5.1.
Mekanisme Serangan Patogen Lodoh
Patogen lodoh, dalam ha1 ini adalah F. oxysporum dan R. solani, dapat menyerang P. merkusii dari benih hingga
semai berumur tujuh minggu.
Rentang periode serangan ini
lebih panjang dari yang dilaporkan Hodge dan Luchle (1959), yaitu hingga semai berumur empat atau lima minggu. Kedua jenis fungi patogen, baik sendiri-sendiri maupun bersama-sama, sangat intensif menyerang semai muda. Serangan pada semai berumur dua minggu sampai mengakibatkan semua semai mati, sedang pada semai berumur empat minggu masih dapat mengakibatkan semua semai mati.
Per-
sentase semai mati akibat serangan patogen lodoh makin berkurang dengan makin tuanya semai.
Hal tersebut menun-
jukkan bahwa makin tua semai, ketahanannya terhadap serangan patogen lodoh makin meningkat. Boyce (1961) mengaitkan serangan patogen dengan kondisi jaringan semai yang masih sukulen.
Perkembangan
batang semai P. merkusii pada yang dipelajari penelitian ini menunjukkan bahwa pada umur dua minggu, semua bagian batang masih berupa jaringan sukulen.
Sifat sukulen
tersebut makin berkurang dengan bertambah tuanya semai. Batang semai umur lima minggu mulai berkayu, dan makin bertambah umur semai, batangnya makin
keras.
Pengamatan
pada semai menunjukkan bahwa pengkerasan bagian-bagian batang tidak terjadi serentak.
Batang dekat permukaan tanah
adalah yang paling lambat mengeras.
Bagian batang semai
umur lima minggu yang dekat dengan leher akar (dekat permukaan tanah) masih agak sukulen, sehingga masih dapat diinfeksi patogen lodoh. Agrios (1988) menguraikan proses infeksi penyakit lodoh tipe lodoh benih yang melibatkan enzim-enzim pendegradasi lamela tengah dan dinding sel, meliputi pektinase, selulase, dan protease.
Pada lodoh pangkal batang, terja-
di gejala maserasi dan pembusukan jaringan terinfeksi secara cepat.
Gejala
demikian memperlihatkan terlibatnya
aktivitas enzim-enzim patogen pendegradasi lamela tengah dan dinding sel inang, yaitu pektinase dan selulase, dalam patogenesis (Bateman dan Basham, 1976). Pengujian aktivitas selulase F. oxysporum dan R. solani dilakukan dengan membiakkan kedua jenis fungi patogen
pada tiga macam ,media sebagaimana dijelaskan pada bab metode dan bab hasil penelitian.
PDA merupakan media kaya
dengan gula sederhana sebagai sumber karbon (Tabel Lampiran 12).
Tingginya kadar glukosa yang ditimbulkan oleh
filtrat media PDA kontrol semata-mata berasal dari gula sederhana yang terdapat pada media tersebut.
Dari filtrat
biakan kedua jenis fungi patogen pada PDA, terdeteksi glukosa dengan kadar yang rendah.
Hal tersebut menunjukkan
bahwa gula sederhana pada PDA dikonsumsi oleh kedua jenis fungi
. Penambahan filtrat kedua jenis fungi yang dibiakkan
pada medium CMS pada kertas saring, menyebabkan terdeteksinya glukosa. lase-C1
kedua
Hal tersebut menunjukkan aktivitas selujenis fungi
patogen
untuk
mendegradasi
selulosa sebagai sumber karbon yang terdapat pada hancuran biji
jagung.
Dengan
demikian
selulase-C1
dihasilkan
secara adaptif oleh kedua jenis fungi patogen. Sifat adaptif produksi selulase-C1 dikuatkan oleh terdeteksinya glukosa yang diakibatkan oleh filtrat fungi yang dibiakkan pada media CMS yang diberi potongan batang
.
semai P. merkusii
Dibanding pada media CMS saja, ak-
tivitas selulase-C1 kedua jenis fungi pada media terakhir nyata lebih besar.
Hal ini menunjukkan bahwa potongan
batang semai P. merkusii menjadi substrat selulosa tambahan di samping selulosa yang terdapat pada hancuran biji jagung.
Kontrol media CMS dengan batang semai P. merkusii
akan tetapi tidak ditanami fungi patogen tidak menunjukkan adanya aktivitas selulase-C1.
Hal tersebut karena glukosa
yang terdeteksi dapat dipastikan berasal dari gula sederhana yang terdapat pada hancuran biji jagung maupun batang semai P. merkusii
.
Bahwa selulase merupakan enzim adaptif, antara lain terlihat dari metode-metode pengujian produksi selulase
jazad renik secara in vitro yang selalu menggunakan media yang disertai selulosa sebagai sumber karbon untuk
membi-
akkan jazad renik yang akan diuji untuk memicu produksi selulase jazad renik bersangkutan.
Untuk R. s o l a n i ,
produksi selulase dan aktivitasnya telah dilaporkan antara lain oleh Bateman (1964b).
Yoshida dkk. (1989) melaporkan
dihasilkannya enzim selulolitik oleh F. oxysporum strain SUF850.
Jika strain tersebut dibiakkan dengan polisakari-
da Avicel, CMC (karboksimetil selulosa) atau xylan, maka
ketiga sumber karbon tersebut didegradasi.
Dari filtrat
biakan fungi pada Avicel, mereka berhasil memurnikan empat macam enzim selulolitik, yaitu CMCase-I, CMCaseII, Fnitrofenil-0-D-selobiosidase, dan silanase.
Aktivitas selulase filtrat biakan kedua jenis fungi pada media dengan potongan batang semai umur delapan minggu lebih tinggi dibanding aktivitas selulase filtrat biak-
an kedua jenis fungi pada media dengan potongan batang semai berumur dua,minggu. Hal ini menunjukkan bahwa kadar selulosa batang semai umur delapan minggu lebih besar dibanding kadar selulosa batang semai yang berumur dua minggu, dengan asumsi bahwa perbedaan aktivitas selulaseC1 tersebut semata-mata disebabkan oleh faktor substrat.
SeluloSa merupakan komponen utama pada dinding sel sekunder, yaitu dinding sel yang terbentuk setelah sel mengalami pembesaran maksimum dan merupakan karakteristik
seluler pada jaringan yang telah terdeferensiasi sempurna (Esau, 1958).
Secara anatomi, batang semai P. merkusii
umur delapan minggu telah terdeferensiasi sempurna, sedang yang berumur tiga minggu belum terdeferensiasi. Bila aktivitas selulase-C1 nyata terdeteksi pada filtrat biakan kedua jenis fungi patogen pada media yang mengandung selulosa, maka aktivitas pektinase, dalam ha1 ini adalah poligalakturonase (PG), tidak berhasil dideteksi menggunakan teknik iodometri yang diterapkan.
