Seminar Nasional Teknologi Peternakan dan Veteriner 2007
SUATU KAJIAN PAKAN SIAP SAJI BERBASIS PRODUK SAMPING INDUSTRI KELAPA SAWIT UNTUK SAPI BUNTING (An Assessment of Complete Diet Based on Palm-Oil By-Products for Pregnant Cows) I-W. MATHIUS1, A.P. SINURAT1, D.P. TRESNAWATI1 dan B.P. MANURUNG2 1
Balai Penelitian Ternak, PO Box 221, Bogor 16002 2 PT Agricinal, Jl. Citarum 16, Bengkulu
ABSTRACT Previous study showed that the diet, almost all composed of palm oil by-products, can be used for growing cattle. However, very limited information are available for the use of palm-oil by-products (PSIKS) as a complete diet for pregnant cows. This assessment was conducted at PT Agricinal, North Bengkulu, using sixty heads of Bali pregnant cows. Cows were then assigned randomly to three experimental feeding rations (20 cows/treatment) in a complete randomized design for the last 3 months of gestation period. Experimental feeding treatments were: existing condition as control negative formula (R1), complete diet based on PSIKS (R2) and ration based on commercial feedstuffs (R3). The parameters recorded were: voluntary nutrient intake, average daily live weight change, apparent nutrient digestibility coefficients and body score measurements. Results showed that, there were no significantly different (P > 0.05) effect among treatments on nutrient intake as well as apparent digestibility coefficients (P > 0.05). However, average daily gain showed a significant difference (421 vs 640 vs 632 g) (P < 0.05) between cows fed existing formula and other assessed rations. There was no difference in live weight changes in cows on R2 and R3. This assessment also showed that no significant difference among treatments on body length and heart girth. Based on data found, it is recommended that a complete diet based on PSIKS can be used for pregnant cows. Key Words: Complete Diet, Palm-Oil By-Product, Pregnant Cows, Bali Cattle ABSTRAK Studi terdahulu menunjukkan bahwa ransum yang tersusun dari produk samping industri kelapa sawit (PSIKS) dapat dipergunakan sebagai pakan untuk pertumbuhan sapi. Akan tetapi sedikit informasi yang tersedia tentang penggunaan PSIKS sebagai bahan ransum lengkap untuk sapi bunting. Kajian dilakukan di PT Agricinal, Bengkulu Utara dengan menggunakan 60 ekor sapi Bali bunting. Sapi diacak secara random kedalam tiga ransum yang dipersiapkan (20 ekor/perlakuan) dalam rancangan acak lengkap selama tiga bulan akhir kebuntingan. Ransum perlakuan dimaksud adalah ransum yang biasa dilakukan sebagai perlakuan kontrol negatif (R1), ransum yang tersusun dari PSIKS (R2) dan ransum yang tersusun dari bahan pakan komersial (R3). Parameter yang diukur adalah konsumsi nutrien, rataan perubahan bobot hidup harian, koefisien kecernaan dan ukuran tubuh. Hasil kajian menunjukkan bahwa tidak ada perbedaan yang nyata (P > 0,05) antara perlakuan baik terhadap konsumsi, maupun terhadap kecernaan nutrien. Akan tetapi terdapat perbedaan terhadap rataan pertambahan bobot hidup harian antara sapi yang mendapat pakan tradisional dengan sapi yang mendapat ransum berbahan PSIKS dan ransum komersial (412 vs 640 vs 632 g). Rataan pertambahan bobot hidup harian antara sapi yang mendapat ransum berbahan PSIKS (R2) dan komersial (R3) tidak menunjukkan perbedaan yang nyata (P > 0,05). Hasil kajian juga menunjukkan tidak ada perbedaan terhadap panjang tubuh dan lingkar dada. Didasari pada data yang diperoleh dapat direkomendasikan bahwa PSIKS dapat dipergunakan sebagai bahan dasar pakan lengkap sebagai pengganti ransum yang umumnya tersusun dari bahan pakan komersial untuk sapi bunting. Kata Kunci: Pakan Siap Saji, PSIKS, Periode Bunting, Sapi Bali
51
Seminar Nasional Teknologi Peternakan dan Veteriner 2007
