IFOS: PERBAIKAN KEBIJAKAN PENGELOLAAN HUTAN SECARA TERPADU DAN TRANSPARAN SEBAGAI UPAYA MERUNTUHKAN PRAKTIK KORUPSI DI SEKTOR KEHUTANAN
ARIF RACHMAN NUR, CINDRA DAN RISKAYANTI UNIVERSITAS HASANUDDIN MAKASSAR
ABSTRACT This paper seeks to determine the condition of the management of the forestry sector in Indonesia at this time and knowing the flow improvement of forest management policies in an integrated and transparent by using the concept of Integrated Forest Online System (IFOS). The method of writing used the descriptive method. From the analysis conducted created a solution that is expected to be implemented by the government or other institutions as a solution in order to tear down the dynasty of corruption in the forestry sector. The data used is secondary data which is then processed by content analysis techniques to generate conclusions. Based on analysis of these data, the results are as follows: First, the conditions of forest management in Indonesia is not yet optimal. This is supported by the many laws and regulations that salingtumpang overlap, poor licensing system and management policy. Second, the implementation of the Integrated Forest Online System (IFOS) as a form of government transparency in terms of forest pengeloloaan to the community that includes mapping, licensing, management and reporting. Integrated Forest Online System (IFOS) is an integrated solution in breaking down the dynasty of corruption in the forestry sector in Indonesia. Keywords: IFOS, Indonesia's forests, forest management, development, policy. ABSTRAK Tulisan ini berupaya mengetahui kondisi pengelolaan sektor kehutanan di Indonesia saat ini dan mengetahui alur perbaikan kebijakan pengelolaan hutan secara terpadu dan transparan dengan menggunakan konsep Integrated Forest Online System (IFOS). Adapun metode penulisan yang digunakan yakni menggunakan metode deskriptif. Dari analisis yang dilakukan dibuat suatu solusi yang diharapkan dapat diterapkan oleh pemerintah maupun institusi lainnya sebagai solusi guna meruntuhkan dinasti korupsi dalam sektor kehutanan. Data yang digunakan merupakan data sekunder yang kemudian diolah dengan content analysis untuk menghasilkan kesimpulan. Hasil dari penelitian ini adalah: Pertama, kondisi pengelolaan hutan di Indonesia saat ini belum optimal. Hal ini dukung dengan banyaknya peraturan perundangundangan yang salingtumpang tindih, buruknya sistem perizinan dan kebijakan pengelolaan. Kedua, penerapan Integrated Forest Online System (IFOS) sebagai wujud transparansi pemerintah dalam hal pengeloloaan hutan kepada masyarakat yang mencakup pemetaan, perizinan, pengelolaan dan pelaporan. Integrated Forest Online System (IFOS) merupakan
suatu solusi terpadu dalam meruntuhkan dinasti korupsi dalam sektor kehutanan di Indonesia. Kata Kunci: IFOS, hutan Indonesia, pengelolaan hutan, pembangunan, kebijakan. A. Pendahuluan Indonesia merupakan negara yang mempunyai Sumber Daya Alam (SDA) melimpah di berbagai bidang, salah satunya pada sektor kehutanan. Dinas Kehutanan Republik Indonesia pada tahun 1950, menerbitkan peta vegetasi Indonesia yang menggambarkan hampir 84% luas daratan Indonesia tertutup hutan primer. Titik awal dimulainya deforestasi dan degradasi hutan Indonesia terjadi sejak awal 1970-an. Pemerintah Indonesia melalui Peraturan Pemerintah Nomor 21 Tahun 1970 tentang Hak Pengusahaan Hutan dan Hak Pemungutan Hasil Hutan, mulai mengkomersilkan penebangan hutan kepada investor dengan memberikan Hak Pengusahaan Hutan (HPH). Dalam kurun waktu 2000 – 2005, hutan Indonesia mengalami deforestasi dan degradasi hutan mencapai 1,87 juta ha per tahun. 2 Pada tahun 2010, luas tutupan hutan di Indonesia tinggal tersisa 94 juta ha. Di tahun 2009, persentase luas tutupan hutan terhadap luas daratan di Papua seluas 79,62%, Kalimantan 51,35%, Sulawesi 46,65%, Maluku 47,13%, Sumatera 25,41%, Bali-Nusa Tenggara 16,04%, dan Jawa 6,90%. 4 Pasal 18 Undang-undang Nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan mengatur dan menetapkan batas bahwa: “(1) Pemerintah menetapkan dan mempertahankan kecukupan luas kawasan hutan dan penutupan hutan untuk setiap daerah aliran sungai, dan atau pulau guna optimalisasi manfaat lingkungan, manfaat sosial, dan manfaat ekonomi masyarakat setempat. (2) Luas kawasan hutan yang harus dipertahankan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) minimal 30% (tiga puluh persen) dari luas daerah aliran sungai dan atau pulau dengan sebaran yang proporsional. Jika mengacu kepada data tersebut, maka luas tutupan hutan di pulau Sumatera, Bali-Nusa Tenggara dan Jawa tidak memenuhi kriteria pada Pasal 18 Undang-undang Nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan. Deforestasi dan degradasi hutan terus terjadi karena tidak adanya batasan jelas mengenai batasan wilayah hutan sehingga alih fungsi kawasan hutan dengan mudah dilakukan.” Kehilangan hutan diberbagai wilayah disebabkan kerena pemerintah memberikan Hak Pengelolaan Hutan kepada investor dengan tidak terkontrol. Pemberian Hak Pengelolaan Hutan semakin mudah ketika diterapkannya otonomi daerah, yang lebih mengedepankan kebebasan daerah tersebut mengelola sumberdaya
