ‘Arabī. Berbagai angka telah disebukan oleh para sarjana. Louis Massingnon, seorang orientalis Perancis, mengemukakan bahwa Ibn ‘Arabī menulis sekitas 300 karya. Sementara C. Brockelman mencatat tidak kurang dari 239 karya. Osman Yahya, dalam karya bibliografinya yang ber bahasa Perancis, menyebutkan 846 judul dan menyimpulkan bahwa hanya sekitar 700 yang asli dan hanya 400 yang masih ada. Ibn ‘Arabī sendiri dalam Ijāzah li al-Malik al-Muzaffar menyebutkan ada 289 judul (Noer, 1995: 25). Menurut Hussen Nashr, karya-karya Ibn ‘Arabī beragam ukuran dan isinya: dari uraianuraian pendek dan surat-surat yang hanya terdiri dari beberapa halaman sampai karya ensiklopedik besar; dari risalah metafisika yang abstrak sampai puisi-puisi sufi yang mengandung aspek kesadaran ma’rifah yang muncul dalam bahasa cinta. Karya-karya itu mencakup persoalan metafisika, kosmologi, pesikologi, penafsiran terhadap al-Qur’an dan semuanya bertujuan menjelaskan maknamakna esoterik (Nasr, 1976: 97) Menurut Stephen Hirtenstein, Ibn ‘Arabī menulis tidak kurang dari 350 buku. Karyakarya utamanya disebutkan sebanyak 30 buah, termasuk di dalamnya –masterpiece– Futuḥāt al-Makkiyyah dan Fuṣūṣ al-Hikam (Hirtenstein, 2001: 353-360). Futuḥāt al-Makkiyyah adalah karya Ibn ‘Arabī yang menjadi perbedebatan di par lemen Mesir. Di dalamnya berisi tentang kehidupan spiritual para sufi beserta ajaranajarannya, prinsip-prinsip metafisika, dan ilmu-ilmu keagamaan seperti tafsīr al-Qur’ān, Ḥadīṣ dan fiqh. Menurut pengakuan Ibn ‘Arabī , karya ini merupakan hasil pendiktean dari Tuhan melalui malaikat-Nya. Mulai di susun di Makkah pada tahun 1202 (598 H) setelah Ibn ‘Arabī menerima visi tentang pemuda dan selesai pada tahun 1231 (629 H) untuk versi pertama, dan pada tahun 1238 (636 H) untuk versi kedua. Dalam edisi lama kitab ini setebal 2.580 halaman. Dan atas JURNAL ETIKA DAN PEKERTI—Volume I, no.1, 2013
7
Ukun Kurnia
prakarsa Departemen Ilmu Pengetahuan dan Kebudayaan Mesir diterbitkan kembali sebanyak 18.000 halaman/37 volume dalam 4 jilid dengan pen-taḥqīq Osman Yahia dan disunting oleh Ibrahim Madkour (Noer, 1995: 25). Karya monumental kedua adalah Fuṣūṣ al-Hikam (Untaian Permata Kebijaksanaan). Diakui oleh Ibn ‘Arabī, karya ini ditulis ber dasarkan perintah Nabi SAW untuk diajarkan pada umat manusia. Terdiri dari 27 bab, setiap bab mengajarkan tentang kebijaksanaan yang dimiliki setiap Nabi, dimulai dari Nabi Adam dan ditutup dengan Nabi Muḥammad. Secara keseluruhan kitab ini mempresentasikan ke bijaksanaan umat yang berbeda-beda menuju kebijaksanaan universal yang dicakup oleh kenabian Muḥammad. Karya ini dianggap sebagai intisari dari ajaran Ibn ‘Arabī , yang ditulis pada tahun 1229 (627 H) di Damaskus, sekitar 10 tahun sebelum ia wafat (Noer, 1995: 25). Selain dua karya utama tersebut, berikut adalah karya-karyanya yang terhimpun dalam beberapa kategori. Karya yang berisi tentang metafisika dan kosmologi ada tiga buah, yaitu Insyā’ al-Dawā’ir, Uqlah al-Mustawfiẓ dan Tadbīrāt al-Ilāhiyyah. Suatu kumpulan karya Ibn ‘Arabī yang berisi tentang pengalaman-pengalaman spiritual dan petunjuk-petunjuk abstrak maupun praktis bagi penempuh jalan ruhani, tergabung dalam Rasā’il Ibn al-‘Arabī (Hirtenstein, 2001: 353-360). Diantaranya adalah kitab-kitab sebagai berikut: 1. Kitāb al-Isrā’ (Perjalanan Malam). Ditulis pada tahun 1198 (594 H), menggambarkan pendakian mistik dan pertemuan dengan realitas spiritual nabi di tujuh lapis langit. 2. Ḥilyat al-Abdāl (Perhiasan Para Pengganti). Ditulis pada tahun 1203 (599 H) di Thaif. Mengajarkan empat penopang jalan yaitu : penyendirian, diam, lapar dan terjaga. 3. Risālat al-Anwār (Risalah Cahaya-cahaya). Ditulis pada tahun 1205 (602 H) di Konya untuk memenuhi permintaan seorang sahabat. Mendeskripsikan persoalanpersoalan spiritual mengenai pendakian 8
JURNAL ETIKA DAN PEKERTI—Volume I, no.1, 2013
non-stop melalui berbagai tingkatan menuju kesempurnaan manusia. 4. Kitāb al-Fanā’ fī al-Musyāhadah. Ditulis di Baghdad pada tahun 1212 (608 H). merupakan pemikiran mendalam atas surat ke 98. Mendeskripsikan pengalaman visi mistik. 5. Iṣtị lāhāt al-Ṣūfiyyah. Ditulis pada tahun 1218 (615 H) di Maltya. Terdiri dari 199 definisi singkat dari ekspresi penting yang lazim digunakan di antara hamba-hamba Allah. 6. Karya-karya mengenai biografi para sufi yang didup di zamannya adalah Rūḥ alQuds (Ruh-ruh Suci) dan Al-Durrah alFākhirah. Kedua kitab ini diterjemahkan dalam satu buku oleh R.W.J Austin dan diberi judul Sufis of Andalusia. 7. Tarjumān al-Asywāq adalah karya Ibn ‘Arabī yang mengundang penafsiran negatif tentangnya, karena dianggap sebagai ekspresi dari cinta nafsu yang dipersembahkan untuk Niẓam. Tetapi kemudian sebagai pembelaan bahwa itu merupakan ekspresi cinta terhadap Tuhan, Ibn ‘Arabī menulis Dzakhā’ir al-‘Alaq. 8. Kitāb al-Alīf, Kitāb al-Bā’, Kitāb alYā’, adalah seni karya-karya ringkas, menggunakan sistem penomoran alfabetis. Dimulai di Yerusalem tahun 1204 (602 H), seri kitab ini membahas prinsip-prinsip Ilahiyah yang berbeda-beda seperti: ketunggalan (Aḥadiyyah), kasih (Raḥmān) dan cahaya (Nūr). 9. Fihrist al-Mu’allafah adalah katalog karya tulis yang dibuat Ibn ‘Arabī sendiri untuk karya-karyanya yang memuat 248 karya. Ditulis pada tahun 1229/1230 (627 H) di Damaskus untuk muridnya Ṣadr al-Dīn al Qūnawī. Selain karya-karya di atas, Ibn ‘Arabī me miliki berbagai karya lain yang akan terlalu panjang untuk dituliskan semua. Beberapa di antaranya adalah sebagai berikut: - Maṣādiq al-Asrār al-Qudsiyyah (Kontem plasi Misteri Kudus)
Taharah Spiritual
- - - - -
Anqa’ Mughrib (Burung Anqa’ di Barat) Misykāt al-Anwār (Relung Cahaya) Mawāqi’ al-Nujūm (Letak Bintang-bintang) Taj al-Rasā’il (Mahkota Risalah-risalah) Kitāb Jalāl wa al-Jamāl (Kitab Keagungan dan Keindahan) - Kitāb Tajalliyāt (Kitab Teofani), dan - Awrād al-Usbū’ (Doa untuk Seminggu).
ETIKA DALAM TAHARAH SPIRITUAL Istilah Etika dalam arti yang sebenarnya ber arti “filsafat mengenai bidang moral”. Jadi etika merupakan ilmu atau refleksi sistematis mengenai pendapat-pendapat, norma-norma, dan istilah-istilah moral (Sunoto, 1990: 156). Dalam Islam, ada istilah yang berkaitan dengan moral, yaitu akhlak. Ketika mema parkan definisi akhlak, maka itu merujuk keadaan jiwa (nafs), dimana dengan nafs tersebut, manusia melakukan perbuatannya tanpa pertimbangan dan usaha terlebih dahulu. Pada sebagian manusia, akhlak menjadi insting, watak, atau karakter, sedangkan pada sebagian lain, akhlak tidak terbentuk kecuali dengan latihan dan kesungguhan. Contoh untuk kategori akhlak pertama adalah sifat kedermawanan yang terdapat pada sebagian manusia. Sifat ini tumbuh tanpa adanya latihan dan usaha, demikian juga sifat-sifat lain seperti keberanian, kesabaran, adil, rendah hati, dan sifat-sifat terpuji lainnya. Namun pada sebagian manusia lainnya, sifat-sifat tersebut dapat di miliki setelah melakukan latihan sungguhsungguh. Pada sebagian manusia, ada juga yang tetap pada kebiasaannya dan bersikap dengan perilakunya (‘Arabi, 2004: 9-10). Selanjutnya Jalaludin Rahmat (2003: 103), mengaitkan konsep suci dengan wara’. Baginya wara’ adalah nilai kesucian diri. Orang Islam mengukur keutamaan, makna, atau keabsahan gagasandantindakan,dansejauhmanakeduanya memproses penyucian diri. Berbahagialah orang yang menyucikan dirinya, dan celakalah orang mencemari dirinya (QS. 91: 9-10).
Kebersihan batin dapat dicapai dengan membersihkan jiwa dari sifat-sifat buruk seperti keangkuhan, riya’, hasad (dengki), cinta buta kepada dunia dan selain Allah. Batin yang bersih juga bisa diraih dengan menghiasi perbuatan dengan akhlak-akhlak mulia seperti tawadhu (rendah hati), haya’ (rasa malu), ikhlas, kedermawanan, dan lain sebagainya. (Haddad, 2001: 145). Benda yang bisa digunakan untuk bersuci (taharah lahiriah) adalah air dan debu. Se hingga, menurut Ibn ‘Arabi, taharah spi ritual juga dapat dicapai melalui salah satu dari dua benda tersebut, baik dengan rahasia kehidupan (air), maupun dengan asal usul sosok alami-kodrati (debu). Makna Air Al-Ghazali (2003: 43) mengemukakan bah wa ketika bersuci, hendaknya seseorang me mikirkan beningnya air, kelembutan, daya menyucikan, dan daya membersihkannya, karena sesungguhnya Allah menjadikan air sebagai berkah (manfaat). Tercantum dalam Alquran surat Qaf ayat 9, Allah berfirman: “dan Kami (Allah) menurunkan dari langit air yang banyak manfaatnya.” (QS. 50: 9). Lebih lanjut Al-Ghazali menerangkan, ketika seseorang membasuh organ-organ yang telah ditetapkan untuk dibersihkan agar selalu mengingat Allah, sebagaimana perkataannya: “Hendaklah kesucianmu bersama Allah, bagaikan air yang bening. Basuhlah wajah hatimu dari melihat selain Allah. Basuhlah tanganmu dari meminta pertolongan kepada selain Dia. Basuhlah kedua kakimu dari pergi karena selain Dia. Dan pujilah Allah atas agama-Nya yang diilhamkan kepadamu.” (Al-Ghazali, 2003: 43).
Simbol air (al-ma’) bagi Ibn ‘Arabi adalah segala yang hidup bergantung pada air. Segala sesuatu berjalan selaksa air yang mengalir, sehingga segala sesuatu dapat menjalani kehidupan tanpa beban dan kesulitan (‘Arabi, 2003a: 101). Ibn ‘Arabi mengistilah air juga bermakna cairan yang sudah terhaluskan dan tertapis JURNAL ETIKA DAN PEKERTI—Volume I, no.1, 2013
9
Ukun Kurnia
(menjadi rintik-rintik hujan) yang sangat bening termurnikan (talkhis), yaitu air hu jan. Air ini berasal dari uap (awan) yang padat, dan penapisannya telah menghapus bersih semua kaitannya dengan kepadatan. Seperti itulah ilmu syariat yang laduni, yang diperoleh melalui disiplin asketis, perj uangan ruhaniah dalam pemurnian diri (talkhis). Melalui air dan pengetahuan seseorang tersucikan dalam bermunajah dengan Tuhan. Makna lain air yang tidak mencapai tingkat kebeningan seperti yang pertama ialah air yang bersumber dari sungai. Sungai bersumber dari mata air yang mengalir dari batu-batuan, kemudian berbaur dengan kotoran yang ter dapat pada bongkahan tempat ia keluar atau mengalir. Rasa air sungai berbeda-beda, tergan tung tempatnya berasal dan paparan kotoran (partikel) apa yang menyertainya. Sebagian terasa manis dan segar (adzbun furat), se bagian lainnya terasa asin dan bergaram, juga ada yang terasa pahit, sepat, dan kental. Hal ini tentu saja berbeda dengan kondisi air hujan yang sama semuanya di semua tempat, air hujan umumnya bening, murni, segar dan enak diminum. Sifat air sungai yang beragam ini mengindikasikan bahwa dalam diri seseorang akan timbul pencemaran yang setara dengan yang terjadi pada bongkahan tempat berasal air sungai tersebut (‘Arabi, 2002: 40). Ibn ‘Arabi memberi perumpamaan, jika air najis menyentuh suatu barang, maka air itu akan mempengaruhi, sehingga barang tersebut tidak dapat digunakan, sedangkan jika air suci dan mensucikan membasuh barang najis, maka sifat najis dari barang tersebut akan lenyap. Demikian halnya de ngan keraguan yang mengenai hati yang iman dan wawasannya lemah. Kemudian, jika suatu barang mengenai lautan, maka akan karang di dalamnya, demikian juga dengan keadaan hati yang kukuh (istiqomah) yang tertopang pada ilmu dan ruh suci (‘Arabi, 2002: 44).
10
JURNAL ETIKA DAN PEKERTI—Volume I, no.1, 2013
Makna Debu Selain air, benda yang digunakan untuk bertaharah adalah debu. Debu (at-turab) bagi Ibn ‘Arabi dalam taharah spiritual bermakna bahwa semua yang berada di atas debu terlihat seperti debu. Seseorang yang bersifat debu tidak peduli dengan pujian orang lain dalam melaksanakan atau meninggalkan suatu perbuatan. Debu bisa tercampur pada hal positif atau negatif, debu selalu tercampur oleh kebaikan, juga keburukan, keimanan, dan juga kekafiran. Dalam hal positif, debu jika dilempari dengan kotoran atau sesuatu yang menjijikan, justru akan memberikan bunga dan buah-buahan, sehingga seseorang yang bersifat dan berakhlak seperti debu, maka akan menghantarkan seseorang itu kepada keikhlasan (‘Arabi, 2003a: 101). Dalam pengetian negatif, berkalang debu (tahta ats-tsara) disebut juga berlumur harta. Ini adalah metaphor untuk menggambarkan keadaan di puncak kehinaan (‘Arabi, 2003a: 72). Sesungguhnya penciptaan dari debu (tanah) adalah akibat dari sesuatu yang diperingatkan Nabi Muhammad SAW dalam sabdanya, “aku dan Adam adalah nabi-nabi yang diciptakan dari air dan tanah liat”. Mengenai penciptaan jasad Adam atau manusia, Allah dalam firman-Nya menyebut asal dengan istilah yang berbeda-beda, tetapi hakikatnya sama, yaitu dari sesuatu yang hina. Allah menciptakan Adam dari debu, pada firman lain menyebut dari ath-thin, yaitu campuran antara air dan debu, pada ayat lainnya manusia diciptakan dari air mani, yaitu air yang sudah berubah baunya dan bagian dari darah, Allah juga menyebut bahwa manusia diciptakan dari shalshal al-fakhkhar (tanah tembikar) bagian dari api (‘Arabi, 2003b: 186). Tayamum adalah upaya mencari tanah yang bersih, entah tanah itu benda yang disebut tanah, debu, pasir, batu, atau zarnikh. Taharah spiritual dalam tayamum adalah upaya mencari tanah yang terinjak-injak (baca: rendah), per juangan menuju kehambaan mutlak. Keham baan adalah kehinaan, karena manusia itu
Taharah Spiritual
hina, maka manusia harus melakukan peng hambaan (ibadah) kepada Sang Pencipta. Jadi, taharah dimaksud adalah mengisi jati diri kemanusiaan dengan kehinaan, permohonan, dan ketaatan mengikuti segenap aturan dan batasan yang ditetapkan Allah, serta tunduk sujud kepada keMahabesaran Allah. Debu disebutkan sebagai unsur yang paling rendah, bergumulnya hamba dengan hakikat asalnya akan menyucikannya dari hadas (kekotoran) yang menodai tingkat kehambaan ini. Perlu juga dicermati bahwa kondisi yang menuntut untuk bertayamum timbul karena tidak adanya air, sehingga orang yang ber tayamum jika menemukan air yang cukup untuk berwudhu, maka tayamumnya menjadi batal. Seperti itu juga air yang diibaratkan sebagai ilmu yang mengandung kehidupan kalbu, maka seseorang yang muqalid (orang berakal) adalah orang yang mengikuti akalnya dalam mengenal Allah melalui perenungan. Seseorang yang menggunakan ilmunya (akal) dalam penghambaannya kepada Allah, akan dimuliakan-Nya dari jurang kehinaan dan diangkat derajatnya bersama golongan orangorang saleh.
KESIMPULAN Berbicara tentang sosok Ibn ‘Arabi, dapat dika takan ia sebagai sosok kontroversi, ada banyak apologi yang mengungkap decak kagum diba lik pemikiran “aneh” Ibn ‘Arabi, juga tidak sedikit yang menganggapnya sufi liar yang antinomian (menentang hukum). Tetapi, ke liaran pemikiran Ibn ‘Arabi menurut William Chittick (2001: 19) berada dalam koridor atau batasan tertentu dengan memperlakukan setiap kata dari Alquran dan Hadist dengan
sepenuh jiwa, tidak ada satu kata pun yang si fatnya aksidental. Sehingga, dibalik itu semua, pemikiran Ibn ‘Arabi menyimpan kesalehan pemikiran, dimana syariat dijadikan sentrali tas setiap pemikirannya, salah satunya adalah kajian tentang taharah spiritual. Dengan de mikian, tulisan ini menghadirkan gagasan ba gaimana seorang filsuf-mistikus kontroversial berbicara dalam nafas “fundamentalisme”. Gagasan Ibn ‘Arabi tidak hanya berbuih dalam dimensi teoritis saja, namun ia sarat akan tindakan praksisnya. Menurut Ibn ‘Arabi ketika seorang hamba telah terlunaskan dalam ibadah-ibadah dengan mencari tahu hakikat nya, maka ia dituntut untuk mengejawantah kannya dalam kehidupan sehari-hari. Seba gai contoh, membasuh tangan dalam wudhu, secara maknawi berarti bersuci dari hal-hal tercela yang diperbuat tangan, seperti men curi, curang atau korupsi, sewenang-wenang, dan sebagainya. Lebih lanjut konsep ini bisa membumi dengan membangkitkan kekua tan kreatif dalam kehidupan, bagi pandangan Ari Ginanjar dengan konsep ESQ Model-nya, spiritual-kosmos bisa membangkitkan karak ter powerful leader. Pintu pembuka paparan di atas men jadi jelas bahwa taharah spiritual adalah salah satu jendela untuk menghampiri Sang Khalik. Suatu penelusuran hakikat bersuci, menggali makna rahasia bersuci. Penelu suran ini dikhususkan untuk mengkaji se jauh mana Ibn ‘Arabi sebagai seorang fil suf-mistikus dalam menyingkap makna da lam taharah spiritual. Akhirnya, Ibn ‘Arabi menunjukkan bahwa Allah Yang Maha Ku dus hanya mungkin dihampiri bukan hanya dengan kesucian jasmani, melainkan juga dengan kesucian perasaan, pikiran, dan hati sang hamba.
JURNAL ETIKA DAN PEKERTI—Volume I, no.1, 2013
11
Ukun Kurnia
DAFTAR PUSTAKA Addas, C. (2004). Mencari Belerang Merah. Terjema han Zaimul Am. Jakarta: Serambi. Al-Ghazali. (1996). Ihya ‘Ulumuddin. Terjemahan M. Abdai Tathomy. Bandung: Diponegoro. Al-Ghazali. (2003). Bernafaskan Allah: Jalan Paling Rasional untuk Menikmati sekaligus Menghayati. Jakarta: Iman & Hikmah. ‘Arabi, I. (2002). Menghampiri Sang Mahakudus: Rahasia-Rahasia Bersuci. Terjemahan Ahsin M. Bandung: Mizan. (2003a). “Catur” Ilahi: Taktik Memenangkan Pergulatan Spiritual. Terjemahan Muhammad A. & M. Mustofa. Jakarta: Hikmah. (2003b). Menakar Jiwa yang Suci: Introspeksi Jiwa Ibn ‘Arabi. Terjemahan m. Anshor & A. Sya fuddin. Jakarta: Hikmah. (2004). Hiasilah Dirimu dengan Akhlak Mulia. Terjemahan Nur Sangadah. Yogyakarta: Cahaya Hikmah. Austin, RWJ. (1994). Sufi-sufi Andalusia. Terjemahan MS. Nasrulloh. Bandung: Mizan.
12
JURNAL ETIKA DAN PEKERTI—Volume I, no.1, 2013
Chittick, W. (2001). The Sufi Path of Knowledge: Tuhan Sejati dan Tujan-Tuhan Palsu. Terjemahan Achmad Nidjam, dkk. Yogyakarta: Qalam. Femina No. 21/xxv, 29 Mei – 4 Juni 1997. Haddad, A. (2001). Thariqah Menuju Kebahagiaan. Bandung: Mizan. Hirtenstein. (2001). Dari Keragaman ke Kesatuan Wujud; Ajaran dan Kehidupan Spiritual Syaikh al-Akbar Ibn ‘Arabī . Terjemahan Tri Wibowo. Ja karta: Muria Kencana. Jalaluddin, R. (2003). Renungan-Renungan Sufistik. Bandung: Mizan. Nasr, SH. (1976). Three Muslim Sages. New York: Carava Books. Noer, KA. (1995). Ibn Al’Arabi, Waĥdatul wujūd dalam Perdebatan. Jakarta : Paramadina. Sunoto. (1986). Mengenal Filsafat Pancasila: Pendekatan Melalui Etika Pancasila. Yogyakarta: Hanindita. Umar, N. (2001). Argumen Kesetaraan Jender: Perspektif al-Qur’an. Jakarta: Paramadina. Usmani, AR. (1998). Tokoh-tokoh Muslim Pengukir Zaman. Bandung: Penerbit Pustaka.
TELAAH KONSEP IDEALISME PENDIDIKAN ATAS KRISIS PENDIDIKAN INDONESIA: SEBUAH KRITIK Akhsan Sukroni
Dekan Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan (FKIP) Universitas Mathla’ul Anwar Banten
ABSTRAK: Dunia pendidikan tanah air dituntut dan memiliki andil besar dalam menyelesaikan krisis moral yang terjadi, sehingga pola atau sistem pendidikan kita pun harus terbuka atas kritik yang masuk, karena se sungguhnya berbagai kritik justru semakin mendewasakan pendidikan kita. Melalui tulisan ini, penulis beriktiar menggali konsep idealisme pendidikan yang diharapkan menjadi sumbangan solusi bagi perbaikan atas krisis dunia pendidikan kita. Melalui pandangan tentang idealisme tentang pendidikan, tulisan mencoba mengangkat aliran ini dalam rangka memberi solusi alternatif terhadap krisis pendidikan di Indonesia. Konsep yang dapat diterapkan pada pola pendidikan negeri ini, yaitu: (1) Pertama, mendobrak paradigma konservatif; (2) pemba ngunan realitas spiritual untuk mempertebal taraf kejiwaan dan kesehatan moral; (3) diselenggarakannya pem belajaran khusus mengenai etika dan diberi proporsi cukup bagi setiap warga negara dalam mempelajari dan memahaminya; dan (4) kembali kepada ajaran agama. Kata Kunci: Idealisme Pendidikan, Krisis Pendidikan, Kritik
PENDAHULUAN Krisis multi dimensi yang terjadi di Indo nesia diakui atau tidak salah satu faktor penyebabnya adalah kegagalan dalam pen erapan pola atau sistem pendidikan. Pola pendidikan yang tidak tepat, ternyata telah memberangus sendi-sendi kehidupan bang sa. Krisis moral adalah episode yang terlalu panjang diderita bangsa Indonesia sampai saat ini. Stakeholder pendidikan patut ber sedih, ketika membaca artikel berjudul “Ja ngan Biarkan Indonesia jadi Negara Gagal” yang ditulis MT. Zen. Artikel tersebut dike mukakan beberapa ciri atau kriteria yang
disepakati mengenai sebuah negara disebut gagal, yakni sebuah negara; (1) terasa tidak ada lagi jaminan keamanan; (2) pemerintah seakan tidak lagi dapat menyediakan ke butuhan pokok; (3) korupsi merajalela dan justru dilakukan oleh lembaga yang bertu gas melindungi rakyat dan negara dari an caman korupsi; (4) bentrokan horizontal antar etnis; (5) kehilangan kepercayaan dari masyarakat luas. Kelima kriteria tersebut sepertinya telah dan masih terjadi di negara tercinta ini. Sebelumnya Thomas Lickona (Megawa ngi, 2004 dalam Mursidin, 2011) meng ungkapkan sepuluh tanda sebuah bangsa
JURNAL ETIKA DAN PEKERTI—Volume I, no.1, 2013
13
Akhsan Sukroni
sedang menuju kehancuran, yaitu: (1) men ingkatnya kekerasan di kalangan remaja; (2) penggunaan kata dan bahasa yang mem buruk atau kasar; (3) pengaruh peer group yang kuat dalam tindakan kekerasan; (4) meningkatnya perilaku merusak diri; (5) se makin kaburnya pedoman baik dan buruk; (6) menurunnya etos kerja; (7) semakin ren dahnya rasa hormat kepada orang tua dan guru; (8) rendahnya rasa tanggung jawab individu dan negara; (9) membudayanya ketidakjujuran; dan (10) adanya rasa saling curiga dan kebencian antar sesama. Lagi, sepertinya sepuluh kondisi tersebut sedang melanda bangsa ini. Cukuplah, terlalu banyak untuk dibeber kan bukti-bukti dekadensi moral dan karak ter anak bangsa ini. Untuk kesekian kalinya, pendidikan kita tangah diuji agar mampu memberi jawaban dan solusi produktif atas permasalahan tersebut. Jika kita banding kan, permasalahan yang sama sebelumnya terjadi di Amerika Serikat (AS). Kritik ter hadap dunia pendidikan di AS pada tahun 70-an. Samuel Bowels melakukan analisis politik ekonomi terhadap pendidikan, hasil temuannya menyebutkan bahwa pendidi kan di AS merupakan reproduksi terhadap sistem kapitalisme belaka. Apakah per masalahan yang sama melanda pendidikan Indonesia sebagaimana kritik Bowels terse but? Perlu kajian lebih lanjut dan mendalam atas masalah itu, tetapi setidaknya, kritik yang sama banyak dialamatkan terhadap dunia pendidikan dengan melihat kacamata kasus tersebut. Dunia pendidikan tanah air dituntut dan memiliki andil besar dalam menyelesaikan krisis moral yang terjadi, sehingga pola atau sistem pendidikan kita pun harus terbuka atas kritik yang masuk, karena sesungguh nya berbagai kritik justru semakin mende wasakan pendidikan kita. Melalui tulisan ini, penulis beriktiar menggali konsep ide alisme pendidikan yang diharapkan menjadi sumbangan solusi bagi perbaikan atas krisis dunia pendidikan kita. 14
JURNAL ETIKA DAN PEKERTI—Volume I, no.1, 2013
TEORI IDEALISME PENDIDIKAN Pencetus idealisme adalah Plato (427-374 SM), murid Sokrates. Aliran idealisme merupakan suatu aliran ilmu filsafat yang mengagungkan jiwa. Menurutnya, cita adalah gambaran asli yang semata-mata bersifat rohani dan jiwa terletak di antara gambaran asli (cita) dengan bayangan dunia yang ditangkap oleh panca indera. Pertemuan antara jiwa dan cita melahirkan suatu angan-angan yaitu dunia idea. Aliran ini memandang serta menganggap bahwa yang nyata hanyalah idea. Idea sendiri selalu tetap atau tidak mengalami perubahan serta penggeseran, yang mengalami gerak tidak dikategorikan idea. Keberadaan idea tidak tampak dalam wujud lahiriah, tetapi gambaran yang asli hanya dapat dipotret oleh jiwa murni. Alam dalam pandangan idealisme adalah gambaran dari dunia idea, sebab posisinya tidak menetap. Sedangkan yang dimaksud dengan idea adalah hakikat murni dan asli. Keberadaannya sangat absolut dan kesempurnaannya sangat mutlak, tidak bisa dijangkau oleh material. Pada kenyataannya, idea digambarkan dengan dunia yang tidak berbentuk demikian jiwa bertempat di dalam dunia yang tidak bertubuh yang dikatakan dunia idea. Plato yang memiliki filsafat beraliran ideal isme yang realistis mengemukakan bahwa jalan untuk membentuk masyarakat menjadi stabil adalah menentukan kedudukan yang pasti bagi setiap orang dan setiap kelas menurut kapasitas masin-masing dalam masyarakat sebagai keseluruhan. Mereka yang memiliki kebajikan dan kebijaksanaan yang cukup dapat menduduki posisi yang tinggi, selan jutnya berurutan ke bawah. Misalnya, dari atas ke bawah, dimulai dari raja, filosof, perwira, prajurit sampai kepada pekerja dan budak. Yang menduduki urutan paling atas adalah mereka yang telah bertahun-tahun mengalami pendidikan dan latihan serta telah memperlihatkan sifat superioritasnya dalam melawan berbagai godaan, serta dapat menunjukkan cara hidup menurut kebenaran tertinggi.
Telaah Konsep Idealisme Pendidikan
Mengenai kebenaran tertinggi, dengan doktrin yang terkenal dengan istilah ide, Plato mengemukakan bahwa dunia ini tetap dan jenisnya satu, sedangkan ide tertinggi adalah kebaikan. Tugas ide adalah memimpin budi manusia dalam menjadi contoh bagi peng alaman. Siapa saja yang telah menguasai ide, ia akan mengetahui jalan yang pasti, sehingga dapat menggunakan sebagai alat untuk meng ukur, mengklasifikasikan dan menilai segala sesuatu yang dialami sehari-hari. Kadangkaladuniaideaadalahpekerjaannorahi yang berupa angan-angan untuk mewujudkan cita-cita yang arealnya merupakan lapangan metafisis di luar alam yang nyata. Menurut Berguseon, rohani merupakan sasaran untuk mewujudkan suatu visi yang lebih jauh jang kauannya, yaitu intuisi dengan melihat kenya taan bukan sebagai materi yang beku maupun dunia luar yang tak dapat dikenal, melainkan dunia daya hidup yang kreatif (Peursen, 1978:36). Aliran idealisme kenyataannya sangat identik dengan alam dan lingkungan sehingga melahirkan dua macam realita. Pertama, yang tampak yaitu apa yang dialami oleh kita selaku makhluk hidup dalam lingkungan ini seperti ada yang datang dan pergi, ada yang hidup dan ada yang demikian seterusnya. Kedua, adalah realitas sejati, yang merupakan sifat yang kekal dan sempurna (idea), gagasan dan pikiran yang utuh di dalamnya terdapat nilai-nilai yang murni dan asli, kemudian kemutlakan dan kese jatian kedudukannya lebih tinggi dari yang tampak, karena idea merupakan wujud yang hakiki. Prinsipnya, aliran idealisme mendasari semua yang ada. Yang nyata di alam ini hanya idea, dunia idea merupakan lapangan rohani dan bentuknya tidak sama dengan alam nyata seperti yang tampak dan tergambar. Sedangkan ruangannya tidak mempunyai batas dan tumpuan yang paling akhir dari idea adalah arche yang merupakan tempat kembali kesempurnaan yang disebut dunia idea dengan Tuhan, arche, sifatnya kekal dan sedikit pun tidak mengalami perubahan. Inti yang terpenting dari ajaran ini adalah manusia menganggap roh atau sukma lebih
berharga dan lebih tinggi dibandingkan dengan materi bagi kehidupan manusia. Roh itu pada dasarnya dianggap suatu hakikat yang sebenarnya, sehingga benda atau materi disebut sebagai penjelmaan dari roh atau sukma. Aliran idealisme berusaha menerangkan secara alami pikiran yang keadaannya secara metafisis yang baru berupa gerakan-gerakan rohaniah dan dimensi gerakan tersebut untuk menemukan hakikat yang mutlak dan murni pada kehidupan manusia. Demikian juga hasil adaptasi individu dengan individu lainnya. Oleh karena itu, adanya hubungan rohani yang akhirnya membentuk kebudayaan dan peradaban baru (Bakry, 1992:56). Maka apabila kita menganalisa pelbagai macam pendapat tentang isi aliran idealisme, yang pada dasarnya membicarakan tentang alam pikiran rohani yang berupa angan-angan untuk mewujudkan cita-cita, di mana manusia berpikir bahwa sumber pengetahuan terletak pada kenyataan rohani sehingga kepuasaan hanya bisa dicapai dan dirasakan dengan me miliki nilai-nilai kerohanian yang dalam ideal isme disebut dengan idea. Memang para filosof ideal memulai sis tematika berpikir mereka dengan pandangan yang fundamental bahwa realitas yang tertinggi adalah alam pikiran (Ali, 1991: 63). Sehingga, rohani dan sukma merupakan tum puan bagi pelaksanaan dari paham ini. Ka rena itu alam nyata tidak mutlak bagi aliran idealisme. Namun pada porsinya, para filosof idealisme mengetengahkan berbagai macam pandangan tentang hakikat alam yang sebe narnya adalah idea. Idea ini digali dari bentukbentuk di luar benda yang nyata sehingga yang kelihatan apa di balik nyata dan usaha-usaha yang dilakukan pada dasarnya adalah untuk mengenal alam raya. Walaupun katakanlah idealisme dipandang lebih luas dari aliran yang lain karena pada prinsipnya aliran ini dapat menjangkau hal-ihwal yang sangat pe lik yang kadang-kadang tidak mungkin dapat atau diubah oleh materi, Sebagaimana Phi dom mengetengahkan, dua prinsip pengenal an dengan memungkinkan alat-alat inderawi JURNAL ETIKA DAN PEKERTI—Volume I, no.1, 2013
15
Akhsan Sukroni
yang difungsikan di sini adalah jiwa atau suk ma. Dengan demikian, dunia pun terbagi dua yaitu dunia nyata dengan dunia tidak nyata, dunia kelihatan (boraton genos) dan dunia yang tidak kelihatan (cosmos neotos). Bagian ini menjadi sasaran studi bagi aliran filsafat idealisme (Van der Viej, 2988:19). Idealisme adalah aliran filsafat yang ber pendapat bahwa pengetahuan itu tidak lain daripada kejadian dalam jiwa manusia, se dangkan kenyataan yang diketahui manusia itu terletak di luarnya. Konsep filsafat menu rut aliran idealisme adalah: (1) Metafisikaidealisme; Secara absolut kenyataan yang sebenarnya adalah spiritual dan rohaniah, se dangkan secara kritis yaitu adanya kenyataan yang bersifat fisik dan rohaniah, tetapi ke nyataan rohaniah yang lebih dapat berperan; (2) Humanologi-idealisme; Jiwa dikarunai ke mampuan berpikir yang dapat menyebabkan adanya kemampuan memilih; (3) Epistemolo gi-idealisme; Pengetahuan yang benar diper oleh melalui intuisi dan pengingatan kembali melalui berpikir. Kebenaran hanya mungkin dapat dicapai oleh beberapa orang yang mem punyai akal pikiran yang cemerlang; sebagian besar manusia hanya sampai pada tingkat ber pendapat; (4) Aksiologi-idealisme; Kehidupan manusia diatur oleh kewajiban-kewajiban moral yang diturunkan dari pendapat tentang kenyataan atau metafisika. Dalam hubungannya dengan pendidikan, idealisme memberi sumbangan yang besar tehadap perkembangan filsafat pendidikan. Kaum idealis percaya bahwa anak merupa kan bagian dari alam spiritual, yang memiliki pembawaan spiritual sesuai potensialitasnya. Oleh karena itu, pendidikan harus menga jarkan hubungan antara anak dengan bagian alam spiritual. Pendidikan harus menekankan kesesuian batin antara anak dan alam semes ta. Pendidikan merupakan pertumbuhan ke arah tujuan pribadi manusia yang ideal. Pen didik yang idealisme mewujudkan sedapat mungkin watak yang terbaik. Pendidik harus memandang anak sebagai tujuan, bukan seba gai alat. 16
JURNAL ETIKA DAN PEKERTI—Volume I, no.1, 2013
Idealisme menancapkan pengaruhnya da lam bidang pendidikan pada abad 18. Aliran ini menunjukkan suatu reorientasi dari epis temologi atau teori tentang pengetahuan di bi dang pendidikan. Sebelum idealisme dikenal luas, saat itu ilmuan beranggapan bahwa ma nusia dalam menghadapi dunia seolah-olah membuat suatu copy dari realitas dalam alam pikirannya. Idealisme pendidikan meman dang anak didik sebagai aku yang being (ada, mengada) atau makhluk berdimensi spiritual, maka intisari dari pengalaman anak didik ada lah spiritual juga. Kepribadian yang dibangun dan dikem bangkan dalam idealisme pendidikan adalah kepribadian dalam arti spiritual. Jadi, dalam pengembangan karakter atau kepribadian anak dalam aspek kejasmanian semata ada lah kesalahan besar, karena dasar-dasar ke pribadian dibentuk dalam dua aspek, yaitu aspek kejasmanian dan realitas spiritual. Pendidikan adalah tuntunan untuk mem bawa anak didik kepada kesempurnaan. Se lama proses kesempurnaan itu, seseorang atau anak didik berada pada fase menjadi (become). Dalam persoalan etika, idealisme ber pandangan bahwa individu dilahirkan tidak apriori baik atau buruk. Sifat menjadi baik atau buruk itu potensial ada, sehingga da lam pembentukan dan pengembangannya tergantung pada pengaruh luar, di samping kehendak individu itu sendiri. Lingkungan, termasuk pendidikan adalah pengaruh dari luar itu. Belajar menurut paham ini didefinisikan sebagai jiwa yang berkembang dengan sendi rinya sebagai substansi spiritual. Individu yang belajar berarti mengerti dan paham akan spiritualitas keseluruhan hakihat, yakni Tu han secara berangsur-angsur (baca: bertahap dan tidak dipaksakan). Individu akan lebih mengetahui dirinya sendiri dengan mengenal sungguh-sungguh segala sesuatu dasar-dasar yang bersifat kosmis. Menurut Power (1982), implikasi filsafat pendidikan idealisme adalah sebagai berikut:(1)
Telaah Konsep Idealisme Pendidikan
Tujuan: untuk membentuk karakter, mengem bangkan bakat atau kemampuan dasar, serta kebaikkan sosial; (2) Kurikulum: pendidikan liberal untuk pengembangan kemam-puan dan pendidikan praktis untuk memperoleh pekerjaan; (3) Metode: diutamakan metode dialektika, tetapi metode lain yang efektif dapat dimanfaatkan; (4) Peserta didik bebas untuk mengembangkan kepribadian, bakat dan kemampuan dasarnya; (5) Pendidik bertanggungjawab dalam menciptakan ling kungan pendidikan melalui kerja sama de ngan alam. Aliran filsafat idealisme terbukti cukup banyak memperhatikan masalah-masalah pendidikan, sehingga cukup berpengaruh terhadap pemikiran dan praktik pendidikan. William T. Harris adalah tokoh aliran pen didikan idealisme yang sangat berpengaruh di Amerika Serikat. Bahkan, jumlah tokoh filosof Amerika kontemporer tidak sebanyak seperti tokoh-tokoh idealisme yang se angkatan dengan Herman Harrell Horne (1874-1946). Herman Harrell Horne adalah filosof yang mengajar filsafat beraliran idealisme lebih dari 33 tahun di Universitas New York. Belakangan, muncul pula Michael De miashkevitch, yang menulis tentang ideal isme dalam pendidikan dengan efek khusus. Demikian pula B.B. Bogoslovski, dan William E. Hocking. Kemudian muncul pula Rupert C. Lodge (1888-1961), profesor di bidang logika dan sejarah filsafat di Universitas Maitoba. Dua bukunnya yang mencerminkan kecemerlangan pemikiran Rupert dalam fil safat pendidikan adalah Philosophy of Edu cation dan studi mengenai pemikirian Plato di bidang teori pendidikan. Di Italia, Giovanni Gentile Menteri bidang Instruksi Publik pada Kabinet Mussolini pertama, keluar dari reformasi pendidikan karena berpegang pada prinsip-prinsip filsafat idealisme sebagai perlawanan terhadap dua aliran yang hidup di negara itu sebelumnya, yaitu positivisme dan naturalisme.
