B A B IV RELEVANSI PEMIKIRAN DAVID J.BOSCH TENTANG MISI DAN IMPLEMENTASINYA DALAM PEMAHAMAN MISI GKI TP A.
PENDAHULUAN Dalam bab ini Penulis mengkaji relevansi pandangan David J. Bosch tentang
beberapa corak Paradigma Misi Ekumenis yang telah diuraikan dalam bab II sebagai acuan untuk menelaah dan mengimplementasikannya kedalam Misi GKI TP, dan penjabarannya kedalam program pelayanan di lingkungan klasis maupun jemaatjemaat. Patut disadari bahwa rumusan-rumusan Misi yang ditetapkan sebagai acuan pelayanan di setiap Klasis
mengacu pada rumusan-rumusan Misi yang telah
ditetapkan oleh Sidang Sinode dan berlaku selama lima tahun. Demikian pula rumusan-rumusan Misi dalam Jemaat-jemaat harus mengacu pada rumusan Misi yang telah ditetapkan pada Sidang Klasis. Dalam hal ini pelaksanaan di tingkat jemaat merupakan penjabaran yang lebih rinci kedalam program kerja jemaat yang terdiri dari Urusan; Urusan Pekabaran Injil(UPI); Urusan Pembinaan Jemaat(UPJ); Urusan Diakonia(UDI); Urusan Ekubang(UEK)dan unsur-unsur jemaat yang terdiri dari Persekutuan Kaum Bapak(PKB); Persekutuan Wanita(PW); Persekutuan Anggota Muda(PAM); Persekutuan Anak dan Remaja(PAR)225 Suatu fakta bahwa GKI TP sejak awal Pekabaran Injil pada tahun 1855 dan berdirinya pada tahun 1956 hinggga saat ini terus mengalami perubahan. Dalam 225
Lihat Struktur Jemaat, Tata Gereja......
perkembangan dan perubahan inilah Kajian terhadap Misi GKI TP penting untuk ditelusuri berdasarkan pandangan David J.Bosch tentang Paradigma Misi Ekumenis yang dijabarkan dalam bukunya Transforming Mission. Diharapkan melalui kajian ini akan nampak berbagai kekurangan dan kendala tentang Misi yang telah dan sedang dilaksanakan oleh GKI TP dengan demikian temuan ini akan dijadikan sebagai landasan untuk merekonstruksi rumusan Misi GKI TP kedepan. Dengan begitu implementasinya di jemaat-jemaat menjadi relevan dengan realitas sosial yang sedang dihadapi sekarang maupun mendatang.
B.
GKI TP DALAM PARADIGMA MISI GKI di Tanah Papua terus mengalami perkembangan dan perubahan dari
waktu ke waktu, hal ini mendorong dilakukannya penyesuaian baik pada struktur, pengelolaan administrasi dan keuangan Tata Gereja maupun pola pelayanan. Sejak pertama kali injil diberitakan disana tahun 1855 hingga tahun 1980, F.Cooley dan F.Ukur226 mencatat delapan periode dalam perkembangan GKI TP. Perubahan dan perkembangan itu memiliki tema serta pergumulan masing-masing. Namun dapat Penulis menambahkan disini satu periode lagi, yaitu periode Era Reformasi yang dimulai sejak tahun 1998 bertepatan dengan runtuhnya rezim Orde Baru. Periode pertama dimulai pada tahun 1855 – 1863 merupakan masa perintisan; periode kedua tahun 1863 – 1907 merupakan masa penanaman injil; Periode ketiga tahun 1907 – 226
Tentang pembagian periode ini mengacu pada F.Cooley dan F.Ukur, Benih yang Tumbuh...hlm 22-38. Bnd. Tesis ini Bab III. Hlm.91-94
1924 adalah masa perkembangan pekabaran injil; Periode keempat tahun 1924 – 1942 adalah masa pembinaan oleh UZV; Periode kelima tahun 1942 – 1945 adalah masa
pengujian dan pencobaan. (memasuki masa
sulit pada perang dunia
II).Periode keenam tahun 1945 – 1956 merupakan masa pembangunan kembali; Periode ketujuh tahun 1971 – 1980 merupakan masa pengharapan dan pembangunan gereja; Periode kedelapan dari tahun 1980 -1998 merupakan masa pembangunan gereja dan konsolidasi; serta periode yang terakhir sejak tahun 1998 sampai sekarang merupakan era reformasi dengan tema ―Menuju Papua Baru‖ Perkembangan GKI TP itu jika dikaji melalui pandangan David J.Bosch tentang Pergeseran Paradigma Misi, maka menjadi
jelas bahwa ada relevansi
perkembangan dan pergeseran paradigma tersebut. Karena memang tiap era memiliki pergumulannya sendiri serta teologi yang menjadi dasar dari pemahaman itu. Namun dalam hal ini pemahaman Pejabat baik dari tkt. Sinode, Klasis maupun para Pendeta dan Majelis Jemaat harus dibaharui agar tidak mandeg pada delapan periode diatas, yang merupakan masa pengharapan dan pembangunan gereja, tetapi kita telah mengalami pergeseran paradigma yang lain dengan pergumulan realitas kini yang lebih kompleks. Penulis harapkan dari pembaharuan pemahaman ini maka akan terjadi rekonstruksi misi GKI TP sekaligus implementasi dalam program-program pelayanan di tiap Klasis maupun jemaat-jemaat . Dengan demikian maka misi GKI TP menjadi relevan dengan realitas sosial yang sedang dihadapi.
