Pemahaman dan Pemaknaan Pancasila Sebagai Agama Sipil Indonesia dalam Pelaksanaan Misi Agama-agama
I Made Priana
Abstract Pancasila is being created and decided as the common will of Indonesian people. i4s the common will of Indonesian people, Pancasila is the soul as well as the way of Indonesia which should be practiced by all Indonesian in all aspects of their life, including in their religious life, for the sake of Indonesia's aim that is "The Indonesia Commonwealth". As the soul of Indonesia, the values of Pancasila that is freedom, unity, equality and brotherhood must be the spirit of all religious mission in Indonesia. By having the spirit of Pancasila as such, our religious mission would not be done for the sake of our own religion interest but for the sake of our national common goal that is the prosperous Indonesia or the well-being of all Indonesian people. Keywords: Pancasila, Civil Religion, Unity.
Sejak Indonesia berada sebagai sebuah bangsa, walau telah dibangun di atas dasar negara yang disepakati bersama yakni Pancasila, misi dari masing-masing agama yang ada di Indonesia disinyalir masih lebih bersifat institusional daripada sosial. Sinyalemen bahwa misi setiap agama di Indonesia masih lebih berorientasi pada kepentingan institusi agama daripada kepentingan bersama masyarakat Indonesia, memang terpantul jelas dari program yang direncanakan dan aksi-aksi yang dilakukan oleh semua agama. Setiap agama di Indonesia tanpa terkecuali dengan penuh persiapan, memiliki visi, skema dan agenda untuk menjadi agama besar yang dominan, seraya dengan gigih beraksi dan berreaksi untuk memperkokoh dirinya1. Pembangunan tempat tempat ibadah yang besar dan mahal, misalnya, yang berjajar di banyak tempat termasuk di daerah daerah berpenduduk miskin,
tidak
sanggup menyembunyikan motivasi dan strategi dari masing-masing agama di balik pembangunan itu bahwa mereka memperlihatkan diri sebagai komunitas besar yang selalu hendak menjadi lebih megah dari yang lain. Demikian pula, kegiatan-kegiatan 1
Eka Darmaputera, "Spiritualitas Baru Dan Kepedulian Terhadap Sesama : Suatu Perspektif Kristen", dalam Th. Sumartana, Eka Darmaputera, Djohan Effendi, Daniel Dhakidae, Zulkifly Lubis eds., Spiritualitas Baru: Agama dan Aspirasi Rakyat (Yogyakarta : Institute Dian/Interfidei, 1994), 57.
'Wasfiita, Jurnal Studi Agama dan Masyarakat
keagamaan yang
berjumlah tidak sedikit dan diselenggarakan selalu dengan biaya
mahal, tidak terkecuali pada saat sebagian besar penduduk Indonesia ada dalam masa keprihatinan, dengan mudah memproyeksikan maksud dan tujuan dari masing-masing agama di belakang kegiatan-kegiatan tersebut, bahwa mereka hendak menunjukkan diri sebagai komunitas yang tidak hanya benar-benar eksis namun juga yang selalu bercitacita menjadi komunitas yang lebih unggul dari komunitas yang lain. Bahwa misi masingmasing agama di Indonesia masih lebih bersifat institusional daripada sosial, juga nampak jelas pada perilaku setiap agama yang senantiasa cendrung untuk mengoreksi, mengerdilkan bahkan meniadakan agama-agama yang Iain dalam rangka memperbesar dirinya 2. Realitas misi dari masing-masing agama di Indonesia seperti terdeskripsi di atas, melahirkan adanya rasa ketersinggungan, kecurigaan, antipati, permusuhan dan persaingan yang tidak pernah padam antar agama-agama di Indonesia untuk saling memenangkan dan mendominasi agama lain demi kepentingan agama sendiri. Dampak misi agama institusional yang demikian ini, sangat mengebiri kekuatan masing-masing agama di Indonesia untuk menyumbangkan