KRISIS PENDIDIKAN INDONESIA DALAM BINGKAI IDEALISME Idealisme sangat concern tentang keberadaan sekolah. Aliran inilah satu-satunya yang melakukan oposisi secara fundamental terhadap naturalisme. Pendidikan harus terus eksis sebagai lembaga untuk proses pemasyarakatan manusia sebagai kebutuhan spiritual, dan tidak sekadar kebutuhan alam semata. Gerakan filsafat idealisme pada abad ke-19 secara khusus mengajarkan tentang kebudayaan manusia dan lembaga kemanuisaan sebagai ekspresi realitas spiritual. Para murid yang menikmati pendidikan di masa aliran idealisme sedang gencargencarnya diajarkan, memperoleh pendidikan dengan mendapatkan pendekatan (approach) secara khusus. Sebab, pendekatan dipandang sebagai cara yang sangat penting. Giovanni Gentile pernah mengemukakan, “Para guru tidak boleh berhenti hanya di tengah pengkelasan murid, atau tidak mengawasi satu persatu muridnya atau tingkah lakunya. Seorang guru mesti masuk ke dalam pemikiran terdalam dari anak didik, sehingga kalau perlu ia berkumpul hidup bersama para anak didik. Guru jangan hanya membaca beberapa kali spontanitas anak yang muncul atau sekadar ledakan kecil yang tidak banyak bermakna. Bagi aliran idealisme, anak didik merupakan seorang pribadi tersendiri, sebagai makhluk spiritual. Mereka yang menganut paham idealisme senantiasa memperlihatkan bahwa apa yang mereka lakukan merupakan ekspresi dari keyakinannya, sebagai pusat utama pengalaman pribadinya sebagai makhluk spiritual. Tentu saja, model pemikiran filsafat idealisme ini dapat dengan mudah ditransfer ke dalam sistem pengajaran dalam kelas. Guru yang menganut paham idealisme biasanya berkeyakinan bahwa spiritual merupakan suatu kenyataan, mereka tidak melihat murid sebagai apa adanya, tanpa adanya spiritual. Sejak idealisme sebagai paham filsafat pendidikan menjadi keyakinan bahwa realitas adalah pribadi, maka mulai saat itu dipahami JURNAL ETIKA DAN PEKERTI—Volume I, no.1, 2013
17
Akhsan Sukroni
tentang perlunya pengajaran secara individual. Pola pendidikan yang diajarkan fisafat ideal isme berpusat dari idealisme. Pengajaran tidak sepenuhnya berpusat dari anak, atau materi pelajaran, juga bukan masyarakat, melainkan berpusat pada idealisme. Maka, tujuan pendidikan menurut paham idealisme terbagai atas tiga hal, tujuan untuk individual, tujuan untuk masyarakat, dan campuran antara keduanya. Pendidikan idealisme untuk individual antara lain bertujuan agar anak didik bisa menjadi kaya dan memiliki kehidupan yang bermakna, memiliki kepribadian yang harmo nis dan penuh warna, hidup bahagia, mampu menahan berbagai tekanan hidup, dan pada akhirnya diharapkan mampu membantu in dividu lainnya untuk hidup lebih baik. Se dangkan tujuan pendidikan idealisme bagi kehidupansosialadalahperlunyapersaudaraan sesama manusia. Karena dalam spirit per saudaraan terkandung suatu pendekatan seseorang kepada yang lain. Seseorang tidak sekadar menuntuk hak pribadinya, namun hubungan manusia yang satu dengan yang lainnya terbingkai dalam hubungan kema nusiaan yang saling penuh pengertian dan rasa saling menyayangi. Sedangkan tujuan secara sintesis dimaksudkan sebagai gabungan antara tujuan individual dengan sosial sekaligus, yang juga terekspresikan dalam kehidupan yang berkaitan dengan Tuhan. Guru dalam sistem pengajaran yang menganut aliran idealisme berfungsi sebagai: (1) guru adalah personifikasi dari kenyataan si anak didik; (2) guru harus seorang spesialis dalam suatu ilmu pengetahuan dari siswa; (3) Guru haruslah menguasai teknik mengajar secara baik; (4) Guru haruslah menjadi pribadi terbaik, sehingga disegani oleh para murid; (5) Guru menjadi teman dari para muridnya; (6) Guru harus menjadi pribadi yang mampu membangkitkan gairah murid untuk belajar; (7) Guru harus bisa menjadi idola para siswa; (8) Guru harus rajib beribadah, sehingga menjadi insan kamil yang bisa menjadi teladan para siswanya; (9) Guru harus menjadi pribadi 18
JURNAL ETIKA DAN PEKERTI—Volume I, no.1, 2013
yang komunikatif; (10) Guru harus mampu mengapresiasi terhadap subjek yang menjadi bahan ajar yang diajarkannya; (11) Tidak hanya murid, guru pun harus ikut belajar sebagaimana para siswa belajar; (12) Guru harus merasa bahagia jika anak muridnya berhasil; (13) Guru haruslah bersikap de mokratis dan mengembangkan demokrasi; (14) Guru harus mampu belajar, bagaimana pun keadaannya. Kurikulum yang digunakan dalam pen didikan yang beraliran idealisme harus lebih memfokuskan pada isi yang objektif. Peng alaman haruslah lebih banyak daripada peng ajaran yang textbook. Agar supaya pengetahuan dan pengalamannya senantiasa aktual. Melalui pandangan tentang idealisme ten tang pendidikan di atas, penulis mencoba mengangkat aliran ini dalam rangka memberi solusi alternatif terhadap krisis pendidikan di Indonesia. Konsep yang bisa diterapkan pada pola pendidikan negeri ini, yaitu: Pertama, mendobrak paradigma konser vatif. Bagi yang berpandangan konservatif, ketidaksederajatan masyarakat merupakan suatu hukum kemanusiaan alami, hal yang mustahil bisa dihindari, serta merupakan kekuatan sejarah atau bahkan takdir Tuhan. Pandangan seperti ini masih kental terlihat di sebagian masyarakat. Perubahan sosial bagi mereka bukanlah suatu yang harus diper juangkan. Bagi kaum konservatif, mereka yang menderita, seperti orang-orang miskin, buta huruf, kaum marjinal harus menyikapi takdir mereka dengan sabar dan belajar un tuk menunggu sampai giliran mereka datang, hingga nasib merubahnya jadi lebih baik, kar ena pada akhirnya kelak semua orang akan mencapai kesuksesan, kebebasan, dan keba hagiaan sendiri. Pola anggapan konservatif ini harus didobrak karena akan menghambat progresivitas pendidikan kita, dan idealisme pendidikan dapat dijadikan sarana melaku kan perubahan. Kedua, pembangunan realitas spiritual un tuk mempertebal taraf kejiwaan dan kesehat an moral. Solusi ini dipandang tepat melihat
Telaah Konsep Idealisme Pendidikan
realitas kondisi bangsa ini yang terpuruk dan mengalami degradasi moral. Idealisme pen didikan mendukung pembelajaran yang ber basis etika untuk menghasilkan generasi cer das, berilmu dan bermoral, gemilang dalam iptek dan mumpuni dalam imtak. Ketiga, diselenggarakannya pembelajaran khusus mengenai etika dan diberi proporsi cukup bagi setiap warga negara dalam mem pelajari dan memahaminya. Hanya melalui kesadaran diri sendirilah nantinya akan me munculkan kesadaran kolektif. Keempat, kembali kepada ajaran agama. Kebenaran agama berasal dari Tuhan, se hingga memiliki nilai kemutlakan yang tidak diragukan lagi keabsahannya. Pesantren di Indonesia yang tersebar luas sampai pelosok sesungguhnya dapat dijadikan lahan potensial bagi pengembangan mental spiritual anakanak bangsa. Segala macam upaya konstruktif positif akan bisa diraih serta berbagai ekses negatif peradaban global akan dapat dihindari dan diatasi, selama individu dan masyarakat berkomitmen kuat menjadikan nilai religi dan spiritual sebagai basis kehidupannya.
KESIMPULAN Berdasarkan kajian yang telah dikemukakan dalam pembahasan sebelumnya diperoleh temuan sebagai sebagai berikut: Pertama, aliran filsafat idealisme dalam pen didikan menekankan pada upaya pengembang an bakat dan kemampuan peserta didik seba gai aktualisasi potensi yang dimilikinya. Untuk mencapainya diperlukan pendidikan yang ber
orientasi pada penggalian potensi dengan me madukan kurikulum pendidikan umum dan pendidikan praktis. Kegiatan belajar terpusat pada peserta didik yang dikondisikan oleh tenaga pendidik. Kedua, bahwa pendidikan harus berpijak pada nilai-nilai yang mendatangkan kestabil an, telah teruji waktu, tahan lama dan terselek si. Nilai-nilai yang diterima adalah yang telah terbukti mendatangkan kebaikan pada umat manusia. Pendidikan ini akan mengutamakan kemampuan akademis yang telah baku. Kebe naran didapat manusia melalui intuisi, rasio dan wahyu, bukan dari penginderaan, sebab penginderaan hanyalah persepsi bukan reali tas yang sesungguhnya. Realitas yang sesung guhnya terdapat dalam ide-ide atau gagasan.
DAFTAR PUSTAKA Depdiknas. (2003). Undang-Undang RI No 20 tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional. Se marang: Aneka Ilmu. Dewey. J. (1964). Democracy in Education. Newyork: The Mc Millan Company. Henderson, Stella van Petten. (1959). Introduction to Philosophy of Education. Chicago: The University of Chicago Press. Mudyahardjo, R., (2001). Filsafat Ilmu Pendidikan: Suatu Pengantar. Bandung: Remaja Rosdakarya. Mursidin. (2011). Moral Sumber Pendidikan. Bogor: Ghalia Indonesia. Power, E. J. (1982). Philosophy of Education. NewJer sey: Prentice Hall Inc. Sadulloh, U. (2004). Pengantar Filsafat Pendidikan. Bandung: Alpabeta. Wakhudin & Trisnahada. Filsafat Naturalisme. (Makalah) Bandung: PPS-UPI Bandung
JURNAL ETIKA DAN PEKERTI—Volume I, no.1, 2013
19
EFEKTIVITAS PROGRAM MENTORING HALAQAH DALAM MENINGKATKAN KECERDASAN MORAL SISWA Ade Hidayat
Dosen Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan Universitas Mathla’ul Anwar Banten ABSTRAK: Tujuan utama penelitian ini adalah menghasilkan program bimbingan kelompok yang efektif dan feasible untuk meningkatkan kecerdasan moral siswa. Salah satu pendekatan dalam melakukan bimbingan kelompok adalah dengan menggunakan mentoring halaqah, yaitu pola kegiatan bimbingan kelompok dengan menggunakan tahap-tahap pelaksanaan kegiatan mentoring halaqah. Penelitian ini menggunakan pendekatan kuantitatif dengan memakai disain penelitian eksperimen semu (quasi experimental design). Penelitian ini memperlihatkan hasil skor rata-rata kelompok eksperimen yang mengikuti bimbingan kelompok melalui pendekatan mentoring halaqah lebih baik dibandingkan dengan skor rata-rata kelompok kontrol yang tidak mengikuti bimbingan kelompok melalui pendekatan mentoring halaqah, maka kesimpulan yang diperoleh adalah layanan bimbingan kelompok melalui pendekatan mentoring halaqah lebih efektif digunakan untuk meningkatkan kecerdasan moral siswa. Program bimbingan kelompok dengan pendekatan mentoring halaqah (BKMH) ini direkomendasikan untuk dipertimbangkan sebagai salah satu program dalam melakukan kegiatan bimbingan dan konseling di SMA, khususnya dalam rangka meningkatkan kecerdasan moral siswa. Kata Kunci: Bimbingan Kelompok, Mentoring Halaqah, Kecerdasan Moral.
PENDAHULUAN Fenomena moral telah menjadi isu utama dalam perjalanan hidup manusia. Permasalahan moral telah ada dan berlangsung sepanjang sejarah manusia. Pada zaman Nabi Adam, pembunuhan pertama umat manusia dilaku kan Qabil terhadap Habil. Nabi Muhammad SAW. pun diutus ke dunia dalam rangka memperbaiki moral (akhlak) umat manusia, sebagaimana dalam sabdanya: “Sesungguhnya aku diutus untuk menyempurnakan akhlak” (HR. Imam Hakim). Para filsuf seperti Socrates, Aristoteles, Ibn Rusyd, Al Ghazali, sampai 20
JURNAL ETIKA DAN PEKERTI—Volume I, no.1, 2013
Imanuel Kant juga menyadari pentingnya faktor moral, sehingga gagasan konsep filsafat mereka tidak mengesampingkan pembahasan tentang moral meskipun masing-masing memiliki pemahaman yang berlainan. Tidak ketinggalan, Piaget dan Kohlberg, dua tokoh psikologi perkembangan, dalam salah satu minat kajiannya membahas tentang perkem bangan moral manusia, dari bayi hingga dewasa (Crain, 2007). Maraknya kajian dan pembahasan ten tang moral mengindikasikan bahwa moral merupakan salah satu landasan utama bagi kelangsungan hidup manusia dan pokok dari kemajuan bangsa dan negara. Khalid Latief
Efektivitas Program Mentoring Halaqah
(2008) salah seorang pemikir Islam Amerika menulis dalam artikelnya bahwa “Morality is one of the fundamental sources of a nation’s strength, just as immorality is one of the main causes of a nation’s decline.”. Wan Muhammad Wan Daud (dalam Nasir, 2008) Guru Besar UKM Malaysia menegaskan bahwa, kemajuan yang sebenarnya dalam pembangunan (global) bukan pada kemajuan fisik, tetapi pada perkara-perkara akhlak dan moral manusia seluruhnya. Unsur moral hampir telah dilupakan oleh sebagian besar umat manusia yang terjebak dalam pengaruh cara pandang dunia Barat yang mendewakan sains dan teknologi sebagai puncak kemajuan, maka tidak mengherankan apabila nilai moral dikesampingkan dan direlatifkan sehingga arus globalisasi sarat nilai negatif diterima tanpa proses penyaringan secara kritis. Padahal kemampuan moral sangat dibutuhkan sebagai penyaring nilainilai negatif globalisasi yang selama ini terabaikan (Hawari, 2009). Dalam dunia pendidikan, permasalahan moral juga merupakan suatu isu pokok yang kini tidak sekadar hanya menjadi wacana retorika, namun telah menjadi sesuatu yang harus dicapai dan diintegrasikan oleh siswa. Dalam Undang-Undang Dasar (UUD) 1945 Pasal 31 Ayat 3, bahwa pemerintah mengusa hakan dan menyelenggarakan satu sistem pendidikan nasional yang meningkatkan ke imanan dan ketakwaan serta akhlak mulia da lam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa yang merupakan salah satu tujuan Negara Indonesia (Zuriah, 2008). UUD 1945 tersebut sejalan dengan UU RI No. 20/2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional (Sisdiknas) Bab II Pasal 2 yang menegaskan, bahwa pendidikan nasional bertujuan mengembangkan kemam puan dan membentuk watak serta peradaban bangsa yang bermartabat dalam rangka men cerdaskan kehidupan bangsa, bertujuan un tuk berkembangnya potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mu lia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan
menjadi warga negara yang demokratis dan bertanggung jawab. Isi ketentuan yuridis formal di atas mengan dung indikasi tentang pentingnya pola pembi naan yang komprehensif, tidak hanya meng andalkan kecerdasan saja, melainkan menga sah kemampuan kematangan di luar kecer dasan kognitif seperti: keagamaan, moralitas, pengendalian diri, kepribadian, akhlak mulia, dan sebagainya. Balitbang Kemendiknas pada tahun 2010, merespon pentingnya wacana tersebut dalam grand tema yang disebut, “Pengembangan Pendidikan Budaya dan Karakter Bangsa”. Budaya yang dimaksud memiliki pengertian sebagai keseluruhan sistem berfikir, nilai, moral, norma dan keyakinan (belief) manu sia yang dihasilkan masyarakat. Sedangkan karakter adalah watak, tabiat, akhlak, atau ke pribadian seseorang yang terbentuk dari hasil internalisasi berbagai kebajikan (virtues) yang diyakininya dan digunakannya sebagai landasan untuk cara pandang, bersikap, dan bertindak (Kemendiknas, 2010). Pentingnya kesadaran untuk mengembang kan moral dikarenakan realitas bergulirnya globalisasi tidak sekadar berdampak positif. Globalisasi telah menjadi salah satu intrumen yang memiliki peran dan pengaruh siginifi kan dalam mentransfer nilai-nilai baik positif maupun negatif yang dianut dari suatu bangsa dan negara secara cepat kepada bangsa dan negara lain. Salah satu wujud kemajuan yang identik dengan globalisasi adalah kemajuan teknologi. Pesatnya kemajuan teknologi berbanding lurus dengan dampak negatif yang ditimbul kan, seperti televisi, handphone, internet, te lah menyodorkan perilaku sinisme, pelecehan, materialisme, seks bebas, kekasaran dan peng agung kekerasan (Borba, 2008: 5). Selain itu, media-media visual secara bebas mengekspos hal-hal yang mengarah kepada perilaku atau tindakan immoral. Kondisi demikian disebut sebagai new invation dan new imperialism barat untuk mentransfer nilai-nilai budaya mereka berupa homogenisasi food, fun, faJURNAL ETIKA DAN PEKERTI—Volume I, no.1, 2013
21
Ade Hidayat
shion, dan thought (Husaini, 2005: 5). New invation dan new imperialism gaya baru ter bukti mampu mempengaruhi mindset masya rakat. Implikasi atau dampak tersebut tentu menggusur tatanan nilai moral. Penetapan tujuan sebagai bangsa yang bermartabat dan berperadaban tinggi begitu penting, sebab kemajuan suatu bangsa senan tiasa terkait dengan persoalan moral bangsa. Menurut Lickona (dalam Mursidin, 2011: 14), sekurang-kurangnya ada 10 aspek sebagai pe nanda kehancuran sebuah bangsa, yaitu: (1) Meningkatnya kekerasan di kalangan remaja/ pelajar. (2) Penggunaan bahasa dan kata-kata buruk. (3) Pengaruh peer group yang kuat dalam tindakan kekerasan. (4) Meningkatnya perilaku merusak diri, seperti penyalahgu naan narkoba, seks bebas, dan sebagainya. (5) Semakin kaburnya pedoman moral baik dan buruk. (6) Menurunnya etos kerja. (7) Sema kin rendahnya rasa hormat kepada orang-tua dan guru. (8) Rendahnya rasa tanggung jawab individu dan warga negara. (9) Membudaya nya perilaku tidak jujur. (10) Adanya rasa sa ling curiga dan kebencian di antara sesama. Para stakeholder bidang pendidikan sebe narnya tidak tinggal diam dalam mengatasi permasalahan moral di atas. Beragam upaya pun dilakukan untuk mencegah perilaku me nyimpang remaja atau siswa, seperti penyuluh an tentang bahaya penyalahgunaan narkoba dan pergaulan bebas yang bekerjasama deng an kepolisian dan tenaga kesehatan, tetapi hasilnya kurang memuaskan. Banyak sekolah memberlakukan sistem buku poin dan menga dakan surat perjanjian untuk meningkatkan disiplin siswa, hal ini juga tidak menimbulkan efek jera kepada siswa. Ada hal menarik di tengah berbagai upaya yang dilakukan sekolah di atas, dimana ada beberapa siswa di Sekolah Menengah Atas Negeri (SMAN) 6 Pandeglang yang tidak per nah melakukan pelanggaran terhadap aturan yang sudah ditetapkan pihak sekolah. Sete lah ditelusuri lebih jauh ternyata di SMAN 6 Pandeglang terdapat sekelompok siswa yang bergabung organisasi intra Kerohanian Islam 22
JURNAL ETIKA DAN PEKERTI—Volume I, no.1, 2013
(Rohis) dan intens mengikuti forum pengajian pekanan yang disebut halaqah. Sikap dan tingkah laku siswa yang ber kelompok dalam halaqah tersebut menarik perhatian penulis untuk menelusuri lebih jauh dan mendalam. Bagaimana mereka mela kukan kegiatan pengajian, sehingga mampu membentuk sebuah pribadi mantap dan tidak terganggu dengan keadaan lingkungan yang cenderung hedonis dan materialistis. Pada kondisi lingkungan yang cenderung hedonis dan materialistis, seorang remaja sangat ren tan mengalami keruntuhan moral. Usaha dan cara untuk mengembangkan dan membentuk karakter moral positif (akhlakul karimah) pada anak atau remaja telah banyak dilakukan, mulai dari pendekatan so sial, kemampuan mengatasi konflik, manaje men stres, para guru mengajarkan rasa per caya diri, hingga gagasan Howard Gardner tentang multiple intellegence dan Daniel Goleman dengan gagasan kecerdasan moral, namun krisis moral masih terus berlanjut, maka sa lah satu solusi efektif adalah mengarahkan kemampuan anak dan remaja untuk mema hami dengan keyakinan yang kuat tentang hal benar dan salah (Borba, 2008). Konsep inilah yang disebut dengan kecerdasan moral (moral intelligence). Kondisi perubahan moral yang rentan dipe ngaruhi oleh faktor lingkungan memerlukan arahan dan bimbingan untuk mengembang kan kemampuan (kecerdasan) moral remaja berdasarkan konsep nilai ideal norma agama dan adat istiadat dalam suatu budaya. Hurlock (1994) mengemukakan bahwa terdapat dua kondisi yang membuat pergantian konsep mo ral khusus ke dalam konsep moral umum ten tang benar salah, salah satu solusinya adalah melalui bimbingan. Pelaksanaan bimbingan dan konseling di sekolah merupakan salah satu ikhtiar untuk membina peserta didik menjadi manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri dan menjadi warga negara yang demokratis serta bertanggung
Efektivitas Program Mentoring Halaqah
jawab sebagaimana diamanatkan dalam UU RI No. 20/2003 tentang Sisdiknas. Sehing ga, tentunya bimbingan dan konseling harus berkontribusi nyata untuk memberikan in tervensi dan bantuan kepada seluruh siswa yang dikemas dalam program-program bim bingan dan konseling yang di dalamnya harus mampu mengintegrasikan tiga bidang utama pendidikan yaitu: (1) bidang administratif, manajemen dan kepemimpinan; (2) bidang pembelajaran atau kurikulum; dan (3) bidang bimbingan dan konseling. Dalam merencanakan program bimbingan tentu menggunakan teknik atau pendekatan agar bimbingan yang direncanakan berjalan efektif, salah satunya yang dikaji dalam peneli tian ini adalah bimbingan dengan pendekatan mentoring halaqah. Bimbingan dan konseling dengan pendekatan mentoring halaqah sang at memperhatikan upaya pembinaan diri yang paripurna dan gradual terhadap personal, dari sisi normatif teoritis menuju sisi praktis-rea listis, dengan tetap menjaga perbedaan tabiat alami setiap orang dan pemenuhan kebutuhan spiritual, wawasan keilmuan dan keteram pilan, yang bertujuan terciptanya bangunan Islam yang komprehensif dalam melahirkan karakteristik muslim sejati yang berakhlak, berbudi pekerti dan beradab Islami dalam bingkai pemahaman yang teliti, seimbang, dan mumpuni untuk kebutuhan zaman seka rang, yang berpedoman kepada Alquran dan sunnah Rasulullah SAW. (Albanna, 2005). Mentoring halaqah menjadi alternatif pe layanan dasar bimbingan dan konseling me lalui layanan bimbingan kelompok. Kegia tan bimbingan kelompok dengan pendekatan mentoring halaqah (selanjutnya disebut BKMH) merupakan salah satu teknik layanan an bimbingan dan konseling yang diberikan kepada peserta didik dalam suasana kelom pok dengan menggunakan prosedur dan langkah-langkah dalam pelaksanaan halaqah. Halaqah dibangun sebagai wahana interaksi, komunikasi dan transformasi antara murabbi (pembina) dengan mutarabbi (binaan) yang beranggotakan 5-12 peserta.
Berdasarkan latar belakang di atas, maka penelitian penting dilakukan seba gai upaya menguji pengaruh program BKMH terhadap peningkatan kecerdasan moral pada diri remaja, khususnya siswa pada tingkat SMA. Tujuan penelitian ini adalah sebagai be rikut: (1) Untuk memperoleh deskripsi ka rakteristik perkembangan kecerdasan moral siswa di SMAN 6 Pandeglang. (2) Untuk me rumuskan program BKMH yang efektif secara hipotetik dalam meningkatkan kecerdasan moral siswa. (3) Untuk menguji keefektifan program BKMH dalam meningkatkan kecer dasan moral siswa. Manfaat penelitian ini, diantaranya seba gai berikut: 1. Secara teoritis (a) penelitian ini dapat memberikan kontribusi bagi pengem bangan teori tentang dasar-dasar dan landasan konseptual suatu program bimbingan kelompok dengan meng gunakan pendekatan mentoring halaqah dalam meningkatkan kecerdasan moral remaja. (b) berkontribusi bagi khasanah keilmuan dan memberikan wawasan bagaimana memberikan in tervensi bimbingan dan konseling, khususnya dalam pelaksanaan program BKMH. 2. Secara praktis, penelitian ini membe rikan sumbangan sebagai salah satu alternatif untuk mendukung kerja guru pembimbing atau konselor sekolah dalam menjalankan tugas-tugasnya, khususnya dalam pelaksanaan layanan bimbingan dan konseling kelompok. Bagi guru pembimbing atau konselor sekolah terkhusus di tingkat SMA, da pat menggunakan program BKMH da lam meningkatkan kecerdasan moral siswa. Program yang dihasilkan dari penelitian ini dapat diintegrasikan da lam program-program bimbingan dan konseling secara keseluruhan, sehingga dapat membantu siswa mencapai per kembangan optimal. JURNAL ETIKA DAN PEKERTI—Volume I, no.1, 2013
23
Ade Hidayat
TINJAUAN PUSTAKA Kecerdasan Moral Secara etimologis kecerdasan moral berakar dari dua term kata yaitu kecerdasan (intelligence) dan moral. Kecerdasan (intel ligence) tentunya berbeda dengan IQ. Kecer dasan moral memiliki segi yang beragam (multifaceted) (Vaughan, 2002: 2). Kecerdasan (intelligence) memiliki makna yang lebih luas, yaitu berupa kemampuan untuk memecahkan masalah atau menciptakan suatu produk yang bernilai dalam satu latar belakang budaya atau lebih, sedangkan IQ hanya merupakan sebuah tes yang mengukur kemampuan individu dengan soal-soal linguistik dan logismatematis disamping beberapa tugas pandang dan ruang (Rose & Nicholl, 2002: 57). Gambaran definisi tersebut secara jelas memberikan sebuah pemahaman secara men dasar bahwa kecerdasan (Intelligence) berbeda dengan IQ meskipun keduanya merupakan proses kognitif, namun kecerdasan memiliki kapasitas dan fungsi yang lebih luas dan kompleks dibandingkan dengan IQ yang hanya merupakan tes kecerdasan intelektual yang didasarkan pada penskoran. Term moral diadopsi dari bahasa Latin, yaitu “mos” (jamak: mores) diartikan sebagai adat kebiasaan (Zuriah, 2008: 17), sedangkan Yusuf (2005: 132) menambahkan bahwa moral selain mengandung arti adat kebiasaan/adat istiadat, moral juga merupakan peraturan/ nilai-nilai atau tatacara kehidupan. Carl Rogers (1985) mendefinisikan moral sebagai kaidah dan pranata yang mengatur perilaku individu dalam hubungannya dengan masyarakat atau kelompok sosial lain. Moral merupakan standar baik-buruk yang diten tukan bagi individu oleh nilai-nilai sosial bu daya dimana individu sebagai anggota sosial (Ali & Asrori, 2008: 136). Pemahaman tentang moral tentunya ber beda dengan etika. Moral merupakan embrio dari etika yang mengatur sikap dan perilaku atau tindakan seseorang tentang baik-buruk. Etika merupakan gagasan umum, konseptual 24
JURNAL ETIKA DAN PEKERTI—Volume I, no.1, 2013
teoritis tentang moral, sedangkan moral lebih bersifat praksis (Davis, 2008). Berdasarkan pemahaman mendasar pada kedua terminologi tersebut, maka dapat diper oleh konsep definisi kecerdasan moral (moral intelligence) yang dikonstruk dan digabungkan dari padanan kata moral dan kecerdasan (intelligence). Menurut Borba (2008) kecerdasan moral adalah kemampuan memahami hal yang benar dan yang salah (Borba, 2008: 4). Lennick & Kiel (2008) mendefinisikan bahwa kecerdasan moral adalah “the mental capacity to determine how universal human principles should be applied to our values, goals, and action.” Kapasitas mental merupa kan salah satu sumber untuk menetapkan prinsip-prinsip nilai kemanusiaan yang ber sumber dari agama atau budaya yang kemu dian diterapkan dalam nilai-nilai moral, tujuan dan tindakan moral individu. Pengertian secara lengkap dikemukakan oleh Robert Coles (1929) yang secara spesifik mendefinisikan kecerdasan moral sebagai kemampuan seseorang yang tumbuh perlahanlahan untuk merenungkan mana yang benar dan mana yang salah, dengan menggunakan sumber emosional maupun intelektual manu sia (Coles, 2003: 2). Kecerdasan moral tidak sekadar proses mengetahui prinsip-prinsip nilai, mengetahui perkembangan moral, dan menalarkan dilema moral. Tetapi lebih dari itu kecerdasan moral merupakan proses agar anak atau remaja mampu bersikap dan berperilaku moral (Coles, 2003: 5) ketika menghadapi dilema atau pilihan moral yang melibatkan proses nalar (rational process) dan sumber emosional. Berdasarkan penjelasan teoritik tentang pengertian kecerdasan moral tersebut, maka kecerdasan moral merupakan kemampuan mental seseorang yang melibatkan unsur emosional dan unsur kognisi (intelektual) untuk berpikir, bersikap, berperilaku atau bertindak berdasarkan sistem nilai etis (benarsalah) yang berlaku pada suatu masyarakat sehingga dapat diaplikasikan pada tujuan dan tindakan dalam kehidupan.
Efektivitas Program Mentoring Halaqah
Bimbingan Kelompok Bimbingan kelompok adalah bantuan ter hadap peserta didik yang dilaksanakan dalam situasi kelompok. Bimbingan kelompok di maksudkan untuk mencegah berkembangnya masalah atau kesulitan pada diri peserta didik. Bimbingan kelompok dilaksanakan dalam tiga jenis, yaitu kelompok kecil (2-6 orang), kelompok sedang (7-12 orang), dan kelompok besar (13-20 orang) ataupun kelas (21-40 orang). Bimbingan kelompok biasanya dipimpin oleh guru atau konselor pendidikan sebagai sarana penyampaian informasi atau pun aktivitas kelompok yang berkenaan dengan masalah pendidikan, karir, pribadi dan sosial yang tidak disajikan dalam bentuk pelajaran (Nurihsan, 2006). Penyampaian informasi dalam bimbingan kelompok dimaksudkan untuk meningkatkan pemahaman tentang kenyataan, aturan-aturan dalam kehidupan, dan cara-cara yang dapat dilakukan untuk menyelesaikan tugas, serta meraih masa depan dalam studi, karir, ataupun kehidupan. Aktivitas kelompok diarahkan untuk memperbaiki, mengembangkan pema haman diri dan pemahaman lingkungan, penyesuaian diri, serta pengembangan diri. Pemberian informasi banyak menggunakan alat-alat dan media pendidikan, seperti OHP, kaset audio-video, film, buletin, brosur, majalah, buku dan lain-lain. Kadang-kadang konselor mendatangkan ahli tertentu untuk memberikan ceramah yang bersifat informatif tentang hal-hal tertentu (Natawidjaja, 2009: 590). Natawidjaja & Surya (1997: 265) menjelas kan pengertian bimbingan kelompok, yaitu merupakan teknik bimbingan yang meng gunakan pendekatan kelompok dalam upaya memberikan bantuan kepada individu. Pen dekatan kelompok yang dimaksud adalah penggunaan situasi interaksi sosial-psikologis yang terjadi dalam kelompok untuk keperluan pencapaian tujuan bimbingan. Mentoring Halaqah Istilah mentoring halaqah sendiri terdiri dari dua kata, mentoring dan halaqah.
Mentoring adalah perilaku-perilaku atau proses yang dipolakan dengan mana sese orang bertindak sebagai penasihat kepada orang lain. Mentor menurut Kamus Ilmiah Populer didefinisikan sebagai penasihat (yang dipercayai), pembimbing, penunjuk jalan, pengasuh (Maulana et al., 2003). Dalam dunia kerja seorang mentor umum nya adalah karyawan yang lebih senior dan berpengalaman dan bertugas memberikan advis, bimbingan, dan dukungan bagi pe ngembangan karir karyawan yang lebih yunior dan kurang berpengalaman (disebut dengan istilah protégés atau mentee). Mentor pada umumnya adalah seseorang yang berusia lebih tua, memiliki banyak pengalaman, dan senioritas dalam dunia kerja. Sebaliknya, Flaxman (1968) dalam Gay (1994) menyatakan bahwa mentoring adalah hubungan yang saling mendukung antara seorang yunior dengan seniornya yang menawarkan dukungan, arahan, dan bantuan secara konkret ketika si yunior melalui periode-periode sulit, yaitu memperoleh tugas-tugas penting atau mem perbaiki masalah-masalah yang terjadi. Mentoring digunakan dalam banyak peng aturan, dari dunia pendidikan, medis sampai bisnis. Mentoring merupakan salah satu sarana yang di dalamnya terdapat proses belajar. Orientasi dari mentoring itu adalah pembentukan karakter dan kepribadian sese orang sebagai mentee (peserta mentoring) karena adanya seorang mentor dalam suatu wadah atau organisasi. Penjabaran jenis hubungan yang terbentuk antara mentor dengan mentee dapat diuji berdasarkan aktivitas yang terdapat dalam hubungan mentoring. Beberapa penelitian (Burke, 1984 dalam Burke & McKeen, 1989) menemukan bahwa mentor menyediakan tiga fungsi, yaitu: (1) fungsi pelatihan, dimana mentor memberikan nasihat kepada mentee tentang cara mengembangkan karir; (2) fungsi dukungan sosial, dimana mentor me nempatkan diri sebagai teman yang dapat dipercaya; dan (3) fungsi pemodelan peran, ketika mentee mempelajari perilaku yang baik JURNAL ETIKA DAN PEKERTI—Volume I, no.1, 2013
25
Ade Hidayat
dengan mengobservasi tindakan/perilaku mentor. Secara etimologi kata halaqah (KBBI: hala kah) berasal dari bahasa Arab yang berarti cincin (ring) lingkaran (circle). Diartikan demikian karena halaqah ini biasa dilakukan oleh sekumpulan orang yang posisi duduk mereka menyerupai lingkaran atau model cincin, yang mana guru dan murid menyatu dalam sebuah formasi lingkaran. Posisi duduk berkelompok yang membentuk formasi ling karan membuat seluruh peserta halaqah (siswa dan guru) saling menyatu bagaikan jalinan mata rantai; duduk sama rendah dalam kebersamaan dan kesetaraan untuk sebuah proses pencapaian tujuan. Guru tidak mengajari tetapi membimbing dan meng arahkan. Kamus Besar Bahasa Indonesia, mende finisikan halaqah (halakah) sebagai “cara belajar atau mengajar dengan duduk di atas tikar dengan posisi melingkar atau ber jejer” (Depdiknas, 2005: 383). Definisi ini mengandung kelemahan dalam dua hal, yakni “duduk di atas tikar” dan “berjejer” yang mengeluarkan definisi ini dari hakikat halaqah, yaitu lingkaran atau cincin. Masalah “duduk di atas tikar” tidak menjadi esensi halaqah, karena bisa saja duduk melingkar dengan menggunakan kursi atau menggunakan alas yang bukan tikar, bahkan bisa saja duduk melingkar dengan menggunakan meja bundar. Adapun tentang “duduk berjejer” dalam arti duduk sejajar di mana guru duduk berhadapan dengan murid yang berjejer di depannya, maka itu bukan dinamakan halaqah, me lainkan sebuah majelis biasa sebagaimana dalam acara ceramah (muhadarah). Halaqah dalam perkembangannya, mengalami proses “pendewasaan” mengikuti perkembangan zaman dan kemajuan bidang pendidikan serta ilmu pengetahuan dan teknologi. Jadi, tidak harus “duduk di atas tikar” seperti digambarkan di dalam KBBI itu. Ada tiga istilah lain berkaitan langsung dengan istilah halaqah, yaitu tarbiyah, usrah,
26
JURNAL ETIKA DAN PEKERTI—Volume I, no.1, 2013
dan liqa. Keempat istilah (tarbiyah, liqa, usrah, dan halaqah) bersinonim satu sama lain dengan nuansa makna masing-masing. Tarbiyah (pendidikan) merupakan univers yang melingkupi ketiga istilah lainnya. Liqa adalah pertemuan atau rapat dalam halaqah. Usrah (keluarga) adalah istilah lain dari halaqah. Disebut usrah karena sifat halaqah bagaikan sebuah keluarga dalam aspek hu bungan emosi di antara para anggota dan antara peserta dengan pembinanya (guru). Adapun istilah halaqah sendiri didasarkan pada bentuk atau formasi pertemuannya yang berbentuk lingkaran. Berdasarkan definisi tentang mentoring dan halaqah, secara istilah, mentoring hala qah adalah pola pembimbingan, dukungan (advice) dan pengasuhan sebagai sarana utama proses tarbiyah (pendidikan) untuk merealisasikan kurikulum tarbiyah yang bertujuan akhir mengokohkan hubungan dengan Allah dan mampu beribadah kepadaNya, dengan cara yang diridhai-Nya, yang menggunakan metode talaqqi (berguru lang sung) dalam sebuah dinamika kelompok agar terjadi proses interaksi yang intensif antara anggota halaqah, sehingga terjadi proses saling bercermin, mempengaruhi, dan berpacu ke arah yang lebih baik, serta melatih kebersamaan dan persaudaraan dalam ruang lingkup kerja sama yang tertata dengan rapi, dengan jumlah anggota minimal lima (5) orang dan maksimal 12 orang. Pembatasan jumlah peserta halaqah hing ga 12 orang sebenarnya didasari oleh per timbangan keefektifan proses bimbingan di dalam halaqah dan pengawasan dan kontrol aktivitas belajar di luar halaqah. Meskipun demikian, angka ini pun bukan jumlah mutlak, karena yang terpenting adalah bagaimana pendidik menjamin terpenuhinya kebutuhan belajar peserta halaqah, baik di dalam mau pun di luar halaqah. Dengan demikian, angka itu dapat saja dikurangi atau ditambah sesuai dengan kebutuhan.
Efektivitas Program Mentoring Halaqah
METODE Jenis dan Teknik Penelitian Sesuai dengan permasalahan yang diteliti dan tujuan penelitian, untuk menguji pen garuh program bimbingan kelompok dengan peningkatan kecerdasan moral siswa maka penelitian ini menggunakan pendekatan kuantitatif, dan menggunakan metode pene litian kuasi eksperimen (quasi-experiment). Penelitian ini tidak menggunakan percobaan murni (true experiment), karena tidak me nempatkan subyek penelitian dalam situasi laboratorik murni, yang bebas dari pengaruh lingkungan sosial selama diberikan perlakuan eksperimental. Penelitian menggunakan disain peneli tian dengan nonequivalent control groups design (disain kelompok kontrol nonekuiva len), sebuah kelompok treatment dan sebuah kelompok pembanding (kontrol) diperband ingkan dengan menggunakan ukuran-ukuran pra-uji (prates) dan pasca uji (postes). Sehing ga dalam menentukan sampel penelitian tidak dilakukan secara acak, melainkan dengan menggunakan siswa dalam kelas utuh (natural setting). Penelitian ini melibatkan dua kelompok, yaitu kelompok yang diberi perlakuan (kel ompok eksperimen) dan yang tidak menda pat perlakuan (kelompok kontrol). Kedua kel ompok tersebut diberikan prates dan postes, perbedaan hasil atau variabel dependen pada kelompok eksperimen dan kelompok kontrol dapat menunjukkan efektif atau tidaknya per lakuan (layanan BKMH) yang diberikan pada kelompok eksperimen. Subyek Penelitian Penentuan ukuran populasi terdapat dua macam, yakni terhingga dan tak hingga. Dalam hal populasi terhingga obyeknya terbatas dan anggotanya dapat berupa orang atau bukan, sehingga populasi memiliki batas kuantitatif secara jelas. Sedangkan, populasi tak hingga, yaitu populasi yang tidak dapat ditemukan batas-batasnya, sehingga tidak dapat dinya takan dalam bentuk jumlah secara kuantitatif
(Zuriah, 2006: 116). Populasi dalam penelitian ini menggunakan populasi terhingga, yakni seluruh siswa kelas X (sepuluh) tahun ajaran 2011-2012. Teknik pengambilan sampel yang digunakan sesuai dengan penjelasan Arikunto (2002: 112), menyebutkan bahwa jika subyek penelitian kurang dari 100, lebih baik diambil semua sehingga penelitiannya merupakan penelitian populasi. Selanjutnya, jika jumlah subjeknya besar, dapat diambil antara 10-15% atau 20-25% dari jumlah popu lasi. Berdasarkan asumsi di atas, maka peneliti akan mengambil sampel sebanyak 20% dari jumlah siswa kelas XI SMA Negeri 6 Pandeg lang tahun ajaran 2011-2012. Populasi kelas X SMA Negeri 6 Pandeglang berjumlah 394 siswa. Sehingga sampel yang diambil sebesar 20% tersebut berjumlah 80 siswa/responden. Teknik pengambilan sampel pada peneli tian ini yaitu dengan menggunakan probability sampling, yaitu teknik pengambilan sampel dimana seluruh elemen populasi mempunyai kesempatan yang sama untuk dijadikan sam pel. Probability sampling yang dipakai ada lah dengan sampel random sampling, yaitu merupakan suatu pengambilan sampel secara acak. Penelitian ini mengambil sampel teknik random sampling atau secara acak, karena salah satu cara pengambilan sampel yang rep resentatif adalah secara acak atau random. Kelompok eksperimen adalah siswa SMAN 6 Pandeglang kelas X tahun ajaran 2011-2012 yang mengikuti mentoring halaqah. Sedang kan kelompok kontrol adalah siswa SMAN 13 Pandeglang kelas X tahun ajaran 2011-2012 yang mengikuti bimbingan kelompok dengan pendekatan konvensional. Penentuan kelompok eksperimen dan kelompok kontrol diperoleh dengan meng gunakan teknik random sampling. Teknik ini menggunakan cara pengambilan/pemilihan sampel secara pilihan random, sembarangan tanpa pilih bulu. Penentuan sampel ini meng gunakan teknik undian, untuk kelompok eks perimen diambil 30 partisipan dari 80 sampel siswa kelas X SMAN 6 Pandeglang. Kemudian, JURNAL ETIKA DAN PEKERTI—Volume I, no.1, 2013
27
Ade Hidayat
untuk kelompok kontrol diundi satu dari sepu luh (10) rombel kelas X SMAN 13 Pandeglang. Hasil pengundian untuk kelompok kontrol, terpilih kelas X-C yang berjumlah 40 siswa. Prosedur Pengolahan Data Penelitian ini mengumpulkan beberapa jenis data, yaitu; (1) data mengenai kondisi ob jektif mengenai profil kecerdasan moral rem aja sebelum mengikuti bimbingan kelompok melalui pendekatan mentoring halaqah; (2) data tentang kecerdasan moral remaja yang dilakukan dalam dua tahap, yaitu data hasil prates dan postes; (3) data profil siswa setelah mengikuti BKMH; dan (4) adalah gambaran objektif mengenai pelaksanaan BKMH. Penyeleksian dan Penyekoran Data Penyeleksian data bertujuan untuk memi lih data yang memadai diolah. Penyeleksian data dilakukan dengan memeriksa kelengka pan angket yang diisi, dari identitas respon den, jawaban yang diberikan, dan angket yang dikembalikan. Jumlah angket terkumpul har us sesuai dengan jumlah angket yang disebar. Penyekoran data dalam penelitian ini dis usun dalam bentuk skala ordinal yang menun jukkan perbedaan tingkatan subyek secara kuantitatif (Furqon, 2009: 8). Skala ordinal didasarkan pada peringkat atau ranking yang diurutkan dari jenjang tertinggi sampai teren dah atau sebaliknya. Pemberian skor pada se tiap item pernyataan dilihat dari pilihan jawa ban dan sifat dari setiap pernyataan (positif atau negatif) dengan rentang skor 4, 3, 2, dan 1. Pengelompokkan Skor Kelompok skor digunakan sebagai standar dalam menafsirkan makna skor yang dicapai siswa dalam pendistribusian respon terhadap instrumen. Kelompok skor disusun berdasar kan skor yang diperoleh responden pada seti ap aspek maupun skor total instrumen. Data yang diperoleh kemudian dikelompokkan berdasarkan tingkat kecerdasan moral siswa, apakah berada dalam tingkat matang, cukup matang atau belum matang. 28
JURNAL ETIKA DAN PEKERTI—Volume I, no.1, 2013
Teknik Analisis Data Tujuan utama dalam melakukan analisis adalah menetapkan apakah data yang kita peroleh pada sebuah penelitian mendukung klaim perilaku (Abelson, 1995 dalam Shaugh nessy, Zechmeister & Zechmeister, 2007 : 427). Teknik analisis data yang dipergunakan dalam penelitian ini adalah statistik deskrip tif dan parametrik. Selanjutnya ada tiga ta hap data analisis yang berbeda tetapi saling berhubungan satu sama lain, yaitu mengenal data, meringkas data dan mengonfirmasikan sesuatu yang diungkap. Pada tahap mengenal data, peneliti melaku kan menganalisis data dengan memeriksa fitur-fitur umum data dan mengeditnya jika perlu serta membersihkan data. Tahap beri kutnya adalah dengan meringkas data, yaitu untuk mengukur tendensi sentral termasuk mean (rata-rata), median, dan mode. Juga un tuk menentukan ukuran-ukuran variabilitas yaitu range (rentang nilai) dan deviasi stan dar. Tahap ketiga, adalah menggunakan in terval kepercayaan untuk mengonfirmasikan yang diungkap oleh data yaitu dengan men gonstruksikan confidence interval (interval kepercayaan) untuk parameter populasinya dapat dihitung untuk satu mean atau perbe daan mean populasi. Setelah pengujian normalitas dan homoge nitas, selanjutnya dilakukan uji-t terhadap dua sampel independen (Independent-Sample t Test) yaitu postes Kelompok Eksperimen dan postes Kelompok Kontrol berdasarkan hasil skor rata-rata dan gain skor. Dalam pengujian hipotesis, kriteria yang digunakan adalah: H0 : μ1 = μ2, H1 : μ1 > μ2 dimana: μ1 = mean skor kecerdasan moral dari Kelompok Eksperimen yang mengikuti BKMH. μ2 = mean skor kecerdasan moral dari Kelompok Kontrol yang tidak mengikuti BKMH. Dengan daerah penerimaan: Jika P-value < α, maka H0 ditolak. Jika P-value > α, maka H0 tidak dapat ditolak.
Efektivitas Program Mentoring Halaqah
Dan untuk menentukan efektivitas pro gram BKMH, maka dengan melakukan uji-t. Dengan interval kepercayaan 95%, α = (1 0,95) = 0,05.
