PELUANG PENGEMBANGAN VARIETAS UNGGUL KACANG HIJAU ASAL GALUR MMC157d-Kp-1 DI NUSA TENGGARA TIMUR Subandi, Anwari, dan Rudi Iswanto Balai Penelitian Tanaman Kacang-kacangan dan Umbi-umbian Malang ABSTRAK Nusa Tenggara Timur (NTT) sebagai provinsi yang wilayahnya sebagian besar merupakan lahan kering yang beriklim kering yakni bertipe iklim D dan E menurut klasisifikasi Oldeman serta curah hujannya yang eratik, dalam pembangunan pertaniannya dari segi teknis akan menghadapi cekaman kekeringan sebagai masalah utama. Dengan perubahan iklim yang diantaranya ditandai oleh peningkatan suhu atmosfer dunia (global warwing), maka cekaman kekeringan akan semakin meningkat baik frekuensi maupun intensitasnya. Dalam menghadapi permasalahan ini, salah satu upaya antisifasi/pengatasannya adalah mengusahakan jenis dan/atau varietas tanaman yang toleran atau dapat terhindar dari kekeringan. Salah satu jenis tanaman yang sesuai dengan hal tersebut adalah kacang hijau. Untuk NTT, pengembangan kacang hijau tidak hanya sesuai dengan kondisi agroklimat melainkan juga sesuai dengan keadaan sosialekonomi masyarakatnya. Bagi pengembangan kacang hijau, varietas unggul kacang hijau asal galur MMC157-Kp-1 yang akan segera dilepas (awal 2008), dari pertimbangan agroklimat dan sosialekonomi mayarakat NTT akan sangat sesuai karena mempunyai karakter: (a) potensi dan rata-rata hasilnya tinggi yakni 1,76 t/ha dan 1,38 t/ha biji kering, (b) berumur genjah yaitu 57 hari (80 % polong masak) sehingga lebih berpeluang terhindar kekeringan dan mendukung peningkatan indeks pertanaman (IP), (c) tahan penyakit embun tepung sebagai penyakit penting, (d) polong terbentuk/ berada di atas kanopi daun sehingga memudahkan untuk pengendalian hama Maruca sebagai hama penting dan memanen polong, (e) seluruh polong dapat dipanen serempak (panen sekali), sehingga menghemat tenaga/biaya panen, (f) polong tidak mudah pecah, sehingga peluang kehilangan hasil di lapangan, saat panen, dan pengangkutan kecil, serta (g) biji berwarna kusam, warna ini menjadi preferensi bagi masyarakat NTT. Kata kunci: Kacang hijau, galur MMC157d-Kp-1, NTT PENDAHULUAN Wilayah provinsi Nusa Tenggara Timur (NTT) didominasi oleh lahan kering, sehingga padanya terdapat peluang yang besar bagi pengembangan palawija seperti jagung dan aneka kacang diantaranya adalah kacang hijau. Khusus untuk kacang hijau, jenis kacang ini termasuk komoditas pertanian yang diminati oleh masyarakat, terbukti dari areal tanamnya yang relatif cukup luas. Berdasarkan hasil survei luas tanam jenis kacang-kacangan yakni kedelai, kacang tanah, dan kacang hijau, kacang hijau adalah yang paling luas diusahakan di NTT yakni kedelai 4.205 ha, kacang tanah 17.160 ha, dan kacang hijau 25.673 ha (BPS, 2005). Di Indonesia, dalam hal luas tanam kacang hijau, NTT menempati urutan keempat sebagai provinsi pengusaha kacang hijau, dengan luas tanam pada tahun 2004 mencapai 25.673 ha atau berkonstribusi sekitar 7,70 % terhadap total luas tanam kacang hijau dalam negeri (Tabel 1). Komoditas ini diminati masyarakat NTT karena pertimbangan berbagai hal, diantaanya adalah: (a) sebagai bahan pangan konsumsi harian untuk sayur (biji langsung, kecambah), dan bubur; (b) relatif mudah diusahakan, cepat dipanen, dan tahan kering; serta (c) mudah dipasarkan dan mempunyai nilai jual yang baik. Tabel 1. Lima provinsi penghasil kacang hijau utama di Indonesia Provinsi Luas panen (ha) Jawa Tengah 85.662 Jawa Timur 81.655 Nusa Tenggara Barat 50.275 Nusa Tenggara Timur 25.673 Sulawesi Selatan 22.467 Provinsi lainnya 63.132
