STRATIFIKASI SOSIAL BERBASIS MARGA ( Studi Kasus tentang Perkawinan berdasarkan status marga di Desa Sonuo Kecamatan Bolangitang Barat Kabupaten Bolaang Mongondow Utara) 1
Oleh Yulianti Van Gobel, Rauf A Hatu*, Sainudin Latare** Jurusan Sosiologi, Fakultas Ilmu Sosial Universitas Negeri Gorontalo Email :
[email protected]
ABSTRAK Van Gobel, Yulianti. 2015. Stratifikasi Sosial Berbasis Marga (Studi Kasus tentang Perkawinan berdasarkan status marga di Desa Sonuo Kecamatan Bolangitang Barat Kabupaten Bolaang Mongondow Utara). Skripsi, Jurusan Sosiologi, Fakultas Ilmu Sosial, Universitas Negeri Gorontalo, Pembimbing I DR.H. Rauf A. Hatu M.Si pembimbing II Sainudin Latare, S.Pd., M.Si. Penelitian ini dilakukan untuk mengetahui bagaimana Bagaimana stratifikasi sosial berbasis marga dalam pelaksanaan perkawinan di Desa Sonuo Kecamatan Bolangitang Barat saat ini yakni dengan menggunakan teori stratifikasi sosial dan metode dalam penelitian ini menggunakan pendekatan kualitatif dengan metode studi kasus. Hasil penelitian menyimpulkan bahwa stratifikasi sosial berbasis marga yang berimplikasi pada perkawinan di Desa Sonuo merupakan aturan yang dibawa sejak jaman kerajaan, dimana orang dengan marga Pontoh atau keturunan Raja , mereka adalah bangsawan yang harus dihormati, yang berbeda dengan masyarakat yang bermarga biasa,cara berbicara dengan mereka harus sopan, pada pernikahan mereka yang bermarga Pontoh menerima mahar tambahan terbanyak,mereka memilih melakukan perjodohan dengan anak mereka karena mereka sangat selektif dalam mencari pasangan hidup, mereka tidak menikahkan anak mereka dengan masyarakat biasa yang meski saat ini hal tersebut sudah tidak sekental dulu, mereka lebih memilih menikahkan anak mereka dengan sesama kerabat keluarga, dengan perhelatan pernikahan yang mewah, serta ongkos pernikahan yang tidak sedikit, yang berbeda dengan masyarakat yang bermarga menengah, dan bawah, yang tidak terlalu selektif dalam memilih pasangan hidup dan tak terbebani dengan pernikahan yang mewah karena mereka hanyalah masyarakat biasa. Kata Kunci: Stratifikasi Sosial, Marga, dan Perrkawinan
1
Yulianti Van Gobel, 281411019, Jurusan S1 Sosiologi, Fakultas Ilmu Sosial, Dr.H.Rauf A Hatu M.Si, Sainudin Latare S.Pd.,M.Si
PENDAHULUAN Stratifikasi sosial diyakini terjadi dalam suatu kelompok masyarakat bahkan dalam komunitas kecilpun, misalnya dalam keluarga, dimana suami merupakan kepala rumah tangga dan tentu saja memiliki strata tertinggi dibandingkan istri dan anak-anak dalam keluarga. Stratifikasi biasanya digunakan untuk mengklasifikasikan seseorang dengan strata high, middle, dan low, baik dari segi jabatan status sosialnya, bahkan di Desa Sonuo masyarakat diklasifikasikan berdasarkan sistem kekerabatan yakni marga. Marga adalah nama keluarga yang digunakan oleh orang untuk memberikan identitas dari keluarga mana dia berasal. Sangat banyak marga di dunia ini, biasanya di indonesia marga terletak di belakang nama seseorang. Berbeda dengan negara-negara lain seperti Cina dan Hongkong, mereka menggunakan marga di depan nama mereka karena menurut mereka, meletakkan marga di depan nama adalah salah satu pengahargaan terhadap para leluhur, dan mereka adalah orang-orang yang sangat menghargai leluhur. Marga ini diturunkan berasarkan garis patrilineal atau garis keturunan ayah, namun ada juga yang memberikan marga berdasarkan garis matrilineal. Di Daerah bolaang Mongondow Utara, memiliki tradisi yang mengagungkan marga yang menurut masyarakat setempat merupakan marga yang merupakan garis keturunan raja jaman dahulu (ningrat). Hal ini jelas menciptakan kelas sosial dalam masyarakat, dimana tingkah laku masyarakat yang telah membudaya sejak jaman dahulu kala, jika ada satu keluarga atau orang yang memiliki marga-marga yang merupakan marga elite diperlakukan dengan sangat sopan, mulai dari bahasa yang digunakan, sapaan, bahkan dalam proses pemerintahanpun marga elitelah yang paling sering memegang kekuasaan, tak luput pula dari hal ini, pemberian harta dalam pernikahanpun sedikit banyaknya ditentukan oleh marga. Di daerah bolaang Mongondow Utara terdapat satu budaya yakni pemberian harta pernikahan diluar dari harta mahar yang merupakan tambahan atau pemberian dari pihak mempelai pria kepada mempelai wanita, harta tersebut biasanya yang diberikan adalah sawah atau pohon kelapa, tetapi sebagian besar harta tersebut diberikan dalam bentuk pohon kelapa. Jumlah dari pohon kelapa tersebut ditentukan oleh apa marga dari mempelai perempuan yang dinikahinya itu, dan setiap marga memiliki jumlah berbeda-beda dalam setiap pemberian harta tersebut. Menurut pengamatan penulis, marga ini merupakan salah satu sebab terjadinya stratifikasi sosial atau lapisan-lapisan sosial pada masyarakat di daerah Bolaang Mongondow Utara khususnya Desa Sonuo. Maka penulis tertarik melakukan penelitian guna mengetahui pandangan masyarakat mengenai hal ini, dan penulis mengangkat judul “Stratifikasi Sosial Berbasis Marga (Studi Kasus tentang Perkawinan berdasarkan status marga di Desa Sonuo Kecamatan Bolangitang Barat Kabupaten Bolaang Mongondow Utara)”.
