PELAKSANAAN AKUNTABILITAS DALAM PENYELENGGARAAN PEMERINTAH DESA (Studi Di Desa Warisa, Kecamatan Talawaan, Kabupaten Minahasa Utara)
Oleh : Delviyanti Cristin Manopo
Abstrak Akuntabilitas sebagai salah satu bentuk tanggung jawab pemerintah kepada masyarakat atas berbagai pengelolaan dan pelaksanaan pemerintahan di desa dirasakan masih lemah, hal ini salah satunya terlihat pada tingkat informasi yang diterima oleh masyarakat tentang berbagai penyelenggaraan pemerintahan di Desa Warisa masih rendah. Hambatan atau kendala dalam mewujudkan akuntabilitas pemerintahan desa yang sempurna juga menjdai faktor penyebab lemahnya akuntabilitas pemerintahan di Desa Warisa. Atasnya penelitian akan menggali lebih jauh mengenai prinsip akuntabilitas penyelenggaraan pemerintahan Desa, di Desa Warisa Kecamatan Talawaan, Kabupaten Minahasa Utara. Pelaksanaan atau pengelolaan anggaran dan pembangunan telah menerapkan prinsip akuntabilitas, permasalahannya masih sebatas pertanggungjawaban fisik, sedangkan sisi administrasi masih belum sepenuhnya dilakukan dengan sempurna. Kompetensi sumber daya manusia pengelola merupakan kendala utama. Kata Kunci : Pelaksanaan, Akuntabilitas, Pemerintah Desa
PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Desa telah tumbuh dan berkembang jauh dalam sebuah negara modern, yang sekarang ini dikenal dengan Negara Republik Indonesia. Namun, dalam perjalanannya desa justru terkadang sebagai alat untuk menjangkau dan menertibkan rakyatnya. Secara netral, desa didudukkan sebagai organ negara dalam tataran paling bawah. Selain itu, dalam cara kerja birokrasi pemerintahan selama ini, desa berperan tidak lebih dari sekedar kaki tangan pemerintah. Sebetulnya desa dilihat dalam dua hal, pertama desa adalah suatu institusi kemasyarakatan yang diwariskan secara turun-temurun oleh masyarakat. Melalui desa ini masyarakat setempat mengatur dan mengurus dirinya
sendiri,
termasuk
melakukan
pengelolaan konflik dan mengembangkan kemaslahatan bersama. Dalam konotasi inilah desa
didefinisikan sebagai suatu masyarakat hukum ataupun entitas sosial politik yang bukan hanya berhak namun juga mampu mengatur dan mengurus kepentingan-kepentingannya sendiri (Purwo Santoso, 2006: 239). Suprastruktur desa hadir atau berkembang, desa kemudian memiliki wajah ganda. Di satu sisi desa tetap bertahan sebagai institusi kemasyarakatan dan di sisi lain menjadi bagian dari rantai birokrasi pemerintahan modern. Seperti yang telah diketahui bahwa pada masa orde baru pemerintah berkepentingan menyeragamkan tatanan internal desa yang begitu beragam di negeri ini. Pemerintah menginginkan agar desa menjadi instrumen pembangunan yang efektif dan efisien, dan keaneragaman dianggap sebagai kendala. Ketika keunikan desa yang sangat kaya dengan keragamannya diseragamkan oleh pemerintah, desa hanya sekedar menjadi entitas administrasi pemerintahan. Dengan adanya Undang-undang No 6 tahun 2014 mengenai Desa, maka desa dikembalikan sebgai bagian dari hak masyarakat, sehingga hadirnya otonomi desa, dimana desa menyelenggarakan pemerintahan secara mandiri, dari oleh dan untuk rakyat. Jadi segala penyelenggaran pemerintahan dan pembangunan desa diharapkan kemandiriannya, prakarsa, dan partisipasi masyarakat. Desa sebagai kesatuan masyarakat hukum berdasarkan asal-usul dan adat istiadatnya. Akan tetapi, dalam UU No 6 Tahun 2014 keberadaan desa hanya dalam daerah kabupaten. praktek
desentralisasi dalam penyelenggaraan pemerintahan desa,
mulai dari
kebijakan sampai praktek empirik pengelolaan kekuasaan mengandung sejumlah kelemahan, dan menyisahkan banyak persoalan ketika desa sendiri tidak siap mewujudkan desa yang partisipatif setelah sekian lama berada dalam sistem pemerintahan yang tersentral. Persoalan terjadi dalam penyelenggaraan pemerintahan desa, yang masih jauh dari prinsip-prinsip Good Governance atau pemerintahan yang baik. Salah satunya adalah unsur pertanggung jawaban atau akuntabilitas. Karena untuk dapat mewujudkan kepemerintahan yang baik, salah satu yang harus diperhatikan adalah prinsip akuntabilitas, yaitu sebagai kewajiban-kewajiban dari individu-individu atau penguasa yang dipercayakan untuk mengelola sumber-sumber daya publik dan yang bersangkutan dengannya untuk dapat menjawab hal-hal yang menyangkut pertanggung jawaban fiskal, managerial, dan program. Akuntabilitas publik merupakan isu yang sangat penting bagi demokrasi pemerintahan desa. Tetapi secara empirik akuntabilitas tidak terlalu penting bagi hukum tua. Ketika hukum tua sudah memainkan fungsi sosialnya dengan baik, maka hukum tua cenderung mengabaikan akuntabilitas di hadapan masyarakat. Ia tidak perlu mempertanggungjawabkan program, kegiatan, dan keuangannya, meski yang terakhir ini sering menjadi problem yang serius.