Dari bab II diketahui bahwa Pergeseran Paradigma terjadi karena suatu krisis dalam Teologi dan kehidupan Gereja, krisis itulah yang mengantar suatu perubahan atau pergeseran paradigma. Demikian halnya GKI TP juga telah mengalami berbagai krisis sejak awal misi di Mansinam tahun 1855, GKI TP berdiri sendiri tahun1956 hingga kini. Kenyataan itu kadang tidak menggembirakan karena menimbulkan kesenjangan dan ketegangan, bahkan seringkali membingungkan, namun tidak ada jalan lain kecuali dengan memilih paradigma yang diyakini dan bekerja dengan paradigma itu. Keadaan krisis itu dalam perkembangan GKI TP sebagai contoh dapat dilihat dalam periode pertama masa perintisan dan periode kedua masa penanaman injil yang diwarnai ketidak-mengertian dan penolakan para Zendeling serta pola hidup berkelana yang tidak memungkinkan mereka mengunjungi gereja dan sekolah secara teratur, mengakibatkan UZV berniat untuk menarik diri dari medan PI di Tanah Papua yaitu pada tahun 1864 dan 1870. UZV menilai bahwa Tanah Papua adalah medan PI yang berbahaya, mahal, kurang sehat dan tidak subur227. Masa krisis lain yang dapat disebut disini adalah periode kelima, tahun 1942 – 1945 merupakan masa ujian dan pencobaan yang ditandai dengan PD II. Pada masa ini para Zendeling ditangkap dan menjadi tawanan tentara Jepang, guru jemaat dan para penginjil meninggalkan jemaat-jemaat, munculnya pergerakan agama suku yang bernuansa cargo cult dan gerakan-gerakan lain yang mencampurkan unsur agama kristen dengan myte nenek moyang228
227 228
Lih: Hlm. 89-90 Bab III Tesis ini Lih: Hlm. 106-107 dalam Bab III Tesis ini
Kemudian masa krisis yang masih terus
digumuli adalah sejak diintegrasinya Papua ke dalam NKRI yaitu sejak tahun 1963 hingga tahun 1998 dengan tema Krisis Identitas. Dalam masa ini terjadi penindasan, Pelanggaran Ham, Eksploitasi Hutan,konflik serta seluruh masyarakat ―disandera‖ dalam suatu sistim keamanan, dimana tak ada kebebasan untuk bergerak ke tempat yang lain, termasuk pulang ke kampung sendiri harus mengantongi sebuah surat sakti yang disebut ―surat jalan‖. Pada masa ini Pdt.K.Ph. Erari menyebut Papua ibarat ―Penjara‖ Raksasa tanpa tembok229. Oleh sebab itu sejak runtuhnya rezim orde baru yaitu dalam era reformasi ini rakyat papua menginginkan suatu era baru yang bebas dari penindasan. Penjelasan Bosch tentang
suatu Paradigma Teologi
yang muncul dan
berkembang , menyangkut berbagai faktor sosial, politik, eklesiologis dan teologis yang saling terkait serta dalam proses perubahan itulah para teolog harus memilih paradigma yang dengannya ia bekerja. Pemahaman ini
dalam kaitannya dengan
pemilihan paradigma misi GKI TP sangat relevan, karena memang kehadiran GKI TP dalam dunia ini tak terpisah dari perkembangan sejarah serta berbagai pergumulan dan masalah yang dihadapinya. Namun hal yang harus dikoreksi adalah penjabarannya kedalam program kerja baik pada tingkat Sinode, Klasis Maupun Jemaat-jemaat
terkesan lamban bahkan kurang konsisten dalam
paradigma misi yang tepat untuk dilaksanakan.
menentukan
Juga terjadi simpang siur bahkan
tidak singkron dalam implementasi program pelayanan pada tingkat Klasis maupun Jemaat-jemaat sesuai Ketetapan dalam sidang sinode. Ada kesan masing-masing 229
K.Ph.Erari, Yubelium dan Pembebasan menuju Papua Baru,(Jakarta:Aksara Kurnia,2007)Hlm.110
jemaat membuat programnya
sendiri dan mengabaikan program bersama yang
ditetapkan dalam sidang maupun Raker
230
, sinode maupun Klasis. Nampak disini
bahwa sosialisasi hasil Ketetapan Sidang Sinode maupun Klasis tidak berjalan dengan baik kepada jemaaat-jemaat. Dalam laporan Badan Pekerja Klasis Jayapura pada Raker I tahun 2007 di jemaat Silo Entrop dilaporkan bahwa belum sepenuhnya jemaat-jemaat menjabarkan keputusan bersama pada sidang Klasis ke XIII tahun 2006 kedalam program kerja jemaat.
Dalam kasus seperti ini Pdt.F. Kayoi231
mengatakan bahwa masih banyak pelayan jemaat (Pendeta di jemaat) maupun para majelis jemaat yang belum memahami mekanisme kerja secara baik, sebagaimana yang termuat dalam tata gereja dan aturan pelaksanaannya. Hal senada juga disampaikan oleh Ketua Klasis Jayapura, Pdt.W.Itaar STh.232 Untuk mengatasi kesimpangsiuran tersebut maka Badan Pekerja Klasis Jayapura periode 2006-2011 telah berupaya memperbanyak hasil Keputusan dan Ketetapan Sidang Sinode tahun 2006 dan mendistribusikan kepada setiap jemaat dilingkungan Klasis Jayapura masing-masing satu ekslemplar. Demikian pun para Pelayan jemaat diharapkan dapat mengsosialisasikan hasil Ketetapan dan Keputusan Sidang Sinode, kepada majelis jemaat dan semua badan pelayan unsur jemaat (Bp PKB; Bp PW; BP PAM; BP PAR). Diharapkan upaya diatas akan tercipta singkronnya penjabaran program kerja antara, Departemen-Departemen pada tkt. Sinode; Komisi-Komisi pada tingkat 230
Lih: Laporan Badan Pekerja Klasis Jayapura pada Raker III tahun 2009 Wawancara dengan Pdt. F.Kayoi, Sekretaris Komisi Pembinaan Jemaat klasis Jayapura, tgl 12 desember 2009. 232 Wawancara dengan Pdt.W.Itaar, Ketua Klasis GKI Jayapura, tgl 12 desember 2009 231
Klasis dengan Urusan-urusan pada tingkat Jemaat serta unsur-unsur jemaat(PKB,PW, PAM, PAR) sehingga terjadi kesinambungan pelayanan yanga terlaksana secara baik untuk menjawab pergumulan yang dihadapi warga jemaat maupun masyarakat luas di Papua dalam realita sekarang.
C.
IMPLEMENTASI PANDANGAN DAVID J. BOSCH TENTANG PARADIGMA MISI EKUMENIS TERHADAP MISI GKI TP
1.
