Seminar Nasional Teknologi Peternakan dan Veteriner 2008
PAKAN BERBASIS PRODUK SAMPING INDUSTRI KELAPA SAWIT UNTUK MASA LAKTASI DAN ANAK PRA SAPIH SAPI BALI (Feeding Palm Oil By-Product-Based Diets to Lactating Bali Cows and Its Offspring) I-WAYAN MATHIUS Balai Penelitian Ternak, PO Box 221, Bogor 16002
ABSTRACT It is reported that cattle performance and productivity are generally poor due to feeding of low quality and quantity of feedstuffs. Almost all agricultural by-products represent a low valuable source of feedstuffs, due to the totally insoluble/low biological value for ruminant animal. This experiment was intended to study the most suitable technology/methods could be used to increase the feeding/biological value of palm oil byproduct and in order to establish the utilization of all oil palm by-products which provide cattle, especially for lactating cows and its calves with sufficient amount of feed and more nutritious fodder. The implication of the results in relation to ruminant productivity is to increase the utilization of palm oil by-product. Sixty heads of tree lastmester pregnant Bali cows, weighing approximately 159 kg were tighten individually in the communal pen. They were grouped based on the live weight and randomly assigned into tree dietary treatments. Dietary treatments consisted of palm oil petiole or native grass (POP), palm oil sludge (POS), fermented-product (FP) and palm kernel cake (PKC) in different ratio (on dry matter basis), namely (i) R1 (33% POP + 32% PKC + 33% POS + 1% Premix + 1% Salt as existed diet ; (ii) R2 (33% POP + 33% FP + 32% PKC + 1% Premix + 1% Salt) and (iii) R3 (33% POP +40% Rice bran + 33% Ground Corn + 1% Premix and 1% Salt). Feed intake and animal performance were recorded and analyzed statistically. The results showed that feed intake on the basis of dry matter for all diet treatments during late pregnancy cows was similar, approximately 92,4 g/kg 0,75 per day. According to 100 kg live weight feed intake was 2,9% for R3 diet group 2,7% for R2 and 2,5% for control diet group (R1). This figure indicated that R2 diet was more acceptable than those on control diet, although there was not significantly different (P > 0.05). It was also recorded that heifer given R3 diet group gained more than did R2 group, although statistically it was not significantly different. However, compared to control diet group (R1), it showed significant different (600 g vs 444 g). This is probably due to heifer fed R2 or R3 dietary treatments consummed more nutrient compared to control diet/exited diet (R1). Consequently, heifer fed R2 diet gave the most effective of feed utilization. The lowest birth weight of calf was recorded on cow fed control diet. While the highes calf birth weight was found on cow fed R2 diet, although there was not significantly different to those fed R3 diet. Considering the overall results, fermented palm oil sludge together with palm kernel cake coupled with others palm oil by-product could be used to improve late pregnant cows peformance. Further study in feeding trial with milking cows as well as fattening calves should be conducted. Key Words: Cattle, By-Product, Lactating, Calves ABSTRAK Dilaporkan bahwa penampilan dan produktivitas sapi di Indonesia sangat rendah. Hal tersebut disebabkan rendahnya kualitas dan kontinyuitas pengadaan dan pemberian pakan. Hampir seluruh produk samping industri pertanian yang dipergunakan sebagai bahan pakan memiliki tingkat ketersediaan dan nilai biologis yang rendah. Kajian kegiatan ini bertujuan untuk mempelajari pengaruh pemberian pakan berbasis produk samping industri kelapa sawit terhadap penampilan sapi laktasi dan anak prasapih. Kegiatan diawali dengan formulasi ransum sapi laktasi yang disesuaikan dengan kebutuhan dan dalam bentuk siap saji. Selanjutnya ujikaji pakan dilakukan pada sejumlah 60 ekor sapi bunting tua (akhir kebuntingan, BH 159 kg) dan sebagai pembanding dipergunakan pakan yang umum diberikan (pola tradisional). Ternak dikelompokkan atas dasar bobot hidup dan diacak untuk mendapatkan salah satu dari tiga macam ransum yang akan dikaji. Ransum perlakuan tersusun dari porporsi bahan cacahan pelepah (POP),produk fermentasi (FP), bungkil inti sawit
173
Seminar Nasional Teknologi Peternakan dan Veteriner 2008
