PENGAWASAN WARGA UNTUK PERBAIKAN BIROKRASI SEKTOR KESEHATAN Sebuah catatan kegiatan jaringan kelompok masyarakat sipil dalam melakukan pengawasan terhadap kinerja Puskesmas di Kabupaten Sumedang
Diterbitkan oleh Aliansi Masyarakat Sipil Jawa Barat untuk Reformasi Birokrasi dengan dukungan Kemitraan Bandung, Mei 2015
Pengawasan warga untuk Perbaikan birokrasi sektor kesehatan Sebuah catatan kegiatan jaringan kelompok masyarakat sipil dalam melakukan pengawasan terhadap kinerja Puskesmas di Kabupaten Sumedang
Diterbitkan oleh Aliansi Masyarakat Sipil Jawa Barat untuk Reformasi Birokrasi dengan dukungan Kemitraan Bandung, Mei 2015
Pengawasan Warga untuk Perbaikan Birokrasi Sektor Kesehatan Sebuah catatan kegiatan jaringan kelompok masyarakat sipil dalam melakukan pengawasan terhadap kinerja Puskesmas di Kabupaten Sumedang
Penulis: Evi Larasati Nur Arundhati Editor: Wagiyo Ilustrator: Eddie B. Handono Layouter: Ery Bukhorie
Diterbitkan oleh Aliansi Masyarakat Sipil Jawa Barat untuk Reformasi Birokrasi dengan dukungan Kemitraan Bandung, Mei 2015
Pendahuluan
N
egara menjamin pelaksanaan layanan publik bagi setiap warga negara, termasuk bagi masyarakat miskin dan penyandang difabel. Namun dalam pelaksanaannya, masih terdapat kekurangan. Akibatnya pelayanan publik tidak bisa dirasakan secara prima oleh seluruh masyarakat pengguna layanan publik. Karena pelayanan publik adalah hak, maka masyarakat juga berhak untuk menuntut perbaikan kualitas pelayanan publik. Bahkan berdasarkan undang-undang, masyarakat juga berhak melakukan pengawasan terhadap penyelenggaraan pelayanan publik. Pengawasan salah satunya dilakukan dengan cara membandingkan Standar Pelayanan dan penerapannya. Apabila terdapat hal yang tidak diselenggarakan sebagaimana mestinya, masyarakat berhak menyampaikan pengaduan kepada pimpinan penyelenggara untuk memperbaiki kinerja pelayanan. Demikian pula jika terdapat layanan yang tidak sesuai dengan standar, masyarakat pun berhak meminta penyelenggara pelayanan untuk memperbaiki kinerja internal birokrasi penyelenggara pelayanan publik. Masyarakat juga memiliki hak untuk mengadukan pelaksana atau penyelenggara yang melakukan penyimpangan standar pelayanan, atau pun tidak mengupayakan perbaikan kepada penyelenggara, pembina, dan ombudsman. Penyadaran tentang hak masyarakat terkait pelayanan publik ini harus terus diupayakan. Bagaimanapun, masyarakat berhak mendapat pelayanan yang berkualitas sesuai asas dan tujuan pelayanan.
dasar hukuM
S
eperti yang diamanatkan Undang-undang Dasar Negara Republik Indonesia 1945, negara memiliki kewajiban memberikan pelayanan bagi setiap warga dan memenuhi hak serta kebutuhan dasarnya. Pemenuhan hak dasar warga itu dilakukan dalam kerangka pelayanan publik. Meskipun dalam pelaksanaannya diselenggarakan oleh internal birokrat atau biasa dikenal sebagai penyelenggara layanan publik, bukan berarti masyarakat tidak berhak untuk terlibat di dalamnya. Bahkan, sebagai penerima manfaat layanan, masyarakat berhak untuk dilibatkan dalam proses pelayanan publik. Peran serta masyarakat dalam pelayanan publik diatur dalam UndangUndang Nomor 25 Tahun 2009 tentang Pelayanan Publik. Pada Pasal 39 disebutkan bahwa peran serta masyarakat dalam penyelenggaraan pelayanan publik dimulai sejak penyusunan standar pelayanan sampai dengan evaluasi dan pemberian penghargaan.
2 dasar hukum
Peran serta masyarakat diwujudkan dalam bentuk kerja sama, pemenuhan hak dan kewajiban masyarakat, serta peran aktif dalam penyusunan kebijakan pelayanan publik. Masyarakat juga berhak membentuk lembaga pengawasan pelayanan publik. Sedangkan tujuan pelibatan masyarakat dalam pelayanan publik tersurat dalam Peraturan Pemerintah Nomor 96 Tahun 2012 tentang Pelaksanaan Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2009 tentang Pelayanan Publik. Pada Pasal 40 disebutkan bahwa penyelenggara wajib mengikutsertakan masyarakat dalam penyelenggaraan pelayanan publik sebagai upaya membangun sistem penyelenggaraan pelayanan publik yang adil, transparan, dan akuntabel. Keberadaan PP No. 96/2012 ini juga memperjelas cakupan keterlibatan masyarakat dalam pelayanan publik. Pasal 41 menyebutkan bahwa pengikutsertaan masyarakat dalam penyelenggaraan pelayanan publik meliputi penyusunan kebijakan pelayanan publik, penyusunan standar pelayanan, pengawasan dan evaluasi penyelenggaraan pelayanan publik, dan pemberian penghargaan. Sedangkan pada Pasal 43 disebutkan bahwa pengikutsertaan masyarakat dalam pengawasan dan evaluasi penyelenggaraan pelayanan publik diwujudkan dalam bentuk pengawasan dan evaluasi terhadap pelaksanaan standar pelayanan, pengawasan terhadap penerapan kebijakan, dan pengawasan terhadap pengenaan sanksi. Selain menyediakan pelayanan publik, pemerintah juga wajib menyiapkan standar pelayanan yang diatur dalam Permenpan dan RB Nomor 15 Tahun 2014 tentang Pedoman Standar Pelayanan sebagai acuan bagi penyelenggaraan layanan publik. Standar pelayanan adalah tolok ukur yang dipergunakan sebagai pedoman penyelenggaraan pelayanan dan acuan penilaian kualitas pelayanan sebagai kewajiban dan janji penyelenggara kepada masyarakat dalam rangka pelayanan yang berkualitas, cepat, mudah, terjangkau, dan terukur. Di dalam Permenpan dan RB No. 15/2014 disebutkan bahwa Standar Pelayanan tersebut sekurang-kurangnya memuat persyaratan, prosedur, waktu, biaya dan produk pelayanan serta mekanisme pengaduan.
Pengawasan warga untuk Perbaikan birokrasi sektor kesehatan 3
area Pengawasan
B
erdasarkan Permenpan dan RB No. 15/2014, secara umum standar pelayanan terdiri atas dua komponen. Kedua komponen itu adalah komponen yang terkait dengan proses penyampaian pelayanan (service delivery) dan komponen yang terkait dengan proses pengelolaan pelayanan di internal organisasi (manufacturing). Hal-hal yang termasuk dalam komponen yang terkait penyampaian pelayanan (service delivery) adalah: persyaratan; sistem, mekanisme dan prosedur; jangka waktu pelayanan; biaya/tarif; produk pelayanan; dan penanganan pengaduan, saran, dan masukan. Sedangkan hal-hal yang termasuk dalam komponen yang terkait dengan proses pengelolaan pelayanan di internal organisasi (manufacturing) adalah: dasar hukum; sarana dan prasarana, dan/atau fasilitas; kompetensi pelaksana; pengawasan internal; jumlah pelaksana; jaminan pelayanan; jaminan keamanan dan keselamatan pelayanan; dan evaluasi kinerja pelaksana.
4 area Pengawasan
Kedua komponen tadi dapat dijadikan tolak ukur untuk mengetahui sejauh mana kualitas dan kapasitas penyelenggaraan pelayanan publik. Hal ini dimungkinkan karena sebagian besar elemen dari komponen tersebut bisa dilihat dan dirasakan langsung oleh masyarakat, termasuk pernyataan tentang standar pelayanan yang wajib dipublikasikan oleh setiap penyelenggara pelayanan publik. Area pengawasan yang menjadi perhatian dalam pengawasan masyarakat terhadap kinerja penyelenggaraan pelayanan publik adalah: a. Persyaratan. Pengawasan dilakukan memperhatikan jenis dokumen atau barang/hal lain yang harus dipenuhi untuk mendapatkan suatu jenis pelayanan, baik persyaratan teknis maupun administratif; b. Prosedur. Pengawasan dilakukan dengan memperhatikan tata cara atau Standar Operasional Prosedur (SOP) pelayanan yang dibakukan bagi penerima pelayanan. Prosedur pelayanan merupakan proses yang harus dilalui untuk mendapatkan suatu jenis pelayanan; c. Waktu pelayanan. Pengawasan dilakukan dengan memperhatikan waktu yang diperlukan untuk mendapatkan satu jenis pelayanan dan keseluruhan (dari awal hingga akhir) proses pelayanan dari setiap jenis pelayanan; d. Biaya. Pengawasan dilakukan dengan memperhatikan ongkos yang dikenakan kepada penerima layanan dalam mengurus dan/atau memperoleh pelayanan dari penyelenggara yang besarnya ditetapkan berdasarkan kesepakatan antara penyelenggara dan masyarakat. e. Produk pelayanan. Pengawasan dilakukan dengan memperhatikan hasil dari pelayanan yang diberikan penyelenggara dan diterima pengguna sesuai dengan ketentuan yang telah ditetapkan. Produk pelayanan dapat berupa penyediaan barang, jasa dan/atau produk administrasi yang diberikan dan diterima; f. Pengelolaan pengaduan. Pengawasan dilakukan dengan memperhatikan mekanisme pengelolaan pengaduan. Bentuk pengelolaan diantaranya penyediaan kotak saran/pengaduan, sms, web, dan petugas penerima pengaduan.
Pengawasan warga untuk Perbaikan birokrasi sektor kesehatan 5
Penguatan keloMPok MasYarakat siPil
P
eraturan perundang-undangan memberikan peluang yang luas bagi masyarakat untuk terlibat dalam pengawasan penyelenggaraan pelayanan publik. Namun minat, pengetahuan, dan akses kelompok masyarakat terhadap proses penataan internal birokrasi pelayanan publik relatif terbatas. Hal ini mengakibatkan keterlibatan masyarakat dalam pengawasan layanan publik dan perbaikan tata kelola internal birokrasi relatif lemah. Untuk itu diperlukan berbagai upaya penguatan kelompok masyarakat sipil dalam melakukan pengawasan dan dukungan terhadap perbaikan tata kelola internal birokrasi dan peningkatan kualitas dan kapasitas pelayanan publik. Salah satu kegiatan itu diwujudkan dalam Program “Penguatan Kontrol Kelompok Masyarakat Sipil atas Proses Penataan Internal Birokrasi di Sektor Pendidikan di Kota Bandung dan di Sektor Kesehatan di Kabupaten Sumedang” yang dilaksanakan Aliansi Masyarakat Sipil Jawa Barat untuk Reformasi Birokrasi.
6 Penguatan kelomPok masyarakat siPil
Sejumlah lembaga berada di balik pendirian aliansi ini. Mereka adalah Perkumpulan Inisiatif, Kalyanamandira, Studio Driya Media, Pusat Pengembangan Partisipasi Masyarakat Lokal (P3ML) Sumedang, dan Center for Economic and Development Studies (CEDS) Unpad. Kegiatan yang dilakukan aliansi ini di antaranya riset dan assessment, workshop dan pelatihan, membangun jaringan kerja CSO, menyusun policy brief/kertas posisi kebijakan, mengelola kampanye publik, dan membangun kemitraan dengan pemerintah daerah. Salah satu pelatihan yang diselenggarakan Aliansi Masyarakat Sipil Jawa Barat untuk Reformasi Birokrasi adalah Lokalatih bagi Kelompok Warga untuk Persiapan Praktik Pengawasan Warga Terkait Tata Kelola Internal Birokrasi di Sektor Kesehatan Kabupaten Sumedang. Kegiatan lokalatih ini diselenggarakan 28-30 Nopember 2014 di Sumedang. Tercatat 31 peserta yang terdiri atas 26 laki-laki dan 5 perempuan terlibat dalam pelatihan yang pelaksanaan melibatkan Kawani, sebuah jaringan masyarakat sipil Sumedang. Di dalam lokalatih ini, peserta –yang kemudian akan menjadi tim surveyor- dibekali pengetahuan dan keterampilan terkait pelaksanaan pengawasan tata kelola internal birokrasi di sektor kesehatan, khususnya di Puskesmas. Tujuan kegiatan ini adalah memperkuat jaringan kelompok masyarakat sipil dan warga dalam mempengaruhi proses penataan internal birokrasi di daerah, meningkatkan pemahaman dan kompetensi kelompok masyarakat sipil dan warga terkait penataan internal birokrasi di daerah, dan mewujudkan aksi kolaborasi pengawasan tata kelola internal birokrasi di sektor kesehatan. Kegiatan pelatihan ini dilanjutkan dengan praktik pengawasan warga terkait tata kelola internal birokrasi di Puskesmas yang ada di Kabupaten Sumedang. Tercatat 31 Puskesmas yang dijadikan objek pengawasan warga. Pengumpulan data dilakukan melalui metode wawancara dan observasi (pengamatan). Sedangkan yang menjadi fokus pengawasan adalah kesesuaian antara Standar Operasional Prosedur (SOP) upaya pengobatan rawat jalan dan pelaksanaan, serta mengukur rata-rata waktu pelayanan.
