BAB IV PERBANDINGAN ANTARA PEMAHAMAN DAN PRAKTEK MISI NOMMENSEN DENGAN PEMAHAMAN DAN PRAKTEK MISI HKBP
4.1 Tujuan Misi Menurut pandangan modern (kalangan liberal) misi mencakup penginjilan dan pelayanan sosial, namun bagi kalangan liberal penginjilan tidak lebih penting daripada pelayanan sosial. Berkaitan dengan hubungan antara misi dan penginjilan, John Stott mempelopori perubahan paradigma di kalangan Injili tentang pengertian misi. Ia berpendapat bahwa misi Alkitabiah mencakup penginjilan dan pelayanan, tetapi penginjilan tetap menjadi inti misi (John R. W. Stott, Christian Mission in the Modern World, hlm. 15-34). Murid-murid diutus untuk melakukan misi sama seperti yang telah dilakukan Yesus, sedangkan dalam pelayanan Yesus, Ia tidak hanya memberitakan Injil tetapi juga memperhatikan masalah sosial.1 Konsultasi United in Mission 1998 sudah merumuskan dengan sangat tepat: “Kita tidak berhak untuk membuat Injil impian sorgawi saja. Yesus menyenangkan orang lapar dan membasuh kaki yang kotor. Yesus menyembuhkan orang sakit dan menghiburkan orang yang berdukacita. Yesus memanggil orang kaya dan berkuasa untuk bertobat. Oleh karenanya adalah merupakan suatu tugas menyebutkan nama Yesus yang melebihi segala nama di bawah kolong langit ini (kisah Para Rasul 4 : 12) dan berjuang untuk keadilan di sisi orang yang tertindas dan terasing”.2 Misi adalah sebuah pelayanan berwajah banyak, sehubungan dengan kesaksian, pelayanan, keadilan penyembuhan,
1 http://www.gkri-exodus.org/page.php?ART-MS-Pengantar_Misi pada 29 Juli 2009 pukul 19.40 wib. 2 Beyer, Ulrich. Dr; “United Evangelical Mission, Bersekutu untuk Misi Bersam-sama” (Menggapai Gereja Inklusif); Kantor Pusat HKBP, Pearaja, Tarutung 2004, hal: 226
perujukan,
pembebasan,
perdamaian,
penginjilan,
persekutuan,
penanaman
gereja,
kontekstualisasi dan lebih banyak lagi. Usaha-usaha untuk mendefinisikan misi adalah sesuatu yang baru. Gereja Kristen mula-mula tidak melakukan hal itu. Dan pada dekade-dekade terakhir, telah terjadi peningkatan dalam penggunaan istilah ‘misi’. Menanggapi perdebatan dalam masalah hubungan antara misi dan penginjilan, Bosch meyakini bahwa sebenarnya pekabaran injil atau penginjilan tidak sama dengan misi, namun keduanya mempunyai kaitan dan saling berhubungan secara teologis dan praksis.3 Hal ini diuraikannya dengan penjelasan bahwa misi lebih luas daripada penginjilan dan misi berarti keseluruhan tugas yang telah Allah berikan kepada gereja demi keselamatan dunia, tetapi selalu terkait dengan suatu konteks, kuasa jahat, keputus-asaan dan ketersesatan. Lebih lanjut, Bosch menambahkan, misi adalah gereja yang diutus ke dalam dunia, untuk mengasihi, melayani, memberitakan, mengajar, menyembuhkan dan membebaskan.4 Sejarah Penginjilan yang dilakukan oleh lembaga-lembaga Penginjilan di seluruh dunia, khususnya di Indonesia, mengalami perubahan dari waktu ke waktu. Setelah masuknya agama Kristen pertama kali ke Indonesia melalui bangsa-bangsa penjajah hingga pekerjaan penginjilan yang dilakukan oleh lembaga-lembaga penginjilan secara berkelompok yang terpisah dari ikatan pemerintah, penginjilan dilakukan dengan cara-cara yang ‘bertransformasi’ dari waktu ke waktu yang tidak akan pernah bisa dipisahkan dengan konteks yang terjadi pada masanya. Konteks ataupun situasi ini meliputi perubahan pemahaman tentang makna penginjilan yang terjadi dalam ‘tubuh Kristen’ sendiri, kemudian perubahan atau perkembangan ilmu dan teknologi, perubahan sosial, politik, ekonomi, hingga pada perkembangan agama-agama lain diluar Kristen.
3
Bosch, Transformasi Misi, 626. 4 Ibid, 631-632.
