“Melihat Kelemahan Untuk Perbaikan Pendidikan Islam”
Prof. Dr. H. Mohammad Ali M.Pd, MA Weekly Newsletter Tak ada pesan khusus yang diamanatkan Menteri Agama Muhammad Maftuh Basyuni, tapi hanya meminta kepada Prof. Dr. Mohammad Ali, M.Pd, MA selaku Direktur Jenderal Pendidikan Islam untuk melihat kelemahan apa yang ada di Departemen Agama khususnya yang berkaitan dengan pendidikan. Setelah itu bagaimana berupaya memperbaiki sehingga kualitas pendidikan Islam menjadi baik dan bermutu. Pasalnya, secara umum kondisi pendidikan Islam memang masih tertinggal. Meskipun sudah ada satu-dua madrasah yang bagus, bahkan lebih bagus dari umum. Tapi itu tidak banyak. Sehingga bagaimana mengusahakan madrasah yang bermutu lebih banyak lagi jumlahnya, merupakan salah satu program memperbaiki kualitas di Direktorat Jenderal yang sebelumnya bernama Direktorat Kelembagaan Agama Islam.
Menjabarkan tentang pesan Menteri Agama, Ali menuturkan langkah-langkah yang kemudian ia terapkan. "Nah itulah yang saya tuangkan dari hasil pengamatan saya di Depag, baru saya mencoba dalam program memperbaiki, seperti mengapa saya harus menggenjot kualitas, karena salah satu titik kelemahannya ada pada kualitas, mengapa saya harus menggenjot transparansi, menggenjot akuntabilitas karena diantara titik kelemahannya itu, dan hal-hal lainnya. Jadi pak Menteri pesannya umum-umum saja meminta kepada saya. Itu kan artinya pesannya sangat mendalam, perbaiki Direktorat Jenderal Pendidikan Islam. Intinya begitu, mulai dari melihat kelemahan, kita melangkah untuk memperbaiki itu," tutur Guru Besar UPI yang pernah menjadi Ketua Lembaga Penelitian ini.
"Pesan khusus dari pak Menteri, sebetulnya sangat umum dan bijak. Beliau hanya meminta saya tolong lihat ada kelemahan apa di Departemen Agama. Kemudian baru perbaiki Departemen Agama," tutur Mohammad Ali baru-baru ini.
Dirjen Mohammad Ali lahir di lingkungan keluarga santri, selain bersekolah umum ia belajar mengaji. Setelah menyelesaikan pendidikan dasar dan menengah kemudian menempuh pendidikan strata satu (S1) di Fakultas Ilmu Pendidikan, Institut Keguruan dan Ilmu Pendidikan (IKIP) Bandung selesai tahun 1979. Tahun 1980 ia mulai mengajar di almamaternya hingga sekarang. Disamping itu ia menempuh pendidikan strata dua (S2), di dua universitas. Magister Pendidikan (M.Pd) diraih tahun 1987 dari Fakultas Pascasarjana, IKIP Bandung, dan Master of Arts (MA) diraih dari University of Pittsbugurgh, USA pada tahun 1990. Lalu melanjutnya strata tiga (S3) di program Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor (IPB) selesai tahun 1999. Jabatan Guru Besar di Universitas Pendidikan Indonesia (UPI) dia sandang pada 1 Juli 2001. Selain pendidikan formal ia
Mohammad Ali yang dilantik Menteri Agama Maftuh Basyuni pada 6 November 2007 menjadi Dirjen Pendidikan Islam Depag, menggantikan Jahja Umar, Ph.D. Sebelumnya pria kelahiran Cirebon, 3 Juni 1953 ini sebagai Dekan Fakultas Ilmu Pendidikan Universitas Pendidikan Islam (UPI), Bandung. Saat memberi sambutan pelantikan Menag mengatakan, Depag saat ini sangat memperhatikan pendidikan Islam, dimulai dengan perombakan struktur organisasi departemen, dengan merubah Ditjen Kelembagaan Agama Islam menjadi Ditjen Pendidikan Islam.