PENDAHULUAN Perbaikan potensi genetik ternak ruminansia besar (sapi/kerbau) lokal telah dilakukan dan sedang berjalan. Namun demikian untuk mencapai hasil yang diharapkan, yaitu tingkat produksi yang tinggi, maka perbaikan mutu genetik ternak, terutama kerbau/sapi potong harus diimbangi dengan perbaikan dan pola pemberian pakan yang memenuhi kebutuhan ternak (JALALUDIN et al., 1991). ZARATE (1996) melaporkan bahwa tingkat keberhasilan program pemuliaan ternak akan sangat bergantung pada aspek tatalaksana dan ketersediaan pakan yang berkelanjutan. Ditambahkan bahwa keberhasilan perbaikan performans ruminansia besar membutuhkan kondisi yang stabil dalam artian tatalaksana yang memadai, ketersediaan pakan berkualitas yang berkelanjutan sepanjang tahun dan kesehatan lingkungan. CHEN (1990) melaporkan bahwa pola dan pemberian pakan yang belum sesuai dengan kebutuhan ternak, merupakan faktor utama rendahnya tingkat produktivitas ternak di daerah tropis. Sementara dilain sisi dilaporkan bahwa seekor ternak yang mendapat pakan dalam jumlah yang tidak memenuhi kebutuhan akan menyebabkan cekaman dan terjadinya penurunan bobot hidup ternak yang bersangkutan. Konsekuensinya, ternak akan mengalami hambatan untuk dapat estrus dan tidak dapat bunting apabila bobot ideal tidak tercapai (WINUGROHO et al., 2002). Dengan perkataan lain masalah utama dalam upaya peningkatan produksi ternak ruminansia adalah sulitnya penyediaan pakan yang berkesinambungan baik dalam artian jumlah yang cukup dan kualitas yang baik. Dilain sisi pemanfaatan lahan tidur dan lahan untuk tujuan padang penggembalaan makin tersisih oleh pemanfaatan lahan untuk pertanian termasuk perkebunan. Untuk itu perlu dilakukan langkah-langkah peningkatan penyediaan pakan, melalui integrasi dan diversifikasi lahan pertanian, termasuk perkebunan. Dengan demikian efisiensi pemanfaatan lahan dapat ditingkatkan, sekaligus dapat memberi nilai tambah pada petani. Data menunjukkan bahwa luas tanam perkebunan (kelapa sawit, karet, kelapa, teh, kopi, kakao, lada, jambu mete) di Indonesia mencapai 14 juta ha (WEI, 2004) dan areal
52
tanam perkebunan kelapa sawit menduduki tempat yang paling luas yakni 4,116 juta ha. Pada tahun 2005, dilaporkan bahwa luas tanam kelapa sawit telah mencapai lebih dari 5 juta ha dan diperkirakan pada tahun 2006 luas tanam akan bertambah seluas 200.000 ha (GAPKI, 2006). Dengan pola integrasi ataupun diversifikasi tanaman dan ternak (khususnya ternak ruminansia) diharapkan keberadaan ternak tersebut dapat merupakan bagian integral dari usaha perkebunan, sebagai yang disarankan oleh ABU HASSAN et al. (1991). Sebagai konsekuensi makin meningkatnya luas tanam kelapa sawit, adalah makin meningkatnya pula produk samping kebun dan hasil olahan kelapa sawit yang akan menimbulkan masalah lingkungan dan perlu diantisipasi. Salah satu cara pemecahannya adalah dengan memanfaatkan ternak (CORLEY, 2003), khususnya ternak ruminansia sebagai pabrik hidup yang dapat memanfaatkan produk samping tersebut sebagai pakan, sekaligus dapat dijadikan mesin hidup untuk dapat menyediakan pupuk organik. Produk samping tanaman kelapa sawit yang tersedia dalam jumlah yang banyak dan belum dimanfaatkan secara optimal adalah pelepah daun, lumpur sawit dan bungkil kelapa sawit/palm kernel cake (MOHAMED et al., 1986). Hasil penelitian terdahulu menunjukkan bahwa bagian dalam (daging) pelepah kelapa sawit segar yang telah dicacah dapat dipergunakan sebagai pengganti pakan hijauan (MATHIUS et al., 2004). Selanjutnya dilaporkan bahwa dengan upaya peningkatan nilai nutrien solid melalui proses fermentasi memberikan hasil yang lebih baik (MATHIUS et al., 2005). Selain nilai nutrien bahan dan ransum yang meningkat, pemberian sejumlah 30% dari ransum yang tersusun dari produk samping kelapa sawit ternyata memberikan respon pertambahan bobot hidup harian (PBHH) yang cukup baik yakni ± 0,580 kg (untuk sapi pembesaran). Informasi/data tersebut memberi peluang bagi para praktisi untuk dapat menyusun ransum ternak ruminansia, khususnya sapi potong yang tersusun seluruhnya dari produk samping industri kelapa sawit (kecuali mineral dan vitamin). Dari informasi yang diperoleh, diharapkan seluruh produk samping industri kelapa sawit dapat dipersiapkan sebagai pakan komplit sapi siap saji yang disesuaikan dengan status
Seminar Nasional Teknologi Peternakan dan Veteriner 2007
fisiologi ternak. Pada tulisan ini akan diutarakan hasil uji kaji penggunaan pakan yang berbasis PSIKS untuk sapi bunting tua.