alam yang dimilikinya, termasuk hutan. Tercatat sejak awal 2004 hingga akhir tahun 2011, pemerintah telah mengeluarkan 2426 Hak Pengelolaan Hutan yang mencakup wilayah seluas 212.62 juta ha. 7 Banyaknya Hak Pengelolaan Hutan yang diberikan dan luasnya cakupan areal kerja pengelolaan hutan belum memberikan dampak besar pada pembangunan suatu daerah. Hal ini bisa dilihat pada kawasan Kalimantan yang pemnbangunannya belum merata,padahal hutan daerah tersebut juga mengalami deforestasi paling cepat daripada pulau lainnya. Perizinan merupakan suatu yang kondisi rawan terjadinya kecurangan yang dilakukan tidak sesuai prosedur, yang akhirnya akan menguntungkan satu pihak dan merugikan perekonomian Indonesia. Korupsi dalam sektor kehutanan Indonesia telah mencapai titik yang sangat mengkhawatirkan. Kerugian negara akibat korupsi di sektor kehutanan setiap tahunnya diperkirakan mencapai Rp 22 Miliar. 8 Bahkan dalam kurun waktu 2011-2012, Indonesia diperkirakan mengalami kerugian sebesar Rp 691 Miliar. Kompleksnya permasalahan dalam sektor kehutanan membuatnya menjadi sasaran empuk pelaku korupsi yang sampai saat ini masih belum terungkap sepenuhnya. Oleh karena itu, untuk meruntuhkan dinasti korupsi dalam sektor kehutanan, maka penulis menggagas suatu solusi yakni, “Integrated Forest Online System (IFOS): Perbaikan Sistem Pengelolaan Hutan Secara Terpadu dan Transparan Sebagai Upaya Meruntuhkan Praktik Korupsi di Sektor Kehutanan.” Penelitian ini merupakan penelitian yuridis normatif. Artinya, penelitian hukum ini dilakukan dengan cara meneliti bahan pustaka atau data sekunder. Dalam penulisan ini penulis menggunakan teknik pengumpulan bahan hukum melalui metode literature research yakni artikel, buku dan website internet. Data yang diperoleh yaitu data sekunder yang kemudian diolah dengan teknik content analysis untuk menghasilkan kesimpulan. Penulis melakukan analisis data secara kualitatif dengan memasukkan data-data kuantitatif untuk memperkuat argumentasi bagi penyelesaian masalah yang dibahas dalam penulisan ini. B. Pengelolaan Hutan di Indonesia Negara yang mengakui good governance sudah seharusnya mengedepankan prinsip transparansi dalam tata pemerintahannya, tak terkecuali dalam sektor
kehutanannya.
1
Hal tersebut dikarenakan sebagai pertanggungjawaban pemerintah,
negara dan daerah dan kepada masyarakat. Kondisi pengelolaan sektor kehutanan di indonesia saat ini: 1. Ketentuan Pengelolaan Hutan di Indonesia Pengelolaan kehutanan di Indonesia sebagaimana yang diatur dalam Pasal 21 Undang-undang Nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan, yang menyatakan bahwa kegiatan pengelolaan hutan meliputi tata hutan dan penyusunan rencana pengelolaan hutan, pemanfaatan hutan dan penggunaan kawasan hutan, rehabilitasi dan reklame hutan, serta perlindungan hutan dan konservasi alam. Pemanfaatan hutan bertujuan untuk memperoleh manfaat yang optimal bagi kesejahteraan seluruh masyarakat secara berkeadilan dengan tetap menjaga kelestariannya. Pemanfaatan kawasan hutan dapat dilakukan pada semua kawasan hutan kecuali pada hutan cagar alam serta zona inti dan zona rimba pada taman nasional.2 Dalam pemanfaatan hutan dan penggunaan kawasan hutan juga mencakup masalah perizinan, yang terdiri atas izin pemanfaatan kawasan, izin pemanfaatan jasa lingkungan dan Izin pemungutan hasil hutan bukan kayu. Perizinan usaha pengelolaan kawasan hutan dapat diberikan kepada perorangan dan koperasi. Untuk Izin usaha pemanfaatan jasa lingkungan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 26 ayat (2) Undang-undang Nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan, dapat diberikan kepada perorangan, koperasi, badan usaha milik swasta Indonesia, badan usaha milik negara atau badan usaha milik daerah. Dan untuk izin pemungutan hasil hutan bukan kayu sebagaimana dimaksud dalam Pasal 26 ayat (2) Undang-undang Nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan, dapat diberikan kepada perorangan dan koperasi.3 Selanjutnya rehabilitasi dan reklame hutan, dalam Pasal 40 Undang-undang Nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan, menjelaskan bahwa: “Rehabilitasi hutan dan lahan dimaksudkan untuk memulihkan, mempertahankan, dan meningkatkan fungsi hutan dan lahan sehingga daya dukung, produktivitas, dan peranannya dalam mendukung sistem penyangga kehidupan tetap terjaga. Rehabilitasi hutan dan lahan diselenggarakan 1 Achmad Daniri. Good Corporate Governance Konsep dan Penerapannya dalam Konteks Indonesia, (Jakarta: Ray Indonesia, 2005), h. 7 2 Salim H. S. Dasar-Dasar Hukum Kehutanan, (Jakarta: Sinar Grafika, 2003), h. 29 3 Lihat Pasal 27 Undang-undang Nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan.
