Antara Negara & Agama Negara Prof. Dr. H. Nasaruddin Umar, MA • • • •
Apa definisi Negara tentang agama? Apa definisi Agama tentang Negara? Siapa yang berhak mendefinisikan dan menentukan agama? Apa peran agama terhadap negara dan apa peran negara terhadap agama?
K
etika Presiden Perancis, Jacques Rene Chirac, menyatakan pembebasan sekolah dari simbolsimbol agama seperti jilbab, kippa, dan tanda salib, dengan alasan Perancis adalah negara sekuler, bukan negara agama atau memiliki agama resmi tertentu, maka langsung memicu protes keras di dalam masyarakat, terutama kalangan opposisi yang ingin memanfaatkan suara imigran muslim di Perancis. Fenomena jilbab bukan lagi fenomena agama tetapi sudah menjadi trend dan pilihan sadar yang sesuai dengan hak asasi manusia. Akan tetapi, Chirac kembali menuai protes ketika ia memberikan pernyataan belasungkawa berlebihan ketika wafatnya Paus Johannes Paulus II dan ia sendiri memimpin rombongan besarnya datang menghadiri pemakaman Paus di Roma. Kalangan opposisi menyerang Chirac dengan alasan yang sama: Perancis negara sekuler. Mengapa Chirag melarang penggunaan jilbab dan simbol agama lainnya tetapi pada sisi lain memberikan apresiasi besar terhadap kematian Paus, yang notabene Antara Negara & Agama Negara
seorang pemimpin agama tertentu, bukan pemimpin nation state. Ini suatu bukti perdebatan konseptual antara agama dan negara di dalam setiap negara selalu menjadi masalah aktual, apalagi pada negara yang dipadati oleh salahsatu penganut agama tertentu. Tema perdebatan yang sering muncul pada setiap negara ialah apa definisi dan persepsi negara tentang agama, dan apa definisi dan persepsi agama tentang negara; siapa yang berhak mendefinisikan agama dan negara; siapa yang menentukan kriteria sebuah agama atau bukan agama; sampai kepada perdebatan filosofis tentang apa sesungguhnya substansi agama, apakah wacana itu betul-betul murni ajaran agama atau hanya interpretasi agama? Seberapa jauh agama harus mencampuri urusan negara dan seberapa jauh pula negara harus mencampuri urusan agama? Agama dalam suatu negara tidak selamanya tampil sebagai faktor independen. Agama sering tampil sangat dependen terhadap negara dan bahkan agama terkadang menjadi alat legitimasi para penguasa. Persoalan akan menjadi lebih rumit jika persepsi "negara" yang dianut oleh suatu 1
bangsa (baca: Penguasa) mengikuti pola Hegel (1776-1831) yang menganggap negara sebagai penjelmaan jiwa mutlak, dan dalam upaya mencapai tujuannya tidak peduli harus mengorbankan maslahamaslahat pribadi. Seolah-olah negara mempunyai bahasa sendiri, budipekerti sendiri, pikiran sendiri, bahkan nilai-nilai agama sendiri. Bagi Hegel, negara adalah tujuan, bukan cara. Pribadi, keluarga dan masyarakatlah yang menjadi cara. Atas dasar ini Hegel menyusun falsafah nasionalisme, dimana loyalitas seseorang adalah untuk negara nasional yang teresusun di atas kondisi obyektif suatu bangsa. Rasa nasionalisme lebih kuat dari rasa cinta kepada kemerdekaan. Nasionalisme mengadopsi apa yang disebut dengan inner werkende Krafte, 'kekuatan dalam' yang bisa menggilas para penentangnya. Pola dialektik Hegel lebih mengedepankan principle of negation, ketimbang principle of identity, yang mengedepankan titik temu di antara perbedaan yang ada. Celakanya kalau konsep negara dan nasionalisme semacam ini berhadapan langsung dengan Islam, agama yang secara khusus memiliki konsep syari'ah, hukum-hukum yang mengatur mulai dari isi hati setiap orang sampai kepada masyarakat dan negara. Ketegangan konseptual sulit dalam hal ini sulit dihidari karena negara dan agama berkompetisi memperebutkan loyalitas indifidu dan Antara Negara & Agama Negara
masyarakat. Pemandangan ini sebenarnya pernah terjadi di Indonesia, terutama dalam akhir paroh pertama rezim Orde Baru, ketika Pak Ali Murtopo tampil sebagai arsitek politik Soeharto. Dalam masa ini, membicarakan eksistensi syari'ah bagaikan penuh dengan ranjau. Orang-orang harus ekstra hati-hati karena salah sedikit terjebak dalam perangkap isu SARA yang selalu dibayangi dengan akronim menakutkan, seperti subversif, fundamentalisme, komando jihad, ekstrim kanan, black list, dan berbagai ancaman lainnya dari Kopkamtib, suatu institusi yang mempunyai kewenangan besar untuk menangkap orang tanpa melalui proses hukum normal. Negara Agama Negara agama ialah negara yang menjadikan salahsatu agama sebagai hukum dasar dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Misalnya di beberapa negara Islam, seperti Saudi Arabia, Kuwait, Syiria, Yordania, Emirat Arab, Marocco, Brunei Darussalam, Republik Islam Iran, Republik Islam Pakistan, dan sejumlah negara teluk lainnya. Meskipun sama-sama mengklaim diri sebagai negara Islam tetapi konsep makro dan mikro negara-negara tersebut tidak identik satu sama lain. Ada yang menganut pola pemerintahan kerajaan dan ada pola pemerintahan republik yang 2
demokratis. Bagi mereka, disebut apa saja sistem pemerintahan itu, yang penting Al-Qur'an dan Hadis tetap menjadi kunstitusi tertinggi di dalam negara maka tetap dapat dikatakan sebagai negara Islam. Agama Negara Ada negara yang tidak secara eksplisit mengklaim diri sebagai negara agama tertentu, tetapi mengklaim Agama tertentu sebagai agama resmi negara. Bedanya dengan negara Islam, negara ini tetap tidak ingin diklaim sebagai negara agama. Fungsi agama yang disebut sebagai agama resmi negara ini lebih kepada kepentingan seremonial, karena hukum dan perundang-undangan yang berlaku di negera ini tidak sepenuhnya seperti tercantum di dalam kitab suci agama tersebut. Proses pembentukan hukum dan perundang-undangan lebih banyak ditentukan melalui proses demokratis yang mengakomodir berbagai varian yang ada di dalam masyarakat. Namun demikian segala produk hukum diupayakan tidak bertentangan prinsip dasar dari ajaran agama resmi tersebut. Contoh negara seperti ini ialah Malaisia, sebagaimana dituangkan dalam Konstitusi Malaisia dalam pasal 3 ayat 1: "Agama Islam adalah agama resmi bagi perseketuan; tetapi agama-agama lain boleh diamalkan dengan aman dan damai dimana-mana bahagian persekutuan”. Kehadiran Islam sebagai agama resmi Antara Negara & Agama Negara
Malaisia tidak menafikan agamaagama lain sebagaimana disebutkan dalam pasal 11 ayat 1: " “Setiap orang mempunyai hak untuk menyatakan dan mengamalkan agamanya, tertakluk pada klausul (4) untuk menyebarkannya”. Negara Sekuler Agak sulit mendefinisikan sebuah negara sekuler kalau yang dimaksud negara sekuler itu negara yang memberikan pemisahan pengaturan agama dan negara. Sulit menemukan sebuah negara di kolom langit ini yang terbebas sama sekali dengan praktek keagamaan di dalam penyelenggaraan kenegaraan. Sesekuler apapun sebuah negara tetap saja praktek keagamaan selalu muncul dalam penyelenggaraan kenegaraan. Minimal pengambilan sumpah pejabat dilakukan sumpah menurut ajaran agama yang dianut pejabat yang bersangkutan. Hampir semua lagu kebangsaan di negara-negara Eropa dan Amerika menyebut nama Tuhan. Amerika Serikat sendiri masih terus mewajibkan lagu-lagu pujian terhadap Tuhan pada murid-murid sekolah. Namun jika yang dimaksud negara sekuler ialah negara yang menghindari kerancuan antara negara dan agama lalu urusan pemerintahan diberikan kepada para pemerintah khususnya kepada pihak eksekutif, sementara agama diserahkan pengaturannya kepada pemimpin agama, maka negara-negara seperti ini 3
dapat ditemukan di mana-mana, bukan saja di dalam negara-nagara mayoritas penduduknya non-muslim, seperti di Eropa dan Amerika, tatapi juga di negara-negara muslim, seperti Turki yang semenjak dipimpin oleh presiden pertamanya, Mustafa Kemal Attaturk (1881-1930) sampai sekarang tetap mengklaim negaranya sebagai negara sekuler. Bagaimana dengan Indonesia Indonesia bukan negara agama, bukan pula negara yang mengakui adanya salahsatu agama resmi, dan tentu saja bukan negara sekuler. Indonesia adalah negara Pancasila dimana semaua agama dan masingmasing pemeluknya diperlakukan sama sebagai warga negara Indonesia. Tidak ada agama ekslusif yang harus lebih dominan di antara agama-agama lainnya, sekalipun di antaranya ada agama mayoritas mutlak dianut oleh warganya. Pemisahan urusan negara dan urusan agama tidak otomatis menjadikan negara itu negara sekuler. Sebaliknya keterlibatan negara di dalam mengurus agama tidak otomatis pula menjadikan negara itu sebagai negara agama. Negara Republik Indonesia menempatkan substansi dan nilai-nilai agama di dalam kehidupan berbangsa dan bernegara amat penting, sebagaimana tercantum di dalam sila pertama Pancasila dan di dalam alinea-alinea Pembukaan UUD 1945. Baik umat Antara Negara & Agama Negara
Islam sebagai penganut mayoritas di negeri ini maupun penganut agamaagama minoritas lainnya tidak merasa ada hambatan berarti di dalam mengamalkan ajaran agamanya. Mereka sama-sama merasa memiliki bangsa ini di bawah panji NKRI. Jaminan kebebasan beragama bagi semau pemeluk agama diatur di dalam UUD Negara RI tahun 1945, khususnya dalam pasal 28E, pasal 28I, pasal 28J, dan pasal 29 dan diperkuat dengan sejumlah produk perundang-undangan lainnya. Namun di dalam mengamalkan agama ada rambu-rambu yang harus ditaati semua pihak agar tidak terjadi persinggungan satu sama lain yang bisa menyebabkan rusaknya persatuan dan kesatuan bangsa. Agama adalah bagian dari hak asasi manusia, namun pengamalannya di setiap negara dibatasi oleh konstitusi dan perundang-undangan demi tercapainya tujuan negara. Lahirnya UU No. 1/PnPs/1965 dimaksudkan untuk mengatur pencegahan penyalahgunaan dan/atau penodaan agama jo. UU No. 5 Tahun 1969 yang mengatur Pernyataan Berbagai Penetapan Presiden dan Peraturan Presiden sebagai UndangUndang, dimaksudkan untuk melindungi penodaan dan penyimpangan terhadap pokok-pokok ajaran suatu agama. Jadi tidak boleh ada orang atas nama HAM yang secara sengaja dan terbuka menyatakan penodaan dan penistaan 4
suatu ajaran agama tertentu. UU ini tidak mengatur akidah atau keyakinan warga tetapi menyelesaikan persoalan yang muncul sebagai akibat penodaan dan penistaan ajaran suatu agama. Hal yang harus ditumbuhkan sebagai warga negara dan sebagai umat beragama di dalam wilayah NKRI ialah kedewasaan dan kematangan beragama, berbangsa, dan bernegara. Semua pihak harus menghindari cara-cara anarkis di dalam menyelesaikan setiap persoalan, tetapi pada sisi lain semua pihak juga harus taat terhadap hukum dan perundang-undangan yang berlaku di Indonesia, tidak terkecuali Jamaat Ahmadiyah Indonesia (JAI). Nasaruddin Umar
Antara Negara & Agama Negara
5