Program-program pembangunan, terkada laporannya hanya tidak sesuai dengan realisasi yang ada, dan pemerintah desa “bermain mata” dengan pemberi program, kemudian masih banyak masalah yang lain. Padahal sebenarnya akuntabilitas merupakan hal yang sangat penting dalam penyelenggaraan pemerintah desa. Pemerintah desa sebagai pemegang otoritas kebijakan publik di daerah wajib mempertanggungjawabkan tindakan yang diambil kepada masyarakat. Prinsip ini memberikan isyarat bahwa penyelenggaraan pemerintahan harus dapat dipertanggungjawabkan kepada masyarakat. Akuntabilitas akan memastikan bahwa penyelenggaraan pemerintah desa telah dilaksanakan dengan baik. Lemahnya transparansi adalah masalah lain yang melengkapi lemahnya akuntabilitas pemerintahan desa, yang bisa dilihat dari sisi kebijakan,
keuangan,
dan
pelayanan
administratif. Kebijakan desa umumnnya dirumuskan oleh elit desa tanpa melalui proses belajar dan partisipasi yang memadai desa, yang menjadi objek resiko kebijakan, biasanya kurang mengetahui informasi kebijakan dari proses awal. Pemerintah desa sudah mengaku berbuat secara transparan ketika melakukan sosialisasi, tetapi sosialisasi adalah proses transparansi yang lemah, karena proses komunikasinya berlangsung satu arah dari pemerintah desa untuk memberi tahu informasi dan bahkan hanya meminta persetujuan maupun justifikasi dari warga. Pengelolaan keuangan dan pelayanan juga sedikit banyak bermasalah. Kecuali segelintir elit, warga masyarakat tidak memperoleh informasi secara transparan bagaimana keuangan dikelola, seberapa keuangan desa yang diperoleh dan dibelanjakan. Masyarakat juga tidak memperoleh informasi secara transparan tentang prosedur dan biaya memperoleh pelayanan administratif. Akuntabilitas sebagai salah satu bentuk tanggung jawab pemerintah kepada masyarakat atas berbagai pengelolaan dan pelaksanaan pemerintahan di desa dirasakan masih lemah, hal ini salah satunya terlihat pada tingkat informasi yang diterima oleh masyarakat tentang berbagai penyelenggaraan pemerintahan di Desa Warisa masih rendah. Hambatan atau kendala dalam mewujudkan akuntabilitas pemerintahan desa yang sempurna juga menjdai faktor penyebab lemahnya akuntabilitas pemerintahan di Desa Warisa. Atasnya penelitian akan menggali lebih jauh mengenai prinsip akuntabilitas penyelenggaraan pemerintahan Desa, di Desa Warisa Kecamatan Talawaan, Kabupaten Minahasa Utara.
B. Rumusan Masalah
Dari latar belakang dan identifikasi masalah dirumuskan permasalahan penelitian ini, yaitu: Bagaimana prinsip akuntabilitas penyelenggaraan pemerintahan Desa, di Desa Warisa Kecamatan Talawaan, Kabupaten Minahasa Utara ?