HASIL PENELITIAN Karakteristik Perkembangan Kecerdasan Moral Siswa SMAN 6 Pandeglang Gambaran atau karakteristik perkembang an kecerdasan moral siswa di sekolah diper lukan untuk membuat rancangan program BKMH dalam meningkatkan kecerdasan moral siswa. Gambaran perkembangan kecer dasan moral dihimpun dari angket yang dise bar kepada siswa kelas X SMAN 6 Pandeglang. Hasil penelitian merupakan deskripsi empiris tentang gambaran umum kecerdasan moral siswa kelas X SMAN 6 Pandeglang sebelum dilaksanakan program BKMH yang terdiri dari: (1) Gambaran umum kecerdasan moral siswa; (2) Gambaran kecerdasan moral siswa berdasarkan aspek. Gambaran Umum Kecerdasan Moral Siswa Kelas X SMAN 6 Pandeglang Gambaran umum kecerdasan moral siswa kelas X SMAN 6 Pandeglang tahun ajaran 2011-2012 diperoleh dari sebanyak 80 sampel. Kecerdasan moral siswa secara umum digam barkan melalui besarnya persentase yang diperoleh berdasarkan kriteria skor. Tabel 1. Gambaran Umum Kecerdasan Moral Siswa Kelas X SMAN 6 Pandeglang Rentang Skor
F
%
Sangat Tinggi
198 – 232
0
0,00
Tinggi
163 – 197
25
31,25
Sedang
128 – 162
53
66,25
Rendah
93 – 127
2
2,50
Sangat Rendah
58 – 92
0
0,00
Kategori
Tabel 1 memberikan gambaran bahwa dari 80 siswa, terdapat 31,25% (25 siswa) memiliki kecerdasan moral tinggi, 66,25% (53 siswa) tergolong ke dalam kategori siswa yang memi liki kecerdasan moral sedang, dan 2,50% (2 siswa) tergolong ke dalam kategori siswa yang memiliki kecerdasan moral rendah. pencapa ian rerata kelompok eksperimen memperoleh skor 157,71 atau sebesar 67,98% dari skor mak simal ideal sebesar 232, sehingga dapat dika takan bahwa kecerdasan moral siswa kelas X SMAN 6 Pandeglang berada pada kategori sedang (interval persentase skor ideal antara > 55% – 70%). Gambaran Kecerdasan Moral Siswa Berdasarkan Aspek Sebagai gambaran yang lebih spesifik me ngenai gambaran kecerdasan moral siswa, beri kut ini disajikan pada tabel mengenai gamba ran kecerdasan moral siswa berdasarkan tujuh aspek kecerdasan moral, yaitu aspek empati, hati nurani, kontrol diri, rasa hormat, kebai kan hati, toleransi, dan keadilan. Tabel 2. Gambaran Kecerdasan Moral Siswa Kelas X SMAN 6 Pandeglang Berdasarkan Aspek No.
Aspek
Rerata (%)
Kategori
1.
Empati
69,97
Sedang
2.
Hati Nurani
65,00
Sedang
3.
Kontrol Diri
70,43
Tinggi
4.
Rasa Hormat
66,45
Sedang
5.
Kebaikan Hati
65,90
Sedang
6.
Toleransi
67,32
Sedang
7.
Keadilan
70,08
Tinggi
Tabel 2 menggambarkan kecerdasan moral siswa pada aspek empati dalam diri siswa tergolong ke dalam kategori sedang, aspek hati nurani tergolong kategori sedang, aspek kontrol diri dalam kategori tinggi, aspek rasa hormat berkategori sedang, aspek kebaikan hati berkategori sedang, aspek toleransi se JURNAL ETIKA DAN PEKERTI—Volume I, no.1, 2013
29
Ade Hidayat
dang, dan aspek keadilan ada dalam kategori tinggi. Hal ini berarti rata-rata aspek kecerdasan moral tergolong dalam kategori sedang. Efektivitas Layanan BKMH dalam Meningkatkan Kecerdasan Moral Siswa Untuk menentukan efektif tidaknya pe laksanaan BKMH dibandingkan dengan bimbingan lainnya yang menggunakan metode bimbingan kelompok konvensional, data yang digunakan adalah perbandingan hasil skor rata-rata prates dan pascates dari kelompok eksperimen dan kelompok kontrol. Selain skor rata-rata perbandingan juga digunakan data skor gain (selisih antara hasil prates dan pascates) dari kedua kelompok. Pengujian Asumsi Statistik Untuk menguji efektivitas pelaksanaan bimbingan kelompok, langkah yang diguna kan adalah dengan membandingkan gain atau selisih prates pascates pada kelompok ekspe rimen dan gain atau selisih prates-pascates pada kelompok eksperimen. Pengujian hipo tesis statistik dalam penelitian ini dapat dike tahui dengan menggunakan hasil uji-t pada masing-masing kelompok. Berdasarkan hasil penelitian terlihat ratarata prates sebesar 152.67 dan rata-rata pascates sebesar 173.43. Hal ini berarti bahwa nilai ratarata untuk pascates lebih tinggi dari prates. Dengan melihat bahwa skor pascates lebih tinggi dari skor prates, maka dapat dikatakan bahwa terjadi peningkatan pada kemampuan kecerdasan moral siswa setelah diberikan kegi atan BKMH. Kemudian, untuk melihat efek tivitas BKMH dalam meningkatkan kecer dasan moral siswa dapat dilihat berdasarkan nilai t didapatkan thitung sebesar 5,743 dengan df sebesar 58, maka pada taraf signifikansi 5% didapatkan ttabel sebesar 2,002 dan pada taraf signifikan 1% didapatkan ttabel sebesar 2,663. Karena thitung lebih besar dari ttabel baik pada taraf signifikan 5% dan 1% maka HO ditolak. Berdasarkan nilai probabilitas, diperoleh angka 0,000. Hal ini berarti HO : μ1 = μ2 ditolak 30
JURNAL ETIKA DAN PEKERTI—Volume I, no.1, 2013
karena nilai probabilitas lebih kecil dari 0,05 dan 0,01. Dengan demikian karena HO ditolak maka H1 = μ1 > μ2 diterima, sehingga hipote sisnya berbunyi “program BKMH efektif un tuk meningkatkan kecerdasan moral siswa” Hasil Uji-t Posttest Kelompok Eksperimen dengan Kontrol Tujuan pengujian menggunakan uji-t pada kelompok eksperimen dan kelompok kontrol ini bermaksud untuk mengetahui apakah BKMH yang diberikan pada kelompok eksper imen lebih efektif dibandingkan dengan per lakuan konvensional pada kelompok kontrol. Uji-t ini menggunakan hasil skor posttest kel ompok eksperimen dan kontrol, didapatkan hasil rerata dan analisis uji-t didapatkan ratarata posttest eksperimen sebesar 173,43 dan rata-rata posttest kontrol sebesar 163.37. Ini berarti bahwa nilai rata-rata kecerdasan mor al untuk posttest pada kelompok eksperimen lebih tinggi daripada posttest pada kelompok kontrol. Dengan melihat bahwa rata-rata ke cerdasan moral untuk posttest eksperimen lebih tinggi daripada posttest kontrol maka dapat dikatakan bahwa kemampuan kecer dasan moral siswa lebih efektif diberikan keg iatan BKMH, dibandingkan dengan perlakukan konvensional biasa pada kelompok kontrol. Ber dasarkan nilai t didapatkan thitung sebesar 3,228 dengan df 58, maka pada taraf signifikansi 5% didapatkan ttabel sebesar 2,002 dan pada taraf signifikan 1% didapatkan ttabel sebesar 2,663. Karena thitung lebih besar dari ttabel baik pada taraf signifikan 5% dan 1% maka HO ditolak. Berdasarkan nilai probabilitas, didapatkan angka 0,002. Hal ini berarti HO : μ1 = μ2 ditolak karena nilai probabilitas lebih kecil dari 0,05 dan 0,01. Dengan demikian karena HO ditolak maka H1 = μ1 > μ2 diterima, sehingga hipote sisnya berbunyi “BKMH efektif untuk menin gkatkan kecerdasan moral siswa” Hasil Perhitungan Gain Score Kelompok Eksperimen dan Kontrol Pengujian skor gain antara pascates kel ompok eksperimen dengan kelompok kon
Efektivitas Program Mentoring Halaqah
trol ini bermaksud untuk mengetahui apakah BKMH pada kelompok eksperimen lebih efek tif dibandingkan dengan bimbingan kelompok konvensional pada kelompok kontrol. Uji-t ini menggunakan selisih skor prates dan pascates kelompok eksperimen dan kelompok kon trol. Didapatkan hasil rerata dan analisis uji-t didapatkan rata-rata gain kelompok eksperi men sebesar 20,76 dan rata-rata gain kelom pok kontrol sebesar 10.33. Ini berarti bahwa nilai selisih rata-rata peningkatan kecerdasan moral pada kelompok eksperimen lebih besar dibandingkan kelompok kontrol. Diketahui bahwa gain score eksperimen lebih besar dari kelompok kontrol maka dapat dikatakan bah wa peningkatan kecerdasan moral lebih efektif setelah diberikan BKMH pada kelompok eks perimen dibandingkan kelompok kontrol. Berdasarkan nilai t pada tabel 3 didapatkan thitung sebesar 9,561 dengan df 58, maka pada taraf signifikansi 5% didapatkan ttabel sebesar 2,002 dan pada taraf signifikan 1% didapat kan ttabel sebesar 2,663. Karena thitung lebih be sar dari ttabel baik pada taraf signifikan 5% dan 1% maka HO ditolak. Kemudian, berdasarkan nilai probabilitas, dari tabel di atas didapatkan angka 0,000. Hal ini berarti HO : μ1 = μ2 ditolak karena nilai probabilitas lebih kecil dari 0,05 dan 0,01. Dengan demikian karena HO ditolak maka H1 = μ1 > μ2 diterima, sehingga didapat kan simpulan bahwa “program BKMH efektif untuk meningkatkan Kecerdasan Moral”.
PEMBAHASAN Hasil dari studi pendahuluan yang dilakukan, pemberian layanan pembelajaran yang dilak sanakan di SMAN 6 Pandeglang umumnya sudah berjalan dengan baik dan menunjang untuk membantu perkembangan kepribadian dan kecerdasan siswa. Pelaksanaan bimbing an dan konseling di perkembangan siswa, akan tetapi perubahan dalam perkemban gan kepribadian siswa masih belum tampak khususnya pemahaman siswa dalam menge tahui, mengelola serta mengekspresikan mo
ralitas dengan baik dan tepat, sebagai contoh kontrol diri dalam hal ini masih kurang diasah dengan baik. Hal ini dapat dilihat dari hasil pe nelusuran awal dalam penelitian yang dilaku kan memberikan profil bahwa kemampuan kecerdasan moral siswa masih rendah, serta pengelolaan dalam pelaksanaan bimbingan dan konseling sebagian besar masih berfokus pada pemberian layanan bimbingan akade mik, sehingga aspek kecerdasan moral dan perkembangan siswa dalam mencapai tugastugas perkembangannya tidak memperlihat kan perubahan yang signifikan. Profil Kecerdasan Moral Siswa Sebelum Mengikuti BKMH Penelitian yang dilakukan di SMAN 6 Pan deglang memiliki beberapa tujuan di antara nya adalah untuk meningkatkan kecerdasan moral siswa. Kecerdasan moral merupakan kemampuan kita yang tumbuh secara perlah an untuk merenungkan mana yang benar dan mana yang salah, dengan menggunakan sum ber emosional maupun intelektual manusia (Coles, 2003: 2). Kecerdasan moral berbeda dengan konsep penalaran moral (moral reasoning) Piaget dan Kohlberg (Crain, 2007:262) yang sebatas bergerak lebih dalam pada alam sadar manusia dalam menghadapi dilema etika (Mintchik & Farmer, 2009). Konsep ke cerdasan moral memiliki kaitan dengan moral kognitif (moral cognitive), meskipun moral kognitif mampu merasionalisasi dilema etika (Mintchik & Farmer, 2009), namun penalaran moral masih sebatas mengetahui (knowing) untuk mengoptimalisasi secara komprehensif (knowledge and applicative) dibutuhkan ke cerdasan moral. Kecerdasan moral terbangun dari prinsipprinsip atau esensi-esensi kebajikan (essential virtues) moral yang menjadi kekuatan dan otot moral bagi individu dalam menghadapi tantangan maupun dilema moral dan dapat mendorong individu mencapai kesuksesan. Para pakar moral mengemukakan bahwa terdapat empat ratus lebih kebajikan moral dalam pengembangan kecerdasan moral, na JURNAL ETIKA DAN PEKERTI—Volume I, no.1, 2013
31
Ade Hidayat
mun dari sekian banyak kebajikan tersebut terdapat tujuh kebajikan utama yang menjadi esensi pokok sebagai landasan untuk bersikap dan berperilaku secara etis (Borba, 2008: 7 dan 10). Ketujuh kebajikan atau aspek kecerdasan moral yang dimaksud adalah empati, hati nurani, kontrol diri, rasa hormat, kebaikan hati, toleransi dan keadilan. Ketujuh aspek ke cerdasan moral tersebut kemudian dijadikan parameter untuk mengukur tingkat kecer dasan moral siswa di kelas X SMAN 6 Pandeg lang yang dikembangkan dalam instrumen penelitian. Berdasarkan hasil penelitian menunjuk kan bahwa dari 80 sampel siswa kelas X ditemukan 11,25% kecerdasan moral siswa be rada pada kategori tinggi, 72,50% kecerdasan moral siswa berada pada kategori sedang, dan 16,25% kecerdasan moral siswa berada pada kategori rendah. Berdasarkan data empiris tersebut, maka kondisi moral siswa di kelas X SMAN 6 Pan deglang berada pada taraf perlu perbaikan dan pengembangan. Gagasan teoritik di atas secara empirik relevan dengan beberapa temuan para peneliti. Penelitian Martianto (2005) yang dilakukan tahun 2002 di sekolah menengah pertama menunjukkan bahwa 30% siswa memiliki moral yang rendah. sedangkan temuan Borba (2008) menunjukkan bahwa 22% siswa dalam kategori rendah. Fenomena moral siswa yang mengarah ke arah negatif disebabkan berbagai faktor di antaranya adalah faktor lingkungan yang negatif. Perkembangan moral anak sangat dipenga ruhi oleh lingkungannya, di antaranya adalah keluarga (Yusuf & Nurihsan, 2008: 133), te man sebaya dan perkembangan teknologi (Borba, 2008: 5). Secara spesifik pengaruh lingkungan yang memiliki andil yang besar adalah perkembangan teknologi, meskipun perkembangan teknologi sarat nilai positif namun dampak negatif lebih dominan. Hal ini disebabkan munculnya pemahaman bah wa perkembangan teknologi dan sains bebas nilai (free value) menjadikan teknologi bebas 32
JURNAL ETIKA DAN PEKERTI—Volume I, no.1, 2013
diekspresikan sesuai kehendak individu tanpa ada batasan nilai-nilai etis. Borba (2008: 5) mengemukakan bahwa pesatnya kemajuan teknologi berbanding lurus dengan dampak negatif yang di timbulkan, seperti televisi, handphone, internet, telah menyodorkan pe rilaku sinisme, pelecehan, materialisme, seks bebas, kekasaran dan pengagung kekerasan. Untuk mengatasi kondisi moral siswa di SMAN 6 Pandeglang berbagai upaya dilaku kan oleh guru bimbingan dan konseling dan pihak sekolah terus berupaya untuk menin gkatkan moralitas siswa, baik secara formal maupun non formal. Upaya yang dilakukan guru bimbingan dan konseling SMAN 6 Pan deglang di antaranya, memberi hukuman kepada siswa yang tidak disiplin dan melang gar aturan sekolah, membangun kerjasama dengan guru bidang studi dan orang tua un tuk mengatasi permasalah siswa khusus nya masalah moral, melakukan bimbingan dan konseling yang bersifat individual untuk memberi motivasi kepada siswa dan memberi surat teguran kepada siswa yang dianggap memiliki sikap dan perilaku yang tidak ber moral. Jadi, layanan yang di berikan guru BK di SMAN 6 Pandeglang masih bersifat respon sif. Sedangkan upaya yang dilakukan oleh per sonil sekolah di antaranya, menjadikan guru sebagai teladan moral di sekolah, mengarah kan siswa untuk aktif pada kegiatan-kegiatan positif dan memediasi siswa untuk mengem bangkan akhlak melalui wadah dan media ter tentu, seperti kegiatan mushola dan mading. Oleh karena upaya yang dilakukan oleh guru bimbingan dan konseling serta pihak sekolah belum secara maksimal dapat meningkatkan kecerdasan moral (berdasarkan data hasil pe nelitian) siswa yang didasarkan pada tujuh as pek kecerdasan moral. Dinamika Peningkatan Kecerdasan Moral Siswa sebagai Dampak Perlakuan Program BKMH Fenomena moralitas siswa di SMAN 6 Pan deglang yang secara jelas memiliki kecend erungan yang harus diwaspadai oleh seluruh
Efektivitas Program Mentoring Halaqah
personil sekolah, oleh karena itu upaya-upaya solusi perlu dikembangkan. Program BKMH diharapkan menjadi salah satu solusi untuk meningkatkan kecerdasan moral siswa. Moralitas merupakan salah satu unsur penting dalam perkembangan remaja perlu ditangani sejak awal tentunya melalui pembe rian pemahaman tentang isu-isu moral, seperti pemahaman tentang nilai baik-buruk dan pe mahaman tentang pentingnya mengintegrasi kan norma-norma masyarakat dalam diri. Selain itu, konselor atau pembimbing mem berikan bimbingan kepada siswa tentang cara untuk menghindarkan diri dari sikap dan tin dakan-tindakan immoral, seperti berbohong, seks bebas, tidak toleran, sikap antipati antara sesama teman dan sikap dan tindakan tidak bermoral lainnya. Hal ini merupakan wujud implementasi fungsi preventif (pencegahan) dalam bimbingan dan konseling kelompok. Bagi siswa yang sudah mengalami dekan densi moral akut, seperti kebiasaan menggu nakan obat-obat terlarang, melakukan budaya kumpul kebo, memiliki kebiasaan minum minuman keras, atau mencuri harus ditan gani melalui pendekatan-pendekatan khusus, namun masih dalam konteks bimbingan dan konseling kelompok, misalnya mendatangkan narasumber yang memiliki kemampuan yang sesuai juga dapat digunakan pendekatan lain nya. Setiap strategi dalam layanan bimbingan dan konseling tentunya memiliki karakteris tik yang berbeda, salah satu perbedaan terse but terletak pada pendekatan atau strategi penyampaian informasi dalam aktifitas bim bingan dan konseling. Strategi bimbingan dan konseling kelompok dapat dilakukan dengan memanfaatkan media pendidikan, seperti cerita moral, infokus, laptop, boneka, film atau cera mah yang informatif maupun melalui drama atau diskusi panel yang keseluruhannya berisi informasi tentang nilai-nilai moral. Bimbingan dan konseling kelompok da lam pelaksanaannya dapat dilakukan dengan beragam pendekatan, salah satunya adalah melalui pendekatan mentoring halaqah. Pen
dekatan mentoring halaqah dapat digunakan karena memiliki kesamaan dengan bimbingan kelompok, yaitu dalam tahapan prosedural dan bentuk kegiatan bimbingan kelompok seperti yang telah dijelaskan pada bagian lain di atas. Selain itu mentoring halaqah juga memiliki unsur-unsur terapetik seperti dalam metode bimbingan kelompok, seperti penge nalan (taaruf) dan pemahaman (tafahum) terhadap individu siswa dan lingkungan, serta mengembangkan kepedulian dan sikap to long-menolong (takaful), sehingga terbangun sikap saling percaya, saling perhatian, saling pengertian dan saling mendukung untuk sa ling mengatasi kesulitan dan mengembangkan potensi yang dimiliki antar peserta mentoring halaqah. Unsur-unsur ini sangat penting da lam pengembangan spiritualitas dan morali tas individu peserta mentoring halaqah. Dalam penelitian ini juga menunjukkan, bimbingan kelompok melalui pendekatan mentoring halaqah efektif dalam mening katkan kecerdasan moral siswa yaitu pada pengembangan aspek pribadi-sosial siswa (remaja) seperti, memiliki sikap toleransi sesa ma umat beragama, memiliki sikap altruistik dalam interaksi sosial, berempati terhadap sesama manusia, memiliki sikap tanggung jawab pada amanah yang dibebankan dalam tugas dan kewajibannya, bersikap positif dan respek terhadap diri sendiri, memiliki ke mampuan untuk melakukan pilihan secara se hat dan memiliki sikap menerapkan keadilan antar sesama. Program bimbingan pribadi sosial untuk meningkatkan kecerdasan moral siswa diran cang berdasarkan komponen bimbingan dan konseling komprehensif yang dilakukan mela lui bimbingan kelompok, maka yang dimak sud dengan program bimbingan kelompok melalui pendekatan halaqah adalah suatu rencana atau pola kegiatan bimbingan kelom pok yang menggunakan tahap-tahap pelaksa naan kegiatan mentoring halaqah. Rencana dan pola kegiatan itu dijabarkan dalam kom ponen-komponen: (1) prinsip dasar, yang me muat konsep BKMH, visi-misi bimbingan dan JURNAL ETIKA DAN PEKERTI—Volume I, no.1, 2013
33
Ade Hidayat
konseling, dan kebutuhan siswa; (2) tujuan layanan bimbingan kelompok; (3) isi bimbingan kelompok, meliputi layanan dasar, layanan re sponsif, layanan perencanaan individual; dan (4) dukungan sistem. Sampel dalam penelitian adalah siswa kelas X yang ditentukan melalui undian (random sampling). Hasil pretest terhadap sam pel menunjukkan bahwa siswa kelas X berada pada kategori yang memiliki tingkat kecer dasan moral yang rendah. Proses intervensi program dilakukan sebanyak delapan kali yang berfokus pada pengembangan aspek, empati, hati nurani, kontrol diri, rasa hormat, kebaikan hati, toleransi dan keadilan. Hasil penelitian menunjukkan bahwa program BKMH dalam meningkatkan ke cerdasan moral berdasarkan pada ketujuh aspek kecerdasan moral, yaitu aspek empati, hati nurani, kontrol diri, kebaikan hati, rasa hormat, toleransi dan keadilan efektif atau signifikan untuk meningkatkan kecerdasan moral siswa. Tujuh aspek pada taraf signifikan disebab kan karena ketiga inti kecerdasan moral, yaitu empati, hati nurani (conscience) dan kontrol diri (self control) berada pada taraf signifikan. Sebagaimana yang ditegaskan Borba (2008) ketiga inti kecerdasan moral akan mempe ngaruhi perkembangan aspek moral selanjut nya menjadi lebih baik atau buruk. Kuat atau lemahnya aspek empati akan mempengaruhi kekuatan maupun kelemahan hati nurani. Mubarok (2009: 18) menegaskan hati nura ni atau bashirah merupakan inti dari akhlak karena selalu konsisten, jujur dan peka. Oleh karena itu, nurani yang merupakan bagian kalbu yang ditetapkan sebagai inti dalam psikologi Islam. Kuatnya hati nurani menjadi landasan efektif untuk mengembangkan ke baikan hati dan rasa hormat (Borba, 2008). Clark (1996) mengemukakan bahwa kontrol diri yang kuat akan mempengaruhi anak un tuk bersikap dan berpikir benar untuk berpe rilaku toleran. Selanjutnya, Thomas Lickona berpendapat, pemberian pemahaman men dalam secara perlahan akan membantu sese 34
JURNAL ETIKA DAN PEKERTI—Volume I, no.1, 2013
orang untuk menghargai persamaan hak dan keadilan (Borba, 2008: 284). Berdasarkan pemahaman teoritik tersebut, maka efektivitas ketujuh aspek kecerdasan moral karena proses pembentukan inti kecer dasan moral yang efektif dan didukung oleh peranan sekolah (lingkungan) yang mendu kung, sebagaimana terungkap pada upaya-up aya peningkatan kecerdasan moral oleh pihak sekolah.
DAFTAR PUSTAKA ABKIN (2008), Rambu-Rambu Penyelenggaraan Bimbingan dan Konseling di Jalur Pendidikan Formal. Bandung: PPB-FIP-UPI Albanna, H. (2005). Risalah Pegerakan Ikhwanul Muslimin 1 dan 2. Jakarta: Era Intermedia. Ali & Asrori, M. (2008). Psikologi Remaja: Perkembangan Peserta Didik. Jakarta: Bumi Aksara. Alkandahlawi, MMS. (2007). Kitab Ta’lim Muntakhab Ahadits: Firman Allah dan Hadits-Hadits Pilihan Mengenai Sifat-Sifat Mulia Para Sahabat Nabi SAW. Bandung: Pustaka Ramadhan. Arikunto, S. (2002). Prosedur Penelitian: Suatu Pendekatan Praktek, Jakarta: Rineka Cipta. Boeree, G. (2003). Moral Development. (Tnp. Edisi) [online]. Tersedia: http://www.scribd.com/doc/ 7900047/Moral-Development [5 September 2011]. Borba, M. (2008), Membangun Kecerdasan Moral. Jakarta: Gramedia Pustaka. Burke, RJ. & McKeen, CA. (1989). “Developing Formal Mentoring Programs in Organizations”. Journal of Business Quarterly, 53, (3), 76-99. Coles, R. (2003). The Moral Intelligence of Children: How to Raise a Moral Child. Pennsylvania: Little Brown & Co. Coles, R. (2003). Children of Crisis. Pennsylvania: Little Brown & Co. Crain, W. (2007). Teori Perkembangan, Konsep dan Aplikasi. Yogyakarta: Pustaka Pelajar. Davis, C. (2008) Spiritual Intelligence Definitions. Mindwise Web Site. [Online]. Tersedia: http:// 64.233.183.104/search?q=cache:- SolUfKW0ngJ: www. mindwise. com.au/spiritual_intelligence. shtml+%22Cynthia+R.+Davis%22 %2B%22 sq%22& hl=tr&gl=tr&ct=clnk&cd=2, [8 Maret 2011]. Depdiknas. (2005). Kamus Besar Bahasa Indonesia. Jakarta: Balai Pustaka. Depdiknas. (2007). Penataan Pendidikan Profesional Kon selor dan Layanan Bimbingan dan Konseling Dalam Jalur Pendidikan Formal. Bandung: Penerbit UPI. Emzir. (2009). Metodologi Penelitian Pendidikan (Kuantitatif dan Kualitatif). Jakarta: Raja Grafindo Persada.
Efektivitas Program Mentoring Halaqah
Furqon. (2009). Statistika Terapan untuk Penelitian. Bandung: Alfabeta. Gardner, H. (1999). Intelligence Reframed: Multiple Intelligences for the 21st Century. [online]. Tersedia: http://Howardgardner.multiply.com/journal/ ite/86/ [10 April 2011] Gay, B. (1994). “What Is Mentoring?”. Journal of Education+Training, 36, (5), 4-7. Gysbers, N.C. & Henderson, P. (2006). Developing & Ma naging Your School Guidance and Counseling Program. Alexandria: American Counseling Association. Hall, C. & Lindzey, G. (1985). Introduction to Theories of Personality. Canada: John Wiley & Sons.Inc. Hawari, D. (1999). Al Qur’an dan Ilmu Kedokteran Jiwa. Yogyakarta: Rake Sarasin. Hurlock, E. (1994). Psikologi Perkembangan (Suatu Pendekatan Sepanjang Rentang Kehidupan). Ja karta: Erlangga. Husaini, A. (2005). Wajah Peradaban Barat: Dari Hegemoni Kristen ke Dominasi Sekular-Liberal. Jakarta: Gema Insani Press. Kartadinata, S. (2011). Menguak Tabir Bimbingan dan Konseling Sebagai Upaya Pedagogis. Ban dung: UPI Press. Kemendiknas. (2010). Pengembangan Pendidikan Budaya dan Karakter Bangsa. (Tersedia dalam ben tuk softcopy). Jakarta: Balitbang: Pusat Kurikulum. Kohlberg, L. (1995). Tahap-tahap Perkembangan Moral (alih bahasa oleh John de Santo & Agus Cremers). Yogyakarta: Kanisius. Latief, K. (2008). Morality and Ethics in Islam. [online]. Tersedia: http:// www.islamreligion. com/articles/1943/ [8 Maret 2011]. Lennick, D. & Kiel, F. (2008). Moral Intelligence, Enhancing Business Perfomance and Leadership Success. New Jersey: Pearson Education.Inc. Muro, J.J. & Kottman, T. (1995). Guidance And Counseling In The Elementary And Middle Schools. A Practical Approach. Iowa. Brown & Brechmark.
Mursidin. (2011). Moral Sumber Pendidikan. Bogor: Ghalia Indonesia. Nasir, M.A. (2008). Ramah Lingkungan dalam Pandangan Hidup Islam. Makalah pada seminar IN SIST Jakarta. Natawidjaja, R. (1987). Pendekatan-pendekatan da lam Bimbingan dan Penyuluhan Kelompok. Bandung: Diponegoro. Natawidjadja, R. (2009). Konseling Perkembangan. Bandung: Rizqi Press. Natawidjaja, R & Surya, M. (1997), Pengantar Bim bingan Dan Penyuluhan. Jakarta: Universitas Terbuka Press. Nurihsan, J. (2006). Bimbingan & Konseling dalam Berbagai Latar Kehidupan. Bandung: Refika Aditama. Nurihsan, J. & Yusuf, S. (2008). Landasan Bimbingan dan Konseling. Bandung: Rosda Karya. Rose, C. & Nicholl, M.J. (2002). Accelerated Learning for The 21st Century (alih bahasa oleh Dedi Ahimsa). Bandung: Nuansa. Santrock, J. (2007). Lifespan Development (Perkembangan Masa Hidup). Jakarta: Erlangga. Shaughnessy, J.J. Zechmeister, E.B. & Zechmeister, J.S. (2007). Metodologi Penelitian Psikologi. Yo gyakarta. Penerbit Pustaka Pelajar. Depdiknas. (2003). Undang-Undang RI No 20 tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional. Se marang: Aneka Ilmu. Vaughan, F. (2002) “What is Spiritual Intelligence?”, Journal of Humanistic Psychology, 42, (2), 16-23. Winkel & Hastuti, S. (2006). Bimbingan dan Konseling di Institusi Pendidikan. Yogyakarta: Media Abadi. Yusuf, S. (2005). Psikologi Perkembangan Remaja. Bandung: Remaja Rosdakarya. Yusuf, S. (2009). Program Bimbingan dan Konseling di Sekolah (SLTP dan SLTA). Bandung. Rizqi Press. Zainu, J. (2000). Pribadi dan Akhlak Rasulullah saw, Solo: Al-Qowam. Zuriah, N. (2008). Pendidikan Moral & Budi Pekerti dalam Perspektif Perubahan. Jakarta: Bumi Aksara.
JURNAL ETIKA DAN PEKERTI—Volume I, no.1, 2013
35
PENDIDIKAN DEMOKRATIS JALANAN DALAM BANYOLAN STIKER GAUL SEPEDA MOTOR Heri Mohamad Tohari, A. Syihabudin LP3M Universitas Mathla’ul Anwar Banten
ABSTRAK: Pendidikan demokratis jalanan merupakan pendidikan yang diperoleh melalui pencarian makna dan simbol atas berbagai fenomena yang nampak di jalanan, salah satunya humor yang berkembang dalam sebuah masyarakat. Humor juga berkaitkelindan dengan demokratisasi yang ada dalam sebuah Negara. Humor bisa dijadikan sebagai jalan kritik atas persoalan yang terjadi dalam konteks kemasyarakatan dan kenegaraan. Lahirnya ranah emphasis ini bisa dilatarbelakangi dengan adanya friksi sosio-kultural dan sosiopolitis yang menggumpal serta dicairkan ke dalam warna lain, yaitu humor. Humor bisa dijadikan sebagai media demokratisasi penyampaian pendapat. Fenomena humor tersebut, salah satunya terdapat dalam bentuk humor tertulis yang terdapat dalam stiker gaul motor. Metode yang akan digunakan dalam penelitian ini adalah metode deskriptif kualitatif. Metode ini dimungkinkan, karena lebih cocok bagi ilmu-ilmu sosial, terutama dalam penelitian analitika bahasa yang melekat pada simbol dan tanda yang melekat pada stiker gaul. Kata Kunci: Pendidikan Demokratis Jalanan, Banyolan Stiker Gaul, Narsisme
PENDAHULUAN Sosialitas orang Sunda memang unik untuk terus ditilik. Jika ditelusur mengenai keber adaannya memang selalu saja menjadi bahan perdebatan di setiap kajian ilmiah atau meja diskusi sekalipun. Dalam segi istilah pun, ada beragam versi dalam penye butannya. Salah satunya, orang Sunda ter kenal dengan istilah Ki Sunda. Istilah Ki Sunda dipakai oleh penulis dalam tulisan ini untuk menunjuk pada orang Sunda pada umumnya (Rukmana, 2001). Ki Sunda memang sering diidentifikasi sebagai sosok yang mempunyai watak positif seperti 36
JURNAL ETIKA DAN PEKERTI—Volume I, no.1, 2013
lemah lembut, ramah, sopan, tenggang rasa, pemaaf, dan sebagainya. Dinamika pandangan hidup Ki Sunda dalam ranah sosial tampak pada falsafah yang muncul dalam bentuk ungkapan, seperti: jung jae, bale tanjung jae, pucuk menyan mangyosi, gedong malati. Maknanya bahwa Ki Sunda harus menyebar dimuka bumi ini ke tempattempat yang prospektif. Kepergian Ki Sunda tidak semata-mata mencari materi tetapi juga harus selalu ingat akan tanah kelahiran dan leluhurnya, yakni Sunda. Pileuleuyan jeujeur useup, kerenyed kadieu deui. Tentang betapa luasnya dunia ini sehingga Ki Sunda harus menuntut ilmu dan harta di manapun tampak
Pendidikan Demokratis di Jalanan
pada ungkapan berikut: ulah ngotok ngowo di parako, kudu lega ambuhan, elmu tuntut dunya siar, dunya teh henteu sambak jamang (Suyawan, 2001:5). Jelas di sini bisa ditarik kesimpulan bahwa sesungguhnya masyarakat Sunda tergolong masyarakat yang terbuka. Tetapi filosofi masyarakat terbuka yang tertambat dalam ungkapan di atas tidak sejalan dengan fakta yang terjadi di lapangan. Rosidi (1985:21) menggambarkan karakteristik ne gatif yang seringkali dilekatkan pada Ki Sunda, misalnya tidak senang berpetualang, etos kerjanya rendah, dan sebagainya. Malah profil manusia Sunda yang tidak senang ber petualang merupakan ciri yang sangat me nonjol pada karakternya. Khusus dalam tindak komunikasi inter personal, Ki sunda sangat cenderung untuk menyembunyikan perasaan ketimbang terus terang, membungkus ungkapannya dengan aneka basa-basi dan sebagainya (Aziz, 2001:1). Data di Azis itu diperoleh dari hasil studi yang ditujukan untuk mengungkap rea lisasi kesantunan Ki Sunda ketika mereka dihadapkan pada situasi yang akan memaksa mereka melakukan penolakan. Hasil analisis penelitian tersebut menunjukkan bahwa me realisasikan pertuturan penolakan, Ki Sunda cenderung memilih cara yang lebih lembut, tidak konfrontatif, dan senantiasa diikuti oleh ungkapan basa-basi. Ki Sunda berpandangan cara-cara tersebut adalah strategi terbaik untuk menjaga ke harmonisan komunikasi dan hubungan pribadi antara dirinya dengan mitra tuturnya. Hal ini tidak terlepas dari faktor-faktor sosiolinguistik yang terlibat dalam proses pertuturan tadi dan didasari penuh oleh penuturnya sebagai perangkat nilai yang melandasi perilaku komunikasi Ki Sunda. Nilai-nilai tersebut dapat diwujudkan sebagai prinsip saling tenggang rasa. Analisis terhadap faktor-faktor sosiolinguistik seperti jarak sosial antara penutur dan mitra tutur, tingkat kewenangan relatif penutur terhadap mitra tutur, perbedaan usia penutur dari mitra tutur, perbedaan jenis kelamin, yang masing-masing
diduga memengaruhi realisasi kesantunan Ki Sunda. Ki Sunda meyakini bahwa seorang penuturyangtidakmempertimbangkanmasalah senioritas dalam penuturannya dianggap telah melakukan kecerobohan komunikasi yang sangat fatal. Ibarat Ki Sunda itu mempunyai kepri badian ganda, apa-apa yang disodorkan oleh Aziz di atas dengan memosisikan Ki Sunda dalam hal realisasi kesantunan Ki Sunda. Ki Sunda yang memilih cara yang lebih lembut, tidak konfrontatif, dan senantiasa diikuti oleh ungkapan basa-basi, sebenarnya bertolak belakang atau paradok dengan kenyataan di lapangan. Salah satunya sangat paradok dengan gaya humornya, atau dalam kebudayaan Sunda lebih terkenal dengan istilah banyolan Sunda. Humor tergolong peradaban purba ma nusia. Sense of humour dibutuhkan untuk mengungkap keapesan/kesialan dan kepu pusan rasa peka dari inderanya (dissociation of sensibility) (Hardjana, 1992:6). Untuk itu, ada sebuah kirata bahwa suku Sunda tidak jauh dari singkatan dari “Suka Bercanda”. Dalam khazanah folklor masyarakat Sunda, sejak zaman dahulu telah dimiliki beragam ciri khas masyarakat seperti kisah-kisah humor, tatarucingan (teka-teki), sisindiran, dan sempal guyon lainnya. Keberadaan humor dalam jiwa Ki Sunda telah membudaya. Budaya humor dalam hubungan pergaulan sosial masyarakat Sunda menjadi media penting untuk lebih mengakrabkan diri. Apalagi urang Sunda dikenal dengan someah hade ka semah dan paheuyeuk heuyeuk leungeun antarbaraya. Humor atau banyolan yang terdapat dalam stiker gaul sepeda motor pun mempunyai daya penuturan yang berbeda dengan apa yang diungkapkan oleh Aziz. Stiker gaul menurut penulis ternyata telah mencoba menjadi asumsi tandingan terhadap sikap Ki Sunda yang lemah lembut, handap asor, tidak konfrontatif, senantiasa diikuti oleh ungkapan basa-basi, dsb. Analisis terhadap faktor-faktor sosiolinguistik seperti jarak sosial antara penutur dan mitra tutur, tingkat JURNAL ETIKA DAN PEKERTI—Volume I, no.1, 2013
37
Heri Mohamad Tohari, A. Syihabudin
kewenangan relatif penutur terhadap mitra tutur, perbedaan usia penutur dari mitra tutur, perbedaan jenis kelamin, yang masing-masing diduga memengaruhi realisasi kesantunan Ki Sunda seakan menjadi hilang tanpa sekat. Melalui sebuah temuan awal yang secara tidak sengaja penulis dapati, ada salah satu contoh isi stiker gaul yang menjadikan latar belakang penulisan penelitian ini begitu menarik. Isi stiker gaul yang seringkali berada di bagian belakang sepeda motor tersebut penulis dapati redaksinya sebagai berikut: “Tingali mah jalan, tong tingali bool kabogoh urang” (Lihatlah jalan, jangan melihat pantat pacar saya)
Sekilas isi stiker ini agak vulgar, namun kalau diselidiki ada banyak argumentasi yang bisa disodorkan dari adanya stiker gaul ini. Gaya penuturan yang disampaikan oleh salah satu isi stiker ini cukup menarik untuk dikaji. Faktor-faktor sosiolinguistik seperti jarak sosial antara penutur dan mitra tutur menjadi tidak ada sekat. Perbedaan usia penutur dari mitra tutur pun seakan menjadi lebur. Semua orang boleh membaca isi tulisan stiker ini dari usia muda hingga tua. Perbedaan jenis kelamin tidak menentukan dalam jenis kesantunan ini. Malah banyolan berbasis gender pun kelihatan memiliki aroma yang sangat kuat dalam jenis banyaolan stiker gaul ini. Buktinya seorang laki-laki di atas begitu bangga mem pertontonkan salah satu bagian tubuh perempuannya. Isi stiker di atas menjadi bukti akan hilangnya sekat kesantunan berdasarkan jenis kelamin. Stiker gaul itu pula menandai sebuah simbol narsisme (mengagung-agungkan atau membanggakan diri sendiri) yang melekat. Apalagi Ki Sunda dalam dekade modern menempati suasana narsisme yang luar biasa. Seperti ungkapan, “Persib nu Aing” (Persib milik saya). Gejala narsisme seperti ini juga kerap kali mendominasi setiap redaksi yang tertera dalam stiker-stiker gaul yang menempel di sepeda motor. Sehingga narsisme yang 38
JURNAL ETIKA DAN PEKERTI—Volume I, no.1, 2013
melekat pada stiker gaul seakan menjadi social constructionism baru karena merujuk kepada adanya construct yang seolah disepakati secara kolektif (Alwasilah, 2010:123) oleh masyarakat pengguna sepeda motor. Dalam konteks analisis sosial, penulis beranggapan bahwa adanya stiker gaul juga berfungsi sebagai kritik sosial terhadap apa yang terjadi dalam masyarakat Sunda. Bisa jadi salah satu isi stiker gaul di atas berisi tentang gugatan Ki Sunda terhadap style busana kaum perempuan Sunda yang terlalu vulgar. Sudah menjadi pemandangan yang lumrah banyak kaum hawa Sunda kontemporer yang apabila naik sepeda motor sisi tubuh bagian belakangnya kelihatan kasat mata karena tidak tertutupi oleh pakaiannya. Hal inilah yang dikritik secara tidak langsung oleh stiker gaul ini terhadap fenomena seksualitas yang sering terjadi diseputaran aktivitas sepeda motor. Inilah kritik simbol yang dilontarkan dari teks stiker gaul. Sebuah kritik Ki Sunda terhadap dunia fashion postmodern bahwa mode Ki Sunda sudah berlari terlalu cepat sehingga menenggelamkan budaya asli Sunda. Ditambah lagi, bukankah barometer mode Nusantara itu sebenarnya ada di Jawa Barat, khususnya Bandung. Maka tak aneh jikalau Bandung disebut sebagai Paris van Java. Banyolan Ki Sunda bukanlah banyolan yang begitu saja sebagai pelepas tawa. Namun, di dalamnya penuh dengan ajaran atau hikmah yang tersembunyi. Seperti cerita Si Kabayan walau secara sekilas dianggap lucu, padahal ternyata mempunyai sejumlah hikmah yang berguna bagi kehidupan keseharian. Lebih lagi ungkapan teu kunanaon ku nanaon (tidak apa-apa dengan apa-apa) ternyata mempunyai makna yang mirip prinsip zuhud dan qona’ah dalam khazanah tasawuf (Kahmad, 1999:63). Begitu banyaknya makna yang melekat pada stiker gaul. Oleh karenanya, menurut penulis stiker gaul adalah area ekspresi tulisan genre anak jalanan yang bebas sebebas-bebasnya dalam pengejawantahan ide. Hal ini senafas dengan gejala yang terjadi pada masyarakat postmodernisme, seperti dikatakan Derrida
Pendidikan Demokratis di Jalanan
yang meragukan kemungkinan adanya aturanaturan umum (general laws) ihwal bahasa (Alwasilah, 2010:128). Itu sebabnya ada benang merah yang sangat jelas sekali mengenai analisis stiker gaul dengan dengan paradok Ki sunda yang hidup di zaman postmodern ini. Oleh karena itu, karena kajian ini dirasa sangat menarik, maka penulis memberanikan diri untuk mengkaji penelitian ini ke dalam locus judul, “Pendidikan Demokratis Jalanan: Telaah Sosiolinguistik terhadap Nilai-Nilai Menyatakan Pendapat dan Narsisme pada Banyolan yang terdapat di Stiker Gaul Sepeda Motor.
