LEMBAR PERSETUJUAN PEMBIMBING
JURNAL PROSESI PERNIKAHAN SECARA ADAT DI KAMPUNG EMPAT
Oleh MUHTAR HULOPI 231 410 141
PEMBIMBING I
PEMBIMBING II
H. Darwin Une, S.Pd., M.Pd NIP. 195811291994031001
Lukman D. Katili, S.Ag., M.Th.I NIP. 197207052009121001
JURUSAN PEDIDIKAN SEJARAH FAKULTAS ILMU SOSIAL UNIVERSITAS NEGERI GORONTALO 2014
PROSESI PERNIKAHAN SECARA ADAT DI KAMPUNG EMPAT JURUSAN PENDIDIKAN SEJARAH FAKULTAS ILMU SOSIAL UNIVERSITAS NEGERI GORONTALO 2014 ABSTRAK Muhtar Hulopi. NIM 231 410 141. “Prosesi Pernikahan Seacara Adat Di Kampung Empat” Jurusan Pendidikan Sejarah, Fakultas Ilmu Sosial, Universitas Negeri Gorontalo 2014. Di bawah bimbingan bapak H. Darwin Une M.Pd dan bapak H. Lukman D. Katili, S.Ag M.Th.I1 Prosesi pernikahan secara adat di Kampung Empat memang mempunyai ciri khas tersendiri dan terdapat perbedaan-perbedaan yang membedakannya dengan adat pernikahan secara adat di wilayah Limo Lo Pohala’a, bukan hanya dalam upacara perkawinan namun di Kampung Empat sendiri mempunyai adat-istiadat tersendiri dalam upacara-upacara lainnya, diantaranya upacara penyambutan, upacara penobatan, upacara sekitar bulan ramadhan dan hari raya. Berdasarkan uraian singkat di atas, maka dalam penelitian ini menarik beberapa rumusan masalah, antaranya; bagaimana prosesi pernikahan secara adat di Kampung Empat dan perbedaan antara adat pernikahan di Kampung Empat dengan adat Gorontalo di wilayah Limo Lo Pohala’a. Dalam penelitian ini menggunakan teori-teori sosial seperti hukum adat, pernikahan, masyarakat. Dan kajian adat Gorontalo Adapun metode yang digunakan adalah pendekatan kualitatif dengan menggunakan bentuk deskriftif. Hasil yang ditemukan dalam penelitian adalah sebagai berikut; bahwa di Kampung Empat dalam melaksanakan prosesi pernikahan secara adat masih menggunakan adat Gorontalo, namun karena latar belakangi oleh sejarah panjang terbentuknya Kampung Empat sehingga di Kampung Empat memiliki adat khusus dalam upacara pernikahan yang secara umum dapat dibagi menjadi tiga, yang pertama dalam prosesinya yaitu tidak memakai Tujai dan tidak adanya malam hari H atau malam Mo Potilandahu, yang kedua dalam hal pembayaran mahar yang memakai mata Uang Real, tidak mengenal Kati dalam pembayarannya dan yang ketiga dalam perlengkapan adat dimana tidak memakai tangga naik (Tolitihu) dan persiapan bendabenda budaya yang tidak memakai buah-buahan. Kata Kunci : Adat-Istiadat, Pernikahan 1
Muhtar hulopi, Nim 231 410 141, Jurusan Pendidikan Sejarah, Fakultas Ilmu Sosial, Universitas Negeri Gorontalo, Dibawah Pembimbing I, Darwin Une, S.Pd., M.Pd dan Pembimbing II, Lukman D. Katili, S.Ag., M.Th.I
Gorontalo merupakan bagian dari 19 daerah adat di Indonesia. Gorontalo di petakan menjadi bagian dari daerah adat di Indonesia karena memiliki yang diantaranya adalah bahasa, tarian, pakaian adat, sastra lisan, hukum adat dan adatistiadat Sendiri. Sebelum masa penjajahan keadaaan daerah Gorontalo berbentuk kerajaankerajaan yang diatur menurut Hukum Adat ketatanegaraan Gorontalo . Kerajaankerajaan itu tergabung dalam satu ikatan kekeluargaan yang disebut Pohala'a. Daerah Gorontalo ada Limo Pohala'a : Pohala'a Gorontalo , Pohala'a Limboto, Pohala'a Suwawa, Pohala'a Boalemo dan Pohala'a Atinggola. Masyarakat Gorontalo
