Journal of Governance, Juni 2017
Volume 2, No. 1
Analisa Kebijakan Sektor Lingkungan: Permasalahan Implementasi Kebijakan Pengelolaan Kawasan Hutan di Indonesia Robby Firman Syah, M.A Jurusan Pengembangan Masyarakat Islam, Institut Agama Islam Negeri Jember
[email protected].
Abstract: Society-based on forest growth will increase the inter-society communication activities which deliver a community forum. The participation which directed to policy practice only has its weakness, that’s the inability to grow “belongingness” about forest growth program among communities. By participating actively in community forum, the conflict thoughts will be modified into empowering people in order to help government program. Keywords: environmental policy, forest, REDD.
PENDAHULUAN
Indonesia terjadi dalam kurun waktu
Latar Belakang
20 tahun terakhir. Berdasarkan data
Tidak
implementasi
Departemen Kehutanan tahun 2004,
pengelolaan
total jumlah luas hutan merosot tajam
sumber daya hutan yang diprogram-
dari 124.476.000 ha di tahun 1980
kan
menemui
menjadi 109.791.000 ha di tahun
kegagalan dalam melindungi hutan
1995. Pada akhir tahun 1999, total
maupun menekan jumlah masyarakat
jumlah luas hutan di Indonesia
miskin di sekitar hutan. Fakta adanya
berkurang menjadi sekitar 98 juta ha.
kerusakan
degradasi
Hal tersebut menunjukkan kondisi
lingkungan adalah masalah besar
hilangnya 26,4 juta ha kawasan hutan
yang harus ditangani oleh pemerintah
selama 19 tahun (Winarwan dkk,
Indonesia. Selama sekitar 50 tahun,
2011).
kebijakan
oleh
sedikit mengenai
pemerintah
hutan
dan
hutan alam di Indonesia mengalami
Kondisi tersebut disinyalir karena
penyusutan secara drastis. Percepatan
adanya kebijakan pemerintah di masa
hilangnya sebagian kawasan hutan di
lalu yang menjadi faktor pendorong
2
Journal of Governance, Juni 2017
Volume 2, No. 1
terjadinya proses defores-tasi dan
hektar (2012). Indikasi perubahan
degradasi hutan. Keterkaitan tersebut
iklim ditandai adanya perubahan
dapat ditarik dari model kebijakan
musim kemarau yang lebih panjang.
pemerintah
menganut
Sebelum tahun 1985, musim kemarau
management.
hanya terjadi selama 3 bulan (Juli-
Paradigma tersebut adalah anggapan
Septermber); setelah tahun 2000,
bahwa kayu adalah satu-satunya yang
musim kemarau terjadi selama 7
dapat menghasilkan uang sebagai
bulan (Mei-November). Sedangkan
sumber devisa bagi negara yang
rata-rata curah hujan di tahun 2007
utama, dimana hasil hutan yang lain
pada Kecamatan Banyuputih adalah
bukan menjadi prioritas (Winarwan
388 mm dengan jumlah bulan hujan 5
dkk, 2011). Mengacu pada konsep
bulan.
paradigma
yang timber
tersebut, terjadinya deforestasi dan degradasi
hutan
dapat
peningkatan kemiskinan struktural di
pemerintah
masyarakat akibat dari monopoli
memerlukan devisa yang berasal dari
pengusahaan lahan oleh negara dan
sumber daya hutan.
pihak swasta, serta terjadinya konflik
dihindarkan
Dampak
tidak
Hal ini juga ditambah dengan isu
karena
dan
pertanahan yang belum selesai hingga
degradasi hutan yang sangat jelas
sekarang. Data dari CIFOR (Center
hingga saat ini adalah terjadinya
for International Forestry Research),
berbagai
dari
lingkungan
dari
deforestasi
bencana
sosial
dan
seperti
banjir,
tanah
sekitar
penduduk,
220
juta
terdapat
populasi
48,8
juta
longsor dan kemarau panjang yang
diantaranya tinggal di kawasan hutan
juga terkait isu pemanasan global.
negara
Data Statistik kebakaran hutan yang
diantaranya
dirilis Balai Taman Nasional Baluran,
masyarakat
Jawa Timur selama 4 tahun dari 2009
2004:4). Hal ini tentunya memerlu-
hingga 2012 menunjukkan kenaikan
kan perhatian pemerintah, mengingat
signifikan
yang
rakyat miskin tersebut menggantung-
terbakar. Masing-masing 959 hektar
kan hidupnya dari sumber daya hutan.
