Lokakarya Sistem Integrasi Kelapa Sawit-Sapi
PEMANFAATAN HASIL SAMPING INDUSTRI KELAPA SAWIT SEBAGAI BAHAN PAKAN TERNAK SAPI POTONG JENNY ELISABETH1 dan SIMON P. GINTING2 1
Pusat Penelitian Kelapa Sawit, Jl. Brigjen Katamso 51, Medan 20158 2 Loka Penelitian Kambing Potong, Sei Putih – Sumut ABSTRAK
JENNY ELISABETH dan SIMON P. GINTING. 2003. Pemanfaatan Hasil Samping Industri Kelapa Sawit Sebagai Bahan Pakan Ternak Sapi Potong. Industri kelapa sawit menghasilkan banyak jenis produk samping yang memiliki potensi besar untuk dimanfaatkan sebagai bahan pakan ternak ruminansia maupun non ruminansia. Beberapa jenis hasil samping yang potensial untuk digunakan sebagai bahan pakan adalah pelepah sawit (oil palm frond) yang diperoleh dari hasil pemangkasan pohon kelapa sawit, dan serabut mesokarp (palm press fibre), lumpur sawit (palm oil sludge), serta bungkil inti sawit (palm kernel meal) yang diperoleh dari pabrik pengolahan kelapa sawit. Untuk ternak ruminansia, pelepah sawit dapat digunakan sebagai bahan pengganti rumput, sedangkan lumpur dan bungkil inti sawit dapat digunakan sebagai bahan sumber protein dengan kandungan protein masing-masing 14,5 dan 16,3%. Hasil percobaan sementara yang dilakukan oleh Pusat Penelitian Kelapa Sawit bekerjasama dengan PT Agricinal-Bengkulu dan Loka Penelitian Kambing Potong, Sei Putih – Sumut menunjukkan bahwa pakan dengan komposisi pelepah sawit 60%, lumpur dan bungkil inti sawit masing-masing sebesar 18%, dan dedak padi 4%, merupakan jenis pakan yang cukup baik untuk sapi potong. Pertambahan berat badan harian rata-rata (average daily gain/ADG) yang diperoleh adalah sebesar 0,58 kg per ekor dan jumlah konsumsi pakan berkisar 8,6 kg per hari. Tingkat konversi pakan adalah sebesar 13,92. Kata kunci: Bungkil inti sawit, lumpur sawit, pelepah sawit, pakan ternak ABSTRACT JENNY ELISABETH and SIMON P. GINTING. 2003. Utilization of Oil Palm Industry By-Products as Feedstuffs for Beef Cattle. Oil palm industry produces several kinds of by-products that potential for using as feeding stuffs for ruminant and non ruminant livestock. The by-products are oil palm frond (OPF) from the oil palm plantation, and palm press fibre (PPF), palm oil sludge (POS), and palm kernel cake (PKC) from the palm oil mill. For ruminant, OPF can be used as grass substitute, whereas the POS and PKC can be used as protein source in its feed. The protein content in the POS and PKC is 14.5 and 16.3%, respectively. Study on utilization of OPF, POS, and PKC as feeding stuffs for cattle is undertaken by Indonesian Oil Palm Station Institute (IOPRI), PT Agricinal – Bengkulu, and Research Institute of Goat Production – Sei Putih, North Sumatera. Temporary results show that diet with 60% OPF, 18% POS, 18% PKC, and 4% rice bran is a good diet for cattle. The average daily gain (ADG) of the cattle was 0.58 kg per herd and the average daily feed intake was 8.6 kg per herd. The average feed conversion ratio was 13.92. Key words: Oil palm frond (OPF), palm kernel cake (PKC), palm oil sludge (POS), feed stuffs
PENDAHULUAN Perkebunan kelapa sawit di Indonesia mulai berkembang pesat sejak awal tahun 80-an dan saat ini kelapa sawit telah menjadi salah satu komoditas perkebunan yang berperan sangat penting dalam penerimaan devisa negara, penyerapan tenaga kerja, serta pengembangan perekonomian rakyat dan 110
Lokakarya Sistem Integrasi Kelapa Sawit-Sapi