Rancangan yang dipergunakan rancangan acak lengkap dengan matematik: Y=
MATERI DAN METODE Penelitian dilaksanakan di perkebunan kelapa sawit milik PT Agricinal di daerah Bengkulu Utara, lebih kurang 120 km arah utara kota Bengkulu (3 jam perjalanan darat). Sejalan dengan alur kegiatan yang berjudul “Suatu kajian pakan siap saji berbasis produk samping industri kelapa sawit untuk sapi bunting, maka pendekatan yang dilakukan sebagai yang diuraikan di bawah ini. Kegiatan ini diawali dengan proses pembuatan ferlawit (proses fermentasi berbahan baku produk samping industri kelapa sawit/PSIKS) untuk selanjutnya diformulasikan untuk memenuhi kebutuhan sapi bunting dalam bentuk pakan siap saji (R2). Sebagai pembanding dipergunakan pakan yang umum dipergunakan di kebun (R1) sebagai kontrol negatif dan pakan yang tersusun dari pelepah/hijauan dan pakan tambahan yang tersusun dari bahan komersial (R3) sebagai kontrol positif. Pakan tersebut diujicobakan pada sapi bunting (tua) sejumlah 60 ekor. Parameter yang diukur adalah kandungan nutrien bahan, konsumsi dan penampilan ternak, ukuran tubuh (tinggi, panjang, lingkar dada) dan kualitas ransum (tingkat kecernaan bahan kering, organik, protein kasar dan energi) serta efisiensi penggunaan pakan. Pengukuran konsumsi diperoleh dengan cara mengetahui selisih antara pemberian dan sisa selama 24 jam dan dilakukan setiap hari. Perubahan bobot hidup dilakukan dengan menimbang ternak setiap empat minggu sekali. Sedangkan kenaikan bobot hidup harian dilakukan dengan mempergunakan persamaan regresi sederhana. Ukuran tubuh dilakukan dengan mempergunakan meteran/pita (Webo, Denmark) yang telah dipersiapkan. Analisa bahan kering contoh dilakukan dengan cara mengeringkan dalam oven dengan suhu 60°C selama 48 jam/sampai bobot contoh relatif konstan. Uji kualitas contoh bahan pakan dilakukan dengan menganalisis komposisi nutrien bahan, seperti bahan kering, protein kasar, serat, abu, kalsium, fosfor (3) dan energi, menurut petunjuk AOAC (1984) dan VAN SOEST et al. (1991).
µ
+ βj
adalah model
+ εjk
Sumber: PETERSEN (1985) dimana: Y = nilai pengamatan µ = nilai rataan umum βj = pengaruh perlakuan pada taraf j εjk = galat baku pada perlakuan taraf-j dan pengamatan ke-k Data yang diperoleh di analisis dengan sidik ragam 1985) dan diolah dengan (PETERSON, mempergunakan paket program SAS (1987).
HASIL DAN PEMBAHASAN Komposisi bahan ransum perlakuan pada kegiatan ini tertera pada Tabel 1. Ukuran cacahan pelepah yang lebih besar dari pakan tambahan menyebabkan ternak sapi dapat memilih pakan yang lebih disenangi. Konsekuensinya adalah rasio konsumsi pakan pelepah/hijauan dan pakan tambahan berubah dan kurang sesuai dengan imbangan yang dipersiapkan. Oleh karena itu, untuk menghitung jumlah nutrien yang dikonsumsi dikembalikan pada jumlah ransum (hijauan dan pakan tambahan) yang dikonsumsi. Uji lapang yang dilakukan menunjukkan bahwa nilai nutrisi yang dikonsumsi antara perlakuan berbeda sebagai yang tertera dalam Tabel 2. Terlihat bahwa ransum yang tersusun dari PSIKS (produk samping industri kelapa sawit) mengandung protein kasar (R2) yang lebih baik jika dibandingkan dengan ransum perlakuan pola kebiasaan (R1), maupun yang bahan pakan tambahan yang tersusun dari bahan komersial (R3). Ransum PSIKS (R2) tersusun dari 1/3 bungkil inti sawit dan 1/3 produk fermentasi, dan hal ini menyebabkan ransum PSIKS beraroma yang baik sehingga cukup disenangi oleh ternak. Tabiat makan yang cenderung memilih bahan pakan yang disukai menyebabkan cacahan pelepah yang dipersiapkan sebagai sumber serat tidak di konsumsi habis. Sebagai konsekuesinya, imbangan/komposisi pelepah dan pakan tambahan yang dikonsumsi berbeda. Hal tersebut berakibat pada kandungan nutrien
