Kontaminasi Patogen pada Sumber Air dan Upaya Penyisihan Patogen dalam Proses Produksi Air Bersih Sinta Setyaningrum* Jurusan Teknik Kimia, Fakultas Teknologi Industri, Institut Teknologi Bandung Jalan Ganesa No. 10, Bandung, Indonesia *Corresponding Author:
[email protected]
Abstrak Air merupakan komponen yang penting bagi kehidupan. Tidak semua manusia memiliki akses air yang layak untuk digunakan sehari-hari. Salah satu kontaminan air yang berbahaya adalah mikroorganisme patogen. Sumber patogen yang mengkontaminasi air mayoritas berasal dari pembuangan rumah tangga serta fecal manusia maupun hewan ternak. Setiap jenis patogen yang mengkontaminasi air dapat berpotensi menyebabkan penyakit dengan resiko tinggi. Sumber air yang perlu dikontrol agar bebas dari kontaminasi patogen adalah segala jenis sumber air yang dekat dengan kegiatan manusia, antara lain area pesisir, air tanah, sungai, dan danau. Kondisi cuaca yang ekstrem merupakan salah satu kondisi yang dapat mempengaruhi jumlah kontaminasi patogen di air. Dalam beberapa kasus, peristiwa banjir, hujan badai, kekeringan, dan kebakaran hutan selalu diikuti dengan wabah penyakit melalui tranmisi air. Untuk mengatasi kontaminasi patogen dalam air, berbagai upaya perlu dilakukan antara lain perbaikan manajemen sanitasi, edukasi masyarakat akan bahaya patogen dalam sumber air, serta peningkatan aplikasi teknologi dalam penghilangan patogen dalam air. Kata kunci : air bersih, patogen, sumber air, teknologi pengolahan air
1. Pendahuluan
Air merupakan komponen yang penting bagi kehidupan. Manusia, hewan, dan tumbuhan memerlukan air bersih bagi pertumbuhannya. Meskipun sebagian besar bumi terdiri dari air, namun akses air bersih yang dapat dimanfaatkan tidak lebih dari 3%. Pemanfaatan air tidak layak guna atau air berpolutan sebagai air minum maupun air mandi dapat menyebabkan penyakit bagi pengguna air tersebut. Polutan dalam air yang dapat membahayakan pengguna air adalah polutan logam berat serta polutan mikroorganisme patogen. Mikroorganisme patogen telah lama diketahui mencemari air. Patogen dalam air dalam banyak kasus telah menyebabkan pandemi penyakit melalui transmisi air (waterborne disease). Terbatasnya akses air bersih, sanitasi yang kurang baik, dan perilaku kebersihan yang buruk menjadi penyebab utama
terjadinya pandemi penyakit melalui tranmisi air tersebut. Tercatat hingga tahun 2012, sebanyak 88 juta anak di seluruh dunia meninggal akibat terjangkit penyakit diare, salah satu penyakit melalui transmisi air. Di Indonesia sendiri, data yang didapatkan melalui RIKESDAS menyatakan bahwa sekitar 27% kematian balita disebabkan oleh diare. (Unicef, 2012) Negara-negara berkembang di Asia dan Afrika merupakan daerah yang sangat jarang memiliki akses air bersih, sehingga sering kali terjadi pandemi penyakit yang masif. Dilansir melalui kantor berita VOA pada bulan Oktober, pada pertengahan tahun 2015 telah merebak kasus penyakit kolera di Afrika. Berdasarkan data dari 5 negara di Timur Tengah dan Afrika meliputi Kuwait, Irak, Bahrain, Republik Kongo, dan Tanzania, sebanyak 10.700 orang terjangkit kolera dan 170 orang diantara meninggal. Pada awal tahun 2015, peristiwa pandemi diare di salah
Sinta Setyaningrum, Kontaminasi Patogen dalam Sumber Air di Lingkungan serta Upaya Penanggulangan Pencemaran Patogen, 2015, 1-9.
satu area Nusa Tenggara Timur yaitu Kecamatan Noebaba ditetapkan sebagai kejadian luar biasa dengan jumlah 224 kasus. Penyakit diare akibat patogen dalam air juga tetap menjadi tantangan besar di negara-negara maju. Meskipun akses dan sitem distribusi air bersih telah sangat baik, kasus wabah penyakit melalui transmisi air kerap terjadi secara tidak terduga. Sebanyak 560.000 orang terjangkit penyakit melalui transmisi air dan 7,1 juta orang terinfeksi patogen air, menyebabkan 12.000 kematian tiap tahunnya di Amerika Serikat. (Medema et. al., 2003) Populasi manusia di dunia terus meningkat. Kebutuhan air bersih bagi kehidupan seharihari pun akan meningkat mengikuti laju kenaikan populasi. Gleick (2002) melaporkan jika upaya perbaikan akses air bersih bagi semua orang di dunia tidak dilakukan, maka pada tahun 2020 akan ada 135 juta orang meninggal akibat terjangkit penyakit melalui transmisi air. Melihat banyaknya jumlah manusia yang dapat menjadi korban dari wabah penyakit ini, maka pengembangan sistem sanitasi dan manajemen distribusi air bersih sangat penting untuk dilakukan. (Gleick, 2002) 2. Jenis Patogen Kontaminan Air Jenis bakteri patogen yang biasa mengkontaminasi sumber-sumber air adalah berasal dari fecal manusia dan hewan ternak. Patogen-patogen tersebut dapat menyebabkan wabah penyakit di area sumber air terkontaminasi. Beberapa jenis patogen yang banyak menyebabkan wabah penyakit antara lain : a. Kolera Kolera adalah salah satu penyakit yang diakibatkan oleh patogen dalam air. Penyakit kolera sering kali menjadi wabah pada area dengan sanitasi yang kurang baik. Pada negara-negara berkembang, wabah penyakit kolera tidak pernah terjadi kembali pada beberapa tahun terakhir. Hal ini dikarenakan sistem sanitasi yang terus berkembang dan semakin membaik. Di negara-negara berkembang, wabah kolera kerap terjadi dan
mengakibatkan (Pandey, 2014)
ratusan
orang
2
meninggal.