melalui kegiatan reboisasi, penghijauan, pemeliharaan, pengayaan tanaman, atau penerapan teknik konservasi tanah secara vegetatif dan sipil teknis, pada lahan kritis dan tidak produktif. Kegiatan rehabilitasi sebagaimana dimaksud dilakukan di semua hutan dan kawasan hutan kecuali cagar alam dan zona inti taman nasional.”4 Tahap terakhir adalah kegiatan pengelolaan hutan sebagaimana yang diatur dalam Pasal 21 Undang-undang Nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan adalah perlindungan hutan dan konservasi alam. Penyelenggaraan perlindungan hutan dan konservasi alam bertujuan menjaga hutan, kawasan hutan dan lingkungannya, agar fungsi lindung, fungsi konservasi, dan fungsi produksi, tercapai secara optimal dan lestari tetap terjaga. 40 Pemerintah mengatur perlindungan hutan, baik di dalam maupun di luar kawasan hutan sebagaimana yang diatur dalam Pasal 48 Undangundang Nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan berikut dengan larangan dan pelanggaran pada kawasan hutan. 2. Kenyataan Pengelolaan Hutan di Indonesia Telah diuraikan di atas, bagaimana aturan yang mengatur tentang pengelolaan sektor kehutanan di Indonesia. Namun dari aturan-aturan tersebut ternyata belum menjamin pengelolaan hutan jauh dari tindak pidana korupsi hal inilah yang menimbulkan banyak celah bagi koruptor untuk melakukan aksinya. Korupsi menjadi faktor pemicu peningkatan deforestasi hutan di Indonesia dalam satu dekade terakhir (2000-2010). Kerugian negara akibat korupsi mencapai kisaran Rp. 3 Triliun hingga Rp. 4.5 Triliun per tahun. Korupsi di sektor kehutanan telah mengakar dan sistemik. Mulai dari sisi hulu hingga ke hilir, mulai dari peraturan-perundangan, perizinan, proses teknis pemanfaatan hasil hutan, hingga penegakan hukum. Pelaku yang telibat dalam hal ini mulai level eksekutif, legislatif, perusahaan, kepolisian, kejaksaan, hingga pemerintah daerah.5 Bila dipetakkan, titik kritis potensi korupsi kehutanan di Indonesia dapat jabarkan seperti: Pertama, dimulai dari pemetaan kawasan hutan dimana hal ini adalah kegiatan pemetaan hasil pengukuhan kawasan hutan sesuai dengan tahapannya.6 Kegiatan pemetaan dalam rangka pengukuhan kawasan hutan
Lihat Pasal 41 Undang-undang Nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan. Forest Government Integrity (FGI), Transparency International di Indonesia (TII), Teguh Setiono di Jakarta, Jumat (25/11). 6 Lihat Peraturan Menteri Kehutanan Republik Indonesia Nomor : P. 44/Menhut-II/2012 tentang 4 5
diselenggarakan untuk memberikan kepastian hukum mengenai status, letak, batas dan luas kawasan hutan.7 Permasalahan utama dalam pengelolaan data dan informasi kawasan hutan adalah belum tersedianya data dan peta yang memenuhi kebutuhan tingkat kabupaten/kota dengan mudah dan cepat. Hal inilah yang kemudian menjadi landasan awal dari pengelolaan secara terpadu. Kedua, yakni menyangkut Perizinan. Dalam hal ini perizinan adalah peraturan yang didasarkan pada persyaratan dan prosedur sebagaimana ditetapkan oleh ketentuan peraturan perundang-undangan dan oleh pejabat tata usaha negara. Perizinan terpadu bidang lingkungan hidup khususnya bidang kehutanan tidak hanya tentang teknis administrasi (prosedur, waktu dan biaya) sebagaimana dipahami oleh aparat pemerintahan selama ini namun juga berkaitan dengan aspek substansi perizinan bidang lingkungan hidup itu sendiri. Mencermati ketentuanketentuan berkaitan dengan perizinan dalam undang-undang, pada satu sisi, yang dimaksudkan adalah izin lingkungan sebagai syarat mendapat izin usaha dan kegiatan sektoral. Permasalahan yang terjadi adalah perlunya dibentuk satu bentuk perencanaan nasional yang menjadi pedoman daerah. Ketiga, yakni menyangkut pengelolaan hutan, kondisi tata kelola pemerintah di Indonesia khususnya di bidang pengelolaan hutan telah menjadi
tantangan
tersendiri, dengan kawasan hutan di seluruh Indonesia sebanyak ± 130 juta Hektar atau setara dengan 60% seluruh daratan di Indonesia, tata kelola kehutanan menjadi aspek yang perlu untuk diperhatikan. BAPPENAS pada tahun 2000 telah melakukan analisa dan menemukan bahwa hampir seluruh aspek governance menjadi faktor penyebab terjadinya deforestasi di Indonesia. Ketua Umum Himpunan Alumni Fakultas Kehutanan IPB (HAE IPB) periode 2012-2015, Bambang Hendroyono, menjelaskan bahwa pengelolaan hutan secara berkelanjutan (Sustainable Forest Management) merupakan isu utama sektor kehutanan. Persoalan ini harus secara konsisten dijawab melalui tahapan sistematis. Pengelolaan hutan tersebut berada pada pemerintah pusat maupun pemerintah daerah dan harus dikordinir secara terpadu. Pengukuhan Kawasan Hutan. 7 Lihat Peraturan Direktur Jenderal Planologi Kehutanan NoP10Thn2012 tentang Petunjuk Teknis Pemetaan Kawasan Hutan Tingkat Kabupaten/Kota.