sesuatu demi kemajuan masyarakat, dan juga sangat menafikan keinginan untuk saling bekerjasama antar agama dalam perjalanan bangsa meraih tujuan bersama bangsa, yakni Indonesia yang sejahtera karena setara. Praktek misi agama institusional yang sangat merugikan perjalanan bangsa ini, disebabkan karena setiap agama di Indonesia mewarisi sikap beragama yang eksklusif. Eksklusivisme agama, sebagaimana dikemukakan oleh John A. Titaley, adalah sikap agama di mana dengan berdasar pada kitab sucinya sebagai wahyu dari yang ilahi, masing-masing agama memahami dan mengklaim dirinya sebagai pihak yang memiliki kebenaran-kebenaran transendental yang absolut, lalu memberitakan hal itu dengan tujuan agar semua orang menerimannya3. Dalam misi agama yang institusional, di mana pemutlakan pemahaman masingmasing agama akan hal-hal yang transendental berdasar pada kitab sucinya menjadi sikap semua agama, telah senyatanya tidak selaras dengan ideologi masyarakat 2
EG. Singgih, "Tema Kerukunan Umat Beragama Di Dalam Diskusi Pakar Agama", dalam Soegeng Hardiyanto, Martin Lukito Sinaga, Darius Dubut, Sulaiman Manguling, John D. Soleyman, Patmono, eds., Agama Dalam Dialog, Pencerahan, Pendamaian, dan Masa Depan, (Jakarta : BPK Gunung Mulia, Get. Ke 3, 2003 J36, 42, 46, 48. 3 John A. Titaley, Religiositas Di Alinea Tiga, Pluralisme, Nasionalisme, dan Transformasi Agamaagama, (Salatiga : Satya Wacana University Press, 2013 ) 1, 2, 5.
2
I Made Priana, "Pemahaan dan Pemaknaan ..."
Indonesia yang adil dan beradab seraya menciderai perjalanan bangsa dalam menghargai kesamaan martabat manusia dan dalam merawat rasa kesatuan bangsa. Hal itu terjadi demikian karena setiap agama atas nama pemutlakan itu sering merasa berwenang
untuk
bertindak
sewenang-wenang terhadap
sesamanya,
termasuk
mendiskriminasi bahkan meniadakan keberadaan sesamanya. Padahal, menurut John A. Titaley, eksklusivisme agama kristen, dan nampaknya itu juga berlaku untuk eksklusivisme pada semua agama, yang kita warisi sampai sekarang dalam perilaku beragama, memiliki latar belakang sosial dan historiknya masing-masing. Konstruksi analisa yang demikian dibuat berdasar pada realita bahwa kitab suci ditulis oleh manusia berdasar pada pergumulannya dalam situasi tertentu4. Melihat kecenderungan misi agama-agama di Indonesia masih lebih bersifat institusional daripada sosial, kemudian dalam rangka berbenah diri agar setiap agama bisa menghadirkan misi agama yang mempersatukan dan mensejahterakan, agama-agama di Indonesia perlu memahami dan memaknai bahwa Pancasila itu senyatanya adalah agama sipil Indonesia. Berbicara tentang esensi agama, Emile Durkheim melalui bukunya yang berjudul "Bentuk-bentuk Elementer Kehidupan Beragama" berpendirian bahwa agama itu tidak diwahyukan, tetapi dilahirkan dari bawah. Agama dibentuk dan dilahirkan oleh masyarakat. Agama dan masyarakat adalah satu dan sama. Agama adalah masyarakat dalam bentuk lain. Agama yang pada dirinya adalah masyarakat, menurut Emile Durkheim, harus dilucuti dari corak transendentalnya dan hanya dilihat sebagai pengungkap hidup masyarakat. Sebagai pengungkap hidup masyarakat, agama berperan untuk mempersatukan dan mengitegrasikan anggota masyarakat, mengatur dan menertibkan keiakuan anggota masyarakat. Agama itu berfungsi sebagai perekat masyarakat5. Tentang istilah dan makna agama sipil (oleh tokoh lain disebut agama publik) yang dikonstruksi Jean Jacques Rousseau pada abad XVIII di Eropa, berdasar pada teori kontrak sosialnya di mana "kepentingan tertib sosial manusia dan kewajiban moral pada 4