Implementasi Gereja dan Misi Dari uraian tentang Gereja dan Misi di bab II Bosch mengatakan bahwa
Gereja bukanlah awal maupun tujuan dari Misi, tapi pekerjaan Allah yang menjadi awal berdirinya baik Gereja maupun Misi. Keduanya memiliki kedudukan yang sama tinggi dalam Missio Dei. Misi adalah misi Allah, bukan misi gereja. Allah merupakan sumber misi. Karena itu misi bukanlah aktifitas gereja tetapi gerakan dari Allah ke dunia. Allah adalah Allah yang misioner Partisipasi dalam misi adalah partisipasi dalam gerakan kasih Allah kepada manusia. Jadi misi bukan hanya mendirikan gereja-gereja dan memberitakan injil agar membawa orang supaya bertobat , tetapi pelayanan kepada dunia, semua orang
dalam semua aspek
hidupnya. Kemudian Bosch mengutip pandangan Dietrich Boenhoffer233 bahwa ―Gereja baru menjadi Gereja apabila ia hadir bagi orang lain‖, peryataan itu menambah keyakinan bahwa 233
Lihat Bab II, hlm... pada Tesis ini
Misi adalah milik Kristus dan bukan milik kita,
dengan keyakinan bahwa Kristus yang hidup bekerja diluar tembok-tembok gereja, orang Kristen yang terlibat dalam Misi didorong untuk bergabung bersama Kristus dimanapun juga, sesuai dengan agenda misi yang diembannya. Implementasinya dengan kehadiran GKI di Tanah Papua, bahwa GKI TP mengakui kehadirannya merupakan tindakan Allah dalam kasihNya terhadap manusia, sebagaimana termuat dalam alinea pertama pembukaan Tata Gereja GKI TP234 tertulis : ―Bahwa sesungguhnya Allah Bapa Yang Maha Kuasa.dalam Kasih dan AnugerahNya yang besar berkenan menyelamatkan umatNya dari kuasa dosa dan maut‖.(Yoh.3:16; 6:39-40). Selanjutnya dikatakan dalam alinea kedua pembukaan tersebut bahwa: ―Didalam Yesus Kristus Allah sendiri telah memanggil setiap orang untuk percaya kepadaNya dan menghimpun mereka selaku anakanakNya...‖(1 Petrus 2:9) Pada alinea ketiga terulis : ―Atas Kasih dan Rahmat Tuhan, juga pada tanggal 5 ferbuari 1855 Injil Kerajaan Allah itu diberitakan di Tanah Papua‖. Itu artinya bahwa Pembukaan pada Tata Gereja tersebut mengakui bahwa injil yang diberitakan ke Tanah Papua merupakan misi Allah sendiri atau tindakan Allah dalam kasih dan rahmatNya terhadap masyarakat Papua. Kemudian pada alinea keempat dalam pembukaan tersebut tertulis: ―Sebagai gereja yang dipanggil dan dibentuk Tuhan, maka Gereja Kristen Injili di Tanah Papua diutus untuk memberitakan Injil Kerajaan Allah itu dalam bentuk Persekutuan, Kesaksian
242.Kantor Sinode GKI TP, Tata Gereja, Peraturan Pokok, Peraturan Khusus dan Peraturan Pelaksanaan(Jayapura:1998) hlm.4
dan Pelayanan Kasih‖235. Hal ini pun artinya GKI TP mengakui kehadiran dan keberadaannya sebagai Karya Allah yang membentuk Gereja ini dan didalam Yesus Kristus menghimpun serta mengutusnya untuk menyatakan Kerajaan Allah melalui Tri Tugas Gereja yang diembannya. Dari implementasi kehadiran dan pengakuan GKI TP diatas, menurut Penulis sangat relevan. Namun dalam pelaksanaannya nampak misi GKI TP masih bersifat eksklusif, karena masih berlangsung disekitar tembok gereja atau jemaat itu sendiri. Oleh sebab itu harus direkonstruksi agar relevan dengan Pengakuan GKI TP sendiri yang termuat dalam tata gereja-nya maupun relevan dengan Paradigma Misi Ekumenis. Selanjutnya dikatakan bahwa, karena Allah adalah Allah yang missioner, maka gereja juga bersifat misioner. Dimensi misioner suatu gereja lokal terwujud melalui komunitas yang berbakti dan mengundang orang lain supaya ikut merasakan persekutuan. Menurut Penulis bagian inipun dalam pelayanan di GKI TP harus direkonstruksi, karena pemahaman Jemaat-jemaat tentang ―Orang Lain‖(the other) pun masih dalam wilayah pelayanan tembok gereja. Dalam hal ini Pdt. S. Sumihe236 mengatakan, GKI TP perlu merumuskan kembali teologi yang melandasi misi itu. Ciri teologi yang eksklusif itu perlu ditinjau kembali dan membuka simpul-simpul ketertutupan dengan mempertimbangkan secara serius pluralitas dalam masyarakat di
243Ibid. Hlm.5 244. S.Sumihe, Memahami Injil dan Misi Gereja secara Baru(Jayapura:STT GKI I.S.Jpr,2004) hlm.61
Papua.Pemahaman ini penting karena kehadiran GKI TP merupakan bagian penting dari masyarakat yang majemuk di Pripinsi Papua . Struktur Gereja pun harus bersifat lunak (tidak kaku) dan inovatif, sehingga pergumulan dan masalah- masalah yang terjadi akibat perubahan sosial dapat ditangani secara baik karena adanya bagian dalam struktur tersebut. Implementasi pada bagian ini GKI TP cukup baik, terlihat dari usul perubahan dan amandemen tata gereja serta penambahan bidang-bidang tertentu pada tingkat sinode maupun klasis sesuai perkembangan. Beberapa bidang yang ditambah pada struktur gereja, dapat Penulis sebut disini misalnya Departemen Ekonomi yang dibentuk dalam ketetapan sidang sinode IX tahun 1980 di Biak, sebagaimana dicatat oleh Pdt. K.Ph.Erari,237 bahwa sidang menilai penanganan ekonomi gereja saat itu masih berlangsung secara ad hoc, dinilai kurang efektif sehingga dirancang suatu departemen yang secara struktural menangani ekonomi gereja sebagai bagian penting dari misi gereja di Irian Jaya. Selanjutnya pada tingkat klasis dibentuk komisi ekonomi dan tingkat jemaat dibentuk
urusan
ekonomi.