Keempat, Pelaporan sejak tahun 2010, World Resource Institute (WRI) menjelaskan ada tahapan-tahapan penilaian dalam tata kelola lingkungan. Hal ini didasarkan pada 4 (empat) aspek prioritas, yaitu transparansi, partisipasi, akuntabilitas, dan koordinasi, untuk dipenuhi sebagai pra syarat agar terlaksananya tata kelola hutan yang baik. Keempat aspek ini akan dilihat dari sisi jaminan hukum, aktor yang menjalankan, serta praktiknya.8 Transparansi sebagai salah satu bagian dari tahapan tersebut menghendaki pengelolaan kawasan hutan yang dapat dipertanggungjawabkan kepada rakyat sebagai kedaulatan tertinggi. Rangkaian titik kritis inilah yang menunjukkan pola dari terjadinya praktik korupsi di sektor kehutanan. Selain masalah diatas terdapat pula masalah yang lain seperti kewajiban finansial pajak perusahaan, PSDH dan DR dapat dikurangi dari jumlah yang seharusnya dengan permainan “kongkalikong” dengan pemerintah daerah terkait. Selain itu korupsi pada sektor kehutan juga terjadi akibat lemahnya pengawasan dan tidak adanya transparansi dari pemerintah dalam pengelolaan sektor kehutanan hal tersebut dapat dibuktikan dengan kurang terbaharuinya informasi pada website-website resmi sektor kehutanan yang ada. Sehingga sektor kehutanan menjadi lahan subur bagi koruptor untuk menjalankan aksinya. Oleh karena itu, dibutuhkan suatu solusi yang mampu memperbaiki sistem pengelolaan hutan dan mampu mentransparansikan sesuai dengan amanah good governance. C. Alur Perbaikan Kebijakan Pengelolaan Hutan Secara Terpadu dan Transparan dengan Menggunakan Konsep Integrated Forest Online System (IFOS) Seperti yang telah dijelaskan dalam sub bab sebelumnya, rangkaian titik kritis sebagai permasalahan dalam sektor kehutanan dapat kita lihat dalam hal pemetaan, perizinan, pengelolaan, dan pelaporan. Keempat hal inilah yang menjadi celah untuk melakukan praktik korupsi mulai dari eksekutif pusat dan daerah, hingga pihak swasta. Maka dari itu keseriusan pembenahan sistem pembangunan kehutanan melalui serangkaian kebijakan merupakan suatu hal yang penting untuk dilaksanakan. Keberhasilan kebijakan-kebijakan ini tentunya dilandaskan pada sinergitas stakeholders
8 Forest Watching Indonesia. 2013. Terciptanya pelaksanaan tata kelola hutan yang baik. Diakses Melalui: http://fwi.or.id/publikasi/mendorong-terciptanya-pelaksanaan-tata-kelola-hutan-yang-baik-good-forestgovernance- di-indonesia/ Pada 05 November 2013.
di sektor kehutanan. Stakeholders ini akan menjadi sasaran dari kebijakan-kebijakan tersebut dan harus mudah diimplementasikan serta dipantau sebagai sebuah alternatif pemecahan untuk memberantas praktik korupsi di sektor kehutanan. Kawasan hutan perlu ditetapkan untuk menjamin kepastian hukum mengenai status kawasan hutan, letak batas dan luas suatu wilayah tertentu yang sudah ditunjuk sebagai kawasan hutan menjadi kawasan hutan tetap. Berdasarkan Pasal 6 Ayat (1) Huruf
d
Undang-undang
Nomor
18
Tahun
2013 tentang
Pencegahan
dan
Pemberantasan Perusakan Hutan menyatakan dalam rangka pencegahan perusakan hutan, pemerintah membuat kebijakan berupa peta penunjukan kawasan hutan dan/atau koordinat geografis sebagai dasar yuridis batas kawasan hutan.9 Pengukuhan kawasan hutan sebagai rangkaian kegiatan penunjukan, penataan batas, dan penetapan kawasan hutan yang mengarah pada penunjukan suatu kawasan tertentu secara partial dalam suatu wilayah biasanya dalam provinsi dengan keputusan pejabat tata usaha negara terkait dalam hal ini adalah Pasal 3 Peraturan Menteri Kehutanan Nomor P.20/Menhut-II/2011 tentang Pedoman Pemetaan Kawasan Hutan Tingkat Kabupaten/Kota menegaskan bahwa pengukuhan kawasan hutan adalah rangkaian kegiatan penunjukan, penataan batas, dan penetapan kawasan hutan.10 Kawasan hutan sebagai kawasan yang mempunyai fungsi pokok, luas serta titik koordinat batas yang dituangkan dalam bentuk kawasan hutan skala tertentu sebagai dasar untuk pelaksanaan tata batas kawasan hutan. Sebagai salah satu kegiatannya yakni pembuatan peta trayek batas, pemancangan batas sementara, pengumuman hasil pemancangan batas sementara. Kegiatan pemetaan hasil pengukuhan kawasan hutan haruslah disesuaikan dengan tahapannya. Penunjukan Kawasan Hutan ini disusun berdasarkan hasil pemaduserasian antara Rencana Tata Ruang Wilayah Provinsi (RTRWP) dengan Tata Guna Hutan Kesepakatan (TGHK). Selain itu, berdasarkan Kajian Sistem Perencanaan dan Pengelolaan Kawasan Hutan pada Dirjen Planologi Kehutanan Kementerian Kehutanan Republik Indonesia salah satu permasalahan dalam sektor kehutanan dalam pemetaan adalah tidak ada regulasi yang menetapkan peta kawasan hutan tunggal yang menjadi acuan semua 9 Lihat Pasal 6 Ayat 1 Huruf d Undang-undang No. 18 tahun 2013 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Perusakan Hutan. 10 Lihat Pasal 3 Peraturan Menteri Kehutanan Nomor P.20/Menhut-II/2011 tentang Pedoman Pemetaan Kawasan Hutan Tingkat Kabupaten/Kota.
