Published on Universitas Negeri Yogyakarta (https://uny.ac.id) Home > Prof. Dr. Husein Haikal, MA
Prof. Dr. Husein Haikal, MA Submitted by humas on Tue, 2015-02-03 12:21
KERAGAMAN DAN KESATUAN Saat penyaji masih asyik menekuni kuliah, selain aktif dalam Drama Study Club, harus membantu aneka kegiatan di jurusan terutama saat melakukan kuliah lapangan seperti saat berangkat ke Trowulan aneka petilasan candi lainnya. Penyaji juga diminta mengkoordinasi praktik mengajar pada 1968 dan memberi kuliah Sejarah Barat saat menyelesaikan doktorandus dan dalam masyarakat menggiatkan pengajian tanpa lupa menyiapkan diri sebagai guru di SKKA Adhi Dharma dan kesempatan mengajar di SMA II Muhammadiyah. Beruntung beberapa anak didik penyaji menjadi guru atau dosen di antaranya Prof. Azwar Maas dan Prof. Dr. Saifuddin Azwar. Penyaji terbiasa juga membaca aneka artikel atau buku berkait dengan agama, sastra, dan sejarah, serta beberapa di antaranya dikaji lebih jauh serta disajikan sebagai artikel yang diterbitkan di surat kabar seperti Abadi, Kiblat, Masakini, Sinar Harapan, dan Suara Muhammadiyah. Sajian yang lebih serius disajikan di Akademika, Cakrawala Pendidikan, Informasi, Islamic Studies, al Jamiah, Jebat, Jurnal Ilmiah Jumpa, Jurnal Islamiyyat, Jurnal Pendidikan dan Kebudayaan, Millah, MIIPS, Majalah Ilmiah Ilmu Pengetahuan Sosial, Ulumul Qur’an, dan Unisia. Wajarkah penyaji terpaksa tersenyum
membaca sajian berikut ini. Islam yang merupakan vox Dei, berhadapan dengan demokrasi yang mengagungkan vox populi. Daulat Tuhan vis a vis daulat umat. Sesungguhnya, asas-asas demokrasi dalam formatnya yang awal (sampai Bill of Rights ) juga merupakan nilai-nilai utama dalam Islam—sebagiannya tercermin dengan indah di dalam silaturahmi Idul Fitri, ritual salat dan haji. Tetapi Islam selalu dipersepsi sebagai “anti demokrasi” melalui contoh-contoh yang ekstrem: kaum perempuannya dieksploitasi dan ditindas (poligami dan jilbab), ketidakadilan (hak waris), memiliki hukum yang kejam (potong tangan, rajam, dan pancung), tidak toleran (melarang perkawinan antar agama, yang meninggalkan agama Islam wajib dibunuh, non-muslim dianggap kafir), haus darah/teroris (jihad). Kekhasan Islam yang selalu diberi lukisan memprihatinkan dan merupakan warisan penjajahan Barat apakah akan terus dilestarikan? Aneka kebaikan atau keberhasilan yang terjadi biasanya dijauhkan dari Islam. Tetapi apapun kerja naïf, atau kelemahan dan pandangan seseorang bila ber-KTP Islam selalu dikaitkan serba miring dan negatif dengan Islam. Memang telah terjadi penyesatan opini yang berlangsung cukup lama dan dilancarkan secara sistematis. Bagi yang berminat seyogianya membaca karya Adian Husaini, Penyesatan Opini. Bahkan peran beberapa negara Barat, dan terutama AS, cukup besar pula, lebih-lebih lagi berkaitan dengan tuduhan dan penangkapan kaum ‘teroris’. Tampaknya pemerintah Indonesia hampir tak berdaya menghadapi tekanan AS. Termasuk tuduhan, penangkapan, dan pemenjaraan bahkan penembakan para ‘teroris’, antara lain penahanan Abubakar Baasyir. Untuk lebih jelasnya tolong dikaji sajian berikut ini. Hambali yang disebut Pemerintah Singapura diidentifikasi bernama asli Riduan Isamuddin. Dikabarkan, pria ini warganegara Indonesia dan menjadi teman dekat Al-Ghozi saat menempuh pendidikan Pesantren Al-Mukmin, Ngruki, Solo, Jawa Tengah. Pemerintah Singapura menandai Hambali sebagai anggota Jamaah Islamiyah yang punya hubungan dengan pemimpin Al-Qaeda, Osama bin Laden. Sebegitu jauh, tuduhan yang dilontarkan ke sejumlah individu muslim itu belumlah bisa dibuktikan. Namun, berdasar undang-undang keamanan “negeri singa” itu, pemerintah punya hak untuk menahan orang, sekalipun tanpa proses pembuktian terlebih dahulu. Karena alasan terorisme pula, pemerintahan Bush menahan ribuan mus-lim yang dicap sebagai anggota jaringan Al-Qaeda di Amerika, Bush tak peduli terhadap protes warganya, bahwa aksi penahanan itu telah melanggar hak asasi manusia dan demokrasi. Karena itu, Abubakar Baa’syir pun cepat-cepat mengibarkan bendera perlawanan. Kiai yang di zaman Suharto mengungsi ke Malaysia ini mengatakan, tuduhan bahwa dirinya bagian dari Al-Qaeda tidak berdasar. Menurut dia, apa yang disebut pengakuan Faruq merupakan rekayasa Amerika Serikat. “Saya tidak kenal Al-Faruq. Saya tahu dia juga dari pemberitaan koran,” kata kiai berjenggot dan rambutnya telah memutih itu kepada Kastoyo Ramelan dari Gatra.