Penyakit kolera disebabkan oleh genus bakteri patogen Vibrio. Vibrio memiliki beberapa spesies yang mayoritas menyebabkan infeksi jaringan tubuh yang berbeda-beda. Bakteri Vibrio memiliki 2 tipe serogrup yang dikenal luas telah menyebabkan wabah kolera. Vibrio cholerae O1 merupakan serogrup pertama yang diketahui, kemudian serogrup Vibrio cholerae O139 mewabah di Bengal, India Selatan pada tahun 1992. Pada tahun 1994 wabah kolera oleh Vibrio O139 menyebar ke bagian dunia lainnya. Seiring berjalannya waktu, serogrup lain dari Vibrio muncul dan menjangkiti daerah Peru, Thailand, serta India. Serogrup Vibrio ini disebut dengan non-O1 dan non-O139. Vibrio non-O1 dan non-O139 tidak menyebabkan kolera, namun tetap menyebabkan sakit gastroenteritis. (Sharma et al., 2003) b. Demam Tipoid Demam tipoid merupakan sakit yang diakibatkan oleh infeksi bakteri patogen Salmonella. Salmonella adalah genus bakteri gram negatif dan menghasilkan beberapa endotoksin. Salmonella yang menginfeksi tubuh dapat menyebar secara cepat ke jaringan-jaringan di dalam tubuh. Oleh karena itu, demam tipoid jika tidak ditangani secara cepat akan dapat mengakibatkan kematian bagi penderita. Salmonella hanya memerlukan dosis infeksi yang rendah, yaitu kurang dari 1.000 sel. Salmonella enterica dan Salmonella typhimurium merupakan spesies dari salmonella yang paling banyak ditemukan menyebabkan wabah di seluruh dunia. Demam tipoid biasanya terjadi jika manusia mengkonsumsi makanan yang telah terkontaminasi Salmonella, yang berasal dari air yang tidak bersih. (Cabral, 2010) c. Patogen Escherichia coli Bakteri patogen Escherichia coli merupakan bakteri yang biasa ditemukan di saluran cerna dan sering kali mengkontaminasi saluran air pembuangan. E. coli menjadi salah satu indikator kontaminan standar di dalam
3
Sinta Setyaningrum, Kontaminasi Patogen dalam Sumber Air di Lingkungan serta Upaya Penanggulangan Pencemaran Patogen, 2015, 1-9.
Enterotoxigenic E. coli dapat menyebabkan gastorenteritis pada balita, mengakibatkan jutaan balita menderita dan atau meninggal. ETEC seringkali menjangkiti negara-negara berkembang. Enterohemorrhagic E.coli merupakan jenis E. coli yang diketahui telah banyak mengkontaminasi bahan mentah makanan. Serotipe ETEC ini dapat menyebabkan sakit perut bagian dalam, muntaber, adan sindrom hemolytic uremic. Enteroinvasive E. coli menyerupai bakteri shigella. EIEC memiliki kemampuan bermultifikasi di dalam usus besar, sehingga dapat menginfeksi saluran cerna hingga mengeluarkan darah. (Cabral, 2010) d. Nosocomial Penyakit nosocomial merupakan infeksi akibat bakteri opportunistic yang terjadi di rumah sakit. Nosocomial ini dapat menjangkiti pasien, pekerja rumah sakit, ataupun penjenguk pasien. Salah satu bakteri yang biasa menyebabkan terjadinya nosocomial adalah Pseudomonas aeruginosa. Bakteri P. aeruginosa ini berasosiasi dengan lingkungan lembab. Saat ini P. aeruginosa diketahui telah resisten terhadap berbagai macam antibiotik. Hal ini yang menjadikan infeksi P. aeruginosa berbahaya. P. aeruginosa sering kali menginfeksi saluran pernapasan. Laju kematian yang dapat disebabkan oleh P. aeruginosa mencapai 14% di seluruh dunia. (Costa et al., 2015) 3. Sumber Air dan Kontaminasi Patogen Sumber air terdiri dari beberapa macam. Meskipun tidak semua dapat dimanfaatkan sebagai akses air bersih untuk keperluan air minum, namun terdapat jenis sumber air yang dekat dengan manusia dan menjadi sumber air untuk pemanfaatan sekunder. Contoh dari pemanfaatan sekunder adalah air sebagai irigasi perkebunan atau kebutuhan air bagi peternakan, serta tempat rekreasi keluarga. Sumber air dengan manfaat sekunder ini
apabila terkontaminasi oleh patogen juga dapat memberikan resiko kesehatan pada lingkungan tersebut (Dorevitch et al., 2012). Pada Tabel 2 dijabarkan jenis patogen yang biasa mengkontaminasi sumber-sumber air yang dekat dengan kehidupan sehari-hari. Sumber air yang terdapat di lingkungan terbagi menjadi 4 area, yaitu pesisir dan estuari, air tanah, air sungai, serta air danau. Dari laporan US EPA tahun 2014 [Gambar 1] dinyatakan bahwa dengan kenaikan jumlah patogen yang mengkontaminasi sumber air di lingkungan akan menyebabkan meningkatnya kerusakan bagi lingkungan sumber air tersebut. Pada area pesisir dan estuari, pembuangan limbah rumah tangga merupakan sumber utama kontaminan patogen di area tersebut. Selain dari pembuangan limbah rumah tangga, sumber lain dari penyebaran patogen antara Jumlah kasus kerusakan
pemeriksaan segala jenis makanan dan minuman. Terdapat 3 jenis bakteri E. coli yang menjadi fokus penelitian di dunia, yaitu ETEC, EHEC, dan EIEC.