Persentase*) 26,05 24,83 15,29 7,80 6.83 19.20
Indonesia *) Persentase terhadap total nasional
328.864
100.00
Sumber: BPS (2005)
Tabel 2. Luas tanam dan luas tanaman puso kacang hijau di lima provinsi penghasil kacang hijau utama di Indonesia Provinsi Luas tanam Luas tanaman Persentase (ha) puso (ha) tanaman puso*) Jawa Tengah 85.662 1.154 1,45 Jawa Timur 81.655 189 0,23 Nusa Tenggara Barat 50.275 142 0,28 Nusa Tenggara Timur 25.673 1.811 7,33 Sulawesi Selatan 22.467 168 0,75 Indonesia 328.864 4.543 1,38 *) Persentase terhadap luas tanam provinsi yang bersangkutan atau total nasional Sumber: BPS (2005)
Sebagai provinsi pengusaha kacang hijau, NTT menghadapi permasalahan, diantaranya adalah tingkat tanaman puso yang cukup tinggi yakni 7,33 %, jauh lebih tinggi dibandingkan baik dengan provinsi pengusaha kacang hijau utama lainnya maupun rata-rata nasional (Tabel 2). Penyebab utama tanaman puso tidak diperoleh, namun dapat dipastikan berkaitan dengan cekaman biotis (hama, penyakit) dan/atau cekaman abiotis, khususnya untuk NTT sangat boleh jadi adalah karena kekeringan, mengingat sebagian besar wilayahnya beriklim kering dan banyak lahan pertanian yang solum tanahnya dangkal atau berbatu-batu. Ancaman kekeringan akan meningkat baik frekensi maupun intensitasnya karena akibat dari pemanasan global (global warming). Sehubungan dengan hal tersebut di atas, salah satu upaya yang dapat dilakukan untuk mengatasi permasalahan tersebut adalah mengusahakan varietas kacang hijau yang relatif toleran atau terhindar dari cekaman hama/penyakit dan kekeringan.
SUMBER DAYA PERTANIAN NTT Lahan Pertanian Lahan pertanian di NTT didominasi oleh lahan kering, hal itu terjadi pada semua wilayah kabupaten di provinsi tersebut. Untuk total wilayah NTT, dominasi lahan kering mencapai sekitar 97,30 % (Tabel 3), sehingga keberhasilan dalam memanfaatkan dan mengelola lahan kering adalah merupakan kunci bagi pembangunan pertanian NTT. Tabel 3. Distribusi lahan pertanian di NTT Kabupaten Lahan kering Luas (ha) Persentase Sumba Barat 405.190 8,33 Sumba Timur 700.050 14,38 Kupang 733.860 15,08 Timur Tengah Selatan 394.700 8,11 Timur Tengah Utara 266.970 5,49 Belu 244.560 5,03 Alor 286.460 5,87 Flores Timur 307.920 6,33 Sikka 173.190 3,56 Ende 204.660 4,21 Ngada 303.790 6,24 Manggarai 731.640 15,03 Total NTT 4.734.990 97,30
Lahan sawah Luas (ha) Persentase 18.672 0,38 24.209 0.50 21.081 0,43 4.698 0,10 4.191 0,09 8.642 0,18 3.009 0,06 2.018 0,04 2.148 0,04 6.223 0,13 8.434 0,17 28.395 0,58 131.720 2,70
Sumber: Kantor Statistik BPS NTT dalam: Subandi (1998)
Iklim Di Indonesia, provinsi NTT tergolong wilayah terkering. Provinsi ini termasuk semi-arid, sebab sebagian besar wilayahnya mempunyai periode hujan yang singkat, yaitu 3-5 bulan (Momuat et al., 1987; Maliana et al., 1991). Walaupun curah hujan dalam setahunnya beragam antara sekitar 500 – 3.000 mm, namun sebagian besar wilayah NTT bercurah hujan 900 – 1.500 mm per tahun. Berdasarkan peta iklim yang dibuat oleh Oldeman et al. (1980) dapat diketahui dan dihitung bahwa wilayah NTT sebagian besar beriklim tipe D (D3 dan D4) serta E (E3 dan E4), hanya sebagian kecil saja yang beriklim tipe B (B 2) dan C (C3) (Tabel 4).