Berdasarkan uraian dari latar belakang diatas maka penulis merumuskan masalah yakni “Bagaimana stratifikasi sosial berbasis marga dalam pelaksanaan perkawinan di Desa Sonuo Kecamatan Bolangitang Barat? KAJIAN PUSTAKA Konsep Marga Berdasarkan Sistem Kekerabatan Marga adalah nama persekutuan orang-orang bersaudara, seketurunan menurut garis ayah, yang mempunyai tanah sebagai milik bersama di tanah asal atau tanah leluhur. Marga ”nama keluarga/kerabat” yaitu nama yang diberikan kepada seseorang dengan otomatis berdasarkan kekerabatan yang uniliear atau garis keturunan genealogis secara patrilineal dari satu Nenek moyang. Pada mulanya, marga berasal dari nama pribadi seseorang Nenek moyang. Pada keturunannya kemudian menggunakan nama ini sebagai nama keluarga (marga) untuk menandakan bahwa mereka keturunan dari satu Nenek moyang yang sama2. Tujuan marga ialah membina kekompakan serta solidaritas sesama anggota semarga sebagai anggota keturunan dari satu leluhur. Walaupun keturunan satu leluhur pada suatu ketika mungkin akan terbagi atas cabang-cabang marga, akibat perkembangan jumlah keturunannya, namun sebagai keluarga besar, marga-marga cabang tersebut selalu mengingat kesatuannya dalam pokok marganya3. Stratifikasi Sosial Stratifikasi sosial adalah sebuah konsep yang menunjukkan adanya pembedaan dan/atau pengelompokan suatu kelompok sosial (komunitas) secara bertingkat. Misalnya: dalam komunitas tersebut ada strata tinggi, strata sedang dan strata rendah. Pembedaan dan/atau pengelompokan ini didasarkan pada adanya suatu simbol -simbol tertentu yang dianggap berharga atau bernilai baik berharga atau bernilai secara sosial, ekonomi, politik, hukum, budaya maupun dimensi lainnya dalam suatu kelompok sosial (komunitas). Simbol-simbol tersebut misalnya, kekayaan, pendidikan, jabatan, kesalehan dalam beragama, dan pekerjaan. Dengan kata lain, selama dalam suatu kelompok sosial (komunitas) ada sesuatu yang dianggap berharga atau bernilai, dan dalam suatu kelompok sosial (komunitas) pasti ada sesuatu yang dianggap berharga atau bernilai, maka selama itu pula akan ada stratifikasi sosial dalam kelompok sosial (komunitas) tersebut 4.
2
3
4
Tony Fery Sanjaya Manurung, Marga Sebagai Kekuatan Politik (Studi Penabalan Marga Silaban Desa Silaban Dalam Politik di Dolok Margu Kecamatan Lintongnihuta Kabupaten Humbang Hasudutan) 2005, hlm.11 Ibid., Tony Fery Sanjaya Manurung hlm 11 Doddy Simbodo Singgih.“Prosedur Analisis Stratifikasi Sosial dalam Perspektif Sosiologi” 2010, hlm.1.
Stratifikasi sosial umumnya terdapat dalam setiap masyarakat. Stratifikasi sosial pada zaman dahulu didasarkan atas keturunan. Seorang keturunan bangsawan meskipun miskin dan tidak berpendidikan tetap saja stratifikasi sosialnya tinggi, sebaliknya walaupun orang kaya dan berpendidikan tinggi tetapi keturunan rakyat biasa maka stratifikasi sosialnya tetap rendah. Kemajuan teknologi dan pengetahuan saat sekarang telah menimbulkan stratifikasi sosial baru yang lazim disebut stratifikasi sosial masa kini. Stratifiksi sosial tradisional mulai kabur dan sudah berangsur hilang. Penentuan stratifikasi sosial sangat sulit karena adanya berbagai macam alasan yang dipakai untuk menilai tinggi rendahnya status sosial seseorang antara lain berdasarkan kedudukan, pendidikan dan kekayaan Konsep Teori Identitas Etnik Pengertian tentang identitas etnik sebagai suatu konstrak yang kompleks yang mencakup komitmen dan perasaan kebersamaan pada suatu kelompok, evaluasi positif tentang kelompoknya, adanya minat dan pengetahuan tentang kelompok, serta keterlibatan dalam aktivitas sosial dari kelompok. Identitas sosial adalah bagian dari konsep diri individu yang berasal dari keanggotaannya dalam satu kelompok sosial dan memiliki nilai emosional yang dilekatkan dalam keanggotan itu. Kelompok – kelompok ini antara lain keluarga dan kerabat seperti kelompok pekerjaan, kelompok agama, kelompok politik, etnis komunitas dan kelompok lainnya yang memperkuat aspek diri seseorang Seseorang diidentifikasi sebagai warga suatu kelompok etnik apabila dia memiliki kriteria yang sama dalam penilaian dan pertimbangan mengenai batas-batas sosial tadi. Garis pembatas itu antara lain adalah ideologi etnik, seperti nama kelompok, kepercayaan (mitologi) terhadap keturunan dan asal-usul. Selain itu ada juga karakteristik untuk memudahkan pembedaan seperti dialek bahasa, ekologi kehidupan ekonomi, budaya material, organisasi sosial, agama, dan gaya hidup 2.4 Konsep Perkawinan Menurut Wirjono bahwa perkawinan merupakan suatu perjanjian jika seorang perempuan dan seorang laki-laki berkata sepakat untuk melakukan perkawinan satu sama lain, ini mereka saling berjanji akan taat pada peraturan-peraturan hukum yang berlaku mengenai hak-hak dan kewajiban masing-masing pihak selama dan sesudah hidup bersama itu berlangsung, dan mengenai kedudukan dalam masyarakat dari anak-anak keturunannya Perkawinan adalah “suatu persetujuan antara seorang laki-laki dan seorang perempuan di dalam bidang hukum keluarga. Perkawinan sah adalah perkawinan yang dilakukan di muka petugas Kantor Pencatatan Sipil. Perkawinan yang dilakukan menurut tata cara agama saja tidaklah sah. Dan dalam hubungan ini maka ada ketentuan yang melarang petugas agama untuk melakukan suatu perkawinan menurut tata acara agama sebelum perkawinan perdata dilangsungkan.