BANYOLAN SUNDA DALAM “LIPSTIK” KAJIAN TEORITIS Tanpa humor, dunia semakin kering. Semua orang terkesan bermuka masam dengan mulut terpaku monyong ke depan, kening yang selalu mengernyit, obrolan terkesan kaku, dan pergaulan tanpa kesan akrab. Tidak dibisa dibayangkan keringnya dunia tanpa hadirnya humor. Humor adalah media pangeling akan keangkuhan manusia, kekurangpekaan manusia terhadap penglihatan, pendengaran, hingga kebebalan hati. Ketika semua asyik dengan keterbelengguan tersebut, maka humor bisa menjadi katarsis terhadap kedu nguan sebagai manusia. Dengan demikian, jika menempatkan humor dalam posisi yang terhormat, akan terjadi bahwa humor juga menjadi bagian dari industri yang sehat, menjadi terapi psikologis bagi setiap individu, dan menjadi profesi bagi yang mau menekuninya. Jikalau berselancar kedalam alam pemi kiran psikoanalisis, Sang Mbah dari teori ini yak ni, Sigmund Freud, memilah humor menjadi tiga jenis yaitu: comic, humor, dan wit. Sebuah comic tidak memerlukan logika dan hanya mengejar kelucuan semata, lalu humor adalah guyonan yang ditujukan untuk menyindir dan menertawakan diri sendiri. Sementara wit adalah humor yang memerlukan pemikiran
untuk memahaminya. Dalam masyarakat kita tidak sedikit yang masih berkecenderungan bahwa humor identik dengan slapstick, pe lecehan tubuh, hingga terkesan vulgar. Kita harus banyak belajar tentang filosofi humor yang pada intinya menertawakan kelemahan dirinya sendiri sebagai manusia, bukan mele mahkan manusia lain (Amin, 2010:23). Danandjaya (1998:16), ahli folklor dari FISIP Universitas Indonesia, mengatakan bahwa guna humor adalah sarana rekreasi, penyaluran perasaan tercekal bagi pencerita dan pendengarnya, membuat kita tertawa se hingga kesejahteraan mental terjaga. Keterta waan ini dalam segi sastra bukan hanya berupa hiburan, tetapi mengandung manfaat. Dengan demikian, konsep utile dan dulce dalam dunia humor bisa bersinergi menjadi bentuk baru yang membuat peradaban masyarakat lebih cerdas. Dalam konteks humor Sunda atau lebih dikenal dengan sebutan banyolan, Brouwer (dalam Abdillah, 2007:1) menuliskan kesan nya terhadap karakter pribadi Ki Sunda. Ia mengatakan, Ki Sunda cenderung merelat ifkan dunia, diri, surga, dan selalu mencari segi humor dari apa saja yang dibicarakan. Bukan tertawa bodoh seperti kebanyakan anak du sun yang tidak tahu apa-apa, melainkan terta wa halus yang sering mulai dengan gumujeng khas dalam sebuah intimitas berkomunikasi Ki Sunda dengan sesama Sunda, non-Sunda, dan yang lainnya. Kecenderungan merelatif kan dunia, diri, surga, dan selalu berusaha humoris mengindikasikan bahwa relasi sosial urang Sunda mesti memantulkan ketentera man dan santai. Sebab, merelatifkan atau me rendahkan diri dari masyarakat Sunda adalah pesan kemanusiaan untuk tidak berbentrokan dengan orang lain. Lain halnya lagi untuk urusan humor kate gori vulgar, dalam masyarakat Sunda dikenal dengan istilah cawokah, bukan jorang (vul gar/porno). Jadi salah besar, jika menyebut humor Sunda identik dengan jorang. Jorang adalah bahasa terkasar, tidak santun, dan tidak pantas. Sedangkan cawokah adalah bentuk JURNAL ETIKA DAN PEKERTI—Volume I, no.1, 2013
39
Heri Mohamad Tohari, A. Syihabudin
lain penafsiran bahasa rarangan (organ-organ terlarang manusia) dengan bahasa yang penuh ragam makna dan terselubung (tidak secara langsung). Ini biasanya hanya dimengerti oleh segmen orang dewasa. Karena bahasa humor cawokah ini bisa multitafsir, anak kecil pun biasanya tidak akan faham. Setiawan (1993:145) menegaskan bahwa humor itu suatu keseriusan. Artinya, gagasan bukan sekadar guyonan atau kelucuan ver balistik. Humor itu bukan juga pemaksaan plesetan-plesetan. Humor bukanlah melulu agar mulut tertawa selepas-lepasnya. Tertawa bukan penjelmaan ekspresi membuka mulut lebar-lebar kemudian nyakakak terbahakbahak, melainkan juga arena kegetiran untuk menumpahkan fantasi senyum. Dimensi ini menguatkan aspek humor mewujudkan pe numpahan emphasis keseriusan untuk disa tirkan. Humor juga berkaitkelindan dengan de mokratisasi yang ada dalam sebuah Negara. Humor bisa dijadikan sebagai jalan kritik atas persoalan yang terjadi dalam konteks kemasyarakatan dan kenegaraan. Lahirnya ranah emphasis ini bisa dilatarbelakangi de ngan adanya friksi sosio-kultural dan sosiopolitis yang menggumpal serta dicairkan ke dalam warna lain, yaitu humor. Humor bisa di jadikan sebagai media demokratisasi penyam paian pendapat. Humor bisa menjadi sindiran halus terhadap keadaan Negara dan Bangsa yang terus memunculkan masalah bak labirin. Humor pun bisa menjadi bagian dalam upaya mewujudkan proses penyadaran akan kondisi sekitar. Jadi, humor yang baik bukanlah meng arahkan kemungkinan seseorang dilecehkan seperti yang kini tengah menggejala dalam tayangan-tayangan lawak di layar kaca. Masyarakat yang merasa kesal, geram, dan gelisah melihat bobroknya kondisi Pemerin tahan, bisa menjadikan humor sebagai kanal penyaluran perasaannya. Melalui humor itu pula, masyarakat mencoba menuangkan kri tik sosial politiknya, yang selama ini tidak tersalurkan melalui media-media komunikasi publik yang tersedia. Saat melontarkan hu 40
JURNAL ETIKA DAN PEKERTI—Volume I, no.1, 2013
mor, tanpa sadar, masyarakat turut memba ngun kesadaran diri untuk siap mengkritik dan tentunya siap pula menerima kritikan. Hu mor itu dapat pula dijadikan sebagai saluran mengkritik secara halus plus santun. Dengan demikian pihak yang dikritik tidak tersing gung atau marah. Pada akhirnya, kebiasaan berhumor ria dalam masyarakat Sunda telah menjadikan nya bagian hidup yang dapat menggugah ke sadaran kita sebagai manusia. Ki Sunda yang suka dengan humor sebetulnya tengah mewu judkan sebuah ketenangan otak dan batin dalam posisi menurut ukuran hidup yang ide al. Ki Sunda di era postmodern telah jengah dan lelah dengan kondisi Bangsa yang tidak kunjung beranjak lebih baik. Gejala manusia postmodern tersebut selalu saja memaparkan kabar buruk media baru yang kurang menge nakkan, dari kasus video mesum artis, teroris, ledakan elpiji, gosip murahan para artis, hing ga lumpur yang tak kunjung lenyap luapan nya. Kalau kata si Kabayan mah: “Batur mah geus indit ka bulan, urang mah masih keneh ngaributkeun anggota dewan nu bolos kerja. Batur ma geus nyieun bom nuklir, urang mah ngurus gas elpiji 3 kg nu ngabeledug wae!” (Orang lain mah sudah pergi ke bulan, kita masih meributkan anggota dewan yang bolos kerja. Orang lain sudah membuat bom nuklir, kita masih ngurus gas elpji 3 kg yang meledak terus!) (Amin, 2010:23). Namun dalam analisisnya, humor Sunda kadang mempunyai unsur narsisme yang sa ngat kental. Unsur narsisme ini sudah menjadi tabiat yang melekat sebagai banyolan khas Ki Sunda. Narsisme (dari bahasa Belanda) atau narsisisme (berasal dari bahasa Inggris) adalah perasaan cinta terhadap diri sendiri yang berlebihan. Orang yang mengalami ge jala ini disebut narsisis (narcissist). Secara mi tologi narsisme terkait dengan cerita seorang pemuda dalam mitologi Yunani bernama Nar cissus. Tampan dan sangat senang memuja dirinya sendiri. Dia dikutuk untuk jatuh cinta dengan bayangannya sendiri yang terpantul dari kolam saat dia berkaca. Tidak bisa mena
Pendidikan Demokratis di Jalanan
han diri, akhirnya dia pun pergi dan berubah menjadi bunga. Bunga yang bernama Nar cisussus. Sejumlah pakar dunia menulis dan memperkenalkan istilah narcist, narcissism, narcissistic, dan narcissist, seperti Sigmund Freud, Nitzche, Mastersen, Derber, Popper, dan masih banyak lagi. Paul Nache adalah pemikir yang mem bahas soal perbedaan persepsi dan pertama kali menggunakan istilah “narcissism” dalam studi tersebut pada tahun 1899. Sedangkan yang pertama kali menghubungkannya de ngan dunia psikologi adalah seorang psikiatri bernama Otto Rank. Dalam buku yang di terbitkannya pada tahun 1911, Rank menye butkan istilah ini dalam hubungannya dengan rasa percaya diri dan pemujaan terhadap diri sendiri. Narcissism sendiri, sekarang ini, sela lu dihubung-hubungkan dengan rasa percaya diri dan rasa ego terhadap diri sendiri. Lebih ke arah pengkelasan diri. Merasa lebih baik, lebih pintar, lebih cantik, lebih hebat, dan mengelompokkan diri ke dalam satu kalangan tertentu. Tetapi, Sigmund Freud-lah yang secara resmi membawa istilah ini digunakan dalam psikologi oleh Sigmund Freud dengan men gambil dari tokoh dalam mitos Yunani, Narkis sos (versi bahasa Latin: Narcissus), yang dikutuk sehingga ia mencintai bayangannya sendiri di kolam. Tanpa sengaja ia menjulur kan tangannya, sehingga ia tenggelam dan tumbuh bunga yang sampai sekarang disebut bunga narsis. Oleh Sigmund Freud istilah ini kemudian dipopulerkan di dunia psikoanalisa, untuk menandai orang-orang yang memiliki karak ter sangat mencintai dirinya. Istilah ini juga untuk menandai orang-orang yang mengang gap bahwa dirinya adalah fokus dan pusat dari segalanya (egocentric). Mereka menganggap orang lain dan lingkungannya sebagai “obyek pelengkap”. Umumnya mereka melihat dirinya sebagai “superman” alias manusia luar biasa dengan capaian yang luar biasa pula. Karena itu, tak heran jika mereka umumnya arogan dan sulit mendengar masukan dari orang lain.
Freud dengan piawai memetakan narsisisme dengan mengatakan bahwa sifat ini ada dalam setiap manusia sejak lahir (Freud, 1914). Bahkan Andrew Morrison berpendapat bahwa dimilikinya sifat narsisme dalam jum lah yang cukup akan membuat seseorang memiliki persepsi yang seimbang antara ke butuhannya dalam hubungannya dengan orang lain (Andrew, 1997). Narsisme memi liki sebuah peranan yang sehat dalam artian membiasakan seseorang untuk berhenti ber gantung pada standar dan prestasi orang lain demi membuat dirinya bahagia. Narsisme dalam kadar yang berlebihan, dapat menjadi suatu kelainan kepribadian yang bersifat patologis atau kelainan kepriba dian. Kelainan kepribadian atau bisa disebut juga penyimpangan kepribadian merupakan istilah umum untuk jenis penyakit mental se seorang, dimana pada kondisi tersebut cara berpikir, cara memahami situasi dan kemam puan berhubungan dengan orang lain tidak berfungsi normal. Kondisi itu membuat sese orang memiliki sifat yang menyebabkannya merasa dan berperilaku dengan cara-cara yang menyedihkan, membatasi kemampuannya untuk dapat berperan dalam suatu hubungan. Seseorang yang narsis biasanya memiliki rasa percaya diri yang sangat kuat, namun apabila narsisme yang dimilikinya sudah mengarah pada kelainan yang bersifat patologis, maka rasa percaya diri yang kuat tersebut dapat di golongkan sebagai bentuk rasa percaya diri yang tidak sehat, karena hanya memandang dirinyalah yang paling hebat dari orang lain tanpa bisa menghargai orang lain. Spencer A Rathus dan Jeffrey S. Nevid menyebutkan dalam bukunya, Abnormal Psychology (2000) bahwa orang yang Narcissistic memandang dirinya dengan cara yang berlebi han. Mereka senang sekali menyombongkan dirinya dan berharap orang lain memberikan pujian. Hal tersebut dapat berupa kekaguman yang berlebihan terhadap wajah sendiri atau dapat pula terhadap bagian tubuh tertentu seperti menyukai bentuk mata, bentuk bibir, betis dsb. JURNAL ETIKA DAN PEKERTI—Volume I, no.1, 2013
41
Heri Mohamad Tohari, A. Syihabudin
Penulis yakin, narsisme banyolan Ki Sunda bukanlah sebuah gejala narsisme sebagai pe nyakit kepribadian yang dijelaskan oleh berba gai pemikir Barat di atas. Namun narsisme khas Ki Sunda adalah narsisme yang berkarak ter sebagai manusia Sunda yang humoris. Ka rakter yang berbasiskan nili-nilai yang hidup dalam setiap aktivitas sosialitas Ki Sunda. Ironinya, diskursus mengenai pembentukan karakter melalui penanaman nilai khas kedae rahan seakan luput tidak terjamah. Padahal, angin segar desentralisasi pendidikan telah berdengung kencang seiring dengan lahirnya otonomi daerah (Tohari, 2009). Walaupun gaya humorisnya itu dibumbui dengan rasa membangga-banggakan dirinya sendiri dengan gaya yang kocak. Sehingga gaya pengagung-agungan diri (yang orang mung kin menganggapnya sebagai sebuah kesom bongan) menjadi tertutupi oleh aroma humor. Sehingga orang sombong disampaikan de ngan gaya serius akan semakin mengokohkan rasa sombongnya. Tetapi rasa sombong yang disampaikan dengan gaya kocak, cenderung aroma kesombongan tersebut malah hilang.
DEMOKRASI BAHENOL DARI “TATO” STIKER PANTAT MOTOR: SEBUAH KRITIK Demokrasi begitu seksi, sehingga hampir se tiap orang terhipnotis untuk memujanya. Te pat sekali guyonan orang Sunda, demokrasi adalah padanan dari kata: denok, montok, keras, dan berisi. Demokrasi menjadi seksi karena kehadirannya seperti gadis yang denok dan montok. Menyihir dan menghipnotis setiap orang untuk sekedar menatapnya. He batnya lagi, gadisnya demokrasi adalah gadis cantik yang membawa belati. Ia menipu. Pa dahal ia ganas dan keras di balik wajahnya yang rupawan dan bahenol. Semua mesti rata, itulah prinsip demokrasi. Suara seorang profesor ahli, sama dengan suara tukang becak buta huruf tapi bisa mencoblos dengan paku. Suara presiden sama 42
JURNAL ETIKA DAN PEKERTI—Volume I, no.1, 2013
dengan suara pak RT. Suara seorang kyai yang zuhud membina masyarakat, sama dengan suara para koruptor yang justru merampok rakyat. Demokrasi pula yang menjatuhkan sebuah stereotype bahwa kaum berjenggot adalah kaum perusak, makar, dan teroris. Padahal kalau berfikir jernih, justru orang yang tidak berjenggot lebih dahsyat lagi kelakuannya. Mereka banyak yang jadi koruptor, pembabat hutan, pencipta banjir dan malapetaka lainnya, dll. Jenggot dan tidak berjenggot bukanlah standar perilaku seseorang. Sehingga demokrasi yang pada awalnya sebuah nilai, bernama nilai de mokrasi, kini menjadi bebas nilai. Demokrasi berubah menjadi arogansi. Demokrasi yang sesungguhnya justru menjadi tersumbat, bahkan hilang, dan mahal. Ketika sistem aspirasi rakyat tersumbat dan demokrasi terasa mahal, adakah sistem demokrasi yang murah di Negeri ini? Apatisme itu memang wajar terlontar, namun nadi optimisme itu tetap saja ada ketika penulis menatap sebuah fenomena di lapangan. Bukan demokrasi jalanan ataupun parlemen jalanan. Namun demokrasi itu amat sangat terasa di jalan, di setiap jalan yang dilalui kendaraan. Pada sebuah pantat kendaraan. Pada sebuah stiker kendaraan motor yang saling bersahutan. Tengok saja sebuah contoh stiker terpam pang jelas dengan sebuah tulisan: “Gak Pake Gigi, Ompong donk!!!”. Tulisan itu mungkin sebagai kritik atas pengguna sepeda motor matik. Namun, pengendara sepeda motor matik pun tak tinggal diam, mereka menulis: “Hari gini pake gigi, apa kata dunia?!”. Tidak hanya berhenti pada kritik itu pula, penulis melakukan kajian dan penelitan sosiolinguistik akan fenomena stiker ini, malah ada yang menjurus sampai kepada dinamika gender. Seperti, sebuah tulisan yang berbunyi: “Cewe pake matik MANIS, cowo pake matik NAJIS”. Belum lagi sebuah tulisan yang berisikan: “Tingali mah jalan, tong tingali bool kabogoh urang. Ataupun tulisan yang teronggok seperti: “Tong baeud wae atuh!! Seuri saeutik. Da lain embe”. Sifat narsistik urang Sunda juga
Pendidikan Demokratis di Jalanan
kadang nyeletuk dalam sebuah tulisan: “Ceuk emak urang oge, aink mah kasep”, “Mun nyiap ti kenca banci, mun nyiap ti katuhu homo, geus we tukangeun aink”, ataupun “Naon sia melong, beunget tah jiga jablay”, dll. Penulis melakukan penelitian akan gejala stiker ini sampai beratus-ratus tulisan stiker yang menandakan semua orang bebas mengeluarkan pendapat dan aspirasinya di jalan. Semua orang bebas berekspresi di jalan raya. Pada sebuah stiker tersebut. Demokrasi di jalan raya adalah demokrasi yang murah meriah. Penulis belum pernah mendapati sebuah kasus, ada seseorang yang bertikai hanya gara-gara stiker motor. Atau, belum pernah terjadi seorang pengendara yang kritis menyuarakan aspirasinya dalam stiker ditangkap oleh “penguasa jalanan”. Yang dalam hal ini oleh polisi. Gejala konservatisme dan putitanisme ber ujung pada sikap dan tindakan intoleransi, diskriminasi, serta kekerasan (Tohari, 2012: 422). Realitas demokratis di jalanan seperti tersebut di atas adalah model pendidikan toleransi yang luar biasa. Semua orang bisa berpendapat tanpa adanya ekses intoleransi. Konservatisme dan puritanisme jalanan seakan lenyap dalam kasus stiker gaul motor ini. Karena tidak adanya konservatisme dan puritanisme tersebut maka tidak berujung kepada tindakan intoleransi, diskriminasi, serta kekerasan yang berbasis stiker gaul. Demokrasi stiker gaul telah memberikan pelajaran kepada kita mengenai pentingnya pendidikan multikultur jalanan. Ternyata ke ragaman, diversitas atau kemajemukan dapat menjadi berkah dan banyolan jalanan. Pendi dikanmultikulturdaristikergaulinimenjadi sangat penting dalam menginspirasi multikulturalnya Negara Indonesia, oleh karena fakta sosiokultural Indonesia adalah keberagaman bentuk dan wujud budaya (al-Makassary, 2010:3). Mulai dari keragaman etnis dan suku bangsa yang telah melahirkan bermacam-macam bahasa, rumah adat, produk seni, juga tata nilai budaya dan adat atau tradisi sendiri-sendiri. Belajar dari kondisi Indonesia tersebut fenomena pendidikan demokratis jalanan
melalui stiker gaul menjadi salah satu ibrah betapa pendidikan multikultural sangatlah indah jikalau dipraktekkan. Lebih hebatnya lagi, demokrasi jalanan ini membuat orang tersenyum, lucu, dan penuh banyolan. Tidak ada kepalsuan, kemunafikan, apalagi pengkhianatan. Sebuah demokrasi yang bersinergi dengan local genius Urang Sunda. Inilah bukti adanya pendidikan demokratis jalanan. Ternyata kita semua mesti belajar demokrasi dari sebuah pantat. Ya, pantatnya motor ternyata. Wallohu’alam.
DAFTAR PUSTAKA Alwasilah, A.C. (2010). Filsafat Bahasa dan Pendi dikan. Bandung: PT. Remaja Rosda Karya. (2009). Pokoknya Kualitatif: Dasar-dasar Merancang dan Melakukan Penelitian Kualitatif. Jakarta: Pustaka Jaya. Azis, E.A. (2001). Gaya Ki Sunda Menyatakan “Tidak”, makalah dalam International Congress of Sundanese Culture. Bandung, 22-25 Agustus 2001. Freud, S. (1914). On Narcissism: An Introduction. Morrison, A. (1997). Shame: The Underside of Nar cissism. The Analytic Press. Hall, CS. & Lindzey, G. (1985). Introduction to Theories of Personality. Canada: John Wiley and Sons, Inc. Rosidi, A. (1985). Manusia Sunda. Jakarta: Inti Idayu Press. Suyawan, M. (2001). Kesiapan Masyarakat Sunda Menghadapi Era Global, makalah dalam Inter national Congress of Sundanese Culture. Bandung, 22-25 Agustus 2001. Nevid, J.S., Rathus, S.A., & Greene, B. (2003). Psikologi Abnormal jilid 1. Jakarta : Erlangga. Abah Amin. “Ngageuing” Kembali Eksistensi Humor (Urang) Sunda. Kompas Jabar, Kamis, 29 Juli 2010 Abdillah, S. Relasi Sosial Urang Sunda Semestinya. Kompas Jawa Barat, 10 November 2007. Tohari, Heri Mohamad. Pendidikan Karakter Ber basis Lokal. 2012. Multiculturalism Mainstreaming at School: Research at Public high School 6 and Public Vocational High School 3 Garut West Java. Makalah yang dibukukan di Simposium In ternasional The Strategic Role of Religious Education in The development of Culture of Peace. Kementerian Agama RI. Bogor, 10-12 September 2012. Rukmana, U. Pikiran Rakyat, 12 Mei 2001.
JURNAL ETIKA DAN PEKERTI—Volume I, no.1, 2013
43
GURU SEBAGAI AGEN PEMBELAJARAN:
KENANGAN SISWA TERHADAP GURU DALAM PEMBELAJARAN Agus Nurcholis Saleh
Dosen FKIP Universitas Mathla’ul Anwar Banten ABSTRACT: This paper focuses on the role of teachers as agents of learning: as a facilitator, motivator, and inspirator. This study starts from the interesting the fact that the custom of most teacher who teach in class with “boring” method. However, all students in the class were delighted to learn in school because the teachers are good. Lecturing is not a problem for the students. They is their teacher who have right to honoured. That contra diction what brings the author to conduct in-depth study of teachers as agents of learning. The method used is qualitative, where the applied procedure will generate descriptive data, from the people and behaviors that can be observed. The collected data were analyzed in three stages, and validated by triangulation. The results show that the teachers do not act as agents of learning. First, the teacher is still the primary ac tors in the class. Second, the teacher let students move on their own without significant encouragement. Third, the teacher is seemed to let their own children to work hard themselves. Fourth, lack of innovation for teaching elementary school teachers are not trying to inspire learners achieve and deliver what they want. Keywords: learning agent, facilitator, motivator, inspirator
PENDAHULUAN Undang-undang guru mengungkapkan bahwa tugas guru dalam proses pembelajaran lebih luas dari hanya sekadar “berceramah” di depan kelas menyampaikan materi pelajaran. Bab II pasal 4 Undang-undang No 14 tahun 2005 tentang Guru dan dosen menyatakan bahwa “Kedudukan guru sebagai tenaga profesional berfungsi untuk meningkatkan martabat dan peran guru sebagai agen pembelajaran untuk meningkatkan mutu pendidikan nasional’’ Guru sebagai tenaga profesional harus mempunyai visi terwujudnya penyelengga raan pembelajaran sesuai dengan prinsip44
JURNAL ETIKA DAN PEKERTI—Volume I, no.1, 2013
prinsip profesionalitas untuk memenuhi hak yang sama bagi setiap warga negara dalam memperoleh pendidikan yang bermutu. Guru harus menyadari bahwa kualitas manusia yang dibutuhkan oleh bangsa Indonesia pada masa yang akan datang adalah manusia yang mam pu menghadapi persaingan yang semakin ketat dengan bangsa lain di dunia. Kualitas manusia Indonesia tersebut dihasilkan melalui penye lenggaraan pendidikan yang bermutu. Kualitas itu memposisikan guru dalam fungsi, peran dan kedudukan yang sangat strategis. Pasal 39 ayat (2) Undang-undang Nomor 20 tahun 2003 tentang Sistem Pendi dikan Nasional menyatakan bahwa pendidik
Guru sebagai Agen Pembelajaran
(guru) merupakan tenaga profesional. Guru adalah pendidik profesional dengan tugas uta ma mendidik, mengajar, membimbing, meng arahkan, melatih, menilai, dan mengevaluasi peserta didik. Amanat undang-undang mengindikasikan bahwa guru adalah aktor utama pembelajar an di kelas/sekolah yang mendapatkan tugas mulia untuk mencerdaskan bangsa. Ketujuh tugas di atas adalah tanggung jawab yang harus diemban oleh guru dan dilaksanakan secara konsisten. Namun demikian, faktanya diantara ketujuh tugas utama di atas, menga jar dan menilai adalah tugas yang paling se ring dilaksanakan oleh guru. Kesenjangan operasional guru di atas mem bawa dampak yang luar biasa bagi peserta didik. Hal itu bisa dibuktikan dengan runtuh nya potensi anak didik, dan hanya menyisa kan sisi kognisi saja. Jika yang tersisa hanya kognisi, jangan salahkan para siswa jika mere ka turun ke jalan untuk tawuran. Ada siswa yang tidak malu-malu memaksa orang tuanya membelikan sepeda motor disertai ancaman mogok belajar. Dengan hanya fokus pada kognisi, guru terkalahkan oleh gadget siswa. Ironinya, gurunya tidak lebih menarik dari alat komunikasi itu. Secara makro, pemerintah telah mengupa yakan berbagai program yang melibatkan guru supaya menjadi pendidik profesional. Guru “dipaksa” pemerintah untuk mendidik generasi muda bangsa dengan cara-cara yang humanis. Ragam regulasi telah dibuat dan disosialisasikan oleh pemerintah, dan guruguru diajak untuk segera bertransformasi menjadi makhluk baru yang idealis dan ramah terhadap anak. Namun demikian, harapan pemerintah itu masih jauh dari kenyataan. Di kelas, guru lebih sering berprofesi sebagai raja yang harus ditaati setiap tutur katanya, bila perlu dengan memaksa. Seorang guru sekolah dasar yang mengajar di kelas bawah akan “memaksa” anak didiknya untuk duduk-diam-dengar. Guru itu tidak peduli dengan karakteristikpsikologis peserta didik kelas bawah yang
masih senang bermain. Guru itu tidak mampu menggabungkan pola pendidikan dalam per mainan, atau menyelenggarakan permainan dalam kerangka pembelajaran. Sesungguhnya, pemerintah telah menya dari banyak guru yang bertindak seperti di atas. Banyaknya regulasi yang dibuat oleh pe merintah tentang profesionalisme guru ada lah indikasi dari kesadaran itu. Namun ada persoalan mendasar yang melemahkan regu lasi itu. Jika kita memperhatikan program yang sedang dijalankan oleh pemerintah, awal kemunculannya selalu berasal dari atas (topdown), dan itu selalu membuat sibuk penge lola pendidikan di tingkatan operasional, dan mereka selalu kesulitan untuk beradaptasi dengan kebijakan yang dibuat. Sosialisasi yang dijalankan oleh pemerintah pun seperti berjalan selintas tanpa memberikan keyakin an kepada pejabat pelaksana bahwa program mulia pemerintah (pusat) dengan mudah bisa direalisasikan di lapangan. Seringkali didengungkan harapan bahwa suatu saat nanti pemerintah harus membuat kebijakan berdasarkan kebutuhan pendidi kan di level masyarakat (down-up), namun harapan tersebut masih jauh dari kenyataan. Disamping kemampuan guru dan pengeta huannya yang belum setara untuk melahirkan kebijakan, pemerintah sering merasa bahwa pendidikan bisa digeneralisir berdasarkan kreasi para pemikir di tingkat pusat. Salah satu yang menarik perhatian adalah kebijakan tentang peningkatan profesionalisme guru. Program ideal yang dibuat pemerintah seringkali menimbulkan gejolak di tingkatan guru. Salah satu contoh mutakhir adalah uji kompetensi guru, dimana para guru dibuat sibuk dengan pelaksanaan UKG. Ironisnya, kegaduh an itu mengorbankan peserta didik yang mem butuhkan didikan, bimbingan dan arahan dari para guru. Niat baik pemerintah telah membuat guru menjadi tertekan (stress) dan hilang kon sentrasi untuk melaksanakan kewajiban uta manya. UKG memang penting, tapi membim bing anak didik adalah tugas utama guru yang tidak boleh dikesampingkan seenaknya. JURNAL ETIKA DAN PEKERTI—Volume I, no.1, 2013
45
Agus Nurcholis Saleh
Dalam melaksanakan tugas dan fungsinya, guru dapat diibaratkan sebagai pembimbing perjalanan,¸yang berdasarkan pengetahuan dan pengalamannya bertanggung jawab atas kelancaran perjalanan itu. Dalam hal ini, isti lah perjalanan tidak hanya menyangkut fisik tetapi juga perjalanan mental, emosional, kreativitas, moral, dan spiritual yang lebih da lam dan kompleks. Guru harus merumuskan tujuan secara jelas, menetapkan waktu per jalanan, menetapkan jalan yang harus ditem puh, menggunakan petunjuk perjalanan, serta menilai kelancaran sesuai dengan kebutuhan dan kemampuan peserta didik. Ketika penulis melakukan survey seder hana tentang cita-cita peserta didik, dan ba gaimana cara mereka menempuhnya, hampir semua siswa menyatakan bahwa mereka tidak tahu dan tidak pernah diberitahu oleh para gurunya untuk meraih cita-cita tersebut. Fak ta itu memperkuat sinyalemen bahwa guru ke sekolah dan berdiri di depan kelas hanyalah untuk mengajar. Apalagi, cara mengajar mereka tidak pernah variatif dan tidak menyertakan skenario. Survey itu pun memberikan jawaban me narik, seluruh murid yang ditanya memberi respon: “merasa senang belajar di sekolah kare na guru-gurunya baik”. Mereka tidak mem perhatikan strategi, media, ataupun model yang dipergunakan oleh guru-gurunya. Bagi mereka, yang penting itu adalah belajar, bela jar, dan belajar. Mereka tidak peduli dengan metode pembelajaran yang dibawakan oleh gurunya Fakta itu memberikan dua kesimpulan penting: 1) guru tetap makhluk sempurna di hadapan para muridnya; 2) anak didik tetap “gelap” dalam kehidupannya. Apapun sikap dan perilaku guru (baik dan buruk), mereka tetaplah guru bagi murid-muridnya. Anggap an itu memang layak diberikan kepada guru, jikalau murid-murid yang menilainya belum tercerahkan. Mereka tetap merasa nyaman dalam kegelapan meskipun di luar banyak wilayah yang terang benderang. Sekolah tidak menjalankan fungsinya untuk mencerahkan 46
JURNAL ETIKA DAN PEKERTI—Volume I, no.1, 2013
dan memberikan pendidikan bagi warganya karena sekolah membiarkan tenaga pendi diknya dalam kegelapan. Sekolah adalah lembaga dimana terjadi nya pertemuan antara guru yang memberikan layanan pendidikan, dan siswa yang membu tuhkan pengembangan diri dan potensi untuk menjadi seseorang yang terdidik. Sekolah ter baik adalah sekolah yang mampu mengelola input terburuk menjadi output terbaik. Seko lah dengan model seperti itu sangatlah ideal, dan sudah pasti sangat langka. Pengelola model sekolah itu—sudah pasti—manusiamanusia idealis, yang secara simultan bekerja sama membangun lingkungan sekolah supaya kondusif dalam pencapaian prestasi; tidak hanya leadernya yang future oriented, tapi guru-gurunya pun penuh semangat dalam mendidik. Kerja sama yang harmonis antara kepala sekolah dan guru akan menghasilkan output ideal karena lingkungan pendidikan yang tercipta sangat mendukung terhadap tumbuh-kembangnya prestasi. Di sekolah yang ideal, guru-guru adalah adalah agen pembelajaran (learning Agent) yang menjalankan peran sebagai fasilita tor, motivator, pemacu dan pemberi inpirasi belajar bagi peserta didik (Mulyasa, 2009: 53). Guru adalah penunjuk jalan bagi anak didiknya menuju pengetahuan dan kema juan. Guru dalam pembelajaran adalah pen gubah anak malas menjadi penuh semangat. Guru adalah pemimpin kelas (pembelajaran) yang tidak membuat anak didik merasa bosan mengikuti proses pembelajaran. Guru juga pembawa perilaku positif yang menghadang anak didiknya memunculkan potensi negatif nya. Guru juga adalah pihak yang terus berko munikasi dengan orang tua/wali siswa supaya didikan yang telah dilekatkan di sekolah tidak hilang sampai di rumah. Komunikasi guru dengan orang tua be gitu penting mengingat lingkungan menjadi faktor penentu perilaku manusia. Orang tua harus ikut mengawasi, mendampingi anak se cara baik, sekaligus menjadi pendengar setia (konsultan) terhadap keluhan dan masalah
Guru sebagai Agen Pembelajaran
yang menimpa mereka. Baik tidaknya respon orang tua terhadap anak akan menentukan perkembangan psikologis anak. Jika orang tua emosional dan sulit menerima apa yang terjadi kepada anak, maka anak mendapatkan didikan untuk menjadi seseorang yang mu dah emosi. Bagaimana mungkin seorang anak akan meraih prestasi jika dorongan orang tua nya hanya berbentuk emosi. Harus disadari bahwa prestasi anak sudah dilekatkan dalam potensi. Anak hanya mem butuhkan sentuhan, bimbingan, dan dorongan untuk mengeluarkan semua potensi itu dalam bentuk kemampuan yang aktual. Jika di ru mah, tugas itu menjadi tanggung jawab orang tua. Jika di sekolah, tugas itu menjadi tang gung jawab guru-gurunya di sekolah. Dengan demikian, guru adalah salah satu faktor deter minan yang turut menentukan prestasi siswa, tapi guru yang dimaksud hanyalah guru yang profesional dan kompeten. Guru yang profesional adalah guru yang menetapkan status gurunya sebagai profesi yang dijunjung tinggi lahir dan bathin. Ia tidak hanya bagus di depan kelas atau di depan anak didiknya, tapi berperilaku baik meskipun tidak sedang di lingkungan sekolah. Ia tidak hanya pandai dalam penguasaan dan penyampaian materi, tetapi ia pun menjadi model yang baik, yaitu sebelum orang lain taat pada ucapan/ ajakan kita, ia sendiri telah memberikan con tohnya. Guru yang profesional adalah guru yang mengerti hak dan kewajibannya, dan ia akan senantiasa mendahulukan kewajiban sebe lum menuntut haknya. Sebagai guru, ia siap diaudit dan dievaluasi kinerjanya kapanpun evaluasi itu dilakukan. Guru profesional selalu mengharapkan adanya supervisi, baik akade mik maupun kinerja, untuk melakukan per baikan terus-menerus yang tujuan akhirnya adalah pendidikan yang berkualitas. Bagi mereka, semua yang dilakukan—baik di sekolah maupun di luar sekolah—tidak un tuk kepentingan dirinya. Namun, demi tujuan dan target yang lebih besar dari itu, yaitu peser ta didik yang merdeka dan berdaya, serta ber
perilaku baik di keluarga dan di masyarakat. Kepuasan yang ingin dicapai bukanlah kepua san materi, namun berbagai faktor lainnya di luar materi, yaitu kepuasan jiwa. Guru yang profesional itulah yang pantas disebut agen pembelajaran, dan mereka pasti lah memiliki kompetensi yang tinggi. Oleh ka rena itu, tidak salah jika pemerintah menetap kan bahwa setiap guru harus memiliki empat macam kompetensi: kepribadian, paedagogik, profesional, dan sosial. Empat kompetensi itu harus diinternalisasi ke dalam setiap jiwa guru, dan diejawantahkan pada saat yang te pat. Untuk sempurnanya kedudukan dan sta tus guru, keempat pilihan itu harus menjadi kesatuan yang tidak terpisah-pisahkan. Kompetensi yang tidak maksimal dari se orang guru akan memberi dampak yang cu kup besar pada capaian prestasi siswa. Jika lau kepribadian gurunya mengkhawatirkan, maka prestasi belajar anak didiknya pun pantas dikhawatirkan. Sebaliknya, guru yang menjalin komunikasi dan berinteraksi secara baik, sopan, dan ramah kepada siswanya akan mendapatkan poin khusus dihadapan muridmuridnya. Guru harus menyadari bahwa ia adalah agen pembelajaran yang mendapat tugas be rat mencipta peserta didik (manusia) yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi warga negara yang demokratis serta bertanggung jawab. Dengan tugas itu, guru harus sadar bahwa ia adalah model bagi peserta didiknya. Guru, dalam mengelola sekolah bukan hanya membutuhkan otak analitis tetapi juga emosi dan intuisi, indera dan kecerdasan emosional akan membuat guru mampu menarik dalam seketika ratusan pilihan atau skenario yang mungkin untuk menghasilkan pemecahan terbaik dalam waktu yang singkat. Peran guru ditunggu banyak orang tua, juga pemerintah, bahwa pengasuhannya dalam pem belajaran membuat anak didik meraih prestasi. Guru juga harus menjadi pemacu terjadinya kolaborasi (dan sinergi) antar faktor pemben JURNAL ETIKA DAN PEKERTI—Volume I, no.1, 2013
47
Agus Nurcholis Saleh
tuk prestasi, baik yang datang dari dalam diri siswa maupun dari luar siswa. Kedua faktor itu saling melengkapi, artinya rangsangan apap un yang diberikan oleh pihak eksternal belum tentu memicu anak berprestasi jika dorongan dari dalam dirinya tidak ada sama sekali. Ketika peserta didik apatis dan acuh tak acuh terha dap pembelajaran, dan mereka tidak tergerak sedikitpun untuk belajar, maka di sinilah per an guru sebagai motivator diperlukan. Pada sisi eksternal, keberadaan guru di sekitar siswa harus membantu setiap peserta didik untuk meraih prestasi. Guru harus men jadi inspirator yang memicu siswa berprestasi. Guru harus menjadi partner siswa yang mem berikan kenyamanan pada siswa untuk belajar. Guru yang memerankan dirinya sebagai agen pembelajaran akan menularkan keteladanan dan prestasi dirinya kepada kualitas yang di harapkan. Kualitas itulah yang akan menja min lahir dan timbulnya prestasi peserta didik dalam berbagai dimensi (bidang) kehidupan. Prestasi belajar adalah tujuan antara me nuju keberhasilan peserta didik dalam kehidup an. Kecerdasan, bakat, minat dan perhatian, motif, serta cara belajar, adalah faktor lokal siswa yang harus dimunculkan dalam bela jar. Jika tidak, maka jangan berharap akan muncul prestasi dari peserta didik. Siswa yang tidak berminat belajar hanya akan menular kan aura/energi negatif yang akan menggang gu teman-temannya belajar. Jika prestasi menjadi ukuran kualitas, maka pemerintah harus segera melakukan koordinasi dengan seluruh pengelola pendi dikan bagaimana supaya seluruh pihak (pe mangku kebijakan) pendidikan bersatu padu dan bekerja sama melakukan perbaikan se cara menyeluruh tanpa saling menuduh atau menghasut. Pemerintah bisa membuat kebi jakan supaya lingkungan sekolah nyaman dan kondusif untuk belajar. Guru bisa melatih dan mendidik siswa untuk disiplin dalam belajar. Sekolah pun bisa berperan untuk mendong krak kompetensi guru sebagai profesional. Berdasarkan latar belakang di atas, penulis ingin mengkaji tentang guru sebagai agen pem 48
JURNAL ETIKA DAN PEKERTI—Volume I, no.1, 2013
belajaran menuju peningkatan prestasi siswa. Guru seperti itu senantiasa seimbang dalam mendidik, mendampingi, membimbing, dan memberikan arahan supaya mereka meraih citacita seperti harapan agama, bangsa dan negara.
Fokus Penelitian Masalah-masalah yang telah teridentifikasi di atas sangatlah luas dan kompleks. Apalagi, manajemen sekolah hanya disibukkan oleh operasionalisasi sekolah yang sempit dan tidak memanusiakan warga sekolahnya. Pemimpin sekolah hanya memperhatikan komponen fisik manusia saja dan melupakan sisi manusia yang paling penting: nurani dan psikologis. Kompleksnya permasalahan semakin tidak ter urai karena jarang sekali ada political will—dari pemangku kebijakan dan yang berwenang membuat aturan—untuk menyelesaikan per masalahan pendidikan secara mendalam dan menyentuh akar masalah. Masalah dibiarkan reda dengan sendirinya, bukan karena masalah itu selesai, tapi karena masalah itu telah dilu pakan. Akhirnya, masalah itu bertumpuk dan sulit terurai karena penyelesaiannya harus melalui revolusi yang mahal dan “menyakitkan” Oleh karena itu, penulis pun harus mem persempit masalah yang akan dikaji melalui penelitian ini supaya tidak bias dan solutif. Apalagi mengingat keterbatasan waktu dan referensi, maka peneliti membatasi masalah yang akan dikaji dalam penelitian ini hanya pada tugas dan peran guru sebagai fasilitator, motivator, pemacu (prestasi), dan pemberi in spirasi, dalam rangka meningkatkan prestasi belajar siswa. Kajian tentang guru ini dibatasi hanya di 10 sekolah dasar yang tersebar di Ka bupaten Tangerang.