Tidak ter-
deteksinya aktivitas PG pada ketiga kontrol dapat difahami karena tidak ada fungi penghasil PG, demikian pula pada filtrat biakan fungi pada PDA karena tidak adanya substrat yang sesuai bagi PG yang dihasilkan fungi, yang sekaligus menunjukkan bahwa produksi PG bersifat adaptif. Akan tetapi filtrat biakan kedua jenis fungi patogen pada CMS maupun CMS ditambah potongan batang semai P. merkusii juga tidak menunjukkan aktivitas PG.
Hancuran biji jagung pada
medium CMS seharu,snya dapat men jadi sumber pektat sebagai substrat PG, terlebih lagi potongan batang semai P. merkusii
. Tidak terdeteksinya aktivitas PG melalui teknik
iodometri pada penelitian ini diduga berkaitan dengan kuantitas bahan tanaman sebagai sumber pektat dan teknik deteksinya.
Dalam penelitian ini digunakan 0.1 g potongan
batang semai P. merkusii sebagai sumber pektat dan deteksi
dilakukan dengan teknik iodometri.
Bateman (1963a&b) juga
menggunakan teknik deteksi iodometri, akan tetapi contoh sumber pektatnya jauh lebih banyak, yaitu 100 g hipokotil semai P. vulgaris.
Ayers, Papavizas, dan Diem (1966)
mendeteksi aktivitas PG dan PATE ('pectic acid transeliminasel atau poligalakturonat transeliminase) dengan teknik spektrofotometri.
Aktivitas PG dideteksi pada panjang
gelombang 515 nm, dan teknik tersebut mampu mendeteksi asam galakturonat
yang
merupakan produk aktivitas PG
hingga 0.05 mg/ml. Meskipun dengan teknik iodometri aktivitas poligalakturonase tidak berhasil dideteksi, pembiakan pada medium pektin mengindikasikan bahwa kedua jenis fungi patogen menghasilkan pektinase.
Dibanding aktivitas pektinase F.
oxysporum, aktivitas pektinase R. tinggi.
solani diduga lebih
Hal tersebut ditunjukkan oleh lebih tingginya
peningkatan bobot kering miselia R. solani pada medium pektin yang menunjukkan bahwa pektinase fungi patogen tersebut lebih efektif mendegradasi pektin dan selanjutnya memanfaatkannya sebagai sumber karbon dibanding F. oxysporum.
Dugaan lebih tingginya aktivitas pektinase R.
solani tersebut juga didukung oleh perubahan warna
medium
yang lebih ta jam, di samping itu fungi patogen tersebut juga mengakibatkan medium menjadi transparan.
Goodman dkk. (1986) mengemukakan bahwa pektinase terdiri atas enzim-enzim pektin metil esterase (PME), poligalakturonase (PG), pektin metil galakturonase (PUG), pektin transeliminase (PTE) dan poligalakturonat transeliminase (PATE).
Pembiakan fungi pada medium pektin dapat memberi-
kan indikasi dihasilkannya pektinase, akan tetapi tidak dapat diketahui macam enzim yang dihasilkan oleh tiap jenis fungi patogen tersebut. umum
hasil
ini
mendukung
Meskipun demikian secara hasil
penelitian
Bateman
(1963a&b) yang berhasil mendeteksi aktivitas PG dalam filtrat biakan R. s o l a n i dengan menggunakan hipokotil Phaseol u s v u l g a r i s sebagai sumber pektat.
Ayers, dkk. (1966)
juga berhasil mendeteksi aktivitas PG dan PATE dari hipokotil jenis tanaman yang sama yang terinfeksi R. s o l a n i . Fernandes, Patino dan Vazguez (1993) mempelajari enzim pektolitik yang dihasilkan enam isolat F. oxysporum. Jika isolat dibiakkan pada media yang mengandung pektin sebagai sumber karbon, aktivitas PG dapat dideteksi pada filtrat biakan setelah tiga hari.
Aktivitas endo-PG
terdeteksi pada semua isolat yang diuji, sedang aktivitas ekso-PG hanya terdeteksi pada satu isolat. Aktivitas selulase-C1 F. oxysporum lebih tinggi dibanding aktivitas selulase-C1 R.
solani.
Meskipun
demikian ternyata hasil pengujian periode serangan lodoh memperlihatkan bahwa R. s o l a n i lebih agresif menyerang cams;
b
. o a r h v c ;
; A;
h m n A ; n-
P
n
n
U n n r r r r r C
RsCams-
(1963b) mengemukakan bahwa lenzim maseraset yang terlibat dalam proses infeksi oleh R. solani terutama tersusun atas PG dan selulase.
Kedua enzim secara sinergistik berperan
dalam maserasi jaringan-
Keberadaan PG dalam maserasi
jaringan terinfeksi sifatnya esensial.
Selulase komersial
bila tanpa PG tidak mengakibatkan maserasi jaringan, sedang
PG
bekerja lebih baik bila terdapat selulase.
Dugaan bahwa pektinase yang dihasilkan R. solani lebih aktif mendegradasi pektin dibanding pektinase yang dihasilkan F. oxysporum
dapat menerangkan fenomena lebih
agresifnya R e solani terhadap semai P. merkusii dibanding F. oxysporum, meskipun fungi patogen yang disebut terakhir
menghasilkan selulase dengan aktivitas yang lebih tinggi. Berdasarkan hasil dan bahasan yang dikemukakan, maka hipotesis pertama dapat diterima, yaitu bahwa serangan lodoh pada semai P. merkusii terjadi hanya pada periode umur tertentu, yaitu dari benih hingga semai berumur tujuh minggu.
Oleh karena itu selama periode tersebut perlu
dilakukan usaha perlindungan semai dari serangan lodoh. Hipotesis kedua juga dapat diterima.
Kedua jenis fu-
ngi patogen terbukti menghasilkan enzim
selulolitik.
Meskipun aktivitas poligalakturonase tidak berhasil dideteksi dengan teknik iodometri yang diterapkan, akan tetapi hasil pembiakan pada medium pektin menunjukkan dihasilkannya pektinase oleh kedua jenis fungi, dan pektinase
R. solani diduga lebih efektif mendegradasi pektin dibanding pektinase F. oxysporum.
Informasi dihasilkannya
selulase dan pektinase oleh kedua
jenis fungi patogen
lodoh dapat menjadi pemicu penelitian ke arah peningkatan ketahanan
inang melalui pengembangan inang yang mampu
menghambat aktivitas pektinase dan atau selulase fungi patogen.
Penghambat pektinase telah dilaporkan ditemukan
pada jenis-jenis tanaman persik, jeruk, apel, dan pear (Collmer dan Keen, 1986), sedang pada jenis pinus belum dilaporkan.