Bentuk-Bentuk Perkawinan A. Bentuk Perkawinan Menurut Hubungan Kekerabatan Persepupuan 1. Cross Cousin Cross Cousin adalah bentuk perkawinan anak-anak dari kakak beradik yang berbeda jenis kelamin. 2. Parallel Cousin Parallel Cousin adalah bentuk perkawinan anak-anak dari kakak beradik yang sama jenis kelaminnya. B. Bentuk Perkawinan Menurut Pembayaran Mas Kawin / Mahar Mas kawin adalah suatu tanda kesungguhan hati sebagai ganti rugi atau uang pembeli yang diberikan kepada orang tua si pria atau si wanita sebagai ganti rugi atas jasa membesarkan anaknya. 1. Mahar / Mas Kawin Barang Berharga 2. Mahar / Mas Kawin Uang 3. Mahar / Mas Kawin Hewan / Binatang Ternak, dan lain-lain. METODE PENELITIAN Dalam penelitian ini pendekatan yang dilakukan adalah melalui pendekatan kualitatif. Artinya data yang dikumpulkan bukan berupa angka-angka, melainkan data tersebut berasal dari naskah wawancara, catatan lapangan, dokumen pribadi, catatan memo, dan dokumen resmi lainnya Penelitian kualitatif ini secara spesifik lebih diarahkan pada penggunaan metode studi kasus. Sebagaimana pendapat Lincoln dan Guba yang menyebutkan bahwa pendekatan kualitatif dapat juga disebut dengan case study ataupun qualitative, yaitu penelitian yang mendalam dan mendetail tentang segala sesuatu yang berhubungan dengan subjek penelitian. Penggunaan studi kasus sebagai suatu metode penelitian kualitatif memiliki beberapa keuntungan, yaitu : 1. Studi kasus dapat menyajikan pandangan dari subjek yang diteliti. 2. Studi kasus menyajikan uraian yang menyeluruh yang mirip dengan apa yang dialami pembaca kehidupan sehari-hari. 3. Studi kasus merupakan sarana efektif untuk menunjukkan hubungan antara peneliti dan responden. 4. Studi kasus dapat memberikan uraian yang mendalam yang diperlukan bagi penilaian atau transferabilitas.
HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN Deskripsi Lokasi Penelitian Sejarah Desa Pada zaman dahulu kala Desa, Desa Sonuo masih hutan belantara. Menurut cerita orang-orang tua dahulu bahwa yang menumpas hutan belantara untuk dijadikan pemukiman yang selanjutnya menjadi Desa yang dinamakan Desa Sonuo, pada waktu itu orang yang tertinggal di Desa Sonuo ada 4 orang ,dari keempat orang itu ada seorang yang pemberani yakni B.Baguna dan berhasil mengusir orangorang dari luar yaitu suku Mindanao yang berniat ingin menduduki Desa Sonuo. Desa Sonuo berasal dari kata Sonuo yang berarti orang-orang yang dalam perjalanan hanya berhenti di Desa Sonuo karena di halangi oleh Baguna. Waktu berjalan hingga tahun 1901 maka terpilihlah seorang sangadi/Pemimpin kampung yang bernama Frets Bangko yang silih berganti masa pemerintahan, hingga kini Sangadi di Desa Sonuo berjumlah 18 Sangadi, yang dimulai dengan Frets Bangko sampai saat ini Harsono Puasa. Letak Geografis Desa Desa Sonuo merupakan salah satu Desa yang berada pada wilayah Kecamatan Bolangitang Barat, terdiri atas 5 dusun, yakni a. Dusun I b. Dusun II c. Dusun III d. Dusun IV, dan e. Dusun V Dengan luas wilayah 1.058 Km² dengan batas wilayah sebagai berikut a. b. c. d.
Sebelah utara berbatasan dengan Desa Jambusarang Sebelah selatan berbatasan dengan Desa Ollot 1 Sebelah timur berbatasan dengan Desa Langi, dan Sebelah barat berbatasan dengan Desa Jambusarang
Kondisi Demografi Desa Keadaan Penduduk Jumlah penduduk di Desa Sonuo sampai dengan desember 2014 sesuai dengan data Desa berjumlah 1772 jiwa yang terdiri dari laki-laki 930 jiwa dan perempuan 842 jiwa yang terbagi atas 436 KK.
