Kemauan Membayar dan Surplus Konsumen untuk Kemudahan Layanan Air Bersih pada Masyarakat Kembangbahu Menggunakan Contingent Valuation Method (Studi Kasus Dampak Kekeringan Pada Ketersediaan Air Bersih) Willingness to Pay and Consumer Surplus for Convenience of Clean Water Service in Kembangbahu Communities Using Contingent Valuation Method (Case Study of Dryness Impact on Clean Water Supply) Ridwan Marpaung
Pusat Litbang Sosial Ekonomi dan Lingkungan, Balitbang, Kementerian Pekerjaan Umum Jl. Patimura No. 20 Kebayoran Baru, Jakarta selatan 12110 Email:
[email protected] Tanggal diterima: 2 September 2013, Tanggal disetujui: 31 Oktober 2013 ABSTRACT Dryness occurred every year in Kembangbahu district brings impacts to water scarcity because Kembangbahu communities rely to rainfall to satisfy their water demand. To overcome this condition , they build some small lakes or reservoirs to attempt to collect rain water during dry season, but either way making water and also the water does not met health requirements. Therefore Kembangbahu societies need convenience clean water service. This study aims to analysis the Willingness to Pay and its consumers surplus for convinience of clean water service. Sample collected using simple random method of 49 respondents by interview and questioners. Analysis using Contingent Valuation Method (CVM) showed that, the predictor variabels like Bidding, and Income are influence significantly to Willingness to Pay for convinience of clean water service, with α=0,05, otherwise Education, Distance to Water Resource, Age, Water Consumption are not significantly influence to Willingness to Pay. By using regresion logistic to a household respondents showed that the mean Willingness to Pay is Rp.9.123 per jerigen (35 litre),and consumer surplus is Rp 7.123. Consumer surplus for all Kembangbahu communities with 2.617 population is Rp. 7.241.292. By known the variabels that influence to Willingness to Pay, and amount of consumer surplus, the expectation is that decision makers may improve for convinience of clean water service in Kembangbahu communities. Keywords: dryness, willingness to pay, consumer surplus, CVM, convinience of clean water service
ABSTRAK Kekeringan yang terjadi pada Kecamatan Kembangbahu setiap tahun memberikan dampak kelangkaan air bersih karena Masyarakat Kembangbahu mengandalkan air hujan untuk memenuhi permintan air. Untuk mengatasi hal ini, mereka membangun beberapa telaga atau embung dalam upaya mengumpulkan air hujan selama musim kering terjadi, namun baik cara pengambilan air dan juga air tersebut tidak memenuhi syaratsyarat kesehatan. Oleh karena itu, Masyarakat Kembangbahu sangat membutuhkan suatu kemudahan sistem pelayanan air bersih. Tujuan studi ini untuk menentukan besar kemauan membayar dan surplus konsumen untuk kemudahan layanan air bersih. Sample dikumpulkan menggunakan metode acak sederhana sebanyak 49 responden dengan melakukan interview dan kuesioner. Analisis menggunakan CVM menunjukkan bahwa harga penawaran bid, dan pendapatan berpengaruh secara signifikan terhadap kemauan membayar dengan
149
Jurnal Sosek Pekerjaan Umum, Vol.5 No.3, November 2013 hal 140-216
taraf α=0,05, sedangkan tingkat pendidikan, jarak ke sumber air, umur, dan besarnya konsumsi air tidak berpengaruh secara signifikan. Hasil analisis regresi logit menunjukkan bahwa kemauan membayar satu jirigen air (35 liter) adalah sebesar Rp.9.123), dan surplus konsumen untuk layanan kemudahan memperoleh air bersih sebesar Rp 7.123. Surplus konsumen total untuk masyarakat dengan populasi 2.617 kepala keluarga adalah sebesar Rp.7.241.292. Dengan diketahuinya variabel yang mempengaruhi kemauan membayar, dan surplus konsumen, diharapkan pengambil keputusan dapat meningkatkan pelayanan kemudahan memperoleh air bersih dengan mempertimbangkan membangun instalasi sistem pelayanan air bersih yang terjangkau masyarakat. Kata Kunci : kekeringan, keinginan membayar, surplus konsumen, CVM, kemudahan layanan air bersih
PENDAHULUAN Kecamatan Kembangbahu terdiri dari 18 desa dan terletak di Kabupaten Lamongan Provinsi Jawa Timur. Karena alasan geografis yang tidak menguntungkan dan adanya perubahan iklim, masyarakat Kecamatan Kembangbahu mengalami krisis air terutama pada saat terjadi musim kemarau. Berdasarkan studi (Fery & Adjie 2013), kekeringan pada Kecamatan Kembangbahu yang merupakan bagian dari Kabupaten Lamongan terjadi sepanjang tahun dan tingkat kekeringannya berfluktuasi baik secara geografis dan waktu. Studi ini juga mencatat bahwa sejak tahun 2006 sampai 2010 Standarize Precipitation Index (SPI) di Kabupaten Lamongan berkisar antara -0,4 yaitu tingkat kekeringan ringan, sampai dengan -2,0 dengan tingkat kekeringan sangat tinggi dan kecenderungan meningkat sepanjang tahun.
Sumber-sumber air pada Kecamatan Kembangbahu sangat terbatas, sehingga untuk memperoleh air pada musim kering, masyarakat Kembangbahu menampung air hujan dalam memenuhi kebutuhan air sehari-hari dan menjadikan air hujan sebagai sumber air utama. Masyarakat Kembangbahu membangun tempat– tempat penampungan air buatan seperti: telaga, embung, jublangan dan tandom-tandon air dari ukuran tandon yang kecil sampai telaga ukuran besar, yang dapat menampung air sebanyak 4.000 m3. Musim kemarau pada umunya terjadi pada bulan Mei hingga Oktober, dimana hujan turun sangat sedikit. Berdasarkan catatan (BPS Kembangbahu 2012) bulan Juli, Agustus hingga September adalah titik tertinggi terjadi kekeringan. Tercatat bahwa sejak tahun 2005 sampai tahun 2008, bulan Juli tidak turun hujan demikian juga dengan bulan Agustus. Hal ini menunjukkan adanya kecenderungan terjadi hal yang serupa dari tahunketahun yang mengindikasikan adanya pengaruh kekeringan. Krisis air terparah di alami oleh tiga desa yaitu Desa Kaliwates, Puter dan Pelang. Air
150
hujan dimanfaatkan penuh di tiga desa ini karena sumber-sumber air lainnya tidak ditemukan. Upaya untuk mendapatkan air sudah pernah dilakukan dengan cara pengeboran sumur hingga kedalaman mencapai 130 m di Desa Kaliwates dan bahkan di Desa Pelang kedalaman pengeboran sudah mencapai 160 meter, namun tidak terdapat air yang keluar dari pengeboran tersebut (Puslitbang Sosekling 2012).