53
Seminar Nasional Teknologi Peternakan dan Veteriner 2007
ransum yang dikonsumsi, sebagai yang tertera pada Tabel 2. Pemanfaatan produk samping sebagai pakan sapi Ternak sapi Bali bunting yang dipergunakan dalam penelitian ini merupakan ternak sapi yang telah lama berada di lingkungan industri kelapa sawit sehingga bahan pakan pokok yang bersumber dari produk samping industri kelapa sawit tidak bermasalah. Secara keseluruhan, rataan konsumsi bahan kering ransum pada semua perlakuan berada dibawah nilai minimal sebagai yang disarankan (NRC, 1987), yakni 3%, dengan kisaran antara 2,86 – 3,22% dari bobot hidup. Selanjutnya NRC (1987) melaporkan bahwa kebutuhan bahan kering seekor sapi dengan bobot hidup rataan 215 kg berkisar antara 3 – 3,5%. Namun jika dibandingkan dengan yang disarankan oleh KEARL (1982), maka konsumsi bahan kering pada penelitian ini berada pada kisaran yang disarankan, yakni 2,54% dengan kisaran 2 – 2,8% dari bobot hidup(BH). Perbedaan tingkat konsumsi bahan kering pada kegiatan ini dengan yang disarankan NRC (1987) boleh jadi disebabkan adanya perbedaan kondisi lingkungan antara penelitian ini dengan kondisi lingkungan yang direkomendasikan. NRC (1987) merupakan kompilasi hasil penelitian yang pada umumnya diperoleh dari hasil penelitian yang dilakukan di daerah temperate/beriklim dingin dan sejuk serta hasil penelitian yang dilakukan dalam skala
laboratorium, yang secara otomatis sangat berpengaruh pada komposisi bahan penyusun ransum. Hal ini tentunya akan sangat berpengaruh pada tingkat kesenangan ternak akan ransum yang dipersiapkan. Secara umum rataan konsumsi bahan kering adalah 86,67 g/kg BH0,75, dan uji statistik tidak menunjukkan perbedaan yang nyata (P > 0,05). Hal tersebut sekaligus mengindikasikan bahwa ketiga ransum perlakuan memiliki tingkat palatabilitas yang sama. Rataan nilai konsumsi bahan kering ransum tersebut hampir sama dengan yang dilaporkan KUSUMAWARDANI dan MUSOFIE (1985) dan SUDANA (1993), namun lebih rendah dari yang dilaporkan peneliti terdahulu (SOEMARNI et al., 1985), dengan kisaran 87 – 117 g/kg BH0,75. Rendahnya nilai konsumsi bahan kering ransum per kg BH0,75 pada penelitian ini jika dibandingkan dengan penelitian terdahulu, boleh jadi disebabkan oleh per perbedaan lingkungan penelitian, bangsa ternak, jenis dan bentuk pakan yang dipergunakan serta tingkat palatabilitas. Ransum ternak ruminansia didaerah temperate memiliki tingkat palatabilitas yang lebih baik dari pada bahan ransum ternak ruminansia di daerah tropis seperti di Indonesia. Bahan ransum di daerah tropis memiliki tingkat kandungan serat (SDA dan SDN) yang tinggi. Nutrien tersebut diketahui merupakan faktor utama penyebab rendahnya kemampuan ternak untuk mengkonsumsi ransum dan mempengaruhi daya cerna ternak serta laju alir partikel pakan ransum. Konsekuensinya tingkat palatabilitas pakan di daerah tropis menjadi rendah.
Tabel 1. Komposisi bahan penyusun ransum kajian yang diberikan Bahan (%) Jagung Dedak padi
R1(pakan umum)
R2(bahan PSIKS)
R3(pakan komersial)
-
-
25
-
-
40
Pelepah/hijauan (P)
33
33
33
Bungkil/inti kelapa sawit
32
32
-
Produk fermentasi
-
33
-
Solid segar
33
-
-
Mineral
1
1
1
Garam
1
1
1
54
Seminar Nasional Teknologi Peternakan dan Veteriner 2007
Tabel 2. Kandungan nutrien ransum perlakuan yang dikonsumsi R1(pakan umum)
R2(Basis PSIKS)
R3(pakan komersial)