juga aktif mengikuti pelatihan-pelatihan di dalam dan luar negeri. Menjawab motto hidupnya, Mohammad Ali hanya mengaku mottonya kerja keras dan berdoa. "Semua berjalan saja, saya suka mengagumi orang yang sukses, ingin seperti dia, kita berusaha keras dan berdoa. Saya berpikir usaha keras pun tidak berhasil kalau Allah tidak menghendaki," kata suami Dra. Hj Sumiati yang berprofesi sebagai guru di SMAN Lembang, Bandung yang dari pernikahannya dikaruniai 5 putra.
Menata Organisasi Terkait langkah di Direktorat Jenderal Pendidikan Islam, Mohammad Ali mengatakan penataan juga pada bidang organisasi. Pasalnya, dengan adanya perubahan dari Bagais ke Pendis itu juga berdampak terhadap kesinambungan struktur organisasi antara Pusat maupun di Kantor Wilayah. Selain itu menangani masalah transparansi dan akuntabilitas. "Kita tingkatkan akuntabilitas, sehingga semua anggaran program bisa dipertanggung jawabkan bukan hanya formal, tapi juga informal bisa membuktikan. Yang penting ada niat baik bahwa bekerja sesuai dengan motto ikhlas beramal. Diharapkan bisa meningkatkan citra Depag, baik dari segi pendidikan maupun aspek lainnya," terangnya. Sebagai pejabat dari "luar" Depag, Mohammad Ali merasa ada kelemahan yang perlu diperbaiki, dari segi pendidikan mutu, maupun akuntabilitas program. "Dalam merealisasikan program para direktur harus setahu saya. Mengapa?, karena saya kuasa pengguna anggaran. Oleh karena itu tidak boleh anggaran maupun program dilaksanakan sendiri, saya tinggal tanda tangan tanpa setahu saya, tidak mau saya," tandasnya. Karena itu lanjutnya, dia meminta kepada para direktur setiap bulan mereka mempresentasikan program apa yang akan direalisasikan. Setelah itu didiskusikan bersama. "Kalau ok baru saya tanda tangani. Konon yang seperti itu tidak pernah dilakukan," ujarnya. Kemudian yang kaitan dengan koordinasi, menurut Doktor dari IPB tahun 1999 ini, merupakan salah satu
titik yang perlu diperbaiki. "Jadi semenjak saya duduk di direktorat jenderal ini, saya katakan kita setiap bulan harus bertemu, jadi berseling-seling. Minimal dalam setiap bulan pimpinan inti Dirjen dengan para direktur duduk bersama untuk membahas programprogram dalam satu bulan itu," terangnya. Ditambahkan, "di Ditjen Pendidikan Islam memiliki program-program yang dirancang dalam satu tahun. Begitu pula program per kwartal, dan program bulanan. Selain itu kita kumpul dari mulai eselon I sampai IV, kita bahas berbagai isu yang kita selesaikan selama periode itu, misalnya satu bulan, dua bulan," tambah peraih dua master ini.
Perbaikan Mutu Berkaitan dengan perbaikan mutu madrasah, Dirjen memaparkan direktorat memberikan bantuan-bantuan laboratorium apakah laboratorium sains, bahasa kepada sejumlah madrasah, kemudian membangun sejumlah perpustakaan, serta bantuan bos buku. Adapun dari sisi tenaga pengajar, karena mutu terkait dengan itu, maka perlu juga ditingkatkan kemampuaannya. Yang pertama, mereka yang belum S1 (sarjana strata satu), itu diberi beasiswa untuk belajar mengikuti S1. Kemudian mereka yang sudah S1 tapi tidak sesuai, untuk tahun ini kita menyelenggarakan program yang kita namakan dual program. Jadi artinya mereka yang lulusan S1 tarbiyah tapi mengajar matematika itu kita sekolahkan lagi untuk mengikuti pendidikan di program S1 jurusan matematika. Bahkan dari beberapa sekolah, mereka yang yang sudah lulus S1 dalam bidang tertentu misalnya matematika, fisika, kimia, biologi itu mereka di S2 (strata dua) kan di perguruan tinggi misalnya ITB. Ini program untuk peningkatkan mutu. Selain itu ada pula program yang dua-duanya masuk, baik peningkatan mutu maupun akses, seperti program madrasah internasional. "Program ini juga sekaligus memberikan pencitraan di masyarakat bahwa madrasah-madrasah pun banyak yang bertaraf internasional."