Dalam
perkembangan
kemudian
bidang
ini
dikembangkan menjadi Ekubang(Ekonomi dan Pembangunan) Kemudian dalam menghadapi situasi konflik dan pelanggaran Ham di Papua yang semakin marak, maka dibentuk lagi Departemen Hukum dan Ham dalam sidang sinode XIV tahun 2000 di Sorong. Lalu pada tahun 2004 Departemen ini dimekarkan lagi menjadi dua bagian. Bidang Hukum tetap berdiri sendiri, lalu 237
K.Ph.Erari, Ibid. Hlm.143
Ham diubah menjadi Bidang KPKC(Keadilan Perdamaian dan Keutuhan Ciptaan). Belakangan ini
bidang hukum tetap gesit dalam mendampingi dan melakukan
advokasi terhadap masyarakat Papua yang menjadi korban kekerasan dan ketidakadilan. Namun ada hal penting
yang harus di koreksi terhadap Bidang
Hukum dan KPKC adalah tindak lanjut dalam pembentukan kedua struktur itu pada aras klasis yang tersebar diseluruh kota di Papua, belum terealisir dengan alasan klasik karena tidak tersedianya dana dan ruang kerja yang memadai.238 Dengan demikian kehadiran GKI TP sebagai tanda kerajaan Allah tidak terlepas dari hal-hal yang sekuler, sebagaimana tujuan misi adalah syalom, misi adalah wadah bagi pelayanan kesejahteraan manusia. Gereja adalah komunitas eskatologis yang tetap berhubungan dengan masalah sosial, politik, ekonomi dan ekologi. Pada bagian ini implementasinya dengan misi GKI TP239 sudah mulai nampak atau belum maksimal, oleh sebab itu masih harus dibenahi terutama dalam kesinambungan penjabaran misi dengan pelaksanaannya di Klasis danjemaatjemaat. Hal lain yang patut mendapat koreksi adalah pemahaman yang keliru dari pejabat dalam struktur gereja yang
mempertahankan kebanggaan kedudukan
sebagai kelompok terpilih, sehingga dapat memerintah sebagai penguasa atas mereka yang dikuasai. Oleh sebab itu,
struktur harus dipahami sebagai alat
pelayanan ditangan Tuhan dan bukan sebagai alat Kekuasaan. Rumusan ini penting 238
Wawancara dengan Pdt Dora Balubun, Sekretaris Bidang KPKC GKI Tp pada tanggal 21 september, 2010 di Jayapura 247 .Lihat misi GKI TP dalam Bab III tesis ini
untuk dihayati oleh pejabat struktural GKI TP, baik pada tingkat Sinode, Klasis dan jemaat. 2.
Implementasi Gereja dan Dunia. Dalam perkembangan sidang DGD, orientasi
gereja berubah secara
mendasar. Kalau konferensi di Edinburg (1910) gereja dilihat sebagai penakluk dunia, maka konferensi di Whitby (1947) menjadi gereja dalam solidaritas dengan dunia. Gereja adalah sakramen, tanda dan alat Kerajaan Allah dan kesatuan umat manusia. Gereja adalah tempat, panggilan dan kesatuan dalam rencana penyelamatan Allah. Hal ini menuntun gereja untuk
memperhatikan masalah
sekuler, hidup manusia sehari-hari; Gereja tidak lagi mendominasi tetapi membantu dan melayani dunia. Dalam menggunakan istilah tanda kerajaan Allah, harus diingat bahwa gereja tidak sama dengan atau bisa menggantikan Allah. Gereja harus berhubungan dengan Kristus untuk dapat menyatakan kesatuan. Sebagai
tanda
Kerajaan Allah, gereja tidak membawa manusia kepada dirinya sendiri tetapi kepada Kristus. Implementasinya GKI TP menyadari keberadaannya sebagai bagian dari
Gereja yang Esa di bumi ini, yang dipanggil untuk menampakan
citranya sebagai garam dan terang dunia, sebagaimana hasil Konsultasi Teologi di Manokwari tahun 1980.240 Dalam konsultasi itu dirumuskan juga bahwa kehadiran gereja ditengah dunia ini, untuk membangun,memperteguh serta mengokohkan sendi-sendi Kerajaan Allah yang sudah hadir, dalam diri Yesus Kristus Selanjutnya 248 K.Ph.Erari, Upaya Berteologi dalam GKI di Irian Jaya, ed.Feye Duim(Jayapura:Dep.Litbang Sinode GKI Irja,1988), 143
dikatakan adanya gereja dengan persekutuan umat percaya dimuka bumi ini, adalah untuk terus menampakan tanda-tanda Kerajaan Allah.241 Sebagai umat Allah dan dalam posisinya yang mengarah keluar, gereja dapat digambarkan sebagai musafir. Ekklesia berarti dipanggil keluar dari dunia dan diutus kembali kedalam dunia. Gereja ada di dunia tetapi tidak sama dengan dunia. Gereja adalah alat di tangan Tuhan untuk mewujudkan syalom Allah di dunia. Gereja adalah komunitas eskatologis
yang tetap berhubungan dengan masalah
sosial, politik ekonomi dan ekologi Dari pemahaman diatas maka implementasi kehadiran GKI di Tanah Papua adalah untuk memberitakan kepada dunia tentang karya Allah. Hal ini berarti juga bahwa dalam mengemban misi Allah GKI TP juga harus menjadi saksi bagi karya Allah, sehingga dimungkinkan orang dapat meneladani sikap hidup yang sesuai dengan kehendak Allah, dengan demikian misi yang diembannya tidak hanya pembaharuan hati nurani, tetapi menyangkut pula sikap hidup. Dengan kata lain misi bersifat holistik; jasmani dan rohani.Disini kesetiaan pelayanan GKI TP diukur sejauh mana telah memperhatikan pelayanan secara menyeluruh. Ini berarti pelayanan harus membawa kelepasan bagi manusia dari dosa dan aspek sosial, ekonomi dan politik. Pada bagian ini pun menurut penulis belum maksimal karena pengaruh pietesme pada awal pekakaran ijil melalui para Zendeling yang menekankan kesalehan hidup dan keselamatan yang akan datang, sehingga masih terdapat banyak pendeta dan majelis jemaat yang berpikir tentang surga dan 249.Ibid
keselamatan yang akan datang, sehingga pelayanan mereka tidak menyentuh aspekaspek sosial, politik, ekonomi dan lingkungan yang nyata. GKI TP sebagai pembawa misi Allah, maka itu berarti ia bukan hanya membawa berita keselamatan dari Allah sebagai bagian sentral dari misi Allah tetapi juga melaksanakan Tri tugas geja secara utuh dan menyeluruh.Tugas misioner gereja bukan hanya menghadirkan tanda-tanda kerajaan Allah (Syalom Allah) tetapi juga menjadi wadah pembinaan bagi anggota gereja. Menilik lebih dalam tentang hal ini, Karel Ph. Erari242, menyatakan persekutuan, kesaksian dan pelayanan merupakan segitiga misi yang dijalankan gereja sepanjang abad. Pertanyaan yang perlu dijawab ialah: apakah dalam menjalankan ketiga amanat itu gereja setia dan bertanggung jawab serta kreatif untuk tampil sebagai kesatuan organik yang dinamis, terbuka dan bertanggung jawab atas panggilan itu? Pertanyaan tersebut sangat hakiki bagi gereja dimana saja, karena apabila ternyata gereja tidak melaksanakannya, maka disana gereja telah lalai. Kemudian Pdt Erari243 melanjutkan bahwa gereja tidak cukup berbicara tentang hidup yang berkelimpahan, jika ia tidak terlibat dalam menciptakan program pelayanan diakonia baru, yang menyangkut bidang pendidikan,kesehatan, ekonomi, politik, hukum dan sosial budaya. Pernyataan Pdt.Erari diatas merupakan tantangan sekaligus koreksi terhadap diakonia klasik yang bersifat karikatif yang selama ini menjadi primadona dalam 250.Karel Ph.Erari, Refleksi atas GKI TP melaksanakan Tritugas Panggilan Gereja Dalam Konteks Gereja dan Masyarakat. Dalam:Misi Holistik Masa Kini, Rainer Scheunemann dkk, Pen:STT GKI I.S Kijne Jpr,2004, hlm.20 251 Ibid
pelayanan jemaat-jemaat GKI TP yang terdiri dari jemaat-jemaat dalam kota,pinggiran kota, wilayah pedesaan dan transmigrasi serta wilayah pos pekabaran injil. Sudah tentu dalam konteks yang berbeda itu dibutuhkan strategi yang tepat, agar pelayanan itu semakin memperkokoh kesaksian gereja. 3.