(2009);
wilayah
1082,9
hutan
hektar
(2010);
2638,577 hektar (2011); dan 2705,04
dan
Persoalan
sekitar
10,2
termasuk miskin
yang
juta
kategori
(Wollenberg,
menghinggapi
kegagalan kebijakan yang dilaksana-
3
Syah, Analisa Kebijakan Lingkungan Sektoral
kan oleh pemerintah bukan hanya
Gumitir mencapai 363 hektar; (4)
karena lemahnya pengawasan dan
Adanya
penegakan hukum atas eksploitasi
mencapai 3.450 hektar. (Sumber:
hutan dan lingkungan yang destruktif,
Data Statistik Balai Taman Nasional
tetapi lebih pada ketidakmampuan
Baluran tahun 2012).
pemerintah dalam mengelola sumber daya
hutan
secara
bijak
dan
penggembalaan
liar
Isu lain yang terus mengemuka pada konteks ling-kungan saat ini
memperhatikan asas keberlanjutan.
adalah
isu
perubahan
Hal ini juga dampak dari terbatasnya
Perubahan iklim telah berkembang
sumber daya alam lainnya, sehingga
menjadi isu global yang banyak
banyak diantara pemilik kepentingan
mendapat perhatian. Program yang
tetap terpaku pada kondisi yang sama
saat ini mengemuka adalah REDD
tanpa memperdulikan akibat yang
(Reducing
terjadi selanjutnya.
Deforestation and Forest Degrad-
Emission
iklim.
from
Konteks tersebut akhirnya menjadi
ation) yang merupakan salah satu
suatu tugas ke depan yang harus
mekanisme untuk mengurangi jumlah
dipikirkan oleh pemerintah dalam
emisi gas rumah kaca.
merumuskan kebijakan yang tepat
REDD
dalam pengentasan kemiskinan (pro-
mengurangi emisi yang ditimbulkan
poor) dan kesejahteraan masyarakat
dari kegiatan deforestasi dan aktifitas-
(Winarwan dkk, 2011). Lemahnya
aktifitas yang mengakibat-kan hutan
pengawasan dan penegakan hukum
terdegradasi.
atas
seperti
perubahan penggunaan lahan dari
ditunjukkan dalam kasus perambahan
hutan menjadi non hutan, sedangkan
hutan
degradasi hutan adalah penurunan
eksploitasi
dalam
hutan
kawasan
Taman
dimaksudkan
Deforestasi
untuk
adalah
Nasional Baluran, Jawa Timur antara
kualitas
lain (1) Penyerobotan lahan atau
disebabkan oleh terjadinya alih fungsi
perladangan
22,3
hutan untuk penggunaan lain dan
hektar; (2) Adanya Translok AD
degradasi hutan disebabkan oleh
mencapai 57 hektar; (3) Tumpang
illegal logging, kebakaran hutan, over
tindih penggunaan lahan sebagai
cutting dan perladangan berpindah
akibat Hak Guna Usaha PT. GN
(Widiaryanto, 2012).
liar
mencapai
hutan.
Program
Defores-tasi
4
Journal of Governance, Juni 2017
Volume 2, No. 1
yang memanfaatkan hutan. Menurut
Rumusan Masalah Implementasi kebijakan pada
Winarwan
(2011)
posisi
hutan
ranah sumber daya hutan masih
Indonesia menghadapi tantangan laju
menyisakan
yang
deforestasi.
bagi
sumber daya hutan signifikan telah
pemerintah Indonesia. Dalam studi
melakukan persiapan implementasi
ini, penulis mengajukan rumusan
REDD melalui pengurangan emisi
masalah: Bagaimana kondisi perma-
dari deforestasi dan degradasi hutan,
salahan
peran konservasi, pengelolaan hutan
menjadi
permasalahan
pekerjaan
yang
rumah
terjadi
dalam
Indonesia
implementasi kebijakan pengelolaan
secara
sumber daya hutan? dan Apakah
peningkatan
implementasi
(Reducing
program
REDD
memiliki
berkelanjutan, stok
karbon
emissions
dan hutan from
mampu menjadi solusi pengentasan
deforestation and forest degradation,
kemiskinan di Indonesia?
role of conservation, sustainable management of forest and enhancing forest carbon stocks).
Tujuan Penulisan paper ini bertujuan untuk
menganalisa
Mengacu pada data states of the
permasalahan
worlds forests tahun 2007 yang
implementasi kebijakan di ranah
dikeluarkan FAO, laju deforestasi
sumber daya hutan dan meninjau
Indonesia 2% per tahun. Kondisi ini
pelaksanaan program REDD dalam
diperkirakan
pengentasan kemiskinan di Indonesia.
meningkatkan kadar pelepasan emisi
akan
terus
karbon (CO2). Laju deforestasi di PEMBAHASAN
Indonesia pada 1990-1997 sebesar 1,8
Kurangnya Keberpihakan Negara Pada Masyarakat Lokal
juta hektar per tahun dan meningkat
Ditinjau dari perspektif ekonomi
pada 1997-2000 mencapai 2,83 juta hektar
per
tahun.