Menurut Dirjen, direncananya sampai tahun 2010 ini dibangun di setiap provinsi satu madrasah internasional. Sedang dalam dalam tahun ini terwujud 5 madrasah internasional, kemudian pada tahun 2009 ada 20 madrasah, sisanya dibangun tahun 2010, dengan demikian semua provinsi sudah memiliki madrasah bertaraf international. Madrasah internasioal yang akan dikembangkan di seluruh Indonesia ini, memasukkan sistem pendidikan berbasis pesantren dan sekolah modern. Bahasa Inggris dan Arab menjadi bahasa pengantar. "Siswa diwajibkan tinggal di asrama (boarding) untuk memperoleh kemapuan-kemampuan yang dipersyaratkan. Kemampuan berbahasa internasional seperti Inggris dan Arab merupakan keharusan." kata Ali. Dengan sistem asrama ini, lanjutnya, kesempatan untuk fasih berbahasa Arab dan menghafal Alquran lebih banyak. Juga pengajaran kitab kuning yang menjadi ciri khas pesantren. Di madrasah internasional ini akan ditempatkan seorang kiai disamping guru sekolah. Depag menyebut madrasah internasional ini sebagai madrasah model. Lebih jauh Mohammad Ali menjelaskan bahwa pengembangan madrasah aliyah negeri bertaraf internasional ini mengacu pada MAN Insan Cendekia di Serpong dan Gorontalo yang telah melahirkan peserta olimpiade sains. "Kami berhadap dalam jangka panjang, setiap provinsi punya satu MAN internasional yang akan mendidik anak-anak dari kabupatenkotamadya setempat menjadi manusia berwawasan cukup baik, bermoral baik dan dari sisi intelektual juga unggul." Madrasah ini juga diperuntukkan bagi siswa yang tidak mampu asal cerdas. Menurut Mohammad Ali, madrasah internasional yang akan dikembangkan di seluruh tanah air ini, memiliki ciri-ciri khas, penggabungkan antara ide pesantren dengan sekolah modern. Siswa diwajibkan tinggal di asrama (boarding) untuk memperoleh kemapuankemampuan yang dipersyaratkan, seperti menguasai komunikasi nasional bahasa Indonesia, komunikasi internasional Islam bahasa Arab dan komunikasi global dengan bahasa Inggris.