Titaley, Religiositas di Alinea Tiga, 28 - 29. Bustanuddin Agus, Agama dan Fenomena Sosial, Baku Ajar Sosiologi Agama (Jakarta: Universitas Indonesia, 2010] 68. Bandingkan: K. J. Veeger, Realitas Sosial: refleksi filsafat sosial atas hubungan individu - masyarakat dalam cakrawala sejarah sosial (Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama, 1993] 140,171. Lihat juga: Doyle Paul Johnson, Sociological Theory Clasical Founders and Contemporary Perspectives, diindonesiakan oleh Robert M. Z. Lawang, Teori Sosiologi Klasik Dan Modern (Jakarta: Penerbit PT Gramedia, 1986],168. Bandingkan juga: Tom Campbell, Tujuh Teori Sosial: Sketsa, Penilaian, Perbandingan (Jakarta: Penerbit Kanisius, 1994],168. 5
3
OS kitCL, Jurnal Studi Agama dan Masyarakat
semua orang berada pada sisiyang sama," yang kemudian dikembangkan oleh Robert N. Bellah di Amerika, diperkenalkan kepada kita sebagai suatu kesetiaan warga dari sebuah masyarakat yang terikat pada kontrak sosial yang mereka bangun sendiri, guna untuk mencapai bersama-sama kehendak umum mereka, berupa keadilan dan kesejahteraan bersama. Kehendak umum ini adalah tuntutan dan tuntunan sosial yang memiliki nilai imaniah yang patut dilakukan oleh setiap warga negara demi kepentingan bersama. Dalam hal ini agama sipil atau agama publik memang tidak sama dengan agama seseorang, sehingga agama sipil juga tidak meniadakan agama seseorang. Namun tanpa kesetiaan seorang warga negara terhadap kehendak umum, dia tidak bisa menjadi warga negara yang baik atau rakyat yang setia. Dalam agama sipil, pemerintah dan warga negara dengan agamanya masing-masing patut menundukkan diri pada kehendak umum atau konstitusi yang diterima bersama oleh seluruh rakyat yang latar belakang keagamaannya beragam. Tampaknya hanya dengan mengawinkan secara kreatif transformatorik antara agama sipil dengan agamanya masing-masing, seseorang warga
negara
akan
bisa
berlaku
adil
bagi
sesamanya
dan
sekaligus
bisa
6
mempertahankan keutuhan bangsanya . Kemudian masih bertalian dengan makna agama sipil atau agama publik, Hans Kung berpendapat bahwa dunia kita baik secara politik, teknologi, ekonomi, maupun peradaban; memerlukan etik dunia. Yaitu sebuah konsensus dasar yang terkait dengan nilai-nilai yang mengikat, standar-standar yang tidak dapat diganggu gugat, dan sikap sikap personal. Tanpa adanya konsensus dasar mengenai etik, masyarakat di mana pun cepat atau lambat akan terancam oleh kekacauan atau kediktatoran. Menurut Hans Kung, etik global bukan sebuah kesatuan agama di atas semua agama yang ada, dan bukan dominasi satu agama atas agama lainnya. Etik global juga tidak mereduksi agama-agama ke dalam minimalisme etis, melainkan menghadirkan batas minimal etik yang patut dimiliki bersama oleh semua agama dunia. Empat batas minimal etik yang patut dimiliki bersama oleh semua agama dunia karena keempat nilai itu sesungguhnya terdapat pada hampir semua agama ialah sebagai berikut: Pertama, nilai non kekerasan dan hormat pada kehidupan. Kedua, nilai solidaritas dan tata ekonomi yang adil. Ketiga, 6
Jean Jacques Rousseau, The Social Contract, diindonesiakan oleh Sumardjo (Jakarta: Penerbit Erlangga, 1986) xv, xix, 14, 15, 17- 29. Bandingkan: Robert N. Bellah & Philip E. Hammond, Varietas of Civil Religion, diindonesiakan oleh Imam Khoiri, Fathurrahman, Sirojuddin Arif, Jazilus Saho'M, (Jogyakarta: IRCiSoD, 2003) 35, 293 - 296. Bandingkan pula dengan: Robert N. Bellah, Beyond Belief, diindonesiakan oleh Rudy Harisyah Alam, (Jakarta: Paramadina, 2000)246 - 270.
