Kerangka Acuan Konferensi Nasional II Public Interest Lawyer Network (PIL‐Net)
“Pembelaan Kepentingan Publik Sebagai Pilar Perlindungan HAM Dan Keadilan Sosial Bagi Rakyat“ Jakarta, 18 ‐ 20 Maret 2014 I. PENDAHULUAN Tahun 2011 merupakan tonggak sejarah dalam gerakan bantuan hukum di Indonesia. Pada tahun tersebut, diterbitkan UU No. 16 tahun 2011 tentang Bantuan Hukum yang menjadi pijakan dan perluasan akses masyarakat miskin atas bantuan hukum. Berdasarkan UU Bantuan Hukum tersebut, jaminan dan pemenuhan atas keadilan serta perwujudan hak konstitusional warga negara sesuai dengan prinsip persamaan kedudukan di dalam hukum dharapkan akan lebih terjamin dan meningkat. Melalui UU Bantuan Hukum, inisiatif pemberian bantuan hukum yang selama ini dikerjakan oleh masyarakat sipil dan lembaga‐lembaga bantuan hukum telah diakomodasi Negara dengan menyediakan dana bantuan hukum dan, juga menjadi landasan hukum bagi pembentukan Perda tentang Bantuan Hukum di daerah‐daerah. Sehingga akses masyarakat akan Bantuan Hukum akan menjadi lebih luas dan mendekati wilayah‐ wilayah yang minim Advokat. Permasalahannya, tujuan yang hendak dicapai melalui UU Bantuan Hukum tersebut ternyata belum sepenuhnya dapat tercapai. Masih banyak masyarakat miskin pencari keadilan yang menghadapi proses persidangan seorang diri tanpa didampingi pembela ataupun penasehat hukum. Hal ini diakibatkan oleh –salah satunya‐ masih minimnya pengacara‐pengacara yang mau menangani kasus‐kasus masyarakat miskin dan marjinal yang berhadapan dengan hukum. Sebagai contoh, catatan WALHI Kalimantan Tengah, di Kalimantan Tengah pada tahun 2013 saja terdapat 26 konflik perkebunan ditambah 5 konflik pertambangan, namun hanya terdapat 3 Pemberi Bantuan Hukum di sana yang sudah diverifikasi Kementerian Hukum dan HAM. Situasi ini diperparah dengan proses pembangunan dan pembuatan kebijakan yang mengabaikan hak‐hak warga negara. Proses pembangunan dan pembuatan kebijakan seringkali tidak menjadikan warga negara sebagai subyek utama yang harus terlibat dan dilibatkan. Sehingga, dampak pembangunan dan kebijakan tersebut lebih banyak menimbulkan efek negatif dibandingkan dengan manfaat yang diperoleh warga negara. Misalnya sejak tahun 2011, Pemerintah Indonesia telah membuat program Masterplan Percepatan dan Perluasan Pembangunan Ekonomi Indonesia (Masterplan for Acceleration and Expansion of Indonesia's Economic Development) dengan singkatan MP3EI. Program yang awalnya merupakan sebuah pola induk perencanaan ambisius dari pemerintah Indonesia untuk dapat mempercepat realisasi perluasan pembangunan ekonomi dan pemerataan kemakmuran agar dapat dinikmati secara merata di kalangan masyarakat, pada akhirnya telah mengakibatkan dampak negatif bagi masyarakat. 1
Pada 2013, United Nations Conference on Trade and Development (UNCTAD) menempatkan Indonesia pada peringkat ke‐4 dari 19 negara tujuan investasi terbaik di dunia. Hal ini tentu secara tak langsung memberikan signal bahwasanya aktivitas pembangunan yang mengatasnamakan kepentingan umum makin subur di Indonesia. Sekarang saja, dapat dilihat perampasan tanah‐tanah milik masyarakat dan intensitas konflik di wilayah‐wilayah yang menjadi titik pembangunan MP3EI dan pembangunan infrastrukturnya sebagai dampak yang terjadi sesaat setelah dilaksanakannya Program MP3EI. Demikian juga dengan pemberian ijin‐ijin lokasi dan konsesi untuk perusahaan‐ perusahaan perkebunan, tambang, dan hutan, telah mengakibatkan hilangnya akses dan hak‐hak hidup masyarakat lokal dan masyarakat hukum adat. Beberapa konflik agraria telah muncul berkenaan dengan pelaksanaan MP3EI ini diantaranya: kasus PT DH Energy dan PT. Pendopo Energi Batubara, KPI Sei Mangke, Merauke Integrated Food and Energy Estate (MIFEE) di Papua, PLTU Batang Jawa Tengah, PT Bukit Asam‐perluasan Bangko Tengah, Pertambangan di Sulawesi, dan Smelter di Kalimantan Selatan, kasus perluasan Pelabuhan Tanjung Emas Semarang, dan kasus pembebasan lahan untuk pembangunan jalan tol Semarang‐Solo. Selain persoalan yang ditimbulkan MP3EI, dalam konteks pembangunan