PEKERJAAN SEKTOR PERTANlAN DALAM PANDANGAN PEMUDA JEMBARMANAH
Pekerjaan, merupakan alat untuk meraih sesuatu yang menjadi kebutuhan manusia. Kebutuhan itu bisa berupa materi seperti uang atau harta, bisa pula berupa non materi seperti kepuasan, percaya diri atau aktualisasi diri. Garis lurus dari materi hingga non materi menunjukkan orientasi nilai budaya rnasyarakat. Oleh karena itu, pada satu pekerjaan lekat simbol-simbol status yang mendasari pandangan seseorang tentang pekerjaan itu. Pekerjaan sektor pertanian pada bahasan ini dibatasi dalam aktivitas proses produksi komoditas pertanian hingga pemasarannya.
Sebagai alat
meraih tujuan, maka pekerjaan rnerupakan bagian dari pandangan hidup rnanusia. Pengertian pandangan adalah konsep dasar mengenai kehidupan yang dicita-citakan
(Geriya dkk, 1985).
Di dalarnnya terkandung pengetahuan,
persepsi dan pengharapan dimana pekejaan digunakan untuk rneraih tujuan pelakunya. Oleh karena itu, pandangan tentang suatu pekerjaan rnempunyai pengaruh yang besar dalam rnernutuskan pemilihan pekerjaan. Pengetahuan, persepsi dan penghargaan terhadap satu pekerjaan, dipengaruhi pengalaman masa lalu dsn masa kini seseorang.
Pandangan
terhadap pekerjaan pertanian berarti bagaimana pekerjaan pertanian itu dikenali dapat atau tidak dapat menolong seseorang rneraih tujuan sosial maupun ekonominya sehingga diputuskan untuk diusahakan atau dihindari. Sebagai daerah berekosistem perkebunan, maka dapat dikatakan ekonomi masyarakat Jembarmanah berbasis pertanian. Aktivitas pertanian menjadi keseharian warga seternpat. Secara alamiah, berbagai macarn anggapan, pandangan, nilai dan makna yang mendasari perilaku masyarakat tentang kerja atau singkatnya etos kerja (Taryati dan Dwi RN, 1999: 80) akan
selalu diperbandingkan dengan pekerjaan pertanian. Dengan kata lain proses sosialisasi pasif maupun aktif terhadap pekerjaan pertanian terjadi dengan sendirinya
Kondisi alarn dan budaya masyarakat pertanian ikut membentuk
persepsi seseorang tentang buruk baik, menguntungkan atau merugikan, berat atau ringan, menarik atau tidaknya pekerjaan di sektor ini. Sebagai individu, pendidikan formal dan informal yang diterima pemuda baik dari orangtua, guru, atau peer group menjadi faktor penting yang terkendali. Latar belakang keluarga, pendidikan dan pengalaman menjadi faktor yang berperan penting dalam proses transformasi pengetahuan,
sikap
dan
keterampilan. Hal ini sekaligus menjadi kekuatan dalarn mensiasati faktor lain seperti nilai, norrna dan sumberdaya lahan yang berada di luar kendali individu bersangkutan. Bab
berikut
ini
akan
membahas tentang
pandangan
pemuda
Jembarmanah terhadap pekerjaan pertanian. Berdasarkan responden yang dipilih maka diperoleh empat pandangan pemuda terhadap pekerjaan sektor pertanian.
Masing-masing pandangan akan dianalisis dengan mengamati
kronologis-historis pelaku melalui kilas balik antar generasi yaitu pemuda dan orangtuanya yang kasusnya dapat dibaca pada lampiran 6.
Pertanian Sebagai Pekerjaan Sampingan Yang Arnan dan Nyarnan Berdasarkan kasus Asep Sopandi (lihat lampiran 6), dapat dipahami bahwa salah satu faktor yang membuat seseorang perlu bekerja adalah tuntutan kebutuhan, baik yang bersifat primer, sekunder maupun tersier.
Tekanan ini
membuat seorang anggota masyarakat akan diikat kuat oleh aktivitas ekonomi yang menjadi sumber utama pemenuhan kebutuhan hidup keluarganya. Satu rumah tangga mempunyai sumber pendapatan yang beragam, dan satu anggota
rurnah tangga rnempunyai pekerjaan yang lebih dari satu. Bagi pemuda yang mernpunyai suatu pekerjaan tetap non pertanian di lokasi yang rnernpunyai agroekosistern pertanian, pekerjaan pertanian bisa rnenjadi sumber penghasilan tarnbahan yang sangat potensiat. Pertanian sebagai penopang ekonorni keluarga dinilai sangat tepat, paling tidak untuk menjaga kearnanan konsurnsi keluarga. Budaya bekerja keras dan hidup hemat, suatu pola tata nilai yang rnenjadi ciri rnasyarakat rnaju. Budaya ini adalah produk sosialisasi yang ditanarnkan orangtua sebagai satu modal penting dalarn rnasa depan kehidupannya kelak. Menurutnya, budaya bekerja dengan rnemberi penghargaan yang tinggi terhadap setiap pekerjaan rnenjadi dasar yang penting dalarn pernbentukan kernauan dan keberanian untuk rnemulai suatu pekerjaan. Pada akhirnya budaya bekerja itu tidak sernata diorientasikan sebagai upaya pernenuhan kebutuhan, tetapi juga untuk tujuan kepuasan. Sopandi berhasil rnengidentifikasi pekerjaan pertanian secara cermat sebagai satu pekerjaan yang potesial untuk diusahakan dalarn kapasitasnya sebagai
pegawai
negeri.