Pengawasan warga untuk Perbaikan birokrasi sektor kesehatan 7
instruMen Pengawasan warga di PuskesMas
U
ntuk mengetahui kesesuaian antara Standar Operasional Prosedur (SOP) upaya pengobatan rawat jalan dan pelaksanaan, serta mengukur rata-rata waktu pelayanan Puskesmas di Sumedang, tim surveyor mengajukan 26 pertanyaan kepada responden dan mengisi empat lembar pengamatan. Kuesioner dalam pengawasan ini hanya diajukan kepada masyarakat pengguna layanan Puskesmas. Waktu yang dipilih untuk pengajuan kuesioner ini adalah setelah responden mendapatkan seluruh rangkaian pelayanan yang ia butuhkan. Sedangkan pengamatan dilakukan sebelum waktu pendaftaran hingga selesai jam pelayanan Puskesmas. Pertanyaan yang diajukan kepada responden di antaranya terkait alur pendaftaran, tindakan medis, dan pelayanan farmasi.
8 instrumen Pengawasan warga di Puskesmas
Terkait alur pendaftaran pertanyaan yang diajukan terdiri atas sepuluh pertanyaan. Pertanyaan-pertanyaan itu meliputi ketersediaan nomor antrian, cara mendapatkan nomor antrian, kesesuaian antara nomor antrian dan panggilan dari petugas pendaftaran, dan persyaratan yang digunakan untuk mendaftar. Pertanyaan lain yang diajukan kepada responden adalah besaran biaya/ retribusi yang dipungut, bukti pembayaran retribusi, jeda waktu antara pendaftaran dan pemeriksaan, dan penyediaan rekam medis dari pendaftaran menuju kamar periksa. Terkait tindakan medis, pertanyaan yang diajukan terdiri atas sebelas pertanyaan. Pertanyaan-pertanyaan itu meliputi proses pencatatan data pasien pada rekam medis, pengukuran tekanan darah, anamnesa singkat (tanya jawab singkat untuk mengetahui keluhan pasien), dan waktu yang dibutuhkan untuk pencatatan data hinga anamnesa singkat. Pertanyaan lainnya meliputi proses pemeriksaan fisik yang terdiri atas kegiatan inspeksi (melihat), palpasi (meraba), perkusi (ketukan), dan auskultasi (didengarkan), waktu yang digunakan untuk anamnesa dan pemeriksaan fisik, pencatatan diagnosa penyakit dalam rekam medis berdasarkan anamnesia dan pemeriksaan fisik, proses pencatatan diagnosa ke dalam rekam medis, dan waktu yang diperlukan untuk memeriksa/melakukan diagnosa dan melakukan rekam medis. Untuk mendapat gambaran yang lebih luas, responden juga mendapat pertanyaan mengenai tindakan lanjutan yang mungkin dilakukan setelah diagnosa dan waktu yang diperlukan untuk tindakan atau intervensi lebih lanjut. Terkait pelayanan farmasi, responden diminta menjawab empat pertanyaan yang diajukan. Pertanyaan-pertanyaan itu mengenai proses penyerahan obat kepada pasien yang meliputi ketersediaan resep, waktu yang diperlukan untuk mempersiapkan obat, penjelasan penggunaan obat, dan biaya pengambilan obat. Sedangkan lembar pengamatan yang harus diisi surveyor terdiri atas empat lembar yang meliputi pemasangan informasi layanan di Puskesmas, kehadiran tenaga medis dan non-medis, lama pelayanan, serta denah Puskesmas dan alur pelayanan pengobatan rawat jalan.
Pengawasan warga untuk Perbaikan birokrasi sektor kesehatan 9
PengalaMan warga Melakukan Pengawasan
B
erbagai tanggapan warga muncul ketika diajak terlibat dalam praktik pengawasan warga terkait tata kelola internal birokrasi, khususnya di sektor kesehatan.
“Ketika pertama kali mengikuti pelatihan, saya tidak memiliki pemikiran lain selain akan dilatih, diberi wawasan, serta diajak melihat masyarakat dalam perspektif reformasi birokrasi,” kata Hodijah, seorang Kader Kesehatan di Kabupaten Sumedang. Ada juga yang menilai kegiatan ini perlu dilakukan untuk sebuah perubahan. “Khususnya di bidang kesehatan. Apalagi Kabupaten Sumedang tengah memfokuskan diri untuk mengadakan perbaikan di sektor tersebut,” ujar Ruhyat, seorang Tenaga Kesejahteraan Sosial Kecamatan. Sedangkan menurut Ari Arifin dari Komisariat HMI Sumedang, ada ketidaksesuaian dan kesenjangan di bidang pelayanan publik, terutama sektor kesehatan. Indeks pembangunan manusia di bidang kesehatan tergolong cukup tinggi, namun ketika dirinya terjun ke lapangan, kenyataan berbicara lain.
10 Pengalaman warga melakukan Pengawasan
“Pemerintah harus dikawal masyarakat sipil dalam mewujudkan good governance. Saya berharap suatu saat bisa memberi input positif kepada pembuat kebijakan,” ujarnya. Kegiatan ini juga mampu memantik rasa ingin tahu warga yang memang bergelut di bidang kesehatan, seperti Maya Kusmayanti. Anggota Forum Peduli Kesehatan (FPK) ini mengaku dengan adanya kegiatan tersebut, rasa keingintahuannya semakin besar. “Ternyata banyak hal yang bisa dipelajari yang berkaitan dengan tugas saya selama ini di sektor kesehatan” ujar Maya. Keberhasilan Pelatihan Upaya peningkatan kapasitas warga dalam mengembangkan kemampuan pengawasan tatakelola birokrasi sektor kesehatan, dinilai cukup berhasil. “Banyak hal yang tadinya tidak saya ketahui, dan banyak juga hal yang tidak diketahui masyarakat bisa saya ketahui melalui pelatihan ini. Misalnya, masih banyak warga yang tidak mengetahui pelayanan apa saja yang layak mereka dapatkan di Puskesmas,” ujar Hodijah. Selain peningkatan pengetahuan di masalah substantif, sebagian warga juga merasakan manfaat pelatihan dari segi teknis. Seperti yang dirasakan Ruhyat, misalnya. Menurutnya, selain pengetahuan mengenai pengawasan layanan publik, ia pun mendapat pengetahuan dan pengalaman dalam hal berinteraksi, baik dengan warga penerima manfaat maupun dengan pemangku kebijakan. Sedangkan, Hodijah mengaku dirinya sempat merasa kebingungan ketika pertama kali disodori daftar kuesioner. Setelah diberi pembekalan, ia tak lagi mengalami kesulitan. Hanya saja, tetap terdapat kekhawatiran jika seandainya masyarakat menolak menjadi responden. Sedangkan menurut Maya, kendala terkait instrumen dirasakannya dalam hal bahasa. Pertanyaan kuesioner yang bersifat normatif bisa membingungkan responden. “Bahasa ilmiah tentunya beda dengan bahasa masyarakat. Jadi masyarakat saya ajak mengobrol sehingga tidak merasa diinterogasi. Untuk jawaban yang sesuai kuesioner, saya langsung catat,” kata Maya.
Pengawasan warga untuk Perbaikan birokrasi sektor kesehatan 11
Pengalaman Bersama Responden Pengalaman Ruhyat ketika pertama kali melakukan wawancara dan observasi adalah menangkap keengganan Puskesmas dalam menyediakan data. Bahkan mereka mempertanyakan kembali alasan observer meminta data. “Alasannya data tersebut merupakan dokumen rahasia. Lalu alasan lain adalah pimpinan yang sedang menghadiri kegiatan di luar kota. Namun akhirnya dokumen tersebut berhasil didapatkan walaupun hanya berupa soft copy,” ujarnya. Kecurigaan tersebut bukanlah tanpa alasan. “Mungkin mereka merasa ada kekurangan dalam pelayanan mereka dan takut kami kami publikasikan,” jelas Maya. Opini masyarakat yang mengidentifikan kritik terhadap kebijakan pemerintah dengan Ormas tertentu juga berimbas dalam kegiatan ini. Hal ini seperti yang dialami Ari. “Saya masuk langsung ditanya, ‘Bapak dari ormas mana?’,” kata Ari. Namun setelah dijelaskan dan menunjukkan surat tugas, sikap pelaksana pelayanan publik melunak. Mereka tak segan lagi untuk memberikan informasi-informasi yang diperlukan. Keengganan juga datang dari masyarakat penerima layanan. Namun setelah dijelaskan bahwa survei yang dilakukannya adalah untuk kepentingan masyarakat, mereka pun akhirnya mau bekerja sama.
12 Pengalaman warga melakukan Pengawasan
rePlikasi kegiatan
K
egiatan pengawasan seperti ini, sangat mungkin dilakukan di tingkat masyarakat. Hanya saja membutuhkan dorongan dan penyadaran. Hal tersebut bisa dicapai melalui sebuah kegiatan pelatihan. Awalnya Maya tidak tahu jika dirinya memiliki kemampuan melakukan pengawasan. Melalui pelatihan ini Maya akhirnya bisa mengenali kemampuan itu. Senada dengan Maya, Ari pun berpendapat masyarakat akan antusias jika diberikan pelatihan semacam ini.
Menurut Ruhyat, untuk yang bersifat umum masyarakat bisa saja melakukan pengawasan. Sedangkan untuk hal yang bersifat khusus, pelaku pengawasan harus dibekali pemahamam terlebih dahulu. “Jangan sampai karena masyarakat tidak paham, petugas malah dianggap salah. Atau sebaliknya. Jadi sebetulnya kedua belah pihak perlu diberi pemahaman yang sama terkait prosedur dan mekanisme pelayanan itu sendiri,” kata Ruhyat. Pelatihan pengawasan pelayanan publik memberi ruang bagi masyarakat untuk menyuarakan aspirasi mereka. Melalui pelatihan ini Maya merasa mendapatkan wadah dan mengetahui cara melakukan pengawasan dan menyampaikan pengaduan apabila terjadi penyimpangan dalam pelayanan. Hal senada disampaikan Hodijah. Menurutnya, akan sangat terasa bedanya antara masyarakat yang diberi pelatihan dengan yang tidak mengikuti pelatihan. Saat ini, ungkap Hodijah, banyak masyarakat yang berani mengkritik namun tidak terarah dan tidak memiliki wadah. Dengan adanya pelatihan, masyarakat akan mengetahui ke mana seharusnya kritik itu dilayangkan, atau bagaimana cara mengolah kritik. Pengawasan warga untuk Perbaikan birokrasi sektor kesehatan 13
rekoMendasi
K
egiatan pelatihan pengawasan pelayanan publik layak diselenggarakan kembali di tingkat masyarakat. Menurut pengalaman warga yang mengikuti pelatihan ini, ada banyak manfaat yang bisa diambil selama mengikuti pelatihan. Melalui kegiatan tersebut, potensi warga yang terpendam dapat tergali.
Selain potensi, kemampuan warga yang terlibat dalam pelatihan pengawasan publik ini juga terasah. Bukan hanya dalam hal teknis pengawasan, tetapi juga dalam membangun komunikasi. Meski dalam keseharian warga peserta pelatihan terbiasa menghadapi masyarakat, namun ketika berhadapan dengan instrumen tak urung dirasakan berbagai kesenjangan. Bahasa instrumen yang resmi menjadi kendala dalam menyampaikan pertanyaan kepada responden. Karena itu dibutuhkan kemampuan ekstra dalam menterjemahkan maksud pertanyaan tersebut ke dalam bahasa awam. Kegiatan pelatihan pengawasan pelayanan publik juga memungkinkan warga untuk mengorganisasi gerakan. Jika selama ini masyarakat tidak memiliki wadah yang terorganisir, melalui pelatihan warga memiliki kesempatan untuk membangun jaringan yang menjadi wadah menyalurkan aspirasi. Tanpa pelatihan, masyarakat memang berpeluang untuk melaksanakan pengawasan terhadap pelayanan publik. Namun ada hal-hal spesifik, misalnya standar pelayanan, tidak diketahui seluruh masyarakat. Sehingga perlu adanya kepastian pemahaman yang sama mengenai prosedur dan mekanisme pelayanan publik.
14 Pengalaman dengan resPonden