stakeholder pada skala operasional. Hal ini sejalan dengan rekomendasi perbaikan yang disampaikan KPK dalam hal pengelolaan kawasan hutan adalah dalam aspek regulasi, seperti persoalan tidak adanya penetapan peta tunggal kawasan hutan yang menjadi acuan semua stakeholders pada skala operasional.11 Dalam hal ini direkomendasikan kepada Menteri Kehutanan untuk menetapkan Peta Definitif Kawasan Hutan skala operasional sebagai satu-satunya peta kehutanan yang menjadi acuan semua stakeholders dengan Keputusan Menteri Kehutanan. Penataan ulang dan kejelasan mekanisme pengukuhan kawasan hutan dilakukan untuk tercapainya perencanaan pembangunan berbasis ketataruangan. Peta tunggal ini haruslah disusun dengan jelas, akurat, dan tepat baik dalam hal luas, posisi geografis, dan variabel-variabel yang digunakan dalam penetapan. Dengan adanya peta yang lengkap dan tunggal (dalam satu wilayah hanya ada satu peta) akan sangat membantu pemerintah daerah dalam pengambilan keputusan. Banyaknya permasalahan akibat tumpang tindih penggunaan lahan dengan kawasan hutan, memerlukan penyelesaian lebih lanjut dalam rangka kepastian hukum melalui review tataruang sebagai landasan awal dalam penetapan batas kawasan hutan melalui peta tunggal Adapun teknis pelaksanaan pemetaan peta tunggal ini dalam bentuk skema yang berhubungan antara proses yang satu dan yang lainnya, berikut skemanya: D. Perbaikan Pengelolaan Kawasan Hutan Melalui Pengawasan Periodik oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) Pengelolaan hutan adalah upaya terpadu dalam penataan hutan, pemanfaatan hutan
dan
kawasan
hutan,
penanaman
hutan,
pemeliharaan,
pemulihan,
pengamanan/perlindungan hutan, pengawasan dan pengendalian hutan.12 Dalam sektor ini, ada beberapa titik kritis potensi korupsi di sektor kehutanan13 diantaranya adalah: 1. Pertama, Pembalakan: masalah dalam pembalakan meliputi tebangan diluar blok. 2. Kedua, Pengangkutan: masalah dalam pengangkutan meliputi Surat angkutan kayu bulat (SAKB) tidak dimatikan. Majalah Integrito, Korupsi dan Kehutanan, Edisi Februari-Maret 2013, h. 24 Supriadi. Hukum Kehutanan dan Hukum Perkebunan di Indonesia, (Jakarta: Sinar Grafika, 2010), h.10. 13 Bambang Pamulardi, Hukum Kehutanan dan Pembangunan Bidang Kehutanan, (Jakarta: Raja Grafindo, 1995), 11 12
h. 94.
3. Ketiga, Pengolahan: masalah dalam hal pengolahan meliputi kayu tanpa SKAU, LMKB tidak sesuai. 4. Keempat, Penjualan: masalah dalam hal penjualan meliputi SAKO tdk sesuai jenis yang diakibatkan adanya pungutan liar oleh oknum tertentu. Dalam permasalahan yang lebih kompleks, keempat hal ini dibagi ke dalam empat tahap yakni: 1. Tahap Penebangan: praktek korupsi dilakukan dalam bentuk “pencucian” kayu, perusahaan kayu mendapatkan kayu-kayu ilegal dan kemudian dijual kembali seakan-akan menjadi kayu yang legal. Demikian juga pembalakan di luar izin atau konsesi yang diberikan. Fakta ini dapat dilihat dari keterangan Menteri Kehutanan dan Satgas Pemberantasan Mafia Hukum pada 11 Februari 2011 lalu yang menyatakan di Provinsi Kalimantan Tengah dari 352 perusahaan perkebunan sawit dengan luas setidaknya 4,6 juta ha, hanya 67 perusahaan (kurang dari 20 %) yang memiliki izin pelepasan kawasan hutan. Diduga banyak praktek illegal logging melibatkan oknum aparat penegak hukum sehingga tidak ada penegakan hukum dengan sanksi yang menjerakan. Demikian juga petugas dari Kementrian Kehutanan di tingkat nasional atau petugas dari Dinas Kehutanan di tingkat lokal diduga terlibat dalam jaringan korupsi di sektor kehutanan. 2. Tahap Pengangkutan: dalam tahap pengangkutan, korupsi dilakukan dalam bentuk penerbitan dokumen resmi (asli tapi palsu) untuk kepentingan pengangkutan seperti Surat Keterangan Sahnya Hasil Hutan (SKSHH). Demikian juga dalam pengangkutan kayu hasil tebangan baik melalui darat,sungai maupun laut praktek korupsi terjadi dalam bentuk suap kepada penegak hukum, militer dan pengawas dari Dinas Kehutanan. 3. Tahap Pelelangan: terutama bagi kayu yang berhasil disita oleh penegak hukum, justru bisa menjadi legalisasi kayu. Lelang bisa diatur dengan sedemikian rupa sehingga kayu illegal yang disita dengan dilelang kemudian menjadi kayu yang legal. Dalam perkara ini para cukong kayu berkolusi dengan oknum polisi dalam melakukan “penyisiran” untuk menyita kayu hasil pembalakan liar (diatur sedemikian rupa sehingga tidak