Dengan sistem asrama ini, kata Ali, siswa akan lebih banyak memiliki kesempatan untuk menjadi fasih membaca dan menghafal Al Quran, membaca kitabkitab kuning. Nantinya setiap madrasah internasional harus ada kiai disamping guru yang membina madrasah model ini. Ali menambahkan, Dirjen Pendidikan Islam mengembangkan MAN bertaraf Internasional ini seperti model MAN Insan Cendekia yang telah ada di Serpong dan Gorontalo. Nantinya diharapkan, di setiap propinsi sekurang-kurangnya ada satu MAN bertaraf Internasional yang akan mendidik anak-anak dari kabupaten-kota madya di propinsi itu untuk menjadi insan-insan yang berwawasan keagamaan cukup bagus, mengimplementasikan ajaran-ajaran Islam Yang baik, bermoral tinggi dn intelektualitasnya juga bagus Menanggapi tantangan era globalisasi Dirjen Pendidikan Islam Dr. Mohammad Ali menyatakan, menyambut era globalisasi lembaga pendidikan Islam di Indonesia semakin berbenah. Hasilnya lembaga pendidikan seperti madrasah sudah diakui secara internasional, terutama oleh negara-negara anggota Unesco (organisasi pendidikan, kebudayaan dan ilmu pengetahuan PBB). Ali mengatakan, negara-negara anggota United Nations Educational, Scientific and Cultural Organization sudah mengenal apa yang disebut madrasah, meskipun dalam bahasa Arab madrasah itu sekolah. Tapi di Indonesia, madrasah adalah sekolah yang berciri khas Islam. "Ada beberapa negara yang menyatakan ketertarikannya dan ingin belajar tentang sistem pendidikan Islam di Indonesia terutama madrasah dan pesantren, diantaranya Pakistan, Bangladesh dan Nigeria," jelasnya. Terkait dengan kunjungan delegasi pendidikan Filipina, Ali menuturkan, bahwa di Filipina juga terdapat sejumlah madrasah. "Mereka juga punya sejumlah madrasah, cuma belum sebagus yang kita punya, baik sistem, kurikulum, guru maupun hasilnya," ucapnya seraya menjelaskan kedatangan
delegasi Filipina dipimpin Deputi Menteri Pendidikan Filipina Dr. Manaros Boransing. Untuk itu lanjutnya, Filipina ingin belajar dan memperoleh dukungan dari pemerintah Indonesia, terutama untuk meningkatkan kualifikasi guru-guru madrasah. Bagi mereka yang belum belajar S1, ada keinginan belajar ke Indonesia , selain itu ada juga guru dan kepala madrasah yang ingin belajar S2 di Indonesia. "Kita berjanji ingin mensupport mereka baik dukungan yang memberikan kemudahan juga ada bea siswa yang diberikan kepada guru-guru madrasah di Filipina yang ingin belajar ke Indonesia," kata Ali. Mengenai Peraturan Pemerintah nomor 55 tentang Pendidikan Agama dan Keagamaan, ia mengatakan, jika selama ini pesantren tradisional lulusannya belum diakui setara dengan lembaga pendidikan formal, maka dengan lahirnya PP itu secara resmi diakui setara sesuai dengan tingkatannya. Selain itu PP juga mewajibkan kepada pemerintah daerah untuk memberikan perhatian dan penanganan yang selama ini hanya dinikmati lembaga pendidikan non pesantren. "Dengan PP itu guru agama dan pesantren memperoleh dukungan daerah sama dengan dukungan kepada lembaga pendidikan yang sudah berjalan," kata Ali. Dalam menghadapi era globalisasi, Ali menekankan lulusan madrasah agar memiliki keunggulan kompetitif. Itulah mengapa agar lulusan madrasah ada ukuran minimal yang dikuasai misalnya bahasa asing seperti Bahasa Arab. Jadi untuk tingkat ibtidaiyah, tsanawiyah, aliyah seperti apa standar penguasaan bahasa itu, yang diukur berdasar standar. Kemudian dari segi pengetahuan sains dan tekonologi, sedang dibuat buku dari hasil lomba yang mengintegrasikan sains dengan warisan Islam dan nilai Islam. Misalnya Biologi, bagaimana Islam mengkonsep bab tentang itu. Ini diharapkan, meskipun siswa madrasah belajar materi yang sama tapi dia lebih tinggi karena mereka punya wawasan lebih luas dari siswa sekolah umum.