4
I Made Priana, "Pemahaan dan Pemaknaan ..."
nilai toleransi dan hidup yang tulus. Keempat, nilai kesejajaran hak dan kerjasama antara laki-laki dan perempuan. Etik global tidak diarahkan untuk melawan siapa pun, namun justru untuk mengundang setiap orang balk yang beragama maupun tidak, untuk menjadikan etik global sebagai milik bersama dan berbuat sesuai dengannya. Melanjutkan pandangannya Hans Kung berprediksi bahwa Bila nilai-nilai yang mengikat, kriteria kriteria yang tidak bisa dibatalkan dan norma-norma konkret seperti termaksud di atas, menjadi landasan religiositas bagi agama-agama, maka masingmasing agama akan memiliki kemampuan untuk mengatasi batas batas hukum, ajaran dan institusi agamanya demi kemanusiaan7. Merujuk teori Emile Durkheim bahwa agama adalah produk masyarakat berupa ketentuan-ketentuan yang berfungsi sebagai perekat masyarakat, menyimak teori Jean Jacques Rousseau bahwa agama sipil adalah produk masyarakat berdasarkan konsensus bersama berupa ketetapan ketetapan bersama yang berperan sebagai jalan untuk mencapai kehendak umum masyarakat, memperhatikan pandangan Hans Kung bahwa etik global adalah etik bersama yang patut dimiliki dan dilaksanakan oleh semua agama, maka tampaknya tidak keliru bila kita memahami bahwa Pancasila adalah agama sipil Indonesia. Pemahaman yang demikian didasarkan pada fakta sejarah bahwa Pancasila adalah nilai-nilai yang dilahirkankan dan ditetapkan oleh bangsa Indonesia sebagai kehendak umum untuk dilaksanakan sebagai jalan mereka mencapai tujuan bersama seluruh rakyat Indonesia yakni Indonesia sejahtera8. Nilai-nilai yang menjadi kehendak umum dalam Pancasila itu ialah: kebebasan, persatuan, kesederajatan dan kekeluargaan. Menurut Thobias A. Messakh, keempat nilai Pancasila ini saling mengkarakterisi atau mengkonstitusi satu dengan yang lain. Artinya, demikian tulis Thobias A. Messakh, nilai persatuan dan kekeluargaan mengkonstitusi nilai kebebasan dn kesederajatan, sehingga kebebasan dan kesederajatan tidak dijiwai oleh egoisme atau individualisme. Sebaliknya, nilai kebebasan dan kesederajatan mengkonstitusi nilai persatuan dan kekeluargaan, sehingga terhindar dari persatuan dan kekeluargaan yang dijiwai oleh semangat feodalistis-hierarkhis, yaitu persatuan dan kekeluargaan yang warganya tidak memiliki kebebasan dan kesederajatan. Nilai 7
Hans Kung dan Karl-Josef Kuschel, A Global Ethic, diindonesiakan oleh Ahmad Murtajib (Yogyakarta: Sisiphus, 1999) xxxi - xxxiv, 16, 21 - 39,150 - 156. 8 Saafroedin Bahar dan Nannie Hudawati, Risalah Sidang Badan Penyelidik Usaha Usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia (BPUPKI), Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia (PPKI) 28 Mei 1945 - 22 Agustus 1945, (Jakarta: Sekretariat Negara Republik Indonesia, 1998) 84 - 105.