Tabel 4. Distribusi tipe iklim di wilayah provinsi NTT berdasarkan klasifikasi iklim Oldeman Tipe iklim Persentase luas wilayah NTT B2 0,24 C3 2,15 D3 31,81 D4 32,76 E3 2,29 E4 30,75 Jumlah 100,00 Keterangan: -B2: Mempunyai bulan basah 7-9 bulan dan bulan kering 2-3 bulan -C3: Mempunyai bulan basah 5-6 bulan dan bulan kering 2-3 bulan -D3: Mempunyai bulan basah 3-4 bulan dan bulan kering 4-6 bulan -D4: Mempunyai bulan basah 3-4 bulan dan bulan kering > 6 bulan -E3: Mempunyai bulan basah < 3 bulan dan bulan kering 4-6 bulan -E4: Mempunyai bulan basah < 3 bulan dan bulan kering > 6 bulan -Bulan basah: Mempunyai curah hujan > 200 mm -Bulan kering: Mempunyai curah hujan < 100 mm Sumber: Oldeman et al. (1980)
Curah hujan untuk wilayah dataran rendah NTT umumnya kurang dari 1.500 mm per tahun. Bahkan di beberapa daerah seperti di kabupaten Sumba Timur bagian utara, curah hujannya sekitar 500-800 mm per tahun (Lidjang et al., 1996). Wilayah dengan curah hujan yang relatif tinggi terdapat pada daerah pegunungan seperti di Manggarai, Flores Barat, di Sumba Barat (Wirdahayati et al., 1991), dan di Timur Tengah Selatan (Subandi et al., 1997). Khususnya untuk daerah pantai selatan kabupaten Belu, kendatipun tergolong wilayah dataran rendah, curah hujan di daerah ini tergolong tinggi (1.500 – 1.750 mm per tahun), sebab dipengaruhi angin selatan yang membawa hujan antara bulan April-Juni. Untuk daerah ini, angin barat menyebabkan hujan pada bulan Desember – Maret (Malian et al., 1991). Berdasarkan data curah hujan seperti tersebut di atas, tanaman kacang hijau dapat ditanam sebagai: (a) tanaman pertama bagi wilayah yang bertipe iklim E 3 dan E4 atau wilayah dengan curah hujan sekitar 500-750 mm per tahun, (b) tanaman kedua dengan sistem tanam tumpang-sisip (relay planting) misalnya di antara tanaman jagung sebagai tanaman pertama, yakni ditanam menjelang jagung dipanen, ini bagi wilayah bertipe iklim D3 dan D4 atau wilayah dengan curah hujan sekitar 900- 1.200 mm per tahun; serta (c) tanaman kedua dengan sistem tanam berurutan (sequental planting), misalnya ditanam setelah tanaman jagung sebagai tanaman pertama dipanen, ini bagi wilayah bertipe iklim C3 atau wilayah dengan curah hujan sekitar 1.500 mm per tahun. Tanah Menurut Soekardi dan Karama (1993), berkenaan dengan bahan induk pembentuk tanah, lingkungan fisik NTT dibagi menjadi daerah Vulkan dan Non-vulkan. Derah vulkan berada di pulau Flores dan pulau-pulau kecil di sebelah utara pulau Flores. Karena topografinya berbukit sampai bergunung, daerah vulkan dengan curah hujan yang relatif banyak mengalami pencucian unsur hara relatif kuat, namun demikian kandungan unsur hara dalam tanah masih memadai sebab tanahnya masih muda dan kaya humus; tanahnya tergolong Entisol, Inceptisol, atau Andosol (Soekardi dan Karama, 1993). Daerah non-vulkan terdapat di pulau-pulau lain diantaranya Sumba, Rote, Sabu, dan Timor. Daerah ini umumnya bertopografi berbukit, bergelombang, sampai datar; karena curah hujannya relatif rendah maka pencucian unsur hara dalam tanah tidak intensif, sehingga tanahnya relatif kaya kation-kation dan bereaksi netral sampai basis (Soekardi dan Karama, 1993). Di daerah ini tanahnya dapat berupa Entisol, Inceptisol, Vertisol, Mollisol, dan Alfisol. Beberapa hasil penelitian menunjukkan bahwa tanah di NTT secara umum kurang mengandung hara N, umumnya mangandung P dan K dalam taraf sedang sampai tinggi, serta kaya Ca dan Mg (Main Base Kupang, 1988; Sub Base Maumere, 1988; Subagio et al., 1992). Berdasarkan jenis dan kesuburan tanah, lahan pertanian di NTT akan sesuai untuk pertanaman kacang hijau. Kadar N tanah yang umumnya rendah tidak akan menjadi masalah penting bagi pertanaman leguminose, di antaranya kacang hijau, sebab secara simbiosis dengan rhizobium tanaman kacang hijau dapat mengikat N-udara untuk pertumbuhannya.
Sumberdaya manusia Sumberdaya manusia di wilayah lahan kering relatif tertinggal, disebabkan oleh keteretinggalan wilayah tersebut dalam pertumbuhan ekonomi dan persiapan infrastrukturnya (Pasandaran et al., 1993). Meskipun data yang disampaikan oleh Pura Woha (dalam Subandi, 1998) menunjukkan bahwa tingkat pendidikan, pengetahuan, dan ketrampilan penduduk NTT relatif rendah, namun hal ini tidak menjadi permasalahan penting bagi pengusahaan dan pengembangan tanaman kacang hijau lebih lanjut, sebab kacang hijau relatif mudah dibudidayakan dan sebagian petani NTT sudah biasa mengusahakan komoditas ini. Kendatipun kepadatan penduduk cukup beragam antar kabupaten, namun secara umum dilaporkan bahwa ketersedian tenaga kerja pertanian di NTT dinilai relatif kurang untuk mendayagunakan lahan pertanian yang tersedia, sehingga masih cukup banyak didapati lahan tidur (Subandi, 1998). Dari segi pertimbangan tenaga kerja, untuk tanaman kacang hijau yang polongnya masak atau dapat dipanen lebih serempak tentu akan menolong, sebab akan lebih sedikit menggunakan tenaga kerja. KACANG HIJAU DI NTT Diantara tanaman palawija, jagung adalah komoditas yang paling luas dibudidayakan di NTT (Tabel 5) sebagai bahan pangan pokok masyarakat. Selain jagung, petani NTT juga mengusahakan aneka kacang, diantaranya kedelai, kacang tanah, kacang hijau, kacang tunggak (termasuk kacang nasi), dan kacang merah. Dikalangan komoditas kacang-kacangan yang populer secara nasional yakni kedelai, kacang tanah, dan kacang hijau; kacang hijau adalah jenis kacang tanah yang paling luas diusahakan masyarakat NTT (Tabel 5) sebagi bahan pangan untuk konsumsi langsung (sayur, kecambah, bubur) maupun sumber pendapatan karena harga jualnya bagus.