perkebunan dan pengelolaan sumber daya alam lainnya, Pemerintah mengalokasikan lahan hutan, laut, sungai dan tanah untuk diberikan dan dieksploitasi kepada para investor. Sebagai akibatnya, makin banyak sumber daya alam yang telah diserahkan Negara kepada pebisnis (korporasi, pengusaha perkebunan). Di sektor perkebunan kelapa sawit saja, Pemerintah Indonesia telah menghabiskan lahan hampir 12.297.759 Ha, dari keseluruhan luasan kebun yang ada di Indonesia saat ini, berada dalam penguasaan 2.000 (dua ribu) perusahaan dan dikontrol oleh 30 (tiga puluh) holding company. Dalam proses ini, tampak sekali adanya koalisi (kolusi) antara Negara dan Pengusaha untuk mendukung pembangunan dan proteksi terhadap perusahaan‐perusahaan besar, antara lain melalui berbagai fasilitas dan kemudahan yang diberikan. Untuk mengatasi dan merespon permasalahan‐permasalahan di atas, telah banyak upaya‐ upaya yang dilakukan oleh masyarakat sipil, salah satunya melalui pembentukan Jaringan Pengacara Publik (Publik Interest Lawyer Network) pada pertengahan 2006. Jaringan Pengacara ini dibentuk dalam rangka mencari, menemukan dan mengembangkan Pengacara‐pengacara yang secara sukarela mendedikasikan dirinya atau menyumbangkan waktunya untuk membela dan menangani masalah‐masalah publik. Pada awalnya terbentuknya Jaringan Pengacara ini diharapkan membantu masyarakat terpinggirkan/terpaksa harus menempuh jalur hukum (litigasi) dalam menyelesaikan permasalahan‐permasalahan yang dihadapinya. Namun, terbentuknya Jaringan Pengacara ini pun masih menyisakan rentang jumlah kasus dan advokat yang tak sebanding. Jaringan Pengacara Publik, telah mengadakan Konferensi yang pertama dan mendeklarasikan pendiriannya pada 5 Agustus 2010. Pada Konferensi tersebut telah 2
terbentuk jaringan yang lebih mapan dengan keanggotaan dan kepengurusan di sekretariat. Sekretariat ini telah berjalan baik, meskipun belum maksimal untuk mengkoordinasi dalam penanganan kasus dengan anggota‐anggotanya. Selama kepengurusan 2010‐2013, PILNET telah menangani banyak kasus yang berdimensi publik, khususnya di sektor perkebunan. Kasus‐kasus tersebut diantaranya terjadi di Kalimantan Barat, Kalimantan Tengah, Kalimantan Selatan, Sumatera Utara, Sumatera Selatan, Lampung, Jambi, di pulau Jawa di wilayah Jawa Tengah, Jawa Barat, Jawa Timur, kasus kebakaran hutan di Riau dan beberapa kasus di wilayah lainnya yang masih kekurangan Pengacara Publik. Selain itu, Jaringan Pengacara Publik (PIL‐Net) telah berkontribusi dalam advokasi kebijakan yang diperkirakan akan mempengaruhi kehidupan masyarakat, seperti advokasi Judicial Review UU Perkebunan, UU Sisdiknas, KUHAP, UU Mahkamah Agung dsb. Dalam rangka memperkuat dan merencanakan kembali pendampingan dan pengembangan kelembagaan PILNET, maka Jaringan Pengacara Publik (PIL‐NET) akan mengadakan Konferensi Nasional Pengacara Publik yang kedua dengan tema “Public Interest Lawyering sebagai pilar perlindungan HAM dan keadilan sosial bagi rakyat”. II. TUJUAN DAN CAPAIAN Konferensi Nasional Jaringan Pengacara Publik (PIL‐Net) bertujuan untuk memecahkan dan menemukan solusi terhadap permasalahan‐permasalahan yang dihadapi dalam rangka pelayanan pembelaan hak‐hak masyarakat yang terpinggirkan, serta dalam rangka mengembangkan Jaringan Pengacara Publik. Ke luar: Meluaskan peran Jaringan Pengacara Publik sebagai bagian gerakan advokasi rakyat; Ke dalam: 1. Meningkatkan kapasitas kelembagaan Jaringan Pengacara Publik (PIL‐Net); 2. Meningkatkan kapasitas Jaringan Pengacara Publik (PIL‐Net) dalam melakukan pelayanan hukum dengan pertukaran pengalaman advokasi; 3. Menyiapkan program‐program strategis Jaringan Pengacara Publik (PIL‐Net); 4. Membentuk kembali kepengurusan dan kesekretariatan yang mendukung kerja‐ kerja yang dilakukan Jaringan Pengacara Publik (PIL‐Net). Capaian : 1. Meningkatkan sosialisasi keberadaan Jaringan Pengacara Publik (PIL‐Net); 2. Terwacanakannya peran Public Interest Lawyer sebagai bagian gerakan advokasi rakyat; 3. Tersusunnya program strategis yang mendukung peningkatan kapasitas kelembagaan dan anggota Jaringan Pengacara Publik (PIL‐Net) dalam melakukan pembelaan atas hak‐hak masyarakat marjinal; 4. Terpilihnya kepengurusan dan kesekretariatan yang mendukung kerja‐kerja yang dilakukan Jaringan Pengacara Publik (PIL‐Net). III. KEGIATAN 3