Hasil Penelitian dan Pembahasan
Pelapisan Sosial dalam masyarakat memang tidak bisa dihindari, setiap kelompok masyarakat pasti didalamnya terdapat lapisan-lapisan yang dibedakan atas simbol apa yang dihargai dalam masyarakat tersebut Stratifikasi Sosial Pada Masyarakat Desa Sonuo Pekerjaan merupakan salah satu faktor yang menjadikan di dalam suatu masyarakat terdapat berbagai lapisan atau strata sosial. Pendidikan yang memadai akan memudahkan dalam mencari pekerjaan. Ada beberapa jenis pekerjaan tertentu yang dapat membuat seseorang menjadi lebih terhormat daripada orang lain. Pekerjaan yang dimaksud sangat berkaitan erat dengan jabatan/posisi seseorang dalam lingkungan kerjanya. Menurut Paul Pigors dan Charles A.Myers 1961 (Moekijat 1998)5, suatu jabatan dapat dirumuskan sebagai sekelompok posisi (masing-masing memerlukan pelayanan dari seorang individu) yang sama dipandang dari sudut tugas-tugas pokok atau yang penting. Melalui pekerjaan orang dapat meningkatkan taraf hidup mereka, baik dari segi ekonominya maupun status sosialnya. Orang dengan pekerjaan yang baik mampu memenuhi kebutuhan hidup mereka, baik pangan, sandang maupun papan tanpa harus bergantung lebih kepada orang lain, bahkan orang dengan pekerjaan yang baik juga dapat memenuhi kebutuhan primer, sekunder bahkan tersier. Pekerjaan mampu meningkatkan status sosial masyarakat bahkan mampu menjatuhkan status sosial seseorang, orang dengan pekerjaan yang baik pastinya menduduki status sosial yang baik, begitupula sebaliknya dengan orang yang berpekerjaan tidak baik menduduki status sosial dibawah, dalam hal ini jika dikaji berdasaarkan stratifikasi atau lapisan masyarakat, maka orang dengan pekerjaan yang baik menduduki strata atas, dan orang dengan pekerjaan yang kurang baik menduduki posisi di strata bawah dalam masyarakat. Stratifikasi sosial umumnya terdapat dalam setiap masyarakat. Stratifikasi sosial pada zaman dahulu didasarkan atas keturunan. Seorang keturunan bangsawan meskipun miskin dan tidak berpendidikan tetap saja stratifikasi sosialnya tinggi, sebaliknya walaupun orang kaya dan berpendidikan tinggi tetapi keturunan rakyat biasa maka stratifikasi sosialnya tetap rendah. Kemajuan teknologi dan pengetahuan saat sekarang telah menimbulkan stratifikasi sosial baru yang lazim disebut stratifikasi sosial masa kini. Stratifiksi sosial tradisional mulai kabur dan sudah berangsur hilang. Penentuan stratifikasi sosial sangat sulit karena adanya berbagai macam alasan yang dipakai untuk menilai tinggi rendahnya status sosial seseorang antara lain berdasarkan kedudukan, pendidikan dan kekayaan (Sjamsidar dkk., 1989) dalam Fitriah 6. 5
6
Dalam Wiji Lestarini,. Pengaruh Status Sosial Ekonomi Terhadap Pemilihan Moda Transportasi Untuk Perjalanan Kerja (Studi Khasus Karyawan Pt.Ssswi Kabupaten Wonosobo).Tesis, Program Pasca Sarjana Megister Teknik Sipil Universitas Diponegoro Semarang, 2007, hlm. 32 Loc,Cit., Fitriah hlm 7
Seiring perkembangan jaman dan makin meningkatnya teknologi. Mendorong semakin majunya peradaban manusia, namun penstratifikasian masyarakat di Desa Sonuo meski saat ini sudah menggunakan sistem stratifikasi masa kini, namun tidak bisa dipungkiri bahwa masyarakat di Desa Sonuo masih menggunakan stratifikasi sosial tradisional, dimana masih kental dalam kehidupan masyarakat melihat pelapisan masyarakat berdasarkan keturunan dan kekerabatan. Secara etnis warga masyarakat Desa Sonuo merupakan asli dari kerajaan Kaidipang Besar yang sebelumnya merupakan bagian dari kerajaan Bolangitang yang pada saat itu masih sebuah kerajaan yang berdiri sendiri, kemudian bergabung dengan kerajaan Kaidipang Kecil yang kemudian menjadi kerajaan Kaidipang Besar. Akan tetapi seiring dengan perkembangan zaman banyak juga masyarakat Desa Sonuo yang sebagaiannya sudah berasal dari etnis Mongondow dan Gorontalo serta dari daerah lain yang terjadi karena perkawinan, dan sudah menetap di wilayah Desa Sonuo. Dengan adanya kerajaan-kerajaan tersebut, disinilah dimulainya penstrataan masyarakat secara tradisional. Pada masa itu raja yang memerintah kerajaan Kaidipang Besar adalah keturunan marga Pontoh, yang hingga saat ini masyarakat di Desa Sonuo pelapisan masyarakatnya berdasarkan marga, marga di Desa Sonuo dibagi atas 3 lapisan, yakni : 1. Lapisan pertama adalah marga keturunan para raja yakni marga Pontoh, 2. Lapisan kedua yakni lapisan rakyat menengah,yang berada pada lapisan ini adalah mereka masyarakat yang merupakan pendatang 7 contoh, Polinte, Van Gobel, Dotinggulo, dan 3. Lapisan ke tiga adalah mereka yang bermarga asli Kaidipang, contoh Patilima Pangalima. 8 Stratifikasi Sosial Berbasis Marga Dalam Perkawinan di Desa Sonuo Seperti dalam kehidupan sehari-hari masyarakat Desa Sonuo, maka orang dengan marga strata atas memiliki kedudukan lebih tinggi dalam kelompok etnis, dan orang-orang dengan marga dibawahnya juga akan menduduki status lebih rendah dari mereka dalam kelompok etnis tersebut. Dimana mereka diidentifikasikan berdasarkan garis pembatas dalam hal ideologi etnik yang daat ini terjadi pada masyarakat Desa Sonuo adalah nama kelompok atau nama keluarga yang sering disingkat menjadi Marga. Pelapisan sosial secara tertutup di Desa Sonuo ini bahkan merembes pada perkawinan, dimana mahar dari mempelai wanita ditentukan marga apa yang
7
pada masa ini Raja yang memerintah mengistimewakan masyarakat pendatang dengan memberikan kedudukan lebih tinggi kepada masyarakat pendatang, karena pada masa itu terjadi kudeta antara pihak kerajaan dengan rakyat pribumi Bolangitang,dan yang menjadi pelindung raja adalah para pendatang 8 Dikisahkan oleh Bapak G bangko