Tabel 5. Areal tanam jagung, kedelai, kacang tanah, dan kacang hijau di NTT Komoditas Luas tanam (ha/tahun) Jagung 316.263 Kedelai 4.205 Kacang tanah 17.160 Kacang hijau 25.673 Sumber: BPS (2005)
Kacang hijau banyak ditanam pada lahan kering sebagai tanaman pertama maupun kedua. Sebagai tanaman pertama, umumnya dijumpai pada daerah yang curah hujannya relatif rendah sekitar 500 – 750 mm tahun atau tanah yang kurang dapat menyimpan lengas karena solumnya dangkal dan/ atau berbatu-batu seperti Waturia, Maumere (Sikka). Sebagai tanaman kedua, kacang hijau dapat diusahakan secara tumpangsisip (relay planting) ataupun secara tanam berurutan (sequental planting) pada areal pertanaman jagung sebagai tanaman pertama. Pengusahaan kacang hijau secara tumpangsisip dengan jagung didapati pada wilayah dengan curah hujan sekitar 900-1.200 mm per tahun, seperti yang terdapat di dataran rendah Maumere. Pada sistem tanam ini, kacang hijau ditanam pada saat tanaman jagung menjelang dipanen, atau sekitar 10-15 hari sebelum panen jagung. Praktek pengusahaan kacang hijau secara tanam berurutan dengan jagung, dilakukan pada wilayah bercurah hujan sekitar 1.500 mm per tahun atau lebih, misalnya di sebagian wilayah kabupaten Belu. Pada sistem ini, kacang hijau ditanam setelah jagung sebagai tanaman pertama selesai dipanen. Di NTT, petani masih banyak menanam varietas lokal, diantaranya lokal Belu dan lokal Sabu dengan pengusahaan yang tidak/kurang intensif, sehingga hasilnya tergolong rendah, yakni kurang dari 0,5 ton per hektar (Akil et al., 1991; Sulistyono et al., 1993). KARAKTER GALUR KACANG HIJAU MMC157d-Kp-1 Galur MMC157d-Kp-1 merupakan galur unggul hasil persilangan Balai Penelitian Tanaman Kacang-kacangan dan Umbi-umbian (Balitkabi) dari tetuanya yaitu VC 1973A (jantan) dengan VC 2750A (betina) yang dilaksanakan pada tahun 1996. Galur ini sudah siap dilepas pada awal tahun 2008. Galur MMC175d-Kp-1 mempunyai karakter yang sesuai untuk dikembangkan di wilayah NTT. Beberapa karakter pentingnya adalah sebagai berikut: Hasil biji, umur, dan habitus tanaman Dari hasil evaluasi di 17 lokasi yang tersebar di Jawa Timur dan Jawa Tengah yang penanamannya dilaksanakan pada musim kemarau pertama (MK1) dam kemarau kedua (MK2), dibandingkan dengan varietas unggul Murai dan Perkutut sebagai chek yang berturut-turut berbiji warna kusam dan mengkilat, menujukan beberapa keunggulan yakni rata-rata hasil biji lebih tinggi, umur lebih genjah, dan tanamannya lebih pendek (Tabel 6). Potensi hasil MMC157d-Kp-1 adalah 1,76 ton/ha. Umur tanaman yang lebih genjah atau cepat masak merupakan salah satu karakter yang diminati petani, sebab dengan umur genjah berarti petani akan cepat memperoleh hasil panen, resiko gagal karena kekurangan air atau gangguan hama/penyakit lebih kecil, dan memperbesar peluang peningkatan indeks pertanaman (IP). Habitus tanaman yang tidak tinggi juga merupakan karakter yang menguntungkan, karena akan memudahkan pemeliharaan dan beresiko lebih kecil dalam hal kerebahan tanaman. Karakter yang tersebut terakhir penting bagi wilayah NTT, sebab secara umum tiupan anginnya kencang, sehingga potensi kerebahan tanaman tinggi. Tabel 6. Hasil biji, umur, dan tinggi tanaman kacang hijau galur MMC157d-Kp-1 dibandingankan dengan varietas unggul Murai dan perkutut sebagai chek Varietas/galur Rata-rata hasil biji Umur masak Tinggi tanaman (ton/ha) (hari)*) (cm) Murai 1,35 61 59 Perkutut 1,31 60 60 MMC157d-Kp-1 1,38 57 53 Sumber: Anwari et al. (2007)