Bahan kering (%)
Parameter
65,5
62,2
91,7
Protein kasar (% BK)
11,3
14,1
12,3
Serat deterjent netral (% BK)
61,5
59,3
63,5
Serat deterjent asam (% BK)
45,7
42,7
55,8
Abu (% BK)
11,6
10,6
10,6
Gross energi (kal/g)
4647
4522
4447
Kemungkinan lain penyebab rendahnya tingkat konsumsi bahan kering ransum adalah tingginya serat kasar ransum, khususnya kandungan serat deterjen netral. VAN SOEST et al. (1985) melaporkan bahwa kandungan Serat Deterjen Netral (SDN) sangat berpengaruh terhadap kemampuan ternak ruminansia untuk dapat mengkonsumsi pakan. Selanjutnya dikatakan bahwa, kandungan SDN ransum lebih besar dari 56 % akan menekan tingkat konsumsi bahan kering. Tingginya tingkat kandungan komponen serat kasar akan memperlambat laju alir nutrien dalam saluran pencernaan (STENSIG et al., 1994), sekaligus mengakibatkan makin lamanya waktu tinggal nutrien pakan dalam saluran pencernaan (KETELLARS dan TOLKAMP, 1992). Boleh jadi hal tersebut merupakan faktor penyebab rendahnya tingkat konsumsi pada penelitian ini jika dibandingkan dengan yang pernah dilaporkan OSBURN et al. (1967). Kandungan serat deterjen netral produk samping tanaman dan pengolahan kelapa sawit pada penelitian ini berkisar antara 62,5 – 69,7 % dari bahan kering (BK). NEWTON dan ORR (1981) melaporkan bahwa untuk memenuhi kebutuhan akan energi maka ternak berusaha untuk mengkonsumsi lebih banyak ransum. Namun demikian bahan dan bentuk ransum yang dipergunakan akan sangat berpengaruh terhadap kemampuan konsumsi ransum (GREENHALGH et al., 1976). Konsekuensi dari rendahnya tingkat konsumsi ransum, yang sekaligus mempengaruhi tingkat konsumsi nutrien lainnya, khususnya protein kasar dan energi adalah rendahnya pertambahan bobot hidup harian (Tabel 3). Pola konsumsi protein kasar dan energi terlihat mengikuti pola yang terjadi pada konsumsi total bahan kering, baik kemampuan konsumsi per ekor maupun per kg
BH0,75 (Tabel 3). Boleh jadi perbedaan pola konsumsi diantara ternak yang mendapat perlakuan pakan tersebut dipengaruhi oleh kemampuan ternak untuk mengkonsumsi bahan kering dari setiap bagian bahan yang tersusun dalam ransum tersebut. Namun dengan tingkat palatabilitas yang sama berdampak pada jumlah nutrien yang dikonsumsi (P > 0,05). Konsumsi protein kasar pada kegiatan ini, sama dengan tingkat konsumsi protein kasar yang dilaporkan SOEMARNI (1985), yakni sejumlah 9,32 – 14,70 g/kg BH0,75. KEARL (1982) menyarankan sapi dengan bobot hidup 250 kg dan berada pada status bunting 3 bulan terakhir membutuhkan protein kasar sejumlah 579 g/e/h dengan jumlah protein tercerna sebanyak 405 g/ekor/hari. Sementara pada kegiatan ini, rataan jumlah protein kasar yang dikonsumsi adalah 615 g/ekor/hari dengan tingkat kecernaan protein kasar sebesar 63%. Dengan perkataan lain jumlah protein kasar yang siap tercerna mencapai 388 g/ekor/hari, dan jumlah tersebut lebih rendah dari yang disarankan KEARL (1982). Selanjutnya juga dikatakan oleh KEARL (1982), bahwa kebutuhan metabolisme energi oleh sapi bunting dengan kondisi sebagai yang dipergunakan pada penelitian ini adalah 12,5 Mkal/ekor/hari, sementara pada kegiatan ini diperoleh nilai sejumlah 15,172 Mkal. Hal ini menunjukkan bahwa jumlah konsumsi metabolisme energi oleh sapi bunting pada penelitian ini telah melebihi kebutuhan yang disarankan. Diharapkan dengan kelebihan energi tersebut dapat dimanfaatkan untuk produksi yang dalam hal ini untuk kebutuhan pertumbuhan foetus yang dikandungnya, dan pada umumnya diekspresikan dalam bentuk pertambahan bobot hidup harian induk sapi.