Implementasi Misi dan Keadilan. Pandangan Bosch tentang Keadilan Sosial yang merupakan pusat tradisi
profetis terhadap raja-raja dalam PL , juga merupakan landasan teologi bagi GKI TP untuk menyatakan suara profetisnya di Papua. Mengingat situasi etidakadilan, konflik, tindakan kekerasan dan pelanggaran Ham yang tiada henti sejak diintegrasinya Papua kedalam NKRI hingga sekarang.252 Dalam konteks GKI TP misi untuk memperjuangkan keadilan tersirat dalam pemahan Visi GKI TP, yaitu Visi Kerejaan Allah253 244yang menghadirkan keadilan , kebenaran dan perdamaian ditengah kehidupan berjemaat maupun dalam kehidupan bermasyarakat . Implementasi Visi Kerajaan Allah dalam kehidupan jemaat-jemaat GKI TP merupakan pergumulan penting, sebagaimana di tegaskan Pdt. Erari
21
bahwa dalam menghadapi berbagai situasi ketidakadilan dan berbagai
gejolak politik di Papua, gereja harus bertanggung jawab untuk memainkan tugas Profetis di bidang-bidang tersebut. Dalam menghadapi situasi konflik di tengah masyarakat, Gereja harus tampil dan berperan sebagai mediator dan rekonsiliator,
252
Lihat Tata Gereja,Peraturan Pokok, Peraturan Khusus dan Peraturan Pelaksanaan, Jayapura: BPAM Sinode GKI di TP,1988).hlm.4-5 253 Ibid
sesuai prinsip-prinsip pengelolaan konflik. Menyadari tugas pastoral yang diemban gereja dalam menghadapi situasi konflik, maka BPAS GKI TP maupun Klasisklasis berkali-kali mengeluarkan Surat Penggembalaan sebagai seruan kepada seluruh warga jemaat untuk menjaga dan menciptakan situasi yang damai22 Belajar dari pengalaman sejarah pada zaman kekaisaran romawi, dimana penganiayaan banyak terjadi saat itu terhadap orang kristen dan anggapan bahwa hal-hal spiritual lebih penting dari pada keadilan sosial, maka timbullah ―etika religius‖ yang menekankan kasih sebagai hubungan persekutuan dengan Allah dan ―etika rasional‖ yang menekankan keadilan dan keteribatan dalam masyarakat demi sesama. Kedua istilah yang dicetuskan Reinhold Niebuhr23 tersebut merupakan suatu jalan keluar bagi gereja protestan ekumenis dan katolik kontemporer untuk melihat kembali adanya dua mandat dari Tuhan yaitu untuk mengumumkan kabar baik tentang keselamalatan melalui Yesus Kristus dan partisipasi dalam masyarakat demi keadilan. Pandangan diatas berbeda dengan Gereja protestan evangelikal yang dipelopori oleh Mc Gavran, yang melihat bahwa evangelisasi lebih utama dari tanggung jawab sosial: penginjilan adalah benih, tanggung jawab sosial adalah buah. Pergeseran pemahaman kaum evangelikal baru terjadi sekitar tahun 1980-an yang disebabkan oleh keadaan di Afrika Selatan. Merekapun menyadari bahwa dosa bukan hanya masalah personal melainkan juga struktural. Kini baik kaum evangelikal maupun ekumenis memiliki pemahaman yang sama tentang kebutuhan manusia yang meliputi baik pembaharuan pribadi oleh Allah maupun transformasi
struktur masyarakat. Dengan demikian misi meliputi penginjilan dan kemanusiaan, pertobatan di dalam diri dan perbaikan kondisi sosial, iman yang vertikal dan kasih yang horisontal Dari pengalaman sejarah yang dipaparkan Bosch diatas, implementasinya bagi GKI TP nampak bahwa dalam struktur pada tingkat sinode dan Klasis telah mengalami penyesuaian dengan menambahkan beberapa bidang tertentu yang di butuhkan. Perubahan tersebut misalnya pada sidang sinode IX di Biak tahun 1980 dimunculkan aspek kemandirian dibidang Teologi, Daya dan Dana. Kemudian dalam sidang Sinode XIV tahun 2000 di sorong, dibentuk lagi bidang Hukum dan Ham dalam struktur GKI TP. Setelah itu pada tahun 2004 bidang ini dimekarkan lagi yaitu,
Bidang
Hukum tetap berdiri sendiri, lalu Ham diubah menjadi Bidang KPKC(Keadilan, Perdamaian dan Keutuhan ciptaan). Belakangan ini kedua bidang tersebut tetap gesit dalam mendampingi para korban kekerasan dan mereka yang mencari keadilan, baik di dalam maupun di luar pengadilan. Walau menghadapi tekanan, intimidasi, teror yang hebat dari pihak penguasa, namun GKI TP terus melakukan upaya untuk menegakan keadilan dan kebenaran di Tanah Papua, kedua bidang ini terus menerus melakukan pendampingan dan advokasi terhadap warganya yang sedang mengalami berbagai masalah keadilan, hukum dan Ham. 4.
Implementasi Misi dan Penginjilan.