Perumusan
politik dan kebijakan, hutan adalah
kebijakan
pemerintah
dalam
sistem yang menyangkut hajat hidup
pengelolaan
sumber
hutan
orang banyak dan harus dikelola
merupakan tahapan rencana yang
dengan
rasional
memperhatikan
prinsip
keadilan sosial di antara stakeholder
yang
daya
dilakukan
oleh
pemerintah dan diimplementasikan
Syah, Analisa Kebijakan Lingkungan Sektoral
5
secara nasional. Kebijakan yang
jenis perlawanan ideologis untuk
diimplementasikan
melawan
tersebut
kebijakan
pemerintah
terkadang di lapangan tidak dapat
(Winarwan dkk, 2011). Hubungan
dilaksanakan secara maksimal karena
permasalahan tersebut dalam skema
terbentur berbagai kepen-tingan yang
sebagai berikut:
beradu di ranah tersebut. Hal itu khususnya terkait ranah sosial, seperti kekayaan
umum,
manajemen
komunitas, dan pengeta-huan lokal. Pendekatan dipakai
kebijakan
yang
adalah pendekatan
yang
berpusat pada kekuasaan. Penerapan pendekatan
kekuasaan
memiliki
kecenderungan menimbulkan ketidak harmonisan
antara
masyarakat,
negara dan hutan. Hal tersebut karena kebijakan yang ada belum mampu mengadopsi
kepentingan
dan
kebutuhan masyarakat lokal. Permasalahan yang timbul bahwa negara memiliki tujuan untuk memastikan kesejahteraan masyarakatnya, tetapi dalam faktanya hal itu tidak tercapai sehingga timbul kemiskinan struktural.
Orientasi
yang
dibangun
pemerintah berbasis high modernism memiliki kecenderungan menggerakkan konstruksi sosial yang menimbulkan
kemiskinan
struktural
di
masyarakat, yang pada prosesnya mengakibatkan
munculnya
perla-
wanan masyarakat yang mengalami
6
Journal of Governance, Juni 2017
Volume 2, No. 1
Represif NEGARA 1. Pemerintah pusat dengan hak kelola hutan konversiafirmatif (high modernism-based policies) 2. Pembubaran desa dan pengusiran masyarakat lokal
Kebijakan Nonlarut
PERLAWANAN SOSIAL 1. Perlawanan diam-diam 2. Perlawanan terbuka
MASYARAKAT LOKAL 1. Subsistensi Pendekatan ekonomi 2. Pemanfaatan Berlaruthasil hutan 3. Pengetahuan lokal
KEMISKINAN 1. Kemiskinan endemik 2. Kemiskinan struktural
Keterabaian Penghidupan Deprivasi Kekerasan Relatif Struktural
Hubungan Negara dan Masyarakat dalam Pengelolaan Hutan, Kemiskinan Struktural, dan Perlawanan Masyarakat Melihat permasalahan yang terjadi, semenjak dulu tanah menjadi sumber sengketa atau konflik di Indonesia.
Sebagai
suatu
gejala
sosial, sengketa atau konflik agraria merupakan suatu proses interaksi antara dua (atau lebih) orang atau kelompok
yang
memperjuangkan
masing-masing kepentingannya
atas objek yang sama, yaitu tanah dan
benda lain yang berkaitan dengan tanah (Asmara dkk, 2010). Permasalahan yang ditimbulkan dari adanya perubahan status kawasan hutan terkadang juga tidak diikuti solusi bagi masyarakat. Kadir, dkk (2012) mengemukakan empat permasalahan yang dirasakan oleh masyarakat sekitar kawasan hutan antara lain (1) Pembukaan lahan. Keberadaan Taman Nasional menyebabkan masyarakat tidak leluasa menggarap lahan (berkebun) dalam
7
Syah, Analisa Kebijakan Lingkungan Sektoral
kawasan taman nasional. Masyarakat
kawasan
Taman
Nasional
merasakan lahan garapan mereka
Barisan
semakin terbatas.; (2) Penebangan
mengemukakan
kayu. Masyarakat tidak diperboleh-
TNBBS yang telah ditetapkan oleh
kan mengambil kayu dari kawasan
pemerintah
sesuai
hutan konservasi walaupun kayu yang
Kehutanan
No.
akan diambil berasal dari pohon yang
menunjukkan ke-cenderungan tidak
sudah mati; (3) Tidak sembarang
membahas secara rinci mengenai
menebang pohon. Hal ini tidak bisa
masyarakat lokal di kawasan tersebut.
dilakukan karena adanya aturan ketat
Kebijakan pene-tapan kawasan hutan
terkait penebangan dalam kawasan
konservasi TNBBS yang selama ini
hutan.\; (4) Batas wilayah hutan.
dilakukan oleh pemerintah tanpa
Sebagian masyarakat yang tinggal di
memperhati-kan
kawasan sekitar hutan merasa bahwa
perkembangan masyarakat setempat.
Selatan
Bukit
(TNBBS)
bahwa
kawasan
SK
Menteri
185/Kpts-II/1997
keadaan
dan
tanda batas hutan tidak berada pada
Munculnya konflik yang terjadi
titik semestinya, yang menyebabkan
antara masyarakat dengan negara
lahan yang mereka akan garap
ditunjukkan
semakin sempit.
masyarakat atas ketidakadilan yang
dengan
perlawa-nan
mereka alami akibat dari kebijakan Model Kebijakan yang Kurang Tepat Berdasarkan kondisi yang ada, kebijakan
yang
dirumuskan
pemerintah cenderung tidak mengakui lokalisme. Hal tersebut karena menganut perspektif kebijakan yang berpusat pada negara (state-centered policy), terkait pengelolaan kawasan hutan konservasi, tidak diakui adanya bentuk-bentuk sosial yang berbasis lingkungan. Dalam jurnal yang ditulis Winarwan, dkk (2011) yang mengkaji kebijakan pengelo-laan
hutan
di
yang menguatkan pihak korporasi daripada pihak masyarakat lokal. Korporasi yang masuk di kawasan TNBBS tidak hanya telah membuat kerusakan hutan di kawasan luar TNBBS, tetapi juga telah merambah masuk ke dalam kawasan tersebut. Pada saat Orde Baru berkuasa, izin yang diterbitkan pemerintah dalam pengelolaan kawasan hutan berbasis (timber
management).