dalam adat istiadatnya sangat menjunjung tinggi
kaidah-kaidah Islam. Untuk itu ada semboyan yang selalu dipegang oleh masyarakat Gorontalo yaitu, “Adati hula-hula’a to Sareati, sareati hula-hula’a to Kitabullah” yang artinya, Adat Bersendikan Syara, Syara Bersendikan Kitabullah. Pengaruh Islam menjadi hukum tidak tertulis di Gorontalo sehingga mengatur segala kehidupan masyarakatnya dengan bersendikan Islam. Islam telah berorientasi dalam kehidupan masyarakat Gorontalo begitupun dengan berbagai bentuk upacara adat di Gorontalo . Salah satunya adalah upacara prosesi pernikahan yang sering kita jumpai. Yaitu Adat pernikahan di Gorontalo yang sangat bernuansa Islami. Tata cara adat yang diberlakukan di daerah Gorontalo
sangat banyak,
diantaranya adalah tata cara adat perkawinan, di mana tata cara adat perkawinan ini meliputi adat Mongilalo, adat Mohabari, adat Momatata U Pilo’otawa, adat Motolobalango, adat Monga’ato Dalalo, adat Molinelo, adat Momu’o Ngango, adat Modepita Maharu, adat Modepita Dilanggato, adat Moponika. Artinya, memberi kabar adat dan memperjelas yang diberitahukan, adat melamar, adat menyapu jalan, adat penerang, adat membuka mulut, adat pengantar mahar, adat mengantar ongkos dan adat pernikahan. Pernikahan adat Gorontalo ini perlu dilestarikan, karena mengandung nilai– nilai budaya yang tinggi. Adat Gorontalo ini semakin hari semakin terkontaminasi dengan perubahan zaman. Terlihat di mana–mana pernikahan di Gorontalo tanpa
melewati lagi prosesi adat Gorontalo . Hal ini disebabkan oleh beberapa faktor, diantaranya, banyak pemuda zaman sekarang yang enggan mempelajari adat pernikahan Gorontalo . Sehingga warisan leluhur ini semakin terlupakan, karena tidak adanya generasi penerus Adati lo Hulondalo. Masyarakat Gorontalo umumnya melaksanakan prosesi pernikahan secara adat dengan dasar dan hakekat yang sama tapi di tiap wilayah(Pohala’a) menjalankan prosesi pernikahan secara adat dengan cara dan persiapan yang berbeda-beda dengan ciri khas dan identitas wilayah masing-masing. Jika pernikahan terjadi di antara mempelai wanita dan pria dari wilayah yang memiliki adat-istiadat yang berbeda maka adat yang akan diberlakukan disesuaikan dengan tempat prosesi pernikahan itu dilaksanakan. Pelaksanaan prosesi pernikahan di Gorontalo terdapat perbedaan tersendiri dan hanya di mengerti oleh tokoh-tokoh adat dan tokoh-tokoh masyarakat tertentu. Sangat memprihatinkan di mana bukan hanya banyaknya generasi masa kini yang menikah sudah tidak melewati prosesi adat untuk melestarikannya, untuk mengenali adat dari wilayah masing-masing sudah kesulitan. Salah satu wilayah yang memiliki adat tersendiri dalam prosesi pernikahan adalah Kampung Empat. Kampung Empat (Soginti , Sipayo, Siduan Bunuyo) Kecamatan
Paguat,
Kabupaten Pohuwato, merupakan wilayah U wililinga Lo U wopato artinya yang di kelilingi
oleh
empat
kampung.
Dalam
kedudukan
adat
di
Kecamatan
PaguatKampung Empat merupakan Tiyombu Tiyamo sedangkan wilayah Udula’a adalah Wombu Wala’o. wilayah Udula’a adalah sebelah Utara Popaya atau dalam istilah adat adalah Tipanggulo, sebelah Timur Tabulo, sebelah Selatan Pentadu dan sebelah Barat Marisa, dalam aturan adat Kampung Empat tidak bisa melewati batasbatas yang telah di putuskan oleh adat. Kampung Empat melaksanaan pernikahan dengan adat Gorontalo namun cara pelaksanaannya dan persiapannya berbeda dengan yang di laksanakan di di daerah Limo Lopohala’a karena dari ke lima pohalaa di atas memiliki ciri khas sendirisendiri dalam menyiapkan pernikahan secara adat namun dengan hakekat yang sama.
Bukan hanya prosesi pernikahan, Kampung Empat juga memiliki adat-istiadat sendiri dalam melaksananakan upacara-upacara lainnya, diantaranya upacara penyambutan, hari raya, sekitar bulan ramadahan, upacara kedukaan, dan upacara penobatan. Pembentukan adat Kampung Empat disesuaikan dengan ajaran agama, maka tradisi- tradisi yang sebelumnya dianggap bertentangan dengan Agama, perlahanlahan dihilangkan. Sedangkan yang dirasa sesuai tetap dipertahankan atau istilah sekarang “dilestarikan”. Itulah sebabnya adat-istiadat yang berlaku husus di Kerajaan Empat atau U Olongiya Wopato, semuanya bersifat memperindah atau Mo Po O Lamahu agama. Berdasarkan uraian di atas, maka penulis fokuskan penelitian ini dalam masalah perbedaan dan keunikan dalam prosesi pernikahan secara adat di Kampung Empat melalui penelitian ilmiah, yang di formulasikan dalam judul : “Prosesi Pernikahan Secara Adat Di Kampung Empat” METODE PENELITIAN Pada penelitian ini menggunakan metode mengunakan metode penelitian kualitatif dengan sumber primer dan sumber sekunder sebagai penunjang penelitian, serta
menggunakan
pengumpulan
data
seperti
observasi,
wawancara
dan
dokumentasi. PEMBAHASAN 1. Prosesi Pelaksanaan Pernikahan Di Kampung Empat Pernikahan merupakan peristiwa yang sangat istimewa dalam kehidupan setiap manusia, bukan hanya
istimewa tapi sangat sakral dan berkaitan dengan
agama. Oleh karena itu upacara pernikahan di laksanakan dan di kemas dalam berbagai macam corak dan ragam. Baik itu secara adat dan budaya leluhurnya ataupun dengan cara modern dengan tidak meninggalkan nilai-nilai adat istiadat leluhur. Bertujuan untuk mengabadikan dan berlangsung dengan keridhoan semua
pihak dan sah dinilai dari hukum undang-undang Negara, hukum adat, maupun hukum agama. Di Gorontalo sendiri yang tidak terpisahkan adalah hukum adat dan agama dimana kedua hal ini diterapkan dalam kehidupan sehari-hari, dalam upacara adat pernikahan khususnya berdasarkan agama Islam dan di ikat oleh adat seperti ungkapan adat oleh medi botutihe (2003 : ) sebagai berikut : Wonu lo nika iladati
=
kalau menikah dengan upacara adat
Dilu’a boli iladati
=
di doa dan diuacapkan selamat
Dahayi mohutu maksiyati
= jaga jangan berbuat maksiyat
Alihu salamati duniya akhirati =
agar selamat dunia akhirat
Begitu juga dengan masyarakat Kampung Empat (Siduan, Sipayo, Soginti dan Bunuyo) yang berada di Kecamatan Paguat, budaya dan adat istiadatnya sangat erat dengan nilai-nilai agama dan tidak terlepas dari nilai kehidupan sehari-hari, apa lagi hal-hal tersebut ada kaitannya dengan prosesi pernikahan secara adat. Masyarakat Kampung Empat merupakan masyarakat Gorontalo , dan menggunakan bahasa Gorontalo , tapi latar belakang sejarahlah maka masyarakat Kampung Empat memiliki adat istiadat tersendiri, dimana dalam melaksananakan adat pernikahan mengikuti apa yang telah di laksanakan turun temurun sejak dahulu. Berdasarkan penelitian yang dilakukan pada bulan mei yang dihasilkan dari beberapa para tokoh, yaitu tokoh agama, tokoh masyarakat, tokoh adat bahwa masyarakat Kampung Empat adalah masyarakat yang masih menggunakan adat Gorontalo disaat melaksanakan suatu perkawinan. Namun dalam pelaksanaannya sedikit memiliki perbedaan, Dimana Disamping mengambil adat-adat yang bersifat umum dan telah merata diseluruh tanah Gorontalo , di Kampung Empat juga membentuk aturan atau adat-adat yang bersifat khusus Kampung Empat memang sangat unik jika dilihat dari pelaksanaan upacara adat pernikahan di kawasan Gorontalo secara umum, baik persiapan dan proses
pelaksanannya dimana bukan hanya dalam hal Pernikahan, namun dalam upacaraupacara lainnya seperti Penobatan, Penyambutan hari-har besar Agama, Pelaksanaan Hari Raya Idul Fitri dan Idul Adha. Walaupun dalam upacara pernikahan khususnya sudah dilaksanakan sudah tidak sesuai karena kurangnya pemahaman masyarakat setempat pada adatnya sendiri. Berdasarkan penelitian yang ada , masyarakat Kampung Empat memang memiliki perbedaan dalam melaksanakan berbagai macam upacara adat, khususnya adat perkawinan yang masih dilaksanakan dengan adat Gorontalo
namun tetap
mempunyai aturan adat tersendiri didalamnya. Maka perlu di kaji dan dipertahankan agar nilai adat pernikahan di Kampung Empat yang memiliki keunikan perlu di lestarikan sebagai wujud keragaman budaya diwilayah Gorontalo khususnya dan indonesia pada umunya. Dan adat juga merupakan sesuatu yang sangat penting bagi seluruh masyrakat yang mendiami suatu daerah, karena adat melambangkan ciri khas dari berbagai daerah itu masing-masing, jadi adat perlu di lestarikan dan di pertahankan bersama. Mempertahankan dan melestarikan nilai adat dengan suatu kekhususan adat dalam wilayah yang berskala kecil memang merupakan tantangan tersendiri bagi pemerintah, tokoh-tokoh pemangku adat, tokoh-tokoh agama, dan tokoh-tokoh masyarakat, juga tokoh bagi masyrakat itu sendiri yang ada didalamnya. Karena wilayah Kampung Empat memiliki adat-istiadat yang membedakan dengan adat Gorontalo pada umumnya. Kampung Empat masih menggunakan adat Gorontalo yang menjujung tinggi akidah-akidah Islam dalam menerapkannya, karena setiap sendi adat yang berada di Gorontalo bernafaskan Islam. Upacara-upacara adat diKampung Empat memang memiliki perbedaan dengan upacar adat gororntalo pada umunya, di Kampung Empat upacara atau prosesi pernikahan pada khususnya bisa dibilang berbeda, namun tetap mempunyai hakekat yang sama. Tahapan-tahapan tersebut dalam prosese pernikahan secara adat di Kampung Empat sebagai berikut :
1. Tata Cara Adat Mongilalo Merupakan acara pemilihan calon istri. Dimana menjadi kewajiban orang rua pihak laki-laki untuk menanyakan langsung ketetapan hati anaknya, untuk memilih calon istri. 2. Tata Cara Adat Mohabari Kunjungan orang tua laki-laki tanpa pemberitahuan, atau kunjungan tidak resmi. 3. Tata Cara Adat Momatata Upilo’Otawa Tiga hari sesudah proses mohabari maka di utuslah oleh pihak keluarga lakilaki ti Utoliya, untuk mendapatkan ketegasan sebagai jawaban dari pihak keluarga perempuan. yang dibawa oleh ti Utoliya adalah selembar kain sejenis sutera, yang berisi dalam tapahula, serta tonggu untuk membuka jalan pembicaraan lebih lanjut dengan diberikannya tonggu pada pihak orang tuaperempuan maka bebaslah pihak laki-laki untuk berbicara. 4. Tata Cara Adat Motolobalango Acara adat Motolobalango ini di adakan sore hari mulai pukul 15.00 sampai dengan selesai. Rombongan turun dari rumah keluarga laki-laki di pimpin oleh luntu dulungo layi‟o atau otoliya, menuju pihak perempuan. Dengan membawa benda-benda budaya diletakan diatas baki (tampan kecil berbentuk bulat) yang telah disiapkan. 5. Tatacara Adat Momu’O Ngango Adat momu‟o ngango bisa disebut Modutu , yang merupakan acara tersendiri, hakekatnya
adalah
pembahasan
terakhir
yang
menyangkut
tekhnik
pelaksanaan pada akhir perkawinan. 6. Tata Cara Adat Moponikah a. Kegiatan Sebelum Hari “H” 1) Membangun Sabuah (Bantayo) Membangun bantayo dilakukan dirumah mempelai wanita dengan istilah “Mo Po’O Tanggalo Bele” yaitu memperluas ruma.
2) Mengundang /Mengedarkan Undangan Mengundang biasanya dilakukan tujuh hari dan paling lambat tiga hari di adaannya pesta. Mengundang sehari sebelum pesta di sebut “Bopilo Himutio” yaitu
hanya
ditambahkan,
biasanya
orang
yang
diundang
enggan
menghadirinya. 3) Mengantarkan Tapahula Umoyohu (Hihito) tapahula umoyohu, di antar oleh penghulu dari pihak laki-laki, utoliya ke tempat mempelai wanita 1 hari sebelum hari h , tepatnya pada jam tiga sore yang berisi wangi-wangiyan lengkap dari toko
seperti minyak ,bedak,
lipstick, dll. b. Kegiatan Pada Hari “H” 1) Dirumah pengantin laki-laki Pengantin laki-laki dipakaikan busana akaji, yaitu Bo‟o Takowa dengan tutup kepala payungga tilambatayla, memakai salendang berhias keris. 2) Dirumah pengantin perempuan Sebelum kedatangan pengantin laki-laki, dirumah pengantin perempuan telah ada kegiatan menerima tamu / Undangan yang menghadiri acara akad nikah. 3) Mongakaji Sebelum acara akad nikah dilaksanakan, maka diadakan dahulu penjemputan (Bulenti Buah) dari kamar hias (Huwali Lo Wadaka) kekamar adat (Huwali Lo Hundia) 4) Molomela Taluhu Tabiyah Acara ini merupakan acara mambatalkan air wudhu baik pengantin laki-laki maupun perempuan. Sebelum di beat dan di akad mereka harus berada dalam keadaan suci, yakni masing-msing telah mengambil air wudhu. 5) Mopopipidu (Menyandingkan) Acara dilanjutkan dengan Mopopipidu. Kedua mempelai bediri dan siap untuk keluar kamar, 6) Mo Male Bohu (memberikan nasehat perkawinan)
Acara palebohu dilaksanakan selesai”Du‟a Lo Nikah”. Kedua mempelai dinasehati oleh seluruh keluarga.nasehat itu diucapkan dalam bentuk puisi yang disebut pale bohu. 7) Modelo Adat dudelo yaitu adat penyerahan atau dalam kata lain “Mopolahu” dimana pengantin perempuan diijinkan untuk berangkat, kerumah orang tua laki-laki. Dilihat dari sumber diatas memang prosesinya masih sama tapi dimasa sekarang hanya di persingkat dengan menggabungkan tahapan-tahapannya, juga tahapan-tahapan yang memang tidak dilaksanakan seperti malam mopotilandahu. Berdasarkan sumber yang ada bahwa prosesi pernikahan secara adat di Kampung Empat dianggap dapat memenuhi tuntutan hidup mereka sekarang dan masa depan keturunannya. Adat nan sabana adat adalah adat yang dibuat oleh manusia atau nenek moyang, tetapi berasal dari alam. Adat nan sabana adat merupakan guru bagi kehidupan manusia. Ia sering disamakan dengan hukum alam atau sering dikatakan sebagai undang-undang Islam. 2. Perbedaan Antara Adat Pernikahan Di Kampung Empat Dengan Adat Gorontalo Di Wilayah Limo Lo Pohala’a Adat atau hukum adat merupakan suatu aturan atau kebiasaan yang sudah diterapkan turun temurun dalam masyarakat indonesia dengan bentuk-bentuk yang berbeda, namun disinilah bentuk keragaman kita bahwa kita merupakan masyrakat yang tertata dan beraturan walaupun dalam skala masyrakat yang relative lebih kecil. Tidak terkecuali dengan adat pernikahan, dimana tidak hanya di atur dalam hukum perdata, tapi telah diatur dalam hukum agama dan hukum adat jauh sebelumnya. Pernikahan yang dilakukan di indonesia dilaksanakan dalam beberapa bentuk tapi umumnya yang dilaksanakan adalah bentuk “perkawinan pinang” Prosesi ini ditandai dengan kunjungan terlebi dahulu dari pihak laki-laki dengan membawa simbol adat dan dilanjutkan dengan prosesi upacara selanjutnya apabila simbol ini diterima, hal ini menunjukan bahwa prosesi pernikahan di indonesia melalui tahapantahapan yang hampir sama walaupun perbedaanya hanya terdapat pada pelaksanaan
tahapan-tahapan tertentu namun tetap menunjukan bahwa masyarakat kita merupakan masyarakat yang beradat dan beragama. Pelaksanaan tahapan-tahapan dalam prosesi pernikahan merupakan suatu ketentuan yang sudah menjadi kebiasaan, karena di atur dalam adat dan agama Islam, dimana dalam agama Islam kita di wajibkan untuk melakukan ta‟arufan sebelum akad nikah. Dalam masyarakat Gorontalo tahapan-tahapan pernikahan atau “lenggota lo nikah ”sudah di atur dalam aturan adat, hal ini dilihat dari semboyan adat yaitu “adat bersendikan syara, syara bersendikan kitabullah”. Tidak terkecuali masyarakat Kampung Empat yang masih suku Gorontalo dan semuanya beragama Islam. Masyarakat Kampung Empat memiliki adat khusus dalam beberapa upacara adat yang berkaitan dengan persiapan maupun prosesi pernikahan yang secara umum dapat dibagi menjadi tiga yaitu dalam yaitu : dalam pembayaran, dalam perlengkapan adat dan dalam prosesi pernikahan. 1. Dalam pembayaran a. Mahar Mahar adalah pembayaran mas kawin oleh pengantin laki-laki kepada pengantin perempuan. Dalam prosesi pernikahan, di Kampung Empat melaksanakan adat pernikahan sama dengan adat Udula’a (Wombu Wala’o), tapi yang menjadi pembeda adalah pembayaran mahar yang memakai mata Uang Real , penggunaan Real dalam pembayaran mahar dalam adat Kampung Empat tidak terlepas dari kedudukan adat di Kecamatan Paguat dimana Kampung Empat Uililinga adalah Tiyombu Tiyamo sedangkan Udula’a adalah Wombu Walao. Jika ditinjau dari sejarahnya dimana pembayaran mahar dalam bentuk real karena Kampung Empat dibentuk sejak kurang lebih empat abad oleh empat mubalig Islam (Olongiya Wopato) dari kerajaan tomini yang berlandaskan Agama Islam. hal ini menjadi pembeda mengapa di wilayah Kampung Empat sendiri tidak mengenal system pembayaran memakai Kati yang di biasa di lakukan dalam pembayaran adat di wilayah Limo Lo Pohala’a
Menariknya, di Kampung Empat sendiri terdapat perbedaan jumlah dalam pembayarn mahar, dimana setiap adat mempunyai sejarah jumlah 45Real Untuk kampung Soginti dan Bunuyo ditambah 10 Real. Hingga sekarang untuk kampung Siduan-Sipayo sama 45 Real dan untuk kampung Soginti-Bunuyo sama 55 Real. Perbedaan adat dalam pembayaran mahar di Kampung Empat di sebabkan oleh sejarah ketika diputuskan bahwa ke Empat Kampung ini akan digabungkan menjadi satu maka, Bunuyo berbagi tempat dengan Soginti , dan menurut sejarah, Kampung Empat ini tidak bisa melanggar batas-batas yang telah di tentukan. Sebelumnya Bunuyo berada di molopoga (Kec.Dengilo sekarang). pembagian wilayah ini sangat tidak menguntungkan bagi Bunuyo dan Soginti , karena daerah ini sempit dan tidak rata, sehingga Bunuyo memutuskan untuk kembali ke kampung halaman (tomini) dan Soginti akan ikut, namun hal ini dapat di selesaikan dengan musyawarah dan lahirlah istilah adat Busungtangans sepuluh real atau dalam bahasa Gorontalo biasa menyebutnya sebagai bustangone, sehingga Bunuyo di pindahkan (Desa Bunuyo sekarang). Dapat disimpulkan bahwa pembayaran mahar sekarang, Siduan dan Sipayo 45 Real sama dengan 72 rupiah, sedang Soginti dan Bunuyo 55 Real sama dengan 88 rupiah tapi ini berlaku dulu dan sekarang menurut sumber, perbandingannya satu real adalah tiga ribu rupiah, dapat dijumlahkan untuk kampung Siduan dan Sipayo 45 real sama dengan 135 ribu rupiah dan untuk kampung Soginti Bunuyo 55 real sama dengan165 ribu rupiah. 2. Perlengkapan Adat Perlengkapan adat adalah segala sesuatu yang harus dipersiapkan untuk menunjang pelaksanaan upacara adat karena perlengkapan adat sebagai simbol dengan makna yang berkaitan erat dengan filosofi adat. Dalam prosesi pernikahan diKampung Empat walaupun pelaksanaannya sama dengan adat Udula’a (Adati Lohulondalo) di Kecamatan
Paguat namun terdapat beberapa perbedaan dalam
perlengkapan. Di Kampung Empat ada sedikit perbedaan yaitu, pembuatan tangga naik (Tolitihu) dan benda-benda budaya. a. Tolitihu (Tangga Naik) Persiapan-persiapan dalam perlengkapan adat pernikahan memang menjadi suatu keharusan dalam prosesi adat pernikahan Gorontalo , di Kampung Empat dalam mempersiapkan Tolitihu (tangga naik) dan perlengkapannya. ini terdapat dua aturan adat yang berlaku jika pernikahan di lakukan oleh keturunan raja (sekarang kepala kampung) maka akan dibuatkan tangga naik (Tolitihu ) dengan perlengkapannya yaitu Ngango Lo Huwayo dari bambu yang di bentuk seperti mulut buaya, yang di pasang dikedua sisinya, pohon pinang yang di tanam pada kedua sisi tangga dan janur kuning dan apabila pernikahan hanya dilakukan oleh rakyat biasa maka tidak di wajibkan memakai Tolitihu dan perlengkapan lainnya. Di Kampung Empat dalam mempersiapkan perlengkapan adat pernikahan pembuatan Tolitihu tidak diwajibkan bagi masyarakat biasa dan hanya di wajibkan bagi para raja (kepala kampung) dan keturunannya. Namun jika melihat keadaan sekarang setiap prosesi adat pernikahan tidak memakai Tolitihu, karena pada zaman dahulu raja bisa menurunkan jabatannya pada anaknya maka hal itu masih berlaku turun temurun sebagai keturunan raja, sekarang kepala kampung atau kepala Desa telah dipilih secara demokrasi dan dalam status sosial dimasa sekarang anak-anak dan keturunan kepala kampung tergolong pada masyarakat biasa. Makna dari Tolitihu sendiri menurut Lihu A.W (2007: 20) bahwa : a. Makna tu‟adu tolitihu adalah kesepakatan dan kerukunan rakyat yang mendukung raja, rakyat selalu patuhpada raja. Sebaliknya raja (olongiya) berjanji akan bertindak secara jujur dan lurus sertamengayomi rakyatnya, apabila ada pelanggaran dari kedua belah pihak, baik rakyat maupun raja maka akibat perjanjian itu akan mengena pada pelanggarnya yang dilambangkan akan diterkam buaya. b. Makna dua pohon pinang yang masih berdaun melambangkan adat yang terus turun temurun dan mengayomi yang didasarkan pada agama dan hukum.
c. Lale atau daun kelapa muda yang tidak digunting melambangkan rakyat dan tuango lipu. d. Dua mulut buaya (Ngango Lo Huayo) melambangkan hukum. b. Benda-benda budaya Benda budaya merangkum segala sesuatu yang dipersiapkan pada Prosesi Motolobalango dan Moponikah (Akad Nikah) yang di taru diatas baki, baki merupakan tanda kesopanan dan tata karma untuk menghormati tamu. Benda-benda adat atau budaya yang harus ada dalam prosesi ini adlah Pada saat Motolobalango (pelamaran) hanya terdapat tiga baki dimana dua baki berisikan sirih, pinang, gambir dan tembakau dan satu baki berisikan mama lo rahasia yang dibungkus dengan sapu tangan, pada saat akad nikah maka jumlah baki yang akan dipersiapkan ada lima baki, yaitu Satu baki berisikan satu Tapahula didalam tapahula berisikan kain ganti pengantin wanita Ngopohuli, Satu baki pembuka jalan (Wunggumo), Satu baki maharu dan Dua baki yang berisikan pinang, sirih, gambir dan tembakau. Makna dari benda-benda adat tadi sama dengan adati lohulondalo tapi tapahula tuwawu merupakan tanda pernikahan (Tuwoto Umonikah). PENUTUP A. Kesimpulan 1. Deskripsi penelitian dan analisis yang peneliti lakukan, maka dapat disimpulkan bahwa prosesi pelaksanaan adat pernikahan di Kampung Empat masih menggunakan adat Gorontalo
karena keseluruhan penduduknya 99,9% masih
suku Gorontalo dan keseluruhan penduduknya memeluk agama Islam. 2. Proses pelaksanaan adat pernikahan di Kampung Empat memiliki perbedaan, hal ini lebih karena dilatar belakangi oleh sejarah panjang masuknya agama Islam dari kerajaan Ogomojolo (tomini) ke kerajaan hulondalangi (Gorontalo) dan terbentuknya Kampung Empat sendiri. Perbedaan antara adat pernikahan di Kampung Empat dengan adat Gorontalo pada umumnya. Ada tiga hal yaitu :
a. Dalam Pembayaran (Mahar) b. Dalam Perlengkapan Adat (Pembuatan Tolitihu Dan Persiapan BendaBenda Budaya) c. Dalam Prosesi (Tujai dan Malam Hari H „Mopotilandahu’) B. Saran Berdasarkan deskripsi hasil penelitiandan simpulan diatas maka penulis dapat menagajukan beberapa saran : 1. Di harapkan kepada seluruh masyarakat Kecamatan Paguat khususnya di Kampung Empat terutama tokoh adat, tokoh agama, tokoh pemuda, agar menjaga, memahami, mempertahankan dan melestarikan adat istiadatnya sebagai bentuk keragaman dan kekayaan budaya agar dijadikan cermin untuk pedoman kehidupan generasi mendatang. 2. Di harapkan pada generasi muda agar tidak menyampingkan adat-adat yang telah diwariskan oleh nenek moyang kita, dan harus lebih memahami keragamannya agar generasi muda sebagai estafet penerus tidak dibuat bingung dengan perbedan-perbedaan dan masih bisa menyumbangkannya kembali untuk generasi yang selanjutnya. 3. Kepada pihak pemerintah disarankan terus memperhatikan dan tetap melestarikan adat-istiadat pernikahan di Kampung Empat, untuk di dokumentasikan dan di arsipkan sebagai bentuk kekayaan budaya Gorontalo . DAFTAR PUSTAKA Farha Daulima. 2003. Tata Cara Adat Perkawinan Gorontalo. Gorontalo : Forum Suara Perempuan. Giu. T. A. 1971. Adat-Istiadat Kampung Empat. Sipayo Lihu A.W dan Sumakso Katili. 2007. Kumpulan Tulisan Pelestarian Budaya Gorontalo. Gorontalo. Dinas Parawisata Seni Dan Budaya. Medi Botutihe dan Parha Daulima. 2003. Tata Upacara Adat Gorontalo. Gorontalo : Pemerintah Daerah.