Pekerjaan
pertanian
khususnya
perkebunan
rnempunyai beberapa sifat yang rnendukung untuk diusahakan bersarnaan dengan pekerjaan lain yang sifatnya lebih terikat. Sifat yang perfama adalah fleksibilitasnya dengan waktu pengerjaan. Pekerjaan pertanian bisa dikerjakan pagi, siang atau sore hari sehingga bagi seorang yang bekerja sebagai pegawai negeri, dirnana jam kerjanya tidak sepanjang hari, rnasih mernungkinkan untuk rnengerjakan pekerjaan pertanian. Kedua, pekerjaan ini tidak rnengharuskan pernilik rnengerjakan langsuna usahanya seperti layaknya seorang guru. Pekerjaan utama sebagai pegawai bisa rnenyediakan modal saprodi dan modal kerja bagi kegiatan pertanian.
Paling tidak, jika sudah rnerniliki lahan,
penghasilan bisa diperoleh dari kegiatan rnenyewakan lahan. Ketiga, usaha
perkebunan agak berbeda dengan pertanian tanarnan pangan atau hortikultura. Pekerjaan ini rnernpunyai rnasa sibuk yang pendek yaitu pada awal pertanarnan. Sesudah itu sifatnya hanya perneliharaan dalarn jangka waktu yang panjang. Perneliharaan perkebunan rakyat tidak dilakukan secara intensif. Oleh karena itu pekerjaan bertani tidak rnenyita seluruh waktu yang ada, artinya pekerjaan ini bisa disambi tanpa rnengganggu pekerjaan sebagai pegawai. Keempat, pada usia sesudah dua tahun tanarnan perkebunan (teh) sudah berproduksi dan rnasa berproduksinya cukup panjang. Pada tahap ini modal produksi yang diperlukan tinggal sedikit dan produksi tanarnan itu sendiri bisa rnengatasi kebutuhan biaya. Secara
ekonorni, pekerjaan pertanian otornatis sudah rnenjadi faktor
pendarnping pekerjaan utarna dalarn rnelengkapi kebutuhan dan tabungan keluarga. Disarnping sifat-sifat di atas, kornoditas perkebunan adalah kornoditas pertanian yang paling beruntung pada saat terjadinya krisis rnoneter (Sukesi, 1999). Sebagai kornoditas ekspor, harganya justru ikut melarnbung. Kenaikan
harga jual teh rnernbuat petani kurang rnerasakan beratnya kenaikan biaya saprodi ataupun biaya pernbelian kebutuhan lain yang diproduksi diluar pertanian (di perkotaan).
Pada kondisi dernikian pertanian justru rnenjadi pekerjaan
sarnpingan yang sangat arnan karena berperan rnenjadi penyelamat ekonomi petani saat ekonorni nasional rnengalarni keterpurukan. Bagi pemuda seperti Sopandi, pekerjaan pertanian tidak semata untuk tujuan ekonorni.
Pekerjaan ini rnerniliki fungsi non ekonorni karena pekorjaan dan
rnasyarakatnya cenderung rnerniliki tingkat stres yang lebih rendah. Pada saat tertentu pekerjaan ini rnenjadi hiburan yang rnenyenangkan setelah penat rnengerjakan pekerjaan lain. lnteraksi dengan alarn dan sesarna petani yang
tidak ngoyo, memberikan ketenangan batin tersendiri, seperti yang diungkapkan berikut ini; Bekerja di kebun dengan pemandangan yang menghijau dan udara yang sejuk membuat badan saya terasa lebih sehat. Saat orang kota harus membayar biaya yang mahal untuk berdarmawisata mencan pemandangan dan udara yang segar, di sini kami justru menikmatinya sambil bekerja mendapatkan pucuk yang bisa dijual untuk menghasilkan uang. Petani yang lain merasakan ha1 yang sama, tetapi mereka sebagian besar tidak punya pekerjaan lain. Ini membuat saya merasa sangat mujur (Sopandi, 39 tahun). Lahirnya pandangan di atas tidak bisa dipisahkan dari pengalamarl masa lalu Sopandi. Faktor sosialisasi primer dan sekunder saling berkompetisi dimana sifatnya bisa menguatkan atau melemahkan satu dengan yang lain. Kasus ini menunjukkan besarnya peran orangtua dalam membentuk pandangan seorang anak terhadap suatu pekerjaan.
Penghargaan kepada setiap pekerjaan
melahirkan kesungguhan sekaligus
kenyamanan.
Pekerjaan pertanian
dipandang relatif menyenangkan sehingga ditekuni dengan baik. Kedudukannya sebagai pekerjaan sampingan membuat pemuda tidak merasa direndahkan oleh masyarakat.
lnteraksinya yang tinggi dengan pemuda desa dalam kegiatan
kemasyarakatan, menjadikan keberhasilannya dalam karir dan usaha pertanian sedikit banyak mengikis pandangan negatif pemuda tentang pekerjaan pertanian. Meski demikian Sopandi tidak mensosialisasikan pekerjaan ini pada anakanaknya.
Sopandi berpandangan, pekerjaan ini tidak sesuai bagi anaknya,
karena anaknya wanita. Sikap kontradiktif ini menunjukkan pergeseran nilai kerja pertanian dalam pandangan Sopandi. Menurutnya, pekerjaan ini hanya pantas dikerjakan anaknya jika ketak sudah menikah. Sopandi berpandangan tugas utama dan penting bagi anaknya adatah belajar, sehingga budaya kerja keras dalam bidang ini tidak ditanamkan sama sekali. Sopandi juga tidal< menginginkan anaknya mendapatkan satu pekerjaan yang sederajat dengan dirinya.