Keserempakan masak polong Karakter keserempakan masak polong dievaluasi di kabupaten Demak (Jawa Tengah) pada MK2, yakni ditanam setelah panen padi kedua atau ditanam pada bulan Juni 2007. Sebagai pembanding ditanam varietas unggul Murai dan varietas lokal (lugut), ketiganya berbiji kusam. Masyarakat Demak menghendaki jenis kacang hijau berbiji kusam, karena harga jualnya lebih baik daripada yang berbiji mengkilat. Dari hasil pengamatan, ternyata galur MMC157d-Kp-1 umur masaknya 56 hari dan polongnya dapat dipanen serempak atau sekali panen; sementara varietas Murai dan lokal (lugut) pada saat panen pertama diperoleh berturut-turut 95 % dan 80 % dari hasil bijinya, berarti panen dilakukan lebih dari satu kali (Tabel 7). Waktu panen yang dilakukan satu kali saja pada galur MMC157d-Kp-1 akan sangat sesuai untuk wilayah NTT yang relatif kekurangan tenaga kerja. Tabel 7. Hasil biji, umur masak, dan distribusi panen tiga genotipe kacang hijau di Demak Varietas/galur Hasil biji (ton/ha) Umur masak Distribusi panen (%) (hari)*) Pertama Kedua Murai 1,51 60 95 5 Lokal (lugut) 0,87 64 80 20 MMC157d-Kp-1 1,46 56 100 0 *). Umur masak: umur saat 80 % polong masak
Sumber: Anwari et al. (2007)
Kemudahan pecah polong Kemudahan polong untuk pecah merupakan karakter penting yang perlu diperhatikan, karena disamping menentukan fleksibilitas saat panen, juga peluang terjadinya kehilangan biji pada saat di lapangan, panen, maupun pengangkutan. Pengujian kemudahan pecah polong dilakukan pada pertanaman di Demak tersebut di atas; diuji dengan cara memanen lima tanaman pada pukul 12.00 (siang hari), kemudian tanaman berikut polongnya dipukulkan ke lantai dengan kekuatan berimbang antar tiga genotipe tersebut (Murai, lugut, dan MMC157d-Kp-1).
Tabel 8. Kemudahan pecah polong tiga genotipe kacang hijau Varietas/galur Jumlah polong Jumlah polong per lima tanaman pecah Murai 89 62 Lokal (lugut) 56 43 MMC157d-Kp-1 62 27
Polong pecah (%) 69,7 76,8 43,6
Sumber: Anwari et al. (2007)
Persentase polong pecahnya menunjukkan bahwa galur MMC157d-Kp-1 adalah yang paling rendah yakni 43,6 %, sedangkan Murai dan Lugut berturut-turut sebesar 69,7 % dan 76,8 % (Tabel 8). Karakter polong galur MMC157d-Kp-1 yang relatif tidak mudah pecah inilah yang ikut membantu waktu pemanenan polong dapat dilaksanakan sekali saja. Untuk menunggu polong yang terbentuk terakhir mencapai umur masak, polong yang terbentuk pertama belum pecah. Posisi bunga/ polong dan warna biji Posisi letak bunga/polong kacang hijau juga merupakan karakter penting yang harus diperhatikan, sebab terkait dengan kemudahan pengendalian hama polong dan pemanenannya. Galur MMC157d-Kp-1, bunga/polongnya terbentuk di atas kanopi daun, sehingga memudahkan dalam pengendalian hama, misalnya Maruca. Penyemprotan akan lebih mudah/cepat dilakukan bagi yang bunga/polongnya berada di atas kanopi daun. Warna biji merupakan karakter kacang hijau yang juga mendapat perhatian bagi sebagian petani/ pembeli/pengguna. Di beberapa daerah, diantaranya seperti di Demak dan NTT, kacang hijau yang lebih diminati adalah yang bijinya berwarna kusam. Di Demak pembeli atau pengguna untuk bahan baku pembuatan