Selanjutnya penyaji meraih beasiswa A1 LPPD IKIP Bandung pada 1974. Beruntunglah penyaji dapat mata kuliah Filsafat Pendidikan yang disajikan Romo Hoofstede dari Universitas Parahiyangan. Terbiasa penyaji diboncengkan Vespa biru oleh Romo Hoofstede, terutama kali pertama berkunjung ke berbagai pondok. Romo terkesan dengan makalah yang ditulis berkait dengan pondok dan berpesan agar dilanjutkan kajian pondok sebagai self community development yang mandiri serta mampu meraih beragam prestasi. Usai program A1, penyaji meraih beasiswa Fulbright, berlanjut mendapatkan beasiswa USAID, dan Ford Foundation serta kuliah di Kansas University di Lawrence. Saat di Duquesna University di Pittburgh, penyaji memahami kekhasan Katholik dan Duquesne mampu bertahan sebagai universitas Katholik berhadapan dengan budaya khas AS berupa WASP, White Anglo Saxon Protestant. Salah satu korbannya adalah Presiden John F. Kennedy. Terakhir penyaji kuliah di University of Hawaii at Manoa Honolulu untuk program Ph.D. Hanya saja suasana di tanah air memaksa penyaji balik ke Yogya setelah 5 tahun belajar di LN. Beruntunglah dengan beasiswa TMPD penyaji menyelesaikan S3 di UI, Universitas Indonesia, Jakarta. Bolehkah ini dikenalkan sebagai satu contoh keragaman menjadi kesatuan. Bagaimana suasana perguruan tinggi masa itu? Pada mulanya belajar di perguruan tinggi cukup murah, bahkan tidak dipungut biaya kuliah. Benar-benar cukup murah segala sesuatunya, termasuk bagi para pasien yang berobat. Bagaimana dengan yang sama-sama belajar? Biaya belajar benar-benar cukup ringan tapi penuh persaingan serta harus datang sendiri ke Yogya bila mau mendaftar ke UGM. Seseorang harus ke Semarang apabila mau mendaftar ke, Universitas Diponegoro. Pada tahun 1960-an UGM oleh masyarakat lebih dikenal sebagai Universitas Genius Mahasiswanya karena PTM, penempatan tenaga mahasiswa, yang mengajar di SMA berbagai pelosok tanah air berbekal ijazah kandidat yang murah tanpa biaya kuliah. Contoh mudahnya mahasiswa baru Universitas Gadjah Mada pada tahun 1963/4 hanya dikenai biaya sebanyak Rp. 400 rupiah untuk setahun tanpa dikenai biaya kuliah sepeserpun, saat itu sedolar hanya Rp. 315. Untuk mudahnya biaya yang dipungut terinci atas Uang Iuran Dewan Mahasiswa [BEM] Rp. 75,-, Uang Iuran Jajasan Universitas/Fak Rp. 75,-, Uang Iuran pelantikan [ospek] Rp.150,-, Uang meterai Rp. 3,-, Uang PMI Rp. 10,- dan Uang ongkos administrasi, meterai. dll Rp. 87,-. Saat itu terbiasa para mahasiswa kuliah di Pagelaran serta di aneka bangunan milik HB IX, kerabat beliau, dan para pangeran pada umumnya. Bagi yang membaca buku sejenis Tahta untuk Rakyat, terasa demikian menyentuh riwayat hidup dan aneka tindakan HB IX. Serba kenyataan ini tercermin pada saat genting, di mana para mahasiswa pendatang merasa tidak aman. Keadaan genting saat menjelang Gestapu terasa aman dan nyaman karena HB IX menyatakan dengan tegas semua adalah rakyatnya. Dengan pernyataan tegas dan bijaksana tersebut semua diuntungkan, apalagi para mahasiswa. Sajian buku dan perilaku semua ini benar-benar berarti, apalagi HB IX mengamalkan hamengku, hamangku, hamengkoni yang bermakna sebagai berikut. Hamengku, artinya sebagai seorang pemimpin Sri Sultan HB IX niscaya melindungi seluruh rakyat secara adil tanpa membeda-bedakan golongan, keyakinan, dan agama. Hamangku (berbudi bawa laksana), artinya sebagai seorang pemimpin Sri Sultan HB IX berkewajiban untuk membesarkan hati pada seluruh rakyatnya untuk lebih banyak memberi dari pada menerima. Hamengkoni, artinya sebagai seorang pemimpin Sri Sultan HB IX berkewajiban memberikan teladan bagi seluruh rakyatnya dan berdiri di depan untuk memikul