Gereja melaksanakan Pekabaran Injil karena adanya pengutusan, dan Pekabaran Injil yang dilakukan oleh gereja merupakan penggenapan Misi di dunia. Di sini berarti bahwa gereja melaksanakan Pekabaran Injil atas perintah Allah Tritunggal. Seperti Allah Bapa mengutus Putra dan Allah Putra mengutus Roh Kudus, ketiga-Nya mengutus gereja ke tengah-tengah dunia. Di mana yang kita ketahui bersama bahwa misi gereja di dunia ini adalah menciptakan kerajaan ALLAH dan mendatangkan damai sejahtera bagi seluruh ciptaan-Nya serta menjadikan bumi ini untuk layak didiami. Mayoritas lembaga-lembaga penginjilan yang bertugas di Indonesia ini diprakarsai oleh kebangkitan Pietisme dan Revival di Eropa. Sehingga, dalam perjalanan misinya, gerakan ini bergaya Pietisme yang menekankan pertobatan perorangan dan bersikap kritis terhadap ilmu duniawi. Kemudian juga, gerakan ini menekankan adanya penyatuan dan tidak boleh membawa paham dari gereja-gereja tertentu darimana mereka berasal.5 Gaya Pietisme ini bahkan dianut hingga utusan-utusan zending yang datang ke Indonesia pada abad 19. Dan dalam tahun 18001900, pekabaran Injil dengan realitas penjajahan (kolonialisme) semakin menonjol.6 Sejarah PI adalah bagian dari sejarah gereja. Ditinjau dari sudut tertentu dan menentukan, Prof. J.H. Bavink membedakan sejarah PI menurut motif atau dorongan melakukan PI.7 1. Masa sesudah para rasul. Pada masa ini, belum ada motif atau dorongan yang pasti untuk melakukan PI, semua dilakukan dengan spontan. Namun ada catatan penting pada masa ini, bahwa PI kurang berminat terhadap hal-hal yang berbau politik dan juga tidak berminat pada kebudayaan. Penginjilan pada masa 5 Dr. Th. Van Den End, Ragi Carita 1 (Jakarta : BPK Gunung Mulia), 2006, 156. 6 Prof. B.F. Drewes, M.Th. dan Pdt. Julianus Mojau, M.Th, Apa itu Teologi? (Jakarta : BPK Gunung Mulia), 2003, 55. 7 Venema, Injil untuk Semua, 210.
awal-awal kekristenan ini dilakukan bukan oleh lembaga-lembaga penginjilan yang terorganisir dengan baik, tetapi lebih banyak dilakukan dengan cara penginjilan secara perorangan dan spontan. 2. Agama Negara, sekitar tahun 350 – 1700. Pada masa ini, motif melakukan PI adalah gerejani, politik dan pertapaan. Sehingga PI mulai meluas hingga ke dalam dunia kebudayaan dan politik. Catatan penting masa ini adalah Kristen dipakai sebagai agama negara dan PI berarti perluasan Negara Kristen. 3. Pietisme, Methodisme, sekitar abad ke-17. Masa ini, PI tidak lagi mencampuri dunia politik dan melepaskan diri dari gereja (negara). Pada masa ini, kesalehan perorangan sangat diutamakan, PI dilakukan dengan memberi kritik kepada kebudayaan dan pelaksanaan PI dengan memberikan penekanan pada dimensi eskhatologia. 4. Abad ke-19. Masa ini ditandai dengan memberikan reaksi terhadap Pietisme. Badan-badan PI sudah terlepas sepenuhnya dari unsur pemerintah, meskipun masih sering mengikuti jejak-jejak kolonialisme. Pada masa ini, teologia yang mulai dipakai adalah teologi yang mengarah kepada teologi liberal dengan penekanan kepada sudut-sudut sosial dan peradaban. PI sangat giat dilakukan, namun mengakibatkan korban yang tidak sedikit. Ada beberapa motif yang dipakai untuk melaksanakan PI pada masa ini, yaitu kasih dan ketaatan. 5. Masa baru, sejak 1914. Pada masa ini, badan-badan PI pada umumnya sudah mulai digerejanikan, gereja-gereja ‘muda’ mulai didewasakan. PI mulai berkembang kearah oikumene, perhatian kepada kaum awam ditingkatkan, namun penekanan PI masih pada dimensi eskhatologia. Masa
ini juga ditandai dengan adanya penghalang pelaksanaan PI yaitu nasionalisme barat dan timur.
Pembagian sejarah PI yang dituliskan oleh Bavink diatas, sebenarnya hanya merupakan salah satu bentuk pembagian sejarah PI yang dibuat oleh para ahli. Namun setidaknya pembagian ini dapat memberikan sedikit gambaran kepada kita tentang bagaimana sejarah PI itu berlangsung dari waktu ke waktu.