daerah. Pada tahun 2002 luas perkebunan kelapa sawit di Indonesia telah mencapai 4,1 juta ha dengan produksi minyak sawit (crude palm oil, CPO) lebih dari 9 juta ton. Diperkirakan pada 2010 Indonesia akan menjadi produsen minyak sawit terbesar dunia dengan produksi CPO sebesar 15 juta ton/tahun. Pesatnya perkembangan kelapa sawit di Indonesia didukung oleh kondisi pedoagroklimatnya yang memang sangat sesuai untuk tanaman kelapa sawit, dan hal ini menjadi salah satu keunggulan komparatif Indonesia di industri kelapa sawit. Kelapa sawit juga memiliki keunggulan produktivitas yang lebih tinggi dibandingkan dengan sumber minyak nabati lainnya. Kelapa sawit dapat menghasilkan minyak sekitar 7 ton/ha, sedangkan kedelai menghasilkan minyak sebesar 3 ton/ha. Di samping itu, kelapa sawit juga memiliki biaya produksi yang lebih rendah dan ramah lingkungan. Di sisi lain, perkembangan populasi ternak ruminansia di Indonesia menunjukkan hal yang kurang menggembirakan, sehingga produksi daging dan susu nasional saat ini masih belum mampu memenuhi kebutuhan masyarakat. Salah satu faktor yang mempengaruhi terkendalanya pengembangan populasi ternak ruminansia di Indonesia adalah semakin terbatasnya lahan pertanian, baik sebagai basis pengembangan ternak maupun sebagai sumber pakan hijauan. Hal ini menuntut adanya pemanfaatan sumber daya alternatif yang mampu mendukung berkembangnya produksi ternak ruminansia di Indonesia. Hingga saat ini telah banyak hasil samping usaha pertanian yang dimanfaatkan sebagai bahan pakan, baik sebagai sumber energi maupun protein. Usaha perkebunan, termasuk kelapa sawit, ternyata juga menghasilkan banyak jenis produk samping yang memiliki potensi besar untuk dimanfaatkan sebagai bahan pakan. Beberapa jenis hasil samping yang potensial untuk digunakan sebagai bahan pakan ternak di antaranya adalah pelepah sawit (oil palm frond), serabut mesokarp (palm press fibre), lumpur sawit (palm oil sludge), dan bungkil inti sawit (palm kernel meal). Makalah ini memaparkan tentang kemajuan hasil penelitian yang telah dilakukan dalam memanfaatkan hasil samping industri kelapa sawit, yakni pelepah sawit, lumpur sawit, dan bungkil inti sawit, sebagai bahan pakan ternak sapi potong. Penelitian ini merupakan kerjasama antara Pusat Penelitian Kelapa Sawit, PT Agricinal-Bengkulu, dan Loka Penelitian Kambing Potong, Sei Putih – Sumut. HASIL SAMPING INDUSTRI KELAPA SAWIT SEBAGAI BAHAN PAKAN TERNAK Selain menghasilkan CPO sebagai komoditas utama, industri kelapa sawit juga menghasilkan beberapa jenis hasil samping yang potensial untuk digunakan sebagai bahan pakan ternak, yakni serabut mesokarp (palm press fibr/PPF), lumpur sawit (palm oil sludge/POS), dan bungkil inti sawit (palm kernel cake/PKC) yang diperoleh dari pabrik pengolahan kelapa sawit, serta pelepah sawit (oil palm frond/OPF) dan batang pohon sawit (oil palm trunk/OPT) yang diperoleh dari kebun kelapa sawit. Pada Gambar 1 ditampilkan tentang komposisi produk dan hasil samping dari sebuah pabrik kelapa sawit, sebagai gambaran tentang potensi pemanfaatan hasil samping pabrik kelapa sawit tersebut sebagai bahan pakan ternak. Penelitian penggunaan hasil samping industri kelapa sawit ini sebagai bahan baku pakan ternak sebenarnya telah lama dan cukup banyak dilakukan. Kandungan zat makanan dari beberapa jenis hasil samping industri kelapa sawit tertera pada Tabel 1 berikut.