METODE PENENELITIAN A. Perspektif Pendekatan Penelitian Untuk menjawab dan mencari pemecahan permasalahan maka penelitian ini akan menggunakan metode-penelitian kualitatif. Metode-penelitian kualitatif adalah sebagai prosedur penelitian yang menghasilakan data deskriptif berupa kata-kata tertulis maupun lisan dari orang orang dan perilaku yang diamati.
GAMBARAN UMUM DESA WARISA Desa warisa letaknya sangat stategis. Desa warisa diapit oleh 3 (tiga) Desa yaitu: desa Patokaan, desa Warisa Kampung Baru, dan Desa Teep. Desa Warisa berkedudukan di Kecamatan Talawaan Kabupaten Minahasa Utara. Sebagian besar penduduk Desa Warisa mata pencahariannya adalah petani. Hasil pertanian Desa Warisa adalah kelapa, cengkih, pisang, jagung, buah rambutan, buah lantsat dan padi ladang. Ada juga yang menanam kacang tanah, dan ada juga yang membuat anyaman. Adapun kendala umum yang dihadapi oleh petani Desa Warisa adalah kurangnya pengetahuan dalam pengelolaan pertanian, serta pemasaran yang belum memadai sehingga juga belum ada prsarana alat pertanian seoerti traktor. Faktor inilah yang membuat petani di Desa Warisa masih banyak yang miskin. Dalam bidang pendidikan Desa Warisa memiliki 1 (satu) buah seolah yaitu sekolah dasar. Taman kanak-kanak dan PAUD belum ada gedung. Dalam bidang kesehatan Desa Warisa mempunyai 1 (satu) buah polindes.
HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN Penyelenggaraan pemerintahan desa dilihat dalam pengelolaan Anggaran dan Pembangunan Desa, semua proses harus dijalankan melalui musyawarah desa atau Muserembang. Mulai dari menggali kebutuhan, merencanakan APBDes, mengeluarkan Peraturan Desa, pelaksanaan, pengawasan serta evaluasi. Mekanisme yang transparan dan melibatkan masyarakat ini membangun proses demokratisasi, sehingga dapat mencapai tujuan untuk kesejahteraan masyarakat desa. Prinsip pengelolaan Anggaran dan Pembangunan Desa, yang harus mengikuti prinsipprinsip good governance:
a. Partisipatif Proses pengelolaan Anggaran dan Pembangunan Desa, sejak perencanaan, pengambilan keputusan sampai dengan pengawasan serta evaluasi harus melibatkan banyak pihak. Dalam mengelola Anggaran dan Pembangunan Desa tidak hanya melibatkan
para
elit
desa
saja
(Pemerintah
Desa,
BPD,
Pengurus
LKMD/LINGKUNGAN/RW ataupun tokoh-tokoh masyarakat), tetapi juga harus melibatkan masyarakat lain seperti petani, kaum buruh, perempuan, pemuda, dan sebagainya. b. Transparan Semua pihak dapat mengetahui keseluruhan proses secara terbuka. Selain itu, diupayakan agar masyarakat desa dapat menerima informasi mengenai tujuan, sasaran, hasil, manfaat yang diperolehnya dari setiap kegiatan yang menggunakan dana ini. c. Akuntabel Keseluruhan proses penggunaan Anggaran dan Pembangunan Desa, mulai dari usulan peruntukkannya,
pelaksanaan
sampai
dengan
pencapaian
hasilnya
dapat
dipertanggungjawabkan di depan seluruh pihak terutama masyarakat desa. masyarakat bisa memahami argumentasi setiap pos-pos anggaran dan keluaran yang dicapai. Untuk menjamin keseluruhan proses perencanaan dan penganggaran desa dapat berpihak ke masyarakat maka prinsip-prinsip ini sebaiknya dituangkan dalam Peraturan Desa (Perdes) d. Kesetaraan Semua pihak yang terlibat dalam pengelolaan Anggaran dan Pembangunan Desa mempunyai hak dan kedudukan yang sama ketika membahas suatu persoalan, maka setiap orang memiliki hak bicara yang sama dan terdapat semacam aturan bahwa setiap orang harus mempunyai pendapatnya sendiri untuk masalah yang dibahas. Dalam proses keseluruhan pengelolaan Anggaran dan Pembangunan Desa Undangundang No 6 tahun 2014 mengamanatkan setiap desa harus menyusun RPJMDes (Rencana Pembangunan Jangka Menengah Desa) 5 tahunan. Dan selanjutnya RPJMDes dirinci menjadi RKPDes (Rencana Kerja Pembangunan Desa) Tahunan. Secara umum, tahapan yang biasa dilakukan dalam proses Peruntukkan APBDes seharusnya dimusyawarahkan antara Pemerintah Desa dengan Masyarakat Desa serta pihak lainnya (BPD, Lembaga Adat, LSM, dll) untuk kemudian dituangkan dalam Peraturan Desa tentang Anggaran Pendapatan dan Belanja Desa (APBDesa) tahun yang bersangkutan. Skemanya untuk pelaksanaan anggaran dan pembangunan Desa Warisa pada tahun 2014 yang sudah mendapatkan penetapan dalam