Guru sebagai Fasilitator Tugas guru tidak hanya menyampaikan in formasi kepada peserta didik, tetapi harus menjadi fasilitator yang bertugas memberikan
Guru sebagai Agen Pembelajaran
kemudahan belajar (facilitate of learning) ke pada seluruh peserta didik, agar mereka dapat belajar dalam suasana yang menyenangkan, gembira, penuh semangat, tidak cemas, dan berani mengemukakan pendapat secara ter buka (Mulyasa, 2009: 53). Kondisi belajar seperti itu merupakan modal dasar bagi pe serta didik untuk tumbuh dan berkembang menjadi manusia yang siap beradaptasi, siap menghadapi berbagai kemungkinan, dan me masuki era globalisasi yang penuh berbagai tantangan. Dalam konteks pendidikan, istilah fasili tator semula lebih banyak diterapkan untuk kepentingan pendidikan orang dewasa (andra gogi), khususnya dalam lingkungan pendidikan non formal. Namun sejalan dengan perubah an makna pengajaran yang lebih menekankan pada aktivitas siswa, belakangan ini di Indo nesia istilah fasilitator pun mulai diadopsi da lam lingkungan pendidikan formal di sekolah, yakni berkenaan dengan peran guru pada saat melaksanakan interaksi belajar mengajar. Wina Senjaya (2008) menyebutkan bahwa sebagai fasilitator, guru berperan memberi kan pelayanan untuk memudahkan siswa da lam kegiatan proses pembelajaran. Peran guru sebagai fasilitator membawa konsekuensi ter hadap perubahan pola hubungan guru-siswa, yang semula lebih bersifat “top-down” ke hubungan kemitraan. Dalam hubungan yang bersifat “top-down”, guru seringkali diposisi kan sebagai “atasan” yang cenderung bersifat otoriter, sarat komando, instruksi bergaya birokrat, bahkan pawang, sebagaimana disi nyalir oleh Y.B. Mangunwijaya (Sindhunata, 2001). Sementara, siswa lebih diposisikan sebagai “bawahan” yang harus selalu patuh mengikuti instruksi dan segala sesuatu yang dikehendaki oleh guru. Berbeda dengan pola hubungan “topdown”, hubungan kemitraan antara guru de ngan siswa, guru bertindak sebagai pendam ping belajar para siswanya dengan suasana belajar yang demokratis dan menyenangkan. Oleh karena itu, agar guru dapat menjalankan perannya sebagai fasilitator seyogyanya guru
dapat memenuhi prinsip-prinsip belajar yang dikembangkan dalam pendidikan kemitraan, yaitu bahwa siswa akan belajar dengan baik apabila siswa secara penuh dapat mengambil bagian dalam setiap aktivitas pembelajaran. Keterlibatan siswa akan terasa maksimal jika apa yang dipelajari bermanfaat dan prak tis (usable), siswa mempunyai kesempatan untuk memanfaatkan secara penuh pengeta huan dan keterampilannya dalam waktu yang cukup. Selain itu, pembelajaran dapat mem pertimbangkan dan disesuaikan dengan penga laman-pengalaman sebelumnya dan daya pikir siswa, serta terbina saling pengertian, baik antara guru dengan siswa maupun siswa dengan siswa Guru berusaha membimbing siswa agar da pat menemukan berbagai potensi yang dimi likinya, membimbing siswa agar dapat men capai dan melaksanakan tugas-tugas perkem bangan mereka, sehingga dengan ketercapaian itu ia dapat tumbuh dan berkembang sebagai individu yang mandiri dan produktif. Siswa adalah individu yang unik. Artinya, tidak ada dua individu yang sama. Walaupun secara fisik mungkin individu memiliki kemiripan, akan tetapi pada hakikatnya mereka tidaklah sama, baik dalam bakat, minat, kemampuan dan se bagainya. Di samping itu setiap individu juga adalah makhluk yang sedang berkembang. Irama perkembangan mereka tentu tidaklah sama. Perbedaan itulah yang menuntut guru harus berperan sebagai pembimbing. Hubungan guru dan siswa seperti halnya seorang petani dengan tanamannya. Seorang petani tidak bisa memaksa agar tanaman nya cepat berbuah dengan menarik batang atau daunnya. Tanaman itu akan berbuah manakala ia memiliki potensi untuk berbuah serta telah sampai pada waktunya untuk ber buah. Tugas seorang petani adalah menjaga agar tanaman itu tumbuh dengan sempurna, tidak terkena hama penyakit yang dapat me nyebabkan tanaman tidak berkembang dan tidak tumbuh dengan sehat, yaitu dengan cara menyemai, menyiram, memberi pupuk dan memberi obat pembasmi hama. Demikian JURNAL ETIKA DAN PEKERTI—Volume I, no.1, 2013
49
Agus Nurcholis Saleh
juga halnya dengan seorang guru. Guru tidak dapat memaksa agar siswanya jadi ”itu” atau jadi ”ini”. Siswa akan tumbuh dan berkem bang menjadi seseorang sesuai dengan minat dan bakat yang dimilikinya. Tugas guru ada lah menjaga, mengarahkan dan membimbing agar siswa tumbuh dan berkembang sesuai dengan potensi, minat dan bakatnya. Inilah makna peran sebagai pembimbing. Jadi, inti dari peran guru sebagai pembimbing adalah terletak pada kekuatan intensitas hubungan interpersonal antara guru dengan siswa yang dibimbingnya. Lebih jauh, Abin Syamsuddin (2003) me nyebuntukan bahwa guru sebagai pembim bing dituntut untuk mampu mengidentifikasi siswa yang diduga mengalami kesulitan dalam belajar, melakukan diagnosa, prognosa, dan kalau masih dalam batas kewenangannya, harus membantu pemecahannya (remedial teaching). Berkenaan dengan upaya memban tu mengatasi kesulitan atau masalah siswa, peran guru tentu berbeda dengan peran yang dijalankan oleh konselor profesional. Sofyan S. Willis (2004) mengemukakan tingkatan masalah siswa yang mungkin bisa dibimbing oleh guru yaitu masalah yang termasuk kat egori ringan, seperti: membolos, malas, kesu litan belajar pada bidang tertentu, berkelahi dengan teman sekolah, bertengkar, minum minuman keras tahap awal, berpacaran, men curi kelas ringan. Sebagai fasilitator, guru berperan dalam memberikan pelayanan untuk memudahkan siswa dalam kegiatan proses pembelajaran. Sebelum proses pembelajaran dimulai sering guru bertanya: bagaimana caranya agar ia mu dah menyajikan bahan pelajaran? Pertanyaan itu sekilas memang ada benarnya. Melalui usaha yang sungguh-sungguh, guru ingin agar ia mudah menyajikan bahan pelajaran dengan baik. Namun demikian, pertanyaan tersebut menunjukkan bahwa proses pem belajaran berorientasi pada guru. Oleh sebab itu, akan lebih bagus manakala pertanyaan tersebut diarahkan pada siswa, sehingga per tanyaan tersebut mengandung makna kalau 50
JURNAL ETIKA DAN PEKERTI—Volume I, no.1, 2013
tujuan mengajar adalah mempermudah siswa belajar. Inilah hakikat peran fasilitator dalam proses pembelajaran (Harahap, 2012: 5). Guru sebagai fasilitator artinya upaya guru dalam menyediakan fasilitas yang memung kinkan siswa mendapatkan kemudahan dalam kegiatan belajarnya. Termasuk kegiatan yang menjadikan siswa memperoleh kemudahan dalam belajar adalah penciptaan lingkungan belajar yang menyenangkan, serasi dengan perkembangan siswa sehingga pembelajaran dapat berlangsung dengan efektif. Di samping penciptaan lingkungan belajar yang menyenangkan, pemanfaatan berbagai media dan sumber belajar juga menjadi peran guru sebagai fasilator. Oleh karena itu agar pelaksanaan peran sebagai fasilitator dapat berjalan dengan baik, menurut Wina Sanjaya ada beberapa hal yang harus dipahami oleh guru yaitu: 1. Guru perlu memahami berbagai jenis me dia dan sumber belajar beserta fungsi ma sing-masing media tersebut. pemahaman akan fungsi media sangat diperlukan, be lum tentu suatu media cocok digunakan untuk mengajarkan semua bahan pelajar an. Setiap media memiliki karakteristik yang berbeda. 2. Guru perlu memiliki ketrampilan dalam merancang suatu media. Kemampuan merancang media merupakan salah satu kompetensi yang harus dimiliki oleh se orang guru professional. Dengan perancan gan media yang dianggap cocok akan me mudahkan prosespembelajaran, sehingga pada gilirannya tujuan pembelajaran akan tercapai secara optimal. 3. Guru dituntut untuk mampu mengorgan isasikan berbagai jenis media serta da pat memanfaatkan berbagai sumber be lajar. Perkembangan teknologi informasi menuntut setiap guru untuk dapat mengi kuti perkembangan teknologi mutakhir. Berbagai perkembangan teknologi infor masi memungkinkan setiap guru dapat menggunakan berbagai pilihan media yang dianggap cocok.
Guru sebagai Agen Pembelajaran
Sebagai fasilitator guru dituntut agar memiliki kemampuan dalam berkomunikasi dan berinteraksi dengan siswa. Hal ini san gat penting, kemampuan berkomunikasi secara efektif dapat memudahkan siswa me nangkap pesan sehingga dapat meningkat kan motivasi belajar mereka. Dengan memi liki pemahaman baik tentang pemanfaatan media belajar dan sumber belajar dan ke mampuan menciptakan lingkungan belajar yang menyenangkan diharapkan guru seba gai fasilitator dapat menciptakan kemudahan bagi siswa dalam belajarnya. Sebagai Mediator guru hendaknya memi liki pengetahuan dan pemahaman yang cu kup tentang media pendidikan karena media pendidikan merupakan alat komunikasi guna lebih mengefektifksn proses belajar mengajar. Dengan demikian jelaslah bahwa media pen didikan merupakan dasar yang sangat diper lukan yang bersifat melengkapi dan merupa kan bagian integral demi berhasilnya proses pendidikan dan pengajaran di sekolah. Guru tidak cukup hanya memiliki penge tahuan tentang media pendidikan, tetapi juga harus memiliki keterampilan memilih dan me nggunakan serta mengusahakan media itu de ngan baik. Untuk itu guru perlu mengalami latihan-latihan paraktek yang kontinyu dan sistematis, baik melaui pre-service maupun mela lui in-service training. Memilih dan mengguna kan media pendidikan harus sesuai dengan tu juan, materi, metode, dan evaluasi, dan kemam puan guru serta minat dan kemampuan siswa. Sebagai mediator guru pun menjadi peran tara dalam hubungan antar manusia. Untuk keperluan itu harus terampil memperguna kan pengetahuan tentang bagaimana orang berinteraksi dan berkomunikasi. Tujuannya dalah agar guru dapat menciptakan secara maksimal kualitas lingkungan yang interaktif. Dalam hal ini ada tiga macam kegiatan yang dapat dilakukan oleh guru, yaitu mendorong berlangsungnya tingkah laku sosial yang baik, mengembangkan gaya interaksi yang pribadi, dan menumbuhkan hubungan yang positif dengan para siswa.
Sebagai fasilitator guru hendaknya mampu mengusahakan sumber belajar yang kiranya berguna serta dapat menunjang pencapaian tujuan dan proses belajar mengajar, baik yang berupa narasumber, buku teks, majalah, atau pun surat kabar.
Guru sebagai Motivator Guru sebagai tenaga pendidik harus memi liki karakteristik. Kebanyakan peserta didik kurang bernafsu untuk belajar, terutama pada mata pelajaran matematika dan bahasa Inggris, padahal kedua mata pelajaran terse but diujikan dalam ujian nasional. Ironisnya, menurut peserta didik, guru-lah yang menjadi faktor penyebab sulitnya mereka belajar, atau guru-lah yang menyulitkan mereka (Mulyasa, 2009: 57 – 58). Guru yang mempersulit pem belajaran tidak mampu memahami reformasi pendidikan yang sedang mengalami pergeser an makna pembelajaran dari pembelajaran yang berorientasi kepada guru (teacher oriented) ke pembelajaran yang berorientasi ke pada siswa (student oriented). Sesungguhnya, guru itu harus mampu membangkitkan nafsu belajar peserta didik, dan mereka harus memposisikan dirinya se bagai motivator. Proses pembelajaran akan berhasil manakala siswa mempunyai moti vasi dalam belajar. Oleh sebab itu, guru perlu menumbuhkan motivasi belajar siswa. Untuk memperoleh hasil belajar yang optimal, guru dituntut kreatif membangkitkan motivasi be lajar siswa, sehingga terbentuk perilaku bela jar siswa yang efektif. Dalam perspektif manajemen maupun psikologi, kita dapat menjumpai beberapa teori tentang motivasi (motivation) dan pe motivasian (motivating) yang diharapkan da pat membantu para manajer (baca: guru) un tuk mengembangkan keterampilannya dalam memotivasi para siswanya agar menunjukkan prestasi belajar atau kinerjanya secara unggul. Kendati demikian, dalam praktiknya memang harus diakui bahwa upaya untuk menerapkan JURNAL ETIKA DAN PEKERTI—Volume I, no.1, 2013
51
Agus Nurcholis Saleh
teori-teori tersebut atau dengan kata lain un tuk dapat menjadi seorang motivator yang he bat bukanlah hal yang sederhana, mengingat begitu kompleksnya masalah-masalah yang berkaitan dengan perilaku individu (siswa), baik yang terkait dengan faktor-faktor inter nal dari individu itu sendiri maupun keadaan eksternal yang mempengaruhinya. Terlepas dari kompleksitas dalam kegiatan pemotivasian tersebut, dengan merujuk pada pemikiran Wina Senjaya (2008), di bawah ini dikemukakan beberapa petunjuk umum bagi guru dalam rangka meningkatkan motivasi belajar siswa 1. Memperjelas tujuan yang ingin dicapai. 2. Membangkitkan minat siswa. 3. Ciptakan suasana yang menyenangkan da lam belajar. 4. Berilah pujian yang wajar terhadap setiap keberhasilan siswa. 5. Berikan penilaian. 6. Berilah komentar terhadap hasil pekerjaan siswa. 7. Ciptakan persaingan dan kerja sama. Di samping beberapa petunjuk cara mem bangkitkan motivasi belajar siswa di atas, ada kalanya motivasi itu juga dapat dibangkitkan dengan cara-cara lain yang sifatnya negatif seperti memberikan hukuman, teguran, dan kecaman, memberikan tugas yang sedikit berat (menantang). Namun, teknik-teknik semacam itu hanya bisa digunakan dalam kasus-kasus ter tentu. Beberapa ahli mengatakan dengan mem bangkitkan motivasi dengan cara-cara semacam itu lebih banyak merugikan siswa. Untuk itulah seandainya masih bisa dengan cara-cara yang positif, sebaiknya membangkitkan motivasi de ngan cara negatif dihindari. Keberadaan seorang guru dalam suatu sekolah tidaklah dapat disangkali lagi, karena tanpa guru sekolah tidak akan dapat berjalan. Namun peran guru tidaklah hanya berhenti sebagai pengajar yang melakukan transfer ilmu saja, karena tanpa adanya peran sebagai motivator maka sia-sialah peran guru sebagai sosok yang melakukan transfer ilmu. 52
JURNAL ETIKA DAN PEKERTI—Volume I, no.1, 2013
Seorang motivator adalah seseorang yang mampu membangkitkan motif atau keinginan seseorang untuk melakukan suatu tindakan tertentu. Berdasarkan kedudukannya seba gai seorang guru tentu memiliki sasaran yang pasti yaitu murid-murid yang dihadapinya sehari-hari. Bangkitnya motivasi mereka un tuk meraih suatu prestasi merupakan bagian dari keberhasilannya sebagai seorang motiva tor dan merupakan suatu kebanggaan meli hat murid yang dibimbingnya memiliki suatu prestasi yang optimal. Tampilnya seorang guru sebagai motivator bagi siswa-siswi yang dihadapinya sehari-hari bukanlah hal yang mudah. Untuk menjadi se orang motivator bagi siswasiswinya, seorang guru juga harus dapat memberi motivasi bagi dirinya sendiri yang otomatis menjadi motiva tor bagi dirinya sendiri. Jika mampu mendo rong dirinya untuk maju dan menjadi model dalam pembelajaran, maka tidak akan ada kesulitan bagi dirinya untuk mendorong para peserta didiknya meraih keberhasilan. Siswa yang tidak memiliki motivasi bela jar yang tinggi, akan berdampak pada kondisi pembelajaran. Banyak guru di Indonesia yang hanya melakukan transfer ilmu tanpa mau sedikitpun menjadi motivator bagi murid-mu ridnya, bahkan tampak adanya kesan bangga bila muridnya mendapat nilai buruk dalam mata pelajaran yang diajarnya, hal ini diang gapnya menunjukkan bahwa semua murid itu bodoh dan hanya gurulah yang pandai. Padahal, guru yang baik adalah guru yang mampu menjadi seorang motivator bagi siswasiswinya, dan itu bukanlah hal yang sulit. Na mun hal ini juga bukan berarti hal yang mu dah untuk dilakukan. Berikut adalah beberapa langkah yang layak untuk dilaksanakan bagi para guru yang ingin menjadi motivator: 1. Lakukanlah yang terbaik, dengan berbuat sesuatu berdasarkan cinta, dan mengikuti kata hatimu. Jika guru mampu melakukan pembelajaran demi tugas mulia di hadapan Tuhan, maka hambatan yang ditimbulkan oleh manusia tidak akan berarti apa-apa. Kuncinya adalah belajarlah mencintai apa
Guru sebagai Agen Pembelajaran
yang anda lakukan maka Anda akan mera sakan hasilnya. 2. Jadilah teladan bagi lingkungan, dengan membuktikan dirinya sebagai seorang con toh yang patut diikuti. Contohnya; seorang guru perokok tidak mungkin menjadi se orang motivator bagi siswasiswinya agar tidak merokok. 3. Jadikanlah siswa sebagai subyek, dengan memberikan kesempatan pada mereka untuk menjadi manusia yang kritis dalam berpikir serta menyampaikan pendapat nya secara demokratis tanpa meninggal kan norma-norma yang ada. Menjadikan siswa sebagai subyek dapat kita lakukan dengan cara menjadi pelindung, orang tua atau bahkan seorang sahabat yang memi liki rasa empati bagi mereka (khususnya untuk anak-anak remaja) di saat mereka membutuhkan tempat untuk mencurah kan isi hati mereka. 4. Memiliki wawasan yang luas, supaya uca pannya tidak berkutat pada masalah yang sempit dan mampu membuka pikiran siswa dengan cakrawala yang luas. Seorang mo tivator tidak akan menjadi motivator yang baik bila tidak memiliki wawasan yang luas mengenai berbagai bidang.
Guru sebagai Pemacu
makhluk lemah, yang dalam perkembang annya senantiasa membutuhkan orang lain, sejak lahir, bahkan pada saat meninggal. Semua itu menunjukkan bahwa setiap orang membutuhkan orang lain dalam perkem bangannya, demikian halnya peserta didik; ketika orang tua mendaftarkan anaknya ke sekolah pada saat itu juga ia menaruh harapan terhadap guru, agar anaknya dapat berkem bang secara optimal (Mulyasa, 2009: 64). Sebagai pemacu belajar, guru harus mam pu melipatgandakan potensi peserta didik, dan mengembangkannya sesuai dengan as pirasi dan cita-cita mereka di masa yang akan datang. Berikut beberapa hal yang bisa dilaku kan untuk mendukung peran guru sebagai pemacu: 1. Memposisikan diri sebagai orang tua yang penuh kasih sayang pada peserta didiknya. 2. Sebagai teman tempat mengadu, menguta rakan perasaan bagi peserta didik 3. Fasilitator yang selalu siap memberikan kemudahan dan melayani peserta didik se suai minat, kemampuan dan bakatnya. 4. Memberikan sumbangan pemikiran kepa da orang tua murid. 5. Memupuk rasa percaya diri peserta didik 6. Menumbuhkan rasa saling bersaudara 7. Mengembangkan sosialisasi yang baik 8. Mengembangkan kreatifitas 9. Membantu ketika peserta didik memerlukan.
Sebagai tenaga kependidikan, guru harus memiliki komitmen terhadap upaya perubah an dan reformasi. Artinya guru harus memiliki pengetahuan, kecakapan, dan keterampilan serta sikap yang tepat terhadap pembeharuan dan sekaligus merupakan penyebar ide pem baharuan yang efektif. Sebagai pemacu bela jar, guru harus mampu melipatgandakan po tensi peserta didik, dan mengembangkannya sesuai dengan aspirasi dan cita-cita mereka di masa yang akan datang. Guru sangat berperan dalam membantu perkembangan peserta didik untuk mewu judkan tujuan hidupnya secara optimal. Keya kinan ini muncul karena manusia adalah
Banyak hal yang bisa dilakukan guru agar peserta didik terpacu untuk belajar. Secara teknis dalam pembelajaran sebagai berikut : 1. Membuat ilustrasi terhadap apa yang dipela jari dengan yang telah diketahui, sehingga peserta memiliki tambahan pengalaman. 2. Mendifinisikan secara jelas dan sederhana apa yang sedang dipelajari agar peserta didik dapat memahami secara jelas. 3. Menganalisa dan membahas masalah bagian demi bagain, hal ini memudahkan peserta didik memahami tahap demi tahap. 4. Mensintesis bagian yang telah dibahas. 5. Bertanya untuk menghidupkan suasana. 6. Merespon jawaban atau ide dari peserta didik. JURNAL ETIKA DAN PEKERTI—Volume I, no.1, 2013
53
Agus Nurcholis Saleh
7. Mendengarkan dan berusaha menyederha nkan setiap masalah. 8. Mencipatkan kepercayaan. 9. Menyediakan media agar proses belajar lebih mudah. 10. Memeberikan pandangan bervariasi. 11. Menyesuaikan metode pembelajaran. 12. Memberikan nada perasaan agar suasana hidup penuh dengan ekspresi. Uraian teknis di atas akan lebih terasa bila menjadi bagian yang sudah terintegrasi dalam jiwa seorang pendidik.
Guru sebagai Pemberi Inspirasi Sebagai pemberi inspirasi belajar, guru harus mampu memerankan diri dan memberikan inspirasi bagi peserta didik, sehingga kegiatan belajar dan pembelajaran dapat membang kitkan berbagai pemikiran, gagasan, dan ideide baru. Untuk kepentingan tersebut, guru harusmampu menciptakan lingkungan sekolah yang aman, nyaman dan tertib, optimisme dan harapan yang tinggi dari seluruh warga sekolah, kesehatan sekolah, serta kegiatankegiatan yang terpusat pada peserta didik, agar dapat memberikan inspirasi, membang kitkan nafsu, gairah dan semangat belajar. Iklim belajar yang kondusif merupakan tulang punggung dan faktor pendorong yang dapat memberikan daya tarik tersendiri bagi proses belajar, sebaliknya iklim belajar yang kurang menyenangkan akan menimbulkan kejenuh an dan rasa bosan (Mulyasa, 2009: 67). Guru sebagai pemberi inspirasi bela jar harus mampu memerankan diri dan memberikan inspirasi sesuai dengan apa yang dipelajari. Guru inspiratif pandai membangkitkan ide, pemikiran, gagasan, optimesme dan keharmonian dalam bela jar dibutuhkan sarana dan prasarana yang mendukung. Siswa menjadi terdorong un tuk berprestasi dan terpacu untuk melaku kan sesuatu yang memiliki nilai manfaat bagi sesamanya. 54
JURNAL ETIKA DAN PEKERTI—Volume I, no.1, 2013
Menurut Rhenald Kasali, ada dua jenis guru yang kita kenal yaitu guru kurikulum dan guru Inspiratif. Guru kurikulum sangat patuh pada kurikulum dan merasa berdosa bila tidak bisa mentransper semua isi buku yang ditugaskan. Ia mengajarkan sesuatu yang standar (habitual thinking) dan jumlahnya sekitar 99%. Sedangkan guru inspiratif jumlanya kurang dari 1%. Ia bukan guru yang mengejar kuriku lum tetapi mengajak murid-muridnya berfikir kreatif (maximum thinking). Guru yang inspi ratif akan mengajak murid-muridnya melihat sesuatu dari luar (thinking out of box), kemu dian mengubahnya di dalam lalu membawa kembali keluar, ke masyarakat luas. Guru ku rikulum melahirkan manajer-manajer handal, guru inspiratif melahirkan pemimpin-pemba ru yang berani menghancurkan aneka kebia saan lama. Melihat kondisi pendidikan/system seko lah umumnya di Indonesia, guru-guru memang terbelenggu oleh ketentuan administrative yang harus dipatuhi seperti target pencapai an kurikulum, ketuntasan belajar, silabus, RPP dan sebagainya. Sesuai dengan keten tuan yang ada bahwa wujud pelaksanaan pendidikan di sekolah tertuang dalam bentuk kegiatan intra kurikuler dan ekstrakurikuler. Dalam kegiatan intrakurikuler sangat jarang guru dalam interaksinya dengan murid-mu ridnya mampu mengembangkan potensi-po tensi yang dimiliki mereka. Padahal tujuan pendidikan yaitu pengembangan secara me nyeluruh dari seluruh potensi anak didik melalui kreatifitas dan berpikir kreatif. Hal ini memperlihatkan bahwa pendidikan memiliki arti sebagai pengembangan potensi manusia. Selama ini guru lebih menekankan pada pendekatan intelektual/intelgensia atau hanya mengejar nilai. Sedangkan ketrampilan hidup dan bersosialisasi tidak diajarkan. Seorang anak dilihat berdasarkan nilai ulangan yang didapat bukan kemampuan diri secara keselu ruhan. Kondisi ini dapat mendorong anak un tuk mencontek atau melakukan usaha-usaha yang tidak baik karena tuntutan angka sehing ga nilai-nilai pendidikan terabaikan.
Guru sebagai Agen Pembelajaran
Ada 3 (tiga) pendekatan yang bisa dilaku kan oleh guru dalam proses pembelajaran dikelas agar menjadi sumber inspirasi atau pemberi inspirasi: 1. Melalui Pendekatan Kecerdasan Emosional Otak manusia terdiri ari dua lapisan yaitu lapisan luar (neo cortrex) dan lapisan tengah (limbic system). Di wilayah lapisan luar otal, manusia mampu berhitung, mengoperasi kan computer, mempelajari bahasa Inggris, dan perhitungan yang rumit lainnya. Mela lui penggunaan otak neo-cortex inilah lahir intelegence quotient/IQ atau kemampuan intelektual (Ary Ginanjar A: Rahasia Sukses Membangkitkan ESQ Power). Kecerdasa ini berkaitan dengan kesadaran terhadap ruang, kesadaran pada sesuatu yang tampak, dan penguasaan matematika. Sedangkan pada lapisan tengah otak (limbic system) terle tak pengendali emosi dan perasan manusia yang memungkinkan manusia luwes dalam bergaul, penolong sesama, setia kawan dan bertanggung jawab. Perilaku inilah yang di sebut kecerdasan emosional/EQ (emotional quotient) yang dapat dimaknai serangkai an kecakapan untuk melapangkan jalan di dunia yang penuh liku-liku permasalahan social. Pada ranah inilah saya pikir, guru bisa membangkitkan potensi anak didiknya untuk menempuh kesuksesan dengan me ngembangkan rasa simpati dan empati pada sesama, sifat kerja keras dan bertang gung jawab. Menurut penelitian yang di lakukan oleh pakar psikolog yaitu Steven J. Stein dan Howard E. Book, bahwa IQ hanya berperan dalam kehidupan manusia dengan besaran maksimum 20%, bahkan hanya 6%. Jadi pendekatan emosional yang dilakukan guru terhadap siswanya ketika in teraksi di kelas, bisa mendorong siswa untuk sukses dengan tidak hanya mengandalkan dari sisi IQ-nya saja. Pendekatan emosional yang bisa dilakukan misalnya dengan selalu menebarkan energi positif pada anak didik, toleransi terhadap ketidaksempurnaan, dan mencintai sepenuh hati anak didik dengan perbedaan yang dimiliki mereka.
2. Melalui Pendekatan Kecerdasan Spiritual Pada ranah ini, pendekatan yang harus dilakukan oleh guru adalah meningkat kan potensi siswa dengan membangkitkan spiritual quotient dengan cara menanam kan/mengajarkan nilai-nilai kebenaran yang terkandung dalam agama. Pondas inya sesuatu yang baik dan indah. Dalam pengertian umum bisa bermakna positif termasuk kejujuran, kebajikan, keindahan dan keramahan. Dalam belajar atau be kerja adalah bagaimana seseorang dapat belajar/bekerja dengan jujur dan amanah dan mengerjakan sesuatunya secara benarsesuai peraturan yang ditetapkan. Guru bisa menanamkan kepada setiap anak didik/siswa bahwa setiap yang dilakukan oleh kita manusia adalah bernilai ibadah dan sebagai manusia harus bisa memberi manfaat bagi manusia yang lain. 3. Melalui Pendekatan Kecerdasan Sosial Menurut Edward L. Thondrike kecer dasan social (socialintelligence) adalah ke mampuan untuk saling mengerti sesama manusia dan bijaksana dalam hubungan sesama manusia. Dia menegaskan kecer dasan sosial berbeda dengan kemampuan akademik. Saat ini banyak tudingan ter hadap dunia pendidikan dimana produk pendidikan kita adalah manusia-manusia yang biasa menyikut orang untuk mem pertahankan kepentingannya karena kuri kulum ternyata mendorong orang semakin cerdas sekaligus menyuburkan sikap-sikap individualistic alias mementingkan diri sendiri. Gaya hidup ini menghapus ber sih sikap kerja sama, tenggang rasa, sim pati, empati dan budi pekerti yang luhur. Bayangkan bila penguasa masa depan ada lah produk dari dunia pendidikan seper ti ini. William Chang, seorang pemerhati social menyebut fenomena ini menghasil kan manusia yang bereaksi lamban. Ke lambanan bereaksi ditafsirkan akibat ren dahnya kecerdasan sosial. Sisi inilah yang barangkali bisa digali dan dikembangkan oleh guru pada anak didiknya. Harus disa JURNAL ETIKA DAN PEKERTI—Volume I, no.1, 2013
55
Agus Nurcholis Saleh
dari bahwa latar belakang sosial anak didik berbeda-beda baik suku, bahasa, agama, bahkan tingkat ekonominya. Disisi lain manusia sebagai makhluk social tidak bisa hidup sendiri. Oleh karena itu pen ting kiranya mengembangkan sikap kerja sama, tenggang rasa, simpati, empati dan budi pekerti yang luhur pada setiap anak didik. Cara yang bisa dilakukan adalah dengan mempraktekan 5 S (senyum, sapa, salam, sabar dan syukur). Pendekatan di atas sebagai motivasi bagi kita untuk bisa berbuat lebih bayak dan lebih baik.
METODE PENELITIAN Penelitian ini mengungkap keunikan guru sebagai pelaku utama perubahan di dunia pendidikan. Oleh karena itu, metode uta ma yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode kualitatif, dimana prosedur yang diterapkan akan menghasilkan data deskriptif, dari orang-orang dan perilaku yang dapat diamati (Kahmad, 2000: 97, 153). Adapun pendekatan yang digunakan adalah sociological approach, dimana pe neliti akan mellihat dan mengungkapkan sejauhmana peran guru sebagai agen pem belajaran. Penelitian ini dilakukan dalam tiga ta hapan: survey pendahuluan, observasi dan wawancara, dan analisis. Sumber data utama penelitian ini berasal dari guru-guru dan seluruh siswa di 10 sekolah dasar di Ka bupaten Tangerang. Data itu bisa berupa data-data yang diperoleh melalui wawan cara terhadap responden penelitian, infor man, peristiwa, dan fakta yang didapat dari pengamatan. Selain itu, penulis juga mem pergunakan teknik snowball, dimana jumlah informan akan bertambah sesuai dengan ke butuhan data yang diperlukan. Penulis juga memanfaatkan sumber-sumber bibliografis dan dokumentasi, berupa buku, majalah, surat kabar dan hasil-hasil penelitian, serta karya ilmiah lainnya. 56
JURNAL ETIKA DAN PEKERTI—Volume I, no.1, 2013
Data lapangan ini dikumpulkan meng gunakan metode angket, observasi terlibat, wawancara mendalam, dan diskusi terfokus (FGD). Data itu kemudian dianalisis dalam tiga tahap, yaitu: (a) reduksi data, (b) display data, dan (c) pengambilan kesimpulan dan verifikasi (Usman dan Akbar, 2003: 86-87). Untuk mencapai kesimpulan yang mendalam, peneliti melakukan verifikasi dengan datadata baru hasil dari kalibrasi keabsahan data. Kredibilitas menjadi penting untuk menjaga kualitas penelitian ini. Oleh karena itu, peneli ti menggunakan kriteria Moleong (2005, 159160) yang menetapkan empat pemeriksaan supaya data kualitatif yang diungkap men jadi sah, yaitu: credibility, transferability, dependability, dan confirmability. Teknik yang digunakan adalah triangulasi, mengadakan member check, menganalisis kasus negatif, uraian rinci (thick description), pengumpulan dan pemeriksaan yang dilakukan secara terus menerus, dan objektif. Data dalam penelitian ini dikumpulkan melalui tiga cara: wawancara, pengamatan, dan angket. Dengan demikian, melalui ketiga instrumen itulah peneliti menganalisis terha dap data-data yang terkumpul. Ketiga instru men itu akan saling melengkapi data peneli tian sehingga penulis bisa melakukan analisis dari berbagai sudut pandang. Melalui wawancara, peneliti mengumpul kan berbagai pendapat guru, kepala sekolah, dan komite sekolah tentang guru sebagai agen pembelajaran, yaitu sebagai fasilitator, moti vator, pemicu prestasi, dan pemberi inspirasi. Berikut adalah hasil wawancara penulis ke pada beberapa narasumber tentang agen guru sebagai pembelajaran: Selain wawancara di atas, peneliti juga membagikan daftar pernyataan (angket) kepa da setiap guru di sekolah. Angket itu berkaitan dengan empat tugas utama guru sebagai agen pembelajaran, yang diamanatkan oleh un dang-undang, baik oleh Undang-undang No. 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional, atau Undang-undang No. 14 tahun 2005 tentang Guru dan Dosen.
Guru sebagai Agen Pembelajaran
Pembahasan Masyarakat yang sadar bahwa pendidikan adalah cara untuk melakukan perubahan, rela mem bayar mahal pendidikan anak-anaknya. Syarat nya, pembelajaran yang diterima oleh anaknya harus berkualitas. Kualitas itu tidak hanya dalam wujud dan produknya saja, tapi cara penyampa ian kualitas itu pun harus memenuhi standar kualitas. Artinya, tidak hanya ilmunya yang ber bobot dan berisi, tapi cara penyampaian ilmu itu pun harus sempurna dan tidak cacat. Kebutuhan akan kualitas pendidikan mela hirkan berbagai sekolah berlabel ‘terpadu, in ternasional, dan unggulan’. Sekolah-sekolah itu pasti mengakomodasi berbagai standar keunggulan yang telah diakui secara nasio nal, bahkan internasional. Ragam pengakuan (dalam bentuk sertifikat) dari berbagai lem baga akreditasi nasional dan internasional menghiasi manajemen sekolah tersebut. Ba hasa pengantarnya pun bahasa internasional. Sekolah unggulan adalah sekolah yang se lalu bergerak dari kualitas yang satu menuju kualitas yang lainnya. Sekolah unggulan bu kan sekolah yang cukup senang dengan se buah pencapaian, dan stagnan tidak melakukan pembaharuan. Namun, sekolah unggulan berisi orang-orang yang selalu siap berjalan bahkan mau melakukan perubahan tanpa harus me nunggu datang keyakinan. Guru yang bertugas di sekolah unggulan adalah guru-guru yang di namis dengan variasi pembelajaran yang rinci. Jika sekolah ingin maju dan berkualitas, maka masyarakat sekolah itu harus mempunyai komitmen yang jelas terhadap pendidikan, loy alitas, serta peduli terhadap peningkatan kuali tas peserta didik. Guru sebagai pihak terdekat dengan peserta didik dalam melakukan interak si, harus memberdayakan dirinya dengan ber bagai kompetensi dan standar kualitas tinggi.
Guru sebagai fasilitator Guru adalah manager dalam pembelajaran yang bertanggung jawab pada perencanaan,
pelaksanaan, dan penilaian. Konsekuensinya, baik buruknya pembelajaran, berhasil tidaknya siswa dalam meraih prestasi, berada di pundak guru sebagai pengelola pembelajaran. Pembelajaran merupakan suatu kegiatan yang dilakukan oleh guru sedemikian rupa, sehingga tingkah laku peserta didik berubah ke arah yang lebih baik. Pembelajaran meru pakan aktualisasi kurikulum yang menun tut keaktifan guru dalam menciptakan dan menumbuhkan kegiatan peserta didik sesuai dengan rencana yang telah diprogramkan. Sistem pembelajaran yang baik seharusnya dapat membantu siswa mengembangkan diri secara optimal serta mampu mencapai tujuan tujuan belajarnya. Siswa dapat belajar dengan baik jika siswa tersebut mengalami langsung apa yang dipelajarinya. Pembelajaran yang dilakukan SD tidak ber beda dengan pembelajaran yang dilakukan di sekolah dasar pada umumnya. Peneliti tidak melihat adanya variasi pembelajaran yang di lakukan oleh guru di depan kelas. Guru masih mendominasi pembelajaran, baik dengan ce ramahnya, maupun dengan ujian-ujian yang diberikan kepada para siswa. Guru juga masih berceramah ketika memimpin pembelajaran. Guru berhenti cera mah bukan karena variasi pembelajaran, tapi guru sedang memimpin ujian (harian, dan sebagainya). Padahal, berceramah itu mengu ras energi dan menekan siswa selama proses pembelajaran berlangsung. Guru masih eng gan melakukan variasi pembelajaran karena semua guru tidak mempersiapkan skenario pembelajaran jauh sebelum pembelajaran itu dilakukan. Rencana pembelajaran yang dibuat oleh guru jarang diverifikasi, atau hanya sekadar untuk diperbaiki. Sepertinya, guru merasa cu kup dengan pengalaman mengajarnya (berta hun-tahun) tanpa harus melakukan pembaha ruan skenario pembelajaran. Harapan peme rintah supaya pembelajaran di sekolah segera bergerak menuju student centered, belum terpenuhi. Guru masih menjadi aktor utama dalam kelas, dan tidak berupaya menerapkan JURNAL ETIKA DAN PEKERTI—Volume I, no.1, 2013
57
Agus Nurcholis Saleh
strategi konstruktivis. Ruang kelas juga masih menjadi satu-satunya media proses belajar mengajar. Konsekuensinya, interaksi yang terjadi di luar kelas, meskipun mencerahkan siswa, tidak dianggap sebagai pembelajaran. Jika dianalisa, guru-guru tidak serius mem buat perencanaan pembelajaran, dan tidak mempersiapkan berbagai skenario pengelo laan pembelajaran. Padahal, tindakan yang efektif dan efisien harus dimulai dari peren canaan yang baik. Perencanaan yang matang akan menyediakan berbagai skema pembela jaran, termasuk menyediakan kesempatan se luas-luasnya kepada siswa untuk memimpin pembelajaran. Guru belum mau membuat pembelajaran student centered. Guru hanya mau tugasnya menjadi sederhana tanpa mempersiapkan skenario bimbingannya. Siswa memang diberi kesempatan bekerja, tapi hanya “mendikte” dan menulis materi. Guru tidak pernah mem fasilitasi siswa untuk belajar menjadi imam yang ngemong, atau menjadi makmum yang baik. Padahal, guru harus melatih dan meng arahkan siswa agar mereka siap menjadi pemimpin dan tertib ketika dipimpin. Keberadaan guru tandem di dalam kelas juga tidak merubah iklim kelas menjadi lebih terbimbing dan ramah terhadap anak. Guru terlihat hidup dengan dunianya sendiri, dan tidak sadar bahwa ia adalah pemimpin pembe lajaran yang harus melihat kebutuhan peserta didiknya. Dengan demikian, harapan bahwa guru cukup menjadi fasilitator yang handal dalam pembelajaran, belum terpenuhi.
Guru sebagai motivator Guru adalah manusia yang—kata orang— boleh salah, karena Tuhan pun melengkapi manusia sebagai tempatnya salah dan lupa. Istilah itu dikenal dengan manusiawi. Tapi secara prinsip, guru itu makhluk mulia yang tidak boleh salah. Jika pernah terjerumus ke dalam kesalahan pun, guru harus segera meminta maaf, segera memperbaikinya, dan 58
JURNAL ETIKA DAN PEKERTI—Volume I, no.1, 2013
tidak boleh mengulangi kesalahan yang per nah diperbuatnya. Ungkapan tidak boleh salah di atas wajar berada pada guru karena demikian penting nya guru sebagai uswatun hasanah. Ketika guru berkewajiban untuk berada pada po sisi yang mendorong (motivator), guru tidak boleh sedikitpun absen dan tetap menjadi pendorong. Sebuah kesalahan besar jika guru sebagai motivator, ternyata tidak berdaya mendorong dirinya sendiri untuk melakukan perbaikan berkelanjutan. Berdasarkan fakta yang teramati di ruangruang kelas, dan mendapatkan konfirmasi ketika wawancara, guru-guru seringkali men geluhkan faktor sarana dan prasarana pem belajaran. Memang, kedua sekolah itu masih membutuhkan 4 ruang kelas baru yang akan meningkatkan proses pembelajaran, tapi guru harus menyadari bahwa belajar itu bisa di lakukan dimana saja. Ruang kelas tidak boleh menjadi alasan (kambing hitam) dari ketidak mampuan guru mengelola pembelajaran. Bahkan, tidak boleh sedikitpun membatasi/ menghambat aktivitas guru dalam pembela jaran. Jika guru masih merasa terbebani den gan kekurangan ruang kelas, boleh jadi guru itu belum mampu mendorong dirinya untuk menjadi guru yang berdaya dan mandiri. Ketidakberdayaan guru sebagai motiva tor juga bisa dilihat dari keluhan tentang minimnya buku ajar. Guru-guru tidak mam pu memanfaatkan ruang perpustakaan dan banyaknya buku yang tersedia untuk dibaca. Mereka lebih senang mengeluhkan bukubuku bantuan pemerintah yang tidak sesuai dengan kebutuhan. Guru menganggap bah wa buku-buku itu bukanlah buku ajar, tapi hanya berstatus sebagai penunjang pembe lajaran. Penulis mengamati jika semua buku di perpustakaan dibagikan kepada setiap siswa, maka buku-buku itu masih tersisa banyak. Setelah dibagikan, guru hanya tinggal men dorong siswa untuk mencari pengetahuan, ilmu dan wawasan dari buku-buku itu. Kemu dian melalui diskusi, anak-anak kita ajak un
Guru sebagai Agen Pembelajaran
tuk berlatih mencipta bangunan pengetahuan berdasarkan kemampuan pribadinya. Jika guru masih mengeluhkan ketidakse suaian materi/isi buku dengan standar kom petensi atau kompetensi dasar yang harus di capai oleh siswa, maka guru-guru masih ‘ter penjara’ Silabus-RPP. Padahal, mereka harus nya mampu memahami substansi belajar itu sendiri, yaitu mendorong perubahan tingkah laku anak menjadi lebih baik lagi. Rentang nilai siswa yang hampir sama dengan nilai KKM, menunjukkan bahwa guru tidak termotivasi untuk melakukan pendam pingan supaya yang pintar itu tetap pintar, dan supaya siswa yang tertinggal segera pin tar. Pembelajaran yang dilakukan cukup untuk mengejar setoran saja, dan aktivitas itu adalah aktivitas rutin yang tidak memiliki makna. Penelitian ini menggambarkan bagaimana rendahnya prestasi belajar siswa berbanding lurus dengan tidak adanya dorongan guru dalam proses pembelajaran. Apa yang dilaku kan guru di kelas belum menunjukkan bah wa mereka adalah profesional yang bekerja penuh waktu sebagai agen pembelajaran bagi bangsa. Guru-guru tidak berupaya melahirkan pembelajaran yang inovatif, yang mendorong anak didik menyukai kegiatan belajar.
Guru sebagai pemacu prestasi Pembelajaran yang berkualitas dari seorang guru ditentukan dari mudah tidaknya sebuah materi pelajaran diserap dan diterapkan da lam kehidupan sehari-hari. Guru berkepen tingan mengajak siswa untuk menerapkan materi pembelajaran menjadi tindakan. Guru harus mampu memacu siswa untuk mencapai prestasi yang diharapkan. Tindakan dan prestasi adalah dua kubu yang harus bekerja sama dan berhubungan se cara seimbang. Seorang siswa akan lebih mu dah memahami sebuah pesan dan substansi pembelajaran jika mereka langsung menga lami dengan melakukan tindakan. Ungkapan I do I undersand adalah pembelajaran yang
harus dikelola oleh setiap guru, dimana guru harus memberikan teladan (contoh) dengan tindakannya dalam pembelajaran. Ketika guru-guru masih mengeluhkan transparansi bantuan pemerintah terhadap sekolah (BOS, dan lain-lain), konsentrasi guru buyar dan hilang. Memang, guru boleh saja “menggugat” itu karena akan berpengaruh terhadap kesempatan peningkatan sarana prasarana guru dalam melaksanakan tugas. Tapi guru harus menyadari bahwa mendamp ingi anak didik adalah tugas utama yang harus mendapatkan prioritas tertinggi. Jika harus terus mengeluhkan setiap permasalahan yang ada di sekolah, kapan guru memiliki waktu untuk memacu prestasi anak didiknya. Guru memiliki kewajiban untuk melak sanakan tugas guru semaksimal mungkin. Untuk mendukung kinerja, mereka memi liki hak untuk mendapatkan reward, fasili tas, dan dukungan kebijakan pimpinan yang akan meningkatkan kinerja mereka. Jika pe merintah menggulirkan program sertifikasi, maka semua guru berhak mendapatkannya. Jika harus ada pemenuhan persyaratan, maka guru-guru yang telah memenuhi persyaratan itu harus mendapatkan haknya. Pimpinan di sekolah harus mendukung guru, baik dalam action maupun dalam kebijakan. Program sertifikasi bisa menjadi pendorong guru untuk lebih giat dan semangat dalam pem belajaran. Namun, adanya diskriminasi terhadap guru dan tidak jelasnya pelaksanaan aturan ser tifikasi oleh aparat dinas pendidikan membuat harapan guru menjadi ‘sirna’ dan tidak berse mangat dalam mengelola pembelajaran. Guru juga mengeluhkan input siswa di bawah rata-rata. Hal itu diakibatkan lingkungan sekolah yang marjinal dan faktor ekonomi kelu arga. Disamping itu, pendidikan bukan prioritas orang tua yang bisa menjadi investasi di masa datang. Orang tua masih belum sadar bahwa pendidikan anak-anaknya akan meningkatkan daya tahan keluarganya di kemudian hari. Penulis mengamati bahwa guru-guru be lum menjadi pemacu yang baik terhadap anak didiknya untuk berprestasi. Guru masih terku JURNAL ETIKA DAN PEKERTI—Volume I, no.1, 2013
59
Agus Nurcholis Saleh
rung rutinitas dinas, dan buku menjadi anda lan utama. Penulis belum melihat upaya guru dalam memberdayakan siswa supaya mereka memiliki kemandirian dalam belajar, kecuali hanya sekadar mengajak dan “memerintah”. Padahal, guru bisa melakukan treatment da lam metodologi dan menggiring anak didik melalui strategi pembelajaran yang disuguh kan. Sejelek apapun input siswa, jika diolah secara maksimal, dipastikan outputnya bisa maksimal. Syaratnya hanya satu, yaitu antu sias dalam mendidik siswa. Sesungguhnya, untuk menggelorakan guru sebagai pemacu prestasi, pemerintah telah mela hirkan berbagai program yang diharapkan bisa memacu kinerja guru. Pemerintah menyedia kan dukungan itu tidak hanya dalam bentuk finansial saja, tapi juga dalam bentuk material. Se lain sertifikasi dan berbagai tunjangan keuangan lainnya, pemerintah juga menyediakan berbagai bahan ajar yang bisa dimanfaatkan oleh guru sebagai bekal. Ragam file (di dunia maya) telah disediakan oleh pemerintah, termasuk buku sekolah elektronik. Bahkan, hadiah laptop pun menjadi kebijakan pemerintah yang ingin gurugurunya melek teknologi. Pemerintah telah memacu guru dengan pemilihan guru teladan, sayembara penulisan buku, dan berbagai lomba lainnya. Namun de mikian, melihat guru-guru dalam skala kecil, maka “pacuan” pemerintah belum memacu guru-guru. Konsekuensinya, guru-guru juga tidak merasa harus memacu anak didiknya. Apalagi, dengan tumpukan masalah yang me reka undang sendiri untuk membebani guru. Salah satu indikasi nihilnya pacuan guru terhadap prestasi siswa adalah monotonnya evaluasi. Guru hanya memiliki satu gaya da lam melihat keberhasilan siswa dalam pem belajaran. Secara normatif, prestasi belajar siswa hanya diukur dari sisi kognitif saja, yaitu dengan “ulangan”. Guru dan sekolah tidak ter dorong untuk melakukan penilaian portofolio dengan dokumentasi yang lengkap. Oleh kar ena itu, wajar jika tidak teramati adanya live together diantara siswa, bahkan di guru-guru pun hanya seremonial belaka. 60
JURNAL ETIKA DAN PEKERTI—Volume I, no.1, 2013
Guru mungkin lupa bahwa prestasi kognitif itu hanya satu dari tiga indikator keberhasilan seorang siswa dalam mengikuti pendidikan di sekolah. Dua lainnya adalah sisi afektif dan psikomotorik, dan kedua faktor utama ini ditinggalkan guru-guru karena kerumitan administrasi dan pelaksanaannya. Guru-guru hanya tahu bahwa “si anu itu pintar”, “si anu itu bandel”, “si anu itu nakal”, “si anu itu perlu diberi pelajaran”, dan kekhususan itu cukup hanya diperbincangkan saja tanpa ada tindak lanjut perbaikan. Guru tidak memiliki waktu untuk mendampingi anak didik yang perlu special treatment, bahkan guru-guru merasa lebih baik (siswa itu) “dibuang” saja. Demikianlah kondisi guru yang belum menggambarkan dirinya sebagai agen pembe lajaran. Keinginan untuk memacu prestasi siswa baru sebatas niat saja. Apalagi jika guru memiliki pandangan: “tidak dipacu aja sudah berprestasi, jadi tidak harus bersungut-sungut sangat serius memacu anak”. Artinya, guru terkesan membiarkan anak untuk bekerja keras sendiri (meraih prestasi) tanpa bimbing an guru.