5
"Waskitd, Jurnal Studi Agama dan Masyarakat
kekeluargaan mengkonstitusi persatuan, kebebasan dan kesederajatan, sehingga relasi antar masyarakat Indonesia, tidak menjadi relasi yang egoistis, tetapi relasi saling peduli satu dengan yang lain9. Nilai-nilai Pancasila itu menggerakkan dan mengatur kehidupan bersama masyarakat Indonesia menuju masyarakat sejahtera10. Nilai-nilai dalam Pancasila yang menjadi kehendak umum rakyat Indonesia itu menjadi tuntutan dan sekaligus tuntunan bagi seluruh rakyat Indonesia untuk berperilaku inklusif, non diskriminatif, mencintai kesetaraan, menjunjung tinggi kesamaan hak dan menghargai harkat dan martabat kemanusiaan11. Kehendak umum Indonesia sebagaimana tertuang dalam Pancasila puncak konsensus manusia Indonesia, adalah sebuah keberagamaan yang tidak eksklusif. Berdasar pada kehendak umum Indonesia sebagai tertuang dalam Pancasila, maka dapat disimpulkan bahwa Pancasila memang adalah agama sipil Indonesia. Religiositasnya adalah keberagamaan yang transformatorik. Religiositasnya menuntut pemahaman yang melewati batas-batas kebenaran ajaran dan dogma hasil pergumulan manusia Indonesia dalam agamaagamanya masing-masing. Religiositas Indonesia menempatkan manusia Indonesia sebagai manusia yang bertuhan satu saja,yaitu Tuhannya semua orang Indonesia apapun agamanya, yaitu Tuhan Yang Maha Kuasayang karena rahmatNya menjadikan Indonesia sebagai bangsa yang merdeka, dan menjadikan semua rakyat Indonesia setara di hadapanNya12. Menyorot misi agama-agama di Indonesia sebagaimana terpapar di atas, memahami Pancasila sebagai agama sipil Indonesia, maka kita mesti mentransformasi misi agama yang bersifat institusional menjadi misi agama yang bersifat sosial. Misi agama yang berorientasi kepada kepentingan agama harus kita rubah menjadi misi agama yang berorientasi kepada kepentingan bangsa. Misi masing-masing agama untuk mencari jiwa baik dengan tujuan untuk menambah kuantitas dan kuasa komunitas maupun dengan tujuan untuk mengajak sesama ke "rumah Bapa," secepatnya kita perlu rekonstruksi dengan misi agama yang senang untuk bekerjasama dengan semua agama
9
Thobias Messakh, Konsep Keadilan Dalam Pancasila (Salatiga: Satya Wacana University Press, 2007 ] 45-47,161. 10 Ariel Budiman. "Agama, Demokrasi, Dan Keadilan, dalam M. Imam Aziz, M. Jadul Maula, Ellyasa KH Dharwis eds., Agama, Demokrasi Dan Keadilan (Jakarta: Gramedia, 1993] 24 11 Eka Darmaputera, "Gereja Dan Pancasila" dalam Weinata Sairin, Menghidupi Angin Perubahan (Jakarta: BPK Gunung Mulia, 2006] 42 12 Ibid 3, him. 38,44, 59 - 60
6
I Made Priana, "Pemahaan dan Pemaknaan ..."
yang ada di negeri ini untuk memperbaiki dan memperindah Indonesia "rumah bersama kita." Dari pada merayu apalagi memaksa sesama untuk diajak ke sorga sampai menerakakan Indonesia, adalah lebih baik kita menafsir ulang data dan tradisi agama yang membuat kita bersikap eksklusif selama ini, demi mensurgakan Indonesia. Misi agama yang merawat keutuhan negara dan memelihara kemajemukan bangsa adalah lebih benar dari pada misi agama yang memegahkan diri sendiri13, apalagi menceraiberaikan anak bangsa. Dalam rangka memaknai Pancasila sebagai agama sipil Indonesia, maka misi masing-masing agama di Indonesia sebaiknya berupa gerakan pluralis yang berperan secara efektif untuk melindungi setiap warga Indonesia dari tindakan ketidakadilan oleh warga yang lain. Dalam misi ini semua agama tanpa terkecuali tidak boleh menyandera pemerintah apalagi mengeksploitasinya demi kepentingan suatu agama. Sebaliknya
semua
agama
harus
membantu
pemerintah
untuk
tidak
gamang
menghukum dan menghentikan pelaku kekerasan berbasis agama karena khawatir dianggap anti agama. Dalam misi agama yang mendaratkan pluralisme agama di Indonesia, semua agama patut melakukan petisi kepada pemerintah untuk menghapus sejumlah kebijakan dan perundang-undangan yang tidak toleran terhadap kelompok minoritas dan agama agama lokal. Dalam misi agama yang menjunjung tinggi pluralitas, semua
agama
patut
mengingatkan
pemerintah
bahwa
seseorang
tidak
bisa
dikriminalisasi karena yang bersangkutan memilih sekte dan tafsir tertentu dalam beragama. Kementrian Agama tidak boleh mengintervensi dan menjadi hakim yang bisa memutus tentang sesat dan tidaknya suatu tafsir dan ritual peribadatan. Seseorang bisa dikriminalisasi bukan karena yang bersangkutan menjalankan ritus peribadatan tertentu, melainkan bila di dalam ritual itu terdapat tindak kriminal seperti kekerasan yang merendahkan martabat manusia14. Dalam memaknai Pancasila sebagai agama sipil Indonesia, misi agama-agama di Indonesia sepatutnya berkarakter nasionalis. Dalam misi agama yang nasionalis, semua agama di Indonesia berkewajiban untuk memproklamirkan bahwa politik sektarian primordialis yang membawa dan mengatasnamakan bahkan menyalahgunakan label 13
Diunduh dari: Mosqsith Ghazali. 14 Diunduh dari: Mosqsith Ghazali.
http://islamlib.com/id/artikel/pluralisme-agama-di-Indonesia/
oleh
Abdul
http://islamlib.com/id/artikel/pluralisme-agama-di-Indonesia/
oleh
Abdul
7
"Waskita, Jurnal Studi Agama dan Masyarakat
agama adalah sangat tidak Indonesiani. Tampaknya karena politik sektarian tidak pancasilais, sejumlah partai berasas agama tidak laku berdagang agama dalam ranah politik. Hal ini terjadi berkali-kali dalam penyelenggaraan pemilihan umum. Matinya politik aliran di Indonesia menunjukkan bahwa sesuatu yang indonesiani adalah sesuatu yang tidak sektarian. Sesuatu yang sektarian tidak akan mampu membunuh Indonesia. Sebaliknya Indonesia selama ia ada sesuai dengan konsensus bersama, justru yang akan menjadi pembunuh sektarian15. Dalam memaknai Pancasila sebagai agama sipil di Indonesia, misi agama agama di Indonesia sepatutnya berkarakter examplary bagi dunia. Maksudnya, semua agama di Indonesia bersaksi dengan kompak kepada dunia bahwa di Indonesia, justru dengan berpayung pada Pancasila sebagai agama sipil Indonesia, semua agama belajar untuk mengaktualisasikan perdamaian dan kemanusiaan. Masing-masing agama dunia ditempat kelahirannya di mana ia menjadi anak emas dan mendominasi segala ketetapan, ia tidak berhasil mewujudkan perdamaian. Kenyataan ini mengingatkan kita bahwa di mana ada dominasi di situ ada ketidakadilan. Kemudian di mana ada ketidakadilan di situ tidak ada perdamaian dan kemanusiaan. Kiranya fenomena ini kita renungkan, siapa tabu Pancasila yang adalah agama sipil Indonesia, menjadi jalan bagi kita dan agama kita untuk menundukkan diri padanya, karena justru di situlah sumber perdamaian dan arti menjadi manusia16. Daftar Pustaka Agus, Bustanuddin. Agama dan Fenomena Sosiai, Buku Ajar Sosiologi Agama. Jakarta: Universitas Indonesia, 2010. Bahar, Saafroedin dan Nannie Hudawati. Risalah Sidang Badan Penyelidik Usaha Usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia (BPUPKI), Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia (PPKI) 28 Mei 1945 - 22 Agustus 1945. Jakarta: Sekretariat Negara Republik Indonesia, 1998. Bellah, Robert N. Beyond Belief, diterjemahkan oleh: Rudy Harisyah Alam. Jakarta: Paramadina, 2000. Bellah, Robert N., Philip E. Hammond. Varietas of Civil Religion, diterjemahkan oleh: Khoiri, Imam Fathurrahman, Sirojuddin Arif, Jazilus Saho'M. Jogyakarta: IRCiSoD, 2003.