(PKC), solid (POS), jagung giling, dedak padi, mineral Premix dan garam. Macam ransum dimaksud adalah (i) R1 (33% POP + 32% PKC + 33% POS + 1% Premix + 1% Garam (Kontrol); (ii) R2 (33% POP + 33% FP + 32% PKC + 1 % Premix + 1 % Garam) dan (iii) R3 (33% POP +40% Dedak padi + 33% Jagung giling + 1% Premix dan 1% Garam. Parameter yang diukur adalah kandungan nutrien bahan (protein kasar, energi, serat kasar dan mineral), konsumsi dan penampilan ternak (induk dan anak), dan kecernaan ransum (BK, BO dan CP). Rancangan yang dipergunakan adalah rancangan acak kelompok dan data yang diperoleh di analisis dengan sidik ragam dan diolah dengan mempergunakan paket program SAS. Hasil kajian menunjukkan bahwa konsumsi bahan kering rataan dari seluruh perlakuan adalah 92 g/kg 0.75 BH per hari. Atas dasar bobot hidup, maka konsumsi bahan kering yang diperoleh adalah 2,9; 2,7 dan 2,5% dari bobot hidup secara berurutan untuk R3, R2 dan R1. Data tersebut menunjukkan bahwa ransum R2 lebih disenangi dari pada ransum R1 (kontrol), walaupun secara statistik tidak menunjukkan perbedaan yang nyata (P > 0,05). Sapi yang mendapat R3 memberikan respons pertumbuhan bobot hidup harian yang lebih baik dari sapi yang mendapat ransum R2, dan secara statistik tidak menunjukkan perbedaan yang nyata. Akan tetapi jika dibandingkan dengan sapi yang diberi ransum kontrol (R1), terjadi perbedaan yang nyata (600 vs 444g). Boleh jadi hal tersebut disebabkan sapi yang diberi ransum R2 dan R3 mengkonsumsi lebih banyak nutrien jika dibandingkan dengan sapi yang mendapat R1. Sebagai konsekuensinya sapi yang mendapat R2 lebih efisien menggunakan ransum. Bobot lahir sapi anak yang terendah diperoleh pada induk sapi yang diberi ransum kontrol (R1), sementara bobot lahir terberat dilaporkan pada perlakuan yang mendapatkan ransum R3. Dari data yang diperoleh, secara keseluruhan dapat dikatakan bahwa pemberian produk fermentasi sebagai komponen ransum sapi induk dapat meningkatkan penampilan sapi bunting dan awal laktasi. Namun demikian studi yang lebih jauh, baik dengan sapi laktasi maupun sapi pedaging perlu dilakukan. Kata Kunci: Sapi, Produk Samping, Laktasi, Pedet
PENDAHULUAN Perbaikan potensi genetik ternak lokal telah dilakukan dan sedang berjalan. Namun demikian untuk mencapai hasil yang diharapkan, yaitu tingkat produksi yang tinggi, maka perbaikan mutu genetik ternak harus diimbangi dengan perbaikan dan pola pemberian pakan yang memenuhi kebutuhan ternak. Dengan perkataan lain, tingkat keberhasilan program pemuliaan ternak akan sangat bergantung pada aspek tatalaksana dan ketersediaan pakan yang berkelanjutan. Ditambahkan bahwa keberhasilan perbaikan performans membutuhkan kondisi yang stabil dalam artian tatalaksana yang memadai, ketersediaan pakan berkualitas yang berkelanjutan sepanjang tahun dan kesehatan lingkungan. Hal tersebut mengindikasikan bahwa pola dan pemberian pakan yang belum sesuai dengan kebutuhan ternak, merupakan faktor utama rendahnya tingkat produktifitas ternak didaerah tropis. Disisi lain, diketahui bahwa seekor ternak yang mendapat pakan dalam jumlah yang tidak memenuhi kebutuhan akan menyebabkan cekaman dan terjadinya penurunan bobot hidup ternak yang bersangkutan. Dengan perkataan lain problem utama upaya peningkatan produksi ternak ruminansia adalah sulitnya penyediaan pakan yang berkesinambungan baik dalam artian
174
jumlah yang cukup dan kualitas yang baik. Untuk itu perlu dilakukan langkah-langkah peningkatan penyediaan pakan, melalui integrasi dan diversifikasi lahan pertanian, termasuk perkebunan, khususnya perkebunan kelapa sawit. Dengan demikian efisiensi pemanfaatan lahan dapat ditingkatkan, sekaligus dapat memberi nilai tambah pada petani-kebun. Pada tahun 2007 dilaporkan luas tanam tanaman kelapa sawit telah mencapai 6,7 juta ha (ANOM, 2008) dan dari luas tanam tersebut, 2,7 juta ha tanaman kelapa sawit merupakan perkebunan rakyat. Konsekuensi makin meluasnya kawasan tanam perkebunan kelapa sawit adalah makin bertambahnya jumlah produk samping yang dihasilkan. Hal tersebut akan menimbulkan problem lingkungan yang tidak diinginkan. Produk samping pada kawasan industri kelapa sawit dapat dipergunakan sebagai basis pengadaan bahan baku pakan dan sekaligus, baik secara langsung maupun tidak langsung kehadiran ternak dapat memberikan nilai tambah (STUR, 1990). ZAINUDIN dan ZAHARI (1992), melaporkan bahwa integrasi usaha peternakan di bawah tanaman perkebunan memberikan dampak yang sangat besar artinya. Dengan pola integrasi ataupun diversifikasi tanaman dan ternak (khususnya ternak ruminansia) diharapkan keberadaan perkebunan tersebut