Proses
eksploitasi kayu yang dilakukan oleh pihak korporasi biasanya tidak diikuti
8
Journal of Governance, Juni 2017
Volume 2, No. 1
reboisasi atau penghutanan kembali
melahirkan ruang dialog forum-forum
yang menyebabkan hutan semakin
kemasyarakatan.
Dengan
rusak. Masyarakat lokal yang telah
forum-forum
kemasyara-katan,
mendiami kawasan tersebut dalam
menjawab
waktu yang lama tentunya juga
yang cenderung top-down (Seftyono,
menggantungkan hidupnya dari hasil
2012). Kelemahan dari partisipasi
hutan,
kebijakan
yang hanya diarahkan pada penerapan
menyatakan bahwa hutan konservasi
kebijaksanaan (pola top-down) adalah
adalah
tidak
ketidakmampuan-nya menumbuhkan
diizinkan untuk melakukan eksploi-
"rasa ikut memiliki" di kalangan
tasi liar telah menunjukkan negara
masyarakat
belum melihat kepentingan masya-
pembangunan
rakat.
Melalui partisipasi aktif dalam forum-
tetapi
milih
ketika
negara
Sedangkan
dan
yang
terjadi
kegagalan
adanya
pemerintah
terhadap kawasan
program hutan.
sepertinya negara bekerjasama secara
forum
baik dengan pihak korporasi dalam
pikiran-pikiran konflik yang selama
mengeksploitasi hasil hutan.
ini ada, oleh masyarakat diubah
Arah kebijakan yang berpihak
kemasyara-katan,
menjadi
pikiran
maka
untuk
pada kepentingan masyarakat perlu
memberdayakan diri dalam rangka
dirumuskan.
membantu program pemerintah.
Masyarakat
sekitar
kawasan hutan perlu dilibatkan secara langsung
dalam
perumusan
kebijakan, sehingga kebijakan yang
Perlu Jalan Keluar Mengatasi Kemiskinan
dibuat tidak bersifat teknokratis.
Masyarakat lokal yang tinggal
Dengan pelibatan masyarakat dalam
di daerah kawasan hutan mayoritas
perumusan kebijakan akan menum-
tergolong dalam masya-rakat miskin.
buhkan kesadaran masyarakat untuk
Dibalik ketimpangan kondisi yang
menjaga
dialami masyarakat lokal, mereka
kawasan
memanfaatkannya
hutan dengan
dan baik.
memiliki
pengetahuan
lokal,
Pembangunan kawasan hutan yang
memungkinkan mereka mengolah
berbasis
akan
dan mengelola lahan, menjaga mata
meningkatkan aktifitas komunikasi
air, dan melestarikan hutan selaras
antar
dengan prinsip-prinsip kelestarian
pada
masyarakat
masyarakat
yang
dapat
9
Syah, Analisa Kebijakan Lingkungan Sektoral
hutan.
Upaya
dan
perilaku
yang dialami oleh masyarakat di
masyarakat terhadap pemanfaatan
kawasan hutan merupakan gejala
lahan hutan maupun pemeliharaannya
yang
memiliki kaitan erat dengan budaya
diperparah oleh gejala yang sangat
masing-masing kelompok sosial.
struktural. Artinya, tanpa adanya
Faktor penting yang menyebabkan
sangat
tekanan
endemik,
oleh
negara
yang
terhadap
meluasnya kemiskinan adalah tingkat
eksistensi masyarakat tersebut, warga
pendidikan
masyarakat
masya-rakat
sekitar
disana
sudah
dapat
kawasan hutan. Tingkat pendidikan
dipastikan akan mengalami kemiski-
dapat mempengaruhi cara berpikir
nan endemik. Kondisi masyarakat
seseorang,
yang
terutama
dalam
terisolir
karena
kondisi
menganalisis suatu permasalahan.
geografis tidak bisa mengembangkan
Pada penelitian Kadir, dkk (2012)
dirinya untuk mencapai kesejah-
yang dilakukan pada masyarakat
teraan.
sekitar Taman Nasional Bantimurung
Kemiskinan
yang
dialami
Bulusaraung menunjukkan bahwa
masyarakat
tingkat pendidikan masyarakat yang
konstruksi
bermukim di sekitar Taman Nasional
multidimensi.
Babul masih tergolong rendah (84,4%
berlangsung tersebut lahir oleh sistem
berpendidikan SD) (lihat data Dephut,
sosial dari proses-proses sosial dan
2008).
dapat
mengekang
menyebabkan lambatnya pemahaman
masyarakat
masyarakat
tersebut
terhadap
berdaya dengan berbagai faktor yang
teknologi
yang
diberikan.
ada. Berdasarkan kondisi yang dilihat
tersebut,
dari masyarakat sekitar hutan, negara
meningkatkan
sering dilihat sebagai aktor dengan
kegiatan penyuluhan dan pelatihan
kepentingan politik dominan dan
serta melakukan kegiatan pendam-
membuat komunitas yang berada di
pingan kepada masyarakat (Jusuf,
tempat tersebut tidak memiliki akses
2010).
atas sumber daya yang memadai, hal
Kondisi
Berdasarkan pemerintah
Pada
tersebut
kondisi harus
riset
yang
dilakukan
Winarwan, dkk (2011), kemiskinan
merupakan sosial
dari
sebuah fenomena
Kemiskinan
kelompok setempat
yang
sosial
yang tidak
inilah yang menyebab-kan terjadinya
10
Journal of Governance, Juni 2017
Volume 2, No. 1
kemiskinan struktural (lihat Lounela,
sekitar hutan di negara berkembang.
2009).
Dalam
Konsep
yang perlu
programnya,
masyarakat
dipertim-
sekitar kawasan hutan merupakan
bangkan dalam upaya pengentasan
salah satu pihak yang berhak untuk
kemiskinan
memperoleh alokasi dari pendapatan
yang
terjadi
pada
masyarakat di sekitar hutan adalah
tersebut.
dengan
bertujuan tepat arah tersebut belum
konsep
masyarakat.
pemberdayaan
Penduduk
memiliki
diikuti
Namun,
rencana
peraturan
yang
perundangan
persepsi positif akan keberadaan
mengenai
hutan,
pendapatan dari program REDD.
karena
dilakukan
perusakan
terutama
yang
mekanisme
alokasi
disebabkan
Sejarah lahirnya REDD adalah
tekanan ekonomi (Muryani dkk,
dari proposal yang diajukan Santili, et
2011).
al. (2005) pada (Conference of
Model
pemberdayaan
masyarakat yang paling efektif adalah
Parties/CoP)
model
Kanada. Pada konferensi tersebut
sosio-eko-regulasi
yaitu
ke-11
Montreal
pengelolaan dan pelestarian hutan
mengusulkan
berbasis
dengan
kompensasi bagi negara berkem-bang
penghargaan yang layak bagi yang
yang mampu mencegah deforestasi
berjasa dan sanksi yang tegas bagi
dan degradasi hutan atau mampu
yang melanggar (Muryani dkk, 2011).
mengurangi
masyarakat
emission). REDD Sebuah Harapan Baru REDD (Reducing Emission from Deforestation
mekanis-me
emisi
(reducing
Selanjutnya
proposal
dikenal
Compensated
dengan
istilah
Reduction
(CR).
Forests
Proposal tersebut diajukan karena
Degradation) merupakan mekanisme
pencegahan deforestasi tidak diako-
yang dikembangkan untuk mengu-
modir dalam mekanisme pengen-
rangi emisi gas rumah kaca akibat
dalian emisi global melalui Clean
deforestasi
Development
Pihak-pihak
and
tersebut
suatu
di
dan degradasi hutan. yang
berkepentingan
dalam program ini menginginkan agar REDD juga berperan dalam pengentasan kemiskinan masyarakat
Mechanism
(CDM)
yang telah ditetapkan dalam Kyoto Protocol. Menguatnya
isu
pengurangan
emisi dari deforestasi dan degradasi
11
Syah, Analisa Kebijakan Lingkungan Sektoral
hutan diawali oleh Stern (2007) yang
selanjutnya adalah bagaimana meka-
mempublikasikan temuannya dalam
nisme REDD tersebut mampu secara
The Stern Review. Dalam temuan
efektif menjadi solusi terkait pengen-
tersebut
bahwa
tasan kemiskinan masyarakat sekitar
pengurangan emisi melalui penceg-
hutan. Hal ini diasumsikan bahwa
ahan
dikemukakan
deforestasi
dibangdingkan
lebih
efisien
hasil
dari
dengan
upaya
dimanfaatkan
pelaksanaan untuk
REDD
peningkatan
penyerapan karbon dari atmosfir
pendapatan,
(sequestration/sequestrasi)
melalui
kesehatan, pendidikan dan technical
(reforestasi).
assistance services bagi masyarakat
Pencegahan deforestasi dan degra-
sekitar hutan (Nepstad et al, 2007).
dasi hutan dapat menurunkan emisi
Pemerintah Indonesia mendukung
lebih besar dibandingkan dengan
mekanisme pelaksanaan REDD yang
upaya
tertuang
penanaman
pohon
reforestasi.
peningkatan
Emisi
CO2
degradasi
hutan
P.30/Menhut-II/2009, sebagai pera-
mencapai7,6 Gt per tahun atau 18%
turan perundangan terkait pelaksa-
dari total emisi dunia. Faktanya
naannya di Indonesia.
deforestasi
dan
dalam
fasilitas
Permenhut
No.
kemampuan penyerapan CO2 dari atmosfir melalui proses aforestasi dan
tahun (Baumert, et.al. 2005 dalam
Implementasi Kebijakan REDD di Indonesia Harus Sampai di Tujuan Berdasarkan ketentuan yang ada,
Masripatin, 2007).
