1
PEKERJA SEKTOR INFORMAL (Studi kasus pada Pedagang Makanan dan Minuman Malam Hari di Kota Gorontalo)
Oleh 1
Triwahyuni Djafar, Rauf Hatu*, Funco Tanipu** Jurusan Sosiologi, Fakultas Ilmu Sosial Universitas Negeri Gorontalo Email :
[email protected]
ABSTRAK Triwahyuni Djafar, Nim 281 411 061. Pekerja Sektor Informal (Studi kasus pada pedagang makanan dan minuman malam hari di Kota Gorontalo). Skripsi, Program Studi S1 Sosiologi, Fakultas Ilmu Sosial, Universitas Negeri Gorontalo. 2015. Pembimbing I Dr. Rauf Hatu, M.Si dan Pembimbing II Funco Tanipu, ST, MA. Penelitian ini dilakukan untuk mengetahui kehidupan sosial para pedagang malam hari di Kota Gorontalo. Adapun penelitian ini dilakukan di sekitaran Kota Gorontalo. Kajian Pustaka yang digunakan dalam penelitian ini adalah dinamika sosial, perubahan sosial, dan kelompok sosial. Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode kualitatif dan tipe penelitian deskriptif. Pengumpulan data dalam penelitian ini dilakukan dengan teknik observasi, wawancara, dokumentasi.Hasil penelitian ini menyimpulkan bahwa sebagian pedagang yang berjualan di wilayah Balai Kartini adalah mereka yang menggantungkan hidup mereka dengan berjualan malam hari, sedangkan sebagian pedagang yang berjualan di wilayah Bank BNI adalah mereka yang setiap hari berjualan untuk memenuhi kebutuhan hidup mereka tanpa harus merasa malu ataupun minder. Sementara itu upaya dari Pemerintah seperti Dinas Pasar masih berusaha menertibkan lokasi tersebut agar pedagang-pedagang tersebut tidak keluar dari tata tertib yang di buat oleh Pemerintah. Kata Kunci : Pedagang Makanan dan Minuman Malam Hari.
1
Triwahyuni Djafar, 281411061, Jurusan S1 Sosiologi, Fakultas Ilmu Sosial, Dr, Rauf Hatu.,M,Si., Funco Tanipu. ST.,MA
2
A. PENDAHULUAN “Perdagangan merupakan suatu kegiatan ekonomi yang dilakukan seseorang untuk memenuhi kebutuhan hidup dan mencari keuntungan, yang termasuk dalam golongan pedagang adalah orang-orang yang dalam pekerjaan sehari-harinya membeli barang yang kemudian untuk dijual kembali.Dalam prinsip ekonomi, pedagangan adalah untuk mencari laba yang sebesar-besarnya dan prinsip ini menjadi simbol kekayaan sebagai adanya status sosial kelas menengah pedagang pada umumnya”.2 “Istilah pedagang kaki lima pertama kali dikenal pada zaman Hindia Belanda, tepatnya pada saat Gubernur Jenderal Stanford Raffles berkuasa. Ia mengeluarkan peraturan yang mengharuskan pedagang informal membuat jarak sejauh 5 kaki atau sekitar 1,2 meter dari bangunan formal di pusat kota. Peraturan ini diberlakukan untuk melancarkan jalur pejalan kaki sambil tetap memberikan kesempatan kepada pedagang informal untuk berdagang. Tempat pedagang informal yang berada 5 kaki dari bangunan formal di pusat kota inilah yang kelak dikenal dengan “kaki lima” dan pedagang yang berjualan pada tempat tersebut dikenal dengan sebutan “pedagang kaki lima” atau PKL”.3 “Kehidupan pedagang tergolong sebagai pedagang tradisional, Dimana pada umumnya
pedagang
kaki
lima
merupakan
pedagang
yang
mayoritas
menggunakan modal usaha sendiri yang terbatas. Pedagang-pedagang tersebut dalam kondisi sosial ekonomi mengalami hambatan dikarenakan tempat dagang yang berada diluar area pasar tradisional tidak memadai banyaknya kendaraan berlalu lalang dengan modal usaha yang sedikit tidak mungkin mendapatkan tempat yang startegis seperti di pasar modern maupun di pasar tradisional”.4
2
Lia Candra Rufikasari,”Dinamika Pedagang Multietnis Pasar Klewer Surakarta Tahun 1958-1998”,Skripsi, Fakultas Sastra dan Seni Rupa, Universitas Sebelas Maret, Surakarta, 2010, hlm, 52. 3 Salmina W. Ginting,”Pengaruh Keberadaan Pedagang Kaki Lima Terhadap Jumlah Pengunjung Taman Kota di Medan”,Jurnal Teknik Simetrika, Volume 3 No.3, tahun 2004, hlm 204. 4 Muhammad Zunaidi, “Kehidupan Sosial Ekonomi Pedagang di Pasar Tradisional pasca relokasi dan pembangunan pasar modern”,Jurnal Sosiologi Islam, Volume 3 No.1, April 2013. Hlm 6.
