PARTISIPASI WARGA UNTUK REFORMASI BIROKRASI SEKTOR PENDIDIKAN Sebuah catatan kegiatan jaringan kelompok masyarakat sipil dalam melakukan pengawasan terhadap Pelayanan Sekolah di Kota Bandung
Diterbitkan oleh Aliansi Masyarakat Sipil Jawa Barat untuk Reformasi Birokrasi dengan dukungan Kemitraan Bandung, Mei 2015
PartisiPasi Warga untuk reformasi Birokrasi sektor Pendidikan Sebuah catatan kegiatan jaringan kelompok masyarakat sipil dalam melakukan pengawasan terhadap Pelayanan Sekolah di Kota Bandung
Diterbitkan oleh Aliansi Masyarakat Sipil Jawa Barat untuk Reformasi Birokrasi dengan dukungan Kemitraan Bandung, Mei 2015
Pengawasan Warga untuk Reformasi Birokrasi Sektor Pendidikan Sebuah catatan kegiatan jaringan kelompok masyarakat sipil dalam melakukan pengawasan terhadap Pelayanan Sekolah di Kota Bandung Penulis: Rianizard Naufal A Editor: Wagiyo Ilustrator: Eddie B. Handono Layouter: Ery Bukhorie
Diterbitkan oleh Aliansi Masyarakat Sipil Jawa Barat untuk Reformasi Birokrasi dengan dukungan Kemitraan Bandung, Mei 2015
Pendahuluan
P
emerintah mengakui bahwa penyelenggaraan pemerintahan masih perlu diperbaiki. Untuk itu diperlukan langkah-langkah yang mendasar, komprehensif, dan sistematik, sehingga tujuan dan sasaran yang telah ditetapkan dapat dicapai dengan efektif dan efisien. Dalam hal ini, reformasi birokrasi menjadi jawaban atas kebutuhan peningkatan kapasitas dan kualitas penyelenggara negara, termasuk dalam hal penyelenggaraan layanan publik. Reformasi birokrasi merupakan proses pembaharuan yang dilakukan secara bertahap dan berkelanjutan, terhadap aspek kelembagaan (organisasi), ketatalaksanaan (business process), dan sumber daya manusia. Di sisi lain, reformasi birokrasi membutuhkan input data dari berbagai pihak, termasuk dari masyarakat. Hal ini bahkan ditetapkan dalam berbagai peraturan perundang-undangan yang terkait dengan persoalan birokrasi dan pelayanan publik. Selama ini, peran serta masyarakat dalam peningkatan kualitas layanan publik relatif lemah. Penyebabnya antara lain keterbatasan minat, pengetahuan, dan akses masyarakat tehadap proses penataan internal birokrasi. Penataan internal birokrasi selama ini lebih dimaknai sebagai domain internal pemerintah dan tertutup bagi publik. Oleh karenanya, diperlukan berbagai upaya penguatan kapasitas masyarakat untuk melakukan pengawasan dan dukungan terhadap perbaikan tata kelola internal birokrasi. Harapannya hal ini akan mendorong peningkatan kapasitas dan kualitas penyelenggara layanan publik yang berorientasi pada kesejahteraan rakyat.