para pihak yang berhak memperoleh
reforestasi hanya mencapai 1 Gt per
REDD telah disetujui sebagai
alokasi
pendapatan
hasil
antara
lain
salah satu mekanisme pengurangan
pelaksanaan
emisi yang akan dipertimbangkan
pemerintah pusat, pemerintah daerah
setelah tahun 2012, dan dinyatakan
dan masyarakat sekitar hutan. Bagian
secara eksplisit dalam Bali Road
dari pendapatan yang dialokasikan
Map. Bali Road Map merupakan
kepada pemerintah pusat dimak-
dokumen yang telah disepakati oleh
sudkan sebagai kompensasi atas
berbagai
upaya pencegahan deforestasi akibat
pihak
pada
konferensi
REDD
dari
perubahan iklim ke-13 di Bali pada
penerapan
tahun
tertentu. Kebijakan pemerintah pusat
2007.
Ide
yang
muncul
kebijakan
nasional
12
Journal of Governance, Juni 2017
Volume 2, No. 1
yang dapat menjadi pemicu laju
tersebut sama yaitu kapital. Pemerin-
deforestasi antara lain mengenai
tah Pusat maupun Pemerintah Daerah
kebijakan pemberian ijin konsesi
memiliki kepentingan terkait pem-
HPH, pemberian ijin perkebunan,
bangunan. Sedangkan masyarakat
pinjam pakai kawasan hutan sebagai
tidak jauh dari kebutuhan ekonomi
areal pertambangan. Selain itu juga
yang harus mereka tanggung sebagai
terdapat kebijakan pemerintah pusat
kebutuhan dasar hidup.
yang dapat meminimalisir deforestasi,
antara
dan
dation Report tahun 2008 dikemuka-
pengaturan fungsi hutan dan kebi-
kan dua pilihan mekanisme transfer
jakan penegakan hukum nasional.
pendapatan dari hasil pelaksanaan
Pada
lain
tingkat
deliniasi
Mengacu pada IFCA Consoli-
daerah
(lokal)
REDD. Kedua opsi tersebut antara
beberapa penyebab deforestasi antara
lain (1) Insentif dari pembeli diterima
lain illegal logging, okupasi lahan
oleh pemerintah pusat, sedangkan
hutan, dan konversi area penggunaan
pemerintah daerah mendapat porsi
lain menjadi lahan perkebunan dan
yang ditentukan oleh pusat; (2)
land clearing (Rahmat, 2010). Isu
Insentif langsung dibayarkan kepada
yang tumbuh dalam konteks ini
pemerintah daerah, dan pemerintah
adalah masyarakat sering dianggap
pusat
sebagai faktor penyebab deforestasi.
diperuntukkan
Penyebab
monitoring.
masalah
pihak-pihak
mendapat
alokasi untuk
yang
kegiatan
Tabel 1. Alokasi pendapatan hasil dari pelaksanaan REDD pada pelbagai kawasan hutan Fungsi Kawasan Hutan Alokasi Pendapatan
Keterangan
Hutan produksi dapat
Pemerintah daerah :
- Porsi untuk masyarakat
dikonversi menjadi
100%
lokal belum diakomodir
Pemerintah Pusat
-Porsi alokasi masing-
(Menhut)
masing belum
Pemerintah Kabupaten
disebutkan secara
APL Hutan Lindung
eksplisit
13
Syah, Analisa Kebijakan Lingkungan Sektoral
- Peran provinsi belum diakomodir - Alokasi untuk masyarakat lokal juga belum diakomodir Kawasan konservasi
Pemerintah pusat
- Sudah mengakomodir
Lokal partner:
masyarakat lokal tetapi
- Masyarakat lokal
porsi belum disebutkan
- Perusahaan Sumber : Disarikan dari IFCA (2008) Dilihat berdasar kondisi tersebut,
adalah DBH (Rahmat, 2010). DBH
secara umum status keterli-batan
yang terkait dengan sektor kehutanan
masyarakat
diakomodir
mencakup dua hal yaitu DBH IHPH
dengan jelas sebagai salah satu pihak
(Iuran Hak Pengusahaan Hutan) dan
yang
alokasi
DBH PSDH (Provinsi Sumberdaya
penerimaan. Hanya pada kawasan
Hutan). Dana bagi hasil dari IHPH
konservasi yang telah mempertim-
diatur sebagai berikut: 20% Pusat,
bangkan masyarakat lokal dengan
16% Provinsi, 64% Kabupaten/Kota
jelas.
penghasil.
