BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah Indonesia merupakan negara tropis dengan tingkat kelembaban cukup tinggi, hal ini memudahkan mikroba (patogen dan non-patogen) tumbuh dan berkembang dengan baik sehingga terus memunculkan masalah kesehatan seperti meningkatnya angka penyakit endemik dan epidemik yang semakin tinggi dan penyakit infeksi baru (Tenover, 2006). Kenyataan tersebut tidak diimbangi dengan penggunaan antibiotik secara benar sehingga memperparah kejadian resistensi terhadap antibiotik yang saat ini digunakan. Mikroorganisme patogen yang resisten terhadap antibiotik sangat sulit dieliminasi selama proses infeksi, dan infeksi oleh beberapa strain bakteri dapat berakibat letal (kematian) (Pratiwi, 2008). Resistensi terhadap agen antimikroba berkembang menjadi masalah global yang sangat penting saat ini. Desain penemuan obat-obatan konvensional belum pasti memiliki potensi antimikroba yang efektif, di sisi lain penemuan bahwa sumber daya alam memiliki potensi sebagai agen antimikroba yang kuat seperti Penicillin pada tahun 1940 membuat para peneliti di seluruh belahan dunia terus mengembangkan penelitian mengenai antimikroba dari bahan alam hingga saat ini, termasuk di Indonesia (Cushnie dan Lamb, 2005). Salah satu mikroba yang mendapat perhatian saat ini adalah multidrug-resistant Pseudomonas aeruginosa (Smith, 2004). Baru-baru ini penelitian antibakteri difokuskan terutama
1
2
didasarkan pengembangan jenis antimikroba yang diyakini dapat menurunkan perkembangan mikroba resisten atau yang disebut sebagai antipatogenik (Hentzer dan Givskov, 2003) yaitu dengan menghambat komunikasi antar bakteri. Quorum sensing (QS) adalah sebutan dari proses komunikasi antar mikroba menggunakan senyawa autoinducer. Senyawa tersebut dilepaskan ke lingkungan sekitar sel dan apabila densitas sel telah memenuhi quorum, senyawa autoinducer akan kembali berdifusi kembali ke dalam sel untuk mengaktivasi fungsi terkait QS. Mekanisme kerja antibiotik dalam hal ini adalah melalui penghambatan komunikasi
antar
mikroba
(quorum
sensing
inhibition).
Terhambatnya
komunikasi tersebut mengakibatkan tidak tercapainya komunitas yang cukup untuk mengekspresikan faktor virulensi, sehingga mikroba dengan mudah dieradikasi oleh sistem pertahanan tubuh (Otto, 2004; Hentzer dan Givskov, 2003). Pseudomonas aeruginosa merupakan patogen utama bagi manusia yang menyebabkan infeksi pada pernafasan. Bakteri ini kadang-kadang mengkoloni pada manusia dan menimbulkan infeksi apabila fungsi pertahanan inang abnormal. Oleh karena itu, P. aeruginosa disebut patogen oportunistik, yaitu memanfaatkan kerusakan pada mekanisme pertahanan inang untuk memulai suatu infeksi (Obtrich et al., 2005). Lebih dari separuh hasil isolat klinis menghasilkan pigmen warna hijau-biru pyocyanin (Lessnau, 2012). Pigmen pyocyanin merupakan pigmen yang tidak berfluoresensi namun berdifusi ke dalam agar. Selain pyocyanin, P. aeruginosa juga menghasilkan pigmen warna hijau-kuning yang berfluoresensi pyoverdin. Pyoverdin merupakan pigmen berfluoresensi yang
3
memberikan warna kehijauan pada agar (Brooks et al., 2004). Mekanisme anti-QS pada P. aeruginosa dapat ditunjukkan oleh penghambatan pembentukan pigmen hijau pyoverdin yang pengamatannya di bawah UV366. Hydnophytum formicarum Jack. (Rubiaceae) merupakan tanaman obat yang banyak digunakan di Papua Barat sebagai teh herbal untuk berbagai nilai terapeutik. Tanaman ini hidup sebagai epifit pada pohon-pohon besar dan memiliki simbiosis mutualistik dengan semut sehingga diberi nama Sarang Semut. Hanya saja bukti ilmiah yang mendukung masih sangat sedikit. Beberapa uji menunjukkan bahwa tumbuhan sarang semut mengandung senyawa-senyawa kimia dari golongan flavonoid dan tanin yang diduga dapat berperan sebagai imunomodulator secara in vitro seperti yang ditemukan Hertiani (2012). Penelitian lain menunjukkan bahwa ekstrak etanol H. formicarum memiliki aktivitas anti-QS pada P. aeruginosa PAO1 (Hertiani and Pratiwi, unpublished data). Hal tersebut menyebabkan tumbuhan ini potensial untuk dikembangkan sebagai bagian dari terapi infeksi P. aeruginosa, mengingat bahwa bakteri ini kerap menginfeksi pasien dengan kondisi immunesuppresed. Penelitian lanjutan diperlukan untuk mengetahui ada tidaknya mekanisme anti-QS dari hasil fraksinasi ekstrak etanolik H. formicarum dan mengetahui potensinya terhadap mekanisme infeksi yang berkaitan dengan QS serta mengetahui senyawa aktif yang mendukung aktivitas tersebut terhadap patogenitas P. aeruginosa. Penemuan tersebut diharapkan dapat menjadi dasar ilmiah yang mendukung pemanfaatan tumbuhan ini sebagai obat herbal anti infeksi akibat mikroba.
4
B. Rumusan Masalah 1.
Apakah fraksi air ekstrak etanolik Hydnophytum formicarum Jack. mengandung senyawa yang potensial menghambat patogenitas Pseudomonas aeruginosa PAO1 yang dipengaruhi oleh quorum sensing?
2.
Golongan senyawa apakah yang potensial menghambat quorum sensing tersebut?
C. Tujuan Penelitian Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui potensi fraksi air ekstrak etanolik Hydnophytum formicarum Jack. terhadap patogenitas Pseudomonas aeruginosa PAO1 yang mekanismenya dipengaruhi oleh quorum sensing dan mengetahui golongan senyawa yang memiliki aktivitas tersebut.
D. Tinjauan Pustaka 1.
Uraian Tanaman Sarang Semut (Hydnophytum formicarum Jack.) a.
Nama Tanaman Sarang semut (Hydnophytum formicarum Jack.) merupakan salah satu tanaman asli Indonesia yang banyak ditemukan di Papua. Tanaman tersebut saat ini mulai banyak dikonsumsi secara luas karena dipercaya dapat menyembuhkan berbagai macam penyakit (Soeksmanto et al., 2010). Hanya saja bukti ilmiah yang mendukung masih sangat sedikit. Sarang
semut
merupakan
tumbuhan
dari
Hydnophytinae
(Rubiaceae) yang berasosiasi dengan semut. Tumbuhan ini bersifat epifit,
5
artinya menempel pada tumbuhan lain, tidak hidup secara parasit pada inangnya tetapi hanya memanfaatkannya untuk menempel di pohonpohon besar. Batang yang bagian bawahnya menggelembung berisi rongga-rongga yang disediakan sebagai sarang semut jenis tertentu. Tumbuhan ini juga ditemukan menempel pada pohon Bruguiera di hutan mangrove yang ada di Seram provinsi Maluku (Subroto dan Saputro, 2006). b.
Taksonomi Sistematika tumbuhan sarang semut (H. formicarum) menurut Backer dan Van den Brink (1965), adalah termasuk dalam divisi Tracheophyta, kelas Magnoliopsida, sub kelas Lamiidae, ordo Rubiales, Famili Rubiaceae, Genus Hydnophytum. Lima genus yang termasuk dalam keluarga Rubiaceae, hanya dua yang diasosiasikan dengan semut yaitu Myrmecodia (45 spesies) dan Hypnophytum (26 species). Berdasarkan kedua genus tersebut hanya Hypnophytum formicarum, Myrmecodia pendens, dan Myrmecodia tuberosa yang diyakini memiliki aktivitas terapetik (Soeksmanto et al., 2010).
c.
Morfologi Sarang semut merupakan tumbuhan perdu dan dapat tumbuh hingga 60 cm. Batang berkayu, silindris, tidak bercabang, pangkal menggelembung membentuk bulatan yang kadang bisa mencapai diamater 25 cm, berwarna cokelat muda, permukaan tidak berduri, bagian dalam berbentuk rongga bersekat-sekat. Memiliki daun tunggal,
6
bertangkai, tersusun menyebar namun lebih banyak terkumpul di ujung batang, berwarna hijau, bentuk bulat panjang, panjang 7-15 cm, lebar 2-4 cm, helaian daun agak tebal dan keras, ujung tumpul (obtusus), pangkal meruncing, tepi rata, permukaan halus, tulang daun berwarna putih (Anonim, 2006). Sarang semut memiliki bunga berwarna putih. Buah berbentuk bulat dan berwarna merah.
Gambar 1. Irisan umbi (kiri) dan tumbuhan sarang semut H. formicarum (kanan) (Hertiani, unpublished data)
d.
Kandungan Kimia Subroto dan Saputro (2006) menyatakan bahwa kandungan zat berkhasiat dari tumbuhan sarang semut sebagai bahan obat tergantung pada tempat tumbuh dan usia tumbuhan. Tumbuhan sarang semut yang tumbuh liar di hutan mengandung lebih banyak zat aktif daripada yang ditanam di pot sebagai tanaman hias. Beberapa uji menunjukkan bahwa tumbuhan ini mengandung senyawa-senyawa kimia dari golongan flavonoid dan tanin. Flavonoid merupakan golongan senyawa bahan alam dari senyawa fenolik yang
7
banyak terdapat pada pigmen tumbuhan. Sebagian besar fungsi flavonoid dalam tubuh manusia adalah sebagai antioksidan yang baik untuk pencegahan kanker. Tanin merupakan polifenol tanaman yang berasa pahit serta dapat mengikat dan mengendapkan protein. Umumnya tanin digunakan untuk aplikasi di bidang pengobatan, misalnya untuk pengobatan diare, hemostatik (menghentikan pendarahan), dan wasir. Sekian banyak jenis sarang semut, hanya 3 jenis yang berkhasiat sebagai obat, H. formicarum, M. pendans, dan M. tuberosa. Subroto (2006) menyatakan bahwa sarang semut (H. formicarum) mengandung senyawa toksisitas, antikanker, flavonoid, alkaloid dan stigmasterol. e.
Khasiat secara Empiris Kandungan berbagai macam mineral pada tumbuhan sarang semut memiliki kegunaan antara lain membantu mengatasi berbagai macam penyakit/gangguan jantung, melancarkan haid dan mengobati keputihan, melancarkan peredaran darah, mengobati migrain, gangguan fungsi ginjal dan prostat, memulihkan kesegaran dan stamina tubuh, serta memulihkan gairah seksual (Subroto dan Saputro, 2006). Selain itu, secara empiris sarang semut telah terbukti dapat meyembuhkan beragam penyakit ringan dan berat, seperti kanker, tumor, pembengkakan, sakit kepala, liver, masalah pencernaan, penyakit jantung, penyakit tulang, penyakit kulit, penyakit paru-paru, sakit di persendian, bahan campuran obat antidiabetes, kanker, hepatitis, rematik, dan diare (Subroto dan Saputro, 2006).
8
2.
Uraian Tentang Mikrobiologi a.
Pseudomonas aeruginosa PAO 1 Pseudomonas aeruginosa merupakan patogen utama bagi manusia. Bakteri ini kadang-kadang mengkoloni pada manusia dan menimbulkan infeksi apabila fungsi pertahanan inang abnormal. Oleh karena itu, P. aeruginosa disebut patogen oportunistik, yaitu memanfaatkan kerusakan pada mekanisme pertahanan inang untuk memulai suatu infeksi. Pseudomonas aeruginosa yang paling banyak ditemukan pada kasus infeksi nokosomial ataupun infeksi yang membahayakan jiwa pada pasien yang memiliki ketahanan tubuh rendah (Obtrich et al., 2005). Pseudomonas aeruginosa adalah bakteri Gram negatif aerob obligat, berkapsul, mempunyai flagela polar sehingga bersifat motil, berukuran sekitar 0,5-1,0 μm. Bakteri ini tidak menghasilkan spora dan tidak dapat menfermentasikan karbohidrat (Toyofoku, 2011). Bakteri Gram negatif ini dapat muncul dalam bentuk tunggal, berpasangan atau kadang-kadang dalam bentuk rantai pendek (Brooks et al., 2004). Pseudomonas aeruginosa termasuk dalam genus Pseudomonas, yang ditentukan oleh Migula pada tahun 1984. Golongan yang termasuk dalam genus tersebut adalah bakteri gram negatif, berbentuk tangkai, polar dan berflagel. Tahun 2000, spesies Pseudomonas dideterminasikan meliputi P. aeruginosa strain PAO1. Pseudomonas aeruginosa membentuk biofilm untuk membantu kelangsungan hidupnya saat membentuk koloni. Koloni yang dibentuk
9
halus bulat berwarna hijau dan mampu berfluoresensi. Biofilm pada P. aeruginosa terbuat dari kapsul glikokalis untuk mengurangi keefektifan mekanisme sistem imun inang (Esmaeili dan Hashemi, 2011). P. aeruginosa menampakkan efek fluoresensi di bawah lampu UV366 akibat produksi
pigmen
pyoverdin
(Todar,
2012;
Iglewski,
1996).
Pseudomonas aeruginosa yang berasal dari koloni yang berbeda mempunyai aktivitas biokimia, enzimatik, dan kepekaan antimikroba yang berbeda pula. Mekanisme quorum sensing pada P. aeruginosa dapat ditunjukkan oleh penghambatan pembentukan pigmen. Pigmen hijau-biru, pyocyanin, merusak fungsi normal silia hidung manusia, mengganggu epitel pernafasan, dan memberikan suatu efek proinflamasi pada fagosit (Todar, 2012). Pigmen yang berwarna hijau-kuning dan berfluoresensi, pyoverdin, mampu mengikat dan membentuk khelat dengan zat besi yang berasal dari ikatan protein inang seperti transferin, laktoferin, dan feritin. Khelat yang dibentuk berupa molekul kecil (Cornelis, 2002). Sebagai faktor
virulensi,
pyoverdin
mempromosikan
patogenitas
dengan
merangsang pertumbuhan bakteri dan penting untuk perkembangan biofilm (Peek et al., 2012). Untuk menunjukkan kaitan penghambatan mekanisme tersebut dengan virulensi, pengujian perlu dilanjutkan dengan uji motilitas dengan metode swimming, swarming, dan twitching (Williams dan Camara, 2009). Metode tersebut dapat digunakan untuk menganalisis kemampuan motilitas mikroba berflagelata seperti P.
10
aeruginosa berdasarkan kemampuannya berdifusi pada media Agar dengan kepadatan yang berbeda (Rashid dan Kornberg, 2000).
Gambar 2. Pewarnaan Gram Pseudomonas aeruginosa (Todar, 2012)
Beberapa strain P. aeruginosa dapat
menghasilkan lendir
ekstraseluler yang kental, yang kemudian membentuk koloni mukoid akibat
produksi
berlebihan
dari
alginat,
yaitu
suatu
lendir
eksopolisakarida. Koloni mukoid ini sering ditemukan pada biakan dari pasien dengan cystic fibrosis, yang eksopolisakaridanya berfungsi untuk menghasilkan matriks sehingga organisme dapat hidup dalam biofilm. Arsitektur dari membran tersebut yang menyebabkan resistensi P. aeruginosa terhadap banyak antibiotik (Kayser et al., 2005). b.
Pemeriksaan Antimikroba Antimikroba adalah obat untuk membasmi mikroba khususnya yang merugikan manusia. Antimikroba secara umum digunakan dalam pengobatan medis infeksi bakteri. Antimikroba untuk mengobati infeksi pada manusia harus bersifat toksisitas selektif, artinya harus sangat toksis untuk mikroba tetapi relatif tidak toksis untuk inang. Berdasarkan sifat tersebut, ada antimikroba yang bersifat menghambat pertumbuhan
11
mikroba yang dikenal sebagai aktivitas bakteriostatik dan ada antimikroba yang bersifat membunuh mikroba yang dikenal sebagai aktivitas bakterisid (Ganiswara et al., 1995). Konsentrasi minimum yang diperlukan untuk menghambat atau membunuh pertumbuhan bakteri masing-masing dikenal sebagai nilai MIC dan MBC. Antibakteri tertentu aktivitasnya dapat meningkat menjadi bakterisid bila kadar antibakterinya ditingkatkan melebihi MIC (Setiabudy dan Gan, 1995). 1) Uji Aktivitas Antimikroba Uji aktivitas antimikroba merupakan pengukuran respon dari pertumbuhan populasi mikroba terhadap agen antimikroba. Tujuan dari pengujian antimikroba adalah untuk mengetahui potensi dari agen antimikroba, sehingga dapat dimanfaatkan untuk pengobatan yang efektif dan efisien. Beberapa metode yang umum digunakan untuk pengujian aktivitas antimikroba antara lain sebagaimana diuraikan di bawah ini. a.
Metode Dilusi Metode ini dilakukan pencampuran senyawa antimikroba dengan
medium
yang
kemudian
diinokulasikan
dengan
mikrobanya. Dasar pengamatannya adalah dengan melihat tumbuh atau tidaknya mikroba yang diujikan tersebut.
12
1.
Pengenceran serial dalam tabung (metode dilusi cair) Zat antimikroba yang akan diuji aktivitasnya diencerkan secara serial dengan metode pengenceran di dalam medium cair, dan selanjutnya diinokulasikan dengan mikroba uji. Setelah diinkubasi pada suhu 37oC selama 18-24 jam, aktivitas antimikroba ditentukan sebagai MIC yaitu zat berkhasiat dengan konsentrasi terendah yang masih dapat menghambat pertumbuhan mikroba (Jawetz et al., 1986).
2.
Cara Penipisan Lempeng Agar (metode dilusi padat) Zat
yang
akan
ditentukan
aktivitas
antimikrobanya
diencerkan secara serial dengan metode pengenceran di dalam medium agar bersuhu 40 o-50oC yang kemudian dituangkan ke dalam cawan petri. Setelah lempeng agar membeku, ditanamkan inokulum mikroba dan kemudian diinkubasi pada suhu dan jangka waktu yang sesuai dengan pertumbuhan mikroba yang diuji. MIC zat antimikroba yang diuji adalah konsentrasi terendah yang dapat menghambat pertumbuhan mikroba (Jawetz et al., 1986). b.
Metode Difusi Agar Zat
yang akan ditentukan aktivitas antimkrobanya
berdifusi pada lempeng agar yang telah ditanami mikroba yang akan diuji. Dasar pengamatannya adalah terbentuk atau tidaknya
13
zona hambatan di sekeliling cakram atau silinder yang berisi zat antimikroba. 1.
Cara lubang atau cawan (Hole atau Cup) Medium agar yang telah ditanami mikroba dibuat lubang, kemudian diisi dengan zat antimikroba. Modifikasi dari cara ini adalah dengan menggunakan silinder pada medium agar membentuk
sumuran,
kemudian
diisi
dengan
zat
antimikroba. Setelah diinkubasi pada suhu dan jangka waktu yang sesuai dengan jenis mikrobanya, pengamatan dilakukan dengan melihat ada tidaknya zona hambat di sekeliling lubang atau sumuran (Jawetz et al., 1986). 2.
Cara Kirby Bauer Beberapa koloni bakteri dari pertumbuhan 24 jam pada agar diambil, kertas cakram yang mengandung zat antimikroba kemudian diinokulasikan pada suhu dan jangka waktu yang sesuai dengan jenis mikrobanya. Selanjutnya dilihat ada atau tidaknya zona hambatan di sekeliling kertas cakram (Jawetz et al., 1986).
c.
Pengamatan Hasil Hasil yang diperoleh dari metode difusi berupa diameter hambatan yang dibedakan menjadi :
14
1) Zona radikal Merupakan suatu daerah di sekitar titik aplikasi yang tidak sama sekali ditemukan pertumbuhan bakteri. Potensi antibiotika diukur dengan mengukur diameter zona radikal tersebut. 2) Zona irradikal Merupakan suatu daerah di sekitar titik aplikasi yang pertumbuhan bakteri dihambat oleh antibiotika, tapi tidak dimatikan. Di sini terlihat adanya pertumbuhan yang kurang subur atau labih jarang dibandingkan dengan daerah di luar pengaruh antibiotika (Anonim, 1993).
3.
Uraian Tentang Quorum sensing pada P. aeruginosa Mekanisme menarik dari cara bakteri berkomunikasi satu sama lain adalah melalui suatu mekanisme yang disebut Quorum sensing (QS). Quorum sensing merupakan suatu proses yang memungkinkan bakteri dapat berkomunikasi dengan mensekresikan molekul sinyal sebagai ―bahasa‖ yang disebut autoinducer. Bakteri Gram positif memiliki autoinducer biasanya berupa oligopeptida termodifikasi sedangkan pada bakteri Gram negatif berupa N-acyl homoserine lactones (N-AHL). Sel bakteri memproduksi autoinducer secara terus-menerus
yang
akan berdifusi keluar
sel,
terakumulasi di sekitar sel, dan dapat dideteksi oleh bakteri lain di dekatnya. Setelah mencapai konsentrasi tertentu, autoinducer akan berdifusi kembali ke sel bakteri untuk meregulasi transkripsi gen tertentu seperti bioluminescence
15
(Nelson, 1977), swarming (Eberl et al., 1996), sporulasi, konjugasi, produksi enzim ekstraseluler, dan pembentukan biofilm (McLean et al., 1997). Mekanisme ini diperkirakan merupakan mekanisme bakteri patogen untuk meminimalisasi respon sistem kekebalan tubuh dengan cara menunda faktor virulensi yang dapat merusak jaringan inang sampai dicapai jumlah bakteri yang cukup untuk menimbulkan infeksi (Hentzer dan Givskov, 2003). Adanya senyawa anti-QS diharapkan komunikasi dan koordinasi antar bakteri akan terputus sehingga tidak tercapai komunitas yang cukup dari mikroba untuk mengekspresikan faktor virulensi. Oleh karena itu, mikroba dengan mudah akan eradikasi oleh sistem pertahanan tubuh. Pendekatan ini disebut
sebagai
antipatogenik
yang
diyakini
dapat
menurunkan
perkembangan mikroba resisten (Otto, 2004; Hentzer dan Givskov, 2003). Penelitian yang sedang dikembangkan terkait mekanisme QS adalah dengan menggunakan bakteri uji P. aeruginosa. Bakteri ini bersifat patogen bagi manusia dan bertanggung jawab terhadap infeksi oportunistik pada pasien kanker, AIDS, dan cystric fibrosis (Smith et al., 2004). Mekanisme quorum sensing pada P. aeruginosa antara lain ditunjukkan oleh pembentukan pigmen, motilitas, dan pembentukan biofilm. Pseudomonas aeruginosa menghasilkan pigmen warna pyoverdin dan pyocyanin yang terkait dengan aktivitas quorum sensing sehingga dapat dijadikan model untuk uji penghambatan quorum sensing.
16
Gambar 3. Sistem quorum sensing pada P. aeruginosa (Jiménez-Gómez, 2007)
Dasar dari patogenitas P. aeruginosa adalah kemampuannya untuk memproduksi dan mengeluarkan beberapa faktor virulensi ekstraseluler seperti protease, haemolysins, eksotoksin A, eksoenzim S, dan pyocyanin (Gambar 3). Faktor virulensi ekstraseluler ini secara kolektif mampu menyebabkan kerusakan jaringan yang luas pada manusia. Mekanisme QS tidak hanya produksi faktor virulensi, tetapi juga pembentukan biofilm di P. aeruginosa dan dengan demikian memberikan kontribusi signifikan terhadap patogenesis dan infeksi. Sistem QS di P. aeruginosa terdiri dari dua sistem yaitu Las dan Rhl. Sistem Las yang merupakan kependekan dari elastase yaitu suatu enzim pemotong, terdiri dari dua protein aktivator transkripsi yaitu LasR dan LasI yang secara langsung mengatur sintesis autoinducer PAI-1 (N-(3-oxododecanoyl)-L-homoserine lactone). PAI-1 ini mengatur ekspresi LasA (LasA protease), apr (alkaline protease), tox A (exotoxin A), LasI (PAI-1 syntease), dan LasB (elastase). Sistem Rhl yang merupakan kependekan dari rhamnosyltransferase yaitu suatu enzim yang memproduksi
17
rhamnolip, sistem ini terdiri dari protein aktivator transkripsi RhlR dan RhlI yang secara langsung mengatur sintesis autoinducer PAI-2 (N-butyoyl-1homoserine lactone) atau sering disingkat BHL. PAI-2 ini akan terikat pada RhlR yang selanjutnya kompleks ini akan mengaktivasi RhlI, RhlA dan RhlB, suatu operon pengkode rhamnosytransferase yang diperlukan pada produksi biosurfaktan rhamnolipid.
Senyawa
ini dapat
mengurangi tegangan
permukaan dan dengan demikian memungkinkan sel P. aeruginosa untuk menggerombol (swarm) pada permukaan semi padat. Sistem Las yaitu protein aktivator LasR dan PAI-1 ikut meregulasi ekspresi RhlR dengan mengaktivasi faktor transkripsi dari RhlR tersebut. Sistem RhlR dan RhlI fungsional selanjutnya diperlukan untuk menginduksi ekspresi faktor-faktor lain, termasuk protease alkali, pyocyanin, hidrogen sianida, lektin, dan elastase (Jiménez-Gómez, 2007). Saat melakukan respon biologi dan untuk mempertahankan aksinya tersebut, sering kali bakteri membentuk lapisan perlindungan dari pengaruh luar yang memungkinkan mengancam komunitasnya yang disebut biofilm. Pseudomonas aeruginosa juga menggunakan QS untuk mengontrol pembentukan biofilm (Costerton et al., 1999). Biofilm ini dapat melindungi organisme dari sistem pertahanan sel inang dan menyebabkan peningkatan resistensi terhadap antibiotik.
18
4.
Uraian Tentang Motilitas Bakteri Motilitas merupakan salah satu ciri penting pengkarakterisasian bakteri yang bergerak dengan dorongan flagela akan bergerak lebih aktif. Jika suatu sel tersebut motil, akan menciptakan jalur gerak yang tak beraturan (Anonim, 2010). Flagela merupakan struktur kompleks yang tersusun atas bermacammacam protein termasuk flagelin yang membuat flagela berbentuk seperti tabung cambuk pada dinding sel dan membran sel. Flagela digunakan bakteri sebagai alat gerak (Kaiser, 2004). Menurut Hastutik (2002) kebanyakan sel bakteri dapat bergerak dengan menggunakan flagel, akan tetapi ada bakteri yang tidak dapat bergerak karena tidak memiliki flagel. Hal ini senada dengan penyataan Tarigan (1988) yang menyatakan bahwa gerak bakteri terjadi pada bakteri yang mempunyai flagel, karena flagel ini merupakan alat gerak bagi sel bakteri. Flagel merupakan bulu cambuk yang dimiliki oleh beberapa jenis bakteri dan letaknya berbedabeda tergantung kepada spesiesnya. Menurut Grossman (1995) struktur bakteri yang berflagel itu kaku dan dilengkapi dengan gelendong yang berbentuk spiral. Gelendong spiral tersusun atas protein yang disebut dengan flagelin yang merupakan unit dasar penyusun flagela (Anonim, 2010). Sel bakteri dapat mengubah kecepatan dan arah rotasi flagela dan menyebabkan berbagai macam pola motilitas atau kemampuan organisme berpindah secara individual. Rotasi flagela ini tergantung oleh adanya energi (Tortora et al., 2010). Bakteri yang berpindah menuju satu arah sepanjang waktu disebut run atau swim. Beberapa spesies bakteri yang memiliki lebih
19
dari satu flagel dapat melakukan swarming, menunjukkan pergerakan cepat seperti ombak pada media kultur padat (Tortora et al., 2010). Pergerakan atau motilitas memungkinkan bakteri berpindah menuju lingkungan yang lebih kondusif bagi hidup mereka. Pergerakan ini disebabkan oleh adanya stimulus kimia (kemotaksis) atau cahaya (fototaksis). Sebagai respon dari stimulus, informasi akan dikirimkan ke flagel. Jika sinyal yang diterima positif, disebut juga atraktan, bakteri akan berpindah ke arah stimulus, sedangkan apabila sinyal yang diterima negatif, bakteri akan menjauh dari stimulus (Tortora et al., 2010). Pseudomonas aeruginosa merupakan bakteri Gram negatif yang memiliki satu flagela polar, dapat bergerak pada lingkungan berair maupun lingkungan yang memiliki kadar air rendah. Bakteri ini bergerak secara swimming menggunakan satu flagela polarnya. Swimming berlangsung pada kondisi media dengan kadar air tinggi dan bakteri bergerak secara individual sehingga membentuk pola mikromorfologi yang tidak terganisir (Rashid dan Kornberg, 2000). Selain itu, P. aeruginosa bergerak secara swarming oleh adanya hiperflagelasi (Köhler et al., 2000). Hiperflagelasi terjadi pada kondisi media dengan kadar air rendah sehingga memungkinkan bakteri bergerak dengan cara berkerumun atau terkoordinasi membentuk pola terorganisir dan lebih dikenal swarming (Rashid dan Kornberg, 2000). Saat kondisi media dengan konsistensi lebih padat, motilitas bakteri membentuk pola mikromorfologi yang kurang terorganisir daripada swarming (Rashid dan Kornberg, 2000). Motilitas ini disebut twitching yang pergerakannya
20
menggunakan fimbria seperti bulu getar atau pili tipe IV (Semmler et al., 1999). Pili diasosiasikan dengan biofilm karena memiliki fungsi perlekatan sehingga bakteri mampu membentuk koloni dan menginfeksi inangnya (Todar, 2012). Mekanisme
ketiga
pergerakkan
bakteri
di
atas
menunjukkan
ketidakterkaitan antara mekanisme satu dengan lainnya karena pola pergerakkan masing-masing berbeda dan patogenitas yang dihasilkan pun berbeda. Swimming dilakukan sel dengan bergerak secara individu sehingga memperlambat
koordinasi
sel
untuk
mencapai
quorum.
Swarming
digambarkan sebagai fenomena terkoordinasi dan cepat (O’Toole dan Kolter, 1998), serta mampu meningkatkan ekspresi virulensi (Hancock et al., 2007). Produksi rhamnolipid dari mekanisme quorum sensing merupakan salah satu faktor penentu motilitas swarming (O’Toole dan Kolter, 1998). Mekanisme pelekatan sel untuk bergerak secara twitching memungkinkan bakteri sedikit bergerak secara berkoloni sehingga pergerakkan muncul dengan tidak teratur. Motilitas bakteri sangat terlibat pada pembentukan biofilm yang prosesnya diatur oleh mekanisme quorum sensing (O’Toole dan Kolter, 1998). Pembentukan biofilm P. aeruginosa telah terbukti dapat meningkatkan resistensi terhadap antibiotik (Hoyle and Costerton, 1991). Penemuan senyawa yang dapat menghambat motilitas bakteri diharapkan dapat menjadi suatu terobosan dalam penemuan senyawa antipatogenik terutama bagi bakteri yang cepat mengalami resistensi terhadap antibiotik.
21
5.
Uraian Tentang Biofilm a.
Pengertian Biofilm Biofilm merupakan suatu lapisan yang dibentuk oleh komunitas mikroba sebagai bagian dari perlindungan terhadap pengaruh luar termasuk diantaranya antibiotik dan sistem pertahanan tubuh (Nield et al., 2003). Definisi lain menurut Dohlan (2002) bahwa biofilm adalah kumpulan mikroba dalam keadaan diam yang melekat ireversibel pada sebuah dasar atau kedua permukaan atau satu sama lain, yang memproduksi matrik polimer ekstraseluler, dan menunjukkan perubahan fenotip yang memberi pengaruh pada pertumbuhan dan transkripsi gen suatu mikroba. Substansi
polimerik
ekstraseluler
(extracellular
polymeric
substances, EPS) ini berupa struktur benang-benang bersilang satu sama lain yang dapat berupa perekat bagi biofilm. Biofilm terbentuk khususnya secara cepat dalam sistem yang mengalir dimana suplai nutrisi tersedia secara teratur bagi bakteri. Pertumbuhan bakteri secara ekstensif disertai
oleh
sejumlah
besar
substansi
polimerik
ekstraseluler,
menyebabkan pembentukan lapisan berlendir (biofilm) yang dapat dilihat dengan mata telanjang (Jamillah, 2003). b.
Struktur Biofilm Terdapat keberagaman struktur dan arsitektur biofilm. Hal ini dipengaruhi oleh kondisi fisik (jenis permukaan dan pH), kondisi lingkungan (suhu, kelembapan, dll.), nutrisi, dan status fisiologis
22
mikroorganisme (Jass et al., 2003). Tersedianya nutrisi pada media pertumbuhan akan mempercepat metabolisme sel dan memicu bakteri untuk membentuk biofilm. Biofilm terutama terdiri atas sel mikroba dan EPS. EPS merupakan 50-90% dari bahan organik total yang terdapat pada biofilm. Kandungan EPS dapat bervariasi baik secara fisik maupun kimiawi,
tetapi
kandungan
utama
EPS
yaitu
eksopolisakarida.
Eksopolisakarida dapat bersifat netral atau polyanionic, dalam kasus ini untuk EPS bakteri Gram negatif. Asam uronik (seperti D-glucoturonic, D-galacturonic, dan asam mannuroric) atau piruvat ketalis yang membentuk sifat anionik. Sifat anionik ini penting dalam penggabungan kation divalen seperti kalsium dan magnesium, yang berkaitan silang dengan rantai polimer dan memberikan kekuatan mengikat yang lebih besar pada perkembangan biofilm. Substansi lainnya yang terkandung dalam matriks meliputi DNA, RNA, protein dan enzim yang total berjumlah 2% (Arampatzi et al., 2011). EPS merupakan struktur yang sangat terhidrasi karena EPS dapat menyerap air dalam jumlah besar ke dalam strukturnya melalui ikatan hidrogen (Arampatzi et al., 2011). Komposisi EPS tidak hanya penting untuk perlekatan dan stabilisasi matriks, tetapi juga untuk membentuk heterogenitas dan meningkatkan ketersediaan nutrisi dalam biofilm (Jass et al., 2003). Produksi EPS dipengaruhi oleh status nutrisi dari medium tumbuhnya, jumlah karbon yang tinggi dan rendah nitrogen, rendah
23
potassium atau fosfat memicu terbentuknya EPS (Arampatzi et al., 2011). Organisme yang berbeda juga akan menghasilkan struktur biofilm yang berbeda. Ketebalan biofilm dapat dipengaruhi oleh jumlah komponen organisme di dalamnya. Kultur murni dari bakteri Klebsiella pneumonia saja atau P. aeruginosa saja akan menghasilkan biofilm yang lebih tipis dibandingkan biofilm yang dibentuk oleh kultur dari bakteri K. pneumonia dan P. aeruginosa. Hal ini dapat disebabkan dari kemampuan satu spesies meningkatkan stabilitas dari spesies yang lain (James et al., 1995). c.
Pembentukan Biofilm Secara sederhana, siklus hidup biofilm dapat dijelaskan sebagai berikut. Pertama, terjadi penyisipan dari bakteri planktonik pada suatu permukaan atau dari perpindahan atau pembelahan sel untuk menutupi suatu permukaan yang kosong. Selanjutnya, bakteri ini akan meproduksi kelompok senyawa polisakarida yaitu substansi polimerik ekstraseluler (EPS) untuk perlekatan sel pada permukaan. Selanjutnya, sel bakteri akan melakukan pembelahan (reproduksi) guna memperbanyak jumlah dan mempertebal kondisi biofilm. Tahap terakhir adalah beberapa bakteri akan melakukan pelepasan dan perpindahan untuk membentuk biofilm yang baru, sehingga semakin lama jumlah biofilm akan semakin banyak dan membesar (Anonim, 2008). Akhir-akhir
ini,
banyak
dilakukan
penelitian
mengenai
perkembangan biofilm secara molekular dan genetik terutama mengenai
24
pekembangan biofilm P. aeruginosa. Seperti biofilm yang dihasilkan oleh bakteri lain, sel bakteri P. aeruginosa berkembang di dalam EPS bersama biofilm dan bersifat resisten terhadap pengobatan antimikroba. Pola perkembangan biofilm bakteri P. aeruginosa melalui beberapa tahap, antara lain perlekatan awal pada suatu permukaan padat, pembentukan mikrokoloni pada permukaan, maturasi mikrokoloni menjadi biofilm yang terdiferensiasi dan perlepasan sel planktonik dari biofilm (Costerton et al., 1999). Beberapa strain P. aeruginosa memiliki kemampuan membentuk biofilm, hal ini disebabkan kemampuan P. aeruginosa strain tertentu dalam memproduksi lendir ekstraseluler yang kental dan disertai dengan perubahan fenotip (Kayser et al., 2005). Selain itu, P. aeruginosa dapat memproduksi alginat. Alginat ini memungkinkan bakteri untuk membentuk biofilm, yaitu kumpulan koloni sel-sel mikroba yang menempel pada suatu permukaan, misalnya kateter intravena atau jaringan paru. Alginat dapat melindungi bakteri dari pertahanan tubuh inang, seperti limfosit, fagosit, silia, di saluran pernafasan, antibodi, dan komplemen. Pseudomonas aeruginosa membentuk biofilm untuk membantu kelangsungan hidupnya saat membentuk koloni pada paruparu manusia (Mayasari, 2005).
25
Gambar 4. Pembentukan Biofilm pada P. aeruginosa (Kievit, 2009) Keterangan : Sel planktonik menempel ke permukaan padat (2) dan membentuk mikrokoloni (3). Saat kondisi yang mendukung migrasi bakteri (misalnya adanya suksinat, glutamat), sel-sel akan menyebar pada substratum dan membentuk lapisan (4). Suksinat dan glutamat merupakan nutrisi bagi sel untuk mendukung terbentuknya mikrokoloni. Saat kondisi adanya penghambat motilitas (misalnya glukosa), mikrokoloni akan berkembang biak membentuk lapisan struktur (4). Glukosa menurunkan produksi pili, sehingga akan mengganggu motilitas. Saat pematangan biofilm, sel dapat melepaskan diri dan melanjutkan modus planktonik untuk pertumbuhan (5). Dampak produksi rhamnolipid dari mekanisme QS dapat mempengaruhi pembentukan koloni (3), pemeliharaan dan pembentukan lapisan (4), dan mempertahankan dispersi dari biofilm (5). Selain itu, produksi polisakarida dan pelepasan DNA, yang keduanya penting bagi matriks EPS (3 dan 4), berada di bawah kendali QS (Kievit, 2009).
Pembentukan
biofilm
ini
dapat
menyebabkan peningkatan
resistensi terhadap antibiotik, proteksi terhadap fagositosis oleh protozoa, dan proteksi terhadap daya tahan imun tubuh. Bahan-bahan alamiah juga dipercaya dapat
menghambat pembentukan biofilm, antara lain
flavonoid, antrakuinon, kuinon, tanin, dan saponin (Anonim, 2008).
6.
Uraian Tentang Ekstraksi dan Fraksinasi Ekstraksi merupakan kegiatan penarikan kandungan kimia yang dapat larut dalam pelarut cair sehingga terpisah dengan bahan yang tidak dapat larut (Anonim, 2000). Pelarut akan menembus dinding sel dan masuk ke dalam
26
rongga sel yang mengandung zat aktif, sehingga zat aktif akan melarut. Ekstraksi merupakan tahap awal untuk melepaskan senyawa dari suatu sampel atau matriks sehingga diperoleh ekstrak kasar yang masih berisi campuran senyawa yang sangat kompleks (Channel, 1989). Tahap selanjutnya yaitu memisahkan senyawa target dari ekstrak kasar melalui fraksinasi dan purifikasi. Langkah ini bertujuan untuk memperoleh senyawa target yang mempunyai konsentrasi lebih tinggi hingga diperoleh senyawa murni (Salamah, 2009). Pemilihan cairan penyari harus mempertimbangkan banyak faktor. Cairan penyari yang baik harus memenuhi beberapa kriteria antara lain murah dan mudah diperoleh, stabil secara fisika dan kimia, bereaksi
netral,
selektif,
tidak
mempengaruhi
zat
berkhasiat
dan
diperbolehkan oleh peraturan. Salah satu metode ekstraksi adalah maserasi. Maserasi adalah metode ekstrasi dengan prinsip pencapaian kesetimbangan konsentrasi, menggunakan pelarut yang direndamkan pada simplisia dalam suhu kamar. Remaserasi adalalah penambahan pelarut ke dalam simplisia yang diekstrasi, maserat (hasil maserasi) pertama disaring, sisa simplisia (residu) diekstrasi dengan menambahkan pelarut yang baru dengan cara yang sama seperti di atas. Kekurangan metode ini, butuh waktu yang lama dan memerlukan pelarut dalam jumlah yang banyak (Anonim, 1986). Fraksinasi merupakan proses pemisahan fraksi yang terkandung dalam suatu ekstrak yang mempunyai karakteristik berbeda. Pemisahan fraksi tersebut dilakukan untuk memanfaatkan sifat-sifat yang terkandung dalam
27
fraksi, sehingga penggunaannya dapat diperluas. Saat proses fraksinasi biasanya dilakukan proses ekstraksi terlebih dahulu untuk menghasilkan ekstrak yang selanjutnya dipisahkan melalui proses fraksinasi (Brown, 1952). Larutan pengekstraksi yang digunakan disesuaikan dengan kepolaran senyawa yang diinginkan. Larutan pengekstraksi yang digunakan adalah: a.
n-heksan merupakan pelarut non polar yang mudah menguap, melarutkan senyawa-senyawa yang bersifat kurang polar pada selubung sel dan dinding sel seperti lemak-lemak, terpenoid, klorofil, dan steroid (Harbone, 1984);
b.
etil asetat merupakan pelarut semi polar dan dapat melarutkan senyawa semipolar pada dinding sel seperti aglikon flavonoid (Harbone, 1984);
c.
etanol,
memiliki sifat tidak berwarna, volatil, dan dapat bercampur
dengan air dan digunakan sebagai pelarut universal untuk melarutkan senyawa-senyawa yang baik bersifat polar, semipolar, maupun non polar. Etanol merupakan pelarut yang tidak menyebabkan pembengkakan membran sel dan memperbaiki stabilitas bahan obat terlarut. Keuntungan lainnya adalah etanol merupakan pelarut yang baik untuk senyawa organik (Harbone, 1984).
7.
Uraian Tentang Kromatografi Lapis Tipis (KLT) Kromatografi Lapis Tipis adalah suatu metode pemisahan fisikokimia. Metode pemisahan ini dapat dipakai untuk dua tujuan, yaitu sebagai metode untuk memperoleh hasil kualitatif, kuantitatif, atau preparatif dan untuk
28
menjajaki sistem fase gerak dan fase diam yang akan dipakai dalam kromatografi kolom atau kromatografi cair kinetika tinggi (Stahl, 1985). Lapisan yang memisahkan disebut juga fase diam atau penjerap, ditempatkan pada penyangga berupa pelat gelas, logam atau lapisan yang cocok. Fase diam yang umumnya dipakai adalah silika gel, alumunium oksida, kieselgur, selulosa dan turunannya, poliamid. Silika gel adalah fase diam yang paling banyak digunakan (Stahl, 1985). Campuran yang dipisahkan berupa larutan ditotolkan pada lapisan fase diam berupa bercak atau pita. Lapisan tidak boleh rusak selama penotolan larutan cuplikan. Untuk penotolan, digunakan pipa kapiler yang memiliki diameter lubang kecil sehingga cocok untuk penotolan. Larutan yang tidak mudah menguap atau yang volumenya besar, ditotolkan sedikit demi sedikit dan pelarut dibiarkan menguap sebelum penotolan berikutnya dilakukan (Stahl, 1985). Pemisahan senyawa dengan Kromatografi Lapis Tipis seperti senyawa organik alam dan senyawa organik sintetik dapat dilakukan dalam beberapa menit dengan alat yang harganya tidak terlalu mahal. Kelebihan KLT yang lain ialah pemakaian jumlah pelarut dan jumlah cuplikan yang sedikit. Kromatografi Lapis Tipis (KLT) merupakan salah satu metode pemisahan yang cukup sederhana yaitu dengan menggunakan plat kaca yang dilapisi silika gel dengan menggunakan pelarut tertentu (Gritter, 1991). Kromatografi lapis tipis digunakan pada pemisahan zat secara cepat dengan menggunakan zat penyerap berupa serbuk halus yang dilapiskan
29
secara merata pada lempeng kaca. Lempeng yang dilapis dapat dianggap sebagai kolom kromatografi terbuka dan pemisahan didasarkan penyerapan, pembagian, atau gabungannya, tergantung dari jenis zat penyerap dan cara pembuatan lapisan zat penyerap dan jenis pelarut. Karena itu, pada lempeng yang sama di samping kromatogram dari zat yang diperiksa perlu dibuat kromatogram dari zat pembanding kimia. Perkiraaan identifikasi diperoleh dengan pengamatan dua bercak dengan harga Rf yang kurang lebih sama dan warna serta ukuran yang sama. Ukuran dan intensitas bercak dapat digunakan untuk menentukan kadar (Soemarno, 2001). KLT yang dimaksudkan untuk uji kuantitatif salah satunya dengan meggunakan densitometer sebagai alat pelacak bila cara penotolannya dilakukan secara kuantitatif. Prinsip kerja dari densitometer adalah adanya pelacakan pada panjang gelombang maksimal yang telah ditetapkan sebelumnya. Scanning atau pelacakan densitometer ada dua metode yaitu dengan cara memanjang dan system zigzag. Secara umum lebih banyak digunakan metode zigzag karena pengukurannya lebih merata serta ketelitiannya lebih terjamin dibanding pengamatan secara lurus atau memanjang (Soemarno, 2001).
8.
Uraian Tentang Bioautografi Bioautografi merupakan metode spesifik untuk mendeteksi bercak pada kromatogram hasil KLT yang memiliki aktivitas sebagai antibakteri, antifungi, antibiotik, dan antiviral (Stahl, 1969). Metode ini cukup efektif
30
untuk mendeteksi senyawa antimikrobial yang tidak diketahui dalam suatu ekstrak. Bioautografi dapat dibedakan sebagai berikut. a.
Bioautografi Overlay Media Agar tanpa mikroorganisme dituangkan sebagai penyangga yang dilanjutkan dengan menempelkan plat KLT di permukaan agar tersebut dengan posisi menghadap atas. Media agar yang telah dicampur mikroorganisme dituang di atas plat KLT hingga padat lalu inkubasi pada 37oC selama 24 jam. Pengamatan dilakukan dengan mengamati di bawah UV366, adanya hambatan fluoresensi diindikasikan bahwa ada senyawa sebagai antimikroba.
b.
Bioautografi Kontak (Djide et al., 2005) Kromatogram yang telah dielusi dan terbebas dari campuran eluen ditempelkan pada media padat yang telah diinokulasikan bakteri uji. Setelah dibiarkan 30 menit, kromatogram dilepaskan dari permukaan media. Selanjutnya media diinkubasi selama 24 jam pada temperatur 37oC, daerah hambatan berupa noda jernih (Alam et al., 2003; Zweig dan Whitakker, 1971). Noda jernih dibandingkan dengan Rf hasil identifikasi senyawa kimia menggunakan sinar UV dan penampak bercak (Stahl, 1973).
31
E. Keterangan Empiris Penelitian ini diharapkan mampu memberikan informasi tentang senyawa aktif dalam fraksi air ekstrak etanolik tumbuhan sarang semut spesies H. formicarum yang mampu menghambat patogenitas bakteri P. aeruginosa yang mekanismenya dipengaruhi oleh QS serta dapat mengetahui golongan senyawa yang bertanggung jawab terhadap aktivitas tersebut.