Seminar Nasional Teknologi Peternakan dan Veteriner 2008
dapat merupakan bagian integral dari usaha perkebunan (ABU HASSAN et al., 1991). Studi terdahulu, menunjukkan bahwa bagian dalam (daging) pelepah kelapa sawit segar yang telah dicacah dapat dipergunakan sebagai pengganti pakan hijauan. Dilaporkan pula bahwa jika daging pelepah kelapa sawit dipergunakan sebagai pengganti pakan hijauan/ rumput maka penggunaanya tidak melebihi 30% dari konsumsi bahan kering. Uji biologis pakan yang tersusun dari imbangan campuran produk samping industri kelapa sawit pada ternak sapi, menunjukkan bahwa ransum dengan imbangan 1 bagian cacahan daging pelepah, 1 bagian solid dan 1 bagian bungkil inti sawit, memberikan pertambahan bobot hidup harian sejumlah 0,338 kg. Studi lanjutan menunjukkan bahwa dengan upaya peningkatan nilai nutrien solid melalui proses fermentasi memberikan hasil yang lebih memuaskan. Selain nilai nutrien bahan dan ransum yang meningkat, pemberian sejumlah 30% dari ransum yang tersusun dari produk samping kelapa sawit ternyata memberikan respon pertambahan bobot hidup harian sapi yabg sedang tumbuh yang lebih baik yakni kenaikan bobot hidup harian ± 0,580 kg. Atas dasar pemikiran tersebut maka pada kegiatan ini diujicobakan penggunaan produk teknologi fermentasi sebagai komponen pakan komplit untuk sapi laktasi dan anak prasapih. MATERI DAN METODE Kegiatan dilaksanakan di perkebunan kelapa sawit milik PT Agricinal di daerah Bengkulu Utara, lebih kurang 120 km arah utara kota Bengkulu. Sedangkan kegiatan dalam skala lab. dilakukan di Laboratorium, Balai Penelitian Ternak, Bogor. Kegiatan diawali dengan preparasi bahan solid dan bungkil inti sawit untuk difermentasikan dengan mempergunakan kapang strain Aspergillus sp untuk selanjutnya dipergunakan sebagai bagian dari ransum yang dipergunakan dalam uji ransum berbasis produk samping industri kelapa sawit. Formulasi ransum sapi laktasi disesuaikan dengan kebutuhan dan dalam bentuk siap saji. Selanjutnya ujikaji pakan dilakukan pada sejumlah 60 ekor sapi bunting tua (akhir kebuntingan, BH 159 kg). Ternak
dikelompokkan atas dasar bobot hidup dan mendapatkan salah satu dari tiga macam ransum yang telah dipersiapkan. Ransum perlakuan tersusun dari proporsi bahan cacahan pelepah (POP), produk fermentasi (FP), bungkil inti sawit (PKC), solid (POS), jagung giling, dedak padi, mineral-premix dan garam. Macam ransum dimaksud adalah (i) R1 {33% POP + 32% PKC + 33% POS + 1% Premix + 1% Garam (Exist)}; (ii) R2 {33% POP + 33% FP + 32% PKC + 1% Premix + 1% Garam (PSIKS)} dan (iii) R3 {33% POP + 40% Dedak Padi + 33% Jagung Giling + 1% Premix and 1% Garam (Komersial)} (Tabel 1). Parameter yang diukur adalah kandungan nutrien bahan (protein kasar, energi, serat kasar dan mineral), konsumsi dan penampilan ternak (induk dan anak) serta kecernaan ransum (BK, BO dan CP). Pengukuran konsumsi diperoleh dengan mengetahui selisih antara pemberian dan sisa selama 24 jam dan dilakukan setiap hari. Perubahan bobot hidup dilakukan dengan menimbang ternak setiap empat minggu sekali. Sedangkan kenaikan bobot hidup harian dilakukan dengan mempergunakan persamaan regresi sederhana. Uji kualitas contoh pakan dilakukan dengan menganalisis komposisi nutrien bahan (bahan kering, protein kasar, serat, abu, kalsium, fospor dan energi), menurut petunjuk AOAC (1984) dan VAN SOEST et al. (1991). Rancangan yang dipergunakan adalah rancangan acak kelompok dan data yang diperoleh di analisis dengan sidik ragam (PETERSEN, 1985) dan diolah dengan mempergunakan paket program SAS (1987). HASIL DAN PEMBAHASAN Komposisi nutrisi ransum percobaan Komposisi bahan ransum perlakuan tertera pada Tabel 1 yang dalam pelaksanaanya dilakukan secara terpisah. Konsekuensinya adalah rasio konsumsi pakan pelepah/hijauan dan pakan tambahan berubah dan kurang sesuai dengan imbangan yang dipersiapkan. Oleh karena itu, untuk menghitung jumlah nutrien yang dikonsumsi dikembalikan pada jumlah ransum (hijauan dan pakan tambahan) yang dikonsumsi. Uji lapang yang dilakukan menunjukkan bahwa nilai nutrisi yang dikonsumsi tertera Tabel 2.