ada pelaku di lokasi untuk ditangkap). Selanjutnya melaksanakan pelelangan kayu yang disandiwarakan sehingga mereka dapat membeli kembali kayu kayu mereka dengan harga yang murah dan dengan dokumen yang sah pula. 4. Tahap Pembayaran Retribusi dan Pajak: bentuk korupsi lainnya adalah perusahaan dengan sengaja tidak membayar iuran hasil hutan yang telah ditetapkan oleh pemerintah. Pada setiap kubik kayu legal terdapat 13 jenis pungutan , yaitu: (1) Dana reboisasi, (2) Provisi sumber daya hutan (PSDH), (3) iuran HPH, (4) dan jaminan kinerja, (5) pajak bumi dan bangunan, (6) levy and grant, (7) dana investasi pelestarian hutan, (8) dana koperasi, (9) dana kompensasi masyarakat/hak adat atau hak ulayat, (10) pembinaan masyarakat sekitar hutan, (11) BBNPKB atas alat-alat berat, (12) PPh atas Tenaga Kerja,PPh atas Badan dan PPh atas Jasa, dan (13) pungutan lainnya berdasarkan peraturan daerah. Sayangnya, dalam praktek seringkali terdapat praktek korupsi terhadap pungutan liar hasil hutan kayu tersebut. Untuk memberantas korupsi yang terjadi dalam berbagai pelaksanaan tahap pengelolaan hutan ini maka diperlukan sebuah mekanisme pengawasan yang periodik dari pihak yang terkait. Sehubungan dengan hal tersebut, di tahun 2010 Indonesia Corruption Watch (ICW) menegaskan agar KPK memprioritaska sektor kehutanan dalam upaya pemberantasan korupsi.14 Beberapa catatan untuk implementasi pemberantasan korupsi sektor kehutanan ini, diantaranya: a. Meminta KPK memprioritaskan penanganan perkara dugaan korupsi kehutanan yang pernah dilaporkan pada KPK dengan menjerat aktor utama mafia kehutanan; b. Meminta KPK berbagi strategi dan melibatkan masyarakat sipil yang sejak lama bekerja secara serius di sektor Kehutanan; c. Meminta KPK, menjalankan fungsi supervisi dan koordinasi untuk memimpin pemberantasan korupsi dan kejahatan kehutanan yang juga dilakukan di Kepolisian dan Kejaksaan;
14
Majalah Integrito, Korupsi dan Kehutanan…
d. Mengajak Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) untuk membantu KPK menyelamatkan hutan, dengan juga memprioritaskan audit kerugian keuangan negara di sektor kehutanan. Indonesia Corruption Watch bersama Human Rights Watch mendorong dan memberikan dukungan kepada Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK)
untuk
memprioritaskan pemberantasan korupsi di sektor kehutanan dengan alasan bahwa pengawasan terhadap hutan tidak efektif dan tidak utuhnya penanganan selama ini. Hal inilah yang melandasi bahwa perlunya pengawasan periodik oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK).
E. Konsep Integrated Forest Online System (IFOS) sebagai Bentuk Transparansi Informasi Publik terhadap Pengelolaan Kawasan Hutan Lemahnya kebijakan dan penegakan hukum telah menyuburkan praktik korupsi di sektor kehutanan. Praktik korupsi subur karena minimnya kapasitas sumberdaya manusia di lembaga pemerintah untuk memantau kegiatan pengelolaan hutan. Selain itu, sistem desentralisasi juga menjadi celah dalam kasus korupsi di kehutanan. Karena pengelolaan kekayaan hutan daerah diserahkan kepada pemerintah daerah. Indonesia sekarang sedang bergerak cepat dalam pelaksanaan sistem baru yang disebut "otonomi daerah", tetapi pemerintahan kabupaten, penerima manfaat dari pelaksanaan desentralisasi, pada umumnya tidak memiliki kemampuan atau dana untuk menyelenggarakan pemerintahan secara efektif. Prioritas tertinggi mereka adalah meningkatkan pendapatan asli daerah, dan intensifikasi eksploitasi sumber daya hutan sudah terjadi di banyak daerah. Hal ini terbukti dengan banyaknya aparat-aparat pemerintah daerah yang terlibat kasus korupsi di kehutanan. Tata kelola hutan yang harus diperbaiki guna mengatasi korupsi sektor kehutanan meliputi transparansi, partisipasi, responsive gender, serta akuntanbilitas. Maka dari itu dibutuhkan tata pemerintahan yang baik dalam mengelola sektor kehutanan. Tata
pemerintahan
yang
baik
merupakan
suatu
konsepsi
tentang
penyelenggaraan pemerintahan yang bersih, demokratis, dan efektif sesuai dengan citacita terbentuknya suatu masyarakat madani. Tata pemerintahan yang baik terkait erat dengan kontribusi, pemberdayaan, dan keseimbangan peran antara tiga pilarnya
(pemerintah, dunia usaha swasta, dan masyarakat). Hal inilah yang biasa kita kenal dengan prinsip good governance. Dalam kaitannya dengan otonomi daerah, prinsip good
governance
dalam
praktiknya
adalah
dengan
menerapkan
prinsip