Seperti umumnya orangtua lain, Sopandi
rnenginginkan anaknya bekerja pada sektor dan level yang diparxtangnya lebih terhormat atau lebih tinggi dari dirinya.
Secara implisit, pekerjaan pe~tanian
bukanlah pekerjaan yang diorientasikan sebagai pekerjaan yang punya nilai sosial (terutama status) yang tinggi walaupun secara ekonomi menguntungkan. Sifat pekerjaan yang dominan mengandalkan fisik tetap lebih baik jika sebagai pekerjaan sampingan. Pergeseran nilai kerja pertanian sebenarnya sudah dimulai dari pandangan orangtua Sopandi (Bapak Abin dan Ibu Karsiah). Dorongan untuk bekerja dan belajar secara sungguh-sungguh terhadap Sopandi adalah bagian dari upaya orangtuanya untuk menggiring anaknya keluar dari dunia pertanian semata.
Bagi orangtuanya, keterbatasan pendidikan dan kesempatan telah
mengantarkan fakta bahwa pertanian adalah pekerjaan altematif satu-satunya. Orientasi nilai kerja terhadap pertanian itu kemudian mewujudkan fakta baru yaitu pekerjaan pegawai bagi anaknya. Kasus ini juga menggambarkan pandangan Sopandi sebagai pemuda yang memiliki aset lahan yang luas.
Pendapatan pertanian dari lahan luas sudah
cukup memadai untuk memenuhi kebutuhan keluarga pemuda hidup secara layak. Pekerjaan utama sebagai pegawai negeri meniadakan perasaan tidak dihormati sebagai seorang petani. lndikator pemilihan pekerjaan sudah didasarkan pada pertimbangan sosial maupun ekonomi yang berkembang di masyarakat dimana pemuda itu hidup.
Pertanian Sebagai Usaha dan Pekerjaan Yang Prospektif Kasus lwan Ridwan (lihat lampiran 6) menunjukkan bahwa, salah satu faktor yang membentuk pandangan seseorang terhadap suatu pekerjaan adalah pengetahuannya terhadap
setuk
beluk
pekerjaan
yang
bersangkutan.
Pemahaman terhadap sifat pekerjaan dan peluang yang dijanjikan jika dikerjakan dengan baik dan sungguh-sungguh menjadi pendorong yang memotivasi pelaku untuk mngerjakannya dengan segera. Disini peribahasa kiasik " tak kenal maka tak sayang" kelihatannya bertaku bagi pemuda. Pertanian pedesaan yang selama ini lebih bersifat tradisional dan cenderung berorientasi subsisten menjadi faktor "penolakan" pemuda terhadap pekerjaan pertanian.
Pada kondisi seperti ini unsur melelahkan, kotor, merusak
penampitan, lambat menghasilkan dan tidak menguntungkan menjadi perhatian dominan yang membuat pemuda maupun masyarakat pada umumnya mendudukkan pekerjaan pertanian sebagai pekerjaan yang berstatus sosial rendah atau kurang bergengsi. Tetapi pertanian yang berorientasi pada pasar dan berproduksi cepat, dipandang sebagai peluang bisnis yang tidak kalah menguntungkan dibanding usaha dan pekerjaan luar pertanian. Pada konteks ini pemuda mengaku perlu melakukan studi banding sistem bertani dengan petani di daerah lain yang lebih dulu maju, seperti yang diungkpkan: Bertani perlu dipelajari dari buku atau pengalaman orang yang sudah lebih banyak menyerahkan berhasil. Disini pertanian pemeliharaannya kepada alam. Tidak menerapkan sistem usahatani yang baik. Sebagai contoh misalnya, teh hanya dipupulc jika punya uang lebih. Pucuk terus dipetik kapan saja butuh uang, tidak teratur. Petani juga tidak perduli saat itu harga baik atau jelek. Petani padi disini, tidak menerapkan tanam serentak, sehingga sepanjang tahun hamanya panen duluan. Tanaman sayuran juga menggunakan benih sembarangan dan tidak mempelajari kapan saat yang tepat unfuk menanam. Cara begini bisa diterka hasilnya ...iya kan? (Iwan Ridwan, 25 tahun).
Ungkapan di atas juga memberi gambaran bahwa tingkat ekonomi masyarakat petani secara keseluruhan masih cukup rendah. Biaya produksi yang terbatas menyebabkan sistem produksinya sederhana dan hasilnya tidak maksimal. Tekanan kebutuhan seringkali memaksa petani memetik pucuk teh
sebelum waktunya. Akibatnya produksi dan mutu teh secara keseiuruhan jadi rendah. Proses sosialisasi pekerjaan pertanian sudah dimulai dari kecil dengan keterlibatan Iwan membantu usaha
pertanian
orangtuanya,
meskipun
orangtuanya tidak pernah menginginkan anaknya menjadi petani. Bagi pemuda, pekerjaan pertanian yang sudah dikerjakannya ketika masih anak-anak tak lebih hanya sebagai upaya orangtua untuk meringankan tugasnya sekaligus agar anak terbiasa bekerja. Oleh karena itu, pemuda tidak pernah berfikir bahwa orientasi nilai kerja yang saat ini ada dalam dirinya adalah wujud harapan orangtuanya.