bakpia hanya mau membeli/atau membeli dengan harga lebih tinggi untuk yang berbiji kusam; sedangkan bagi masyarakat NTT menyukai yang berbiji kusam sebab mudah dimasak, maksudnya cepat masak/lunak. Ketahanan terhadap penyakit Embun tepung merupakan penyakit penting pada kacang hijau. Berdasarkan hasil pengujian ketahanan galur MMC157d-Kp-1 terhadap penyakit embun tepung pada dua musim tanam menunjukkan bahwa galur MMC157d-Kp-1 tergolong tahan terhadap serangan penyakit tersebut (Tabel 9). Tabel 9. Intensitas serangan penyakit embun tepung pada tiga genotipe kacang hijau Varietas/galur Serangan penyakit MK 2006 MK2007 (Intensitas, %)*) (Skor)**) Betet (pembanding rentan) 25 4 Kutilang (pembanding tahan) 5 1 MMC157d-Kp-1 0 0 Keterangan: *). 0 : sangat tahan 31-60 %: agak rentan, 1- 10 % : tahan, 61-80 %: rentan, 11-30 %: agak tahan, > 80 % : sangat rentan, **). 0: sangat tahan dan 5: sangat rentan Sumber: Anwari et al. (2007)
KESIMPULAN 1. Nusa Tenggara Timur (NTT) sebagai provinsi yang tergolong terkering di Indonesia, sebagian besar wilayahnya bertipe iklim D dan E yakni sekitar 97,61 % dari luas total wilayah; oleh karenanya lahan pertanian NTT didominasi oleh lahan kering yaitu mencapai sekitar 97,30 %. 2. Karena wilayahnya dikuasai oleh lahan kering yang beriklim kering, maka tanaman palawija, diantaranya kacang-kacangan merupakan komoditas penting di NTT. Dikalangan komoditas kacangkacangan yang populer secara nasional yaitu kedelai, kacang tanah, dan kacang hijau; kacang hijau adalah yang paling luas dibudidayakan oleh masyarakat NTT, sehingga mengantarkan NTT menduduki urutan keempat sebagai provinsi penghasil kacang hijau di Indonesia. Namun demikian,
3.
dalam mengusahakan kacang hijau, NTT masih menghadapi permasalahan yakni tingkat produktivitas yang masih tergolong rendah dan persentase tanaman puso yang cukup tinggi, yang sebagian penyebabnya diduga oleh penggunaan varietas lokal yang kurang produktif dan cekaman biotis (hama/penyakit) maupun abiotis (kekeringan). Galur kacang hijau MMC157d-KP-1 hasil penelitian Balitkabi yang akan dilepas pada awal tahun 2008, berdasarkan karakternya sangat sesuai dikembangkan di wilayah NTT. Karakter galur MMC157d-Kp-1 tersebut adalah: (a) potensi dan rata-rata hasil bijinya tinggi yakni berturut-turut 1,76 ton dan 1,38 ton per hektar, (b) umur masak polongnya genjah yaitu sekitar 57 hari, sehingga menguntungkan dari segi terhindar dari kekeringan dan upaya mendukung peningkatan indeks pertanaman (IP), (c) tahan penyakit embun tepung sebagai penyakit penting kacang hijau, (d) polong terbentuk di atas kanopi daun sehingga memudahkan dalam pengendalian hama Maruca sebagai hama penting, dan juga memudahkan dalam memanen polong, (e) polong relatif tidak mudah pecah, sehingga mengurangi peluang kehilangan hasil sewaktu di lapangan, pada saat panen, maupun pengangkutan, (f) panen polong dapat dilakukan secara serempak atau satu kali panen, hal ini akan menghemat tenaga kerja dan/atau biaya, serta (g) bijinya berwarna kusam, sebagai warna yang diminati masyarakat NTT. DAFTAR PUSTAKA