4.2 Misi Penginjilan Awal di Tanah Batak 4.2.1 Bangsa Batak sebelum masuknya penginjilan Sebelum masuknya penginjilan ke tanah Batak, bangsa Batak masih mengaut agama suku. Agama batak berpusat pada Debata Mulajadi Na Bolon, sebagaimana yang telah di amanatkannya: “jika penghuni Banua Tonga (manusia) dapat bertemu dengan penghuni Banua Atas, haruslah dengan sesaji sebagai alas tangan, di mana sesaji itu haruslah bersih dan suci”, maka kepercayaan Siraja Batak disebut Parmalim atau Parbaringin, yang selanjutnya disebut Agama Parmalim. Pada dasarnya agama ini mengutamakan pengabdian yang sunguh-sungguh, sehingga seseorang dituntut sungguh-sungguh untuk berbuat baik dan suci, sesuai dengan arti nama Parmalim. Parmalim berasal dari kata “Par” sebagai awalan, dan “Malim” yang artinya dalam segala kesucian badan dan rohani.8
8T.E. Taringan dan Emilkam Tambunan, Struktur dan Organisasi Masyarakat Toba, (Ende Flores: Nusa Indah-Arnoldus, 1974), 74
Agama Parmalim berpusat kepada Debata Mulajadi Na Bolon (Tuhan Sang Khalik Besar), dan pada perkembangan awalnya pemimpin agama ini adalah keluarga Raja Sisingamangaraja,9 sebab hanya Raja Sisingamangaraja dipandang sebagai perantara orang batak dengan Debata Mulajadi Na Bolon.10 Perkembangan selanjutnya, setelah kematian Raja Sisingamangaraja XII, pemimpinnya adalah datu (dukun) yang dipercayai mampunyai wibawa untuk meneruskan agama parmalim, sehingga walaupun agama ini berpusat kepada Debata Mulajadi Na Bolon, tetapi peranan datu (dukun), sangat besar dalam acara-acara keagamaan. Datu sangat dihormati oleh semua anggotanya, karena ia yang melangsungkan acara-acara kerohanian.11 Datu yang mempunyai hak untuk melakukan upacara-upacara pengorbanan dan pemujaan di tempat masing-masing, seperti pada saat sebelum dan sesudah anak lahir, waktu pemberian nama, pada hari penetapan jodoh, pesta perkawinan dan pada upacara kematian. Dan mereka jugalah yang menentukan hari dan tanggal baik berdasarkan perhitungan almanak parhalaan (almanak khusus para datu).12 Artinya selain yang bersifat kerohanian, datu juga yang memimpin upacara-upacara dalam adat-istiadat. Pada masa lalu, mereka kerap mengadakan pesta persembahan kurban (pesta bius) yang dilakukan sebagai permohonan kepada para dewa untuk menghilangkan musim kemarau yang berkepanjangan. Suku Batak Toba dahulu masih percaya kepada dewa-dewa, dan roh-roh orang yang sudah mati. Paganisme orang Batak adalah suatu campuran dari kepercayaan keagamaan 9Raja Sisingamangaraja disebut Datu Bolon yaitu dukun yang mempunyai kekuasaan yang melebihi seluruh orang batak 10B. Sijabat. Ahu Sisingamangaraja, (Jakarta: Sinar Harapan, 1982), 157 11 T.E. Taringan dan Emilkam Tambunan, Struktur dan Organisasi Masyarakat Toba, (Ende Flores: Nusa Indah-Arnoldus, 1974), 75 12 Andar M. Lumbantobing, Makna Wibawa Jabatan dalam Gereja Batak, (Jakarta: BPK Gunung Mulia, 1992), 19
kepada dewata, pemujaan yang bersifat animisme terhadap roh orang yang sudah meninggal, dan dinamisme. Didalam banyak tata cara dan adat istiadat, ketiga bentuk pemikiran religius ini masih bercampur baur tak terpisah satu sama lain. Dalam penerapannya, batas-batas ketiga unsur itu tidak tampak dengan jelas, baik ia berlangsung dalam kalangan orang biasa, di lingkungan para pemimpin yang sudah mantap ataupun dalam praktik religius-magis.13
4.2.2. Bangsa Batak setelah masuknya Penginjilan Beberapa Misi yang dilakukan oleh Gereja Kristen Barat salah satunya adalah Pekabaran Injil di Sumatera Utara dimulai pada tahun 1824 dimana penginjil yang pertama yakni Richard Burton dan Nathaniel Ward utusan zending Baptist Mission Society of England sebuah lembaga pekabaran Injil dari Inggris, mereka mencoba untuk melakukan pekabaran Injil di tanah Batak. 14 Melalui dari daerah pesisir Sumatera mereka berhasil menerobos sampai ke wilayah orang Batak Toba di daerah Silindung, akan tetapi mereka terpaksa mundur dari tempat itu karena pemerintah Belanda menolak untuk memberi izin bekerja di daerah itu.15 Kemudian pada tahun 1834 Pdt. Samuel Munson dan Pdt. Henry Lyman utusan Amerika Board of Commisioners for Foreign Missions sebuah kongsi zending Amerika (Boston) datang ke tanah Batak untuk melakukan pekabaran Injil. Pada 23 Juni 1834 mereka meninggalkan Sibolga mengikuti jejak Burton dan 13 Vergouwen, J.C, Masyarakat dan Hukum Adat Batak Toba (yogyakarta, LKIS)2004, 73-74 14 Paul B. Pedersen, Darah Batak dan Jiwa Protestan, (Jakarta : BPK Gunung Mulia, 1975), 45-46. 15 Dr.Th. Van den End. Dr. J. Weitjens, S.J, Ragi Cerita 2, (Jakarta : BPK Gunung Mulia, 2003), 182.