175
Seminar Nasional Teknologi Peternakan dan Veteriner 2008
Tabel 1. Komposisi bahan penyusun ransum kajian yang diberikan Bahan (%) Jagung Dedak padi
R1(Exist)
R2(PSIKS)
R3(Kom)
-
-
25
-
-
40
Pelepah/hijauan (P)
33
33
33
Bungkil inti kelapa sawit
32
32
-
Produk fermentasi
-
33
-
Solid segar
33
-
-
Mineral
1
1
1
Garam
1
1
1
Dari Tabel 2 terlihat bahwa ransum yang tersusun dari PSIKS (produk samping industri kelapa sawit) mengandung protein kasar (R2) yang lebih baik jika dibandingkan dengan ransum perlakuan pola kebiasaan (R1), maupun yang bahan pakan tambahan yang tersusun dari bahan komersial (R3), Ransum PSIKS (R2) tersusun dari 1/3 cacahan pelepah, 1/3 bungkil inti sawit dan 1/3 produk fermentasi, dan hal ini menyebabkan ransum PSIKS beraroma yang baik sehingga cukup disenangi oleh ternak. Tabiat makan yang cenderung memilih bahan pakan yang disukai menyebabkan cacahan pelepah yang dipersiapkan sebagai sumber serat tidak seluruhnya di konsumsi. Sebagai konsekuesinya, imbangan/komposisi pelepah dan pakan tambahan yang dikonsumsi menjadi berbeda. Hal tersebut berakibat pada kandungan nutrien ransum yang dikonsumsi, sebagai yang tertera pada Tabel 2. Tabel 2. Kandungan nutrien ransum perlakuan yang dikonsumsi R1(Exist)
R2(PSIKS)
R3(Kom)
Bahan kering (BK)(%)
42,6
62,2
67,1
Protein kasar (% BK)
10,5
13,9
14,3
Serat deterjent netral(% BK)
53,1
47,2
54,3
Serat deterjent asam (% BK)
33,3
31,1
33,7
Parameter
Abu (% BK)
15,5
13,3
14,1
Gross energi (kal/g)
4376
4539
4432
176
Pemanfaatan produk samping sebagai bahan pakan sapi Ternak sapi Bali laktasi yang dipergunakan dalam penelitian ini merupakan ternak sapi yang telah lama berada dilingkungan industri kelapa sawit sehingga bahan pakan pokok yang bersumber dari produk samping industri kelapa sawit tidak bermasalah. Secara keseluruhan, rataan konsumsi bahan kering ransum pada semua perlakuan (Tabel 3) berada pada tingkat yang disarankan (NRC, 1987), yakni 3%, dengan kisaran antara 2,86 – 3,22% dari bobot hidup (BH). Selanjutnya NRC (1987) melaporkan bahwa kebutuhan bahan kering seekor sapi dengan bobot hidup rataan 215 kg berkisar antara 3,0 – 3,5%. Namun jika dibandingkan dengan yang disarankan oleh KEARL (1982), maka konsumsi bahan kering pada penelitian ini lebih tinggi, yakni 2,72% dengan kisaran 2,5 – 2,9% dari bobot hidup (BH). Variasi tingkat konsumsi bahan kering baik pada kegiatan ini maupun pada yang disarankan NRC (1987) boleh jadi disebabkan adanya perbedaan kondisi lingkungan dan bangsa ternak yang digunakan. NRC (1987) merupakan kompilasi hasil penelitian yang pada umumnya diperoleh dari hasil penelitian yang dilakukan didaerah temperate/beriklim dingin dan sejuk serta hasil penelitian yang dilakukan dalam skala laboratorium, yang secara otomatis sangat berpengaruh pada komposisi bahan penyusun ransum yang pada umumnya dibuat dalam bentuk yang lebih homogen. Hal ini tentunya akan sangat berpengaruh pada tingkat kesenangan ternak akan ransum yang dipersiapkan. Demikian pula bangsa ternak turut berpengaruh terhadap tingkat konsumsi. Secara umum rataan konsumsi bahan kering adalah 91,22 g/kg BH0,75, dan uji statistik tidak menunjukkan perbedaan yang nyata (P > 0,05). Hal tersebut sekaligus mengindikasikan bahwa ketiga model ransum kajian memiliki tingkat palatabilitas yang sama. Rataan nilai konsumsi bahan kering ransum tersebut lebih tinggi dari yang dilaporkan WARDHANI et al. (1985) dan SUDANA (1992), namun berada pada kisaran yang dilaporkan peneliti lainnya, yaitu 87 – 117 g/kg BH0,75 (SOEMARNI et al., 1985).