Pemahaman tentang arti misi dan penginjilan yang telah lama berlangsung adalah, bahwa misi dipahami sebagai pelayanan kepada penduduk di dunia ketiga yang belum kristen supaya bertobat dan menjadi kristen. Sedangkan penginjilan adalah pelayanan kepada mereka di Barat yang tidak lagi menjadi kristen supaya bertobat kembali. Pada fase ini penginjilan memiliki arti yang lebih sempit daripada misi, sehingga kaum Evangelikal lebih senang menggunakan kata penginjilan. Pada fase berikut kedua kata misi dan penginjilan dianggap sinonim. Tugas tugas gereja baik di Barat maupun di dunia ketiga hanya satu yaitu misi atau penginjilan, atau kesaksian. Pada tahap ini
yaitu pada akhir-akhir ini istilah penginjilan
menggantikan misi karena dianggap misi tetap berkonotasi kolonialisme. Untuk mengatasi perdebatan diatas, Bosch tetap berpegang pada pengertian bahwa misi dan penginjilan tidak sinonim, namun berhubungan erat dan saling menjalin baik secara teologis maupun praksis. Dikatakan lagi bahwa penginjilan sebagai aktivitas misi gereja, dengan kata serta perbuatan dan dalam kondisi dan konteks tertentu. Implementasi dalam GKI TP sangat relevan sebagaimana pandangan para Zendeling terhadap masyarakat Papua pada awal pekabaran Injil bahwa budaya maupun orang Papua harus diterangi Injil karena berada dalam kuasa dosa. Oleh sebab itu orang Papua harus meninggalkan budaya mereka dan mengikuti apa yang diajarkan oleh para Zendeling sebagai budaya kristen. GKI TP memahami misi itu berwajah banyak, menyangkut aspek sosial, politik, ekonomi dan ekologi, yang dijabarkan dalam Tri panggilan gereja, yaitu
bersekutu, bersaksi dan melayani. Pelaksanaannya oleh departemen pada tingkat sinode, komisi pada tingkat klasis maupun jemaat-jemaat sebagai basis. Sedang penginjilan dibagi menjadi dua bagian, yaitu
penginjilan keluar dan kedalam.
Keluar adalah ke daerah-daerah transmigrasi dan daerah pos pekabaran inijl, dan kedalam untuk membina warga jemaat di perkotaan supaya mereka tetap menjadi orang percaya yang menampakan imannya dalam kata dan perbuatan. Implementasi terhadap bagian diatas menurut Penulis patut direkonstruksi, karena masih ada jemaat-jemaat yang belum melaksanakan misi yang berwajah banyak itu. Misalnya di bidang lingkungan
maupun kesehatan dalam hal ini
perhatian terhadap epidemi HIV AIDS maupun penyakit menular lainnya, tidak tertuang dalam program pelayanan di jemaat secara merata . Padahal kedua bidang ini merupakan kenyataan yang sangat menakutkan dalam konteks GKI TP. Masih terlihat banyak warga jemaat yang membuang sampah di kali dan sembarang tempat, sehingga lingkungan menjadi kotor pada saat banjir dan menimbulkan penyakit. Nampak juga ada pengabaian terhadap para penderita HIV AIDS, sehingga mereka tidak ditolong atau diperlakukan sebagaimana mestinya dalam hidup berjemaat. Pemahaman warga jemaat tentang kekristenan pun harus direkonstruksi, karena masih terdapat pendapat bahwa menjadi kristen itu sejak ia baptis maupun mengaku percaya pada peneguhan sidi jemaat. Sehingga mereka merasa tidak perlu lagi mengikuti pembinaan yang dilakukan oleh majelis jemaat.
Tercatat ada 14 daerah pos pekabaran injil di seluruh wilayah pelayanan GKI TP. Pos-pos ini terletak jauh di pedalaman Papua dengan penduduknya yang masih nomaden atau hidup berpindah-pindah dalam kelompok atau keluarga. Wilayah-wilayah ini jarang dikunjungi karena sulitnya transportasi kesana dan membutuhkan biaya yang sangat besar. Itu artinya bahwa misi dalam pelayanan keluar sangat terbatas dan harus ditinjau serta diatur lagi strategi yang tepat agar misi itu dapat menjangkau mereka secara teratur. 5.
Implementasi Misi dan Pembebasan. Misi ini tampak jelas pada teologi dunia ketiga seperti teologi pembebasan di
Amerika Latin yang dipelopori oleh Gustavo Gutiererrez. Teologi ini berawal dari teologi Barat dalam rangka mengatasi masalah ketidak-adilan di dunia ketiga. Namun yang dibutuhkan masyarakat dunia ketiga bukan lagi bantuan materi (charity), atau pendekatan lain yang meliputi kesehatan, pendidikan, pertanian dsb. Melainkan sesuatu
yang
lebih
fundamental
yaitu
pembangunan24.
Kemudian
istilah
pembangunan ini salah diartikan sebagai modernisasi yang menganggap apa yang baik di Barat juga baik untuk dunia ketiga. Akibatnya masalah ini tidak kunjung terselesaikan, malahan kesenjangan antara yang kaya dan yang miskin semakin lebar. Ketiga, terutama di Amerika Latin pada tahun 1950-an, terjadi pergeseran dari ide pembangunan ke ide pembebasan, baik secara teologis maupun eklesiologis. Masalah yang dilihat adalah dominasi dan ketergantungan,kayamiskin, kapitalis-sosialis, penindas-tertindas dan pencarian akar penyebab ketidakadilan. Situasi seperti itu tidak hanya berlaku bagi Amerika Latin, tetapi dibagian