perlu
belum
mendapat
Dana bagi hasil PSDH, ditetapkan Distribusi Fiskal Program REDD Distribusi
fiskal
berdasarkan
sebagai berikut: 20% pusat, 16% Provinsi,
32%
Kabupaten/Kota
hierarki pemerintahan telah diatur di
penghasil, 32% dibagikan kepada
dalam UU No. 33 Tahun 2004 dan PP
Kabupaten/Kota lain di provinsi
No. 55 Tahun 2005. Alokasi anggaran
bersangkutan dengan proporsi yang
menurut peraturan tersebut mencakup
sama (Rahmat, 2010). Fakta yang
Dana Bagi Hasil (DBH), Dana
terjadi di lapangan menunjukkan
Alokasi Umum (DAU) dan Dana
bahwa
alokasi
Alokasi Khusus (DAK). Berdasarkan
REDD
tidak
ketiga aturan tersebut, aturan yang
alokasi menurut peraturan di atas
kiranya tepat dalam menentukan
secara
alokasi penerimaan dari hasil REDD
diasumsikan
penerimaan dapat
keseluruhan. dari
dari
mengadopsi
Hal
ini
pertim-bangan
14
Journal of Governance, Juni 2017
Volume 2, No. 1
apabila mengacu pada aturan di atas,
proporsi alokasi untuk pemerintah
tidak ada jaminan proporsi yang
pusat 20%, Provinsi 16%, Kabupaten
diterima
32%, dan masyarakat 32%. Alokasi
pemerintah
sebesar
32%
kabupaten
digunakan
untuk
yang diberikan kepada pemerintah
membiayai program konservasi hutan
kabupaten sebesar 32% sebaiknya
terlebih untuk membiayai program
dipergunakan
pengentasan
pada
program konservasi hutan dan 32%
masyarakat sekitar hutan (Rahmat,
yang diterima oleh masyarakat sekitar
2010).
hutan dipergunakan untuk membiayai
kemiskinan
Hal yang perlu mendapat perhatian disini adalah pemanfaatan dana yang
untuk
program-program
pembiayaan
pe-ningkatan
pendapatan mereka.
diperoleh dari REDD harus sesuai
Bila mengacu pendapat tersebut,
dengan tujuan awal pelaksanaan
masih perlu dilakukan uji coba guna
program tersebut. REDD memiliki
mengetahui
tujuan
pengurangan
efektifitas
rumusan
emisi
dari
proporsi yang ditetapkan. Kondisi
degradasi,
serta
yang perlu dipertimbangkan adalah
pengentasan kemiskinan masyarakat
asas sustainability (keberlan-jutan)
kawasan
hidupnya
dari program REDD, dengan asumsi
bergantung dari hasil hutan. Oleh
bahwa bagi pihak manapun yang
sebab
seharus-nya
menerima nilai dari program ini
implementasi kebijakan itu tepat
tentunya harus saling menjaga dan
tujuan, yaitu alokasi dana yang
memastikan
diperoleh
berada pada tujuan yang sebenarnya.
deforestasi
dan
hutan
itu,
yang
sudah
dialokasikan
program
konservasi
program
peningkatan
hutan
untuk
bahwa
program
ini
dan
pendapatan
masyarakat miskin yang bergantung pada hasil hutan.
KESIMPULAN Kemiskinan yang dialami oleh masyarakat sekitar hutan merupakan gejala yang endemik dan diperparah
Pendapatan Hipotetik Program REDD Mengacu pada DBH PSDH, Rahmat (2010) membuat sebuah alokasi penerimaan hipotetik dengan
dengan kondisi yang struktural. Posisi pemerintah sebagai regulator tidak jarang membuat keputusan yang lebih berpihak
pada
korporasi
yang
15
Syah, Analisa Kebijakan Lingkungan Sektoral
mengelola
hutan.
ini
permasalahan dalam implementasi
menyebabkan konflik yang sering
kebijakan tersebut. Perubahan iklim
muncul di ranah tersebut. Konflik
dan deforestasi menunjukkan penga-
yang terjadi di masyarakat lebih
ruh yang signifikan pada kondisi
dilatar belakangi oleh faktor eko-
sosial ekonomi masyarakat yang
nomi. Pemerintah perlu merumuskan
secara
kebijakan yang tidak hanya mengatur
ketimpangan
korporasi dalam pengelolaan sumber
Dampak perubahan iklim seperti
daya hutan tetapi juga mengenai
penurunan permukaan tanah dan
benefit
diterima
kerusakan zona lain menyebabkan
masyarakat sekitar hutan sebagai
penurunan produksi hasil pertanian.
upaya
Suhu air laut yang semakin panas
yang
Hal
dapat
pengentasan
kemiskinan
mereka. Program
sistematis
mengakibatkan
dan
kemiskinan.
sehingga ikan berada di kedalaman REDD
merupakan
yang suhunya lebih dingin dan
program yang masuk diatara perma-
berdampak pada menurunnya volume
salahan di ranah sumber daya hutan.
tangkapan nelayan. Idealnya adaptasi
Implementasi dari program tersebut
terhadap dampak perubahan iklim
belum menunjukkan hasil yang dapat
perlu dilakukan secara tepat oleh
diterima oleh semua pihak yang
seluruh stakeholder agar bisa tetap
berkepentingan. Hal ini karena masih
bertahan hidup di lingkungan yang
belum jelasnya mekanisme yang
sudah berubah.
mengatur alokasi dana dari hasil program REDD tersebut. Harapan-
DAFTAR PUSTAKA
nya program ini dapat tepat dengan
Asmara, Galang H.M., dkk. 2010.
tujuan yang ingin dicapai, bukan
Penyelesaian Konflik Perta-
malah dimanfaatkan oleh pihak-pihak
nahan Berbasis Nilai-Nilai
yang tidak bertanggung jawab yang
Kearifan
menyebabkan
Tenggara
ketimpangan
dan
Lokal
di
Barat.
Nusa Jurnal
kemiskinan masyarakat sekitar hutan
Mimbar Hukum Vol. 22 No.
semakin meluas.
1, Februari 2010 hal. 1-17.
Masyarakat sebagai pihak yang menanggung
dampak
dari
Departemen
Kehutanan.
2008.
Rencana Pengelolaan Jangka
16
Journal of Governance, Juni 2017
Panjang
Taman
Bantimurung Periode
Nasional
Bulusaraung
2008-2027.
Taman Nasional
Balai
Bantimu-
rung Bulusaraung.
Volume 2, No. 1
Lounela, Anu. 2009.
Forest and Power: Dispute, Violence and Negotiations in Central
Java.
Masripatin, N. 2007. Apa itu REDD:
2008. Consolidation Report:
Reducing
Reducing
Deforestation
Emissions
Degradation
From
and in
Helsinki:
Helsinki University Print.
Indonesia Forest Carbon Alliance.
Deforestation
Contesting
Emissions and
from Degra-
Forest
dation in Developing Coun-
Indonesia.
tries. Jakarta: Badan Peneli-
Jakarta: Ministry of Forestry
tian
Republic of Indonesia.
Departemen Kehutanan.
Jusuf, Y. Supratman, dan Alif KS, M.
dan
Pengembangan
Muryani, Chatarina.,
dkk. 2011.
2010. Pendekatan Kolaborasi
Model Pemberdayaan Ma-
dalam Pengelo-laan Taman
syarakat dalam Pengelolaan
Nasional
dan
Banti-murung
Bulusaraung:
Pelestarian
Hutan
Strategi
Mangrove di Pantai Pasu-
Kepentingan
ruan Jawa Timur. Jurnal
Ekologi dan Sosial Ekonomi
Manusia dan Lingkungan Vol.
Masyarakat. Opinion Brief
18 No. 2, Juli 2011 hal. 75-84.
No. ECICBFM II-2010.02.
Nepstad, D., et al. 2007. The Costs
The Center for People and
and Benefits of Reducing
Forest. RECOFTC.
Carbon
Menyatukan
Kadir, Abd., dkk. 2012. Analisis Kondisi
Sosial
Ekonomi
Emissions
Deforestation
and
from Forest
Degradation in The Brazilian
Masyarakat Sekitar Taman
Amazon.
Nasional Bantimurung Bulu-
United Nations Framework
saraung, Provinsi Sulawesi
Convention
Selatan. Jurnal Manusia dan
Change (UNFCCC) Confe-
Lingkungan Vol 19 No. 1,
rence of Parties 13th, 3-14
Maret 2012 hal. 1-11.
December Indonesia.
Presentasi
on
2007,
pada
Climate
Bali
17
Syah, Analisa Kebijakan Lingkungan Sektoral
Rahmat,
Mamat.
2010.
Pendapatan
Alokasi
dari
Jasa
di Kabupaten Banyuwangi. Tesis,
tidak
Pengurangan Emisi Melalui
Yogyakarta:
Pencegahan
Gadjah Mada.
Sebuah
Deforestasi:
Tinjauan
diterbitkan. Universitas
Alokasi
Tim Bidang Perubahan Iklim. 2013.
Benefit dan Kerangka Hukum
Prosiding Workshop Penge-
Fiskal. Jurnal Manusia dan
lolaan Data dan Pembe-
Lingkungan Vol. 17 No. 2,
lajaran Kegiatan Kesiapan
Juli 2010 hal. 98-102.
REDD Demonstration Activi-
Santili, M., et al. 2005. Tropical
ties
di
Banyuwangi,
17
Deforestation and the Kyoto
Oktober 2013. Jakarta: Pusat
Protocol: an editorial essay.
Standarisasi dan Lingkungan,
Climatic Change 71: 267-276.
Kementerian Kehutanan.
Seftyono,
Cahyo.
Pembangunan
2012.
Widiaryanto, Pungky. 2012. Does the
berbasis
Pressure of Population and
Waterfront dan Transformasi
Poverty
Konflik di Bantaran Sungai:
tation?. Jurnal Ilmu Sosial dan
Sebuah
Ilmu Politik Vol. 16 No. 1, Juli
Pemikiran
Awal.
Jurnal Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Vol. 16 No. 1, Juli 2012 hal.75-83.
cause
Defores-
2012 hal. 84-93. Winarwan,
Deddy,
Kebijakan
dkk.
2011.
Pengelolaan
Stern, Nicholas. 2007. The Economics
Hutan, Kemiskinan Struktural
of Climate Change: The Stern
dan Perlawanan Masyarakat.
Review.
Jurnal Kawistara Vol.1 No. 3,
Cambridge,
UK:
Cambridge University Press. Syah,
Robby
Firman.
Desember 2011. hal 213-224.
2015.
Wollenberg, Eva, et.al. 2004. Why are
Menambang Emas di Tanah
Forest Areas Relevant to
Using:
dan
Reducing Poverty in Indo-
Pada
nesia, CIFOR, Governance
Kekuasaan
Manajemen
Konflik
Tambang Emas Tumpang Pitu
Brief No.4 (i): 1.