55
Seminar Nasional Teknologi Peternakan dan Veteriner 2007
MAFF (1997), melaporkan bahwa kebutuhan sapi bunting tiga bulan terakhir dan dengan bobot hidup 200 kg membutuhkan metabolis energi untuk kebutuhan hidup pokok sejumlah 26,3 MJ ME. Bila nilai rataan konsumsi energi metabolis pada kegiatan ini di konversikan ke Joule (J) maka setara dengan 63,47 MJ. Nilai tersebut menunjukkan bahwa masih ada kelebihan ME untuk produksi sejumlah 37,252 MJ ME dan pada umumnya diekspresikan dalam bentuk pertambahan bobot hidup harian. Pertambahan bobot hidup harian ini merupakan akumulasi pertambahan organ reproduksi dan perkembangan foetus. Dengan bobot hidup sapi pada penelitian ini seberat 197,5 kg, dan ransum yang diberikan memiliki tingkat kepadatan ME se jumlah 13,9 (MJ ME/kg BK) serta kelebihan ME sejumlah 37,252 MJ, diharapkan memberikan pertambahan bobot hidup harian seberat 0, 5 kg/ekor/hari (MAFF, 1997). Secara keseluruhan rataan laju pertambahan bobot hidup harian pada penelitian ini adalah 494 g dengan kisar antara 421 – 640 g/ekor/hari. Nilai tersebut sejalan dengan yang diperoleh SOEMARNI et al., (1985) dan SITORUS dan ZULBARDI (1993) (dengan kisaran 690 – 820 g/ekor/hari), namun lebih tinggi dari yang dilaporkan KUSUMAWARDANI dan MUSOFIE (1985) dan SUDANA (1992),
dengan kisaran 89 – 208 g/ekor/hari. PANJAITAN et al. (2003) melakukan pengamatan terhadap penampilan sapi Bali pada kondisi lapang di daerah NTB selama tiga tahun dan mendapatkan bahwa pertambahan anak sapi Bali yang belum disapih adalah 0,41 ± 0,11 kg/hari/ekor. Sementara pertambahan bobot hidup harian untuk sapi Bali muda/pasca sapih sebesar 0,23 ± 0,11 kg. Nilai yang dilaporkan tersebut, lebih rendah dari pada yang diperoleh pada penelitian ini. Nilai pertambahan bobot hidup harian pada sapi yang mendapat ransum R1 (421 g) adalah yang terendah dan berbeda nyata (P < 0,05) jika dibandingkan dengan perlakuan lainnya, namun pertambahan bobot hidup harian antara R2 dan R3 tidak berbeda nyata, dengan rataan 635g. Hasil penelitian ini juga mendapatkan bahwa tingkat efisiensi penggunaan pakan/ ransum yang terbaik terjadi pada ternak sapi yang mendapatkan ransum R2 (PSIKS) dengan nilai 8,1 dan diikuti dengan sapi yang mendapat perlakuan pakan tambahan bahan komersial (R3), yakni 10,6, sementara yang terendah terjadi pada sapi yang mendapat ransum R1, yakni 11,4. Ukuran tubuh tidak dipengaruhi secara nyata oleh perlakuan pakan. Tidak adanya perbedaan tersebut boleh jadi disebabkan karena variasi individu yang cukup beragam.
Tabel 3. Konsumsi (g/kg0,75), kecernaan semu (%), Pertambahan Bobot Hidup Harian (PBHH) dan konversi penggunaan pakan sapi perlakuan Parameter
R1
R2(Basis PSIKS)
R3(komersial)
Konsumsi BK (% BH) Konsumsi (g/kg BH 0,75) Bahan kering Protein kasar Serat deterjen netral Serat deterjen asam Gross energi (Kkal) Kecernaan (%) Bahan kering Bahan organik Protein kasar PBHH (g/hari) Konversi pakan (konsumsi/PBHH) Ukuran tubuh Panjang (cm), Lingkar dada (cm)
2,3
2,3
2,4
84,5 11,0 34,7 28,9 0,556
87,3 12,5 37,1 27,3 0,579
88,4 11,5 34,2 28,4 0,610
56
52,3 54,2 62,6 421,0a 11,4 b
53,4 55,6 64,6 640,0b 8,1a
53,0 54,2 62,5 632,0b 10,6b
99,2 ± 11,22 123,3 ± 9,7
100,2 ± 14,9 126,1 ± 10,84
102,2 ± 15,2 127,8 ± 11,9
Seminar Nasional Teknologi Peternakan dan Veteriner 2007
EFISIENSI EKONOMI Efisiensi ekonomi dihitung hanya berdasarkan harga pakan yang dikonsumsi untuk dapat menghasilkan pertambahan bobot hidup (PBH) ternak percobaan. Harga bahan baku ransum kajian yang berbahan PSIKS tidak seluruhnya diperoleh dengan alasan belum diperdagangkan/belum memiliki nilai ekonomi (pelepah, solid dan produk fermentasi). Oleh karena itu, untuk menghitung biaya pakan yang dikeluarkan diasumsikan bahwa: pelepah disetarakan dengan rumput segar, Rp. 100.00/kg segar atau setara dengan Rp. 385,00/kg bahan kering pelepah; lumpur sawit/solid disetarakan dengan rumput, Rp. 100,00/kg atau setara dengan Rp. 416,00 kg/bahan kering; bungkil inti sawit Rp. 350,00/kg atau setara dengan Rp. 381,00/kg bahan kering, dedak padi Rp. 500,00/kg atau setara dengan Rp. 555,00/kg bahan kering dan jagung halus, Rp. 750,00/kg atau setara dengan Rp. 885,00/kg bahan kering. Berdasarkan komposisi ransum percobaan yang dikonsumsi, maka harga ransum percobaan