penyelenggaraan pemerintahan yang baik dalam setiap pembuatan kebijakan dan pengambilan keputusan serta tindakan yang dilakukan oleh birokrasi pemerintah daerah dalam melaksanakan fungsi pelayanan publik. Namun, hingga sekarang ini kualitas pelayanan pemerintah masih diwarnai oleh pelayanan yang sulit untuk diakses dan prosedur yang berbelit-belit. Tak terlepas dari hal itu adalah para birokrat dalam sektor kehutanan. Ketika harus mengurus suatu perizinan tertentu, biaya yang tidak jelas serta terjadinya praktek pungutan liar (pungli) serta pengelolaan sektor hutan yang buruk merupakan indikator rendahnya kualitas pemerintah yang bergelut di sektor ini. Kejadian-kejadian tersebut lebih disebabkan karena paradigma pemerintahan yang masih belum mengalami perubahan mendasar. Karena itu sebaiknya pemerintah khususnya pada tingkat daerah memberikan prioritas pada reformasi birokrasi sebagai bagian dari tindakan kongkrit dalam membangun good governance. Praktik korupsi pada wilayah kebijakan publik mengalami keleluasaan yang luar biasa karena minimnya partisipasi publik dalam proses pembuatan kebijakan-kebijakan publik tersebut. Kesimpulan bahwa minimnya partisipasi masyarakat diakibatkan oleh tidak adanya kebebasan informasi. Masalah minimnya partisipasi publik dalam pembuatan kebijakan publik harus dapat diatasi dengan suatu kebijakan strategis pemberdayaan publik. Kebijakan ini haruslah melibatkan strategi pemberantasan korupsi yang berkesinambungan dengan pelayanan informasi. Hal inilah yang menjadi sebuah gerakan membasmi korupsi yang dapat dijadikan agenda nasional dengan melibatkan masyarakat, termasuk mengontrol korupsi kebijakan. Sehubungan dengan hal tersebut, pemerintah Indonesia telah meratifikasi Konvensi Perserikatan Bangsa-Bangsa Anti Korupsi Tahun 2013 melalui Undangundang No. 7 Tahun 2006 tentang Pengesahan United Nations Convention Against Corruption. Enam tahun kemudian, strategi nasional (Stranas) pencegahan dan pemberantasan korupsi ditandatangani Presiden dalam bentuk Peraturan Presiden No. 55 Tahun 2012.15 Pemerintah daerah (Pemda) memiliki peran yang strategis dalam
15
Akmal Ramadhani. 2013. Implementasi Ratifikasi United Nations Convention Against Corruption 2013 Terhadap
menyusun, melaksanakan, melaporkan aksi pencegahan dan pemberantasan korupsi. Hal ini juga sejalan dengan 6 fokus kegiatan Strategi Nasional Pencegahan dan Pemberantasan Korupsi (Stranas PPK) yang terdapat pada fokus ke 6 yakni Mekanisme pelaporan pelaksanaan pemberantasan korupsi. Mekanisme pelaporan yang dimaksud terkait dengan pejabat pengelola informasi dan dokumentasi dengan keterbukaan informasi. Integrated
Forest
Online
System
(IFOS)
adalah
konsep
transparansi
penyelenggaraan pemerintahan yang baik yang dilakukan oleh birokrasi dalam melaksanakan fungsi pelayanan publik. Konsep ini adalah implementasi dari adanya good governance dalam sektor kehutanan sebagai cita-cita bangsa yang menginginkan adanya kontrol terhadap berbagai kebijakan yang diambil oleh para birokrat. Bentuk IFOS sendiri adalah website resmi yang terintegrasi oleh Kementrian Kehutanan bersama stakeholders terkait. Pembuatan websitewebsite resmi dalam sektor kehutanan ini merupakan salah satu strategi (strategi 6) Kebijakan dan Strategi Nasional Pengembangan e-Government, yaitu melaksanakan pengembangan secara sistematik melalui tahapan yang realistik dan terukur. Dalam tahapan pengembangan e-Government di Indonesia memiliki sasaran agar masyarakat Indonesia dapat dengan mudah memperoleh akses kepada informasi dan layanan pemerintah pusat maupun daerah, serta ikut berpartisipasi di dalam pengembangan demokrasi di Indonesia dengan menggunakan media internet. Integrated Forest Online System (IFOS) adalah Website resmi Kementrian Kehutanan yang berfungsi untuk mempublikasikan berbagai perbaikan kebijakan pengelolaan hutan yang dilakukan secara terpadu dalam hal pemetaan, perizinan, pengelolaan maupun pelaporan sebagai wujud IFOS itu sendiri. IFOS sendiri berbeda dari website resmi departemen kehutanan yang ada selama ini dikarenakan perbedaan isi (substansi) dari website, dan berbeda pula dengan website resmi organisasi/LSM yang bergerak dibidang perlindungan hutan seperti Forest Watch Indonesia dan JPIK (Jaringan Pemantau Independen Kehutanan) yang membidangi pemantauan hutan independen ataupun website lainnya seperti portal perizinan dan lain-lain. Isi dari IFOS lebih mengkhusus pada permasalahan yang terjadi di sektor kehutanan beserta solusinya. IFOS dievaluasi Pemberntasan Tindak Pidana Korupsi Yang Bersifat Transnasional. Diakses melalui: http://fh.unpad.ac.id/repo/?p=3370 Pada 10 November 2013.