Seminar Nasional Teknologi Peternakan dan Veteriner 2008
Tabel 3. Konsumsi (g/kg 0,75), kecernaan semu (%), pertambahan bobot hidup harian (PBHH) pedet dan efisiensi penggunaan pakan R1(Exist)
R2( PSIKS)
R3(Kom)
Konsumsi BK (% BH)
2,5
2,7
2,9
Konsumsi BK (kg/ekor)
4,9
5,3
5,7
Bahan kering
90,32b
92,2ab
94,8a
Protein kasar
10,1b
13,7a
15,2a
Serat deterjen netral
36,8
34,3
34,1
Serat deterjen asam
28,4
26,1
23,1
0,575b
0,589b
0,601a
Bahan kering
51,7
54,1
55,0
Bahan organik
54,5
57,9
56,4
Protein kasar
60,6
66,6
65,5
PBHH (g/hari) sapi bunting tua
444a
588b
611b
Efisiensi penggunaan pakan, (konsumsi/PBHH)
12,4a
9,1b
10,9b
Panjang (cm)
103,2 ± 9,31
101,4 ± 11,2
103,9 ± 11,6
Lingkar dada (cm)
126,8 ± 10,1
129,2 ± 10,22
129,5 ± 11,3
Bobot Lahir (kg)
11,39 ± 2,79b
13,56 ± 2,55a
12,74 ± 2,12ab
PBHH (dua bulan pertama) (g)
254,32 ± 65b
490,18 ± 98a
448,35 ± 66a
55,5 ± 10,6
49,1 ± 11,9
49,3 ± 8,32
Parameter Bunting tua
Konsumsi (g/kg BH
0,75
G E* (Kkal/kg BH
)
0,75
)
Kecernaan (%)
Ukuran tubuh
Laktasi
Estrus Post-Partum (hari) *GE = Gross energi
Rendahnya nilai konsumsi bahan kering ransum per kg BH0,75 pada penelitian ini jika dibandingkan dengan penelitian yang pernah dilaporkan diluar negeri, boleh jadi disebabkan oleh perbedaan lingkungan penelitian, bangsa ternak, jenis dan bentuk pakan yang dipergunakan serta tingkat palatabilitas. Ransum ternak ruminansia didaerah temperate memiliki tingkat palatabilitas yang lebih baik dari pada bahan ransum ternak ruminansia di daerah tropis, seperti di Indonesia. Bahan ransum di daerah tropis memiliki tingkat kandungan serat (SDA dan SDN) yang tinggi. Nutrien tersebut diketahui merupakan faktor utama penyebab rendahnya kemampuan ternak untuk mengkonsumsi ransum dan mempengaruhi daya cerna ternak serta laju alir
partikel pakan ransum. Konsekuensinya tingkat palatabilitas pakan di daerah tropis menjadi rendah. Kemungkinan lain penyebab perbedaan tingkat konsumsi bahan kering ransum adalah tingginya serat kasar ransum, khususnya kandungan serat deterjen netral (47,2 – 54,3%; Tabel 2). VAN SOEST et al. (1985) melaporkan bahwa kandungan serat deterjen netral (SDN) sangat berpengaruh terhadap kemampuan ternak ruminansia untuk dapat mengkonsumsi pakan. Selanjutnya dikatakan bahwa, kandungan SDN ransum lebih besar dari 56% akan menekan tingkat konsumsi bahan kering. Tingginya tingkat kandungan komponen serat kasar akan memperlambat laju alir nutrien dalam saluran pencernaan (STENSIG et al., 1994), sekaligus mengakibatkan makin
177
Seminar Nasional Teknologi Peternakan dan Veteriner 2008
lamanya waktu tinggal pakan dalam saluran pencernaan (KETELLARS dan TOLKAMP, 1992). Boleh jadi hal tersebut merupakan faktor penyebab rendahnya tingkat konsumsi pada penelitian ini jika dibandingkan dengan yang pernah dilaporkan OSBURN et al. (1967). Kandungan serat deterjen netral produk samping tanaman dan pengolahan kelapa sawit pada penelitian ini berkisar antara 47,2 – 54,3% dari bahan kering (BK). NEWTON dan ORR (1981) melaporkan bahwa untuk memenuhi kebutuhan akan energi maka ternak berusaha untuk mengkonsumsi lebih banyak ransum. Namun demikian bahan dan bentuk ransum yang dipergunakan akan sangat berpengaruh terhadap kemampuan konsumsi ransum (GREENHALGH et al., 1976). Ditambahkan pula bahwa kandungan serat deterjen asam (ADF) ransum akan berpengaruh pada tingkat kecernaan ransum. Makin tinggi tingkat kandungan ADF maka tingkat kecernaan ransum makin berkurang. Dengan perkataan lain, kandungan serat deterjen asam ransum memiliki hubungan yang terbalik dengan tingkat kecernaan ransum. Kondisi yang demikian sangat berpengaruh terhadap tingkat kecukupan nutrien ternak yang dapat dipasok dari ransum dan memperlambat laju alir ransum (rate of passage) dalam saluran pencernaan. Konsekuensi dari rendahnya tingkat konsumsi ransum, yang sekaligus mempengaruhi tingkat konsumsi nutrien lainnya, khususnya protein kasar dan energi adalah rendahnya pertambahan bobot hidup harian (PBHH) (Tabel 3). Pola konsumsi protein kasar dan energi terlihat mengikuti pola yang terjadi pada konsumsi total bahan kering, baik kemampuan konsumsi per ekor maupun per kg BH0,75. Boleh jadi perbedaan pola konsumsi diantara ternak yang mendapat perlakuan pakan tersebut dipengaruhi oleh kemampuan ternak untuk mengkonsumsi bahan kering dari setiap bagian bahan yang tersusun dalam ransum tersebut. Namun dengan tingkat palatabilitas yang sama berdampak pada jumlah nutrien yang dikonsumsi (P > 0,05). Jumlah konsumsi protein kasar pada kegiatan ini, sama dengan tingkat konsumsi protein kasar yang dilaporkan SOEMARNI et al. (1985), yakni sejumlah 10,13 – 15,16 g/kg BH0,75. KEARL (1982) menyarankan sapi dengan bobot hidup 250 kg dan berada pada status bunting 3 bulan terakhir
178
membutuhkan protein kasar sejumlah 579 g ekor-1 hari-1 dengan jumlah protein tercerna sebanyak 405 g ekor-1 hari-1. Sementara pada kegiatan ini, rataan jumlah protein kasar yang dikonsumsi adalah 671 g ekor-1 hari-1 dengan rataan tingkat kecernaan protein kasar sebesar 64%. Dengan perkataan lain jumlah protein kasar yang siap tercerna mencapai 430 g ekor-1 hari-1, dan jumlah tersebut lebih banyak dari yang disarankan KEARL (1982). Selanjutnya juga dikatakan oleh KEARL (1982), bahwa kebutuhan energi metabolisme oleh sapi laktasi dengan kondisi sebagai yang dipergunakan pada penelitian ini adalah 14,3 Mkal ekor-1 hari-1, sementara pada kegiatan ini diperoleh nilai sejumlah 16,11 Mkal. Hal ini menunjukkan bahwa jumlah konsumsi metabolisme energi oleh sapi laktasi pada penelitian ini telah melebih kebutuhan yang disarankan. Diharapkan dengan kelebihan energi tersebut dapat dimanfaatkan untuk produksi, yang dalam hal ini air susu untuk memenuhi kebutuhan harian pedet. MAFF (1997) melaporkan bahwa kebutuhan metabolis energi oleh sapi bunting untuk tiga bulan pertama dan dengan bobot hidup 200 kg untuk memenuhi kebutuhan hidup pokoknya adalah sejumlah 26,5 MJ ME. Bila nilai rataan konsumsi energi metabolis pada kegiatan ini di konversikan ke Joule (J) maka setara dengan 66,82 MJ. Nilai tersebut menunjukkan bahwa masih ada kelebihan ME untuk produksi sejumlah 40,32 MJ ME, yang pada umumnya diharapkan dapat diekspresikan dalam bentuk pertambahan bobot hidup harian maupun untuk produksi lainnya (pertumbuhan foetus, penimbunan cadangan energi untuk produksi susu dan lain-lainnya). Dengan bobot hidup sapi pada penelitian ini seberat 197,5 kg, dan ransum yang diberikan memiliki tingkat kepadatan ME sejumlah 13,9 (MJ ME/kg BH) serta kelebihan ME sejumlah 40,32 MJ, diharapkan sapi induk mampu mempersiapkan dirinya untuk nantinya dapat memproduksi air susu yang cukup dan dapat memenuhi kebutuhan hidup pedet. Secara keseluruhan rataan laju pertambahan bobot hidup harian pedet pada penelitian ini adalah 397 g dengan kisar antara 254 – 490 g ekor-1 hari-1. Nilai tersebut sedikit lebih rendah dari yang dilaporkan OKA (2003), namun lebih tinggi dari yang dilaporkan BAMUALIM dan WIRDAHAYATI (2003). Perbedaan dengan yang
Seminar Nasional Teknologi Peternakan dan Veteriner 2008
diperoleh tersebut mungkin disebabkan pola pemeliharaan yang berbeda, dimana sapi Bali yang diamati BAMUALIM dan WIRDAHAYATI (2003) dilakukan secara ekstensif meskipun mendapat pakan tambahan, sedangkan OKA (2003) melakukan penelitian dengan pola pemeliharaan yang sangat intensif. PANJAITAN et al. (2003) melakukan pengamatan terhadap penampilan sapi Bali pada kondisi lapang di daerah NTB selama tiga tahun dan mendapatkan bahwa pertambahan anak sapi Bali yang belum disapih adalah 0,41 ± 0,11 kg ekor-1 hari-1. Sementara pertambahan bobot hidup harian untuk sapi Bali muda/pasca sapih sebesar 0,23 ± 0,11 kg. Nilai yang dilaporkan tersebut, lebih rendah dari pada yang diperoleh pada penelitian ini. Nilai pertambahan bobot hidup harian pedet dari induk sapi yang mendapat ransum R1 (254 g) adalah yang terendah dan berbeda nyata (P < 0,05) jika dibandingkan dengan perlakuan lainnya, namun pertambahan bobot hidup harian pedet dari induk sapi yang mendapat ransum R2 dan R3 tidak berbeda nyata, dengan rataan 470 g. Hasil penelitian ini juga mendapatkan bahwa tingkat effisiensi penggunaan pakan/ransum yang terbaik terjadi pada ternak sapi yang mendapatkan ransum R2 (PSIKS) dengan nilai 9,1 dan diikuti dengan sapi yang mendapat perlakuan pakan tambahan bahan komersial (R3), yakni 10,9, sementara yang terendah terjadi pada sapi yang mendapat ransum R1(exist), yakni 12,4. Ukuran tubuh tidak dipengaruhi secara nyata oleh perlakuan pakan. Tidak adanya perbedaan tersebut boleh jadi disebabkan karena variasi individu yang cukup beragam. Efisiensi ekonomi Efisiensi ekonomi, dihitung hanya berdasarkan harga pakan yang dikonsumsi untuk dapat menghasilkan pertambahan bobot hidup (PBH) tenak percobaan. Harga bahan baku ransum kajian yang berbahan PSIKS tidak seluruhnya diperoleh dengan alasan belum diperdagangkan/belum memiliki nilai ekonomi (pelepah, solid dan produk fermentasi). Oleh karena itu, untuk menghitung biaya pakan yang dikeluarkan diasumsikan bahwa: pelepah disetarakan dengan rumput segar, Rp. 150.00/kg segar atau setara dengan Rp. 575/kg bahan kering pelepah; lumpur
sawit/solid disetarakan dengan rumput, Rp. 150/kg atau setara dengan Rp. 625 kg/bahan kering; produk fementasi disetarakan dengan Rp. 300/kg segar atau setara dengan Rp. 665/kg bahan kering; bungkil inti sawit Rp. 500/kg atau setara dengan Rp. 542,5/kg bahan kering, dedak padi Rp.1.000/kg atau setara dengan Rp. 1.137,5/kg bahan kering, jagung halus, Rp. 2.000/kg atau setara dengan Rp. 2.258/kg bahan kering; mineral premix Rp. 12.500/kg dan garam Rp. 1.000/kg. Berdasarkan komposisi ransum percobaan yang dikonsumsi, maka harga ransum per kg adalah Rp. 704,5; Rp. 717,5 dan Rp. 1.344,5 masing-masing untuk R1, R2 dan R3 secara berurutan. Sementara biaya harian untuk pakan yang dikonsumsi adalah Rp. 3.452; Rp. 3.817,10 dan Rp. 7.663,65 masing-masing untuk R1; R2 dan R3 secara berurutan. Biaya pakan yang dibutuhkan untuk menghasilkan 1 kg daging, dari setiap perlakuan dihitung dengan cara sederhana, yakni (1 kg daging : PBHH) x (jumlah konsumsi bahan kering x harga ransum per kg). Dengan demikian maka harga daging untuk setiap kg, yang dihasilkan dari masing-masing ransum percobaan adalah: Rp. 7.775 untuk R1; Rp. 6.492 untuk R2 dan Rp. 12.542 untuk R3. Jika diasumsikan bahwa biaya produksi yang harus dikeluarkan untuk pakan adalah 70%, maka biaya produksi adalah Rp. 11.107,5; Rp. 9.274,3 dan Rp. 17.918,3 masing-masing untuk R1, R2 dan R3 secara berurutan. Dari uraian tersebut terlihat bahwa dari ketiga ransum percobaan yang dikaji, maka perlakuan R2 (PSIKS) merupakan ransum yang memberi keuntungan terbanyak dengan tingkat efisiensi penggunaan ransum yang terbaik jika dibandingkan dengan perlakuan R1 dan R3. KESIMPULAN Dari nilai-nilai perolehan yang telah diuraikan diatas maka dapat disimpulkan bahwa ransum yang tersusun dari imbangan cacahan daging pelepah/rumput, produk fermentasi dan bungkil inti sawit dapat menjamin kehidupan sapi Bali yang sedang laktasi dan dapat menggantikan pakan tambahan yang tersusun dari bahan pakan komersial/konvensional. Untuk medapatkan penampilan sapi laktasi yang optimal maka perlu diupayakan tingkat konsumsi yang lebih
179
Seminar Nasional Teknologi Peternakan dan Veteriner 2008
baik. Upaya meningkatkan selera/kemampuan konsumsi, perlu dilakukan antara lain dengan (i) penambahan pakan aditif, (ii) menurunkan kadar air produk fermentasi, (iii) frekuensi pemberian pakan yang lebih banyak, atau (iv) pemberian ransum dilakukan dalam bentuk pelet/ransum jadi/siap saji. DAFTAR PUSTAKA ABU HASSAN, O. OSHIO, S. ISMAEL, A.R. MOHD JAAFAR, D.NAKANISHI, N. DAHLAN and S.H. ONG. 1991. Experience and challenges in processing, treatments, storage and feeding or oil palm trunks based diets for beef production. Proc. Seminar on Oil Palm Trunks and Others Palmwood Utilization, Kuala Lumpur, Malaysia pp. 231 – 245. ANOM. 2008. Bea Keluar CPO Rp. 9 Triliun. Kompas. 22 Februari 2008. p. 18. AOAC. 1984. Official Method of Analysis. 14th Ed. Association of Official Analytical Chemist. Washington, D.C. BAMUALIM, A. and R.B. WIRDAHAYATI. 2003. Nutrition and management strategies to improve Bali cattle productivity in Nusa Tenggara. In: Strategies to Improve Bali Cattle in Eastern Indonesia. ENTWISTLE, K. and D.R. LINDSAY. (Eds.). pp. 17 – 22. GREENHALLGH, J.F.D., E.R. ORSKOV AND S. FRASER. 1976. Pelleted herbage for intensive lamb production. Anim. Prod. 22: 148 – 149. HENI. 2000. Penggunaan Bioplus pada Sapi Perah di Pondok Rangon. Skripsi S1. Institut Pertanian Bogor7. JALALUDIN, S., Y.W. HO, N. ABDULLAH and H. KUDO. 1991a. Strategies for Animal Improvement in Southeast Asia. In: Utilization of Feed Resources in Relation to Utilization and Physiology of Ruminants in the Tropics. Trop. Agric. Res. Series. # 25 pp. 67 – 76. KEARL, L.C. 1982. Nutrient Requirements of Ruminants in Developing Countries. Int'l feedstuff Inst. Utah Agric. Exp.Sta. USU. Logan Utah. USA. KETELLARS, J.J. and B.J. TOLKAMP. 1992. Toward a new theory of feed intake regulation in ruminants. 1. Causes of differences in voluntary feed intake: critique of current views. Livest. Prod. Sci. 30: 269 – 296.
180
MAFF. 1997. Energy Allowances and Feeding Systems for Ruminants. MAFF. London. NEWTON, J.E. and R.J. ORR. 1981. The intake of silage and grazed herbage by Masham ewes with single or twin lambs and its repeatability during pregnancy, lactation and after weaning. Anim. Prod. 33: 121 – 127. NRC. 1987. Predicting Feed Intake of FoodProducing Animals. National Academy Press. Washington D.C. OKA, L. 2003. Performance of Bali Cattle Heifers and Calves Prior to Weaning in a Feedlot System. In: Strategies to Improve Bali Cattle in Eastern Indonesia. ENTWISTLE, K. and D.R. LINDSAY (Eds.). pp. 14 – 16. OSBOURN, D.F., D.E. BEEVER and D.J. THOMSON. 1976. The influence of physical processing on intake, digestion and utilization of dried herbage. Proc. Nutr. Society. 35: 191 – 200. PETERSEN, R.G. 1985. Design and Analysis of Experiments. Marcel Dekker Inc. New York. SAS. 1987. SAS User's Guide: Stastistics. SAS Inst. Inc., Cary, NC. SOEMARNI, A. MUSOFIE dan N.K. WARDANI. 1985. Pengaruh pemberian wafer pucuk tebu terhadap pertambahan berat badan sapi Bali jantan. Pros. Sem. Pemanfaatan Limbah Tebu untuk Pakan Ternak. Puslitbang Peternakan, Bogor. hlm. 36 – 40. STEINSIG, T., M.R. WEISBJERG, J.MADSON and T. HVELPLUND. 1994. Estimation of voluntary intake from in-sacco degradation and rate of passage of DM and NDF. Livest. Prod. Sci. 39: 49 – 52. STUR, W.W. 1990. Methodology for establishing selection criteria for forage species evaluation. Proc. Integrated Tree Cropping and Small Ruminant Production system. SR-CRSP. Univ. California Davis, USA. pp. 10 – 23. SUDANA I.B. 1992. Urea mollases block supplement for Bali cattle fed on rice straw basal diet. In: Livestock and Feed Development in the Tropics. Malang. IBRAHIM, M.N.M., R. DE JONG, J. VAN BRUCHEM and H. PURNOMO (Eds.). pp. 184 – 187. VAN SOEST, P.J., J. B. ROBERTSON and B.A. LEWIS. 1991. Methods for dietary fiber, neutral detergent fiber and non-starch polysaccharides in relation to animal nutrition. J. Dairy Sci. 74: 3583 – 3597.
Seminar Nasional Teknologi Peternakan dan Veteriner 2008
WARDHANI, N.K., A.MUSOFIE dan SOEMARMI. 1985. Pengaruh pemberian wafer pucuk tebu terhadap produksi susu sapi perah. Pros. Seminar Pemanfaatan Limbah Tebu Untuk Pakan Ternak. Puslitbang Peternakan, Bogor.
ZAINUDIN, A.T. and M.W. ZAHARI. 1992. Research on nutrition and feed resources to enhance livestock production in Malaysia. Proc. Utilization of Feed Resources in Relation to Nutrition and Physiology of Ruminants in the Tropics. Trop. Agric. Res. Series. # 25: 9 – 25.
181