1
SUKU MONGONDOW (Studi Sejarah Sosial di Kecamatan Lolak ) Jurusan Pendidikan Sejarah Fakultas Ilmu Sosial Universitas Negeri Gorontalo 2015
ABSTRAK Sutri E Pontoh. 2015. “Suku Mongondow (Studi Sejarah Sosial di Kecamatan Lolak)”. Skripsi, Jurusan Pendidikan Sejarah, Fakultas Ilmu Sosial, Universitas Negeri Gorontalo. Sutrisno Mohamad, S.Pd., M.Pd dan Rudy Harold, S.Th., M.Si. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui perkembangan kehidupan sosial suku Mongondow di Kecamatan Lolak. Penelitian ini menggunakan batasan waktu yang dimulai dari asal usul suku Mongondow di Kecamatan Lolak dan Kerajaan Bolaang Mongondow. Penelitian ini menggunakan metode penelitian sejarah yang terdiri dari empat langkah yakni pengumpulan sumber, kritik sumber, interpretasi, dan historiografi. Sumber yang paling sering digunakan pada penelitian ini adalah sumber sekunder yang dapat berupa buku yang telah ditulis oleh peneliti sebelumnya. Begitu pula dengan sejarah lisan yang termasuk sumber sekunder karena orang yang menjadi informan hanya generasi selanjutnya dan bukanlah generasi pertama. Namun, dengan analisis berdasarkan pendekatan ilmu – ilmu sosial lainnya, maka historiografi ini diharapkan mampu menghadirkan sebuah narasi sejarah yang kritis. Hasil penelitian menunjukkan bahwa pada intinya semua dinamika perkembangan kehidupan sosial yang dialami suku Mongondow merupakan dampak dari interaksi dengan dunia luar. Kekuatan – kekuatan itulah yang menjadi faktor penentu dalam roh gerak perubahan kehidupan sosial suku Mongondow di Lolak. Tentu faktor tersebut bukanlah faktor satu – satunya yang menentukan perkembangan tersebut. Masih ada faktor lainnya seperti faktor dari dalam. Dalam artian bahwa terdapat sifat yang progres dalam diri seorang suku Mongondow, hal ini tentu merupakan sesuatu yang manusiawi mengingat manusia dibekali akal dan juga pikiran dan dapat digunakan untuk perkembangan kehidupannya sendiri.
Kata Kunci
:
Suku Mongondow, Sejarah Sosial, Kecamatan Lolak
Nama : Sutri E Pontoh Nim : 231410034 Judul : Suku Mongondow (Studi Sejarah Sosial di Kecamatan Lolak) Pembimbing : 1. Sutrisno Mohamad, S.Pd, M.Pd 2. Rudy Harold S.Th. M.Si
2
Kabupaten Bolaang Mongondow yang direncanakan akan pisah dari Provinsi Sulawesi Utara menjadi Provinsi Bolaang Mongondow Raya terdiri dari lima wilayah yakni Kabupaten Bolaang Mongondow, Kabupaten Bolang Mongondow Utara, Kabupaten Bolaang Mongondow Selatan, Kabupaten Bolaang Mongondow Timur dan Kota Kotamobagu. Sebagaimana daerah lainnya, Bolaang Mongondow sebagai salah satu daerah di Indonesia yang terkenal dengan multikulturalnya menyimpan sejarah tersendiri yang melatarbelakangi perkembangan sosial, budaya dan politik. Sebagai daerah dengan tingkat kepedulian daerah yang masih begitu tinggi, Bolaang Mongondow terkenal dengan sejarah yang membentuk struktur masyarakatnya sendiri, karena disadari atau tidak terlepas dari nilai moralnya, norma-norma yang menjelma dari kebiasaan masyarakat Bolaang Mongondow dengan sendirinya akan terlembagakan. Menurut cerita rakyat yang berkembang bahwa asal mula Suku Mongondow berasal dari keturunan Gumalangit dan Tendeduata serta Tumotoibokol dan Tumotoibokat. Tempat tinggal mereka di gunung Komasaan (wilayah Bintauna). Makin lama turunan kedua keluarga itu semakin banyak, sehingga mereka mulai menyebar ke timur di Tudu in Lombagin, Buntalo, Pondoli', Ginolantungan. Ke pedalaman di tempat bernama Tudu in Passi, Tudu in Lolayan, Tudu in Sia', Tudu in Bumbungon, Mahag, Siniow dan lain-lain. Peristiwa perpindahan ini terjadi sekitar abad 8 dan 9. Pokok pencaharian adalah berburu, mengolah sagu hutan, atau mencari sejenis umbi hutan, menangkap ikan. Pada umumnya mereka belum mengenal cara bercocok tanam. dalam perkembangan selanjutnya Suku Mongondow mendirikan kerajaan dengan nama Kerajaan Bolaang. Kerajaan Bolaang di kemudian hari lebih dikenal sebagai kerajaan Bolaang Mongondow. Seperti pada umumnya di Indonesia, wilayah Kerajaan Bolaang Mongondow juga menjadi bagian dari wilayah jajahan Belanda saat masa penjajahan di Indonesia. Pada masa itu, Kerajaan Bolaang Mongondow telah berinteraksi dengan para pedagang Belanda yang tergabung dalam satu perkumpulan yang dikenal dengan VOC. Salah satu dampak dari 3
interaksi tersebut adalah suku Mongondow yang pada umumnya banyak mendiami Kerajaan Bolaang Mongondow mengenal berbagai bahan perdagangan yang diperdagangkan di wilayah Eropa. Tidak hanya itu, suku Mongondow dalam perkembangan selanjutnya juga diperkenalkan dengan ajaran agama Kristen. Pemerintah Kolonial Belanda banyak mendirikan sekolah Kristen dan mengirim pendeta di tanah totabuan. Dengan demikian, maka suku Mongondow telah bersentuhan dengan kekuatan dari luar yang memungkinkan terjadinya perubahan sosial. Memasuki awal abad ke – 21, suku Mongondow mengalami perubahan yang cukup berarti sebagai akibat dari kebijakan pemerintah Belanda. Pada umumnya di Indonesia pada periode tersebut diterapkan kebijakan politik etis dengan maksud untuk membalas jasa orang Indonesia yang selama ini telah banyak diberikan kepada pemerintah Belanda. Kebijakan politik etis yang terdiri dari pendidikan, irigasi, dan transmigrasi, telah memberikan dampak yang cukup besar bagi Indonesia termasuk bagi suku Mongondow. Pada masa ini banyak suku Mongondow yang kemudian telah mendapatkan pendidikan sehingga menjadi landasan pemikiran tentang kemerdekaan dari penjajahan Belanda. Salah satu tokoh pergerakan orang Mongondow adalah Adampe Dolot. Dia adalah pemimpin Partai Sarikat Islam di Bolaang Mongondow. Masa inilah menjadi bagian penting dimana suku Mongondow telah mengenal konsep pemikiran nasionalis sehingga berjuang dalam perebutan kemerdekaan. Jika dilihat dalam perspektif sejarah, suku Mongondow telah banyak mengalami perubahan yang cukup penting dalam setiap periode kehidupan yang dilalui. Sampai dengan saat ini, suku Mongondow telah banyak mendapatkan akses dalam pengembangan sumber daya manusianya seperti pendidikan dan kesehatan. Di masa awal abad ke – 21 sekarang, suku Mongondow dengan semangat persatuan dan merasa satu kesatuan di wilayah Totabuan, satu pengalaman mentalitas, dan satu tujuan untuk membangun daerah Bolaang Mongondow yang lebih baik, maka mulailah muncul gagasan untuk membentuk satu daerah otonomi baru tingkat provinsi dengan nama Provinsi Bolaang Mongondow Raya. Sampai dengan hari ini, masih terus diperjuangkan. Sehubungan dengan uraian di atas, peneliti ingin melakukan penelitian lebih lanjut tentang sejarah suku Mongondow dengan mengangkat judul penelitian yakni “Suku Mongondow (Studi Sejarah Sosial di Kecamatan Lolak)”. Agar penelitian lebih terarah dan juga tidak melahirkan penafsiran yang bercabang, maka penelitian ini akan memfokuskan pada studi sejarah sosial. Sejarah sosial yang dimaksudkan pada penelitian ini adalah 4