Pada saat musim kemarau, berkurangnya persediaan air sangat dirasakan oleh penduduk di tiga desa tersebut. Tempat tampungan air seperti telaga yang airnya dimanfaatkan untuk kebutuhan hidup sehari-hari seperti: minum, masak dan untuk keperluan rumah tangga lainnya, menjadi kurang higienis karena diambil secara langsung oleh penduduk dengan cara masuk ke dalam telaga, sementara air telaga tidak mengalir. Cara seperti ini menyebabkan kebersihan air telaga tidak terjamin untuk dikonsumsi terbebas dari bibit penyakit. Upaya masyarakat untuk membersihkan air adalah dengan cara membiarkan air dalam ember atau tempayan selama satu hari agar kotoran yang terikut dapat diendapakan pada bagian bawah ember atau tempayan sementara air pada bagian atas untuk dikonsumsi. Cara ini juga tidak menjamin kebersihan air untuk bebas dari bibit penyakit. Demikian juga halnya dengan air embung yang digunakan oleh masyarakat untuk mandi. Masyarakat umumnya mandi dengan cara masuk dan mencelupkan diri kedalam embung dan membersihkan badan di embung tersebut. Warna air embung terlihat tidak jernih tetapi menjadi berubah kehijauan, yang menandakan air embung sudah mengalami kontaminasi. Krisis air bersih yang dialami penduduk desa ini menyebabkan timbulnya beberapa kasus penyakit diare, muntaber dan sakit kulit pertahun. Disamping kebersihan air yang tidak terjamin, masyarakat Kecamatan Kembangbahu, terutama di Desa Kaliwates, Pelang dan Puter, dalam
Kemauan Membayar dan Surplus Konsumen untuk Kemudahan Layanan Air Bersih pada Masyarakat Kembangbahu Menggunakan Contingent Valuation Method (Studi Kasus Dampak Kekeringan Pada Ketersediaan Air Bersih) Ridwan Marpaung memperoleh air tetap mengalami kesulitan karena pada musim kemarau tandon-tandon mereka mengalami kekeringan. Masyarakat mengambil air yang ada di telaga melalui dirijen dan ember yang dipikul dengan berjalan kaki, gerobak sepeda maupun motor. Jarak tempuh masyarakat untuk mengambil air ada yang dekat kurang dari 1 km dan beberapa cukup jauh hingga mencapai 15 km, sehingga memakan waktu, tenaga, dan biaya yang tidak sedikit.
Kesulitan memperoleh air bersih pada musim kemarau sangat dirasakan penduduk yang tinggal di Kecamatan Kembangbahu. Dampak yang timbul dari krisis air ini adalah kelangkaan air bersih, sehingga air tidak lagi diperoleh dengan gratis melainkan menjadi barang ekonomi dengan harga yang cukup mahal. Untuk mendapatkan air bersih, biasanya masyarakat di tiga desa tersebut membeli air dengan harga berkisar antara Rp.1.000 sampai Rp.3.000 per jerigen (35 liter). Untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari seperti minum, memasak, mandi, dan cuci rata-rata setiap keluarga memerlukan 3-6 jerigen air bersih, sehingga untuk satu keluarga perhari mengeluarkan uang rata-rata Rp.9.000, dan jika dihitung perbulan dapat mencapai Rp.270.000. Keadaan demikian memberatkan masyarakat Kembangbahu dengan tingkat penghasilan dominan berkisar antara Rp.500.000 sampai Rp.1.000.000 (Puslitbang Sosekling 2012). Adanya kekeringan yang menyebabkan terganggunya suplai air berdampak luas baik terhadap kesehatan, dan soial-ekonomi penduduk Kecamatan Kembangbahu. Untuk mengatasi masalah ini maka perlu suatu upaya membuat kemudahan layanan bersih yang dapat dimanfaatkan penduduk. Fasilitas untuk layanan air bersih perlu diupayakan oleh pihak pemerintah agar kebutuhan air baik dari segi kualitas maupun jumlah dapat terpenuhi sehingga kesehatan dan aktivitas sosial-ekonomi di Kecamatan Kembangbahu dapat berjalan seperti biasa. Agar upaya ini dapat terwujud diperlukan data dari masyarakat kecamatan Kembangbahu mengenai berapa besar penduduk dapat menghargai kemudahan layanan air bersih tersebut , yang dalam istilah formalnya disebut kemauan membayar (Willingness to Pay, WTP). Metode ini dipilih dengan alasan bahwa suatu kemudahan sistem layanan air bersih adalah suatu jasa layanan untuk memperoleh air yang tidak dapat ditentukan harga pasarnya. Metode ini sangat tergantung (kontijen) pada skenario pasar hipotetis yang dibangun, dimana masyarakat menawar harga sesuai dengan pasar hipotetis tersebut, beserta manfaat dari kemudahan memperoleh air bersih seperti yang diinginkan masyarakat Kembangbahu.
Permasalahannya adalah apakah air sudah menjadi barang ekonomi, yang tidak bebas dikonsumsi? Berapa harga layanan air bersih yang mau masyarakat bayar? Variabel-variabel apa saja yang mempengaruhi dan yang tidak berpengaruh pada kemauan membayar masyarakat untuk kemudahan layanan air bersih tersebut? jika dibandingkan dengan negara berkembang lain? Berapa besar nilai rata-rata kemauan membayar untuk kemudahan memperoleh air bersih dan berapa nilai totalnya untuk ke tiga desa tersebut?. Berapa besarnya keuntungan (surplus konsumen) atau manfaat perkeluarga penduduk Kembangbahu jika fasilitasi kemudahan layanan air bersih dibangun? Berapa besar keuntungan total yang diperoleh? Apakah juga di negara berkembang lain mengalami surplus yang sama? Hal apakah yang perlu dipertimbangkan dalam membangun sistem pelayanan air bersih untuk kemudahan memperoleh layanan air bersih Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui berapa besar potensi masyarakat Kembangbahu mampu membayar tarif air bersih bila kualitas layanan ditingkatkan, mengidentifikasi faktorfaktor pendorong yang mempengaruhi kemauan mambayar, dan besar manfaat yang diperoleh masyarakat Kembangbahu jika pembangunan sistem layanan air bersih terbangun. Hasil ini dapat dimanfaatkan oleh pihak yang bertanggungjawab dan mempunyai perhatian dalam penyediaan air bersih di Kecamatan Kembangbahu
KAJIAN PUSTAKA
Kekeringan adalah suatu periode waktu dimana selisih antara hujan yang sebenarnya terjadi dengan hujan rata-rata menggunakan skala waktu tertentu, dibagi dengan simpangan bakunya, menghasilkan nilai negatif secara terus- menerus sampai nilai positif terjadi lagi (Fery dan Adjie 2013). Kekeringan merupakan bencana lingkungan yang menyebabakan kelangkaan air. Air bersih adalah kebutuhan yang sangat vital bagi kehidupan manusia. Air mempunyai nilai ekonomi ketika penawaran (supply) air terbatas dibandingkan dengan permintaan (demand), sedangkan ketika air tersedia dalam jumlah suplai yang tidak terbatas, pada kondisi ini, air menjadi barang bebas (tidak mempunyai nilai ekonomi), (Frank and Michelsen 2002). Dalam sistem pasar, nilai ekonomi air ditentukan dengan harganya, layanan yang diterima untuk mendapatkan sejumlah air, dan sumbersumber pendukung yang digunakan untuk berbagai keperluan yang mana hasilnya mempunyai manfaat ekonomi. Sayang, untuk kemudahan layanan air bersih ini sulit dinilai harganya, karena harga pasarnya tidak tersedia atau disebut dengan barang
151
Jurnal Sosek Pekerjaan Umum, Vol.5 No.3, November 2013 hal 140-216
atau layanan non-market. Usaha untuk mengukur harga pasar barang dan jasa non-market seperti kemudahan layanan air bersih dapat diperkirakan dengan mengembangkan suatu pasar hipotetik, sehingga harga suatu kemudahan layanan air bersih akan mendekati harga pasarnya. Nilai layanan Barang dan jasa seperti ini didefinisikan sebagai pengukuran jumlah maksimum seseorang ingin mengorbankan barang dan jasa untuk memperoleh barang dan jasa tersebut (Fauzy 2010: 209), yang secara formal, konsep ini disebut dengan kemauan membayar (Willingness to Pay) seseorang terhadap barang dan jasa yang dihasilkan oleh sumber daya alam dan lingkungan (Fauzy 2010:209).