Ward ke Lembah Silindung, akan tetapi mereka berdua tewas terbunuh di Lobu Pining dalam perjalanan menuju daerah Silindung.16 Begitu juga penginjilan yang dilakukan oleh sending RMG dari Jerman, yang datang ke Tanah Batak, di Sumatera Utara (Indonesia). Penginjilan RMG yang dilakukan pada tahun 1830an, tentu tidaklah gampang untuk meyakinkan ataupun mengajarkan “ajaran” baru kepada penduduk lokal yang masih terbelunggu dengan masa-masa kegelapan, dan tindakan berhala. Namun hal itu semua bukanlah menjadi suatu penghalang bagi sending RMG, meskipun para penginjil-penginjil yang pertama ditolak oleh penduduk lokal, bahkan sampai terjadi pembunuhan terhadap para penginjil tersebut. Penginjilan yang dilakukan oleh RMG mempunyai misi awal untuk melepaskan dan membawa bangsa Batak menuju terang Ilahi. Misi yang ada ini diharapkan dapat menjadi sebagai tolak ukur untuk perkembangan bangsa Batak. Maka penginjilan yang berlangsung dimulai dari hal yang sederhana, bagaimana bangsa Batak mampu mengenal Tuhan Yesus sebagai juru selamat mereka. Semangat misi tersebut diharapkan dapat diteruskan oleh seluruh pelayan (penginjil) RMG hingga kepada para pelayan HKBP sampai pada masa sekarang ini. Sending RMG juga tidaklah dengan mulus bisa berbaur ataupun berinteraksi dengan penduduk lokal, karena para penginjil dianggap sebagai mata-mata penjajah. Adalah seorang penginjil muda yang datng dari Jerman, yang rela meninggalkan keluarganya untuk membawa (mengeluarkan) bangsa Batak dari masa kegelapan, dan dia adalah Nommensen. Dia datang dengan penuh hikmat dari Tuhan, ingin membantu bangsa Batak agar keluar menuju terang, serta menuju kepada kehidupan yang baru.
16 Paul B. Pedersen, Darah Batak dan Jiwa Protestan, 48-50.
Maka pada masa penginjilan Nommensen inilah, bisa dibilang cukup sukses membawa bangsa Batak kepada terang dan kehidupan yang baru, tentu saja ini dilakukan Nommensen tidak sendiri melainkan dibantu oleh para penginjil lainnya. Pada masa ini juga terbentukalah gereja suku pertama di bumi Indonesia dibawah naungan sending RMG, yaitu Huria Kristen Batak Protestan (HKBP) dan Nommensen adalah Ephorus yang pertama. Tentulah pada masa awal berdirinya HKBP tidak langsung besar seperti sekarang ini, dan visi serta misi masih baru, yaitu bagaimana membawa bangsa Batak menuju kepada Terang dan mengajarkan ajaran Tuhan Yesus. Ibarat seorang bayi yang baru lahir, yang harus senantiasa dirawat dan diperhatikan demikian jugalah HKBP. HKBP pada masa awal yang dipimpin oleh Nommensen, tidaklah sama dengan HKBP yang seperti sekarang yang tersebar ke seluruh bumi nusantara Indonesia. Demikian juga hal nya dengan visi misi awal yang Nommensen terapkan, tentu ada pergeseran sedikit. Pekerjaan yang dilakukan oeh Nommensen semata-mata hanyalah untuk membawa bangsa Batak menuju era modernisasi, membuat bangsa Batak mengenal akan “dunia luar”. Dunia luar yang dimaskud dalam hal ini adalah kehidupan yang baru, yang jauh dari masa kegelapan, masa dimana manusia telah mengenal Sang Pencipta nya, serta masa yang telah mengenal perkembangan zaman. Persamaan dan perbedaan tersebut tidaklah menjadi sebagai suatu hambatan, melainkan menjadi sebagai tolak ukur untuk HKBP agar menjadi lebih berkembang lagi untuk mengajarkan ajaran Tuhan Yesus hingga ke seluruh penjuru bumi.
1.3.
Persamaan Misi Nommensen dan HKBP
Hingga pada saat ini apa yang telah Nommensen kerjakan untuk HKBP, sedikitnya berlangsung sampai sekarang. Namun ada beberapa persamaan didalam pekerjaan misi apa yang telah dikerjakan Nommensen dan HKBP, diantaranya: 1. Bidang Pendidikan Didalam hal pendidikan apa yang telah Nommensen kerjakan untuk memajukan bangsa Batak sampai saat ini masih dilakukan oleh HKBP. Pendidikan merupakan suatu hal yang sangat penting untuk memajukan bangsa Batak, dan didalam struktur organisasi HKBP terdapat adanya departemen pendidikan. sebagai sarana untuk menyokong pemberitaan Injil. I.L. Nommensen sebagai perintis pengkristenan disebelah utara beserta teman-teman sekerjanya memberikan perhatian yang sangat besar untuk mendirikan sekolah sebab membina kerohanian saja tidak mungkin membentuk manusia seutuhnya. Artinya, gereja tak mungkin berdiri sendiri di dalam masyarakat yang buta aksara. Oleh karena itu para penginjil mendirikan sekolah di tanah batak. Oleh karena itu para penginjil, berusaha membuka sekolah-sekolah di Tanah Batak, agar para anak Pribumi atau orang Batak yang sudah terdidik dapat membantu dan kelak menggantikan mereka dalam pemberitaan Injil. Lagi pula, pemerintah kolonial Belanda juga membutuhkan pegawai. Anak-anak pribumi cukup berminat menjadi pegawai sehingga gereja pun membuka sekolah dan menerima siswa-siswi untuk dididik. Namun motif pertama pembangunan sekolah di tanah Batak adalah harapan akan lancarnya pertumbuhan injil. Penyelenggaraan pendidikan umum sangat signifikan mempengaruhi perkembangan kekristenan dikalangan orang Batak. Sama halnya dengan HKBP, pendidikan tetap dipertahankan sebagai bagian dari
misinya. Sekolah Tinggi Teologi (STT-HKBP) di pematang Siantar, Universitas Nommensen di Medan, Akademi Keperawatan (AKPER-HKBP) di Balige, adalah merupakan sebagai bukti sejarah pekerjaan misi di bidang pendidikan. 2. Bidang Kesehatan Berbagai penyakit telah mengancam kehidupan penduduk di Tanah Batak, terutama penyakit yang tiba-tiba mewabah seperti kolera. Penyakit ini dijuluki orang Batak sebagi “begu antuk”, karena setiap orang yang diserang kolera merasakan seolah-olah ada kekuatan gaib yang memukulnya (mangantuk). Orang Batak belum mengetahui faktor penyebab dan bagaimana mencegahnya agar jangan menular. Pemahaman tentang lingkungan yang bersih atau higienis yang kemudian diperkenalkan para pelayan medis Kongsi Barmen kerap berbenturan dengan cara pandang Batak. Penyakit kolera sering mewabah dan memakan banyak korban jiwa. Tahun 1875 penyakit kolera mewabah di seluruh daerah Silindung. Situasi ini disaksikan penginjil I.L. Nommensen yang merasakan betapa besar rasa takut penduduk Silindung. Bahkan ketika itu, para raja yang bertikai segera menghentikan perang, orang-orang yang sering bermain judi tibatiba juga tertular penyakit kolera sehingga mereka terpaksa berhenti. Sawah pun jadi terlantar karena belum sempat dikerjakan, lagi pula sebagian penduduk tidak mau bekerja di sawah karena takut ditangkap pihak musuh dan dijadikan sebagai tawanan atau “hatoban” (budak) selama rajanya belum menebus dengan uang. Sampai akhirnya di bukalah semacam klinik kesehatan hingga berkembang menjadi rumah sakit. Pendirian rumah sakit ini hanya terdapat di beberapa daerah saja, seperti di Balige, Tarutung dan Samosir. Hal ini disebabkan banyaknya
rumah sakit pemerintah dan rumah sakit swasta lainnya. Dengan ini setidaktidaknya HKBP tetap konsen meneruskan pekerjaan misi dibidang kesehatan yang telah dirintis oleh Nommensen dahulu.
3. Bidang Oikumene Sejak HKBP berdiri, dalam dirinya telah hadir bibit-bibit oikumenis. HKBP sendiri merupakan buah gerakan oikumene karena para penginjil ke Tanah Batak diutus oleh beberapa badan sending yang berbeda. Ada yang berasal dari Eropa dan juga dari Amerika, walaupun pada akhirnya yang lebih berbuah adalah penginjilan yang dilakukan RMG dari Jerman. Dalam misinya, RMG sejak semula telah menjalin hubungan dengan pekabar injil yang sudah ada. Misalnya, pada tahun 1902 RMG bekerja sama dengan badan pekabar Injil Belanda (NZG) yang mengutus penginjil H. Guillame ke daerah Karo. RMG juga bekerja sama dengan sending Methodis yang bekerja di Sumatera Utara sejak 1905, di mana sending Methodis melayani anggota HKBP yang pindah ke daerah Asahan Labuhan Batu.
4. Bidang Tata Gereja Tata gereja yang dipakai pertama sekali adalah Tata Gereja (Jemaat) 1866, yaitu situasi awal pemberitaan injil di Tanah Batak dan beberapa orang Batak masuk Kristen. Tata Gereja (Jemaat) 1866 :
Mengatur kehidupan jemaat setempat di bidang kekristenan, bidang kebaktian Minggu dan ibadat harian. Untuk itu diangkat beberapa orang dari anggota jemaat jadi : b.1. Sintua b.2. Diakon b.3. Diakones b.4. Guru anak-anak Urutan Tata Kebaktian Minggu : Pembacaan Dasa Titah sebelum pengakuan dosa dan pengampunan dosa, tetap sampai sekarang mewarnai kebaktian HKBP. Jadi menurut Teologi Kebaktian Martin Luther, bukan Calvin. Khusus tentang jabatan Sintua sebagai jabatan gereja yang tetap berfungsi hingga kini dengan volume kerja hampir sama yaitu mengurus kehidupan jemaat. Masalahnya untuk kita (dari sudut teologis) ialah karena seorang Sintua dibutuhkan harus dari kalangan pria, kawinatau sudah berumur 25 tahun. Ini dijadikan syarat pada Tata Gereja 1930, dan 1940 (“baoa”). 17 Tata Gereja yang dibuat oleh Nommensen tetap berlaku, dan tata gereja tahun 1886 ini dipakai sebagai acuan. Untuk masa sekarang ini HKBP memakai tata gereja tahun 2002, yang berlaku sejak 1 Januari 2004.18 Beberapa persamaan ini adalah merupakan bagian dari pekerjaan Nommensen yang diteruskan oleh HKBP.
17 Hutauruk, J.R. Menata Rumah Allah (Kumpulan Tata Gereja HKBP , (Pematang Siantar : STT-HKBP, 1994) 8 18 Hutauruk, J.R. Menata Rumah Allah, (kantor pusat HKBP, pearaja Tarutung; 2008) 21
1.4.
Perbedaan Misi Nommensen dan HKBP
Selain adanya persamaan misi, tentu juga ada perbedaan misi yang terjadi. Perbedaan misi ini bisa terjadi diakibatkan perjalanan waktu dan perkembangan zaman. Perbedaan misi tersebut adalah; 1. Misi Penginjilan Dahulu, pada zaman Nommensen penginjilan yang dilakukan hanya sebatas kepada satu suku saja, yaitu suku Batak Toba saja. Kini HKBP berani melakukan penginjilan sampai kepada masyarakat luar suku Batak. HKBP kini mempunyai beberapa pos penginjilan diluar daerah Sumatera Utara. Kebanyakan gereja itu menginjili dalam kalangan suku mereka sendiri-dan dengan sukse besar seperti GBKP-sedangkan HKBP sejak dahulu berani melampaui batas-batas suku Batak Toba dan menjangkau tempat-tempat yang jauh, seperti kepulauan Mentawai, pulau Rupat, daerah Jambi dan Riau dengan banyak transmigran dari pulau Jawa dan beberapa daerah lainnya. Dalam kaitan ini, patut dihargai karya Pdt. AB Siahaan yang cukup lama bekerja sebagai motor Departemen Zending HKBP, yang selalu bermotivasi tinggi untuk menjangkau mereka yang “diseberang” batas-batas suku sendiri. Pola ini menjelma ke satu defini dan pengertian akan misi sebagai crossing frontiers, artinya melampaui batas-batas. Misi yang dijalankan Zending Batak ini cukup berhasil. HKBP sudah cukup lama tidak lagi merupakan suatu objek misi dari luar, yakni dari RMG. Kini HKBP sudah menajadi subjek pengutusan sambil dapat merancangkan dan melaksanakan
misinya sesuai dengan pola dan tujuan yang ditetapkan sendiri. Dengan kata lain, satu gereja yang sekian lama diinjili menjadi gereja yang menginjili.19
2. Sarana dan Prasarana Seiring perkembangan zaman, kini HKBP semakin bertumbuh dan berkembang. Hal ini terlihat dari pada zaman Nommensen jumlah orang Batak yang bertobat dan memeluk agama Kristen hanya ratusan orang saja. Namun kini orang Batak yang beragama Kristen dan gereja di HKBP sudah hampir 2 juta orang. Gereja juga pada zaman dahulu hanya sedikit, disebabkan adanya keterbatasan, sumber daya alam, transportasi, sumber daya manusia, dan sebagainya. Kini gereja HKBP telah berkembang, bahkan di hampir di seluruh bumi Indonesia terdapat gereja HKBP. Dan juga seluruh perangkat peralatan ibadah telah ada didalam setiap gereja HKBP, diantara nya organ, lonceng, meja, kursi, mimbar, kantung persembahan, dan sebagainya. Perkembangan teknologi juga ikut merambah gereja HKBP, kini HKBP telah mempunyai situs resmi sendiri.
3. Adat dan Budaya Pada zaman Nommensen adat dan budaya Batak tidaklah menjadi suatu pengaruh. Nommensen bekerja agar bangsa Batak terlepas dari zaman kegelapan, dan segala bentuk tindakan berhala. Namun sampai saat ini oarang Batak tetap kuat akan adat dan budayanya. Pembabtisan orang batak sebanyak-banyaknya menjadi pengikut Kristus, dengan metode menjaring atau mengail (pukat/jala), ternyata 19 Ulrich, Beyer. Dr. “United Evangelical Mission Bersekutu untuk Misi Bersama-sama” (Menggapai Gereja Inklusif); Kantor Pusat HKBP, Pearaja, Tarutung 2004; hal: 231-232
hanya menekankan kuantitas, sekalipun dilakukan pembinaan bagi yang telah dibabtis, namun pemahaman orang batak tentang Debata Mulajadi Na Bolon, masih seperti pada agama suku, akibatnya pemahaman orang batak tentang Injil tidak mendasar karena pengaruh agama suku dan adat batak.20 Pertentangan batiniah pada orang batak oleh karena mereka dengan jelas menyadari adanya suatu Tuhan yang Mahatinggi yang menciptakan dunia, sehingga kekristenan orang batak menurut Lothar Schreiner, masih turun-temurun dari orangtua kepada anak,21 akibatnya banyak orang batak kristen bukan kristen batak, di mana hubungan orang meninggal dengan orang mati tidak pernah terputus. Persoalan selanjutnya, apakah suku batak dulu hanya menerima Injil hanya sebatas pergantian nama, tanpa mengerti akan makna dan isi daripada ajaran keristenan tersebut? Pertannyaan ini sampai saat ini masih terus dilontarkan, sebab pada prinsipnya orang batak masih mengutamakan budayanya daripada agamanya, artinya kebudayaan atau adat-istiadat lebih dijunjung tinggi dari pada agama. Pendapat ini tentu mempunyai alasan yang sangat kuat, sebab sebelum keristenan sampai ke tanah Batak, orang batak telah hidup dalam adat yang kuat.
4. Struktur Organisasi Struktur dalam suatu organisasi merupakan bagian yang sangat penting. Begitu juga dengan HKBP, telah memiliki struktur organisasi (lihat Bab III). Struktur organisasi pada zaman Nommensen belum terpola seperti pada masa sekarang ini. 20Krisis HKBP, Ujian bagi Iman dan Pengamalan Pancasila (Pearaja: Tarutung, 1995), 22 21Lothar Schreiner, Adat dan Injil; (Jakarta: BPK Gunung Mulia, 1996), 59
Kini HKBP juga telah memiliki banyak departemen yang mengurusi setiap keperluan-keperluan jemaat dan keperluan HKBP sendiri. Perbedan-perbedan tersebut tentu tidak menjadi sebagai faktor penghambat untuk tetap menjalankan misi Allah didalam dunia ini. Kini HKBP semakin berkembang dan terbuka dengan masyarakat lain yang bukan orang batak. Sesuai dengan visi dan missi HKBP, yaitu;
Visi HKBP : HKBP berkembang menjadi gereja yang inklusif, dialogis, dan terbuka, serta mampu dan bertenaga mengembangkan kehidupan yang bermutu di dalam masyarakat global, terutama masyarakat Kristen, demi kemuliaan Allah Bapa yang mahakuasa. Missi HKBP : HKBP berusaha meningkatkan mutu segenap warga masyarakat, terutama warga HKBP, melalui pelayanan-pelayanan gereja yang bermutu agar mampu melaksanakan amanat Tuhan Yesus dalam segenap perilaku kehidupan pribadi, kehidupan keluarga, maupun kehidupan bersama segenap masyarakat manusia di tingkat lokal dan nasional, di tingkat regional dan global dalam menghadapi tantangan Abad-21. Prinsip HKBP : Untuk melaksanakan missi menuju visi tersebut di atas, HKBP berpegang teguh pada prinsip di bawah ini: a. Melayani, bukan dilayani (Mrk. 10:45) b. Menjadi garam dan terang (Mat. 5:13-14)
c. Menegakkan keadilan, perdamaian, dan keutuhan ciptaan (Mrk. 16:15; Luk. 4:1819)22
4.5. Kesimpulan Bab IV Nommensen dan HKBP tentulah tidak dapat dipisahkan, keduanya merupakan satu kesatuan yang utuh. Nommensen adalah sebagai salah satu pelopor pelayanan modern didalam HKBP, dan dianggap sebagai rasul orang Batak. Maka secara tidak langsung pelayanan yang Nommensen lakukan pada masa lampau tentu masih melekat dan masih dilanjutkan oleh HKBP dengan versi yang berbeda, sesuai dengan perkembangan zaman. HKBP yang kini telah berusia 150 tahun, dengan jemaat yang tersebar diseluruh dunia, dan merupakan gereja suku (Batak) terbesar di dunia. HKBP kini mulai menyiapkan diri didalam arus globalisasi, HKBP kini terpanggil sebagai gereja yang sedang mencari jawaban dan jalan keluar dalam berbagai isu globalisasi. Tetapi yang jelas gereja patut bersikap kritis terhadap globalisasi, dalam arti bukan hanya sekedar menyesuaikan diri dengan kemajuan zaman melainkan harus dicermati berdasarkan pemahaman iman kita. Dan kini HKBP memulai babak baru sebagai gereja modern yang tidak menghilangkan ke-etnisan Batak-nya. Gereja yang siap memberikan berbagi macam pelayanan kepada jemaatnya maupun kepada masyarakat umum ditengah-tengah arus globalisasi. Keberadaan gereja sebagai ‘garam’ tidak dapat dipisahkan dari keberadaannya sebagai ‘terang’, yaitu menyatakan kebaikan, kebenaran dan keadilan. Akan tetapi Gereja harus dengan rendah hati menyadari bahwa terang Tuhan dapat bercahaya di luar gereja, sebab Kerajaan Allah lebih 22 Aturan dan Peraturan HKBP (2002)
luas dari gereja. Itu sebabnya gereja menerima dan mendukung perjuangan kebenaran dan keadilan di tengah masyarakat yang dilakukan oleh orang-orang atau lembaga non-Kristen.23 Misi yang harus dilakukan oleh gereja (HKBP) adalah memberikan kesejahteraan, pembebasan dan pemberdayaan para jemaat. Pelayanan yang dilakukan HKBP harus berlandaskan dengan apa yang Yesus kerjakan, Yesus memberikan pelayanan bukan saja kepada para pengikutNya saja, kepada orang-orang yang Dia tidak kenal, Yesus tetap memberi kasihNya. Berbicara mengenai pelayanan, Eka Darmaputera berpendapat bahwa ada tiga hal pokok 24 yang merupakan ciri-ciri pelayanan kristen yang seharusnya, yaitu: 1. Pelayanan dilakukan karena ketaatan kepada Allah dan kasih kepada sesama. Jadi orientasi pelayanan kristiani adalah kehendak Allah dan kebutuhan mereka yang dilayani. 2. Pelayanan diwujudkan dalam bentuk identifikasi dan solidaritas. Oleh karena itu, pelayanan kristiani harus disertai respek, simpati dan empati yang dalam. 3. Pelayanan yang holistik artinya pelayanan yang utuh dan menyeluruh. Dengan demikian pelayanan akan melihat kebutuhan manusia, baik kebutuhan individual maupun sosialnya, kebutuhan fisik, psikis maupun spiritualnya. Dengan demikian maka pelayanan yang dihasilkan akan merupakan pelayanan yang tulus, jujur, etis dan kristiani. Pelayanan adalah wujud dari kesaksian kristiani bukan alat dari penginjilan. Dalam hal ini Emanuel Gerrit Singgih berpendapat bahwa seharusnya pelayanan sosial tidak dapat dianggap sebagai alat atau sarana untuk pekabaran injil melainkan wujud dari
23Simarmata, W.TP. Pdt; “Mewujudkan HKBP yang Terbuka dan Dialogis” (Menggapai Gereja Inklusif), Kantor Pusat HKBP, Pearaja, Tarutung. 2004; hal: 324 24 Pergulatan Kehadiran Kristen di Indonesia, Jakarta : BPK Gunung Mulia, 2005,, 417.
kesaksian Kristen yang bersifat melayani.25 Dengan tidak menghilangkan etnisitas Batak nya, tentu HKBP menjadi gereja tujuan bagi kalangan orang Batak dimana saja, seperti ungkapan Ephorus Pdt. Dr. Justin Sihombing (1942-1962): “Tudia halak Batak mangaranto, sai dihunti do garejana” (ke mana orang Batak merantau, gerejanya selalu dijunjung). Sebuah ungkapan sederhana yang menunjukkan etnisitas Batak yang selalu ingat akan ibadah. Dimana ada orang Batak, pasti disitu ada HKBP. Hal ini tentu saja sedikit bertentangan dengan visi nya HKBP, didalam visi; dikatakan HKBP inklusif dan terbuka, tapi didalam praktek sehari-hari HKBP masih mengandalkan sikap kesukuannya.
25Emanuel G. Singgih. Potret Misi Gereja di Indonesia Dalam Kerangka Kritik Postmodern Terhadap Modernitas. dalam Format Rekonstruksi Kekristenan (Jakarta: Pustaka Sinar Harapan, 2006), 172.