menyangkut perubahan sosial yang dialami oleh suku Mongondow. Perubahan sosial inilah yang akan menjadi fokus penelitian yang terkait dengan suku Mongondow karena salah satu tema pokok dalam sejarah sosial adalah perubahan sosial itu sendiri. Dalam sudut pandang temporal (waktu), penelitian ini akan difokuskan pada masa Kerajaan Bolaang Mongondow yaitu pada tahun 1653 sampai dengan 1950. Pada periode ini, suku Mongondow banyak diperhadapkan oleh berbagai perubahan akibat interaksi dengan dunia luar. Metode Penelitian Prosedur penelitian ini akan mengikuti tahapan-tahapan dalam metodologi sejarah yang mencakup empat tahap yaitu pengumpulan sumber (heuristik), pengujian sumber (kritik), sintesis dan penulisan sejarah (historiografi). Hubungan antara metode sejarah dan penggunaan sumber seharah sangat erat. Penulisan sejarah hanya dapat dilakukan jika ada sumber atau ada dokumen peninggalan masa lampau. Tanpa sumber sejarah, sebuah karya seharag tidak akan bisa ditulis. Heuristik (Pengumpulan Sumber) Menentukan topik penelitian, peneliti sejarah akan melakukan langkah pertama dalam metode sejarah. Tahap ini disebut tahap pengumpulan data atau sumber, baik sumber primer ataupun sekunder tertulis atau tidak tertulis yang memiliki keterkaitan dengan topik penelitian yaitu Suku Mongondow (Studi Sejarah Sosial di Kecamatan Lolak). Setelah menentukan topik ataupun tema apa yang akan menjadi fokus penelitian, maka langkah selanjutnya adalah heuristik atau pengumpulan sumber. Pada langkah ini, peneliti sudah mulai memasuki lapangan penelitian. Konsep yang secara teoritik tercantum dalam proposal akan ditantang dalam dunia praktek penelitian. Heuristik adalah langkah awal dalam penelitian sejarah Sumber-sumber tertulis dan lisan terbagi atas dua jenis yaitu sumber primer dan sumber sekunder. Sumber primer ialah kesaksian baik tertulis maupun lisan dari seorang saksi mata atau saksi dengan panca indra yang lain, atau dengan alat mekanis yakni alat yang hadir pada peristiwa yang diceritakannya. Sebuah sumber sekunder merupakan kesaksian dari siapapun yang bukan merupakan saksi mata, yaitu kesaksian dari seorang tidak hadir pada peristiwa yang dikisahkannya, oleh karena itu sumber primer harus dihasilkan dari seorang saksi yang sezaman dengan peristiwa yang dikisahkannya. Sumber primer itu tidak harus asli dalam arti versi tulisan pertama namun dapat pula berupa salinan (copy) dari aslinya. Dengan demikian unsur primer lebih mengutamakan sumber primer daripada sumber sekunder.
5
Langkah selanjutnya setelah mengumpulkan sumber-sumber terkait maka peneliti akan melakukan langkah selanjutnya yaitu proses pengkritikan Kritik sumber Pada tahap ini sumber-sumber yang telah dikumpulkan harus dikritik untuk dipastikan kredibilitasnya sebagai bahan penulisan. Dalam metode sejarah terdapat cara melakukan kritik eksteren dan kritik intern. Kritik eksteren berfungsi untuk menentukan otensitas sebuah sumber sejarah, apakah sumber itu asli atau palsu secara fisik. Untuk dapat memastikan apakah sumber otentik atau tidak, peneliti sejarah harus mengajukan paling tidak lama pertanyaan terhadap sumber sejarah. a) Kapan sumber sejarah itu dibuat (tanggal)? b) Dimana naskah itu dibuat (lokasi)? c) Siapakah yang membuat (penulis)? d) Dari bahan apakah sumber itu (analisis bahan)? e) Apakah sumber sejarah asli atau tidak (integritas)? Apabila sumber sejarah dapat menjawab pertanyaan-pertanyaan tersebut secara tepat dan meyakinkan, maka sumber-sumber sejarah tersebut dapat dikatakan otentik. Untuk keperluan itu dibutuhkan ilmu-ilmu lain seperti paleografi, epigrafi, genealogi, numismatic dan sebagainya. Interpretasi Tahap ini berguna untuk mencari hubungan antara fakta-fakta yang ditemukan berdasarkan hubungan kronoligis dan sebab akibat dengan melakukan imajinasi, interpretasi, dan teorisasi (analisis). Hal ini diperlukan karena seringkali fakta-fakta sejarah yang diperoleh dari sumber yang telah dikritik belum menunjukkan suatu kebulatan yang bermakna dan baru merupakan kumpulan fakta yang saling berhubungan. Historiografi Tahap terakhir dalam metode sejarah adalah historografi, yaitu kegiatan merekonstruksi peristiwa masa lampau dalam bentuk kisah sejarah yang harus dituangkan secara tertulis. Dalam hal ini bakat dan kemampuan menulis seorang peneliti sejarah sangat mewarnai tulisannya HASIL DAN PEMBAHASAN Asal Mula Suku Mongondow Suku Mongondow, adalah salah satu suku yang terdapat di pulau Sulawesi Indonesia. Tepatnya berada di kabupaten Bolaang Mongondow. Populasi suku Mongondow pada sensus 6
1989 adalah sebesar 900.000 orang. Di wilayah Mongondow, dahulu pernah berdiri sebuah Kerajaan Bolaang Mongdondow sekitar abad 14. dengan Mokodoludud sebagai Punu atau Raja, yang pertama. Kerajaan ini sempat bertahan selama 500 tahun, hingga akhirnya Kerajaan Bolaang Mongdondow bergabung dengan NKRI pada tahun 1958. Setelah bergabung maka wilayah Kerajaan Bolaang Mongdondow menjadi kabupaten Bolaang Mongondow. Asal mula suku Mongondow yang diuraikan diatas merupakan uraian berdasarkan cerita rakyat yang berkembang di masyarakat dan bisa dikatakan merupakan pengetahuan umum yang dipahami oleh sebagian besar suku Mongondow. Namun sumber tersebut bukanlah satu – satunya sumber yang menjelaskan bagaimana asal mula orang – orang Mongondow. Hasyim Mokoginta, 1996 : 56). mengatakan bahwa mengenai asal usul penduduk Bolaang Mongondow banyak yang berpendapat bahwa mereka berasal dari Filipina, terutama dari pulau Mindanau. Dugaan ini diperkuat dengan data bahasa (bukan kesamaan bahasa) antara bahasa Tagalog di Filipina dan bahasa Mongondow. Misalnya, kata – kata yang sama arti dan penggunaanya seperti loluwang (jalan), tondok (pagar), tubig (air), manuk (ayam), penghulu, dan sebagainya. Kemudian kalau dilihat dari aspek antropologis, struktur fisik antara orang – orang Mindanau dengan Bolaang Mongondow hampir tidak ada perbedaan yang menyolok. Mengenai cerita asal usul penduduk di Bolaang Mongondow yang menjadi cikal bakal keberadaan suku mongondow yang diuraikan berdasakan cerita rakyat kedengaran sangat aneh dan mungkin tidak rasional. Sehingganya perlu sebuah pemikiran analisis yang mengarah pada rasionalitas. Seperti misalnya cerita mengenai Tendeduata yang berasal dari pecahan bambu kuning, jika dianalisis secara nalar maka konteks probabilitas yang dapat diterima akal sehat memperkirakan, Tendeduata sedang menyembunyikan diri dalam rumpun bambu ketika Gumolangit mengambil seruas bambu. Begitu juga halnya dengan cerita mengenai Tumotoi Bokol dan Tumotoi Bokat. Keduanya dikategorikan sebagai manusia 7
pendatang (imigran). Menurut sejarah penduduk Indonesia, asal – usul mereka datang dari rumpun palae mongoloid di Indo Cina dan Asia Tenggara. Karena mereka tiba di daratan Bolaang Mongondow melalui laut, maka dinamakan Tumotoi Bokol dan Tumotoi Bokat (Hasyim Mokoginta dalam Reiner Emyot Ointoe dan M. Firasat Mokodompit, 1996 : 56). Berdasarkan tulisan dari tim Litbang Amabom (2013 : 30) mengatakan bahwa berdasarkan ciri – ciri fisik orang Mongondow kuat dugaan bahwa mereka termasuk dalam rumpun ras Melayu Muda atau Neo Malayan Mongoloid yaitu para pendatang dari daratan Asia yang berciri atau paling tidak masih menunjukkan ciri khas fisik mongoloid. Ciri – ciri ras mongoloid yang bisa dilihat pada orang – orang Bolaang Mongondow adalah adanya tanda di pinggul anak mongondow ketika lahir berwarna kebiru – biruan. Ciri – ciri lain dapat dilihat pada bentuk tubuh, hidung, dan kepala pada umumnya orang Mongondow tidak memiliki hidung yang ekstrim mancung (Hipper Rhime) tetapi ada diantara tidak terlalu mancung (Mezo Rhime) sampai pesek (Plate Rhime). Bentuk kepala dan rahang tidak terlalu lebar (Hiper Brachi Chepalis) tetapi Mezo Chepalis, warna kulit antara kuning dan sawo matang. Diduga bahwa etnik Mongondow berasal dari Tonkin, menyeberang ke laut selatan pulau – pulau Palawan, Basilan, Mindanau dan terdampar di Pantai Utara Bolaang Mongondow. Jika dilihat dari segi linguistik / bahasa, orang Mongondow sangat berkerabat dengan bahasa Tagalog di Filipina, hal ini membuktikan bahwa sebaran orang Melayu Mongoloid ke lautan selatan melalui kepulauan yang tersebut di atas. Sistem Gotong – Royong Suku Mongondow Uraian dalam sub bab ini secara keseluruhan menggambarkan bagaimana kehidupan sosial suku Mongondow di Lolak dalam masa kontemporer atau kekinian sebagai lanjutan dari kehidupan masa lampau suku Mongondow yang telah banyak melalui dan mengalami berbagai perubahan. Adat Istiadat Suku Mongondow
8
Berdasarkan hasil wawancara dijelaskan bahwa salah satu adat kebiasaan orang Mongondow diantaranya adalah adat perkawinan. Suku Mongondow di Masa Kerajaan Sebelum memasuki masa Kerajaan Bolaang Mongondow dengan raja sebagai pemimpinnya, di kawasan ini dikenal sebutan Punu (yang dijagokan dan dituakan) yang memimpin pemukiman – pemukiman baru (Totabuan) yang berada di kawasan Bolaang Mongondow termasuk juga Lolak. Punu ini dipilih oleh para Bogani yang memimpin masing – masing Totabuan. Pada masa ini Bogani yang ada di Lolak juga turut berpartisipasi pada pemilihan Punu tersebut. Pengangkatan punu sebagai pimpinan tertinggi bertujuan untuk mengatur kehidupan seluruh penduduk yang mendiami daerah Bolaang Mongondow. Punu pertama yang diangkat oleh para Bogani adalah Mokodoludut (1400 – 1460). Mokodoludut dianggap oleh para Bogani sebagai orang sakti dan juga merupakan keturunan dewa. Seterusnya berlakulah sistem pengangkatan Punu secara turun temurun dimana kalau Punu I sudah tua atau meninggal dunia akan digantikan puteranya dan seterusnya. Sistem seperti ini merupakan awal terciptanya sistem pemerintahan kerajaan Bolaang Mongondow. Adapun pimpinan – pimpinan tertinggi Bolaang Mongondow yang masih bergelar Punu adalah Punu Mokodoludut. Suku Mongondow dan Penjajahan Belanda Sebelum masuknya pengaruh bangsa Belanda melalui VOC, maka kehidupan sosial suku Mongondow di Lolak masih bersifat tradisional, bahkan sampai dengan masa kemerdekaan Indonesia. Orang – orang pada saat itu masih bertempat tinggal di rumah – rumah tinggi dengan pemandangan babi yang berkeliaran di bawah rumah. Jika mereka berburu maka akan menyediakan tombak dan beberapa ekor anjing. Sebagian orang menyediakan pukat dan menyiapkan jerat (dodeso). Hasil buruan di kumpul di para – para untuk dikeringkan. Setelah banyak hasil buruan yang telah kering baru kemudian dibawa ke kampung dan secara bersama – sama keluarga dan sanak saudara menikmati hasil buruan tersebut. Suku Mongondow dan Pembangunan Daerah 1954 - 1956 Setelah
Indonesia
merdeka,
maka
tantangan
selanjutnya
adalah
bagaimana
pembangunan bangsa Indonesia ke depan sesuai dengan cita – cita proklamasi dan tujuan berdirinya negara yang tercantum dalam pembukaan Undang – Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. Seluruh warga masyarakat berkewajiban memberikan sumbangsih dalam pembangunan bangsa tidak terkecuali Suku Mongondow. Apalagi 9
berbicara mengenai pembangunan Bolaang Mongondow. Sebagai proses penyerahan kedaulatan pemerintahan kolonial Belanda kepada Pemerintah Republik Indonesia maka sejak bulan Januari sampai dengan Juli tahun 1950, kekuasaan eksekutif di Bolaang Mongondow termasuk wilayah Lolak dipegang sepenuhnya oleh raja karena jabatan Controleur sebagai alat pemerintah kolonial Belanda telah dihapuskan. Raja yang memerintah saat itu adalah raja Heni Yusuf Cornelis Manoppo. Raja ini dikenal sebagai raja terakhir dalam struktur pemerintahan Kerajaan Bolaang Mongondow karena pada masa pemerintahannya terjadi tuntutan besar – besaran yang dipelopori oleh Partai Syarikat Islam Indonesia (PSII) dibawah pimpinan Zakaria Imban, untuk menghapuskan sistem kerajaan dengan sistem stratifikasi sosialnya. Hal ini terjadi karena PSII memandang sistem kerajaan seperti itu tidak sesuai dengan syariat Islam
PENUTUP Simpulan Kehidupan sosial suku Mongondow di Lolak pada khususnya dan di Kabupaten Bolaang Mongondow pada umumnya telah mengalami perkembangan yang berarti. Sebagaimana pada umumnya suku bangsa yang ada di Indonesia yang mengalami perkembangan sebagai akibat dari interaksi dengan kekuatan – kekuatan dari luar. Pada masa kerajaan, suku Mongondow di Lolak telah berinteraksi dengan pendatang dari luar seperti pedagang Portugis dan Spanyol, pedagang Islam dari Ternate maupun Gorontalo. Interaksi ini telah membawa dampak perubahan pada tatanan kehidupan sosial suku Mongondow di Lolak. Dengan kedatang mereka, suku Mongondow telah diperkenalkan dengan ajaran baru dari agama besar di dunia yaitu Islam dan Kristen. Masuknya agama – agama tersebut telah berdampak pada proses akulturasi budaya dan juga penghapusan sistem yang lama seperti stratifikasi sosial dalam kerajaan Bolaang Mongondow. Penghapusan ini dilakukan karena dianggap bertentangan dengan ajaran agama Islam yang saat itu berkembang pesat dan bahkan sampai dengan saat ini. Tidak hanya itu, kedatangan para pedagang Portugis dan Spanyol telah membawa pengaruh dalam kehidupan sosial ekonomi suku Mongondow. Mereka telah diperkenalkan dengan sistem bercocok tanam yang modern dan juga jenis tanaman baru seperti jagung dan palawija. Hal ini dapat memberikan keuntungan secara ekonomis bagi suku Mongondow 10
Ketika bangsa Belanda masuk dan kemudian menancapkan pengaruhnya di tanah Totabuan, suku Mongondow kembali diperhadapkan dengan perubahan pada tatanan kehidupan sosialnya. Urusan pemerintahan Kerajaan Bolaang Mongondow telah di intervensi. Ini berdampak pada kewibawaan seorang raja di depan masyarakatnya. Selain itu pula, pendidikan barat juga telah diperkenalkan sehingga pola pikir dan perilaku suku Mongondow di Lolak telah berubah menjadi modern. Banyak tokoh – tokoh suku Mongondow yang masuk dan berkecimpung dalam pergerakan nasional sebagai konsekuensi perkembangan pendidikan di Bolaang Mongondow yang didalamya termasuk Lolak. Sampai pada masa Indonesia merdeka dan saat ini, suku Mongondow telah mengalami perkembangan tidak hanya secara materi tetapi juga pola pikir dan pengetahuan yang memadai untuk berkontribusi dalam pembangunan daerah. Pada intinya semua dinamika perkembangan kehidupan sosial yang dialami suku Mongondow merupakan dampak dari interaksi dengan dunia luar. Kekuatan – kekuatan itulah yang menjadi faktor penentu dalam rah gerak perubahan kehidupan sosial suku Mongondow di Lolak. Tentu faktor tersebut bukanlah faktor satu – satunya yang menentukan perkembangan tersebut. Masih ada faktor lainnya seperti faktor dari dalam. Dalam artian bahwa terdapat sifat yang progres dalam diri seorang suku Mongondow, hal ini tentu merupakan sesuatu yang manusiawi mengingat manusia dibekali akal dan juga pikiran dan dapat digunakan untuk perkembangan kehidupannya sendiri.
Saran Sesuai dengan hasil penelitian diatas, maka penulis memberikan saran yang dapat direkomendasikan : 1. Pemerintah : mengeluarkan kebijakan yang dapat melestarikan nilai adat istiadat suku Mongondow sebagai satu kekayaan budaya di Bolaang Mongondow. 2. Masyarakat : selalu menjaga nilai – nilai kekeluargaan dan mencegah terjadinya sifat sukuisme yang berlebihan.
11
DAFTAR PUSTAKA
Abd. Haris Mokoagow dkk. 2003. Sejarah Bolaang Mongondow, Jakarta : CV Cakra Media
A Daliman, 2012. Metode penelitian sejarah, Yogyakarta. Ombak
A J. Pagansa, A. Majaan, N.D. Manoppo. 1983. Sejarah Daerah Bolaang Mongondo, Kotamobagu (Naskah Departeman Pendidikan dan Kebudayaan Kabupaten Bolaang Mongondow)
Bambang Purwanto. 2006. Gagalnya Historiografi Indonesiasentris, Yogyakarta : Ombak
Bernard Ginupit. 1996. Kebudayaan Daerah Bolaang Mongondow, Manado (tanpa penerbit)
Hasyim Mokoginta. 1996. Mitologi dan Asal Usul Masyarakat Bolaang Mongondow, dalam Reiner Emyot Ointoe dan M. Firasat Mokodompit (Penyunting). Bolaang Mongondow : Etnik, Budaya, dan Perubahan. Manado : Yayasan Bogani Karya.
Helius Sjamsudin. 2012. Metodologi Sejarah, Yogyakarta : Ombak
Jopie Paruntu. 1996. Peningkatan Kualitas Sumber Daya Manusia di Kabupaten Tingkat II Bolaang Mongondow, dalam Reiner Emyot Ointoe dan M. Firasat Mokodompit (Penyunting). Bolaang Mongondow : Etnik, Budaya, dan Perubahan. Manado : Yayasan Bogani Karya 12
Kuntowijoyo. 2003. Metodologi Sejarah, Yogyakarta : Tiara Wacana Yogya M.C. Ricklefs. 2010. Sejarah Indonesia Modern 1200 – 2008, Jakarta : PT. Serambi Ilmu Semesta Mona Lohanda. 2011. Membaca Sumber Menulis Sejarah, Yogyakarta : Ombak Sartono Kartodirdjo. 1982. Pemikiran dan Perkembangan Historiografi Indonesia, Jakarta : PT. Gramedia ________________. 1992. Pendekatan Ilmu Sosial Dalam Metodologi Sejarah, Jakarta : Gramedia Pustaka Utama _________________. 2013. Sejarah Sosial, dalam M. Nursam (Penyunting). Sejarah Sosial : Konseptualisasi, Model dan Tantangannya, Yogyakarta : Ombak.
Soerjono Soekanto. 2006. SOSIOLOGI Suatu Pengantar, Jakarta : PT. Raja Grafindo Persada Sugeng Priyadi. 2011. Metode Penelitian Sejarah, Yogyakarta : Pustaka Pelajar Bekerja Sama Dengan Program Studi Pendidikan Sejarah Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan Universitas Muhammadiyah Purwokerto _______________. 2012. Metode Penelitian Pendidikan Sejarah, Yogyakarta : Ombak Tim Litbang Amabom. 2013. Gelar Adat Dalam Catatan dan Sejarah Bolaang Mongondow, Kotamobagu : Litbang AMABOM Z.A. Lantong. 1996. Mengenal Bolaang Mongondow, Kotamobagu : U.D Asli Totabuan. ________________. 1995. Sejarah Islam di Bolaang Mongondow, Kotamobagu : Yayasan Cipta Karya Nusa
13