3
Pedagang yang ada dipinggir jalan mereka mengais rejeki dengan menjajakan kebutuhan-kebutuhan yang diperlukan oleh para pembeli. Para pembeli kerap kali membutuhkan makanan-makanan, kejadian seperti itu dimanfaatkan oleh para pedagang tengah malam untuk menjual dagangan. Mereka berusaha untuk menjadi penjual dengan ramah,untuk dapat menarik minat para calon pembeli. Para pedagang berusaha menyediakan makanan siap saji buat pembeli, maksudnya ialah agar dagangan mereka dapat laku, dan mereka bisa mendapat keuntungan dari situ. Keuntungan yang mereka dapat mungkin tidak besar, tapi kehidupan mereka sangat bergantung dari keuntungan dagangan tersebut. Banyaknya pedagang kaki lima sekarang ini khususnya di Kota Gorontalo, membuat saya pribadi ingin meneliti kehidupan sosial mereka, apakah yang membuat mereka sampai rela berjualan sampai larut malam, dan apakah mereka tidak tersiksa harus berusaha melawan takdir, mereka mampu mengambil resiko, mereka mau berjualan di waktu malam hari yang kita ketahui pada malam hari tentu banyak kejahatan yang suatu saat bisa terjadi.
B. KAJIAN PUSTAKA 1. Sektor Informal “Sektor informal adalah bagian angkatan kerja dikota yang berada diluar pasar tenaga kerja yang terorganisir. Sektor informal tidak sebatas pada pekerjaan dikawasan pinggiran kota besar, namun juga meliputi berbagai aktivitas ekonomi yang bersifat mudah untuk dimasuki, menggunakan sumber daya lokal sebagai faktor produksi utama usaha milik sendiri, skala operasi kecil, berorientasi pada penggunaan tenaga kerja dengan penggunaan teknologi yang bersifat adaptif, keterampilan dapat diperoleh dari luar instansi pendidikan formal, tidak merasakan
secara
langsung
dampak
dari
kebijakan
yang
dikeluarkan oleh pemerintah, dan pasarnya bersifat kompetitif”.5
5
Boby Darian Wibowo, “Entrepreneurial Motivation Pengusaha Sektor Formal dan Sektor Informal di Jawa Timur”, Jurnal Ilmu Sosial dan Ilmu Politik, Volume 2 No.1, 2014, hlm 3.
4
“Konsep sektor informal kemudian dipakai Hart, untuk menjelaskan struktur pekerjaan di kota di luar sektor upahan. Kebanyakan sektor informal berupa usaha mandiri, tidak terorganisir, modal relatif kecil, dan penghasilan pekerja umumnya rendah. Meskipun banyak kritik yang dilontarkan pada operasionalisasi konsep sektor informal, tetapi konsep itu banyak dipakai untuk menjelaskan kondisi pasar kerja di kota di negara-negara berkembang. Sektor informal dipandang sebagai sektor yang mampu menyerap kelebihan angkatan kerja yang tidak tertampung di sektor industri atau mereka yang terpaksa terlempar dari sektor pertanian”.6 2. Dinamika Sosial “Dinamika
sosial
berarti
bahwa
manusia
dan
masyarakat selalu
berkembang serta mengalami perubahan. Perubahan akan selalu ada dalam setiap kelompok sosial. Ada yang mengalami perubahan secara lambat, maupun mengalami perubahan secara cepat”. “Dinamika kelompok sosial juga bisa diartikan, bahwa suatu kelompok yang teratur dari dua individu atau lebih
yang mempunyai hubungan
psikologis secara jelas antara anggotayang satu dengan yang lain. Dengan kata lain, antar anggota kelompok mempunyai hubungan psikologis yang berlangsung dalam situasi yang dialami secara bersama-sama”. 3. Perubahan Sosial “Menurut Gillin dan Gillin perubahan sosial yaitu sebagai suatu variasi dari cara-cara hidup yang telah diterima, baik karena perubahan-perubahan kondisi geografis, kebudayaan materiil, komposisi penduduk, ideologi maupun karena adanya difusi ataupun penemuan-penemuan baru dalam masyarakat”. “Perubahan sosial bersifat umum meliputi perubahan berbagai aspek dalam kehidupan masyarakat, sampai pada pergeseran-persebaran umur, tingkat pendidikan, hubungan antarwarga, baik warga dalam masyarakat pada umumnya maupun dalam lingkungan kerja. Dan, dari perubahan aspek-aspek tersebut terjadi perubahan struktur masyarakat serta hubungan di antara warganya. Perkembangan 6
Tadjuddin Noer Effendi, “Mobilitas pekerja, Remitan, dan Peluang Berusaha di Pedesaan”, Jurnal Ilmu Sosial dan Ilmu Politik, Volume 8 No.2, November 2004, hlm 220.
5
dari suatu daerah pedesaan ke perkotaan, membawa dampak perubahan aspekaspek kehidupan, sehingga terjadi perubahan sosial ini”.7 4. Kelompok Sosial “Menurut Muzafer Sherif Kelompok Sosial atau Social grup adalah suatu kesatuan Sosial yang terdiri dari dua atau lebih individu yang telah mengadakan interaksi sosial yang cukup intensif dan teratur sehingga di antara individu itu sudah terdapat pembagian tugas, struktur dan norma-norma tertentu”. “Dalam rangka memenuhi kebutuhan hidupnya manusia saling tergantung dengan manusia lain. Ketergantungan dan keterkaitan tersebut mendorong timbulnya kelompok sosial. Kelompok sosial merupakan kumpulan individu yang memiliki hubungandan sling berinteraksi sehingga mengakibatkan tumbuhnya kebersamaan dan rasa memiliki”. C. METODE Penelitian ini dilakukan di Kota Gorontalo. Ada beberapa yang menjadi pertimbangan penentuan lokasi penelitian yaitu di wilayah di kota Gorontalo antara lain Kecamatan Kota Selatan. Selain itu, dari pengetahuan peneliti bahwa sejauh ini belum ada yang melakukan penelitian sehubungan dengan masalah yang akan diteliti di Kecamatan tersebut. Alasan peneliti memilih lokasi penelitian ini karena dengan pertimbangan dan dipandang bahwa di tempat tersebut terdapat masalah sosial mengenai kehidupan sosial ekonomi pedagang makanan dan minuman malam hari. Hal ini tentu dipicu oleh berbagai faktor, sehingga permasalahan ini menarik untuk dikaji lebih dalam karena realita yang ada mengenai kehidupan sosial dari pedagang makanan dan minuman malam hari dan bagaimana mereka bertahan hidup dalam proses kehidupan mereka. Metode penelitian ini adalah penelitian kualitatif, dengan pendekatan deskritif dan jenis penelitiannya adalah interpretif dasar. Metode penelitian kualitatif adalah suatu penelitian yang berupaya untuk memahami dan membuat mengerti mengenai suatu fenomena dari sisi perspektif partisipan. Sedangkan menurut Patton, penelitian kualitatif adalah sebuah usaha untuk memahami situasi 7
Baca di Nursid Sumaatmadja, Manusia Dalam Konteks Sosial Budaya dan Lingkungan Hidup, 2000. Alfabet, Bandung. Hal 64
6
dalam keunikan mereka sebagai bagian sebuah konteks khusus dan interaksi yang terjadi di sana. Dalam metode penelitian ini, teknik pengumpulan datanya dilakukan secara trianggulasi (gabungan), analisis datanya bersifat induktif, serta hasil penelitiannya lebih menekankan pada suatu makna daripada generalisasi. Sementara itu, penelitian kualitatif interpretif dasar merupakan suatu penelitian kualitatif yang menunujukkan karakteristik penelitian di mana peneliti tertarik dalam memahami bagaimana partisipan membentuk makna terhadap situasi atau fenomena, makna ini diperantarai melalui peneliti sebagai instrumen, strateginya adalah induktif, dan hasilnya adalah deskritif. Dalam melakukan jenis penelitian ini, peneliti mencoba menemukan dengan menjelajahi dan memahami sebuah fenomena, sebuah proses, perspektif dan cara berpikir, bertindak dan keyakinan (worldview) orang-orang yang terlibat dalam penilitian, atau sebuah kombinasi dari semua hal tersebut. Data dalam penelitian ini dianalisa secara induktif untuk mengidentifikasi pola berulang atau topik-topik yang sering muncul di setiap data yang dikumpulkan. Dalam metode penelitian kualitatif, instrumen yang digunakan oleh peneliti adalah peneliti itu sendiri. Di mana peneliti secara langsung melakukan interaksi dengan para informan. Peneliti sebagai instrumen penelitian melakukan kontak langsung dengan para informan guna mendapatkan data yang lebih mendalam melalui teknik observasi dan wawancara di lapangan. Berkaitan dengan sumber data yang digunakan oleh peneliti dalam hal melihat persepsi masyarakat tentang ritual Dayango pada masyarakat Desa Dulupi ini, peneliti menggunakan data primer dan data sekunder. Teknik pengumpulan data dalam penelitian ini menggunakan teknik observasi dan wawancara. Tujuan daripada observasi ini adalah untuk memperoleh gambaran yang luas dari lapangan dengan menggunakan sudut pandang atau kerangka pemikiran yang peneliti gunakan, dapat menggali informasi mengenai segala aktifitas di lokasi penelitian agar memperoleh pemahaman tentang keterkaitan pelaku utama yang diteliti dengan tempat-tempat di mana dia sering berada, dan dapat mengetahui keterbatasan peneliti dengan sudut pandang yang digunakan dalam menafsirkan hasil pengamatan. Selain itu manfaat observasi seperti yang dikemukakan oleh Patton berikut ini adalah
7
membuat peneliti mampu memahami konteks data dalam keseluruhan situasi sosial, dapat memperoleh pengalaman langsung sehingga dapat memungkinkan peneliti menggunakan pendekatan induktif yang tidak dipengaruhi oleh pendangan sebelumnya. Analisis data pada penelitian kualitatif adalah proses menyusun data agar dapat ditafsirkan. Menyusun data berarti mengelompokannya dalam pola, tema atau kategori. Tanpa kategorisasi atau klasifikasi data akan terjadi chaos. Tafsiran atau klasifikasi data akan terjadi pada analisis, menjelaskan pola atau kategori, mencari hubungan antara berbagai konsep. Interpretasi menggambarkan perspektif atau pandangan peneliti, bukan kebenaran. Kebenaran hasil penelitian masih harus dinilai orang lain dan diuji dalam berbagai situasi lain. Hasil interpretasi juga bukan genaralisasi dalam arti kuantitatif, karena gejala sosial terlampau banyak variabelnya sehingga sukar digeneralisasi. Generalisasi di sini lebih bersifat hipotesis kerja yang senantiasa harus lagi diuji kebenarannya dalam situasi lain. Tugas peneliti ialah mengadakan analisis tentang data yang diperolehnya agar fiketahui maknanya. Interpretasi harus melebihi atau mentransenden deskripsi belaka. Jika peneliti tidak dapat mengadakan interpretasi dan hanya menyajikan data deskriptif saja, maka sebenarnya penelitian itu sia-sia saja dan tidak memenuhi harapan. Data yang terkumpul dalam penelitian kualitatif biasanya meliputi ratusan bahkan ribuan halaman. Tiap jam kerja-lapangan dapat menghasilkan lebih dari dua puluh halaman. Maka timbul masalah yang pelik, bagaimana mengolah, menganalisis data yang banyak itu. Mengumpulkan dan memupuk data sampai akhir kerja-lapangan akan menghadapkan peneliti pada tugas yang sangat ruwet yang mungkin tak teratasi. Selain itu cara demikian tidak efektif dan tidak akan menghsilkan data yang serasi karena kerja-lapangan tidak didasarkan atas hasil analisis laporan kerja-lapangan sebelumnya. Jadi dalam penelitian kualitatif analisis data harus dimulai sejak awal. Data yang diperoleh dalam lapangan segera harus dituangkan dalam bentuk tulisan dan dianalisis.
8
D. HASIL DAN PEMBAHASAN “Gorontalo memiliki falsafah adati hulo-huloa to syara’a wau syara’a hulohuloato Qur’ani (adat Gorontalo bersandar pada syariah dan syariah bersandar pada Al-Qur’an). Falsafah ini hadir di muka bumi Gorontalo untuk menyelamatkan, membela, dan menghidupkan keadilan dalam bentuknya yang paling konkret. Dengan demikian falsafah itu seharusnya juga bisa membebaskan manusia dari kondisi-kondisi ketidakadilan. Namun wajah falsafah khas Gorontalo ini tidak memiliki instrumen lanjut dan tidak siap pakai sehingga operasionalisasi dari falsafah yang idealis itu kerap terbantahkan. Sebaliknya, yang sering terjadi justru benturan antara falsafah tersebut dengan faham kesetaraan”.8 Sesuai dengan hasil penelitian yang dilakukan oleh penulis selama di lapangan, penulis menyimpulkan bahwa pedagang-pedagang yang berjualan di sekitaran Kecamatan Kota Selatan yaitu ada beberapa pedagang yang memiliki izin berjualan dan tidak membayar retribusi pada pihak Pemerintah maupun pada penagih yang biasa menangih namun mereka hanya membayar tempat penitipan gerobak jualan mereka kepada yang punya lahan, seperti di sekitaran depan Balai Kartini dari beberapa pedagang, namun berbeda dengan yang berjualan di sekitaran depan Bank BNI, mereka mempunyai izin usaha dan mereka membayar retribusi pada petugas yang biasa menagih setiap malam seharga Rp.5.000. Umumnya mereka yang berjualan sebagai pedagang makanan dan minuman di malam hari hanya ingin mencari uang untuk memenuhi kebutuhan dirinya sendiiri dan untuk keluarga tanpa harus memandang remeh pekerjaan mereka, bahkan mereka tidak malu ataupun sungkan untuk berjualan seperti yang diamati oleh penulis. Bahkan mereka rela berjualan sampai lewat tengah malam dan bahkan ada beberapa penjual yang baru bisa pulang ke rumah jam 04.00 subuh. Bisa kita bayangkan bagaimana lelahnya mereka harus menahan rasa kantuk demi mencari sesuap nasi.
8
Baca di Funco Tanipu, Raut Muka Gorontalo Kita, 2008, HPIMG PRESS, Yogyakarta,
Hal 4
9
Adapun dari mereka yang berjualan di depan Bank BNI bukan hanya berjualan di waktu malam hari saja, namun di waktu pagi pun mereka berpindah tempat berjualan di tempat lain yaitu di lokasi Pasar Tua atau Pasar Jajan. Sedemikian susahnya mereka mencari uang sampai rela merenggut waktu istirahat mereka hanya untuk mencari uang untuk keluarga mereka. Adapun dagangan yang diperjual belikan oleh para pedagang yang berlokasi di Kecamatan Kota Selatan yaitu makanan-makanan berat seperti nasi goreng, nasi kuning, nasi putih. Selain makanan berat ada juga yang menjual pisang goreng, martabak dan ada juga yang menjual minuman saraba, kopi, dan masih banyak lagi. Dan mereka mulai berjualan pada pukul 16.00. Menurut hasil penelitian penulis, pedagang yang berlokasi di Kecamatan Kota Selatan tepatnya di Depan Balai Kartini ada 5 pedagang yang berjualan, sedangkan yang berada di Depan Bank BNI ada sekitar 20 Pedagang yang berjualan setiap malamnya. Para pedagang yang berjualan di sekitaran Kecamatan Kota Selatan umumnya bukanlah yang tinggal di Kecamatan tersebut, ada yang dari Kecamatan Kota Timur dan ada juga yang dari Jawa dan memilih membuka usaha di Kota Gorontalo. Seperti inilah gambaran penulis selama berada di lapangan.. “ saya bajual disini bulum sampe 1 tahun, saya ba jual disini tidak ba bayar pajak, Cuma ada izin dari pemerintah Kota. Saya Cuma ba bayar di tampa yang biasa saya ba titip akan roda jualan, depe ba bayar mana-mana pa torang sesuai torang pe pendapatan tiap malam”. Maksudnya yaitu : “Saya berjualan disini belum genap 1 Tahun, saya berjualan di tempat ini tidak membayar Pajak tapi saya mempunyai izin dari pihak Pemerintah Kota. Saya hanya biasa bayar tempat penitipan gerobak jualan saya pada yang punya lahan, bayarannya terserah dari kami dan sesuai pendapatan saya setiap malamnya”. Sandra adalah salah satu penjual makanan di depan Balai Kartini, dimana di lokasi tersebut dia berjualan mempunyai izin usaha dari Pemerintah, akan tetapi selama berjualan di tempat itu dia tidak membayar retribusi namun membayar sewa gerobak kepada yang punya lahan.
10
Dinamika sosial yaitu masyarakat yang selalu berkembang serta mengalami suatu perubahan, perubahan yang akan selalu ada di dalam setiap kelompok sosial. Dinamika sosial itu sendiri sama artinya dengan kehidupan sosial, kehidupan sosial disini saya melihat kehidupan dari Sandra dan Andi yang menggantungkan kehidupan mereka dari berjualan di malam hari. Perubahan sosial yaitu sebagai suatu proses pergeseran atau berubahnya struktur/tatanan di dalam masyarakat. Perubahan sosial disini saya melihat kehidupan dari Ibu Yusna Rani, Bapak Iyas, Novita Ranti, dan Bapak Ismet Ibrahim yang dengan keterangan mereka, mereka mengalami perubahan sosial dalam kehidupan mereka setelah berjualan makanan di malam hari, dan bukan hanya di lokasi itu saja mereka berjualan, pada waktu siang haripun mereka berpindah tempat jualan hanya untuk mencari uang. “Modernisasi kerap pula diidentikkan dengan tipe perubahan sosial sebagai akibat dari revolusi industri. Revolusi industri ke-2 melahirkan apa yang disebut sebagai mechanization society (mass production) didukung oleh lahirnya science controlled
technology.
Dari
fase
controlled
technology
ini
manusia
mengembangkan lebih lanjut automatisasi (automatic controlled technology), yang bermuara kepada sibernetika. Sibernetika inilah mendorong terjadinya automation society sibernetika dan fase automation society inilah yang kemudian melahirkan revolusi industri ke-3 yang amat besar pengaruhnya terhadap informasi, komunikasi, transportasi, dan penguasaan sumber-sumber energi. Terjadinya revolusi industri ke-3 di dalam suasana automation society yang didukung oleh kekuatan sibernetika dan penguasaan sumber-sumber energi itulah yang menyebabkan lahirnya konsep civil society. Ekonomi menjadi primadona ketika sibernetikanya energi ekonomi yaitu sistem monoter juga masuk ke dalam roda automation society ini”.9 “Modernisasi yaitu proses pergeseran sikap dan mentalitas sebagai warga masyarakat untuk dapat hidup sesuai dengan tuntutan masa kini, modernisasi disini menyangkut dengan Pekerja Sektor Informal dimana para pedagang melalui 9
Baca di Lukman A.R. Laliyo dalam Funco Tanipu, Menggagas Masa Depan Gorontalo, 2005, HPIMG PRESS, Yogyakarta, Hal 363-364
11
proses pergeseran pada saat berjualan dimana mereka bertemu dengan orangorang baru dan lingkungan yang baru pula”. Kelompok sosial adalah suatu kesatuan sosial yang terdiri dari dua atau lebih individu yang telah mengadakan interaksi sosial yang cukup intensif dan teratur sehingga di antara individu itu sudah terdapat pembagian tugas, struktur, dan norma-norma tertentu.kelompok sosial disini saya menggambarkan yang terjadi pada Mansur Abdullah, Ibu Tina, dan Ibu Yulin Kasim yang menjalin silaturahmi dengan sesama penjual yang bersebelahan, yang dengan demikian mengarah ke kelompok sosial itu sendiri. Bentuk Penanganan Pedagang Malam Hari Oleh Dinas Terkait “Pedagang Kaki Lima, yang selanjutnya disingkat PKL, adalah pelaku usaha yang melakukan usaha perdagangan dengan menggunakan sarana usaha bergerak maupun tidak bergerak, menggunakan prasarana kota, fasilitas sosial, fasilitas umum, lahan dan bangunan milik pemerintah dan/atau swasta yang bersifat sementara/tidak menetap.Penataan PKL adalah upaya yang dilakukan oleh pemerintah daerah melalui penetapan lokasi binaan untuk melakukan penetapan, pemindahan, penertiban dan penghapusan lokasi PKL dengan memperhatikan kepentingan umum, sosial, estetika, kesehatan, ekonomi, keamanan, ketertiban, kebersihan lingkungan dan sesuai dengan peraturan perundang-undangan.Lokasi PKL adalah tempat untuk menjalankan usaha PKL yang berada di lahan dan/atau bangunan milik pemerintah daerah dan/atau swasta”.10 Penataan dan Pemberdayaan Pedagang Kaki Lima Oleh Pemerintah Tujuan Penataan dan Pemberdayaan Pedagang Kaki Lima adalah : a. Memberikan kesempatan berusaha bagi PKL melalui penetapan lokasi sesuai dengan peruntukannya; b. Menumbuhkan dan mengembangkan kemampuan usaha PKL menjadi usaha ekonomi mikro yang tangguh dan mandiri; dan
10
Baca di Peraturan Menteri Dalam Negeri Republik Indonesia Nomor 41 Tahun 2012 tentang Pedoman Penataan dan Pembedayaan Pedagang Kaki Lima. Hal 1.
12
c. Untuk mewujudkan kota yang bersih, indah, tertib, dan aman dengan sarana dan prasarana perkotaan yang memadai dan berwawasan lingkungan. Sementara itu Pedagang Kaki Lima mempunyai hak antara lain : a. Mendapatkan pelayanan pendaftaran usaha PKL; b. Melakukan kegiatan usaha di lokasi yang telah ditetapkan; c. Mendapatkan informasi dan sosialisasi atau pemberitahuan terkait dengan kegiatan usaha di lokasi yang bersangkutan; d. Mendapatkan
pengaturan,
penataan,
pembinaan,
supervisi
dan
pendampingan dalam pengembangan usahanya; dan e. Mendapatkan pendampingan dalam mendapatkan pinjaman permodalan dengan mitra bank. Kesempatan Memperoleh Penghasilan yang Informal : SAH Sektor Informal menurut Keith Hart yaitu perbedaan kesempatan memperoleh penghasilan antara sektor formal dan informal pada pokoknya didasarkan atas perbedaan antara pendapatan dari gaji dan pendapatan dari usaha sendiri. Variabel kuncinya terletak pada tingkat rasionalisasi pekerjaan, yaitu apakah pekerja diatur atas dasar gaji tetap yang permanen dan teratur ataukah tidak. Kesempatan yang dapat dilakukan untuk memperoleh penghasilan yang informal (sah) yaitu dengan cara sebagai berikut : a. Kegiatan-kegiatan primer dan sekunder. Seperti : Pertanian, Perkebunan yang berorientasi pasar, kontraktor bangunan dan kegiatan-kegiatan yang berhubungan dengannya, pengrajin usaha sendiri, pembuat sepatu, penjahit, pengusaha bir dan alkohol. b. Usaha tersier dengan modal yang relatif besar. Seperti : perumahan, transportasi, usaha-usaha untuk kepentingan umu, spekulasi barang-barang dagangan, kegiatan sewa menyewa.
13
c. Distribusi kecil-kecilan. Seperti : pedagang pasar, pedagang kelontong, pedagang kaki lima, pengusaha makanan jadi, pelayan bar, pengangkut barang, agen atas komisi, dan menyalur. d. Jasa yang lain. Seperti : pemusik (ngamen), pengusaha binatu, penyemir sepatu, tukang cukur, pembuang sampah, juru potret, pekerja reparasi kenderaan maupun reparasi lainnya, makelar dan perantara (sistem maigida di pasar, pengadilan, dan sebagainya). e. Transaksi pribadi. Seperti : arus uang dan barang pemberian maupun semacamnya, pinjam meminjam, dan pengemis.11
E. PENUTUP 1. KESIMPULAN Berdasarkan hasil penelitian dan pembahasan yang telah diuraikan pada bab sebelumnya, maka dapat ditarik kesimpulan sebagai berikut : 1. Kegiatan ekonomi yang dilakukan penjual makanan dan minuman malam hari yang berlokasi di Kecamatan Kota Selalatan Kota Goronalo merupakan
salah
satu
upaya
yang
dilakukan
pedagang
untuk
meningkatkan kualitas hidup melalui cara berdagang makanan dan minuman. 2. Para pedagang yang berlokasi di Kota Selatan Kota Gorontalo adalah sebagian pedagang yang berjualan usahanya milik sendiri atau pribadi, namun ada sebagian pedagang juga yang hanya sebagai buruh jaga atau karyawan. 3. Sebagian besar pedagang yang berlokasi di depan Bank BNI hanya membayar pajak retribusi yang bukan diberikan pada Pemda Kota Gorontalo melainkan diberikan pada preman yang menjadi penanggung jawab keamanan.
11
Baca di Chris Manning, Urbanisasi, Penganguran, dan Sektor Informal di Kota, PT Gramedia, Jakarta,1985. Hlm 78-79.
14
2. SARAN Berdasarkan dari kesimpulan di atas, maka penulis dapat mengemukakan saran sebagai berikut : 1. Bagi Pemerintah Kota atau Dinas terkait yang berhubungan dengan Pedagang sebaiknyanya memberikan perhatian lebih kepada para pedagang yang berlokasi di Depan Balai Kartini dan di Depan Bank BNI Kecamatan Kota Selatan karena para pedagang juga berhak untuk meningkatkan taraf hidup keluarganya 2. Untuk Pemerintah Kota atau Dinas terkait sebaiknya memberikan pelatihan khusus bagi para pedagang tentang bagaimana cara berdagang yang baik dan tertib berdasarkan tata tertib yang sudah di atur dalam peraturan Program Sektor Informal. 3. Untuk Pemerintah Kota atau Dinas terkait sebaiknya dapat mengoptimalkan pajak retribusi dari para pedagang sebagai salah satu bentuk peningkatan pendapatan daerah.
15
DAFTAR PUSTAKA BUKU: Funco Tanipu, Raut Muka Gorontalo Kita, HPIMG PRESS, Yogyakarta, 2008. Lukman A.R. Laliyo dalam Funco Tanipu, Menggagas Masa Depan Gorontalo, HPIMG PRESS, Yogyakarta, 2005. Isbandi Rukminto Adi, Kesejahteraan Sosial, PT Rajagrafindo Persada, Depok, 2013 John W. Creswell, (2009), Research Design, Pendekatan Kualitatif, Kuantitatif, Dan Mixed, Terjemahan : Achmad Fawaid, Edisi Ketiga, Pustaka Pelajar, Yogyakarta, 2010/2012. Nursid Sumaatmadja, Manusia Dalam Konteks Sosial Budaya dan Lingkungan Hidup, Alfabet, Bandung, 2000. Piotr Sztompka, Sosiologi Perubahan Sosial, Prenada Media, Jakarta, 2005 Payaman J. Simanjuntak, Tenaga Kerja, Produktivitas dan Laba Kumpulan Kertas Kerja, Lembaga Sarana Informasi Usaha dan Produktivitas, Jakarta, 1985. Slamet Santoso, Dinamika Kelompok, PT Bumi Aksara, Jakarta, 1999. Soetomo, Masalah Sosial dan Upaya Pemecahannya, Pustaka Pelajar, Yogyakarta, 2011 Soetomo, Pembangunan Masyarakat, Pustaka Pelajar, Yogyakarta, 2009. Sugiyono, Metode Penelitian Kuantitatif, Kualitatif, dan R&B,Cv. Alfabeta, Bandung, 2011 Tahir Kasnawi, Pembangunan Masyarakat Kota, Pusat Penerbitan Universitas Terbuka, Jakarta, 2003. Chris Manning, Urbanisasi, Penganguran, dan Sektor Informal di Kota, Gramedia, Jakarta,1985.
PT
JURNAL : Boby Darian Wibowo, “Entrepreneurial Motivation Pengusaha Sektor Formal dan Sektor Informal di Jawa Timur”, Jurnal Ilmu Sosial dan Ilmu Politik, Volume 2 No.1, 2014, hlm 3. Budi Sutrisno, “Pola Penataan Pedagang Kaki Lima (PKL) di Kota Surakarta Berdasar Paduan Kepentingan PKL, Warga Masyarakat, Dan Pemerintah Kota”, Jurnal Penelitian Humaniora, Volume 8 No.2, 2007, hlm 169. Endang Hariningsih, "Faktor-faktor Yang Mempengaruhi Kinerja Usaha Pedagang Eceran", Jurnal Bisnis dan Manajemen , Volume 4 no.2, 2008, hlm 45. 16
Keppi Sukesi, “Upaya Memperbaiki Kondisi Pekerja Sektor Informal Melalui Jaminan Sosial”, Jurnal Analisis Sosial, Volume 8 No.3, Desember 2003, hlm 40. Muhammad Zunaidi, "Kehidupan Sosial Ekonomi Pedagang di Pasar Tradisional Pasca Relokasi dan Pembangunan Pasar Modern", Jurnal Sosiologi Islam, Volume 3 No.1, 2013, hlm 6. Patrick C. Wauran, “Strategi Pemberdayaan Sektor Informal Perkotaan di Kota Manado”, Jurnal Pembangunan Ekonomi dan Keuangan Daerah, Volume 7 No.3, Oktober 2012, hlm 1. Salmina W. Ginting, "Pengaruh Keberadaan Pedagang Kaki Lima Terhadap Jumlah Pengunjung Taman Kota di Medan", Jurnal teknik simetrika, Volume 3 No.3, 2004, hlm 204. Tadjuddin Noer Effendi, “Mobilitas pekerja, Remitan, dan Peluang Berusaha di Pedesaan”, Jurnal Ilmu Sosial dan Ilmu Politik, Volume 8 No.2, November 2004, hlm 220. Trisni Utami, “Pemberdayaan Komunitas Sektor Informal Pedagang Kaki Lima (PKL) suatu alternatif penanggulangan kemiskinan”, Jurnal Sosiologi, Volume 25 No.2, tahun 2010, Hlm 115. Yupi Kurniawan Sutopo, “Analisa Pengelolaan Sumber Daya Manusia Sektor Formal dan Sektor Informal di Jawa Timur”, Jurnal Ilmu Sosial dan Ilmu Politik, Volume 2 No. 1, 2014, hlm 2.
SKRIPSI : Annisa, “Pengaktifan Identitas Kedaerahan Oleh Sekelompok Pedagang Perantauan”, Skripsi Pada Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik, Universitas Indonesia, Depok, 2012. Bornok Sinaga,“Dinamika Sosial Pasar Tradisional Malam Hari”. Skripsi Pada Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik, Universitas Sumatera Utara, Sumatera Utara, 2008. Kamardi Arief,“Fungsi Sosial-Ekonomi Pasar Tradisional”, Skripsi Pada Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik, Universitas Sriwijaya, Malang, 2013. Lia Candra Rufikasari, “Dinamika Pedagang Multietnis Pasar Klewer Surakarta Tahun 1958-1998”, Skripsi Pada Fakultas Sastra dan Seni Rupa, Universitas Sebelas Maret, Surakarta, 2010. Yusuf Hidayatur Rohman,“Peran Dinas Perindustrian,Perdagangan,Koperasi,dan Pertanian Kota Yogyakarta dalam Pengembangan Komunitas Pasar Klithikan Pacunden”, Skripsi Pada Fakultas Dakwah, Universitas Islam Negeri Sunan Kalijaga, Yogyakarta, 2009.
17