Namun demikian Dirjen Mohammad Ali berharap ada keseimbangan alokasi dana pendidikan dengan jumlah siswa madrasah. Hal itu ditujukan untuk memacu ketertinggalan kualitas pendidikan di madrasah dari pendidikan umum. Apalagi kenyataan bahwa jumlah siswa madrasah sekitar 20 persen dari total pelajar di tanah air mulai SD/Madrasah Ibtidaiyah, SMP dan Madrasah Tsanawiyah, serta SMA dan Madrasah Aliyah atau yang setingkat. Meski populasinya 20 persen, menurut Ali, proporsi dana untuk siswa madrasah masih belum seimbang. “Hanya sekitar tujuh persen,” ungkapnya. Sebagian besar dana dialokasikan ke Departemen Pendidikan Nasional. Dengan fakta itu, Muhammad Ali berniat membawa masalah ini ke DPR RI . Dasarnya, karena pendidikan di madrasah juga bagian dari sistem pendidikan nasional. “Seharusnya dari segi anggaran, alokasi dana yang diberikan kepada kami proporsional karena kami juga menjalankan sistem pendidikan nasional,” kata Ali lagi. Dia memaparkan dari total anggaran pendidikan nasional Rp 51 triliun, anggaran yang dialokasikan ke Depag di luar gaji guru hanya Rp 4,3 triliun. Padahal perbedaan antara Depag dan Diknas hanya departemen saja. Mohammad Ali lebih lanjut mengatakan, kualitas pendidikan madrasah masih berjuang mengikuti pendidikan umum. Sebanyak 8,5 persen lingkungan madrasah negeri sudah terstandardisasi dengan baik, namun pengelolaan di sektor swasta masih perlu pembenahan dalam rekrutmen guru dan kesesuaian latar pendidikan dan mata pelajaran yang dipegang. “Sebanyak 68 persen pengajar madrasah ibtidaiyah belum sarjana, sedangkan untuk madrasah tsanawiyah komposisinya 50 persen,” ujarnya.
Menata Perguruan Tinggi Sedangkan program pendidikan Islam di tingkat perguruan tinggi, Dirjen Mohammad Ali memaparkan, di tingkat ini pihaknya terus menata perguruan tinggi. Misalnya dengan melakukan lokakarya dengan para
rektor UIN (Universitas Islam Negeri) dan IAIN (Institut Agama Islam Negeri). Yang pertama untuk melakukan pembidangan ilmu pengetahuan. Karena sebagaimana kita ketahui bahwa UIN sekarang tidak hanya mengembangkan program studi ilmu agama saja selain itu juga mengembangkan program studi umum. Selain itu dalam pembidangan ilmu pengetahuan sekarang ini ada kerancuan. Misalnya, ekonomi syariah itu apa masuk fakultas syariah atau ekonomi. Oleh karena itu perlu dilakukan pembidangan keilmuan, tapi kita tidak intervensi, silahkan otonomi perguruan tinggi untuk melakukan itu. Cuma kita memfasilitasi. Selain itu kita mencba mengembangkan standar di perguruan tinggi. Sehingga lulusan UIN. IAIN maupun STAIN (Sekolah Tinggi Agama Islam Negeri) nantinya memiliki kemampuan yang sifatnya sangat potensial untuk bisa hidup di masyarakat dengan baik, bahkan kalau dia bersaing pun dia bisa memiliki keunggulan untuk dipersaingkan. “Contohnya ke depan, kita coba menata, setiap lulusan PTAIN (Perguruan Tinggi Agama Islam Negeri) dia harus mengusai dua bahasa asing, yaitu bahasa Arab dan Inggris. Yang kedua, dia mengusai ICT yang bersifat dasar bukan hanya untuk mengetikan tapi juga pemroses data seperti excel dsb, kemudian untuk berkomunikasi seperti menggunakan web dsb, mendowload informasi, kemudian dari segi keagamaan harus kuat, dia mampu membaca Alquran dengan fasih dan mengerti, bisa memahami artinya,” paparnya. Yang