Patogen
Metal
Nutrien
Organik
Sedimen
Gambar 1 Penyebab Kerusakan Lingkungan di AS (Data U.S. EPA 2014)
lain pembuangan area perkebunan, aliran air sisa hujan dari perumahan, dan pembuangan limbah dari industri sekitar. Instalasi sistem septik yang kurang memadai juga berkontribusi dalam penyebaran patogen di lingkungan pesisir. Air di area pesisir dan estuaria yang telah terkontaminasi oleh patogen dapat menjadi bahaya karena sebagian besar area pesisir dimanfaatkan sebagai area rekreasi. (Pandey, 2014) Air tanah merupakan sumber utama untuk dimanfaatkan sebagai air minum. Kontaminasi patogen dalam air tanah akan memiliki resiko tinggi dalam kaitannya dengan kesehatan masyarakat. Beberapa penelitian melaporkan bahwa bakteri patogen Salmonella, E. coli, dan enterovirus relatif lebih stabil di dalam air tanah. Di AS sendiri telah terjadi sebanyak
Sinta Setyaningrum, Kontaminasi Patogen dalam Sumber Air di Lingkungan serta Upaya Penanggulangan Pencemaran Patogen, 2015, 1-9.
2.739 kasus penyakit akibat kontaminasi patogen dalam air tanah. Kontaminasi patogen dalam air tanah dapat dikurangi dengan dibantu oleh struktur tanah di areah tersebut. (Sorensen et al., 2015) Kerusakan lingkungan pada sungai utamanya disebabkan oleh kontaminasi patogen. US EPA pada tahun 2012 melaporkan bahwa besar kerusakan yang disebabkan oleh
4
kontaminasi patogen pada sungai adalah sebesar 53%. Sumber patogen yang mengkontaminasi sungai antara lain berasal dari lahan pertanian, buangan dari lahan peternakan, influx dari air tanah yang terkontaminasi, dan efluen dari pengolahan limbah cair. Jumlah patogen dalam aliran sungai dapat berubah seiring dengan adanya imput melalui curah air hujan. (Cho, 2010)
Tabel 1 Jenis patogen kontaminan di berbagai area sumber air (Pandey, 2014)
Sumber air Pesisir
Patogen Coliform fecal Bacteriophages Enterovirus
Sumber air Air Tanah
Estuari
Coliform Zooplankton Echovirus 1 Coxsackieviruses Vibrio spp. Clostridium perfringens Campylobacter
Sungai dan Danau
4. Aspek Cuaca Ekstrem Penyebaran Patogen
terhadap
Kondisi cuaca yang ekstrem selalu dihubungkan dengan kualitas air dan kasus wabah penyakit. Contoh kasus yang diakibatkan oleh peristiwa El Nino yang terjadi di Lautan Pasific mengakibatkan beberapa cuaca ekstrem di area-area yang terlewati oleh El Nino tersebut, antara lain badai tropis, kekeringan, kebakaran hutan, banjir, dan cuaca ekstrem lain. Melalui bukti lainnya terungkap bahwa, cuaca ekstrem yang disebabkan oleh El Nino dapat terjadi dua kali lipat lebih ekstrem akibat dari peristiwa efek rumah kaca (Cai, 2104). a. Hujan Deras dan Badai Dari 46 kasus dampak cuaca ekstrem terhadap kualitas air di Australia dan Amerika, curah
Patogen Salmonella Enterovirus Coliform Shigella Bacillus spp. Staphylococcus Enterococcus P. aeruginosa Chryptosporium oocysts Ciliates Salmonella Fecal bacteria Campylobacter jejuni Yersinia anterocolitica Serratia marcescens
hujan tinggi disertai badai merupakan jenis cuaca ekstrem yang sering kali terjadi dan memberikan dampak yang besar bagi fasilitas air. Curah hujan yang tinggi dapat menyebabkan saluran air meluap dan diikuti dengan penurunan kualitas air. Saat luapan air terjadi, konsentrasi patogen dalam air akan lebih besar pada permukaan aliran air. Peningkatan kontaminan ini berasal dari air saluran pembuangan. Pada banyak kasus, banjir yang disebabkan oleh curah hujan tinggi memiliki potensi besar dalam menghasilkan wabah penyakit gastroentritis di area terserbut (Khan, 2015). Kasus yang terjadi di Jakarta adalah ketika hujan dan banjir terjadi, kontaminasi patogen menyebar luas. Kontaminasi patogen juga diketahui telah terdeteksi pada air tanah, sehingga akibat suplai air bersih pun tidak luput dari kontaminasi patogen saat banjir terjadi
Sinta Setyaningrum, Kontaminasi Patogen dalam Sumber Air di Lingkungan serta Upaya Penanggulangan Pencemaran Patogen, 2015, 1-9.