disandang oleh wanita tersebut. Mahar atau mas kawin dapat berupa uang, barang berharga, maupun binatang ternak dan sebagainya. Pada masyarakat di Desa Sonuo dikenal dengan pemberian mahar tambahan selain mahar seperangkat alat shalat atau emas, diberikan mahar tambahan kepada mempelai wanita, tujuannya adalah untuk membantu kedua mempelai dalam menjalankan rumah tangga baru mereka, mahar tambahan ini paling sering diukur dalam bentuk pohon kelapa, pohon kelapa ini dihitung berdasarkan marga apa yang disandang oleh mempelai wanita, namun saat ini sudah jarang oang yang memberikan dalam bentuk pohon kelapa, tetapi sudah diuangkan namun aturannya tetap sama, dihitung berdasarkan marga yang disandang oleh mempelai wanita. Di Bolaang Mongondow utara khusunya kecamatan Bolangitang barat Desa Sonuo ini dikenal dua tata cara pernikahan yang biasa digunakan oleh masyarakat dalam perkawinan yakni: A. Tangagu Tangagu dalam bahasa bolang itang yang berarti bawa lari, bawa lari dalam hal ini konotasinya berbeda dengan kawin lari, perkwinan ini adalah perkawinan yang di legalisasi oleh hukum agama dan negara tetapi tidak secara hukum adat. Orang yang melakukan pernikahan dengan cara Tangagu ini berarti mereka memutuskan untuk menikah dengan melepaskan adat. Melepas adat dalam hal ini adalah, mereka menyetujui pada saat pelaksanaan pernikahan tidak ada prosesi adat di dalamnya, misalnya sekalipun orang yang menikah adalah orang yang sangaat kaya, tetapi jika menikah dengn cara Tangagu tersebut, maka mereka harus rela pada saat pernikahan itu sekalipun dilakukan dengan megah, mengundang sebanyak mungkin tamu, tetapi mereka tidak diperbolehkan menggunakan pelaminan yang megah, cukup hanya dengan 2 kursi dan dihias seadanya. Kedua orang tua pengampu pun tidak diperbolehkan duduk berdampingan dengan mempelai. Karena berdasarkan seminar adat yang dilaksanakan pada 2014 silam bahwa orang yang menikah dengan cara Tangagu adalah orang yang meninggalkan adat pernikahan dan tidak diperkenankan menggunakaan pelaminan dan orang tua mendampingi mereka. Pernikahan dengan cara Tangagu melewati 3 proses, yakni : 1. Hohimbungo Hohimbungo yang artinya perundingan, dalam perundingan ini dibahas mengenai waktu dan tanggal pelaksanaan pernikahan, dimana yang melakukan hohimbungo ini adalah pihak mempelai pria. 9
2. Akad 9
Pada pernikahan Tangagu seluruh urusan pernikahan dilaksanakaan dirumah mempelai pria, hanya hasilnya saja yang disampaikaan kepada pihak mempelai wanita, namun dalam pernikahan Tangagu diperbolehkan orang twanita menjemput anakya dan bermusyawarah dengan pihak pemerintah dan mempelai pria bahwa pernikahan itu akan dilkasanakan di rumah mempelai wanita.
Pada akad ini sama seperti halnya perkawinan yang lain, dilaksanakan akad nikah, serta resepsi pernikahan, resepsi pernikahan di Desa Sonuo dilakasanakan pada saat siang hari 3. Pomiya Pomiya berarti mendamaikan, mendamaikaan dalam hal ini adalah mempertemukan kedua orang tua mempelai, karena saat pernikahan hanya orang tua mempelai pria yang hadir 10. Pada acara pomiya ini akan di bicarakan mengenai mahar yang diberikan kepada mempelai wanita, dan seperti yang telah saya jelaskan diatas, selain mahar yang telah diberikan kepada mempelai wanita seperti seperangkat alat shalat atau emas, diberikan pula mahar tambahan dalam hal ini disesuaikan dengan marga mempelai wanita. B. Peminangan Pernikahan dengan peminangan ini seperti halnya pernikahan Tangagu prosesnya, hanya saja pernikahan dengan cara peminangan ini keseluruhan adat dipakai dalam prosesi peernikahannya. Pernikahan dengan cara peminangan melalui beberapa proses yakni: 1. Pelamaran, pelamaran ini dilakukan oleh pihak mempelai pria kepada keluarga mempelai wanita, dalam pelamaran ini dibicarakan berapa ongkos nikah yang akan diminta oleh pihak mempelai wanita, dan menentukan mahar tambahan kepada mempelai wanita.11 2. Mogunturu, yang berarti mengantar dalam hal ini mengantar harta atau ongkos untus pelaksanaan pernikahan kepada pihak mempelai wanita12. 3. Learu, yang berarti mengikis gigi, pada waktu pengikisan gigi ini, mempelai pria diantar perangkat Desa dan keluarga ke rumah mempelai wanita, dan dirumah mempelai wanita ini dilaksanakan pengikisan gigi, alat yang digunakan adalah batu cina.13 4. Akad, pada akad ini seperti pada perkawinan pada umunya yakni diresmikannya kedua mempelai menjadi sepasang suami istri (ijab qabul), biasanya pada ssaat akad ini juga disambung sampai pada resepsi pernikahannya dalam satu hari atau berturut-turut.
10
Pomiya ini dilaksanakan jika pihak perempuan tidak menjemput anaaknya, tetapi jika pihak perempuan mengadakan penjemputan, maka pomiya ini tidak berlaku lagi, karena hanya akan diadakan selamatan di rumah mempelai pria, tetapi ada juga yang sudah tidak melaksankannya. 11 Mahar tambahan baik dalam pernikahan Tangagu maupun peeminangan ditentukan oleh marga yang disandang oleh mempelai wanita 12 Pernikahan dengan peminangan berbeda dengan pernikahan Tangagu, yakni jika pada pernikahan Tangagu pernikahan dilaksanakan dirumah mempelai pria,pada pernikahan peminangan dilaksanakan dirumah mempelai wanita. 13 Tujuan diadakannya Learu ini menurut masyarakat adalah untuk mengetahui apakah mempelai wanita masih perawan atau tidak, learu ini diakukan biasanya atas permintaan orang tua mempelai pria, tapi saat ini sudah jarang masyarakat yang melakukan learu ini.