Guru sebagai inspirator Belajar adalah perubahan tingkah laku karena pengalaman dan latihan. Perubahan tingkah laku itu bisa berupa serangkaian kegiatan misalnya membaca, melihat, mendengar, me niru dan lain sebagainya. Belajar yang baik adalah proses perubahan tingkah laku dimana siswa sendiri yang mengalami, melakukan, dan menghayatinya. Guru adalah pendam ping siswa yang akan memberikan bimbing an apakah kegiatan yang dilakukannya itu bermanfaat atau tidak. Guru adalah pemberi konfirmasi kepada siswa bahwa setiap kejadi an yang dialami oleh siswa itu harus dipahami dan dihayatinya sepenuh hati. Sebagai pendamping, guru harus menginspirasi siswa dengan berbagai masukan, baik berupa cerita kesuksesan, ataupun tantangan yang harus dilakukan oleh siswa. Sebagai pem
Guru sebagai Agen Pembelajaran
beri konfirmasi, guru adalah sumber informasi yang harus kompeten memberikan penjela san tentang berbagai hal yang ditanyakan atau didebat oleh anak didiknya. Meskipun terlihat pasif, guru sebagai pembimbing tetap lebih baik daripada guru sebagai penceramah. Siswa tidak boleh hanya dijadikan sebagai wadah ceramah guru, karena siswa akan lebih senang jika selu ruh potensi tubuhnya bergerak. Guru harus menyadari bahwa pembelajaran adalah proses yang interaktif. Guru dan siswa harus seimbang dalam menjual dan membeli ilmu-pengetahuan, apalagi fakta bahwa guru hanya unggul di usia dan pengalaman. Guru yang tidak pernah update bahan dan materi pelajaran akan ketinggalan oleh siswa yang sungguh-sungguh dan berbudaya baca. Pro ses yang interaktif bisa dimulai dari guru yang melatih kemampuan tanya jawab anak. Artinya, keberhasilan guru dalam berinteraksi, bisa dilihat dari keakraban dalam berkomunikasi: kapan bicara, kapan menjadi pendengar. Guru sebagai inspirasi adalah sebuah ke mestian. Apalagi, salah satu faktor yang harus dikembangkan oleh guru adalah sisi mental dan psikologis siswa. Jika perkembangan mental siswa menjadi bagian dari sasaran pendidikan, maka pengalaman guru bisa di transfer kepada siswa: “ikuti jejak yang baik, dan hindari pengalaman yang buruk”. Guru harus membangun pembelajaran yang ramah supaya mental siswa tumbuh dengan baik. Guru harus menyadari bahwa mereka mendapatkan tugas untuk menjadi kan anak didik supaya tetap utuh sebagai ma nusia, dan membuat mereka mandiri dalam menjalani kehidupan. Ketika siswa harus ber interaksi dengan lingkungan, mereka mampu menjaga dirinya untuk tetap menjadi diri sendiri. Siswa mampu menangkal dan me nanggulangi segala faktor buruk lingkungan yang mempengaruhi mereka. Dari pemaparan di atas, peneliti mengambil kesimpulan bahwa guru-guru belum berperan sebagai inspirator bagi anak didiknya untuk berprestasi. Apalagi ada guru yang—tanpa beban—merokok di dalam kelas di hadapan
anak didiknya. Bagi anak didiknya, mungkin hal itu sudah biasa, karena tidak pernah ada complain sama sekali. Bagi guru-guru juga sudah dianggap biasa. Tapi, jika berpatokan terhadap standar universal tentang etika guru, maka guru merokok bukanlah inspirasi yang harus dipertahankan. Dari keempat indikator guru di atas, harapan stakeholder terhadap guru sebagai agen pembe lajaran, masih belum terpenuhi. Guru SD belum menunjukkan kinerja sebagai seorang guru yang berkualitas. Kewajiban guru—yang memiliki peran, tugas, dan fungsi—hanya dilaksanakan sebagai rutinitas semata. Peneliti tidak melihat adanya upaya perbaikan yang menyeluruh, atau seorang guru melakukan reformasi yang dimu lai dari dirinya sendiri. Para guru itu belum menyadari bahwa di rinya menjadi tumpuan harapan para orang tua. Guru-guru belum memiliki komitmen terhadap kualitas dan profesionalisme yang harus dijaganya. Jika mereka tahu tentang harapan (orang tua) itu, mereka tidak terpacu untuk menjadi wadah aspirasi yang mem bangkitkan kinerjanya. Bahkan, kualitas yang mereka tunjukkan masih alakadarnya saja. Dengan demikian, jauh panggang dari api jika orang tua siswa berharap bahwa guruguru SD tampil dengan maksimal sebagai agen pembelajaran. Bagaimana mau berharap terjadi transformasi ilmu pengetahuan dan wawasan jika guru hanya cukup menuntas kan kewajibannya dengan berceramah. Meski banyak energi terkuras, tapi guru tetap enjoy dengan metode kunonya itu. Ceramah memang tidak bisa dihilang kan, karena itu bagian dari komunikasi dan interaksi guru-siswa. Tapi, jika ceramah yang menjadi dominan, itulah yang mem buat guru dan siswa kerasan berlama-lama dalam tekanan. Ceramah memang tidak bisa dihilangkan jika guru mau bercerita tentang orang-orang sukses yang boleh ditiru se mangat dan kerja kerasnya. Tetapi, respon siswa akan berbeda jika mendengarkan cerita dibandingkan dengan ceramah dalam teknis pembelajaran. JURNAL ETIKA DAN PEKERTI—Volume I, no.1, 2013
61
Agus Nurcholis Saleh
PUSTAKA Ali, Muhammad. 2000. Guru dalam Proses Belajar Mengajar. Bandung: Sinar Baru Algesindo. Arikunto, Suharsimi. 2012. Dasar-dasar Evaluasi Pendidikan. Jakarta: Bumi Aksara. Darsono, Max. 2000. Belajar dan Pembelajaran. Semarang: IKIP Semarang. Depdiknas. 2008. Seri Penilaian KTSP: Pengembangan Perangkat Penilaian Afektif. Jakarta: Dirjen Dikdasmen Direktorat Pembinaan SMA. 2008. Seri Penilaian KTSP: Pengembangan Perangkat Penilaian Psikomotor. Jakarta: Dirjen Dikdasmen Direktorat Pembinaan SMA. 2008. Strategi Pembelajaran dan Pemilihannya. Jakarta: Dirjen Dikdasmen Direktorat Pembinaan SMA. Dimyati dan Mudjiono, 2006. Belajar dan Pembelajaran, Jakarta: PT Asdi Mahasatya. Djamarah dan Zain. 2006. Strategi Belajar Mengajar. Jakarta: Rineka Cipta. Hamalik, Oemar. 2004. Proses Belajar Mengajar. Jakarta: Bumi Aksara. 2006. Pendidikan Guru Berdasarkan Pendekatan Kompetensi. Jakarta: Bumi Aksara. Hamruni. 2009. Strategi dan Model-Model Pembelajaran Aktif Menyenangkan. Yogyakarta: Fakultas Tarbiyah UIN Sunan Kalijaga. Idris, Nuny Sulistiany. 2010. Handout Perkuliahan Evaluasi Pembelajaran. Bandung: tidak diterbitkan. Kahmad, Dadang. 2000. Metode Penelitian Agama: Perspektif Ilmu Perbandingan Agama. Bandung: Pustaka Setia. Kunandar. 2007. Guru Profesional: Implementasi KTSP dan Sukses dalam Sertifikasi. Jakarta: Rajawali Press. Maksum. 2012. Manusia Pendidikan. Jakarta: Saki nah Publishing. Mardapi, Djemari. 2011. Penilaian Pendidikan Karakter. Yogyakarta: UNY. Moleong, Lexy J. 2000. Metodologi Penelitian Kualitatif. Bandung: Remaja Rosdakarya. Mulyasa, E. 2005. Implementasi Kurikulum 2004 Panduan Pembelajaran KBK. Bandung: Remaja Rosdakarya. 2005. Menjadi Guru Profesional: Menciptakan Pembelajaran Kreatif dan Menyenangkan. Bandung: Rosdakarya. 2009. Standar Kompetensi dan Sertifikasi Guru. Bandung: Rosdakarya. Nasution, S. 2005. Konsep Dasar Pendidikan PraSekolah: Materi Penataran Tertulis Program Akreditasi Guru. Bandung: Jemmars. Nasution. 2003. Metode Penelitian Naturalistilk Kualitatif. Bandung: Tarsito.
62
JURNAL ETIKA DAN PEKERTI—Volume I, no.1, 2013
Nurdin, S. 2005. Guru Profesional dan Tersertifikasi dalam Implementasi Kurikulum. Jakarta: Quan tum Teaching. Purwanto, Ngalim. 2004. Ilmu Pendidikan: Teoritis dan Praktis. Bandung: Remaja Rosdakarya. 2004. Psikologi Pendidikan. Bandung: Remaja Rosdakarya. Rumini, Sri, (et.al.). 2000. Psikologi Pendidikan. Yogyakarta: FIP UNY. Sardiman, AM. 2003. Interaksi dan Motivasi Pembelajaran. Jakarta: RajaGrafindo Persada. Singarimbun, Masri dan Sofyan Effendi. 2006. Metode Penelitian Survai. Jakarta: Pustaka LP3ES. Slameto. 2003. Belajar dan Faktor-faktor yang Mempengaruhinya. Jakarta: Rineka Cipta. Sudijono, Anas. 2005. Pengantar Evaluasi Pendidikan. Jakarta: Rajawali Press. Sudjana, Nana. 2005. Penilaian Hasil Proses Belajar Mengajar. Bandung: Remaja Rosdakarya. 2009. Dasar-dasar Proses Belajar Mengajar. Bandung: Sinar Baru Algesindo. Sugiyono. 2005. Memahami Penelitian Kualitatif. Bandung: Alfabeta. Suharsaputra, Uhar. 2010. Administrasi Pendidikan. Bandung: Refika Aditama. Sumiati dan Asra. 2009. Metode Pembelajaran. Bandung: Wacana Prima. Suparlan. 2004. Beberapa Pendapat tentang Guru Efektif dan Sekolah Efektif. Bandung: Angkasa. Supriyono, K.H. 2003. Strategi Pembelajaran Fisika. Malang: Jurusan Fisika FMIPA UNM. Suryabrata, Sumadi. 2004. Sistem Penilaian dalam Pembelajaran. Jakarta: RajaGrafindo Persada. 2008. Psikologi Pendidikan. Jakarta: Rajawali Pers. Syah, Muhibbin. 2002. Psikologi Pendidikan dengan Pendekatan Baru. Jakarta: Remaja Rosdakarya. Tilaar, H.A.R. 2002. Membenahi Pendidikan Nasional. Jakarta: Rineka Cipta. Trianto. 2007. Model-Model Pembelajaran Inovatif Berorientasi Konstruktivistik. Jakarta: Prestasi Pustaka. 2010. Model Pembelajaran Terpadu. Jakarta: PT Bumi Aksara. Tu’u, Tulus. 2004. Peran Disiplin pada Perilaku dan Prestasi Siswa. Jakarta: Grasindo. Umar, Husein. 2002. Metodologi Penelitian. Jakarta: Rineka Cipta. Usman, Husaini dan Purnomo Setiady Akbar. 2003. Metodologi Penelitian Sosial. Jakarta: Bumi Aksara. Usman, M. Uzer. 2010. Menjadi Guru Profesional. Bandung: Rosdakarya. Uwes, Sanusi. 2000. Manajemen Pengembangan Mutu Dosen. Jakarta: Logos Wacana Ilmu. Winkel, J.S. 2007. Psikologi Pendidikan. Jakarta: Kencana Prenada Media Group.
PERANAN SASTRA DALAM KEHIDUPAN BERAGAMA
(KAJIAN TERHADAP SAJAK-SAJAK MUSTOFA W. HASYIM) Yasser Arafat
Dosen FKIP Universitas Mathla’ul Anwar Banten
ABSTRAK: Karya-karya Mustofa W. Hasyim tersebut selalu mengangkat kehidupan dari golongan kelas bawah. Sajak-sajaknya mengandung nilai-nilai pendidikan berupa ajaran moral, religiusitas, dan memberikan kontribu si terhadap masyarakat dan kebudayaan di zaman modern. Adapun tujuan yang hendak dicapai dalam penelitian ini, yaitu (1) mendeskripsikan ajaran moral dalam sajak-sajak Mustofa W. Hasyim, (2) mendeskripsikan ajaran religiusitas dalam sajak-sajak Mustofa W. Hasyim, dan (3) mendeskripsikan kontribusi sajak-sajak Mustofa W. Hasyim terhadap masyarakat dan kebudayaan di zaman modern. Subjek penelitian ini adalah sajak-sajak Mustofa W. Hasyim yang terhimpun dalam Reportase yang Menakutkan, yang diterbitkan bulan Oktober tahun 1992, oleh penerbit Bentang Ofset. Objek penelitian ini ditentukan dengan purposive sampling. 5 sajak-sajak Mustofa hasyim yang dijadikan objek penelitian, yaitu: (1) “Reportase yang Menakutkan, (2) Buruh yang Amat Sabar, (3) Warung yang Dibakar, (4) Penjual jamu yang Diperkosa, (5) Slenthem Mengamuk di Berigharjo. Metode pengumpulan data yang digunakan peneliti adalah teknik wawan cara terstruktur dan teknik baca catat. Instrument penelitian berupa pedoman wawancara (interview guide), alat tulis, dan komputer. Metode analisis data yang dalam penelitian ini adalah deskriptif kualitatif. Hasil penelitian menunjukan bahwa; (1) ajaran religiusitas dalam kumpulan sajak Reportase yang Menakutkan adalah. a) kesadaran kealam semestaan; b) rasa solidaritas sesama manusia; c) hidup penuh optimis; d) kepasrahan atas kehendak Khalik; e) pengenalan terhadap Tuhan melalui proses. (2) ajaran moral yang tecer min dalam kumpulan sajak Reportase yang Menakutkan antara lain adalah ajaran moral baik dan buruk, yang digambarkan melalui tokoh-tokohnya. (3) kontribusi sajak-sajak Mustofa W. Hasyim terhadap masyarakat dan kebudayaan di zaman modern adalah. a) kontribusi berupa ajaran moral dan religiusitas terhadap masyarakat dan kebudayaan di zaman modern; b) gambaran masyarakat dan kebudayaan yang tercermin dalam sajak-sajak nya merupakan gambaran masyarakat dan kebudayaan yang sedang sakit akibat ketimpangan soaial.
PENDAHULUAN Salah satu jalan yang dapat dimanfaatkan un tuk pembinaan mental bangsa kita dewasa ini adalah penghayatan sastra. Sastra memberi kan pengertian yang dalam tentang manusia dan memberikan interpretasi serta penilaian terhadap peristiwa-peristiwa dalam kehidup an kesenian-satra termasuk di dalamnya-da pat dipandang sebagai suatu upaya manusia untuk menata kembali kehidupan lewat ber
bagi imaji dengan cara yang dirasakan penuh mesra dan inspiratif Umar Kayam (dalam Ja brohim, 1997). Karya sastra merupakan bagian dari cabang ilmu seni. Kedudukan karya sastra sebagai ca bang ilmu seni, tentunya mempunyai tugas yang bersamaan dengan seni. Seni atau karya sastra diciptakan bukan semata-mata untuk menghibur. Tugas tersebut paling tidak, bisa mengembalikan atau menjadi pembaharu un tuk masyarakat. Dalam hal ini seni atau sastra
JURNAL ETIKA DAN PEKERTI—Volume I, no.1, 2013
63
Yasser Arafat
dapat juga diumpamakan sesuatu yang dapat memanusiakan manusia. Karya sastra lahir akibat adanya interaksi pencipta karya sastra dengan lingkungan ma syarakat sekitar. Hampir semua karya sastra yang diciptakan pengarang tidak lepas dari permasalahan-permasalahan sosial yang terjadi di sekelilingnya. Karya sastra oleh pengarang di jadikan sarana pengungkapan permasalahanpermasalahan kehidupan baik yang diamati maupun yang dialaminya secara langsung. Sumarjo (1982: 15) mengatakan, penga rang merupakan bagian dari anggota masya rakat. Ia hidup dan berinteraksi dengan orang lain yang ada di sekelilingnya. Maka tidak mengherankan kalau terjadi interaksi dan in teralasi antara pengarang dengan masyarakat tempat tinggalnya. Selalu dapat ditarik sifat relasi antara karya sastra dengan masyara kat di mana para pengarang hidup. Kegeli sahan masyarakat menjadi kegelisahan para pengarangnya. Begitu pula harapan-harapan, penderitaan-penderitaan, aspirasi, mereka menjadi bagian pula dari pribadi pengarangpengarangnya. Inilah sebabnya sifat-sifat dan persoalan suatu zaman dapat dibaca dalam karya-karya sastra. Karya sastra yang diciptakan pengarang terdapat hal-hal yang melandasinya. Kritik so sial atau nilai-nilai pendidikan yang terdapat dalam karya sastra muncul karena pengarang memang terlibat langsung atau mengalami nya. Segala sesuatu yang ditulis pengarang me rupakan hasil dari pengamatan dan perenung annya. Sastrawan dalam menulis karya sastra tidak kosong makna. Ia merupakan wakil dari zaman dan masyarakat. Sesuatu yang ia tuliskan ter masuk juga membicarakan dan meramalkan masa depan. Kaitannya dalam penelitian ini, Mustofa W. Hasim menunjukan eksisiten sinya sebagai sastrawan yang sangat kritis dengan fenomena masyarakat di sekililing nya. Hal ini terlihat dalam karyanya-karyanya seperti, Reportase yang Menakutkan, Jejak Luka Politik dan Budaya, Hari-Hari yang Bercahaya, Hijrah, Ki Ageng Miskin, Zaman 64
JURNAL ETIKA DAN PEKERTI—Volume I, no.1, 2013
Sedang Berdua, Api Meliuk di Atas Batu Apung, Bayi-Bayi Bersayap, dan Kali Code Pesan-Pesan Api. Mustofa W. Hasyim dikenal sebagai sastra wan tidak hanya sekedar sastrawan lokal, akan tetapi dikenal pula sebagai sastrawan nasional. Pengakuan masyarakat terhadap kesastrawan Mustofa W. Hasyim sebagai sastrawan lokal, didasarkan atas keaktifannya dalam setiap pertemuan sastra di Yogyakarta. Pengakuan masyarakat terhadap kesastrawanan Mustofa sebagai sastrawan nasional, didasarkan atas karya-karyanya yang tersebar hampir di selu ruh Indonesia. Selain itu pula, Mustofa W. Ha syim selalu diikutsertakan dalam pertemuanpertemuan sastra tingkat nasional. Mustofa W. Hasyim dalam kumpulan sajak Reportase yang Menakutkan ini menulis re fleksi dari mimpi buruk. Mimpi buruk akibat dari bayaknya ketidakseimbangan, ketidak adilan dan ketidakselarasan itu juga dalam kea daan sadar, telah membuahkan ketidakten traman, ketakutan, dan keteroran manusia. Sebagai refleksi mimpi buruk maka keanehan dan penjungkirbalikan nilai, fakta dan hara pan menjadi tampak wajar. Meskipun kea daan yang bagaimanapun buruknya zaman hidup Mustofa W. Hasyim melalui kumpulan sajak ini meneruskan rasa optimisme yang layak dikibarkan. Peneliti merasa tertarik memilih sajak-sa jak Mustofa W. Hasyim untuk diteliti, dengan alasan sebagai berikut. 1. Menurut pengetahuan peneliti kumpulan sajak ini belum pernah diteliti. Khusunya dengan judul yang peneliti ajukan. 2. Sajak-sajak Mustofa secara implisit mau pun ekplisit mengandung nilai-nilai pendi dikan berupa ajaran moral dan religiusitas. 3. Sajak-sajak Mustofa W. Hasyim ini meng gambarkan kehidupan masyarakat secara lengkap. 4. Mustofa W. Hasyim dalam menciptakan sajak-sajak ini supaya masyarakat pemba ca memperoleh sesuatu yang bermanfaat. 5. Keberadaan Mustofa W. Hasyim tidak jauh dengan tempat tinggal peneliti, sehingga
Peran Sastra dalam Kehidupan Beragama
hal ini dapat mempermudah untuk pen gumpulan data. 6. Mustofa W. Hasyim merupakan sastrawan yang patut diperhitungkan oleh pembaca sastra. Masalah dalam penelitian ini dirumuskan sebagai berikut. 1. Bagaimanakah ajaran religiusitas dalam sa jak-sajak Mustofa W. Hasyim? 2. Bagaimanakah ajaran moral dalam sajaksajak Mustofa W. Hasyim. 3. Bagaimanakah kontribusi sajak-sajak Musto fa W. Hasyim terhadap masyarakat dan ke budayaan di zaman modern Penelitian ini untuk mendapatkan jawaban gambaran yang lengkap, menyeluruh tentang ajaran moral, ajaran religiusitas, dan kontri busi sajak-sajak Mustofa W. Hasyim terhadap Masyarakat dan kebudayaan di zaman mo dern. Gambaran yang jelas tentang hubungan timbal balik antara ketiga anasir tersebut san gat penting artinya bagi peningkatan pema haman dan penghargaan terhadap sastra itu sendiri. Religiusitas dalam Karya Sastra Emha Ainun Nadjib (dalam Jabrohim, 2003: 15) mengatakan religiusitas adalah inti kualitas hidup manusia, dan harus dimasukan sebagai rasa rindu, rasa ingin bersatu, rasa ingin bersatu, rasa ingin bersama, dengan sesuatu yang abstrak. Religiusitas dibedakan menjadi dua bagian, yaitu religion agamis dan religion non agamis. Religius lebih ba nyak megacu kepada sikap dan sifat religius para agamawan yang memang banyak religi, dan seharusnya memang demikian, akan te tapi dalam kenyataan tidaklah selalu begitu. Dapatlah juga orang yang menganut agama tertentu karena jaminan material atau karir politik, atau yang lainya. Religius yang kedua, mengacu kepada orang yang citarasanya, sikap dan tindakan sehari lebih dekat dengan kesetiaan hati nuraninya, walupun secara formal dan tidak beragama.
Realitas di sekitar kita agaknya dapat lebih menjelaskan religi ini. Kita sering mendengar atau menyaksikan dan menjumpai koruptor besar-kecil, lintah-lintah darat, dan penipu yang rajin beragama, tanpa prihatin sedikit pun, apakah peraktek keagamaan itu cocok tidak dengan kehendak yang khalik, mereka agamawan, tetapi tindakan atau bahkan jauh dari sikap religius otentik, sedangkan taat men jalankan ritus agama tetapi semangat religius. Sikap dan kenyataan religius manusia ti dak dapat diukur dengan parameter yang di buat oleh manusia. Tingkat keyakinan religius manusia hanya Tuhan yang dapat mengeta huinya. Ajaran-ajaran religius selain terdapat dalam kitab-kitab suci, ajaran religius juga da pat kita ketahui pada kehidupan manusia atau realitas sosial yang ada. Unsur Moral dalam Karya Sastra Unsur moral dalam karya sastra sengaja disampaikan oleh pengarang sebagai ungkap an dari pandangannya tentang nilai-nilai ke hidupan manusia. Apakah yang dimaksud dalam moral? Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia, moral adalah ajaran tentang baik dan buruk yang diterima umum mengenai perbuatan, sikap, kewajiban, dan sebagainya (akhlak, budi pekerti, susila). Jadi bermoral berarti mempunyai pertimbangan baik dan buruk (KBBI, 1991). Berdasarkan pengertian di atas, berarti moral selalu mengacu pada baik-buruknya sikap dan prilaku dalam diri manusia makhluk ciptaan Tuhan, dan bukan manusia sebagai pelaku peran-misalnya sebagai pimpinan, siswa yang bersifat tertentu, dll. Jadi manusia bermoral adalah manusia yang berakhlak baik sebagai manusia. Pendekatan moral menghendaki sastra men jadi medium perekaman keperluan zaman, yang memiliki semangat menggerakkan masya rakat ke arah budi pekerti yang terpuji. Karya sastra dinilai dalam hal ini dinilai sebagai guru yang dapat dijadikan sebagai panutan. Pendekatan ini berasumsi bahwa masyarakat dapat meningkatkan kualitas hidupnya da JURNAL ETIKA DAN PEKERTI—Volume I, no.1, 2013
65
Yasser Arafat
pat dibantu oleh para pemikir, ilmuwan, bu dayawan, dan sastrawan. Karena itu, pendeka tan moral menempatkan karya sastra lebih dari sekedar karya seni. Penedekatan moral memperhatikan pula masalah kesan dan resepsi pembaca, karena yang menentukan bermanfaat atau tidaknya suatu karya sastra tidak lepas dari penilaian masyarakat atau pembaca. Dapat saja sebuah karya sastra membawa misi yang besar ditin jau dari segi konsep moralitas, namun tidak banyak gunanya bila pembaca tidak mampu menangkap atau memahami misi tersebut. Berbagai sikap dan prilaku manusia dita mpilkan oleh pengarang dalam karyanya. Ka rena karya sastra yang diciptakan pengarang merupakan hasil pengamatan dari peristiwa sekelilingnya. Dalam hal ini pengarang selalu merenungkan dan mencari alternatif terbaik untuk kehidupan manusia (Nurgiantoro da lam Suherlan, 2001: 19). Tugas Seni Sastra di Zaman Modern Tuntutan kehidupan dan kebudayaan di zaman modern inilah kita harus mempertim bangkan kedudukan dan proses penilaian es tetik yang menjelmakan seni sastra. Tidak ada proses penilian yang lain yang lebih diidenti taskan dengan perbuatan kreasi selain dari pada proses penilaian estetik yang menjelma dalam seni sastra. Ahli ilmu menyelediki dan berasumsi sangat istimewa seniman atau sas trawan menciptakan sesuatu yang baru dari benda-benda yang ada. Melalui perantaraan panca inderanya seni man atau sastrawan mendapatkan persepsi dan kesan daripada dunia sekitarnya, tetapi ber beda dari pada ahli ilmu lain, misalnya saja ahli ekonomi dia tidak berminat kepada kenyataan alam. Sebaliknya perasaan yang kaya fantasi dan pikirannya yang hidup, yang diberi sayap inspirasi dan dipimpin oleh intuisi menyusun citra dunia sekitarnya menjadi suatu ada sesuatu yang baru, yang menjelmakan sifat pribadi pen ciptanya dan kebudayan yang diwaklinya. Penciptaan sebuah seni atau seni sastra (sa jak, novel, dan cerpen) selesai apabila ia men 66
JURNAL ETIKA DAN PEKERTI—Volume I, no.1, 2013
capai orang lain, dan menghimbau perasaan, fantasi dan fikiran yang sama padanya. Tiaptiap seni sastra yang baik selalu evokatif dan sugestif yaitu menghimbau dan menyarankan karena ekspresinya. Demikian seni sastra se bagai peristiwa sosial sangat kuat tenaganya sebagi alat komunikasi dan disampaikanya pesan-pesan dan dipengaruhinya perasaan. Terkait dengan hal di atas, maka dapatlah diambil kesimpulan bahwa peran seni di za man modern ini amat penting. Manusia dalam berbagai aspek kehidupan tidak dapat menge sampingkan nilai-nilai estetik. Nilai-nilai es tetik tersebut dapat mewakili suatu tenaga rohani (Alisyahbana, 1985: 5-7). Subjek Penelitian Subjek dalam penelitian ini adalah sajaksajak Mustofa W. Hasyim yang terhimpun da lam Reportase yang Menakutkan dan seluruh elemen yang terkandung di dalamnya. Buku kumpulan sajak ini diterbitkan bulan Oktober tahun 1992, oleh penerbit Bentang Ofset cetak an pertama, sampulnya berwarna hitam, dan terdiri dari 16 judul puisi. Adapun judul-judul sajak yang termuat dalam Reportase yang Menakutkan, yakni (1) ”Kisah Pangeran Sableng”, (2) ”Reportase yang Menakutkan”, (3) ”Mata Rantai Cinta yang Ruwet, (4) ”Petani yang Terkejut”, (5) ”Buruh yang Amat Sabar”, (6) ”Doa Pembu nuh Nyamuk”, (7) ”Sembilan Bunga Wijaya Kusuma, (8) ”Warung yang Dibakar”, (9) ”Penjual Jamu yang Diperkosa”, (10) ”Pe nyihir yang Tersihir”, (11) ”yang Kehilangan Cita-Cita, (12) ”Seribu Malam Pengantin”, (13) ”Bayang-Bayang Bis Kota”, (14) ”JamJam Meledak”, (15) ”Doa Al Khudori Untuk Bayi”, dan (16) Slenthem Mengamuk di Be ringharjo”. Adapun yang dijadikan acuan dalam pene litian ini adalah buku, dengan judul ” Tahajud Cinta Emha Ainun Nadjib: Sebuah Kajian So siologi Sastra” oleh Jabrohim. Tentunya ber beda dengan judul penelitian yang peneliti ajukan. Dalam penelitian terdahulu yang dite liti adalah kumpulan sajak karya Emha Ainun
Peran Sastra dalam Kehidupan Beragama
Nadjib, sedangkan penelitian ini objeknya sajak-sajak Mustofa W. Hasyim. Nilai moral, religiusitas, dan kontribusi sajak-sajak Mustofa W. Hasyim terhadap masyarakat dan kebudayaan di zaman mo dern. Dalam upaya pencapaian tujuan ter sebut, maka sajak yang dipilih untuk objek penelitian adalah sjak-sajak yang memenuhi kriteria sebagai berikut: 1. Sajak-sajak tersebut baik secara implisit maupun secara ekplisit bersifat pembaharu. 2. Sajak tersebut baik secara implisit maupun eksplisit menunjukan kritik sosial penga rang. 3. Sajak-sajak tersebut mencerminkan kon disi masyarakat. 4. Adanya kualitas sajak tersebut sebagai karya sastra yang memiliki nilai-nilai kehi dupan yang dijadikan sebagai bahan pere nungan bagi pembaca, misalnya nilai-nilai moral, dan religiusitas. 5. sajak tersebut secara implisit mencermin kan sikap dan ideologi pengarang. Jumlah sajak yang terdapat dalam kumpul an puisi Reportase yang Menakutkan karya Mustofa W. Hasyim, berjumlah 16 judul puisi. Akan tetapi hanya 3 judul sajak yang meme nuhi 5 kriteria tersebut, yaitu (1) ”Buruh yang Amat Sabar”, (2) ”Reportase yang Menakut kan”, (3) ”Petani yang Terkejut”. Berdasarkan pertimbangan yang akan dicapai dalam penelitian, penentuan objek penelitian berdasarkan 5 kriteria tersebut di turunkan menjadi 4 kriteria. Namun penen tuan objek penelitian berdasarkan 4 kriteria pun masih dianggap belum mewakili subjek penelitian. Sajak-sajak yang terdapat dalam kumpulan sajak Reportase yang Menakutkan hanya 4 judul puisi yang memenuhi 4 kriteria tersebut, yaitu (1) ”Buruh yang Amat Sabar”, (2) ”Reportase yang Menakutkan”, (3) ”Petani yang Terkejut”, (4) ”Slenhtem Mengamuk di Beringharjo”. 4 judul sajak yang dijadikan ob jek penelitian masih dianggap belum mewakili subyek penelitian, maka peneliti menurunkan kriteria penentuan objek penelitian, menjadi
3 kriteria. Setelah peneliti menentukan objek penelitian berdasarkan 3 kriteria, maka dipe roleh 5 judul sajak yang memenuhi 3 kriteria tersebut. Adapun judul sajak yang dimaksud, yakni (1) ”Reportase yang Menakutkan”, (2) ”Petani yang Terkejut”, (3) ”Buruh yang Amat Sabar”, (3) ”Warug yang Dibakar”, (4) ”Pen jual Jamu yang Diperkosa”, dan (6) ”Slent hem Mengamuk di Beringharjo”. Sajak yang dijadikan objek penelitian tersebut, dianggap mewakili subjek penelitian. Teknik pengumpulan data yang peneliti gunakan adalah teknik baca catat. Teknik baca dan catat adalah teknik yang dipergunakan untuk mengungkap permasalahan yang ter dapat dalam suatu bacaan atau wacana yang berkaitan dengan penelitian (Sudaryanto, 2003: 29). Teknik baca dan catat ini dilaku kan peneliti untuk memperoleh pemahaman segala unsur yang terkandung dalam kumpu lan sajak Reportase yang Menakutkan kemu dian mencatat data-data yang erat kaitannya dengan penelitian. Metode analisis data yang digunakan pene liti dalam penelitian ini adalah metode de skriptif kualitatif. Metode deskriptif kualitatif artinya penggambaran keadaan atau status fenomena dengan menggunakan kata-kata atau kalimat yang dipisah-pisahkan menurut kategori untuk memperoleh kesimpulan (Ari kunto, 2002: 243).
SAJAK-SAJAK MUSTOFA W. HASYIM ”Reportase yang Menakutkan” Aku melihat mayat tersayat-sayat disekujur tubuhnya bangkit dari kamar mati menerobos, ke luar rumah sakit. Ia berjalan menuju kota yang tak pernah istirahat ”Aku merindukan darah manis dari selangkang perawan, ”katanya.
JURNAL ETIKA DAN PEKERTI—Volume I, no.1, 2013
67
Yasser Arafat
Bagai gelombang sihir harapannya memukau gadis-gadis bingung yang bergegas mendekati. ”Jangan di sini, manis aku tak mampu menghabiskan kalian sendiri,” ajaknya setengah berbisik. Mereka beriringan menuju rumah sakit memasuki kamar mati. mayat-mayat lain bangkit kaget dan tidak mengerti ”Mari berpesta, bebaskan kalian dari ketakutan pengadilan. Mari nikmati perawan sebelum kesia-siaan kita Menjadi berita, ”serunya. Tanpa musik, tanpa lampu remang mereka habiskan sisa darah di tengah kemabukan yang gila sampai akhirnya mati kembali Bersama perawan yang ditindihnya. Aku melihat mayat tersayat-sayat di sekujur tubuhnya menggigil. ”Aku telah diperkosa dan telah membalas dendam, katanya lalu diam. 1991 ”Buruh yang Amat Sabar” Seorang buruh yang sabar selalu tersenyum Meski upahnya selalu dikurangi tiap bulan. Ia bersyukur bisa mengisi hari-harinya dengan kerja. Suatu hari upahnya menyusut sampai ke angka nol ia pun mengangguk pasrah tanpa niat protes sedikit pun. ”Bulan depan ganti kau yang membayar aku,” kata majaikannya garang. ”Baik. Insya Allah kubayar, ”jawabnya. Ia pulang dengan langkah segar tapi istri dan mertuanya marah ”masak kerja sebulan tidak mendapat upah, ”hardik mereka. Hari berikutnya ia tetap bekerja lebih rajin dibanding temannya ia pun menyukai lembur menggantikan temannya yang sakit. Di awal bulan ia tidak mendapat upah Justru ia yang membayar majikannya ”Bagus. Dari mana kau dapat uang ini?” ”Dari berhutang tetangga.” Sampai rumah kembali istri, mertua dan anak-anaknya marah sambil menangis 68
JURNAL ETIKA DAN PEKERTI—Volume I, no.1, 2013
”tuhan, kenapa kau turunkan juga lelaki tolol seperti ini, ”keluh istrinya. Ia tersenyum, tapi kaget waktu terdengar letusan dan asap menggumpal diikuti api yang berkobar. ”Pabrik tempatmu bekerja terbakar, ”kata orangorang. Ia termenung. Heran campur pedih ”aku selalu mengampuni majikanku dan mendoakan agar selamat. Tapi tuhan ternyata berkehendak lain, ”bisiknya 1991 ”Warung yang Dibakar” ”Warung ini bukan saja pernah pindah dari dekat statsiun kota ini ke dekat pasar buah, lalu terdampar di depan terminal dan akhirnya nempel di samping bioskop murahan ini, tapi warung ini pernah pindah dari kota ke kota, menjelajah sudut pulau jawa yang kian pekat dengan asap mobil” demikian kisah pemilik warung nasi dengan bangga, ketika aku berkunjung suatu malam. ”Selama itu pula Tuhan selalu bersama saya. Meski sering dimusuhi petugas ketertiban, aku bertahan,” wajah pemilik warung itu hitam tapi matanya tulus, tangannya cekatan dan mulutnya mudah tertawa. Malam berikutnya, warung itu lenyap bioskop di dekatnya dipermegah daerah sekitarnya dibersihkan. empat jam aku keliling kota, warung itu kutemukan di dekat selokan. ”Mari. Aku merasakan pencarianmu yang pasti ketemu, ”sambutnya dengan nada biasa. Lampu menyala, tungku menyala dan bau sayur lodeh, tempe bacem atau wedang jahe menyatu Dengan malam dingin. ”Kenalkan. Ini istriku yang baru datang dari desa, ”katanya sambil menggandeng wanita muda yang sedang hamil tua. Apa tidak repot melahirkan di sini?” tanyaku was-was. Keduanya menggeleng. ”Tempat ini pasti segera ramai, ”Ramalnya. Benar. Warung-warung baru bermunculan, bengkel motor, tukang afdruk kilat, tukang cukur dan penggali sumur mendirikan pangkalan di situ.
Peran Sastra dalam Kehidupan Beragama
Warung ramai, bayi pun lahir. lalu entah dari mana muncul api membakar habislah warung-warung itu. Aku kaget membaca beritanya kulihat abu dan sisa pemilik warung, sahabatku dan istrinya pergi. “Ha, ha, ha. Sudah kuduga kau pasti mencariku lagi, “sapanya setelah mereka kutemukan di dekat perumahan yang baru dibangun. “Mereka menyangka bisa mengalahkan kami dengan membakar warung kemudian diganti pertokoan. Warungku sudah kusembunyikan di jiwa. Mana mungkin mereka bakar, ”ujarnya. ”Bayi kalian?” tanyaku khawatir. ”hangus,” jawab istrinya. ”Tapi kami masih punya kesempatan membuatnya lagi,” sahut suaminya. 1991 ”Penjual Jamu yang Diperkosa” Perjalanan penjual jamu keliling amat panjangnya. dimulai dari tanah tempat rempah-rempah ditumbuhkan dengan cinta berakhir di kota ganas Begitulah tiap hari ia menggendong beban dipersembahkan bagi kesehatan para pelanggannya dengan tulus. Tapi kota membalasnya dengan tidak pantas. suatu siang ia tersesat di depan asrama mahasiswa. Mereka memborong jamunya tapi kemudian merampok dompetnya. Begitu terkejut Ia diseret masuk kamar diperkosa bergantian. “Jamumu membuatku kuat kini kekuatan itu kukembalikan padamu, bersama kenikmatan,” bisik mahasiswa tampan yang menindihnya. Penghuni bertindak rapi yang dua memegangi tangan kaki lainnya pura-pura membaca buku dan menyeret kaset keras-keras. Tapi mereka lupa menutup jendela. Penjual jamu berdoa lalu meronta dan meloncati jendela.
Seorang pengamen yang menyetem gitarnya terkejut tertimpa tubuh penjual jamu yang berdarah. dan jatuh, gitarnya patah. Tolonglah mas. Aku diperkosa.” pengamen berlari, menggendong korban yang kemudian jadi istrinya. sesama pengembara, selayaknya bercinta, bisi knya. Mereka tak usah kita laporkan. Sementara kau sembuh Karena kurawat dengan jiwaku ”mereka terus dihukum nuraninya,” kata pengamen lirih. ”Ya. Tapi aku tetap harus berjualan jamu. Tidak berkeliling tapi dirumah ini. Sambil menunggu bai kita muncul bagai matahari,” sahut istrinya. Begitulah. Tuhan terus menciptakan keajaiban. Perampokan dan perkosaan justru jadi pintu perkawinan yang sederhana, penuh keikhlasan. 1991 ”Slenthem Mengamuk di Beringharjo” Di antara tumpukan sampah yang tak terpahami, Slenthem) merasa sapunya makin tumpul. Tubuhnya demam dan menggigil “Aku ataukah pasar ini yang sakit, “bisiknya pada kaleng kosong di dekat kakinya. Slenthem melihat sampah di langit sampah di kepala orang berdasi sampah di kepala orang pedagang di kepalanya sendiri. Udara berbau fospor dan slenthem menyulut puntung rokok sisa tahun lalu. Sambil berbaring berbantal sapu ia pandangi pembangunan pasar yang akan selesai tapi gagal memberi arti dan kepercayaan. Asap rokok mencipatakan kabut dan racun yang membuatnya mampu ternyum bersama rahasia yang senantiasa bergerak ber sama waktu. ”Them, slenthem. Kenapa di situ? mogok kerja ya?” tanya seorang wanita. “mboten Den Ayu.” “walah, wong mlarat kok mau-maunya ngelaras. nanti kaliren lho.” “saya bisa makan sampah Den Ayu.” ”kowe kuwi.” ”kula? Kalih sinten?”
JURNAL ETIKA DAN PEKERTI—Volume I, no.1, 2013
69
Yasser Arafat
”yo, kowe ijen.” Slenthem bangkit. Tertawa ngakak. tanpa diduga siapa pun ia cium manita itu sampai menjerit, memakai dan senang dalam ba tin ”dasar wong edan tenan.” ”edan , tapi kan berguna Den Ayu,” katanya mem belah diri. Tiba-tiba wanita itu menangis membuat Slenthem bingung ia lepaskan pelukannya dan minta maaf. “Mengapa De Ayu?” “bukan salahmu.” “salah siapa?” “salah saya.” “kenapa salah Den Ayu?” “sebab saya lemah.” “lemah? Dalam hal apa?” “lemah modal dan hubungan.” “lho?” “Saya senasib kaum Shelentem.” “maksud Den Ayu?” “saya terlempar dari pasar ini. Modal saya habis digerogoti sepi tempat penampungan membuatku mati langkah sedang kios baru ternyata tidak disediakan untuk ku.” ”lho kan Den Ayu punya kartu.” ”aku lebih butuh tempat berjualan ketimbang kartu.” ”katanya siapa yang punya kartu dijamin dapat tempat baru dan bersih sehingga lebih laku dagangannya.” ”them, slenthem, mbok kamu jangan ikut omong kosong seperti itu.” Slenthem tertegun. Tidak mengerti. ”lantas pasar Beringharjo ini dibangun dan diper bagus untuk siapa?” tanyaku menebak. ”bukan untuku. Tetapi untuk siapa saja yang mau mampu membeli.” “jadi pasar ini dijual?” “masak kamu enggak tahu. Di sini kan tempat ber jualan dan tempat uang. Jadi wajar kalau apa pun bisa juga jadi pembeli. Asal punya uang dan kelicikan.” Slenthem bingung. Ia memang pernah merasa ba nyak yang tidak berses. Ia memang tahu banyak yang tidak ngenah di pasar ini. Tetapi kalau sam pai Den Ayunya jadi korban ia tidak terima. Slent hem berdiri tegak. Lalu berteriak keras, ”jahanam, nam, nam” ia lupa pesan gurunya di desa kalau ia tidak bo leh marah dan mengeluarkan kutukannya. Dan begitu selesai memakai tubuhnya berubah besar lalu pecah jadi dua. Den Ayu itu pingsan melihat kekasihnya mirip Kresna Tiwikrama, berubah jadi raksasa berubah gumpalan kemarahan. ”Akan kuhancurkan siapa pun yang menganiaya 70
JURNAL ETIKA DAN PEKERTI—Volume I, no.1, 2013
Den Ayu,” katanya. pasar geger. Pembangunan macet. Tukang-tukang batu dan mandor ketakutan. pimpinan ditelepon tetapi tidak berani datang. dua shelentem menghembuskan udara dari per utnya. Pasar yang sudah jadi terbakar. Dua Slent hem menghentakan kaki. Pasar bergoyang karena gempa. bangunan yang terbakar retak-retak sampai ke pondasinya. Orang-orang ketakutan tetapi she lentem tertawa. Dua Slenthem mengabil sapuanya yang juga telah ikut-ikutan Tiwikrama jadi sapu raksasa dan jadi dua sapu. ”Akan kusapu segala sampah dipasar ini, ”teriaknya mengguntur sampai segala macam alat komunikasi macet. ”Them, sudah. Sudah Tehm, ”teriak Den Ayu di antara tangisnya. Ia telah siuman dan meny esal kenapa tadi bercerita tentang kemalangannya pada Slenthem. ”bagaimana Den Ayu?” ”sudah Them. Eling, nyebut-nyebut Sing Kuwo so.” ”lho kenapa?” ”saya sudah memaafkan mereka, sadarlah. Saya rela jadi korban asal orang lain di pasar ini nantinya bisa panen untung.” Dua Slenthem berjongkok, “sunguh Den Ayu.” “sungguh Them. Sadarlah, redakanlah amarah mu.” “tidak ngapusi?” “tidak Them. Kapan aku pernah ngapusi kamu?” ”lho pedagang kan biasa ngapusi.” ”tapi kali ini tidak Them, kekasihku.” Dua Slentem dia berhadapan. Lalu seperti ada kabut menyertai penyatuan mereka setelah Slent hem jadi satu ia pelan-pelan berubah jadi kecil dan normal kembali. Cepat polisi mengobrol dia. ”lhok kok diborgol?” tanyanya heran. ’kau membuat kekacuan, merusak keseimbanagn di pasar ini.” ”lho siapa yang merusak keseimbangan?” ”ya kamu Them.” ”benar Den Ayu?” Den Ayu menggeleng. ”tapi sudahlah Them, ma nut saja.” Shelentem ditahan. Dan setiap kali Den Ayu men jenguk ia selalu mendapat hadiah nasi gudeg dan ciuman hangat. ”kalau pahlawanku, ”begitu selalu bisik Den Ayu. ”pahlawan yang gagal, ”keduh Slenthem. “tidak. Sebab aku sudah sowan kepada gurumu di desa. Ia bilang agar kau jangan marah lagi. Se bab kalau kau marah lagi tubuhnya tidak hanya berubah jadi dua raksasa, tetapi berubah menjadi enam raksasa.”
Peran Sastra dalam Kehidupan Beragama
“sungguh?” “masak kau tidak tahu.” “guru tidak pernah memberi tahu rahasia kekuat anku.” “makanya jangan marah ya Them.” Slenthem mengangguk, dan bahagia. Den Ayu yang berganti pekerjaan jadi pelacur ke las teri juga jadi bahagia. Yogyakarta, 1991
Ajaran Religiusitas Sajak-Sajak Mustofa W. Hasyim. Religiusitas yang terbaca dalam sajak Mus tofa W. Hasyim adalah kesadaran kealamse mestaan, rasa solidaritas sesama manusia, hidup penuh optimis, kepasrahan atas ke hendak khaliq, dan pengenalan terhadap Tu han melalui proses. Sajak “Reportase yang Menakutkan” memberikan pesan dalam kes eluruhan isi sajak untuk sadar dalam keselu ruhan kehidupan. Manusia dan alam semesta harus sinergi dan menjalin kerjasama dalam berbagai aspek kehidupan. Alam semesta dicipta untuk mendukung manusia dalam berbagai aktivitas, dan manusia tidak boleh lupa untuk mengelola alam semesta dengan memperhatikan kebermanfaatan. Berikut ini akan dibicarakan secara ber turut-turut segi religiusitas sajak-sajak Musto fa W. Hasyim yang dijadikan objek penelitian. 1. ”Reportase yang Menakutkan” Mustofa melalui sajak ini mencoba menggambarkan kondisi masyarakat da lam tahun 1991. Masyarakat pada zaman tersebut mengalami keterpurukan berba gai persoalan dalam kehidupan. Segi reli giusitas yang tampak dalam sajak ini, yaitu secara implisit sajak ini mengajak pembaca untuk merenungkan keadaan masyarakat yang mengalami keterpurukan berbagi as pek kehidupan yang melingkupinya. Hal ini dapat dilihat secara keseluruhan isi sa jak ”Reportase yang Menakutkan”. 2. ”Buruh yang Amat Sabar” Mustofa dalam hal ini mengungkap kan nilai-nilai kemanusiaan dan mencoba menjalin komunikasi dengan orang-orang
lemah. Sajak ”Buruh yang Amat Sabar” menunjukan hubungan rasa solidaritas Mustofa terhadap kaum buruh atau kaum lemah. Mustofa dalam sajak ini mencoba mengamalkan ajaran-ajaran agama yang kaitanya hubungan ibadah secara horizon tal. Hubungan manusia dengan manusia. 3. ”Warung yang Dibakar” Segi religius dalam puisi ini terdapat pada bait ke 1: ”Selama itu pula tuhan selalu/ bersama saya/meski sering dimusuhi petu gas ketertiban, aku bertahan,”/sambungnya. ”Doaku selalu berhasil”//. Melalui puisi ini Mustofa, menyampaikan aspek reli giusitas yang dimiliki oleh seorang pemilik warung nasi. Dalam sajak ini diceritakan pemilik warung nasi tersebut menjalani hi dup dengan rasa optimis. Ia yakin Tuhan selalu bersamanya. Pemilik warung nasi menjadikan Tuhan sebagai sandaran uta ma. Tempat ia memohon dan berharap. 4. ”Penjual Jamu yang diPerkosa” Mustofa dalam sajak ”Penjual Jamu yang Diperkosa” selalu berupaya menge nal Tuhan dalam berbagai kesempatan. Segi religiusitas yang tampak dalam sajak ini tercermin dalam bait ke 11: Begitulah. Tuhan terus menciptakan/keajaiban. Perampokan dan perkosaan/justru jadi pintu perkawinan/yang sederhana, penuh keikhlasan//. Secara implisit sajak ini menggambarkan bahwa Tuhan dalam menciptakan sesuatu itu ada maksud dan tujuan tertentu. Kiranya religiusitas inilah yang tampak dalam sajak ini. 5. ”Slenthem Mengamuk di Beringharjo” Hampir setiap sajak yang ditulis Mustofa yang termuat Reportase yang menakutkan selalu berupaya mengenal Tuhan. Kalau kita mengamati secara keseluruhan sajak-sajak Mustofa ini pengenalan terhadap Tuhan membutuhkan proses yang berkelanjutan. Makin lama proses itu berlangsung akan ma kin bertambah pengetahuan dan kesadaran seseorang dalam mengenal Tuhan. JURNAL ETIKA DAN PEKERTI—Volume I, no.1, 2013
71
Yasser Arafat
Segi sosioreligius dalam sajak di atas ter cermin dalam bait ke 12: ”Sudah Them. Eling, nyebut-nyebut Sing Kuwoso”. Mustofa tentu nya dalam menulis bait sajak ini ingin me nyampaikan amanat terhadap pembaca. Ba ris sajak ini merupakan ajaran religius yang digambarkan tokoh Den Ayu. Secara implisit dalam bait ini pengarang menyiratkan unsur religiusitas, keharusan manusia dalam men jalani hidup tidak lupa terhadap Tuhan (Sing Kuwoso). Lebih jauh Mustofa dalam bait ini mengajak pembaca untuk lebih mengenal Tu han dalam setiap langkah yang kita tempuh. Ajaran Moral Sajak-Sajak Mustofa W. Hasyim. 1. ”Reportase yang Menakutkan” Sajak ini merupakan gambaran secara keseluruhan sajak-sajak Mustofa yang termuat dalam kumpulan sajak Reportase yang Menakutkan. Nilai moral yang disampikan penyairnya dalam sajak ini adalah contoh nilai moral berupa perbua tan buruk. Hal ini digambarkan dalam bait ke 2: Ia berjalan menuju kota/yang tak per nah istirahat/”aku merindukan darah ma nis/ dari selangkang perawan,”katanya//. Hal ini secara implisit menyiratkan bahwa tokoh dalam sajak ini sebagai sosok manu sia yang hidup dalam kekangan hawa nafsu yang tidak baik. 2. ”Buruh yang Amat Sabar” Mustofa dalam sajak ini mencoba men gambarkan nilai-nilai moral yang dimiliki seorang buruh. Sebagaimana tercermin dalam bait ke 1, yaitu: Seorang huruh yang sabar selalu tersenyum/meski upahnya selalu dikurangi/tiap bulan/ia bersyukur mengisi hari-harinya dengan kerja. Nilai moral yang diketengahkan dalam sajak ini amat dalam. Secara implisit sajak ini men contohkan perbuatan yang terpuji yakni ke sabaran yang dimiliki oleh seorang buruh. Buruh tersebut digambarkan oleh Mustofa sosok manusia yang selalu bersyukur. Ber cermin ke dalam agama islam, memang manusia dianjurkan berbuat demikian. 72
JURNAL ETIKA DAN PEKERTI—Volume I, no.1, 2013
Lebih jauh lagi Mustofa menggambar kan nilai moral, yaitu melalui bait terakhir: ”Aku selalu mengampuni majikanku/dan mendokan agar selamat. Mustofa dalam bait ini menggambarkan sikap seorang buruh yang sabar dan selalu melakukan perbuatan terpuji. Kendati buruh tersebut diperlakukan oleh majikannya jauh dari nilai nurani, akan tetapi dalam sajak ini digambarkan bahwa buruh tersebut tidak membalasnya dengan hal-hal yang cende rung negatif. 3. ”Warung yang Dibakar” Tampaknya melalui sajak ini Mustofa mengetengahkan pemikiran-pemikirannya dalam menjalani hidup. Hal ini tercermin dalam baris-baris sajaknya: Tapi warung ini pernah berpindah-pindah/dari kotake kota, menjelajah/sudut pulau jawa yang kian pekat. Lebih jauh dari itu, Mustofa melalui sajak ini menggambarkan penderitaan pemilik warung nasi. Dalam sajak ini digambarkan, dari hari ke hari perjalanan hidup tukang warung penuh dengan perjuangan yang getir: Apa tidak repot melahirkan di sini?/ ”tanyaku was-was/mereka menyangka bisa mengalahkan kami dengan membakar warung/kemudian diganti pertokoan. Da lam keadaan seperti ini pemilik warung itu selalu optimis dalam menjalani hidup. Da lam sajak ini juga Mustofa, mencoba meng amalkan ajaran agama, yakni kaitannya anjuran hidup tidak pernah meyerah atau selalu berusaha untuk memperolah kehi dupan yang layak. 4. ”Penjual Jamu yang Diperkosa” Mustofa dalam sajak ini mencoba men cerminkan gambaran penjual jamu yang setiap harinya berkeliling menelusuri kota: Berakhir di kota ganas/. Baris sajak terse but secara implisit mengajak pembaca ber fikir untuk memahami keadaan sekeliling. Unsur moral yang terdapat dalam sajak ini berupa perbuatan baik, tercermin da
Peran Sastra dalam Kehidupan Beragama
lam bait kedua: Dipersembahkan bagi kesehatan/para pelanggannya/dengan tulus//. Bait puisi ini mencerminkan bahwa perbuatan yang dilakukan oleh pedagang jamu itu menujukan penuh keikhlasan. Selain itu pula, perbutan baik dicerminkan dalam bait ke 9: Pengamen berlari/menggendong korban/yang kemudian jadi istrinya//. Dalam bait sajak ini Mustofa mencerminkan sikap manusia yang tolong menolong sesamanya. Contoh perbuatan tidak baik dalam sajak ini, digambarkan pula. Hal dapat di lihat dalam bait ke 4: Diseret masuk kamar/diperkosa bergantian. Bait sajak ini menggambarkan perbuatan tidak manu siawi jauh dari syariat islam dan termasuk perbutan zinah. 5. ”Slenthem Mengamuk di Beringharjo” Melalui sajak ”Shelentem Mengamuk Diberingharjo” Mustofa mencoba meng gambarkan kehidupan kaum lemah. Sep erti halnya Slenthem, walupun ia tergolong status sosial rendah atau berprofesi menja di tukang sapu, akan tetapi begitu berjasa terhadap masyarakat. Sajak ini mengand ung unsur moral perbuatan yang baik, se bagaimana tercermin dalam bait pertama: Di antara tumpukan sampah/yang terpahami/Slenthem/merasa sapunya makin tumpul//. Sajak ini selain menggambarkan perbuatan moral baik, menggambarkan pula contoh per buatan buruk, yaitu perbuatan yang dilakukan oleh Slenthem. Dapat dilihat dalam bait ke 7: Slenthem bangkit. Tertawa ngakak/tanpa diduga siapapun ia cium wanita itu. Kontribusi Sajak-Sajak Mustofa W. Hasyim Terhadap Masyarakat dan Kebudayaan di Zaman Modern Sajak-sajak Mustofa yang terhimpun da lam Reportase yang menakutkan, secara ga ris memberikan kontribusi berupa ajaran mo ral dan religiusitas terhadap masyarakat dan
kebudayaan di zaman modern. Sajak-sajak Mustofa tersebut, memberikan kontribusi be rupa gambaran masyarakat dan kebudayaan di zaman modern. Gambaran masyarakat dan kebudayaan yang tercermin dalam sajak-sajak nya merupakan gambaran masyarakat dan kebudayaan yang sedang sakit akibat. Sajak-sajak yang termuat dalam Reportase Yang Menakutkan di tulis Mustofa W. Ha syim dalam tahun 1991 ini merupakan refleksi dari mimpi buruk. Mimpi buruk akibat dari bayaknya ketidakseimbangan, ketidakadilan dan ketidakselarasan itu juga dalam keadaan sadar, telah membuahkan ketidaktentraman, ketakutan, dan keteroran manusia. Sebagai refleksi mimpi buruk maka keanehan dan penjungkirbalikan nilai, fakta dan harapan menjadi tampak wajar. Meskipun keadaan yang bagaimanapun buruknya hidup Mustofa W. Hasyim melalui kumpulan sajak ini mene ruskan rasa optimisme yang layak dikibarkan. Sajak-sajak Mustofa yang terhimpun da lam reportase yang Menakutkan menampil kan dunia keseharian kita. Dunia keseharian itu ditampilkan karena Mustofa merasa mem punyai keharusan menyuarakan hal-hal yang sedang berlangsung disekitarnya, tentang apa yang di hadapinya. Sajak-sajak Mustofa mem berikan kontribusi yang besar terhadap ma syarakat dan kebudayaan di zaman modern. Adapun kontribusi yang dimaksud peneliti adalah sebagai berikut: 1. Sajak-sajak Mustofa yang terhimpun dalam Reportase yang menakutkan, secara garis memberikan kontribusi berupa ajaran mo ral dan religiusitas terhadap masyarakat dan kebudayaan di zaman modern. Ajaran moral dan religius tersebut dapat dijadikan pelajaran dan perenungan bagi pembaca. 2. Sajak-sajak Mustofa tersebut, memberi kan kontribusi berupa gambaran masya rakat dan kebudayaan di zaman modern. Gambaran masyarakat dan kebudayaan yang tercermin dalam sajak-sajaknya me rupakan gambaran masyarakat dan kebu dayaan yang sedang sakit. Hal ini secara tidak langsung mengajak pembaca untuk JURNAL ETIKA DAN PEKERTI—Volume I, no.1, 2013
73
Yasser Arafat
berbuat sesuatu yang kaitannya dalam menghadapi zaman ini. Sajak-sajak yang ditulis Mustofa W. Ha syim merupakan gambaran masyarakat dan kebudayaan secara luas termasuk juga hal-hal yang ada di dalamnya. Sajak-sajak Mustofa baik secara implisit maupun ekplisit merupa kan gambaran zaman. Tentunya sajak yang ditulis Mustofa tidak kosong makna.
DAFTAR PUSTAKA Alisayahbana, Sutan Takdir. 1985. Seni dan Sastera: di Tengah-Tengah Pergolakan Masyarakat dan kebudayaan. Jakarta: PT Dian Rakyat. Arikunto, Suharsimi. 2002. Prosedur Penelitian: Suatu Pendekatan Praktek. Jakarta: PT Rineka Cipta. Damono, Sapardi Djoko. 1997. Sosiologi Sebuah Pengantar Ringkas. Jakarta: Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa Depdikbud. Depdikbud. Ejaan Bahasa Indonesia yang Disempurnakan. Bandung: Yrama Widya. Depdiknas. 2002. Kamus Besar Bahasa Indonesia. Jakarta: Balai Pustaka
74
JURNAL ETIKA DAN PEKERTI—Volume I, no.1, 2013
Eneste, Pamusuk. 1986. Pengadilan Puisi. Jakarta: PT Gunung Agung. Endaswara, Suwardi. 2003. Metodologi Penelitian Sastra. Yogyakarta: Pustaka Widyatama. Faruk. 2003. Pengantar Sosiologi Sastra: Dari Struktural Genetik Sampai Post Modern. Yogyakarta: Pustaka Pelajar. Hasyim, W. Mustofa. 1992. Reportase yang Menakutkan. Yogyakarta: Bentang Ofset. Jabrohim. 2003. Tahajud Cinta Emha Ainun Najib: Sebuah Kajian Sosiologi Sastra. Yogyakarta: Pustaka Pelajar dengan Pusat Aktivitas dan Studi Sastra Universitas Ahmad Dahlan. Jabrohim, Sarwadi, dan Bustami Subhan. 2003. Pedoman Penulisan Skripsi. FKIP UAD. Pradopo, Rachmat Djoko. 2002. Pengkajian Puisi. Gadzah Mada University Press: Yogyakarta. Pesu, Aftarudin. 1983. Pengantar Apresiasi Puisi. Bandung: Angkasa Ratna, Nyoman Kunta. 2003. Paradigma Sosiologi Sastra. Yogyakarta: Pustaka Pelajar. Sudaryanto. 2003. Metodologi Penelitian Bahasa: Sebuah Panduan Singkat. UNY Suherlan, Kinayati Djosuroto. 2001. Kajian Puisi: Teori dan penerapannya. Manasco: Jakarta. Sumarjo, Yakob. 1982. Masyarakat dan Sastra Indonesia. Yogyakarta: CV Nur Cahaya. Wachid B.S, Abdul. 2005. Membaca Makna: Dari Chairil Anwar ke A. Mustofa Bisri. Yogyakarta: Grafindo Litera Media.
BAHAYA HIV/AIDS DAN PENGENDALIAN HUBUNGAN YANG SEHAT DI KALANGAN MAHASISWA:
STUDI DI UNIVERSITAS MATHLA’UL ANWAR BANTEN TAHUN 2012 Hayatunnisa, Lambang Satria H. Dosen Fakultas Ilmu Kesehatan Universitas Mathla’ul Anwar Banten
Abstrak: HIV/AIDS memberikan sumbangan kematian di provinsi Banten sebesar 20,7 persen. Di Kabu paten Pandeglang, pada tahun 2010, sudah terdapat kasus HIV/AIDS dengan jumlah penderita sebanyak 3 orang. Bahaya HIV/AIDS harus segera dipahami dan disadari oleh warga masyarakat, terutama di Kabu paten Pandeglang, untuk mencegah terjadinya penularan. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui tingkat pengetahuan dan sikap mahasiswa tentang HIV/ AIDS dan konsekuensinya untuk menciptakan hubungan yang sehat di kalangan mahasiswa di Universitas Mathla’ul Banten. Penelitian ini dilakukan pada bulan Maret sampai dengan November 2012. Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah kualitatif-analitik dengan pendekatan (jenis) ran cangan Survey Cross Sectional. Semua data diperoleh dengan menggunakan instrumen penelitian berupa kuesioner dan dianalisa secara kualitatif. Penelitian ini mengungkap bahwa tidak banyak mahasiswa yang tahu dan sadar tentang bahaya HIV/ AIDS, sehingga mereka tidak menyadari pentingnya menjaga hubungan yang sehat dalam pergaulan mer eka. Bahkan, ada satu kasus dimana perilaku mahasiswa cenderung biasa dalam seksual bebas. Kata Kunci: HIV/AIDS, Pengetahuan, Sikap, Perilaku
PENDAHULULAN Diperkirakan didunia ini ada lebih dari 30 juta orang hidup dengan Human Imunodeficiency Virus (HIV)/Aquired Immuno Deficiency Syndrome (AIDS), dan sebagian besar ada di negara–negara sedang berkem bang. World Health Organization (WHO) memperkirakan setiap harinya bertambah sekitar 14000 kasus baru HIV/AIDS atau
setiap detik ada 9 kasus. Di Indonesia, data yang ada menunjukkan kira-kira 12 sampai 19 juta penduduk berada dalam status rawan dan potensial tertular Human Imunodeficiency Virus (HIV), virus penyebab Aquired Immuno Deficiency Syndrome (AIDS) (Setyono, 2005). Permasalahan lain yang dihadapi di Indo nesia adalah ketakutan terhadap penularan JURNAL ETIKA DAN PEKERTI—Volume I, no.1, 2013
75
Hayatunnisa, Lambang Satria H.
HIV/AIDS. Ketakutan ini tidak dibuat-buat, karena menurut Direktur Jenderal Bina Kese hatan Masyarakat (Dirjen Binkesmas) Prof. Dr. Azrul Azwar (2002), berdasarkan peneli tian dunia, sepertiga penderita Aquired Immuno Deficiency Syndrome (AIDS) adalah kaum remaja yang masa depannya masih cukup panjang. Apalagi hingga saat ini obatobatan maupun vaksin untuk mencegah HIV/AIDS belum juga ditemukan. Sampai dengan tahun 2005 jumlah kasus HIV yang dilaporkan sebanyak 859 kasus, ta hun 2006 (7.195 kasus), tahun 2007 (6.048 kasus), tahun 2008 (10.362 kasus), tahun 2009 (9.793 kasus), tahun 2010 (21.591 ka sus), tahun 2011 (21.031 kasus), Januari-juni 2012 (9.883 kasus). Jumlah kumulatif kasus HIV yang dilaporkan sampai dengan Juni 2012 sebanyak 10.138 kasus (Laporan Kemen terian Kesehatan, Triwulan II Tahun 2012). Permasalahan HIV/AIDS di Indonesia terkait dengan sisi gelap kehidupan bangsa, terutama kurangnya informasi edukasi dan life skills education. Selain itu, kenyataannya menunjukkan kaum muda di berbagai negara sudah melakukan aktivitas seksual pada umur belasan, namun kurang mendapat informasi sehingga tidak paham cara penularan HIV/ AIDS dan bagaimana melindugi dirinya agar tidak terinfeksi. Banyaknya jumlah remaja penderita HIV/AIDS ditengarai karena keter batasan akses informasi dan layanan keseha tan bagi remaja yang berdampak pada ren dahnya pengetahuan tentang HIV/AIDS yang benar dan menyeluruh di kalangan remaja. Sedangkan dari data pada bulan April-Juni 2012 persentase kasus HIV tertinggi dilapor kan pada kelompok umur 25-49 tahun (72%), diikuti oleh kelompok umur 20-24 tahun (12%), kelompok umur < 19 tahun (9%) dan kelompok umur > 50 tahun (7%) (Laporan Kementerian Kesehatan, Triwulan II Tahun 2012). Kasus HIV/AIDS bagaikan gunung es, yang nampak hanyalah permukaan belaka namun kasus yang sesungguhnya jauh lebih besar daripada kasus yang nampak. Penyakit 76
JURNAL ETIKA DAN PEKERTI—Volume I, no.1, 2013
ini merupakan penyakit yang mematikan kar ena sampai saat ini belum ditemukan obat pe nyembuhannya. Namun demikian sebenarnya pencegahannya terhadap penyakit HIV/AIDS relatif mudah asalkan kita mengetahui cara nya (BKKBN, 2000). Berdasarkan data dari Dinas Kesehatan (Dinkes) Provinsi Banten, penyebab kematian karena penyakit HIV AIDS mencapai 20,7 persen. Dengan estimasi jumlah penderita se banyak 4.288 jiwa. Menurut Didin Aliyuadin Kepala Bidang (Kabid) Pencegahan Penyakit dan Penyelamatan Lingkungan (P2PL), Din kes Banten hingga September 2011 jumlah penderita HIV 552 jiwa dan AIDS 1. 564 jiwa dengan total estimasi orang dengan penderita HIV AIDS (ODHA) mencapai 4.288 jiwa. (Di nas Kesehatan Provinsi Banten) Berdasarkan hasil surveilans dan lapor an Rumah Sakit tentang kasus HIV/AIDS, di wilayah kerja Dinas Kesehatan Kabupaten Pandeglang menunjukkan kasus HIV/AIDS di Kabupaten Pandeglang sendiri didapat kasus HIV/AIDS dengan jumlah kasus 3 orang (Din kes Pandeglang: 2010). Dari data yang tertera di atas dapat ditarik kesimpulan, bahwa kasus HIV/AIDS di Kabu paten Pandeglang merupakan ancaman bagi generasi muda. Fenomena ini menunjukkan bahwa kasus HIV/AIDS dari tahun ketahun se makin meningkat, dan kasus terbanyak ada pada usia remaja. Karena itu perlu upaya terpadu un tuk menghambat laju penyebaran HIV/AIDS. Salah satu penyebab HIV/AIDS pada umum nya adalah akibat dari perilaku seksual pran ikah. Perilaku seksual pranikah banyak sekali dilakukan oleh kaum remaja. Adapun faktor yang mempengaruhi perilaku seksual prani kah diantaranya adalah tingkat pengetahuan (Dhe de, 2005). Kasus HIV/AIDS yang dise babkan oleh perilaku seksual pranikah dapat dicegah apabila remaja mempunyai pengeta huan yang cukup tentang cara-cara penularan HIV/AIDS dan cara pencegahan HIV/AIDS (Masland, 2004). Pengetahuan memegang peranan penting dalam menentukan sikap. Sedang sikap adalah
Bahaya HIV/AIDS
respon terhadap obyek di lingkungan tertentu sebagai penghayatan terhadap obyek (Notoat mojo, 2003). Sikap juga merupakan salah satu faktor predisposisi yang dapat mempengaruhi perilaku khususnya perilaku seksual pranikah dikalangan remaja. Dari hasil wawancara dengan beberapa mahasiswa Universitas Mathla’ul Anwar Banten pada Bulan Agusutus 2012, diketahui adanya remaja yang melakukan hubungan seksual pranikah. diketahui dari 5 mahasiswa ter dapat 1 orang (20%) yang sudah melakukan seksual pranikah. Diantara mereka ada yang membolehkan aktifitas apapun dalam berpa caran hingga tahap hubungan seks. Beberapa mahasiswa diketahui juga memiliki pengeta huan tentang HIV/AIDS yang cukup (70%) dan sikap tentang HIV/AIDS yang cukup baik pula (60%). Tetapi dengan arus globalisasi, kemajuan teknologi dan informasi cenderung mempengaruhi pengetahuan dan sikap mere ka. Karena dengan adanya penyebaran infor masi yang diadopsi dari kebudayaan Barat melalui media massa dan teknologi canggih dapat meningkatkan rangsangan seksual. Aki batnya, bagi mereka yang tidak dapat mena han diri akan cenderung melanggar larangan hubungan seksual pranikah. Namun diantara mereka juga masih banyak remajanya yang menyibukkan diri dengan kegiatan-kegiatan kampus untuk menghindari aktifitas negatif seperti melakukan hubungan seksual pranikah. Berbagai kompleksnya permasalahan remaja mengakibatkan terjadinya seks pranikah yang meningkat sehingga memberikan dampak seperti potensi meningkatnya HIV/AIDS yang merupakan momok bagi keselamatan remaja. Hal inilah yang menarik perhatian penulis un tuk mengangkat permasalahan tersebut dida lam penelitian. Penulis berfikir perlu untuk dilakukan penelitian mengenai hubungan pengetahuan dan sikap tentang HIV/AIDS terhadap perilaku seksual dengan mengambil sampelnya di Universitas Mathla’ul Banten Tahun 2012. Penelitian ini didasari oleh pemikiran bah wa penyebaran HIV/AIDS sudah cenderung
membahayakan. Survey yang dilakukan oleh peneliti digabungkan dengan penyebaran pengetahuan bahwa HIV/AIDS sudah men jadi ancaman yang harus diperhatikan. Oleh karena itu, mahasiswa Universitas Mathla’ul Banten harus mengendalikan gaya bebasnya dan menata hubungannya secara sehat dan produktif. Penelitian ini sekaligus mendorong mahasiswa untuk meningkatkan sikap dan perilakunya dalam pergaulan yang positif.
PERILAKU DAN BENTUKNYA Dalam sebuah buku yang berjudul “Perilaku Manusia” Drs. Leonard F. Polhaupessy, Psi. menguraikan perilaku adalah sebuah gerakan yang dapat diamati dari luar, seperti orang berjalan, naik sepeda, dan mengendarai mo tor atau mobil. Untuk aktifitas ini mereka ha rus berbuat sesuatu, misalnya kaki yang satu harus diletakkan pada kaki yang lain. Jelas, ini sebuah bentuk perilaku. Cerita ini dari satu segi. Jika seseorang duduk diam dengan se buah buku ditangannya, ia dikatakan sedang berperilaku. Ia sedang membaca. Sekalipun pengamatan dari luar sangat minimal, sebe narnya perilaku ada dibalik tirai tubuh, di da lam tubuh manusia. Dalam buku lain diuraikan bahwa perilaku adalah suatu kegiatan atau aktifitas organisme (makhluk hidup) yang bersangkutan. Oleh sebab itu, dari sudut pandang biologis semua makhluk hidup mulai dari tumbuh-tumbuhan, binatang sampai dengan manusia itu berperi laku, karena mereka mempunyai aktifitas ma sing-masing. Sehingga yang dimaksud perila ku manusia, pada hakikatnya adalah tindakan atau aktifitas manusia darimanusia itu sen diri yang mempunyai bentangan yang sangat luas antara lain: berjalan, berbicara, tertawa, bekerja, kuliah, menulis, membaca dan seba gainya. Dari uraian diatas dapat disimpulkan bahwa yang dimaksud perilaku (manusia) adalah semua kegiatan atau aktifitas manusia, baik yang dapat diamati langsung maupun yang tidak dapat diamati pihak luar. JURNAL ETIKA DAN PEKERTI—Volume I, no.1, 2013
77
Hayatunnisa, Lambang Satria H.
Skiner (1938) seorang ahli psikologi, meru muskan bahwa perilaku merupakan respon atau reaksi seseorang terhadap stimulus (rangsangan dari luar). Oleh karena perilaku ini terjadi me lalui proses adanya stimulus terhadap organi sme, dan kemudian organisme tersebut mere spon, maka teori skiner disebut teori “S-O-R” atau Stimulus-Organisme-Respon. Skiner membedakan adanya dua proses. 1. Respondent respon atau reflexsive, yakni respon yang ditimbulkan oleh rangsanganrangsangan (stimulus) tertentu. Stimulus semacam ini disebut electing stimulation karena menimbulkan respon-respon yang relative tetap. Misalnya: makanan yang lezat menimbulkan keinginan untuk ma kan, cahaya terang menyebabkan mata tertutup, dan sebagainya. Respondent re spon ini juga mencakup perilaku emosio nal misalnya mendengar berita musibah menjadi sedih atau menangis, lulus ujian meluapkan kegembiraannya dengan men gadakan pesta, dan sebagainya. 2. Operant respon atau instrumental respon, yakni respon yang timbul dan berkembang kemudian diikuti oleh stimulus atau pe rangsang tertentu. Perangsang ini disebut reinforcing stimulation atau reinforce, ka rena memperkuat respon. Misalnya apabila seorang petugas kesehatan melaksanakan tugasnya dengan baik (respon terhadap uraian tugasnya atau job skripsi) kemudian memperoleh penghargaan dari atsannya (stimulus baru), maka petugas kesehatan tersebut akan lebih baik lagi dalam melak sanakan tugasnya. (Notoatmodjo 2003) Dilihat dari bentuk respon terhadap stimu lus ini, maka perilaku dapat dibedakan men jadi dua yaitu: 1. Perilaku tertutup adalah respon seseorang terhadap stimulus dakam bentuk terselu bung atau tertutup (covert). Respon atau reaksi terhadap stimulus ini masih terbatas pada perhatian, persepsi, pengetahuan/ kesadaran, dan sikap yang terjadi belum bisa diamati secara jelas oleh orang lain. 78
JURNAL ETIKA DAN PEKERTI—Volume I, no.1, 2013
2. Perilaku terbuka adalah respon seseorang terhadap stimulus dalam bentuk tindakan nyata atau terbuka. Respon terhadap ter hadap stimulus tersebut sudah jelas dalam bentuk tindakan atau praktek (practice). (Notoatmodjo, 2007) Diatas telah dituliskan bahwa perilaku merupakan bentuk respon dari stimulus (rangsangan dari luar). Hal ini berarti meski pun bentuk stimulusnya sama namun bentuk respon akan berbeda dari setiap orang. Faktorfaktor yang membedakan respon terhadap stimulus disebut determinan perilaku. Deter minan perilaku dapat dibedakan menjadi dua yaitu: 1. Faktor internal yaitu karakteristik orang yang bersangkutan yang bersifat given atau bawaan misalnya: tingkat kecerdasan, tingkat emosional, jenis kelamin, dan seba gainya. 2. Faktor eksternal yaitu lingkungan, baik lingkungan fisik, fisik, ekonomi, politik, dan sebagainya. Faktor lingkungan ini ser ing menjadi factor yang dominanyang me warnai perilaku seseorang. (Notoatmodjo, 2007) Penelitian Rogers (1974) mengungkap kan bahwa sebelum orang mengadopsi pe rilaku baru (berperilaku baru), di dalam diri orang tersebut terjadi proses yang beruru tan, yakni: 1. Awareness (kesadaran), yakni orang terse but menyadari dalam arti mengetahui seti mulus (objek) terlebih dahulu. 2. Interest, yakni orang mulai tertarik kepada stimulus 3. Evaluation (menimbang-nimbang baik dan tidaknya stimulus bagi dirinya). Hal ini berarti sikap responden sudah lebih baik lagi. 4. Trial, orang telah mulai mencoba perilaku baru. 5. Adoption, subjek telah berperilaku baru se suai dengan pengetahuan, kesadaran, dan sikapnya terhadap stimulus.
Bahaya HIV/AIDS
Apabila penerimaan perilaku baru atau adopsi perilaku melalui proses seperti ini di dasari oleh pengetanhuan, kesadaran, dan si kap yang positif maka perilaku tersebut akan menjadi kebiasaan atau bersifat langgeng (long lasting). (Notoatmodjo, 2003) Perilaku Seksual Perilaku seksual adalah perilaku yang muncul karena adanya dorongan seksual. Bentuknya bermacam-macam, mulai dari bergandengan tangan, berpelukan, bercumbu, sampai dengan berhubungan seks. (PKBI, 2004). Perilaku seksual remaja terdiri dari tiga buah kata yang memiliki pengertian yang sangat berbeda satu sama lainnya. Perilaku dapat diartikan sebagai respons organisme atau respon seseorang terhadap stimulus (rangsangan) yang ada. Sedangkan seksual adalah rangsangan-rangsangan atau dorongan yang timbul berhubungan dengan seks. Jadi perilaku seksual remaja adalah tindakan yang dilakukan oleh remaja berhubungan dengan dorongan seksual yang datang baik dari dalam dirinya maupun dari luar dirinya (Notoatmo djo, 2007). Adanya penurunan usia rata-rata pubertas mendorong remaja untuk aktif secara seksual lebih dini. Dan adanya persepsi bahwa dirinya memiliki risiko yang lebih rendah atau tidak berisiko sama sekali yang berhubungan den gan perilaku seksual, semakin mendorong remaja memenuhi dorongan seksualnya pada saat sebelum menikah. Persepsi seperti ini di sebut youth vulnerability oleh Quadrel et. al (1993) dikutip dalam (Notoatmodjo, 2007) juga menyatakan bahwa remaja cenderung melakukan underestimate terhadap vulnerability dirinya. Banyak remaja mengira bahwa kehamilan tidak akan terjadi pada intercourse (senggama) yang pertama kali atau mereka merasa bahwa dirinya tidak akan pernah te rinfeksi HIV/AIDS karena pertahanan tubuh yang kuat. Ada beberapa konsep mengenai kesehatan reproduksi. Batasan kesehatan reproduksi me
nurut International Conference on Population and Development (ICPD) hampir berdekatan dengan batasan ‘sehat’ dari WHO. Kesehatan reproduksi menurut ICPD adalah keadaan se hat jasmani, rohani, dan bukan hanya terlepas dari ketidak hadiran penyakit atau kecacatan semata, yang berhubungan dengan sistem, fungsi dan proses reproduksi (ICPD, 1994) dalam Notoatmodjo (2007). Rai dan nassim mengemukakan definisi ke sehatan reproduksi mencakup kondisi dimana wanita dan pria dapat melakukan hubungan seks secara aman, dengan atau tanpa tujuan terjadinya kehamilan, dan bila kehamilan di inginkan, wanita dimungkinkan menjalani ke hamilan dengan aman, melahirkan anak yang sehat serta di dalam kondisi siap merawat anak yang dilahirkan (Iskandar 1995) dalam Notoatmodjo (2007). Dari definisi kesehatan reproduksi tersebut ada beberapa faktor yang berhubungan de ngan status kesehatan reproduksi seseorang yaitu faktor sosial, ekonomi, budaya perilaku lingkungan yang tidak sehat, dan ada tidak nya fasilitas pelayanan kesehatan yang mam pu mengatasi gangguan jasmani dan rohani. Dan tidak adanya akses informasi merupakan faktor tersendiri yang juga mempengaruhi ke sehatan reproduksi. Secara umum terdapat 4 (empat) faktor yang berhubungan dengan kesehatan repro duksi yakni: 1. Faktor sosial ekonomi dam demografi. Faktor ini berhubungan dengan kemiski nan, tingkat pendidikan yang rendah dan ketidaktahuan mengenai perkembangan seksual dan proses reproduksi, serta lokasi tempat tinggal yang terpencil. 2. Faktor budaya dan lingkungan, antara lain adalah praktik tradisional yang berdampak buruk terhadap kesehatan reproduksi, keya kinan banyak anak banyak rezeki dan infor masi yang membingungkan anak dan remaja mengenai fungsi dan proses reproduksi. 3. Faktor psikologis. Keretakan orang tua akan memberikan dampak pada kehidupan remaja, depresi yang disebabkan ketidak JURNAL ETIKA DAN PEKERTI—Volume I, no.1, 2013
79
Hayatunnisa, Lambang Satria H.
seimbangan hormonal, rasa tidak berhar ganya wanita di mata pria yang membeli kebebasan dengan materi. 4. Faktor biologis, antara lain cacat sejak la hir, cacat pada saluran reproduksi dan se bagainya. (Notoatmodjo, 2007) Sebuah stándar untuk mengukur strategi interpersoneal heterogen perilaku dikalangan kaum muda Adolescent Seksual Activity Indeks (ASAI). (Pendidikan Penelitian Kesehat an:1999) Tujuan dari ASAI adalah untuk menyaji kan tentang data baru yang mengukur aktivi tas seksual dari remaja. ASAI adalah alat ukur pertama dari aktivitas seksual yang menggu nakan skala Guttman sebagai dasar skala pen ciptaan. Ada 13 Indeks ASAI yang digunakan dalam pengukuran, yaitu sebagai berikut: 1. Berpelukan (Hugging). 2. Memegang tangan. 3. Menghabiskan waktu berduaan. 4. Berciuman (kissing). 5. Bermanja-manjaan (cuddling). 6. Tidur bersama-sama. 7. Membiarkan pasangan/kekasih meraba anggota tubuh. 8. Meraba anggota tubuh pasangan/kekasih. 9. Melepaskan pakaian dan memperlihatkan alat kelamin. 10. Terlibat dalam hubungan badan (intercourse). 11. Frekuensi melakukan hubungan seks se lama 30 hari sebelumnya. 12. Jumlah pasangan seksual yang berbeda se lama 30 hari. 13. Jumlah pasangan seksual yang berbeda se lama 1 tahun. Dalam pengukuran ASAI terdapat 11 poin indeks (0-10), yang potensial digunakan un tuk menilai individu dengan kelompok skor, misalnya secara praktis dapat menetapkan nilai 7, 0 pada ASAI sebagai skor relatif. Sub jek dengan skor 6, 0 mendekati resiko untuk melakukan hubungan seksual. Sedangkan sub 80
JURNAL ETIKA DAN PEKERTI—Volume I, no.1, 2013
jek dengan skor 3, 0 memiliki resiko kurang untuk melakukan hubungan seksual dan sub jek dengan skor yang melebihi 8, 0 memiliki karakteristik aktif melakukan hubungan sek sual. (http://her. oxfordjournals. org) Hubungan seksual yang pertama dialami oleh remaja dipengaruhi oleh berbagai faktor yaitu: 1. Waktu atau saat mengalami pubertas. Saat itu mereka tidak pernah memahami ten tang apa yang akan dialaminya. 2. Kontrol sosial kurang tepat yaitu terlalu kurang tepat atau terlalu longgar. 3. Frekuensi pertemuan dengan pacarnya. Mereka mempunyai kesempatan untuk melakukan pertemuan yang makin sering tanpa kontrol yang baik sehingga hubung an akan makin mendalam. 4. Hubungan antar mereka makin romantis. 5. Kondisi keluarga yang tidak memungkin kan untuk mendidik anak-anak untuk me masuki masa remaja dengan baik. 6. Kurangnya kontrol dari orang tua, orang tua terlalu sibuk sehingga perhatian ter hadap anak kurang baik. 7. Status ekonomi, mereka yang hidup dengan fasilitas yang berkecukupan akan mudah melakukan pesiar ke tempat-tempat rawan yang memungkinkan adanya kesempatan melakukan hubungan seksual. 8. Korban pelecehan seksual yang berhu bungan dengan fasilitas antara lain sering mempergunakan kesempatan yang rawan misalnya pergi ke tempat-tempat sepi. 9. Tekanan dari teman sebaya, kelom pok sebaya kadang-kadang saling ingin menunjukkan penampilan diri yang sa lah untuk menunjukkan kematangannya, misal mereka ingin membujuk seorang perempuan untuk melayani kepuasan sek sualnya. 10. Peningkatan penggunaan obat terlarang dan alkohol makin lama makin mening kat. 11. Mereka kehilangan kontrol sebab tidak tahu akan batas-batasnya mana yang boleh dan mana yang tidak boleh.
Bahaya HIV/AIDS
12. Mereka merasa sudah saatnya untuk melakukan aktifitas seksual sebab sudah merasa matang secara fisik. 13. Adanya keinginan untuk menunjukkan cinta pada pacarnya 14. Penerimaan aktifitas seksual pacarnya 15. Sekedar untuk menunjukkan kegagahan dan kemampuan fisiknya 16. Terjadi peningkatan rangsangan seksual akibat peningkatan kadar hormon re produksi seksual. (Soetjiningsih, 2004)
HIV/AIDS dan Penularannya HIV dalam bahasa Inggris merupakan singkatan dari Human Imunnodeficiency Virus, dalam bahasa Indonesia berarti Virus pe nyebab menurunnya kekebalan tubuh manu sia. Virus adalah jasad renik hidup yang amat kecil sehingga dapat lolos melalui jaringan halus. Jadi HIV adalah virus yang menyerang system kekebalan tubuh manusia dan kemudi an menimbulkan AIDS. Virus HIV menyerang salah satu jenis sel darah putih yang berfungsi untuk kekebalan tubuh, Virus HIV ditemukan dalam darah, cairan vagina, cairan sperma dan ASI. (Anik Maryunani, 2009: 23). HIV (Human Immunodeficiency Virus) adalah sejenis virus yang menyerang sistem kekebalan tubuh manusia dan dapat menim bulkan AIDS. HIV menyerang salah satu jenis dari sel-sel darah putih yang bertugas menangkal infeksi. Sel darah putih tersebut terutama limfosit yang memiliki CD4 sebagai sebuah marker atau penanda yang berada di permukaan sel limfosit. Karena berkurangnya nilai CD4 dalam tubuh manusia menunjukkan berkurangnya sel-sel darah putih atau limfosit yang seharusnya berperan dalam mengatasi infeksi yang masuk ke tubuh manusia. Pada orang dengan sistem kekebalan yang baik, nilai CD4 berkisar antara 1400-1500. Sedang kan pada orang dengan sistem kekebalan yang terganggu (misal pada orang yang terinfeksi HIV) nilai CD4 semakin lama akan semakin menurun (bahkan pada beberapa kasus bisa sampai nol) (KPA, 2007).