Pada Konferensi Nasional Jaringan Pengacara Publik terdapat dua kegiatan besar yang akan dilakukan, yakni: Seminar Nasional dan Konferensi Nasional Jaringan Pengacara Publik (PIL‐Net). 3.1 Seminar Nasional Penyelenggaran Seminar Nasional dalam konferensi ini bertujuan menggali dan mendialogkan kembali permasalahan kebijakan negara yang memiliki dampak buruk terhadap masyarakat, sehingga dapat kembali mendorong gerakan advokat untuk kepentingan publik dan kontribusinya dalam pemajuan dan perlindungan hak asasi manusia. Seminar ini memilih tema: “Menggugat Kebijakan Negara Yang Pro Pasar dan Praktik Buruk Korporasi“. Keynote Speech: Prof. Achmad Sodiki Narasumber: 1. Dr. Andrinof A. Chaniago (Pengajar Univ. Indonesia) “Dampak Politik Hukum Pembangunan Nasional” 2. Dr. Maruarar Siahaan (Rektor Univ. Kristen Indonesia) “Cermin Pengadilan Dalam Penanganan Kasus‐Kasus Publik” 3. Dr. Bambang Widjojanto (Wakil Ketua KPK) “Pemberantasan Korupsi di Sektor Sumber Daya Alam“ 4. Wahyu Wagiman, SH. (Koordinator PIL‐Net) “Tantangan Proses Litigasi Melawan Korporasi” Moderator: Maria Louisa Seminar ini diharapkan dapat memberikan gambaran utuh bagaimana keberpihakan negara atas pasar dapat memberikan dampak buruk dalam pembangunan manusia. Sehingga kemudian, dapat memetakan peran advokat yang melakukan pembelaan publik. 3.2 Konferensi Nasional Jaringan Pengacara Publik (PIL‐Net) Konferensi akan membahas mengenai berbagai hal yang berkaitan dengan organisasi dan kelembagaan Jaringan Pengacara Publik (PIL‐Net), seperti pengesahan AD/ART, pengesahan program strategis, penyusunan struktur dan jobdesk badan pengurus, penyusunan kode etik dan hukum acara sidang etik dan hal lain yang berkaitan dengan keberadaan dan keberlangsungan Jaringan Pengacara Publik. Demi mempermudah pelaksanaan konferensi, sebelumnya telah diselenggarakan pertemuan pra konferensi, dan pembentukan task force yang bertugas mengamandemen Statuta, menyusun draft program strategis, job desk badan pengurus, draft kode etik dan hukum acara dan berbagai yang berkaitan dengan keberadaan dan keberlangsungan Jaringan Pengacara Publik; IV. PESERTA Peserta Konferensi ini terdiri dari : 4
1. Seminar Nasional Seminar nasional akan diikuti oleh peserta berbagai kalangan seperti perwakilan lembaga‐lembaga Negara, praktisi, aparat penegak hukum, media massa, akademisi, mahasiswa, korban dan kelompok masyarakat yang concern terhadap public interest lawyers. 2. Konferensi Nasional Public Interest Lawyers (PIL‐NET) Peserta Konferensi PIL‐Net adalah anggota PIL‐Net dan peninjau. V. WAKTU & TEMPAT Konferensi Nasional Jaringan Pengacara Publik ini akan dilakukan selama tiga hari, yaitu pada: Hari, tanggal : 18‐20 Maret 2014 Tempat : Hotel Ibis Tamarin, Jakarta Pusat Waktu : 09.00‐20.00 wib VI. PELAKSANA KEGIATAN Konferensi Nasional ini dilaksanakan oleh Kepanitiaan Konferensi Pengacara Publik Indonesia (terlampir) dengan didukung oleh ELSAM, Sawit Watch, HuMa, dan WALHI. Steering Committee: 1. Abdul Haris Semendawai, SH., LL.M. 2. Abetnego Tarigan 3. Andiko Sutan Mancayo, SH., MH. 4. Indriaswati Dyah Saptaningrum, SH., LL.M. 5. Jefri Gideon Saragih Ex‐officio: Wahyu Wagiman, SH. Organizing Committee: Ketua: Andi Muttaqien Wakil Ketua: Sinung Karto Sekretaris: Edi Sutrisno Anggota: Adiani Viviani, Daywin Prayogo, Eep Saepulloh, Fatilda Hasibuan, Iki Dulagin, Kania, Maria Louisa, Melly Setiawati, Muhnur, Sandoro Purba, Siti Aminah Tardi, Syahrul Fitra, dan Muhammad Irwan VII. PELAKSANA KEGIATAN Konferensi Nasional ini dilaksanakan oleh Kepanitiaan Konferensi Pengacara Publik Indonesia (PIL‐Net) dengan didukung oleh ELSAM, Sawit Watch, HuMa, WALHI, ICW dan SILVAGAMA VIII. PENUTUP Demikian kerangka acuan ini kami susun sebagai bahan pertimbangan dalam pelaksanaan Konferensi Nasional Public Interest Lawyers Network (PIL‐Net).
5