untuk mendapatkan pertambahan bobot hidup harian sebagai yang tertera pada Tabel 3 menjadi berturut-turut: R1 = Rp. 1.135,72/hari, R2 = Rp. 1.016,99/hari dan R3 = Rp. 3.500,00/hari. Dengan perkataan lain biaya pakan yang dibutuhkan untuk menghasilkan 1 kg daging, dari setiap perlakuan dapat dihitung secara sederhana, yakni (1 kg daging : PBHH) x harga ransum percobaan. Jadi harga daging untuk setiap kg, yang dihasilkan dari masing-masing ransum percobaan adalah: R1 = Rp. 3.850,002/ kg bobot hidup, R2 = Rp. 2.555,00/kg bobot hidup dan R3 = Rp. 5.266,00/kg bobot hidup. Dari data diatas terlihat bahwa dari ketiga ransum percobaan yang dikaji, maka R2 (basis PSIK) paling ekonomis. KESIMPULAN DAN SARAN Dari nilai-nilai perolehan yang telah diuraikan diatas maka dapat disimpulkan bahwa ternak sapi yang mendapat ransum yang tersusun dari imbangan cacahan daging pelepah, solid terfermentasi dan bungkil kelapa sawit sebesar 1 : 1 : 1 adalah yang terbaik dan termurah serta dapat menggantikan pakan
tambahan yang tersusun dari bahan pakan komersial. Untuk medapatkan penampilan sapi bunting yang optimal maka perlu diupayakan tingkat konsumsi yang lebih baik. Hal ini didasari pada pertimbangan bahwa konsumsi bahan kering ransum belum optimal. Upaya meningkatkan selera/kemampuan konsumsi, perlu dilakukan antara lain dengan (i) penambahan pakan aditif, (ii) menurunkan kadar air produk fermentasi. DAFTAR PUSTAKA ABU HASSAN, O. OSHIO, S. ISMAEL, A.R. MOHD JAAFAR, D. NAKANISHI, N. DAHLAN and S.H. ONG. 1991. Experience and challenges in processing, treatments, storage and feeding or oil palm trunks based diets for beef production. Proc. Sem. on Oil Palm Trunks and others palmwood Utilization, Kuala Lumpur, Malaysia. pp. 231 – 245. AOAC. 1984. Official Method of Analysis. 14th Ed. Association of Official Analytical Chemist. Washington, D.C. CHEN, C.P. 1990. Management of Forage for Animal Production under Tree Crops. In Proc. Integrated Tree Croping and Small ruminat Production system. SR-CRSP. Univ. California Davis, USA. pp. 10 – 23. CORLEY R.H.U. 2003. Oil Palm: A major Tropical Crop. Burotrop 19: 5 – 7. GAPKI. 2006. Kebutuhan Benih Unggul Nasional terus Melonjak. Kompas 11 Feb. 2006. GREENHALGH, J.F.D., O.R. ORSKOV and S. FRASER. 1976. Pelleted herbage for intensive lamb production. Anim. Prod. 22: 148 – 149. JALALUDIN, S., Y.W. HO, N. ABDULLAH and H. KUDO. 1991a. Strategies for Animal Improvement In Southeast Asia. In: Utilization of Feed Resources in Relation to Utilization and Physiology of Ruminants in the Tropics. Trop. Agric. Res. Series. # 25 pp. 67 – 76. JALALUDIN,S., Z.A. JELAN, N. ABDULLAH and Y.W. HO. 1991b. Recent Developments in the Oil Palm By-Product Based Ruminant Feeding System. MSAP, Penang, Malaysia pp. 35 – 44. KEALR, L.C. 1982. Nutrient Requirements of Ruminants in Developing Countries. Int. Feedstuffs Inst., Utah State University, Logan Utah.
57
Seminar Nasional Teknologi Peternakan dan Veteriner 2007
KETELLARS,J.J. and B.J. TOLKAMP. 1992. Toward a new theory of feed intake regulation in ruminants.1. Causes of differences in voluntary feed intake: critique of current views. Livest. Prod. Sci. 30: 269 – 296. KUSUMAWARDHANI, N., Y.P. ACHMANTO, A. MUSOFIE dan S. TEDJOWAHJONO. 1985. Komponen “tetes urea pith” sebagai pengganti dedak dalam ransum sapi potong. Pros. Seminar Pemanfaatan Limbah Tebu Untuk Pakan Ternak. Puslitbang Peternakan, Bogor.
NRC, 1987. Predicting Feed Intake of FoodProducing Animals. National Academy Press. Washington D.C. Osbourn D.F., D.E. Beever aaaand D.J. Thompson. 1976. The influence of physical processing on intake, digestion and utilization of dried herbage. Proc. Nutr. Society. 35: 191 – 200. PANJAITAN. T., G. FARDYCE and D. POPPI. 2003. Bali cattle performance in dry tropics of Sumbawa. JITV 8(3): 183 – 188.
MAFF. 1997. Energy Allowances and Feeding Systems for Ruminants. MAFF. London.
PETERSEN, R.G. 1985. Design and Analysis of Experiments. Marcel Dekker Inc. New York.
MATHIUS, I-W., A.P. SINURAT, B.P. MANURUNG, D.M. SITOMPUL dan AZMI. 2005a Pemanfaatan produk fermentasi LumpurBungkil sebagai bahan pakan sapi potong. Pros. Seminar Nasional Teknologi Peternakan dan Veteriner. Bogor, 12 – 13 September 2005. Puslitbangnak, Bogor. hlm. 153 – 161.