Virus HIV diklasifikasikan ke dalam golong an lentivirus atau retroviridae. Virus ini se cara material genetik adalah virus RNA yang tergantung pada enzim reverse transcriptase untuk dapat menginfeksi sel mamalia, ter masuk manusia, dan menimbulkan kelainan patologi secara lambat. Virus ini terdiri dari 2 grup, yaitu HIV-1 dan HIV-2. Masing-masing grup mempunyai lagi berbagai subtipe, dan masing-masing subtipe secara evolusi yang cepat mengalami mutasi. Diantara kedua grup tersebut, yang paling banyak menimbulkan kelainan dan lebih ganas di seluruh dunia ada lah grup HIV-1 (Zein, 2006). AIDS (Acquired immine Deficiency Syndrom) meupakan kumpulan gejala-gejala pe nyakit yang diidap seseorang yang sudah ter infeksi HIV (Human Immunodeficiency Virus). Jika diindonesiakan Acquired Immune Deficiency Syndrome berarti sindrom cacat kekebalan tubuh (PMP AIDS-LP3Y, 1995). Itu berarti, AIDS bukan peyakitketurunan tetapi cacat karena system kekebalan ubuh dirusak setelah seseorang terinfeksi HIV (Syaiful W. Harahap, 2000: 15). AIDS adalah kependekan dari Acquired immine Deficiency Syndrom. Acquired be rarti didapat, bukan keturunan. Immune terkait dengan system kekebalan tubuh kita. Deficiency berarti kekurangan. Syndrome be rarti penyakit dengan kumpulan gejala, bukan gejala tertentu. Jadi, AIDS berarti kumpulan gejala akibat kekurangan atau kelemahan sys tem kekebalan tubuh yang dibentuk setelah lahir. Jelasnya, AIDS sekumpulan gejala pe nyakit yang timbul akibat menurunnya sys tem kekebalan tubuh manusia yang didapat yang disebabakan oleh vius. (Anik Maryunani, 2009 : 10). AIDS adalah singkatan dari Acquired Immuno Deficiency Syndrome, yang berarti kumpulan gejala atau sindroma akibat menu runnya kekebalan tubuh yang disebabkan in feksi virus HIV. Tubuh manusia mempunyai kekebalan untuk melindungi diri dari serangan luar seperti kuman, virus, dan penyakit. AIDS melemahkan atau merusak sistem pertahanan JURNAL ETIKA DAN PEKERTI—Volume I, no.1, 2013
81
Hayatunnisa, Lambang Satria H.
tubuh ini, sehingga akhirnya berdatanganlah berbagai jenis penyakit lain (Yatim, 2006). HIV berada di tubuh manusia berbentuk cairan, dan cairan yang potensial mengan dung HIV adalah darah, cairan sperma, cairan vagina dan air susu ibu (KPA, 2007c). Penu laran HIV dapat terjadi melalui berbagai cara, yaitu: kontak seksual, kontak dengan darah atau sekret yang infeksius, ibu ke anak selama masa kehamilan, persalinan dan pemberian ASI (Zein, 2006). Penularan melalui hubungan heterosek sual adalah yang paling dominan dari semua cara penularan. Penularan melalui hubungan seksual dapat terjadi selama senggama lakilaki dengan perempuan atau laki-laki dengan laki-laki. Senggama berarti kontak seksual dengan penetrasi vaginal, anal (anus), oral (mulut) antara dua individu. Resiko tertinggi adalah penetrasi vaginal atau anal yang tak terlindung dari individu yang terinfeksi HIV. Selain itu, HIV akan menular melalui transplantasi organ pengidap HIV, transfusi darah atau produk darah yang sudah terce mar dengan virus HIV. Jarum suntik atau alat kesehatan lain yang ditusukkan atau tertusuk kedalam tubuh yang terkontaminasi dengan virus HIV, harus menjadi perhatian peng guna layanan kesehatan. Petugas medik yang melakukan tindakan harus diingatkan supaya tidak terjadi sebagai kecelakaan kerja (tidak sengaja) bagi petugas kesehatan. Bahkan, urusan sepele seperti mencukur jenggot bisa menjadi alat penyalur virus HIV. Cara penularan tersebut di atas harus disa dari oleh semua elemen masyarakat sehingga tidak menjadi penyalur virus HIV. WHO (1996) melansir bahwa cara berikut tidak da pat menularkan virus, yaitu: 1. Orang yang berada dalam satu rumah de ngan penderita HIV/AIDS, bernapas dengan udara yang sama, bekerja maupun berada dalam suatu ruangan dengan pasien tidak akan tertular. Bersalaman, berpelukan mau pun mencium pipi, tangan dan kening pen derita HIV/AIDS tidak akan menyebabkan seseorang tertular. 82
JURNAL ETIKA DAN PEKERTI—Volume I, no.1, 2013
2. Memakai milik penderita 3. Menggunakan tempat duduk toilet, han duk, peralatan makan maupun peralata kerja penderita HIV/AIDS tidak akan menular. 4. Digigit nyamuk maupun serangga dan bi natang lainnya. 5. Mendonorkan darah bagi orang yang sehat tidak dapat tertular HIV.
Epidemiologi Kasus pertama AIDS di Indonesia dilapor kan dari Bali pada bulan April tahun 1987. Penderitanya adalah seorang wisatawan Be landa yang meninggal di RSUP Sanglah akibat infeksi sekunder pada paru-parunya. Sampai dengan akhir tahun 1990, peningkatan kasus HIV/AIDS menjadi dua kali lipat (Muninjaya, 1999). Sejak pertengahan tahun 1999 mulai ter lihat peningkatan tajam akibat penggunaaan narkotika suntik. Fakta yang mengkhawatir kan adalah penggunanarkotika ini sebagian besar adalah remaja dan dewasa muda yang merupakan kelompok usia produktif. Pada akhir Maret 2005 tercatat 6789 kasus HIV/ AIDS yang dilaporkan (Djauzi dan Djoerban, 2007). Sampai akhir Desember 2008, jumlah ka sus sudah mencapai 16. 110 kasus AIDS dan 6. 554 kasus HIV. Sedangkan jumlah kematian akibat AIDS yang tercatat sudah mencapai 3. 362 orang. Dari seluruh penderita AIDS terse but, 12. 061 penderita adalah laki-laki dengan penyebaran tertinggi melalui hubungan seks (Depkes RI, 2008). Etiologi dan Patogenesis Human Immunodeficiency Virus (HIV) di anggap sebagai virus penyebab AIDS. Virus ini termasuk dalam retrovirus anggota sub famili lentivirinae. Ciri khas morfologi yang unik dari HIV adalah adanya nukleoid yang berbentuk silindris dalam virion matur. Vi rus ini mengandung 3 gen yang dibutuhkan untuk replikasi retrovirus yaitu gag, pol, env.
Bahaya HIV/AIDS
Terdapat lebih dari 6 gen tambahan pengatur ekspresi virus yang penting dalam patogenesis penyakit.
Gambar 2. 1. Struktur Virus HIV
Satu protein replikasi fase awal yaitu pro tein Tat, berfungsi dalam transaktivasi dimana produk gen virus terlibat dalam aktivasi tran skripsional dari gen virus lainnya. Transak tivasi pada HIV sangat efisien untuk menen tukan virulensi dari infeksi HIV. Protein Rev dibutuhkan untuk ekspresi protein struktural virus. Rev membantu keluarnya transkrip vi rus yang terlepas dari nukleus. Protein Nef menginduksi produksi khemokin oleh mak rofag, yang dapat menginfeksi sel yang lain (Brooks, 2005). Gen HIV-ENV memberikan kode pada sebuah protein 160-kilodalton (kD) yang ke mudian membelah menjadi bagian 120-kD (eksternal) dan 41-Kd (transmembranosa). Keduanya merupakan glikosilat, glikoprotein 120 yang berikatan dengan CD4 dan mempu nyai peran yang sangat penting dalam mem bantu perlekatan virus dangan sel target (Bo rucki, 1997). Setelah virus masuk dalam tubuh maka tar get utamanya adalah limfosit CD4 karena virus mempunyai afinitas terhadap molekul permu kaan CD4. Virus ini mempunyai kemampuan untuk mentransfer informasi genetik mereka
dari RNA ke DNA dengan menggunakan enzim yang disebut reverse transcriptase. Limfosit CD4 berfungsi mengkoordinasikan sejumlah fungsi imunologis yang penting. Hilangnya fungsi tersebut menyebabkan gangguan respon imun yang progresif (Borucki, 1997). Setelah infeksi primer, terdapat 4-11 hari masa antara infeksi mukosa dan viremia per mulaan yang dapat dideteksi selama 8-12 minggu. Selama masa ini, virus tersebar luas ke seluruh tubuh dan mencapai organ limfoid. Pada tahap ini telah terjadi penurunan jum lah sel-T CD4. Respon imun terhadap HIV terjadi 1 minggu sampai 3 bulan setelah in feksi, viremia plasma menurun, dan level sel CD4 kembali meningkat namun tidak mampu menyingkirkan infeksi secar sempurna. Masa laten klinis ini bisa berlangsung selama 10 ta hun. Selama mas ini akan terjadi replikasi vi rus yang meningkat. Diperkirakan sekitar 10 milyar partikel HIV dihasilkan dan dihancur kan setiap harinya. Waktu paruh virus dalam plasma adalah sekitar 6 jam, dan siklus hidup virus rata-rata 2, 6 hari. Limfosit T- CD4 yang terinfeksi memiliki waktu paruh 1, 6 hari. Kar ena cepatnya proliferasi virus ini dan angka kesalahan reverse transcriptase HIV yang berikatan, diperkirakan bahwa setiap nukle otida dari genom HIV mungkin bermutasi da lam basis harian (Brooks, 2005). Akhirnya pasien akan menderita gejalagejala konstitusional dan penyakit klinis yang nyata seperti infeksi oportunistik atau neo plasma. Level virus yang lebih tinggi dapat terdeteksi dalam plasma selama tahap infeksi yang lebih lanjut. HIV yang dapat terdeteksi dalam plasma selama tahap infeksi yang lebih lanjut dan lebih virulin daripada yang ditemu kan pada awal infeksi (Brooks, 2005). Infeksi oportunistik dapat terjadi karena para pengidap HIV terjadi penurunan daya tahan tubuh sampai pada tingkat yang sangat rendah, sehingga beberapa jenis mikroorgan isme dapat menyerang bagian-bagian tubuh tertentu. Bahkan mikroorganisme yang sela ma ini komensal bisa jadi ganas dan menim bulkan penyakit (Zein, 2006). JURNAL ETIKA DAN PEKERTI—Volume I, no.1, 2013
83
Hayatunnisa, Lambang Satria H.
Gejala Klinis Menurut KPA (2007) gejala klinis terdiri dari 2 gejala yaitu gejala mayor (umum ter jadi) dan gejala minor (tidak umum terjadi). gejala mayor antara lain: 1. Berat badan menurun lebih dari 10% da lam 1 bulan 2. Diare kronis yang berlangsung lebih dari 1 bulan 3. Demam berkepanjangan lebih dari 1 bulan 4. Penurunan kesadaran dan gangguan neu rologis 5. Demensia/HIV ensefalopati
1. 2. 3. 4. 5. 6. 7.
Adapun gejala minor antara lain: Batuk menetap lebih dari 1 bulan Dermatitis generalisata Adanya herpes zoster multisegmental dan herpes zoster berulang Kandidias orofaringeal Herpes simpleks kronis progresif Limfadenopati generalisata Retinitis virus Sitomegalo
Menurut Mayo Foundation for Medical Education and Research (MFMER) (2008), gejala klinis dari HIV/AIDS dibagi atas be berapa fase: 1. Pada Fase awal infeksi, mungkin tidak akan ditemukan gejala dan tanda-tanda in feksi. Tapi kadang-kadang ditemukan ge jala mirip flu seperti demam, sakit kepala, sakit tenggorokan, ruam dan pembeng kakan kelenjar getah bening. Walaupun tidak mempunyai gejala infeksi, penderita HIV/AIDS dapat menularkan virus kepada orang lain. 2. Pada Fase lanjut, penderita akan tetap bebas dari gejala infeksi selama 8 atau 9 tahun atau lebih. Tetapi seiring dengan perkembangan virus dan penghancuran sel imun tubuh, penderita HIV/AIDS akan mulai memperlihatkan gejala yang kronis seperti pembesaran kelenjar getah bening (sering merupakan gejala yang khas), di are, berat badan menurun, demam, batuk dan pernafasan pendek. 84
JURNAL ETIKA DAN PEKERTI—Volume I, no.1, 2013
3. Pada Fase akhir yang terjadi sekitar 10 tahun atau lebih setelah terinfeksi, gejala yang lebih berat mulai timbul dan infeksi tersebut akan berakhir pada penyakit yang disebut AIDS.
Pengobatan Pemberian anti retroviral (ARV) telah me nyebabkan kondisi kesehatan para pende rita menjadi jauh lebih baik. Infeksi penyakit oportunistik lain yang berat dapat disembuh kan. Penekanan terhadap replikasi virus me nyebabkan penurunan produksi sitokin dan protein virus yang dapat menstimulasi per tumbuhan. Obat ARV terdiri dari beberapa go longan seperti nucleoside reverse transkriptase inhibitor, nucleotide reverse transcriptase inhibitor, non nucleotide reverse transcriptase inhibitor dan inhibitor protease. Obat-obat ini haya berperan hanya menghambat re plikasi virus tetapi tidak bias menghilanhkan virus yang sudah berkembang (Djauzi dan Djoerban, 2006). Vaksin terhadap HIV dapat diberikan pada individu yang tidak terinfeksi untuk mencegah baik infeksi maupun penyakit. Dipertimbang kan pula kemungkinan pemberian vaksin HIV terapeutik, dimana seseorang yang terinfeksi HIV akan diberi pengobatan untuk mendorong respon imun anti HIV, menurunkan jumlah sel-sel yang terinfeksi virus, atau menunda on set AIDS. Namun perkembangan vaksin sulit karena HIV cepat bermutasi, tidak diekspresi pada semua sel yang terinfeksi dan tidak ters ingkirkan secara sempurna oleh respon imun inang setelah infeksi primer (Brooks, 2005). Pencegahan Menurut Muninjaya (1998), tiga cara un tuk pencegahan HIV/AIDS adalah Puasa (P) seks (abstinensia), artinya tidak (menunda) melakukan hubungan seks, Setia (S) pada pasangan seks yang sah (be faithful/fidelity), artinya tidak berganti-ganti pasangan seks, dan penggunaan Kondom (K) pada setiap melakukan hubungan seks yang beresiko
Bahaya HIV/AIDS
tertular virus AIDS atau penyakit menular seksual (PMS) lainnya. Ketiga cara tersebut sering disingkat dengan PSK. Bagi mereka yang belum melakukan hu bungan seks (remaja) perlu diberikan pen didikan. Selain itu, paket informasi AIDS untuk remaja juga perlu dilengkapi informasi untuk meningkatkan kewaspadaaan remaja akan berbagai bentuk rangsangan dan rayuan yang datang dari lingkungan remaja sendiri (Muninjaya, 1998). Mencegah lebih baik daripada mengobati karena kita tidak dapat melakukan tindakan yang langsung kepada si penderita AIDS kare na tidak adanya obat-obatan atau vaksin yang memungkinkan penyembuhan AIDS. Oleh karena itu kita perlu melakukan pencegahan sejak awal sebelum terinfeksi. Informasi yang benar tentang AIDS sangat dibutuhkan agar masyarakat tidak mendapat berita yang salah agar penderita tidak dibebani dengan perilaku yang tidak masuk akal (Anita, 2000). Peranan pendidikan kesehatan adalah melakukan intervensi factor perilaku sehingga perilaku individu, masyarakat maupun kel ompok sesuai dengan nilai-nilai kesehatan. Pengetahuan kesehatan akan berpengaruh kepada perilaku sebagai hasil jangka menen gah (intermediate impact) dari pendidikan kesehatan. Kemudian perilaku kesehatan akan berpengaruh pada peningkatan indicator kese hatan masyarakat sebagai keluaran (outcome) pendidikan kesehatan. (Notoadmodjo, 2007) Paket komunikasi, informasi dan edukasi (KIE) tentang masalah AIDS adalah salah satu cara yang perlu terus dikembangkan secara spesifik di Indonesia khususnya kelompok masyarakat ini. Namun dalam pelaksanaan nya masih belum konsisten (Muninjaya, 1998). Upaya penanggulangan HIV/AIDS lewat jalur pendidikan mempunyai arti yang sangat strategis karena besarnya populasi remaja di jalur sekolah dan secara politis kelompok ini adalah aset dan penerus bangsa. Salah satu kelompok sasaran remaja yang paling mudah dijangkau adalah remaja di lingkungan seko lah (closed community) (Muninjaya, 1998).
METODE PENELITIAN Dalam penelitian ini peneliti akan mengguna kan metode analitik dengan pendekatan (je nis) rancangan Survey Cross Sectional yaitu suatu penelitian untuk mempelajari dinamika korelasi antara faktor-faktor resiko dengan efek, dengan cara pendekatan, observasi atau pengumpulan data sekaligus pada suatu saat (point time approach). (Notoatmodjo, 2010). Penelitian dilakukan di Universitas Mathla’ul Anwar Banten dimana mahasiswa UNMA di undang untuk memberikan respon tentang permasalahan penelitian. Respon yang di terima adalah data dari 99 orang mahasiswa yang memberikan tanggapannya tentang HIV/AIDS, pemahamanannya dan cara pen gendalian perilaku serta pengetahuan tentang hubungan yang sehat di kalangan mahasiswa. Adapun distribusi sampel setiap fakultas pada Universitas Mathla’ul Anwar Banten adalah sebagai berikut: Tabel 4. 1. Distribusi Sampel Populasi
Sampel
Agama
Fakultas
478
7
Ekonomi
501
7
Hukum
730
10
KIP
3940
56
Komputer
406
6
Teknik
111
2
MIPA
240
3
Tek. Pertanian
197
3
Ilmu Kesehatan
90
1
ISIP
374
5
7. 067
100
Jumlah
Pengambilan sampel dilakukan dengan spontan, siapa saja yang secara tidak sengaja bertemu dengan peneliti dan sesuai dengan kriteria sampel, maka orang tersebut diguna kan sebagai sampel (responden). Responden terlebih dahulu diberi penjelasan mengenai tujuan dan tata cara penelitian serta kesediaan untuk dijadikan sampel penelitian. responden kemudian di minta untuk mengisi dengan lengkap kuesoiner yang telah di sediakan. JURNAL ETIKA DAN PEKERTI—Volume I, no.1, 2013
85
Hayatunnisa, Lambang Satria H.
KARAKTERISTIK RESPONDEN Dari hasil penelitian yang dilakukan pada Ma hasiswa Universitas Mathla’ul Anwar Banten tahun 2012 didapatkan proporsi umur dari 100 orang responden, proporsi responden yang berusia kurang dari (<22 tahun) sebanyak 66 orang (66%) dan yang berusia lebih atau sama (≥22 tahun) adalah 34 orang (34%). Umur merupakan variabel yang selalu di perhatikan di dalam penyelidikan-penyelidi kan epidemiologi. Angka-angka kesakitan mau pun kematian di dalam hampir semua kea daan menunjukkan hubungan dengan umur. Pada HIV-AIDS rentang umur yang biasanya berisiko terinfeksi adalah usia remaja, namun tidak menutup kemungkinan kelompok usia usia produktif atau kelompok usia pekerja juga tinggi. Sesuai dengan data dari Strategi Nasional Penanggulangan HIV Dan AIDS 2010-2014. Untuk Indonesia, SRAN tahun 2010-2014, definisi universal access mengacu pada tujuan utama penanggulangan HIV dan AIDS, agar semua (minimal 80%) populasi kunci yang membutuhkan mempunyai akses ke pelayanan pencegahan, perawatan, dukung an dan pengobatan. Data jenis kelamin responden menunjuk kan bahwa proporsi jenis kelamin perempuan lebih tinggi daripada laki-laki yaitu jumlah re sponden yang jenis kelamin laki-laki sebanyak 46 orang dengan persentase sebesar 46% dan responden yang berjenis kelamin perempuan sebanyak 54 orang dengan Persentase sebesar 54%. Pada variabel jenis kelamin, dari angkaangka luar negeri menunjukkan bahwa angka kesakitan lebih tinggi di kalangan wanita se dangkan angka kematian lebih tinggi di kalangan pria, juga pada semua golongan umur. Untuk Indonesia hal tersebut masih perlu dipelajari lebih lanjut. Perbedaan angka kematian ini, dapat disebabkan oleh faktor-faktor intrinsik. Yang pertama diduga adalah faktor keturunan yang terkait dengan jenis kelamin, atau perbe daan hormonal, sedangkan yang kedua didu ga oleh berperannya faktor-faktor lingkung 86
JURNAL ETIKA DAN PEKERTI—Volume I, no.1, 2013
an (lebih banyak pria yang menghisap rokok, minum minuman keras, candu, bekerja berat, berhadapan dengan pekerjaan-pekerjaan ber bahaya, dan seterusnya). Sebab-sebab adanya angka kesakitan yang lebih tinggi di kalang an wanita, di Amerika Serikat dihubungkan dengan kemungkinan bahwa wanita lebih be bas untuk mencari perawatan. Di indonesia keadaan tersebut belum diketahui. Terdapat indikasi, kecuali untuk beberapa penyakit alat kelamin, angka kematian untuk berbagai pe nyakit lebih tinggi pada kalangan pria. Dengan demikian untuk perbedaan keja dian praktik berisiko HIV-AIDS tidak dapat secara mutlak memakai acuan jenis kelamin, tetapi lebih banyak faktor-faktor lain lain se perti genetik (hormonal) dan perilaku masingmasing individu Status perkawinan responden penelitian yang dilakukan di UNMA Banten menunjuk kan bahwa jumlah responden yang berstatus kawin sebanyak 27 orang atau 27% dan re sponden yang berstatus tidak kawin sebanyak 73 orang atau 73%. Nilai tradisional dalam perilaku seks yang paling utama adalah tidak melakukan hubung an seks sebelum menikah. Nilai ini tercermin dalam bentuk keinginan untuk memperta hankan kegadisan seorang wanita sebelum menikah. Kegadisan pada wanita seringkali dilambangkan sebagai “mahkota” atau “harta yang paling berharga” atau “tanda kesucian” atau”tanda kesetiaan pada suami”. Hilangnya kegadisan bisa berakibat depresi pada wanita yang bersangkutan, walaupun tidak memba wa akibat-akibat lain seperti kehamilan atau penyakit kelamin. Bahkan kemungkinan ro bekan pada selaput dara tanpa hubungan seks sekalipun, misalnya karena terjatuh atau naik sepeda, bisa menimbulkan depresi atau kece masan yang mendalam pada diri wanita. Nilai kegadisan yang masih dihargai tinggi nampaknya masih menggejala di kalangan bangsa-bangsa yang sedang berkembang. Di Manila, Filipina, misalnya, terungkap dari se buah Survei bahwa, dari remaja berusia 15-20 tahun menyatakan bahwa kegadisan seorang
Bahaya HIV/AIDS
wanita sangat penting artinya bagi perkawi nan (Population Forum, 1980). Demikian pula penelitian di Jakarta dan Banjarmasin menunjukkan angka 62% di Jakarta (49% un tuk laki-laki dan 75% untuk perempuan) dan 67. 8% di Banjarmasin (61. 5% untuk laki-laki dan 74. 0% untuk perempuan) dari responden pelajar SLTA kelas II yang menyatakan bahwa kegadisan adalah suatu hal yang penting sebe lum pernikahan (Fak. Psikologi UI, 1987). Yang perlu diperhatikan dari penelitian di Jakarta dan Banjarmasin itu adalah bahwa re sponden pria lebih permisif ketimbang remaja putri. Dengan demikian remaja pria sebenar nya lebih banyak yang bisa mengerti wanita yang sudah tidak gadis lagi. Pengetahuan tentang HIV-AIDS Proporsi responden berdasarkan penge tahuan Mahasiswa Universitas Mathla’ul An war Banten Tentang HIV/AIDS menunjuk kan jumlah responden yang memiliki tingkat pengetahuan baik sebanyak 65 orang dengan persentase sebesar 65% dan responden yang memiliki tingkat pengetahuan kurang seban yak 35 orang (35%). Jadi sebagian besar responden memi liki tingkat pengetahuan yang baik mengenai HIV-AIDS. Hal ini sesuai dengan penelitian dari Bambang Kristyanto yang mendapat kan proporsi responden dengan pengetahuan tinggi sebanyak 78 orang dan rendah seba nyak 67 orang. Pengetahuan tentang HIV-AIDS merupa kan variabel yang dianalisis untuk mengeta hui tingkat pengetahuan Mahasiswa Univer sitas Mathla’ul Anwar Banten mengenai HIVAIDS. Dari hasil di atas menunjukkan bahwa se bagian besar tingkat pengetahuan responden mengenai HIV-AIDS baik, disebabkan karena dari kategori sumber informasi tergolong baik. Hal ini akan berpengaruh terhadap pemaha man individu terhadap sesuatui hal dalam hal ini mengenai pengetahuan HIV-AIDS. Hal ini sesuai dengan teori pengetahuan dari Notoatmodjo yang menyebutkan bahwa
pengetahuan adalah berbagai gejala yang ditemui dan diperoleh manusia melalui pengamatan inderawi. Pengetahuan muncul ketika seseorang menggunakan indera atau akal budinya untuk mengenali benda atau ke jadian tertentu yang belum pernah dilihat atau dirasakan sebelumnya Sikap terhadap HIV-AIDS Proporsi responden berdasarkan Sikap Mahasiswa Universitas Mathla’ul Anwar Ban ten tentang HIV/AIDS menunjukkan bahwa jumlah responden yang memiliki sikap positif tentang HIV/AIDS sebanyak 63 orang dengan persentase sebesar 63%, dan responden yang memiliki sikap negatif tentang HIV/AIDS se banyak 37 orang dengan persentase sebesar 37%. Hal ini menunjukkan bahwa sikap res ponden terhadap HIV-AIDS sebagian besar baik. Proporsi sikap ini juga sesuai dengan ha sil penelitian dari Bambang Kristyanto yang mendapatkan data responden dengan sikap baik 79 orang dan sikap kurang sebanyak 72 orang. Perbedaan sikap dari responden ini dapat dipengaruhi oleh faktor-faktor yang mengin ternalisasi seseorang serta dapat juga dipen garuhi oleh lingkungan yempat tinggal respon den, sehingga memunculkan sebagai bentuk predisposisi tindakan atau perilaku. Hal ini sesuai dengan teori Newcomb yang menya takan sikap merupakan reaksi yang bersifat emosional terhadap stimulus sosial, dalam hal ini stimulus lingkungan. Menurut Notoatmodjo sikap secara nyata menunjukkan konotasi adanya kesesuaian reaksi terhadap stimulus tertentu. Hal ini menunjukkan bahwa, dari hasil penelitian mengenai variabel sikap di atas, yang mana masih terdapat 9, 7% responden yang sangat tidak setuju menentang seks bebas di kalang an remaja, bila dikaitkan dari teori sikap No toatmodjo maka reaksi dalam hal ini akan di tunjukkan dalam bentuk perilaku, sedangkan stimulus yang dimaksud merupakan faktorfaktor yang mempengaruhi perilaku anatara JURNAL ETIKA DAN PEKERTI—Volume I, no.1, 2013
87
Hayatunnisa, Lambang Satria H.
lain lingkungan dan genetik yang sesuai den gan teori Notoatmodjo mengenai perilaku. Mengapa dihubungkan dengan perilaku? Pertanyaan ini akan terjawab bila melihat teori dari Newcomb yang menyatakan bahwa sikap belum merupakan suatu tindakan atau aktifitas, akan tetapi merupakan predisposisi tindakan atau perilaku Perilaku Seksual Menyimpang Variabel perilaku seksual menyimpang berisiko HIV-AIDS merupakan variabel yang dianalisis untuk mengetahui tinggi rendahnya perilaku seksual berisiko HIV-AIDS yang di lakukan oleh Mahasiswa Universitas Mathla’ul Anwar Banten. Data hasil penelitian Proporsi responden berdasarkan perilaku tingkat resiko respon den menunjukkan bahwa bahwa jumlah re sponden status tidak kawin yang memiliki beresiko berperilaku seksual menyimpang sebanyak 51 orang dengan persentase sebesar 51%, responden berstatus kawin yang beresiko berperilaku seksual menyimpang sebanyak 1 orang dengan persentase sebesar 1%, respon den berstatus tidak kawin yang tidak beresiko berperilaku seksual menyimpang sebanyak 22 orang dengan persentase sebesar 22% dan re sponden berstatus kawin yang tidak beresiko berperilaku seksual menyimpang sebanyak 26 orang dengan persentase sebesar 26% Penelitian ini sejalan dengan peneliti an dari Bambang Kristyanto yaitu perilaku berisiko tinggi sebanyak 8 orang (5,5%), ren dah 9 orang (6,2%) dan tidak berisiko seba nyak 128 orang (88,3%). Dalam buku pedoman pelayanan konseling dan testing HIV-AIDS secara sukarela menya takan bahwa perubahan perilaku seseorang dari berisiko menjadi kurang berisiko terha dap kemungkinan tertular HIV memerlukan bantuan perubahan emosional dan penge tahuan dalam suatu proses yang mendorong nurani dan logika. Penelitian ini membuktikan mahasiswa yang memiliki kurang pengetahuan tentang HIV/AIDS paling besar beresiko perilaku 88
JURNAL ETIKA DAN PEKERTI—Volume I, no.1, 2013
seksual menyimpang (71, 4%) dibandingkan dengan mahasiswa dengan tingkat pengeta huan baik tentang HIV/AIDS (41, 5%). Penge tahuan atau kognitif merupakan domain yang sangat penting untuk terbentuknya tindakan seseorang (overt behavior). Karena itu dari pengalaman dan penelitian ternyata perilaku yang didasari oleh pengetahuan akan lebih langgeng daripada perilaku yang tidak didasari oleh pengetahuan. Namun bila mengacu pada teori pengetahuan maka hasil penelitian ini tidak sesuai dengan teori pengetahuan diatas, hal ini disebabkan pertanyaan pada kuesioner bersifat tertutup sehingga responden hanya mengisi jawaban sesuai dengan pilihan jawa ban yang disediakan, oleh karena itu tidak da pat mengeksplorasi pengetahuan yang dimi liki masing-masing responden. Yang tentunya berpengaruh terhadap hasil penelitian. Pengetahuan merupakan dasar untuk da pat memahami suatu permasalahan, meski tidak selalu berkaiatan langsung dengan upaya yang diambil dan cara yang ditempuh untuk menghindari penularan IMS atau HIV dan AIDS. Mengetahui tentang cara menghin dar dan kemana mencari pertolongan terkait terserang infeksi menular seksual (IMS), merupakan hal yang perlu diketahui oleh seti ap orang, apalagi terhadap orang yang berisiko tinggi tertular IMS termasuk HIV (BPS, 2005). Dengan memberikan informasi-informasi tentang cara-cara mencapai hidup sehat, cara memelihara kesehatan, cara menghindari pe nyakit, dan sebagainya akan meningkatkan pengetahuan masyarakat tentang hal tersebut. Selanjutnya dengan pengetahuan-pengetahu an itu akan menimbulkan kesadaran mere ka, dan akhirnya akan menyebabkan orang berperilaku sesuai dengan pengetahuan yang dimilikinya itu. Hasil atau perubahan pe rilaku dengan cara ini memakan waktu lama, tetapi perubahan yang dicapai akan bersifat langgeng karena disadari oleh kesadaran me reka sendiri (bukan karena paksaan) (Notoat modjo. 2003). Mahasiswa sebagai generasi penerus bang sa baik di Indonesia maupun di UNMA BAN
Bahaya HIV/AIDS
TEN pada khususnya dapat menjadi contoh yang baik sebagai mahasiswa yang bersih dan tidak masuk kedalam faktor-faktor pendu kung yang membawa seseorang kearah ba haya AIDS, seperti seks bebas dan penyalah gunaan narkoba. Tanggungjawab yang diberikan kepada ma hasiswa sebagai generasi penerus bangsa harus disertai dengan pengetahuan serta pelatihan yang cukup agar mampu membawa bangsa ini kearah yang lebih baik, sehingga nantinya secara tidak langsung mampu mengedukasi lingkungan sosialnya baik antar sesama te man maupun sesama warga masyarakat Penelitian ini juga membuktikan bahwa mahasiswa yang memiliki sikap negatif terha dap HIV/AIDS paling besar beresiko perilaku seksual menyimpang (89,2%) dibandingkan dengan mahasiswa dengan sikap positif terha dap HIV/AIDS (30,2%). Sikap secara nyata menunjukkan konotasi adanya kesesuaian reaksi terhadap stimulus tertentu. Newcomb salah seorang ahli psikologi sosial menyata kan bahwa sikap itu merupakan kesiapan atau kesediaan untuk bertindak, dan bukan meru pakan pelaksana motif tertentu. Sikap belum merupakan suatu tindakan atau aktifitas, akan tetapi merupakan predisposisi tindakan atau perilaku Hasil penelitian ini sejalan dengan teori sikap yang menyatakan bahwa sikap belum merupakan suatu tindakan atau aktivitas, akan tetapi merupakan predisposisi tindakan atau perilaku yang mana dalam hal ini sikap ten tang HIV-AIDS menjadi predisposisi terhadap praktik berisiko HIV-AIDS. Sebab semakin positif sikap Mahasiswa Universitas Mathla’ul Anwar Banten, diperoleh hasil praktik berisiko HIV-AIDS yang dilakukan semakin rendah, begitu pula sebaliknya. Selain itu, hasil dari penelitian ini sesuai dengan teori dari Newcomb yang menyatakan bahwa sikap belum merupakan suatu tindak an atau aktifitas, akan tetapi merupakan pre disposisi tindakan atau perilaku. Dalam hal ini sikap tentang HIV-AIDS sebagai predisposisi dari tindakan atau praktik berisiko HIV-AIDS.
Dengan sikap yang positif terhadap HIV-AIDS akan terbentuk perilaku yang baik pula da lam kaitannya dengan penularan HIV-AIDS. Sikap yang baik pada responden hanya dapat berkembang menjadi perilaku yang baik jika pengetahuan mereka ditingkatkan menjadi baik (Wowolumaya, 1998). Adanya pengeta huan yang tinggi tentang HIV-AIDS pada re sponden akan mendorong untuk membentuk sikap yang lebih baik terhadap HIV-AIDS dan sekaligus diwujudkan dengan praktik berisiko HIV-AIDS yang rendah dan dapat menurunk an penularan HIV-AIDS. Dengan demikian diharapkan upaya dari masyarakat untuk ikut menumbuhkan sikap yang baik terhadap HIV-AIDS, yang diharap kan dapat memberikan kontribusi terhadap pengendalian kasus ini serta hasil yang diper oleh pada penelitian ini diharapkan mampu mendukung upaya Strategi Nasional Penang gulangan HIV dan AIDS Tahun 2010-2014, tentunya dengan cara menumbuhkan sikap yang positif terhadap HIV-AIDS sehingga se suai dengan hasil penelitian ini yaitu akan da pat menurunkan risiko HIV-AIDS Sikap kepedulian terhadap orang dengan HIV/AIDS tanpa stigmasi dan diskriminasi memiliki manfaat dan pengaruh yang pent ing dalam menanggulangi penyebaran wabah penyakit HIV/AIDS. Sikap stigmasi dan dis kriminasi harus kita hindari menggingat per masalahan yang dihadapi harus segara dita ngani secepatnya, dalam upaya menekan penye baran HIV/AIDS di masyarakat kedepannya. Sikap lapang dada, toleransi dan kepedu lian serta kerjasama masyarakat diharapakan mampu membantu menekan dan meminim alisir bahkan mmenyelesaikan permasalahan penyebaran HIV/AIDS. Selain itu dari pen derita HIV/AIDS yang sudah teridentifikasi harus ditangani dan dirawat sebaiknya dengan harapan penderita dapat bekerjasama dalam menekan penyebaran penyakit ini. Penderita akan berperan dalam memberikan informasi dan sebagai narasumber nyata yang akan mempromosikan tantang bahaya penyebaran HIV/AIDS kepada masyarakat. JURNAL ETIKA DAN PEKERTI—Volume I, no.1, 2013
89
Hayatunnisa, Lambang Satria H.
Sikap kepedulian terhadap penderita HIV/ AIDS diharapakan juga dapat menimbulkan kesadaran penderita lainnya yang belum ter identifikasi untuk memeriksakan dirinya. Pada akhirnya penyebaran dan perkembangan HIV/ AIDS bisa ditekan dan ditanggulangi dengan mengidentifikasi semua penderita, memberi kan perawatan, melakukan pengawasan dan menjadikan penderita sebagai agen promosi kesehatan mengenai bahaya dan dampak dari HIV/AIDS. Manfaat kepedulian terhadap orang den gan HIV/AIDS tanpa stigmasi dan diskrimi nasi dapat menjadi langkah dan gerakan per baikan individu, masyarakat dan bangsa untuk menghambat dan menangulangi penyebaran HIV/AIDS kedepannya. Dengan tujuan per baikan generasi kedepannya sehingga dapat menjauhi dan menghindari diri dari kemung kinan terinfeksi HIV/AIDS. DAFTAR PUSTAKA Arikunto, S. (2006). Prosedur Penelitian Suatu Pendekatan Praktik. Edisi Revisi VI. Jakarta: PT Rineka Cipta. A. A. Gge Muninjaya. 1999. AIDS di Indonesia Masalah dan Kebijakan Penanggulangannya. Jakarta Penerbit Buku Kedokteran EGC. Aomreor AA, Alikor EA, Nkanginieme EK. Penelitian pengetahuan tentang HIV di antara siswa sekolah menengah 3 di Port Harcourt. Niger J Med 2004; 13:398-404. Agrawal HK, Rao RS, Chandrashekar S, Coulter JB. Pengetahuan dan Sikap terhadap HIV/AIDS dari senior sekunder sekolah siswa dan guru peserta pelatihan di Udupr Distrik, Karnataka, India. Ann Trop Pediatr 1999; 19:143-49. Azwar, S. (2003). Reliabilitas dan validitas. Yogya karta: Pustaka Pelajar Barakbah, Jusuf. AIDS, Hubungannya dengan Penyakit Menular Seksual Lain. Laboratorium/UPF Ilmu Penyakit Kulit & Kelamin Fakultas Kedokter an Universitas Airlanga/RSUD Dr. Sutomo, Sura baya Cermin Dunia Kedokteran No. 75, 1992 23 Brooks, Geo F, MD. 1996. Mikrobiologi Kedokteran. Jakarta: EGC Clutterbuck, Dan. 2004. Sexually Transmitted Infections and HIV. Elsevier Mosby. Philadelphia. Departemen Kesehatan Republik Indonesia. Data Statistik HIV/AIDS di Indonesia sampai dengan Maret 2012. Jakarta. 2011
90
JURNAL ETIKA DAN PEKERTI—Volume I, no.1, 2013
Ditjen PP dan PL Kementrian kesehatan RI. 2010. Laporan Triwulan Perkembangan HIV dan AIDS di Indonesia. Jakarta Forstein, Marshall M. D, dkk. Guideline Watch: Practice Guideline for The Treatment of Patients With HIV/AIDS. American Psychiatric Association. 2006 Ganzak M, Barss P, Alfaresi F, Almazrouei S, Muradd ad A, Al-Maskari F. Break di kesunyian: HIV/AIDS Pengetahuan, Sikap, dan Kebutuhan Pendidikan kalangan Mahasiswa Arab di United Arab Emirates. J Adolesc Kesehatan 2007; 40:572. Hossain MB, Kabir A, Ferdous H. Pengetahuan tentang HIV dan AIDS di antara Siswa Tersier di Bangladesh. Int Q Kesehatan Masyarakat Educ 2007; 26:271-85. Handayani, Sarwo. Deplesi Sel Limfosit CD4+ Pada Infeksi HIV. Jakarta: Pusat Penelitian dan Pem berantasan Penyakit, Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan Departemen Keseha tan RI. 2001 Hunter, Susan S, Ph. D. Reshaping Societies HIV/ AIDS And Sosial Change. 2001. Hudson Run Press. New York. Jawetz E, dkk. Mikrobiologi Kedokteran Edisi 28. EGC. Jakarta. 2005, hal. 595-604. Joint United Nations Programme on HIV/AIDS (UN AIDS). Report on The Global Epidemic 2008. 2008 Komisi Penangulangan AIDS Nasional. 2010. Strategi dan Rencana Aksi Nasional Penanggulangan HIV dan AIDS Tahun 2010-2014. Maryunami, Anik, Ummu Aeman. 2009. Pencegahan Penularan HIV Dari Ibu Ke Bayi. Jakarta:Trans Info Media. Rassner. Med. Dr. Prof, dkk. 1995. Buku Ajar Ilmu dan Atlas Dermatologi. Edisi 4 (revisi). EGC. Jakarta. Siregar, Fazidah, A. Pengenalan dan Pencegahan AIDS. Fakultas Kesehatan Masyarakat. Univer sitas Sumatera Utara. Medan. 2004 Sudoyo, Aru W, dkk. Buku Ilmu Ajar Penyakit Dalam. Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia. Jakarta. 2006. Singh U, Potter Lapangan D, Thilakavathi S. Pengetahuan penularan HIV dan perilaku seksual dari perguruan tinggi siswa di pune, India. AIDS 1997; 11:1519-33. Syaiful W, Harahap. 2000. Pers Meliput AIDS. Jakar ta: Pustaka Sinar Harapan Tim PPSW. 2003. Lebih Jauh Tentang Kesehatan Reproduksi. Jakarta: Pusat Pengembangan Sumber Daya Wanita. 2001. Informasi Seputar kesehatan Reproduksi. Jakarta: Pusat Pengembangan Sumber Daya Wanita. www. unicef. org. AIDS for Every Child Health, Education, Equality, Protection Advance Humanity. Newyork. 2003.
PETUNJUK PENGIRIMAN NASKAH JURNAL ETIKA DAN PEKERTI UNIVERSITAS MATHLA’UL ANWAR BANTEN
1. Naskah yang diterima belum pernah dipublikasikan, dibuktikan dengan surat pernyataan. 2. Naskah yang dikirim adalah hasil penelitian atau kajian analisis-kritis (artikel konseptual) terhadap persoalan di masyarakat, dan ada keterkaitannya dengan etika dan pekerti. 3. Naskah diketik 1,5 spasi menggunakan huruf Times New Roman, ukuran huruf 12 pt, menggunakan kertas A4 sebanyak 15 – 20 halaman. 4. Abstrak naskah dibuat dalam dua bahasa: Inggris-Indonesia 5. Rujukan dan kutipan ditulis dalam tubuh naskah (bodynote) disertai nomor halaman kutipan. Penulisan pustaka menggunakan gaya Harvard, dan diurut berdasarkan abjad. 6. Setiap tabel harus diketik dengan spasi 1, font 10 atau disesuaikan. Nomor tabel diurutkan sesuai dengan urutan penyebutan dalam teks. Tabel diberi judul dan subjudul secara singkat. Judul tabel dan tabel diberi jarak 1 spasi. Bila terdapat keterangan tabel, ditulis dengan font 10, spasi 1, dengan jarak antara tabel dan keterangan tabel 1 spasi. 7. Gambar sebaiknya dibuat secara professional, dan sebaiknya dalam bentuk foto. File gambar dikirimkan beserta naskah. Setiap gambar harus diberi label dan berisi nomor urut gambar sesuai dengan pemunculan dalam teks. Judul gambar diletakkan di bawah gambar. Grafik maupun diagram dianggap sebagai gambar. Grafik ditampilkan dalam bentuk 2 dimensi. 8. Redaksi berhak menyunting naskah yang dikirimkan berdasarkan catatan Penyunting Ahli dan gaya selingkung yang dipergunakan. 9. Naskah dikirim ke redaksi di LP3M UNMA Banten, dan softcopy dikirim melalui email: lp3m.
[email protected] 10. Naskah yang tidak dimuat akan dikembalikan dalam waktu 1 (satu) bulan. JURNAL ETIKA DAN PEKERTI—Volume I, no.1, 2013
91
92
JURNAL ETIKA DAN PEKERTI—Volume I, no.1, 2013