tanggung jawab dengan segala resikonya. Sejak orde baru terjadi proses pemantapan kapitalisme, dan pendidikan jadi ladang bisnis, akhirnya bangsa ini memakai cara berpikir Barat. Sejak lama salah seorang Proklamator dan Presiden pertama RI secara tegas telah menyatakan bahaya kapitalisme bagi Indonesia “bangsa jang dikoengkoeng oleh kapitalisme jang terpetjah-belah didalam kelas-kelas jang memoesoehi satoe sama lain, akan menoendjoekkan di dalam onderwijs [pengajaran]-nja semoea perpetjah-belahan” Bolehkah ini dikenalkan sebagai satu contoh keragaman menjadi kesatuan atau...? Akibatnya yang menggumuli dunia pendidikan asyik dengan masalah gender, BHP, Badan Hukum Pendidikan, serta yang sejenisnya dan yang utama adalah uang. Dengan ‘memungut’ uang dari para mahasiswa untuk segala kegiatannya, umumnya mahasiswa sekedar meraih gelar dan mengejar nilai bukan ilmu. Bangsa Indonesia makin terpilah karena beberapa kementerian membuat lembaga pendidikan sendiri seperti STAN atau IPDN. Tampaknya Depdiknas tidak dapat ’dipercaya’ dengan adanya sertifikasi dan sejenisnya. Bangsa Indonesia makin tergantung dengan IMF, international monetery fund, sementara pendidikan makin terabaikan, sehingga membawa kejatuhan orba. Apakah benar wujud penjajahan baru? Jelaslah telah terjadi perubahan pemerintahan dari orba ke orde reformasi tetapi kebijakan orba dalam banyak hal masih berlanjut serta belum ada usaha sungguh-sungguh untuk merubahnya demi kepentingan rakyat kebanyakan, dalam bidang pendidikan, kesehatan, dan terutama keamanan. Salah satu contoh keprihatinan guru berulang kali disajikan Kick Andy, contohnya nasib guru honorer 12 tahun di SDGMIY Nunuh Eno, Timor Tengah Selatan, Nusa Tenggara Timur. Asnat Bell (43 th), janda yang ditinggal suami wafat dengan tiga anak setiap bulan menerima 50 ribu, hanya cukup membeli 5 kg beras saja. Jangan tanya dengan aneka keperluan lain. Kenyataan khas ini banyak berlaku di berbagai tempat dan berlaku pada guru-guru yang lain. Wajarlah bercermin serba kenyataan memprihatinkan ini, ada yang ingin membantu untuk sekedar turut meringankan bebannya, tetapi timbul masalah lain: guna menambah penghasilannya, Asnat mengadakan les dan bimbingan belajar di luar sekolah. Tersentuh akan kehidupan Asnat, gerakan 1000 Guru yang diprakarsai Jemi Ngadiono memberikan bantuan sebesar Rp. 500 ribu. Namun, hal itu berujung ancaman pemecatan kepada Asnat. Kenyataan memprihatinkan ini terus berlangsung selama yang lebih berperan birokrasi dan akademisi dipinggirkan. Bolehkah ini dikenalkan sebagai satu contoh keragaman menjadi kesatuan? Dapat dipastikan dunia muram pendidikan Indonesia makin memprihatinkan. Tampak kekuasaan lebih berperan, bukan kemampuan seseorang tetapi kedekatan dengan para birokrat. Lebih parah lagi penghasilan seorang pendidik cukup memprihatinkan. Terbukti seorang pegawai bank dengan mobilnya mengajak seorang guru besar pergi ke berbagai tempat. Saat berangkat dia sempat berkata, “Hampir saya tidak percaya seorang profesor tidak punya mobil”. Dengan cepat ditimpali sang profesor, “Bukan saja tidak punya mobil, bahkan banyak guru besar tidak punya rumah. Dia selalu menjadi kontraktor, maksudnya kontrak dan kontrak dari satu rumah ke rumah yang lain sesuai dengan kemampuan keuangan yang dimilikinya.” Untuk lebih jelasnya lihat kalimat-kalimat berikut ini, “Saya masih ingat kalimat terakhir yang diucapkan oleh Dr. Soedjatmoko sebelum almarhum menghembuskan nafas penghabisan, yakni, ‘Masa depan dunia pendidikan kita sangat suram, disebabkan antara lain gaji guru yang rendah.’ Setelah mengucapkan itu almarhum terdiam sejenak, kemudian terkulai jatuh
dan meninggal dunia.” Ini salah satu misal keprihatinan seorang cendekiawan. Bolehkah hal ini dikenalkan sebagai satu contoh keragaman menjadi kesatuan. Cukup bermakna pula sajian seorang yang mulai perannya sebagai guru SMP, dan kemudian sebagai dosen dan mampu meraih Ph.D. serta menjadi Prof. dan dianugerahi beragam award seperti HB IX Award dan Magsaysay Award.
Pidato Pelepasan Guru Besar Prof. Dr. Husein Haikal, MA, Ruang Sidang Utama UNY, Rabu 17 Desember 2014 Source URL: https://uny.ac.id/rubrik-tokoh/prof-dr-husein-haikal-ma.html