dunia lain, dengan bentuk yang lain pula seperti rasisme dan diskriminasi yang melahirkan Black Teologi di Amerika utara dan Afrika Selatan. Implementasinya dari perspektif Papua, maka pemahaman misi pembebasan ini sangat urgen. Karena masyarakat di Papua membutuhkan suatu pembebasan yang menyeluruh. Situasi Papua sejak integrasi ke dalam NKRI berada dalam situasi tertindas,diberlakukan tidak adil, termarjinalkan, tertinggal, miskin dan rawan konflik. Kekuasaan negara dengan paham otoriter pada pemerintahan oerde baru serta penerapan daerah operasi militer telah berlangsung dalam waktu yang sangat lama. Kini Papua berada dalam era reformasi, namun masyarakat tetap tidak merasa nyaman karena situasi kini tidak jauh bedanya dengan situasi pada masa orde baru. Oleh sebab itu GKI TP dalam HUT emasnya yang ke lima puluh tanggal 26 oktober 2006 diperingati sebagai ―Jubelium Pembebasan menuju Papua Baru.‖ Perhatian GKI TP terhadap pembebasan berakar kuat dalam pemahaman tugas dan panggilan untuk menyatakan suara kenabiannya ditengah-tengah realitas sosial di Papua. Oleh sebab itu jemaat-jemaat harus secara jeli melihat dan memahami realitas yang dihadapi, dan secara aktif terlibat dalam tindakan pembebasan itu. juga pembebasan dari ikatan budaya yang menindas. Dalam konteks di Papua, budaya patriakh sangat kuat. Nampak dalam budaya ini kaum laki-laki sangat dominan dan berkuasa atas kaum perempuan dan anak-anak. Oleh sebab itu gereja harus juga memperjuangkan serta menyuarakan tentang kesamaan derajat antara laki-laki dan perempuan, keduanya diciptakan dalam citra Allah, dan
secara bersama mencerminkan citra Allah (bnd: Amsal 14:3; Ayub 31:13-15) menekankan suatu kebenaran dasar akan kesamaan derajat manusia: ―Siapa menindas orang yang lemah, menghina penciptanya, tetapi siapa menaruh belas kasihan kepada orang miskin, memuliakan Dia‖. Pembebasan terhadap perempuan di Papua terus mengalami kemajuan, terbukti sekarang banyak pejabat perempuan di pemerintahan, ada pimpinan klasis seorang pendeta perempuan bahkan ketua sinode GKI TP periode 2006-2011 di jabat oleh seorang perempuan yaitu, Pdt. Yemima Krey.26 Kenyataan ini merupakan suatu transformasi terhadap struktur adat yang menindas. Lebih jauh dalam menyambut HUT Emas GKI TP, Pdt.Y.Krey mengatakan GKI TP secara tegas menolak setiap institusi yang mengeksploitasi dan membatasi perempuan pada peran tertentu. Sebaliknya gereja harus memberi peluang kepada kaum perempuan untuk turut berkompetisi dan mengaktualisasikan dirinya sesuai dengan keinginan, bakat serta minat mereka dalam pendidikan, karir maupun dalam kehidupan sosial masyarakat. Dari pengamatan penulis tentang hal diatas, bahwa ada suatu pardigma baru tentang kesetaraan laki dan perempuan di Papua, namun hal itu masih terbatas di pusat-pusat kota saja. Atau mereka yang memiliki wawasan luas serta faktor pendidikan. Sedang masyarakat di daerah pinggiran atau kampung-kampung budaya patriakh masih domina. Oleh sebab itu rekonstruksi pada bagian inipun sangat dibutuhkan.
Dalam kemitraan tidak ada dominasi atau subordinasi. Potensi dan kekuatan masing-masing, betapun kecilnya tetap harus diakui dan dihargai. Dihadapan Allah keduanya setara, entah yang kuat maupun yang lemah, keduanya adalah subyek yang memiliki panggilan bersama untuk memberitakan injil kerajaan Allah. 6.
Implementasi Misi sebagai Kesaksian Bersama. Semangat ekumenis justru mulai muncul dalam lapangan misi, terutama misi
ke negara asing. Mula-mula terjadi persaingan antara badan misi, namun kemudian terjadi persetujuan pembagian daerah pekabaran injil yang akhirnya membawa kesadaran akan pentingnya kesatuan gereja. Kesatuan bukan hanya pilihan , tetapi panggilan prinsip untuk menjadi satu, sama seperti Allah Bapa, Putra dan Roh Kudus yang satu. Kesatuan itu mewujudkan gereja yang tua dan gereja muda dalam relasi partnership bukan paternalis dan pada tingkat lokal diwujudkan dalam menghindari perebutan dalam mendirikan gereja baru di tempat yang sama. Implementasinya,
GKI
TP
telah
mendorong
terbentuknya
PGGP
(Persekutuan Gereja-Gereja di papua) yang terdiri dari gereja-gereja ekumenis, evangelikal dan gereja katolik yang ada di Papua. Badan ini terdiri dari para ketua sinode dan pimpinan gereja katolik. Sebagai pemimpin dipilih satu orang ketua yang memimpin selama satu tahun lalu diganti lagi secara bergilir. PGGP memandang Papua sebagai ladang misi bersama dan dalam wadah inipun menggumuli berbagai fenomena sosial politik, ekonomi dan lingkungan di papua. Walau ada kesepakatan bersama, tetapi gesekan-gesekan di lapangan masih nampak dalam hal penanaman gereja.
Tentang praktek penanaman gereja Pdt. Bas Weyai menulis bahwa masih saja ada praktek curi domba, dimana warga GKI TP dipengaruhi untuk masuk atau pindah gereja, baik oleh aliran Pentakosta maupun gereja Baptis. Hal yang sama dilaporkan juga oleh Pdt Bastian Worabay. Aksi ini mereka lancarkan dengan cara mengajar tentang dogma, misalnya babtisan yang benar itu bukan percikan air tapi harus diselam, dan cara lain yaitu dengan pemberian material, seperti pakaian, makanan dan kebutuhan rumah tangga lainnya. Situasi diatas menggambarkan betapa rendahnya pemahaman tentang panggilan bersama sebagai anggota tubuh Kristus, dimana seluruh anggota tubuh itu terkait satu dengan lainnya(1 Kor.12: 12-31). Oleh sebab itu misi bersama harus di laksanakan dalam pola kristus, yaitu kerendahan dan pengosongan diri (Fil.2:7-8). Ini menunjukan bahwa tidak ada kuasa atau kekuatan lain yang diandalkan, kecuali Allah sendiri. Kedua Zendeling pertama ketika memasuki Tanah Papua bukan dengan kekuatan ekonomi atau kekuatan politik. Sebaliknya dalam keadaan rapuh dan tak berdaya, mereka hanya mengandalkan nama Tuhan sebagaimana doa sulung yang mereka ucapkan ketika pertama kali menginjakan kaki di pantai pulau Mansinam, ―Dengan nama Tuhan kami menginjak tanah ini‖. Dalam kerapuhan mereka kuasa Allah itu menjadi nyata, maka hanya kuasa Allah yang patut ditegakan. Begitu juga seharusnya, gereja-gereja di Tanah Papua yang tergabung dalam PGPP harus memahami bahwa misi yang mereka jalani sebenarnya adalah misi Allah sendiri. Maka pola misi Kristus harus juga menjadi 7.
Implementasi Peranan Jemaat Dalam Misi.