15
Diunduh dari: http://islamIib.com/id/artikeI/pIuraIisme-agama-di-Indonesia/olehAbduI Mosqsith Ghazali. 16 Titaley, Religiositas di Alinea Tiga, 168.
8
I Made Priana, "Pemahaan dan Pemaknaan
Budiman, Arief. "Agama, Demokrasi, Dan Keadilan", dalam M. Imam Aziz, M. Jadul Maula, Ellyasa KH Dharwis eds., Agama, Demokrasi Dan Keadilan. Jakarta: Gramedia, 1993. Campbell, Tom. Tujuh Teori Sosial: Sketsa, Penilaian, Perbandingan. Jakarta: Penerbit Kanisius, 1994. Darmaputera, Eka. "Gereja dan Pancasila" Weinata Sairin, Menghidupi Angin Perubahan. Jakarta: BPK Gunung Mulia, 2006. Darmaputera, Eka. "Spiritualitas Baru Dan Kepedulian Terhadap Sesama : Suatu Perspektif Kristen". Sumartana, Th., Eka Darmaputera, Djohan Effendi, Daniel Dhakidae, Zulkifly Lubis eds., Spiritualitas Baru : Agama dan Aspirasi Rakyat. Yogyakarta : Institute Dian/Interfidei, 1994. Johnson, Doyle Paul. Sociological Theory Ciasical Founders and Contemporary Perspectives. Diterjemahkan oleh: Robert M. Z. Lawang. Teori Sosiologi Klasik Dan Modern. Jakarta: Penerbit PT Gramedia, 1986. Kung, Hans dan Karl-Josef Kuschel, A Global Ethic, diterjemahkan oleh: Ahmad Murtajib. Yogyakarta: Sisiphus, 1999. Messakh, Thobias. Konsep Keadilan Dalam Pancasila. Salatiga: Satya Wacana University Press, 2007. Rousseau, Jean Jacques. The Social Contract, diindonesiakan oleh: Sumardjo. Jakarta: Penerbit Erlangga, 1986. Singgih, EG. "Tema Kerukunan Umat Beragama Di Dalam Diskusi Pakar Agama". Hardiyanto, Soegeng, Martin Lukito Sinaga, Darius Dubut, Sulaiman Manguling, John D. Soleyman, Patmono, eds., Agama Dalam Dialog, Pencerahan, Pendamaian, dan Masa Depan. Jakarta : BPK Gunung Mulia, 2003. Titaley, John A. Religiositas Di Alinea Tiga, Pluralisme, Nasionalisme, dan Transformasi Agama - Agama. Salatiga : Satya Wacana University Press, 2013. Veeger, K. J. Realitas Sosial: Refleksi Filsafat Sosial Atas Hubungan Individu-Masyarakat dalam Cakrawala Sejarah Sosial. Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama, 1993.
9