Oleh karena
itu diharapkan
dalam
jangka
panjang dapat dirakit secara genetik P. merkusii yang mampu menghambat aktivitas pektinase fungi patogen lodoh dengan pendekatan secara non konvensional melalui rekayasa genetika untuk mengintroduksi
gen
pengendali
sintesis
penghambat pektinase dari jenis tanaman bukan pinus tersebut.
5.2.
Hekanisme Pertahaman Semai P. merkusii Terhadap Penyakit Lodoh
Dari percobaan uji periode serangan lodoh, diketahui bahwa ketahanan semai P. merkusii terhadap penyakit lodoh meningkat sejalan dengan bertambahnya umur.
Hal tersebut
menunjukkan bahwa dalam perkembangan alami semai dengan bertambahnya umur, terdapat suatu mekanisme yang juga bexkembang dan mendukung peningkatan ketahanan terhadap penyakit lodoh.
Dengan demikian mekanisme pertahanan yang
berperan diduga bersifat prainfeksi atau pasif karena mekanisme tersebut merupakan akibat ikutan perkembangan semai.
Sifat mekanisme pertahanan pasif demikian sejalan
dengan sifat patogen lodoh yang, menurut
Hartley (1921),
merupakan fungi penghuni tanah tanpa kekhususan dengan inangnya.
Dugaan peran mekanisme pertahanan pasif terse-
but mendasari dilakukannya pengujian untuk mengetahui aktivitas metabolism@ yang diduga berperan dalam ketahanan pada semai sehat. Peningkatan aktivitas enzim oksidatif sering dikaitkan dengan pertahanan tanaman terhadap serangan patogen. Peroksidase dan polifenoloksidase merupakan enzim oksidatif yang banyak dipelajari. Peran peroksidase dalam ketahanan tanaman dihubungkan dengan kemampuannya mengoksidasi metablit penting seperti senyawa fenolik, IAA dan sebagainya.
Peroksidase terdiri
atas beberapa isozim yang berbeda dalam sifat biokimianya seperti: aktivitas spesifik, afinitas terhadap substrat, kofaktor, kepekaan terhadap inhibitor, pH optimum, dan sebagainya (Fric, 1976). Polifenoloksidase berperan dalam mengkatalisis reaksi oksidasi senyawa fenolik.
Goodman dkk. (1986) mengemuka-
kan tiga macam polifenoloksidase berdasarkan substratnya, yaitu
lakase yang mengoksidasi
orto-dihidroksifenol dan
para-dihidroksifenol, tirosinase yang mengoksidasi monofeno1 dan orto-dihidroksifenol, dan meta-polifenoloksidase yang mengoksidasi meta-dihidroksifenol. Aktivitas peroksidase batang semai P. merkusii dari umur semai satu minggu meningkat dan mencapai puncak pada umur semai tiga minggu, kemudian turun kembali hingga umur semai delapan minggu.
Wulandari (1991) melaporkan pola
yang sama untuk aktivitas peroksidase, yaitu meningkat hingga mencapai puncak kemudian turun kembali, pada batang, kotiledon, dan akar semai Paraserianthes falcataria. Pola aktivitas dengan satu puncak tersebut tampak tidak sejalan dengan peningkatan ketahanan semai P. merkusii terhadap penyakit lodoh dengan bertambahnya umur semai. Berbeda dari aktivitas peroksidase yang menunjukkan pola tertentu dengan bertambahnya umur semai, aktivitas polifenoloksidase sangat rendah dan berfluktuasi antar umur semai tanpa pola yang khas.
Kieliszewska-~okicka
(1983) mengemukakan bahwa kecilnya aktivitas polifenolok-
sidase banyak dilaporkan pada tumbuhan berbiji terbuka, tenaasuk pada Pinaceae.
Dikemukakannya ha1 tersebut me-
nunjukkan bahwa dehidrogenasi senyawa fen01 dapat berlangsung tanpa keterlibatan polifenoloksidase.
Lewis (1975)
juga melaporkan fluktuasi aktivitas polifenoloksidase, dan fluktuasi tersebut tidak ada hubungannya dengan umur semai pinus Loblolly yang dipelajarinya.
Dari kedua macam enzim tersebut, peroksidase dengan pola aktivitasnya yang khas lebih memberikan kemungkinan dugaan keterkaitan
dengan mekanisme ketahanan semai P.
merkusii terhadap penyakit lodoh dalam hubungannya dengan umur semai dibanding polifenoloksidase.
Oleh karena itu
selanjutnya pembahasan difokuskan pada peroksidase. ~ r i c(1976) berpendapat bahwa perubahan aktivitas enzim oksidatif, diantaranya adalah peroksidase, merupakan karakteristik yang mengikuti perubahan aktivitas metabolisme sel-sel tanaman akibat pengaruh berbagai faktor eksogen maupun endogen.
Pada penelitian yang dilakukan,
aktivitas peroksidase diukur pada semai sehat.
Oleh kare-
na itu perubahan aktivitas peroksidase tersebut menunjukkan perubahan aktivitas metabolisme sel-sel semai akibat pengaruh faktor endogen yang berkaitan dengan pertumbuhan dan perkembangan semai. Bila memperhatikan perkembangan batang semai P. merkusii, hingga,umur tiga minggu batang semai terutama tersusun atas jaringan parenkim, disamping terdapat beberapa kelompok sel-sel trakeid.
Esau (1953) mengemukakan bahwa parenkim merupakan jaringan yang tersusun atas sel-sel dengan beragam morfologi dan fisiologi, akan tetapi lazimnya berdinding tipis dan berbentuk polihedral, yang dinamakan sel-sel parenkim. Dari segi perkembangannya, sel-sel parenkim relatif tidak
terdeferensiasi, sifat morfologi dan fisiologinya tidak khas dibanding sel-sel jaringan pembuluh misalnya, dan dalam perkembangannya dapat berubah fungsi atau bergabung dengan jaringan khusus lainnya.
Oleh karena itu dikemuka-
kan bahwa parenkim merupakan prajaringan bagi terbentuknya jaringan-jaringan lainnya.
Esau (1953) juga mengemukakan
tentang perbedaan utama xilem gimnosperm dari xilem angiosperm, yaitu bahwa xilem gimnosperm tidak memiliki pembuluh, kecuali Gnetales, dan terutama tersusun atas trakeid. Pada batang umur lima minggu, periderm dan korteks telah berkembang, demikian pula floem-kambium sehingga dapat dibedakan dari korteks. kari empulur.
Xilem telah terbentuk meling-
Batang semai umur delapan minggu perkem-
bangannya semakin sempurna. Xilem yang mengelilingi empulur telah memiliki bentuk yang serupa dengan xilem primer pada semai Pinus sp. berumur tiga tahun yang telah mengalami pertumbuhan sekunder, sebagaimana digambarkan oleh Bold, Alexopoulus, dan Delevoryas (1980).
Dengan demikian
hingga umur delapan minggu, perkembangan batang semai, sebelum memasuki tahap pertumbuhan sekunder, telah sempurna. Selain jaringan batang yang semakin berkembang, foto mikrograf juga menunjukkan bahwa dengan bertambahnya umur semai, dinding sel-sel penyusun batang tampak semakin intensif menyerap zat warna.
Hal tersebut menunjukkan
terjadinya perubahan fisiologi seluler.
Perubahan utama
sel-sel
tumbuhan
yang
telah mencapai
ukuran
adalah terbentuknya dinding sel sekunder.
maksimum
Salisbury dan
Ross (1992) mengemukakan perbedaan dinding sel primer dan dinding sel sekunder. ketebalan 1
-
3 pm
Dinding sel primer memiliki kisaran dan sekitar seperempat bagian kompo-
nennya penyusunnya adalah selulosa, sedang dinding sel sekunder ketebalannya mencapai 4 pm atau lebih dan sekitar setengah dan seperempat bagian komponen penyusun dinding sel tersebut berturut-turut adalah selulosa dan lignin. SjostrBm
(1995) mengemukakan bahwa
mengandung lignin, bahkan dengan
lamela tengah juga
konsentrasi yang lebih
tinggi dibanding konsentrasi lignin dalam dinding sekunder
sel
.
Berdasarkan pernyataan para peneliti tersebut, terlihat bahwa lignifikasi mengiringi perkembangan sel-sel dan jaringan tumbuhan.
Oleh karena itu makin sempurnanya
perkembangan batang akan diikuti oleh peningkatan persentase kadar lignin.
Hingga umur delapan minggu, kadar
lignin batang semai P. merkusii baru mencapai 8.39
%.
Diduga kadar lignin tersebut akan makin meningkat dengan proses pertumbuhan sekunder, hingga mencapai 29% sebagaimana dikemukakan Tobing (1976) yang mengukur kadar lignin kayu P. merkusii dewasa. Beberapa peneliti telah mengemukakan bahwa terdapat hubungan antara aktivitas peroksidase dengan biosintesis
lignin.
Bao dkk. (1993) mengemukakan bahwa peroksidase
merupakan enzim utama pengoksidasi prazat monolignol yang mengawali
pembentukan
lignin dalam
jaringan tumbuhan.
Fengel dan Wegener (1995) mengemukakan bahwa peroksidase pada dinding sel merupakan katalis yang mengawali proses polimerisasi pada biosintesis lignin.
Salisbury dan Ross
(1992) mengemukakan bahwa dalam biosintesis lignin, setidaknya terdapat dua isozim peroksidase yang bekerja dalam dua tahap, yaitu: (i) mengkatalisis pembentukan hidrogen peroksida dari NADH dan oksigen, dan (ii) mengkatalisis perubahan monolignol menjadi radikal bebas.
Perubahan
monolignol menjadi radikal bebas tersebut terjadi dengan cara peroksidase mengambil masing-masing satu atom Hidrogen dari dua monolignol menggunakan satu molekul hidrogen peroksida dan kemudian melepaskan dua molekul air sebagai produk samping.
Selanjutnya, penggabungan antar radikal
bebas
lignin
membentuk
terjadi
secara
non
enzimatik
(Vickery dan Vickery, 1981; Fengel dan Wagener, 1995). Tidak seperti kadar lignin yang
terus meningkat
dengan bertambahnya umur semai, aktivitas peroksidase meningkat hingga mencapai puncak kemudian turun kembali. Meskipun demikian ternyata umur semai ketika aktivitas peroksidase mencapai puncak bersesuaian dengan kisaran umur semai saat terjadi pertambahan kadar lignin tertinggi.
Hasil analisis regresi-korelasi bahkan memperlihatkan
bahwa peningkatan aktivitas peroksidase cenderung diikuti oleh peningkatan pertambahan kadar lignin, dan pola hubungan tersebut cenderung linier.
Terdapatnya hubungan
antara aktivitas peroksidase dengan pertambahan kadar lignin tersebut mendukung pendapat beberapa pakar sebagaimana telah dikemukakan sebelumnya. Hubungan aktivitas peroksidase dengan pertambahan kadar lignin tersebut juga sangat sesuai dengan perkembangan anatomi batang semai P. merkusii maupun perkembangan fisiologi dinding sel-selnya.
Pada sub bab
sebelumnya
telah dikemukakan bahwa batang semai umur dua minggu masih sepenuhnya sukulen, sedang pada umur lima minggu sifat sukulen batang telah berkurang dan batang mulai berkayu/mengeras.
Secara anatomi, perubahan yang mencolok batang
semai dari umur tiga minggu ke lima minggu adalah telah berkembangnya xilem melingkari empulur, di samping itu secara fisiologi juga terjadi perkembangan berupa lignifikasi dinding sel-sel selain penyusun xilem dan lignifikasi lamela tengah. Hingga umur tiga minggu, xilem pada batang semai masih berupa kelompok-kelompok kecil sel-sel trakeid, sedang pada umur lima minggu sel-sel trakeid semakin banyak dan menyusun xilem melingkari empulur.
Bold (1967)
mengemukakan bahwa trakeid adalah sel tunggal yang terlignifikasi dan berupa sel mati, yang merupakan bagian
pengangkut air pada xilem.
Fengel dan Wegener (1995) ber-
pendapat bahwa lignifikasi merupakan proses yang dikendalikan oleh masing-masing sel, atau merupakan proses intraseluler.
Dengan demikian perkembangan xilem P. merkusii
dengan sel-sel
trakeid sebagai komponen penyusunnya dan
lignifikasi merupakan dua proses yang berhubungan erat. Perkembangan xilem batang semai P. merkusii dari umur tiga minggu ke umur lima minggu menunjukkan pertambahan jumlah sel-sel trakeid yang sangat besar.
Di lain pihak,
perkembangan xilem batang semai dari umur lima minggu ke umur delapan minggu menunjuklcan pertambahan jumlah sel-sel trakeid yang makin kecil.
Bila sel-sel yang belum terlig-
nifikasi dan sel-sel trakeid yang terbentuk dan selanjutnya terlignifikasi dianggap sebagai 'substrat'
bagi ak-
tivitas seluler peroksidase, maka pada semai umur tiga minggu aktivitas peroksidase memuncak untuk mengantisipasi substrat yang masih banyak, sedang kadar lignin semai umur yang sama masih rendah.
Pada umur-umur semai selanjutnya,
aktivitas peroksidase makin berkurang karena substrat yang makin berkurang, akan tetapi kadar lignin tetap meningkat meskipun dengan pertambahan yang makin kecil. Kadar lignin batang semai P. merkusii dari umur satu minggu'terus meningkat hingga semai berumur delapan minggu.
Pola ini sejalan dengan peningkatan ketahanan semai
terhadap penyakit
lodoh bersamaan
dengan bertambahnya
umur.
Peningkatan kadar lignin batang sejalan dengan
pertambahan umur semai tersebut diduga menyebabkan peningkatan ketahanan semai terhadap patogen lodoh.
Hal terse-
but karena lignin jauh lebih tegar dibanding selulosa (Salisbury dan Ross, 1992), sehingga tanaman yang sel-sel penyusunnya telah mengalami lignifikasi akan menjadi lebih kuat dibanding tanaman yang sel-sel penyusunnya belum terlignifikasi. Peran lignin dalam ketahanan terhadap penyakit dapat bersifat struktural atau biokimia.
Secara struktural,
menguatnya jaringan tanaman yang sel-sel penyusunnya terlignifikasi dapat menjadikan
jaringan tersebut mampu
menghambat penetrasi patogen, dan dapat menghambat difusi lanjut toksin dan enzim patogen ke jaringan inang.
Secara
biokimia, senyawa-senyawa fenolik prazat lignin dapat menghambat perkembangan patogen.
Senyawa-senyawa fenolik
tersebut mencakup senyawa antara pada lintasan sikhimat, seperti asam galat, asam protokatekuat, asam ferulat dan asam sinapat, hingga koniferil alkohol, yaitu monolignol (monomer lignin) utama pada P. merkusii (Vance dkk., 1980; Vickery dan Vickery, 1981; Goodman dkk., 1986; Fengel dan Wegener, 1995). Terhadap penyakit lodoh pada semai P. merkusii, diduga yang berperan terutama adalah mekanisme pertahanan struktural.
Lignifikasi sel-sel penyusun epidermis dapat
meningkatkan peran jaringan tersebut sebagai penghambat awal penetrasi patogen.
Lignifikasi lamela tengah juga
dapat menghambat maserasi jaringan inang oleh patogen. Maserasi jaringan terjadi akibat terdegradasinya pektin yang terdapat pada lamela tengah oleh pektinase patogen. Bila lamela tengah telah terlignifikasi, maka untuk dapat memaserasi jaringan inang, patogen juga harus mampu mendegradasi lignin.
Oleh karena itu adanya lignin pada lamela
tengah dapat meningkatkan ketahanan inang terhadap patogen lodoh, setidaknya terhadap R.
solani, karena Bateman
(1963b) mengemukakan bahwa poligalakturonase, salah satu komponen pektinase, merupakan komponen utama enzim 'maseraset yang terlibat dalam proses infeksi oleh R. solani. Lignifikasi lanjut batang semai P. merkusii seiring dengan berkembangnya xilem, makin memperkuat pertahanan terhadap patogen lodoh. Berdasarkan hasil dan pembahasan yang telah dikemukakan, maka sebagian hipotesis ke tiga diterima dan sebagian ditolak.
Kadar lignin batang semai terbukti berubah ber-
aturan dan perubahan tersebut sejalan dengan peningkatan ketahanan terhadap penyakit lodoh bersamaan dengan bertambahnya umur semai.
Lignin diduga berperan langsung dalam
peningkatan ketahanan semai P. merkusii terhadap penyakit lodoh terutama melalui mekanisme pertahanan struktural. Perubahan aktivitas peroksidase dengan bertambahnya umur
semai tampak tidak sejalan dengan peningkatan ketahanan terhadap penyakit lodoh.
Meskipun demikian peningkatan
aktivitas peroksidase cenderung diikuti oleh peningkatan pertambahan kadar lignin, dan pola hubungan tersebut cenderung linier.
Peroksidase diduga berperan secara
tidak langsung meningkatkan ketahanan semai P. merkusii terhadap penyakit lodoh melalui keterlibatannya dalam biosintesis lignin.
Aktivitas polifenoloksidase berfluk-
tuasi dan tidak menunjukkan pola tertentu bersamaan dengan bertambahnya umur semai. Perolehan informasi dugaan peran lignifikasi pada peningkatan ketahanan semai P. merkusii terhadap penyakit lodoh dapat digunakan sebagai acuan pengembangan kriteria seleksi semai muda yang diharapkan dapat terlignifikasi secara cepat.
Semai muda yang cepat terlignifikasi diha-
rapkan juga cepat meningkat ketahanannya terhadap penyakit lodoh, dengan demikian periode semai rentan terhadap patogen lodoh semakin pendek.
5.3.
Pengendalian Hayati Penyakit Lodoh pada Serai P. merkusii
Wells (1988) mengemukakan bahwa Trichoderma merupakan antagonis yang potensial. pendapat tersebut.
Hasil penelitian mendukung
T. harzianum maupun T. pseudokoningii
mampu menghambat pertumbuhan koloni kedua jenis fungi patogen berdasarkan hasil percobaan in vitro pada PDA
jenis fungi antagonis diharapkan dapat dimanfaatkan sebagai agensia dalam pengendalian hayati penyakit lodoh. Terdapat tiga mekanisme dalam antagonisme antar jazad renik, yaitu antibiosis, kompetisi, dan mikoparasitisme (Baker dan Cook, 1974).
Ketiga mekanisme tersebut ter-
amati pada antagonisme yang melibatkan kedua jenis Trichoderma yang diuji.
Terbentuknya zona penghambatan pada antagonisme pada media padat merupakan indikasi bekerjanya mekanisme antibiosis.
Bekerjanya mekanisme antibiosis tersebut dikuat-
kan oleh tertekannya pertumbuhan fungi patogen pada media cair yang ke dalamnya ditambahkan filtrat biakan fungi antagonis.
Terbentuknya zona penghambatan pada antagonis-
me pada media padat maupun tertekannya pertumbuhan fungi patogen pada media cair akibat penambahan filtrat biakan fungi antagonis menunjukkan bahwa fungi antagonis mendifusikan metabolit yang dapat menghambat pertumbuhan fungi patogen. Pada antagonisme pada media padat yang melibatkan T. harzianum,
maupun MEA.
zona penghambatan terbentuk baik pada PDA Akan tetapi zona penghambatan pada anta-
gonisme yang melibatkan T. pseudokoningii terbentuk hanya pada MEA, sedang pada PDA tidak.
Hal tersebut di samping
menunjukkan bahwa macam metabolit yang dihasilkan tiap jenis fungi antagonis berbeda, juga menunjukkan bahwa
pengaruh metabolit yang dihasilkan T. pseudokoningii pada PDA ternetralisir. ~ernetralisirnyapengaruh metabolit penghambat pertumbuhan patogen pada
PDA dilaporkan
Achmad
(1991).
Dikemukakannya bahwa antagonisme in vitro fungi mikoriza Rhizopogon sp. dengan Fusarium sp. maupun Rhizoctonia sp.
membentuk zona penghambatan pada agar MMN, pada PDA zona tersebut tidak terbentuk.
akan tetapi
Fenomena yang
sama juga dilaporkan oleh Darusman (1996) yang mempelajari potensi antagonistik fungi mikoriza Pisolithus tinctorius dan S. columnare terhadap Fusarium sp. dan Rhizoctonia sp. Menurut Wells (1988), mekanisme antibiosis dapat melibatkan metabolit beracun (toksin) atau enzim ekstraseluler yang dihasilkan oleh fungi antagonis.
~ikemukakan
bahwa Trichoderma sp. menghasilkan toksin trikhodermin yang merupakan suatu senyawa sesquiterpen, dermadin yaitu asam berbasa tunggal yang aktif terhadap fungi dengan kisaran yang luas dan meliputi bakteri gram positif dan gram negatif, serta dua senyawa peptida yang bersifat antifungal sekaligus antibakterial. Hasil uji kualitatif menunjukkan bahwa T. harzianum maupun T. pseudokoningii menghasilkan kitinase.
Dibanding
T. pseudokoningii, T. harzianum lebih efektif mendegradasi
kitin pada media sehingga media menjadi lebih transparan.
Hal tersebut menunjukkan bahwa aktivitas kitinase T. har-
zianum lebih tinggi dibanding aktivitas kitinase T. pseudokoningii. Uji
produksi kitinase tersebut dilakukan secara kua-
litatif, sehingga hasilnya tidak dapat menunjukkan macam kitinase yang dihasilkan kedua
jenis fungi antagonis, Harman dkk.
mengingat kitinase merupakan enzim kompleks.
(1993) mengemukakan bahwa T. harzianum menghasilkan tiga macam
enzim kitinolitik, yaitu eksokitinase (glukosamini-
dase) yang memotong rantai polimer terujung dan melepaskan glukosamin
tunggal, endokitinase yang
kitin di tengah
memotong
rantai
secara acak, dan kitobiosidase yang
memotong rantai kitin dan melepaskan kitobiosa yang tersusun atas dua unit glukosamin.
Haran dkk. (1995) bahkan
mengidentifikasi enam macam enzim kitinase yang berbeda pada T. harzianum. dan
Mereka kemukakan bahwa kompleksitas
diversitas sistem enzim
kitinolitik
T.
harzianum
melibatkan keenam macam enzim tersebut secara komplementer sehingga tercapai efisiensi maksimal melawan spektrum luas fungi patogen yang mengandung kitin.
Hal tersebut sejalan
dengan pernyataan Lorito dkk. (1993) bahwa enzim kitinolitik T. harzianum secara biologi
lebih aktif dibanding
enzim .yang sama dari sumber lainnya, dan lebih efektif melawan fungi pada kisaran yang lebih luas.
Peran kitinase pada antagonisme T. harzianum dengan R.
solani
dilaporkan
oleh
Benhamou
dan
Chet
(1993).
Mereka mengemukakan terjadinya degradasi kitin fungi patogen secara bertahap, dan ha1 tersebut menunjukkan dihasilkannya kitinase secara terus-menerus oleh fungi antagonis. Disorganisasi struktur dinding sel R . solani tampaknya merupakan kejadian awal yang mengakibatkan ketidakseimbangan osmotik internal, yang kemudian memicu kerusakan intraseluler seperti kebocoran membran plasma dan agregasi sitoplasma.
Sivan dan Chet (1989) mempelajari degradasi din-
ding sel fungi oleh enzim litik dari T. harzianum.
Dila-
porkan bahwa bila dinding sel hifa F. oxysporum digunakan sebagai sumber karbon pada media biakan T. harzianum, maka fungi antagonis tersebut akan mengeluarkan kitinase dan 1,3-8-glukanase ke dalam media. Tertekannya pertumbuhan fungi patogen menunjukkan mekanisme kompetisi dalam antagonisme, dalam ha1 ini fungi antagonis lebih kompetitif dalam buh dan nutrisi.
memanfaatkan ruang
tum-
Lebih kompetitifnya fungi antagonis di-
tunjang oleh pertumbuhannya yang lebih cepat dibanding fungi patogen pada media yang sama.
Keberadaan Trichoder-
ma yang melimpah pada tanah-tanah pertanian di seluruh du-
nia merupakan bukti terbaik bahwa fungi tersebut merupakan kompetitor yang sangat baik untuk ruang tumbuh dan nutrisi (Wells, 1988).
Mekanisme mikoparasitisme ditunjukkan oleh hasil pengamatan mikroskopik miselia T. harzianum dan R. s o l a n i pada daerah pertemuan kedua koloni yang antara lain memperlihatkan pelilitan dan penetrasi hifa R. s o l a n i oleh hifa T. harzianum. Benhamou dan Chet (1993) mengemukakan proses mikoparasitisme T. harzianum
terhadap R . s o l a n i .
Penghambatan pertumbuhan patogen berlangsung segera sesudah terjadi kontak dengan antagonis, dan pelilitan hifa T, harzianum di sekeliling hifa R, s o l a n i merupakan fenomena
yang mengawali rusaknya hifa patogen, Elad dkk. (1983) juga mempelajari proses mikoparasitisme T. harzianum dan T. hamatum terhadap R. s o l a n i dan Sclerotium r o l f s i i .
Mereka mengemukakan bahwa hifa TI
harzianum sp. memasuki R . s o l a n i
melalui
lubang yang di-
buatnya pada hifa inang, Lisis parsial terjadi pada bagian hifa h a n g yang dililit oleh hifa antagonis.
Mereka
kemukakan pula bahwa dalam antagonisme tersebut terdapat indikasi To harzianum
mensekresikan
8-1,3-glukanase.
Fenomena molekuler yang mereka kemukakan adalah terjadinya pengendapan bahan-bahan fibril ektraseluler antara hifa yang saling berinteraksi, terakumulasinya organel-organel parasit pada sel-sel yang tengah memarasit, dan terbentuknya matriks selubung yang membungkus hifa yang tengah mempenetrasi.
Mekanisme mikoparasitisme ditunjukkan oleh hasil pengamatan mikroskopik miselia T. harzianum dan R . s o l a n i pada daerah pertemuan kedua koloni yang antara lain memperlihatkan pelilitan dan penetrasi hifa R. s o l a n i oleh hifa T . harzianum. Benhamou dan Chet (1993) mengemukakan proses mikoparasitisme T. harzianum
terhadap R . s o l a n i .
Penghambatan pertumbuhan patogen berlangsung segera sesudah terjadi kontak dengan antagonis, dan pelilitan hifa T. harzianum di sekeliling hifa R. s o l a n i merupakan fenomena yang mengawali rusaknya hifa patogen. Elad dkk. (1983) juga mempelajari proses mikoparasitisme T. harzianum dan T. hamatum terhadap R . s o l a n i dan Sclerotium r o l f s i i .
Mereka mengemukakan bahwa hifa T.
harzianum sp. memasuki R . s o l a n i buatnya pada
hifa inang.
melalui
lubang yang di-
Lisis parsial terjadi pada ba-
gian hifa inang yang dililit oleh hifa antagonis.
Mereka
kemukakan pula bahwa dalam antagonisme tersebut terdapat indikasi
T.
harzianum
mensekresikan
8-1,3-glukanase.
Fenomena molekuler yang mereka kemukakan adalah terjadinya pengendapan bahan-bahan fibril ektraseluler antara hifa yang saling berinteraksi, terakumulasinya organel-organel parasit pada sel-sel yang tengah memarasit, dan terbentuknya matriks selubung yang membungkus hifa yang tengah mempenetrasi.
Dari kedua jenis fungi antagonis yang diuji, T. bar-
zianum memiliki potensi antagonistik lebih kuat dibanding T. pseudokoningii.
Hal
tersebut karena T.
harzianum
menghambat pertumbuhan fungi patogen dengan persentase penghambatan lebih tinggi, mengakibatkan terbentuknya zona penghambatan lebih lebar, menurunkan bobot miselia fungi patogen lebih besar, dan menghasilkan kitinase yang lebih efektif mendegradasi kitin dibanding T. pseudokoningii untuk sifat-sifat yang sama. Antara kedua jenis fungi antagonis secara in vitro tidak terjadi penghambatan pertumbuhan.
Akan tetapi pada
daerah pertemuan kedua koloni terbentuk zona putih keruh. Zona tersebut seperti zona yang dilaporkan Flentje (1965) yang mempelajari anastomosis antar isolat Thanatephorus
cucumeris.
Dikemukakannya bahwa terbentuknya
zona keruh
pada daerah pertemuan dua koloni isolat T * cucumeris yang terlibat dalam proses anatomosis, merupakan reaksi yang menunjukkan ketidakcocokan kedua isolat tersebut sehingga mengakibatkan kematian sel-sel fungi.
Oleh karena itu zo-
na keruh pada antagonisme kedua jenis fungi antagonis memperlihatkan
terdapat
ketidakcocokan
antara
keduanya.
Temuan ini kurang menguntungkan bagi aplikasi in vivo kedua )enis fungi antagonis sekaligus, karena untuk memanfaatkan dua atau lebih jenis antagonis bersama-sama,
maka
harus
dipertimbangkan
kecocokan
(kompatibilitas) dan
saling pengaruh antar antagonis tersebut.
Rhizopogon sp. mampu menghambat pertumbuhan R. s o l a n i dan F. oxysporum pada MMN, dan perpasangannya dengan kedua jenis fungi patogen menimbulkan terbentuknya zona penghambatan.
Hasil ini sejalan dengan laporan Achmad (1991).
Meskipun demikian ternyata fungi mikoriza yang sama tidak dapat melindungi semai P. merkusii dari serangan lodoh (Achmad, 1991; Achmad dkk., 1994).
Di lain pihak, S . d i c -
tyosporum tidak mampu menghambat pertumbuhan kedua jenis fungi patogen, dan tidak terbentuk zona penghambatan pada perpasangan yang melibatkan fungi mikoriza tersebut.
Hal
ini menunjukkan bahwa fungi mikoriza tersebut tidak memiliki potensi antagonistik terhadap fungi patogen.
Terha-
dap kedua jenis fungi antagonis, kedua jenis fungi mikoriza tidak saling menghambat.
Dengan demikian diharapkan
antara fungi mikoriza dan fungi antagonis tersebut tidak saling menghambat bila diaplikasikan bersama-sama di lapangan. Pengujian antagonisme i n v i t r o memberikan gambaran potensi antagonistik suatu antagonis untuk berperan sebagai agensia pengendalian
hayati penyakit di lapangan.
~otensi i n v i t r o tersebut perlu pembuktian melalui percobaan i n v i v o pada inang yang sesuai.
Hasil pengujian in vivo menunjukkan bahwa kedua jenis fungi antagonis yang dipelajari dapat mengurangi persentase semai mati akibat infestasi kedua jenis fungi patogen sendiri-sendiri maupun bersama-sama.
Oleh karena itu
kedua jenis fungi antagonis tersebut dapat dimanfaatkan sebagai agensia pengendali hayati untuk penyakit lodoh pada P. merkusii.
T. harzianum lebih mampu melindungi kematian semai P. merkusii dari serangan patogen lodoh dibanding T. pseudokoningii.
Hasil ini sejalan dengan lebih tingginya poten-
si antagonistik T. harzianum dibanding T. pseudokoningii pada uji in vitro. Bila kedua jenis fungi antagonis diinfestasikan bersama-sama, kemampuannya mengendalikan penyakit lodoh hanya mendekati kemampuan T. pseudokoningii dan tidak sebaik bila T. harzianum saja.
Inokulasi keduanya bersama-sama
tanpa inokulasi fungi patogen ternyata menyebabkan persentase semai mati hingga 35 %,
sedang inokulasi tiap jenis
fungi antagonis secara terpisah menyebabkan persentase semai mati yang tidak berbeda nyata dari kontrol.
Kenya-
taan ini menunjukkan bahwa antara kedua jenis fungi antagonis tersebut terjadi ketidakcocokan, dan ketidakcocokan tersebut telah terlihat pada saat kedua jenis fungi dipasangkan
secara
in vitro.
Dengan
demikian
kedua
jenis
fungi antagonis tersebut sebaiknya tidak diaplikasikan bersama-sama dalam pengendalian hayati. Cook dan Baker (1983) berpendapat bahwa aplikasi antagonis ke dalam tanah dapat digunakan untuk menghancurkan inokulum patogen, mencegah rekolonisasi tanah yang telah mendapat perlakuan oleh patogen, atau untuk melindungi benih yang sedang berkecambah atau perakaran dari infeksi.
Untuk menghancurkan inokulum, maka antagonis
yang efektif adalah yang memarasit patogen, sedang untuk mencegah rekolonisasi patogen maka antagonis yang menjanjikan adalah yang kemampuan saprofitiknya kuat dan teradaptasi dengan baik pada lingkungan fisik tanah tempat antagonis tersebut diinfestasikan.
Trichoderma dengan
kemampuan antibiosis, mikoparasitisme, dan kompetisi yang dimilikinya dapat digunakan untuk mencapai ketiga tujuan tersebut. Pada penelitian ini, inokulasi fungi patogen dilakukan terlebih dahulu.
Dengan demikian tu juan inf estasi
fungi antagonis adalah lebih untuk menghancurkan inokulum, dan kenyataan memperlihatkan bahwa kedua jenis fungi antagonis mampu melakukannya, yang ditunjukkan oleh kemampuannya mengurangi persentase semai mati.
Dari kedua
jenis fungi antagonis yang dipelajari dalam penelitian ini, T. harzianum lebih menjanjikan keberhasilan aplikasinya di lapangan untuk mencapai ketiga tujuan seperti d i k ~ m i l k s t k a n sehe'lumnva
di handi nu T. ~seudokoninoi i-
Secara umum, kedua jenis Trichoderma yang dipelajari dalam penelitian ini dapat dimanfaatkan sebagai agensia pengendalian hayati terhadap penyakit lodoh pada P. merkusii.
Wells (1988) mengemukakan bahwa Thrichoderma me-
rupakan antagonis yang potensial dan merupakan model yang sangat baik untuk mempelajari pengendalian hayati.
Hal
tersebut karena sifat keberadaannya yang melimpah, mudah diisolasi dan dibiakkan, tumbuh dengan cepat pada berbagai macam substrat, mempengaruhi patogen dalam kisaran yang luas, sangat jarang patogenik terhadap tanaman inang, berkelakuan sebagai mikoparasit, sangat baik kompetisinya untuk ruang tumbuh dan nutrisi, menghasilkan antibiotik, dan memiliki sistem enzim yang mampu menyerang patogen dengan kisaran luas (Wells, 1988). Telah dikemukakan pada sub bahasan sebelumnya bahwa hasil percobaan periode serangan patogen lodoh menunjukkan periode serangan patogen pada P. merkusii terjadi dari benih hingga semai berumur tujuh minggu, sehingga selama periode tersebut diperlukan perlindungan terhadap serangan lodoh.
Dalam penanganan pesemaian di lapangan, yaitu di
Pesemaian Permanen KHP Cianjur di Pongpok Landak, pengendalian lodoh benih dilakukan melalui perawatan benih dengan fungisida yang dipadu dengan penggunaan medium pengecambah berupa campuran tanah dan pasir disertai aplikasi fungisida. Semai muda hasil perkecambahan benih
selanjutnya segera dipindahkan ke wadah tanam yang terpisah untuk tiap semai, diistilahkan sebagai tahap penyapihan, dan dipelihara hingga semai siap ditanam di lokasi yang dikehendaki.
Medium tanam yang digunakan pada tahap
penyapihan adalah medium campuran tanah 'top soil' dan
.
kompos
Meskipun dilakukan pengendalian dengan menggunakan fungisida, persentase semai mati akibat serangan lodoh selama periode penyapihan tersebut masih cukup tinggi. Fungi antagonis yang dipelajari pada penelitian ini diharapkan dapat berperan mengendalikan penyakit lodoh selama periode penyapihan tersebut.
Di samping itu fungi antago-
nis juga dapat diaplikasikan pada medium pengecambah benih sehingga diharapkan dapat mengurangi atau bahkan menggantikan fungisida yang digunakan. Rendahnya persentase semai layak tanam, yaitu semai yang mencapai umur enam bulan dan berkualitas baik, adalah masalah lain yang dihadapi di pesemaian.
Untuk pesemaian
permanen di Pongpok Landak, dilaporkan bahwa semai layak tanam hanya berkisar 20
-
30 %. Kenyataan tersebut mendu-
kung diperlukannya inokulasi fungi mikoriza yang telah diketahui dapat meningkatkan kualitas semai P. merkusii. Karena pada periode penyapihan juga diperlukan inokulasi fungi antagonis untuk mengendalikan penyakit lodoh, maka diharapkan keberadaan fungi antagonis tersebut tidak mengganggu asosiasi fungi mikoriza dengan perakaran semai P. merkusii.
Rhizopogon sp. maupun S. dictyosporum berasosiasi dengan akar P. merkusii.
Keberhasilan asosiasi kedua
jenis fungi mikoriza dengan P. merkusii juga telah dilaporkan oleh Achmad dkk. (1994).
Keberadaan fungi antago-
nis yang dimanfaatkan sebagai pengendali hayati fungi patogen lodoh, tidak mengganggu keberadaan fungi mikoriza dan asosiasinya dengan perakaran semai P I merkusii.
Hal
tersebut ditunjukkan oleh terbentuknya ektomikoriza pada akar semai yang ditanam pada media dengan perlakuan yang melibatkan inokulasi fungi antagonis dan fungi patogen sekaligus. Tidak saling mengganggunya kelompok fungi tersebut diduga terutama berkaitan dengan relung ('niche') yang berbeda.
mereka
Fungi mikoriza merupakan fungi penghuni
akar (Bakshi, 1974), sedang fungi antagonis adalah penghuni tanah (Wells, 1988) demikian pula fungi patogen lodoh (Hartley, 1921).
Antar fungi penghuni tanah dapat terjadi
antagonisme, sebagaimana ditunjukkan oleh antagonisme fungi antagonis terhadap fungi patogen.
Fungi mikoriza
diinokulasikan dalam bentuk potongan koloni fungi yang dibiakkan pada agar MMN.
Diduga miselianya bertahan pada
media, sehingga saat terbentuk akar pendek pada semai P. merkusii dapat segera terjadi asosiasi antara fungi mi-
koriza dengan akar pendek tersebut dan membentuk percabangan yang dikotom, yang merupakan bentuk khas mikoriza pada
P. merkusii.
Tidak terganggunya keberadaan
fungi
mikoriza dan asosiasinya dengan perakaran semai P. merkusii sangat menguntungkan, karena pengaruh positif mikoriza terhadap peningkatan kualitas semai sudah diterima secara luas. Dari hasil dan bahasan yang telah dikemukakan, hipotesis ke empat dapat diterima, yaitu bahwa secara in vitro fungi antagonis terbukti dapat menekan perkembangan fungi patogen lodoh dan tidak menekan perkembangan fungi mikoriza.
Kedua fungi antagonis menghasilkan kitinase.
Kiti-
nase T. harzianum lebih efektif mendegradasi kitin dalam medium dibanding kitinase T. pseudokoningii.
Perolehan
informasi dihasilkannya kitinase oleh kedua jenis fungi antagonis dapat dipakai sebagai pijakan manipulasi lingkungan semai untuk menekan
aktivitas fungi patogen.
Manipulasi tersebut dilakukan melalui aplikasi bahan berkitin pada media tanam semai agar aktivitas kitinase fungi antagonis terpacu sehingga dapat lebih efektif mendegradasi kitin yang terdapat pada dinding sel fungi patogen. Hipotesis ke lima juga dapat diterima, yaitu bahwa fungi antagonis dapat berperan sebagai pengendali hayati penyakit lodoh pada P. merkusii.
Aplikasi fungi antagonis
tersebut dapat dilakukan untuk mengendalikan penyakit lodoh pada tahap pengecambahan benih maupun selama periode penyapihan.
Hipotesis ke enam, yaitu bahwa keberadaan
fungi antagonis tidak menghambat keberadaan fungi mikoriza dan asosiasinya dengan akar semai P. merkusii, juga dapat diterima
.