5. Selamatan, selamatan ini juga seperti pada pernikahan umumnya yang dilaksanakan dirumah mempelai pria sebagai tanda syukur atas bersatunya dua keluarga besar atas pernikahan anaknya. Kedua jenis pernikahan ini sering sekali dilakukan oleh masyarakat yang ada di Desa Sonuo, kedua pernikahan ini juga membedakan lapisan sosial dalam masyarakat dimana orang yang menikah dengan melakukan peminangan berada diposisi atas, sedangkan orang yang menikah dengan cara Tangagu berada di posisi bawah, hal itu seperti yang telah dijelaskan diatas, bahwa pernikahan Tangagu merupakan pernikahan yang meninggalkan adat. Meskipun kedua pernikahan tersebut berbeda, namun pemberian mahar tambahan tidak berubah, tetap di ukur berdasarkan marga mempelai wanita tersebut. Mahar tersebut dibagi atas 3 golongan seperti halnya pembagian marga, yakni 1. Marga Pontoh Marga Pontoh mendapatkan mahar dengan jumlah 84 pohon kelapaatau 418 rupiah.marga Pontoh mendapatkan mahar tertinggi, karena Pontohmerupakan marga tertinggi mereka keturunan para raja yang memerintah Bolangitang, dan keputusan pemberian mahar ini ditentukan oleh raja pada saat itu yang juga bermarga Pontoh 2. Marga pendatang (Polinte, Van Gobel, Dotinggulo, Olii, dll) Marga pendatang mendapatkan mahar dengan jumlah 32 pohon kelapa atau 218 rupiah, marga pendatang merupakan marga yang dikhususkan oleh raja saat itu, karena mereka adalah orang-orang yang melindungi kerajaan, saat masyarakat pribumi ingin menggulingkan kekuasaan raja pada saat itu, inilah yang menjadi alasan mengapa marga pendatang merupakan orang kelas kedua. 3. Marga asli Bolangitang, (Pangalima, Patilima) Mereka yang bermarga asli Bolangitang mendapatkan mahar 24 pohon kelapa karena mereka adalah orang yaang mengkudeta kedudukan Raja pada masa itu, sehingga Raja menempatkan mereka sebagai orang dengan lapisan paling bawah dalam masyarakat. Pemaharan ini telah ditentukan berdasarkan keputusan kerajaan, namun seiring berjalannya waktu, ada beberapa marga yang tidak setuju dengan pemaharan yang telah ditetapkan, sehingga maereka membuat aturan sendiri bahwa mereka adalah orang yang sejajar dengan kalangan bangsawan jaman dahulu yang harus mendapatkan mahar dengan jumlah 84 pohon kelapa, bahkan jika wanita yang bermarga Pontoh menikah dengan orang yang bermarga strata bawah, pada saat anak perempuan mereka menikah mereka akan bersikeras anak mereka harus mendapatkan mahar dengan menjumlahkan mahar sesuai marga yang disandangnya dan marga ibunya, yakni jika ibunya mendapat mahar 84 dan marganya hanya mendapat 24 akan dijumlahkan dan kemudian dibagi 2, maka jumlah yang dihasilkan itu yang dijadikan mahar, yang menurut masyarakat Desa
Sonuo itu disebut Pinomutako14. Hal ini memang mendapatkan sanksi namun hanya sebatas sanksi sosial dari masyaraakat, yang dimana mereka akan menjadi pergunjingan dan buah bibir masyarakat. Musyawarah mengenai pemberian mahar pada pernikahan Tangagu dan Peminangan berbeda, yakni pada pernikahan Tangagu itu dibicarakan saat pomiya berlangsung sedangkan pada pernikahan dengan cara peminangan dibicarakan bersama Forum adat pada saat prosesi pelamaran. Lapisan-lapisan Sosial berbasis marga di Desa Sonuo ini sangat kental terlihat pada pernikahan, selain mahar yang ditentukan berdasarkaan marga tersebut, orang-orang dengan marga Pontoh jarang menikah dengan cara Tangagu, disini terlihat jelas, orang yang sering melakukan pernikahan dengan cara Tangagu adalah orang yang bermarga strata bawah dari marga Pontoh. Meski memang tidak ada aturan bahwa orang dengan marga Pontoh tidak boleh menikah dengan cara Tangagu. Adapun dalam perkawinan, kebanyakaan dari mereka yang bermarga Pontoh lebih sering menikah dengan cara peminangan, karena kebanyakan alasan orang menikah dengan cara tangagu adalah dengan tangagu biaya yang dikeluarkan lebih kecil dibandingkan dengan peminangan, dan orang-orang dengan marga Pontoh merupakan orang yang cukup berada dalam tingkatan kekayaan, sehingga mereka mampu melakukan pernikahan dengan cara Peminangan. Belum lagi jika ada orang yang bermarga Pontoh menikah dengan cara angagu akan menjadi pergunjingan dalam masyarakat, karena hal itu jarang ditemukan dengan alasan yang kuat bahwa para orang tua yang bermarga Pontoh tidak mungkin membiarkan anaknya menikah dengan cara tangagu karena mereka melindungi kebangsawanan mereka dan menghindari pergunjingan masyarakat. Bukan hanya menikah dengan cara tangagu, jika marga Pontoh melamar hanya dengan jumlah sedikit, itupun akan menjadi bahan pembicaraan masyarakat, bahkan ada yang sampai berfikir bahwa mereka memberi ongkos pernikahan sedikit mungkin wanita yang dinikahinya tidak disukai orang tuanya Dalam masalah pernikahan para orang tua yang bermarga Pontoh sangat ketat dalam memilih pasangan hidup. Bahkan mereka sering sekali menjodohkan anak mereka dengan sesama kerabat. Bahkan orang dengan marga Pontoh ini terkenal dengan tingkat feodalisme mereka yang tinggi, yang tidak mau anak mereka menikah dengan orang-orang yang tidak jelas bibit, bebet, dan bobotnya, sehingga itu perjodohan adalah jalan satu-satunya untuk menikahkan anak mereka. Karena mereka sering dijodohkan, maka hanya sedikit dari mereka yang menikah dengan cara Tangagu. Sistem perjodohan yang diterapkan oleh marga Pontoh itu mereka lakukan agar keturunan mereka terjaga kualitasnya, karena itulah mereka tidak menginginkam anak mereka menikah dengan sembarangan orang, orang dengan 14
Pinomutako berarti dibelah, dibelah dalam hal ini yakni dibaginya mahaar berdasarkan marga ayah dan ibu.