peraturan desa yakni : Peraturan Desa No. 1 tahun 2013 tentang RPJM-Desa, Peraturan Desa No. 1 tahun 2014 tentang RKP-Desa, Peraturan Desa No 2 tahun 2014 tentang APBDes, ini semua menjadi bagian proses yang akan dilihat akuntabilitasnya dalam penelitian ini, lebih jelasnya dapat dilihat dalam bagan dibawah ini : Musyawarah Perencanaan Pembangunan Desa (MUSREMBANG)
Melibatkan : Pemerintah Desa, BPD, Tokoh Masyarakat, Kelompok Masyarakat Lainnya
Penetapan dalam PERATURAN DESA
Ditetapkan oleh Kepala Desa setelah dibahas dan disepakati oleh BPD
RENCANA PEMBANGUNAN JANGKA MENENGAH (RPJM)-DESA
RENCANA KERJA PEMBANGUNAN (RKP)-DESA PERDES NO. 1 TAHUN 2014
ANGGARAN PERENCANAAN PEMBANGUNAN DESA (APBDes)
A. Akuntabilitas Sistem Pengelolaan Anggaran Desa Tentang
Keuangan
Desa,
disebutkan
bahwa
dalam pelaksanaan Anggaran
Pendapatan dan Belanja Desa (APBDes) semua pengeluaran desa dilakukan melalui kas desa dengan didukung oleh bukti pengeluaran yang sah, selain itu Bendahara Desa wajib menyelenggarakan pembukuan terhadap seluruh penerimaan dan pengeluaran desa, dengan menggunkan sistem akuntansi yang berterima umum sesuai dengan Sistem Akuntansi Pemerintahan (SAP). Akuntabilitas adalah tanggung gugat dari dilakukan.
Apabila
hal
pengurusan/penyelenggaraan
yang
ini dikaitkan dengan pelaksanaan tingkat partisipasi masyarakat
desa melalui implementasi program APBDes di Desa Warisa Kecamatan Talawaan Kabupaten Minahasa Utara, maka prinsip akuntabilitas/tanggunggugat tersebut secara bertahap sudah mulai diterapkan walaupun belum sempurna, tapi sudah menunjukan adanya komitmen yang sangat kuat untuk melaksanakan tanggungjawab sesuai dengan kapasitas dan kedudukannya. Kemampuan aparat pemerintah desa masih perlu diupayakan peningkatan kompetensi. Pengetahuan (knowledge), ketrampilan (skill), dan sikap (attitude) yang harus selalu diupayakan peningkatan secara berkelanjutan. Pelaksanaan prinsip akuntabilitas di desa Warisa sudah dipertanggungjawabkan oleh Tim Pelaksana Desa kepada masyarakat desa melalui forum-forum resmi yang diselenggarakan oleh pemerintah desa yang diikuti oleh seluruh unsur masyarakat dalam rangka evaluasi program. Semua uang yang dikeluarkan telah dipertangungjawabkan secara fisik, walaupun dari sisi administrasi belum sepenuhnya sempurna. Namun demikian upaya untuk belajar, perbaikan, dan pembenahan dari sisi administrasi terus dilakukan untuk menuju pada kesempurnaan. Kelemahan sumber daya manusia menjadi kendala utama dalam upaya penyempurnaan pertanggungjawaban administrasi ADD. Hal inilah yang menjadi pijakan utama untuk dapat dijadikan bukti pemenuhan konsep tanggung gugat serta prinsip akuntabilitas yang mewajibkan birokrasi publik adalah pemerintah yang bertanggungjawab kepada rakyat. Pengelola Alokasi Dana Desa dan APBDes yang melaksanakan pengelolaan administrasi keuangan belum sesuai dengan ketentuan disebabkan karena kurang efektifnya sistem pembinaan dari pemerintah kecamatan dan pemerintah kabupaten terhadap pengelola ADD di tingkat desa, Rendahnya
kompetensi
maupun
tingkat
pemerintah desa yang merupakan ujung tombak pelaksanaan ADD.
B. Akuntabilitas Pembangunan Desa
penddidikan
aparat
1. Perencanaan Oleh karena itu perencanaan program dan kegiatan pemerintahan desa disusun melalui forum Musyawarah Perencanaan Pembangunan Desa (Musrenbangdes). Musrenbangdes tersebut merupakan forum pembahasan usulan rencana kegiatan pembangunan di tingkat desa yang berpedoman pada prinsip-prinsip Perencanaan Pembangunan Partisipasi Masyarakat Desa (P3MD). Prinsip tersebut mengharuskan keterlibatan masyarakat dalam pengambilan keputusan dan menentukan pembangunan yang akan dilaksanakan khususnya yang berlokasi di desa yang bersangkutan, sehingga benar-benar dapat merespon kebutuhan/aspirasi yang berkembang. Mekanisme perencanaan pembangunan desa secara kronologis dapat dijabarkan sebagai berikut: 1. Kepala Desa selaku penangungjawab
pembangunan dan pemerintahan desa
mengadakan musyawarah desa untuk membahas rencana penggunaan Dana; 2. Musyawarah desa dihadiri oleh unsur pemerintah desa, Badan Permusyawaratan Desa (BPD), lembaga kemasyarakatan desa, dan tokoh masyarakat, serta wajib dihadiri oleh Tim Fasilitasi Kecamatan; 3. Tim Pelaksana Desa menyampaikan rancangan penggunaan Dana Desa secara keseluruhan kepada peserta musyawarah. Rancangan penggunaan dana desa didasarkan pada skala prioritas hasil musrenbangdes tahun sebelumnya; 4. Rancangan penggunaan anggaran desa dan pembangunan desa yang disepakati dalam musyawarah desa, dituangkan dalam Rencana penggunaan ADD yang merupakan salah satu bahan penyusunan APBDes. Dari sisi transparansi perencanaan, pemerintah desa di Warisa diwajibkan untuk memberikan informasi kepada masyarakatnya tentang kegiatan apa yang akan dilaksanakan yang bersumber dana dari APBDes. Hal tersebut telah menunjukkan bahwa perencanaan APBDes di desa juga telah melaksanakan penerapan bertahap prinsip transparansi dan akuntabilitas walaupun belum sepenuhnya baik. Namun hal ini merupakan pembelajaran bersama untuk melaksanakan tata pemerintahan yang baik.
2. Pelaksanaan Pembangunan Pelaksanaan kegiatan-kegiatan yang pembiayaaannya bersumber dari APBDes sepenuhnya dilaksanakan oleh Tim Pelaksana Desa. Guna mendukung keterbukaan dan penyampaian informasi secara jelas kepada masyarakat, maka di setiap kegiatan fisik wajib dilengkapi dengan papan informasi kegiatan yang dipasang di lokasi kegiatan. Papan informasi
tersebut sekurang-kurangnya memuat nama kegiatan, volume kegiatan,besaran anggaran dari APBDes maupun swadaya masyarakat, dan waktu pelaksanaan kegiatan. Selain papan nama kegiatan, informasi tentang seluruh program wajib disajikan di kantor desa yang dapat diakses oleh masyarakat desa. Kedua hal tersebut dilakukan dalam rangka melaksanakan prinsip transparansi pembangunan desa, sehingga masyarakat secara bebas dapat mengetahui tentang program anggaran desa dan pembangunan desa maupun memberikan kritik dan saran kepada Tim Pelaksana Desa demi kesempurnaan pengelolaan. Bahwa dalam pelaksanaan APBDes senantiasa dilaporkan perkembangan pelaksanaan kegiatan oleh pengelola tingkat desa, terutama perkembangan kegiatan fisik dan penyerapan dana, dengan demikian dapat diketahui bahwa tanggung jawabpengelola APBDes tingkat desa sudah memenuhi ketentuan pembuatan laporan bulanan dan laporan akhir kegiatan. Pertanggungjawaban pelaksanaan program APPBDes kepada pemerintah tingkat atasnya dilakukan melalui sistem pelaporan yang dilakukan secara periodik. Laporan pelaksanaan ADD terdiri dari laporan pendahuluan, laporan masing-masing tahap kegiatan, laporan bulanan, dan laporan akhir kegiatan yang disusun secara komprehensif.
KESIMPULAN Akuntabilitas penyelenggaran pemerintahan Desa di Kecamatan TalawaanKabupaten Minahasa Utara, terutama dalam penganggaran dan pembangunan desa dapat diambil beberapa kesimpulan bahwa pengelolaan anggaran dan pembangunan di Desa Warisasecara bertahap telah melaksanakan prinsip Good Governance yang dibuktikan dengan penerapan prinsip partisipatif, responsif, transparansi. Utamanya dalam hal akuntabilitas, dimana pengelolaan anggaran telah dapat dipertanggungjawabkan dengan baik. Akuntabilitasnya dilihat sejak awal dari perencanaan, pelaksanaan, hingga pengawasan dan pemberian laporan. Pelaksanaan atau pengelolaan pembangunan telah menerapkan prinsip-prinsip partisipatif, responsif, transparan. Walaupun penerapan prinsip akuntabilitas pada tahap ini masih sebatas pertanggungjawaban fisik, sedangkan sisi administrasi masih belum sepenuhnya dilakukan dengan sempurna.Pertanggungjawaban anggaran baik secara teknis maupun administrasi sudah baik, namun dalam hal pertanggungjawaban administrasi keuangan kompetensi sumber daya manusia pengelola merupakan kendala utama,sehingga masih memerlukan pendampingan dari aparat Pemerintah Daerah guna penyesuaian perubahan aturan setiap tahun.
DAFTAR PUSTAKA
Ambar.2011. “Strategi dan Struktur Birokrasi Menuju Good Governance” dalam Ambar Teguh Memahami Good Governance
(Dalam
Perspektif
Sumber
Daya
Manusia). Yogyakarta: Gava Media Haryanto, Sahmuddin, dan Arifuddin, 2007. Akuntansi Sektor Publik. Edisi Pertama: Universitas Diponegoro. Semarang. Miriam Budiarjo. 1998. Menggapai Kedaulatan Rakyat. Jakarta: Mizan Moleong, Lexy J. 2005. Metode Penelitian Kualitatif. Bandung: PT Remaja Roadkarya Purwo Santoso. 2006. “Menuju Tata Pemerintahan dan Pembangunan Desa Dalam Sistem Pemerintahan Daerah: Tantangan Bagi DPRD Kabupaten” dalam Abdul Gaffar Karim Kompleksitas Persoalan Dotonomi Daerah Di Indonesia. Yogyakarta: Pustaka Pelajar Sadu Wasistiono. 2007. Desentralisasi, Demokratisasi dan Pembentukan Good Governance. Jakarta: LIPI Press Singarimbun, Masri dan sofyan Effendi, 1986, Metode Penelitian Survey, Suntingan LP3ES, Jakarta. Sutoro Eko, dkk. 2005. Prakarsa Desentralisasi dan Otonomi Desa. Yogyakarta: IRE Press. Sabarno, Hari 2007. Memandu Otonomi Daerah Menjaga Kesatuan Bangsa. Jakarta: Sinar Grafika Tri Ratnawati. 2006. Potret Pemerintahan Lokal di Indonesia di Masa Perubahan (Otonomi Daerah Tahun 2000-2005). Yogyakarta: Pustaka Pelajar Tjokroamidjojo, Bintoro, 2000, Good Governance (Paradigma Baru Manajemen Pembangunan), UI Press, Jakarta. Widjaja. HAW. 2003. Otonomi Desa Merupakan Otonomi yang Asli, Bulat, dan Utuh. Jakarta: Rajawali Pres Widodo, Joko. 2001. Good Governance-Telaah dari Dimensi: Akuntabilitas dan Kontrol Birokrasi pada Era Desentralisasi dan Otonomi Daerah. Surabaya: Insan Cendekia
Sumber Lain : Undang- Undang No 6 Tahun 2014 tentang Desa Peraturan Pemerintah Nomor 43 Tahun 2014 tentang Peraturan Pelaksanaan Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2014 tentang Desa