ketiga karena dia bahasa Arabnya fasih kan sudah bisa baca kitab-kitab. “Itu sebetulnya kiai di masyarakat hanya bisa baca kitab sudah jadi kiai, jadi lulusan UIN meskipun dari ekonomi misalnya, tapi tetap dia punya kemampuan dengan baik.” Kata Ali yang masih keluarga santri, anak seorang guru ngaji dan dari kecil belajar di sekolah maupun madrasah. “Saya juga belajar kitab-kitab kuning seperti Safinah, fathul qorib, taklim mutaalim,” tuturnya. Kemudian terakhir lanjutnya, mahasiswa diharapkan bisa melaksanakan praktek ibadah dengan baik
sehingga manakala terjun ke masyarakat disuruh khutbah bisa, meskipun lulusan kedokteran atau teknik. Kita harapkan lulusan UIN seperti itu punya keunggulan kompetitif. Kalau bersaing secara normal saja secara wajar pasti kalah, karena perguruan lain sudah lama mengembangkan program itu, sedangkan UIN baru. Apalagi IAIN baru, kalau tidak dibekali hal yang specifik yang bisa dijual ke masyarakat nah itu kalah persaingan. Untuk bisa bersaing harus melakukan, misalnya kalau di kirim ke Timur Tengah apakah dokter maupun insinyur itu bisa bersaing, bisa laku. Karena kalau bisa saja kalah dengan lulusan UI, tapi karena bisa bahasa Arab, Inggris bisa bersaing. Karena itu Dirjen Mohammad Ali meminta kepada pimpinan UIN se-Indonesia agar meninjau dan menyempurkan kembali bidang keilmuan, baik bidang ilmu keislaman maupun ilmu umum, pada setiap program studi atau prodi yang diajarkan di UIN. Selain itu, Dirjen juga meminta untuk meninjau kembali pemberian gelar akademik bagi sarjana S1, S2, dan S3 lulusan UIN. "Seperti diketahui, penamaan bidang keilmuan yang diajarkan di UIN masih banyak yang kurang tepat. Demikian pula dalam hal pemberian gelar akademik bagi lulusannya sebagaimana tercantum dalam Keputusan Menteri Agama (KMA) No 110 Tahun 1982," ujarnya. Karena itu, lanjutnya, KMA tersebut perlu disempurnakan sehingga baik UIN maupun lulusannya tidak mengalami kebingungan. Ia misalnya mencontohkan, bidang keilmuan Islam seperti perbankan syari`ah perlu dipertegas. Apakah berada di Fakultas Syari`ah ataukah di Fakultas Ekonomi. Sementara terkait dengan gelar akademik, peninjauan perlu dilakukan apakah masih perlu menggunakan label "I" (Islam) di belakang nama gelar itu atau tidak, seperti Sarjana Pendidikan Islam yang disingkat SPdI. "Saya menyilakan para rektor dan pembantu rektor bidang akademik untuk menyempurnakannya,” demikian Dirjen Mohammad Ali. (KS)
Curriculum Vitae: Nama : Prof Dr H. Mohammad Ali, M.Pd, MA Jabatan : Direktur Jenderal Pendidikan Islam Tempat & Tgl Lahir : Cirebon, 3 Juni 1953 Status : Menikah, Istri Dra Hj. Sumiati dan putra Pendidikan : Doktor (Dr) Pascasarjana IPB Bogor, 1999 Magister of Arts (MA) Univ of Pittsburgh, USA, 1990 Magister Pendidikan (M.Pd) IKIP Bandung, 1987 Sarjana Pendidikan (Drs) IKIP Bandung, 1979 Penghargaan : Satyalencana Karya Lencana 20 tahun. Tanda Kehormatan dari Presiden RI (2005) Karya Bhakti Satya. Tanda Kehormatan dari Rektor UPI (2001) Penulis Artikel Ilmiah Terbaik, penghargaan Rektor UPI (1995) Dosen Teladan, penghargaan Mendikbud (1992) Jabatan Akademik : Guru Besar Universitas Pendidikan Indonesia, Bandung Dekan Fakultas Ilmu Pendidikan Ketua Lembaga Penelitian UPI (2000-2004) Staf Pengajar Fak Ilmu Pendidikan UPI (1980-sekarang)