marga Pontoh identik dengan pernikahan yang dijodohkan, meskipun mereka hanya dijodohkan tetapi kemudian mereka mampu membina rumah tangga dengan baik, dan jarang ditemukan dalam pernikahan mereka mengalami gagal dalam pembinaan rumah tangga, dengan perjodohan pula dapat ditentukan tingkat kematangan umur, sehingga kemudian mereka mampu dan mapan dalam menjalani kehidupan rumah tangga, mereka dijodohkan dan dinikahkan pada umur yang matang, dan tentu saja hal ini lebih baik dalam perkawinan, dimana mereka akan mampu menjaga dan membina rumah tangga, dibandingkan yang terlihat saat ini,dengan adanya perkawinan Tangagu, banyak anak-anak menikah pada usia yang masih sangat dini, sehingga kemudian banyak masalah yang muncul, karena masih dibawah umur, belum bisa mendapatkan buku nikah, dan pernikahannya hanya disahkan secara agama, dan kebanyakan dari mereka yang menikah dengan cara seperti itu juga sering mengalami perceraian, karena kurangnya pengetahuan tentang bagaimana membina rumah tangga yang baik, dan juga karena usia yang masih sangat muda, pendidikan yang otomatis rendah, jadi setelah menikah menjadi bergantung kepada orang tua. Karena alasan inilah mengapa mereka yaang bermarga Pontoh lebih sering menikahkan anak mereka dengan cara dijodohkan, mengingat banyak hal yang tidak diinginkan akan terjadi, mereka tidak ingin mengambil resiko, dimana mereka dengan marga elit tersebut bagian dari keluarga mereka menimbulkan sesuatu yang menjadi aib dalam keluarga.
Pada saat melakukan pelamaran, orang-orang dengan marga Pontoh cenderung memberikan biaya pernikahan yang cukup banyak, sehingga kemudian akan menjadi pertanyaan dalam masyarakat jika ada orang bermarga Pontoh memberikan biaya pernikahan dengan jumlah yang sedikit. Bukan hanya itu, jika yang melakukan pelamaran adalah orang dengaan marga Pontoh maka pihak perempuan akan meminta biaya pernikahan yang tinggi, karena mereka merupakan orang terpandang dan bergengsi. Hal ini cukup menyulitkan untuk mereka yang bermarga Pontoh dengan kemampuan ekonomi yang kurang baik. Sehingga jika ada orang yang bermarga Potoh akan menikah, mereka harus mempersiapkan dengan matang, karena kebanyakan dari pihak mempelai wanita jika yang melamar bermarga Pontoh maka mereka akan meminta lebih banyak, karena popularitas marga Pontoh dikenal dimana-mana sebagai bangsawan yang memiliki kekayaan, dan itu cukup menyulitkan jika orang yang bermarga Pontoh tetapi keadaan ekonominya kurang baik jika menikah, hal ini tidak akan seperti orang dengan marga starata bawah, orang dengan marga strata bawah akan mengalami hal seperti ini kecuali kalau pada kenyataanya mereka merupakan orang kaya Jika terjadi pernikahan antara orang dengan marga Pontoh dengan marga strata bawah, kehidupan orang dengan marga strata bawah menjadi meningkat, dimana terlihat orang dengan marga strata atas jika menikah dengan orang yang bermarga Pontoh juga akan mendapat perlakuan khusus dari masyarakat, karena
orang tersebut sudah berada dilingkungan orang-orang terpandang. Orang–orang dengan marga Pontoh rata-rata mereka memiliki kekayaan, karena sudah menikah dengan orang kaya, maka orang tersebut juga akan dipandang sebagai orang kaya, apalagi jika yang bermarga Pontoh adalah laki-laki, yang otomatis orang yang dinikahinya adalah orang yang akan melahirkan generasi penerus marga Pontoh, maka dari itu level dari wanita yang dinikahinya akan naik menjadi selevel dengan mereka pada lapisan masyarakat. PENUTUP Kesimpulan
1.
2.
3.
4.
5.
Berdasarkan penelitian ini secara keseluruhan diatas maka dapat disimpulkan bahwa : Stratifikasi sosial berbasis marga pada pernikahan di Desa Sonuo merupakan suatu budaya yang dibawa sejak zaman kerajaan, dimana raja telah menetapkan bahwa marga Pontoh adalah marga dengan strata tertinggi dalam lapisan masyarakat serta ada marga pendatang yang menempati posisi kedua dalam lapisan masyarakat dan marga asli daerah Kaidipang menepati posisi paling bawah dalam lapisan sosial masyarakat. Desa Sonuo saat ini menentukan lapisan masyarakat secara terbuka atau modern yakni masyarakat distaratakan berdasarkan apa yang dia capai, misalnya dengan pendidikan yang tinggi, memiliki kekuasaan, namun tetap menggunakan penstratifikasian secara tertutup atau tradisional yakni meskipun orang tersebut tidak berpendidikan, tidak memiliki kekuasaan tetapi merupakan keturunan dari bangsawan maka dia menduduki posisi strata atas dalam pelapisan masyarakat. Dalam pernikahan, dimana mahar dari mempelai wanita ditentiukan oleh marga apa yang disandang oleh mempelai wanita, bahkan pemberian mahar sesuai dengan mahar ini sempat menimbulkan pertentangan,dimana ada masyarakat yang beranggapan bahwa marga yang mereka sandang juga adalah marga yang pantas mendapat mahar sejajar dengan marga Pontoh, sehingga menimbulkan pergunjingan dalam masyarakat,bahkan ada masyarakat yang memaksakan meskipun mempelai wanita tersebut bermarga bukan Pontoh, tetapi ibunya bermarga Pontoh, maka mereka menjumlahkan jumlah mahar dari marga ibu dan mempelai wanita tersebut kemudian dibagi dua, dan hasilnyaitu yang digunakan yang dalam bahas Bolangitang disebut PINOMUTAKO, yang berarti dibelah ataau dibagi. Dalam perhelatan perkawinan orang dengan marga Pontoh lebih banyak menyelenggarakannya dengan mewah, dan ada beberapa dari mereka yang bermarga Pontoh menyesuaikan dengan kondisi ekonominya. Masyarakat yang bermarga Pontoh mendapatkan tempat khusus pada resepsi pernikahan, karena mereka merupakan keturunan bangsawan.