SAS. 1987. SAS User's Guide: Stastistics. SAS Inst. Inc., Cary, NC.
MATHIUS, I-W., A.P. SINURAT, B.P. MANURUNG, D.M. SITOMPUL dan AZMI. 2006 Formulasi dan ujikaji pakan komplit berbasis produk samping industri kelapa sawit. Dalam: Kumpulan Hasil-hasil penelitian APBN T.A. 205. Buku I Ruminansia. Balitnak, Ciawi, Bogor. hlm.155 – 174.
SITORUS, M dan M. ZULBARDI, 1993. Pengaruh level protein konsentrat berenergi tinggi terhadap pertumbuhan sapi Madura. Pros. Pertemuan Ilmiah Hasil Penelitian dan Pengembangan Sapi Madura. Puslitbangnak, Bogor. hlm.147 – 150.
MATHIUS, I-W., D.M. SITOMPUL, B.P. MANURUNG dan AZMI. 2004b. Pabrik samping tanaman dan pengolahan buah kelapa sawit sebagai bahan dasar pakan komplit untuk sapi : Suatu tinjauaan. Pros. Sistem Integrasi Kelapa Sawit-Sapi. Balitbang Pertanian, Pemprov Bengkulu dan PT Agricinal. Bengkulu. Sep. 2003. hlm. 120 – 128. MATHIUS, I-W., AZMI, B.P. MANURUNG, D.M SITOMPUL dan EKO PRIYATOMO. 2004. Integrasi sapi-sawit: Imbangan pemanfaatan produk samping sebagai bahan dasar pakan. Pros. Sistem Integrasi Tanaman-Ternak. Puslitbangnak, BPTP Bali dan CASREN. Denpasar. hlm. 439 – 447. MOHAMAD. H., H.A. HALIM and T.M. AHMAD. 1986. Availability and potential of oil palm trunks and fronds up to the year 2000. Palm Oil Research Institute of Malaysia (PORIM) 20: 1 – 17. NEWTON, J.E. and R.J. ORR. 1981. The intake of silage and grazed herbage by Masham ewes with single or twin lambs and its repeatability during pregnancy, lactation and after weaning. Anim. Prod. 33: 121 – 127.
58
SINURAT. A.P., P. SETIADI, T. PURWADARIA, AR. SETIOKO dan J. DHARMA. 1996. Nilai gizi bungkil kelapa yang difermentasi dan pemanfaatannya dalam ransum itik jantan. JITV 1(3): 161 – 168.
SOEMARNI, A. MUSOFIE dan N.K. WARDANI. 1985. Pengaruh pemberian wafer pucuk tebu terhadap pertambahan berat badan sapi Bali jantan. Proc. Sem. Pemanfaatan Limbah Tebu untuk Pakan Ternak. Puslitbangnak. Bogor. pp. 36 – 40. STEINSIG, T., M.R. WEIBSBJERG, J. MADSON and T. HVLPLUND. 1994. Estimation of voluntary intake from in-sacco degradation and rate of passage of Dm and NDF. Livest. Prod. Sci. 76: 221 – 230. SUDANA I.B. 1992. Urea mollases block supplement for Bali cattle fed on rice straw basal diet. In. Ibrahim. M.N.M., R.de Jong, J. van Bruchem and H. Purnomo (Eds). Livestock and Feed Development in the Tropics. Malang. pp. 184 – 187. VAN SOEST, P.J., J. B. ROBERTSON and B.A. LEWIS. 1991. Methods for dietary fiber, neutral detergent fiber and non-starch polysaccharides in relation to animal nutrition. J. Dairy Sci. 74: 3583 – 3597. WEBB, B.H, R.I. HUTAGALUNG and S.T. CHEAM 1976. Palm oil mill waste as animal feedprocessing and utilization. Proc. Int. Symp. Palm Oil Processing and Marketing. Kuala Lumpur. pp. 125 – 147
Seminar Nasional Teknologi Peternakan dan Veteriner 2007
WEI, L.C. 2004. Mencari RUU Perkebunan yang Ideal. Harian Kompas 2 Februari 2004 hlm. 15.
ZARATE, A.V. 1996. Breeding strategies for marginal regions in the tropics and subtropics. Res. Dev. 43/44: 99 – 118.
WINUGROHO, M.Y. WIDYASTUTI, Y. SAEPUDIN dan S. MARIJATI. 2002 Studi penggunaan bubuk kolostrum dan Bioplus untuk produksi susu (Konsistensi efektifitas bioplus yang disimpan pada ternak fistula). Kumpulan Hasil Penelitian APBN T.A. 2001. Balai Penelitian Ternak, Ciawi, Bogor.
59