(Phanuwan, 2006). Pada kasus lain yang dialami oleh Pakistan, banjir besar dapat merusak infrastruktur air bersih dan sanitasinya. (Baig, 2012) Pada kasus badai dan angin kencang, cuaca ekstrem ini dapat merusak fasilitas sistem air minum. Jika saluran air minum telah rusak, maka efek negatif terhadap kesehatan manusia akan meningkat pula. Pada tahun 2008, badai Hurricane di Amerika dilaporkan telah merusak aliran listrik serta merusak sistem yang mensuplai air bersih (Schmeltz, 2013). Pada tahun 2009 dilaporkan juga terjadi wabah kolera di Aila, India. Kontaminasi patogen fekal ke dalam suplai air minum merupakan alasan utama terjadinya wabah ini. (Batabyal, 2010 dan Paul, 2011) b. Panas Ekstrem Cuaca panas yang ekstrem diketahui dapat menyebabkan pertumbuhan yang masif dari alga dan cyanobacter toksik. Pada umumnya suhu lingkungan yang panas akan menurunkan jumlah patogen enterik yang bertahan hidup. Namun, beberapa jenis mikroorganisme patogen diketahui akan tumbuh lebih aktif pada suhu yang tinggi. Bakteri genus Vibrio yang menyebabkan penyakit kolera dan amuba jenis Nergleria fowleri penyebab utama penyakit meningoencephalitis merupakan 2 jenis mikroorganisme yang aktif berkembang di suhu tinggi. Sering kali, perkembangan yang sangat aktif dari amuba N. fowleri terinvasi oleh patogen Legionella spp. dan Mycobacterium spp. Kedua jenis patogen ini dapat berkembang baik di dalam tubuh N. fowleri, dan menjadikan tubuh N. fowleri sebagai inang. (Khan et al., 2015) c. Kebakaran Liar Dampak dari kebakaran liar terhadap penurunan kualitas air sangat jarang terjadi jika dibandingkan dengan dampak dari kejadian banjir. Saat kebakaran terjadi, mayoritas biomassa yang berasal dari hutan terbakar dan berubah bentuk menjadi abu. Abu yang memiliki substansi dasar berupa karbon, nitrogen, fosfor, and materi inorganik akan mudah terdistribusi ke area lain dengan media
5
transport angin dan air. Hal yang biasa terjadi adalah seketika kebakaran telah selesai terjadi, hujan turun dan melarutkan komponenkomponen dalam abu. Nutrien terlarut yang dikandung dalam abu akan meningkatkan konsentrasi nutrien di dalam aliran air permukaan dan mengakibatkan peningkatan pertumbuhan patogen dalam air tersebut. Di Australia diketahui bahwa kebakaran liar dapat meningkatkan konsentrasi nitrogen dan fosfor di lingkungan. (Khan et al., 2015) d. Strategi Mitigasi Untuk mencegah terjadinya dampak penurunan kualitas air dari beberapa kondisi cuasa ekstrem yang dapat terjadi, strategistrategi efektif yang dapat dilakukan antara lain (Khan et al., 2015) : - menyediakan sumber air bersih yang beragam - meningkatkan proses desinfeksi pada suplai air bersih - pra-filtrasi dari air permukaan yang akan digunakan sebagai air minum - penyediaan alat tes kualitas air perorangan - meningkatkan saran untuk memasak air terlebih dahulu sebelum dikonsumsi - mendirikan generator listrik cadangan yang terhubung dengan sistem pensuplai air - meningkatkan deteksi terhadap kejadian blooming alga atau cyanobacter sedini mungkin - meningkatkan kontrol terhadap partikulat yang masuk ke dalam aliran air permukaan. 5. Aplikasi Teknologi dalam Penghilangan Patogen Kontaminasi bakteri patogen di dalam makanan dan air minum menjadi potensi bahaya bagi kesehatan masyarakat. Mengingat bahaya yang ditimbulkan oleh patogen dalam air dapat mencapai tingkat kematian dan dapat bersifat mewabah, maka upaya pengendalian terhadap patogen dalam air perlu dilakukan. Upaya-upaya yang perlu dilakukan sehari-hari untuk mengatasi kontaminasi patogen antara lain :
Sinta Setyaningrum, Kontaminasi Patogen dalam Sumber Air di Lingkungan serta Upaya Penanggulangan Pencemaran Patogen, 2015, 1-9.
- meningkatkan perilaku kebersihan yang baik - mengenal jenis-jenis sumber air bersih yang layak untuk digunakan - meningkatkan aplikasi teknologi untuk menghilangkan patogen dari sumber air Dalam hal teknologi, untuk mengatasi permasalahan kontaminan patogen dalam air terdapat dua jenis proses penanggulangan yaitu proses penghilangan patogen dan proses inaktivasi patogen dalam air. Masing-masing dari proses tersebut terus berkembang dan memiliki penerapan yang berbeda di setiap negara. Pada artikel ini, dijelaskan mengenai mekanisme dasar dari setiap proses serta perkembangan teknologi saat ini. a. Proses Penghilangan Patogen Beberapa metode proses penghilangan patogen dalam air yang biasa dilakukan antara lain (LeChevallier, 2004) :
6
antara lain laju alir yang bervariasi, agen koagulan yang tidak sesuai, kurangnya monitoring dalam proses, pencampuran bahan kimia yang tidak sesuai, serta kurang sesuainya proses pemisahan lumpur. (USEPA, 1991) - Filtrasi Proses pemisahan kontaminan dalam produksi air bersih yang sangat berkembang adalah proses filtrasi. Proses filtrasi air telah diaplikasikan sejak lama. Proses filtrasi telah berevolusi dari filtrasi sederhana secara granular dan sand slow, hingga mencapai filtrasi membran secara reverse osmosis. Kemampuan setiap jenis filtrasi tergantung pada besar pori filter. Pada Gambar 2 diketahui setiap jenis filter dan jenis patogen kontaminan yang dapat dihambat.
- Koagulasi, Flokulasi, dan Sedimentasi Salah satu proses pengolahan air untuk menghasilkan air bersih adalah pemisahan materi koloid dalam air. Proses koagulasi, flokulasi, dan sedimentasi merupakan proses inisiasi dalam produksi air bersih yang biasa disebut proses klarifikasi. Koagulasi, flokulasi, dan sedimentasi dilakukan bersamaan dengan filtrasi bertingkat. Proses koagulasi menginisiasi pemisahan patogen dalam air dengan membentuk partikel kecil dengan bantuan agen koagulan. Proses flokulasi merupakan proses fisik untuk melakukan kontak antar partikel agar membentuk partikel yang lebih besar. Proses sedimentasi adalah proses pemisahan partikel solid dengan liquid. Partikel solid akan mengendap di dasar dengan gaya gravitasi. Dengan kondisi operasi yang optimum, proses klarifikasi ini dapat mereduksi jumlah patogen dalam air sebanyak 27-74% virus, 32-87% bakteri, dan 0-94% alga. Faktor yang dapat menyebabkan terjadinya proses klarifikasi yang kurang efisien
Gambar 2 Ukuran pori filter dan ukuran partikel mikroba (LeChevallier, 2004)
b. Proses Inaktivasi Patogen Patogen dalam air selain dapat dipisahkan langsung dari sumber air, dapat juga diinaktivasi sehingga patogen tersebut tidak dapat menginfeksi abiotik lingkungan. Proses inaktivasi patogen yang telah banyak dilakukan adalah dengan menggunakan desinfektan klorin, penggunaan Ozon, dan radiasi Ultraviolet. Beberapa faktor yang mempengaruhi tingkat efisiensi desinfeksi patogen dalam air, antara lain konsentrasi
Sinta Setyaningrum, Kontaminasi Patogen dalam Sumber Air di Lingkungan serta Upaya Penanggulangan Pencemaran Patogen, 2015, 1-9.
7
desinfektan, waktu kontak, temperatur, dan pH proses.
DNA sel mikroba rusak dan tidak dapat diperbaiki. (Jagger, 1967)
Klorin merupakan agen desinfektan yang paling banyak digunakan dalam proses pengolahan air karena tingkat efisiensi yang cukup tinggi dengan waktu kontak yang cukup singkat. Penggunaan klorin sebagai desinfektan menghasilkan produk samping berupa trihalometan dan komponen terhalogenisasi yang bersifat karsinogenik. Pada perkembangannya penggunaan klorin sebagai desinfektan sangat dihindari. (Ainsworth, 2004)
Aplikasi teknologi pengolahan air yang berkembang dan menjadi proses penghilangan patogen utama, diantaranya : Konstruksi Lahan Basah
Penggunaan ozon sebagai media desinfektan telah banyak digunakan di seluruh negara. Proses mekanisme ozon dalam menginaktivasi patogen adalah melalui reaksi nukleofilik dengan komponen di dalam sel mikroba. Secara umum, semua jenis mikroba mampu diinaktivasi oleh ozon, namun berbeda pada nilai faktor yang mempengaruhi, contohnya waktu kontak dan konsentrasi. (Langlais et. al., 1991)
Sistem pengolahan air dengan konstruksi lahan basah mulai berkembang pada tahu 1950 oleh peneliti German bernama Dr. Kathe Seidel. Sistem konstruksi lahan basah ini dilakukan untuk menggantikan sistem pengolahan air dengan penambahan desinfektan klorin. Klorin saat ini dihindari untuk digunakan karena penggunaan klorin diketahui akan menyebabkan resiko bagi kesehatan dan lingkungan. Pada awal penelitian, sistem pengolahan air degan konstruksi lahan basah hanya berfokus pada penurunan polutan organik dan anorganik. Namun, saat ini sistem konstruksi lahan basah telah diteliti agar juga dapat mereduksi jumlah kontaminan patogen. (Grazyck et. al., 2009)
Rentang panjang gelombang dari ultra violet adalah 40-400 nm. Dari rentang UV tersebut, spektrum UV yang dapat berperan sebagai penginaktivasi sel mikroba adalah rentang 200-310 nm, yaitu UV-B dan UV-C. Mekaninsme inaktivasi mikroba dengan radiasi UV adalah melalui penghambatan proses transkripsi dan replikasi pada asam nukleat, sehingga pada asam DNA sel mikroba terjadi pembentukan dimer timin. Desinfeksi iradiasi UV disarankan untuk menggunakan dosis yang tinggi untuk memastikan bahwa
Mekanisme reduksi patogen dengan menggunakan sistem konstruksi lahan basah adalah dengan bantuan jenis vegetasi yang dapat memperangkap patogen dan mematikan patogen akibat dari eksudat antimikroba yang dihasilkan oleh akar vegetasi, serta bantuan dari zooplankton yang hidup di dalam sistem lahan basah tersebut. Dalam sistem konstruksi lahan basah juga dipasang suatu filter media yang berfungsi untuk mencegah patogen protozoa mengalir bersama efluen. (Wu et. al., 2016)
Gambar 3 Ilustrasi rancangan konstruksi lahan basah (Wu et al., 2016)
Assymetric Ultra Low Pressure Membrane Filtration Salah satu aplikasi teknologi lain yang dapat mengatasi permasalahan kehadiran kontaminasi patogen dalam air adalah dengan menggunakan membran bertekanan rendah. Contoh membran bertekanan rendah antara lain ultrafiltrasi dan mikrofiltrasi. Melihat dari hasil terapan dari teknologi membran yang memuaskan, terutama pada membran ultrafiltrasi dan mikrofiltrasi membuat teknologi tersebut semakin diminati untuk dikembangkan. (Wenten, 2014) Penggunaan mikrofiltrasi dan ultrafiltrasi selalu diikuti dengan proses koagulasi dan flokulasi. Proses klorinasi juga biasanya ditambahkan untuk mendesinfeksi patogen dalam air. Pada tahun 1974, proses klorinasi terhadap air dapat meningkatkan karsinogenik karena hasil samping produk yang dihasilkan dari reaksi klorin dan air. Membran mikrofiltrasi dan ultrafiltrasi dikembangkan oleh Ali pada tahun 2007. Assymetric ultra low pressure membrane yang dikembangkan diproduksi dengan mengkombinasi material polyethersulfone dan N-methyl-2pirrolidinone. Hasil membran yang dibuat menggunakan kedua material tersebut menghasilkan performa rejeksi dan pemisahan yang sangat baik. Berdasarkan eksperimen yang dilakukan oleh Ali, membran AULP yang dikembangkan diyakini dapat memisahakan filtrat dari patogen mikroba dan virus. (Ali et al., 2007) Clay-Polymer Complexes Filtration Proses desinfeksi patogen dalam air terus berkembang hingga saat ini. Penggunaan klorin sebagai desinfektan telah dihindari akibat hasil reaksi yang dapat meningkatkan resiko kanker. Teknologi desinfeksi lain yang telah dikembangkan adalah filter dengan penambahan komposit polimer-clay. Komposit dibentuk dengan sorpsi polimer berdasar dari pati termodifikasi dan amonium eter menjadi bentonit bermineral clay dengan muatan negatif. Performa pengeliminasian bakteri dengan komposit ini sangat tergantung pada konformasi polikasi pada permukaan clay,
densitas muatan, dan rasio antara konsentrasi clay dan polimer pembentuk komposit. Efek antimikrobial dihasilkan dari sistem komposit melalui kation monomer yang diadsorbsi pada permukaan clay, menghasilkan potensial muatan positif pada permukaan. Komposit polimer-clay ini lebih toksik dibandingkan dengan polimer secara individual. Filtrasi air tercemar dengan menggunakan komposit polimer-clay dapat mengeliminasi patogen sebesar 100% dengan laju 3L. Sedangkan filter polimer dengan penambahan karbon aktif granular (GAC) sangat sulit untuk mengeliminasi patogen walaupun laju air hanya 0,5L. Komposit polimer-clay dapat menjadi aplikasi filtrasi yang sangat menjanjikan untuk menghilangkan patogen dari air terkontaminasi. (Undabeytia et al., 2014) Ozonisasi atau Irradiasi UV Aliran Pembuangan Saluran pembuangan air gabungan (combine sewer overflow) merupakan sumber air permukaan yang tergolong memiliki konsentrasi kontaminan patogen tinggi. Pada beberapa area saluran buang gabungan masih menjadi tempat rekreasi lokal bagi masyarakat sekitar. Kehadiran kontaminan patogen pada CSO yang dekat dengan area padat penduduk akan membahayakan tingkat kesehatan masyarakat area tersebut. Irradiasi UV merupakan sistem desinfeksi yang telah digunakan sejak tahun 1980-an. Sistem irradiasi UV tergolong sebagai proses desinfeksi yang efektif untuk diaplikasikan pada air limbah dibandingkan dengan menggunakan desinfeksi kimia, karena UV diketahui tidak menghasilkan produk toksik. Proses irradiasi UV pun hanya memakan waktu yang sangat singkat yaitu 5 hingga 30 detik. Ozone merupakan desinfektan kuat dengan reaksi yang cepat. Proses ozonisasi telah dikembangkan pada tahun 1886. Proses ozonisasi efektif dapat mematikan bakteri, virus, dan parasit. Dalam beberapa instalasi proses pengolahan, teknologi irradiasi UV dan ozonisasi digabungkan untuk mendapatkan efluen limbah air yang lebih bebas dari patogen. (Tondera et al., 2015)
Gambar 4 Rancangan alat irradiasi UV dan ozonisasi (Tondera et al., 2015)
6. Kesimpulan Kontaminasi patogen dalam air memberikan resiko bahaya kesehatan yang paling tinggi bagi konsumennya. Beberapa jenis kontaminasi bakteri patogen yang menyebabkan penyakit kronis antara lain Salmonella sp., Vibrio sp., E. coli, Nergleria fowleri, Campilobacter, dan bakteri lain yang bersifat bakteri oportunistik menyebabkan nosocomial disease. Potensi kontaminasi patogen dalam air ini dapat meningkatkan jumlah kematian manusia akibat terjangkitnya penyakit melalui transmisi air. Kontaminasi patogen dalam air juga merupakan penyebab utama dari kerusakan lingkungan. Patogen yang mencemari lingkungan dapat menginfeksi makhluk hidup yang tinggal dalam sumber air tersebut, yang kemudian ekosistem dalam lingkungan tersebut tidak lagi seimbang. Faktor cuaca ekstrem yang terjadi sehari-hari juga dapat meningkatkan jumlah kontaminasi dalam sumber air. Dalam hal ini,
cuaca ekstrem seringkali diikuti dengan kasus wabah penyakit melalui transmisi air. Teknik pengolahan air untuk menghilangkan patogen terdiri menjadi dua proses, yaitu proses menghilangkan patogen dan proses inaktivasi patogen. Pada proses penghilangan patogen, mekanisme dasar dari proses tersebut adalah memisahkan patogen dari sumber air sehingga output air bebas dari kontaminasi patogen. Sedangkan proses inaktivasi, patogen dibuat tidak dapat bermetabolisme menggunakan agen desinfektan atau radiasi UV. Dengan dasar proses penghilangan patogen tersebut, beberapa penelitian mengembangkan teknologi pengolahan air seperti konstruksi lahan basah, low pressure membrane filtration, Clay-Polymer Complexes Filtration, dan integrasi radiasi UV dan ozon.
Sinta Setyaningrum, Kontaminasi Patogen dalam Sumber Air di Lingkungan serta Upaya Penanggulangan Pencemaran Patogen, 2015, 1-9.
Daftar Pustaka Ali, N., Hassan, A. R., & Wong, L. Y. 2007. Development of novel asymmetric ultra low pressure membranes and a preliminary study for bacteria and pathogen removal applications, 206(May 2006), 474–484. Ainsworth R, ed (2004). Safe piped water: Managing microbial water quality in piped distribution systems.World Health Organization, Geneva. Baig, S.A., Xu, X., Khan, R. 2012. Microbial water quality risks to public health: potable water assessment for a flood-affected town in northern Pakistan. Rural Remote Health 12 (3). Cabral, J. P. S. 2010. Water Microbiology. Bacterial Pathogens and Water. International Journal of Environmental Research and Public Health, 7(10), 3657–3703. Cai, W.J., Borlace, S., Lengaigne, M., van Rensch, P., Collins, M., Vecchi, G., Timmermann, A., Santoso, A., McPhaden, M.J., Wu, L.X., England, M.H., Wang, G.J., Guilyardi, E., Jin, F.F. 2014. Increasing frequency of extreme El nino events due to greenhouse warming. Nat. Clim. Change 4 (2), 111-116. Costa, D., Bousseau, a., Thevenot, S., Dufour, X., Laland, C., Burucoa, C., & Castel, O. 2015. Nosocomial outbreak of Pseudomonas aeruginosa associated with a drinking water fountain. Journal of Hospital Infection, 91(3), 271–274. Dorevitch, S., Dworkin, M. S., Deflorio, S. A., Janda, W. M., Wuellner, J., & Hershow, R. C. 2012. Enteric pathogens in stool samples of Chicago-area water recreators with newonset gastrointestinal symptoms 5. WR, 46(16), 4961–4972. Gleick, P. H. 2002. Dirty Water : Estimated Deaths from Water-Related Diseases 2000-2020. Pacific Institute Research Report, 1-12. Graczyk, T. K., Lucy, F. E., Tamang, L., Mashinski, Y., Broaders, M. a., Connolly, M., & Cheng, H. W. a. 2009. Propagation of human enteropathogens in constructed horizontal wetlands used for tertiary wastewater treatment. Applied and Environmental Microbiology, 75(13), 4531– 4538. I.G. Wenten, P.T.P Aryanti, A.N. Hakim. 2014. Teknologi Membran dalam Pengolahan Air. Teknik Kimia Institut Teknologi Bandung. I.G. Wenten, P.T.P Aryanti, A.N. Hakim. 2014. Ultrafiltrasi dan Aplikasinya. Teknik Kimia Institut Teknologi Bandung.
10
Jagger JH. 1967. Introduction to Research in UV Photobiology. Englewood Cliffs, NJ, Prentice- Hall, Inc. Khan, S. J., Deere, D., Leusch, F. D. L., Humpage, A., Jenkins, M., & Cunliffe, D. 2015. Extreme weather events: Should drinking water quality management systems adapt to changing risk profiles? Water Research, 85, 124–136. Langlais B, Reckhow DA, Brink DR. 1991. Ozone in Water Treatment, Applications and Engineering. Chelsea, MI, Lewis Publishers, Inc. LeChevallier, M. W., & Au, K.-K. 2004. Water Treatment and Pathogen Control: Process efficiency in achieving safe drinking-water, 107. Liu G, Bakker GL, Li S, Vreeburg JH, Verberk JQ, Medema GJ, Liu WT, Van Dijk JC. 2014. Pyrosequencing reveals bacterial communities in unchlorinated drinking water distribution system: an integral study of bulk water, suspended solids, loose deposits, and pipe wall biofilm. Environ Sci Technol, 48:5467-5476. Palit, A., Batabyal, P. 2010. Toxigenic Vibrio cholerae from environmental sources associated with the cholera outbreak after ‘AILA’ cyclone inWest Bengal, India. Lett. Appl. Microbiol. 51 (2), 241-243. Paul, B.K., Rahman, M.K., Rakshit, B.C. 2011. Post-cyclone Sidr illness patterns in coastal Bangladesh: an empirical study. Nat. Hazards 56 (3), 841-852. Phanuwan, C., Takizawa, S., Oguma, K., Katayama, H., Yunika, A., Ohgaki, S. 2006. Monitoring of human enteric viruses and coliform bacteria in waters after ur- ban flood in Jakarta, Indonesia. Water Sci. Technol. 54 (3), 203-210. Purnell, S., Ebdon, J., Buck, A., Tupper, M., & Taylor, H. 2015. Bacteriophage removal in a full-scale membrane bioreactor (MBR) – Implications for wastewater reuse. Water Research, 73, 109–117. Sharma, S., Sachdeva, P., & Virdi, J. S. 2003. Emerging water-borne pathogens. Applied Microbiology and Biotechnology, 61(5-6), 424–428. Sorensen, J. P. R., Lapworth, D. J., Read, D. S., Nkhuwa, D. C. W., Bell, R. A., Chibesa, M., Pedley, S. 2015. Science of the Total Environment Tracing enteric pathogen contamination in sub-Saharan African groundwater. Science of the Total Environment, The, 538, 888–895.
Sinta Setyaningrum, Kontaminasi Patogen dalam Sumber Air di Lingkungan serta Upaya Penanggulangan Pencemaran Patogen, 2015, 1-9.
Tondera, K., Klaer, K., Gebhardt, J., Wingender, J., Koch, C., Horstkott, M., Pinnekamp, J. 2015. International Journal of Hygiene and Reducing pathogens in combined sewer overflows using ozonation or UV irradiation. International Journal of Hygiene and Environmental Health, 218(8), 731–741. Undabeytia, T., Posada, R., Nir, S., Galindo, I., Laiz, L., Saiz-jimenez, C., & Morillo, E. 2014. Removal of waterborne microorganisms by filtration using clay – polymer complexes. Journal of Hazardous Materials, 279, 190–196. Unicef. 2012. Air Bersih, Sanitasi & Kebersihan. Ringkasan Kajian, 1–6. U.S. Environmental Protection Agency (U.S. EPA). 2014a. Protocol for Developing Pathogen TMDLs. National Summary of Impaired Waters and TMDL Information. Washington, DC, http://iaspub.epa.gov/waters10/ attains_nation_cy.control?p_report_type=T Wu, S., Carvalho, P. N., Müller, J. A., Remony, V., & Dong, R. 2016. Science of the Total Environment Sanitation in constructed wetlands : A review on the removal of human pathogens and fecal indicators. Science of the Total Environment, The, 541, 8–22. Schmeltz, M.T., Gonzalez, S.K., Fuentes, L., Kwan, A., Ortega-Williams, A., Cowan, L.P. 2013. Lessons from hurricane sandy: a community response in Brooklyn, New York. J. Urban Health Bull. N. Y. Acad. Med. 90 (5), 799-809.
11