111
Lokakarya Sistem Integrasi Kelapa Sawit-Sapi
Tandan Buah Sawit Segar (TBS)
Tandan kosong sawit (TKS) (23%)
Serat mesokarp (13%)
Inti sawit (5%)
Minyak sawit (20-22%)
Cangkang (7%)
Lumpur sawit (POS) (2%, BK)
Minyak inti sawit (PKO) (45-46%)
Bungkil inti sawit (PKM) (45-46%)
Gambar 1. Produk dan hasil samping dari pabrik kelapa sawit (Catatan: hasil samping yang terdapat dalam kotak merupakan bahan yang dapat digunakan untuk pakan ternak) Tabel 1. Kandungan zat makanan dari beberapa jenis hasil samping industri kelapa sawit (% bahan kering) Komponen
Pelepah sawit
Lumpur sawit
Bungkil inti sawit
Bahan kering
86,2
91,1
91,8
Protein kasar
5,8
11,1
15,3
Serat kasar
48,6
17,0
15,0
Ekstrak eter
5,8
12,0
8,9
Ekstrak bebas N
36,5
50,4
55,8
Abu
3,3
9,0
5,0
Kalsium
0,32
0,70
0,20
Fosfor
0,27
0,50
0,52
TDN
29,8
45,0
65,4
Energi kasar (MJ/kg)
4,02
6,52
9,80
Sumber : IDRIS et al. (1998)
112
Lokakarya Sistem Integrasi Kelapa Sawit-Sapi
Pelepah sawit dapat digunakan sebagai alternatif bahan pakan hijauan untuk ternak ruminansia dan umumnya digunakan pada pakan pemeliharaan (“maintenance feed”). Pelepah sawit dapat digunakan dalam bentuk utuh ataupun cacahan, tanpa mempengaruhi tingkat konsumsinya. Penelitian DAHLAN et al. (1993) menunjukkan bahwa jika hanya pelepah sawit (dalam bentuk utuh ataupun cacahan) yang diberikan sebagai (“maintenance feed”) pada kambing, maka terjadi penurunan berat badan sebesar 7,9% dalam waktu 30 hari. Namun apabila pelepah sawit diberikan dengan pencampuran pelet komersial, maka terdapat kenaikan berat badan sebesar 3,3% selama 30 hari pemberian. Daya cerna pakan ternak yang mengandung pelepah sawit dengan kisaran 10-40% cukup baik pada ternak domba dan kambing (DAHLAN et al., 1993 dan PURBA et al., 1995). Demikian juga halnya dengan pakan ternak yang mengandung lumpur sawit, di mana kandungan 10% pada ransum memberikan hasil yang terbaik untuk ternak domba (DALZELL, 1977). Peningkatan penggunaan pelepah sawit dan lumpur sawit dapat menurunkan daya cerna protein dan serat kasar, namun percobaan lain menunjukkan bahwa penggunaan campuran pelepah sawit dan lumpur sawit dengan rasio yang sama hingga 40% pada pakan ternak ruminansia memberikan performans yang cukup baik pula. Bungkil inti sawit merupakan bahan baku pakan ternak yang cukup potensial sebagai sumber protein dengan nilai biologis berkisar 61-80% (DEVENDRA, 1977). Meskipun kandungan protein bungkil inti sawit lebih rendah dibandingkan bahan baku pakan sumber protein lain, tetapi kualitas protein pada PKC relatif tinggi. Salah satu kelemahan dari bungkil inti sawit untuk digunakan sebagai bahan baku pakan ternak adalah nilai palatabilitasnya yang relatif rendah. Dengan kandungan serat yang lebih tinggi dibandingkan bahan pakan sumber protein lainnya, bungkil inti sawit kurang disarankan untuk digunakan sebagai bahan baku pakan ternak non ruminansia. Bungkil inti sawit telah digunakan hingga 30% sebagai bahan pakan sapi perah yang sedang dalam masa laktasi untuk pemenuhan kebutuhan energi dan protein (AHMAD dan OMAR, 1998). DEVENDRA (1977) telah melakukan percobaan penggunaan bungkil inti sawit sebagai sumber protein pada pakan ternak domba, yang dibandingkan dengan bahan baku sumber protein lain seperti dedak padi, bungkil kelapa, tepung ikan, bungkil kedelai, dan bungkil kacang tanah. Hasil penelitiannya menunjukkan bahwa tidak terdapat perbedaan yang nyata pada daya cerna energi dan bahan kering dari pakan ternak dengan bahan baku sumber protein yang berlainan tersebut. Daya cerna pakan dengan sumber protein bungkil inti sawit sebanyak 9-11%, bahkan lebih tinggi dibandingkan dengan dedak padi dan tepung ikan. STUDI PEMANFAATAN HASIL SAMPING INDUSTRI KELAPA SAWIT SEBAGAI BAHAN PAKAN TERNAK SAPI POTONG Pusat Penelitian Kelapa Sawit (PPKS), PT Agricinal – Bengkulu, dan Loka Penelitian Kambing Potong, Sei Putih – Sumut telah bekerja sama melakukan studi tentang pemanfaatan hasil samping industri kelapa sawit sebagai bahan pakan ternak sapi potong. Tiga jenis hasil samping industri kelapa sawit yang digunakan dalam percobaan ini adalah pelepah sawit, lumpur sawit, dan bungkil inti sawit, yang komposisi kimia dan nutrisinya tercantum pada Tabel 2. Terdapat 4 jenis formula pakan yang diuji, masing-masing dengan komposisi bahan baku seperti yang ditampilkan pada Tabel 3. Pelepah sawit digunakan sebagai bahan pakan substitusi rumput, yang divariasikan pemberiannya sebesar 30-60%, sedangkan lumpur sawit digunakan dengan variasi penggunaan 18-40% dan bungkil inti sawit sebesar 18-26%. 113
Lokakarya Sistem Integrasi Kelapa Sawit-Sapi
Pemberian pakan dilakukan sekali sehari dengan jumlah yang berbeda untuk masing-masing jenis pakan, yang dikalkulasi berdasarkan pemenuhan kebutuhan energi dan protein dengan tingkat yang sama untuk setiap kelompok jenis pakan. Kebutuhan protein dan energi yang menjadi dasar bagi perhitungan jumlah pakan yang diberikan pada ternak sapi masing-masing adalah 840 gr protein per ekor per hari dan 2950 Kal per ekor per hari. Pemberian pakan dilakukan tanpa pemberian rumput ataupun pakan konsentrat lainnya, dan jumlah pakan yang diberikan ditingkatkan jumlahnya rata-rata 0.5 kg setiap 2 minggu. Tabel 2. Komposisi nutrien dari pelepah sawit (bagian dalam), lumpur sawit, dan bungkil inti sawit yang digunakan pada percobaan Komponen
Pelepah sawit
Lumpur sawit
Bungkil inti sawit
Berat kering (%)
26,07
24,08
91,83
Protein kasar (%)
3,07
14,58
16,30
Serat kasar (%)
50,94
35,88
36,68
Lemak (%)
1,07
14,78
6,49
BETN (%)
39,82
16,36
28,19
Abu (%)
5,10
18,40
4,14
Kalsium (%)
0,96
1,08
0,56
Fosfor (%)
0,08
0,25
0,84
Energi kasar (Kal/g)
4841
4082
5178
Setiap jenis formula pakan dicobakan pada 10 ekor sapi muda (sapi Bali) dengan usia dan berat yang diupayakan seragam. Pakan diberikan dalam bentuk campuran antara lumpur sawit, bungkil inti sawit, dedak, urea, dan garam, serta diberikan bersama dengan pelepah sawit. Pemberian pakan dilakukan selama 12 minggu dengan pengamatan yang mencakup: (i) jumlah pakan yang dikonsumsi setiap hari, (ii) berat badan sapi yang diukur berdasarkan lingkar dada dan panjang badan sapi (rumus Schoorl), dan pengukurannya dilakukan setiap 2 minggu sekali, serta (iii) daya cerna pakan. Air minum untuk sapi selalu tersedia di dalam kandang. Hasil percobaan sementara menunjukkan bahwa secara umum keempat jenis pakan yang diuji cukup disukai oleh ternak sapi. Selama pemberian pakan, ternak sapi juga menunjukkan performans yang baik dan tidak mengalami gangguan pencernaan, seperti