dasar hukum
U
ndang-Undang Dasar 1945 mengamanatkan kepada negara untuk melayani setiap warga negara dalam hal pemenuhan hak dan kebutuhan dasar. Dalam hal ini penyelenggara negara berkewajiban memenuhi hak dan kebutuhan dasar warga negara dalam kerangka pelayanan publik. Di dalam Pasal 39 Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2009 tentang Pelayanan Publik disebutkan bahwa peran serta masyarakat dalam penyelenggaraan pelayanan publik dimulai sejak penyusunan standar pelayanan sampai dengan evaluasi dan pemberian penghargaan. Peran serta masyarakat yang dimaksud diwujudkan dalam bentuk kerja sama, pemenuhan hak dan kewajiban masyarakat, serta peran aktif dalam penyusunan kebijakan pelayanan publik. Hal itu diperkuat dalam PP No. 96/2012 tentang Pelaksanaan UU No. 25/2009 tentang Pelayanan Publik. Pada Pasal 40 disebutkan bahwa Penyelenggara wajib mengikutsertakan masyarakat dalam
2 dasar hukum
penyelenggaraan pelayanan publik sebagai upaya membangun sistem pelayanan publik yang adil, transparan, dan akuntabel. Sedangkan pada Pasal 41 disebutkan bahwa pengikutsertaan masyarakat tersebut mencakup keseluruhan proses penyelenggaraan pelayanan publik yang meliputi penyusunan kebijakan pelayanan publik, penyusunan standar pelayanan, pengawasan dan evaluasi penyelenggaraan pelayanan publik, dan pemberian penghargaan. Secara khusus aturan tentang pengawasan dan evaluasi penyelenggaraan pelayanan publik diperjelas dalam Pasal 43. Disebutkan bahwa peran serta masyarakat dalam melakukan pengawasan dan evaluasi dapat dilakukan dalam bentuk pengawasan dan evaluasi terhadap pelaksanaan standar pelayanan, pengawasan terhadap penerapan kebijakan, dan pengawasan dan evaluasi penyelenggaraan pelayanan publik. Secara tersurat pasal tersebut mengingatkan keberadaan standar pelayanan dalam penyelenggaraan pelayanan publik. Penyusunan dan penerapan standar pelayanan merupakan kewajiban yang harus dipenuhi oleh penyelenggara pelayanan publik, baik yang memberikan pelayanan kepada masyarakat secara langsung maupun tidak langsung. Hal itu telah diatur dalam Pasal 15 UU No. 25/2009 yang menyebutkan bahwa setiap penyelenggara pelayanan publik, wajib menyusun, menetapkan, dan menerapkan standar pelayanan. Standar pelayanan adalah tolok ukur yang dipergunakan sebagai pedoman penyelenggaraan pelayanan dan acuan penilaian kualitas pelayanan sebagai kewajiban dan janji penyelenggara kepada masyarakat dalam rangka pelayanan yang berkualitas, cepat, mudah, terjangkau, dan terukur. Pengaturan lebih lanjut mengenai standar pelayanan kemudian dirumuskan dalam Peraturan Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Publik Nomor 15 Tahun 2014 tentang Pedoman Penyusunan Standar Pelayanan. Di dalam Permenpan disebutkan bahwa Standar Pelayanan tersebut sekurang-kurangnya memuat persyaratan, prosedur, waktu, biaya dan produk pelayanan serta mekanisme pengaduan.
PartisiPasi Warga untuk reformasi Birokrasi sektor Pendidikan 3
area PengaWasan
S
tandar pelayanan menjadi tolok ukur dalam kegiatan pengawasan yang dilakukan masyarakat terhadap kinerja internal birokrasi pelayanan publik. Melalui standar pelayanan tersebut dapat diketahui faktor-faktor yang sudah tertata baik dan permasalahan yang terjadi dalam penerapan. Berdasarkan Permenpan dan RB No. 15/2014, standar pelayanan terdiri atas dua komponen. Komponen pertama menyangkut proses penyampaian pelayanan (service delivery). Komponen Standar Pelayanan yang terkait dengan proses penyampaian pelayanan (service delivery) meliputi: persyaratan; sistem, mekanisme, dan prosedur; jangka waktu pelayanan; biaya/tarif; produk pelayanan, dan penanganan pengaduan, saran dan masukan Sedangkan komponen yang kedua menyangkut proses pengelolaan pelayanan di internal organisasi penyelenggara pelayanan (manufacturing).
4 area PengaWasan
Komponen yang menyangkut proses pengelolaan pelayanan di internal organisasi (manufacturing) meliputi: dasar hukum; sarana dan prasarana, dan/atau fasilitas; kompetensi pelaksana; pengawasan internal; jumlah pelaksana; jumlah pelayanan; jaminan keamanan dan keselamatan pelayanan; dan, evaluasi penyelenggara Area pengawasan yang menjadi perhatian dalam pengawasan masyarakat terhadap kinerja penyelenggaraan pelayanan publik antara lain: a. Persyaratan. Terkait persyaratan, pengawasan dilakukan dengan memperhatikan daftar persyaratan yang telah ditetapkan untuk mendapatkan pelayanan yang dibutuhkan dan kapan persyaratan itu disampaikan (di awal, di akhir, atau secara bertahap); b. Prosedur. Terkait prosedur, pengawasan dilakukan dengan memperhatikan ketersediaan Standar Operasional Prosedur (SOP) pelayanan dan kesesuaian antara SOP yang telah dibakukan dan penyelenggaraan pelayanan; c. Waktu pelayanan. Terkait waktu pelayanan, pengawasan dilakukan dengan memperhatikan waktu yang diperlukan untuk mendapatkan satu jenis pelayanan dan keseluruhan (dari awal hingga akhir) proses pelayanan; d. Biaya. Terkait biaya, pengawasan dilakukan dengan memperhatikan jumlah biaya yang dibebankan ke pelanggan dari setiap jenis pelayanan (untuk pelayanan yang dipungut biaya), jumlah biaya yang dibebankan kepada unit pengelola pelayanan, dan daftar pelayanan yang diberikan gratis kepada pelanggan (apabila terdapat jenis pelayanan yang gratis); e. Produk pelayanan. Terkait produk pelayanan, pengawasan dilakukan dengan memperhatikan hasil akhir dari prosedur suatu jenis pelayanan. Produknya dapat berupa penyediaan barang, jasa dan/atau produk administrasi yang diberikan dan diterima; f. Pengelolaan pengaduan. Terkait pengelolaan pengaduan, pengawasan dilakukan dengan memperhatikan ketersediaan prosedur pengelolaan pengaduan, termasuk petunjuk mengenai alamat pengaduan, baik berupa contact person, nomor telepon, alamat email, dan alamat kantor yang dapat dihubungi.
PartisiPasi Warga untuk reformasi Birokrasi sektor Pendidikan 5
Peningkatan kaPasitas kelomPok masyarakat siPil
P
eraturan perundang-undangan memberikan ruang bagi masyarakat untuk melakukan pengawasan dan mendorong perbaikan tata kelola pelayanan publik. Namun keterlibatan masyarakat dalam hal ini masih cenderung lemah. Untuk itu diperlukan penguatan kapasitas bagi kelompok masyarakat sipil agar mereka mampu dan mau terlibat dalam kegiatan ini. Salah satu kegiatan yang berkorelasi dengan penguatan kapasitas kelompok masyarakat sipil itu adalah Program “Penguatan Kontrol Kelompok Masyarakat Sipil atas Proses Penataan Internal Birokrasi di Sektor Pendidikan di Kota Bandung dan di Sektor Kesehatan di Kabupaten Sumedang” yang dilaksanakan Aliansi Masyarakat Sipil Jawa Barat untuk Reformasi Birokrasi. Aliansi ini terdiri atas Perkumpulan Inisiatif, Kalyanamandira, Studio Driya Media, Pusat Pengembangan Partisipasi Masyarakat
6 Peningkatan kaPasitas kelomPok masyarakat siPil
Lokal (P3ML) Sumedang, dan Center for Economic and Development Studies (CEDS) Unpad. Sejumlah kegiatan dilakukan aliansi ini, antara lain riset dan assessment, workshop dan pelatihan, membangun jaringan kerja CSO, menyusun policy brief/kertas posisi kebijakan, mengelola kampanye publik, dan membangun kemitraan dengan pemerintah daerah. Salah satu pelatihan yang diselenggarakan Aliansi Masyarakat Sipil Jawa Barat untuk Reformasi Birokrasi adalah Lokalatih bagi Kelompok Warga untuk Persiapan Praktik Pengawasan Warga terkait Perbaikan Pengelolaan Pelayanan Pendidikan di Kota Bandung. Kegiatan ini dilaksanakan Aliansi Masyarakat Sipil Jawa Barat untuk Reformasi Birokrasi pada 30 Januari 2015-1 Februari 2015, bertempat di Hotel Grand Serela Kota Bandung. Tercatat 35 orang hadir sebagai peserta pada lokalatih ini. Di antara peserta terdapat 15 perempuan. Pada lokalatih ini, peserta mendapatkan pengetahuan dan pemahaman mengenai standar pengelolaan pendidikan, pengawasan pengelolaan pendidikan, dan instrumen pengawasan pengelolaan pelayanan pendidikan. Pengetahuan tersebut menjadi bekal bagi para peserta untuk melakukan praktik pengawasan di sejumlah sekolah yang ada di Kota Bandung. Tujuan dari kegiatan ini adalah meningkatkan pemahaman kelompok masyarakat sipil dan warga tentang pengelolaan pelayanan pendidikan di sekolah, serta meningkatkan kapasitas kelompok masyarakat sipil dan warga dalam pengawasan pengelolaan pelayanan pendidikan dan mempengaruhi perencanaan dan pelaksanaan reformasi birokrasi sektor pendidikan di Kota Bandung. Pelatihan ini dilanjutkan dengan Praktik Pengawasan Warga terkait Perbaikan Pengelolaan Pelayanan Pendidikan di Kota Bandung. Pengawasan yang dilakukan fokus pada penerapan standar pengelolaan pendidikan di Kota Bandung. Pengumpulan data dilakukan melalui metode wawancara dan observasi (pengamatan). Sedangkan yang menjadi objek pengawasan dalam kegiatan ini adalah sejumlah sekolah mulai dari tingkat sekolah dasar, sekolah lanjutan tingkat pertama, sekolah menengah umum, dan sekolah menengah kejuruan, yang terpilih secara sampling.
PartisiPasi Warga untuk reformasi Birokrasi sektor Pendidikan 7
instrumen PengaWasan
U
ntuk mengetahui sejauhmana penerapan standar pengelolaan pendidikan di Kota Bandung, tim surveyor mempergunakan kuisioner yang berisi 108 pertanyaan. Meski demikian tidak semua pertanyaan diajukan kepada setiap responden. Hanya pertanyaan relevan yang diajukan kepada responden tertentu. Terdapat empat kelompok responden yang dimintai keterangan dalam pengawasan ini. Mereka adalah kepala sekolah/wakilnya, staf komite sekolah (ketua/sekretaris/bendahara), anggota komite sekolah yang merupakan perwakilan orang tua/perwakilan kelompok orang tua, dan perwakilan dewan pendidik/dewan guru/ Wakasek bagian kurikulum. Pertanyaan yang diajukan kepada responden meliputi: 1. Perencanaan program, yang terdiri atas pertanyaan tentang visi, misi, tujuan, sekolah, dan rencana kerja; 2. Pelaksanaan rencana kerja, yang terdiri atas pelaksanaan kegiatan sekolah, bidang kesiswaan, bidang kurikulum dan
8 instrumen PengaWasan
pembelajaran, bidang sarana dan prasarana, bidang keuangan dan pembiayaan, serta peran serta masyarakat dan kemitraan; 3. Pertanyaan tentang pengawasan dan evaluasi, yang terdiri atas sebelas pertanyaan tentang ketersediaan panduan pengawasan yang melibatkan pihak luar, selain komite sekolah; 4. Pertanyaan tentang sistem informasi manajemen yang terdiri atas dua pertanyaan mengenai ketersediaan petugas pengelola informasi dan pengaduan. Pertanyaan tentang visi, misi, tujuan, dan rencana kerja sekolah berkisar pada ketersediaan visi, misi, tujuan, dan rencana kerja di sekolah, proses penyusunan dan penetapannya. Khusus mengenai rencana kerja, ditanyakan pula ketersediaan rencana jangka menengah dan tahunan. Pertanyaan tentang pelaksanaan rencana kerja berkisar tentang ketersediaan laporan pelaksanaan rencana kerja, proses penyusunan dan pelaporannya, serta ketersediaan dokumen pelaksanaan rencana kerja dan akses terhadap dokumen tersebut. Pertanyaan tentang kegiatan bidang kesiswaan berkisar pada proses penerimaan siswa baru, mulai dari dasar aturan yang digunakan, aturan dan proses penerimaan siswa baru, dan proses sosialisasi penerimaan siswa baru. Pertanyaan tentang kegiatan bidang kurikulum berkisar pada pendokumentasian/pengarsipan hasil kegiatan belajar, pengaduan kepada orang tua, laporan hasil belajar kepada dinas pendidikan, dan sosialisasi hasil belajar. Pertanyaan tentang kegiatan bidang sarana dan prasarana berkisar pada ketersediaan mekanisme pengelolaan atau penggunaan berbagai sarana dan prasarana pendidikan. Pertanyaan tentang kegiatan bidang keuangan berkisar pada ketersediaan pedoman pengelolaan biaya investasi dan operasional, proses penyusunan dan penyepakatan, serta sosialisasi dokumen. Pertanyaan tentang peran serta masyarakat dan kemitraan berkisar pada kesediaan sekolah melibatkan masyarakat dalam kegiatan nonakademik dan ketersediaan SOP kemitraan dengan masyarakat.
PartisiPasi Warga untuk reformasi Birokrasi sektor Pendidikan 9
Pengalaman Warga melakukan PengaWasan
K
einginan untuk meningkatan kualitas pendidikan menjadi simpul penting dalam pengawasan warga terhadap penerapan standar pengelolaan pelayanan di sekolah. Hal tersebut seperti diungkapkan Budhi Purnama Sari, “Saya bukan ingin mencari salahnya atau menjelek-jelekan sekolahnya, tetapi ingin bersama-sama memperbaiki pendidikan,” ujar Budhi yang tergabung dalam Forum Tata Kelola Pendidikan. Keberadaan komite sekolah pun masih dirasakan kurang berperan dalam peningkatan pelayanan pendidikan di sekolah. Terlebih, belum ada wadah bagi komite sekolah untuk meningkatkan kapasitasnya. “Jadi kami memang menggali sendiri potensi-potensi kami sebagai komite, baik dari literatur, maupun aturan pemerintah,” kata Tri Andayani yang tergabung dalam Forum Komite Sekolah se-Bandung. Hal senada diungkapkan Rusdoyo Punsu. Menurutnya, rata-rata orang komite belum paham apa yang harus dikerjakan.
“Betul yang dikatakan ada empat hal yang bisa kita lakukan mulai dari advokasi, supporting, controling, dan evaluasi. Tetapi itu hanya sekedar cerita” kata Rusdoyo yang aktif di Gerakan Masyarakat Peduli Pendidikan. 10 Pengalaman Warga melakukan PengaWasan
Dalam hal ini, Saeful Rochman berharap kegiatan ini bisa menyatukan visi berbagai elemen masyarakat yang peduli terhadap dunia pendidikan. “Kita ingin semua pun ikut berbicara,” ujar Saeful yang tergabung dalam Forum Orang Tua Siswa. Pengalaman Melakukan Praktik Pengawasan Mulai dari harus menunggu kedatangan kepala sekolah hingga menjadi harapan kepala sekolah merupakan hal yang dialami oleh mereka yang bertindak sebagai surveyor dalam pengawasan penyelenggaraan pelayanan publik di sekolah. “Kita semakin pintar di lapangan, karena kondisi yang dihadapi di setiap sekolah beragam sekali,” kata Tri. Ketika mendatangi sebuah sekolah menengah kejuruan, Tri harus menunggu berjam-jam karena kepala sekolahnya tidak ada di tempat. Akhirnya, ia pun dipersilakan pulang karena kepala sekolah dinyatakan tidak akan datang pada hari itu. Sedangkan Rusdoyo merasakan bagaimana rasanya menjadi sosok yang dicurigai ketika melakukan kegiatan ini. Ketika mendatangi sebuah sekolah untuk kepentingan pengumpulan data, ia justru dikira sebagai utusan organisasi tertentu yang akan meminta pungutan dari sekolah. ”Karena LSM atau ormas sudah “tanda petik”, kita yang ingin benarbenar membangun pendidikan malah mendapatkan nilai yang tidak baik,” ujar Rusdoyo. Namun pengalaman baik dirasakan Budhi. Ia dianggap sebagai bagian dari sumber perbaikan. “Apa yang kurang dari sekolah, mereka share dengan kita. Makanya mereka berterima kasih,” tutur Budhi. Sedangkan Saeful Rochman menjumpai fenomena menarik di sebuah SD di Bandung Timur. Total siswa di SD itu hanya 80 orang. “Semestinya bukan seenaknya membangun SD di mana-mana, tanpa memikirkan sarana dan mutunya” kata Saeful.
PartisiPasi Warga untuk reformasi Birokrasi sektor Pendidikan 11
Kendala Bertemu Narasumber Bertemu dengan narasumber merupakan persoalan tersendiri dalam praktik pengawasan yang dilakukan. Dalam kegiatan ini narasumbernya adalah kepala sekolah, komite sekolah, dan orang tua siswa. “Sebagian besar kepala sekolah sering tidak ditempat karena memang karena peraturan yang menuntut mereka untuk rapat dan rapat. Kita yang punya kebutuhan tidak dapat bertemu dengan kepala sekolah,” ujar Budhi. “Di SMA yang kami datangi kepala sekolahnya memang sulit untuk ditemui dengan dalih rapat. Benar atau tidaknya saya tidak tahu. Apa benar rapat atau hanya takut,” kata Rusdoyo. Hal yang sama diungkapkan Saeful ketika mendatangi sebuah SD. Berdasar informasi yang diperolehnya, dalam satu minggu kepala sekolah meninggalkan sekolah satu hingga tiga kali, dengan alasan mengikuti rapat. Sementara itu meminta informasi kepada Komite Sekolah juga merupakan persoalan tersendiri. Beberapa Komite Sekolah cenderung mengabaikan permintaan untuk bertemu. Bahkan ada sekolah yang Komite Sekolah-nya belum berfungsi. “Ketika diminta nomor teleponnya pun pihak sekolah agak segan untuk memberikannya. Akhirnya saya mengejar narasumber hingga ke tempat kerjanya,” ujar Tri. Sementara orang tua siswa pun jarang datang ke sekolah, kecuali ada masalah pembayaran. “Orang tua siswa SD tidak tahu apa-apa. Yang mereka tahu anak sekolah gratis, dari jam 7 sampai jam 12,” kata Saeful.
12 Pengalaman Warga melakukan PengaWasan
rePlikasi kegiatan
W
alau terkesan sulit, praktik pengawasan terhadap pelaksanaan penyelenggaraan layanan publik di sektor pendidikan berpeluang untuk diselenggarakan oleh masyarakat. Terlebih jika mempertimbangkan manfaatnya. “Sejujurnya, saya sendiri sebagai orang tua, tanpa forum semacam ini tidak tahu harus ke mana dan kepada siapa untuk menyalurkan kegelisahannya,” kata Budhi. Meski demikian, menurut Budhi, agar tujuan dari kegiatan semacam ini bisa optimal maka perlu dilakukan pelatihan terlebih dahulu.
Sedangkan menurut Tri, pengawasan ini tidak dapat dilakukan oleh orang yang belum pernah melakukan pelatihan. “Wah sepertinya tidak bisa. Tetap harus ada proses pelatihan. Walaupun kita diberi kebebasan untuk mengelola pesannya, tapi tetap harus ada pelatihan agar dapat merumuskan kegiatan yang kita lakukan akan seperti apa, targetnya siapa, dan hasil tujuan yang akan diperoleh seperti apa,” kata Tri. Hal senada diungkapkan Rusdoyo. Menurutnya pelatihan itu penting sehingga siapa pun yang melakukan pengawasan sudah tahu landasannya seperti apa. “Kembali lagi kepada konteks bahasa, bahwa pengawas itu lebih pintar dari pada yang diawasai” ujar Rusdoyo. Sedangkan menurut Saeful, penyebaran dari mulut ke mulut relatif lebih efektif. “Efeknya lebih emosional, sehingga masyarakat akan lebih peduli dan memikirkan bagaimana seharusnya pendidikan dikelola,” ujar Saeful.
PartisiPasi Warga untuk reformasi Birokrasi sektor Pendidikan 13
kesimPulan dan saran
P
engembangan kualitas pendidikan seharusnya menjadi tanggung jawab bersama. Kegiatan-kegiatan yang bermuara pada peningkatan kualitas pendidikan sudah sepatutnya mendapat dukungan dari para pihak. Termasuk dalam hal pengawasan terhadap penyelenggaraan layanan publik di sektor pendidikan, khususnya pelayanan di sekolah. Namun berdasar pengalaman praktik pengawasan di sekolah, masih terdapat kendala berupa penolakan dari pihak sekolah dan Komite Sekolah ketika dimintai informasi terkait penyelenggaraan layanan publik di sekolah. Sementara itu orang tua siswa sebagai bagian dari pengguna layanan relatif sulit untuk dijumpai. Pada umumnya respon pihak sekolah terkait kegiatan ini cenderung pasif. Mereka baru aktif memberikan berbagai informasi setelah tahu manfaat yang diperoleh sekolah. Dengan memperhatikan manfaatnya, kegiatan pengawasan seperti ini sudah selayaknya untuk terus dilakukan. Meski demikian, perlu dilakukan pelatihan terlebih dahulu. Karena itu, pelatihan dan pembekalan tentang Reformasi Birokrasi Pendidikan harus diperbanyak sehingga masyarakat dapat mengetahui dan memahami maksud dan tujuan dari kegiatan semacam ini. Penguatan masyarakat tersebut diharapkan akan mempercepat perbaikan atas tata kelola internal birokrasi sektor pendidikan dan mewujudkan tata kelola pemerintahan dan pelayanan publik yang berorientasi pada kesejahteraan rakyat.
14 kesimPulan dan saran