langsung oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) sebagai bagian dari tim pengelola dikarenakan IFOS merupakan website resmi yang berfungsi sebagai wujud transparansi pemerintah pusat/daerah dalam melaksanakan pengelolaan hutan. Evaluasi akan diadakan setiap 3 bulan sekali dengan diadakannya Lokakarya rutin yang mempertemukan seluruh stakeholders terkait yang bergelut di sektor sumber daya alam (SDA). Pada dasarnya IFOS adalah bentuk aplikatif untuk memberantas praktik korupsi di sektor kehutanan melalui pengembangan e-Government sebagai wujud tranparansi good governance.
F. Kesimpulan Kondisi pengelolaan sektor kehutanan di Indonesia saat ini tidaklah berjalan seperti yang diamanahkan oleh Undang-undang Nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan. Hutan yang semestinya dapat memakmurkan rakyat dalam kenyataannya hanya memperkaya segelintir pihak. Perizinan penguasaan hutan yang sering diperjualbelikan oleh pemerintah kepada investor dengan mekanisme yang tidak sesuai membuat hutan Indonesia mengalami deforestasi dan degradasi hutan yang terus meningkat secara signifikan. Secara keseluruhan terdapat empat titik kritis yang menjadi akar permasalahan dari munculnya kasus korupsi di sektor kehutanan, antara lain: pada tahap pemetaan, perizinan, pengelolaan dan pelaporan. Alur
perbaikan
kebijakan
pengelolaan
hutan
secara
terpadu
dengan
menggunakan konsep Integrated Forest Online System (IFOS) dibagi menjadi empat tahapan, yakni: pertama, melakukan green mapping atau membuat peta tunggal hutan di Indonesia Kedua, perbaikan sistem perizinan HPH. Ketiga, pebaikan pengelolaan kawasan hutan melalui beberapa kebijakan. Keempat, Integrated Forest Online System (IFOS) yang merupakan wujud transparansi pemerintah kepada masyarakat dalam pengelolaan sektor kehutanan yang diwujudkan melalui pembuatan situs resmi oleh Kementerian Kehutanan yang memaparkan tiga tahapan sebelumnya.
DAFTAR PUSTAKA Abdul Khakim, Pengantar Hukum Kehutanan Indonesia dalam Era Otonomi Daerah, Jakarta: Citra Aditya, 2005.
Achmad Daniri. Good Corporate Governance Konsep dan Penerapannya dalam Konteks Indonesia, Jakarta: Ray Indonesia, 2005. Akmal Ramadhani. 2013. Implementasi Ratifikasi United Nations Convention Against Corruption 2013 Terhadap Pemberntasan Tindak Pidana Korupsi Yang Bersifat Transnasional. Diakses dari http://fh.unpad.ac.id/repo/?p=3370 Pada 10 November 2013. Andi Hamzah. Pemberantasan Korupsi Melalui Hukum Pidana Nasional dan Internasional, Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2005. Bambang Pamulardi, Hukum Kehutanan dan Pembangunan Bidang Kehutanan, Jakarta: Raja Grafindo, 1995. Forest Watching Indonesia. 2013. Terciptanya pelaksanaan tata kelola hutan yang baik. Diakses Melalui: http://fwi.or.id/publikasi/mendorong-terciptanya-pelaksanaan-tata-kelolahutan-yang-baik-good-forest-governance- di-indonesia/ Pada 05 November 2013. Lihat Pasal 3 Peraturan Menteri Kehutanan Nomor P.20/Menhut-II/2011 tentang Pedoman Pemetaan Kawasan Hutan Tingkat Kabupaten/Kota. Lihat Pasal 6 Ayat 1 Huruf d Undang-undang No. 18 tahun 2013 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Perusakan Hutan. Majalah Integrito, Korupsi dan Kehutanan, Edisi Februari-Maret 2013 Martha Ruth Thertina. 2011. ICW: Dana Reboisasi Bisa Jadi Ladang korupsi. Diakses Melalui http://www.tempo.co/read/news/2011/05/19/063335405/ICW-Dana-Reboisasi-BisaJadi-Ladang-Korupsi Pada 10 November 2013. Munir Fuady, Bisnis Kotor, Anatomi Kejahatan Kerah Putih, Bandung: Citra Aditya Bakti, 2004. Notosusanto Nugroho, Kondisi Hutan di Indonesia Lalu, Saat Ini dan Masa Depan, Jakarta: Balai Pustidaka, 2008. Peraturan Direktur Jenderal Planologi Kehutanan NoP10Thn2012 tentang Petunjuk Teknis Pemetaan Kawasan Hutan Tingkat Kabupaten/Kota. Peraturan Menteri Kehutanan Republik Indonesia Nomor : P. 44/Menhut-II/2012 tentang Pengukuhan Kawasan Hutan. Salim H. S. Dasar-Dasar Hukum Kehutanan, Jakarta: Sinar Grafika, 2003. Supriadi. Hukum Kehutanan dan Hukum Perkebunan di Indonesia, Jakarta: Sinar Grafika, 2010. Undang-undang Nomor 14 Tahun 2008 tentang Keterbukaan Informasi Publik. Undang-undang Nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan.