Pedoman Pengelolaan Hutan Berbasis Syariat dan Adat Aceh: Pencegahan Korupsi di Sektor Kehutanan
Majelis Adat Aceh (MAA) dan SIAP II 2014
Pedoman Pengelolaan Hutan Berbasis Syariah dan Adat Aceh: Pencegahan Korupsi di Sektor Kehutanan
Tim Penulis: Prof. Dr. Muslim Ibrahim, MA Prof. Dr. Syahrizal Abbas, MA DR. Syukri Muhammad Yusuf Ali Abubakar, M.Ag Fathi Hanif Rivan Sanusi M. Syarif, SE, M.Phil Tgk. Idham Ahmadi Perumus: H. Badruzzaman Ismail, SH, M.Hum Drs. Syaiba Ibrahim Ahmad Ridwan, SE, M.Si Sanusi M. Syarif, SE, M.Phil Drs. H. A. Rahman Kaoy Tgk. Mulyadi Nurdin, Lc, MA Chik Rini, S.Si Dede Suhendra, S.Sos. MH Editor: Sanusi M. Syarif, SE, M.Phil & Chik Rini, S.Si Diterbitkan oleh: Majelis Adat Aceh Bekerjasama dengan SIAP II
Kata Pengantar Majelis Adat Aceh
“SALAH BAK HUKOM RAYA AKIBAT, SALAH BAK ADAT, MALEE BAK DONYA” “Sigoe meugantoh bak jeut keu-ubat, Dua lhee goe silap akan binasa”
Kita bersyukur kepada Allah SWT, atas segala limpah karunia kesehatan dan kekuatan kepada hambanya, sehingga selalu mendapatkan petunjuk dan ridha Nya, terutama saat-saat kita menghadapi berbagai kesulitan dan tantangan, khususnya bidang pengelolaan kehutanan. Salawat dan salam kita sampaikan kepada Rasulullah SAW, yang telah mewariskan kepada umatnya, nilai-nilai ketauladanan, petunjuk sifat-sifat risalah kebenaran, tablig/komunikasi, kecerdasan/kebijakan dan amanah menjadi landasan pacuan, dalam membangun kehidupan masyarakat yang bersahabat, ramah lingkungan dan lestari dalam kehidupan yang berkelanjutan. Sebagaimana dimaklumi Indonesia sekarang, berada pada peringkat III terkorup dari 180 negara di dunia (sumber tahun 2009). sehingga salah satu favorit berita pada hampir seluruh media Indonesia, berupa penayangan berita korupsi sebagai konsumsi publik yang mendunia. Korupsi di bidang kehutanan, yang menurut KPK berkaitan dengan praktik-praktik illegal logging, satwa liar, kerusakan hutan telah merugikan negara lebih dari 100 milyar dollar Amerika setiap tahunnya. Semua ini berkaitan dengan rusaknya sistem perencanaan kebijakan Pemerintah dalam penataan: 1. Hutan negara 2. Hutan hak (dibebani hak)
3. Hutan adat 4. Hutan produksi (hasil hutan) 5. Hutan lindung 6. Hutan konservasi 7. Hutan suaka alam 8. Hutan pelestarian alam Hampir semua kawasan hutan mengalami :”perubahan dari ada pohon menjadi tanpa pohon dan dari hutan yang semula tetap rapat pohon menjadi jarang pohon”. Pengrusakan hutan itu, bila dilihat dari kaca mata hukum (kepentingan umum), sudah merupakan perbuatan delik yang dapat dikatagorikan ke dalam perbuatan kejam dan sangat membahayakan. Kejahatan demikian, telah merugikan bangsa dan negara dan harus dapat dikatagorikan kedalam perbuatan tindak pidana korupsi. MAA bekerjasama dengan WWF Indonesia melalui Strengthening Integrity and Accountabilty Program II (SIAP II), berusaha mencari jalan pemecahan, dari berbagai aspek nilai-nilai Fiqih Syari’at dan adat budaya. Diharapkan dengan nilai-nilai Fiqih Syari’at dan adat budaya, akan membangun nilai-nilai moral dan karakter jiwa kehidupan bangsa. Pengrusakan hutan, sekarang ini dapat dipandang, sebagai perbuatan-perbuatan/tindakan korupsi yang kejam dan sangat membahayakan kehidupan tanah air, bangsa dan negara.
i
Kondisi penyebab bencana terjadinya kejahatan itu antara lain, disebabkan: 1. Implimentasi undang-undang yang satu dengan undang yang lain/ berikutnya kurang/ tidak sinkron, antara lain termasuk implimentasi Pasal 18 B ayat (1) dan ayat (2) UUD 45, belum diikuti penyesuaian oleh undang-undang yang lain (belum ada implimentasinya). 2. Kebijakan yang dibuat para stakeholder (para pihak) justru banyak menimbulkan bencana, karena kurang sinkron/ koordinasi dengan kewenangan daerah/ instansi lain, tak jelas dan tak ada standar ukuran pengawasan di lapangan, misalnya adanya macam-macam kawasan hutan. 3. Banyak produk undang-undang di bidang kehutanan yang kontroversial, belum ada penyelesaian dan kebijakan-kebijakan yang konkrit berkaitan eksploitasi sumber daya alam yang kontroversial dengan kepentingan/hak-hak rakyat. Banyak kebijakan dan perlakuan-perlakuan lainnya, yang muncul ke permukaan, akhirnya kambing hitamnya rakyat menjadi korban. Akibatnya yang rugi rakyat dan negara. 4. Gangguan-gangguan masyarakat, karena ketidak jelasan antara hutan hak (adat) / hak-hak umum masyarakat (hak teritorial adat). Melalui forum Diskusi Grup Terfokus yang dilakukan di Banda Aceh, Bireuen dan Nagan Raya, para narasumber, pihak-pihak berkepentingan dan peserta, yang lebih fokus pada sisi pendekatan kajian “korupsi kehutanan dari kaca mata Syariat Islam, dan adat budaya Aceh, telah dapat menghasilkan suatu buku yang berjudul: “Pedoman Pengelolaan Hutan Berbasis Syariah dan Adat Aceh: Pencegahan Korupsi di Sektor Kehutanan”. Buku Pedoman produk forum diskusi hasil Kerjasama MAA dan WWF Indonesia ini, telah berupaya
ii
secara cerdas menemukan materi-materi kejahatan, perencana, pelaku, penadah, kerjasama, penggunaan, tempat/ kawasan, kerugian yang ditimbulkan, sanksi hukuman dan lain-lainnya berkaitan dengan ancaman hukuman korupsi. Upaya-upaya ini telah dapat menghasilkan butir-butir rumusan materi kejahatan korupsi di bidang kehutanan, dan pegembangan pola-pola panduan dan implementasi sosialisasi “anti korupsi di seputar kehutanan” dalam perspektif Islam dan budaya adat Aceh. Langkah-langkah ke depan diharapkan para ulama dan tokoh adat di Aceh melalui Majelis Adat Aceh dan forum-forum lembaga ulama, dapat mempraktikkan panduan anti korupsi dalam pengelolaan hutan sesuai perspektif Islam dan budaya adat untuk disosialisasikan kepada publik/masyarakat secara luas. Program semacam ini memungkinkan masyarakat sipil untuk mengadvokasikan praktik-praktik non korupsi pada sektor kehutanan dan menjadi strategi pemberdayakan warga negara untuk mengambil peran aktif dalam menciptakan dan mensponsori tatanan masyarakat baru, yang memiliki kualitas integritas dan akuntabilitas dalam pemberdayaan sektor kehutanan. Kepada semua pihak, semoga buku pedoman ini bermanfaat untuk mengawal pengelolaan pelestarian hutan yang bermanfaat bagi generasi bangsa ke depan. Atas berbagai kekurangan dan kealpaan kami ucapkan terima kasih. Wassalam, Ketua MAA
H. Badruzzaman Ismail, SH, M.Hum
Kata Pengantar SIAP II
Sejak 2012 SIAP II telah menjalankan kegiatan-kegiatan untuk memperkuat peranan masyarakat sipil di Propinsi Aceh dalam rangka mendorong integritas dan akuntabilitas dalam pengelolaan hutan yang lestari dan bebas dari praktik-praktik korupsi. Melalui SIAP II, masyarakat sipil dilatih untuk dapat membuka mata mengawasi praktik korupsi yang berada di belakang setiap kasus kejahatan kehutanan. Masyarakat juga didorong untuk berani bersuara jika menemukan kasus kejahatan kehutanan. Selain itu masyarakat juga dapat mengadvokasi praktik-praktik non-korup di dalam sektor kehutanan dengan menerapkan praktik manajemen baik dalam pengelolaan kehutanan. Sebagai provinsi dengan status otonomi khusus syariat Islam berdasarkan Undanga-undang Otonomi Khusus, tentu saja tata kelola pemerintahan dan pranata yang dijalankan oleh masyarakat Aceh harus sejalan dalam kaidah serta nilai-nilai agama Islam. Kebutuhan untuk memberikan pemahaman kepada aparat pemerintahaan Aceh, masyarakat dan tokoh agama tentang pengelolaan hutan lestari sesuai dengan syariat Islam dan Adat Aceh adalah menjadi penting sebagai pelaksanaan mandat otonomi khusus tersebut. Oleh sebab itulah program SIAP II mendukung dan memfasilitasi sepenuhnya insiasi penyusunan sebuah buku yang bertujuan sebagai pedoman atau referensi utama dalam kaitannya memahami pengelolaan hutan lestari berbasis syariat Islam dan Adat Aceh. SIAP II berterima kasih kepada Majelis Adat Aceh yang telah mendukung penuh pembuatan buku “Pedoman Pengelolaan Hutan Berbasis Syariah dan
Adat Aceh : Upaya Mencegah Korupsi di Sektor Kehutanan” yang menjadi sumber informasi bahwa hukum syariah dan adat yang dipegang teguh oleh masyarakat Aceh ternyata mengatur dengan sangat baik manajemen pengelolaan hutan sejak masa Kerajaan Aceh Darussalam. Buku ini merepresentasikan bagaimana hukum syariah baik Al-Quran dan Al-Hadist telah mengatur banyak hal terkait bagaimana keseimbangan kehidupan di dunia, hubungan antara manusia dan makhluk ciptaan Allah lainnya serta lingkungan sekitar, apa yang diperbolehkan dan apa yang tidak diperbolehkan dan apa ancaman jika manusia melakukan kerusakan. Hukum syariah juga diadopsi dengan baik oleh hukum adat yang berlaku di masyarakat yang telah berlaku sejak masa kerajaan Aceh Darussalam. Aceh memiliki contoh baik dalam sejarah pengelolaan hutan adatnya, dan itu yang hendak dikumpulkan kembali dan dihidupkan kembali melalui semangat keistimewaan Aceh yang berlaku sekarang ini. Buku ini mencoba menyatukan adat-adat yang berserak dari berbagai Kabupaten di Aceh dan mengingatkan kembali hukum-hukum syariah yang berlaku bagi semua masyarakat Aceh. Semangat kita bersama adalah menggali lagi kearifan lokal dan menghidupkannya kembali ke tengah masyarakat. Dari beberapa pertemuan dengan tokoh mukim yang merupakan masyarakat adat di Aceh, kami mendapat banyak masukan dan informasi bahwa hukum adat masih dipegang teguh oleh masyarakat di pinggiran hutan. iii
Kami juga mengapresiasi dukungan para ulama Aceh dari Majelis Permusyawaratan Ulama (MPU) dan lembaga dakwah lainnya yang telah memberikan sumbang pikiran dan tulisan untuk menggali isi Al-Qur’an dan Al-Hadist yang mengatur manusia dalam mengelola sumber daya alam. Terima kasih kepada semua pihak khususnya Pemerintah Aceh khususnya Gubernur Aceh, Dinas Kehutanan Provinsi Aceh, Majelis Adat Acet (MAA), Perguruan Tinggi, serta Pimpinan USAID Kantor Indonesia dan pihak lainnya yang telah bekerjasama dan mendukung proses penyusunan buku ini. Semoga dengan acara ini, semakin terbuka harapan peran dari masyarakat luas dalam mendukung
iv
upaya pelestarian hutan melalui penerapan syariat Islam dan Adat Aceh yang baik. Dengan buku pedoman ini, kami harapkan Aceh dapat menjalankan peran pentingnya sebagai contoh dalam usaha untuk membangun tata kelola kehutanan yang baik, akuntabel dan bersih di Indonesia kususnya di Pulau Sumatra.
Fathi Hanif Chief of Party SIAP II
Daftar Isi
Kata Pengantar dari Ketua MAA
i
Kata Pengantar SIAP II
ii
Daftar Isi
v
Pendahuluan
1
Korupsi di sektor Kehutanan 5 1. Mata Rantai Regulasi 2. Mata Rantai Perizinan 3. Mata Rantai Penerimaan/Pelaporan 4. Mata Rantai Distribusi/Pasokan Kayu 5. Mata Rantai Penegakan Hukum Dampak Korupsi di Sektor Kehutanan Upaya Pencegahan Korupsi Di Sektor Kehutanan Korupsi Dalam Pandangan Islam 15 1. Ghulul 2. Ikhtilas 3. Aklul amwal bil bathil 4. Risywah 5. Hadiah 6. Khianat 7. Sariqah 8. Suht 9. Ghasab Korupsi adalah Dosa Besar Merusak Lingkungan/ Hutan dan Korupsi Kehutanan Rawan Korupsi Kebijakan yang Salah Adalah Korupsi Merusak Hutan Dan Berbuat Kerusakan Ancaman Sanksi bagi Pelaku Kerusakan Sanksi Ukhrawi bagi Pelaku Kerusakan Bentuk-bentuk Kejahatan di Sektor Kehutanan dan Sanksinya
Penerapan Fiqh Lingkungan di Sektor Kehutanan 29 Manusia Memakmurkan Bumi Kewajiban Melakukan Penghijauan Kelestarian Bumi Tanggung Jawab Manusia Manusia Sebagai Khalifah di Bumi Menjaga Keseimbangan Kewajiban Memelihara Hutan Hukum Merusak Hutan Manusia dan Ekosistem Dalil-dalil Kewajiban Menjaga Lingkungan Hidup Pembukaan Lahan Baru Hukum Adat Diakui Dalam Fiqh Pengelolaan Hutan Berdasarkan Adat DI Aceh 43 Pemanfaatan Hutan Menurut Adat di Aceh Fungsi Hutan Menurut Adat di Aceh Hak-hak Masyarakat Adat Atas Tanah Kelembagaan Pengelolaan Hutan 1. Tatacara membuka ladang dan kebun 2. Tatacara pengelolaan kayu tualang (kayee uno) 3. Tatacara mencari rotan 4. Tatacara berburu 5. Tatacara menangkap ikan di sungai dalam hutan 6. Tatacara pemanfaatan kayu untuk kebutuhan gampong 7. Tatacara pengajuan permohonan kebutuhan kayu rumah 8. Tatacara pembagian manfaat Pengawasan Hutan Adat Perlindungan Hutan Adat Penyelesaian Perselisihan Nilai-nilai Adat Dalam Pemanfaatan Hutan Anjuran/Persiapan Memasuki Kawasan Hutan Revitalisasi Adat Pengelolaan Hutan Pantun Dari Rimba Raya Daftar Pustaka
55
v
Bagian Pertama
Pendahuluan
Latar Belakang Sisa hutan terbesar di Indonesia berada di Pulau Sumatera, Kalimantan dan Papua. Diantara ketiga pulau terbesar Indonesia ini, Sumatera memiliki laju kehilangan hutan yang cukup tinggi dibanding Kalimantan dan Papua karena pembangunan infrastruktur yang lebih maju dan tumbuhnya industri kehutanan yang cukup pesat untuk perkebunan dan hutan tanaman industri. Tingkat kehilangan hutan di Sumatera termasuk yang paling tinggi di dunia. Dalam kurun waktu seperempat abad (1985-2007), lebih dari 12 juta hektar tutupan hutan Sumatera telah hilang. Pada 2007, tersisa kurang dari 30 persen tutupan hutan saja dari seluruh daratan Pulau Sumatera (sumber WWF Indonesia). Ancaman terbesar kelestarian hutan di Sumatera terkait masalah korupsi di sektor kehutanan. Hal ini bisa dilihat pada propinsi yang laju kehilangan tututupan hutannya sangat tinggi seperti di Riau. Ada banyak praktik-praktik pengelolaan kehutanan yang tidak berkelanjutan, termasuk penyimpangan perizinan, kejahatan kehutanan dan korupsi. Berdasarkan Indeks Persepsi Korupsi dari Transparansi Internasional, Indonesia menempati peringkat ke-111 dari 180 negara yang disurvei pada tahun 2009. Kurangnya integritas dan akuntabilitas yang melatarbelakangi peringkat ini adalah tantangan serius bagi pembangunan sosial di Indonesia. Hal ini terlihat jelas dalam sektor kehutanan Indonesia: menurut KPK, praktik-prak-
tik ilegal dan korup di sektor kehutanan telah merugikan negara lebih dari 100 milyar dollar Amerika. Posisi depan Sumatera di sektor kehutanan adalah ujian bagaimana praktik-praktik pengelolaan hutan yang baik harus diterapkan untuk menghindari penghancuran hutan sumatera. Dengan mengembangkan metode untuk memerangi korupsi dan mendukung praktik non - korup di sektor kehutanan di Sumatera, kita memperoleh alat-alat yang akan berguna untuk penyelamatan masa depan hutan di provinsi Kalimantan dan Papua. Kita harus berasumsi bahwa dengan meningkatnya investasi kehutanan di Indonesia maka akan terbuka peluang meningkatnya insentif untuk korupsi di Kalimantan dan Papua. Aceh merupakan propinsi bagian utara Pulau Sumatera yang tercatat masih memiliki tutupan hutan cukup baik mencakup lebih dari 40 persen luas daratannya. Hutan Aceh memiliki luas sekitar 3,5 juta hektar yang berarti hampir sepertiga hutan sumatera yang tersisa ada di Aceh. Hutan Aceh mencakup bentang ekosistem hutan hujan tropis yang terbentang antara Kawasan Ekosistem Leuser (2,6 juta hektar) dan Kawasan Ekosistem Ulu Masen (700 ribu hektar). Ini merupakan dua blok hutan besar yang merupakan satu-satunya di Sumatera yang masih terhubung melalui koridor yang terpelihara dengan baik. Hutan Aceh merupakan habitat terakhir dimana satwa-satwa endemik sumatera yang terancam punah masih bisa ditemukan hidup berdampingan yakni gajah, harimau, orangutan dan badak.
1
Melalui kearifan lokal masyarakat Aceh yang memelihara hutan dengan baik, dan masih terbatasnya kegiatan eksploitasi sumber daya alam di Aceh, maka kondisi hutan Aceh masih relatif lebih baik dibanding dengan hutan-hutan yang berada di propinsi lain di Sumatera. WWF Indonesia, Transparency International Indonesia, dan The Indonesian Working Group on Forest Finance (IWGFF) bekerjasama untuk memerangi korupsi dan mendukung sistem yang tidak korup. Melalui SIAP II (Strengthening Integrity Accountability Program II) mendorong masyarakat sipil untuk meningkatkan transparansi terhadap praktik korupsi yang berada di belakang setiap kasus kejahatan kehutanan. Program ini juga memungkinkan masyarakat sipil untuk mengadvokasi praktik-praktik non-korup di dalam sektor kehutanan. SIAP II mendorong warga negara Indonesia untuk menghargai praktik kehutanan bebas korupsi dengan membeli produk-produk kehutanan yang bersertifikasi serta berkelanjutan. Strategi ini akan memberdayakan warga negara untuk mengambil peran aktif dalam menciptakan tatanan masyarakat baru: masyarakat yang transparan, berintegritas dan akuntabel. Program SIAP II dilaksanakan di 4 propinsi di Pulau Sumatera yakni Aceh, Riau, Jambi dan Lampung. Program ini bekerjasama langsung dengan kelompok masyarakat sipil, media. Khusus di Aceh Program SIAP II bekerjasama dengan MAA dalam mengembangan Panduan Pengelolaan Hutan Berbasis Syariat dan Adat, dengan mengikutsertakan ulama, tokoh adat, akademisi dan tokoh perempuan. Melalui penerbitan panduan ini diharapkan mendorong meningkatnya partisipasi masyarakat untuk mengawasi praktik-praktik non
2
korup di sektor kehutanan dan mengembangkan pengelolaan hutan berbasis kearifan lokal.
Tujuan Buku Pedoman Pengelolaan Hutan Berbasis Syariah dan Adat Aceh dibuat dalam rangka mendorong contoh baik dalam pengelolaan hutan yang bebas korupsi. Pengelolaan hutan yang baik akan menghindari kehilangan tutupan hutan yang berpotensi pada meningkatnya kasus-kasus korupsi karena penyelewangan wewenang dan perizinan. Sejarah Aceh mencatat sejak zaman Kerajaan Aceh Darussalam, masyarakat adat di Aceh memiliki kearifan lokal yang sebagian diadopsi dari hukum syariah yang dianut oleh masyarakat secara kaffah.
Proses Penyusunan Panduan Lebih 100 orang ulama, tokoh masyarakat adat, LSM lingkungan dan anti korupsi, akademisi dan aparat pemerintahan ikut memberi masukan pada pengayaan materi buku Pedoman Pengelolaan Hutan Berbasis Syariah dan Adat Aceh. Sejak Desember 2013 tim perumus telah melakukan tiga kali diskusi grup di Banda Aceh, dua kali sosialisasi draft buku di Bireuen dan Nagan Raya serta sosialisasi melalui radio untuk mendapat masukan dari masyarakat. Beberapa pakar fiqih, hukum adat, dan anti korupsi telah memberikan materi penyusunan buku pedoman ini. a. FGD 1 dengan tema Fiqih Pengelolaan Hutan dan Lingkungan dengan narasumber Prof. Muslim Ibrahim, wakil ketua Majelis Permusyawaratan Ulama (MPU) Aceh dengan judul “Penerapan Fiqh Dalam Sektor Kehutanan” dan Prof. Dr. Syahrizal Abbas dengan judul “Regulasi Sektor Kehutanan dan Kaitannya dengan Hukum Islam”.
b. FGD 2 dengan tema Adat Pengelolaan Hutan. Narasumbernya: Prof. Muslim Ibrahim dengan judul “Penerapan Fiqih dalam Pengelolaan Hutan di Aceh dan Kaitannya dengan Adat” dan Teungku Idham Ahmadi, mantan Ketua Mukim Lampanah Aceh Besar dengan judul “Sistem Adat Dalam Pengelolaan Hutan Di Aceh: Pengalaman Di Mukim Lampanah Leungah”, dilengkapi dengan tulisan pengantar diskusi dari Sanusi M. Syarif dengan judul “Tatanan Adat dalam Pengelolaan Hutan di Aceh”. c. FGD 3 dengan tema Korupsi dalam Perspektif Fiqh dan Praktis. Narasumbernya: Dr. Syukri Muhammad Yusuf, dengan judul “Korupsi Sektor Kehutanan Dalam Pandangan Fiqh” dan Ali Abubakar, M.Ag dengan judul “Kejahatan Pengrusakan Hutan Dalam Pandangan Fiqh), Fatih Hanif (Chief of Party SIAP II) dan Rivan Rivai (Transparansi Internasional Indonesia) dengan judul “Korupsi di Sektor Kehutanan”. Ruang lingkup pembahasan dalam buku panduan ini dibagi dalam lima bagian. Bagian pertama pendahuluan, latar belakang, tujuan penulisan dan proses penyusunan buku panduan. Bagian kedua bentuk-bentuk korupsi di sektor kehutanan, pembahasannya meliputi: bentuk korupsi di sektor kehutanan, mata rantai regulasi, mata rantai perizinan, mata rantai penerimaan/ pelaporan, mata rantai distribusi/ pasokan kayu, mata rantai penegakan hukum, dampak korupsi di sektor kehutanan, strategi dan aksi pencegahan korupsi di sektor kehutanan.
Bagian ketiga korupsi dalam pandangan Islam, pembahasannya meliputi: ghulul, ikhtilas, aklul amwal bil bathil, risywah, hadiah, khianat, sariqah, suht, ghasab, korupsi adalah dosa besar, merusak lingkungan/ hutan dan korupsi, sektor kehutanan rawan korupsi, kebijakan yang salah adalah korupsi, merusak hutan dan berbuat kerusakan, ancaman sanksi bagi pelaku kerusakan, sanksi ukhrawi bagi pelaku kerusakan, bentuk-bentuk kejahatan di sektor kehutanan dan sanksinya. Bagian ke-empat pengelolaan hutan berdasarkan adat Aceh, pembahasannya meliputi: fungsi hutan menurut adat, hak-hak masyarakat adat atas tanah, kelembagaan pengelolaan kawasan hutan, tatacara pemanfaatan hutan, tatacara membuka ladang dan kebun, tatacara pengelolaan kayu tualang (kayee uno), tatacara mencari rotan, tatacara berburu, tatacara menangkap ikan di sungai dalam hutan, tatacara pemanfaatan kayu untuk kebutuhan gampong, tatacara pengajuan permohonan kebutuhan kayu rumah, tatacara pembagian manfaat, pengawasan kawasan hutan, perlindungan kawasan hutan, penyelesaian perselisihan, nilai-nilai adat dalam pemanfaatan hutan dan revitalisasi adat pengelolaan hutan. Bagian kelima penerapan fiqh lingkungan di sektor kehutanan. Bagian ini meliputi tugas manusia memakmurkan bumi, kewajiban melakukan penghijauan, kelestarian bumi tanggung jawab manusia, manusia sebagai khalifah di bumi, menjaga Keseimbangan, kewajiban memelihara hutan, hukum merusak hutan, manusia dan ekosistem, dalil-dalil kewajiban menjaga lingkungan hidup, hukum membuka lahan baru dan hukum adat diakui dalam fiqh.
3
Bagian Kedua
Korupsi di Sektor Kehutanan 1
Pasal 1 UU 41/1999 mendefenisikan kehutanan adalah sistem pengurusan yang bersangkut paut dengan hutan, kawasan hutan, dan hasil hutan yang diselenggarakan secara terpadu.
kawasan (baca: teritori), hutan
Definisi di atas tidak membatasi kehutanan hanya sebatas kelembagaan tertentu, tapi oleh ruang lingkup substansi yang saling terkait mengenai
sistem pengurusan sehingga menjadi “kehutanan”
(baca: tutupan
teritori yang berupa hutan) dan hasil hutan (baca: hasil kawasan dan tutupan). Dan, ketiga unsur tersebut diselenggarakan secara terpadu melalui (Outlook
Korupsi
Kehutanan,
Transparency
International Indonesia, tidak dipublikasikan).
1 Sumber Tulisan, Fatih Hanif dan Rivan Rivai dengan Judul “Korupsi di Sektor Kehutanan dan Pencegahannya” yang disampaikan dalam FGD III di Hotel The Pade Banda Aceh.
5
Banyak hal dalam kawasan hutan yang tidak melulu menjadi kewenangan mutlak Kementerian Kehutanan, seperti tata batas dan sistem administrasi dan pemerintahan penduduk yang ada dalam kawasan hutan yang menjadi kewenangan Kementerian Dalam Negeri dan atau Pemerintah Daerah, potensi tambang dan migas yang saling overlap dengan kawasan hutan sehingga melibatkan Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral, keberadaan eksisting perkebunan yang terdapat dalam kawasan hutan sehingga menjadi ruang pelibatan Kementerian Pertanian dan Badan Pertanahan Nasional. Kewenangan menyusun Kajian Lingkungan Hidup Strategis dan Ekoregion yang dimiliki Kementerian Lingkungan Hidup pun memungkinkan kementerian ini berurusan dengan kawasan hutan. Demikian juga dengan penyusunan Rencana Tata Ruang Wilayah mengakibatkan ruang kawasan hutan menjadi satu obyek yang diurus Kementerian Pekerjaan Umum c.q Ditjen Penataan Ruang.
rantai pemanfaatan atau esktraksi sumber daya hutan sebagaimana dapat dilihat pada gambar di bawah ini, terdapat potensi dan bentuk korupsi dalam sektor kehutanan yang akan disampaikan lebih lanjut di bawah ini :
Lebih lanjut dijelaskan dalam Outlook Korupsi Kehutanan tersebut menyatakan bahwa korupsi kehutanan dimaksudkan sebagai penyelewengan yang dilakukan sehingga turut mengakibatkan rusak atau bahkan hilangnya tutupan hutan. Batasan ini dengan sendirinya membawa pemaknaan korupsi kehutanan ke area yang lebih luas, yang tidak hanya memaknainya sebagai penyelewengan penggunaan anggaran pembangungan di Kementerian Kehutanan, tapi juga termasuk regulasi atau kebijakan-kebijakan lainnya yang menyalahi yang dilakukan baik oleh Kementerian Kehutanan dan atau oleh kementerian atau lembaga negara lainnya, termasuk pemerintah daerah.
Gambar . Mata Rantai Esktraksi Sumber Daya Hutan. (Sumber : Transparency International (2010)
Hasil riset Transparency International yang disampaikan dalam Forestry Governance Integrity Report (2010) menyatakan pada berbagai mata
6
1. Mata Rantai Regulasi Pada mata rantai regulasi ini potensi korupsi dapat terjadi dalam penyusunan/perubahan/revisi rencana tata ruang wilayah, baik Rencana Tata Ruang Wilayah Nasional (RTRWN), Rencana Tata Ruang Wilayah Provinsi (RTRWP), Rencana Tata Ruang Wilayah Kabupaten (RTRWK). Aktor-aktor yang potensial terlibat dalam korupsi pada mata rantai ini pun beragam yaitu anggota DPR(D) melalui komisi-komisi atau panitia-panitia yang dibentuk, staf Kementerian Kehutanan, perusahaan investasi kehutanan (termasuk perusahaan milik asing), akademisi, staf Badan Kordinasi Penataan
Ruang Nasional (BKPRN), Badan Kordinasi Penataan Ruang Daerah (BKPRD), konsultan, operator lapangan, operators, hingga aparat pemerintah daerah, seperti Badan Perencanaan Pembangunan Daerah (Bappeda) dan Dinas Kehutanan (Dishut).
25 tahun), Rencana Kerja Lima tahun (RKL), dan Rencana Kerj a Tahuna n (RKT ). Praktek korupsi juga terjadi saat penetapan kawasan kelola hingga pembuatan deliniasi makro dan mikro kawasan operasi tersebut.
Suap (bribery) dalam mata rantai ini diperuntukkan untuk merubah alokasi kawasan dalam rencana tata ruang dan kawasan hutan menjadi kawasan yang dimungkinkan melakukan pemanenan kayu (kawasan budidaya atau hutan produksi).
3. Mata Rantai Penerimaan/Pelaporan
2. Mata Rantai Perizinan Potensi korupsi pada mata rantai perizinan terjadi dalam proses penerbitan atau persetujuan konsesi pemanenan hutan (IUPHHK-HA atau lebih dikenal dengan HPH, IUPHHK-HT atau lebih dikenal dengan HTI, Konsesi Restorasi Ekosistem, dan lain-lain. Para pelaku korupsi dalam kegiatan ini potensial berasal dari Kementerian Kehutanan, aparat kehutanan pemerintah daerah, operator konsesi, konsultan, aparat yang terlibat dalam penyusunan AMDAL, hingga komunitas-komunitas di tingkat provinsi dan kabupaten. Suap terjadi pada mata rantai ini guna memperoleh izin yang tidak sesuai dengan rekomendasi teknis atau melalui manipulasi data dan analisisnya. Dengan begini, proses dan penerbitan izin konsesi melanggar ketentuan yang ada. Pada mata rantai perizinan ini juga kerap terjadi suap dan praktek nepotisme untuk memanipulasi data (sebagai basis terbitnya izin). Praktek ini diduga terjadi pada proses pengesahan rencana kerja, baik Rencana Kerja Utama atau RKU (masa
Pada rantai penerimaan, potensi korupsi terjadi dalam proses pemungutan Iuran Izin Usaha Pemanfaatan Hutan (IIUPH) dan Provisi Sumber Daya Hutan (PSDH) untuk IUPHHK-HT (Hutan Tanaman) dan IIUPH, PSDH, dan Dana Reboisasi (DR) untuk IUPHHK-HA (Hutan Alam). Petugas kementerian kehutanan, pelaksana penebangan (termasuk yang dimiliki asing), konsultan, unit pengelola hutan (HPH/HTI), hingga dinas kehutanan provinsi dan kabupaten terkait merupakan pihak-pihak yang potensial melakukan korupsi pada mata rantai ini. Mark down atau pengurangan nilai hasil dan manipulasi data dari hasil inventarisasi kayu dan pemanenan hasil hutan dalam suatu periode tahun fiskal yang dilaporkan kepada pemerintah menjadi bentuk korupsi yang lazim terjadi pada rantai penerimaan. 4. Mata Rantai Distribusi/Pasokan Kayu Panjangnya rantai distribusi kayu dan rumitnya mekanisme dan administrasi distribusi kayu menimbulkan celah atau potensi korupsi pada rantai distribusi/pasokan kayu ini. Petugas pemeriksa dokumen-dokumen angkutan kayu pada dinas kehutanan baik propinsi maupun kabupaten merupakan pihak-pihak yang paling potensial melakukan korupsi pada mata rantai ini.
7
Terkait SVLK 2 yang merupakan salah satu bagian penting distribusi/pasokan kayu, praktek korupsi juga rentan pada proses sertifikasi ini, terutama dengan memanipulasi data penelitian dan proses sertifikasi. Perusahaan kehutanan, seperti HPH, HTI, assessor sertifikasi, bahkan tokoh masyarakat dan LSM merupakan aktor-aktor yang berpotensi terlibat korupsi pada mata rantai ini. Pada mata rantai ini, dana suap digelontorkan untuk meloloskan (proses) sertifikasi meski tidak memenuhi standar yang ditetapkan.
minimum atau bahkan dalam beberapa kasus tersangka bisa bebas.
Suap untuk memuluskan proses pemeriksaan dokumen angkutan kayu sering terjadi pada mata rantai ini yang disebabkan dokumen angkutan kayu tersebut sebenarnya bermasalah seperti misalnya kayu merupakan kayu illegal atau data-datanya telah dimanipulasi. 5. Mata Rantai Penegakan Hukum Mata rantai ini terindikasi dari kegagalan menghukum para perusahaan perusak hutan yang melanggar peraturan sehingga mengakibatkan deforestasi tahun demi tahun di Indonesia. Selain petugas Kementerian Kehutanan hingga dinas-dinas terkait di pemerintah provinsi dan kabupaten, keterlibatan polisi, jaksa, hakim, dan bahkan pengacara menjadi kunci terjadinya korupsi ini. Pada proses penegakan hukum, suap diberikan untuk mempengaruhi pejabat agar diskriminatif terhadap pesaing, menutupi-nutupi laporan pelanggaran hukum, memfasilitasi penegak hukum melakukan “monitoring lapangan”, hingga mengakali sanksi yang pada akhirnya memutuskan sanksi
Dampak Korupsi Di Sektor Kehutanan Korupsi di sektor kehutanan telah memberikan dampak pada berbagai aspek yaitu terutama dalam hal penerimaan negara, hak asasi manusia, percepatan upaya pelestarian hutan dan konservasi alam serta keberhasilan program pengurangan emisi.
2 SVLK (Sistem Verifikasi dan Legalitas Kayu) merupakan sistem pelacakan yang disusun secara multi stakeholder untuk memastikan legalitas sumber kayu yang beredar dan diperdagangkan di Indonesia dan berfungsi untuk memastikan produk kayu dan bahan bakunya diperoleh atau berasal dari sumber yang asal-usulnya dan pengelolaannya memenuhi aspek legalitas. Sumber: www.silk.dephut.go.id
8
Salah satu unsur pidana yang penting dalam tindak pidana korupsi adalah hilangnya penerimaan negara yang diakibatkan oleh praktek/perilaku korupsi sehingga negara menderita kerugian. Banyak kajian atau temuan yang menyatakan kerugian negara ataupun potensi kerugian negara akibat korupsi di sektor kehutanan yang sebagian besar adalah hilangnya Penerimaan Negara Bukan Pajak (PNBP) sektor kehutanan yaitu Dana Reboisasi (DR) dan Provisi sumber Daya Hutan (PSDH). seperti dikutip dibawah ini: a. Hasil audit Ernst & Young pada 31 Juli 2000 tentang penggunaan dana reboisasi mengungkapkan ada 51 kasus korupsi dengan kerugian negara Rp 15,025 triliun (versi Masyarakat Transparansi Indonesia). b. Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) mengungkapkan Dana Reboisasi yang dikeluarkan pemerintah pada Tahun Anggaran (TA) 2004 sebesar Rp2,885 triliun tidak didukung bukti pertanggungjawaban. c. Data Kementerian Kehutanan tahun 2011, sampai dengan tahun 2011 ada 60 unit perusahaan HTI yang menunggak pembayaran Dana Reboisasi (DR) senilai Rp 1,1 triliun. d. Hasil investigasi Indonesia Corruption Watch (ICW) pada tahun 2011 bersama dengan koalisi di berbagai daerah di Indonesia menyatakan bahwa ada 22 kasus korupsi di sektor kehutanan dengan nilai kerugian negara Rp. 9,41 triliun. e. Human Rights Watch dalam laporannya berjudul The Dark Side of Green Growth yang dirilis pada Oktober 2013 mencatat bahwa dalam kurun waktu 2007 – 2011 Indonesia mengalami kehilangan pendapatan dari sektor kehutanan
sebesar 7 milyar US dollar (sekitar Rp. 70 triliun) akibat lemahnya tata kelola kehutanan dan dari kurun waktu 2007 – 2011 tersebut, yang kerugian yang paling terbesar adalah pada tahun 2011 (2 milyar US Dollar atau sekitar Rp. 20 triliun). Modus Penyuapan disinyalir menjadi modus terbesar dalam praktek pengurusan izin kegiatan kehutanan dan kegiatan lain yang menggunakan kawasan hutan. f. Catatan Kebijakan dari Article 33 Indonesia tahun 2013 yang berjudul Transparansi Penerimaan Negara Sektor Kehutanan memberikan suatu kesimpulan bahwa akibat pembalakan liar setiap tahunnya negara mengalami kerugian sebesar Rp. 30,3 triliun. Maraknya pembalakan liar di Indonesia sebagian besarnya disebabkan oleh praktek korupsi mulai dari level birokrasi yang paling bawah sampai dengan paling atas (Laporan UNEP : Green Carbon and Black Trade, September 2012). Korupsi di sektor kehutanan juga memberikan dampak pada hak asasi manusia yaitu berupa pelanggaran terhadap hak-hak ekonomi, sosial, dan budaya (ekosob) masyarakat sekitar hutan atau yang hidupnya tergantung dari hutan, dan pelanggran hak sipil dan politik. Hal tersebut disampaikan oleh Human Rights Watch juga dalam laporannya berjudul The Dark Side of Green Growth yang dirilis pada Oktober 2013, sebagai berikut: a. Pelanggaran terhadap hak-hak ekonomi, sosial, dan budaya (ekosob) masyarakat sekitar hutan atau yang hidupnya tergantung dari hutan terdiri dari: pelanggaran terhadap hak akses masyarakat terhadap kawasan hutan, hak untuk mendapatkan pekerjaan atau penghidupan yang layak di sekitar hutan, hak kesehatan, hak pendidikan, serta hak untuk melakukan kegiatan ekonomi di sekitar kawasan hutan. b. Pelanggaran terhadap hak sipil dan politik terdiri dari: penyerangan terhadap rakyat sipil yang
9
memprotes akibat perluasan kebun dengan kekerasan, Accessive Use of Violence (penggunaan kekerasan berlebihan) terhadap sekelompok orang yang juga menggunakan kekerasan, penyiksaan dan perlakuan semena-mena, serta pembatasan terhadap media dan NGO. Pada pelestarian hutan dan konservasi alam, korupsi di sektor kehutanan memberikan dampak pada semakin tingginya pengurangan luasan kawasan hutan, hal ini merujuk pada hasil riset dari World Bank (2006) yang menyatakan bahwa terdapat korelasi yang positif antara tingkat korupsi di suatu negara dengan laju deforestasi, semakin tinggi tingkat korupsi di suatu negara maka semakin tinggi pula laju deforestasinya. Kondisi ini mengakibatkan terancamnya keberhasilan atau paling tidak memperlambat upaya-upaya yang telah dilakukan dalam pelestarian hutan dan konservasi alam. Sama halnya pada pelestarian hutan dan konservasi alam, target Indonesia untuk menurunkan emisi Gas Rumah Kaca (GRK) sebesar 26 % secara mandiri dan 41 % dengan dukungan internasional pada tahun 2020 sebagaimana yang disampikan oleh Presiden Susilo Bambang Yudhoyono pada KTT G20 september 2009 di Pittsburgh, terancam gagal dilaksanakan karena masih tingginya laju deforestasi sebagai dampak dari korupsi di sektor kehutanan.
Upaya Pencegahan Korupsi Di Sektor Kehutanan Berdasarkan potensi dan bentuk korupsi yang terjadi di sektor kehutanan setidaknya ada lima hal utama yang menjadi akar permasalahannya, yaitu ketidakmantapan pengukuhan kawasan hutan, ketidakseimbangan relasi kekuasaan antara aktor negara (pemerintah, pelaku usaha, dan masyarakat sipil), lemahnya penerapan prinsip tata kelola yang baik (transparansi, akuntabilitas, partisipasi, dan integritas) dalam sektor kehutanan, modal pembiayaan politik, dan lemahnya
10
penegakan hukum dalam penanganan korupsi. Sehingga dalam mengembangkan strategi dan aksi pencegahan korupsi di sektor kehutanan semestinya bertitik tolak dari lima akar permasalahan di atas. Dalam mengatasi lima akar permasalahan korupsi di sektor kehutanan tersebut, selama ini telah diupayakan/dikembangkan oleh berbagai pihak termasuk Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) beberapa strategi pencegahan korupsi khususnya di sektor kehutanan, antara lain yang utama yaitu percepatan pengukuhan kawasan hutan, penguatan penerapan prinsip-prinsip tata kelola yang baik (transparansi, akuntabilitas, partisipasi, dan integritas) di sektor kehutanan, dan penguatan penegakan hukum dalam penanganan korupsi. 1. Percepatan pengukuhan kawasan hutan Sebagaimana kita pahami selama ini, tidak semua kawasan berhutan di Indonesia ini telah ditetapkan sebagai kawasan hutan, sehingga menyebabkan tidak pastinya angka luasan hutan secara legal yang pada akhirnya berimbas pada peruntukan kawasan hutan tersebut, ditambah lagi masih carut-marutnya penetapan Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) pada hampir sebagian besar wilayah. Tidak pastinya pengukuhan serta dan peruntukan kawasan hutan memberikan celah tersendiri bagi suburnya praktek-praktek korupsi. Hal tersebut dikuatkan pula dengan paparan mengenai hasil kajian perencanaan hutan pada saat Semiloka “Menuju Kawasan Hutan yang Berkepastian Hukum dan Berkeadilan” menyatakan bahwa sistem perencanaan kehutanan sebenarnya membuka pintu bagi berbagai masalah dalam teta kelola dan kuasa SDA yang telah menjadi masalah selama puluhan tahun. Selama itu pula praktik korupsi bersembunyi di dalamnya memanfaatkan permasalahan tersebut. Untuk itu KPK telah melakukan inisiatif untuk menggalang komitmen beberapa kementerian dan lembaga (K/L) dalam hubungannya melakukan
percepatan pengukuhan kawasan hutan, karena diyakini bahwa persoalan ini tidak cukup hanya diselesaikan di lingkup kementerian kehutanan saja. Penggalangan komitmen tersebut diwujudkan melalui penandatanganan Nota Kesepakatan Bersama (NKB) antar 12 kementerian dan lembaga (Kementerian Dalam Negeri, Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia, Kementerian Keuangan, Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral, Kementerian Pertanian, Kementerian Kehutanan, Kementerian Pekerjaan Umum, Kementerian Lingkungan Hidup, Kementerian PPN/Badan Perencanaan Pembangunan Nasional, Badan Pertanahan Nasional, Badan Informasi Geospasial, Komisi Nasional Hak Asasi Manusia) pada bulan Maret 2013. Inti dari NKB tersebut adalah 12 kementerian dan lembaga bersepakat untuk melakukan percepatan pengukuhan kawasan hutan sesuai dengan tugas pokok, fungsi, dan kewenangan masing-masing dengan melaksanakan agenda :1) Harmonisasi kebijakan dan peraturan perundang-undangan. 2) Penyelarasan teknis dan prosedur. 3) Resolusi konflik didasari pada prinsip keadilan, penghormatan, dan pemajuan hak asasi manusia sesuai peraturan perundangan. Tiga agenda utama tersebut kemudian diturunkan lagi dalam suatu rencana aksi pada masing-masing K/L, total keseluruhan rencana aksi yang telah disusun adalah 117 rencana aksi dari 12 K/L yang ikut menandatangani NKB. 2. Penguatan penerapan prinsip tata kelola yang baik (transparansi, akuntabilitas, partisipasi, dan integritas) dalam sektor kehutanan Penguatan penerapan prinsip tata kelola yang baik di sektor kehutanan diharapkan menjadi solusi yang efektif bagi ketidakseimbangan relasi kekuasaan antara aktor negara (pemerintah,
pelaku usaha, dan masyarakat sipil), maupun lemahnya penerapan prinsip tata kelola yang baik (transparansi, akuntabilitas, partisipasi, dan integritas) dalam sektor kehutanan. Selain itu, keberadaan oligarki politik-bisnis yang memanfaatkan sumber daya hutan sebagai modal untuk pembiayaan aktivitas-aktivitas politik dapat diminimalisir melaui peran dan relasi yang seimbang antar aktor negara. Beberapa upaya dalam pencegahan korupsi melalui penguatan penerapan prinsip tata kelola yang di sektor kehutanan oleh berbagai pihak baik itu dari lembaga pemerintah, lembaga internasional/donor, maupun lembaga swadaya masyarakat dan organisasi masyarakat pada umumnya dilaksanakan dalam berbagai bentuk antara lain : a. Penyusunan Indeks Tata Kelola Hutan oleh UNDP melalui Participatory Governance Assessment (PGA) dan Forest Watch Indonesia (FWI). Indeks ini diharapkan menjadi tolok ukur bagi kelembangaan pemerintah di sektor kehutanan untuk senantiasa memperbaiki tata kelola hutan. b. Transparansi anggaran sektor kehutanan oleh Forum Indonesia untuk Transparansi Anggaran (FITRA) dan Indonesian Center for Environmental Law (ICEL). c. Transparansi penerimaan negara sektor kehutanan oleh Article 33 Indonesia, ICEL, dan Extractive Industry Transparency Initiatives (EITI). d. Penetapan Zone Integritas dan Wilayah Bebas Korupsi di lingkungan Kementerian Kehutanan. e. Transparansi dan akuntabilitas sektor kehutanan di Sumatra oleh konsorsium Strengthening Integrity and Accountability Program II
11
(SIAP II) yang terdiri dari WWF Indonesia, Indonesia Working Group on Forest Finance (IWGFF), dan Transparency International Indonesia (TI-I).
hak di sektor kehutanan dalam rangka : pembahasan kebijakan, penyusunan program dan anggaran, pemantauan pelaksanaan program dan anggaran.
Pada beberapa makalah, Transparency International Indonesia menyampaikan bahwa dalam penerapan prinsip tata kelola yang baik di sektor kehutanan diarahkan pada pengembangan beberapa tindakan/kegiatan sebagai berikut :
Integritas Intergritas iterapkan pada kelembagaan pemerintah dan pelaku usaha sektor kehutanan, meliputi: a. Membuat kebijakan yang efektif yang mengatur tentang pelarangan gratifikasi, uang pelicin/facilitating payment, dan suap. b. Membuat aturan mengenai kode etik dan konflik kepentingan. c. Mekanisme untuk penanganan gratifikasi, uang pelicin/ facilitating payment, dan suap. d. Mendorong proses pelaporan mengenai gratifikasi, uang pelicin/facilitating payment, dan suap.
Transparansi a. Membuat kebijakan dan prosedur yang efektif mengenai keterbukaan informasi publik di sektor kehutanan sesuai UU 14/2008. b. Pengorganisasian dalam keterbukaan informasi publik: penguatan PPID (Pejabat Pengelola Informasi dan Dokumentasi) pada kelembagaan publik sektor kehutanan. c. Sistem dalam penyampaian dan penyediaan informasi publik (media dan sarana). Akuntabilitas a. Membuat kebijakan yang efektif mengenai mekanisme pelaporan anggaran, pengadaan, aset, dan kinerja pegawai. b. Membuat kebijakan dan kelembagaan yang efektif mengenai mekanisme penanganan pengaduan publik di sektor kehutanan. c. Membuat kebijakan yang efektif mengenai mekanisme whistleblower. d. Membuat kebijakan yang efektif mengenai aturan penghargaan dan sanksi (reward and punishment). Partisipasi a. Membuat kebijakan yang efektif mengenai mekanisme partisipasi multipihak di sektor kehutanan termasuk pengelolaan hutan. b. Forum multistakeholder di sektor kehutanan yang partisipatif. c. Memfasilitasi keterlibatan partisipasi multipi-
12
Sejalan dengan upaya penerapan tata kelola yang baik di Indonesia, saat ini telah didorong pula suatu inisiatif baru di Indonesia untuk keterbukaan/transparansi, akuntabilitas, dan partisipasi dalam pemerintahan yang disebut Open Government Indonesia (OGI). Open Government Indonesia (OGI) adalah bagian dari gerakan global Open Government Partnership (OGP) yang saat ini memiliki 60 Negara anggota (dan terus bertambah), dimana pada tahun 2013 ini Indonesia menjadi Lead Chair OGP. Tim Inti Open Government Indonesia (OGI) adalah Unit Kerja Presiden bidang Pengawasan dan Pengendalian pembangunan (UKP-PPP), Kementerian Luar Negeri (Kemlu), Kementerian Komunikasi dan Informatika (Kemkominfo), Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (Bappenas), Komisi Informasi Pusat (KIP), Kementerian Dalam Negeri (Kemdagri), Kementerian Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi
(Kemenpan-RB), Sekretariat Nasional Forum Indonesia untuk Transparansi Anggaran (Seknas FITRA), Pusat Telaah dan Informasi Regional (PATTIRO), Indonesian Center for Environmental Law (ICEL), dan Transparency International Indonesia (TII), Gerakan Anti Korupsi Aceh (Gerak Aceh), JARI Indonesia, dan Komite Pemantau Legislatif Makassar (KOPEL) Makassar. Sektor kehutanan sebagai salah satu sektor strategis dan berkontribusi dalam pembangunan Indonesia sanga penting dan prioritas untuk menjadi bagian dari penerapan Open Government Indonesia, mengingat adanya beberapa akar permasalahan korupsi di sektor kehutanan sebagaimanan yang telah disebutkan di atas. Inisiatif Open Government sejalan dengan upaya dalam memperbaiki tata kelola hutan di Indonesia karena prinsip-prinsip tata kelola yang baik seperti transparansi, akuntabilitas, dan partisipasi dapat dikatakan sebagai jantung utama dari gerakan Open Government. 3. Penguatan penegakan hukum dalam penanganan korupsi Pada strategi pencegahan dan pemberantasan korupsi (Stranas PPK) tahun 2010 – 2015, penguatan penegakan hukum dimasukan dalam strategi kedua yaitu melaksanakan langkah-langkah strategis dibidang penindakan. Dan pada strategi ini memua empat isu strategis yaitu 1) Mempercepat penanganan kasus korupsi dan penguatan koordinasi antar lembaga penegak hukum. 2) Penguatan kelembagaan penegakan hukum. 3) Memperkuat kerangka regulasi penegakan hukum; dan 4) Menyusun mekanisme pelaporan dan pengaduan kasus korupsi serta perlindungan bagi masyarakat.
Setiap tahunnya melalui instruksi presiden strategi tersebut diturunkan lagi dalam aksi pencegahan dan pemberantasan korupsi. Dengan mengambil contoh pada aksi penegahan dan pemberantasan korupsi tahun 2013 (Inpres 1/2013), aksi pencegahan dan pemberantasan korupsi terkait strategi penegakan hukum terdiri dari : 1) Penguatan serta peningkatan konsistensi sanksi hukum dan administrasi bagi pelaku maupun aparat penegak hukum yang melakukan penyimpangan dan penyalahgunaan wewenang atau tipikor. 2) Penguatan sanksi hukum terhadap penyalahgunaan wewenang, misalnya dengan mengembalikan aset yang dikorupsi dan membayar kerugian yang ditimbulkan dari penyalahgunaan wewenang tersebut. 3) Memperkuat koordinasi penanganan kasus korupsi diantara lembaga penegak hukum dengan dukungan teknologi informasi yang komprehensif (E-Law Enforcement). 4) Pengaturan anti penyuapan serta korupsi dalam kode etik profesi, termasuk profesi advokat, akuntan publik dan konsultan pajak. 5) Penerapan pembuktian terbalik atas kekayaan yang tidak dapat dijelaskan. 6) Pengetatan pemberian remisi kepada pelaku tipikor. 7) Konsistensi penegakan hukum di satu daerah ke daerah lain.
13
Bagian Ketiga
Korupsi Dalam Pandangan Islam 3
Korupsi telah mewabah di tengah-tengah masyarakat, hal itu tergambar jelas dengan maraknya istilah-istilah negatif seperti uang minum, pelicin, untuk lancar urusan, biaya tutup mulut, biaya administrasi, pajak nanggroe, dan banyak lagi istilah lainnya yang sebenarnya tergolong dalam pungutan liar yang bertentangan dengan ketentuan hukum.
Dalam fiqh Islam, istilah korupsi secara tekstual memang tidak ada padanannya, namun unsur-unsur yang ada di dalam korupsi secara jelas dan tegas telah dipaparkan di dalam Islam baik melalui ayat-ayat Al-Qur’an maupun melalui hadits-hadits Rasulullah SAW. Beberapa istilah yang biasa digunakan untuk menggambarkan perbuatan korupsi dalam Islam adalah seperti ghulul, juga ada
3 Dirangkum dari tulisan Dr. Syukri Muhammad Yusuf, MA berjudul “Korupsi Sektor Kehutanan dalam Pandangan Fiqih” dan tulisan Ali Abubakar, M.Ag berjudul “Kejahatan Pngrusakan Hutan dalam Pandangan Fiqih” yang disampaikan dalam FDG kedua di Hotel The Pade Banda Aceh 26 Februari 2013.
15
yang mengungkapkannya dengan istilah risywah, demikian juga ada yang mengatakan sebagai tindakan ikhtilas, akhzul amwal, aklul amwal, dan ada pula yang memasukkan hadiah (gratifikasi), khianat, sariqah, suht dan lain sebagainya.
Dalam riwayat Buraidah, Rasulullah juga menegaskan makna ghulûl, beliau bersabda:
Ghulul
“Barangsiapa yang kami tugaskan dengan suatu pekerjaan, lalu kami tetapkan imbalan (gaji) untuknya, maka apa yang dia ambil di luar itu adalah harta ghulûl (korupsi).” (HR. Abu Daud)
Ghulul adalah mengambil sesuatu secara sirr (sembunyi) oleh aparat atau pejabat dan disimpan atau digunakan untuk kepentingannnya sendiri atau kelompoknya saja. Berkaitan dengan masalah al-ghulul, Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:
“Tidak mungkin seorang Nabi berkhianat dalam urusan harta rampasan perang. Barangsiapa yang berkhianat dalam urusan rampasan perang itu, maka pada hari kiamat ia akan datang membawa apa yang dikhianatkannya itu, kemudian tiap-tiap diri akan diberi pembalasan tentang apa yang ia kerjakan dengan (pembalasan) setimpal, sedang mereka tidak dianiaya.” (QS. Ali Imran: 161) Dalam hadits Rasulullah SAW yang diriwayatkan oleh Adi bin Amirah al-Kindi, dikatakan:
“Barangsiapa di antara kalian yang kami tugaskan untuk suatu pekerjaan (urusan), lalu dia menyembunyikan dari kami sebatang jarum atau lebih dari itu, maka itu adalah ghulul (harta korupsi) yang akan dia bawa pada hari kiamat.” (HR. Muslim). 16
Ikhtilas Bagi yang menggunakan istilah ikhtilas dalam menyebut tindakan korupsi, melihat bahwa korupsi memiliki perilaku ikhtilas yang merupakan perbuatan mencopet atau merampas harta orang lain. Aklul amwal bil bathil Sedangkan pengistilahan aklul amwal bil bathil, ini telah ditegaskan larangannya di dalam Al Quran seperti dalam surat Al-Baqarah dan surat An-Nisa. Allah berfirman:
“Dan janganlah sebagian kamu memakan harta sebagian lain di antara kamu dengan jalan yang batil dan (janganlah) kamu membawa (urusan) harta itu kepada hakim, supaya kamu dapat memakan sebagian dari harta benda orang lain itu dengan (jalan berbuat) dosa, padahal kamu mengetahui.” (QS. Al-Baqarah : 188).
“Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu saling memakan harta sesamamu dengan jalan yang batil, kecuali dengan jalan perniagaan yang berlaku dengan suka sama-suka di antara kamu. dan janganlah kamu membunuh dirimu. Sesungguhnya Allah adalah Maha Penyayang kepadamu.” (QS. An-Nisa: 29). Risywah Adapun risywah secara bahasa lebih identik dengan korupsi dalam bentuk suap-menyuap. Umar bin Khaththab mendefinisikan bahwa risywah adalah sesuatu yang diberikan/ disampaikan oleh seseorang kepada orang yang mempunyai kekuasaan (jabatan, wewenang) agar ia memberikan kepada si pemberi sesuatu yang bukan haknya). Risywah merupakan perbuatan yang dilarang oleh Al-Qur’an, As-Sunnah dan Ijma’ Ulama. Larangan tersebut berlaku bagi yang memberi, menerima dan yang menjadi perantara di antara keduanya. Dalam hadits disebutkan Abu Hurairah ra berkata:
Dalam kejahatan suap korbannya bukan si penyuap, yang disuap atau pun si perantara. Karena ketiganya, sama-sama sebagai pelaku. Sementara korban yang sesungguhnya adalah pihak keempat, yakni: pertama, orang yang kehilangan haknya karena adanya praktek penyuapan, dan korban kedua adalah masyarakat luas. Yang pertama korban langsung, yang kedua korban tidak langsung. Oleh sebab itulah, maka menurut sabda Rasulullah SAW di atas dalam kejahatan suap ini yang dikutuk adalah yang menyuap, yang menerima suap dan yang menjadi perantara di antara keduanya. Hadiah Sedangkan hadiah pada dasarnya hal yang diperbolehkan bahkan dianjurkan dalam agama. Karena hadiah adalah suatu pemberian dengan tujuan mengharapkan ridha Allah Swt untuk memperkuat tali silaturahmi atau menjalin ukhuwah Islamiah. Nabi Saw bersabda:
“Saling memberi hadiahlah kalian, niscaya kalian saling mencinta.” (HR. Imam Malik) “Rasulullah melaknat orang yang menyuap dan yang menerima suap dalam hukum.” (HR. Turmuzi). Dalam riwayat lain dari Tsubana berkata:
“Rasulullah saw. melaknat orang yang menyuap dan yang menerima suap serta al-Raisya yaitu orang yang menjadi perantara keduanya.” (HR. Ahmad).
Adapun jika memberi hadiah untuk kepentingan tertentu, seperti memberi hadiah kepada orang yang memiliki suatu jabatan, kekuasaan atau wewenang, maka pemberian hadiah tersebut dilarang. Hadiah seperti ini disebut dengan gratifikasi, yaitu uang hadiah kepada pegawai di luar gaji yang telah ditentukan karena ada suatu kepentingan tertentu. Rasullah melarang gratifikasi atau uang hadiah kepada pegawai di luar gaji yang telah ditentukan, Rasul bersabda:
17
“Hadiah bagi para pekerja (di luar hak yang telah ditetapkan) adalah ghulul (korupsi).” (HR. Ahmad) Imam Syafi’i r.a. (w. 820 M), dalam kitabnya Al-Umm, menyatakan bahwa apabila seorang warga masyarakat memberikan hadiah kepada seorang pejabat, maka bilamana hadiah itu dimaksudkan untuk memperoleh—melalui atau dari pejabat itu—suatu hak, maka haram atas pejabat bersangkutan untuk menerima hadiah tersebut. Khianat Khianat adalah tidak menunaikan amanah. Ar-Raqib al-Isfahani, seorang pakar bahasa Arab, berpendapat bahwa khianat adalah sikap tidak memenuhi suatu janji atau suatu amanah yang dipercayakan kepadanya. Khianat dalam konteks korupsi adalah pengkhianatan terhadap amanat dan sumpah jabatan. Di dalam Al-Quran surat Al-Anfal, Allah berfirman:
“Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu mengkhianati Allah dan Rasul (Muhammad) dan (juga) janganlah kamu mengkhianati amanat-amanat yang dipercayakan kepadamu, sedang kamu mengetahui.” (QS. Al-Anfal: 27) Dalam bab mu’amalah prilaku khianat dapat digunakan bagi seseorang yang melanggar atau mengambil hak-hak orang lain, dalam bentuk pembatalan sepihak perjanjian yang dibuatnya. Khianat juga digunakan kepada orang yang mengingkari amanat politik, ekonomi, bisnis (mu’amalah), sosial dan pergaulan. Sementara khianat yang semakna dengan pengertian korupsi, yaitu pengkhianatan terhadap amanah dan sumpah jabatan.
18
Sariqah Sariqah adalah mengambil harta milik seseorang secara sembunyi-sembunyi dan dengan cara tipu daya. Secara istilah syara’ menurut yang dikemukakan oleh Muhammad Abu Syahbah, adalah pengambilan oleh seorang mukalaf (yang baligh dan berakal) terhadap harta milik orang lain dengan diam-diam, apabila barang tersebut mencapai nishab (batas minimal), dari tempat simpanannya, tanpa ada syubhat dalam barang yang diambil tersebut. Pencurian dalam konteks negara adalah tindakan mencuri harta kekayaan negara atau korporasi. Pencurian uang negara biasanya dilakukan secara sistematis dengan merekayasa kebijakan atau mempermainkan anggaran dengan manipulasi dalam berbagai macam bentuknya. Orang yang mencuri harta negara yang diperuntukkan bagi kesejahteraan rakyat disebut koruptor. Tindakan-tidakannya terkadang dilakukan secara individu, kolektif, atau institusi. Namun dalam konseps hukum Islam sangat sulit untuk mengkategorikan tindak pidana korupsi sebagai delik sariqah (pencurian). Hal ini disebabkan oleh beragamnya praktik korupsi itu sendiri yang umumnya tidak masuk dalam definisi sariqah (pencurian). Namun jika dalam satu kasus tindak pidana korupsi telah sesuai dengan ketentuan sariqah, maka tidak diragukan lagi ia terkena ketentuan hadd sariqah dan pelakunya dikenakan hukum potong tangan. Dalam hadits yang diriwayatkan oleh Imam Bukhari dan Muslim dari Abu Hurairah, bahwa Rasulullah saw. bersabda:
“Allah mengutuk pencuri, yang mencuri telur tetap harus dipotong tangannya dan yang mencuri tali juga harus dipotong tangannya.” Lebih jauh dari itu, dalam Islam orang yang melakukan pencurian dikategorikan sebagai bukan orang yang beriman, karena seorang yang beriman, ia tidak mungkin akan melakukan korupsi atau pencurian sebagaimana sabda Rasulullah Saw:
“Pencuri tidak akan mencuri ketika ia dalam keadaan beriman.” (HR. Bukhari) Suht Adapun ungkapan Suht secara bahasa berasal dari kata kerja sahata yashatu suhtan wa suhutan yang berarti memperoleh harta haram. Ibnu Manzur menjelaskan arti suht, yaitu semua yang haram. Suht juga diartikan sesuatu yang terlarang, yang tidak halal dilakukan karena akan merusak atau menghilangkan keberkahan. Bukhari mengutip pendapat Ibnu Sirin bahwa suht adalah risywah (suap menyuap) dalam perkara hukum atau kebijakan. Malik juga meriwayatkan bahwa orang-orang Yahudi di Khaibar pernah akan menyuap Abdullah bin Rawahah r.a dengan sejumlah perhiasan agar memberikan keringanan atau keuntungan tertentu bagi mereka, tetapi Ibnu Rawahah berkata, “Apa pun yang kamu sodorkan dari suap, maka hal itu adalah suht (yang haram) dan kami tidak akan memakannya.” Ghasab Ghasab berasal dari kata kerja ( ) yang berarti mengambil sesuatu secara paksa dan
zalim. Secara istilah, ghasab dapat diartikan sebagai upaya untuk menguasai hak orang lain secara permusuhan/terang-terangan. Menurut Dr. Nurul irfan, MA, ghasab adalah mengambil harta atau menguasai hak orang lain tanpa izin pemiliknya dengan unsur pemaksaan dan terkadang dengan kekerasan serta dilakukan dengan cara terang-terangan. Karena ada unsur terang-terangan, maka ghasab berbeda dengan pencurian dimana salah satu unsurnya adalah pengambilan barang secara sembunyi-sembunyi. Para ulama sepakat bahwa ghasab merupakan perbuatan yang terlarang dan diharamkan. Dalil Al-qur’an yang melarang perbuatan tersebut ada dalam surat An-Nisa ayat 29.
Korupsi Adalah Dosa Besar Setelah mencermati sejumlah istilah yang diungkapkan untuk menggambarkan substansi korupsi dalam fiqh Islam, maka kita melihat bahwa unsur-unsur yang ada di dalam korupsi sangat jelas tergambar dalam istilah-istilah tersebut, dimana semua prilaku menyeleweng itu dilarang dalam Islam. Oleh karena itu, Ibnu Hajar al-Haytami secara tegas mengatakan bahwa korupsi itu termasuk dosa besar (min al-kaba’ir), dan penanganannya masuk dalam delik jarimah (pidana). Dengan demikian dapat dipahami bahwa jika seseorang untuk mengerjakan sesuatu pekerjaan telah dibayar maka apapun selain itu bukan menjadi haknya dan haram mengambilnya. Begitu juga, jika dia memanfaatkan harta perusahaan atau negara untuk kepentingan pribadinya, dalam hal ini ia telah mengambil sesuatu yang bukan haknya secara bathil dan haram hukumnya. Karena itu, seorang karyawan dilarang menerima souvenir, parcel di akhir tahun, amplop yang berisi uang atau uang komisi yang biasanya langsung ditransfer, mengam-
19
bil harta perusahaan/negara, melakukan mark-up suatu transaksi, dan lain-lain. Pada dasarnya korupsi tidak hanya sebatas mengambil yang bukan haknya dalam hal materi. Korupsi juga bisa dilakukan terhadap sesuatu yang tidak berwujud (nonmateri), seperti waktu. Seorang PNS bisa disebut korupsi waktu, tatkala ia tidak bekerja sesuai waktu yang telah ditetapkan. Atau ia sering menghilang dari kantor di saat jam kerja, untuk keperluan pribadi.
Merusak Lingungan/ Hutan Dan Korupsi Apabila merujuk kepada kata asal dari korupsi (corrupt), maka ia dapat berarti merusak (dalam bentuk kecurangan) atau menyuap. Di antara berbagai bentuk kejahatan ini yang nampaknya paling mirip substansinya dengan korupsi ialah ghulul yang diartikan sebagai pengkhianatan terhadap amanah dalam pengelolaan harta rampasan perang dan risywah atau yang biasa dikenal dengan istilah suap. Dalam konteks ajaran Islam yang lebih luas, korupsi merupakan tindakan yang bertentangan dengan prinsip keadilan (al-`adalah), akuntabilitas (al-amanah), dan tanggung jawab. Korupsi dengan segala dampak negatifnya yang menimbulkan berbagai distorsi terhadap kehidupan negara dan masyarakat dapat dikategorikan termasuk perbuatan fasad (kerusakan), kerusakan di muka bumi, yang juga amat dikutuk Allah swt:
20
“Dan carilah pada apa yang telah dianugerahkan Allah kepadamu negeri akhirat, dan janganlah kamu melupakan bahagianmu dari duniawi dan berbuat baiklah sebagaimana Allah telah berbuat baik, kepadamu, dan janganlah kamu berbuat kerusakan di bumi. Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang berbuat kerusakan.” (QS. Al Qashash : 77)
“Dan apabila ia berpaling , ia berjalan di bumi untuk mengadakan kerusakan padanya, dan merusak tanam-tanaman dan binatang ternak, dan Allah tidak menyukai kebinasaan.” (QS. Al Baqarah : 205) Berdasarkan ayat-ayat di atas kita berkesimpulan bahwa merusak lingkungan, merusak hutan, tanam-tanaman atau flora dan fauna secara umum tergolong kepada perbuatan fasad yang secara tegas diperingatkan oleh Allah agar manusia tidak berbuat fasad di muka bumi. Fasad yang dimaksudkan dalam Al-Quran telah terpenuhi unsur-unsur korupsi di dalamnya. Jika fasad diidentikkan dengan korupsi (corrup) yang berarti merusak dalam bentuk kecurangan, maka fasad adalah korupsi plus.
Kehutanan Rawan Korupsi Pakar Hukum Universitas Padjajaran (Unpad), Yesmil Anwar mengungkapkan, sektor kehutanan merupakan sektor yang cukup dahsyat untuk melakukan korupsi. Indonesia Corruption Watch (ICW), melakukan riset terkait kejahatan korporasi di bidang kehutanan tahun 2011-2012. Hasilnya, negara mengalami kerugian dari kejahatan di sektor
kehutanan selama kurun waktu 2011-2012 mencapai Rp 691 triliun.
SKAU, LMKB yang tidak sesuai, serta berbagai pengurangan/ penunggakan PSDH.
Hal itu diperkuat oleh peneliti dari LSM Antikorupsi ICW, Tama S Langkun menyebut korupsi di sektor sumber daya alam merupakan tindak pidana korupsi yang tidak terbatas. Pasalnya, kata Tama, korupsi di sektor sumber daya alam akan terus berlangsung selama sumber daya alam itu masih tersedia. Berbeda dengan APBD yang menurut Tama akan berhenti apabila dana APBD sudah habis.
Terkait dengan hal di atas MUI telah mengeluarkan dan menetapkan dalam fatwa bahwa pembakaran hutan dan lahan untuk kegiatan kehutanan, pertanian, perkebunan, peternakan dan lain-lain yang mengakibatkan kabut asap, kerusakan lingkungan serta mengganggu kehidupan manusia hukumnya haram.
"Kalau kerugian negara di APBD, kalau APBD-nya habis korupsi berhenti. Saya yakin itu. Karena uangnya abis. Kalau SDA, ya sampai SDA-nya habis, makanya saya bilang korupsinya unlimited," kata Tama, Minggu (16/6/2013). Tama memaparkan data betapa kerugian negara dalam korupsi di sektor kehutanan sangat besar. Di tahun 2003, kerugian negara akibat penerbitan izin penggunaan hutan mencapai Rp 7 miliar. Namun di tahun 2011 kerugian negara di sektor menembus angka Rp 273 triliun. (Sumber : Bangkapos.Com, Jakarta) Senada dengan itu, Agus Affianto, S.Hut., M.Si staf pengajar Fakultas Kehutanan UGM juga mengatakan sektor kehutanan sangat potensial menimbulkan berbagai kasus korupsi. Berbagai kegiatan di sektor ini menjadi titik kritis terjadinya kasus korupsi. Dari belum memadainya peta kawasan hutan, batas kawasan yang belum jelas, pelanggaran kriteria pemberian izin hingga tebangan di luar blok, LHC fiktif serta cara-cara cuci mangkok menjadi sumber terjadinya kasus korupsi di sektor ini. Belum lagi Pungli, SAKB yang tidak dimatikan , kayu tanpa
Landasan yang digunakan para ulama di antaranya: Firman Allah tentang penciptaan kekayaan alam untuk kemakmuran umat manusia (QS. Baqarah: 29), Firman Allah tentang pemberian kemudahan bagi umat manusia untuk mengambil manfaatnya (QS. AlJatsiyah:13), Firman Allah tentang larangan merusak lingkungan (QS. Al 'Araf: 56), Firman Allah tentang musibah (kebakaran dan kabut asap) disebabkan tangan manusia (QS. Asyu’ara: 30), Firman Allah tentang wajib mematuhi peraturan yang ditetapkan pemerintah tentang larangan membakar hutan untuk ke-maslahatan manusia (QS. An Nisa: 59).
Kebijakan Yang Salah Adalah Korupsi Pengelolaan hutan menurut syariah hanya boleh dilakukan oleh negara (imam), sebab pemanfaatan atau pengolahan hutan tidak mudah dilakukan secara langsung oleh orang per orang, serta membutuhkan keahlian, sarana, atau dana yang besar. Sabda Rasulullah SAW :
"Imam adalah ibarat penggembala dan hanya dialah yang bertanggung jawab terhadap gembalaannya (rakyatnya)." (HR. Muslim)
21
Dikecualikan dalam hal ini, pemanfaatan hutan yang mudah dilakukan secara langsung oleh individu (misalnya oleh masyarakat sekitar hutan) dalam skala terbatas di bawah pengawasan negara. Misalnya, pengambilan kayu, atau penebangan pohon dalam skala terbatas, atau pemanfaatan hutan untuk berburu hewan liar, mengambil madu, rotan, buah-buahan, dan air dalam hutan. Semua ini dibolehkan selama tidak menimbulkan bahaya dan tidak menghalangi hak orang lain untuk turut memanfaatkan hutan. Karenanya, penguasa (imam) dapat mengelola hutan itu dengan berbagai cara sepanjang untuk kemaslahatan rakyat dalam bingkai syariat Islam. Kaidah fiqh menyebutkan: "Tasharruf al-Imaam ‘alaa al-ra’iyyah manuuthun bi al-maslahah." (Kebijakan Imam/pemimpin dalam mengatur rakyatnya harus berpatron pada asas kemaslahatan) (Lihat Imam Suyuthi, al-Asybah wa an-Nazha`ir fi Al-Furu’) Jika kebijakan penguasa keliru maka akibatnya akan bermunculan berbagai dampak negatif dari penyelewengan, pemalsuan, penggelapan dan penipuan di segala sektor, tak terkecuali di sektor perizinan. Itulah yang dikatakan korupsi dalam format khianat. Di dalam Al-Quran Allah berfirman:
um aromanya syurga, sebagaimana disebutkan dalam hadits berikut:
“Siapa yang diamanati Allah untuk memimpin rakyat, lalu ia tidak memimpinnya dengan tuntunan yang baik, maka ia tidak akan dapat merasakan bau syurga.” (HR. Bukhari. Muslim). Yakni bila tidak merasakan bau syurga maka pastilah neraka tempat kembalinya. Fuad abdul baqi Muhammad, Al-lu’lu’ wal Marjan (Surabaya : PT. Bina Ilmu 2003) Jika korupsi berawal dari kesalahan kebijakan, maka tidak dapat dipungkiri lagi bahwa aktor-aktor utama pelaku korupsi lingkungan melibatkan para kepala daerah (gubernur/bupati/walikota), dalam wujud KKN dengan pengusaha HPH dan pertambangan. Modus KKN yang paling sering adalah penerbitan Surat Keputusan (SK) izin usaha di kawasan hutan lindung. Misalnya, izin usaha perkebunan, HPH dan pertambangan. Pada tahun 2012, menurut Direktorat Jenderal Perlindungan Hutan dan Konservasi Kementerian Kehutanan, Darori, saat itu sebanyak 14 bupati/walikota diduga melakukan korupsi lingkungan (Kompas,17 November 2012).
“Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu mengkhianati Allah dan Rasul (Muhammad) dan (juga) janganlah kamu mengkhianati amanat-amanat yang dipercayakan kepadamu, sedang kamu mengetahui.” (QS. Al-Anfal: 27)
Di Aceh pun setali tiga uang, arus investasi tambang di Aceh meningkat pesat. Pada tahun 2002 hanya terdapat satu perusahaan tambang, tapi di tahun 2011 meningkat drastis menjadi 120 perusahaan.
Kekeliruan itu juga berakibat pada terancamnya yang bersangkutan dari mendapat peluang menci-
Berdasarkan fakta di atas maka pemberantasan korupsi memang tidak mudah, dibutuhkan suatu
22
komitmen politik penguasa dalam bentuk kebijakan hukum yang kuat dan tidak diskriminatif. Faktor kesadaran warga masyarakat, khususnya kekuatan sipil pro lingkungan. Dalam hal ini, intervensi pada level kelembagaan sangat penting. Pemerintah tidak boleh berpangku tangan dengan membiarkan perusakan hutan terus terjadi tetapi wajib mencegah segala bahaya (dharar) atau kerusakan (fasad) pada hutan. Dalam kaidah fiqih dikatakan, "Adh-dharar yuzal", artinya segala bentuk kemudharatan atau bahaya itu wajib dihilangkan. Nabi SAW bersabda:
"Laa dharara wa laa dhiraara." (HR Ahmad & Ibn Majah), artinya tidak boleh membahayakan diri sendiri maupun membahayakan orang lain. Jika masalah kerusakan hutan tak segera ditangani, bukan tidak mungkin hutan di Indonesia, khususnya di Aceh akan punah. Selain itu, kerusakan hutan bisa menimbulkan polusi udara, yang menyebabkan mewabahnya pelbagai penyakit, seperti saluran pencernaan, influenza, pernafasan, radang paru-paru, jaringan kulit dan sebagainya. Kita tentu tak ingin dampak buruk ini terjadi di negeri kita. Karena itu, pemerintah harus secepatnya melakukan renovasi hutan, apalagi anggaran sangat besar dialokasikan untuk keperluan rehabilitasi hutan. Terkait illegal logging, seharusnya pemerintah tidak lemah dalam penegakan hukum, sehingga tidak ada lagi para penebang liar yang lolos dari jeratan hukum. Namun sampe hari ini terindikasi masih ada pihak-pihak yang menyusup menjadi si ‘Raja Hutan’.
Merusak Hutan Dan Berbuat Kerusakan Jauh sebelumnya, Islam telah melarang kita untuk berbuat kerusakan di muka bumi. Tuhan berfirman pada surat al-A’raf ayat 56 :
“Dan janganlah kamu membuat kerusakan di muka bumi, sesudah (Allah) memperbaikinya.” Menurut kajian ushul fiqh, ketika kita dilarang melakukan sesuatu berarti kita diperintah untuk melakukan kebalikannya. Misalnya, kita dilarang merusak alam berarti kita diperintah untuk melestarikan alam. Adapun status perintah tersebut tergantung status larangannya. Contoh, status larangan merusak alam adalah haram, itu menunjukkan perintah melestarikan alam hukumnya wajib. (Jam’ul Jawami’, I. 390) Sementara itu, Fakhruddin al-Raziy dalam menanggapi ayat di atas, berkomentar bahwa, ayat di atas mengindikasikan larangan membuat mudharat (bahaya). Dan pada dasarnya, setiap perbuatan yang menimbulkan mudharat itu dilarang oleh agama. Al-Qurtubi menyebutkan dalam tasfirnya bahwa, penebangan pohon juga merupakan tindakan pengrusakan yang mengakibatkan adanya mudharat. Beliau juga menyebutkan bahwa mencemari air juga masuk dalam bagian pengrusakan. (al-Tafsir al-Kabir, IV, 108-109 ; Tafsir Al-Qurtubi, VII, 226) Larangan di atas bukan lantas melarang kita memanfaatkan kekayaan jagat raya ini. Sebab kekayaan alam ini diperuntukkan bagi kepentingan manusia. Kita dibolehkan mengambil manfaat dari
23
kekayan alam ini asal tidak berlebihan dan tidak merusak lingkungan. Hutan termasuk dalam kepemilikan umum, bukan kepemilikan individu atau negara. Syariah telah memecahkan masalah kepemilikan hutan dengan tepat, yaitu hutan (al-ghaabaat) termasuk dalam kepemilikan umum (al-milkiyah al-‘ammah) (Zallum, 1983 : 25). Ketentuan ini didasarkan pada hadits Nabi SAW :
"Kaum muslimin berserikat dalam tiga hal : dalam air, padang rumput [gembalaan], dan api." (HR. Abu Dawud, Ahmad, Ibnu Majah). (Imam Syaukani, Nailul Authar, hal. 1140). Hadits ini menunjukkan bahwa tiga benda tersebut adalah milik umum, karena sama-sama mempunyai sifat tertentu sebagai illat (alasan penetapan hukum), yakni menjadi hajat hidup orang banyak (min marafiq al-jama’ah). Termasuk milik umum adalah hutan (al-ghaabaat), karena diqiyaskan dengan tiga benda di atas berdasarkan sifat yang sama dengan tiga benda tersebut, yaitu menjadi hajat hidup orang banyak. (Ali as-Salus, 2002:37). Namun, yang perlu dicatat untuk konteks Indonesia, memanfaatkan kekayaan alam harus mendapat izin dari pemerintah. Makanya, illegal loging dan pemanfaatan lain secara illegal haram hukumnya. Sebab, mengikuti peraturan yang telah ditetapkan pemerintah adalah sebuah kewajiban yang sangat mengikat, selama peraturan itu tidak bertentangan dengan syariat Islam, dan demi kemaslahatan rakyat. (Hawasyi al-Syarwaniy, VII, 76 ; al-Fiqh al-Islamiy, V, 505)
Ancaman Sanksi Bagi Pelaku Kerusakan Berbuat kerusakan di muka bumi adalah dosa besar yang dibenci oleh Allah SWT. Di dalam Al-Quran Allah berkali-kali memperingatkan manusia agar
24
tidak berbuat semena-mena, melampaui batas, melakukan kezaliman, penganiayaan, penindasan, mengambil hak-hak orang lain secara batil dan lain-lain yang termasuk dalam ranah kerusakan. Berbuat kerusakan di muka bumi dapat tercermin dalam sejumlah tindakan manusia yang dilarang oleh agama yang salah satunya adalah korupsi. Tindakan korupsi adalah salah satu bagian dari kerusakan besar yang dilakukan manusia yang juga berdampak sangat besar bagi kerusakan tatanan kehidupan. Karena itu, para ulama telah menawarkan sanksi yang berat pula sesuai dengan dampak yang ditimbulkan dari perbuatannya. Kalau kerusakan yang dilakukan tidak sampai mengakibatkan bahaya besar, maka hukuman yang bisa diterima cukup dengan ta’zir ringan. Artinya pemerintah bisa memberi sanksi sesuai dengan kadar kejahatannya. Namun, jika perbuatannya mengakibatkan dampak besar, seperti penebangan pohon secara besar-besaran yang mengakibatkan banjir, longsor, gempa dan musibah lainnya, maka tak ada tawaran lain, pelakunya harus diberi hukuman yang berat. Bahkan, menurut fiqih, perbuatan itu termasuk kejahatan besar dan pelakunya sudah sepantasnya dihukum berat bahkan hukuman mati. Apalagi perbuatan itu telah dilakukan berkali-kali. Begitu juga, pihak keamanan (polisi hutan) yang mendukung aksi illegal logging juga harus dihukum berat. Kaedah hukuman mati berlaku pada setiap tindak kriminal yang sulit dicegah kecuali dengan cara dibunuh pelakunya. (Bughyah al-Mustarsyidin, 250; al-Fiqh al-Islamiy, VI, 200 ; al-Islam li Sa’id Hawwa, 585; al-Fiqh al-Islamiy, VI, 200). Tentu saja semua ini berpijak kepada ayat-ayat Al Quran
dan Hadits-hadits Rasulullah yang melarang berbuat kerusakan dan mengancam pelakunya dengan azab yang berat. Jadi, negara berhak menjatuhkan sanksi ta’zir yang tegas atas segala pihak yang merusak hutan. Orang yang melakukan pembalakan liar, pembakaran hutan, penebangan di luar batas yang dibolehkan, dan segala macam pelanggaran lainnya terkait hutan wajib diberi sanksi ta’zir yang tegas oleh negara (peradilan). Ta’zir ini dapat berupa denda, cambuk, penjara, bahkan sampai hukuman mati, tergantung tingkat bahaya dan kerugian yang ditimbulkannya. Prinsipnya, ta’zir harus sedemikian rupa menimbulkan efek jera agar kejahatan perusakan hutan tidak terjadi lagi dan hak-hak seluruh masyarakat dapat terpelihara.
Sanksi Ukhrawi Bagi Pelaku Kerusakan Dalam hadits, barang siapa yang berbuat kerusakan dengan cara menebang pohon akan dicelupkan kepalanya ke dalam neraka. Hal ini sesuai dengan sabda Rasulullah saw sebagaimana dalam bagian matan hadis berikut, yakni, “Barang siapa yang menebang pepohonan (sidrah), maka Allah akan mencelupkannya ke dalam neraka.” (HR. Abu Daud) Maksud hadits di atas, dijelaskan kemudian oleh Abu Daud setelah meriwayatkan hadis tersebut, yaitu kepada orang yang memotong pepohonan secara sia-sia sepanjang jalan, tempat para musafir dan hewan berteduh. Ancaman keras tersebut secara eksplisit merupakan ikhtiar untuk menjaga kelestarian pohon, karena keberadaan pepohonan tersebut banyak memberi manfaat bagi lingkungan sekitar. Kecuali, jika penebangan itu dilakukan dengan pertimbangan cermat atau untuk menanam
pepohonan baru dan menyiramnya agar bisa menggantikan fungsi pohon yang ditebang itu. Terkait pepohonan bukan saja dilarang melakukan penebangan tanpa alasan, lebih dari itu mencemarinya dengan hal-hal yang keji juga pelakunya dilaknat. Dalam hadits Rasulullah SAW bersabda:
“Jauhilah tiga macam perbuatan yang dilaknat; buang air besar di sumber air, ditengah jalan, dan di bawah pohon yang teduh.” (HR. Abu Daud). Wallahu A’lam.
Bentuk -Bentuk Kejahatan Di Sektor Kehutanan Dan Sanksinya Sebagaimana dikemukakan di atas bahwa semua tindakan yang terkait dengan perusakan hutan dapat dikategorikan kepada kejahatan (jarimah) dalam fiqih, dan kejahatan itu, paling kurang, setingkat dengan kejahatan yang mengancam agama, jiwa, akal, keturunan/kehormatan, harta, dan masyarakat. Namun demikian, tentu juga harus ada pengkategorian perbuatan dan kaitannya dengan bentuk hukuman misalnya: (1) perusakan/penebangan liar, (2) melindungi pelaku perusak hutan, (3) mengeluarkan kebijakan yang merugikan hutan, dan (3) membiarkan kerusakan hutan. Secara umum, keempat delik ini dapat dimasukkan ke dalam kebatilan seperti yang dimaksud QS. 2:188 atau — lebih umum — kepada tindakan al-fasad seperti yang dikemukakan dalam banyak ayat Alquran. Lebih khusus, dalam delik-delik ini ada unsur maksiat, risywah (suap menyuap), dan khiyanah (penghianatan).
25
Juga sudah diterakan di awal bahwa untuk kejahatan dan pelanggaran yang hukumannya tidak disuratkan di dalam Alquran dan hadis Nabi dikategorikan kepada ta’zir yang bentuk hukumannya diserahkan kepada pemerintah.
dari 118 pasal ini memuat bentuk-bentuk tindak pidana perusakan hutan pada Pasal 11-28, sedangkan jenis dan bentuk hukumannya (penjara atau denda mulai puluhan juta sampai puluhan miliar rupiah) dimuat pada Pasal 82-109.
Dalam hal perusakan hutan ini, Undang-Undang No. 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, UU No. 20 Tahun 2001 tentang Perubahan atas Undang-undang Tindak Pidana Korupsi, dan UU No. 18 Tahun 2013 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Perusakan Hutan dapat dianggap sebagai takzir.
Secara ringkas dapat dikemukakan bahwa kejahatan perusakan hutan menurut UU ini meliputi:
Dalam konsideran menimbang UU No. 18/2013 dikemukakan bahwa latar belakang keberadaan undang-undang ini adalah: a. bahwa perusakan hutan, terutama berupa pembalakan liar, penambangan tanpa izin, dan perkebunan tanpa izin telah menimbulkan kerugian negara, kerusakan kehidupan sosial budaya dan lingkungan hidup, serta meningkatkan pemanasan global yang telah menjadi isu nasional, regional, dan internasional; b. bahwa perusakan hutan sudah menjadi kejahatan yang berdampak luar biasa, terorganisasi, dan lintas negara yang dilakukan dengan modus operandi yang canggih, telah mengancam kelangsungan kehidupan masyarakat sehingga dalam rangka pencegahan dan pemberantasan perusakan hutan yang efektif dan pemberian efek jera diperlukan landasan hukum yang kuat dan yang mampu menjamin efektivitas penegakan hukum; Jika mengacu ke UU ini, bentuk-bentuk tindak pidana perusakan hutan dan hukumannya sudah sangat jelas diatur . Undang-undang yang terdiri
26
1. Penebangan pohon yang tidak sesuai izin, memuat, membongkar, mengangkut, mengelurkan, dan memanfaatkan hasil hutan tanpa izin (Pasal 82-83). 2. Membawa alat-alat yang lazim digunakan untuk menebang, memotong, atau membelah pohon (Pasal 84-85). 3. Mengedarkan hasil kayu pembalakan liar (Pasal 86). 4. Menadah hasil kayu pembalakan liar (Pasal 87). 5. Mengangkut hasil kayu pembalakan liar (Pasal 88). 6. Penambangan di kawasan hutan dan menadah hasil tambang tersebut (Pasal 90-91). 7. Perkebunan di kawasan hutan, pengangkutan, dan penadahan hasil perkebunan tersebut (Pasal 92-93). 8. Menyuruh, mengorganisasi, menggerakkan, mendanai, dan mengubah status kayu (Pasal 94). 9. Memanfaatkan hasil kayu pembalakan liar (Pasal 95). 10.Memalsukan, menjual, dan memindahtangkan surat izin pemanfaatan hasil hutan (Pasal 96). 11.Merusak sarana dan prasarana perlindungan hutan (Pasal 97). 12.Turut serta melakukan atau membantu pembalakan liar (Pasal 98). 13.Menggunakan dana dari hasil pembalakan liar (Pasal 99). 14.Mencegah upaya pemberantasan pembalakan liar (Pasal 101). 15.Membiarkan terjadinya pembalakan liar (Pasal 104).
16.Menerbitkan surat izin pemanfaatan kawasan hutan yang tidak sesuai dengan kewenangan (Pasal 105). Dalam Pasal 105 akan dipidana setiap pejabat yang melakukan tindakan berikut: 1. Menerbitkan izin pemanfaatan hasil hutan kayu dan/atau penggunaan kawasan hutan di dalam kawasan hutan yang tidak sesuai dengan kewenangannya sebagaimana dimaksud dalam Pasal 28 huruf (a); 2. Menerbitkan izin pemanfaatan hasil hutan kayu dan/atau izin penggunaan kawasan hutan di dalam kawasan hutan yang tidak sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 28 huruf (b); 3. Melindungi pelaku pembalakan liar dan/atau penggunaan kawasan hutan secara tidak sah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 28 huruf (c); 4. Ikut serta atau membantu kegiatan pembalakan liar dan/atau penggunaan kawasan hutan secara
tidak sah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 28 huruf (d); 5. Melakukan permufakatan untuk terjadinya pembalakan liar dan/atau penggunaan kawasan hutan secara tidak sah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 28 huruf (e); 6. Menerbitkan surat keterangan sahnya hasil hutan tanpa hak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 28 huruf (f) dan/atau (g) dengan sengaja melakukan pembiaran dalam melaksanakan tugas sehingga terjadi tindak pidana pembalakan liar dan/atau penggunaan kawasan hutan secara tidak sah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 28 huruf (g). Pelaku tindakan di atas dipidana dengan pidana penjara paling singkat 1 (satu) tahun dan paling lama 10 (sepuluh) tahun serta pidana denda paling sedikit Rp1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah) dan paling banyak Rp10.000.000.000,00 (sepuluh miliar rupiah).
27
Bagian Keempat
Penerapan Fiqih Lingkungan Di Sektor Kehutanan 4
Fiqh Islam adalah ilmu yang membahas tentang tatacara penerapan hukum syariat dalam berbagai bidang, termasuk bidang kehutanan dan lingkungan hidup. Pembahasan tersebut berdasarkan Al-Quran, Hadits, Ijma’, Qiyas dan sebagainya. Tujuan utama syariat Islam adalah mewujudkan kebahagiaan umat manusia di dunia dan juga di akhirat.
Dalam masalah akhirat, tata cara pelaksanaannya dirincikan sedemikian rupa, sementara masalah keduniawian diuraikan garis-garis besarnya saja, malah dalam sebuah hadits Rasulullah saw pernah:
4 Dirangkum dari tulisan Prof. Dr. Muslim Ibrahim, MA, Prof. Dr. Syahrizal Abbas, MA yang disampaikan dalam FGD Pengelolaan Hutan yang dilaksanakan MAA dan SIAP II tanggal 28 Januari 2014 di Hotel Grand Nanggroe Banda Aceh.
29
Para Sahabat menjumpai Rasulullah SAW mengadukan tanaman yang gagal panen, lalu Rasulullah saw bertanya, apa sebabnya?, mereka menjawab: karena Kami tidak melakukan cangkok tanaman, lalu Rasulullah Saw kembali bertanya: kenapa tidak melakukan cangkok?, mereka menjawab: Karena Anjuran Rasulullah seperti itu, lalu Rasulullah Saw bersabda: Anda lebih tahu tentang urusan dunia anda. (HR Bukhari) Banyak ayat di dalam al-Quran yang menguraikan secara umum tentang hutan dan lingkungan hidup, antaranya; firmankan Allah dalam Surat Ar-Ruum, ayat 41:
Telah nampak kerusakan di daratan dan di lautan disebabkan karena perbuatan tangan manusia, supaya Allah memperasakan kepada mereka sebahagian dari (akibat) perbuatan mereka, agar mereka kembali (ke jalan yang benar). Padahal Allah telah menciptakan semuanya itu untuk dijaga, dipelihara dan dikelola dengan baik oleh manusia, sesuai firmanNya dalam Surat Luqman, ayat 20:
Dalam Surat Ibrahim ayat 32-33:
Allah yang telah menciptakan langit dan bumi, lalu menurunkan air dari langit, lalu dengannya Allah mengeluarkan buah-buahan untuk menjadi rizkimu, menundukkan bahtera bagimu untuk dapat berlayar di lautan dengan kehendaknya. Dia pula yang telah menundukkan sungai-sungai untuk keperluanmu. Malah telah menundukkan untukmu matahari dan bulan yang selalu mengitari hingga terjadilah siang dan malam. Ayat-ayat tersebut dan banyak lagi ayat lain, secara jelas menyatakan bahwa manusia diciptakan Allah untuk menjaga, mengelola atau memanfaatkan dan memakmurkan bumi dengan beragam kekayaan sumber daya alam yang ada tanpa melakukan perusakan. Allah menciptakan langit dan bumi beserta isinya menurut aturan, proporsi, dan ukuran tertentu, seperti difirmankan dalam Surat Al Qamar ayat 49:
Sesungguhnya Kami menciptakan segala sesuatu menurut ukuran. dan dalam Surat Ar–Rahman ayat 5–9 sebagai berikut:
Tidakkah kamu memperhatian Allah telah menundukkan untuk kepentinganmu apa yang ada di langit dan apa yang ada di bumi dan menyempurnakan untukmu nikmatNya lahir dan batin.
30
Matahari dan bulan (beredar) menurut perhitungan. Dan tumbuh-tumbuhan dan pohon-pohonan,
kedua-duanya tunduk kepada-Nya. Dan Allah telah meninggikan langit dan Dia meletakkan neraca (keadilan). Supaya kamu jangan melampaui batas tentang neraca itu. Dan tegakkanlah timbangan itu dengan adil dan janganlah kamu mengurangi timbangan neraca.”
menjadikan padanya gunung-gunung dan Kami tumbuhkan padanya segala sesuatu menurut ukuran. Dalam konteks hutan, jumlah luas hutan untuk menyangga Aceh, Indonesia dan dunia perlu dipertimbangkan. 3. Menggunakan akal (ilmu yang bermanfaat) dan rasa (keindahan dan seni) dengan tujuan membawa manusia mensyukuri dan mengagumi nikmat Allah.
Manusia Memakmurkan Bumi Untuk memakmurkan bumi Islam menetapkan paling kurang ada lima ketentuan penerapan yang harus dipegang teguh, yaitu: 1. Memberi tempat yang wajar kepada sesama manusia dan juga kepada makhluk lain (Surat Al-Israa, ayat 20).
4. Tidak boleh berlebih-lebihan, Surat Al-A’raaf, ayat 31:
Hai anak Adam, pakailah pakaianmu yang indah di setiap (memasuki) mesjid, makan dan minumlah, dan janganlah berlebih-lebihan. Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang berlebih-lebihan. dan surat Al-An’aam, ayat 141.
Kepada masing-masing golongan baik golongan ini maupun golongan itu Kami berikan bantuan dari kemurahan Tuhanmu. Dan kemurahan Tuhanmu tidak dapat dihalangi. 2. Memelihara keseimbangan ukuran (hukum alam) yang telah di-tentukan oleh Allah (Surat Al-Hijru, ayat 19).
Dan Kami telah menghamparkan bumi dan
Dan Dialah yang menjadikan kebun-kebun yang berjunjung dan yang tidak berjunjung, pohon korma, tanam-tanaman yang bermacam-macam buahnya, zaitun dan delima yang serupa (bentuk dan warnanya) dan tidak sama (rasanya). Makanlah dari buahnya (yang bermacam-macam itu) bila Dia berbuah, dan
31
tunaikanlah haknya di hari memetik hasilnya (dengan disedekahkan kepada fakir miskin); dan janganlah kamu berlebih-lebihan. Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang yang berlebih-lebihan.
sebagai orang yang bersedekah. Hal ini diungkapkan secara tegas dalam hadits berikut: “Rasulullah saw bersabda :
5. Selalu bersyukur, bertaqwa dan mengambil hikmah, Surat Ar-Ruum, ayat 46:
Dan di antara tanda-tanda kekuasan-Nya adalah bahwa Dia mengirimkan angin sebagai pembawa berita gembira dan untuk merasakan kepadamu sebagian dari rahmat-Nya dan supaya kapal dapat berlayar dengan perintah-Nya dan (juga) supaya kamu dapat mencari karunia-Nya; mudah-mudahn kamu bersyukur. dan surat Asy-Syuuraa, ayat 33:
Jika Dia menghendaki, Dia akan menenangkan angin, maka jadilah kapal-kapal itu terhenti di permukaan laut. Sesungguhnya pada yang demikian itu terdapat tanda-tanda (kekuasaanNya) bagi setiap orang yang banyak bersabar dan banyak bersyukur.
Kewajiban Melakukan Penghijauan Salah satu konsep pelestarian lingkungan dalam Islam adalah perhatian akan penghijauan dengan cara menanam dan bertani. Nabi Muhammad saw menggolongkan orang-orang yang menanam pohon
32
Tidaklah seorang muslim menanam tanaman, kemudian tanaman itu dimakan oleh burung, manusia, ataupun hewan, kecuali baginya dengan tanaman itu adalah sadaqah”. (HR. Bukhari dan Muslim dari Anas). Imam al-Qurtubi, di dalam tafsirnya mengatakan; “Bertani bagian dari fardhu kifayah, maka pemerintah harus menganjurkan manusia untuk melakukannya, salah satu bentuk usaha itu adalah dengan menanam pohon.” Pada surat al-An’am ayat 99, Allah berfirman:
“Dan Dialah yang menurunkan air hujan dari langit, lalu kami tumbuhkan dengan air itu segala macam tumbuh-tumbuhan, maka Kami keluarkan dari tumbuh-tumbuhan itu tanaman yang menghijau, Kami keluarkan dari tanaman yang menghijau itu butir yang banyak; dan dari mayang kurma mengurai tangkai-tangkai yang menjulai, dan kebun-kebun anggur, dan (Kami keluarkan pula) zaitun dan delima yang serupa dan yang tidak serupa . Perhatikanlah buahnya di waktu
pohonnya berbuah, dan (perhatikan pulalah) kematangannya. Sesungguhnya pada yang demikian itu ada tanda-tanda (kekuasaan Allah) bagi orang-orang yang beriman.”
dari langit, lalu Kami tumbuhkan dengan air
Ada dua pertimbangan mendasar dari upaya penghijauan ini, yaitu :
Allah
(a) pertimbangan manfaat, sebagaimana disebutkan dalam Surat Abasa ayat 24-32, sebagai berikut:
itu kebun-kebun yang berpemandangan indah, yang kamu sekali-kali tidak mampu menumbuhkan pohon-pohonnya? Apakah di samping ada
Tuhan
(yang
lain)?
Bahkan
(sebenarnya) mereka adalah orang-orang yang menyimpang (dari kebenaran). Maka lihatlah pada ungkapan “kebun-kebun yang sangat indah” yang berarti menyejukkan jiwa, mata dan hati ketika memandangnya. Setelah Allah SWT, memaparkan nikmat-nikmat-Nya, baik berupa tanaman,
kurma,
zaitun,
buah
delima
dan
semacamnya, Dia melanjutkan firman-Nya: “Maka hendaklah manusia itu memperhatikan makanannya. Sesungguhnya Kami benar-benar telah mencurahkan air (dari langit), kemudian Kami belah bumi dengan sebaik-baiknya, lalu Kami tumbuhkan biji-bijian di bumi itu, anggur dan sayur-sayuran, Zaitun dan pohon kurma, kebun-kebun (yang) lebat, dan buah-buahan serta rumput-rumputan, untuk kesenanganmu dan untuk binatang-binatang ternakmu.” (b) pertimbangan keindahan, sebagaimana disebut kan dalam Surat al-Naml ayat 60, sebagai berikut:
Dan Dialah yang menurunkan air hujan dari langit, lalu Kami tumbuhkan dengan air itu segala macam tumbuh-tumbuhan maka Kami keluarkan dari tumbuh-tumbuhan itu tanaman yang menghijau. Kami keluarkan dari tanaman yang menghijau itu butir yang banyak; dan dari mayang korma mengurai tangkai- tangkai yang menjulai, dan kebun-kebun anggur, dan (kami keluarkan pula) zaitun dan delima yang serupa dan yang tidak serupa. perhatikanlah buahnya di waktu pohonnya berbuah dan (perhatikan pulalah) kematangannya. Sesungguhn-
“Atau siapakah yang telah menciptakan langit dan bumi dan yang menurunkan air untukmu
ya pada yang demikian itu ada tanda-tanda (kekuasaan Allah) bagi orang-orang yang beriman. 33
Kelestarian Bumi Tanggung Jawab Manusia Dari sudut pandangan Fiqh Islam, pelestarian bumi dan segala isinya adalah tanggung jawab manusia. Kalau ia lalai, ia harus menanggung akibatnya. Munculnya bencana alam adalah salah satu peringatan yang kongkrit dari Allah agar manusia jangan merusak ciptaan-Nya. Hal ini dijelaskan juga dalam al-Qur’an surat al-A’râf, ayat 56:
dan mengurus bumi dengan segala isi yang ada di dalamnya untuk dikelola sebagaimana mestinya. Dalam hal ini kekhalifahan sebagai tugas dari Allah untuk mengurus bumi harus dijalankan sesuai dengan kehendak penciptanya dan tujuan penciptaannya. Tujuan Allah mensyariatkan hukumnya adalah untuk
memelihara
kemaslahatan
manusia,
sekaligus untuk menghindari kerusakan (mafsadah), baik di dunia maupun di akhirat. Untuk mewujudkan kemaslahatan itulah Abu Ishaq “Dan janganlah kamu membuat kerusakan di bumi sesudah perbaikannya dan berdoalah kepada-Nya dalam keadaan takut dan harapan. Sesungguhnya rahmat Allah dekat kepada al-muhsinin.” Selain ayat 7 dari surat al-A’râf, masih ada beberapa ayat dari surat al-Qur’an yang menjelaskan hubungan dan tanggungjawab manusia dengan alam sekitarnya, di antaranya: Surat al-Baqarah ayat 29, Surat Hûd, ayat 61, dan surat al-Hijr ayat 19. Dalam Fiqh ada kaidah: Al-Ashlu Fil Amri Lil Wujub dan Al-Ashlu Fin Nahyi Lit Tah-riim. (Perintah pada dasar melahirkan wajib dan larangan menunjukkan haram dikerjakan. Artinya berdasarkan kaidah ini, ayat tersebut dapat dipahami; hukum menjaga kelestarian alam adalah wajib. Dan hukum merusak lingkungan, termasuk lingkungan hutan adalah haram).
Manusia Sebagai Khalifah Di Bumi Dalam Al-Qur'an dijelaskan bahwa manusia diciptakan sebagai khalifah di bumi. Kewajiban manusia sebagai khalifah di bumi adalah menjaga 34
al-Syathibi, dalam kitab al-Muwafaqat, membagi tujuan hukum Islam (maqashid al-syariah) menjadi lima hal: 1) Penjagaan agama (hifdz al-din), 2) Memelihara jiwa (hifdz al-nafs), 3) Memelihara akal (hifdz al-‘aql), 4) Memelihara keturunan (hifdz al-nasl), dan 5) Memelihara harta benda (hifdz al-mal). Lebih jauh Yusuf al-Qardhawi dalam Ri’ayatu al-Bi’ah fi al-Syari’ati al-Islamiyyah menjelaskan mengenai posisi pemeliharaan ekologis (hifdz al-`alam)
dalam
Islam
adalah
pemeliharaan
lingkungan setara dengan menjaga maqashidus syari’ah yang lima tadi. Selain al-Qardhawi, al-Syathibi juga menjelaskan bahwa sesungguhnya maqashidus syari’ah ditujukan untuk menegakkan kemaslahatan-kemaslahatan agama dan dunia, dimana bila prinsip-prinsip itu diabaikan, maka kemaslahatan dunia tidak akan tegak berdiri, sehingga berakibat pada kerusakan dan hilangnya kenikmatan perikehidupan manusia.
Kita harus bisa mengambil i'tibar dari ayat Allah yang menegaskan:
“Sesungguhnya Kami telah menempatkan kamu sekalian di muka bumi dan Kami adakan bagimu di muka bumi itu (sumber) penghidupan. Amat sedikitlah kamu bersyukur” Makna aset tentunya bukan semata potensi eksploi-
"Dan Allah telah membuat suatu perumpamaan (dengan) sebuah negeri yang dahulunya aman lagi tentram rezekinya datang kepadanya melimpah ruah dari segenap tempat, tetapi (penduduk) nya mengingkari nikmat-nikmat Allah karena itu Allah merasakan kepada mereka pakaian kelaparan dan ketakutan, disebabkan apa yang selalu mereka perbuat.” (QS. An-Nahl : 112) Manusia di bumi ini harus sadar bahwa krisis multidimensi dan bencana yang datang bertubi-tubi seperti tanah longsor, banjir, kekeringan, kebakaran hutan, tanaman diserang hama dan lainnya adalah karena ulah manusia itu sendiri.
Menjaga Keseimbangan
tasi, namun terbingkai sebagai nikmat. Konskuensinya, manusia juga dituntut bersyukur dengan mengusahakan keseimbangan dan kelestarian. Alam dan lingkungan merupakan sumber daya yang membutuhkan pengelolaan untuk terus mampu memberikan penghidupan bagi manusia.
Kewajiban Memelihara Hutan Beberapa kutipan ayat dan hadits di atas, kiranya cukup meyakinkan kita bahwa hukum memelihara hutan adalah wajib. Dipelihara dan dijaga untuk dimanfaatkan sesuai ketentuan Syariat Islam. Bukan untuk dirusak atau dihancurkan. Disamping
azab
ukhrawy,
berbagai
macam
Sementara itu, konskuensi logis atas wujud penghambaan diri (‘ubu-diyah) manusia secara vertikal kepada Allah SWT adalah mewujudkan kaidah keseimbangan secara makro dunia-akhirat, secara mikro jasad-pikir-dzikir, dan seimbang dalam kaitannya dengan interaksi antar sesama manusia dan lingkungan alamnya. Semuanya integral tak bisa saling meniadakan.
bencana, seperti banjir, kekeringan, kebakaran dan
Islam menempatkan sumber daya alam sebagai aset sumber kehidupan makhluk hidup. Hal ini sesuai dengan firman Allah dalam Surat Al-A’raf, ayat 10:
membakar taik binatang yang amat bau, bila
sejenisnya, menurut Islam, Pemerintah (Wa-liyyul Amri) juga dibenarkan merumus dan menetapkan sanksi ta’ziir yang setimpal ke atas pelanggarnya. Syeikh Ar-Ramli ditanyakan tentang seseorang membuat
dapur
masakan
khas
Persi
(an-Nasyaadir) di tengah desa. Untuk itu perlu tercium oleh anak-anak, dapat menimbulkan penyakit semacam sesak nafas, Syeikh menjawab: Itu wajib dihentikan karena mengganggu orang lain, penguasa juga dapat mengenakan hukuman ta’ziir kepada pelanggarnya. 35
Hukum Merusak Hutan Banyak ayat dan hadis yang secara umum berbicara tentang pentingnya memelihara alam dan bahaya atau ancaman yang akan dihadapi manusia sekiranya hal itu diabaikan. Karena itu, masalah ini sudah menjadi perhatian ulama kontemporer, misalnya kalangan pesantren dan ormas Islam, pada Mei 2004, para kiai pesantren se-Indonesia menggagas Fikih Lingkungan dalam sebuah konsorsium di Jakarta 5. Majelis Ulama Daerah Istimewa Aceh (sekarang MPU) pada tahun 1991 juga pernah mengadakan muzakarah tentang lingkungan hidup; beberapa poin penting hasil muzakarah ini antara lain adalah: 1. Setiap tindakan yang dapat menimbulkan gangguan pada lingkungan hidup, dapat dipandang berdosa dari sudut agama. 2. Memelihara lingkungan hidup merupakan amanah dari Allah SWT. 3. Pelestarian lingkungan hidup adalah masalah fikih, karena itu penting menambah satu bab khusus tentang masalah lingkungan hidup. 6 Tidak ada ayat atau hadis yang langsung berbicara tentang hukum merusak hutan. Yang ada adalah ayat-ayat dan hadis-hadis yang sifatnya umum tentang perintah agar menjaga alam tetap serasi dan seimbang, larangan merusak alam, kecaman terhadap orang-orang yang melakukan perusakan tersebut, dan beberapa bentuk praktik konservasi yang sederhana.
Namun karena ayat dan hadisnya demikian banyak maka dapat dinyatakan bahwa pelestarian alam lingkungan—terutama hutan di dalamnya—termasuk dalam salah satu maqashid asy-syari’ah (tujuan umum pensyariatan) yaitu kategori hifzh al-bi’ah. Penalaran ini diperkuat oleh temuan ilmu pengetahuan modern yang menyatakan bahwa kerusakan lingkungan akan mengakibatkan punahnya semua makhluk. Dengan kata lain, pemeliharaan lingkungan, paling kurang, setingkat dengan pemeliharaan agama, jiwa, keturunan, akal, harta, dan masyarakat. Dengan logika ini, perusakan hutan adalah sebuah kejahatan yang harus mendapat sanksi yang berat. Karena hukuman terhadap kejahatan tersebut tidak dimuat di dalam Alquran atau hadis Nabi, maka ia masuk dalam kategori ta’zir. Ta’zir adalah hukuman pendidikan atas dosa (tindak pidana) yang belum ditentukan bentuk dan hukumannya oleh syarak; 7 diserahkan kepada pemerintah atau hakim. Dengan redaksi berbeda, ta’zir adalah hukuman yang tidak ditentukan bentuk dan jumlahnya dalam segala bentuk maksiat yang tidak masuk hudud, qisas-diat, atau kafarat. Sayyid Sabiq menambahkan, termasuk takzir adalah hukuman yang telah ditetapkan syarak, tetapi tidak memenuhi syarat-syarat pelaksanaan. Dengan demikian, sanksi-sanksi pidana terhadap perusakan lingkungan/hutan yang sudah dibuat oleh pemerintah melalui peraturan perundang-un-
5 Hasil-hasil konsorsium dimuat dalam Ahsin Sakho Muhammad dkk. (editor), Fiqih Lingkungan (Fiqh al-Bi’ah), cet. II (Jakarta: Conservation International Indonesia, 2006). 6 Majalah Pengetahuan dan Kebudayaan Sinar Darussalam, Nomor 193/194 dan 195/196. 7 Al-Mawardi, al-Ahkam as-Sulthaniyyah, cet. I, tahqiq oleh Ahmad Mubarak al-Baghdadi (Kuwait: Maktabah Ibnu Qutaibah, 1409 H/1989 M), h. 310.
36
dangan dapat disebut sebagai turunan atau aplikasi konkret hifz al-bi’ah yang menjadi salah satu tujuan pensyariatan Islam.
Manusia Dan Ekosistem Manusia memang hidup di dunia ini tidak sendirian, melainkan bersama makhluk lain, yaitu tumbuhan, hewan dan lain sebagainya. Makhluk-makhluk itu bukan sekadar kawan hidup yang netral atau pasif terhadap manusia, melainkan hidup manusia itu terkait erat dengan makhluk tersebut, sebagaimana diungkapkan ahli ekologi. Tanpa mereka manusia takkan dapat hidup. Kenyataan ini dapat dengan mudah kita lihat dengan mengandaikan; di bumi ini tidak ada rimba, tumbuh-tumbuhan dan hewan. Dari manakah kita akan mendapat oksigen dan makanan. Sebaliknya, kalaulah manusia tidak ada, tumbuhan dan hewan akan dapat melangsungkan kehidupannya dengan baik, seperti dicatat dari sejarah bumi sebelum ada manusia. Karena itu anggapan bahwa manusia adalah makhluk yang paling berkuasa sebenarnya tidaklah betul. Sayogianyalah kita dapat menyadari bahwa kitalah sebenarnya yang lebih membutuhkan hutan, tumbuhan dan makhluk hidup yang lain untuk kelangsungan hidup kita, bukan makhluk itu yang membutuhkan kita. Di samping itu, hubungan antar makhluk-makhluk ciptaan Allah berbentuk timbal balik yang bersebab akibat yang saling menguntungkan. Misalnya, padang rumput suaka, yang dalam hadits sering disebut himaa dengan sistem peternakan di dalamnya. Itu adalah suatu sistem
edaran sebab-akibat antara hewan, tumbuhan dalam lingkungan hidup manusia. Dari hubungan timbal balik ini manusia dapat memetik manfaatnya, mengingat hasil ternak merupakan sumber protein hewani yang sangat berharga. Yang menarik dalam lingkungan padang rumput ialah berlakunya hubungan pengaruh-mempengaruhi antara keanekaragaman spesies tumbuhan dengan keanekaragaman species hewan. Demikian juga halnya dengan hutan, terutama hutan lindung dengan spesies-spesiesnya. Konservasi (hima) atas Rabazah merupakan kelanjutan dari yang dilakukan oleh Khalifah Abu Bakar. Seorang petugas khusus, Abu Salamah pada masa Abu Bakar dan Hanni pada masa Umar, ditempatkan di kawasan itu untuk memastikan (hima) berjalan dengan baik. Khalifah Usman memperluas kawasan (hima) sehingga dapat dimanfaatkan untuk menampung 1000 hewan. Pada waktu belakangan, sejumlah (hima) di Arabia yang sudah mulai dibangun sejak masa Nabi diakui oleh Organisasi Pangan dan Pertanian Dunia (FAO) sebagai contoh paling lama bertahan dalam pengelolaan padang rumput secara bijaksana di dunia. Sesuai sabda Rasul tertera di atas, “Anda lebih tahu tentang masalah keduniaan”, maka di Aceh tata hubungan ekosistem yang penuh rahmatan ini sudah dihayati ulama Aceh dan sudah diatur sejak masa Sultan Ali Mu-ghayatsyah (lk 1514 M). Atas kerjasama yang baik antara ulama dan umara, penghayatan tersebut dituangkan sebagiannya ke dalam Qanun Asyi, dan sebagaian lainnya, terutama mudah dinalar, dipraktekkan langsung melalui adat, agar semua lini masyarakat mudah mengontrol dan mengawasi penerapannya. 37
Dalil-Dalil Kewajiban Menjaga Lingkungan Hidup Ayat yang paling umum tentang lingkungan hidup ini adalah pernyataan Alquran bahwa tujuan penciptaan manusia di bumi ini sebagai khalifah (pemimpin), yang bertugas mengelola alam (al-Baqarah: 30) karena Allah menjadikan langit dan bumi beserta isinya adalah untuk manusia (QS. Al-Baqarah:22, 29, 30, dan 36; dan asy-Syu’ara :24). Begitu juga di antara tujuan pengutusan Nabi Muhammad ke dunia adalah untuk menjadi rahmat bagi alam semesta (QS. Al-Anbiya: 107). Artinya, Nabi diutus bukan hanya untuk membawa rahmat bagi manusia, tetapi juga untuk hewan, tumbuh-tumbuhan, tanah, air, udara, dan semua hal yang dicakup alam semesta. Secara umum, tugas manusia dalam mengelola alam adalah menjaga keseimbangannya (mizan). Banyak ayat Alquran dan hadis Nabi yang mengharuskan manusia agar menjaga keserasian, keseimbangan, dan kelestarian lingkungan hidup. Tentang pentingnya keseimbangan di alam semesta ini, secara filosofis Allah memerintahkan agar menjaga neraca (mizan).
bangan) itu. Dan tegakkanlah timbangan itu dengan adil dan janganlah kamu mengurangi neraca (keseimbangan) itu. Ayat ini didukung oleh banyak ayat dan hadis lain yang memerintahkan atau menganjurkan keseimbangan dalam banyak hal, misalnya keseimbangan antara mencari dunia dan akhirat, keseimbangan antara perintah makan dan tidak berlebihan, penyebaran harta agar tidak hanya beredar di kalangan orang kaya saja, dan lain-lain. Ini menunjukkan bahwa keseimbangan (ekuilibirium) adalah salah satu semangat universal ajaran Alquran dan hadis Nabi. Perintah menjaga keseimbangan alam adalah derivasi konkret dari semangat universal ini. Selain perintah agar keseimbangan alam itu dijaga, dalam banyak ayat Alquran Allah menitahkan agar manusia tidak berbuat kerusakan di muka bumi. Dalam al-Qasas ayat 77, misalnya, disebutkan:
Dalam QS. ar-Rahman ayat 7-9 disebutkan:
Dan carilah pada apa yang telah dianugerahkan Allah kepadamu (kebahagiaan) negeri akhirat, dan janganlah kamu melupakan bahagianmu dari (kenikmatan) duniawi dan berbuat baiklah (kepada orang lain) sebagaimana Allah telah berbuat baik, kepadamu, dan janganlah kamu berbuat kerusakan di (muka) bumi. Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang berbuat 8 kerusakan.
Dan Allah telah meninggikan langit dan Dia meletakkan neraca (keseimbangan). Supaya kamu jangan melampaui batas tentang neraca (keseim-
Demikian pentingnya menjaga alam, di dalam Alquran setidaknya terdapat 50 tempat yang mengecam perbuatan merusak alam , misalnya
8 Ajakan untuk tidak berbuat kerusakan di muka bumi, baik di laut maupun di darat, juga terdapat di dalam surat al-Baqarah [2]:27, 60, 205, dan 251; al-Maidah [5]:32 dan 64; al-A’raf [7]:56; dan ar-Rum [30]:41.
38
dalam al-Baqarah ayat 205:
Dan apabila ia berpaling (dari kamu), ia berjalan di bumi untuk mengadakan kerusakan padanya, dan merusak tanam-tanaman dan binatang ternak, dan Allah tidak menyukai kebinasaan. Dalam kenyataannya, Alquran merekam sejarah banyak manusia yang mengabaikan peringatan Allah ini. Manusia berbuat kerusakan di muka bumi; melanggar peringatan Allah dan tidak bersyukur atas karunia yang diberikan Allah SWT. Bila mereka diberi peringatan, mereka akan mengatakan bahwa yang mereka lakukan justru berbuat kebaikan (QS. Al-Baqarah [2]:11-12. Allah telah menunjukkan berbagai tempat yang peradabannya hancur dan berganti dengan peradaban lain akibat bencana alam yang terjadi karena perusakan alam ini. Menurut penelitian, di daerah Timur Tengah, beberapa puluh meter di bawah pasirnya, ditemukan bekas alur sungai dan potongan-potongan kayu yang diperkirakan berasal dari peradaban beberapa ratus ribu sampai jutaan tahun yang lalu. Artinya, jauh sebelumnya, daerah padang pasir itu adalah sebuah daerah yang subur, banyak sungai dan hutan seperti Indonesia, tetapi kemudian berubah menjadi padang pasir yang tandus karena ulah manusia sendiri. Ini adalah akibat maksiat manusia terhadap lingkungannya. Allah akan menurunkan bencana dari alam itu sendiri.
Salah satu ancaman Allah akibat perusakan alam ini adalah kekurangan air, disebut dalam surat al-Mulk ayat 30:
“Katakanlah: "Terangkanlah kepadaku jika sumber air kamu menjadi kering; maka siapakah yang akan mendatangkan air yang mengalir bagimu?" Menurut Ibnu ‘Asyur (w. 1392 H/1973 M), dua ayat di atas (QS. 31:41 dan al-Mulk: 30) bermakna peringatan (al-inzar) dan ancaman (at-tahdid). 9 artinya, jika alam tidak dikelola dengan baik, maka suatu saat air tidak lagi mencukupi kebutuhan manusia. Oleh karena itu, tugas manusia adalah merencanakan agar ancaman yang terdapat dalam ayat tersebut tidak benar-benar terjadi. 10 Dalam hadis-hadis Nabi juga banyak ditemukan isyarat agar umat Islam menjaga kelestarian alam, antara lain: 1. Larangan buang air besar atau kecil di air yang tenang, lubang, di bawah kayu tempat berteduh.
Artinya: Jabir meriwayatkan, Rasulullah saw melarang kencing di air yang menggenang (HR. Muslim); 2. Larangan buang air besar di saluran air, di tengah jalan, dan di tempat teduh.
9 Muhammad Thahir ibnu ‘Asyur, Tafsir at-Tahrir wa at-Tanwir (Tunisia: ad-Dar at-Tunisiyah li an-Nasyr), vol. XVII, h. 33. 10 Majelis Tarjih dan Tajdid PP Muhammadiyah, “Fikih Air Muhammadiyah”, draft Halaqah Fikih Air Majelis Tarjih
PP Muhammadiyah, Yogyakarta, 5 Syakban 1434 H/14 Juni 2013.
39
Artinya: Muaz bin Jabal menyatakan bahwa Rasulullah SAW bersabda: “Takutilah tiga perkara yang menimbulkan laknat: buang air besar di saluran air (sumber air), di tengah jalan, dan di tempat teduh” (HR. Abu Daud).
kalai/ tidur agar dapat lebih bermanfaat atau produktif. Sebagai aturannya, Nabi menyatakan bahwa tanah/lahan yang dihidupkan menjadi milik orang yang menghidupkannya, Rasulullah SAW bersabda:
• Anjuran menanam pohon. Siapa saja yang menghidupkan tanak mati/tandus/kosong maka tanah itu diberikan untuknya/ menjadi miliknya, tidak boleh digarap oleh yang tidak berhak lainnya. (HR Imam Malik) Artinya: Anas berkata bahwa Rasulullah SAW memberikan wejangan: “Tidaklah seorang muslim menanam pohon atau tanaman, kemudian dimakan oleh burung, manusia atau hewan lain, kecuali tanaman itu akan menjadi sedekah baginya (HR. Bukhari dan Muslim) 3. Rasulullah pernah membuat kawasan konservasi alam (hutan lindung) di daerah Naqi’. Kebijakan ini kemudian dilanjutkan oleh Umar bin Khattab. Kebijakan ini terekam dalam riwayat:
Artinya: Sha’b bin Jatsamah berkata bahwa Rasulullah SAW bersabda: “Tidak ada konservasi,11 kecuali menjadi milik Allah dan Rasul-Nya.” Sha’b juga berkata bahwa Nabi saw telah menetapkan Naqi’ sebagai daerah konservasi, begitu pula Umar menetapkan Saraf dan Rabazah sebagai daerah konservasi (HR. Bukhari).
Tema ihya’ al-mawat penting karena berarti Islam sangat menganjurkan agar lahan-lahan dihidupkan, bukan sebaliknya dirusak dan ditelantarkan. Menurut Jumhur ulama, ketentuan ihya’ al-mawat ini tidak berlaku bagi tanah yang dimiliki orang lain atau kawasan-kawasan yang apabila digarap akan mengganggu kemaslahatan umum, misalnya lembah atau lereng yang berpotensi mengakibatkan tanah longsor atau daerah aliran sungai (DAS) yang dapat mengakibatkan berubahnya aliran air.
Hukum Adat Diakui Dalam Fiqh Bagi kita di Aceh, sebenarnya tidak ada kesulitan sama sekali dalam menerapkan sanksi bagi perusak lingkungan. Kita punya hukum dan sanksi adat mengenai pelanggaran ketentraman masyarakat, atau melanggar hukum adat. Apalagi hukum adat dibenarkan oleh syariat selama itu sudah menjadi adat dan tidak bertentangan dengan Al-Quran dan Hadits, sesuai qaidah Fiqh:
Pembukaan Lahan Baru
Sebagian contoh Hukum Adat, adalah sebagai berikut:
Khazanah fikih juga mengenal tema ihya’ al-mawat (menghidupkan tanah mati) yaitu anjuran kepada umat Islam untuk membuka lahan-lahan terbeng-
1. Larangan menguasai dan menebang hutan sejauh radius 1200 depa dari sumber mata air (Satu depa sama dengan 180 cm).
40
2. Harim pantai, sampai dengan 600 depa dari pinggir laut. 3. Harim pinggir sungai kecil 60 depa dan sungai besar 120 depa kiri dan ke kanan. 4. Kewajiban memanam 2 sampai 4 batang kelapa bagi seseorang pengantin lelaki. 5. Dilarang menebang pohon di dataran tinggi yang terjal agar tidak terjadi kelongsoran. 6. Tidak boleh merusak hima 11, yaitu tempat penggembalaan ternak umum/ milik bersama. Semua yang tersebut di atas adalah milik bersama, tidak boleh dimiliki. Kalau ada pihak atau orang yang melanggar akan dikenakan sanksi adat/uruf yang amat memadai. Terpulang rumusannya kepada ahli adat. Beberapa ketentuan fiqh ini pernah berjalan dengan sempurna di tanah Aceh tempo dulu, sehingga terasa benar kebertanggung-jawaban semua pihak dan keteraturan konservasi. Tapi sayang, karena keserakahan manusia, kini keseimbangan itu sudah rusak, sehingga terjadi bencana dimana-mana seperti longsor di Bahorok, banjir Kuala Simpang, gajah turun ke desa di Aceh Selatan, belum lagi kita kaitkan dengan tsunami, seandainya tatanan lingkungan masih tetap berjalan seperti dulu, dipastikan korban tsunami tidak akan sebanyak itu, yang mencapai 250.000 jiwa. Untuk itulah kini perlu dihidupkan kembali tatanan lingkungan dengan cara-cara yang sesuai dengan dunia modern sekarang ini.
Apalagi kesadaran untuk itu dari pihak penguasa Aceh sudah mulai mekar, terbukti pada tgl 6 Juni 2007 dengan penuh kesadaran Gubernur Aceh telah menanda tangani Moratorium Logging Hutan (Tidak boleh tebang hutan selama 15 tahun) yang di deklarasikan Gubernur Aceh pada tanggal 5 Juni 2007. Ini merupakan peluang emas bagi kita untuk melakukan gebrakan/ action untuk menumbuhkan kembali kesadaran untuk: 1. Membangun basis dan minat masyarakat untuk lebih peduli terhadap masalah sumber daya alam dan lingkungan hidup sebagai bagian dari syari'at dan 'ibadah. 2. Membangun basis dan minat serta meningkatkan kapasitas dan pengetahuan masyarakat seputar konsep Islam dan Adat Aceh tentang lingkungan dan konservasi sumber daya alam, sebagai pengamalan Syari'at dan tatanan Adat Aceh, meliputi: a. Pengertian dan sejarah konservasi. b. Teks Fiqh dan Adat tentang pentingnya konservasi. c. Cara dan siapa yang berkewajiban melakukan konservasi. d. Ketentuan perlindungan dan pelestarian lingkungan, hutan, satwa liar dan lainnya. e. Pemanfaatan hasil alam menurut Fiqh dan Adat Aceh.
11 Hima berarti menjaga, melindungi, mempertahankan. Al-(hima) berarti penjagaan, perlindungan, sesuatu yang dibela atau dipertahankan. Jadi, (hima) atau al-(hima) dapat berarti konservasi. Ahmad Warson Munawwir. Al Munawwir, Kamus Arab Indonesia (Surabaya: Pustaka Progressif, 1997).
41
Hutan Berbasis BagianSyariat Kelima Pengelolaan Hutan dan Adat Berdasarkan Adat Aceh Aceh:
12
Pencegahan Korupsi di Sektor Kehutanan
Majelis Adat Aceh (MAA) dan SIAP II 2014
Secara umum, pengelolaan hutan oleh masyarakat adat di Aceh meliputi beberapa aspek, antara lain: pola umum pemanfaatan hutan, zonasi kawasan hutan, fungsi hutan, pengaturan pemanfaatan hutan, kewenangan dan peran lembaga adat, kearifan adat pemanfaatan hutan.
Pemanfaatan Hutan Menurut Adat di Aceh Berdasarkan tradisi, pemanfaatan hutan terbagi dalam empat kegiatan utama: 1. Pemanfaatan hutan untuk kegiatan berladang (meuladang) dan berkebun (meulampoh).
12 Sumber dari tulisan Sanusi M Syarif berjudul Tatanan Adat Dalam Pengelolaan Hutan di Aceh dilengkapi dengan presentasi Tgk Idham Ahmadi dengan topik Sistem Adat Dalam Pengelolaan Hutan Di Aceh: Pengalaman Di Mukim Lampanah Leungah, serta narit maja dari M. Ali Latif, yang disampaikan dalam FGD Pengelolaan Hutan berbasis Syariat dan Adat pada 25 Februari 2014 di Hotel Pade. Pantun rimba raya yang disumbangkan peserta sosialisasi panduan adat di Nagan Raya tanggal 28 Mei 2014
43
Kegiatan ini dipimpin oleh peutua ladang, peutua gle, atau peutua seuneubok. 2. Kegiatan mengumpulkan hasil hutan non kayu, seperti rotan, damar, gaharu, getah perca, getah jelutung, jernang dan kayu alin. 3. Kegiatan berburu, meliputi berburu rusa (meurusa) dan kijang (meuglueh). 4. Kegiatan mencari ikan (meu-eungkot), khususnya ikan keureuling (jurung) yang banyak terdapat di hulu sungai di dalam hutan. Pemanfaatan kawasan hutan diatur secara khusus, melalui lembaga Panglima Uteun dan adat pengelolaan hutan.
Setiap tahun, khususnya setelah selesai menyiangi padi, kaum perempuan di mukim tersebut melakukan kegiatan pengumpulan janeng untuk cadangan pangan atau bekal keluarga menghadapi masa paceklik. Kegiatan ini sebagai langkah berjaga-jaga apabila terjadi gagal panen. Hal ini dapat dimaklumi, karena sawah-sawah di mukim tersebut pada masa dahulu masih berupa sawah tadah hujan yang sangat rentan mengalami resiko kekeringan. Khusus di pantai Barat-Selatan Aceh, hutan rawa/payau menjadi sumber penghasil sagu untuk kebutuhan pangan keluarga. Tradisi mengolah sagu di kawasan ini telah memberikan sumbangan penting dalam menghadapi masa paceklik, akibat gagal panen padi pada tahun 1970-an, khususnya di Aceh Selatan.
Fungsi Hutan Menurut Adat di Aceh Berdasarkan pengamatan terhadap kegiatan pemanfaatan kawasan hutan di Aceh, secara umum fungsi hutan meliputi sumber pangan/ protein hewani, ekonomi, obat-obatan, penyimpan air, kawasan penyangga, bahan perumahan dan rekreasi. 1. Sumber pangan keluarga Hingga saat ini hutan masih merupakan sumber cadangan pangan terpenting, baik dalam situasi normal maupun darurat. Ada dua bahan pangan penting yang berasal dari hutan yaitu janeng (gadung hutan) dan sagee (sagu). Kedua tanaman ini menjadi andalan utama dalam menghadapi skenario darurat pangan, terutama ketika menghadapi masa paceklik. Sebagai contoh, tradisi meujaneng di kalangan masyarakat tani di mukim Lam Leu Ot dan sekitarnya di Kabupaten Aceh Besar dan tradisi meusagee (mengolah sagu) di Pantai Barat-Selatan Aceh.
44
Selain itu, hutan juga merupakan penghasil bahan sayuran yang bernilai ekonomis, seperti batang pisang hutan untuk gulai daging (dalam bahasa Aceh: kuah beulangong), daun paku, batang/ bunga dan buah kala untuk bahan gulai berbagai jenis unggas dan ikan paya. Selanjutnya, hutan juga menyediakan kebutuhan protein keluarga, berupa daging hewan buruan dan ikan di sungai di dalam hutan. 2. Sumber protein keluarga Berdasarkan tradisi, kegiatan pegumpulan protein hewani umumnya untuk kebutuhan keluarga dan jarang sekali dijual. Kegiatan tersebut antara lain: dalam bentuk meurusa (berburu rusa), meuglueh (berburu kijang) dan meu-ungkot (mencari ikan) Kegiatan meurusa dilakukan dengan pada bulan-bulan tertentu, agar tidak mengganggu
proses regenerasi hewan tersebut. Namun, pada masa sekarang, kegiatan meurusa telah dilakukan dengan cara-cara yang bertentangan dengan adat, yaitu penggunaan senjata api secara berlebihan dan tidak lagi dilakukan secara beramai-ramai dengan melibatkan warga gampong. Tetapi cenderung kepada penyertaan terbatas sekitar lima hingga sepuluh orang dan meminjam senapan dari aparat keamanan. Rusanya pun bukan sekedar satu ekor ditembak tetapi sebanyak yang mampu dibawa. Kegiatan seperti itu tentu saja bertentangan dengan dengan nilai-nilai adat dan keberlanjutan populasi rusa di masa depan. 3. Sumber ekonomi Sumber ekonomi utama dari hutan berupa hasil kayu dan non kayu. Hasil hutan non kayu, seperti rotan, jernang, kayu alin/ gaharu, buah jemblang (jambee kleng), ceuradi, beurangkah, damar, madu dan lilin lebah. Pada saat ini semua hasil hutan tersebut mempunyai nilai ekonomi yang tinggi dan mempunyai keunggulan komparatif dalam perdagangan. Hal ini karena beberapa dari hasil hutan tersebut sudah sangat terbatas dan hanya terdapat di daerah-daerah tertentu saja di Aceh. Sebagai contoh, buah jemblang, jernang dan madu lebah. Berdasarkan pengamatan yang penulis lakukan terhadap kegiatan pengumpulan jemblang dari kawasan Mukim Lampanah Leungah dan Krueng Raya, pada puncak musim jemblang tidak kurang dari satu ton buah jemblang dikumpulkan pedagang dari petani pengumpul di Krueng Raya dan sekitarnya. Kegiatan pengumpulan dan perdagangan buah jemblang menyediakan lapangan kerja untuk
ratusan jiwa. Mulai dari pemetik buah jemblang, agen pengumpul, agen luar daerah hingga pedagang pengecer. Keadaan serupa juga terjadi dalam kegiatan pengumpulan madu lebah, khususnya di sentra-sentra penghasil madu seperti di Aceh Besar, Aceh Jaya dan Aceh Selatan. Sedangkan hasil hutan berupa buah jernang sudah sangat terbatas jumlahnya, begitu juga dengan buah ceradi dan damar. Selain itu, hutan juga dapat menjadi sumber keuangan/ pendapatan gampong, melalui pungutan wase (cukai) adat atas hasil hutan. Seperti atas hasil pengumpulan sarang burung, kayu gaharu, buah durian dan perdagangan hasil hutan lainnya. 4. Sumber obat-obatan Sumber obat-obatan yang terdapat dalam hutan Aceh, khususnya obat-obat tradisional meliputi tanaman tungkat ali (Pasak bumi), kulit batang jemblang, buah reum, buah laban dan bahan pembuat obat-obatan lainnya. Selain itu juga terdapat baneng gle (kura-kura hutan) dan burung got-got yang sering digunakan untuk obat patah tulang. 5. Sumber air Kesadaran terhadap peran penting hutan dalam tata air, telah melahirkan nilai-nilai yang memberikan perhatian kepada upaya perlindungan jenis-jenis kayu tertentu, khususnya yang punya kemampuan daya simpan air. Seperti pohon ara, tingkeum, rambung, perlak, reubek dan sebagainya, khususnya jika tumbuh di sumber mata air atau di sepanjang batang air.
45
6. Sumber bahan perumahan Rumah merupakan kebutuhan setiap keluarga. Pemenuhan kebutuhan kayu untuk membangun rumah merupakan hak adat, khususnya bagi penduduk gampong yang tinggal di kawasan yang masih ada hutannya. Tradisi pemanfaatan kayu di hutan untuk keperluan umum atau membangun rumah warga di temukan di hampir seluruh kawasan pedalaman di Aceh. Sebagai contoh, di Gampong Bak Sukon, mukim Lam Leu Ot di Kabupaten Aceh Besar. Di gampong ini, pengambilan kayu di hutan untuk keperluan bangunan umum di gampong dikukuhkan dengan surat keterangan keuchik (kepala desa) dengan menyebutkan nama penebang, keperluan kayu, lokasi penebangan dan jumlah kayu yang dibutuhkan. Surat tersebut digunakan sebagai rujukan/ dasar bagi penegak hukum (kepolisian) di kecamatan Indrapuri saat itu untuk membenarkan penebang kayu membawa mesin potong kayu menuju ke kawasan hutan (kasus tahun 1992). 7. Kawasan rekreasi Hutan merupakan kawasan rekreasi dan interaksi sosial yang penting bagi masyarakat pedesaan. Khususnya dalam bentuk kegiatan berburu dan mencari ikan. Melalui kedua kegiatan tersebut, warga gampong dapat berbagi pengetahuan, kegembiraan, melatih kepemimpinan, kesetiaan dan kekompakan. Selain itu juga meningkatkan kemampuan terhadap penguasaan informasi wilayah. 8. Kawasan penyangga Kawasan hutan penting sebagai zona penyangga, untuk mencegah konflik antara satwa dengan
46
manusia. Hutan yang lestari akan menyediakan makanan yang cukup bagi hewan-hewan di dalamnya, sehingga mereka tidak turun ke kawasan pemukiman atau ke kawasan kebun/ ladang untuk mencari makanan. Oleh sebab itu larangan adat menebang pohon ara, rambung atau pohon-pohon penghasil makanan hewan sangat masuk akal dan dapat diterima. Selain itu fungsi hutan sebagai penyerap dan penyimpan air sangat penting bagi masyarakat yang tinggal di hulu atau di muara sungai. Cadangan air yang cukup menjadi jaminan bagi masyarakat setempat dalam menghadapi musim kemarau. Sebaliknya, daya serap air di musim hujan oleh jenis pohon tertentu menjadi penyangga dari terjadinya banjir yang berlebihan. Seperti dibuktikan oleh keberadaan hutan gambut di Kabupaten Aceh Jaya, Aceh Barat, Nagan Raya, Aceh Selatan dan Aceh Singkil. Hak-hak Masyarakat Adat Atas Tanah Berdasarkan literatur, ada dua bentuk hak-hak masyarakat adat di Aceh atas tanah, yaitu hak persekutuan (hak komunal, hak ulayat) dan hak perorangan. Hak perorangan atas tanah terdiri dari : 1) Hak milik, hak yasan; 2) Hak wenang pilih, hak mendahulu; 3) Hak menikmati hasil; 4) Hak pakai; 5) Hak imbal jabatan; 6) Hak wenang beli. (Iman Sudiyat 2000) Kelembagaan Pengelolaan Hutan Penguasaan dan pengaturan pemanfaatan hutan mukim berada pada lembaga mukim. Oleh sebab itu, setiap keputusan yang berkaitan dengan pengaturan-pemanfaatan hutan mukim mestilah diputus-
kan melalui musyawarah yang dihadiri oleh segenap keuchik, imuem meunasah, tuha peut gampong, perwakilan pemuda dan kaum perempuan dari gampong-gampong se-mukim. Selanjutnya, dalam pelaksanaannya lembaga mukim membentuk dan memilih pengurus lembaga Panglima uteun. Lembaga inilah yang melaksanakan ketentuan-ketentuan adat berkaitan dengan hutan dan mengawasi kegiatan pemanfaatan hutan. Pengurus lembaga panglima uteun sebaiknya disesuaikan dengan kebutuhan setempat dan sesuai dengan perkembangan zaman. Susunan pengurus panglima uteun minimal terdiri dari pimpinan (panglima uteun), wakil, sekretaris dan bendahara. Apabila kawasan hutannya luas dan tersebar di beberapa gampong, dapat pula ditunjuk beberap orang wakil. Tugas Panglima Uteun a. Memimpin dan mengatur pelaksanaan adat yang berkenaan dengan pengelolaan dan pelestarian hutan; b. Menegakkan hukum adat tentang hutan; c. Memungut wase atau cukai adat (restribusi) terhadap hasil yang dipungut di dalam hutan mukim. d. Mengatur waktu berburu; e. Mengkoordinir pelaksanaan upacara adat yang berkaitan dengan hutan; f. Menetapkan lokasi hutan, jenis kayu dan ukuran kayu yang boleh ditebang untuk keperluan rumah warga mukim; g. Mengawasi kegiatan berburu dan jumlah rusa/ kijang yang boleh diburu dalam setahun; h. Mengawasi kegiatan pemanfaatan hutan dan i. Menyelesaikan sengketa antara warga masyarakat dalam pemanfaatan hutan.
Syarat-Syarat Calon Panglima Uteun a. Penduduk asli. b. Ahli tentang hutan di wilayahnya. c. Berwibawa dan disegani. d. Punya jiwa kepemimpinan. e. Jujur. f. Paham tentang adat uteun (hukum adat hutan). g. Umur 40 tahun ke atas. h. Tidak fasiq dan taat beragama. i. Punya rekam jejak yang baik tentang pengelolaan hutan dan lingkungan. Tatacara Pemilihan Penglima Uteun a. Pemilihan dilakukan dengan cara musyawarah untuk mufakat. b. Apabila tidak tercapai kesepakatan, maka dilakukan pemilihan suara. c. Unsur-unsur yang turut serta dalam pemilihan panglima uteun terdiri dari imuem mukim, imuem chik, anggota tuha peut mukim, keuchik, teungku meunasah, anggota tuha peut gampong, perwakilan pemuda dan perampuan. d. Masa jabatan panglima uteun selama lima tahun. Hak-hak panglima uteun a. Mengambil tindakan tertentu dalam penegakan adat hutan, sesuai dengan ketentuan adat setempat. b. Berhak untuk menerima pendapatan sebagai imbalan atas pelaksanaan peran dan tugasnya. Pendapatan tersebut berasal dari kutipan adat atas hasil hutan. c. Panglima uteun berhak menerima bantuan hukum dari pemerintah, apabila dalam melaksanakan tugasnya berhadapan dengan kasus hukum. 47
Tatacara Pemanfaatan Hutan Menurut Adat Hutan ulayat mukim hanya boleh dimanfaatkan oleh warga mukim setempat, sedangkan warga luar mukim harus mendapatkan izin dari mukim atau gampong setempat. Dalam kegiatan pengumpulan hasil hutan, sebagian hasilnya harus diserahkan sebagai hak gampong (wase gampong/ mukim) untuk digunakan sebagai sumber pendapatan gampong/ mukim. 1. Tatacara membuka ladang dan kebun Pengaturan kegiatan perladangan atau membuka kebun bertujuan untuk memastikan hak-hak setiap warga gampong dapat terlindungi, mencegah konflik dan tidak membuka ladang di tempat terlarang. Ketentuan adat dalam pembukaan ladang di kawasan hutan meliputi: perizinan, tatacara menanda tanah, penentuan batas tanah yang dibuka, tatacara membakar lahan dan status hak atas tanah yang telah dibuka atau digarap tersebut. Setiap warga yang akan membuka hutan untuk keperluan berladang atau berkebun untuk melapor dan meminta persetujuan pemimpin adat setempat. Baik pada peutua seuneubok, kepala dusun dan keuchik maupun kepada imuem mukim, sesuai dengan adat setempat. Keharusan melapor kepada pimpinan adat setempat sangat diperlukan untuk mencegah timbulnya tumpang tindih klaim atas tanah yang akan dibuka dan untuk memastikan bahwa tanah yang akan dibuka tersebut masih merupakan tanoh umum (tanoh haqqullah) dan belum menjadi hak perseorangan (tanoh haqqul adam).
Setelah mendapatkan persetujuan pimpinan adat, yang bersangkutan pertama sekali melakukan kegiatan untuk memberi tanda pada lokasi tanah hutan yang akan dibuka. Kegiatan ini dinamakan dengan tanda tanoh. Ada beberapa istilah yang digunakan dalam peletakan tanda buka tanah di Aceh. Di Aceh Besar digunakan tiga istilah berbeda, misalnya di Leupueng kegiatan peletakan tanda di tanah yang akan dibuka tersebut disebut dengan raboun chawiek atau lhat chawiek. Sedangkan di kecamatan Indrapuri dan Seulimuem disebut dengan lhat situek, sementara di Mukim Samahani disebut dengan dong gaki. Pembuatan tanda tanoh dilakukan dengan cara menebas sebagian semak belukar di sekitar tempat yang akan dibuka, kemudian menggantungkan seunawiet (lhat chawiek) di dahan pohon di tempat yang 13 Cara lain adalah telah ditebas tersebut. membuat tanda silang di kulit pohon (El Hakimy 1984). Sedangkan di Mukim Babah Lhok – Blangpidie di Aceh Barat Daya, dilakukan dengan menggantungkan seunawiek (lhat chawiek) pada panteu (para-para) yang dibuat di lokasi tanda tanoh (Sanusi 2001). Hak tanda tanoh berlaku selama tanda yang dibuat masih ada. Apabila tanda tersebut sudah gugur, sementara tanah belum digarap, maka gugurlah hak tanda tanoh tersebut (El Hakimy 1984). Jangka waktu gugurnya hak tanda tanoh tersebut sangat bergantung pada kondisi lingkungan dan juga ketentuan adat setempat. Ada tempat yang menetapkan jangka waktu gugurnya hak tanda tanoh setelah enam bulan atau sekali musim berladang.
13 Seunawit adalah kayu berkait seukuran satu hasta lebih, yang digunakan dengan tangan kiri/ kanan untuk menarik semak ketika ditebas.
48
Pemasangan tanda dong tanoh dilakukan sebagai pemberitahuan kepada umum dan untuk memastikan tanah yang akan dibuka tersebut tidak tumpang tindih dengan hak orang lain. Dalam hal ini, untuk mencegah tumpang tindih hak tersebut, maka sebaiknya warga yang akan membuka tanah agar menghubungi peutua seuneubok atau keuchik untuk menanyakan tanah mana saja yang belum ditanda/ dibuka orang di kawasan hutan. Setelah itu barulah dia melakukan kegiatan pemasangan tanda tanah. 2. Tatacara pengelolaan kayu tualang (kayee uno) Kayee uno merupakan pohon tempat lebah madu bersarang yang menjadi sumber kehidupan penting dalam siklus hidup manusia, hewan dan juga tumbuhan. Baik untuk kelestarian lingkungan, proses regenerasi/ produksi tanaman maupun sebagai sumber ekonomi bagi masyarakat sekitarnya. Oleh sebab itu, kayu tualang (kayee uno) termasuk tanaman yang dilindungi dalam adat Aceh dan pemanfaatannya di atur oleh adat. Secara umum, pola pengelolaan kayee uno meliputi proses pengakuan hak dan tata cara pemanfaatannya. Biasanya, penemu membersihkan lingkungan kayu tualang/ kayee uno yang ditemukan di dalam hutan, kemudian melaporkan penemuan tersebut kepada keuchik atau Imuem Mukim untuk mendapatkan pengakuan hak sebagai penemu kayu tualang. Keuchik atau Imuem Mukim atau pengurus lembaga adat yang ditunjuk kemudian memeriksa keberadaan kayu tualang tersebut dan mengumumkan kepada warga, kalau ada pihak lain yang telah menemukan atau mengusahakan kayu tersebut terlebih dahulu. Apabila tidak ada keberatan, maka
keuchik/ Imuem Mukim kemudian menegaskan hak yang bersangkutan atas kayu tualang tersebut. 3. Tatacara mencari rotan Kegiatan mencari rotan di dalam hutan hanya dibenarkan untuk warga mukim setempat. Sedangkan warga luar mukim harus mendapatkan izin dari lembaga mukim. Rotan yang berhasil dikumpulkan sebagian harus diserahkan kepada gampong/ mukim, sesuai dengan kesepakatan adat setempat. Pada masa dahulu jumlah rotan yang menjadi hak gampong (wase gampong) adalah sebesar seper sepuluh dari jumlah rotan yang berhasil dikumpulkan. Selanjutnya, tidak dibenarnya menarikan rotan dan atau membawa pulang rotan melewati kawasan sawah yang padinya sedang bunting (berisi). 4. Tatacara berburu Perburuaan satwa yang dibenarkan oleh adat meliputi: berburu rusa (meurusa) dan kijang (meuglueh). Waktu berburu harus diatur dan ditetapkan sesuai dengan adat setempat, dengan memperhatikan keberlangsungan perkembangbiakan hewan berburu. Oleh sebab itu kegiatan berburu tidak dibenarkan ketika rusa atau kijang dalam masa hamil atau anaknya masih kecil. Perburuan rusa yang dibenarkan adat adalah dengan menggunakan alat-alat tradisional, seperti taron (jerat), jaring dan tombak. Kegiatan berburu dipimpin oleh seorang pawang dan mengikutsertakan warga gampong. Berburu rusa atau kijang dengan menggunakan senapan dan untuk tujuan mencari nafkah, bertentangan dengan nilai-nilai adat, yang mengedepankan kelestarian satwa tersebut.
49
Untuk menjam in kelestarian, perlu disepakati jumlah rusa, kijang dan kambing hutan (bahasa Aceh: kameng batee) yang dibenarkan untuk diburu dalam setahun. Selain itu perlu disepakati pula kawasan perllindungan adat bagi hewan buruan tersebut. Artinya, di kawasan lindung itu tidak dibenarkan melakukan perburuan rusa, kijang, kambing hutan, kancil dan hewan buruan lainnya. 5. Tatacara menangkap ikan di sungai dalam hutan Menangkap ikan di dalam sungai di kawasan hutan mestilah dengan menggunakan alat-alat yang dibenarkan adat dan tidak menggunakan alat-alat/ bahan yang merusak. Alat-alat yang dibenarkan adalah bubu, jala, tangguk dan sebagainya, sesuai dengan adat setempat. Sebaliknya, alat-alat/ bahan untuk penangkapan ikan yang bersifat merusak lingkungan tidak boleh digunakan. Seperti menggunakan racun kimia dan kontak listrik. 6. Tatacara pemanfaatan kayu untuk kebutuhan gampong a. Warga gampong/ mukim sekitar hutan berhak atas kayu untuk kebutuhan pembuatan rumah. b. Pemenuhan kebutuhan kayu untuk warga gampong di sekitar hutan harus sesuai dengan ketentuan/ kesepakatan yang berlaku di mukim tersebut. c. Tiap mukim harus mendaftarkan hutan adatnya. d. Hutan adat mukim terdiri dari hutan adat produksi (untuk kebutuhan lokal) dan hutan lindung mukim. e. Luas hutan adat produksi dan hutan adat konservasi ditentukan setelah melakukan kajian mendalam dengan mempertimbangkan
50
aspek lingkungan dan kebutuhan masyarakat setempat. f. Lembaga mukim menetapkan status hutan adat mukim (hutan adat produksi dan hutan adat konservasi), melalui musyawarah tokoh adat se mukim, kemudian mendaftarkannya kepada pemerintah kabupaten/kota. 7. Tatacara pengajuan permohonan kebutuhan kayu rumah a. Warga yang membutuhkan kayu untuk pembuatan rumah mengajukan permohonan kepada Imuem mukim melalui keuchik setempat, dengan menyebut jumlah kayu yang dibutuhkan. Surat permohon harus dilampiri Kartu Tanda Penduduk (KTP) pemohon dan KTP tukang belah kayu (operator mesin cinsaw). b. Keuchik kemudian mengeluarkan surat keterangan sebagai bahan pertimbangan imuem mukim dalam mengeluarkan izin. c. Keuchik gampong meneruskan permohonan tersebut kepada imuem mukim. d. Imuem mukim menugaskan panglima uteun untuk memeriksa keadaan kayu di hutan boleh ditebang, melakukan pengukuran dan pemetaan lokasi. e. Panglima uteun melaporkan kepada mukim hasil pemeriksaan dan pengukuran lapangan, serta ketersediaan kayunya. f. Apabila kayu cukup tersedia, Imuem Mukim mengeluarkan izin penebangan. g. Sebelum penebangan dilakukan, pemohon kayu terlebih dahulu harus menandatangani surat perjanjian untuk menanam jenis kayu tertentu yang cepat pertumbuhannya sebagai pengganti kayu yang akan ditebang. Seperti: bak bayu, bak tinteung, dan bak barat daya (tanaman lokal Aceh) atau jenis mahoni, jati putih dan sengon.
h. Imuem Mukim kemudian mengeluarkan izin pengolahan kayu di hutan adat mukim setempat dengan pengawasan dari Panglima Uteun. i. Jumlah maksimal kayu yang boleh ditebang untuk setiap warga yang belum punya rumah adalah sebanyak 10 (sepuluh) meter kubik, atau untuk kebutuhan kayu rumah type 36. 8. Tatacara pembagian manfaat Pembagian manfaat yang diperoleh dari hutan adat mesti dimusyawarahkan dan diputuskan secara bersama-sama pada tingkat mukim. Besaran pembagian manfaat untuk masing-masing gampong dan lembaga mukim mestilah mempertimbangkan letak lokasi hutan, dan kewajiban-kewajiban yang melekat pada gampong atau lembaga mukim yang bersangkutan. Dengan demikian gampong yang berbatasan langsung dengan kawasan hutan mendapat hak pembagian yang relatif lebih besar, dibandingkan dengan gampong lain yang tidak berbatasan langsung dengan hutan. Karena pada gampong yang berbatasan dengan hutan mempunyai kewajiban yang lebih besar untuk mengawasi keselamatan hutan.
Perlindungan Hutan Adat Dalam rangka melestarikan kawasan hutan, perlu dihidupkan kembali ketentuan adat, antara lain: a. Larangan menebang kayu tualang (kayee uno) atau kayu tempat lebah bersarang. b. Larangan menebang kayu di kawasan sumber air/ mata air. c. Larangan membuka hutan untuk kebun di kawasan hutan lindung adat. d. Larangan meracun/ menuba ikan yang berada dalam lubuk (tuwi). e. Larangan menebang pepohonan di sepanjang pinggiran sungai, alur (sungai keci), di puncak gunung dan di lereng/ jurang terjal. f. Larangan menebang pohon-pohon yang buahnya dapat dimakan oleh manusia dan hewan. Seperti pohon rambutan hutan, buah mun, nangka hutan, ceuradi, ara dan sebagainya. Larangan-larangan tersebut bertujuan untuk melindungi lingkungan dan sumber kehidupan, khususnya bagi penduduk sekitarnya dan juga hewan-hewan serta makhluk hidup lainnya. Selain itu juga untuk mencegah terjadinya bencana lingkungan, baik dalam bentuk banjir dan kekeringan, maupun munculnya gangguan satwa terhadap lahan pertanian dan perumahan.
Pengawasan Hutan Adat
Selanjutnya, pelanggaran terhadap larangan tersebut dikenakan sanksi adat, sesuai dengan ketentuan mukim/ gampong setempat.
Pengawasan kawasan hutan dilakukan oleh lembaga mukim, dengan cara didelegasikan kepada masing-masing gampong di pinggiran hutan dan kepada panglima uteun. Dalam hal ini, warga gampong di pinggiran hutan berkewajiban untuk memantau pergerakan orang dan juga kegiatan-kegiatan yang patut diduga akan merusak atau mengganggu kelestarian hutan.
Bentuk-bentuk sanksi yang berkaitan dengan pelanggaran adat hutan seperti: a. Menyita hasil hutan yang dipungut tanpa izin atau melanggar adat. b. Membayar denda adat dalam bentuk ganti rugi kerusakan; c. Menanam kembali pohon berbuah yang telah ditebang, sebanyak minimal tiga batang pohon
51
pengganti dari jenis pohon yang sama dan 14 merawatnya hingga berbuah. d. Melaksanakan khanduri dengan membawa nasi ketan dan kelengkapannya. Bentuk ukuran sanksi adat yang dikenakan sesuai dengan ketentuan dan kesepakatan adat di mukim/ gampong setempat. Pantangan di dalam hutan: a. Pantang masuk hutan pada hari jumat. b. Pantang meraung-raung (teriak) di dalam hutan. c. Pantang melakukan tindakan maksiat. d. Pantang menyebut nama langsung dari hewan-hewan yang menjadi penguasa rimba. Penyelesaian Perselisihan Perselisihan di dalam kawasan hutan ditangani dan diselesaikan oleh lembaga adat terkait, yaitu: Panglima Uteun untuk perselisihan berkaitan dengan berburu dan mengumpulkan hasil hutan dan Peutua Seuneubok untuk perselisihan berkaitan dengan kegiatan berladang/ berkebun di dalam kawasan hutan. Nilai-nilai Adat Dalam Pemanfaatan Hutan Berikut ini adalah beberapa nilai adat yang berkaitan dengan pengelolaan hutan: a. Menjaga hutan dan pepohonan di sekitar sumber air/ mata air. b. Menanam pepohonan yang berguna untuk manusia, hewan dan lingkungan. c. Tidak menebang pohon-pohon yang buahnya dapat dimakan oleh manusia dan hewan. d. Menyerahkan sebagian hasil buruan (sekedarnya) kepada warga yang menyaksikan pembagian hasil buruan. e. Memandang hutan sebagai sumber kehidupan masyarakat. 14 Seperti yang berlaku di kawasan Nagan Raya di masa lalu.
52
f. Menyebut hewan-hewan penguasa hutan dengan sebutan khas, seperti Po Meurah/ Teungku Rayeuk untuk gajah, Nek/ Nek Mbok untuk harimau, Raja Panyang untuk ular dan Tgk. Langei untuk buaya. g. Tidak boleh bersikap takabbur di dalam hutan. h. Tidak menaman tanaman yang melanggar aturan hukum di dalam kawasan hutan. i. Pohon kayu atau pohon yang dapat berlindung (tempat berkembangbiak) tidak boleh diganggu atau ditebang. j. Tidak mengganggu hewan-hewan di dalam hutan. k. Tidak melepaskan binatang ternak ke dalam kawasan hutan. l. Kepemimpinan, dipilih secara musyawarah dan mendapat mandat/ pengakuan dari masyarakat, dengan mempertimbangkan kemampuan dan pengetahuan dari orang yang akan dipilih. m.Pengambilan keputusan terkait dengan hutan harus melalui musyawarah tingkat mukim, turut serta panglima uteun. Anjuran/Persiapan Hutan
Memasuki
Kawasan
Berikut ini adalah beberapa anjuran, sebagai persiapan ketika akan memasuki atau sedang berada dalam kawasan hutan: a. Siapkan bekal yang cukup. b. Siap mental/pekong mental. c. Kenali tumbuhan hutan yang aman untuk dimakan. d. Kenali tanaman obat-obatan. e. Hindari tanaman beracun. f. Kenali hewan yang aman dimakan dan hindari kawanan hewan buas. g. Hindari hewan beracun. h. Kenali tumbuhan untuk mudah hidupkan api. i. Usahakan untuk tidak tersesat, apabila terjadi mintalah petunjuk kepada Allah, sambil mempelajari tanda-tanda alam yang ada.
Revitalisasi Adat Pengelolaan Hutan Dalam rangka memperkuat kembali (revitalisasi) peran lembaga adat dalam pengelolaan hutan, baik di tingkat mukim maupun gampong, diperlukan upaya yang sistematis dan berkelanjutan, meliputi: a. Menemukenali adat (aturan-aturan adat) pengelolaan hutan setempat. b. Melakukan musyawarah se-mukim, untuk membangun kesepakatan adat dalam hal pengelolaan hutan. c. Pembentukan kembali lembaga panglima uteun. d. Pengukuhan kembali adat pengelolaan hutan. e. Penegakan hukum adat. f. Pembuatan peta wilayah mukim dan hutan adat mukim. g. Penegasan wilayah hutan adat mukim. h. Pendaftaran wilayah adat dan hutan adat mukim ke pemerintah kabupaten/kota i. Meningkatkan peran mukim dan panglima uteun dalam menyelesaikan perselisihan di kawasan hutan. j. Meningkatkan kapasitas dan peran mukim dalam mengawasi pihak luar yang memanfaatkan kawasan hutan mukim tanpa persetujuan masyarakat mukim. k. Dukungan pemerintah daerah dan penegak hukum menjadi pra syarat penegakan adat (petua adat melakukan pendekatan). Narit Maja Tentang Hutan Sebagai penutup mari kita simak narit maja (pepatah adat) berkaitan dengan pengelolaan hutan sebagai berikut: Di bineh pasi ta pula aron di dalam neuheun ta pula bangka meunyo ka udep bangka ngon aron watee ie paseung han bagah teuka
seubab ka meutheun deungon kayee nyan u dalam gampong ie laot hana seubab ka meutheun ie laot meulet u gampong goh trok ji surot teuma Rambot ngon langsat lam lon bineh krueng Tanoh jih subur baja sabee na watee ie raya di ek dalam lon watee teuka khueng sue uem pih pahna Sideh dalam blang tapula padee seuneubok di gle tanaman tuha lheuh ta tot neucah pade ta tajok lheuh nyan di likot tanaman tuha Uteut teumpat binatang si nan na padang bak meurot pihna hanjeut ta dageu uteun ngon padang teumpat binatang gle ta peulihara Rimba hanjeut cah deungon ta teubang sinan binatang bermacam rupa meunyo roh ta cah deungon ta teubang ubeena binatang diwo lan kota Keubit meupalo rimba ta teubang lhee tat macam di teuka bala gajah ngon badeuk cagee ngon rimueng di tron u gampong ka peungeuh rimba Nyang cukop bahya oh di teuka ujeun tanoh dum diron so peutheun hana laju dipeuron bubeena bateung lam gampong keingkeung kayee lam Rimba (Karya : Drs. M.Ali Latief) Pantun Dari Rimba Raya Ingat-ingat wahe rakan droe Bek tiek duroe bak jalan raya Hana teutop bak tajak, teutop bak tawo Penyaket tablo utang tapeuna Beingat-ingat tateubang uteun Ake tateumeung rugoe binasa (Karya : Peserta Sosialisasi di Nagan Raya)
53
Daftar Pustaka
As-Salus, Ali Ahmad, Mausu`ah Al-Qadhaya Al-Fiqhiyyah Al-Mu’ashirah wa Al-Iqtshadi a-Islami, (Qatar : Dar ats-Tsaqafah, 2002) Djamil, Fathurahman, Filsafat Hukum Islam, cet. I, Jakarta: Logos Wacana Ilmu, 1997. Dr. H. Ahmad Wardi Muslich, Hukum Pidana Islam, Jakarta: PT. Sinar Grafika, Hal.82 Dr. H.M. Nurul Irfan, M.Ag, Korupsi dalam Hukum Pidana Islam, Jakarta: Amzah, 2011, hal:87 Dr. Yusuf Al Qaradlawi, Islam Agama Ramah Lingkungan. Abdullah Hakam Shah, dkk. (terj.)., Jakarta: Pustaka Al-Kautsar, 2002. Dr. Yusuf Al Qaradlawi, Fiqih Peradaban : Sunnah Sebagai Paradigma Ilmu Pengetahuan.. Dunia Ilmu, Surabaya 1997. Gazali, Hatim (2005). Mempertimbangkan Gagasan Eco-Theology. http://islamlib.com. Diakses pada 28 April 2008. http://adelesmagicbox.wordpress.com/2012/03/27/tindak-p dana-korupsi-ditinjau-dari-fiqh-jinayah-danhukum-positif-indonesia/ http://agamadanekologi.blogspot.com/2007/03/pengelolaan-hutan-berdasarkan-syariah.html http://greenjournalist.net/kebijakan-lingkungan/korupsi-dan-perang-sumber-kejahatan-lingkungan/ http://hukum.kompasiana.com/2011/04/15/istilah-korupsi-dalam-islam/ http://news.okezone.com/read/2013/10/27/339/887743/pengamat-korupsi-di-sektor-kehutanan-maha-dahsyat http://rahmatzoom.blogspot.com/2012/12/ayat-dan-hadits-tentang-lingkungan-hidup.html http://reknowidati.wordpress.com/2011/11/26/lingkungan-dalam-prespektif-islam/ http://syafieh.blogspot.com/2013/03/islam-dan-kelestarian-lingkungan-studi.html http://ugm.ac.id/id/berita/3205 sektor.kehutanan.berpotensi.terjadi.banyak.kasus.korupsi
55
Imam asy-Syaukani, Nailul Authar, (Beirut : Dar Ibn Hazm, 2000) 1139-1140 Iman Sudiyat. 2000. Hukum Adat: Sketsa Asas. Yogyakarta. Liberty. Nasution, Harun, Ensiklopedi Islam Indonesia Jakarta: Djambatan, 1992. Salina Zainol. 2005. Siri Kajian Sejarah: Hubungan Perdagangan Aceh dengan Pulau Pinang. Kuala Lumpur. Universiti Malaya. Sanusi M. Syarif. 1999. Pengelolaan Gua Walet oleh Masyarakat Adat di Ekosistem Leuser. Medan. Unit Manajemen Leuser. Sanusi M. Syarif. 2001. Menuju Kedaulatan Mukim dan Gampong; RIWANG U SEUNEUBOK. Jakarta. Yappika dan YRBI. Sanusi M. Syarif. 2008. Menuju Pengelolaan Kawasan Berbasis Mukim dan Gampong di Aceh Rayeuk. Bogor. JKPP dan YRBI. T.I. El Hakimy. 1984. Hukum Adat Tanah Rimba di Kemukiman Leupueng Aceh Besar, Laporan Penelitian. Banda Aceh. Pusat Studi Hukum Adat dan Islam Universitas Syiah Kuala. Yafie, Ali, Merintis Fiqh Lingkungan Hidup, Jakarta: Yayasan Amanah, 2006. Zallum, Abdul Qadim, Al-Amwal fi Daulah al-Khilafah, (Beirut : Darul ‘Ilmi lil Malayin, 1983) Zainuddin, H. M. 1961. Tarich Atjeh dan Nusantara. Medan: Penerbit Pustaka Iskandar Muda.
56
MAJE
EH AC
ADAT LIS
SIAP II Program Office Graha Simatupang Tower 2 Unit C, 4th Floor Jl. TB Simatupang Kav. 38 Jakarta Selatan Phone: +6221 - 7829461 Fax: +6221 - 7829462 www.hutankita.org