Untuk menentukan kemauan membayar atas barang dan jasa non-market ini dapat digunakan model kemauan membayar secara terungkap (State Preference) dan model kemauan membayar yang diperoleh langsung dari responden (Expressed Preference). Metode CVM adalah termasuk dalam model yang terakhir. Pendekatan Kemauan Membayar dengan menggunakan metode CVM mempunyai berbagai kelebihan. Salah satu kelebihan metode CVM ini dibandingkan metode yang lain adalah dapat mengestimasi manfaat suatu layanan barang dan jasa dalam konteks kebijakan misalnya kemudahan layanan air bersih melalui fasilitasi pembangunan sarana air bersih, baik penggunan langsung ataupun tidak langsung (Ratri 2008:17; Sylvia 2009:13).
Estimasi Kemauan membayar untuk suatu barang dan jasa non-market menggunakan metode CVM dengan model dicotomous adalah alternatif terbaik untuk menghindari bias (Fauzy 2010:223224). Selanjutnya kemauan membayar dapat diekpresikan dengan rumus berikut:
..................................(1)
Dimana WTP adalah kemauan membayar untuk barang atau jasa, a dan b adalah koefisien parameter yang didapat dari pendugaan dengan regresi, dan adalah variabel acak. Apabila variabel acak ini terdistribusi secara logistik maka peluang untuk menjawab “ya” = Pr(ya) adalah sebagai berikut :
.................................(2)
Dimana adalah fungsi linier dari variabel sosialekonomi yang menentukan jawaban “ya”. Atau tidak. Kemungkinan untuk menjawab “tidak” adalah 1-Pr(ya) sehingga persamaan menjadi :
152
...........(3)
Kalau diyatakan dengan perbandingan antara kemungkinan menyatakan “ya” dengan tidak disebur dengan istilah “odds”
...............................(4)
Persamaan 4 disebut persmaan mengandung variabel dicotomous artinya variabel dependen terdiri dari dua macam kategori, dimana regresi logistik tidak dapat secara langsung memodelkan variabel respon atau variabel dependen dengan variabel independen atau variabel penjelas, tetapi melalui suatu transformasi variabel dependen ke dalam bentuk logit atau logaritma natural (Sylvia 2008:31-32). Dengan mengambil bilangan logaritma natural persamaan (4) menjadi :
................(5)
....(6)
Jika persamaan 5 ditransformasikan kedalam bentuk logit maka formulasi persamaan regresi menjadi:
......(7)
Dimana adalah konstanta, 1 2 dan k adalah masing-masing koefisien terkait variabel sosioekonomi (Fauzy 2010: 43) yaitu, 1, 2 dan k dan 1 adalah galat atau kesalahan. Variabel sosio-ekonomi , dan dapat menyangkut umur, tingkat pendidikan, pendapatan (income), jumlah tanggungjawab keluarga, jarak kelokasi, dan konsumsi. Untuk menentukan nilai mean WTP secara pendekatan dapat diambil rumus berikut (Cameron 1992; Hanemann 1989, dalam Gamini 2004).
....................(8)
.......................(9)
Dengan mengalikan wtp dengan jumlah populasi akan didapat kemauan membayar total adalah :
Kemauan Membayar dan Surplus Konsumen untuk Kemudahan Layanan Air Bersih pada Masyarakat Kembangbahu Menggunakan Contingent Valuation Method (Studi Kasus Dampak Kekeringan Pada Ketersediaan Air Bersih) Ridwan Marpaung Manfaat ekonomi juga disebut surplus ekonomi yaitu, selisih antara manfaat kotor (gross benefit) dan biaya yang dikeluarkan oleh masyarakat untuk memperoleh atau mengekstraksi sumber daya dan lingkungan. Dalam beberapa penggunaan praktis, surplus konsumen adalah selisih kemauan membayar (Willingness to Pay) untuk suatu barang dan jasa dengan yang dibayar secara aktual (Fauzy 2010). Surplus konsumen diukur sebagai jumlah maksimum harga yang akan dibayar orang-orang untuk suatu barang dan jasa, dikurangi dengan jumlah yang mereka benar-benar bayar (Djajadiningrat et al 2008). Konsumen akan mendapatkan surplus jika preferensi harga yang diperkirakannya lebih tinggi dari harga keseimbangan pasar atau harga yang terjadi di pasar (Iskandar 2007). Besarnya manfaat yang diterima pengguna untuk suatu konsumsi barang atau jasa dapat ditentukan dengan rumus berikut:
....................(10)
Persamaan diatas tidak lain adalah luas dibawah kurva permintaan misalkan x adalah komoditas misalnya layanan air bersih dan p (x) adalah permintaan pada barang x dan U(x) adalah fungsi kesejahteraan sosial atau manfaat yang diukur dalam uang. Jika dimisalkan biaya yang digunakan untuk memproduksi adalah C(x), maka surplus konsumen adalah:
......................(11)
Persamaan 10 dapat artikan sebagai jumlah maksimum harga yang akan dibayar oleh oleh konsumen untuk suatu komoditas misalnya kemudahan layanan air bersih dikurangi dengan jumlah harga air bersih yang benar–benar konsumen bayar, atau atau selisih antara preferensi harga (harga pilihan) yang diperkirakan dengan harga pasar. Persamaan 10 dapat digambar dalam gambar 1 berikut: Harga (Rp)
C(x) A
P 1 P2
E
U(x)
Q1
Q2
Jumlah
komuditas Gambar 1. Surplus Konsumen
Kurva diatas menggambarkan jika terjadi harga keseimbangan di pasar P2, dan banyaknya barang yang dibeli oleh konsumen sebesar Q2, sedangkan konsumen mampu mampu membeli dengan harga P1, maka surplus konsumen mendapat selisih harga sebesar (P2-P1), sehingga surplus konsumen adalah CS=U(x)-C(x) = luas (OP1AEQ2)-luas (OP2EQ2) atau luas bagian yang diarsir (P1AEP2).
Telah banyak tulisan untuk menilai barang atau jasa non-market ini , khususnya untuk air bersih, baik untuk pertanian maupun rumah tangga. Misalnya untuk menentukan nilai ekonomi air taman Nasional Gunung Gede-Pangrango dengan metode kontingensi, mendapatkan nilai manfaat ekonomi air sebesar Rp.280 juta per hektar per tahun dengan biaya yang sangat rendah sehingga surplus ekonomi dari pemanfaatan air tersebut adalah 98% dari nilai manfaatnya (Darusman 1999). Selanjutnya, (Ogujiuba et al 2013) dengan menerapkan metode CVM dalam mengestimasi kemauan membayar untuk layanan air pada wilayah Nsukka di bagian tenggara negara Nigeria yang kekurangan air bersih, menemukan bahwa kemauan membayar adalah tergantung pada tingkat pendidikan, pekerjaan kepala keluarga, besar tarif yang dikenakan oleh vendor air, pengeluaran untuk membeli air, dan pendapatan rata-rata per kepala keluarga.
Studi kemauan membayar lainnya untuk air minum keluarga di wilayah Larestan negara Iran yang menderita kekurangan air, dimana sebelumnya mereka membangun kolam untuk memperoleh air yang tidak terjamin kebersihannya. Dari hasil studi evaluasi layanan sambungan air ledeng untuk keluarga dengan menggunakan metode CVM, hasilnya masyarakat mau membayar rata-rata 2,362 RLS =0,24$ lebih dari yang dikutif sekarang. Variabel yang mempengaruhi kemauan membayar adalah pendapatan tingkat konsumsi air minum, jarak ketempat pengambilan, tingkat melek huruf, dan tingkat kesulitan perbekalan (Meibodi et al 2011). Studi kemauan membayar untuk peningkatan layanan air domestik di negara bagian Selangor Malaysia dengan menggunakan metode CVM menunjukkan bahwa kemauan membayar responden untuk air minum lebih tinggi dibandingkan dengan tarif yang ada sekarang. Kemauan membayar ini disebabkan adanya perbaikan mutu, mengurangi frekuensi terputusnya suplai air dan menambah kepercayaan konsumen pada manajemen kantor pemerintah (Yakob et al 2011). Pada literatur yang tertera diatas umumnya masyarakat mau membayar lebih dari apa yang mereka bayar sekarang atau yang akan
153
Jurnal Sosek Pekerjaan Umum, Vol.5 No.3, November 2013 hal 140-216
diterapkan. Ini menandakan perbaikan layanan air membuat surplus konsumen, yang artinya masyarakat mendapat manfaat ekonomi. Kemauan membayar masyarakat sangat tergantung pada besarnya bid penawaran dan variabel endogenous atau sosial-ekonomi terutama pada pendapatan keluarga (household income). Namun demikian, untuk masyarakat diberbagai negara dengan tingkat pendapatan yang berbeda dan kondisi sosial-ekonomi yang berbeda tentu faktor-faktor pendorong yang signifikan yang mempengaruhi kemauaan mambayar juga berbeda. Demikan juga, manfaat ekonomi walaupun telah dinyatakan tetapi belum dihitung seberapa besar manfaat atau surplus konsumen tersebut. Oleh karena itu, penelitian ini disamping untuk memperkirakan kemauan membayar untuk layanan air bersih dan juga menentukan surplus konsumen dalam memperoleh air bersih.
METODE PENELITIAN
Penelitian ini dilakukan pada Kecamatan Kembang Bahu, Kabupaten Lamongan Provinsi Jawa Timur. Studi ini dilakukan pada tiga desa yaitu Desa Kaliwates, Pelang dan Puter yang paling tinggi mengalami kekeringan sepanjang tahun pada musim kemarau. Waktu Penelitian ini dilakukan pada tahun 2012 yang dimulai pada bulai Februari 2012 sampai Oktober 2012. Survei pengambilan data primer dilakukan pada bulan Mei tahun 2012 di tiga desa yaitu Desa Kaliwates, Pelang dan Puter. Pengumpulan data dilakukan dengan kuesioner dan wawancara mendalam. Responden dipilih secara acak sederhana dengan dibantu oleh kepala desa. Hal ini dilakukan mengingat kepala desa adalah orang yang paling mengetahui nama-nama kepala keluarga di desanya yang memenuhi kriteria contoh. Populasi adalah semua rumah tangga yang mengalami krisis air bersih di musim kering, tinggal menetap dan sudah lama mengalami serta merasakan kesulitan-kesulitan dalam pemenuhan kebutuhan air bersih. Responden yang terkumpul sebanyak 49 orang. Sebanyak 10 orang responden tidak dapat hadir karena berbagai alasan. Namun jumlah responden lebih dari jumlah minimal. Wibisono Yusuf 2009:332) menjelaskan paling sedikit jumlah contoh >30 buah agar kriteria distribusi normal terpenuhi dengan asumsi ragam diketahui. Besarnya kemauan membayar untuk peningkatan kualitas air ini lebih tepat menggunakan metode CVM karena adanya penambahan manfaat kualitas yang ada dari yang diperoleh masyarakat sekarang (Portney 1994; Hanemann 1994 dalam Meibodi et al. 2011). Besarnya kemauan membayar
154
masyarakat untuk layanan air bersih bersih pada tulisan ini digunakan metode Contingent Valuation Method (CVM) dengan model parametrik dicotomous. Model parametrik dikotomous terkait dengan rasio kemungkinan penduduk menyatakan ya atau tidak dengan suatu harga untuk kemdahan layanan air bersih yang ditawarkan. Data kemauan membayar (Willingness to Pay) diperoleh melalui wawancara, dan pengisian kuesioner. Metode closed ended digunakan untuk mengambil data kemauan membayar. Metode closed ended dengan model dicotomous adalah metode yang paling tepat untuk menghindari bias. Pada metode ini dibangun pasar hipotetis dimana ditawarkan “kemudahan layanan air bersih”. Pada 49 responden diberi 4 nilai bid yang berbeda. Setiap 12 orang respoden mengisi masing masing satu nilai WTP yang ditawarkan melaui wawancara. Nilai WTP tersebut masing-masing adalah Rp.2.500,00; Rp.5.000,00; Rp.7.500,00; dan Rp.10.000,00 untuk 35 liter air atau 1 dirijen. Ukuran satu dirijen adalah ukuran yang biasa digunakan oleh penduduk setempat untuk membeli air. Keputusan untuk membayar atau tidak ditentukan oleh nilai bid dan variabel sosio-ekonomi. Berikut ini adalah tahapan menerapkan metode CVM dalam menentukan kemauan membayar untuk layanan air bersih sampai perhitungan manfaat ekonomi atau surplus konsumen untuk layanan tersebut.
1. Membuat instrumen survei melalui skenario pasar hipotetik yaitu kemudahan layanan air bersih .
Tahap ini dilakukan dengan mengajukan pertanyaan kepada responden sebagai berikut “apakah anda bersedia membayar lebih untuk mendapatkan air bersih lebih mudah?, jawaban disediakan “ya” atau “tidak”. Kemudian dilanjutkan dengan pertanyaan berikut “berapakah anda bersedia membayar agar mudah mendapatkan air Rp/galon atau Rp./ liter atau Rp jirigen. Cara untuk menanyakan kesediaan membayar sebagai berikut: responden ditawarkan 4 nilai bid masing-masing Rp. 2.500, Rp.5.000, Rp.7.500 dan Rp.10.000. Pengajuan penawaran ini diajukan dimulai dari nilai terendah sampai dengan nilai tertinggi yang mau mereka bayar persatuan volume air seperti: jerigen, galon atau liter. Rincian skenario untuk kemudahan memperoleh air bersih dengan menciptakan latar belakang atau alasan sehingga menimbulkan kemauan membayar. Skenario ini lebih detail dijelasakan kepada responden dengan menyebutkan adanya pasokan air langsung kerumah penduduk
Kemauan Membayar dan Surplus Konsumen untuk Kemudahan Layanan Air Bersih pada Masyarakat Kembangbahu Menggunakan Contingent Valuation Method (Studi Kasus Dampak Kekeringan Pada Ketersediaan Air Bersih) Ridwan Marpaung dengan memakai pipa saluran langsung dari sumber air bersih, atau dengan mengantarkan langsung kerumah penduduk, melalui kenderaan tangki pengangkut air jika sumber letaknya cukup jauh . Dengan demikian, responden dapat menikmati air bersih yang selama ini sulit di peroleh terutama dimusim kemarau.
2. Melakukan survei lapangan
Pengambilan sample dilakukan dengan acak sederhana melalui bantuan kepala desa, kemudian dikumpulkan di kantor kepala desa dan dilakukan wawancara serta pengisian kuesioner. Wawancara dilakukan secara terstruktur dengan panduan yang telah ditetapkan sebelumnya. Kuesiner bersifat tertutup untuk variabel sosial- ekoomi dengan memilih pilihan yang telah disediakan.
3. Analisis respon kemauan membayar
Analisis ini dilakukan dengan melakukan regresi logit antara odds variabel dependen atau variabel respon yaitu nilai perbandingan kemungkinan mau membayar dengan tidak mau membayar setiap kepala keluarga terhadap variabel bebas BID, INC, EDU, AGE, DIST, TANG dan CONSUM. Tabel 1 berikut adalah deskripsi variabel tersebut.
4. Melakukan pengujian kurva regresi
Uji Wald digunakan untuk uji koefisien variabel penjelas sosio-ekonomi secara parsial, apakah berpengaruh secara signifikan dengan taraf nyata α tertentu misalnya α=0,05 atu α=0.1 terhadap variabel respon yaitu kemungkinan mau membayar. Jika nilai sig atau P-value <α, hal ini berarti variabel yang diuji adalah berpengaruh nyata terhadap variabel respon odds, artinya variabel sosio-ekonomi berpengaruh terhadap kemungkinan mau membayar. Jika nilai sig
atau p-value> α maka variabel sosial-ekonomi tidak berpengaruh secara nyata terhadap kemungkinan mau membayar dengan tingkat kesalahan lebih dari α. Nilai Uji Wald dapat ditulis dalam rumus berikut :
.........................(12)
.........................(13)
Dimana B adalah penduga dan SE adalah penduga kesalahan baku.Dalam program appliasi SPSS, nilai uji Wald dapat dilihat dalam tabel Variabel in Equation. Selanjutnya dilakukan uji Satistik G menggunakan rasio kemungkinan maksimum (Likehood Ratio) untuk menguji peran variabel sosio-ekonomi secara serentak terhadap kemungkinan mau membayar yang ditulis dalam persamaan berikut :
Dimana lo adalah rasio maksimum (Likehood Ratio) tanpa variabel sosio-ekonomi, li dengan variabel sosio-ekonomi. Dalam program aplikasi SPSS ini dinyatakan dengan nilai Chi-Square yaitu perbandingan kemungkinan maksimum (Likelikehood Ratio) dapat dilihat dalam tabel Omnibus Test of Model Coeficient. Uji koefisien determinasi R2 digunakan untuk besarnya kontribusi variabel sosio-ekonomi terhadap kemungkinan mau membayar. Jika nilai ini lebih dari 15% penggunaan metode CVM adalah dapat dipercaya (reliable) (Sylvia 2009:41). Dalam program applikasi SPSS, hal ini dapat dilihat dari tabel Model Summary
Tabel 1. Variabel untuk menentukan keinginan membayar
Variabel YA
Deskripsi Jawaban yang diberikan responden untuk nilai Bid yang ditawarkan, “ya”=1 dan “tidak’=0
BID
Adalah variabel dari nilai penawaran tertinggi dari suatu layanan kemudahan untuk memperoleh air bersih
INC
Nilai pendapatan perbulan perkepala keluarga
EDU
Tingkat pendidikan yang misalnya SD, SMP, SMA, dan S1
AGE DIST CONS
Umur Responden Jarak rumah ke sumber air bersih Kebutuhan air bersih rata-rata dalam satu keluarga per hari
Satuan
rupiah rupiah tahun tahun Km Liter/rumah tangga/hari
155
Jurnal Sosek Pekerjaan Umum, Vol.5 No.3, November 2013 hal 140-216
5. Menghitung kemauan membayar rata-rata (mean WTP)
Menghitung nilai rata-rata WTP dengan cara memasukkan nilai rata-rata variabel sosioekonomi yang berpengaruh signifikan terhadap kemauan membayar
6. Menghitung surplus konsumen.
Surplus konsumen dihitung dengan mengurangkan nilai Kemauan membayar (WTP) dengan nilai yang sebenarnya dibayar oleh masyarakat sekarang, sedangkan surplus total didapat dengan mengalikan antara surplus konsumen per rumah tangga dikalikan dengan jumlah rumah tangga yang terdapat dalam populasi.
HASIL DAN PEMBAHASAN
Gambaran Umum Wilayah Studi Secara geografis letak Kecamatan Kembangahu diutara berbatasan dengan Kecamatan Sukodadi, di sebelah timur berbatasan dengan Kecamatan Tikung dan di sebelah barat berbatasan dengan Kecamatan Mantub. Luas Kecamatan Kembangbahu adalah 63,8 Km2 yang terdiri terdiri dari 18 desa. Tercatat desa dengan kondisi kekeringan terparah adalah sebanyak 3 buah yaitu: Desa Kaliwates, Pelang dan Puter. Ketiga desa ini tidak memiliki sumber air, penduduk desa ini hanya memanfaatkan air hujan untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari. Berikut adalah gambar peta Kecamatan Kembangbahu.
Gambar 2. Kecamatan Kembangbahu
156
Letak Kecamatan Kembangbahu secara geografis kurang menguntungkan karena tidak mempunyai air tanah yang cukup. Penggalian pernah dilakukan sampai kedalaman 130 m, namun tidak mendapatkan air. krisis air terutama pada saat musim kemarau. Sumber-sumber air pada Kecamatan Kembangbahu sangat terbatas, sehingga untuk memperoleh air, masyarakat Kembangbahu menampung air hujan sebagai sumber air utama. Mereka membangun tampungan air seperti telaga, embung dan jublangan serta tandon-tandon untuk menyimpan air. Musim kemarau pada umumnya terjadi pada bulan Mei hingga Oktober, dimana hujan turun sangat sedikit. Berdasarkan catatan (Kecamatan Kembangbahu dalam Angka 2012) bulan Juli, Agustus hingga September adalah titik tertinggi terjadi kekeringan. Tercatat bahwa sejak tahun 2005 sampai tahun 2008, bulan Juli tidak turun hujan samasekali demikian juga dengan bulan Agustus yang menunjukkan kecenderungan yang sama yang membuktikan adanya pengaruh perubahan ilkim sudah terjadi dan mengganggu keberlanjutan persediaan air. Sosial-Ekonomi Responden
Responden masyarakat Kembangbahu adalah kepala keluarga yang berasal dari tiga desa yaitu Desa Kaliwates, Puter dan Pelang yang berjumlah 49 orang. Berdasarkan hasil survei yang dilakukan terhadap 49 responden diketahui bahwa umur responden berkisar antara 28 sampai 65 tahun, dengan rata-rata 46,67 tahun. Menurut BPS usia produktif berkisar antara 15-65 tahun, jadi seluruh responden termasuk pada usia produktif. Tabel 2 berikut menjelaskan karakteristik sosial ekonomi responden masyarakat Kembanngbahu. Tingkat pendidikan responden terendah adalah lulus SD dan tertinggi adalah tingkat sarjana. Tingkat pendidikan terbanyak adalah lulus SD (42,9%) disusul lulus SMA (28,6%). Di tinjau dari tingkat pendidikan, responden termasuk mempunyai tingkat pendidikan yang didominasi tingkat pendidikan SD. Mata pencaharian responden terbesar adalah di sektor pertanian yaitu sebesar 61,22% , disusul bidang wiraswasta sebesar 14,29 % . Tingkat pendapatan terkecil adalah Rp 150.000 dan yang terbesar adalah Rp.3.000.000, dengan tingkat rata-rata pendapatan Rp 806.818. Kelompok tingkat pendapatan < Rp.500.000 adalah sebanyak (22,45%) dan antara Rp.500.001 sampai dengan Rp.1.000.000 adalah kelompok terbanyak yaitu sebesar 51,02%. Berdasarkan kriteria Bank Dunia, tingkat pendapatan kurang dari 2$/hari adalah golongan masyarakat miskin Dari tabel diatas terlihat bahwa lebih dari 1/3 responden masih tergolong miskin, dimana pendapatan perhari kurang dari $2
Kemauan Membayar dan Surplus Konsumen untuk Kemudahan Layanan Air Bersih pada Masyarakat Kembangbahu Menggunakan Contingent Valuation Method (Studi Kasus Dampak Kekeringan Pada Ketersediaan Air Bersih) Ridwan Marpaung Tabel 2. Karakteristik sosial-ekonomi responden masyarakat Kembangbahu Karakteristik Umur (tahun) 21- 25 26 – 30 31 – 35 36 – 40 41- 45 46 – 50 51-55 56-60 61-65 Pendidikan SD SMP SMA S1 Pendapan (Rupiah) <500.000 500.001 – 1000.000 100.0001 – 1.500.000 1.500.001 – 2.000.000 2.000.001-2.500.000 2.500.001-3.000.000 Jenis Pekerjaan Petani Perangakat Desa PNS Guru Wiraswasta Swasta Tanggungan Keluarga Orang 1-3 4–6 7-9 Jarak Kelokasi Sumber Air (km) 0,1 - 3,0 3,1 – 6,0 6,1 – 9,0 9,1 – 12,0 12,1 – 15,0 Penyakit Yang diderita Diare Muntaber Flu Sakit Kulit Tipus Batuk Panas Lain-lain Kebutuhan Air liter/hari 1 – 200 201 – 400 401 – 600 601 – 800 801 – 1000
Jumlah
Minimum
Maksimum
Persentase
0 3 6 7 8 8 3 9 5
28
65
0 6,12% 12,24% 14,29% 16,33% 16,33% 6,12% 18,37 10,00%
21 11 14 3
SD
S1
42,9% 22,4% 28,6% 6,1%
11 25 9 2 0 2
150.000
3.000.000
22,45% 51.02% 18,37% 4,10% 0% 4,10%
Rata-Rata 46,67
806.818
30 4 1 1 7 6
61,22% 8,16% 2,04% 2,04% 14,29% 12,24%
24 20 5
48,98% 40,82% 10,20%
3,83
91,84% 4,26% 0,00% 0,00% 6,38%
2,33
45 2 0 0 3
0,01 km
20 5 38 20 8 65 91 65 21 13 1 8 1
15,0 km
6,41% 1,6% 12,18% 6,41% 2,58% 20,88% 29,17% 20,51% 42,9% 26,5% 2,0% 16,3% 2,0%
266,98
Sumber diolah dari hasil survei tahun 2012
(Rp19,600/hari) atau Rp.588.000/bulan. Dari segi kesehatan, tabel 2 diatas menunjukkan responden tergolong rentan dengan penyakit yang terkait dengan kekurangan air bersih. Penyakit yang umum diderita masyarakat karena kekurangan air bersih ini mencakup diare, muntaber dan penyakit kulit (gatal-gatal) dan tipus dengan persen total adalah 17%.
Untuk memperoleh air dari sumber air seperti telaga, embung dan jublangan. responden menempuh jarak dari yang paling dekat sekitar hanya 10 meter dan terjauh adalah 15 km, namun yang terbanyak adalah kurang dari 3,0 km (91,49%) dengan ratarata jarak tempuh 2,33 km. Satu keluarga yang umunya mempunyai tanggungan anak 3 orang adalah 266,98 liter/hari atau 7,63 jiregen/hari
157
Jurnal Sosek Pekerjaan Umum, Vol.5 No.3, November 2013 hal 140-216
Gambar 3. Penggunaan pikul (kiri), Sepeda (tengah) dan motor (kanan)
Gambar 4. Penduduk masuk ketelaga untuk mengambil air
Gambar 5. Jublangan (kiri) dan Masyarakat mandi di Embung ((kanan)
untuk keperluan minum, masak, mandi dan cuci. Gambar 3 adalah gambar penduduk mengambil air dari telaga untuk kebutuhan sehari-hari.
Kemauan Membayar untuk Kemudahan Layanan Air Bersih
Sumber air telaga airnya lebih jernih dibandingkan dengan air embung dan jublangan. Air telaga digunakan oleh penduduk untuk keperluan minum, masak dan tidak boleh digunakan untuk mandi dan cuci. Namun untuk mengambil air telaga, penduduk tidak menimba air dari telaga melainkan dengan cara masuk ke dalam telaga untuk menyadap langsung dengan wadah jiregen atau ember yang mereka bawa. Cara demikian tidak menjamin bahwa air telaga tidak terkontaminasi dengan kuman penyakit, disamping itu air telaga tidak mengalir. Gambar 4 adalah gambar telaga dan cara masyarakat mengambil air dari telaga. Sumber air lainnya yang digunakan penduduk adalah embung dan jublangan. Embung digunakan untuk mandi, untuk minum hewan dan untuk tanaman. Penduduk mandi di embung dengan cara masuk langsung ke air, dengan kondisi air yang warna kehijauan akan membawa dampak pada penyakit kulit. Gambar 5 adalah gambar penduduk sedang mandi di embung dan gambar julangan.
Berdasarkan data hasil survei pada 49 responden dan dengan menerapkan analisis regresi logit, maka diperoleh persamaan penduga regresi logit yang mengkaitkan “odds” yaitu perbandingan kemungkinan mau membayar “ya” dengan “tidak” sebagai variabel dependen dan nilai bid serta variabel sosial-ekonomi sebagai variabel independen, maka dilakukan pengujian hasil Analisis dengan menggunakan program Apllikasi SPSS tabel 3. Hasil uji Wald menunjukkan nilai
=3.365 dan sig = 0,067< α = 0,10 menandakan konstanta dari model regresi adalah signifikan pada taraf nyata α =0.1 atau (10%). Selanjutnya uji koefisien regresi variabel sosial-ekonomi lainnya tertera dalam tabel 4.
Hasil tabel 4 menunjukan bahwa nilai sig < 0,05 (5%) adalah variabel nilai Bid (BID), Variabel Income (INC), sedangkan variabel lainnya seperti Jarak ke Sumber Air Bersih (DIST), variabel Umur (AGE), Pendidikan (EDU), Tingkat Konsumsi Air
Tabel. 3 Variabels in the Equation Step 0
158
Constant
B .544
S.E. .296
Wald 3.365
Df 1
Sig. .067
Exp(B) 1.722
Kemauan Membayar dan Surplus Konsumen untuk Kemudahan Layanan Air Bersih pada Masyarakat Kembangbahu Menggunakan Contingent Valuation Method (Studi Kasus Dampak Kekeringan Pada Ketersediaan Air Bersih) Ridwan Marpaung Tabel.4 Variabels in the Equation
a. Variabel(s) entered on step 1: BID, INC, DIST, AGE, EDU, COMS. *signifikan pada α = 0,05; **signifikan pada α = 0,1
Tabel 5. Omnibus Tests of Model Coefficients
Step 1
Step
Chi-square 23.764
df 6
Sig. .001
Block
23.764
6
.001
Model
23.764
6
.001
Tabel6. Model Summary Step
-2 Log likelihood 40.674a
1
Cox & Snell R
Nagelkerke R
Square
Square .384
.525
Tabel 7. Variabels in the Equation Regresion for Modified Regresion Step 1a
BID
B -.000275
S.E. .000
Wald 4.481
df 1
Sig. .034
Exp(B) 1.000
INC
.000003
.000
7.649
1
.006
1.000
Constant
.092201
1.080
.007
1
.932
1.097
a. Variabel(s) entered on step 1: BID, INC.
(COMNS) tidak berpengaruh nyata pada taraf 5%. Berbeda dengan di daerah Nsukka Nigeria, kemauan membayar untuk layanan air bersih tergantung tidak hanya tergantung pada income, harga air tetapi juga tergantung pada tingkat pendidikan., sedangak untuk di daerah larestan Iran selain income adalah juga jarak ke sumber air. Setelah uji Wald, selanjutnya dilakukan uji statistik G dengan nilai chi-squre ditunjukkan dalam tabel 5.
Tabel 5 menunjukkan Nilai Chi-square goodnessof-fit test sebesar 23.764 dengan derajat kebebasan 6 dan nilai sig = 0,01 <0,05 yang menandakan bahwa variabel nilai bid (BID), Income (INC), Jarak ke Sumber Air (DIST), Umur (AGE), Tingkat Pendidikan (EDU), dan Konsumsi Air (COMS) secara serempak berpengaruh terhadap kemungkinan mau membayar. Setelah uji Wald, uji statistik G, kemudian dilakukan uji koefisien determinasi. Uji koefisien determinasi dapat di tunjukkan dalam tabel 6.
Tabel 6 menunjukkan nilai statistik -2 Log likehood = 40,674. Dan nilai R 2 >0,15. Hal ini
menunjukkan kemungkinan kemauan membayar membayar dapat dijelaskan dengan variabel penjelas diatas (variabel sosio-ekonomi) . Mengingat dari hasil uji Wald diatas, maka variabel yang berpengaruh signifikan dengan taraf
Ln
pr = Ln(odds) = 0.092 − 0,000275BID + 0.000003INC (1 − p r )
nyata α =5% menunjukkan variabel income adalah variabel yang berpengaruh secara signifikan dalam model regresi diatas, olehkarena itu perbaikan model perlu dilakukan dengan melibatkan varibel yang berpengaruh signifikan dengan taraf α = 5 % untuk mendapatkan persamaan regresi modifikasi. Hasil modifikasi persamaan regresi adalah tabel 7 dan rumus berikut.
0.092 0.000003 wtp = x806.818 = Rp9.136 /Jirigen + 0.000275 0.0000275 (35 liter)
159
Jurnal Sosek Pekerjaan Umum, Vol.5 No.3, November 2013 hal 140-216
Persamaan diatas menunjukkan semakin besar income, maka akan semakin besar rasio kemungkinan mau membayar dengan tidak mau membayar, sebaliknya semakin besar nilai bid maka rasio kemungkinan mau membayar dengan tidak akan semakin kecil. Besarnya WTP rata-rata adalah
Besarnya harga air per satu Jerigen yang dibeli penduduk sekarang untuk kecamatan Kembangbahu adalah berkisar antara Rp 1.000 sampai Rp.3.000 dengan nilai rata-rata Rp 2.000. Tabel 8. Perhitungan Total WTP Wtp ratarata (Rp)
Nama Desa
9.136 9.136 9.136
Kaliwates Puter Pelang
Jumlah Populasi (KK) 506
Jumlah Sample (KK) 19
Populasi yang mewakili 1.014,76
1.099
15
801,12
1.012
15
801,12
2.617
49
Jumlah Total WTP (Rp)
9.270.803 6.466.901 6.466.901 22.204.604
Surplus konsumen per keluarga menjadi Rp 7.136. Dengan diketahuinya surplus konsumen per keluarga maka dapat ditentukan surplus total konsumen pada Desa Kaliwates, Puter dan Pelang di Kecamatan Kembangbahu. Besarnya Populasi di di tiga desa tersebut adalah sebagai berikut :
Berdasarkan tabel 8 diatas, maka besarnya WTP total penduduk di tiga Desa Kaliwates, Puter dan Pelang adalah Rp. 22.204.604 /hari (dua puluh satu juta seratus duapuluh lima ribu duaratus sembilan belas rupiah). Harga rata-rata untuk membeli air bersih masyarakat Kembangbahu pada saat sekarang adalah Rp. 2.000, maka besarnya biaya total yang dibayar aktual adalah Rp.14.963.312. Surplus konsumen total masyarakat adalah selisih kemauan membayar total dengan biaya aktual yang dikeluarkan yaitu sebesar Rp. 7.241.292 per hari/jirigen. Dari hasil ini terlihat bahwa masyarakat Kembanbahu, masyarakat di Nsukka Negeria, Larestan India dan juga di Negara bagian Selangor Malaysia mendapat surplus konsumen untuk kemudahan memperoleh air. Hal ini menunjukkan air adalah sangat berharga bagi masyarakat untuk daerah yang mengalami kekeringan dan perlu mendapat perhatian khusus untuk penanganannya. Adanya surplus konsumen ini menandakan bahwa masyarakat Kembangbahu akan memperoleh manfaat sebesar Rp 7.241.292 /hari/jirigen jika instalasi untuk kemudahan memperoleh air bersih dapat dibangun. Namun tidak demikian dengan pihak PDAM, berdasarkan hasil wawancara dengan kepala Desa Kaliwates , biaya investasi pembangunan instalasi air minum yang baru masih cukup mahal
160
dibandingkan dengan hasil yang dicapai hal ini disebabkan masih sedikit jumlah penduduk Kaliwates, Pelang dan Puter yang memanfaatkan jaringan pipa air bersih dibandingkan dengan desa-desa lain disekitarnya. Oleh karena itu untuk Desa Kaliwates, Pelang dan Puter adalah perioritas berikutnya. Harga air bersih yang ada sekarang Rp.2000 perjerigen jauh dibawah nilai WTP yaitu Rp.9.136 rupiah, namun masyarakat tetap memilih kemudahan memperoleh air dengan nilai yang lebih mahal dari harga pasar. Beberapa hal yang menjadi penyebab masyarakat memilih yang lebih mahal karena air yang dijual dipasar tidak selalu tersedia dalam jumlah yang cukup dan kontinu. Alasan lain adalah masyarakat Kecamatan Kembangbahu mengeluarkan biaya transportasi dan tenaga untuk mengambil air dari telaga, atau embung yang tidak terjamin kebersihannya dan dapat menyebabkan timbulnya penyakit. Disisi lain dapat dilihat bahwa biaya kebutuhan air per kepala keluarga mencapai Rp 1.200.000 yang melebihi rata-rata pendapatan perbulan yaitu sebesar Rp 806.000 hal ini tidak masuk akal, namun masyarakat Kecamatan Kembangbahu menempuh jalan penghematan air yaitu dengan menggunakan air seperlunya seperti untuk minum dan masak saja, disamping itu mereka juga menampung air hujan sebagai sumber air bersih. Melihat adanya surplus konsumen diatas, maka sudah saatnya pengambil kebijakan untuk membangun suatu sistem jaringan layanan penyediaan air bersih bagi masyarakat Kembangbahu dengan mempertimbangkan kemampuan masyarakat tersebut.
KESIMPULAN
1. Adanya kekeringan membawa dampak krisis air bersih pada masyarakat kembangbahu pada musim kemarau yang menjadikan air tidak lagi menjadi barang bebas, tetapi menjadi barang ekonomi dengan nilai tinggi.
2. Kemauan membayar untuk layanan kemudahan memperoleh layanan air bersih tergantung pada variabel - variabel nilai penawaran (bid) dan tingkat pendapatan (income), sedangkan jarak, umur, pendidikan dan konsumsi air tidak berpengaruh secara signifikan. Berbeda dengan dibeberapa negara seperti di daerah Nsukka Negeria, bahwa disamping income, pendidikan, pekerjaan dan tarif juga berpengaruh pada kemudahan memperoleh air bersih, sedangkan di daerah Larestan Iran, disamping income, tingkat konsumsi air, jarak, dan penyediaan perbekalan. Pada ketiga lokasi diatas, variabel income berpengaruh positif secara signifikan terhadap kemauan mambayar. Dengan menaikkan income
Kemauan Membayar dan Surplus Konsumen untuk Kemudahan Layanan Air Bersih pada Masyarakat Kembangbahu Menggunakan Contingent Valuation Method (Studi Kasus Dampak Kekeringan Pada Ketersediaan Air Bersih) Ridwan Marpaung penduduk maka kemauan membayar dapat semakin besar kemudahan layanan memperoleh air bersih bertambah dan pada gilirannya akan meningkatkan kesehatan masyarakat.
3. Nilai rata-rata kemauan membayar untuk kemudahan layanan air bersih per jerigen (35 liter)/keluarga adalah sebesar Rp. 9.136, dan total nilainya untuk ketiga desa yang mengalami kekurangan air adalah Rp. 22.204.264, sedangakan harga air di pasar adalah sebesar Rp 2.000 hal ini menunjukkan manfaat yang diperoleh oleh masyarakat cukup signifian yaitu sampai 3,5 kali dari harga pasar. 4. Pembangunan sistem layanan air bersih dapat meningkatkan surplus konsumen atau manfaat sebesarar adalah Rp. 7.136, perjeriken dan surplus total atau manfaat total untuk tiga desa pada masyarakat Kecamatan Kembangbahu adalah Rp.7.241.292. Manfaat yang diperoleh dari kemudahan memperoleh air juga di alami oleh penduduk di Okksuka Nigeria, Larestan Iran dan Selangor Malaysia. Hal ini menandakan perlunya pembangunan fasiltas pelayanan air bersih bagi masyarakat di daerah yang mengalami kekeringan diatas. 5. Dalam pembangunan fasilitas sistem pelayanan air bersih disamping manfaat yang diperoleh oleh masyarakat pengguna perlu mempertimbangkan biaya pembangunannya yang disesuaikan dengan kemampuan masyarakat pengguna tersebut.
DAFTAR PUSTAKA
Anonim, 2011. Kecamatan Kembangbahu dalam Angka 2012. [Badan Pusat Statistik]. 2012 Kecamatan Kembangbahu dalam Angka Djajaningrat, S.T. et. al. 2011. Ekonomi Hijau, Rekayasa Sains. Bandung. Darusman, D. 1993. Nilai Ekonomi Air untuk Pertanian dan Rumah Tangga Studi Kasus di Sekitar Taman Nasional Gunung Gede - Pangrango, Simposium Nasional Permasalahan Air di Indonesia. Institut Teknologi Bandung. Fauzy, A. 2010. Ekonomi Sumber Daya Alam dan Lingkungan. Jakarta: PT. Gramedia Pustaka Utama. Fery I.N., dan Adjie P. 2013. Identifikasi Sebaran Daerah Rawan Kekeringan Meteorologi di Kabupaten Lamongan. 2 (2) : 84-86 Frank A. Ward dan Ari Michelsen. 2002. The Economic Value of Water in Agriculture : Concepts and Policy, Water Policy (4) : 423-446
Gamini, H., and Jhon, K. 2004. Estimating the Economic Value of Mount Buffallow with the Travel Cost and Contingent Valuation Model. Journal of Tourism Economics, 10 (1), 63-67 Iskandar, P. 2007. Economics (Pengantar Mikro dan Makro). Jakarta: Mitra Wacana Media. Meibodi E.A Ehsan H. and Pakdin J.2011. Estimating the Value of Drinking Water for the Household in Larestan by Using a Contingent Valuation Method, Iranian Journal of Economic Research, 16 (46):47-60 Ogujiuba K et. al. 2013. Estimating Willingness to Pay for Water Services in Insukka Area of SouthEastern Nigeria Using Contingent Valuation Method. Journal Hum Ecol, 41 (2):93-106 [Puslitbang Sosekling]. 2012. Laporan Akhir Penelitian Mitigasi dan Adaptasi Perubahan Iklim Masyarakat di Daerah Krisis Air. Jakarta Ratri, H.M.2008. Analisis Willingness to Pay Pengunjung Terhadap Upaya Pelestarian Kawasan Situ Babakan Srengseng Sawah Jakarta Selatan. Bogor: Tesis Program Studi Ekonomi Pertanian dan Sumber Daya Pertanian, Institut Pertanian Bogor. Rusli Y.M, Radam A, and Samdin Z. 2011. Willingness to Pay for Domestic Water Service Improvement in Selangor Malaysia, International Business Management, 2 (2) : 30-39 Sylvia, A. 2009. Analisis Willingness to Pay Objek Wisata Gunung Situ Gede Dalam Upaya Pelestarian Lingkungan. Bogor: Tesis Departemen Ekonomi Sumber Daya dan Lingkungan, Fakultas Ekonomi dan Manajemen, Institut Pertanian Bogor. Yusuf Wibisono. 2009. Metode Statistik. Yogyakarta: Gajah Mada University Press.
161