Pada zaman Yesus, Ia tidak memilih murid-murid dari kalangan imam melainkan dari rakyat biasa. Jemaat perdana juga berkumpul di rumah-rumah. Kemudian timbulah bermacam-macam jabatan dalam gereja seperti penatua dan diaken. Pada awal abad III jabatan imam semakin kuat dan mereka memiliki wewenang tertentu yang tidak dimiliki orang awam. Oleh sebab itu misi dilakukan hanya oleh orang yang berjabatan. Setelah Perang Dunia II, baik di Gereja Katolik maupun Protestan kembali menekankan kerasulan awam, yaitu jabatan rasul untuk seluruh anggota Gereja. Untuk melengkapi kaum awam tersebut dibutuhkan teologi kaum awam, bukan untuk menjadikan mereka pendeta-pendeta kecil, melainkan memperlengkapi mereka sebagai saksi Kristus dalam hidup sehari-hari. Gereja adalah Misi, tiap komunitas Kristen adalah Misi. Misi dilakukan secara bersama oleh seluruh umat. Disini Pendeta bukan satu-satunya yang melakukan pelayanan dan anggota jemaat menjadi objek pastoral, melainkan mereka juga dibekali untuk melakukan tugas panggilan ditengah masyarakat. Jabatan kerasulan awam ini dalam konteks GKI TP terlihat pada struktur dasar gereja ini yang menampakan aspek Koinonia dalam jemaat- jemaat. Persekutuan ini memiliki relasi dengan Tuhan, dan diwujudkan dalam persekutuan sesama umat yang percaya. Dalam struktur ini terlihat jemaat merupakan basis gereja tersebut Pemahaman struktur dasar merupakan landasan keterlibatan warga jemaat dalam misi, namun dalam kenyataannya tidak demikian. Menurut Rainer
Scheunemann kenyataan dilapangan seringkali hanya 10 persen warga jemaat yang terlibat dalam pelayanan dan sisanya adalah penonton. Banyak gereja di Indonesia hanya mencetak penggemar-penggemar dan penganut-penganut Pendeta atau gereja tertentu,
menyebabkan banyak jemaat
model kapal selam (timbul-tenggelam) dan warga jemaat yang terbanyak adalah anggota ―GPP‖ (Gereja Pindah-Pindah), karena mereka tidak mencapai kedewasaan rohani dan memahami tugas pelayanannya. Hal penting yang harus di pahami warga jemaat GKI TP, adalah bahwa dalam Perjanjian Lama tugas keimaman hanya diberikan kepada orang-orang khusus dari bani Lewi, tapi pembaharuan yang dikerjakan Sang Mesias adalah menjadikan seluruh umat Tuhan sebagai pelayanNya (1 Petrus 2:9). Mereka menjadi Imamat yang rajani, ini berarti bahwa perbedaan antara kaum rohaniawan dan warga jemaat hanyalah bersifat fungsional dan bukan secara status. Pemberdayaan warga jemaat dan keterlibatan mereka dalam pelayanan adalah tujuan jemaat Perjanjian Baru (Efesus 4:11-13). Kebanggaan yang dimiliki Paulus adalah kedewasaan rohani dan kemandirian warga jemaat dalam kesaksian dan pelayanan. Tentang aspek persekutuan ini K.Ph. Erari31 menyatakan bahwa Persekutuan jemaat hendaknya tidak mematikan kreatifitas dan karunia yang dimiliki warga jemaat dalam hal pembangunan tubuh Kristus. Semangat Koinonia harus membangkitkan harapan bagi jemaat bahwa ada kuasa dan kehidupan dalam Kristus, bahkan Koinonia yang benar adalah koinonia yang selalu memberdayakan warga jemaat untuk mempertahankan hidup ini sebagai hidup yang berarti. Sebab
dalam koinonia itulah terjadi perjumpaan dengan Kristus(Yohanes 17:12). Kalau demikian yang harus dialami maka pertanyaan penting untuk direnungkan adalah, apakah suasana persekutuan jemaat-jemaat di Papua terdapat ruang bagi mereka untuk mengalami kehadiran Kristus, dan lebih jauh lagi berjuang untuk mempertahankan kehidupan itu di tengah jemaat. Kenyataannya ini suatu tantangan untuk diwujudkan karena jemaat-jemaat berada dalam situasi realitas sosial yang serba sulit, oleh sebab itu bagi Penulis pemahaman Peranan Jemaat dalam Misi harus ditinjau ulang dan diberi pencerahan atau pemahaman agar mereka dapat memahami keberadaannya sekaligus terlibat dalam Misi Gereja. Salasatu solusi untuk memberdayakan warga jemaat di lingkungan GKI TP adalah, dibukanya
Sekolah Alkitab Malam atau SAM. Menurut salaseorang
pengajar, Pdt.Carol Huwae32, bahwa Program ini bertujuan untuk melengkapi kaum awam dengan pengetahuan isi alkitab PL dan PB (Biblika),Teologi Praktika, Dogmatika, Misiologi dan Pastoral. Pendidikan dalam program ini berlangsung selama satu tahun. Waktu pelaksanan ini bertolak dari asumsi bahwa, pembinaan atau pelatihan yang dilakukan di jemaat-jemaat yang bersangsung dalam beberapa hari itu sangat temporal. Oleh sebab itu dibutuhkan waktu yang cukup untuk membekali kaum awam. SAM berlangsung di Jemaat-jemaat dengan melibatkan baik majelis jemaat, unsur-unsur jemaat maupun warga jemaat yang mau ikut. SAM dilaksanakan secara bergantian di jemaat-jemaat yang telah siap baik finansial maupun peserta didiknya. Tenaga Pengajar SAM terdiri dari Dosen STT GKI
I.S.Kijne Jayapura dan beberapa pendeta yang direkrut untuk mengajar. Dalam pola ini diharapkan para Klerus (Pendeta) bertugas sebagai Pelatih atau Pembina yang memberdayakan umat Tuhan, dengan demikian jangkauan pelayanan gereja semakin luas. Meski SAM ini bermanfaat bagi pemberdayaan kaum awam dalam pelayanan,namun beberapa jemaat perkotaan maupun Klasis belum memanfaatkan SAM sebagai sarana pendidikan kaum awam seperti diungkapkan oleh koordinator SAM Pdt.Dr. Rainer Scheunemann Peranan jemaat dalam melaksanakan misi harus secara menyeluruh, sebagai wujud panggilan orang percaya ke dalam dunia. Menurut Penulis, peemahaman jemaat-jemaat masih sangat minim oleh sebab itu harus dilakukan rekonstruksi terhadap pemaham misi yang menyeluruh itu. Dengan demikian warga jemaat dapat menyadari dan terlibat dalam pelaksanaan misi itu secara baik, yang menyangkut aspek sosial politik, ekonomi, Ham, budaya serta ekologi. Dalam kata dan perbuatan mereka. Sebagaimana yang tertera dalam amanat misi GKI TP, yaitu menjadi garam dan terang dunia.