Persepsi dan harapannya yang optimis terhadap pertanian
terbentuk dari kesadaran akan kelebihan ekosistem desanya yang didukung oleh
pengetahuannya tentang
pertanian sebagai sebuah bisnis yang
menyenangkan. Bertolak pada kasus di atas, orientasi nilai kerja pemuda bisa juga dipengaruhi oleh pekerjaan sebelumnya yang tidak mampu memer~uhitujuan pelaku. Peneliti menduga, sikap ini dipengaruhi juga oleh sikap mental yang tidak mendukung untuk maju dari pekerjaan non pertanian atau singkatnya sikap "tertolak dari pekerjaan sebelumnya yang ditanganinya di perkotaan. Kegagalannya meraih tujuan (ekonomi maupun sosial) melalui migrasi selama kurun waktu yang panjang memaksanya untuk kembali ke desa dan memulai pekerjaan baru yang sudah sangat dekat dengan dirinya di masa lalu. Menurut pertimbangan lwan Ridwan, secara psikologis pekerjaan pertanian memberi rasa nyaman dan tenang. Bertani di kampung halaman sendiri dengan lingkungan masyarakat yang hidup rukun tanpa persaingan20adalah situasi yang sangat menyenangkan.
20 Pandangan yang
Tetapi secara eksplisit pertimbangan terhadap
agak kontradiktif dengan tulisan Popkin tentang Petani Rasional, 1986.
perhitungan ekonomi masih menjadi prioritas.
Hal ini terungkap
ketika
dipertanyakan tentang pandangan masyarakat terhadap status seorang petani. twan mengungkapkan pandangannya dengan tegas; Didesa ini status sosial sangat penting, tetapi status sosial seseorang sekarang dipandang dan' ekonominya. Maksud saya, orang tetap menilai saya hebat dan dihargai kalau uang saya banyak. Seorang karyawan dikota akan lebih dipandang berstatus sosial tinggi karena datang naik rnobil dibanding seorang pejabat yang datang diantar ojeg. Disini mah begitu mbak. Itu yang membuat saya tidak perlu malu menjadi petani, yang penting suatu saat bisa punya uang banyak (Iwan Ridwan, 25 tahun).
Pengalamannya merantau menunjukkan kepada pemuda bahwa bekerja di kota tidak selalu lebih menguntungkan. Menurut kalkulasinya, penghasilan yang tinggi di kota diimbangi olekt pengeluaran yang tinggi pula.
Ini membuat
tertutupnya kemungkinan untuk menabung, dan ini bukanlah tujuan suatu pekerjaan. Keterangan ini mernperjeias bahwa indikator ekonomi menjadi pertimbangan penting ketika memilih pekerjaan bertani di desa. Artinya, pertanian dipandang prospektif karena dapat memberi keuntungan lebih besar secara ekonomi di masa depan. Kemungkinan ini didukung oleh pengeluaran yang relatif lebih kecil di pedesaan.
Dengan kata lain, pemuda ini
merepresentasikan pertanian sebagai aktifitas mencari keuntungan oleh karena itu perlu dikerjakan secara serius (Nurmala K. Panjaitan, 2001). Pandangan ini memotivasi pemuda secara aktif mencari dan menerapkan inovasi baru berkaitan dengan teknik produksi dan pemasaran hasil pertanian. lwan juga melihat bahwa pekerjaan pertanian bisa menciptakan kepuasan karena sifat pekerjaannya yang tidak terikat waktu. Kerja di pertanian masih memberi kesempatan bagi pemuda untuk melakukan interaksi sosial dengan kelompoknya dalam mengapresiasikan diri
melalui hobbi, pengabdian dan
ibadah. Misalnya, membentuk kelompok pemuda tani, aktif di desa sebagai kader pembangunan dan mengikuti pengajian serta aktivitas keagamaan
lainnya.
Kebebasan itu merupakan kepuasan yang pada pekerjaan lain sulit
didapatkan karena sifatnya yang lebih terikat. lwan menganggap pekerjaan pertanian merupakan hak untuk menikmati kebebasan. Bebas dalam mengatur waktu dan pekerjaan secara fleksibel, karena bekerja di pertanian lebih mandiri dan tidak ada keharusan untuk mempertanggungjawabkan atau mematuhi aturan atasan.
Petani berperan
menjadi menejer atas usahanya. Kebebasan ini adalah kepuasan yang sulit disetarakan dengan sejumlah pendapatan dalam bentuk uang. Kasus ini sedikit banyak menimbulkan dugaan bahwa ketertarikan pemuda terhadap pertanian "dipaksakan" sebagai akibat ketidaksiapan mental bekerja di sektor lain di perkotaan. Optimisme di dalam masyarakat tentang pilihannya terhadap pekerjaan pertanian, diperkuat oteh pengalaman dan perasaan lebih maju karena pernah menjadi warga kota. Ini merupakan modal penting dalam memulai suatu usaha sekaligus mempermudah pembangunan jaringan sosial maupun jaringan usaha di desa. Faktor pemilikan sumberdaya lahan memberi kontribusi cukup besar dalam kasus ini. Bagi pemuda, pekerjaan pertanian identik dengan usahatani. Diduga akan sangat berbeda untuk pengertian pekerjaan pertanian bagi pemuda tanpa lahan atau berstatus buruhtani.
Perbedaan akses terhadap lahan ini
menimbulkan pandangan yang berbeda terhadap pekerjaan pertanian secara keseluruhan.
Pertanian Sebagai Pendukung Bisnis Yang Potensial Kasus lwan Karmawan (lihat lampiran 6) menunjukkan bahwa latar belakang pendidikan dan ekonomi keluarga mempengaruhi cara orangtua mendidik anak. Orangtua berpendidikan tinggi memberi prioritas yang utama terhadap pendidikan anak-anaknya. Anak-anak diperkenalkan pada berbagai pekerjaan
setama itu tidak mengganggu jam belajar anak. Penugasan umumnya sebatas pengenalan pekerjaan pada anak dan membangun rasa tanggung jawabnya. Oleh karena itu pada keluarga dengan status ekonomi dan pendidikan yang lebih tinggi, anak jarang ditibatkan pada pekerjaan produksi. Anak lebih diarahkan untuk berkonsentrasi pada pendidikannya. Namun demikian pengamatan terhadap pengalaman dari kehidupan seharihari lwan Karmawan menunjukkan bahwa pekerjaan orangtua menjadi pelajaran berharga bagi anaknya.
Sebagai anggota keluarga, kehidupan sehari-hari
merupakan wadah belajar anak yang paling intensif.
Keberhasilan atau
kegagalan orangtua pun membentuk penilaian tertentu tentang pekerjaan. Jika orangtua berhasil dalam satu pekerjaan dan dinilai oleh masyarakat sebagai pekerjaan yang baik, maka anak biasanya memberi nilai positif dan mengikutinya.
Sebaliknya, jika orangtua gagal atau tetap miskin dari
pekerjaannya itu, maka anak memberi penilaian negatif dan berusaha menghindarinya dengan cara mencari alternatif pekerjaan lain.
Terlepas dari
keberhasilan atau kegagalan anak untuk mengikuti atau menghindari pekerjaan seperti yang dikerjakan orangtuanya, nilai yang terbentuk sulit untuk berubah. Persoalannya adalah, apakah harapannya untuk mencapai tujuan hidupnya tercapai atau tidak, karena pekerjaan tetap merupakan cara pencapaian tujuan sekalipun disaat situasi serta kondisi tidak selalu berpihak pada tujuan itu. Akibatnya, pemuda bisa bersikap pasrah atau sebaliknya berjuang dengan melawan penilaian masyarakat bersama sangsi sosial yang mungkin diperoleh. lwan Karmawan memandang pekerjaan pertanian sebagai pekerjaan pendukung bisnis yang potensial.
Hal ini dipengaruhi oleh dirinya yang
dibesarkan pada lingkungan keluarga pegawai negeri dengan pekerjaan sampingan berbisnis sebagai pedagarlg dan petani.
Bagi orangtuanya,
sekalipun pekerjaan utama adalah pegawai negeri, tetapi usaha perdagangan memberi kontribusi pendapatan utama dalam perekonomian keluarga. Bahkan keberadaan usaha itu yang mampu mengangkat statusnya sebagai seorang haji. Kasus ini menunjukkan bahwa latar bebkang usaha atau pekerjaan orangtua memberi pendidikan informal penting pada anak tentang nilai pekerjaan. Meskipun tidak ada nasihat atau arahan khusus tentang ha1 itu, tetapi ketika diberi kepercayaan menangani sesuatu pekerjaan, anak sedang belajar langsung tentang pekerjaan itu dan mencari strategi yang paling tepat dan menguntungkan dalam kalkulasinya.
Pada hari mendatang, pelajaran itu tetap menjadi
pertimbangan baginya dalam memutuskan pemilihan pekerjaan baik sebagai pekerjaan utama atau sampiqjzn. Kasus ini juga menunjukkan bahwa orientasi nilai kerja pemuda tidak selalu sesuai dengan realita pekerjaan yang ditekuninya.
Ketika sumberdaya
pendidikan dan keinginan pemuda berbenturan dengan keinginan dan harapan orangtua, pemuda mengaku membutuhkan waktu untuk menyamakan persepsi tentang nilai pekerjaan.
Apalagi saat orientasi pemuda juga bertentangan
dengan pandangan masyarakat tentang pekerjaan yang layak bagi seorang yang berpendidikan SMA.
Diperhadapkan pada situasi yang membingungkan ini
pemuda sering kembali pada nasib, seperti yang diungkapkan; Sudah nasib saya jadi guru, padahal ini sama sekali bukan cita-cifa atau harapan saya. Saya bingung, disuruh can' kerja tapi nggak diterima, mau bertani orangtua saya malu. Masyarakat juga menolak kenyataan kalau seorang berpendidikan sampai SMA harus beketja sebagai petani. Padahal apa salahnya ya mbak, toh ayah saya punya tahan luas dan saya pernah belajar pengetahuan bertani. Yang lebih penting lagi saya suka mengerjakannya (Iwan Karmawan, 26 tahun). Sebagai satu proses, orientasi nilai terbentuk sesuai dengan pengalaman yang dijaianinya dan secara fleksibel akan berusaha beradaptasi dengan situasi dan kondisi yang membatasi individu tersebut. Upaya lwan untuk meraih
obsesinya mefalui pendidikan formal di SPMA atau pendidikan informal melatui pengalamannya membantu orangtua merupakan bagian dari upayanya untuk memilih bekerja atau berusaha pada sektor pertanian. Sebagai pendukung bisnis, [wan memahami pekerjaan pertanian sebagai satu rangkaian agribisnis dimana seluruii subsistemnya bisa ditangani oleh satu pihak. Dengan demikian seluruh nilai tambah komoditas tersebut bisa jatuh ke tangan petani atau masyarakat pedesaan. Jika petani hanya menangani bagian produksi, maka bagian keuntungan terbesar justru jatuh pada pihak luar yang menangani rantai pemasaran. Disini, selain pemilikan modal dan prasarana perdagangan, naluri bisnis menjadi faktor yang sangat penting. Menurut pemuda, kegiatan produksi pertanian yang ditangani sendiri lebih bersifat menunjang kestabilan produksi dan memperbesar skala usaha perdagangan. Komoditas teh yang dikenal sebagai komoditas perdagangan dimana sepanjang pengenalan pemuda belum pernah mengalami kelesuan pasar dan keanjtokan harga merupakan kondisi yang memberi jaminan secara psikotogis bagi pengusahanya. Pandangan bahwa pertanian sebagai pekerjaan pendukung bisnis potensial secara implisit mengandung makna bahwa proses produksinya sendiri merupakan usaha kedua (sampingan).
Namun dalam kasus ini, pekerjaan
utamanya sendiri masih bergerak di seputar komoditas pertanian. Oleh karena itu, motivasi memajukan kedua pekerjaan ini (utama dan sampingan) berjalan secara bersamaan atau bersifat komplementer. Secara sosial di masyarakat, kedudukan pekerjaan seperti ini sering tidak memposisikan pelaku ekonomi yang bersangkutan sebagai petani sekalipun ia menangani langsung proses produksi pertaniannya. Secara umum masyarakat melihat predikat pelaku sebagai guru, tengkulak/pedagang atau pengusaha,
suatu penilaian sosial yang berlaku urnum. Suatu predikat yang diberi nilai lebih tinggi dan terhormat dari seorang petani. Hal ini disadari betul o k h pemuda sehingga rneskipun perzdidikannya sudah tinggi, apalagi herstatus sebagai guru maka ia tidak merasa direndahkan bekerja di sektor pertanian.
Pertanian Sebagai Usaha dan Pekerjaan Hari Tua Berdasarkan kasus Dede Jumyati (lihat lampiran 6) dipahami
bahwa
pekerjaan pertanian yang mengandalkan tenaga fisik, menjadi suatu kemutlakan bagi seorang petani penggarap, petani pemilik-penggarap, apalagi bagi seorang buruhtani. Penilaian bahwa pekerjaan yang menggunakan tenaga fisik adalah lebih rendah atau lebih kurang bergengsi dari pekerjaan yang menggunakan pikiran, berlaku umum bagi masyarakat.
Oleh karena itu, sebagian besar
masyarakat berusaha menghindarinya. Jika itu tidak memungkinkan, paling tidak seorang orangtua berusaha semampunya mensiasati kondisi agar anak-anaknya tidak bekerja pada jenis pekerjaan ini. Contoh usaha yang paling nyata adalah dengan menyekoiahkan at?ai<-anaknya setinggi mungkin.
Melalui nasehat,
arahan atau amarah seorang orangtua berusaha menyadarkan anaknya untuk belajar dengan sungguh-sungguh agar kelak punya pekerjaan yang lebih baik dari sekedar seorang penjual tenaga. lni bisa dilihat dari beberapa ungkapan orangtua yang sempat direkam peneliti; Sebagai petani saya senang bisa menyekolahkan anak saya lebih finggi dari sekolah saya sendiri. Harapan saya mereka nantinya jadi orang yang lebih terhormat, jangan seperti saya diatur-atur oleh orang lain. (Bapak Amid, 56 tahun). Saya terus bekerja setiap hari tanpa mengenal leEah demi anak-anak saya. Sebisa saya, akan saya suruh ia sekolah sefinggi-tingginya. Manatahu ia kelak bisa keGa kantomn, kan nggak panas. Nggak capek lagi.. ..(Bapak Eman, 49 tahun)
Wah, kalau bisa anak saya jangan ada yang jadi petani, kasihan (Bapak Sukadma, ripuh.. .sarnpai tua nggak bisa 'beuenghar" kaya. 63 tahun).
Faktanya, setiap anak pada keiuarga buruhtani adalah sumberdaya untuk berproduksi. Keterbatasan ekonomi keluarga membuat sejak dini seorang anak buruhtani sudah berfikir dan bekerja untuk menghasilkan pendapatan melalui penjualan tenaga yang mereka miliki. Kemungkinan ini didukung oleh sulitnya mencari tenaga buruh dipedesaan. Kuatnya pengaruh penilaian yang rendah terhadap pekerjaan sebagai seorang buruh di sektor pertanian menjadi alasan mengapa sebagian pemuda lebih memilih menganggur daripada harus bekerja sebagai buruh. Pengalaman hidup seseorang membentuk penilaian tersendiri terhadap suatu pekerjaan. Walaupun masyarakat secara umum mendudukkan pekerjaan pertanian khususnya buruhtani pada posisi yang rendah, akan sangat berbeda bagi seorang pemuda yang hidup di lingkungan buruh atau terlibat langsung pada pekejaan ini. Bagi pemuda ini, kerja pertanian tetap sebagai pekerjaan mulia walaupun secara status ia menempatkan dirinya di bawah rata-rata pemuda lain, termasuk pemuda yang bekerja sebagai petani penggarap atau pemilik lahan.
Namun demikian tingkat upah yang tidak banyak mengalami
peningkatan membuat pekerjaan ini tidak memberikan jaminan kesejahteraan bagi pemuda. Meningkatnya harga-harga barang konsumsi maupun produksi yang dihasilkan oleh sektor pet-kanian maupun perkotaan tidak memungkinkan bagi buruhtani untuk hidup layak. Upah berburuh hanya bisa digunakan untuk hidup pada batas kualitas keluarga miskin. Dibanding keluarga petani berlahan, orientasi nilai kerja pemuda keluarga buruhtani lebih dilandaskan pada motif ekonomi.
Tekanan ekonomi yang kuat
membuat pemuda lebih gigih berjuangl menghadapi situasi dan kondisi yang ada.
Kegigihan itu diwujudkan dalam bentuk kerja keras dan kesungguhan dalam mengerjakan tiap tanggung jawab yang diberikan padanya. kelihatannya lebih pasrah pada nasib.
Orientasi hidup
Inilah yang tersirat dalam ungkapan
seorang pemuda keluarga buruh ini; Sebagai pembantu rumah tangga, pelayan warung, bahkan seorang kuli angkut barang pun sudah saya jalani. Saya ingin mengangkat kehidupan keluarga saya menjadi lebih terhormat. Hanya uang yang bisa membuat ha1 itu jadi kenyataan. Hingga saat ini saya bertekad mewujudkan keinginan itu. Tapi, semua hanya bisa kalau Allah mengijnkan. Nasib manusia ada padaNya (Dadang, 30 tahun)
Agak berbeda dengan pernyataan di atas, kasus pemuda Dede menunjukkan kuatnya pengaruh tekanan ekonomi terhadap pandangan tentang sebuah pekerjaan. Kuatnya tekanan itu membentuk mental juang pemuda yang lebih berani dan tekanan semangat juang yang lebih kuat.
Keberanian itu
termasuk keputusannya unluk keluar ciari desa dengan melakukan migrasi meskipun belum punya kepastian pekerjaan. Tindakan bermigrasi merupakan modal penting untuk berusaha melakukan perbaikan kualitas kehidupan. Pendidikan, informasi tentang perkotaan dan pekerjaan luar pertanian memberi orientasi baru terhadap pandangan pemuda tentang makna kehidupan.
Ini
memberinya kesadaran bahwa hidup bisa diperbaiki dengan perjuangan. Setiap orang memiliki hak untuk bekerja dan hidup layak, tetapi perbaikan itu tidak bisa datang bila ia tak berusaha meraihnya. Kasus Dede juga memberi informasi tentang kesadarannya bahwa' pekerjaan yang baik adalah pekerjaan yang mempunyai peluang untuk berkembang. Pekerjaan yang monoton (seperti hanya menyetrika sepanjang hari) membunuh semangat berjuang untuk maju. Pekerjaan yang variatif dan dinamis menimbulkan semangat dan harapan pemuda untuk berhasil dalam bekerja.
Keyakinan Dede bahwa ekonomi (uang) menjadi indikator kebahagiaan, ditandaskan pada penilaian dan penghargaan yang diberikan masyarakat terhadap pekerjaan seseorang. Pemuda ini menganggap bahwa rasa percaya diri yang tinggi akan muncul jika ia bekerja pada bidang yang diberi nilai lebih terhormat oleh masyarakat. Selama ini Dede merasa masyarakat desanya secara tidak adil membuka peluang lebih tinggi untuk mengabdi pada pembangunan desa dan masyarakat bagi mereka yang bekerja dan berstatus sosial ekonomi lebih baik. Tampaknya perasaan ini muncul akibat kurangnya rasa percaya diri dan adanya kesenjangan antara harapan pemuda dengan kenyataan yang bisa ia realisasikan sebagai darma baktinya bagi desanya.
Representasi Pernuda dan Kecenderungan-Kecenderungan Secara umum pemuda merepresentasikan pekerjaan pertanian sebagai pekerjaan yang kurang bergengsi secara status sosial, meskipun pada kasus satu, dua dan tiga, sektor ini diakui sebagai sumber pendapatan yang sangat potensial. Hal ini menunjukkan kecenderungan-kecenderunganseperti hat-hal: (1) Akses
terhadap
sumberdaya
lahan.
Pekerjaan
pertanian
akan
menguntungkan bila kedudukannya sebagai usaha dan tidak semata sebagai pekerjaan.
Pemilikan atau penguasaan lahan sangat penting
sebagai kunci pembuka peluang untuk meningkatkan produksi dan memaksimalkan keuntungan. Pemilikan lahan ini tidak saja berpengaruh secara ekonomi, tetapi secara sosial mengurangi perasaan kurang terhormat bekerja di sektor ini. Petani di sini berperan sebagai menejer yang dalam dirinya lekat kekayaan lahan sebagai merupakan sumberdaya ekonomi sekaligus lambang status sosial di pedesaan. bangga yang mengikat kuat dan memotivasi untuk berusaha.
Ada perasaan
(2) Adanya pekerjaan lain yang didudukkan sebagai pekerjaan utama. Nilai yang berkembang di masyarakat memberi dua peran bagi pekerjaan pertanian. Pekerjaan ini lebih bernilai secara sosial biEa berperan sebagai pekerjaan sampingan daripada sebagai pekerjaan utama (kecuali kasus dua yang mengidentikkan usaha pertanian adalah usaha hortikultura, bukan perkebunan). Artinya, bagi pemuda sendiri bekerja disektor pertanian akan lebih memberi rasa bangga jika ada pekerjaan lain sebagai masker, sekalipun pekerjaan yang diakui sebagai pekerjaan utama itu bukan pemberi pendapatan yang terbesar. (3) Ada penilaian yang sangat senjang antara buruhtani dengan pemilik
penggarap, meskipun sama-sama bekerja di sektor pertanian.
Ini
menggambarkan tinggi dan pentingnya posisi lahan dalam penilaian masyarakat desa khususnya masyarakat petani. Berkaitan dengan lahan menguatkan dugaan bahwa status ekonomi berimpitan dengan status sosial. Pergeseran ini semakin mengikis kedudukan diakuinya tokoh-tokoh informal yang tidak dilengkapi dengan perkembangan status ekonominya. Gambaran ini sekaligus menunjukkan bahwa pada masyarakat Etnis Sunda khususnya di lingkungan ekologi perkebunan the rakyat di lokasi penelitian tidak terdapat
kelas-kelas sosial yang
rnerrlbuat satu
kelas
(kelompok
masyarakat) tertentu malu jika harus mengerjakan pekerjaan kelas buruh. (4) Disamping lahan, sumberdaya modal menduduki posisi yang sangat
mendasar bagi kegiatan ekonomi petani. Modal juga memiliki kekuatan dalam memberi nilai sosial terhadap apa yang dikerjakan oleh petani itu sendiri.
Pemuda lebih merasa terhormat sebagai petani walaupun
rnengerjakan pekerjaan pertanian yang kasar, kotor dan melelahkan jika dibantu oleh tenaga buruh. Meskipun pekerjaan yang dilakukan merupakan
pekerjaan terberat dan utama, sementara: peketjaan yang diiakukan buruh adatah pekerjaan ringan dan sampingan, tetapi kehadiran burlah dilahannya membuatnya merasa orang lain menilainya sebagai orang yang mampu mempekerjakan orang lain.
Hal itu memberi perasaan lebih 'terhormat'
walaupun ia sendiri bekerja di sektor pertanian. Kecenderungan-kecenderungan di atas memberi kesan bahwa sebenarnya
pandangan pemuda terhadap pekerjaan pertanian masih mengalami dilema. Pertanian sebagai usaha secara ekonomis masih cukup menguntungkan. Tetapi penilaian tentang "gengsi" sebuah pekerjaan mengalami pergeseran. Pekerjaan-pekerjaan yang mencirikan budaya agraris-tradisional dinilai lebih rendah dan dihindari.
Pemuda mempunyai orientasi kearah pekerjaan yang
memiliki budaya industri-modern di perkotaan. Pergeseran nilai ini berpengaruh besar terhadap pola sikap dan tindakan pemuda tidak saja sebatas pekerjaan tetapi termasuk dalam proses pembentukan kelompok-kelompok, pemilihan jodoh, bahkan sampai pada kemungkinan akses terhadap aktivitas pengabdian di desa. Meskipun komunikasi primer masih mendominasi hubungan antar warga di Jembarmanah, tetapi peran media informasi televisi dan radio serta interaksi dengan para migran telah merebak menggeser persepsi pemuda mengenai potensi pertanian. Perubahan persepsi ini berakibat langsung pada tindakan pemilihan pekerjaan karena melemahnya harapan menggantungkan diri sepenuhnya pada sektor pertanian.
Rangkuman
Pemuda Jembarmanah secara umum mulai menghindari pekerjaan pertanian sebagai pekerjaan utama atau pekerjaan tunggal. Penghindaran ini
terjadi tidak
semata-mata karena pendapatan dari sektor
ini kurang
menguntungkan, atau disebabkan terbatasnya kesempatan kerja, melainkan lebih kepada alasan perasaan terhorrnat atau tidaknya seorang pemuda jika bekerja di pertanian. Perasaan itu sendiri tahir dari didikan dan nasihat orangtua untuk betajar dan bekerja agar tidak jadi petani, serta apa yang diterjemahkan oleh pemuda tentang penilaian rnasyarakat terhadap suatu pekerjaan. Sebagai pekerjaan sampingan, usaha pertanian dinilai sebagai usaha yang sangat prospektif dan menguntungkan. Secara ekonomi, jika memiliki lahan yang memadai (lebih kurang satu hektar untuk usahatani perkebunan), usaha pertanian memberikan pendapatan yang cukup tinggi. Selain sebagai kegiatan ekonomi, pekerjaan pertanian memiliki fungsi hiburan dan bersifat komplementer dengan usaha atau pekerjaan utama (kasus I, 2 dan 3). Menyangkut persepsi sosial, pemuda buruhtani mempunyai penilaian yang sama dengan pemuda berlahan tentang pekerjaan pertanian. Pemuda ini tahu persis masyarakat menilainya berstatus 'rendah' karena bekerja sebagai buruhtani. Namun secara ekonomi, bagi seorang buruhtani, pekerjaan pertanian merupakan 'keharusan'.
Ini akibat kuatnya tekanan kebutuhan sementara
mereka merniliki keterbatasan sumberdaya lahan dan modal.
Pekerjaan
pertanian telah disosiaiisasikan dan tertanam menjadi suatu budaya bekerja. Pemuda tak berlahan mempunyai persepsi yang suram tentang masa depannya jika mengandalkan diri sepenuhnya dari pekerjaan pertanian. Dalam kurun waktu yang panjang tidak rnenunjukkan adanya peningkatan upah buruhtani yang seimbang dengan peningkatan harga-harga kebutuhan pangan maupun non pangan yang harus dibeiinya. Persepsi itu meniadakan harapan untuk berhasil meraih tujuan melalui sektor ini.
Akhirnya, dorongan untuk
memperbaiki kualitas hidup dengan bermigrasi menjadi sangat kuat. Pekerjaan
di luar pertanian atau di perkotaan ditujukan untuk rneraih status slrsial yang
lebih baik dengan perbaikan ekonomi. Tetapi pada akhirnya, pemuda ini tetap menganggap pada rnasa tuanya (saat tenaga dan mokilitais rnulai berkurang) lebih baik kembali ke sektor pertanian, tetapi bukan sebagai buruh melainkan sebagai petani penitik-perjggarap.