Saran
Berdasarkan kesimpulan diatas maka peneliti memberikan saran sebagai berikut 1. Kepada pembaca agar dapat lebih memahami bagaimana stratifikasi sosial berbasis marga dalam masyarakat di Desa Sonuo, dan mengambil sisi positifnya, meraih starta tertinggi dalam masyarakat dengan jalur yang benar, tanpa menimbulkan konflik dan sebagainya 2. Untuk pemerintah Desa Sonuo, sebaiknya mempertegas aturan-aturan yang telah ada, dan berupaya sebisa mungkin agar tidak terjadi konflik yang ditimbulkan oleh budaya yang memang sudah ada dan berkembang dalam masyarakat, yang sebelumnya dan seharusnya tidak perlu untuk dijadikan masalah oleh masyarakat yang menginginkan kedudukan tinggi dalam masyarakat. 3. Kepada masyarakat yaang ingin mempelajari stratifikasi sosial dalam masyarakat dengan mengadakaan penelitian lebih lanjut tentang stratifikasi sosial di Desa Sonuo, semoga penelitian ini mampu memberikan konstribusi dalam penelitian selanjutnya.
DAFTAR PUSTAKA A. Buku Abercrombie N. dkk, 2010, Kamus Sosiologi, Pustaka pelajar: Yogyakarta.
Afandi A, 2000, Hukum Waris, Hukum Perkawinan, Hukum Pembuktian, Rineka Cipta, Jakarta.
Hadikusuma H, 2003, Hukum Perkawinan Indonesia, Perundang, Hukum Adat dan Hukum Agama. Mandar Maju, Bandung
Isajiw, W. (1999). Definitions and Dimensions of Ehnicity. Toronto: University of Toronto Press
Lawang, R.M, 1986, social stratification in cancar manggarai western Flores, Jakarta, PT Gramedia. Moh. Nazir. Ph. D, 2011, Metode Penelitian, Ghalia Indonesia, Jakarta.
Moleong Lexy J, 2007. Metode Penelitian Kualitatif, PT Remaja Rosda karya, Bandung
Nasution, 2004, Metode Research, Bumi Aksara, Jakarta.
Ibrahim S. N, 1989, Penelitian dan Penelitian Pendidikan, Sinar Baru, Bandung
Yinger J Milton, 1966., Social Stratification, Class, Race, And Gender,Westview Press, Boulder San Fransisco-Oxford.
B. Jurnal
Lubis, Z. B. (2005). Kanalisasi Ketegangan Etnik Dan Kompetisi Budaya Dalam Sektor Publik . Jurnal Antropologi Sosial Budaya ETNOVISI•Vol. 1•No.2•Oktober 2005 , 65. Marcia, J. E., (1966), Development and validation of ego identity status, Journal of Personality and Social Psychology 3, pp. 551-558. Marcia, J. E., 1980. Identity in Adolescence. In J. Adelson (Ed). Hanbook of Adolescent Psychology (pp. 159-187). New York : Wiley.
Moeis, S. (2013). Struktur Sosial Stratifikasi SosiaL. Bahan Ajar , 11-12. Phinney Jean S. and Victor Chavira. 1992. Ethnic identity and Self-esteem : an Exploratory Longitudinal Study. Journal of Adolescence.15, 271- 281. Phinney Jean S. 1989. Stages of Ethnic Identity Development in Minority Group Adolescents. Journal of Early Adolescence, Vol. 9, 34 – 49.
Putri, K. R. (2013). Hubungan Antara Identitas Sosial Dan Konformitas Dengan Perilaku Agresi Pada Suporter Sepakbola Persisam Putra Samarinda . ejournal Psikologi, Volume 1, Nomor 3, 2013 , 245. Rajab Ali, E. S. (2010). Hubungan Antara Identitas Etnik Dengan Prasangka Terhadap Etnik Tolaki Pada Mahasiswa Muna Di Universitas Haluoleo Kendari Sulawesi Tenggara . Jurnal Psikologi Undip Vol. 7, No. 1, April 2010 , 19-20. Singgih, D. S. (2010). Prosedur Analisis Stratifikasi Sosial dalam Perspektif Sosiologi. 1. Tarakanita I, M. Y. (2013). Komitmen Identitas Etnik Dalam Kaitannya Dengan Eksistensi Budaya Lokal. Jurnal Zenit, Vol. 2 No. 2, Agustus 2013 ISSN: 2252-6749 , 2013. C. Karya Ilmiah Wasian, A. Akibat Hukum Perkawinan Siri (Tidak Dicatatkan), Terhadap Kedudukan Istri Anak, Dan Harta Kekayaanya, Tinjauan Hukum Islam Dan Undang-Undang –Undang Perkawinan, Tesis, Program Magister
Kenotariatan Program Pascasarjana Universitas Diponegoro Semarang 2010.
Fitriah Laila. Stratifikasi Sosial Dan Hubungan Kerja Nelayan Desa Jatimalang Kecamatan Purwodadi Kabupaten Purworejo. Skripsi. Program Studi Manajemen Sumberdaya Perikanan, Fakultas Pertanian Universitas Gadjah Mada,2006
Manurung, T. F. (2010). Marga Sebagai Kekuatan Politik (Studi Penabalan Marga Silaban Desa Silaban Dalam Politik di Dolok Margu Kecamatan Lintongnihuta Kabupaten Humbang Hasudutan) Skripsi, Departemen Antropologi Fakultas Ilmu Sosial Dan Ilmu Politik Universitas Sumatera Utara 2010. Desviastanti Ria. Perlindungan Hukum Terhadap Harta Dalam Perkawinan Dengan Pembuatan Akta Perjanjian Kawin, tesis. Program Magister Kenotariatan Program Pascasarjana Universitas Diponegoro Semarang 2010.
Lestarini Wiji. Pengaruh Status Sosial Ekonomi Terhadap Pemilihan Moda Transportasi Untuk Perjalanan Kerja (Studi Khasus Karyawan Pt.Ssswi Kabupaten Wonosobo).Tesis, Program Pasca Sarjana Megister Teknik Sipil Universitas Diponegoro Semarang, 2007 D. Website Argadinata, W. (2013, March 19). Bentuk-Bentuk Pernikahan. Dipetik January 11, 2015, dari Seventh Death Question: http://wandaargadinata.blogspot.com/2013/03/bentuk-bentukperkawinan.html?m=1 Erlania, S. (2012, January 20). Hukum Perkawinan Adat. Dipetik January 11, 2015, Dari Serlania.Blogspot.Com/2012/01/Hukum-PerkawinanAdat.Html?M=1