misalnya diare. Rata-rata jumlah pakan yang dikonsumsi selama pemberian 6 minggu disajikan pada Gambar 2. Pada 2 minggu pertama tingkat konsumsi pakan ternak sapi relatif rendah, dengan tingkat konsumsi rata-rata 53% dari total pakan yang diberikan. Hal ini lazim terjadi karena ternak sapi masih membutuhkan penyesuaian diri untuk mengkonsumsi jenis pakan yang berbeda dari yang biasa diperolehnya. Setelah minggu kedua, tingkat konsumsi pakan meningkat, tetapi umumnya ternak sapi tidak mampu menghabiskan pakan yang diberikan. Rata-rata jumlah pakan yang dikonsumsi pada minggu ke 4-6 berkisar 7-10 kg per ekor per hari. Tingkat konsumsi pakan tertinggi adalah pada jenis pakan F1 dengan komposisi bahan pakan utama pelepah sawit 60%, dan lumpur serta bungkil inti sawit masing-masing 18% (Gambar 3). Jenis pakan F4, dengan komposisi 30% pelepah sawit, 40% lumpur sawit, dan 26% bungkil inti 114
Lokakarya Sistem Integrasi Kelapa Sawit-Sapi
sawit, ternyata lebih disukai oleh ternak sapi dibandingkan jenis pakan F2 dan F3. Hal ini diduga berkaitan dengan palatabilitas dari bungkil inti sawit yang relatif rendah (DEVENDRA, 1977 dan SUKRI et al, 1987). Apabila diamati pada pemberian yang terpisah, ternak sapi paling suka dengan lumpur sawit, diikuti dengan pelepah dan bungkil inti sawit. Pada jenis pakan F4, penggunaan lumpur sawit adalah sebesar 1,54 kali jumlah bungkil inti sawit sehingga dapat meningkatkan palatabilitas dari pakan campuran, sedangkan pada jenis pakan F2 dan F3 digunakan lumpur dan bungkil inti sawit dengan perbandingan jumlah yang sama. Pada jenis pakan F1, meskipun perbandingan jumlah lumpur dan bungkil inti sawit yang digunakan adalah sama (18%), namun jumlah penggunaannya lebih sedikit dibandingkan dengan jenis pakan F2 dan F3. F2 menggunakan lumpur dan bungkil inti sawit masing-masing sejumlah 23%, sedangkan F3 masing-masing sejumlah 28%. Dengan jumlah penggunaan bungkil inti sawit yang lebih sedikit namun dengan jumlah penggunaan dedak padi yang sama untuk masing-masing jenis pakan, maka nilai palatabilitas pakan F1 dapat lebih tinggi dibandingkan F2 dan F3. Tabel 3. Komposisi bahan baku yang digunakan pada masing-masing jenis/formula pakan ternak sapi potong Jenis bahan baku
Formula 1
Formula 2
Formula 3
Formula 4
Pelepah sawit (%)
60
50
40
30
Lumpur sawit (%)
18
23
28
40
Bungkil inti sawit (%)
18
23
28
26
Dedak (%)
4
4
4
4
Urea (% dari jumlah pakan)
0,4
0,4
0,4
0,4
Garam (% dari jumlah pakan)
0,1
0,1
0,1
0,1
4760
4740
4720
4630
7,8
9,0
10,3
14,5
Kandungan energi (Kal/kg) Kandungan protein (%)
Gambar 2. Jumlah konsumsi pakan rata-rata per hari selama percobaan yang dikalkulasi setiap 2 minggu
115
Lokakarya Sistem Integrasi Kelapa Sawit-Sapi
400 350
Jumlah konsumsi pakan (kg)
300
a a
250
c a
d a
200
b a
150 100 50 0 F1
F2
F3
F4
Jenis pakan
Gambar 3. Jumlah konsumsi pakan untuk masing-masing jenis/formula pakan selama waktu pemberian 6 minggu (Perlakuan dengan notasi huruf yang berbeda menunjukkan perbedaan yang nyata pada tingkat α = 5%)
Pertambahan berat badan ternak sapi setelah pemberian pakan selama 6 minggu untuk masingmasing jenis pakan ditampilkan pada Gambar 4. Pertambahan berat badan tertinggi diperoleh pada sapi yang diberi jenis pakan F1 dan F4, diikuti dengan sapi yang diberi pakan F2 serta F3. Perbedaan pertambahan berat badan ini terjadi karena kandungan protein pada jenis pakan F4 adalah yang tertinggi (14,52%), sedangkan jenis pakan F1 memiliki kandungan energi yang paling tinggi di antara jenis pakan yang diuji. Perbedaan pertambahan berat badan ini juga berkaitan dengan jumlah pakan yang dikonsumsi. Kandungan protein pada jenis pakan F1 adalah yang terendah (7,85%), tetapi seperti yang telah dijelaskan sebelumnya bahwa jumlah konsumsi pakan F1 oleh ternak sapi adalah yang tertinggi. Jika dipandang dari aspek biaya, maka formula pakan F1 merupakan jenis pakan yang paling murah biayanya, dengan asumsi pelepah sawit diperoleh dari kebun sawit dan tidak perlu dibeli oleh petani/ peternak. Harga pembelian lumpur sawit adalah Rp 6,- per kg, sedangkan bungkil inti sawit Rp 350,- per kg. Kalkulasi jumlah pakan yang dikonsumsi, pertambahan berat badan, tingkat konversi pakan, dan biaya yang dikeluarkan untuk bahan lumpur sawit dan bungkil inti sawit tertera pada Tabel 4. Selain dibatasi oleh ketersediaannya, penggunaan bungkil inti sawit sebagai bahan pakan ternak sapi juga dibatasi oleh nilai palatabilitas dan harganya. Di sisi lain, penggunaan lumpur sawit hanya dibatasi oleh ketersediaannya karena harganya relatif murah dan disukai oleh ternak sapi. Namun pemberian lumpur sawit sebagai bahan pakan harus memperhatikan kandungan air atau bahan keringnya, yang harus diupayakan mengandung bahan kering lebih dari 75%. Penggunaan pelepah sebagai bahan pakan juga dibatasi oleh ketersediaannya, karena tidak semua hasil samping 116
Lokakarya Sistem Integrasi Kelapa Sawit-Sapi
pelepah yang diperoleh dari kebun sawit dapat digunakan. Pemanfaatan pelepah sawit sebagai bahan pakan ternak juga harus mempertimbangkan aspek keseimbangan bahan organik di kebun, di mana biasanya pelepah sawit dikembalikan atau disebar ke kebun untuk menjaga tingkat kesuburan tanah serta mendukung usaha perkebunan kelapa sawit yang berkelanjutan.
30
Pertambahan berat badan (kg)
25
a
a
a
a
20 15
b 10
a
b
a
5 0 F1
F2
F3
F4
Jenis pakan
Gambar 4. Pertambahan berat badan rata-rata ternak sapi dengan jenis/formula pakan yang berbeda setelah pemberian pakan selama 6 minggu (Perlakuan dengan notasi huruf yang berbeda menunjukkan perbedaan yang nyata pada tingkat α = 5%) Tabel 4. Performans ternak sapi dan kalkulasi biaya yang dikeluarkan untuk bahan lumpur sawit dan bungkil inti sawit Keterangan
Formula 1
Formula 2
Formula 3
Formula 4
361,9
267,6
306,6
328,8
Konsumsi pakan rata-rata per ekor per hari (kg)
8,6
6,4
7,3
7,8
Pertambahan berat badan selama 6 minggu (kg)
26
10
14
25
0,58
0,22
0,31
0,56
13,92
26,76
21,90
13,15
64,08
81,88
99,68
93,40
552,16
521,60
727,59
731,08
Jumlah konsumsi pakan selama 6 minggu percobaan (kg)
ADG per ekor (kg) Tingkat konversi pakan rata-rata (konsumsi/pertumbuhan) Biaya untuk lumpur dan bungkil inti sawit per kg (Rp) Biaya untuk lumpur dan bungkil inti sawit per hari per ekor (Rp)
117
Lokakarya Sistem Integrasi Kelapa Sawit-Sapi
KESIMPULAN Hasil samping industri kelapa sawit, yakni pelepah sawit dari kebun sawit, serta lumpur sawit dan bungkil inti sawit dari pabrik kelapa sawit dapat digunakan sebagai bahan pakan ternak sapi potong. Hasil percobaan sementara menunjukkan bahwa pakan F1 dengan komposisi pelepah sawit 60%, lumpur dan bungkil inti sawit masing-masing sebesar 18%, dan dedak padi 4%, serta pakan F4 dengan komposisi pelepah sawit 30%, lumpur sawit 40%, bungkil inti sawit 26%, dan dedak padi 4%, merupakan jenis pakan yang cukup baik untuk sapi potong. Namun dari aspek biaya, pakan F1 merupakan jenis pakan yang lebih ekonomis dibandingkan F4. Pertambahan berat badan harian rata-rata (“average daily gain”/ADG) yang diperoleh pada sapi yang diberi pakan jenis F1 adalah sebesar 0,58 kg per ekor dan jumlah konsumsi pakan berkisar 8,6 kg per hari. Tingkat konversi pakan untuk F1, yang merupakan perbandingan jumlah konsumsi pakan dan penambahan berat badan sapi selama percobaan 6 minggu, adalah sebesar 13,92. DAFTAR PUSTAKA AHMAD, S. dan MOHD. ARIFF OMAR. 1998. Research and development on livestock and tree crops integration dalam Proc. National Seminar on Livestock and Crop Integration in Oil Palm: “Towards Sustainability”. A. DARUS, M.T. DOLMAT dan S. ISMAIL (eds). 12-14 May 1998, Johor-Malaysia. DAHLAN, I., M.D. MAHYUDDIN, M.A. RAJION dan M.S. SHARIFUDIN. 1993. Oil palm frond leaf for preslaughter maintenance in goats. Proc. 16th MSAP Ann. Conf. pp. 78-79. DALZELL, R. 1977. A case study on the utilization of effluent and by-products of oil palm by cattle and buffaloes on an oil palm estate dalam Feedingstuffs for livestock in South East Asia. pp. 132-141. DEVENDRA, C. 1977. Utilization of feedingstuffs from the oil palm. Dalam: Feedingstuffs for livestock in South East Asia. pp. 116-131. IDRIS, MOH. S., A.F. MOHAMAD dan DAHLAN ISMAIL. 1998. Utilization of oil palm by-products as livestock feed dalam Proc. National Seminar on Livestock and Crop Integration in Oil Palm: “Towards Sustainability”. A. DARUS, M.T. DOLMAT dan S. ISMAIL (eds). 12-14 May 1998, Johor-Malaysia. PURBA, A. dan SIMON P. GINTING. 1995. Nilai nutrisi dan manfaat pelepah kelapa sawit sebagai pakan ternak. J. Penelitian Kelapa Sawit 5(3): 161-178. SUKRI, I. M., L. FAIRDA, H.A. YUSOF, S.W. YEONG dan C. ABU BAKAR. 1987. Nilai pemakanan bahan-bahan makanan ternakan di Malaysia 2 : Bahan sampingan perusahaan pertanian dalam Teknol. Ternakan, Jil. 3 (1187), pp. 47-58.
DISKUSI Pertanyaan: 1.
118
Lumpur sawit sangat disukai ternak (palatabilitasnya tinggi), tetapi mengandung banyak air (+ 76%). Dengan keadaan demikian tentunya akan ada kesulitan dalam penanganan dan penyimpanannya sebelum bahan tersebut diberikan pada ternak. Apakah pernah terpikirkan mencari suatu cara yang dapat mengatasi hal tersebut. Jika memang ada, cara apa yang perlu/dapat dilakukan.
Lokakarya Sistem Integrasi Kelapa Sawit-Sapi
Jawaban: 1.
Terdapat 2 pemikiran untuk mengurangi kadar air pada lumpur sawit, sehingga lumpur sawit dapat memiliki umur simpan yang lebih lama, yakni dengan: •
Proses pengeringan hingga kadar air lumpur sawit mencapai 25-30%. Namun perlu dikaji tentang pengaruhnya terhadap nilai palatabilitas dari lumpur sawit.
•
Modifikasi proses pemisahan lumpur pada unit alat separasinya di pabrik kelapa sawit. Beberapa industri pembuat alat separasi tersebut telah melakukan desain ulang untuk dapat memperoleh unit alat yang menghasilkan bagian padatan dengan kadar minyak dan kadar air minimal.
119