Akil, M., C.J.S. Momuat, Y. Ngongo, J. Bobihoe, dan Subandi. 1992. Penelitian sistem usahatani di wilayah beriklim kering di Nusa Tenggara Timur studi kasus pola pekarangan zona aluvial desa Naibonat Kupang. Publikasi Wilayah Kering. No. 3: 1-7. Anwari, M., Rudy Soehendi, Rudi Iswanto, Sumartini, H. Purnomo, dan A. Supeno. 2007. Galur MMC157d-Kp-1. Calon varietas unggul kacang hijau umur genjah, masak serempak, dan tahan penyakit embun tepung. Balai Penelitian Tanaman Kacang-kacangan dan Umbi-umbian (tidak dipublikasi). BPS. 2005. Survei Pertanian. Produksi tanaman padi dan palawija di Indonesia. Badan Pusat Statistik, Jakarta. 110 p. Lidjang, I.K., Ch. Boras, dan J. Triyastono. 1996. Keragaan sistem usahatani terpadu berbasis jambu mente pada lahan kering beriklim kering di Nusa Tenggara Timur. Kasus: Desa Kondamara, kecamatan Lewa, kabupaten Sumba Timur, p. 45-56. Dalam: Kumpulan makalah Rapat Evaluasi Hasil Penelitain Proyek Penelitain Usahatani Lahan Kering (UFDP), Waingapu (NTT), 21-22 Nopember 1996. Pusat Penelitian Tanah dan Agroklimat. Malian, A.H., D. Sitepu, dan S. Field (Ed.). 1991. Sistem usahatani di Nusa Tenggara. Studi kasus di lima kabupaten. Proyek Pembangunan Penelitain Pertanian di Nusa Tenggara. Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian. Momuat, E.O., IGP. Sarasutha, Djamaluddin, M. Y. Maamun, dan A. Hasanuddin (Ed.). 1987. Hasil survei pendasaran di Nusa Tenggara. . Proyek Pembangunan Penelitain Pertanian di Nusa Tenggara. Badan Litbang Pertanian. Oldeman, L.R., Irsal L, and Muladi. 1980. Agro-climatic map of Bali, Nusa Tenggara Barat, and Nusa Tenggara Timur. Central Research Institute of Agriculture, Bogor. Pasandaran, E., Hermanto, Sumaryanto, dan Niswar Syafa’at. 1993. Investasi pengembangan pertanian di lahan kering: Suatu pendekatan pemanfaatan dan pelestarian sumberdaya lahan, p. 226-245. Dalam: E.O. Momuat, A.H. Taryoto, Ch. J.S. Momuat, dan D. Sitepu (Ed.). Posiding Lokakarya Status dan Pengembangan Lahan Kering di Indonesia. Mataram, 16-18 Nopember 1993. Proyek Pembangunan Penelitain Pertanian di Nusa Tenggara. Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian.
Soekardi, S dan S. Karama. 1993. Potensi, prospek, dan tantangan pengembangan lahan kering di kawasan timur Indonesia, dalam: E.O. Momuat, A.H. Taryoto, dan D. Sitepu (Ed.). Posiding Lokakarya Status dan Pengembangan Lahan Kering di Indonesia. Mataram, 16-18 Nopember 1993. Proyek Pembangunan Penelitain Pertanian di Nusa Tenggara. Badan Litbang Pertanian. Subandi, S. Bahri, J. Bobihoe, Lutfi, H. Marawali, dan A. Bamualim. 1997. Pengkajian sistem usahatani berbasis jeruk di Nusa Tenggara Timur. Makalah disampaikan pada Pra Raker II untuk Kawasan Timur Indonesia. Manado, 3-4 Maret 1997. Subandi. 1998. Prospek peningkatan produksi jagung pada lahan kering Nusa Tenggara, p. 500-520. Dalam: Prosiding Seminar dan Lokakarya Nasional Jagung. Balai Penelitian Jagung dan Serealia lain. Sulistyono, B., Suyamto, dan Indrawati. 1993. Penelitian paket usahatani palawija pada lahan kering di kabupaten Sikka, p. 42-53. Dalam: Dalan et al. (Ed.). Teknologi untuk menunjang produksi tanaman pangan (Laporan hasil penelitian ARM 1992/1993). Balitkabi. Malang. Wirdahayati, R.B., Endrizal, dan Bahtiar. 1991. Sistem usahatani di Sumba Barat provinsi Nusa Tenggara Timur, p. 65-96. Dalam: Malian, A.H., D. Sitepu, dan S. Field (Ed.). Sistem usahatani di Nusa Tenggara. Studi kasus di lima kabupaten. Proyek Pembangunan Penelitain Pertanian di Nusa Tenggara. Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian.