PARTISIPASI MASYARAKAT PADA KEGIATAN KONSERVASI LAHAN: Kasus Peran Pendampingan Penyuluh Kehutanan Swadaya Masyarakat (PKSM) di Kabupaten Bima, NTB
SRI RAMADOAN
SEKOLAH PASCA SARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2013
PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN SUMBER INFORMASI SERTA PELIMPAHAN HAK CIPTA Dengan ini saya menyatakan bahwa tesis yang berjudul Partisipasi Masyarakat pada Kegiatan Konservasi Lahan: Kasus Peran Pendampingan Penyuluh Kehutanan Swadaya Masyarakat (PKSM) di Kabupaten Bima, NTB adalah benar karya saya dengan arahan komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apapun kepada perguruan tinggi manapun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir tesis ini. Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada Institut Pertanian Bogor.
Bogor, Maret 2013
Sri Ramadoan NIM I351100051
_________________________ 1 Pelimpahan hak cipta atas karya tulis dari penelitian kerja sama dengan pihak luar IPB harus didasarkan pada perjanjian kerja sama yang terkait
RINGKASAN SRI RAMADOAN. Partisipasi Masyarakat pada Kegiatan Konservasi Lahan: Kasus Peran Pendampingan Penyuluh Kehutanan Swadaya Masyarakat (PKSM) di Kabupaten Bima, NTB. Dibawah bimbingan: PUDJI MULJONO dan ISMAIL PULUNGAN Hutan sebagai modal dasar pembangunan perlu dipertahankan keberadaannya dan dimanfaatkan sebesar-besarnya untuk kepentingan dan kesejahteraan masyarakat. Kenyataannya hutan mengalami kerusakan yang semakin meningkat dari tahun ke tahun yang mengakibatkan degradasi lahan sehingga membentuk lahan kritis, oleh karena itu perlu adanya upaya konservasi lahan melalui berbagai program kegiatan. Upaya konservasi lahan ini akan berhasil dengan baik apabila melibatkan masyarakat disekitar kawasan hutan sebagai pelaku utama dalam melaksanakan kegiatan konservasi lahan, terutama konservasi lahan di luar kawasan hutan yang merupakan lahan garapan milik petani sendiri melalui kegiatan Hutan Rakyat (HR) dan agroforestry. Undang-undang nomor 41 tahun 1999 tentang kehutanan menyatakan bahwa penyelenggaraan rehabilitasi hutan dan lahan diutamakan pelaksanaannya melalui pendekatan partisipatif dalam rangka mengembangkan potensi dan pemberdayaan masyarakat. Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2006 tentang Sistem Penyuluhan Pertanian, Perikanan dan Kehutanan juga mengamanatkan agar masyarakat ditempatkan sebagai pelaku utama dalam kegiatan penyuluhan. Umumnya masyarakat yang ada di sekitar hutan, mempunyai keterbatasan akses, pengetahuan, keterampilan dan kemauan untuk melaksanakan kegiatan konservasi lahan, oleh karena itu perlu diberikan bimbingan dan peningkatan pengetahuan melalui kegiatan penyuluhan dan pendekatan yang terus menerus. Penyelenggaraan penyuluhan kehutanan, menurut UU Nomor 16/2006, dilakukan oleh penyuluh Pegawai Negeri Sipil (PNS), penyuluh swasta dan/atau Penyuluh Kehutanan Swadaya Masyarakat (PKSM). Keberadaan dan peran PKSM ini diharapkan mampu menjadi salah satu faktor pendorong bagi peningkatan partisipasi masyarakat pada tahap perencanaan, pelaksanaan, pemanfaatan dan evaluasi kegiatan konservasi lahan. Peran pendampingan PKSM ini adalah sebagai analisator, stimulator, fasilitator dan pendorong. Faktor lain yang ikut berpengaruh terhadap tingkat partisipasi masyarakat adalah karakteristik individu petani berupa umur, pendidikan formal dan non formal, pendapatan, tanggungan, luas lahan, status lahan, motivasi dan kekosmopolitan serta peran dan fungsi kelompok tani sebagai kelas belajar, wahana kerjasama dan unit produksi. Peran pendampingan PKSM selain berperan dalam meningkatkan partisipasi, juga diharapkan mampu berpengaruh terhadap karakteristik individu dan peran serta fungsi dari kelompok tani. Penelitian ini bertujuan untuk: 1) mengukur tingkat partisipasi masyarakat dalam melaksanakan kegiatan konservasi lahan, 2) menganalisis faktor karakteristik individu yang paling berpengaruh terhadap tingkat partisipasi masyarakat pada kegiatan konservasi lahan, 3) menganalisis bentuk peran pendampingan PKSM yang berpengaruh terhadap tingkat partisipasi masyarakat pada kegiatan konservasi lahan, dan 4) menganalisis peran dan fungsi kelompok
tani yang mampu mempengaruhi tingkat partisipasi masyarakat pada kegiatan konservasi lahan. Metode penelitian menggunakan metode survey, dilakukan di 5 kecamatan (Ambalawi, Belo, Wawo, Wera, Woha) di Kabupaten Bima, NTB, sampel diambil secara acak dan proposional (Propotional Random Sampling). Analisis yang digunakan adalah statistik deskriptif dan inferensial. Distribusi frekuensi digunakan untuk mengetahui karakteristik individu petani, peran pendampingan PKSM, peran dan fungsi kelompok serta tingkat partisipasi masyarakat. Hubungan antar variabel dianalisis menggunakan analisis korelasi Rank Spearman dengan software SPSS 20.0. Hasil penelitian menunjukkan bahwa tingkat partisipasi masyarakat dalam melaksanakan kegiatan konservasi lahan termasuk kategori tinggi. Faktor karakteristik individu masyarakat yang berhubungan nyata dengan partisipasi adalah pendidikan non formal dan jumlah tanggungan. Peran pendampingan PKSM sebagai analisator, stimulator, fasilitator dan pendorong berhubungan sangat nyata dengan tingkat partisipasi pada setiap tahap partisipasi. Peran dan fungsi kelompok tani sebagai unit belajar, wahana kerjasama dan unit produksi berhubungan sangat nyata dengan tingkat partisipasi petani. Tingkat partisipasi masyarakat terhadap kegiatan konservasi lahan di Kabupaten Bima sudah tinggi dan kondisi ini dipengaruhi oleh peran pendampingan PKSM yang terus menerus dan peran serta fungsi kelompok tani, oleh karena itu perlu ada upaya-upaya pembinaan lebih lanjut dari pemerintah daerah, provinsi dan pusat untuk meningkatkan kapasitas SDM dan pengetahuan PKSM sehingga PKSM tersebut bisa terus melakukan kegiatan penyuluhan dan pendampingan kepada masyarakat. Pembinaan ini bisa berupa pelatihan, kunjungan lapangan, diikutkan pada lomba-lomba bidang kehutanan dan lingkungan, atau pendampingan yang lebih intensif lagi dari penyuluh PNS, selain itu juga perlu diberikan bantuan sarana prasarana, dan kesempatan sebagai fasilitator pada kegiatan-kegiatan penyuluhan di luar desa tempat tinggalnya agar PKSM tersebut bisa berkembang. Kepada petani yang telah berpartisipasi pada kegiatan konservasi lahan diberikan peningkatan kapasitas SDM berupa pelatihan kehutanan yang terkait dengan konservasi lahan dan kunjungan lapangan ke daerah-daerah yang telah berhasil. Penguatan kelembagaan dan pembinaan kepada kelompok tani berupa pemberian kegiatan, sarana prasarana yang menunjang kegiatan sehingga kelompok tani bisa tetap mandiri dan maju. Kata kunci: Agen perubahan, penyuluh kehutanan, PKSM, partisipasi masyarakat, konservasi lahan
SUMMARY SRI RAMADOAN. Community Participation in the Activity of Land Conservation: The Case Role of Forestry Extension Governmental (PKSM) of Bima District, West Nusa Tenggara: Supervised by PUDJI MULJONO and ISMAIL PULUNGAN. Forests as capital development needs to be protected and utilized as much as possible for the benefit and welfare of the community. The fact that damage forests is increasing from year to year, which resulted in land degradation thus forming a critical, therefore there is need for land conservation efforts through various program activities. This land conservation efforts will work well to engage the community around the forest as the main actors in implementing land conservation, especially conservation land outside the forest area is arable land owned by the farmers themselves through Community Forests (HR) and agroforestry. Law number 41 year of 1999 concerning Forestry stated that the implementation of forest and land rehabilitation preferred implementation through participatory approach in the context of community development and community empowerment. Law Nummber 16 Year 2006 on the Extension System for Agriculture, Fisheries and Forestry, also mandates that the public be placed as the main actors in extension activities. Generally the people who are around the forest, have limited access to the knowledge, skills and willingness to implement conservation land, therefore need to be given guidance and increased knowledge through extension activities and continuous approach. Implementation of forestry extension, according to Law No. 16/2006, conducted by the extension of Civil Servants (PNS), private instructor and / or Extension Forestry Governmental (PKSM). The existence and role of PKSM is expected to be one of the encoureg factors for increased community participation in planning, implementation, use and evaluation of conservation land. PKSM mentoring role is as analyzers, stimulator, facilitator and encoureger. Other factors that also affected the level of community participation are the characteristics of individual farmers such as age, formal and non-formal education, income, dependents, land area, land status, motivation and kekosmopolitan and the role and function of the peasantry as a class learning, collaboration and production unit vehicle . PKSM mentoring role than a role in increasing participation, is also expected to affect the characteristics of the individual and the role and function of the farmer groups. This study aimed to: 1) measure the level of community participation in implementing land conservation activities, 2) analyze the individual characteristics factors that most affect the level of community participation in land conservation, 3) analyze the role of mentoring PKSM forms that affect the level of community participation in activities land conservation, and 4) analyze the role and function of farmer groups that can affect the level of community participation in land conservation. This research using survey method, conducted in 5 sub districts (Ambalawi, Belo, Wawo, Wera, Woha) in Bima districts, West Nusa Tenggara, samples taken
by random and proportional (proportional random sampling). The analysis used is descriptive and inferential statistics. Frequency distribution is used to determine the characteristics of individual farmers, role of PKSM, the role and functions of the farmers group and the level of community participation. Analysis correlation of variables using Spearman rank correlation with SPSS 20.0 software. The results showed that the level of community participation in implementing land conservation activities were high. Factors related to the individual characteristics of the real with the participation was non-formal education and number of dependents. PKSM mentoring role as analyzers, stimulator, facilitator and driving very real associated with the level of participation at every stage of participation. The role and function of farmer groups as units of learning, collaboration and rides very real production unit associated with the level of participation of farmers. The level of community participation in land conservation Bima already high and this condition is influenced by the role PKSM ongoing mentoring and role functioning farmer groups, therefore there should be efforts to further development of the local, provincial and central to improving capacity building and knowledge PKSM so PKSM can continue to do outreach and assistance to the public. This guidance could be training, field trips, competitions included on forestry and environment, or more intensive assistance of extension of civil servants, but it also needs to be given infrastructure assistance, and opportunity as facilitator in extension activities outside the village residence that may progress PKSM. To farmers who participated in land conservation is given in the form of capacity building training related to forestry and land conservation field trips to areas that have been successful. Institutional strengthening and training to farmer groups for the provision of activities, facilities and infrastructure that support so that the farmer can remain independent and advanced. Keywords: agent of change, community participation, forestry extension, land conservation, PKSM
Hak Cipta Milik IPB, Tahun 2013 Hak Cipta Dilindungi Undang-Undang Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan atau menyebutkan sumbernya. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kkritik atau tinjauan suatu masalah; dan pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan IPB. Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh karya tulis dalam bentuk apa pun tanpa izin IPB.
PARTISIPASI MASYARAKAT PADA KEGIATAN KONSERVASI LAHAN: Kasus Peran Pendampingan Penyuluh Kehutanan Swadaya Masyarakat (PKSM) di Kabupaten Bima, NTB
SRI RAMADOAN
Tesis Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Magister Sains pada Program Studi Ilmu Penyuluhan Pembangunan
SEKOLAH PASCA SARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2013
Penguji: Penguji Luar Komisi
: Dr. Ir. Basita G. Sugihen, MA (Departemen Sains Komunikasi dan Pengembangan Masyarakat, Fakultas Ekologi Manusia, Institut Pertanian Bogor)
Judul Tesis
Nama NIM
: Partisipasi Masyarakat pada Kegiatan Konservasi Lahan: Kasus Peran Pendampingan Penyuluh Kehutanan Swadaya Masyarakat (PKSM) di Kabupaten Bima, NTB : Sri Ramadoan : I351100051
Disetujui oleh Komisi Pembimbing
Dr Ir Pudji Muljono, MSi Ketua
Ir Ismail Pulungan, MSc Anggota
Diketahui oleh
Ketua Program Studi Ilmu Penyuluhan Pembangunan
Dekan Sekolah Pascasarjana
Dr Ir Siti Amanah, MSc
Dr Ir Dahrul Syah, MScAgr
Tanggal Ujian: 29 Januari 2013
Tanggal Lulus
PRAKATA
Syukur Alhamdulillah penulis panjatkan kepada Allah SWT, karena hanya dengan karunia, rahmat, hidayah, kekuatan dan kesehatan dari-NYA, sehingga penulis mampu menyelesaikan penyusunan karya tulis ilmiah ini. Judul penelitian ini adalah Partisipasi Masyarakat pada Kegiatan Konservasi Lahan: Kasus Peran Pendampingan Penyuluh Kehutanan Swadaya Masyarakat (PKSM) di Kabupaten Bima, NTB. Tesis ini disusun untuk memenuhi syarat memperoleh gelar Magister Sains pada Program Studi Ilmu Penyuluhan Pembangunan, Sekolah Pascasarjana Institut Pertanian Bogor. Terimakasih dan penghargaan setinggi-tingginya penulis sampaikan kepada banyak pihak yang telah membantu penyelesaian tesis ini: 1. Komisi pembimbing yaitu Dr. Ir. Pudji Muljono, M.Si (ketua) dan Ir. Ismail Pulungan, M.Sc. (anggota), yang telah membimbing dan memberikan saran, masukan dan arahan sehingga penulisan tesis ini menjadi lebih baik. 2. Dekan Fakultas Ekologi Manusia, Ketua Program Studi Penyuluhan Pembangunan (PPN) IPB beserta para dosen pengajar yang telah menerima penulis sebagai mahasiswa Pascasarjana PPN IPB dan memberikan ilmu serta teori yang berkaitan dengan studi yang penulis tempuh. 3. Staf sekretariat Program Studi Penyuluhan Pembangunan (PPN) IPB (Desiar Ismoyowati, Kodir, H. Zainuddin) dan yang lainnya yang telah bekerjasama dengan baik, mendorong dan sangat membantu penulis. 4. Sekretaris Badan Koordinator Penyuluhan Propinsi NTB yang telah memberikan arahan dan bantuan. 5. Kepala Dinas Kehutanan Kabupaten Bima (Ir. Tamrin), Sekretaris Dinas Kehutanan (Ir. Bakhtiar), Kepala Sub Bagian Umum dan Kepegawaian (St. Rahmah, Bc.Kn), Kepala UPTD Kecamatan Ambalawi, Belo, Wawo, Wera dan Woha yang telah memberikan ijin untuk melaksanakan penelitian di wilayah kerjanya. 6. Penyuluh Kehutanan Bapak Subarjo, Hartono, Hananto, Idhar, Muliadin, Burhanudin, Supriyadi dan penyuluh lain yang telah banyak membantu selama pelaksanaan penelitian di lapangan. 7. Penyuluh Kehutanan Swadaya Masyarakat (PKSM) 17 orang di 5 kecamatan yang telah bersedia memberikan informasi dan membantu selama di lapangan. 8. Para petani anggota kelompok tani binaan PKSM di 16 desa, 5 kecamatan yang telah bersedia menjadi responden atas bantuan, informasi dan kerjasamanya. 9. Bapak dan Ibu tercinta, adik-adik, dan saudara-saudara serta teman-teman yang telah mendoakan, memberi dorongan dan semangat selama penulis menempuh dan menyelesaikan studi di IPB. 10. Khusus penulis ucapkan terimakasih kepada suami (Tufail, SH) dan Putriputra tercinta (Sweetania Athirah Faradhiyah dan Rafif Alim Nurhakim) atas doa, dorongan, pengertian dan kesabaran dalam mendampingi penulis selama menempuh dan menyelesaikan studi di IPB.
11. Teman-teman S2 angkatan 2010 (Ristianasari, Roy D.Samboh, Saptorini, Santi Utami Dewi, Aminuddin dan Ikhsan Haryadi) atas segala bantuan, kerjasama, kebersamaan dan kekompakkan yang telah terjalin selama ini. 12. Teman-teman S3 yang telah banyak membantu memberikan masukan, arahan dan kritik yang membangun untuk perbaikan tesis ini. 13. Semua pihak yang telah membantu dalam penyusunan tesis ini. Kesempurnaan hanya milik Allah SWT, karenanya penulis menyadari bahwa dalam penyusunan tesis ini masih terdapat kekurangan, oleh karena itu penulis menerima masukan, saran dan kritik untuk menjadikan penulisan tesis ini ke arah yang lebih baik. Semoga tesis ini dapat bermanfaat bagi semua pihak yang membutuhkan, amin.
Bogor, Maret 2013
Sri Ramadoan
DAFTAR ISI
Halaman DAFTAR ISI .................................................................................................. DAFTAR TABEL ......................................................................................... DAFTAR GAMBAR ..................................................................................... DAFTAR LAMPIRAN .................................................................................
xi xiii ix ix
PENDAHULUAN ........................................................................................... Latar Belakang .......................................................................................... Perumusan Masalah Penelitian ................................................................ Tujuan Penelitian ...................................................................................... Manfaat Penelitian ...................................................................................
1 1 4 4 5
TINJAUAN PUSTAKA ............................................................................... Penyuluhan .............................................................................................. Peran Penyuluh ........................................................................................ Pendampingan ......................................................................................... Peran PKSM ............................................................................................ Peran dan Fungsi Kelompok .................................................................... Partisipasi ................................................................................................. Konservasi Lahan ....................................................................................
6 6 8 12 15 19 22 29
KERANGKA BERPIKIR DAN HIPOTESIS ............................................. Kerangka Berpikir .................................................................................... Hipotesis ...................................................................................................
34 34 36
METODE PENELITIAN .............................................................................. Desain Penelitian ...................................................................................... Waktu dan Lokasi Penelitian .................................................................... Populasi dan Sampel ................................................................................. Pengembangan Instrumen penelitian ........................................................ Tehnik Pengumpulan Data ....................................................................... Tehnik Analisa Data .................................................................................
37 37 37 38 39 46 46
HASIL DAN PEMBAHASAN ..................................................................... Gambaran Umum Kabupaten Bima ......................................................... Gambaran Umum Lokasi Penelitian 5 (lima) Kecamatan di Kabupaten Bima ......................................................................................................... Karakterisitik PKSM di Kabupaten Bima ................................................ Karakteristik Individu Petani .................................................................... Peran pendampingan PKSM terhadap Peningkatan Partisipasi Masyarakat................................................................................................ Peran dan Fungsi Kelompok Tani ............................................................ Tingkat Partisipasi Petani .........................................................................
48 48 52 56 64 70 77 81
DAFTAR ISI (lanjutan)
Hubungan Karakteristik Individu dengan Tingkat Partisipasi Petani ...... Hubungan Peran Pendampingan PKSM dengan Tingkat Partisipasi Petani ........................................................................................................ Hubungan Peran dan Fungsi Kelompok Tani dengan Tingkat Partisipasi Petani ...................................................................................... Hubungan Peran Pendampingan PKSM dengan Karakteristik Individu . Hubungan Peran Pendampingan PKSM dengan Peran dan Fungsi Kelompok Tani ........................................................................................
84 89 91 93 96
SIMPULAN DAN SARAN ........................................................................... 100 Kesimpulan ............................................................................................... 100 Saran.......................................................................................................... 100 DAFTAR PUSTAKA ..................................................................................... 101 LAMPIRAN .................................................................................................... 110
DAFTAR TABEL
Halaman 1 Sebaran responden penelitian di 5 kecamatan di Kabupaten Bima .............. 39 2
Indikator, definisi operasional, parameter pengukuran karakteristik Individu petani ............................................................................................. 41
3
Indikator, definisi operasional, parameter pengukuran peran PKSM ........... 42
4
Indikator, definisi operasional, parameter pengukuran peran dan fungsi kelompok ............................................................................................ 43
5
Indikator, definisi operasional, parameter pengukuran tingkat partisipasi masyarakat ................................................................................... 43
6
Hasil uji instrumen penelitian ....................................................................... 45
7
Jumlah kecamatan, desa dan dusun di Kabupaten Bima............................... 48
8
Karakteristik individu PKSM di Kabupaten Bima tahun 2012.................... 58
9
Jumlah dan presentase anggota kelompok tani yang telah melaksanakan kegiatan konservasi lahan berdasarkan karakteristik individu di Kabupaten Bima tahun 2012
64
10 Peran pendampingan PKSM dalam meningkatkan partisipasi petani pada tahap perencanaan kegiatan konservasi lahan di Kabupaten Bima tahun 2012 ........................................................................................... 71 11 Peran pendampingan PKSM dalam meningkatkan partisipasi petani pada tahap pelaksanaan kegiatan konservasi lahan di Kabupaten Bima tahun 2012 ........................................................................................... 72 12 Peran pendampingan PKSM dalam meningkatkan partisipasi petani pada tahap pemanfaatan kegiatan konservasi lahan di Kabupaten Bima tahun 2012 ........................................................................................... 74 13 Peran pendampingan PKSM dalam meningkatkan partisipasi petani pada tahap evaluasi kegiatan konservasi lahan di Kabupaten Bima tahun 2012 ... 75 14 Peran dan fungsi Kelompok Tani (KT) dalam meningkatkan partisipasi petani pada kegiatan konservasi lahan di Kabupaten Bima .......................... 78
DAFTAR TABEL (lanjutan)
Halaman 15 Jumlah dan presentase petani pada setiap tahap partisipasi dalam kegiatan konservasi lahan di Kabupaten Bima ............................................. 81 16 Hubungan karakteristik individu petani dengan tingkat partisipasi petani dalam kegiatan konservasi lahan di Kabupaten Bima .................................. 84 17 Hubungan peran pendampingan PKSM dengan tingkat partisipasi petani dalam kegiatan konservasi lahan di Kabupaten Bima .................................. 89 18 Hubungan peran dan fungsi kelompok tani dengan tingkat partisipasi petani dalam kegiatan konservasi lahan di Kabupaten Bima ....................... 92 19 Hubungan peran pendampingan PKSM dengan karakteristik individu petani dalam kegiatan konservasi lahan di Kabupaten Bima ....................... 94 20 Hubungan peran pendampingan PKSM dengan peran dan funngsi kelompok tani di Kabupaten Bima ............................................................... 97
DAFTAR GAMBAR Halaman 1 Hubungan pengaruh karakteristik individu, peran pendampingan PKSM, peran dan fungsi kelompok terhadap tingkat partisipasi .................. 36
DAFTAR LAMPIRAN
Halaman 1
Kisi-kisi instrumen penelitian ................................................................... 111
2
Peta lokasi penelitian 5 kecamatan di Kabupaten Bima ............................ 113
3
Peta Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) Kabupaten Bima ...................114
4
Peta tutupan lahan Kabupaten Bima .............................................................115
5
Peta Kawasan Hutan di Kabupaten Bima .....................................................116
6
Kondisi lahan kritis dan penanaman lahan di Kabupaten Bima ...................117
7
Kondisi infrastruktur dan sarana transportasi di Kabupaten Bima ..............118
8
Profil PKSM di Kabupaten Bima .................................................................119
9
Kondisi sarana dan prasarana yang dimiliki oleh kelompok tani ................120
10 Contoh usaha produktif yang dimiliki oleh kelompok tani ..........................121
1
PENDAHULUAN
Latar Belakang
Hutan sebagai modal dasar pembangunan perlu dipertahankan keberadaannya dan dimanfaatkan sebesar-besarnya untuk kepentingan dan kesejahteraan masyarakat. Luas kawasan hutan dan perairan di Indonesia saat ini yang ditetapkan berdasarkan Surat Keputusan Menteri Kehutanan seluruhnya adalah ± 134.275.567,98 hektar yang terdiri dari kawasan hutan lindung, hutan produksi terbatas, hutan produksi tetap dan hutan produksi yang dapat dikonversi (Kemenhut 2011). Kenyataannya hutan yang seharusnya dijaga dan dilestarikan tersebut semakin lama semakin rusak, pembangunan kehutanan selama ini telah mengabaikan keberadaan dan fungsi hutan sehingga terjadi deforestasi hutan yang semakin meningkat dari tahun ke tahun yang mengakibatkan degradasi lahan sehingga membentuk lahan kritis. Lahan kritis adalah lahan yang secara biofisik telah rusak karena terbuka dan mengalami erosi berat. Laju deforestasi secara nasional pertahun mencapai 2,83 juta ha, luas lahan kritis sebesar 23,24 juta ha. Lahan kritis ini 35 persen berada di dalam kawasan hutan dan 65 persen berada di luar kawasan hutan. Kerusakan hutan dan lahan berdampak pada tiga aspek penting yaitu aspek lingkungan, aspek ekonomi dan aspek sosial. Kerusakan hutan ini terjadi karena adanya kegiatan-kegiatan illegal yang dilakukan oleh masyarakat di dalam hutan dan eksploitasi sumberdaya alam untuk memenuhi kebutuhan hidupnya. Mengatasi kondisi kerusakan hutan dan degradasi lahan perlu adanya upaya konservasi lahan baik yang dilakukan melalui program-program konservasi yang diprogramkan oleh pemerintah maupun yang dilakukan oleh masyarakat secara swadaya. Upaya konservasi lahan ini akan berhasil dengan baik apabila melibatkan masyarakat disekitar kawasan hutan dan pemilik lahan di luar kawasan hutan sebagai pelaku utama dalam melaksanakan konservasi lahan tersebut. Keterlibatan masyarakat ini, sejalan dengan amanat Undang-undang nomor 41 tahun 1999 tentang kehutanan yang menyatakan bahwa penyelenggaraan rehabilitasi hutan dan lahan diutamakan pelaksanaannya melalui pendekatan partisipatif dalam rangka mengembangkan potensi dan pemberdayaan masyarakat. Lebih lanjut juga dinyatakan bahwa untuk menjamin perlindungan hutan yang sebaik-baiknya, masyarakat diikutsertakan dalam upaya perlindungan hutan. Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2006 tentang Sistem Penyuluhan Pertanian, Perikanan dan Kehutanan juga mengamanatkan agar masyarakat ditempatkan sebagai pelaku utama dalam kegiatan penyuluhan, pelaku utama ini adalah masyarakat di dalam dan di sekitar kawasan hutan. Umumnya masyarakat yang ada di sekitar hutan, mempunyai keterbatasan akses, pengetahuan, keterampilan dan kemauan untuk melaksanakan kegiatan konservasi lahan, dan kondisi ini mempengaruhi serta menjadi salah satu kendala yang menghambat masyarakat untuk berpartisipasi dalam kegiatan konservasi lahan.
1
2 Menurut Riyanto (2008), kondisi masyarakat sekitar hutan saat ini rata-rata miskin, masyarakat yang tinggal di sekitar hutan berjumlah ± 10 juta jiwa, dari jumlah tersebut ± 4 juta jiwa tergolong miskin. Lebih lanjut menurut CIFOR 2000; BPS 2000 yang diacu dalam Kemenhut (2011), dari jumlah penduduk Indonesia yaitu sebanyak 219,9 juta jiwa, penduduk yang bermukim di dalam dan sekitar kawasan hutan tercatat sebanyak 48,8 juta jiwa, dan sekitar 10,2 juta jiwa diantaranya tergolong miskin. Masyarakat yang berada di sekitar hutan yang masih dalam kondisi terbatas tersebut, perlu diberikan bimbingan dan peningkatan pengetahuan tentang manfaat serta fungsi kegiatan konservasi lahan melalui kegiatan penyuluhan secara intensif. Kegiatan penyuluhan ini dilakukan terus menerus serta melibatkan masyarakat mulai dari proses perencanaan, pelaksanaan, pemeliharaan sampai dengan evaluasi kegiatan konservasi lahan. Penyelenggaraan penyuluhan kehutanan yang intensif dan terus menerus ini selain dapat diberikan oleh Penyuluh Kehutanan PNS, juga dilaksanakan oleh penyuluh yang berasal dari masyarakat (penyuluh swadaya) yang sudah ada dalam lingkungan masyarakat itu sendiri atau dari luar yang sudah terbukti berhasil melaksanakan kegiatan konservasi lahan. Hal ini sejalan dengan UU Nomor 16/2006, yang menyatakan bahwa kegiatan penyuluhan kehutanan dilakukan oleh penyuluh Pegawai Negeri Sipil (PNS), penyuluh swasta dan/atau penyuluh swadaya. Penyuluh swadaya bidang kehutanan lebih dikenal dengan sebutan Penyuluh Kehutanan Swadaya Masyarakat (PKSM). Keberadaan PKSM ini membantu mengatasi kekurangan tenaga penyuluh PNS dalam suatu wilayah, dia bekerjasama serta menjadi mitra kerja penyuluh PNS dalam mengajak dan mendorong masyarakat untuk berpartisipasi pada kegiatan konservasi lahan. PKSM diharapkan mampu berperan dalam menjembatani penyampaian berbagai informasi, transfer ilmu pengetahuan dan alih teknologi kepada sasaran penyuluhan melalui berbagai metode dan teknik penyuluhan, sehingga terjadi perubahan sikap dan keterampilan serta bertambahnya pengetahuan yang dimiliki oleh masyarakat. Menurut Dephut (2009), PKSM mempunyai peran penting dan strategis dalam mendukung keberhasilan pembangunan kehutanan, dan juga merupakan investasi penting untuk membantu mengamankan, melestarikan sumberdaya hutan sebagai aset negara sekaligus sebagai upaya meningkatkan kesejahteraan masyarakat PKSM tersebar di seluruh Indonesia, berdasarkan data tahun 2009, jumlah PKSM yang terdata di Kementerian Kehutanan sebanyak 1900 orang, tahun 2012 jumlah PKSM meningkat menjadi 2504. Pemberdayaan PKSM ini diarahkan kepada tokoh-tokoh masyarakat yang telah dikukuhkan sebagai PKSM yang secara mandiri mau dan mampu melaksanakan penyuluhan kehutanan. PKSM mau melaksanakan penyuluhan kehutanan secara swadaya karena didorong oleh rasa ingin berbagi pengetahuan, keterampilan, dan kepedulian terhadap keberadaan dan kelestarian hutan, apabila kondisi hutan dan lahan baik, maka akan meningkatkan produktivitas pertanian dan kesejahteraan masyarakat. Provinsi yang berada di wilayah Indonesia Timur yang memiliki PKSM dan terdaftar di Kementerian Kehutanan sampai saat ini terdiri dari provinsi Bali sebanyak 136 orang, provinsi Nusa Tenggara Barat sebanyak 274 orang dan provinsi Nusa Tenggara Timur sebanyak 11orang (Kemenhut 2012).
3 Kabupaten Bima, merupakan salah satu kabupaten yang ada di Provinsi Nusa Tenggara Barat (NTB) yang saat ini sudah memiliki instansi/lembaga penyelenggara penyuluhan pertanian dan perikanan yaitu Badan Penyuluhan Pertanian, Perikanan dan Kehutanan (BP4K) dan Dinas Kehutanan sebagai penyelenggara penyuluhan kehutanan di bawah koordinasi Badan Koordinasi Penyuluhan (Bakorluh) Provinsi NTB. Kabupaten Bima memiliki potensi lahan kritis seluas 73.062,71 Ha, terbagi lahan di luar kawasan hutan Negara 42.388,10 Ha dan dalam kawasan 30.674,61 Ha. Luas tanaman yang direboisasi mulai tahun 2007 – 2011 seluas 2.310 Ha (Dishut 2011). Kabupaten Bima juga memiliki potensi sumberdaya manusia penyuluh PNS sebanyak 20 orang yang membina masyarakat di 18 Kecamatan dan 177 desa, PKSM sebanyak 60 orang yang membina paling sedikit 1 (satu) Kelompok Tani (KT) dalam 1 desa dengan jumlah anggota kelompok antara 40150 orang/KT. Saat sekarang kelompok tani yang masih aktif sebanyak 90 KT dengan total jumlah anggota sebanyak 5.508 orang. Kemenhut (2011), menyatakan bahwa pengembangan kemandirian masyarakat dilakukan oleh penyuluh kehutanan melalui pendampingan berbagai kegiatan usaha produktif masyarakat yang berbasis kehutanan dan dengan membangun berbagai model atau percontohan kegiatan pembangunan kehutanan. Pendampingan yang dilakukan dalam upaya mendukung keberhasilan pembangunan kehutanan adalah melalui kegiatan pembangunan Hutan Rakyat (HR), Pengelolaan Hutan Bersama Masyarakat (PHBM), Hutan Tanaman Rakyat (HTR), Hutan Kemasyarakatan (HKm), Hutan Desa, One Billion Indonesia Trees, dan lain-lain. Partisipasi masyarakat dan pendampingan yang dilakukan oleh PKSM pada kegiatan konservasi lahan baik di dalam kawasan maupun pada lahan milik petani yang telah dilakukan di Kabupaten Bima sejalan dengan program konservasi yang telah diprogramkan oleh Pemerintah Pusat dan Daerah melalui Dinas Kehutanan yaitu berupa, program Gerakan Rehabilitasi Hutan dan Lahan (GERHAN), Indonesia Menanam (IM), penanaman Hutan Rakyat (HR) dan penerapan pola tanam sistem agroforestry serta pengelolaan hutan bersama masyarakat melalui Hutan Kemasyarakatan (HKm). Berdasarkan keberadaan dan peran PKSM serta partisipasi masyarakat terhadap kegiatan konservasi lahan yang terjadi di Kabupaten Bima, menarik kiranya untuk mengetahui tingkat partisipasi masyarakat dan faktor peran apa saja yang dilakukan oleh PKSM sehingga mampu meningkatkan partisipasi masyarakat dalam melaksanakan kegiatan konservasi lahan, selain faktor peran PKSM, ada faktor-faktor lain yang mampu meningkatkan partisipasi masyarakat yang bisa digali lebih jauh, yaitu faktor karakteristik individu dan faktor keterlibatan masyarakat dalam kelompok sebagai lembaga sosial yang ada di lingkungannya. Informasi-informasi tersebut akan memberikan pengaruh pada pembinaan, pengembangan dan peningkatan peran PKSM dan partisipasi masyarakat lebih lanjut.
4 Perumusan Masalah Penelitian
Kepedulian masyarakat terhadap kelestarian hutan, tingkat partisipasi pada kegiatan konservasi lahan dan peningkatan produktifitas lahan masih rendah, serta pemberdayaan masyarakat sebagai pelaku utama dalam penyelenggaraan penyuluhan kehutanan dan pengelolaan hutan belum berjalan dengan baik. Kondisi ini mengindikasikan bahwa tingkat kesadaran masyarakat sebagai pelaku utama dalam melakukan kegiatan konservasi baik dalam kawasan maupun di luar kawasan masih relatif rendah. Menurut Suyadi (2009), rendahnya tingkat kesadaran dan kepeduliaan masyarakat dapat dipengaruhi oleh faktor internal (kurangnya pengetahuan, pendidikan dan kemampuan), dan faktor eksternal (kurangnya penyuluhan, pelatihan, sarana prasarana, media massa sebagai sumber informasi), serta faktor pembelajaran yang belum memadai, oleh karena itu, untuk membantu mengatasi kondisi ini perlu adanya faktor pendorong baik yang berasal dari dalam masyarakat itu sendiri maupun pendorong dari luar. Faktor yang berasal dari dalam adalah karakteristik individu petani, sedangkan faktor dari luar adalah peran pendampingan PKSM dan peran kelompok sebagai lembaga sosial masyarakat yang mampu mengajak dan menyadarkan masyarakat untuk berpartisipasi dalam kegiatan konservasi lahan. Berdasarkan latar belakang dan permasalahan yang diuraikan di atas, maka perumusan masalah penelitian adalah: Bagaimanakah tingkat partisipasi masyarakat dalam melaksanakan kegiatan 1. konservasi lahan? 2. Faktor-faktor karakteristik individu apa sajakah yang paling mempengaruhi tingkat partisipasi masyarakat pada kegiatan konservasi lahan? Bagaimanakah bentuk peran PKSM yang mampu meningkatkan partisipasi 3. masyarakat pada kegiatan konservasi lahan? 4. Apakah tingkat partisipasi masyarakat pada kegiatan konservasi lahan dipengaruhi oleh peran dan fungsi kelompok tani?
Tujuan Penelitian
1. 2. 3. 4.
Penelitian ini bertujuan untuk : Mengukur tingkat partisipasi masyarakat dalam melaksanakan kegiatan konservasi lahan. Menganalisis faktor karakteristik individu yang paling berpengaruh terhadap tingkat partisipasi masyarakat pada kegiatan konservasi lahan. Menganalisis bentuk peran PKSM yang berpengaruh terhadap tingkat partisipasi masyarakat pada kegiatan konservasi lahan. Menganalisis peran dan fungsi kelompok tani yang mampu mempengaruhi tingkat partisipasi masyarakat pada kegiatan konservasi lahan.
5 Manfaat Penelitian
1. 2.
Penelitian ini dilakukan dengan harapan dapat memberikan manfaat: Sebagai bahan masukan bagi para pengambil kebijakan dalam bidang penyuluhan kehutanan terutama tentang konservasi lahan. Sebagai bahan informasi bagi peneliti yang berminat pada masalah penyuluh swadaya dan partisipasi masyarakat terutama pada bidang kehutanan.
6
TINJAUAN PUSTAKA
Penyuluhan
Penyuluhan berdasarkan definisi dari Undang-Undang nomor 16 Tahun 2006 adalah proses pembelajaran bagi pelaku utama serta pelaku usaha agar mereka mau dan mampu menolong dan mengorganisasikan dirinya dalam mengakses informasi pasar, teknologi, permodalan dan sumberdaya lainnya, sebagai upaya untuk meningkatkan produktivitas, efisiensi usaha, pendapatan, dan kesejahteraannya, serta meningkatkan kesadaran dalam pelestarian fungsi lingkungan hidup. Van den Ban dan Hawkins (1999), mengemukakan definisi penyuluhan adalah merupakan keterlibatan seseorang untuk melakukan komunikasi informasi secara sadar dengan tujuan untuk membantu sesamanya memberikan pendapat sehingga bisa membuat keputusan yang benar. Penyuluhan bisa dikatakan sebagai proses: 1. Membantu petani menganalisis situasi yang sedang dihadapi dan melakukan perkiraan ke depan. 2. Membantu petani menyadarkan terhadap kemungkinan timbulnya masalah dari analisis tersebut. 3. Meningkatkan pengetahuan dan mengembangkan wawasan terhadap suatu masalah, serta membantu menyusun kerangka berdasarkan pengetahuan yang dimiliki petani. 4. Membantu petani memutuskan pilihan yang tepat yang menurut pendapat mereka sudah optimal. Menurut Maunder 1973; Claar 1984 diacu dalam Leeuwis (2009), penyuluhan merupakan suatu pelayanan atau sistem yang membantu orang bertani, melalui prosedur yang bersifat mendidik, meningkatkan metode dan tehnik berusaha tani, meningkatkan efisiensi dan pendapatan, meningkatkan tingkat kehidupan mereka, dan menaikkan standar sosial dan pendidikan. Penyuluhan juga merupakan proses yang berlanjut untuk mendapatkan informasi yang berguna kepada rakyat (dimensi komunikatif) dan kemudian membantu orang-orang tersebut mendapatkan pengetahuan, keterampilan, dan sikap yang diperlukan untuk menggunakan informasi dan teknologi secara efektif (dimensi pendidikan). Mardikanto (1996, 2009), mendefinisikan penyuluhan kehutanan sebagai upaya alih-teknologi kehutanan melalui pendidikan di luar sekolah yang ditujukan kepada petani dan kelompok masyarakat lainnya untuk meningkatkan pengetahuan, kesadaran, keterampilan, dan kemampuannya dalam memanfaatkan lahan miliknya, pengamanan, serta pelestarian sumberdaya alam. Penyuluhan juga dapat diartikan sebagai proses perubahan sosial, ekonomi dan politik untuk memberdayakan dan memperkuat kemampuan masyarakat melalui proses belajar bersama yang partisipatif, agar terjadi perubahan perilaku pada diri semua stakeholders (individu, kelompok, kelembagaan) yang terlibat
6
7 dalam proses pembangunan, demi terwujudnya kehidupan yang semakin berdaya, mandiri, dan partisipatif yang semakin sejahtera secara berkelanjutan. Daniels et al. (2005), menyampaikan bahwa sejalan dengan tujuan penyelenggaraan penyuluhan maka pengertian penyuluhan adalah pemberdayaan petani dan keluarganya berserta masyarakat pelaku agribisnis melalui kegiatan pendidikan non formal di bidang pertanian agar mereka mampu menolong dirinya sendiri baik di bidang ekonomi, sosial maupun politik, sehingga peningkatan pendapatan dan kesejateraan mereka tercapai. Menurut Setiana (2005), penyuluhan dalam arti umum adalah ilmu sosial yang mempelajari sistem dan proses perubahan pada individu serta masyarakat agar dapat terwujud perubahan yang lebih baik sesuai dengan yang diharapkan, dengan demikian penyuluhan dapat diartikan sebagai suatu pendidikan yang bersifat non formal di luar sistem sekolah yang biasa. Fungsi penyuluhan adalah untuk menjembatani kesenjangan antara praktik yang biasa dijalankan oleh petani dengan pengetahuan dan teknologi yang selalu berkembang yang menjadi kebutuhan para petani. Fungsi penyuluhan juga dapat dianggap sebagai penyampai dan penyesuai program nasional dan regional agar dapat diikuti dan dilaksanakan oleh petani, sehingga program-program masyarakat yang disusun dengan baik akan berhasil dan masyarakat berpartisipasi di dalam program tersebut. Penyuluhan adalah proses kapasitasi SDM petani melalui sistem pendidikan nonformal. Petani juga memiliki hak untuk memperoleh pendidikan dan bentuk pendidikan bagi petani adalah penyuluhan, oleh karena itu pemerintah harus dapat menjamin terselenggaranya penyuluhan yang menjadi hak bagi SDM petani. Pemerintah gagal menyelenggarakan penyuluhan itu artinya suatu bentuk pelanggaran terhadap hak asasi yaitu hak asasi petani untuk mendapatkan pendidikan (Padmowiharjo 2006) Susanto (2008), menyampaikan bahwa kegiatan dan proses penyuluhan adalah serangkaian upaya yang dilakukan untuk mengubah perilaku sasaran melalui pendekatan proses belajar tidak formal atau pendidikan luar sekolah dengan memposisikan sasaran sebagai subyek dan dikaitkan dengan pengakuan atas ciri-ciri pribadinya yang unik. Tujuan akhir dari penyuluhan pembangunan adalah tercapainya kondisi baru yang lebih baik pada sasaran (subyek) penyuluhan sesuai harapan, melalui perubahan perilaku sasaran, termasuk di dalamnya perbaikan kesejahteraan dan meningkatnya kualitas Sumber Daya Manusia (SDM). Peranan penyuluhan pembangunan adalah menjembatani kesenjangan perilaku sasaran antara kondisi sekarang dengan kondisi yang diharapkan. Cara menjembatani kesenjangan dilakukan melalui pendekatan proses belajar/proses pendidikan tidak formal ke arah penyadaran sasaran yang berdampak akhir pada perubahan perilaku yang dicirikan oleh perubahan kualitas SDM sasaran. Menurut Schoorl (1980) yang diacu dalam Ginting (1999), sasaran penyuluhan adalah warga desa (dalam kelompok) dengan maksud untuk mengubah perilaku mereka atau secara lebih spesifik agar mereka dapat menerima (mengadopsi) suatu pembaharuan ide atau praktek. Pemimpin informal mempunyai peranan penting dalam membantu terjadinya perubahan perilaku warga, pemimpin tertentu khususnya pemimpin berkharisma memiliki pengaruh yang besar atas diterima/ditolaknya gagasan baru di berbagai bidang kehidupan.
8 Ariani dan Apsari (2011), menyampaikan bahwa agar pelaksanaan penyuluhan dapat mencapai tujuan yang diharapkan, berbagai pihak yang terkait dengan pelaksanaan penyuluhan hendaknya benar-benar memahami falsafah yang mendasari eksistensi penyuluhan itu sendiri. Penyuluhan tidak menciptakan ketergantungan, tetapi harus mampu mendorong semakin tercipta kreativitas dan kemandirian masyarakat agar semakin memiliki kemampuan untuk berswakarsa, swadaya, swadana dan swakelola bagi terselenggaranya kegiatan-kegiatan guna tercapai tujuan, harapan, dan keinginan - keinginan masyarakat sasarannya.
Peran penyuluh
Ahmadi (1999), mengemukakan bahwa peran adalah suatu cara individu bersikap dan berbuat dalam situasi tertentu berdasarkan status dan fungsi sosialnya. Menurut Soekanto (2000), peran (role) merupakan aspek yang dinamis dari kedudukan (status), apabila seseorang melakukan hak dan kewajibannya sesuai dengan kedudukannya, maka berarti dia telah menjalankan suatu peran. Kedudukan dengan peran tidak dapat terpisahkan satu dengan yang lainnya, keduanya saling tergantung. Levinson dalam Soekanto, menyampaikan bahwa suatu peran paling sedikit mencakup tiga hal, yaitu: 1) peran meliputi norma-norma yang dihubungkan dengan posisi atau tempat seseorang dalam masyarakat. Peran dalam arti ini merupakan rangkaian peraturan-peraturan yang membimbing seseorang dalam kehidupan bermasyarakat, 2) peran adalah suatu konsep yang dapat dilakukan oleh individu dalam masyarakat sebagai organisasi, dan 3) peran juga dapat dikatakan sebagai perilaku individu yang penting bagi struktur sosial masyarakat. Penyuluh adalah salah satu unsur penting yang diakui peranannya dalam memajukan pertanian di Indonesia. Penyuluh yang siap dan memiliki kemampuan dengan sendirinya berpengaruh pada kinerjanya. Pengalaman di masa lalu menunjukkan bahwa keberhasilan Indonesia meningkatkan produksi pangan menjadi negara swasembada tidak saja ditentukan oleh adanya mobilisasi Nasional dalam bentuk kesiapan dana, sarana dan prasarana, serta kelembagaan, tetapi juga oleh kemampuan penyuluh (Wardoyo 1992) Menurut Mardikanto (2009), fungsi dan peran penyuluh adalah sebagai penyampai inovasi dan mempengaruhi penerima manfaat penyuluhan dalam pengambilan keputusan, penjembatan/penghubung antara pemerintah atau lembaga penyuluhan yang diwakilinya dengan masyarakat, baik dalam hal menyampaikan inovasi atau kebijakan-kebijakan yang harus diterima dan dilaksanakan oleh masyarakat sasaran, maupun untuk menyampaikan umpan balik atau tanggapan masyarakat kepada pemerintah/lembaga penyuluhan yang bersangkutan. Susanto (2008), menyatakan bahwa dalam mengemban peran dan fungsinya, seorang penyuluh/change agent perlu memahami dan memiliki kemampuan, yaitu: 1) menempatkan masyarakat sebagai subyek dengan ciri-ciri uniknya, 2) melakukan pendekatan dan kerjasama dengan pihak yang memiliki
9 kepedulian untuk melakukan perubahan, dan 3) siap menghadapi kemungkinan ada penolakan sosial dari masyarakat terhadap perubahan yang akan dilakukan. Lionberger dan Gwin (1982), menyampaikan tugas dan peran seorang penyuluh kepada kliennya adalah sebagai penyampai informasi, pendengar yang baik, membantu mengidentifikasi dan memecahkan masalah, memfasilitasi adopsi agar lebih cepat, penghubung, membantu mengembangkan kemampuan, sebagai guru keterampilan, membantu pekerjaan dan administrasi, mendorong terjadinya perubahan, sebagai penjaga gawang, membantu pendanaan, pemimpin lokal, membantu menentukan sesuatu serta membantu membentuk organisasi. Empat peran utama yang penting bagi penyuluh menurut Boyle (1981), yaitu: 1. Analisator (analis), peran ini adalah dasar bagi keberhasilan setiap penyuluh. Peran ini adalah untuk memahami situasi dan membantu mendiagnosa kebutuhan klien. Hal ini penting untuk mendefinisikan masalah atau kebutuhan di semua jenis kegiatan. Peran ini harus dilakukan melalui berbagai tindakan seperti menentukan pengalaman belajar, sumber daya, mengembangkan rencana untuk evaluasi, atau komunikasi. 2. Stimulor (pemicu), peran stimulator disebut sebagai "penggerak" atau "motivator." Hal ini penting untuk membangkitkan antusiasme klien dalam melaksanakan suatu program. Antusiasme klien mungkin saja kurang karena disebabkan oleh berbagai alasan, termasuk kekurangmampuan untuk memecahkan masalah atau memenuhi kebutuhan, kurangnya pengetahuan tentang proses dan sumber daya, dan konflik antara individu dan kelompok. Penyuluh akan bertindak sebagai stimulus untuk menjaga proses menggerakan dan melihat klien yang terlibat, dan membuat kontak dengan individu yang diperlukan dengan pengaruh dan sumber daya. 3. Fasilitator, penyuluh berfungsi untuk menghubungkan kebutuhan klien dengan pengetahuan yang sesuai atau sumber daya secara efisien dan efektif. Peran ini dibutuhkan untuk menciptakan lingkungan khusus dan membangun lingkungan belajar yang kondusif bagi klien sehingga proses penyuluhan antara klien dan penyuluh dapat terjalin dengan baik. 4. Pendorong, kebanyakan klien/masyarakat merasa ragu dan khawatir dalam melakukan sebuah kegiatan, terutama jika kegiatan tersebut adalah kegiatan yang baru bagi mereka. Mereka tidak yakin dengan kemampuan pribadi dan potensi kelompok. Kondisi ini dapat atasi melalui penggunaan media tertentu dan membutuhkan dorongan dari seorang penyuluh dan kelompok yang mampu membantu orang menyadari potensi mereka. Menurut Lippit (1954), peran penyuluh dalam mendorong terjadinya perubahan pada masyarakat, dimulai dari: 1. Pengenalan pada masalah. Merupakan langkah pertama dari proses pemberian bantuan dan menggunakan hasil pengenalan masalah tersebut sebagai suatu panduan agar klien mampu melakukan proses perubahan. 2. Penilaian terhadap motivasi dan kemampuan klien untuk berubah. Usaha untuk berubah harus muncul dari klien, tingkat dan mutu perubahan yang dicapai tergantung usaha dan kemampuannya, penyuluh hanya membantu menumbuhkan/memotivasi keinginan untuk berubah. Penyuluh harus berusaha memunculkan optimisme realistis bagi perubahan diri klien, dan menghilangkan keraguan yang ada.
10 3. Penilaian terhadap motivasi dan sumber daya penyuluh. Sasaran hasil kerja penyuluh harus bermanfaat bagi dirinya dan orang lain. Penyuluh harus menjaga supaya tidak emosional dalam membantu perubahan, perlu ada optimisme diantara mereka (penyuluh dan klien-nya), agar mampu berkomunikasi untuk menghindari keraguan. 4. Pemilihan sasaran tujuan penyuluhan. Penyuluh harus menyediakan beberapa ide, keputusan dan apa tujuan penyuluhan. Bagaimana cara mencapai tujuan tersebut, apa yang harus dilakukan terlebih dahulu. 5. Memilih peran bantuan yang cocok. Penyuluh harus membina hubungan dengan klien, pengenalan pengetahuan, menyediakan kekuatan dari dalam, menciptakan lingkungan khusus dan memberi dukungan selama proses perubahan. 6. Penetapan dan pemeliharaan hubungan dengan klien. Berperan dalam memberikan kebutuhan akan sanksi yang cocok, menjelaskan prospek perubahan dan mengatur intensitas dan mutu bantuan. 7. Mengenali dan membantu tahap perubahan. Tahap perencanaan penyuluhan; klien menemukan kebutuhan akan bantuan, penyuluh merangsang perubahan, memperkenalkan, menjelaskan masalah yang akan terjadi, menguji alternatif perubahan, membantu penguatan niat, dan membantu melepas keterikatan serta menjelaskan kelanjutan hubungan dengan masalah yang berbeda. 8. Memilih gaya dan teknik perilaku spesifik yang sesuai, dalam melaksanakan kegiatan penyuluhan penyuluh akan berhadapan dengan suatu permintaan terus menerus untuk keputusan yang nyata. Apa yang ia akan lakukan dan apa yang ia akan katakan pada saat itu? Gunakan apapun sumberdaya yang dimiliki dan mempersiapkan diri menuju tahap berikutnya. Beberapa penyuluh sangat tergantung pada perilaku klien dan mereka memiliki kontribusi untuk membantu proses klien yang ingin maju. 9. Dukungan pengembanan profesional melalui penelitian dan pemahaman. Penyuluh yang profesional harus meningkatkan potensi dan kompetensi yang dimiliki agar bisa berkembang sehingga dia bisa berperan sebagai penolong bagi masyarakat. Keberhasilan pembangunan pertanian tidak terlepas dari peran penting penyuluh karena penyuluh merupakan pihak yang langsung berhubungan dengan pemberdayaan petani. Penyuluh harus memiliki kompetensi yang sesuai dengan kondisi dan tantangan penyuluh saat ini agar dapat melaksanakan perannya dengan baik. Penyuluh yang memiliki kompetensi tinggi akan mampu menunjukkan kinerja yang baik karena kompetensi merupakan salah satu faktor yang berpengaruh terhadap kinerja penyuluh (Huda 2010) Menurut Marliati (2008), strategi peningkatan kinerja penyuluh pertanian dalam memberdayakan petani adalah: 1. Meningkatkan faktor-faktor yang berpengaruh terhadap kinerja penyuluh dalam memberdayakan petani, yaitu dengan meningkatkan kompetensi penyuluh; dukungan positif sistem sosial dan akses petani terhadap pendidikan non formal. Kompetensi penyuluh yang ditingkatkan yaitu: komunikasi (efektifitas berkomunikasi, kemampuan menjalin relasi, menggunakan media komunikasi, dll.); mengorganisasikan kegiatan belajar petani (kemampuan memotivasi, mengelola kegiatan belajar, kemampuan menggunakan berbagai metode belajar, dan lain-lain) dan interaksi sosial (kemampuan untuk diterima
11 masyarakat, kemampuan mengatasi konflik, dll.). Karakteristik sistem sosial yang strategis untuk ditingkatkan adalah adalah: nilai-nilai sosial budaya; fasilitasi oleh lembaga pemerintah terkait agribisnis, akses terhadap kelembagaan agribisnis. 2. Meningkatkan kinerja penyuluh pertanian dengan meningkatkan kualitas kerja yang berkaitan dengan tugas utama penyuluh pertanian dalam memberdayakan petani yaitu: a) pengembangan perilaku inovatif, b) penguatan partisipasi petani, c) penguatan kelembagaan petani, d) penguatan akses terhadap berbagai sumberdaya, e) penguatan kemampuan petani berjaringan dan f) kaderisasi. Menurut Oladele (1991) diacu dalam Agbogidi (2009), peran penyuluh sangat penting bagi petani karena penyuluh berfungsi sebagai penghubung antara penelitian dan membawa informasi baru teknologi dari para peneliti. Penelitian dan penyuluhan merupakan upaya yang kompleks, beragam dan memperlihatkan bukti dari suatu daerah dan diperlukan untuk informasi teknis. Tantangan utama tenaga penyuluh kehutanan adalah adanya manajemen yang buruk pada pengelolaan sumber daya hutan, kurangnya tenaga professional dan kapasitas manajerial yang terbatas, jumlah penyuluh kehutanan tidak memadai dibandingkan dengan jumlah kebutuhan pendampingan oleh masyarakat dan wilayah kerja yang luas, selain itu penyuluh kehutanan juga tidak mendapatkan insentif yang cukup, kurang mendapatkan pelatihan yang memadai untuk peningkatan kapasitas dan minim sarana parasarana penyuluhan. Suprayitno (2008), menyampaikan bahwa penyuluh diharapkan mampu mengajak dan meningkatkan kemampuan masyarakat sekitar hutan agar mau dan mampu menganalisis kondisi dan potensi serta masalah-masalah kehutanan yang perlu diatasi menuju terciptanya hutan lestari. Masyarakat berperan serta dalam proses pengambilan keputusan mulai dari tahap perencanaan, pelaksanaan dan sampai tahap penilaian kegiatan yang dikembangkan oleh dan untuk mereka. Partisipasi atau pelibatan masyarakat lokal ini merupakan inti proses pemberdayaan masyarakat, di mana pengalaman dan pengetahuan masyarakat dalam berinteraksi dengan hutan serta kemauan mereka untuk menjadi lebih baik merupakan dasar proses pemberdayaan. Proses pemberdayaan masyarakat ini bertujuan untuk memandirikan masyarakat agar dapat meningkatkan taraf hidupnya, mengoptimalkan sumber daya setempat sebaik mungkin, baik sumber daya alam maupun sumber daya manusia. Melalui proses pelibatan masyarakat lokal diharapkan akan dapat dikembangkan lebih jauh pola pikir masyarakat yang kritis dan sistematis. Hamzah (2011), menyampaikan bahwa penyelenggaraan penyuluhan pertanian dipengaruhi secara berturut-turut dari yang paling penting atau dominan dari faktor yang mempengaruhi kinerja penyuluh yaitu; 1) kompetensi penyuluh pada aspek pelaksanaan program penyuluhan, 2) intensitas pemanfaatan media-media penyuluhan, 3) persepsi posistif penyuluh terhadap tugas/ pekerjaan, 4) intensitas pelatihan penyuluhan, dan 5) partisipasi aktif masyarakat terhadap kegiatan-kegiatan penyuluhan. Robbins (1996), Schemerchon, et al. (1997), Werther dan Davis ( 1989), McEvoy dan Cascio (1989) dalam Suhanda et al. (2008), menjelaskan beberapa karakteristik individu seperti umur, jenis kelamin, masa kerja, pendidikan dan pelatihan memberikan kontribusi terhadap kinerja seseorang. Lebih lanjut
12 disampaikan bahwa berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan untuk mengetahui kinerja penyuluh PNS, diketahui bahwa karakteristik penyuluh yang paling erat hubungannya dengan kinerja adalah usia, masa kerja, institusi sekolah, pelatihan, motivasi berprestasi, kesempatan pengembangan karir, tingkat kewenangan dan tanggungjawab, makna pekerjaan, insentif, pembinaan dan supervisi serta kondisi kerja.
Pendampingan
Menurut Ariani dan Apsari (2011), terminologi pendampingan digunakan oleh banyak masyarakat di berbagai bidang, tidak terkecuali bidang pertanian, Berdasarkan penelitian tentang model pendampingan yaitu model pendampingan berbasis among, diketahui bahwa makna sesungguhnya pendampingan adalah panggulo wenthah (guru) bagi petani dengan ciri dasar pendampingan adalah momong, among dan ngemong. Pelaksanaan kegiatan penyuluhan tidak dibenarkan adanya unsur paksaan, selalu menjaga batin peserta didik (petani). Penyuluhan tidak saja membangun intelektualitas dan ketrampilan petani namun membangun manusia dan sosial budaya (rural community). Pendampingan berbasis among merupakan wujud konkrit dari salah satu falsafah pendidikan Tut Wuri Handayani dari Ki Hajar Dewantoro, dengan pemahaman bahwa setiap manusia membawa kodrat alamnya masing-masing yang berarti setiap petani memiliki karakter masing-masing. Model pendampingan berbasis among merupakan pendekatan pembelajaran dengan konsep pemecahan masalah oleh individu petani. Skenario pendampingan berbasis among sebagai berikut: penyuluh menyiapkan dan menyediakan obyek pembelajaran, petani berinteraksi dengan obyek tersebut. Penyuluh melakukan monitoring ketika para petani sedang berinteraksi dengan obyek pembelajaran. Petani menemukan permasalahan dengan obyek pembelajaran/penyuluhan, melakukan fasilitasi untuk mengatasinya. Menurut Dephut (2004), upaya pemberdayaan masyarakat secara umum dapat diwujudkan dengan menerapkan prinsip-prinsip dasar pendampingan yaitu: 1. Belajar dari masyarakat; yang paling mendasar adalah pemberdayaan masyarakat merupakan proses yang berasal dari, oleh dan untuk masyarakat, pemberdayaan dibangun atas pengakuan serta kepercayaan akan nilai dan relevansi pengetahuan tradisional masyarakat serta kemampuannya untuk memecahkan masalahnya sendiri. 2. Pendamping sebagai fasilitator; masyarakat sebagai pelaku utama, peran penyuluh sebagai pendamping, penyuluh dan fasilitator bersikap rendah hati dan belajar dari masyarakat. 3. Belajar bersama dengan tukar pengalaman; memberikan pengakuan akan pengalaman dan pengetahuan tradisional masyarakat, dan diperlukan adanya keterpaduan antara pengetahuan lokal dengan inovasi dari luar. 4. Mendahulukan kepentingan masyarakat setempat; fasilitator membantu memahami kebutuhan dan membesarkan harapan masyarakat dan menentukan kegiatan yang paling mendasar dan prioritas bagi masyarakat.
13 5. Membangkitkan kepercayaan diri; fasilitator harus mampu untuk membangkitkan percaya diri masyarakat, mengidentifikasi kebutuhan, mengidentifikasi nilai-nilai positif yang ada di masyarakat, dan melakukan pendampingan yang terus menerus. 6. Berorientasi pada proses; fasilitator memberdayakan masyarakat berorientasi pada proses walaupun membutuhkan waktu lama. Karsidi (2007), menyampaikan bahwa salah satu prinsip pendampingan untuk pemberdayaan masyarakat adalah pengakuan akan pengalaman dan pengetahuan lokal masyarakat. Hal ini bukanlah berarti bahwa masyarakat selamanya benar dan harus dibiarkan tidak berubah. Kenyataan obyektif telah membuktikan bahwa dalam banyak hal perkembangan pengalaman dan pengetahuan lokal masyarakat tidak mampu mengejar perubahan dan dapat memecahkan masalah dan sebaliknya pengetahuan dan inovasi yang diperkenalkan dari luar juga belum tentu mampu menyelesaikan masalah mereka, oleh karena itu antara pengetahuan lokal dan inovasi dari luar harus dipilih secara arif sehingga mampu saling melengkapi satu sama lainnya. Menurut Mardikanto (1993), pendampingan dalam pemberdayaan” tidak sekedar memberitahu atau ”menerangkan,” akan tetapi tujuan yang sebenarnya adalah proses aktif yang memerlukan interaksi antara pendamping dan yang disuluh (klien) agar terbangun proses perubahan “perilaku” (behaviour) yang merupakan perwujudan dari: pengetahuan, sikap, dan keterampilan seseorang yang dapat diamati oleh orang/pihak lain, baik secara langsung (berupa: ucapan, tindakan, bahasa-tubuh, dll) maupun tidak langsung (melalui kinerja dan atau hasil kerjanya). Penyuluhan pertanian dilakukan dengan pendampingan partisipatif, melalui penyuluhan pertanian partisipatif petani tidak dibiarkan sendirian dalam mengakses informasi, menganalisis situasi yang sedang mereka hadapi dan menemukan masalah-masalah, melakukan perkiraan ke depan, melihat peluang dan tantangan. Penyuluhan partisipatif juga mampu meningkatkan pengetahuan dan meningkatkan wawasan, menyusun kerangka pemikiran berdasarkan pengetahuan yang mereka miliki, menyusun berbagai alternatif pemecahan masalah, memutuskan tindakan pemecahan masalah yang mereka hadapi, menggalang dana secara swadaya, melakukan monitoring dan evaluasi, dan melakukan proses pertukaran informasi. Pelaksanaan penyuluhan pendampingan partisipatif memerlukan sosok penyuluh yang: 1) bisa menjadi mitra yang akrab bagi petani, 2) mampu memfasilitasi dan menggugah proses berfikir petani, 3) selalu bersama petani, 4) menghargai petani dengan meng”orang”kan-nya, 5) tidak menonjolkan diri, 6) selalu menjalin kerjasama dengan petani, 7) selalu mengembangkan dialog horizontal dengan petani (komunikasi dialogis) bukan komunikasi yang searah sebagai bawahan-atasan atau guru-murid (komunikasi monologis), dan 8) tidak menggurui petani (Padmowiharjo 2006). Menurut Asngari (2007), pendamping “sebagai agen pembaharuan dapat berperan sebagai juru penerang (pemberi informasi), guru, penasihat, pembimbing, konsultan dan pengarah dalam kaitan dengan bisnis klien baik bisnis on farm maupun bisnis off farm serta wawasan pembaharuan dan modernisasi. Lebih lanjut tentang falsafah pentingnya individu, Asngari menjelaskan bahwa
14 sebagai “agen pembaharuan, seorang pendamping harus menempatkan SDM-klien sebagai pemain atau aktor/aktris yang aktif bagi pengembangan dan perkembangan dirinya sendiri. Demikian juga dalam falsafah kerjasama. Antara agen pembaharuan/pendampingan dan sumberdaya klien harus terjalin kerjasama dalam kegiatan pendampingan.” Menurut Setiawan (2008), pendamping dituntut untuk memiliki kualitas pribadi yang baik yang dapat diperoleh dari pelatihan, pengalaman dan praktek terhadap kegiatan. Ciri-ciri kualitas pendamping yang baik antara lain: kematangan pribadi, kreatifitas, pengamatan diri, keinginan untuk menolong, keberanian dan kepekaan. Kunci untuk mencapai efektifitas pendampingan terletak pada kemampuan pendamping dalam menganalisis dan menetapkan prioritas kebutuhan. Kegiatan pokok yang dilakukan pendamping untuk mencapai tujuan pendampingan adalah: 1. Pengumpulan fakta, mengupayakan diperolehnya kenyataan yang memadai untuk perencanaan dan kegiatan yang baik. 2. Pengembangan program, yaitu merintis, mengembangkan, menyempurnakan dan mengakhiri program. 3. Standarisasi, yaitu menentukan, memelihara, dan meningkatkan standart serta meningkatkan keefektifan, efisiensi dan dan keharmonisan pelaksanaan kegiatan kelompok-kelompok, organisasi-organisasi, bagian dari masyarakat dan penduduk lainnya. 4. Koordinasi, yaitu meningkatkan dan memperlancar hubungan dan kerjasama antar perseorangan, organisasi maupun kelompok. 5. Pendidikan dan pelatihan, yaitu melaksanakan pelatihan yang menunjang kegiatan. 6. Hubungan masyarakat, yaitu mengembangkan pemahaman yang lebih baik kepada masyarakat. 7. Peningkatan tujuan program, yaitu meningkatkan dan mengupayakan agar tujuan khusus yang akan dicapai disepakati bersama. 8. Partisipasi, mengerahkan dan memelihara keikutsertaan secara aktif dari masyarakat. 9. Pemberian dukungan, mengembangkan dan mengupayakan kelangsungan dukungan keuangan secara memadai. Menurut Hakim (2008), program kegiatan dengan pendekatan dari atas ke bawah telah menunjukkan kekurangberhasilan dan kurang memberikan manfaat kepada masyarakat, oleh karena itu perlu dilakukan pendekatan yang bersifat memberdayakan masyarakat dengan mempergunakan pengalaman dan pengetahuan serta kemauan mereka untuk menjadi lebih baik. Faktor ini bertujuan untuk memandirikan masyarakat agar dapat meningkatkan taraf hidupnya, menggunakan dan mengakses sumberdaya setempat sebaik mungkin, baik sumberdaya alam maupun sumber daya manusia. Mendukung keberhasilan tersebut dilakukan pendampingan kepada masyarakat yang bertujuan menggerakkan masyarakat dalam berinisiatif dan beraktivitas bagi dirinya. Konsep pendampingan masyarakat secara substansial merupakan suatu interaksi yang terus menerus antara pendamping dengan masyarakat hingga terjadi proses perubahan kreatif yang diprakarsai oleh masyarakat yang sadar diri dan terdidik.
15 Purwatiningsih et al. (2004), menyatakan bahwa dalam pembangunan masyarakat pedesaan, peran pendampingan menjadi faktor penentu, karena masyarakat memerlukan dorongan psikologis dalam kegiatan mereka, oleh karena itu pemerintah harus konsisten menyediakan tenaga fasilitator pada masingmasing wilayah. Masyarakat sebagai pelaku utama dalam kegiatan, dituntut mempunyai peranan penting dalam pelaksanaan dan keberlanjutan kegiatan tersebut, apabila masyarakat berpartisipasi aktif, maka diharapkan pada kegiatan selanjutnya dapat berkembang atas kemauan dan kemampuan mereka sendiri.
Peran PKSM
Menurut Undang Undang Nomor 16/2006, kegiatan penyuluhan kehutanan dilakukan oleh penyuluh Pegawai Negeri Sipil (PNS), penyuluh swasta dan/atau penyuluh swadaya. Pengangkatan dan penempatan penyuluh PNS disesuaikan dengan kebutuhan dan formasi yang tersedia berdasarkan peraturan perundangundangan. Keberadaan penyuluh swasta dan penyuluh swadaya bersifat mandiri untuk pemenuhan kebutuhan pelaku utama dan pelaku usaha. Penyuluh swasta dan penyuluh swadaya dalam melaksanakan penyuluhan kepada pelaku utama dan pelaku usaha dapat berkoordinasi dengan penyuluh PNS. Penyuluh swasta adalah penyuluh yang berasal dari dunia usaha dan/atau lembaga yang mempunyai kompetensi dalam bidang penyuluhan, sedangkan penyuluh swadaya adalah pelaku utama yang berhasil dalam usahanya dan warga masyarakat lainnya yang dengan kesadarannya sendiri mau dan mampu menjadi penyuluh. Menurut Kemenhut (2010), tenaga penyuluh kehutanan Pegawai Negeri Sipil (PNS) di Indonesia tahun 2010 berjumlah 4.033 orang yang terdiri dari 3.931 orang penyuluh yang ada di Propinsi/Kabupaten/Kota dan 102 orang yang ada di Unit Pelaksana Tehnis (UPT) Kementerian Kehutanan. Jumlah ini masih kurang dibandingkan dengan jumlah luas wilayah binaan Badan Penyuluhan dan Pengembangan Sumberdaya Manusia Kehutanan (BP2SDMK), Kementerian Kehutanan yang meliputi seluruh wilayah Indonesia. Kajian kebutuhan penyuluh kehutanan yang dilakukan oleh kementerian kehutanan, untuk seluruh Indonesia dibutuhkan sebanyak 21.000 orang dan saat ini baru bisa terpenuhi sebesar 18.5% dari kebutuhan tersebut. Salah satu terobosan untuk mengatasi kekurangan tenaga penyuluh tersebut adalah dengan membina dan bekerjasama dengan penyuluh swadaya sehingga penyelenggaraan penyuluhan dan upaya pendampingan terus menerus kepada masyarakat dapat berjalan dengan lancar. Menurut Sumardjo (2008) penyuluh adalah perorangan yang melakukan penyuluhan. Seorang penyuluh harus memiliki kompetensi dalam bidang penyuluhan baik itu yang disebut penyuluh PNS, penyuluh swasta maupun penyuluh swadaya. Ada 5 (lima) kompetensi yang penyuluh menurut Spencer dan Spencer, Mitrani et al. yang diacu dalam Sumardjo yaitu: 1. Motives (dorongan) adalah sesuatu di mana seseorang secara konsisten berpikir sehingga ia melakukan tindakan.
16 2. Traits (sifat bawaan) adalah karakter atau kepribadian yang membuat seseorang berprilaku tertentu dalam merespon sesuatu dengan cara tertentu. 3. Self concept (konsep diri) adalah sikap dan nilai yang dimiliki seseorang. 4. Knowledge (pengetahuan) adalah informasi yang dimiliki oleh seseorang untuk bidang tertentu. 5. Skills (keterampilan) adalah kemampuan untuk melaksanakan suatu tugas baik secara fisik mamupun mental. Dephut (2009), mendefinisikan penyuluh swadaya dengan istilah Penyuluh Kehutanan Swadaya Masyarakat (PKSM) sebagai tokoh masyarakat yang secara mandiri mau dan mampu melaksanakan penyuluhan kehutanan, berdasarkan hal tersebut PKSM dikategorikan sebagai individu yang: 1. Melakukan upaya nyata dibidang kehutanan (rehabilitasi, konservasi, pengamanan dan perlindungan hutan) secara swadaya. 2. Sukarela dan memiliki semangat untuk mengajak atau menularkan ilmu pengetahuan yang dimilikinya kepada anggota masyarakat lainnya. 3. Memiliki pengetahuan dan keterampilan yang ditiru dan diteladani oleh masyarakat. 4. Mendapat pengakuan dari masyarakat sekitar bahwa yang bersangkutan memiliki kemampuan sebagai penyuluh swadaya. PKSM melakukan pemberdayaan masyarakat secara mandiri (perorangan) dan bersama-sama (kelompok), PKSM perorangan biasanya berasal dari kelompok masyarakat yang melaksanakan kegiatan kehutanan, bisa berupa Kader Konservasi Alam (KKA), Kader Usaha Tani Menetap (KANITAP), Kelompok pecinta Alam (KPA), Kelompok Tani Hutan (KTH) sukarelawan, Pramuka dan sebagainya. Sedangkan kelembagaannya bisa berasal dari LSM, Karang Taruna, Remaja Masjid, Remaja Gereja, Majelis Taklim, Lembaga Pendidikan dan sebagainya. Penetapan PKSM adalah berdasarkan usulan dari masyarakat dan rekomendasi penyuluh kehutanan, kemudian dinas kehutanan/instansi yang memiliki tugas dan fungsi bidang penyuluhan mempersiapkan penetapan anggota masyarakat tersebut sebagai PKSM. Penetapan ini bisa melalui surat keputusan Bupati/Walikota, Kepala Dinas Kehutanan, Kepala Badan Pelaksana Penyuluhan Pertanian, Perikanan dan Kehutanan (BP4K). Pengakuan PKSM bisa berupa surat keputusan, piagam dan kartu/PIN tanda PKSM. Pendamping PKSM adalah penyuluh kehutanan di wilayah kerja PKSM sehingga penyuluh tersebut perlu dipersiapkan agar menjadi pendamping dan mitra yang memiliki wawasan pengetahuan dan keterampilan bidang kelembagaan, pemberdayaan masyarakat, pengelolaan usaha dan kemitraan kegiatan kehutanan, menjalin hubungan kerjasama dan komunikasi dengan berbagai pihak, memiliki tanggung jawab menyelesaikan kesepakatan yang tidak dibuat bersama PKSM, dan mempunyai program pendampingan yang berkelanjutan. Setiawan et al. (2009), koordinasi peran yang dilakukan oleh penyuluh pemerintah dan penyuluh swasta hanya kuat dan berjalan dengan penyuluh swadaya (kelompok tani). Sedangkan koordinasi dengan yang lainnya tidak berjalan, baik penyuluh pemerintah dengan penyuluh lainnya maupun penyuluh lainnya dengan penyuluh pemerintah. Peran penyuluh pertanian telah bergeser dari sekedar agen perubahan, pembina, instruktur dan pengajar menjadi fasilitator,
17 dinamisator, motivator, stimulator, inisiator, mediator dan inovator, oleh karena itu penyuluh sebagai pendamping masyarakat harus menguasai materi dan keterampilan (profesional skills) sesuai dengan bidang keahlian, mampu selalu beradaptasi dengan teknologi baru. Kenyataan di lapangan adalah peran penyuluh pertanian baik penyuluh pemerintah, swasta dan swadaya dalam pembangunan pertanian dan pemberdayaan petani di pedesaan masih menampilkan kinerja yang lemah. Artinya, transformasi peran penyuluh dari agen perubah perilaku ke fasilitator, motivator, inisiator, mediator dan inovator belum berjalan efektif. Kegiatankegiatannya pun masih tergantung pada pemerintah atau perusahaan yang sedang promosi. Lemahnya peran penyuluh pemerintah akibat dari: 1) petani semakin mandiri dalam mencari dan menemukan informasi yang dibutuhkannya dan 2) petani memiliki sumber informasi yang lebih baik pelayanannya daripada para penyuluh. Dephut (2009), pemberdayaan yang diberikan kepada PKSM adalah dalam rangka meningkatkan kemampuan dan meningkatkan kemandirian PKSM agar mampu dan memiliki kapasitas untuk memecahkan sendiri masalah yang mereka hadapi. Partisipasi PKSM adalah mampu berperan lebih luas dan secara penuh dari setiap langkah dan tindakan dalam setiap pengambilan keputusan, sedangkan kemandirian dapat diartikan bahwa mandiri secara ekonomi (mampu bertahan dalam kondisi apapun), mandiri secara intelektual (mampu memahami dan menerapkan pola pikir sebab akibat untuk memecahkan permasalahan hidup) serta mandiri manajemen (mampu mengelola kelembagaan tingkat lokal yang terbentuk mulai dari oleh dan untuk masyarakat dalam rangka membangun masyarakat itu sendiri). PKSM diberdayakan dengan: 1) memberi kesempatan sebagai narasumber dalam sarasehan atau seminar dan sebagai pengajar tamu dalam pelatihan masyarakat, 2) pemberian alat bantu atau alat peraga penyuluhan seperti bibit tanaman dan sejenisnya, 3) pelaksanaan pelatihan-pelatihan atau kegiatankegiatan usaha produktif, 4) pemberian modal usaha bergulir dan kemitraan usaha. Keberhasilan dari peran PKSM sebagai pendamping masyarakat dapat diketahui dengan melakukan monitoring dan evaluasi peran dan aktifitas PKSM. Monitoring diarahkan pada cara penyampaian materi penyuluhan kepada masyarakat, peran PKSM sebagai pelaku dan penggerak masyarakat dan keaktifan membangun kemitraan dengan berbagai pihak. Evaluasi diarahkan pada masyarakat sekitar apakah sudah tau dan mengerti tentang program pembangunan hutan dan kehutanan, masyarakat sekitar melaksanakan kegiatan yang dilakukan oleh PKSM dan masyarakat mengakui manfaat PKSM dalam membantu usahausaha yang produktif dalam kegiatan kehutanan. Pemberdayaan yang dilakukan oleh PKSM kepada masyarakat meliputi: 1) pemberdayaan masyarakat di bidang ekonomi dengan tujuan untuk meningkatkan kualitas kehidupan sosial ekonomi, 2) pemberdayaan masyarakat di bidang sosial budaya dengan tujuan untuk meningkatkan apresiasi masyarakat terhadap sistem nilai sosial budaya sebagai alat kontrol sikap dan perilaku dalam kehidupan bersama, 3) pemberdayaan masyarakat di bidang politik bertujuan untuk meningkatkan pemahaman masyarakat tentang hakikat demokrasi, 4)
18 pemberdayaan masyarakat di bidang lingkungan dengan tujuan untuk meningkatkan akses masyarakat dalam memanfaatkan sumberdaya alam dan melestarikan lingkungan hidup. PKSM mempunyai peran penting dan strategis dalam mendukung keberhasilan pembangunan kehutanan, dan juga merupakan investasi penting untuk membantu mengamankan, melestarikan sumberdaya hutan sebagai aset negara sekaligus sebagai upaya meningkatkan kesejahteraan masyarakat. Penyuluh swadaya diarahkan kepada tokoh-tokoh masyarakat yang memiliki pengaruh kuat dan mau diikuti oleh masyarakat lain. Tokoh masyarakat ini dapat berperan sebagai fasilitator/komunikator, stimulator, motivator atau pendorong. Peran sebagai fasilitator adalah memfasilitasi atau menyamakan keinginan masyarakat setempat, pihak pemerintah dan swasta serta menjadi juru bicara atau wakil masyarakat dalam menyampaikan keinginan kepada pemerintah, demikian juga sebaliknya. Peran sebagai stimulator adalah menggerakkan dengan memberikan rangsangan berupa contoh nyata keberhasilan kepada masyarakat sasaran. Peran sebagai motivator adalah menjadi pendorong bagi masyarakatnya dalam mengelola hutan agar tidak merusak, dan mendorong pemerintah agar memperhatikan kemauan atau kepentingan rakyat (Sumarlan 2004). Dukungan tokoh masyarakat (Kepala Suku, Pendeta, Guru, dan Penyuluh Kehutanan) sebagai pemimpin informal, akan memudahkan penyampaian informasi tentang suatu program pembangunan yang ditawarkan oleh pemerintah. Tokoh masyarakat memiliki kekuasaan karena posisinya dan dianggap mampu dapat memecahkan masalah yang dihadapi oleh anggota masyarakatnya. Menurut Ginting (1999), peran dari pemimpin informal yang berpengaruh langsung adalah: 1) menyadarkan pengikut akan masalah, 2) memberi informasi, 3) memotivasi pengikut, 4) membina kerjasama, 5) memberi ganjaran/sanksi, dan 6) menghubungkan kelompok/komunitasnya ke luar. Indraningsih et al, (2010), menyampaikan bahwa selama ini setiap ada proyek/program pemerintah, penyuluh selalu bekerjasama dengan kelompok tani. Interaksi yang tergolong sering dilakukan dengan pengurus kelompok tani terutama ketua kelompok tani, implikasinya adalah bahwa ketua kelompok tani ini dapat dikategorikan sebagai penyuluh swadaya. Selanjutnya Indraningsih juga menyampaikan bahwa keberadaan penyuluh swadaya memberikan beberapa keuntungan. antara lain: 1. Melibatkan dan memberdayakan penyuluh swadaya, maka target Kementerian Pertanian maupun kementerian kehutanan untuk menempatkan satu orang penyuluh dalam satu desa dapat tercapai. 2. Pelaksanaan kegiatan penyuluhan, penyuluh swadaya dapat bekerjasama dengan penyuluh PNS atau THL-TBPP. Kerjasama ini akan menguntungkan dari sisi penyusunan program penyuluhan pertanian melalui pendekatan perencanaan bersama atau join planning/participatory planning, yakni kepentingan pemerintah pusat yang berupa kebijakan bersifat top-down dipadukan dengan kebutuhan petani yang bersifat bottom-up. 3. Keterlibatkan penyuluh swadaya sebagai pendamping penyuluh PNS dalam menyusun perencanaan program penyuluhan akan berdampak pada penerimaan program dan dukungan terhadap pelaksanaan program penyuluhan pertanian.
19 4. Keuntungan lain jika menempatkan ketua kelompok tani sebagai penyuluh swadaya adalah akan terjalin komunikasi yang efektif dengan petani yang dibina. Disampaikan pula bahwa peran penyuluh pertanian PNS atau THL-TBPP baru dirasakan oleh petani yang terlibat dalam program pemerintah (terutama pengurus kelompok tani). Curahan waktu penyuluh lebih banyak untuk kegiatan yang bersifat administratif dibanding penyuluhan, serta beban wilayah binaan mencapai 3-6 desa, penyuluh swadaya dalam mengemban tugas melakukan penyuluhan bekerjasama dengan penyuluh pertanian PNS. Artinya bahwa penyuluh swadaya yang berada di lokasi binaan penyuluh PNS tersebut lebih banyak berperan dalam melakukan kegiatan penyuluhan dibandingkan dengan penyuluh PNS itu sendiri. Didukung oleh Pescosolido (2001), yang menyampaikan bahwa pemimpin informal (ketua kelompok) berpengaruh sangat kuat terhadap keberhasilan kelompok secara keseluruhan mulai dari awal pembentukan kelompok sampai dengan proses berjalannya kelompok, seorang ketua kelompok harus mampu mengartikulasikan berbagai kekuatan dan kelemahan kelompok sehingga bisa memberikan kontribusi terhadap keberhasilan kelompok. Kondisi yang ditemukan oleh Setiawan et al. (2009) di lapangan, penyuluh pemerintah lebih dikenal dan diakui oleh masyarakat, daripada penyuluh swadaya meskipun perannya masih belum bergeser dari agen perekayasa (change agent), perpanjangan tangan pemerintah atau swasta, difusi informasi dan teknologi budidaya modern (transfer of technology), ke arah fasilitasi, mediasi, inisiasi dan demokratisasi. Kondisi serupa juga disampaikan oleh Indraningsih et al. (2010), keberadaan penyuluh swadaya di tingkat petani perlu disosialisasikan, agar masyarakat tahu bahwa selain penyuluh pertanian PNS, terdapat pula penyuluh swasta dan penyuluh swadaya (dapat berasal dari kalangan petani), sosialisasi ini perlu dilakukan karena selama ini yang dikenal masyarakat petani secara luas adalah penyuluh dari pemerintah atau penyuluh pertanian PNS. Dukungan pemerintah daerah setempat dalam memberikan reward kepada para penyuluh swadaya sangat diperlukan berupa surat penunjukkan tertulis (sebagai bentuk penghargaan) dan insentif atau honorarium.
Peran dan Fungsi Kelompok
Menurut Johnson & Johnson (1987) yang diacu dalam Sarwono (2005), sedikitnya ada tujuh jenis definisi kelompok berdasarkan keragaman kelompok yaitu: 1) kumpulan individu yang saling berinteraksi, 2) kelompok merupakan satuan (unit) sosial yang terdiri atas dua orang atau lebih yang melihat diri mereka sebagai bagian dari kelompok itu, 3) sekumpulan individu yang saling tergantung, 4) kumpulan individu yang bersama-sama bergabung untuk mencapai satu tujuan, 5) kumpulan individu yang mencoba untuk memenuhi beberapa kebutuhan melalui penggabungan diri mereka (joint association), 6) kumpulan individu yang
20 interaksinya diatur (distrukturkan) oleh atau dengan seperangkat peran dan norma, dan 7) kumpulan individu yang saling mempengaruhi. Walgito (2006), menyampaikan alasan atau motivasi seseorang masuk dalam kelompok, yaitu: 1. Seseorang masuk dalam satu kelompok pada umumnya ingin mencapai tujuan secara individu tidak dapat atau sulit dicapai. 2. Kelompok dapat memberikan, baik kebutuhan fisiologis (walaupun tidak langsung) maupun kebutuhan psikologis. Seseorang masuk dalam kelompok koperasi dengan maksud memperoleh keuntungan finansial yang dapat membantu mencukupi kebutuhan ekonomi yang akhirnya berkaitan dengan kebutunan fisologis. 3. Kelompok dapat mendorong pengembangan konsep dan mengembangkan harga diri seseorang. 4. Kelompok dapat pula memberikan pengetahuan dan informasi. 5. Kelompok dapat memberikan keuntungan ekonomis. Kartono (1992), menyatakan bahwa dalam kelompok terdapat individuindividu yang bersifat dinamis karena saling mempengaruhi dan saling mendorong, dan ciri-ciri individu didalam kelompok adalah: 1) bersifat dinamis selalu bergerak dan berubah, beranekaragam geraknya dan tidak bisa diduga dengan tepat, 2) mempunyai potensi, kesanggupan, dan kemungkinan untuk melakukan bermacam-macam aksi, 3) menanggapi orang lain sebagai mahluk sejenis, sesama mahluk hidup dan sebagai subjek yang sederajat dan 4) interaksi dan partisipasi anggota terjadi secara intens dan norma-norma kelompok semakin jelas. Dephut (2004), kelembagaan masyarakat baik kelompok maupun perorangan merupakan salah satu kunci yang menentukan keberhasilan penyuluhan kehutanan, tanpa adanya kelembagaan masyarakat yang kuat maka peningkatan kapasitas dan kemandirian dalam pemberdayaan masyarakat tidak akan tercapai. Dasar pertimbangan terbentuknya kelembagaan masyarakat adalah kesepakatan bersama yang tumbuh dari masyarakat sendiri, misalnya kelompok masyarakat adat, lembaga swadaya masyarakat, dan kelompok masyarakat lainnya dengan kegiatan usaha berbasis pembangunan kehutanan. Pemberdayaan masyarakat di bidang kehutanan dilaksanakan melalui penguatan kelembagaan masyarakat yaitu dengan terbentuknya kelompok masyarakat yang mendukung pembangunan kehutanan (aspek sosial, ekonomi dan lingkungan), kelompok memiliki organisasi dan aturan yang mendukung pembangunan kehutanan, kelompok diakui masyarakat, isntitusi lokal dan pemerintah setempat. Pemberdayaan juga dilakukan melalui Kelompok Usaha produktif (KUP) dimana kelompok mengembangkan usaha-usaha produktif (sosial, ekonomi, dan lingkungan), memberikan akses kepada anggota kelompok dan masyarakat, menjalin kemitraan dengan institusi lokal dan dunia usaha. Utama et al. (2010), menyampaikan bahwa salah satu pendekatan pemberdayaan terhadap masyarakat sekitar hutan yang efektif adalah melalui bentuk pemberdayaan kelompok. Pendekatan kelompok ini mempunyai kelebihan karena proses penyadaran terhadap masyarakat menjadi lebih cepat, daya jangkauan informasi terhadap masyarakat menjadi lebih luas, lebih sesuai dengan budaya masyarakat pedesaan yang komunal.
21 Hubeis et al. (1992), menekankan bahwa penyuluhan pembangunan yang ditujukan lewat media komunikasi kelompok akan dapat mempercepat proses penyadaran masyarakat tentang beragam proses pembangunan. Menurut Torres dalam Wong (1977) yang diacu Mardikanto (1996), beberapa keuntungan dari pembentukan kelompok tani antara lain: 1) semakin eratnya interaksi dalam kelompok dan semakin terbinanya kepemimpinan kelompok, 2) semakin terarahnya peningkatan secara cepat tentang jiwa kerjasama antara petani, 3) semakin cepatnya proses perembesan (difusi) penerapan inovasi, 4) semakin naiknya kemampuan rata-rata pengembalian hutan petani, 5) semakin meningkatnya orientasi pasar baik yang berkaitan dengan masukan maupun produk yang dihasilkan, dan 6) semakin dapat membantu efisiensi pembagian air irigasi serta pengawasan oleh petani sendiri. Menurut Soedijanto (1981), terdapat enam karakterisitik dasar dalam kelompok tani, yaitu: 1. Kelompok tani terdiri dari individu petani, yaitu orang yang matapencaharian (curahan waktu kerjanya) sebagian besar atau seluruhnya diperoleh dari usahatani/pembudidayaan/peternak, baik sebagai pemilik pengusaha/ pengelola maupun penggarap. 2. Setiap individu anggota kelompok petani melakukan interaksi satu sama lain dengan struktur (pengorganisasian peranan, norma dan kedudukan) tertentu dan antar mereka memiliki saling ketergantungan, 3. Anggota kelompok berpartisipasi terus menerus secara interaktif, misalnya berpartisipasi untuk mempertahankan kehidupan dan keberlanjutan kelompok, 4. Kelompok harus mandiri dalam pengambilan keputusan untuk dapat mengatur dan mengarahkan diri sendiri dalam upaya memenuhi kebutuhan anggota maupun mencapai tujuan bersama kelompok. 5. Setiap kelompok memiliki selektivitas (bersifat selektif), artinya ada kesadaran pada anggota kelompok dalam menyeleksi keanggotaan kelompoknya, tujuan atau kegiatannya, dan 6. Setiap kelompok memiliki karakteristik keragaman yang terbatas. Deptan (2007), mendefinisikan kelompok sebagai bagian dari kelompok sosial yang lebih luas (masyarakat) memiliki pengertian sebagai kumpulan orangorang atau individu-individu yang dibentuk atas dasar kesamaan kepentingan, kesamaan kondisi lingkungan (sosial, ekonomi, sumberdaya) dan keakraban untuk meningkatkan dan mengembangkan kegiatan usaha anggota. Pengertian ini memberikan ciri-ciri pada sebuah kelompok, yaitu: 1) saling mengenal, akrab dan saling percaya diantara sesama anggota, 2) mempunyai pandangan dan kepentingan yang sama dalam berusaha, 3) memiliki kesamaan dan tradisi dan atau pemukiman, hamparan usaha, jenis usaha, status ekonomi maupun sosial, bahasa, pendidikan dan ekologi, serta 4) ada pembagian tugas dan tanggungjawab sesama anggota berdasarkan kesepakatan bersama. Selanjutnya disampaikan ada tiga fungsi yang harus diemban oleh kelompok yaitu: 1. Kelas Belajar; Kelompoktani merupakan wadah belajar mengajar bagi anggotanya guna meningkatkan pengetahuan, keterampilan dan sikap (PKS) serta tumbuh dan berkembangnya kemandirian dalam berusaha tani sehingga produktivitasnya meningkat, pendapatannya bertambah serta kehidupan yang lebih sejahtera.
22 2. Wahana Kerjasama; Kelompok tani merupakan tempat untuk memperkuat kerjasama diantara sesama petani dalam kelompoktani dan antar kelompoktani serta dengan pihak lain. Melalui kerjasama ini diharapkan usaha taninya akan lebih efisien serta lebih mampu menghadapi ancaman, tantangan, hambatan dan gangguan. 3. Unit Produksi; Usahatani yang dilaksanakan oleh masing masing anggota kelompoktani, secara keseluruhan harus dipandang sebagai satu kesatuan usaha yang dapat dikembangkan untuk mencapai skala ekonomi, baik dipandang dari segi kuantitas, kualitas maupun kontinuitas. Pembinaan kelompoktani diarahkan pada penerapan system agribisnis, peningkatan peranan, peran serta petani dan anggota masyarakat pedesaan, peran serta petani dan anggota masyarakat pedesaan lainnya, dengan menumbuhkembangkan kerja sama antar petani dan pihak lainnya yang terkait untuk mengembangkan usahataninya, selain itu pembinaan kelompoktani diharapkan dapat membantu menggali potensi, memecahkan masalah usahatani anggotanya secara lebih efektif, dan memudahkan dalam mengakses informasi, pasar, teknologi, permodalan dan sumber daya lainnya.
Partisipasi
Menurut Purnawan dan Widayati (2005) yang diacu dalam Setyowati (2010), partisipasi berasal dari kata “participation”(Bahasa Inggris), “Participo, participatium” yang berarti ambil bagian, dari “pars” yang berarti bagian dan “capio” yang berarti saya mengambil (latin). Partisipasi juga berarti pengambilan bagian atau pengikutsertaan, kalau diartikan dalam masyarakat berarti pengambilan bagian oleh masyarakat atau pengikutsertaan oleh masyarakat dalam suatu kegiatan. Partisipasi masyarakat dalam pembangunan (pedesaaan) ini merupakan aktualisasi dari kesediaan dan kemampuan anggota masyarakat untuk berkorban dan berkontribusi dalam implementasi program/proyek yang dilaksanakan. Hal tersebut sejalan dengan perubahan paradigma yang terjadi dalam pembangunan dari paradigma klasik (top-down) menjadi bottom-up yang menuntut peran serta masyarakat atau partisipasi yang lebih besar dari masyarakat. Masyarakat sebagai pelaku utama dituntut mempunyai peranan penting dalam pelaksanaan dan keberlanjutan kegiatan, apabila masyarakat berpartisipasi aktif, maka diharapkan pada kegiatan selanjutnya dapat berkembang atas kemauan dan kemampuan mereka sendiri. Dua prinsip inilah yang menjadi inti dari konsep pemberdayaan masyarakat, yaitu partisipatif dan kemandirian (Elida 2008) Menurut Slamet (1992), partisipasi masyarakat dalam pembangunan bukan berarti pengerahan tenaga masyarakat secara sukarela, tetapi justru yang lebih penting adalah tergeraknya kesadaran masyarakat untuk mau memanfaatkan kesempatan-kesempatan memperbaiki kualitas kehidupan diri, keluarga dan masyarakatnya. Partisipasi erat hubungannya dengan kegiatan pembangunan, sehingga usaha menumbuhkan dan mengembangkan partisipasi masyarakat menempati posisi yang sangat penting dalam seluruh proses pembangunan dalam arti luas. Penyuluh
23 pertanian diarahkan untuk mengubah persepsi dan perilaku petani. Petani diarahkan untuk mencapai hasil seperti peningkatan pengetahuan dan keterampilan, efisiensi manajemen usahatani dan mekanisme kerja yang mendorong partisipasi aktif petani (Asean Productivity Organization, 1994 yang diacu dalam Herawati dan Pulungan 2006). Pembangunan yang partisipatif merupakan proses yang melibatkan masyarakat secara aktif dalam seluruh keputusan yang substansial yang berkenaan dengan kehidupan masyarakat di pedesaan. Secara umum partisipasi masyarakat akan memberikan keuntungan antara lain adalah program yang dijalankan akan lebih bisa diterima dan direspon dengan baik, lebih efisien karena membantu mengidentifikasi strategi dan teknik yang tepat, meringankan beban dana, tenaga serta material (Rayuddin 2010). Kesempatan, kompetensi dan keinginan petani atau masyarakat untuk berpartisipasi dalam pembangunan pedesaan sangat rendah karena disebabkan adanya hambatan sistem sosial dari kelompok elit di wilayah pedesaan, pengaruh ketergantungan terhadap realisasi program pemerintah dan tingkat mobilisasi sosial yang familiar dalam masyarakat. Menurut Rahardjo (1996) yang diacu dalam Mardijono (2008), partisipasi diartikan sebagai upaya peran serta masyarakat dalam suatu kegiatan baik dalam bentuk pernyataan maupun kegiatan, partisipasi merupakan keikutsertaan masyarakat dalam program-program pembangunan. Pada dasarnya partisipasi dibedakan menjadi dua, yaitu partisipasi yang bersifat swakarsa dan partisipasi yang sifat dimobilisasikan, partisipasi swakarsa mengandung arti bahwa keikutsertakan dan peran sertanya atas dasar kesadaran dan kemauan sendiri, sementara partisipasi yang dimobilisasikan memiliki arti keikutsertakan dan berperanserta atas dasar pengaruh orang lain. Menurut Pretty et al. (1995), ada 7 tipologi partisipasi yaitu: 1. Partisipasi pasif, yaitu partisipasi setelah diminta/diundang, misalnya datang menghadiri peresmian proyek. 2. Partisipasi dalam pemberian informasi, yaitu partisipasi dengan menjawab pertanyaan-pertanyaan, misalnya oleh petani. 3. Partisipasi konsultasi yaitu partisipasi dengan hadir diajak untuk berkonsultasi. 4. Partisipasi dengan pemberian material, yaitu partisipasi dengan memberikan tenaga. 5. Partisipasi fungsional yaitu partisipasi dengan berkelompok untuk mencapai sasaran yang sudah ditetapkan (tetapi tidak terlibat dalam tahap awal). 6. Partisipasi interaktif yaitu berpartisipasi secara interaktif, analisa bersama sudah ada. 7. Mobilisasi swakarsa, yaitu partisipasi dengan mobilisasi pribadi, mengambil inisiatif secara independen untuk merubah sistem/lingkungan menjadi lebih baik. Menurut Johnston 1982; Hussein 2000; Arnstein 1969 yang diacu dalam Ikbal (2007), tingkat partisipasi dapat dikategorikan atas pertanggungjawabannya, esensi kedalaman, tujuan, dan implementasinya. Partisipasi berdasarkan pertanggungjawaban adalah partisipasi berdasarkan pesanan atau tekanan, partisipasi sukarela, partisipasi inisiatif dan partisipasi kreativitas. Partisipasi berdasarkan tingkat kedalaman adalah membedakan partisipasi menjadi partisipasi bersifat dangkal dan partisipasi mendalam. Perbedaan antara keduanya antara lain terletak pada esensi, kegiatan, dan tujuannya. Secara empiris,
24 proses partisipasi dari yang bersifat dangkal sampai yang mendalam dimulai dari penggalian informasi secara kualitatif dan semi-terstruktur (konsultatif), diikuti oleh proses pengambilan keputusan dalam menentukan kriteria indikator-indikator kunci untuk kalangan profesional, dan diakhiri dengan penentuan indikatorindikator yang terkait dengan implementasi suatu kegiatan. Partisipasi masyarakat berdasarkan implementasi program yaitu memuat delapan tingkat yaitu penanganan, terapi (non-partisipasi), informasi (partisipasi dorongan-tokenism), konsultasi, konsiliasi, kemitraan, (partisipasi berdasarkan kekuatan warga), pendelegasian kekuatan (masyarakat-power of citizen) dan pengawasan oleh masyarakat. Cohen dan Uphoff (1977) yang diacu dalam Ndraha (1987), membedakan partisipasi dalam proses pembangunan atas: 1) partisipasi pada tahap perencanaan, 2) partisipasi pada tahap pelaksanaan, 3) partisipasi pada tahap pemanfaatan, dan 4) partisipasi pada tahap penilaian hasil pembangunan. Partisipasi masyarakat dalam proses pembangunan dapat dipilahkan sebagai berikut: 1) partisipasi dalam/melalui kontak dengan pihak lain (contact change) sebagai titik awal perubahan sosial, 2) partisipasi dalam memperhatikan/menyerap dan memberi tanggungan terhadap informasi, baik dalam arti menerima (mentaati, memenuhi dan melaksanakan), mengiakan, menerima dengan syarat, maupun dalam arti menolaknya, 3) partisipasi dalam perencanaan termasuk pengambilan keputusan, 4) partisipasi dalam pelaksanaan operasional, 5) partisipasi dalam menerima, memelihara, dan mengembangkan hasil pembangunan, dan 6) partisipasi dalam menilai pembangunan yaitu keterlibatan masyarakat dalam menilai tingkat pelaksanaan pembangunan sesuai dengan rencana dan tingkatan hasilnya dapat memenuhi kebutuhan masyarakat. Menurut Goldsmith dan Blustain yang diacu dalam Ndraha (1987), masyarakat tergerak untuk berpartisipasi jika: 1. Partisipasi itu dilakukan melalui organisasi yang sudah dikenal atau yang sudah ada di tengah-tengah masyarakat yang bersangkutan. 2. Partisipasi itu memberikan manfaat langsung kepada masyarakat yang bersangkutan. 3. Manfaat yang diperoleh melalui partisipasi itu dapat memenuhi kepentingan masyarakat setempat. 4. Proses partisipasi itu terjamin adanya kontrol yang dilakukan oleh masyarakat. Partisipasi masyarakat ternyata berkurang jika mereka tidak atau kurang berperan dalam pengambilan keputusan. Menurut Tjokroamidjoyo 1990; Sastropoetra 1988 yang diacu dalam Mardijono (2008), varian peran serta atau partisipasi adalah : 1. Kehadiran, kehadiran merupakan varian partisipasi tingkat pertama yang lebih mudah menjadi tolok ukurnya sebab jika seseorang hadir dalam suatu kegiatan maka ia dapat dikatakan telah berperan serta. Tolok ukur varian pertama peran serta adalah kehadiran yang bersifat kuantitatif. 2. Representasi, representasi merupakan varian kedua dari peran serta yang secara kualitatif lebih tinggi dan mendalam jika dibandingkan dengan varian pertama. Ini meliputi aktivitas penentuan masalah, perumusan masalah, perumusan metode dan pendekatannya serta pembuatan keputusan. Individu dikatakan berperan serta dalam varian ini apabila terlibat dalam penentuan masalah.
25 3. Pemilikan dan pengendalian merupakan varian tertinggi dari peran serta secara kualitatif. Individu yang berperan serta pada varian ini tidak hanya hadir dan berpresentasi tetapi lebih dari itu, yakni memiliki “sense of belonging”. Ada tiga faktor yang mempengaruhi peran serta atau partisipasi masyarakat yaitu : 1. Kepemimpinan, faktor pertama proses pengendalian usaha dalam pembangunan ditentukan sekali oleh kepemimpinan. 2. Pendidikan, tingkat pendidikan yang memadai akan memberikan kesadaran yang lebih tinggi dalam berwarga negara dan memudahkan bagi pengembangan identifikasi terhadap tujuan-tujuan pembangunan yang bersifat nasioanal. 3. Komunikasi, gagasan - gagasan, kebijaksanaan dan rencana - rencana akan memperoleh dukungan bila hal tersebut diketahui dan dimengerti oleh masyarakat. Faktor-faktor yang dapat mempengaruhi partisipasi masyarakat terbagi dalam tiga hal, yaitu: 1. Keadaan sosial masyarakat, yang meliputi pendidikan, tingkat pendapatan, kebiasaan dan kedudukan sosial dalam sisem sosial. 2. Kegiatan program pembangunan, merupakan kegiatan yang direncanakan dan dikendalikan oleh pemerintah. 3. Keadaan alam sekitar, mencakup faktor fisik, atau keadaan geografis daerah yang ada pada lingkungan tempat hidup masyarakat. Selain itu kebiasaan-kebiasaan lama yang terdapat dalam masyarakat setempat juga merupakan faktor-faktor yang perlu diperhatikan. Tokoh masyarakat, pemimpin adat, tokoh agama, adalah komponen yang juga berpengaruh dalam menggerakkan masyarakat untuk berpartisipasi dalam suatu kegiatan. Daniels et al. (2005), menyampaikan bahwa partisipasi bukanlah proses alami, tetapi melalui proses pembelajaran sosialisasi. Ada beberapa bentuk partisipasi, antara lain: 1. Inisiatif/spontan, yaitu masyarakat secara spontan melakukan aksi bersama, ini adalah bentuk partisipasi paling alami. Bentuk partisipasi spontan ini sering terjadi karena termotivasi oleh sesuatu keadaan yang tiba-tiba, misalnya bencana atau krisis. 2. Fasilitasi, yaitu suatu partisipasi masyarakat yang disengaja, yang dirancang dan didorong sebagai proses belajar dan berbuat oleh masyarakat untuk membantu menyelesaikan masalah bersama. 3. Induksi, yaitu masyarakat dibujuk untuk berpartisipasi melalui propaganda atau mempengaruhi melalui emosi dan patriotisme. 4. Koptasi, yaitu masyarakat dimotivasi untuk berpartisipasi untuk keuntungankeuntungan materi dan pribadi yang telah disediakan untuk mereka. 5. Dipaksa, yaitu masyarakat berpartisipasi di bawah tekanan atau sanksi-sanksi yang diberikan penguasa. Bentuk dari partisipasi yang diharapkan adalah partisipasi spontanitas/inisiatif, namun sering tidak terjadi sehingga diperlukan upaya dari luar, yang paling baik adalah melalui fasilitasi, dengan fasilitasi masyarakat diposisikan sebagai dirinya sehingga dia termotivasi untuk berpartisipasi dan
26 berbuat sebaiknya untuk kepentingan dirinya. Pendekatan partisipatif memberikan keuntungan antara lain, orang-orang akan bergerak enerjik, lebih komit, dan lebih bertanggungjawab bila mereka mengontrol lingkungan sendiri dibanding hal itu dilakukan suatu kewenangan dari luar. Komitmen dan tanggungjawab dalam berpartisipasi adalah: 1) masyarakat lebih punya komitmen terhadap anggotanya daripada sistem pelayanan terhadap kliennya, 2) masyarakat lebih mengerti masalah-masalahnya daripada para profesional pelayanan, 3) masyarakat lebih fleksibel dan kreatif daripada birokrasi besar, 4) masyarakat lebih mudah daripada para profesional pelayanan, 5) masyarakat lebih efektif menguatkan standar sikap/perilaku daripada birokrasi atau para profesional pelayanan, 6) lembaga-lembaga dan para profesional menawarkan pelayanan, masyarakat menawarkan kepedulian dan 7) sistem pelayanan berfokus pada apa yang kurang, masyarakat berfokus pada kapasitas. Keterlibatan masyarakat dalam penyelenggaraan sebuah kegiatan terutama yang bertujuan untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat dan mewujudkan hutan lestari tidak akan terlepas dari dua hal yaitu memberikan peluang yang besar kepada masyarakat untuk terlibat langsung dalam penyelenggaraan kegiatan tersebut dan upaya peningkatan keterampilan masyarakat sehingga dapat berjalan dengan baik (Utama et al 2010). Kemampuan masyarakat untuk berpartisipasi dalam pembangunan adalah sejalan dengan efektivitas proses belajar sosial yang dialaminya. Proses belajar yang menyebabkan rakyat memperoleh dan memahami informasi, kemudian secara kognitif memprosesnya menjadi pengetahuan tentang adanya kesempatankesempatan bagi dirinya dan melatih agar mampu berbuat (kognitif), serta termotivasi untuk mau (afektif) bertindak atas dasar manfaat yang akan diperolehnya (Sumardjo 2008). Faktor-faktor yang menjadi hambatan masyarakat untuk berpartisipasi dalam penyelenggaraan kegiatan menurut Setyowati (2010) adalah: 1) masyarakat yang tidak mau berpartisipasi terutama pada masyarakat yang kurang merasakan dampak dari kegiatan secara langsung, 2) masyarakat menganggap kegiatan yang dilakukan tidak bermanfaat, 3) masyarakat menganggap apa yang mereka lakukan akan dirusak oleh orang lain, 4) masih adanya konflik kepentingan terhadap kegiatan yang dilaksanakan sehingga menyebabkan masyarakat malas untuk berpartisipasi pada kegiatan tersebut. Mengatasi faktor yang menghambat partisipasi masyarakat khususnya dalam pelaksanaan konservasi lahan, maka perlu diberikan peningkatan pengetahuan tentang manfaat dan fungsi kegiatan konservasi lahan, pemberian penyuluhan secara intensif dan terus menerus serta masyarakat dilibatkan secara aktif mulai dari proses perencanaan, pelaksanaan, pemeliharaan sampai dengan evaluasi kegiatan tersebut. Bentuk partisipasi yang dapat disumbangkan oleh masyarakat yaitu pikiran, tenaga, keahlian, barang dan uang, bentuk partisipasi ini adalah yang biasa diberikan oleh masyarakat terhadap sebuah kegiatan. Meningkatkan kesadaran masyarakat terhadap pentingnya keberadaan hutan ini, memerlukan penyuluhan yang intensif terus menerus yang dimulai dari awal kegiatan. Upaya untuk menumbuhkan kesadaran berpartisipasi masyarakat selain dilakukan oleh pemerintah, juga dilakukan oleh Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) atau organisasi non pemerintah.
27 Petani atau masyarakat yang ada di sekitar kawasan hutan perlu diberi hak pengelolaan hutan atau dilibatkan dalam program participatory research untuk memperoleh jawaban tepat bagi optimasi pengelolaan tanah pertanian/perkebunan yang dimilikinya dan kemudahan akses pemasaran hasil. Jika masyarakat telah memiliki kepastian pendapatan untuk kehidupan sehari-hari maka mereka akan merasa memiliki hutan, menjaga kelestarian hutan tersebut dan menghindari godaan untuk terlibat dalam kegiatan illegal di dalam kawasan hutan (Ruwiyanto 2008). Menurut Pardosi (2005), dalam model pemberdayaan untuk peladang berpindah, tingkat keberdayaan peladang berpindah dipengaruhi oleh faktor-faktor determinan berupa kualitas sumberdaya pribadi, kekuatan motivasi, tingkat pemenuhan kebutuhan, kualitas pendukung keberdayaan, kualitas lingkungan eksternal, dan kualitas penyuluhan. Pasha et al. (2008) menyampaikan, pemberdayaan masyarakat dalam kegiatan konservasi lahan sangat berguna untuk menanamkan sikap ramah lingkungan demi keberlangsungan usaha pertanian di kemudian hari dan menekan seminimal mungkin dampak kerusakan lingkungan yang disebabkan oleh masyarakat. Bentuk pemberdayaan masyarakat di daerah konservasi dapat berupa: 1. Program penguatan ekonomi masyarakat melalui pengembangan pedesaaan, sehingga pendapatan petani meningkat. 2. Program pengembangan pertanian konservasi, sehingga dapat berfungsi produksi dan pelestarian sumberdaya air. 3. Penyuluhan dan transfer teknologi untuk menunjang program pertanian konservasi dan peningkatan kesadaran masyarakat untuk berpartisipasi dalam upaya konservasi lahan. 4. Pengembangan berbagai bentuk bantuan, baik berupa bantuan langsung maupun tidak langsung dalam bentuk bantuan teknis, pinjaman yang dapat memicu peningkatan produksi pertanian dan usaha konservasi tanah dan air. 5. Upaya mengembangkan kemandirian dan memperkuat posisi tawar menawar masyarakat lapisan bawah, sehingga mampu memperluas keberdayaan masyarakat dan berkembangnya ekonomi rakyat. 6. Memonitor dan evaluasi terhadap perkembangan sosial ekonomi masayrakat, serta tingkat kesadaran masyarakat dalam ikut berperan serta dalam pengelolaan dan konservasi lahan Menurut Anonymous (2002, 2004) dalam Oscatalbas et al. (2011), sejak tahun 1980-an, pendekatan partisipatif untuk penyuluhan pertanian dan penelitian telah dipromosikan di seluruh benua oleh kelompok-kelompok promotor pembangunan. Organisasi atau lembaga sekarang sudah banyak yang menerapkan pengembangan teknologi partisipatif di berbagai pengaturan. Pemerintah dan lembaga non-pemerintah semakin mengakui dan tidak lagi menerapkan model kegiatan top-down dan mulai menerapkan teknologi yang murni partisipatif dengan melakukan pendekatan yang langsung melibatkan petani dan masyarakat di pedesaan terlibat dalam pembangunan dalam desa mereka sendiri. Titik awal untuk perubahan ini adalah pengakuan bahwa masyarakat pedesaan adalah pemilik dari pembangunan mereka sendiri. Kesadaran ini memerlukan beberapa perubahan dan melibatkan semua stakeholders. Masyarakat pedesaan harus mengambil inisiatif dan berpikir tentang masalah mereka sendiri dan menemukan solusi yang tepat dan untuk penyuluh pertanian,
28 mereka harus belajar bagaimana berinteraksi dan menjadi pendengar dan fasilitator dari proses pembangunan serta menjadi mitra bagi masyarakat. Lebih lanjut Abukar (2002) dalam Ozcatalbas, menyampaikan bahwa untuk meningkatkan efektifitas penyuluhan, maka perlu membekali penyuluh dan pekerja pembangunan dengan teknik dan alat-alat perencanaan partisipatif, sistem pertanian, monitoring dan evaluasi. Pembangunan pertanian yang berkelanjutan telah menyebabkan meningkatkanya kebutuhan akan penyuluhan partisipatif dan metode penelitian, monitoring dan evaluasi kegiatan merupakan salah satu alat untuk mencari solusi perbaikan dan pemecahan masalah pada kegiatan yang akan datang. Menurut Hamzah (2011), rendahnya kinerja penyuluh pertanian berhubungan erat dengan aspek partisipasi masyarakat terhadap kegiatan-kegiatan penyuluhan. Artinya, tingkat partisipasi masyarakat sangat menentukan kinerja penyuluh. Secara sosial budaya/ kultur, sikap ramah masyarakat dalam menerima kehadiran seorang penyuluh mungkin masih baik, akan tetapi jika kehadirannya hanya untuk mengeksploitasi hak-hak masyarakat yang berkaitan dengan pengamananpengamanan program pemerintah yang ditetapkan secara top down, justru membuat masyarakat semakin jauh dari penyuluh. Strategi ke depan yang harus dilakukan seorang penyuluh dalam meningkatkan peran masyarakat (kelompok tani) adalah pemerintah harus memberikan keleluasaan kepada masyarakat untuk berusaha. Mewujudkan hal tersebut, maka masyarakat harus dilibatkan dalam proses perencanaan program pembangunan pertanian. Minimnya anggaran yang dikelola institusi penyuluhan menyebabkan kegiatan penyusunan programa penyuluhan selama ini hanya bisa dilakukan di tingkat Kota, seharusnya kegiatan tersebut dilakukan secara bertahap dan dimulai dari tingkat wilayah kerja penyuluh, sehingga keterlibatan masyarakat (kelompok tani) bisa lebih besar. Faktor-faktor yang mempengaruhi partisipasi masyarakat menurut Max Weber dan Zanden 1988; Slamet,1994; Sunarti 2003; Suryawan 2004, yang diacu dalam Yulianti (2012), terdiri dari faktor dari dalam masyarakat (internal), yaitu kemampuan dan kesediaan masyarakat untuk berpartisipasi, maupun faktor dari luar masyarakat (eksternal) yaitu peran aparat dan lembaga formal yang ada. Kemampuan masyarakat akan berkaitan dengan stratifikasi sosial dalam masyarakat, ada 3 komponen stratifikasi masyarakat yaitu, kelas (ekonomi), status (prestise) dan kekuasaan. Faktor-faktor yang mempengaruhi partisipasi masyarakat tersebut dapat dijelaskan sebagai berikut: 1. Faktor internal; berasal dari dalam kelompok masyarakat sendiri, yaitu individu-individu dan kesatuan kelompok didalamnya. Tingkah laku individu berhubungan erat atau ditentukan oleh ciri-ciri sosiologis seperti umur, jenis kelamin, pengetahuan, pekerjaan dan penghasilan. Secara teoritis, terdapat hubungan antara ciri-ciri individu dengan tingkat partisipasi, seperti usia, tingkat pendidikan, jenis pekerjaan, lamanya menjadi anggota masyarakat, besarnya pendapatan, keterlibatan dalam kegiatan pembangunan akan sangat berpengaruh pada partisipasi. Faktor yang mempengaruhi masyarakat untuk mengikuti proses partisipasi adalah: 1) pengetahuan dan keahlian, 2) pekerjaan masyarakat, 3) tingkat pendidikan dan buta huruf, 5) jenis kelamin, 6) kepercayaan terhadap budaya tertentu.
29 2. Faktor-faktor eksternal, yaitu semua pihak yang berkepentingan dan mempunyai pengaruh terhadap program ini. Faktor kunci adalah siapa yang mempunyai pengaruh yang sangat signifikan, atau mempunyai posisi penting guna kesuksesan program. Menurut Daud (2011), dari hasil penelitiannya menyampaikan bahwa paradigma pembangunan partisipatoris menekankan pada partisipasi aktif masyarakat dalam berbagai program pembangunan. Paradigma pembangunan partisipatoris mendorong masyarakat agar dapat mengoptimalkan kemampuan dan ketrampilannya dalam proses pembangunan, agar tujuan pembangunan dapat tercapai, perencanaan pembangunan hendaknya bersifat ”aspiratif-akomodatif” terhadap kebutuhan dan potensi masyarakat lokal. Pembangunan dinyatakan berhasil, apabila tercipta keberdayaan masyarakat lokal sebagai akibat proses pembangunan, dengan demikian, kompetensi (profesionalitas) merupakan kunci pembinaan sumberdaya manusia (SDM) yang selanjutnya diharapkan secara profesional SDM tersebut mampu menjalankan peran masing-masing sesuai kemampuannya.
Konservasi Lahan
Menurut Deptan (2007), lahan pertanian (agricultural land) adalah lingkungan alami (natural) dan buatan manusia tempat berlangsungnya produksi, pasca panen dan pengolahan hasil serta pemasaran komoditas pangan, hortikultura, perkebunan dan peternakan. Potensi lahan pertanian menurut Puslitanak (2005) masih tersedia cadangan sekitar 32 juta hektar baik berupa lahan kering, lahan rawa (lebak dan pasang surut). Lahan merupakan faktor penting bagi petani, karena lahan merupakan tempat produksi dan sumber pendapatan untuk kelangsungan hidup. Luas pemilikan dan penguasaan lahan merupakan salah satu faktor utama yang menentukan tingkat pendapatan suatu keluarga atau rumah tangga petani, oleh karena itu ketiadaan atau sempitnya kepemilikian serta penguasaan lahan merupakan awal terjadinya kemiskinan di pedesaan (Bahrin 2010). Utama et al. (2010), menyampaikan bahwa degaradasi lahan di Indonesia semakin tinggi, baik lahan kritis dan tidak terpakai yang berada dalam kawasan hutan maupun lahan milik masyarakat. Laju kerusakan hutan di Indonesia 1,7 juta ha per tahun pada kurun waktu 1985-1997, bahkan tahun 1998-2000 Indonesia kehilangan 2 juta ha/tahun (GFW 2000), laju kerusakan hutan pada periode tahun 2003-2006 rata-rata 1,17 juta ha/tahun (Dephut 2008), hal ini terjadi akibat dari illegal logging, penyerobotan kawasan hutan maupun akibat ketidakinginan masyarakat untuk menanami lahan miliknya sendiri. Menurut Sutrisna (2009), lahan khususnya di Daerah Aliran Sungai (DAS) awalnya didominasi oleh tanaman hutan dan tumbuh-tumbuhan lebat serta rindang, berfungsi sebagai daerah resapan dan sumber air, bahan makanan, dan obat-obatan untuk kehidupan mahluk hidup. Meningkatnya laju pertumbuhan penduduk dan kebutuhan hidup, menyebabkan hutan tersebut telah
30 dialihfungsikan, dimanfaatkan untuk pemukiman penduduk dan dijadikan lahan pertanian, antara lain untuk kegiatan usahatani. Menurut Fakhrudin (2003) dalam Sutrisna, berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan di DAS Ciliwung menunjukkan bahwa perubahan penggunaan lahan dari lahan hutan ke lahan pertanian pada periode tahun 1990-1996 meningkatkan debit puncak aliran permukaan dari 280 m3/det menjadi 383m3/det, hal ini memberikan peluang terhadap banjir dan erosi yang lebih besar, apabila tidak tertangani dengan baik. Sismanto (2009) menyampaikan, kekritisan lahan merupakan suatu kondisi yang ditunjukkan oleh rendahnya kesuburan tanah karena lapisan tanah atas (top soil) telah hilang, lapisan ini sebagai media bagi mikro flora dan fauna, hilangnya lapisan tanah atas sebagian besar disebabkan oleh eros. Kekritisan lahan adalah suatu lahan yang keadaan fisiknya sedemikian rupa sehingga lahan tersebut tidak dapat berfungsi secara baik sesuai dengan peruntukannya baik sebagai media produksi maupun sebagai media tata air. Lahan yang tergolong kritis tersebut dapat berupa: a) tanah gundul yang tidak bervegetasi sama sekali, b) ladang alang-alang atau tanah yang ditumbuhi semak belukar yang tidak produktif, c) areal berbatu-batu, berjurang atau berparit sebagai akibat erosi tanah, d) tanah yang kedalaman solumnya sudah tipis sehingga tanaman tidak dapat tumbuh dengan baik, e) tanah yang tingkat erosinya melebihi erosi yang diijinkan. Menurut Adimihardja 2008, degradasi tanah tidak hanya berdampak buruk terhadap produktivitas lahan, tetapi juga mengakibatkan kerusakan atau gangguan fungsi lahan pertanian: 1) produksi dan mutu hasil pertanian, penurunan produktivitas dan produksi pertanian juga dapat terjadi akibat proses degradasi jenis lain seperti kebakaran hutan (lahan) dan longsor, serta konversi lahan pertanian ke nonpertanian, 2) sumber daya air, erosi tanah bukan hanya berdampak terhadap daerah yang langsung terkena, tetapi juga daerah hilirnya, terjadi pendangkalan dam-dam sungai, dan pengendapan partikel-partikel tanah di daerah cekungan, 3) multifungsi pertanian (mitigasi banjir, pengendali erosi, pemelihara pasokan air tanah, penambat gas karbon atau gas rumah kaca, penyegar udara, pendaur ulang sampah organik, pemelihara keanekaragaman hayati, dll). Menurut Undang-undang Nomor 41 tahun 1999 tentang kehutanan, penyelenggaraan perlindungan kehutanan dan konservasi alam bertujuan menjaga hutan, kawasan hutan dan lingkungannya, agar fungsi hutan lindung, fungsi konservasi, dan fungsi produksi, tercapai secara optimal dan lestari. Bukhari dan Febriyano (2010), menyampaikan definisi lahan kritis menurut departemen kehutanan adalah lahan yang keadaan penutupan vegetasinya < 25%, topografi dengan kemiringan lereng lebih dari 15% dan ditandai dengan adanya gejala erosi, sedangkan menurut departemen pertanian lahan kritis didefinisikan sebagai lahan yang pada saat ini tidak/kurang produktif dari segi pertanian, karena pengelolaan dan penggunaannya kurang/tidak memperhatikan persyaratan konservasi tanah. Produktivitas lahan dapat ditingkatkan melalui perbaikan sifat fisik tanah (lapisan atas) yang paling penting dan dibutuhkan untuk menunjang pertumbuhan berbagai jenis tanaman dan pepohonan adalah struktur dan porositas tanah, kemampuan menahan air dan laju infiltrasi. Lapisan atas tanah merupakan tempat
31 yang mewadahi berbagai proses dan kegiatan kimia, fisik dan biologi yakni organisme makro dan mikro termasuk perakaran tanaman dan pepohonan. Salah satunya adalah dengan system agroforestri, agroforestri adalah nama kolektif untuk system dan teknologi penggunaan lahan, yang secara terencana dilaksanakan pada satu unit lahan dengan mengkombinasikan tumbuhan berkayu (pohon, perdu, palem, bamboo dll.) dengan tanaman pertanian dan/atau hewan. Meningkatnya intensifikasi pertanian akan mengubah kondisi tanah suatu agroekosistem sehingga menyebabkan hilangnya biodiversitas organisme tanah. Dephut (2004), menyatakan bahwa konservasi tanah adalah upaya untuk mempertahankan atau memperbaiki daya guna lahan termasuk kesuburan tanah dengan cara pembuatan bangunan teknik sipil atau dengan penanaman agar tidak terjadi kerusakan lahan dan kemunduran daya guna serta produktifitas lahan. Hak dan kewajiban masyarakat dalam pengelolaan hutan adalah dalam rangka menjamin kelestarian lingkungan antara daerah hulu dan daerah hilir sehingga hutan harus tetap diletakkan sebagai barang publik yang tidak boleh diklaim. Tindakan konservasi hutan adalah dalam rangka menjaga kelestarian hutan. Menurut Subagyono et al. (2003), konservasi tanah adalah penempatan tiap bidang tanah pada cara penggunaan yang sesuai dengan kemampuan tanah dan memperlakukannya sesuai dengan syarat-syarat yang diperlukan agar tidak terjadi kerusakan tanah. Secara umum, tujuan konservasi tanah adalah meningkatkan produktivitas lahan secara maksimal, memperbaiki lahan yang rusak/kritis, dan melakukan upaya pencegahan kerusakan tanah akibat erosi. Teknik konservasi tanah ini dibedakan menjadi tiga yaitu: (a) vegetatif; (b) mekanik; dan (c) kimia. Teknik konservasi mekanik dan vegetatif telah banyak diteliti dan dikembangkan. Mengingat teknik mekanik umumnya mahal, maka teknik vegetatif berpotensi untuk lebih diterima oleh masyarakat. Teknik konservasi tanah secara vegetatif mempunyai beberapa keunggulan dibandingkan dengan teknik konservasi tanah secara mekanis maupun kimia, antara lain karena penerapannya relatif mudah, biaya yang dibutuhkan relatif murah, mampu menyediakan tambahan hara bagi tanaman, menghasilkan hijauan pakan ternak, kayu, buah maupun hasil tanaman lainnya. Pratiwi (2007), menyampaikan bahwa keberhasilan penerapan teknik konservasi tanah dan air dalam rehabilitasi hutan dan lahan terdegradasi sangat tergantung pada kesesuaian dan kemampuan lahan, murah, dan berdampak pada peningkatan kesejahteraan masyarakat yang sejalan dengan prinsip-prinsip social forestry. Salah satu alternatif teknik konservasi tanah dan air yang dapat diterapkan adalah teknik mulsa vertikal. Teknik ini sebenarnya telah lama dilakukan oleh petani di pedesaan yaitu dengan membuat saluran di dekat pohon utama dan memasukkan limbah atau serasah yang ada di sekitarnya ke dalam saluran tersebut, di bidang kehutanan, teknik ini belum diterapkan, padahal dalam hutan dan lahan terdegradasi, banyak dijumpai limbah hutan, yang dapat dikelola untuk percepatan pertumbuhan tanaman. Menurut Nugroho (2000), usaha konservasi tanah dan air sebenarnya sudah cukup banyak dilakukan, baik oleh pemerintah melalui institusi yang terkait, masyarakat maupun lembaga swadaya masyarakat, namun masih sangat jauh dibandingkan dengan laju dari peningkatan lahan kritis setiap tahunnya. Adanya
32 kebijaksanaan dalam pemanfaatan sumberdaya alam, seperti usaha konversi hutan menjadi hutan tanaman industri dan perkebunan justru telah menimbulkan masalah-masalah lingkungan baru. Perubahan tatanan hutan menjadi penggunaan lahan lainnya tersebut telah merubah proses keseimbangan alam yang ada, bahkan telah menyebabkan hilangnya beberapa jenis keanekaragaman hayati yang terdapat di daerah tersebut. Selain itu usaha konservasi tanah dan air masih terbatas pada kebijaksanaan dalam bentuk proyek yang belum melibatkan masyarakat secara sadar dan terencana, bahkan masih sangat sektoral. Kondisi demikian justru akan meningkatkan besarnya erosi dan sedimentasi sehingga timbul lahan-lahan kritis baru. Yuhono dan Suhirman (2006) menyebutkan bahwa permasalahan yang dihadapi dalam pengembangan tanaman perkebunan dan kehutanan (agroforestry) pada umumnya adalah belum optimalnya pemanfaatan sumberdaya baik dari segi biofisik maupun aspek sosial ekonominya. Akibatnya, luas areal lahan kritis atau marjinal terus bertambah dari waktu ke waktu, disamping itu, petani lahan kering umumnya tergolong petani marjinal yang dicirikan oleh tingkat pendidikan dan pendapatan yang rendah, keterampilan dan pengetahuan terbatas serta belum melaksanakan/menerapkan teknologi usahatani konservasi. Mengatasi kondisi tersebut, berbagai usahatani perlu dilakukan, terutama dalam pemberdayaan sumberdaya yang ada. Pada lahan-lahan kritis, banyak lahan-lahan berlereng/miring yang belum dimanfaatkan secara maksimal. Pemanfaatan lahan berlereng yang kritis dengan berbagai tanaman perkebunan dan kehutanan, secara teknis dapat meningkatkan produktivitas lahan. Menurut hasil penelitian Anom (2008), kendala dalam konservasi disebabkan karena adanya persepsi yang salah dari masyarakat tentang keberadaan hutan. Di mana masyarakat menganggap bahwa mereka menanan di dalam kawasan hutan, adalah sebagai bentuk pemenuhan kebutuhan sosial ekonomi, karena hutan merupakan tempat menggantungkan hidup dan secara tidak langsung masyarakat mengklaim hutan sebagai milik mereka. Persepsi masyarakat pada kegiatan konservasi adalah jika mereka sudah menanam dan merawat tanaman/pohon di hutan itu berarti mereka sudah ikut berpartispasi dalam konservasi hutan, walaupun dilihat dari frekuensi, masyarakat hanya kadang-kadang saja terlibat dalam kegiatan konservasi hutan tersebut. Menurut Umar (2009), dari hasil penelitiannya tentang perilaku masyarakat dalam pelestarian fungsi hutan, perilaku masyarakat (kegiatan ekonomi) yang terkait dengan keberadaan hutan lindung, masyarakat memiliki persepsi bahwa hutan memiliki nilai ekonomi sehingga mereka memiliki perilaku aktivitas yang berorientasi ekonomi di kawasan hutan, misalnya mencari kayu bakar, mencari pakan ternak, dan bertani. Tingkat ketergantungan ekonomi masyarakat terhadap hutan memiliki intensitas yang berbeda. Perbedaan intensitas tersebut dilihat dari frekuensi aktivitas ekonomi yang mereka lakukan di kawasan hutan. Tingkat ketergantungan pada kawasan hutan yang tertinggi adalah pada aktivitas pertanian, yaitu pertanian tanaman pangan (padi, jagung, ketela, dsb) yang sangat banyak membutuhkan air. Aktivitas ini terjadi sepanjang tahun dan berlokasi di kawasan perbukitan maupun di sekitar lokasi tempat tinggal. Sedangkan untuk aktivitas mencari kayu bakar dan pakan ternak memiliki frekuensi kejadian yang tidak pasti. Sistem pengelolaan hutan dengan tujuan sosial ekonomi dengan penggunaan lahan garapan untuk ditanami tanaman pertanian sepanjang lajur diantara tanaman kehutanan.
33 Ada perbedaan persepsi tentang fungsi hutan menurut kajian teori dan menurut persepsi masyarakat. Menurut kajian teori fungsi utama hutan adalah lindung terlepas dari bentuk pemanfaatannya (hutan produksi, suaka alam, dan sebagainya), sehingga aktifitas budidaya seharusnya tidak boleh berlokasi di kawasan lindung karena akan mengganggu fungsi lindung itu sendiri. Persepsi masyarakat, hutan memiliki banyak fungsi (fungsi majemuk) yaitu sebagai tempat rekreasi/berlibur (fungsi sosial), tempat menyimpan cadangan air dan mencegah banjir/erosi (fungsi ekologi), tempat mencari penghasilan (fungsi ekonomi), dan fungsi lainnya. Masyarakat memiliki persepsi bahwa hutan merupakan aset milik umum (common property) sehingga mereka merasa berhak mengelola hutan dan memiliki kewajiban memelihara kelestarian hutan sebagai daerah resapan air. Timbulnya persepsi tersebut erat kaitannya dengan kepentingan masyarakat untuk memiliki akses terhadap sumber daya hutan sebagai sumber mata pencaharian. Stanley (2005), menyatakan bahwa di wilayah yang terdapat taman nasional sikap-sikap orang lokal terhadap konservasi, dan semua elemen berkait upaya konservasi, merupakan faktor penting untuk keberhasilan upaya konservasi itu. Walaupun larangan dapat ditetapkan dan diselenggarakan secara kuat supaya kerusakan lingkungan hidup diberhentikan, itu lebih bagus kalau orang lokal menerima ide konservasi dan mendukung upaya konservasi dengan kerjasamanya. Suprayitno (2008), menjelaskan keberadaan masyarakat yang tinggal di sekitar hutan, sesungguhnya, dapat menjadi pilar bagi terciptanya pengelolaan hutan secara lestari. Perilaku mereka merupakan komponen yang paling krusial dalam mengelola dan melestarikan hutan. Perilaku masyarakat yang positif dalam berinteraksi dengan hutan akan mengarah pada terciptanya kondisi hutan yang lestari. Bentuk perilaku yang negatif akan mengarah pada terciptanya pengeksploitasian dan pemanfaatan hutan secara tidak bertanggung jawab yang berujung pada kerusakan hutan yang pada akhirnya juga akan berdampak buruk terhadap kehidupan mereka sendiri. Njurumana (2007), menyampaikan bahwa tingkat penerimaan masyarakat terhadap informasi tentang teknologi konservasi yang dapat mendukung pengelolaan hutan, tanah dan air masih sangat kurang disebabkan karena tingkat pendidikan yang rendah. Apresiasi masyarakat terhadap berbagai upaya rehabilitasi hutan, tanah dan air dengan berbagai model dan praktek konservasi tanah dan air perlu mendapatkan dukungan. Masyarakat pada umumnya telah menerapkan model pengelolaan yang memadukan keseimbangan manfaat pertanian, peternakan dan kehutanan (agroforestry), kegiatan tersebut dapat dijumpai pada pertanian yang dikembangkan oleh masyarakat di Nusa Tenggara Timur yang di sebut sistem mondu sebagai alternatif konservasi hutan, tanah dan air.
34
KERANGKA BERPIKIR DAN HIPOTESIS
Kerangka Berpikir
Menumbuhkan keinginan dan keterlibatan masyarakat dalam kegiatan konservasi lahan tidak mudah. Partisipasi masyarakat dalam kegiatan konservasi lahan bukanlah sesuatu yang terjadi secara alami akan tetapi merupakan satu proses pembelajaran yang disosialisasikan. Meningkatkan partisipasi masyarakat memerlukan faktor pendorong dan pendekatan serta pendampingan yang secara terus menerus yang berasal dari penyuluh, baik oleh penyuluh kehutanan PNS maupun oleh PKSM yang berada di wilayah masyarakat tersebut. Keberadaan dan peran PKSM ini diharapkan mampu menjadi salah satu faktor pendorong bagi peningkatan partisipasi masyarakat pada kegiatan konservasi lahan. Partisipasi masyarakat di desa yang tinggal di sekitar kawasan hutan Negara dalam kegiatan konservasi lahan pada lahan milik melalui Hutan Rakyat (HR) maupun agroforestry, akan sangat membantu kelestarian hutan, karena masyarakat tidak lagi melakukan kegiatan illegal logging maupun melakukan pengrusakan hutan dalam bentuk lain tetapi sudah disibukkan dengan menjaga dan mengelola tanaman yang ada dalam lahan garapannya. Hasil penelitian Goldsmith dan Blustain dalam Ndraha (1987) menyimpulkan bahwa masyarakat tergerak untuk berpartisipasi apabila: 1) partisipasi itu dilakukan melalui organisasi yang sudah dikenal atau sudah ada di tengah-tengah masyarakat yang bersangkutan, 2) partisipasi itu memberikan manfaat langsung kepada masyarakat yang bersangkutan, 3) manfaat yang diperoleh melalui partisipasi itu dapat memenuhi kepentingan masyarakat setempat, 4) dalam proses partisipasi itu terjamin adanya kontrol yang dilakukan oleh masyarakat. Beberapa faktor pendorong yang dianggap mampu meningkatkan partisipasi masyarakat pada kegiatan konservasi lahan adalah: 1) faktor karakteristik individu petani, 2) faktor peran PKSM, dan 3) faktor peran dan fungsi kelompok. Faktor karakteristik individu masyarakat yang diduga mampu meningkatkan partisipasi masyarakat pada kegiatan konservasi lahan adalah umur, pendidikan formal yang ditempuh, pendidikan non formal (pelatihan, kursus dan lain-lain), pendapatan, jumlah tanggungan keluarga yang dimiliki, luas lahan yang digarap, kekosmopolitan dan motivasi. Menurut Yelkouni (2004) diacu dalam Brännlund, Sidibe dan Gong (2009), ada indikasi bahwa umur berpengaruh pada partisipasi, semakin tua umur seseorang maka partisipasinya aka semakin berkurang. Partisipasi masyarakat dipengaruhi oleh faktor internal dan faktor eksternal. Faktor internal yang berpengaruh nyata terhadap partisipasi adalah tingkat pendidikan formal dan non formal serta luas lahan garapan. Sedangkan faktor eksternal yang berpengaruh adalah intensitas pendampingan dan aktifitas kelompok (Setyowati E 2010). Hasil penelitian Setiawinata (2001), pendapatan memiliki keeratan hubungan dengan partisipasi. Jumlah tanggungan keluarga dapat berpengaruh
34
35 positif maupun negatif. Di satu sisi semakin banyak jumlah anggota keluarga maka terdapat ketersediaan tenaga untuk berpartisipasi, sementara itu di sisi lain, semakin banyak yang harus tercukupi kebutuhannya (Brännlund, Sidibe dan Gong 2009). Faktor peran pendampingan pada setiap tahap partisipasi yang dilakukan oleh PKSM yang diduga mampu merubah perilaku masyarakat sehingga masyarakat mau berpartisipasi dalam kegiatan konservasi lahan, peran tersebut berbentuk peran sebagai analisator, stimulator, fasilitator, dan pendorong. Menurut Daud (2011), peran pendamping yang berhubungan nyata dengan partisipasi adalah peran sebagai fasilitator dan motivator. Faktor peran dan fungsi kelompok tani binaan PKSM yang dianggap meningkatkan partisipasi masyarakat pada kegiatan konservasi lahan adalah kelompok sebagai kelas belajar, wahana kerjasama, dan sebagai unit produksi. Sejalan dengan hasil penelitian Putu Arimbawa (2004), peran kelompok tani sebagai kelas belajar dapat meningkatkan kemampuan anggota kelompok dalam penguasaan teknologi, peran kelompok tani sebagai wahana kerjasama dan unit produksi dapat meningkatkan kemampuan anggota kelompok dalam pemasaran hasil produksi pertanian. Tingkat partisipasi masyarakat petani yang diharapkan dalam kegiatan konservasi lahan yaitu partisipasi mulai dari tingkat perencanaan, pelaksanaan, pemanfaatan dan evaluasi. Pentingnya partisipasi dikemukakan oleh Uphoff (1988) yang diacu oleh Yumi (2002), menyebutkan bahwa mengabaikan partisipasi masyarakat pada tahap perencanaan dan pengambilan keputusan pembangunan menyebabkan timbulnya pseudo participation (partisipasi semu). Hutchison, 1975 diacu dalam Asngari (2001), mengemukakan bahwa program pendidikan penyuluhan akan berhasil apabila mengikutsertakan secara langsung masyarakat dalam pengembangan, pelaksanaan, dan evaluasi. Kerangka berpikir partisipasi masyarakat pada kegiatan konservasi lahan yang dipengaruhi oleh karakteristik individu, peran pendampingan PKSM, peran dan fungsi kelompok dalam meningkatkan partisipasi masyarakat dapat digambarkan secara skematis pada Gambar 1:
36
Peran pendampingan PKSM pada setiap tahap partisipasi(X2): X.2.1. Analisator X.2.2. Stimulator X.2.3. Fasilitator X.2.4. Pendorong
Karakteristik individu masyarakat (X1):
X.1.1. Umur X.1.2. Pendidikan formal X.1.3. Pendidikan nonformal X.1.4. Pendapatan X.1.5. Jumlah tanggungan keluarga X.1.6. Luas lahan garapan X.1.7. Status lahan garapan X.1.8. Motivasi X.1.9. Kekosmopolitan
Tingkat partisipasi masyarakat (Y1): Y.1.1. Perencanaan Y.1.2. Pelaksanaan Y.1.3. Pemanfaatan Y.1.4. evaluasi
Peran dan fungsi kelompok tani (X3): X.3.1. Kelas belajar X.3.2 Wahana kerjasama X.3.3. Unit produksi
Konservasi lahan
Gambar 1 Pengaruh karakteristik individu, peran pendampingan PKSM dan peran dan fungsi kelompok tani binaan terhadap tingkat partisipasi masyarakat.
Hipotesis
Hipotesis penelitian adalah : 1. Faktor karakteristik individu berhubungan nyata dengan tingkat partisipasi masyarakat dalam melaksanakan kegiatan konservasi lahan. 2. Faktor peran PKSM berhubungan nyata dengan tingkat partisipasi masyarakat dalam melaksanakan kegiatan konservasi lahan. 3. Faktor peran dan fungsi kelompok tani binaan PKSM berhubungan nyata dengan tingkat partisipasi masyarakat dalam melaksanakan kegiatan konservasi lahan.
37
METODE PENELITIAN
Desain Penelitian
Metode penelitian yang dipergunakan dalam penelitian ini adalah metode survey dengan tujuan untuk mendapatkan data dan informasi tentang faktor-faktor yang berpengaruh terhadap tingkat partisipasi masyarakat sehingga mau melaksanakan kegiatan konservasi lahan. Metode survey merupakan metode yang dilakukan untuk menggambarkan keadaan sebagaimana adanya atau sesuai fakta yang dikumpulkan. Informasi dan data dalam penelitian ini diperoleh secara langsung maupun tidak langsung dengan cara mewawancarai sejumlah sampel dari populasi masyarakat binaan PKSM yang berada dalam satu kabupaten. Data dikumpulkan dengan menggunakan teknik observasi, kuesioner dan wawancara. Observasi atau pengamatan meliputi kegiatan pengamatan terhadap masyarakat pelaksana konservasi lahan, kuesioner merupakan instrumen yang dipergunakan untuk menjaring informasi dan data yang berisi serangkaian pertanyaan terstruktur dari penjabaran variabel-variabel penelitian, sedangkan wawancara dilakukan terhadap responden dan pihak-pihak terkait lainnya dengan tujuan untuk mendukung data yang diperoleh melalui kuesioner. Menggunakan ketiga teknik pengumpulan data ini menurut Sugiyono (2011), diharapkan dapat saling melengkapi sehingga data yang dikumpulkan merupakan data lengkap, akurat dan konsisten, selain ketiga tehnik tersebut juga dilakukan dokumentasi untuk memperoleh data-data sekunder.
Waktu dan Lokasi Penelitian
Lokasi Penelitian Penelitian dilaksanakan di 5 (lima) Kecamatan (Ambalawi, Belo, Wawo, Wera, Woha), Kabupaten Bima, NTB. Pemilihan lokasi penelitian ini dilakukan secara sengaja berdasarkan pertimbangan: 1. Provinsi NTB memiliki PKSM yang paling banyak di antara provinsi yang ada di wilayah Indonesia Timur. 2. Kabupaten Bima merupakan salah satu kabupaten di provinsi NTB yang: 1) memiliki jumlah PKSM nomor dua terbanyak se provinsi NTB, 2) sebaran PKSM merata hampir di seluruh kecamatan, 3) PKSM telah melaksanakan konservasi lahan secara swadaya, dan 4) PKSM memiliki demplot sebagai unit contoh bagi masyarakat binaan. 3. Pemilihan kecamatan, desa dan kelompok tani berdasarkan pertimbangan: 1) terdapat penyuluh kehutanan PNS dan PKSM yang masih aktif, 2) penyelenggaraan kegiatan penyuluhan oleh PKSM relatif berhasil, 3)
37
38 kelompok tani banyak terbentuk secara swadaya, 4) anggota kelompok tani masih aktif, 5) luas lahan yang telah dikonservasi relatif lebih besar, dan 6) akses ke lokasi penelitian relatif lebih mudah dan terjangkau.
Waktu Penelitian Waktu penelitian dilaksanakan selama 8 (delapan) bulan dari bulan Maret sampai dengan bulan Oktober 2012, meliputi observasi awal, penyusunan kerangka sampling, uji coba kuesioner, pengambilan data primer dan sekunder, pengolahan dan analisis data, pembahasan, serta penulisan.
Populasi dan Sampel Penelitian
Populasi penelitian adalah masyarakat pelaksana kegiatan konservasi lahan yang tergabung dalam kelompok tani binaan PKSM yang terdapat di 5 kecamatan dan 16 desa. Menurut Nazir (2003), populasi adalah kumpulan dari individu dengan kualitas serta ciri-ciri yang telah ditetapkan. Sampel adalah bagian dari populasi. Pengambilan sampel dilakukan dengan menggunakan teknik Propotional Random Sampling, sampel diambil secara acak berdasarkan jumlah anggota kelompok, keberadaan PKSM dan tingkat partisipasi masyarakat, kemudian untuk memperoleh jumlah sampel yang proposional dari jumlah populasi anggota kelompok yang akan dijadikan sebagai responden dalam desa yang terpilih, dihitung berdasarkan rumus Taro Yamane (Rakhmad 1998 yang diacu dalam Riduwan 2010): N n= N.d2 + 1
Keterangan: n = Jumlah sampel N = Jumlah populasi D2 = Tingkat presisi (batas ketelitian/nilai kritis) yang diinginkan pengambilan populasi sampel. Nilai kritis ditetapkan 10 %.
Perhitungan jumlah sampel menggunakan batas terendah tingkat kepercayaan 90%, diperoleh jumlah sampel sebanyak 91 orang, dan untuk memudahkan analisis data, jumlah sampel dinaikkan menjadi 100 orang yang terdiri dari anggota kelompok tani yang dibina langsung oleh PKSM serta telah melakukan kegiatan konservasi lahan baik di dalam kawasan maupun di luar kawasan (hutan rakyat dan agroforestry). Sebaran responden seperti pada Tabel 1. PKSM dijadikan sebagai informan dan data tambahan yang bisa memperkuat informasi dari responden yang berasal dari masyarakat, PKSM ini tidak dijadikan variabel yang diukur. Informan yang berasal dari PKSM sebanyak 17 orang, langsung diambil dari PKSM yang membina desa dan sekaligus merupakan pengurus kelompok tani di kecamatan tersebut.
39 Tabel 1 Sebaran responden penelitian di 5 kecamatan di Kabupaten Bima No.
Kecamatan
Desa
PKSM
Kelompok Tani
Jumlah Anggota
Jumlah Responden
1.
Ambalawi
1. Ds. Talapati 2. Ds. Rite
1 1
1. So Bala 2. Doro Ta’a
60 60
6 6
2.
Belo
1. Ds. Runggu 2. Ds. Roka 3. Ds. Renda
1 1 1
1. Oi Loa 2. Doro Naru 3. Doro Ncake
60 98 56
5 8 5
3.
Wawo
1. Ds. Ntori
2
2. Ds. Maria Utara 3. Ds. Kalate
1
1. Dana Kala 2. Banggowa 3. Oi Rida/ KP3A 4. Usaha Bersama
112 60 70
10 6 6
80
7
1
4
Wera
1. 2. 3. 4.
Ds. Wora Ds. Ntoke Ds. Nunggi Ds. Bala
1 1 1 1
1. 2. 3. 4.
Samakai Dore jati Oi Tola Lamore
36 33 50 36
4 4 5 4
5
Woha
1. 2. 3. 4.
Ds. Pandai Ds. Tenga Ds. Keli Ds. Risa
1 1 1 1
1. 2. 3. 5.
Doro Pataha Mangge Colu Temba Ndori Ncai Campa
60 60 65 70
6 6 6 6
16
17
1066
100
JUMLAH
17
Pengembangan Instrumen Penelitian
Jenis Data Data yang dikumpulkan ialah data primer dan sekunder, data primer didapat melalui wawancara dan kuesioner dengan pertanyaan terstruktur kepada informan kunci. Data sekunder berupa data potensi wilayah dan keadaan daerah didapat dari instansi atau pihak terkait sesuai data yang diperlukan. Data ini diperlukan untuk mengetahui latar belakang atau sejarah, dan budaya masyarakat yang mempengaruhi tingkat partisipasi masyarakat.
Variabel Variabel yang diukur dalam penelitian ini adalah variabel independen (variabel bebas) dan dependen (variabel terikat). Variabel bebas adalah variabel
40 yang mempengaruhi yang menjadi sebab perubahan atau timbulnya variabel dependen. Sedangkan variabel dependen adalah variabel yang dipengaruhi atau yang menjadi akibat. 1. Variabel bebas (independen) a. Karakteristik individu petani (X1): umur, pendidikan formal, pendidikan non formal, pendapatan, jumlah tanggungan keluarga, luas lahan garapan, status lahan, motivasi, dan kekosmopolitan b. Peran PKSM (X2): analisator, stimulator, fasilitator, dan pendorong c. Peran dan Fungsi kelompok (X3) unit belajar, wahana kerjasama dan unit produksi. 2. Variabel terikat (dependen): Tingkat partisipasi (Y1) meliputi perencanaan, pelaksanaan, pemanfaatan dan evaluasi
Kisi-Kisi Instrumen Data yang dipergunakan dalam penelitian adalah jenis data ordinal dan rasio dengan instrumen penelitian berupa kuesioner yang berisi seperangkat pertanyaan yang dijabarkan dari variabel-variabel penelitian berupa faktor independen dan faktor dependen. Kisi-kisi instrumen faktor independen karakteristik individu petani terdapat pada Lampiran 1. Instrumen penelitian berupa kuesioner terdiri dari 74 pertanyaan dengan rincian, 14 (empat belas) pertanyaaan untuk kerakteristik individu; 16 (enam belas) pertanyaan untuk peran pendampingan PKSM; 35 (tiga puluh lima) pertanyaan untuk peran dan fungsi kelompok dan 9 (sembilan) pertanyaan untuk tingkat partisipasi masyarakat.
Definisi operasional Definisi operasional adalah pengukuran konsep yang abstrak teoritis menjadi kata-kata tentang tingkah laku/gejala yang dapat diamati, dapat diuji dan dapat ditentukan kebenarannya oleh orang lain. Adapun definisi operasional dan pengukuran peubah dalam penelitian ini meliputi: 1. Karakteristik individu petani (X1) adalah kemampuan atau kualitas yang dimiliki seseorang yang menjadi suatu ciri atau sifat terpenting yang melekat pada sesuatu objek (orang), ditandai dengan adanya suatu yang berhubungan dengan kehidupan orang itu sendiri. Karakteristik individu yang akan diukur/diamati berdasarkan Tabel 2. 2. Peran PKSM (X2) adalah suatu tugas yang dilakukan oleh seseorang PKSM atau change agent yang dianggap memiliki kecakapan atau kemampuan tertentu di bidangnya, dan secara profesional mampu mempengaruhi perilaku orang lain baik secara individu maupun kelompok untuk melakukan hal-hal yang diinginkan melalui cara-cara yang terencana untuk mencapai tujuan yang diharapkan. Peran PKSM yang akan diukur/diamati berdasarkan Tabel 3. 3. Peran dan Fungsi kelompok (X3) adalah suatu fungsi atau peran serta manfaat kelompok yang dirasakan oleh anggota kelompok sehingga bisa menjadi
41 pendorong dalam pencapaian kegiatan yang direncanakan. Peran dan fungsi kelompok yang diukur/diamati berdasarkan Tabel 4. 4. Tingkat partisipasi (Y1) adalah keikutsertaan yang tinggi (keterlibatan langsung semua anggota kelompok), memiliki hak dan kesempatan yang sama, baik dalam tahapan perencanaan, pelaksanaan, pemanfaatan maupun evaluasi dalam kegiatan konservasi lahan. Tingkat partisipasi yang akan diukur/diamati berdasarkan Tabel 5. Tabel 2 Indikator, definisi operasional, parameter pengukuran karakteristik individu petani Variabel INDEPENDEN Karakteristik individu (X1): 1. Umur
2. Pendidikan Formal
Definisi Operasional
Jumlah tahun responden sejak dilahirkan sampai saat menjadi petani penelitian
Tingkat pendidikan formal yang terakhir
Parameter Pengukuran
Kategori
1. Tidak produktif < 15 tahun 2. Kurang Produktif > 64 tahun 3. Produktif 15– 64 tahun
1. Rendah
1. Dasar (Tidak /Tamat SD) 2. Menengah (SLTP/SLTA) 3. Tinggi (Akademi/ Sarjana
1. Rendah
2. Sedang 3. Tinggi
2. Sedang 3. Tinggi
3. Pendidikan nonformal
Pendidikan nonformal berupa peelatihan yang pernah diikuti
1. Tidak pernah 2. 1- 2 kali 3. >2 kali
1. Rendah 2. Sedang 3. Tinggi
4. Pendapatan
Jumlah uang yang diterima responden rata-rata sebulan dari pekerjaan
1. < Rp. 550.000,2. Rp. 550.0001.000.000,3. >1.000.000,-
1. Rendah 2. Sedang 3. Tinggi
5. Jumlah tanggungan Keluarga
Jumlah keluarga yang ditanggung oleh petani
1. < 4 orang 2. 4-6 orang 3. > 6 orang
1. Rendah 2. Sedang 3. Tinggi
6. Luas lahan garapan
Jumlah luasan lahan yang digarap petani
1. < ¼ Ha 2. ¼ ha-1 ha 3. > 1 ha
1. Rendah 2. Sedang 3. Tinggi
7. Status lahan
Status lahan yang digarap oleh petani
1. Sewa 2. Pinjam pakai 3. Milik sendiri
1. Rendah 2. Sedang 3. Tinggi
42 Tabel 2 Indikator, definisi operasional, parameter pengukuran karakteristik individu petani (lanjutan) Variabel INDEPENDEN Karakteristik individu (X1): 8. Motivasi
9. Kekosmopolitan
Definisi Operasional
Parameter Pengukuran
Kategori
Dorongan petani sehingga mau melakukan kegiatan konservasi lahan
1. Desakan/paksaan 2. Penghasilan yang menarik 3. Kepedulian yang tinggi terhadap hutan dan lahan
1. Rendah 2. Sedang
1. Teman dekat/ tetangga /tokoh masyarakat 2. Lembaga (pemerintah/non pemerintah) 3. Pendamping PNS/PKSM)
1. Rendah
Keterbukaan seseorang terhadap dunia luas dan pembaharuan yang ditentukan berdasarkan jumlah macam sumber informasi yang dipergunakan
3. Tinggi
2. Sedang
3. Tinggi
Tabel 3 Indikator, definisi operasional, parameter pengukuran peran PKSM Variabel INDEPENDEN Peran PKSM (X2): 1. Analisator
2. Stimulator
3. Fasilitator
4. Pendorong
Definisi Operasional
Peran penyuluh swadaya sebagai analis dan membantu mendiagnosa kebutuhan masyarakat pada tiap tahap partisipasi Peran PKSM dalam menggerakkan klien untuk antusias melaksanakan kegiatan (stimulor), pada setiap tahap partisipasi Menghubungkan klien dengan institusi lain yang terkait pada setiap tahap partisipasi Mendorong klien untuk menggunakan kemampuan dan potensi yang dimiliki untuk melakukan kegiatan
Parameter Pengukuran
Kategori
1. Tidak pernah 2. Jarang 3. Terlibat aktif
1. Rendah 2. Sedang 3. Tinggi
1. Tidak pernah 2. Jarang 3. Terlibat aktif
1. Rendah 2. Sedang 3. Tinggi
1. Tidak pernah 2. Jarang 3. Terlibat aktif
1. Rendah 2. Sedang 3. Tinggi
1. Tidak pernah 2. Jarang 3. Terlibat aktif
1. Rendah 2. Sedang 3. Tinggi
43 Tabel 4 Indikator, definisi operasional, parameter pengukuran peran dan fungsi kelompok Variabel Peran dan Fungsi Kelompok (X3): 1. Kelas belajar
2. Wahana kerjasama
3. Unit produksi
Definisi Operasional
Kelompok sebagai kelas belajar para anggota kelompok yang ditunjukan melalui keterampilan/ kecakapan anggota kelompok dalam melakukan aktivitas kegiatan konservasi lahan, baik dalam menggunakan sarana dan prasarana serta kecakapan menyediakan dan/ atau mencari alternatif-alternatif lain dalam kegiatan konservasi. Kelompok sebagai wahana saling interaksi, berkomunikasi dan berbagi informasi antar PKSM, penyuluh, dan anggota kelompok lain. Kemampuan kelompok dalam menyediakan dan memenuhi kebutuhan dasar anggotanya baik sandang, pangan, papan, kesehatan dan pendidikan (peningkatan relative dari pendapatan anggota kelompok).
Parameter Pengukuran
Kategori
1. Tidak pernah 2. Jarang 3. Sering
1. Rendah 2. Sedang 3. Tinggi
1. Tidak pernah 2. Jarang 3. Sering
1. Rendah 2. Sedang 3. Tinggi
1. Tidak pernah 2. Jarang 3. Sering
1. Rendah 2. Sedang 3. Tinggi
Tabel 5 Indikator, definisi operasional, parameter pengukuran tingkat partisipasi masyarakat Variabel DEPENDEN Tingkat partisipasi petani (Y1): 1. Perencanaan
2. Pelaksanaan
Definisi Operasional
Tingkat keikutsertaan yang tinggi dari petani kelompok binaan PKSM dalam merencanakan kegiatan konservasi lahan Tingkat keikutsertaan yang tinggi dari petani dalam ikut melaksanakan kegiatan konservasi lahan
Parameter Pengukuran
Kategori
1. Tidak aktif 2. Jarang 3. Aktif
1. Rendah 2. Sedang 3. Tinggi
1. Tidak aktif 2. Jarang 3. Aktif
1. Rendah 2. Sedang 3. Tinggi
44 Tabel 5 Indikator, definisi operasional, parameter pengukuran tingkat partisipasi masyarakat (lanjutan) Variabel DEPENDEN Tingkat partisipasi petani (Y1): 3. Pemanfaatan
4. Evaluasi
Definisi Operasional
Tingkat keikutsertaan yang tinggi dari petani dalam memanfaatkan hasil kegiatan konservasi lahan Tingkat keikutsertaan yang tinggi dari petani dalam ikut mengevaluasi kegiatan konservasi lahan
Parameter Pengukuran
Kategori
1. Tidak aktif 2. Jarang 3. Aktif
1. Rendah 2. Sedang 3. Tinggi
1. Tidak aktif 2. Jarang 3. Aktif
1. Rendah 2. Sedang 3. Tinggi
Uji Coba Instrumen Pengujian validitas instrumen dilakukan dengan menguji validitas konstruksi (construct validity) yaitu menyusun indikator pengukuran operasional berdasarkan kerangka teori konsep yang akan diukur. Secara sederhana validitas konstruk dari sebuah instrumen ditentukan dengan jalan mengkorelasikan antara skor masing-masing item dengan total skor masing-masing item. Jika r-hitung lebih besar dari r-tabel pada taraf kepercayaan tertentu, berarti instrumen tersebut memenuhi kriteria validitas. Validitas adalah suatu alat ukur yang menunjukkan tingkat keandalan atau kesahihan suatu alat ukur. Alat ukur yang kurang valid berarti memiliki validitas rendah. Pengujian tersebut dilakukan melalui langkah-langkah sebagai berikut: 1) definisi operasional variabel yang akan diukur, 2) studi literatur (pustaka) sebagai referensi (acuan), 3) konsultasi dengan pembimbing (ahli), 4) uji coba instrumen di lapangan, 5) mempersiapkan format tabulasi jawaban, 6) menghitung korelasi menggunakan pendekatan korelasi item-total dikoreksi (corrected item-total correlation). Model pengujian dengan pendekatan korelasi item-total dikoreksi digunakan untuk menghilangkan spurious overlap, yaitu adanya tumpang tindih atau pengaruh kontribusi masing-masing skor item terhadap skor total. Untuk menghilangkan efek spiruous overlap tersebut maka koefisien korelasi item-total dikoreksi dengan nilai simpangan baku (standard deviation) skor item dengan skor total (Kusnendi 2008). Menentukan apakah sebuah item dinyatakan valid atau tidak maka para ahli menetapkan besaran koefisien korelasi item total dikoreksi sebesar 0,25 atau 0,30 sebagai batas minimal valid tidaknya sebuah ítem hal ini berarti apabila nilai koefisien korelasi sama atau lebih besar dari 0,25 atau 0,30 mengindikasikan item tersebut memiliki validitas yang memadai (Kusnendi, 2008).
45 Uji reliabilitas menggunakan metode cronbach alpha dengan rumus: Keterangan: α : Koefisien cronbach alpha n ∑ Vi n : Jumlah item α= 1n-1 Vt Vi : Varians skor tiap-tiap item ∑Vi : Jumlah varians skor tiap-tiap item Vt : Varians total Alat ukur dinilai cukup reliabel apabila nilai koefisien cronbach alpha (α) lebih besar dari kisaran 0.5 – 1.0. Menurut Babbie (1989), suatu instrumen dianggap cukup reliabel apabila nilai koefisien alpha ≥ 0.6. dengan ukuran kemantapan alpha sebagai berikut: 1. Nilai koefisien alpha 0.00 – 0.20 berarti kurang reliabel 2. Nilai koefisien alpha 0.21 – 0.40 berarti agak reliabel 3. Nilai koefisien alpha 0.41 – 0.60 berarti cukup reliabel 4. Nilai koefisien alpha 0.61 – 0.80 berarti reliabel 5. Nilai koefisien alpha 0.81 – 1.00 berarti sangat reliabel Hasil uji validitas per butir pertanyaan menunjukkan ada beberapa pertanyaan yang tidak valid, hal ini disebabkan karena beberapa pertanyaan tersebut tidak dimengerti oleh responden dan memiliki pengertian sama dengan pertanyaan sebelumnya, oleh karena itu ada beberapa pertanyaan yang dibuang dan ada juga yang hanya diubah kalimatnya dengan dibantu diskusi serta wawancara tidak terstruktur sehingga maksud dari pertanyaan tersebut bisa dimengerti oleh petani. Hasil uji instrumen penelitian berupa kooefesien cronbach alpha (α) untuk uji realibiltas dan korelasi item-total dikoreksi untuk uji validitas pada Tabel 6 berikut:
[
]
Tabel 6 Hasil uji instrumen penelitian Variabel
Jumlah item
Skala ordinal
Uji reliabilitas (Croanbachalpha)
Ket.
Uji validitas (corrected item-total correlation)
Ket
Kualitas individu
9
1-3
0.431
Cukup reliabel
0.045-0.406
Valid
Peran pendampingan PKSM
16
1-3
0.897
Reliabel 0.755-0.797
Valid
Peran dan fungsi kelompok tani
28
1-3
0.607
Reliabel 0.580-0.705
Valid
Tingkat Partisipasi
9
1-3
0.903
Sangat reliabel
Valid
0.739-0.884
46 Tabel 6 terlihat bahwa berdasarkan uji reliabilitas instrumen penelitian dapat dikategorikan dari cukup reliabel sampai dengan sangat reliabel, dengan demikian instrumen ini dapat dikatakan memiliki konsistensi dan respon pada obyek yang sama, sedangkan untuk hasil uji validitas, umumnya instrumen valid pada koofesien korelasi item total yang dikoreksi lebih dari 0,25, hal ini berarti instrumen dapat dipakai untuk mengukur data yang akan diukur. Hasil uji coba dipergunakan sebagai dasar untuk melanjutkan penelitian dengan menggunakan variabel yang sudah ada. Uji coba ini akan lebih meyakinkan penulis tentang kesahihan dari instrumen yang dipergunakan.
Teknik Pengumpulan Data
Teknik pengumpulan data yang digunakan dalam penelitian ini adalah gabungan antara wawancara, observasi langsung di lapangan, dan kuesioner. Menggunakan ketiga metode tersebut diharapkan dapat saling melengkapi kelemahan atau kekurangan dari masing-masing metode, sehingga data yang dikumpulkan benar-benar sesuai dengan maksud dan tujuan penelitian. 1. Metode wawancara dilakukan pada sampel yang diambil dan terhadap instansi serta pihak-pihak terkait dengan penelitian untuk mendapatkan data sekunder. 2. Metode observasi di lapangan dilakukan untuk membandingkan hasil wawancara dengan kondisi kenyataan di lapangan, dan untuk mempertajam hasil wawancara. 3. Kuesioner diberikan kepada petani untuk memperoleh dan menjaring informasi terkait dengan tingkat partisipasi kegiatan konservasi yang dilaksanakan.
Teknik Analisis Data
Analisis data dilakukan secara kuantitatif. Data hasil penelitian dianalisis untuk memperoleh hubungan/pengaruh berbagai variabel yang diteliti, dan memberikan penjelasan secara kualitatif. Menurut Nazir (2003), pengolahan dan analisa data merupakan bagian yang amat penting dalam kegiatan penelitian karena data tersebut dapat diberi arti dan makna yang berguna dalam memecahkan masalah dan bermanfaat untuk menguji hipotesis. Data hasil penelitian dianalisis untuk memperoleh hubungan berbagai variabel yang diteliti, dan memberikan penjelasan secara kualitatif sebagai pendukung. Data yang diperoleh dari kuesioner dikelompokkan menurut variabel yang telah ditentukan, menggunakan skoring dan pengkategorian. Analisis yang dilakukan adalah: 1) memberikan skor pada setiap data dan kemudian di tabulasi, 2) menggolongkan, menghitung jawaban dan memprosentasekan berdasarkan kategori jawaban. Skor yang digunakan adalah skala Likert. Skala Likert yang
47 digunakan terdiri dari 3 (tiga) tingkat yang merupakan gradasi dari rendah, sedang dan tinggi, kemudian data diolah menggunakan tabulasi distribusi frekuensi dan kemudian dianalisis. Hubungan antar variabel diketahui dengan menggunakan uji korelasi rank Spearman dengan rumus: N 6 Σ d i2 I =1 rs = 1.-----------------n (n2 – 1)
Keterangan: rs = Koefisien korelasi Spearman di = Selisih antar jenjang n = Banyaknya subyek
Analisis kuantitatif dengan uji korelasi Rank Spearman dilakukan dengan menggunakan perangkat statistik Statistical Product and Service Solutions (SPSS). Koefesien korelasi merupakan pengukuran statistik kovarian atau asosiasi antara dua variabel. Besarnya koefisien korelasi berkisar antara +1 sampai dengan -1, yang berarti koefisien korelasi dapat bernilai positif dan dapat pula negatif. Koefesien korelasi menunjukkan kekuatan hubungan linear dan arah hubungan dua variabel. Jika koefesien korelasi positif, maka kedua variabel mempunyai hubungan searah. Artinya jika nilai variabel X tinggi, maka nilai variabel Y akan tinggi pula. Sebaliknya, jika koefesien korelasi negatif, maka kedua variabel mempunyai hubungan terbalik. Artinya jika nilai variabel X tinggi, maka nilai variabel Y akan menjadi rendah (dan sebaliknya).
48
HASIL DAN PEMBAHASAN
Gambaran Umum Kabupaten Bima
Penelitian ini dilakukan di 5 (lima) kecamatan di Kabupaten Bima, Provinsi Nusa Tenggara Barat (NTB), lingkup penelitian difokuskan pada masyarakat yang tergabung sebagai anggota kelompok tani binaan dari Penyuluh Kehutanan Swadaya Masyarakat (PKSM). Peta lokasi penelitian terdapat pada Lampiran 2.
Letak geografis dan administrasi pemerintahan Kabupaten Bima adalah salah satu kabupaten di Provinsi Nusa Tenggara Barat (NTB) yang berada di ujung timur Pulau Sumbawa terletak pada 118º44” 119º22” Bujur Timur dan 08º08” - 08º57” Lintang Selatan serta berbatasan dengan Kabupaten Dompu disebelah Barat, Provinsi Nusa Tenggara Timur (NTT) di sebelah Timur, laut Flores di sebelah Utara dan Samudera Indonesia di sebelah Selatan. Sejak tahun 2006, Kabupaten Bima telah mengalami pemekaran wilayah, dimana sebelumnya hanya terdapat 14 kecamatan yang kemudian dimekarkan menjadi 18 kecamatan dengan jumlah desa sebanyak 177 desa. Desa yang berada di wilayah pesisir sebanyak 35 desa dan 142 desa berada di wilayah pegunungan. Peta Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) Kabupaten Bima masing-masing terdapat pada Lampiran 3. . Tabel 7 Jumlah kecamatan, desa dan dusun di Kabupaten Bima No.
Kecamatan
Jumlah desa
Jumlah dusun
1. 2. 3. 4. 5. 6. 7. 8. 9. 10. 11. 12. 13. 14. 15. 16. 17. 18.
Ambalawi Belo Bolo Donggo Lambitu Lambu Langgudu Madapangga Monta Palibelo Parado Sanggar Sape Soromandi Tambora Wawo Wera Woha
6 8 12 8 5 12 12 10 12 9 5 6 17 6 5 9 11 15
38 41 57 34 17 66 51 36 44 50 15 24 108 38 11 34 81 58
Sumber: BPS Kabupaten Bima, 2010.
48
49 Luas wilayah Kabupaten Bima seluas 4.389,40 km2 dengan perincian, 54.36% hutan Negara, 9.25% hutan rakyat, lahan persawahan 6.98%, tegalan/kebun 13.07% dan lahan tidak terpakai 5,21%, serta sisanya untuk peruntukan lain.
Topografi, tanah dan iklim Topografi wilayah Kabupaten Bima jika dilihat dari ketinggian dan kelerengan lahan, dibedakan ke dalam 3 satuan morfologi utama yaitu morfologi pegunungan, perbukitan dan dataran. Sekitar 32 persen wilayah Kabupaten Bima masuk dalam kategori morfologi pegunungan yang menyebar pada wilayah Kabupaten Bima bagian tengah, membentang dari timur ke barat yang dicirikan dengan kemiringan lereng lebih dari 40 persen dan ketinggian lebih dari 500 m dpl. Satuan morfologi perbukitan dijumpai di wilayah bagian selatan yaitu di teluk Waworada yang dicirikan dengan dominasi lereng agak curam sampai dengan curam. Sedangkan morfologi dataran berada di wilayah sekitar Teluk Bima dengan ciri lahan landai dan menempati kurang lebih 22 persen dari luas wilayah Kabupayen Bima serta ketinggian antara 0 – 100 mdpl. Pegunungan yang mengelilingi Kabupaten Bima yaitu Gunung Tambora di Kecamatan Tambora, Gunung Sangiang di Kecamatan Wera, Gunung Maria di Kecamatan Wawo, dan Gunung Soromandi di Kecamatan Donggo. Jenis tanah yang dijumpai di Kabupaten Bima adalah Aluvial, Regosol, Litosol dan Mediteran, masing-masing jenis tanah ini tersebar hampir di seluruh wilayah Kabupaten Bima. Kabupaten Bima memiliki tingkat erosi yang relatif tinggi, yaitu sebanyak 37,8 persen dari total luas wilayah berada dalam kelas tingkat bahaya erosi berat dan 28,4 persen berada pada kelas tingkat bahaya erosi sangat berat. Iklim di Kabupaten Bima termasuk dalam iklim tropis dengan interval temperatur normal rata-rata 23.5oC sampai dengan 32.7oC dengan kelembaban udara rata-rata 78 persen. Kabupaten Bima dikategorikan sebagai daerah agak kering dengan nilai Q 140 persen, rata-rata curah hujan sebesar 77.6 mm/tahun, curah ujan tertinggi terjadi sekitar bulan Maret dan terendah sekitar bulan Juli dan Agustus. Drainase yang dimiliki Kabupaten Bima umumnya tergenang dan tidak tergenang, lokasi tergenang terus menerus sepanjang tahun di wilayah Dam Roka dan Dam Sumi. Kabupaten Bima memiliki 20 sungai besar, wilayah yang paling banyak dilintasi oleh sungai ini adalah Kecamatan Donggo dan Palibelo. Kecamatan Donggo dilintasi 4 aliran sungai yaitu sungai Padende, Mbawa, Kala dan Manggi, sedangkan Kecamatan Palibelo dilintasi oleh 3 aliran sungai yaitu sungai Kawuwu, Ncera, Kuta dan Ntonggu.
50 Kependudukan, perekonomian, dan pendidikan Hasil sensus tahun 2010, jumlah penduduk di Kabupaten Bima sebanyak 439.228 jiwa, dengan jumlah penduduk laki-laki sebanyak 218.759 jiwa dan jumlah penduduk perempuan sebanyak 220.469 jiwa. Kepadatan penduduk Kabupaten Bima adalah 100,07 jiwa per kilometer persegi, ini berarti setiap satu kilometer persegi terdapat 100 jiwa penduduk, sedangkan dilihat dari umur, rata-rata (median) umur penduduk 24,23 tahun, hal ini menunjukkan bahwa umur penduduk di Kabupaten Bima termasuk kategori menengah (intermediate). Penduduk suatu wilayah dikategorikan muda bila median umur < 20 tahun, menengah jika berumur 20-30 tahun, dan tua jika berumur > 30 tahun (BPS 2010). Salah satu prioritas dalam Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) 2010-2014 adalah menurunkan angka Tingkat Pengangguran Terbuka (TPT). TPT Kabupaten Bima tahun 2010 adalah sebesar 3.14 persen yang artinya dari 100 orang penduduk, yang menganggur sebanyak 3 orang. Proporsi tenaga kerja terbesar masih pada sektor pertanian, perkebunan, kehutanan, perburuan dan perikanan sebesar 67.20 persen dari total seluruh penduduk yang bekerja dan proporsi pekerjaan yang terkecil berada pada sektor listrik, gas dan air minum, sektor lembaga keuangan, real estate, usaha persewaan serta jasa perusahaan, yaitu masing-masing sebesar 0.20 persen. Indikator untuk mengetahui tingkat kesejahteraan ekonomi masyarakat secara makro salah satunya adalah dengan mengetahui Produk Domestik Regional Bruto (PDRB) dimana PDRB ini merupakan salah satu indikator ekonomi yang mencerminkan produktivitas perekonomian suatu daerah. PDRB per kapita merupakan gambaran dari rata-rata pendapatan yang diterima oleh setiap penduduk selama satu tahun, jika PDRB tinggi maka menggambarkan perekonomian yang lebih baik. Pendapatan per kapita penduduk Kabupaten Bima tahun 2010 mencapai Rp. 3.547.066, jumlah ini jika dibandingkan dengan kawasan pulau Sumbawa secara umum yang terdiri dari 5 Kabupaten/Kota, PDRB Kabupaten Bima berada pada urutan ke 3, sedangkan jika dilihat dari jumlah penduduk, dimana Kabupaten Bima memiliki penduduk paling banyak jika dibandingkan Kabupaten/Kota lain di Pulau Sumbawa, Kabupaten Bima memiliki PDRB per kapita paling rendah. Pendidikan adalah salah satu cara untuk meningkatkan kualitas sumberdaya manusia, sasaran pembangunan pendidikan ditujukan untuk meningkatkan akses masyarakat dan meningkatkan mutu pendidikan. Meningkatnya mutu pendidikan ditandai dengan menurunnya jumlah penduduk yang buta huruf. Tahun 2010 terdapat 689 sekolah yang ada di Kabupaten Bima, jumlah ini terdiri dari 79.25 persen sekolah negeri dan 20.75 persen sekolah swasta. Dilihat dari kemampuan membaca dan menulis, terdapat 87.68 persen penduduk di atas usia 10 tahun yang melek huruf dan 12.32 persen yang buta huruf, sedangkan untuk rasio sex, penduduk laki-laki lebih banyak yang melek huruf (90.46 persen) dibandingkan dengan penduduk perempuan.
51 Sektor kehutanan Pada umumnya kondisi lahan di Kabupaten Bima terdiri dari semak belukar dan padang rumput (savana), semak belukar mencapai 32 persen dan padang rumput mencapai 12 persen dari total luas wilayah Kabupaten Bima, sedangkan tutupan lahan didominasi oleh hutan lahan kering primer dengan luas 141.566 Ha atau 33 persen dari luas wilayah. Peta tutupan lahan Kabupaten Bima terdapat pada Lampiran 4. Kawasan hutan di Kabupaten Bima didominasi oleh kawasan hutan Negara dengan luas definitif mencapai 57 persen dari total luas daratan atau sebesar 250.369 Ha. Kawasan hutan Negara ini terbagi sebagai hutan lindung seluas 83.189 Ha, hutan konservasi 55.600 Ha, hutan produksi terbatas 66.866 ha, hutan produksi tetap 44.740 ha dan hutan produksi yang dapat dikonversi seluas 6.800 ha. Peta kawasan hutan di Kabupaten Bima terdapat pada Lampiran 5. Beberapa area pada kawasan hutan tergolong dalam kelas lahan kritis lebih kurang 24 persen dari luas hutan difinitif. Luas lahan kritis di Kabupaten Bima 73.062,71 Ha, terbagi lahan di luar kawasan hutan Negara (milik masyarakat) 42.388,10 Ha dan dalam kawasan hutan Negara 30.674,61 Ha. Luas tanaman yang direboisasi mulai tahun 2007 – 2011 seluas 2.310 Ha (Dishut 2011). Tahun 2007, sektor kehutanan memberikan kontribusi pendapatan Negara sebesar Rp. 2.960.160.100,- yang bersumber dari Provisi Sumberdaya Hutan (PSDH) dan Dana Reboisasi (DR). Kondisi lahan kritis dan penanaman lahan di Kabupaten Bima terdapat pada Lampiran 6.
Infrastruktur dan transportasi Infrastruktur, transportasi dan komunikasi memiliki peranan penting dalam mendukung perkembangan dan pembangunan di suatu wilayah, apabila kondisi infrastruktur, transportasi dan komunikasi dalam kondisi baik maka proses pembangunan dalam wilayah tersebut akan berjalan dengan baik pula. Jalur transportasi di Kabupaten Bima memegang peranan penting yaitu sebagai salah satu jaringan transportasi darat lintas selatan yang menghubungkan Jakarta-Bali-Bima-NTT dengan total panjang jalan pada tahun 2007 sepanjang 832 km dan yang sudah beraspal sepanjang 312 km. Kondisi jalur transportasi yang sudah cukup memadai dan terus meningkat dari tahun ke tahun ini belum sepenuhnya di rasakan oleh semua lapisan masyarakat, khususnya masyarakat yang tinggal jauh dari perkotaan, masih kesulitan mendapatkan akses transportasi yang layak karena terbatasnya sarana dan trayek. Kondisi infrastruktur dan sarana transportasi di Kabupaten Bima terdapat pada Lampiran 7. Kabupaten Bima juga memiliki akses transportasi laut yang melayani penyebrangan lokal dan regional yaitu terdapat Pelabuhan Sape di Kecamatan Sape yang melayani penyebrangan regional dari Kecamatan Sape menuju Pulau Komodo di Nusa Tenggara Timur (NTT) dan pelabuhan Waworada di Kecamatan Langgudu yang melayani penyebrangan lokal antar pulau kecil. Terdapat juga pelabuhan udara di Kecamatan Palibelo yaitu Bandara M. Salahuddin sebagai
52 akses transportasi udara di Kabupaten Bima yang melayani rute penerbangan Denpasar-Bima dan Mataran-Bima.
Gambaran Umum Lokasi Penelitian 5 Kecamatan di Kabupaten Bima
Kecamatan Ambalawi Wilayah Kecamatan Ambalawi seluas 255,50 km2, ketinggian wilayah dari permukaann laut sekitar 70 m dpl. Batas-batas wilayah Kecamatan Ambalawi adalah sebelah utara berbatasan dengan laut Flores, sebelah selatan berbatasan dengan Kecamatan Sape dan Kecamatan Wawo, sebelah barat berbatasan dengan Kecamatan Asakota Kota Bima, dan sebelah timur berbatasan dengan Kecamatan Wera. Jumlah desa yang terdapat di Kecamatan Ambalawi sebanyak 6 desa, desa yang terluas adalah desa Mawu yaitu 63,62 km2 atau sekitar 35,22 persen dari total luas Kecamatan Ambalawi, jarak tempuh dari ibukota Kabupaten Bima ke ibukota Kecamatan Ambalawi adalah 34 km. Peruntukan lahan yang ada di Kecamatan Ambalawi dipergunakan untuk sawah 19,56 Ha, tegalan/kebun 31 Ha, hutan Negara 116 Ha, bangunan dan pekarangan 7,74 ha serta sisanya adalah peruntukan lainnya. Jumlah penduduk pada tahun 2010 sebanyak 18,172 jiwa, terbagi atas penduduk laki-laki sebanyak 9.106 jiwa dan sisanya adalah penduduk perempuan, sedangkan berdasarkan rasio jenis kelamin, penduduk laki-laki lebih banyak dari pada penduduk perempuan. Mata pencaharian atau pekerjaan sebagian besar penduduk di Kecamatan Ambalawi bekerja di sektor pertanian, namun ada juga yang bekerja di sektor lain yaitu sektor industri dan transportasi. Penunjang transportasi berupa jalan yang menuju Kecamatan Ambalawi dari ibukota Kabupaten sebagian besar sudah beraspal dan hanya sebagian kecil yang rusak dan belum diaspal. Masyarakat di Kecamatan Ambalawi rata-rata sudah menggunakan radio, televisi dan antena parabola sebagai sumber informasi dan berita serta sudah memanfaatkan handphone (HP) sebagai alat komunikasi walaupun sinyal sangat susah.
Kecamatan Belo Kecamatan Belo memiliki luas wilayah seluas 44,76 km2 dan terbagi dalam 8 desa, desa terluas adalah desa Lido dan desa yang terkecil adalah desa Soki. Pusat pemerintahan Kecamatan Belo berada di desa Cenggu dengan jarak tempuh dari ibukota Kabupaten Bima adalah 22 km. Kecamatan Belo berada pada ketinggian 33 m dpl. Desa yang ada di Kecamatan Belo pada umumnya merupakan desa Swasembada dan hanya 2 desa yang merupakan desa swakarya, pemerintahan
53 desa dipimpin oleh seorang Kepala Desa dibantu oleh seorang Sekretaris Desa dan rata-rata dalam 1 desa memiliki 5 orang pamong desa. Masing-masing desa membawahi 2 hingga 5 dusun, yang dipimpin oleh seorang kepala dusun dibantu oleh beberapa RW dan RT. Bata-batas kecamatan Belo, sebelah utara berbatasan dengan wilayah Kecamatan Pelibelo, sebelah barat berbatasan dengan Kecamatan Woha dan Kecamatan Monta, sebelah timur berbatasan dengan Kecamatan Lambitu dan di sebelah selatan berbatasan dengan Kecamatan Langgudu. Komposisi penggunaan lahan di Kecamatan Belo dipergunakan untuk lahan sawah sebesar 21,58 persen, tegal/kebun sebesar 7,22 persen, bangunan dan pekarangan sebesar 19,35 persen, hutan negara sebesar 27,75 persen dan selebihnya untuk peruntukan lainnya. Penduduk di Kecamatan Belo pada tahun 2010 sebanyak 24.940 jiwa, terdiri dari 49,29 persen penduduk laki-laki dan sisanya adalah penduduk perempuan. Perbandingan antara penduduk laki-laki dan perempuan di Kecamatan Belo lebih didominasi oleh penduduk perempuan. Kepadatan penduduk di Kecamatan Belo cukup tinggi, rata-rata jumlah penduduk per kilometer persegi sebanyak 557 jiwa. Jumlah penduduk berdasarkan rumah tangga pada tahun 2010 sebanyak 6.732 rumah tangga dan apabila dihitung dari jumlah total penduduk yaitu 24.940 jiwa penduduk yang ada di Kecamatan Belo, maka rata-rata setiap rumahtangga memiliki 4 orang anggota keluarga dalam satu rumah tangga. Meningkatkan mutu pendidikan merupakan salah satu program yang gencar dilakukan di Kecamatan Belo. Tahun 2010, Kecamatan Belo memiliki 38 unit sekolah yang terdiri atas 11 Taman Kanak-kanak, 16 Sekolah Dasar/MI, 7 unit SMP/MTs dan 4 unit SMA/MA, selain sekolah-sekolah formal seperti SD, SLTP dan SLTA serta Madrasah, terdapat juga sebuah sekolah luar biasa (SLB) yaitu di Desa Cenggu yang diperuntukkan bagi para penyandang kelainan. Tanah yang ada di Kecamatan Belo pada umumnya merupakan tanah irigasi setengah teknis, akan tetapi ada juga yang beririgasi sederhana dan tadah hujan. Penunjang transportasi darat berupa sarana jalan yang ada di Kecamatan Belo sebagian besar merupakan jalan aspal dengan panjang jalan aspal mencapai 20,5 km, selain itu terdapat juga jalan tanah dengan panjang jalan 15,5 km dan jalan yang diperkeras dengan panjang jalan 6 km. Masyarakat di Kabupaten Belo rata-rata sudah memiliki televisi, radio dan antena parabola hamper di semua desa dan menjadikan masyarakat ini tidak ketinggalan informasi baik dari dalam negeri maupun dari luar negeri, sedangkan untuk komunikasi antar masyarakat, rata-rata sudah menggunakan telepon seluler (handphone).
Kecamatan Wawo Luas wilayah Kecamatan Wawo adalah seluas 225.27 km2, terbagi dalam 11 desa. Batas-batas wilayah administrasi Kecamatan Wawo adalah sebelah utara berbatasan dengan Kecamatan Wera, sebelah selatan berbatasan dengan Kecamatan Monta, Kecamatan Belo dan Kecamatan Langgudu, sebelah barat
54 berbatasan dengan Kecamat RasanaE Timur Kota Bima, dan sebelah timur berbatasan dengan Kecamatan Sape. Desa yang terdapat di Kecamatan Wawo merupakan desa Swadaya dan Swakarya, pemerintahan desa dipimpin oleh seorang Kepala Desa dibantu oleh seorang Sekretaris Desa dan beberapa pamong praja. Masing-masing desa membawahi 2 hingga 4 dusun yang dipimpin oleh seorang kepala dusun dibantu oleh beberapa RT dan RW. Pusat pemerintahan Kecamatan Wawo berada di Desa Maria yang berjarak kurang lebih 20 km dari ibukota Kabupaten Bima. Sebagai ibukota kecamatan, Desa Maria berada pada ketinggian 250 meter di atas permukaan laut dengan luas sebesar 42,74 km2. Komposisi penggunaan lahan selama tahun 2010, sebagian besar lahan merupakan Hutan Negara yaitu 63,16 persen, lahan sawah 22,51 km2, tegalan/kebun 34,59 km2 dan sisanya digunakan untuk bangunan dan pekarangan serta peruntukan lain. Kecamatan Wawo memiliki jumlah penduduk sebanyak 20.418 jiwa, dari jumlah tersebut 48,37 persennya merupakan penduduk laki-laki (9.876 jiwa) dan sisanya adalah penduduk perempuan 51,63 persen (10.542 jiwa). Kepadatan penduduk mencapai 90 penduduk per km2, dari 11 desa yang ada, yang memiliki jumlah penduduk terpadat adalah Desa Kambilo dan penduduk terendah adalah Desa Kaowa, sedangkan jumlah rumahtangga pada tahun 2011 di Kecamatan Wawo sebanyak 5.257 rumahtangga. Pendidikan sebagai salah satu kunci untuk meningkatkan sumber daya manusia sangat diperhatikan oleh pemerintahan Kecamatan Wawo dan berusaha untuk terus menerus meningkatkan prasarana dan sarana serta kualitas pendidikan melalui berbagai program dari tahun ke tahun. Penggunaan lahan di Kecamatan Wawo sebagian besar dipergunakan untuk lahan sawah sekitar 2.271 Ha, dari luas lahan sawah tersebut hanya 5 hektar yang memakai sistem irigasi setengah teknis dan selebihnya menggunakan sistem irigasi sederhana dan tadah hujan. Penunjang transportasi darat di Kecamatan Wawo berupa jalan, sebagian besar jalan sudah beraspal, kurang lebih 123 kilometer dan jalan tanah sepanjang 11 kilometer, dan jalan diperkeras sepanjang 4 kilometer. Era informasi seperti sekarang ini kebutuhan akan informasi dan hiburan menjadi sangat penting, sebagian besar masyarakat di Kecamatan Wawo sudah memiliki radio, televisi dan antena parabola sebagai sumber informasi dan hiburan serta sudah menggunakan handphone sebagai alat komunikasi.
Kecamatan Wera Wilayah Kecamatan Wera seluas 465.32 km2, wilayah terluas adalah Desa Sangiang yaitu 96 km2 atau sekitar 92,49 persen dari luas total Kecamatan Wera. Wilayah Kecamatan Wera terbagi menjadi 11 desa, 73 dusun, 96 RW dan 106 RT, ibukota kecamatan berada di Desa Tawali yang berada 70 meter diatas permukaan laut dan berjarak 58 km dari ibukota Kabupaten Bima.
55 Klasifikasi desa yang ada di Kecamatan Wera adalah desa swadaya sebanyak 3 desa, desa swakarya sebanyak 2 desa dan 6 desa lainnya merupakan desa swasembada. Penggunaan lahan di Kecamatan Wera terbagi atas lahan pertanian (tanah sawah dan tanah tegal/kebun) seluas 11,92 persen, hutan negara seluas 69,26 persen, 0,72 persen digunakan untuk bangunan dan pekarangan dan 18,1 persen sebagai peruntuukan lainnya. Jumlah penduduk di Kecamatan Wera pada tahun 2010 sebanyak 27.977 jiwa, terbagi atas penduduk laki-laki sebanyak 13.891 jiwa dan sisanya adalah penduduk perempuan. Perbandingan penduduk berdasarkan jenis kelamin menunjukan bahwa penduduk perempuan lebih banyak dari pada penduduk lakilaki. Kecamatan Wera dengan luas wilayah seluas 465.32 km2, memiliki kepadatan penduduk 98 penduduk per km2. Sebagian besar penduduk di Kecamatan Wera bekerja di sektor pertanian, selain itu ada juga di sektor perdagangan, industri, dan pengangkutan. Seiring dengan program wajib belajar yang terus digalakkan, tingkat pendidikan masyarakat di Kecamatan Wera juga semakin meningkat, kondisi ini dibuktikan dengan adanya sekolah-sekolah mulai dari Taman Kanak-kanak (TK) sampai SLTA. Jalan sangat penting untuk kelancaran lalulintas, sebagian besar jalan yang ada di Kecamatan Wera sudah di aspal, akan tetapi sebagian besar juga jalan yang sudah di aspal ini dalam kondisi rusak berat, selain itu masih terdapat juga jalan yang belum diaspal dan hanya diperkeras. Masyarakat di Kecamatan Wera mendapatkan informasi dan hiburan dari radio, televisi dan antena parabola serta alat komunikasi yang dipergunakan untuk berhubungan antar masyarakat sudah menggunakan handphone (HP).
Kecamatan Woha Luas wilayah Kecamatan Woha adalah 75,38 km2 terdiri dari 15 desa, jarak tempuh dari kota Kabupaten Bima ke ibukota Kecamatan Woha sekitar 21 km. Batas wilayah administrasi Kecamatan Woha adalah sebelah utara berbatasan dengan Teluk Bima, sebelah selatan berbatasan dengan Kecamatan Monta, sebelah barat berbatasan dengan Kecamatan Bolo dan sebelah timur berbatasan dengan Kecamatan Palibelo dan Belo. Pemerintahan desa di Kecamatan Woha dipimpin oleh seorang Kepala Desa yang dibantu oleh seorang Sekretaris Desa dan pamong desa, masing-masing desa membawahi 2 hingga 5 dusun dan dipimpin oleh seorang kepala dusun yang dibantu oleh beberapa RW dan RT. Jumlah penduduk di Kecamatan Woha pada tahun 2010 sebanyak 43,904 jiwa, terdiri dari 21,911 jiwa penduduk laki-laki dan 21,993 jiwa penduduk perempuan. Perbandingan berdasarkan jenis kelamin antara penduduk laki-laki dan perempuan adalah lebih banyak didominasi oleh penduduk perempuan. Kepadatan penduduk cukup tinggi, rata-rata jumlah penduduk per kilometer persegi sebanyak 416 jiwa. Jumlah rumah tangga pada tahun 2010 sebanyak 11,056 rumah tangga, dari kepadatan penduduk 24.940 jiwa yang ada, rata-rata setiap rumahtangga terdapat 4 orang anggota dalam satu rumah tangga.
56 Kecamatan Woha memiliki sekolah-sekolah sebagai tempat untuk belajar masyarakat dan meningkatkan mutu sumberdaya manusia, sekolah-sekolah yang ada mulai dari TK, SD, SMP/MTs, SMA/SMK dengan jumlah sebanyak 70 unit. Komposisi penggunaan lahan di Kecamatan Woha antara lain dipergunakan untuk lahan sawah sebesar 2,707.20 Ha, pekarangan 339,40 Ha, tegalan/kebun sebesar 1,287 Ha, hutan Negara sebesar 1,710 Ha dan selebihnya dipergunakan untuk peruntukan lain. Tanah sawah pada umumnya merupakan tanah irigasi setengah teknis, akan tetapi ada juga yang beririgasi sederhana dan tadah hujan. Penunjang transportasi darat terdapat sarana jalan raya sepanjang 99 km yang menghubungkan antar desa yang satu dengan yang lain dan sebagian besar merupakan jalan aspal. Sarana untuk mendapatkan informasi dan hiburan, masyarakat di kecamatan Woha rata-rata telah memiliki televisi, radio dan antena parabola hampir di semua desa serta untuk komunikasi antar masyarakat rata-rata sudah menggunakan Handphone (HP) walaupun di beberapa desa tidak memiliki signal.
Karakteristik PKSM di Kabupaten Bima
Menurut Mukmin (1992), pertambahan jumlah penduduk dengan tingkat pertumbuhan yang cukup tinggi berarti akan semakin meningkatkan kebutuhan masyarakat akan pangan, sandang dan papan serta kebutuhan lahan untuk berbagai keperluan. Kondisi ini akan berpengaruh pada kemampuan dan potensi sumberdaya alam baik tanah, air dan hutan. Perladangan berpindah, pemungutan hasil hutan secara illegal, usaha pertanian tanpa konservasi, perburuan satwa, perambahan kawasan dan sebagainya merupakan contoh kegiatan yang merusak hutan dan mengganggu kelestarian sumberdaya alam. Akibat dari kegiatan tersebut adalah terjadi lahan kritis, pencemaran lingkungan, kepunahan plasma nutfah dan sebagainya, oleh karena itu diperlukan upaya penanggulangan dan peningkatan kesadaran masyarakat Indonesia untuk melakukan kegiatan konservasi lahan melalui penanaman pohon dan kegiatan fisik lain yang bertujuan untuk mengembalikan fungsi hutan dan lahan. Kegiatan penyuluhan merupakan salah satu upaya yang cukup efektif dalam meningkatkan pengetahuan, mengajarkan keterampilan dan menyadarkan masyarakat dalam memanfaatkan hutan sesuai dengan kebutuhan melalui pendampingan yang terus menerus. Kegiatan penyuluhan dan pendampingan yang dilakukan secara terus menerus kepada masyarakat ini, dilakukan oleh penyuluh kehutanan baik penyuluh kehutanan PNS, swasta maupun swadaya. Tenaga fungsional penyuluh kehutanan PNS di lapangan masih sangat terbatas dan kemampuan pemerintah daerah untuk merekrut tenaga penyuluh kehutanan masih kurang. Kabupaten Bima memiliki jumlah penyuluh PNS sebanyak 20 orang yang penempatannya 1-2 orang per kecamatan tergantung luas wilayah kerjanya. Keberadaan penyuluh PNS yang hanya 1-2 per kecamatan masih sangat kurang karena wilayah kerja dalam satu kecamatan tersebut cukup luas. Jumlah desa dalam satu kecamatan antara 8 – 11 desa dengan jarak tempuh antara satu desa
57 dengan desa yang lain cukup jauh, selain itu keterbatasan sarana dan prasarana penyuluhan yang dimiliki oleh penyuluh terutama sarana transportasi juga menjadi kendala dan masalah dalam penyelenggaraan kegiatan penyuluhan. Salah satu upaya yang dilakukan oleh pemerintah daerah melalui dinas kehutanan sebagai penyelenggara kegiatan penyuluhan untuk mengatasi kekurangan tenaga penyuluh kehutanan PNS di Kabupaten Bima adalah dengan memberdayakan dan membina masyarakat yang berasal dari tokoh masyarakat, tokoh pemuda, dan lain-lain sebagai PKSM.
Karakteristik Individu PKSM Pemberdayaan dan pembinaan PKSM sangat penting dan bermanfaat dalam penyelanggaraan penyuluhan kehutanan karena PKSM merupakan mitra bagi penyuluh kehutanan PNS dalam melaksanakan pemberdayaan masyarakat di berbagai aktivitas pembangunan kehutanan di Kabupaten Bima. Data tahun 2012, jumlah PKSM yang ada di Propinsi NTB berjumlah 274 tersebar pada 7 Kabupaten/Kota. Jumlah PKSM di Kabupaten Bima sendiri sebanyak 60 orang tersebar di 18 kecamatan dan PKSM yang dijadikan sebagai sumber informasi adalah PKSM yang ada di 5 kecamatan lokasi penelitian sebanyak 17 orang. Profil PKSM di Kabupaten Bima terdapat pada Lampiran 8. Keberadaan PKSM ini sangat membantu dan dibutuhkan oleh masyarakat desa terutama PKSM yang tinggal di dalam desa tersebut. PKSM ini umumnya merupakan tokoh masyarakat dan tokoh pemuda yang aktif dan sekaligus dipercaya oleh masyarakat sebagai ketua atau pengurus kelompok tani yang ada di desa tersebut. PKSM di Kabupaten Bima terjadi karena keinginan pribadi masyarakat untuk menjadi penyuluh, selain itu ada juga PKSM yang terbentuk karena ada bantuan dari pemerintah dalam kegiatan konservasi lahan. Sedangkan menurut proses keberadaannya, PKSM ini ada yang langsung bisa diterima oleh masyarakat dan ada yang membutuhkan waktu sampai diterima oleh masyarakat. Menurut Wang (1981) diacu dalam Scaduw (2008), partisipasi masyarakat dibedakan dalam 3 jenis partisipasi yaitu:1) voluntary participation (partisipasi sukarela) yaitu partisipasi yang berasal dari inisiatif dan prakarsa masyarakat sendiri, 2) induced participation (partisipasi dengan dorongan) yaitu partisipasi masyarakat setelah mereka mendapat arahan dan dorongan dari pihak lain, dan 3) forced participation (partisipasi dengan tekanan) yaitu partisipasi masyarakat yang dilakukan karena ada paksaan pihak lain. Keberadaan PKSM di Kabupaten Bima, selain terdapat PKSM yang masih aktif, terdapat juga PKSM yang dulunya aktif melaksanakan kegiatan penyuluhan kemudian tidak mau aktif lagi melaksanakan kegiatan penyuluhan secara swadaya, kondisi ini disebabkan antara lain karena usia PKSM sudah tua di atas 70 tahun, tidak ada kepastian status sebagai PKSM, dukungan kegiatan yang kurang dari instansi terkait dan pendampingan dari penyuluh PNS yang terputus serta PKSM tidak sanggup menghadapi tantangan, benturan dan kendala yang muncul di lapangan. PKSM ini juga merasa terabaikan dan tidak diperhatikan serta sudah dijanjikan akan diberi berbagai kegiatan oleh instansi terkait namun tidak terealisasi sehingga PKSM tersebut menjadi kecewa dan tidak mau lagi melakukan kegiatan penyuluhan.
58 Proses terbentuknya PKSM ini beragam, pada awal memulai kegiatan penyuluhan dan mengajak masyarakat untuk terlibat dalam berbagai kegiatan khususnya melaksanakan kegiatan konservasi lahan, banyak PKSM yang mendapat tantangan berat dari pemerintah dan ditolak oleh masyarakat di wilayah kerjanya, serta membutuhkan waktu yang lama untuk bisa diterima oleh masyarakat, itupun setelah melihat keberhasilan kegiatan yang dilaksanakan oleh PKSM secara swadaya. Keberadaan PKSM ada yang langsung ditunjuk dan diterima serta mendapat pengakuan dari masyarakat karena masyarakat di daerah tersebut benar-benar membutuhkan seseorang yang bisa menjadi penghubung antara masyarakat dengan lembaga dan instansi terkait. Karakteristik individu PKSM terdapat pada Tabel 8. Tabel 8 Karakteristik individu PKSM di Kabupaten Bima tahun 2012 No
Kriteria karakteristik individu
1.
Umur (tahun) 1. Tidak produktif < 15 tahun 2. Kurang Produktif > 64 tahun 3. Produktif 15–64 tahun Pendidikan Formal 1. Dasar (tidak/tamat SD) 2. Menengah (SLTP/SMA) 3. Tinggi (D3/S1) Pendidikan Non Formal 1. Tidak pernah 2. 1-2 kali/tahun 3. > 2 kali/tahun Pendapatan 1. < Rp. 550.000/bulan 2. Rp.550.000– 1.000.000/bulan 3. > Rp. 1.000.000/bulan Jumlah tanggungan keluarga 1. < 4 jiwa/KK) 2. 4 – 6 jiwa/KK) 3. > 6 jiwa/KK) Luas lahan garapan 1. < 0.25 ha/KK) 2. 0.25 ha/KK – 1 ha/KK) 3. > 1 ha/KK
2.
3.
4.
5.
6.
Kategori
PKSM Jumlah Persentase orang (%)
1. Rendah 2. Sedang
-
-
3. Tinggi
17
100
1. Rendah 2. Sedang 3. Tinggi
3 8 6
17.6 47.1 35.3
1. Rendah 2. Sedang 3. Tinggi
1 10 6
5.9 58.8 35.3
1. Rendah 2. Sedang
1 5
5.9 29.4
3. Tinggi
11
64.7
1. Rendah 2. Sedang 3. Tinggi
8 7 2
47.1 41.2 11.8
1. Rendah 2. Sedang 3. Tinggi
5 12
0 29.4 70.6
59 Tabel 8 Karakteristik individu PKSM di Kabupaten Bima tahun 2012 (lanjutan) No
7.
8.
9.
Kriteria karakteristik individu
Status lahan garapan 1. Sewa 2. Pinjam Pakai 3. Milik sendiri Motivasi 1. Desakan/paksaan 2. Penghasilan menarik 3. Kepedulian yang tinggi terhadap hutan dan lahan Kekosmopolitan 1. Saudara/orang terdekat 2. Lembaga pemerintah/ 3. non pemerintah Penyuluh PNS/PKSM
Kategori Jumlah orang
PKSM Persentase (%)
1. Rendah 2. Sedang 3. Tinggi
3 14
17.6 82.4
1. Rendah 2. Sedang
-
0 0
3. Tinggi
17
100
1. Rendah 2. Sedang
1 6
5.9 35.3
3. Tinggi
10
58.8
Hasil pada Tabel 8 menunjukkan, usia PKSM yang ada di Kabupaten Bima antara 40 – 64 tahun, usia ini termasuk dalam kategori usia produktif (100 persen). Menurut Soerjani 1987, Widyastuti 2001 dalam Drakel A. (2008), bahwa komposisi umur dapat digolongkan menjadi lima tahunan, sepuluh tahun atau golongan umur tertentu misalnya usia muda (0-14 tahun), usia produktif (15-64 tahun) dan usia tua (65 tahun ke atas). Berdasarkan golongan umur, PKSM yang ada di Kabupaten Bima, termasuk dalam kategori usia produktif dan masih sanggup untuk melaksanakan kegiatan penyuluhan dan aktivitas fisik di lapangan. Tingkat pendidikan formal PKSM di Kabupaten Bima termasuk dalam kategori sedang, dari 17 orang PKSM sekitar 47.1 persen tamat sekolah menengah (SMP dan SMA), 35,3 persen yang mampu menempuh pendidikan tinggi (D3 dan S1) sedangkan sisanya tidak dan tamat SD. Pendidikan non formal berupa pelatihan yang terkait dengan penyuluhan atau kegiatan kehutanan belum banyak diperoleh PKSM, 1 orang sama sekali belum pernah ikut pelatihan (5,9 persen), 10 orang (58,8 persen) sudah pernah mengikuti pelatihan kehutanan baik teknis maupun non teknis khususnya untuk kegiatan konservasi lahan, dan 6 orang (35,3 persen) selalu diikutkan dalam pelatihan yang dilaksanakan oleh instansi terkait. Semestinya ada hubungan yang positif antara tingkat pendidikan dan banyaknya pelatihan yang diikuti oleh PKSM dengan pengetahuan dan keterampilan dalam melaksanakan penyuluhan di lapangan, karena semakin tinggi tingkat pendidikan PKSM maka akan meningkatkan pengetahuan dan kemampuan PKSM dalam melakukan kegiatan penyuluhan. Kondisi di lapangan menunjukkan bahwa, tingkat pengetahuan dan keterampilan PKSM dalam melakukan kegiatan penyuluhan bukan didapatkan dari pendidikan formal atau pendidikan non formal berupa pelatihan terkait, akan tetapi merupakan hasil pembelajaran dari pengalaman, bakat alam yang dimiliki,
60 rasa kecintaan terhadap kelestarian hutan dan lahan.serta belajar otodidak dari berbagai media yang diperoleh PKSM dari berbagai sumber. Metode penyuluhan yang dilakukan oleh PKSM dalam melaksanakan kegiatan penyuluhan adalah pendekatan kelompok dan pendekatan individu (anjangsana). PKSM tidak hanya memberikan penyuluhan berupa teori akan tetapi memperlihatkan bukti dan praktek langsung di lapangan sehingga masyarakat lebih cepat dan gampang melihat hasil yang diperoleh. Tingkat pendapatan PKSM sudah tinggi, tingkat pendapatan PKSM yang tinggi ini dipengaruhi oleh jumlah tanggungan yang cukup sedikit yaitu kurang dari 4 orang, luas lahan garapan yang cukup luas dan status lahan milik sendiri yang berarti apabila panen hasilnya menjadi milik PKSM sendiri. Tingkat kekosmopolitan PKSM masuk kategori tinggi, ini memperlihatkan bahwa PKSM memiliki hubungan sosial yang tinggi dengan masyarakat sekitar wilayah kerjanya, anggota kelompok tani binaan dan instansi-instansi terkait. Kondisi karakteristik individu PKSM di Kabupaten Bima ini didukung oleh hasil penelitian yang dilakukan oleh Marius et al. (2007), yang menyampaikan bahwa unsur-unsur karakter individu penyuluh yang besar kontribusinya dan berpengaruh nyata terhadap kompetensi penyuluh dalam melaksanakan tugasnya adalah motivasi, sifat kosmopolitan, pendapatan, pendidikan formal, pendidikan non formal, umur dan masa kerja.
Peran yang dilakukan oleh PKSM Memilih menjadi PKSM adalah tantangan yang berat karena tanggung jawab dan beban tugas yang harus dilaksanakan serta kompetensi yang harus dimiliki oleh PKSM sama dengan penyuluh PNS, tetapi semua ini tidak menjadi kendala dan masalah yang besar bagi PKSM, kecintaan kepada kelestarian hutan dan lahan menjadi motivasi bagi PKSM untuk melaksanakan kegiatan penyuluhan secara swadaya dan dibantu oleh warga masyarakat dan anggota kelompok yang dibina. Keberhasilan PKSM dalam melaksanakan kegiatan penyuluhan tidak terjadi secara tiba-tiba, akan tetapi merupakan usaha yang panjang dari PKSM itu sendiri dan pendampingan yang terus menerus dari penyuluh PNS sebagai mitra kerja di lapangan. Penyuluh PNS melakukan pendampingan pada saat PKSM melaksanakan penyuluhan di lapangan dan kunjungan secara informal di rumah PKSM atau sekretariat kelompok sehingga hubungan PKSM, penyuluh PNS dan anggota kelompok terjalin dengan baik. Mitra kerja PKSM, selain penyuluh PNS ada juga dukungan dari beberapa penyuluh swasta bidang pertanian yang menjadi mitra kerja PKSM dalam menyediakan sarana prasarana untuk kegiatan pertanian dan intensitas kunjungan atau pertemuan dengan penyuluh swasta ini juga cukup tinggi. Menurut Kemenhut (2011), penyuluh berperan sebagai pendamping kegiatan dan usaha bidang kehutanan yang dilakukan masyarakat, melalui penyuluhan masyarakat disadarkan akan pentingnya sumberdaya hutan bagi kehidupan manusia. Penyuluh kehutanan yang berperan sebagai fasilitator, motivator, dan dinamisator merupakan ujung tombak pembangunan kehutanan yang berhubungan langsung dengan masyarakat.
61 PKSM sudah berperan sebagai analisator, stimulator, fasilitator dan pendorong bagi masyarakat. Peran PKSM sebagai analisator yaitu PKSM menganalisis kebutuhan yang diinginkan dan permasalahan yaivng dirasakan oleh anggota kelompok dalam melaksanakan kegiatan konservasi lahan. Peran PKSM sebagai stimulor/penggerak yaitu menggerakkan masyarakat agar mau melaksanakan kegiatan konservasi lahan dengan memberikan rangsangan berupa contoh nyata keberhasilan kegiatan konservasi lahan yang sudah ada di lahan miliknya. Peran sebagai fasilitator dilakukan oleh PKSM dengan menjadi jembatan atau penghubung antara anggota kelompok dengan pihak lain atau instansi terkait apabila ada kegiatan yang akan dilaksanakan, informasi yang dibutuhkan atau permasalahan yang terjadi apabila PKSM tidak mampu menyelesaikan permasalahan tersebut dan peran PKSM sebagai pendorong adalah mendorong anggota kelompok pada saat anggota kelompok menjadi lemah dan tidak bersemangat dalam melakukan kegiatan konservasi lahan.
Peningkatan Kapasitas Sumber Daya Manusia PKSM Dukungan pemerintah daerah melalui dinas kehutanan kepada PKSM untuk sementara ini hanya berupa dukungan pendampingan dari penyuluh PNS sebagai mitra kerja PKSM, sementara dukungan lain berupa peningkatan kapasitas PKSM yang berfungsi meningkatkan pengetahuan, sikap dan keterampilan PKSM guna mendukung kegiatan penyuluhan di lapangan melalui pelatihan yang terkait masih jarang dilaksanakan oleh dinas kehutanan. PKSM juga masih jarang diikutsertakan pada kegiatan-kegiatan kehutanan berupa pameran, sekolah lapang, menjadi narasumber atau fasilitator maupun kegiatan lain yang terkait yang dilaksanakan oleh pemerintah daerah, propinsi dan pusat. Pengetahuan dan keterampilan PKSM dalam melaksanakan kegiatan penyuluhan lebih banyak diperoleh dari belajar sendiri dan mendapatkan informasi tentang konservasi lahan dari media baik media cetak (buku, koran, majalah, dll) maupun media televisi atau radio. Pelatihan-pelatihan yang terkait bidang kehutanan yang ditujukan untuk meningkatkan kapasitas SDM PKSM baik pelatihan teknis atau non teknis baru dilaksanakan oleh pemerintah pusat, itupun apabila ada program kegiatan konservasi yang dilaksanakan dan melibatkan PKSM, selain itu peruntukannya pun sangat terbatas, belum mampu mengakomodir seluruh PKSM yang ada di Indonesia. Ada juga pelatihan khusus untuk PKSM yang dilaksanakan oleh Kementerian Kehutanan, tetapi hanya diprioritaskan kepada PKSM pemenang lomba penghijauan dan konservasi alam. PKSM di Kabupaten Bima sendiri tidak setiap tahun memiliki kesempatan untuk ikut lomba pengijauan dan konservasi alam, karena harus bersaing dengan PKSM dari Kabupaten/Kota lain di propinsi NTB. Pemberian penghargaan kepada PKSM atas kegiatan konservasi lahan dan pendampingan kepada masyarakat dari pemerintah daerah belum ada, sementara dari pemerintah pusat penghargaan kepada PKSM ini diberikan apabila PKSM
62 mengikuti lomba pengijauan dan konservasi alam dan masuk kategori PKSM terbaik tingkat propinsi dan menerima piagam penghargaan dari Menteri Kehutanan. PKSM yang belum mengikuti lomba pengijauan dan konservasi alam serta belum masuk kategori PKSM terbaik tingkat propinsi, saat ini baru mendapatkan pengakuan dan terdata di dinas kehutanan sebagai instansi pembina dan penyelenggara kegiatan penyuluhan di daerah. Kondisi ini tidak mengurangi semangat PKSM dalam melaksanakan kegiatan penyuluhan dan pendampingan kepada masyarakat, keberadaan PKSM ini sudah mendapatkan pengakuan secara informal dari masyarakat desa tempat PKSM tinggal juga sudah diakui oleh masyarakat dari luar desa bahkan kecamatan lain. Hal ini dibuktikan dengan banyaknya tamu-tamu dari luar desa yang ingin mendapatkan informasi dan berbagi pengalaman dengan PKSM dan anggota kelompok.
Sarana dan Prasarana PKSM masih kekurangan sarana prasarana yang menunjang kegiatan penyuluhan, dalam melaksanakan kegiatan penyuluhan di lapangan, PKSM menggunakan alat peraga dan demo plot (demplot) yang sudah dimiliki oleh PKSM. PKSM juga tidak memiliki kantor atau sekretariat permanen, apabila ada pertemuan atau kegiatan penyuluhan yang dilaksanakan di kampung, PKSM dan anggota kelompok menggunakan rumah salah satu pengurus sebagai sekretariat kelompok, sedangkan untuk pertemuan di lapangan, PKSM dan anggota kelompok menggunakan saung pertemuan yang dibangun bersama di salah satu lahan garapan milik PKSM atau pengurus kelompok. Kekurangan sarana dan prasarana ini ikut mempengaruhi keberlanjutan kegiatan penyuluhan yang dilaksanakan oleh PKSM, kondisi ini didukung oleh pernyataan Amanah et al. (2008), yang menyampaikan bahwa kegiatan penyuluhan bisa terhenti oleh berbagai sebab yaitu, kurangnya sarana dan prasarana penyuluhan, kurangnya personel penyuluh, tiadanya lokasi demplot untuk percontohan dan penyelenggaraan pemerintah di era otonomi daerah yang memandang penyuluhan sebagai aktivitas yang kurang strategis. Selain kekurangan sarana prasarana pendukung penyuluhan, PKSM juga tidak didukung dengan sarana transportasi yang memadai, untuk menjangkau wilayah penyuluhan, PKSM menggunakan kendaraan roda dua (sepeda motor) milik pribadi PKSM, bahkan ada PKSM yang tidak memiliki sepeda motor. Lokasi lahan garapan masyarakat yang menjadi lokasi kegiatan konservasi lahan kebanyakan berada jauh dari kampung atau di pinggir hutan, oleh karena itu alat transportasi yang bisa dipergunakan untuk menjangkau wilayah tersebut hanya sepeda motor atau ditempuh dengan jalan kaki. Berada pada kondisi serba kekurangan sarana prasarana penyuluhan, tidak mengurangi semangat PKSM untuk terus melakukan kegiatan penyuluhan dan pendampingan serta terus memberikan dorongan kepada masyarakat untuk melaksanakan kegiatan konservasi lahan.
63 Mengajak dan mendorong masyarakat untuk berpartisipasi dalam melakukan kegiatan konservasi lahan serta melaksanakan penyuluhan rutin kepada masyarakat juga dilakukan oleh PKSM dengan memanfaatkan acara-acara tertentu yang dilaksanakan di balai desa, saat jumatan di masjid dan pengajianpengajian di rumah penduduk. PKSM juga menggerakan anggota kelompok yang datang ke pertemuan untuk memberitahukan informasi secara estafet kepada warga masyarakat lain yang tidak hadir di pertemuan kelompok. Menurut Marius et al. (2007), ketika penyuluhan masih diatur oleh pemerintah pusat dan perhatian terhadap penyuluhan dan penyuluh terasa besar baik dalam bentuk ketersediaan dana, sarana dan prasarana, penyuluh termotivasi dalam mengembangkan kompetensi di bidang tugasnya. Adanya penghargaan yang tinggi dari pemerintah dan masyarakat terhadap penyuluh menempatkan mereka sebagai figur yang populer, yang terbuka terhadap berbagai ide dan gagasan, yang hidup dan selalu berinteraksi dengan petani dan lembaga atau orang lain yang terkait demi kemajuan pertanian, ketika pertanian dijadikan basis pembangunan ekonomi Indonesia dan penyuluhan dijadikan sebagai gerakan nasional sosok penyuluh sebagai salah satu ujung tombak terdepan memotivasi penyuluh. Sejumlah karakter penyuluh yang memiliki pengaruh sangat tinggi pada kinerja penyuluh ialah: masa kerja, tanggungan keluarga, jenjang pendidikan, bidang keahlian, banyaknya pelatihan yang diikuti, motivasi kerja, penghasilan, ketersediaan sarana/prasarana, hubungan interpersonal dengan petani dan dengan tokoh masyarakat, menghadiri pertemuan antar penyuluh, penghargaan yang diterima, daerah tempat bertugas, dan tipe kelembagaan (Leilani 2006).
Partisipasi PKSM PKSM terlibat aktif saat pelaksanaan kegiatan penyuluhan konservasi lahan dan kegiatan fisik penanaman pohon di lapangan. PKSM ini terlibat mulai dari perencanaan, yaitu dengan merencanakan secara detail dan menganalisis kebutuhan kegiatan konservasi lahan yang dibutuhkan dan yang akan dilaksanakan oleh masyarakat dengan pengurus/anggota kelompok dan menggerakkan warga masyarakat untuk melaksanakan kegiatan konservasi lahan. PKSM terlibat juga dalam memanfaatkan hasil dan memfasilitasi serta mencarikan informasi untuk menjual hasil panen yang dimiliki oleh anggota kelompok pada masa panen untuk tanaman perkebunan atau tanaman jangka pendek. Setelah pelaksanaan kegiatan konservasi, PKSM dibantu oleh pengurus mengevaluasi kegiatan yang dilaksanakan untuk melihat kekurangan kegiatan yang dilaksanakan untuk perbaikan, sedangkan untuk kegiatan yang berupa bantuan dari instansi, PKSM bekerjasama dengan penyuluh kehutanan PNS untuk membuat laporan kegiatan yang dipertanggungjawabkan kepada instansi terkait.
64 Karakteristik Individu Petani
Sumber informasi dalam penelitian ini adalah petani yang telah melaksanakan kegiatan konservasi lahan dengan agroforestry dan hutan rakyat serta tergabung sebagai anggota kelompok tani binaan PKSM. Hasil penelitian Arimbawa (2004), menunjukkan bahwa karakteristik anggota kelompok pada petani dapat diukur melalui beberapa indikator, yaitu umur, pendidikan, motivasi, luas lahan, pengalaman usahatani. Karakteristik individu adalah sifat-sifat yang ditampilkan seseorang yang berhubungan dengan semua aspek kehidupannya di dunia atau lingkungan sendiri (Reksowardoyo 1983 dalam Yani 2010). Karakteristik individu petani yang menjadi variabel yang diukur dalam penelitian adalah umur, pendidikan formal, pendidikan non formal, pendapatan, jumlah tanggungan, luas lahan, status lahan, motivasi dan kekosmopolitan. Hasil penelitian berupa jumlah dan persentase karakteristik individu petani anggota kelompok tani yang telah melaksanakan kegiatan konservasi lahan di Kabupaten Bima tahun 2012 tersaji pada Tabel 9. Tabel 9 Jumlah dan Persentase anggota kelompok tani yang telah melaksanakan kegiatan konservasi lahan berdasarkan karakteristik individu di Kabupaten Bima tahun 2012 No
Kriteria karakteristik individu petani
1.
Umur petani (tahun) 1. Tidak produktif < 15 tahun 2. Kurang Produktif > 64 tahun 3. Produktif 15-64 tahun Pendidikan Formal 1. Dasar (tidak/tamat SD) 2. Menengah (SLTP/SMA) 3. Tinggi (D1, D2, D3/S1) Pendidikan Non Formal/ Pelatihan 1. Tidak pernah 2. 1-2 kali/tahun 3. > 2 kali/tahun Pendapatan 1. < Rp. 550.000/bulan 2. Rp. 550.000– 1.000.000/bulan 3. > Rp. 1.000.000/bulan Jumlah keluarga yang ditanggung 1. < 4 jiwa/KK) 2. 4 – 6 jiwa/KK) 3. > 6 jiwa/KK)
2.
3.
4.
5.
Kategori
Jumlah orang
Persentase (%)
1. Rendah 2. Sedang 3. Tinggi
13 87
13 87
1. Rendah 2. Sedang 3. Tinggi
49 42 9
49 42 9
1 Rendah 2 Sedang 3 Tinggi
45 44 11
45 44 11
1 Rendah 2 Sedang 3 Tinggi
20 33 47
20 33 47
1. Rendah 2. Sedang 3. Tinggi
42 49 9
42 49 9
65 Tabel 9 Jumlah dan Persentase anggota kelompok tani yang telah melaksanakan kegiatan konservasi lahan berdasarkan karakteristik individu di Kabupaten Bima tahun 2012 (lanjutan) No
6.
7.
8.
9.
Kriteria karakteristik individu petani Luas lahan garapan 1. < 0.25 ha/KK) 2. 0.25 ha/KK – 1 ha/KK) 3. > 1 ha/KK Status lahan garapan 1. Sewa 2. Pinjam Pakai 3. Milik sendiri Motivasi 1. Desakan/paksaan 2. Penghasilan menarik 3. Kepedulian yang tinggi terhadap hutan dan lahan Kekosmopolitan 1. Saudara/orang terdekat 2. Lembaga pemerintah/ non pemerintah 3. Penyuluh PNS/PKSM
Kategori
Jumlah orang
Persentase (%)
1. Rendah 2. Sedang 3. Tinggi
20 30 50
20 30 50
1. Rendah 2. Sedang 3. Tinggi
5 17 78
5 17 78
1. Rendah 2. Sedang
1 15
1 15
3. Tinggi
84
84
1. Rendah 2. Sedang
7 29
7 29
3. Tinggi
64
64
Umur Hasil penelitian pada Tabel 9, menunjukkan bahwa usia petani berkisar antara 18-76 tahun, berdasarkan usia ini umur petani masuk kategori produktif (15-64 tahun) dan usia kurang produktif (> 64 tahun). Sebagian besar petani masuk kategori usia produktif yaitu usia 15-64 tahun sebanyak 87 persen, usia produktif merupakan usia yang potensial bagi kegiatan konservasi karena pada usia ini, relatif masih mudah menerima ide atau pemikiran baru yang dapat membuat perubahan dalam hidup mereka menjadi lebih baik, fisik masih kuat untuk melaksanakan kegiatan konservasi mulai dari perencanaan, penanaman di lapangan, pemanenan hasil sampai evaluasi, dan juga mampu mengambil keputusan dengan cepat. Petani pada usia produktif ini juga masih mampu menjalankan akftifitas usahatani, serta dapat berinteraksi dengan baik antara sesame anggota kelompok, sehingga hasil produksi pertanian tinggi dan berkualitas serta hubungan sosial antar anggota kelompok juga tinggi. Hal ini didukung oleh Havighurst (1974), yang menyatakan masa dewasa pertengahan adalah masa dimana pria dan wanita mencapai puncak interaksi dalam masyarakat dan pekerjaannya. Usia kurang produktif, yaitu usia >64 tahun sebesar 13 persen, adanya petani yang berusia kurang produktif tetapi masih mau melaksanakan kegiatan konservasi lahan membuktikan bahwa keinginan dan partisipasi masyarakat untuk
66 melaksanakan konservasi lahan masih tinggi dan tidak dihalangi atau dipengaruhi oleh faktor usia, selain itu petani yang telah berusia > 64 tahun telah memiliki pengalaman yang panjang dalam berusaha tani dan telah merasakan manfaat dalam melakukan kegiatan agroforestry dan hutan rakyat. Usia tidak produktif < 15 tahun, tidak dilibatkan dalam kegiatan konservasi lahan karena masih di bawah umur dan usia sekolah, akan tetapi ada juga anakanak petani yang usia sekolah ini membantu orang tuanya menggarap lahan garapan yang dimilikinya.
Pendidikan formal Pendidikan merupakan proses pengembangan pengetahuan, keterampilan maupun sikap seseorang yang dilaksanakan secara terencana, sehingga diperoleh perubahan-perubahan dalam meningkatkan taraf hidup. Dikaitkan dengan kegiatan konservasi lahan, pendidikan formal dan non formal sangat mempengaruhi tingkat pemahaman dan kemampuan analisis petani terhadap kegiatan konservasi lahan yang akan dilaksanakan. Pendidikan formal menurut Soekidjo (2009) diacu dalam Sinambela dan Naibaho (2011) adalah suatu proses pengembangan kemampuan kearah yang diinginkan oleh seseorang yang bertujuan untuk mengembangkan sumber daya manusia terutama mengembangkan kemampuan intelektual dan kepribadian manusia. Didukung oleh Yani (2010), yang menyatakan pendidikan formal juga akan mempengaruhi perilaku, pola pikir, kreatifitas, dan keterampilan dalam melakukan usahatani dan kehidupan bermasyarakat. Hasil penelitian menunjukkan bahwa tingkat pendidikan formal petani masih tergolong rendah (tidak tamat sampai dengan tamat Sekolah Dasar) yaitu sebesar 49 persen, yang mampu menamatkan sekolah menengah baik SMP maupun SMA sebanyak 42 persen, dan yang bisa sekolah pada sekolah tinggi baik D1, D2, D3 maupun S1 hanya sebanyak 9 persen. Tingkat pendidikan formal yang tempuh oleh petani mencerminkan wawasan dan pengetahuan yang dimiliki oleh petani.
Pendidikan non formal Pendidikan non formal menurut Soekidjo (2009) dan Mangkunegara AP diacu dalam Sinambela dan Naibaho (2011) adalah merupakan bagian dari proses pendidikan yang bertujuan untuk meningkatkan keterampilan khusus seseorang. Tujuan pendidikan dan pelatihan adalah untuk meningkatkan produktivitas kerja, kualitas kerja, sikap moral dan semangat, rangsangan untuk berprestasi dan perkembangan kepribadian. Hasil penelitian karakateristik individu petani berdasarkan pendidikan non formal pada Tabel 9, menunjukkan bahwa tingkat pendidikan non formal yang dimiliki petani tergolong rendah yaitu sebanyak 45 persen belum pernah mengikuti pelatihan atau kursus apapun di bidang kehutanan khususnya yang terkait dengan kegiatan konservasi lahan.
67 Sebanyak 44 persen petani sudah pernah mengikuti pelatihan atau kursus terkait bidang kehutanan dan pertanian tetapi frekuensi pelatihan masih jarang hanya baru 1-2 kali sejak petani tersebut masuk menjadi anggota kelompok tani dan hanya 11 persen petani yang sudah sering diikutkan dalam pelatihan bidang kehutanan maupun pertanian. Kondisi rendahnya keikutsertaan petani dalam pendidikan non formal berupa pelatihan yang terkait dengan konservasi lahan atau bidang kehutanan, menunjukkan bahwa petani kurang memiliki pengetahuan yang memadai tentang konservasi lahan dan kondisi ini juga berpengaruh terhadap tingkat partisipasi petani. Program pendidikan untuk masyarakat menjadi sangat penting dilakukan guna meningkatkan kualitas dan empati masyarakat akan pentingnya fungsi hutan dan konservasi lahan. Menurut pendapat Setyowati (2010), tingkat pendidikan seseorang baik formal maupun nonformal dapat mempengaruhi individu tersebut dalam melakukan suatu kegiatan, pengetahuan dan informasi yang memadai akan dapat mengubah pola pikir dan keputusan yang akan diambil. Semakin tinggi pendidikan dan semakin banyak informasi yang dimiliki seseorang maka pola pikir akan semakin baik dan semakin mudah untuk menerima suatu perubahan termasuk perubahan dalam kegiatan konservasi lahan dari yang tidak mau, tidak tahu dan tidak mampu menjadi mau, tahu dan mampu melaksanakan kegiatan konservasi lahan.
Pendapatan Pendapatan keluarga mencerminkan pemenuhan terhadap kebutuhan fisik berupa sandang, pangan dan tempat tinggal keluarga petani. Hasil penelitian pada Tabel 9, menunjukkan bahwa jumlah pendapatan yang diterima petani setiap bulan dari hasil pertanian maupun pekerjaan lain rata-rata petani yang memiliki pendapatan > 1.000.000,- sebanyak 47 persen. Petani yang memiliki pendapatan mulai dari Rp. 550.000,- s/d 1.000.000,sebanyak 33 persen. Petani yang memiliki pendapatan tinggi umumnya merupakan petani pemilik lahan dengan variasi tanaman yang beragam (agroforestry), memiliki lahan garapan pertanian (sawah) dan pekerjaan sampingan lain. Petani yang memiliki pendapatan per bulan dengan jumlah
68 Jumlah tanggungan Jumlah tanggungan keluarga merupakan jumlah jiwa yang menjadi anggota petani dan yang menandakan kebutuhan hidup yang harus dipenuhi. Hasil penelitian pada Tabel 9 menunjukkaan bahwa jumlah tanggungan keluarga yang dimiliki oleh petani pelaksana kegiatan konservasi lahan di Kabupaten Bima termasuk dalam kategori sedang, yaitu memiliki tanggungan 4-6 orang per kepala keluarga sebanyak 49 persen. Petani yang memiliki jumlah tanggungan keluarga yang sedikit atau sebanyak 1-4 orang adalah sebanyak 40 persen dan hanya 9 persen petani yang memiliki tanggungan keluarga > 6 orang. Kondisi ini memperlihatkan bahwa semakin banyak tanggungan keluarga yang dimiliki oleh petani, maka akan semakin memacu semangat petani tersebut untuk meningkatkan pendapatan dalam memenuhi kebutuhan tanggungan keluarga yang dimiliki. Petani yang memiliki tanggungan keluarga antara 4- 6 orang dan > 6 orang akan semakin berusaha untuk meningkatkan produktivitas lahan dan memanfaatkan lahan garapan yang dimiliki secara maksimal dengan menanami tanaman pertanian yang memiliki hasil produksi tinggi serta tanaman kehutanan yang memiliki nilai ekonomis tinggi, sehingga bisa menghasilkan keuntungan dan pendapatan yang lebih tinggi juga.
Luas lahan yang digarap Luas lahan yang digarap adalah jumlah luasan lahan yang dimiliki oleh petani yang telah di konservasi baik melalui kegiatan agroforestry maupun hutan rakyat. Hasil penelitian pada Tabel 9, menunjukkan bahwa rata-rata luas lahan yang dimiliki oleh petani cukup tinggi, sebanyak 50 persen petani memiliki lahan > 1 ha/kepala keluarga, 30 persen memiliki lahan garapan 0,25 ha – 1 ha, dan hanya 20 persen yang memiliki lahan kurang dari 0,25 ha. Lahan garapan bagi petani merupakan tumpuan dalam memenuhi kebutuhan hidup dengan keluarga, semakin luas lahan garapan dan semakin optimal lahan tersebut dimanfaatkan dengan berbagai jenis tanaman pertanian yang mempunyai nilai produksi tinggi dan tanaman kehutanan yang bernilai ekonomis tinggi, maka akan mampu memberikan keuntungan dan bisa meningkatkan pendapatan untuk memenuhi kebutuhan hidup keluarga. Menurut Cernea (1988), pengaturan lahan oleh petani merupakan potensi buat petani itu sendiri, pemanfaatan lahan yang dimiliki jika disesuaikan dengan kebutuhan petani secara tidak langsung akan mampu mempengaruhi dan mengurangi ketergantungan petani dalam memanfaatkan dan melakukan pengrusakan kawasan hutan karena kebutuhannya sudah terpenuhi dari lahan garapan miliknya.
69 Status lahan Status lahan adalah status kepemilikan lahan yang dimiliki oleh petani. Hasil penelitian pada Tabel 9, menunjukkan bahwa rata-rata status lahan garapan yang dimiliki oleh petani pelaksana kegiatan konservasi lahan adalah milik sendiri atau milik keluarga yaitu sebanyak 78 persen, sedangkan petani yang memiliki lahan dengan status pinjam pakai sebanyak 17 persen, dan petani yang menggarap lahan sewa sebanyak 5 persen. Petani yang menggarap lahan sendiri memiliki semangat yang tinggi untuk memanfaatkan lahan garapannya secara optimal dan akan merencanakan kegiatan konservasi lahan untuk tanaman jangka pendek (pertanian) dan tanaman jangka panjang (kehutanan), sedangkan petani yang menggarap lahan dengan sistem pinjam pakai dan sewa, akan merencanakan konservasi lahan dengan tanaman yang cepat menghasilkan atau tanaman pertanian dan perkebunan untuk mendapatkan keuntungan jangka pendek saja sesuai dengan waktu sewa dan masa pinjam pakai lahan. Petani penggarap lahan milik orang lain harus memiliki kesepakatan dengan pemilik lahan untuk menanami lahan tersebut dan pemanfaatan lahan garapan tersebut disesuaikan dengan kesepakatan antara penggarap dan pemilik lahan.
Motivasi Menurut Riduwan (2007), motivasi merupakan keinginan yang terdapat pada diri seseorang individu yang merangsangnya untuk melakukan tindakan. Motivasi petani dalam melaksanakan kegiatan konservasi lahan pada lahan garapan miliknya maupun pada kawasan hutan Negara rata-rata didorong oleh kepedulian yang tinggi terhadap kelestarian hutan dan lahan. Hasil penelitian menunjukkan bahwa sebanyak 84 persen petani yang merasa bahwa apabila hutan lestari dan lahan yang subur maka akan memberikan keuntungan secara ekonomi dan ekologis bagi petani tersebut karena produksi tanaman akan semakin meningkat. Petani yang tertarik melaksanakan kegiatan konservasi lahan karena terdorong dengan hasil keuntungan dari menanam pohon terutama pohon yang mempunyai nilai ekonomis tinggi sehingga bisa meningkatkan pendapatan adalah sebanyak 15 persen, sedangkan hanya 1 persen yang melakukan kegiatan konservasi lahan secara terpaksa dan karena desakan dari orang lain.
Kekosmopolitan Berdasarkan hasil penelitian tingkat pada Tabel 9, terlihat bahwa petani terbuka terhadap informasi yang diberikan oleh orang lain dari luar, khususnya informasi yang disampaikan oleh penyuluh PNS dan PKSM mengenai pentingnya melaksanakan kegiatan konservasi lahan pada lahan-lahan kritis milik masyarakat yang belum tergarap. Kondisi ini menunjukkan bahwa tingkat kekosmopolitan petani dalam mencari informasi yang diperlukan dalam kegiatan konservasi lahan rata-rata tinggi.
70 Sebagian besar petani 64 persen mencari dan mendapatkan informasi tentang berbagai hal yang berkaitan dengan kegiatan konservasi lahan dari penyuluh PNS dan PKSM, petani bisa langsung melihat contoh nyata keberhasilan PKSM pada lahan yang dimilikinya. Petani yang mendatangi lembaga pemerintah dan non pemerintah terkait seperti LSM, lembaga profesi, organisasi massa, dll, untuk mendapatkan informasi tentang kegiatan konservasi lahan adalah sebanyak 29 persen, dan 7 persen petani yang mendapatkan informasi kegiatan konservasi lahan dari saudara atau orang terdekat. Keluarga dekat petani dan masyarakat lain yang sudah merasakan hasil dari kegiatan konservasi juga tidak segan-segan untuk berbagi pengalaman dan informasi mengenai keberhasilan tersebut. Petani terbuka terhadap informasi yang diberikan dari luar karena didorong oleh keinginan untuk memperbaiki kondisi lahan dan memanfaatkan lahan kosong yang dimiliki secara maksimal agar bisa meningkatkan pendapatan.
Peran pendampingan PKSM terhadap Peningkatan Partisipasi Masyarakat
Peran pendampingan PKSM yang dibahas dalam penelitian ini adalah peran PKSM sebagai analisator, stimulator, fasilitator dan pendorong bagi masyarakat khususnya pada anggota kelompok binaan PKSM untuk melakukan konservasi lahan dengan hutan rakyat atau pertanian pola agroforestry di lahan milik petani. Keterlibatan PKSM dilakukan mulai dari perencanaan kegiatan yang akan dilaksanakan, pelaksanaan kegiatan konservasi lahan berupa penanaman di lapangan, pemanfaatan hasil baik hasil jangka pendek maupun jangka panjang dan evaluasi kegiatan konservasi lahan untuk perbaikan di masa akan datang.
Peran pendampingan PKSM pada partisipasi tahap perencanaan Menurut Asngari, (2001), perencanaan adalah proses pengambilan keputusan yang rasional tentang apa yang akan dikerjakan. Langkah utama dalam perencanaan menurut Boone (1962) dalam Asngari (2001) adalah: a) penetapan kebutuhan dan minat orang, b) pengumpulan dan pengorganisasian fakta-fakta yang berkaitan, c) penetapan masalah, d) penentuan resources yang diperlukan untuk pemecahan masalah tersebut, e) antara penyuluh dan sasaran penyuluhan bersama-sama mencari alternatif pemecahan masalah dan melaksanakan kegiatan di lapangan. Peran pendampingan PKSM dalam meningkatkan partisipasi petani pada tahap perencanaan kegiatan konservasi lahan di Kabupaten Bima tahun 2012 terdapat pada Tabel 10.
71 Tabel 10 Peran pendampingan PKSM dalam meningkatkan partisipasi Petani pada tahap perencanaan kegiatan konservasi lahan di Kabupaten Bima tahun 2012 Peran pendampingan PKSM
Kategori
Jumlah orang
Persentase (%)
1. Tidak pernah 2. Jarang 3. Terlibat aktif
1. Rendah 2. Sedang 3. Tinggi
14 9 77
14 9 77
2. Stimulator
1. Tidak pernah 2. Jarang 3. Terlibat aktif
1. Rendah 2. Sedang 3. Tinggi
13 10 77
13 10 77
3. Fasilitator
1. Tidak pernah 2. Jarang 3. Terlibat aktif
1. Rendah 2. Sedang 3. Tinggi
16 7 77
16 7 77
4. Pendorong
1. Tidak pernah 2. Jarang 3. Terlibat aktif
1. Rendah 2. Sedang 3. Tinggi
3 24 73
3 24 73
Partisipasi Tahap Perencanaan 1. Analisator
Parameter
Kegiatan yang dilakukan pada tahap perencanaan adalah berupa pertemuanpertemuan dan diskusi yang bertujuan untuk mengajak petani untuk melaksanakan kegiatan konservasi lahan. Hasil penelitian pada Tabel 10, menunjukkan bahwa PKSM terlibat langsung dalam partisipasi tahap perencanaan kegiatan konservasi lahan sebagai berikut: 1. Peran sebagai analisator, PKSM terlibat aktif berperan sebagai analisator masuk kategori tinggi yaitu sebanyak 77 persen, PKSM bersama-sama dengan masyarakat menganalisis dan membahas dalam pertemuan kelompok mengenai kebutuhan dan permasalahan yang muncul pada kegiatan konservasi lahan mulai dari penetapan lokasi penanaman, jenis bibit yang akan ditanam, tenaga yang diperlukan, anggaran, dll. 2. Peran sebagai stimulator, PKSM berperan sebagai stimulator termasuk pada kategori tinggi yaitu sebanyak 77 persen, PKSM berperan sebagai stimulator yaitu dengan selalu memberikan contoh untuk hadir pada setiap pertemuan dan tepat waktu serta selalu ada apabila dibutuhkan oleh petani. 3. Peran sebagai fasilitator, PKSM berperan sebagai fasilitator termasuk dalam kategori tinggi yaitu sebanyak 77 persen, apabila petani membutuhkan informasi yang terkait dengan konservasi, PKSM menjadi pengubung/fasilitator antara petani dengan penyuluh PNS, LSM atau instansi terkait. 4. Peran sebagai pendorong, semangat petani dalam melakukan kegiatan konservasi lahan mengalami pasang surut, kadangkala muncul kondisi dimana
72 petani mulai bosan untuk hadir pada pertemuan, karena petani merasa informasi yang akan disampaikan sudah tidak menarik lagi, jika kondisi seperti ini yang muncul melanda petani, PKSM akan berperan sebagai pendorong semangat bagi petani. Peran PKSM sebagai pendorong termasuk dalam kategori tinggi yaitu sebanyak 73 persen, PKSM akan selalu memotivasi dan memberi semangat kepada petani. Melihat kondisi ini dapat dikatakan PKSM berperan aktif dalam mengajak seluruh anggota kelompok untuk ikut serta dalam merencanakan kegiatan konservasi lahan dari mulai menganalisis kebutuhan dan permasalahan yang terjadi sampai evaluasi pada proses perencanaan.
Peran pendampingan PKSM pada partisipasi tahap pelaksanaan Menurut Susilo (2007), perencanaan merupakan penerapan ide, konsep, kebijakan, atau inovasi dalam suatu tindakan praktis sehingga memberikan dampak, baik perubahan pengetahuan, keterampilan maupun nilai dan sikap. Peran pendampingan PKSM dalam meningkatkan partisipasi petani pada tahap pelaksanaan kegiatan konservasi lahan di Kabupaten Bima tahun 2012 terdapat pada Tabel 11. Tabel 11 Peran pendampingan PKSM dalam meningkatkan partisipasi Petani pada tahap pelaksanaan kegiatan konservasi lahan di Kabupaten Bima tahun 2012 Peran pendampingan PKSM
Kategori
Jumlah orang
Persentase (%)
1 Tidak pernah 2 Jarang 3 Terlibat aktif
1 Rendah 2 Sedang 3 Tinggi
14 9 77
14 9 77
2. Stimulator
1 Tidak pernah 2 Jarang 3 Terlibat aktif
1 Rendah 2 Sedang 3 Tinggi
14 7 79
14 7 79
3. Fasilitator
1 Tidak pernah 2 Jarang 3 Terlibat aktif
1 Rendah 2 Sedang 3 Tinggi
14 11 75
14 11 75
4. Pendorong
1 Tidak pernah 2 Jarang 3 Terlibat aktif
1 Rendah 2 Sedang 3 Tinggi
8 15 77
8 15 77
Partisipasi Tahap Pelaksanaan 1. Analisator
Parameter
Kegiatan yang dilakukan pada tahap pelaksanaan kegiatan konservasi lahan adalah berupa penanaman lahan garapan milik petani di lapangan dengan berbagai
73 jenis tanaman perkebunan dan tanaman kehutanan, sedangkan untuk penanaman tanaman pertanian dilakukan oleh petani pemilik lahan yang disesuaikan dengan jenis tanaman yang diminati. Hasil penelitian pada Tabel 11, menunjukkan bahwa PKSM terlibat aktif pada saat pelaksanaan kegiatan penanaman di lapangan sebagai berikut: 1. Analisator, PKSM berperan sebagai analisator termasuk dalam kategori tinggi yaitu sebanyak 77 persen. PKSM berperan sebagai analisator yaitu menganalisa kebutuhan yang diperlukan oleh petani pada saat penanaman di lapangan, mulai dari proses pengangkutan bibit ke lokasi tanam, pelaksanaan penanaman, keadaan lokasi tanam, dll. 2. Stimulator, PKSM berperan sebagai stimulator termasuk dalam kategori tinggi yaitu sebanyak 79 persen, saat pelaksanaan kegiatan konservasi lahan berupa penanaman tanaman di lapangan, PKSM memberi contoh langsung dengan ikut serta melakukan penanaman pohon di lapangan tanpa membedakan status dan kepemilikan lahan garapan yang dimiliki oleh petani. 3. Fasilitator, PKSM berperan sebagai fasilitator termasuk dalam kategori tinggi yaitu sebanyak 75 persen, apabila masyarakat membutuhkan informasi tambahan pada saat pelaksanaan kegiatan penanaman di lapangan, PKSM berfungsi sebagai fasilitator yang akan mencarikan informasi maupun mendatangkan pakar yang bisa memberikan informasi tersebut. 4. Pendorong, melakukan kegiatan penanaman di lapangan membutuhkan persiapan fisik yang maksimal, apabila kondisi lapangan berat, kadangkala membuat semangat petani menurun, oleh karena itu PKSM harus mampu memberikan dorongan dengan memberikan dorongan semangat kepada petani agar tetap melaksanakan kegiatan penanaman di lapangan. Peran PKSM sebagai pendorong bagi petani pada saat pelaksanaan kegiatan termasuk dalam kategori tinggi yaitu sebanyak 77 persen.
Peran pendampingan PKSM pada partisipasi tahap pemanfaatan Menurut Uphoff (1988), petani akan aktif berpartisipasi melaksanakan sebuah kegiatan sesuai dengan yang direncanakan apabila petani tersebut merasakan manfaat dari kegiatan yang dilaksanakan tersebut, selain itu hubungan antara petani dan pelaksana kegiatan harus terjalin dengan baik, karena apabila hubungan kerjasama antara pelaksana kegiatan dengan petani ini tidak terjalin dengan baik maka kegiatan yang akan dilaksanakan tidak akan berjalan dengan baik pula. Petani diberi kebebasan untuk memanfaatkan dan memanen tanaman hasil kegiatan konservasi lahan yang ada di lahan garapan miliknya, PKSM berperan memberikan informasi dan memfasilitasi petani apabila petani menghadapi permasalahan dalam memanfaatkan hasil baik dari agroforestry maupun hutan rakyat. Peran pendampingan PKSM dalam meningkatkan partisipasi petani pada tahap pemanfaatan hasil kegiatan konservasi lahan di Kabupaten Bima tahun 2012 terdapat pada Tabel 12.
74 Tabel 12 Peran pendampingan PKSM dalam meningkatkan partisipasi petani pada tahap pemanfaatan hasil kegiatan konservasi lahan di Kabupaten Bima tahun 2012 Peran pendampingan PKSM
Kategori
Jumlah orang
Persentase (%)
1 Tidak pernah 2 Jarang 3 Terlibat aktif
1 Rendah 2 Sedang 3 Tinggi
14 7 79
14 7 79
2 Stimulator
1 Tidak pernah 2 Jarang 3 Terlibat aktif
1 Rendah 2 Sedang 3 Tinggi
17 13 70
17 13 70
3 Fasilitator
1 Tidak pernah 2 Jarang 3 Terlibat aktif
1 Rendah 2 Sedang 3 Tinggi
21 10 69
21 10 69
4 Pendorong
1 Tidak pernah 2 Jarang 3 Terlibat aktif
1 Rendah 2 Sedang 3 Tinggi
9 18 73
9 18 73
Partisipasi Tahap Pemanfaatan 1 Analisator
Parameter
Kegiatan yang dilakukan pada tahap pemanfaatan hasil kegiatan konservasi lahan adalah berupa pemanfaatan hasil panen dari kegiatan agroforestry berupa tanaman pertanian dan tanaman perkebunan dan kegiatan hutan rakyat berupa tanaman kehutanan yang dimiliki oleh petani di lahan garapan milik petani. Hasil penelitian pada Tabel 12, menunjukkan bahwa PKSM aktif berperan membantu petani dalam menyelesaikan permasalahan dan memfasilitasi petani dalam pemanfaatan hasil kegiatan konservasi lahan, sebagai berikut: 1. Peran sebagai analisatoor, PKSM berperan sebagai analisator pada pemanfaatan hasil kegiatan konservasi lahan masuk dalam kategori tinggi yaitu sebesar 79 persen, PKSM berperan dalam membantu menganalisis kebutuhan apa saja yang diperlukan dalam melakukan pemanenan dan pemanfaatan hasil tanaman, baik tanaman pertanian, perkebunan maupun tanaman kehutanan. 2. Peran sebagai stimulator, PKSM berperan sebagai stimulator termasuk dalam kategori tinggi yaitu sebesar 70 persen, PKSM terlibat dan ikut membantu petani dan menggerakkan anggota kelompok yang lain agar ikut memberikan bantuan terutama bantuan tenaga dan saling kerjasama pada saat pemanenan hasil tanaman di lapangan apabila diperlukan oleh petani pemilik lahan. 3. Peran sebagai fasilitator, PKSM berperan sebagai fasilitator termasuk dalam kategori tinggi yaitu sebesar 69 persen, PKSM berperan membantu memfasilitasi dan mencarikan informasi pemasaran hasil panen apabila petani merasa kesulitan dalam mencari pasar untuk panen tanaman yang dimiliki.
75 4. Peran sebagai pendorong, PKSM berperan sebagai pendorong termasuk dalam kategori tinggi yaitu sebesar 73 persen, PKSM juga selalu memfasilitasi dan mendampingi petani apabila terjadi kegagalan dan masalah dalam proses pemanenan hasil kegiatan.
Peran pendampingan PKSM pada partisipasi tahap evaluasi Menurut Yumi (2002), partisipasi petani pada saat penilaian atau evaluasi kegiatan hanya dapat menilai keberhasilan atau kegagalan saja, belum dapat menganalisa lebih jauh permasalahan yang dihadapi dalam evaluasi kegiatan dan belum mampu memberikan jalan keluar untuk memperbaiki kegiatan tersebut. PKSM dan penyuluh PNS sebagai pendamping bagi masyarakat berperan dalam menganalisis lebih jauh permasalahan yang dihadapi pada saat penilaian kegiatan konservasi lahan bersama-sama dengan petani dan berusaha mencari alternatif jalan keluar untuk pemecahan masalah tersebut. Peran pendampingaan PKSM dalam meningkatkan partisipasi petani pada tahap penilaian atau evaluasi kegiatan konservasi lahan di Kabupaten Bima tahun 2012 terdapat pada Tabel 13. Tabel 13 Peran pendampingan PKSM dalam meningkatkan partisipasi Petani pada tahap evaluasi kegiatan konservasi lahan di Kabupaten Bima tahun 2012 Peran pendampingan PKSM
Kategori
Jumlah orang
Persentase (%)
1 Tidak pernah 2 Jarang 3 Terlibat aktif
1 Rendah 2 Sedang 3 Tinggi
16 20 64
16 20 64
2 Stimulator
1 Tidak pernah 2 Jarang 3 Terlibat aktif
1 Rendah 2 Sedang 3 Tinggi
13 17 70
13 17 70
3 Fasilitator
1 Tidak pernah 2 Jarang 3 Terlibat aktif
1 Rendah 2 Sedang 3 Tinggi
18 11 71
18 11 71
4 Pendorong
1 Tidak pernah 2 Jarang 3 Terlibat aktif
1 Rendah 2 Sedang 3 Tinggi
12 18 70
12 18 70
Partisipasi Tahap Evaluasi 1 Analisator
Parameter
Kegiatan yang dilakukan pada tahap evaluasi/penilaian kegiatan konservasi lahan adalah berupa evaluasi keseluruhan proses kegiatan konservasi lahan yang telah dilaksanakan untuk melihat permasalahan dan kendala yang ada pada kegiatan konservasi lahan di lapangan, hasil evaluasi dipergunakan sebagai bahan
76 pertimbangan dan perbaikan untuk kegiatan konservasi lahan yang akan datang atau pada lahan garapan milik petani yang lain. Hasil penelitian pada Tabel 13, menunjukkan bahwa PKSM aktif berperan bersama petani melakukan evaluasi bersama-sama untuk mengetahui kesulitan, kendala dan permasalahan yang terjadi di lapangan sehingga untuk penanaman yang akan datang bisa berjalan lebih baik dan kendala serta permasalahan tersebut bisa dikurangi. Penjelasannya sebagai berikut: 1. Peran sebagai analisator, PKSM berperan sebagai analisator pada evaluasi termasuk dalam kategori tinggi 64 persen, PKSM berperan menganalisa permasalahan dan memberikan jalan keluar pemecahan masalah yang timbul selama proses kegiatan konservasi berjalan sampai dengan akhir kegiatan dibantu oleh penyuluh PNS dan petani. 2. Peran sebagai stimulator, PKSM berperan sebagai stimulator termasuk dalam kategori tinggi 70 persen, PKSM berperan sebagai stimulator dengan mengawali pelaksanaan evaluasi kegiatan konservasi lahan yang telah dilaksanakan di lahan miliknya sendiri dibantu oleh penyuluh PNS dan petani yang lain kemudian mengevaluasi kegiatan konservasi lahan di lahan milik petani yang lain. 3. Peran sebagai fasilitator, PKSM berperan sebagai fasilitator termasuk dalam kategori tinggi 71 persen, apabila dari analisa permasalahan yang dilakukan oleh PKSM, penyuluh PNS dan masyarakat terdapat masalah yang tidak mampu diselesaikan secara intern, PKSM berperan menjadi fasilitator dengan mencari pakar atau datang ke instansi terkait untuk mencari informasi guna menyelesaikan permasalahan tersebut. 4. Peran sebagai pendorong, PKSM berperan sebagai pendorong termasuk dalam kategori tinggi 70 persen, ketika permasalahan muncul dalam kegiatan konservasi lahan, terutama apabila masalah tersebut muncul pada lahan garapan milik salah satu petani, ini akan mempengaruhi dan mengurangi semangat petani untuk melanjutkan kegiatan di lahan miliknya, PKSM berperan sebagai pendorong bagi petani tersebut sambil mencari alternatif pemecahan masalah. PKSM juga membuat laporan pelaksanaan kegiatan di lapangan sebagai pertanggungjawaban PKSM kepada anggota kelompok tani, penyuluh PNS dan UPT Dinas Kehutanan dan untuk publisitas. Hasil ini juga mengindikasikan bahwa PKSM memiliki kemampuan dalam mempengaruhi dan melakukan pendekatan pada semua aspek kegiatan konservasi lahan. Pendekatan yang dilakukan oleh PKSM adalah pendekatan melalui kelompok, kegiatan konservasi lahan tidak akan bisa dilaksanakan oleh satu atau dua orang saja, melainkan harus ada kerjasama dan dukungan berbagai pihak agar kegiatan tersebut berhasil, sehingga pendekatan kelompok ini sangat efektif. PKSM tidak hanya memberikan penyuluhan berupa teori dan mengajak saja, akan tetapi PKSM ini terlebih dahulu memberikan contoh demo plot pada lahan miliknya maupun lahan orang lain yang sudah berhasil, selain itu PKSM juga memberikan kesempatan kepada masyarakat untuk terlibat langsung menentukan kebutuhan kegiatan konservasi lahan yang sesuai dengan lahan garapan miliknya.
77 Peran dan Fungsi Kelompok Tani
PKSM yang ada di Kabupaten Bima sebagian besar merupakan tokoh masyarakat dan tokoh pemuda dan sekaligus dipercaya dan diangkat oleh masyarakat sebagai ketua kelompok tani atau pimpinan informal dalam satu kelompok. Keuntungan yang diperoleh apabila PKSM ini berasal dari tokoh masyarakat yang sekaligus ketua kelompok tani adalah proses pendekatan, pemberian informasi dan pendampingan dari PKSM ke petani cepat dan mudah karena PKSM ini dekat dan tinggal di desa yang sama dengan petani. Kelompok tani yang ada di Kabupaten Bima adalah kelompok tani yang terbentuk secara swadaya murni atas inisiatif dan keinginan masyarakat sendiri serta berdasarkan analisis kebutuhan dari PKSM. Masyarakat menganggap dalam melaksanakan kegiatan konservasi lahan dan kegiatan kehutanan lainnya akan lebih berhasil apabila dilaksanakan secara kelompok daripada per individu, karena itu masyarakat dengan keinginan sendiri mau bergabung menjadi anggota kelompok. Sejalan dengan pendapat Danim (2004), yang menyampaikan bahwa upaya merangsang efektivitas kelompok dapat dicapai bila setiap anggota mampu mengerjakan tugas kelompok secara bersama-sama. Menurut Adjid (1992), kelompok adalah suatu sistem yang didalamnya tersusun dari berbagai unsur yang saling terkait dalam suatu ikatan keteraturan tertentu. Tujuan dibentuk kelompok adalah sebagai bentuk kepedulian masyarakat terhadap kelestarian hutan dan lahan. Terbentuknya kelompok karena rasa prihatin melihat kondisi hutan yang rusak akibat illegal logging dan perladangan liar serta lahan milik masyarakat masih banyak yang tidak tertanami atau lahan kosong. Seiring dengan proses perjalanannya kelompok tani yang dibina oleh PKSM ini mengalami pasang surut dan menghadapi berbagai masalah serta kendala, namun demikian karena adanya pemahaman yang kuat dan kecintaan dalam diri anggota terhadap kelompok, walaupun kelompok menghadapi berbagai masalah, anggota kelompok akan tetap menjaga dan melaksanakan kegiatan dalam kelompok dengan sebaik-baiknya. Selanjutnya menurut Adjid, tindakan dalam suatu kelompok tidak hanya timbul sebagai akibat dari informasi yang diterima atau diketahui oleh anggota, akan tetapi merupakan tindakan perasaan yang timbul dari dalam diri anggota kelompok, oleh karena itu apabila ada informasi yang menyentuh perasaan dan bisa diterima oleh anggota maka akan menghasilkan tindakan spontan dari anggota, apalagi jika informasi tersebut dikomunikasikan dengan baik antar pendamping dengan anggota kelompok, maka akan dilaksanakan oleh anggota kelompok dalam bentuk ikut berpartisipasi pada suatu kegiatan. Sarana dan prasarana yang dimiliki oleh kelompok tani sebagian besar masih kurang, namun ada beberapa kelompok juga yang sudah memiliki administrasi cukup lengkap antara lain telah memiliki buku tamu, buku kas, buku keluar masuk surat, struktur pengurus, sekretariat kelompok dan aturan-aturan dalam kelompok baik tertulis maupun tidak tertulis rata-rata sudah dimiliki oleh
78 kelompok. Kondisi sarana dan prasarana yang dimiliki oleh kelompok tani terdapat pada Lampiran 9. Peran dan fungsi kelompok tani adalah kelompok sebagai kelas belajar, wahana kerjasama, dan unit produksi yang dianggap mampu meningkatkan partisipasi masyarakat pada kegiatan konservasi lahan di Kabupaten Bima terdapat pada Tabel 14. Tabel 14 Peran dan fungsi Kelompok Tani (KT) dalam meningkatkan partisipasi pada kegiatan konservasi lahan di Kabupaten Bima No
Peran dan Fungsi KT
Parameter
1.
Kelas belajar
1. Tidak pernah 2. Jarang 3. Sering
2.
Wahana kerjasama
3.
Unit produksi
Kategori
Jumlah Orang
Persentase (%)
1. Rendah 2. Sedang 3. Tinggi
6 20 74
6 20 74
1. Tidak pernah 2. Jarang 3. Sering
1. Rendah 2. Sedang 3. Tinggi
6 10 84
6 10 84
1. Tidak pernah 2. Jarang 3. Sering
1. Rendah 2. Sedang 3. Tinggi
9 8 83
9 8 83
Kelompok sebagai kelas belajar Pengamatan yang dilakukan untuk mengetahui peran kelompok sebagai unit belajar adalah keaktifan anggota dalam pertemuan kelompok untuk berdiskusi dengan sesama anggota kelompok lain, penggunaan kelompok sebagai sumber informasi dan tempat belajar, dan sarana prasarana yang menunjang proses belajar pada kelompok. Hasil penelitian pada tabel 14 menunjukkan bahwa kelompok berperan sebagai tempat belajar, berdiskusi, bertemu, mencari informasi bagi anggota termasuk dalam kategori tinggi yaitu sebesar 74 persen, kondisi ini menunjukkan bahwa keberadaan dan masuk menjadi anggota kelompok memberikan manfaat dan bisa meningkatkan pengetahuan, sikap dan keterampilan bagi petani. Petani hadir dalam setiap pertemuan formal dan berdiskusi secara informal di sekretariat untuk mendapatkan informasi yang diinginkan maupun penyelesaian masalah yang dihadapi secara bersama-sama, anggota kelompok banyak belajar dari sesama anggota dan saling bertukar informasi usahatani. Anggota kelompok yang menyatakan kelompok masih kurang atau jarang berperan sebagai kelas belajar sebesar 20 persen, sedangkan yang menyatakan kelompok tidak pernah berperan sebesar 6 persen. Petani ini merasa tidak nyaman apabila proses belajar mengajar dan diskusi anggota kelompok berlangsung di sekretariat kelompok tani, dimana sekretariat ini berada di rumah salah satu pengurus atau ketua kelompok, petani berharap kelompok memiliki
79 sarana dan prasarana berupa sekretariat serta ruangan yang lebih mendukung. Petani juga merasa pada kegiatan pertemuan, sosialisasi atau kunjungan dari dinas kehutanan atau instansi terkait PKSM hanya melibatkan pengurus dan beberapa anggota saja. Menurut sebagian besar anggota kelompok, secara keseluruhan kelompok tani sudah berperan sebagai kelas belajar dan keadaan ini harus dipertahankan oleh PKSM dan mendapat perhatian dari Penyuluh PNS maupun instansi terkait sebagai pendamping dan pembina sehingga keberadaan kelompok tani ini bisa bertahan terus dan melakukan kegiatan-kegiatan yang dibutuhkan oleh anggota kelompoknya.
Kelompok sebagai wahana kerjasama Peran dan fungsi kelompok tani sebagai wahana kerjasama yang dimaksud adalah kerjasama yang meliputi saling menyemangati, keterbukaan, pembagian tugas yang jelas, tanggung jawab, musyawarah dan mufakat antara sesama anggota kelompok, selain itu kerjasama dalam mencari dan menjalin kemitraan dengan pihak lain yang terkait, serta kerjasama yang menguntungkan secara ekonomi. Hasil penelitian pada Tabel 14 memperlihatkan bahwa sebagian besar anggota kelompok tani, yaitu sebanyak 84 persen menganggap bahwa mereka telah bekerjasama dengan baik dalam berbagai hal dalam kelompok. Anggota kelompok saling mengenal satu sama lain, saling bantu membantu dan budaya gotong royong masih melekat erat dalam kehidupan sehari-hari anggota kelompok maupun dengan warga masyarakat lain yang belum tergabung dalam kelompok. Kelompok telah menjalin kemitraan dengan berbagai instansi terkait antara lain dengan dinas kehutanan, pertanian, peternakan. Kegiatan dari dinas kehutanan adalah kegiatan pembibitan berupa Kebun Bibit Desa (KBD), Kebun Bibit Rakyat (KBR), penanaman pohon berupa Gerhan, Hutan Rakyat dan lainlain. Kegiatan dari dinas pertanian dan peternakan berupa bantuan kegiatan berupa tanaman pertanian, usaha pertanian serta hewan ternak. Anggota kelompok yang menganggap kelompok kurang memberikan peran dan fungsi sebagai wahana kerjasama sebanyak 10 persen dan yang menganggap kelompok tani tidak pernah berperan sebanyak 6 persen. Petani ini menganggap bahwa PKSM lebih terbuka dan lebih sering berhubungan dengan pengurus kelompok serta beberapa anggota yang dekat dengan PKSM saja, begitu juga apabila kelompok tani mendapat bantuan kegiatan dari dinas kehutanan atau instansi lain yang terkait.
Kelompok sebagai unit produksi Peran kelompok sebagai unit produksi yang diamati adalah meliputi pengembangan produksi yang menguntungkan, rencana dan pelaksanaan kegiatan yang efisien, fasilitasi penerapan teknologi untuk usaha tani, evaluasi kegiatan, meningkatkan produktivitas, administrasi dan keuntungan secara ekonomi.
80 Hasil penelitian pada Tabel 14, menunjukkan bahwa sebanyak 83 persen petani yang tergabung dalam kelompok menyampaikan bahwa kelompok berperan dan berfungsi sebagai unit produksi. Anggota kelompok, pengurus dan PKSM bersama-sama menentukan pengembangan produksi dan kegiatan apa yang layak untuk dikembangkan sesuai dengan potensi lokal yang dimiliki daerah dan kelompok tani. Keuntungan yang diperoleh dari kelompok tani sebagai unit produksi ini bagi anggota kelompok adalah pada saat pemanenan hasil tanaman pertanian, perkebunan maupun tanaman kehutanan, PKSM dan anggota kelompok bersamasama saling membantu mencarikan pasar dan proses penjualan dilakukan melalui kelompok. Sebagian kelompok tani ada yang sudah memiliki usaha-usaha produktif yang menunjang perekonomian kelompok, akan tetapi masih belum mampu memenuhi dan meningkatkan pendapatan anggota kelompok. Kondisi ini dipengaruhi oleh kurangnya modal usaha yang dimiliki oleh kelompok, selain itu juga disebabkan karena belum terjalinnya kemitraan dengan pihak lain yang terkait dengan bantuan modal usaha dan pemeliharaan kegiatan dari perbankan maupun koperasi, hanya bantuan pinjaman secara perorangan oleh pengurus dan anggota kelompok. Contoh usaha produktif yang dimiliki oleh kelompok tani terdapat pada Lampiran 10. Ada juga kelompok yang tidak memiliki usaha apapun yang menunjang kehidupan ekonomi kelompok dan hanya mengandalkan bantuan kegiatan dari pemerintah dan secara swadaya saja. Kondisi tidak adanya usaha produktif dan kurang modal dalam kegiatan, menyebabkan sebagian anggota menganggap bahwa kelompok kurang berperan sebagai unit produksi sebanyak 8 persen dan tidak berperan sebanyak 9 persen. Petani menganggap kelompok tidak mampu bermitra dengan pihak pemilik modal (bank/koperasi) untuk melaksanakan keberlanjutan kegiatan yang dilaksanakan kelompok. Petani tersebut juga menganggap bahwa kelompok tidak mampu menyediakan sarana prasarana dan memfasilitasi kebutuhan bibit tanaman untuk kegiatan hutan rakyat serta sarana produksi (pupuk, obat-obatan, dll) yang dibutuhkan oleh petani pada kegiatan agroforestry, karena sarana tersebut terbatas tidak semua petani dapat memperoleh dan mendapat pembagian yang merata, selain itu petani juga menganggap dalam pemasaran hasil panen perkebunan (jambu mete, mangga, dll) maupun pertanian tidak difasilitasi oleh kelompok melainkan mencari pasar sendiri.
Tingkat Partisipasi Petani
Partisipasi merupakan kunci utama dalam menjalin rasa saling memahami, keterlibatan dalam kegiatan bersama dan pemberdayaan masyarakat. Wardoyo (1992), menyampaikan pengertian partisipasi masyarakat dalam pembangunan adalah keikutsertaan masyarakat dalam kegiatan, keikutsertaan ini merupakan akibat adanya interaksi sosial antara individu atau kelompok dalam masyarakat.
81 Bentuk partisipasi masyarakat adalah partisipasi dalam pembuatan keputusan, perencanaan kegiatan, pelaksanaan kegiatan, pemantauan dan evaluasi serta pemanfaatan hasil. Menurut Yumi (2002), partisipasi sering dikaitkan dengan kemauan, kemampuan dan kesempatan. Petani yang ada di kabupaten Bima memiliki kemauan yang tinggi dalam melakukan kegiatan konservasi lahan, faktor yang memacu kemauan petani untuk berpartisipasi adalah motivasi petani yang cukup besar. Kemampuan partisipasi petani tidak dibatasi oleh faktor pendidikan yang ditempuh, baik pendidikan formal maupun non formal tertentu, dalam penelitian pendidikan tidak berpengaruh pada tingkat partisipasi. Setiap petani memiliki kesempatan yang sama untuk berpartisipasi karena memiliki wadah yang sama untuk bertemu dan menyampaikan pendapat yaitu kelompok tani. Jumlah dan persentase petani pada setiap tahap partisipasi dalam kegiatan konservasi lahan di Kabupaten Bima tahun 2012 tersaji pada Tabel 15. Tabel 15 Jumlah dan persentase petani pada setiap tahap partisipasi dalam kegiatan konservasi lahan di Kabupaten Bima tahun 2012 No
Tahap Partisipasi
1.
Perencanaan
2.
Parameter
Kategori
Jumlah Orang
Persentase (%)
1. Tidak aktif 2. Jarang 3. Aktif
1. Rendah 2. Sedang 3. Tinggi
6 8 86
6 8 86
Pelaksanaan
1. Tidak aktif 2. Jarang 3. Aktif
1. Rendah 2. Sedang 3. Tinggi
5 21 74
5 21 74
3.
Pemanfaatan
1. Tidak aktif 2. Jarang 3. Aktif
1. Rendah 2. Sedang 3. Tinggi
6 19 75
6 19 75
4.
Evaluasi
1. Tidak aktif 2. Jarang 3. Aktif
1. Rendah 2. Sedang 3. Tinggi
10 14 76
10 14 76
Secara keseluruhan jumlah dan persentase petani yang aktif terlibat pada kegiatan konservasi lahan baik melalui hutan rakyat, menerapkan pola pertanian agroforestry maupun penanaman hutan Negara di Kabupaten Bima di semua tahap partisipasi secara swadaya termasuk dalam kategori tinggi. Kondisi ini menunjukkan bahwa secara umum tingkat partisipasi masyarakat di Kabupaten Bima dalam kegiatan konservasi lahan tinggi. Ini artinya bahwa masyarakat menyadari dirinya bergantung hidup dari sumber daya hayati hutan dan lahan serta memahami kalau sumber daya tersebut perlu dikelola secara lestari agar manfaatnya bisa diperoleh secara berkelanjutan. Masyarakat berpartisipasi aktif dalam kegiatan konservasi lahan ini dan akan terus melakukan
82 serta mempertahankan keberadaan sumber daya hayati dan hasil dari kegiatan konservasi yang di lakukan.
Partisipasi tahap perencanaan Hasil penelitian yang tersaji pada Tabel 15, menunjukkan bahwa respon masyarakat dalam melaksanakan perencanaan kegiatan masuk kategori tinggi yaitu sebesar 86 persen, dibuktikan dengan kehadiran dalam memenuhi undangan rapat, pertemuan dan diskusi yang dilaksanakan oleh kelompok, terutama pada pertemuan yang melibatkan instansi terkait, penyuluh PNS dan LSM. Pada kegiatan perencanaan petani dilibatkan secara langsung dalam menentukan lokasi penanaman, waktu penanaman, tenaga yang akan melakukan penanaman dan jenis tanaman yang akan ditanam, tanaman yang akan ditanam disesuaikan dengan luas lahan dan kemampuan petani sendiri, sehingga petani tidak dibebani dengan rasa terpaksa menanam tanaman yang tidak sesuai dengan keinginannya. Proses perencanaan ini petani juga lebih banyak membantu dengan memberikan bantuan pemikiran dan tenaga, jarang yang mampu memberikan bantuan berupa material, untuk konsumsi lebih banyak mereka menggunakan hasil kebun yang dimiliki. Petani yang tidak aktif dalam perencanaan dan tidak bisa hadir dalam pertemuan disebabkan karena ada pekerjaan lain, merasa tidak dilibatkan, dan beberapa orang merasakan kebosanan hadir dalam pertemuan kelompok karena hanya membahas permasalahan dan tidak ada hal-hal baru yang menarik.
Partisipasi tahap pelaksanaan Setiap tahapan pelaksanaan kegiatan, petani menunjukkan keterlibatan langsung secara aktif dari awal sampai akhir dalam pelaksanaan kegiatan penanaman di lapangan mulai dari pembersihan lahan sampai proses penanaman di lapangan, petani yang aktif ini sebesar 74 persen. Motivasi petani melakukan kegiatan konservasi lahan, karena ada kepentingan untuk memperbaiki, melindungi, dan melestarikan lahan garapan yang mereka miliki. Memanfaatkan lahan secara optimal dan menanami dengan tanaman yang bernilai ekonomis tinggi akan mampu meningkatkan pendapatan untuk kesejahteraan hidup mereka. Apabila ada kegiatan konservasi yang dilaksanakan oleh pemerintah mereka akan berpartisipasi secara aktif dan sukarela, saking semangatnya para petani ini, kadangkala bibit yang dibagikan tidak cukup, apalagi ditambah dengan adanya insentif yang diberikan oleh pemerintah, ini memberikan rangsangan dan semangat tersendiri. Petani yang kurang dan tidak aktif dalam pelaksanaan kegiatan konservasi lahan menganggap melakukan kegiatan konservasi lahan belum tentu bisa dinikmati, petani sudah merasa cukup dengan apa yang dimiliki sekarang, merasa tidak dilibatkan oleh pengurus kelompok dan menganggap apa yang dilakukan tersebut belum tentu berhasil dan mendapat perhatian dari pemerintah.
83 Partisipasi tahap pemanfaatan Kegiatan pemanfaatan hasil kegiatan konservasi lahan, petani yang memanfaatkan hasil sebanyak 75 persen, pemanfaatan ini lebih banyak pada tanaman pertanian yaitu hasil tanaman semusim jagung, kacang panjang, cabe, dan lain-lain, tanaman perkebunan berupa buah jambu biji, jambu mete, papaya, dll. Tanaman kehutanan yang ditanam adalah jati, sonokeling, gmelina, sengon, mahoni, dan yang lebih banyak dimanfaatkan adalah buah, biji, anakan sebagai sumber benih, daun untuk pakan ternak, dan ranting sebagai kayu bakar. Hampir semua masyarakat memanfaatkan tanaman kehutanan ini secara tidak langsung sebagai sumber oksigen dan sumber air. Petani yang kurang dan tidak aktif menganggap kegiatan konservasi lahan tidak memberikan manfaat, walaupun sudah merubah pola tanam dengan menggunakan system agroforestry, petani baru sedikit mendapatkan manfaat, ditambah lagi dengan tanaman kehutanan yang masa produksinya lama.
Partisipasi tahap evaluasi Kegiatan yang dilakukan pada tahap evaluasi/penilaian kegiatan konservasi lahan adalah berupa evaluasi keseluruhan proses kegiatan konservasi lahan yang telah dilaksanakan untuk melihat permasalahan dan kendala yang ada pada kegiatan konservasi lahan di lapangan, hasil evaluasi dipergunakan sebagai bahan pertimbangan dan perbaikan untuk kegiatan konservasi lahan yang akan datang atau pada lahan garapan milik petani yang lain. Keterlibatan petani dalam melakukan kegiatan evaluasi masuk kategori tinggi yaitu sebesar 76 persen. PKSM dan petani bersama-sama melakukan penilaian/evaluasi pada kegiatan konservasi yang telah dilaksanakan oleh petani di lahan garapan miliknya, apabila ada permasalahan yang muncul, PKSM dan petani juga sama-sama mencari alternatif pemecahan masalah dibantu penyuluh PNS. Evaluasi juga lebih ditekankan pada pemeliharaan dan melihat keberhasilan penanaman, apabila ada tanaman yang mati maka disulam dengan tanaman yang baru, untuk mendapatkan bebas cabang yang tinggi pada tanaman kehutanan dilakukan pemangkasan dan pengambilan ranting, sedangkan untuk tanaman pertanian yang kurang menghasilkan akan dicarikan solusi bibit yang lebih menguntungkan. Petani yang tidak berpartisipasi pada kegiatan evaluasi sebesar 10 persen dan jarang ikut dalam evaluasi kegiatan sebesar 14 persen. Petani yang tidak pernah dan kurang aktif pada kegiatan evaluasi ini merasa tidak dilibatkan oleh PKSM.
84 Hubungan Karakteristik Individu dengan Tingkat Partisipasi Petani
Hubungan yang dianalisis adalah hubungan antara karakteristik individu petani berupa umur, pendidikan formal, pendidikan non formal, pendapatan, tanggungan, luas lahan, status lahan, motivasi dan kekosmopolitan petani dengan tingkat partisipasi petani pada kegiatan konservasi lahan melalui hutan rakyat dan agroforestry. Hubungan karakteristik individu dengan tingkat partisipasi petani dalam kegiatan konservasi lahan di Kabupaten Bima tersaji pada Tabel 16. Tabel 16 Hubungan karakteristik individu petani dengan tingkat partisipasi petani dalam kegiatan konservasi lahan di Kabupaten Bima Karakteristik Individu 1. Umur 2. Pendidikan formal 3. Pendidikan non formal 4. Pendapatan 5. Tanggungan 6. Luas lahan 7. Status lahan 8. Motivasi 9. Kekosmopolitan Total
Perencanaan
Tingkat Partisipasi Pelaksanaan Pemanfaatan
Evaluasi
Total
-.063 -.157
-.146 -.249**
-.140 -.200*
-.137 -.192*
-.094 -.112
-.315**
-.096
-.099
-.049
-.191*
-.128 .178* -.156 -.089 -.092 .060 .102
.147 .345** .129 .006 -.199* .080 .195*
.088 .280** .039 .026 -.176* .145 .186*
.092 .309** .075 -.034 -.186* .048 .192*
-.019 .231* -.043 -.135 -.125 -.021 .144
** signifikan pada level 0.01, *signifikan pada level 0.05 Hasil penelitian pada Tabel 16 menunjukkan bahwa karakteristik individu yang berhubungan nyata dengan partisipasi adalah pendidikan non formal dan jumlah tanggungan keluarga. Secara umum dari hasil tersebut dapat dikatakan bahwa karakteristik individu tidak berhubungan nyata dengan tingkat partisipasi, dengan kata lain tingkat partisipasi masyarakat dalam melakukan kegiatan konservasi lahan tidak dipengaruhi oleh karakteristik individu, sehingga hipotesis yang menyatakan bahwa faktor karakteristik individu berhubungan nyata dengan partisipasi masyarakat dalam melaksanakan kegiatan konservasi lahan tidak diterima.
Umur Faktor umur tidak berhubungan nyata dengan tingkat partisipasi baik pada setiap tahap partisipasi maupun pada partisipasi secara keseluruhan, hal ini berarti bahwa walaupun umur petani bukan merupakan faktor yang menentukan tingkat partisipasi seseorang dalam melakukan kegiatan konservasi lahan.
85 Kegiatan konservasi lahan melibatkan usia produktif (15 – 64 tahun) dan kurang produktif (>64 tahun). Usia tidak produktif, dalam hal ini anak-anak usia sekolah, walaupun mereka tidak masuk sebagai anggota kelompok, tetapi secara tidak langsung mereka terlibat dalam kegiatan konservasi lahan dengan membantu orang tua di lahan-lahan garapan milik petani atau menggantikan orang tua mereka pada saat pelaksanaan kegiatan konservasi lahan berlangsung apabila orang tua berhalangan. Usia kurang produktif masuk sebagai anggota kelompok dan ikut serta dalam pelaksanaan kegiatan konservasi lahan yang dilaksanakan oleh kelompok dan menanami lahan milik sendiri secara perorangan, meski usia sudah tua tidak menghalangi petani untuk melaksanakan kegiatan penanaman karena petani sudah merasakan manfaat dari kegiatan tersebut. Hasil penelitian yang di lakukan oleh Haqiqiansyah (1999), walaupun umur petani berada pada usia produktif akan tetapi tidak menyebabkan partisipasinya lebih tinggi dibandingkan dengan usia kurang produktif dalam kegiatan yang dilakukan kelompok. Sesuai pendapat Gagne dan Callahan (1967) diacu dalam Haqiqiansyah, kelompok usia muda adalah kelompok yang belum mempunyai tingkat pengalaman yang cukup tinggi sehigga mampu mempengaruhi tinggi rendahnya partisipasi.
Pendidikan formal Pendidikan formal berhubungan nyata negatif pada tahap pelaksanaan, pemanfaatan dan evaluasi, ini berarti semakin tinggi pendidikan formal yang ditempuh petani semakin rendah partisipasi petani pada tahap perencanaan, pemanfaatan dan evaluasi kegiatan. Rendahnya partisipasi petani pada tahap partisipasi tersebut disebabkan karena pada saat yang bersamaan petani yang bersangkutan sedang melaksanakan kegiatan lain, selain itu petani yang memiliki pendidikan tinggi rata-rata memiliki pekerjaan utama sebagai tenaga sukarela, honorer dan Pegawai Negeri Sipil di instansi pemerintah.
Pendidikan non formal Pendidikan non formal secara umum berhubungan nyata negatif dengan tingkat partisipasi petani, sedangkan untuk tahap partisipasi, pendidikan non formal berhubungan nyata negatif pada partisipasi tahap perencanaan. Keikutsertaan petani mulai dari awal pada tahap perencanaan memberikan pengaruh besar pada tingkat partisipasi petani secara keseluruhan dalam melakukan kegiatan konservasi lahan. Pendidikan non formal berpengaruh nyata negatif pada tingkat partisipasi petani, ini juga menunjukkan bahwa semakin banyak pelatihan yang diikuti oleh petani semakin rendah keikutsertaan petani pada kegiatan konservasi lahan. Rendahnya keikutsertaan petani yang sudah melakukan pelatihan karena disebabkan pelatihan yang diikuti bukan pelatihan terkait dengan konservasi lahan sehingga pemahaman akan pentingnya kegiatan konservasi lahan masih kurang.
86 Sebagian besar petani juga rata-rata belum pernah dan jarang diikutkan dalam pelatihan teknis yang terkait dengan kegiatan konservasi lahan sehingga pemahaman petani terhadap pentingnya kegiatan konservasi juga masih kurang, untuk petani yang telah mengikuti pelatihan hanya akan mau berpartisipasi pada kegiatan terkait dengan pelatihan yang diikuti saja. Semakin sedikit pelatihan dan pendampingan yang dirasakan oleh petani maka akan mengurangi semangat petani untuk berpartisipasi, sebaliknya apabila pelatihan dan pendampingan diberikan secara terus menerus maka akan meningkatkan partisipasi petani.
Pendapatan Pendapatan petani tidak berhubungan nyata dengan tingkat partisipasi yang dilakukan oleh petani baik secara keseluruhan maupun pada setiap tahap partisipasi, ini berarti besarnya pendapatan tidak mempengaruhi petani dalam melakukan penanaman di lahan miliknya. Tingginya pendapatan akan memudahkan petani untuk membeli bibit dan peralatan lain yang diperlukan dalam kegiatan penanaman di lahan miliknya, namun sebaliknya kurangnya pendapatan juga tidak membuat petani untuk tidak melakukan kegiatan konservasi lahan, kegiatan konservasi lahan atau penanaman tidak terhenti dan berjalan terus, petani akan mencari berbagai solusi dan alternatif untuk menyelesaikan permasalahan kekurangan anggaran tersebut.
Tanggungan Tanggungan berhubungan nyata positif dengan tingkat partisipasi petani, faktor jumlah tanggungan ini merupakan faktor yang ikut menentukan petani dalam melakukan kegiatan konservasi lahan pada setiap tahap partisipasi. Semakin banyak jumlah tanggungan memberikan nilai tambah dan semangat bagi petani untuk terus memenuhi kebutuhan keluarganya. Rata-rata petani mengandalkan lahan garapan yang dimiliki sebagai sumber pendapatan, semakin beragam tanaman yang ditanam di dalam lahan terutama tanaman jangka pendek dan jangka panjang yang bernilai ekonomis tinggi maka keuntungan dan pendapatan akan semakin meningkat. Petani di Kabupaten Bima sebagiann besar memanfaatkan lahan garapan berupa ladang dan kebun sebagai hutan rakyat dan menerapkan pola bertani dengan kebun campur (agroforestry).
Luas lahan Luas lahan tidak berhubungan nyata dengan tingkat partisipasi baik secara keseluruhan maupun pada setiap tahap partisipasi, kondisi ini menunjukkan bahwa luas atau tidaknya lahan yang dimiliki tidak menyurutkan keinginan petani untuk melakukan kegiatan konservasi lahan, bagi petani yang memiliki lahan yang luas mereka lebih leluasa memanfaatkan lahannya untuk kegiatan hutan
87 rakyat dan agroforestry sehingga keuntungan jangka panjang dan jangka pendek dapat diperoleh sekaligus, sedangkan untuk petani yang memiliki lahan yang sempit akan menggarap dan memanfaatkan lahan tersebut secara efisien dengan menggabungkan penanaman tanaman jangka pendek dan jangka panjang dalam satu lahan sekaligus (agroforestry). Semakin luas lahan yang digarap akan semakin meningkatkan semangat petani untuk menanami dan memanfaatkan lahan secara leluasa dan maksimal serta pendapatan akan semakin meningkat. Sebaliknya semakin kecil lahan yang dimiliki oleh petani, petani akan berusaha untuk memanfaatkan lahan yang kecil tersebut secara optimal dengan menanami tanaman pertanian, perkebunan dan kehutanan yang bernilai ekonomis tinggi sehingga bisa meningkatkan pendapatan.
Status lahan Status lahan yang dimiliki petani tidak berhubungan nyata dengan tingkat partisipasi petani pada kegiatan konservasi lahan. Kegiatan konservasi pada lahan yang digarap petani tetap jalan walaupun status lahan tersebut sewa atau pinjam pakai, pada lahan garapan dengan sistem pinjam pakai, agar petani penggarap ini bisa mendapatkan keuntungan, sebelum ditanami terlebih dahulu petani membuat perjanjian bagi hasil dengan pemilik lahan.
Motivasi Motivasi petani dalam melakukan kegiatan konservasi lahan tidak berhubungan nyata dengan tingkat partisipasi petani secara keseluruhan, tetapi berhubungan nyata pada tahap pelaksanaan, pemanfaatan, dan evaluasi kegiatan. Kondisi ini menunjukkan bahwa petani tidak ikut pada pertemuan atau diskusi awal yang membahas tentang persiapan kegiatan konservasi lahan karena petani tersebut pada waktu bersamaan ada acara dan kegiatan lain, akan tetapi pada tahap pelaksanaan, pemanfaatan dan evaluasi kegiatan petani tersebut terlibat. Keterlibatan petani pada tahap pelaksanaan, pemanfaatan dan evaluasi kegiatan ini juga bernilai negatif, kondisi ini berarti semakin tinggi motivasi petani untuk melakukan kegiatan konservasi lahan, keterlibatan petani pada pelaksanaan, pemanfaatan dan evaluasi semakin rendah. Apapun motivasi yang dimiliki oleh petani, apakah itu termotivasi karena kesadaran untuk melestarikan lahan, terpaksa/desakan dari orang lain atau hanya untuk mendapatkan keuntungan saja, tidak berpengaruh pada tingkat partisipasi, karena pada kenyataannya kegiatan konservasi lahan tetap berjalan dan sebagian besar sudah memberikan hasil bagi petani. Apabila motivasi dan dorongan dari luar diberikan kepada petani, maka semangat petani akan tetap tinggi, namun sebaliknya apabila motivasi atau dorongan dari luar rendah akan bisa menyurutkan semangat petani dalam melakukan kegiatan konservasi lahan.
88 Kekosmopolitan Kekosmopolitan atau keterbukaan terhadap informasi tidak berhubungan nyata dengan tingkat partisipasi yang dilakukan oleh petani. Setelah petani masuk menjadi anggota kelompok dan mendapat pendampingan dari penyuluh PNS dan PKSM, segala informasi yang berhubungan dengan pelaksanaan kegiatan lebih banyak diperoleh dan berkonsultasi dengan penyuluh tersebut ketimbang mencari sendiri. Apapun informasi yang terkait dengan kegiatan konservasi lahan dari PKSM diterima oleh petani. Semakin banyak informasi dan pendampingan yang diberikan oleh PKSM akan mempengaruhi tingkat partisipasi.
Hubungan Peran Pendampingan PKSM dengan Tingkat Partisipasi Petani
Menurut Usman dalam Huraerah (2008), upaya memperkuat community self-reliance atau kemandirian masyarakat, pemberdayaan merupakan proses dimana didalamnya masyarakat didampingi untuk memperkuat analisis masalah yang dihadapi, menemukan alternatif pemecahan masalah, meningkatkan kemampuan dan strategi untuk memanfaatkan sumberdaya yang dimiliki. Didukung oleh pendapat Suharto (2009) yang menyampaikan bahwa membangun dan memberdayakan masyarakat melibatkan proses dan tindakan sosial dimana masyarakat mengorganisasikan diri dalam membuat perencanaan dan tindakan kolektif untuk memecahkan permasalahan dan memenuhi kebutuhan sesuai dengan kemampuan atau sumberdaya yang dimilikinya. Hubungan peran pendampingan PKSM dengan partisipasi yang dianalisis adalah faktor-faktor peran PKSM sebagai analisator, stimulator, fasilitator dan pendorong yang mampu meningkatkan partisipasi petani pada tahap partisipasi yaitu perencanaan, pelaksanaan, pemanfaatan dan evaluasi kegiatan. Hubungan antara peran peendampingan PKSM dengan tingkat partisipasi petani dalam kegiatan konservasi lahan di Kabupaten Bima terdapat pada Tabel 17. Tabel 17 Hubungan peran pendampingan PKSM dengan tingkat partisipasi petani dalam kegiatan konservasi lahan di Kabupaten Bima. Peran pendampingan PKSM
Perencanaan
Tingkat Partisipasi Pelaksanaan Pemanfaatan
Evaluasi
Total
1. Analisator
.339**
.341**
.371**
.334**
.335**
2. Stimulator
.360**
.292**
.347**
.315**
.331**
3. Fasilitator
.224*
.149**
.127**
.102
.156**
4. Pendorong
.224**
.173**
.170**
.107**
.161**
.347**
.273**
.298**
.251**
309**
Total
**signifikan pada level 0.01, *signifikan pada level 0.05
89 Hasil uji korelasi pada Tabel 17 menunjukkan bahwa peran pendampingan PKSM sebagai analisator, stimulator, fasilitator, dan pendorong secara keseluruhan berhubungan sangat nyata dengan partisipasi pada semua tahap partisipasi mulai tahap perencanaan, pelaksanaan, pemanfaatan, dan evaluasi. Kondisi ini memperlihatkan bahwa peran dan keberadaan PKSM ditengah masyarakat memberikan dampak yang baik dan bermanfaat bagi masyarakat. Hipotesis yang menyatakan bahwa faktor peran PKSM berhubungan nyata terhadap tingkat partisipasi masyarakat dalam melaksanakan kegiatan konservasi lahan diterima.
Analisator Peran pendampingan PKSM sebagai analisator berhubungan sangat nyata pada semua tahap partisipasi. Peran PKSM pada proses perencanaan kegiatan merupakan kunci kegiatan, karena pada tahap perencanaan ini PKSM memulai persiapan kegiatan konservasi lahan dengan menganalisis kebutuhan apa saja yang diperlukan oleh petani dan permasalahan apa saja yang akan muncul jika kegiatan konservasi lahan tersebut dilaksanakan. Tahap perencanaan ini, PKSM dan petani bersama-sama menganalisis dan merencanakan dengan baik kegiatan konservasi yang akan dilaksanakan, mulai dari menganalisis lokasi, kebutuhan bibit, keterlibatan anggota dan kebutuhan lain yang akan menentukan keberhasilan kegiatan konservasi lahan tersebut. Semua kegiatan yang akan dilaksanakan sudah dipersiapkan pada tahap perencanaan, sehingga pada tahap pelaksanaan kegiatan, tidak banyak lagi yang harus dianalisis karena lokasi, kebutuhan dan jenis bibit sudah ditentukan, PKSM dan petani tinggal melakukan proses penanaman saja.
Stimulator Peran pendampingan PKSM sebagai stimulator/memberikan rangsangan berupa contoh langsung berhubungan sangat nyata dengan partisipasi mulai dari tahap perencanaan, pelaksanaan, pemanfaatan dan evaluasi kegiatan. Keterlibatan langsung PKSM dalam setiap tahap partisipasi memberikan semangat dan rangsangan bagi petani dalam melakukan kegiatan konservasi lahan, PKSM tidak membeda-bedakan lokasi penanaman, dengan kata lain penentuan lokasi dan kebutuhan bibit disesuaikan dengan kebutuhan dan dibagi secara adil dengan mendengarkan keinginan petani, sehingga petani merasa dihargai, selain itu juga keberadaan PKSM pada setiap tahap partisipasi sangat penting sebagai tempat untuk berkonsultasi bagi petani apabila terjadi kendala di lapangan. Tahap pemanfaatan hasil kegiatan konservasi lahan, PKSM memberikan kebebasan kepada petani untuk memanfaatkan hasil dari kegiatan konservasi yang telah dilakukan sesuai kebutuhan dan keinginan petani sendiri dan hanya membantu memfasilitasi, mencarikan pasar dan memberikan masukan sebatas diperlukan oleh petani pemilik lahan.
90
Fasilitator Peran pendampingan PKSM sebagai fasilitator yaitu memfasilitasi hubungan antara petani dengan instansi terkait berhubungan sangat nyata dengan partisipasi pada tahap perencanaan, pelaksanaan, pemanfaatan hasil dan evaluasi kegiatan. Tahap perencanaan, PKSM memfasilitasi petani dengan pihak terkait apabila ada informasi dan permasalahan yang tidak bisa diselesaikan oleh PKSM dan petani, pada tahap perencanaan ini PKSM dan masyarakat merencanakan secara matang kegiatan yang akan dilaksanakan di lapangan didampingi oleh penyuluh PNS, aparat desa dan pihak terkait lainnya. Tahap pelaksanaan dan pemanfaatan, PKSM terlibat memfasilitasi masyarakat dengan pihak lain khususnya penyuluh PNS. Penyuluh PNS membantu mengawasi proses pelaksanaan penanaman di lapangan, keberadaan penyuluh PNS ini juga membantu mengatasi dan memecahkan masalah apabila ada permasalahan dan kendala yang tidak bisa terselesaikan di lapangan pada saat penanaman dan pemeliharaan tanaman. Tahap pemanfaatan hasil, PKSM juga terlibat membantu memfasilitasi petani dengan pihak-pihak terkait dengan penjualan hasil. PKSM juga memberikan kebebasan penuh dan porsi yang lebih banyak kepada kepada masyarakat untuk berperan. Tahap evaluasi kegiatan, PKSM membantu memfasilitasi petani dengan pihak terkait apabila pada saat evaluasi kegiatan konservasi lahan berlangsung terdapat masalah dan kendala yang tidak bisa diselesaikan oleh PKSM dan petani.
Pendorong Peran pendampingan PKSM sebagai pendorong masyarakat dalam melaksanakan kegiatan konservasi lahan berhubungan sangat nyata dengan partisipasi pada tahap perencanaan, tahap pelaksanaan, pemanfaatan dan evaluasi. PKSM berperan sebagai pendorong apabila semangat petani mulai kendor dan menurun. Tahap perencanaan, PKSM mendorong petani untuk hadir dalam pertemuan dan diskusi awal yang membahas dan merencanakan kegiatan konservasi lahan yang akan dilaksanakan, PKSM ini memberikan informasi pertemuan melalui undangan dan untuk petani yang tidak bersemangat untuk hadir, PKSM berusaha untuk datang bertemu langsung dengan petani tersebut di rumahnya (anjangsana). Tahap pelaksanaan, pemanfaatan dan evaluasi, apabila ada petani yang kurang bersemangat dan tidak mau terlibat dalam pelaksanaan penanaman di lapangan, PKSM dibantu oleh penyuluh PNS melakukan kunjungan kepada petani tersebut untuk mengajak petani dan memberikan pemahaman tentang pentingnya melakukan kegiatan konservasi lahan, manfaat dan hasil produksi apa yang akan diperoleh serta pentingnya melakukan evaluasi pada kegiatan yang dilakukan untuk perbaikan kegiatan konservasi lahan selanjutnya.
91 Hubungan Peran dan Fungsi Kelompok Tani dengan Tingkat Partisipasi
Menurut Adjid (1992), kemampuan berkelompok adalah suatu kondisi yang dihasilkan oleh sejumlah kemampuan bekerjasama dalam suatu kerangka struktural tertentu, belajar kelompok bukan hanya semata-mata belajar teknologi, tetapi juga memanfaatkan dan mengendalikan struktur yang ada serta mentaati nilai atau norma sebagai aturan kelompok. Kesempatan belajar dalam kelompok berlangsung dalam 3 bentuk yaitu berkomunikasi, kepemimpinan dan partisipasi. Hubungan peran dan fungsi kelompok tani dengan tingkat partisipasi petani yang dianalisis adalah peran dan fungsi kelompok sebagai kelas belajar, wahana kerjasama dan unit produksi dengan tingkat partisipasi petani mulai tahap perencanaan, pelaksanaan, pemanfaatan dan evaluasi kegiatan. Hubungan peran dan fungsi kelompok tani dengan tingkat partisipasi petani dalam kegiatan konservasi lahan di Kabupaten Bima terdapat pada Tabel 18. Tabel 18
Hubungan peran dan fungsi kelompok tani dengan tingkat partisipasi petani dalam kegiatan konservasi lahan di Kabupaten Bima.
Peran Kelompok 1. Kelas belajar 2. Wahana kerjasama 3. Unit produksi Total
Perencanaan .532** .524**
Tingkat Partisipasi Pelaksanaan Pemanfaatan .474** .506** .670** .580**
.620** .738** .702** .591** .631** .610** **signifikan pada level 0.01, *signifikan pada level 0.05
Evaluasi .462** .622**
Total .538** .603**
.713** .612**
.706** .644**
Hasil uji korelasi pada Tabel 18, menunjukkan bahwa keseluruhan hubungan antara peran dan fungsi kelompok tani sebagai unit belajar, wahana kerjasama dan unit produksi terhadap peningkatan partisipasi petani berhubungan sangat nyata pada semua tahap partisipasi. Kondisi ini menunjukkan bahwa peran dan fungsi kelompok tani sebagai kelas belajar, wahana kerjasama dan unit produksi mampu meningkatkan partisipasi masyarakat pada kegiatan konservasi lahan, sehingga hipotesis yang menyatakan bahwa faktor peran dan fungsi kelompok tani binaan PKSM berhubungan nyata terhadap tingkat partisipasi masyarakat dalam melaksanakan kegiatan konservasi lahan diterima.
Kelas belajar Peran dan fungsi kelompok tani sebagai kelas belajar berhubungan sangat nyata pada setiap tahap partisipasi mulai tahap perencanaan, pelaksanaan, pemanfaatan dan evaluasi. Kondisi ini memberikan gambaran bahwa dengan peran dan fungsi kelompok tani sebagai kelas belajar mampu meningkatkan
92 partisipasi petani pada semua tahap partisipasi. Melalui kelompok tani, petani bisa saling belajar dan bertukar informasi, bertukar pengalaman dan berbagai hal yang terkait dengan kegiatan konservasi lahan seperti, cara pemilihan bibit, pengolahan lahan, pola tanam, penanaman, pemeliharaan, budidaya dan berbagai kegiatan yang terkait dengan konservasi lahan. PKSM dan petani juga berdiskusi dan bertemu untuk membahas dan merencanakan kegiatan konservasi lahan, bersama-sama menyatukan pemahaman dan persamaan persepsi tentang pentingnya melaksanakan kegiatan konservasi lahan, manfaat apa saja yang akan diperoleh apabila melakukan kegiatan konservasi lahan dan bagaimana cara melakukan evaluasi kegiatan konservasi lahan. Peran kelompok tani sebagai kelas belajar ternyata mampu meningkatkan partisipasi masyarakat dalam melaksanakan kegiatan konservasi lahan, oleh karena itu peran kelompok tani sebagai kelas belajar ini perlu ditingkatkan dan didukung oleh berbagai pihak, terutama peningkatan sarana prasarana belajar yang memadai dan dukungan kegiatan pelatihan yang terkait yang dibutuhkan oleh masyarakat, sehingga masyarakat semakin semangat untuk meningkatkan pemahaman dan pengetahuannya tentang konservasi lahan.
Wahana kerjasama Peran dan fungsi kelompok tani sebagai wahana kerjasama berhubungan sangat nyata dengan tingkat partisipasi petani pada tahap perencanaan, pelaksanaan, pemanfaatan dan evaluasi. Petani yang tergabung dalam kelompok memiliki keterikatan dan kebersamaan yang tinggi, antara anggota saling mengenal dan bekerjasama dengan baik sehingga apabila ada permasalahan dan kendala yang dihadapi bisa diselesaikan secara bersama-sama. PKSM dan petani bekerjasama, saling membantu, belajar dan membagi informasi antara anggota kelompok baik pada tahap perencanaan berupa pertemuan untuk mempersiapkan kegiatan, tahap pelaksanaan berupa penanaman di lapangan, tahap pemanfaatan berupa pemanfaatan hasil panen tanaman dan tahap evaluasi kegiatan.
Unit produksi Peran dan manfaat kelompok tani sebagai unit produksi berhubungan sangat nyata pada setiap tahap partisipasi. PKSM dan petani bersama-sama merencanakan usaha produktif yang akan dikembangkan oleh kelompok sesuai dengan potensi kelompok yang ada dan hasil dari kegiatan konservasi lahan. Petani melaksanakan usaha produktif yang sudah direncanakan bersama PKSM, usaha produktif ini kebanyakan adalah memanfaatkan hasil panen dari kegiatan konservasi lahan yang telah dilaksanakan berupa hasil tanaman pertanian (kunyit bubuk, jahe bubuk, kacang tanah, jagung dll), perkebunan berupa (jambu, nangka, jambu mete, kemiri dll), madu dan souvenir. Keadaan ini menggambarkan kelompok sebagai unit produksi memberikan manfaat produksi bagi anggota kelompok tani dalam meningkatkan dan memenuhi kebutuhan serta
93 memberikan pengaruh pada peningkatan semangat petani dalam melakukan kegiatan konservasi pada lahan miliknya. Ketersediaan sarana parasarana, informasi dan berbagai kebutuhan yang dibutuhkan oleh petani terkait dengan kegiatan konservasi lahan yang disediakan dalam kelompok memberikan dampak pada kualitas dan kuantitas produksi tanaman yang dihasilkan dan menguntungkan bagi petani.
Hubungan Peran Pendampingan PKSM dengan Karakteristik Individu
Menurut Hubeis et al. (1992), sebagian besar masyarakat tidak memiliki kemampuan untuk melakukan perubahan sesuai yang diharapkan, untuk itu perlu mendapatkan bantuan dari seseorang yang memiliki keterampilan dalam berbagai hal sehingga mampu memecahkan masalah yang dihadapi oleh masyarakat. Seorang pendamping masyarakat memerankan fungsi sebagai pencari solusi masalah dengan cara; 1) membantu masyarakat mengenali dan mengidentifikasi keperluan mereka, 2) membantu mendiagnosa masalah dan menetapkan tujuan yang ingin dicapai, 3) membantu mencari sumber informasi, sarana dan prasarana yang diperlukan, 4) membantu memilih solusi permasalahan yang sesuai dengan kondisi masyarakat tersebut, 5) membantu mengevaluasi untuk mengantisipasi permasalahan yang mungkin akan timbul di masa dating. Hubungan yang dianalisis adalah hubungan peran pendampingan PKSM sebagai analisator, stimulator, fasilitator dan pendorong dengan karakteristik individu yaitu umur, pendidikan formal, pendidikan non formal, pendapatan, tanggungan, luas lahan, status lahan, motivasi, dan kekosmopolitan. Hubungan peran pendampingan PKSM dengan karakteristik individu petani dalam kegiatan konservasi lahan di Kabupaten Bima terdapat pada Tabel 19. Tabel 19 Hubungan peran pendampingan PKSM dengan karakteristik individu petani dalam kegiatan konservasi lahan di Kabupaten Bima. Karakteristik Individu 1. Umur 2. Pendidikan formal 3. Pendidikan non formal 4. Pendapatan 5. Tanggungan 6. Luas lahan 7. Status lahan 8. Motivasi 9. Kekosmopolitan Total
Analisator
Peran pendampingan PKSM Stimulator Fasilitator Pendorong
**
**
-.065 .106
-.153 .083**
-.095** -.179** .073* -.207** -.060 -.019** .195** -.098
Total
-.110 .014**
**
-.063 .015**
-.144** .032
-.073
-.093**
-.155**
-.047**
-.154** .021** -.177 -.040** .025* .172** .133**
-.274 -.090** -.297** -.118** .008* .129 -.253**
-.228** -.145** -.280** -.098** -.028** .228** -.232**
-.224** -.058** -.265** -.071** .018** .219** -.187**
**signifikan pada level 0.01, *signifikan pada level 0.05
94 Hasil analisis pada Tabel 19, memperlihatkan bahwa secara umum keseluruhan hubungan antara peran PKSM sebagai analisator, stimulator, fasilitator dan pendorong berhubungan sangat nyata negatif dengan karakteristik individu petani. Hal ini memperlihatkan bahwa hubungan antara peran PKSM dengan karakteristik individu berhubungan terbalik yaitu semakin tinggi PKSM berperan sebagai analisator, stimulator, fasilitator dan pendorong dalam menyampaikan informasi dan mengajak petani melakukan kegiatan konservasi lahan, penerimaan dan respon petani semakin kurang.
Analisator Peran pendampingan PKSM sebagai analisator memiliki hubungan yang nyata negatif dengan karakteristik individu petani pada umur, pendidikan non formal, pendapatan, luas lahan dan motivasi, hal ini menunjukkan bahwa semakin tinggi peran PKSM menganalisis kebutuhan dan permasalahan kepada petani yang memiliki umur yang sudah tua, pendidikan non formal yang lebih, pendapatan yang tinggi, lahan garapan yang luas, dan motivasi yang tinggi, maka semakin berkurang keinginan petani untuk melaksanakan kegiatan konservasi lahan. Karakteristik individu berupa pendidikan formal dan status lahan tidak berhubungan nyata dengan peran pendampingan PKSM sebagai analisator, sedangkan jumlah tanggungan dan kekosmopolitan berhubungan nyata dengan peran pendampingan PKSM sebagai analisator. Semakin besar peran pendampingan PKSM dalam menganalisis kebutuhan dan permasalahan kepada petani yang memiliki tanggungan yang banyak dan kekosmopolitan yang tinggi, maka semakin tinggi juga keinginan petani untuk melakukan kegiatan konservasi lahan, hal ini terjadi karena petani merasa diberi perhatian dan didampingi terus oleh PKSM.
Stimulator Peran pendampingan PKSM sebagai stimulator/memberikan stimulus berhubungan sangat nyata negatif dengan karakteristik individu pada umur, pendapatan dan status lahan, ini menunjukkan bahwa semakin tinggi PKSM berperan memberikan rangsangan atau contoh nyata keberhasilan kegiatan konservasi lahan yang sudah ada kepada petani yang berusia lanjut, memiliki pendapatan tinggi dan memiliki lahan berstatus milik sendiri, maka semakin kurang keinginan petani tersebut untuk melakukan kegiatan konservasi lahan, karena petani ini sudah terlebih dahulu melakukan dan memiliki pengalaman melaksanakan kegiatan konservasi lahan di lahan garapan miliknya. Peran pendampingan PKSM sebagai stimulator berhubungan nyata positif dengan pendidikan formal, jumlah tanggungan dan kekosmopolitan, semakin tinggi peran pendampingan yang diberikan oleh PKSM sebagai stimulator kepada petani yang memiliki pendidikan formal tinggi, jumlah tanggungan yang banyak dan kekosmopolitan yang tinggi, maka semakin tinggi pula respon dan keinginan petani untuk melakukan kegiatan konservasi lahan.
95 Karakteristik individu petani berupa pendidikan non formal, luas lahan dan motivasi tidak berhubungan nyata dengan peran pendampingan PKSM sebagai analisator.
Fasilitator Peran pendampingan PKSM sebagai fasilitator berhubungan sangat nyata negatif dengan karakteristik individu pada pendidikan non formal, jumlah tanggungan, luas lahan dan status lahan, ini menunjukkan bahwa semakin tinggi PKSM berperan memfasilitasi petani yang sudah mengikuti pelatihan, memiliki tanggungan yang banyak, memiliki lahan garapan yang luas, dan status lahan milik sendiri dengan pihak terkait, maka semakin kurang keinginan petani tersebut dalam melakukan kegiatan konservasi lahan, karena petani tersebut sudah memiliki pengalaman dan merasa mampu melakukan kegiatan konservasi lahan di lahan garapannya sendiri tanpa bantuan dari orang lain. Peran pendampingan PKSM sebagai fasilitator juga berhubungan nyata positif dengan pendidikan formal dan motivasi, semakin tinggi peran pendampingan yang diberikan oleh PKSM sebagai fasilitator kepada petani yang memiliki pendidikan formal tinggi dan motivasi yang tinggi untuk melakukan kegiatan konservasi lahan, maka semakin tinggi pula respon petani tersebut untuk melakukan kegiatan konservasi lahan, sedangkan karakteristik individu petani berupa umur, pendapatan, dan kekosmopolitan tidak berhubungan nyata dengan peran pendampingan PKSM sebagai fasilitator.
Pendorong Peran pendampingan PKSM sebagai pendorong berhubungan sangat nyata negatif dengan karakteristik individu pada umur, pendidikan non formal, pendapatan, tanggungan, luas lahan dan status lahan, ini menunjukkan bahwa semakin tinggi PKSM berperan mendorong dan memberikan semangat kepada petani yang berusia lanjut, petani yang sudah mengikuti pelatihan, memiliki tanggungan yang banyak, memiliki lahan garapan yang luas, dan status lahan milik sendiri, maka semakin menurun semangat petani tersebut dalam melakukan kegiatan konservasi lahan, karena petani tersebut sudah tidak membutuhkan dorongan dari PKSM lagi. Peran pendampingan PKSM sebagai pendorong juga berhubungan nyata positif dengan pendidikan formal, motivasi dan kekosmopolitan, semakin tinggi peran pendampingan yang diberikan oleh PKSM sebagai pendorong kepada petani yang memiliki pendidikan formal tinggi, motivasi yang tinggi dan kekosmopolitan yang tinggi, maka semakin tinggi pula respon petani tersebut untuk melakukan kegiatan konservasi lahan.
96 Hubungan Peran pendampingan PKSM dengan Peran dan Fungsi Kelompok Tani
Hubungan yang dianalisis adalah hubungan peran pendampingan PKSM sebagai analisator, stimulator, fasilitator dan pendorong dengan peran dan fungsi kelompok tani sebagai kelas belajar, wahana kerjasama dan unit produksi. Pendampingan dan pembinaan yang dilakukan terus menerus oleh PKSM terhadap kelompok diharapkan mampu meningkatkan peran dan fungsi kelompok tani sehingga kelompok tersebut bisa menjadi tempat bagi petani untuk belajar dan mencari informasi untuk peningkatan pengetahuan, keterampilan dan sikap petani yang pada akhirnya petani mau melakukan kegiatan konservasi lahan. Hubungan peran pendampingan PKSM dengan peran dan manfaat kelompok tani di Kabupaten Bima terdapat pada Tabel 20. Tabel 20 Hubungan peran pendampingan PKSM dengan peran dan fungsi kelompok tani di Kabupaten Bima. Peran pendampingan PKSM
Kelas belajar
Peran dan fungsi Kelompok Tani Wahana Unit kerjasama produksi
Total
1. Analisator
.669**
.494**
.399**
.540**
2. Stimulator
.638**
.465**
.367**
.531**
3. Fasilitator
.564**
.361**
.261**
.449**
4. Pendorong
.590**
.362**
..249**
.460**
.701**
.468**
.385**
.586**
Total
**signifikan pada level 0.01, *signifikan pada level 0.05 Hasil analisis yang tersaji pada Tabel 20, menunjukkan keseluruhan hubungan antara peran PKSM sebagai analisator, stimulator, fasilitator dan pendorong terhadap peningkatan peran dan fungsi kelompok tani sebagai kelas belajar, wahana kerjasama dan unit produksi berhubungan sangat nyata.
Analisator Peran pendampingan PKSM sebagai analisator memiliki hubungan yang nyata dengan kelompok tani sebagai kelas belajar, wahana kerjasama dan unit produksi, hal ini menunjukkan bahwa semakin tinggi peran pendampingan PKSM dalam menganalisis kebutuhan dan permasalahan yang terjadi dalam kelompok tani, maka semakin tinggi pula peran dan fungsi kelompok sebagai kelas belajar, wahana kerjasama dan unit produksi bagi petani: 1. Kelas belajar, PKSM melakukan analisis kebutuhan apa saja yang diperlukan oleh kelompok sehingga kelompok tersebut bisa menjadi kelas belajar yang bisa menyediakan informasi untuk peningkatan pengetahuan dan keterampilan anggota kelompok, PKSM juga menganalisis permasalahan yang dihadapi
97 oleh anggota kelompok dalam proses pembelajaran yang dilaksanakan dalam kelas belajar. 2. Wahana kerjasama, PKSM melakukan analisis kebutuhan yang dibutuhkan oleh anggota kelompok tani dalam meningkatkan interaksi dan hubungan kerjasama antara anggota dalam kelompok, PKSM juga menganalisis permasalahan apa saja yang terjadi dalam kelompok yang bisa merusak hubungan kerjasama antar anggota kelompok dan PKSM. 3. Unit produksi, PKSM melakukan analisis kebutuhan yang dibutuhkan oleh kelompok dalam membangun unit produksi dalam kelompok yang berfungsi sebagai sumber pendapatan bagi kelompok dan anggota kelompok, PKSM juga menganalisis permasalahan apa saja yang menghambat kelompok dalam membangun unit produksi.
Stimulator Peran pendampingan PKSM sebagai stimulator berhubungan sangat nyata dengan kelompok tani sebagai kelas belajar, wahana kerjasama dan unit produksi, hal ini menunjukkan bahwa semakin tinggi peran pendampingan PKSM dalam memberikan contoh langsung keterlibatan PKSM di berbagai kegiatan yang dilakukan oleh kelompok, maka semakin tinggi pula peran dan fungsi kelompok sebagai kelas belajar, wahana kerjasama dan unit produksi bagi petani: 1. Kelas belajar, PKSM memberikan pendampingan dengan langsung menjadi peserta dan sumber informasi dalam pertemuan, diskusi yang dilaksanakan oleh kelompok dan didampingi oleh penyuluh PNS. 2. Wahana kerjasama, PKSM menjalin hubungan dan bekerjasama yang baik dengan anggota kelompok pada saat ada kegiatan maupun tidak ada kegiatan, PKSM selalu menyediakan waktu untuk menjalin silaturahmi dan menerima anggota kelompok yang membutuhkan bantuan informasi kapan saja dibutuhkan dan terlibat langsung menyelesaikan permasalahan apabila timbul permasalahan dan pertikaian antar anggota kelompok yang bisa merusak hubungan baik dalam kelompok. 3. Unit produksi, hasil panen tanaman pertanian, perkebunan dan kehutanan yang dipanen dari lahan garapan milik PKSM dipasarkan melalui unit produksi yang sudah ada dalam kelompok, PKSM dan petani terlibat langsung mengenalkan dan mempromosikan hasil produksi kelompok kepada instansi yang terkait dan tamu-tamu yang datang ke kelompok.
Fasilitator Peran pendampingan PKSM sebagai fasilitator berhubungan sangat nyata dengan kelompok tani sebagai kelas belajar, wahana kerjasama dan unit produksi, hal ini menunjukkan bahwa semakin tinggi peran pendampingan PKSM dalam memfasilitasi kelompok tani dengan pihak lain dan instansi terkait, maka semakin tinggi pula peran dan fungsi kelompok sebagai kelas belajar, wahana kerjasama dan unit produksi bagi petani:
98 1. Kelas belajar, PKSM memfasilitasi dengan mencarikan narasumber dari instansi terkait maupun pihak lain sebagai sumber informasi dan penyelesaian masalah bagi petani apabila ada informasi dan masalah yang tidak bisa diselesaikan oleh petani dan PKSM. 2. Wahana kerjasama, PKSM menjalin hubungan dan bekerjasama dengan penyuluh kehutanan PNS, penyuluh pertanian, penyuluh swasta, dinas kehutanan, dinas pertanian, dinas peternakan, perusahaan swasta, LSM dan pihak lain yang terkait dengan berbagai kegiatan yang ada dalam kelompok. PKSM menjadi penghubung antara petani dan pihak atau instansi tterkait tersebut apabila ada anggota kelompok yang membutukan. 3. Unit produksi, PKSM membantu menjadi penghubung antara petani dengan pihak terkait dengan penjualan hasil panen milik petani dan pemilik modal apabila ada petani yang membutuhkan.
Pendorong Peran pendampingan PKSM sebagai pendorong berhubungan sangat nyata dengan kelompok tani sebagai kelas belajar, wahana kerjasama dan unit produksi, hal ini menunjukkan bahwa semakin tinggi peran pendampingan PKSM dalam mendorong kelompok tani pada saat kelompok tani mulai melemah, maka semakin tinggi pula peran dan fungsi kelompok sebagai kelas belajar, wahana kerjasama dan unit produksi: 1. Kelas belajar, PKSM mendorong semangat anggota kelompok tani dan berusaha terus untuk menjadikan kelompok sebagai tempat untuk belajar, bertemu, berdikusi bagi anggota kelompok dan selalu mencarikan informasi terbaru yang terkait dengan kegiatan dalam kelompok. 2. Wahana kerjasama, PKSM selalu mendorong anggota untuk menjalin hubungan dan bekerjasama dengan pihak terkait penyedia informasi dan sarana prasarana lain yang dibutuhkan oleh petani, sehingga dengan semakin banyak petani berkomunikasi dengan pihak lain akan semakin bersemangat petani tersebut melaksanakan kegiatan dalam kelompok dan hubungan antar anggota jugga bisa tetap terjalin dengan baik lagi. 3. Unit produksi, PKSM selalu mendorong petani untuk meningkatkan hasil produksi tanaman dan memanfaatkan secara optimal lahan yang digarap sehingga hasil produksi juga meningkat, selain itu PKSM bersama-sama dengan petani mencari peluang-peluang usaha baru yang bisa dikembangkan dalam kelompok sebagai usaha produksi kelompok.
99
SIMPULAN DAN SARAN
Simpulan
1. Tingkat partisipasi petani dalam melaksanakan kegiatan konservasi lahan khususnya untuk kegiatan hutan rakyat dan penerapan pola tanam dengan agroforestri termasuk kategori tinggi. 2. Karakteristik individu petani berhubungan nyata dengan partisipasi adalah pendidikan non formal dan jumlah tanggungan. 3. Peran pendampingan PKSM berhubungan sangat nyata dengan tingkat partisipasi petani pada setiap tahap partisipasi. Semakin intensif PKSM melakukan pendampingan kepada petani dan berperan sebagai analisator, stimulator, fasilitator dan pendorong, maka semakin tinggi tingkat partisipasi petani pada semua tahap partisipasi. 4. Peran dan fungsi kelompok tani sebagai unit belajar, wahana kerjasama dan unit produksi berhubungan sangat nyata dengan tingkat partisipasi petani pada setiap tahap partisipasi. Kelompok tani yang telah dibina oleh PKSM telah memberikan manfaat dan berperan sebagai kelas belajar mengajar yang mampu meningkatkan pengetahuan, sikap dan keterampilan petani, menjadi wahana kerjasama serta unit produksi yang bisa meningkatkan pendapatan petani.
Saran
Tingkat partisipasi masyarakat terhadap kegiatan konservasi lahan di Kabupaten Bima sudah tinggi dan kondisi ini dipengaruhi oleh peran pendampingan PKSM yang terus menerus kepada masyarakat dan peran serta fungsi kelompok tani sebagai organisasi sosial dalam masyarakat, oleh karena itu perlu ada upaya-upaya: 1. Pembinaan lebih lanjut dari pemerintah baik pemerintah daerah, propinsi maupun pusat kepada PKSM. Pembinaan ini berupa peningkatan kapasitas PKSM melalui pelatihan, kunjungan lapangan, diikutkan pada lomba-lomba bidang kehutanan dan lingkungan, pendampingan yang lebih intensif dari penyuluh PNS, selain itu juga perlu diberikan bantuan sarana prasarana, dan kesempatan sebagai fasilitator pada kegiatan-kegiatan penyuluhan di luar desa tempat tinggalnya agar PKSM tersebut bisa berkembang. 2. Peningkatan kapasitas SDM berupa pelatihan kehutanan yang terkait dengan konservasi lahan dan kunjungan lapangan ke daerah-daerah yang telah berhasil kepada petani yang telah berpartisipasi pada kegiatan konservasi lahan diberikan. 3. Penguatan kelembagaan dan pembinaan kepada kelompok tani berupa pemberian kegiatan, sarana prasarana yang menunjang kegiatan sehingga kelompok tani bisa tetap mandiri dan maju.
99
100
DAFTAR PUSTAKA
Adimihardja A. 2008. Teknologi dan Strategi Konservasi Tanah dalam Kerangka Revitalisasi Pertanian. Peng Inov Perta 1:105-124. Adjid DA. 1992. Peranan Kelompok dalam Menggerakkan Partisipasi Masyarakat dalam Pembangunan. Di Dalam: Hubeis et al. Editor. Penyuluhan Pembangunan Indonesia Abad XXI. Jakarta:Pustaka Pembangunan Swadaya Nusantara. Agbogidi OM, Ofuoku AU. 2009. Forestry extension: Implications for forest protection. Int J. of Biody and Conserv 1: 98-104. Ahmadi A. 1999. Psikologi Sosial. Jakarta: Rineka Cipta. Amanah S, Hastuti EL, Basuno E. 2008. Aspek Sosial Budaya dalam Penyelenggaraan Penyuluhan: Kasus Petani di Lahan Marjinal. Sodality 2:301-320. Anom P. 2008. Studi Perubahan Perilaku pada Gerakan Sosial Konservasi Dengan Kampanye Pride di Kawasan Hutan Produksi Potorono dan Hutan Lindung Gunung Sumbing Magelang [tesis]. Bogor:Program Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor. Asngari P. 2001. Peranan Agen Pembaharu/Penyuluh dalam Usaha Memberdayakan (Empowerment) Sumberdaya Manusia Pengelola Agribisnis, Orasi Ilmiah Guru Besar Tetap Ilmu Sosial Ekonomi, Fakultas Peternakan, IPB. _________. 2008. Pentingnya Memahami Falsafah Penyuluhan Pembangunan dalam Rangka Pemberdayaan Masyarakat. Di dalam: Yustina I, Sudrajat A, penyunting. Pemberdayaan Manusia Pembangunan yang Bermartabat. Bogor:Pustaka Bangsa Press. hlm 2-9. Ariani TK, Apsari SR. 2011. Aplikasi Model Pendampingan Berbasis Among dalam Penyuluhan Pertanian Padi “SRI” di Mutihan Prambanan. J. Ilmu Perta. 8:166-176. Arimbawa P. 2004. Peran Kelompok untuk Meningkatkan Kemampuan Anggota dalam Penerapan Inovasi Teknologi (Kasus Kelompok Usaha Bersama (KUB) Program HKm di Desa Amotowo Kecamatan Landono Kabupaten Konawe Selatan, Sulawesi Tenggara) [tesis]. Bogor:Program Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor. Babbie E. 1989. The Practice of Social Research. 10th Edition. USA:Thomson Wadsworth.
100
101 Bahrin, Sugihen BG, Susanto D, Asngari PS. 2010. Luas Lahan dan Pemenuhan Kebutuhan Dasar (Kasus Rumah Tangga Petani Miskin di Daerah Dataran Rendah Kabupaten Seluma). J. Penyuluhan 6:58-66. Boyle PG. 1981. Planning Better Programs. The Adult Education Association Professional Development Series. USA: McGraw-Hill Book Company. [BPS] Badan Pusat Statitistik, Kabupaten Bima. 2010. Statistik Daerah Kabupaten Bima 2010. Bima:Badan Pusat Statistik Kab. Bima. Brännlund R, Sidibe A, Gong P. 2009. Participation to Forest Conservation in National Kabore Tambi Park in Southern Burkina Faso. J of Poli and Eco 11: 468-474 Bukhari, Febryano IG. 2010. Desain Agroforestri pada Lahan Kritis (Studi Kasus di Kecamatan Indrapuri, Kabupaten Aceh Besar). J Perennial 6 : 53-59 Cernea MM. 1988. Unit-unit Alternatif Organisasi Sosial untuk Mendukung Strategi Penghutanan Kembali. Di Dalam: Cernea MM. Editor. Mengutamakan Manusia di dalam Pembangunan, Variabel-variabel Sosiologi di dalam Pembangunan Pedesaan. Jakarta:Penerbit Universitas Indonesia. Daniels M, Darmawati, Nieldalina. 2005. PRA Participatory Rural Appraisal, Pendekatan Efektif Mendukung Penerapan Penyuluhan Partisipatif dalam Upaya Percepatan Pembangunan Pertanian. Jakarta:Bumi Aksara. Danim, S. 2004. Motivasi, kepemimpinan, dan efektivitas kelompok. Jakarta: PT: Rineka Cipta. Daud AH. 2011. Peran Pendamping Program Pemberdayaan Ekonomi Masyarakat Pesisir Dalam Pemberdayaan Kelompok Nelayan di Propinsi Maluku Utara [tesis]. Bogor:Program Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor. [DEPHUT] Departemen Kehutanan, Pusat Bina Penyuluhan Kehutanan. 1999. Undang-Undang Nomor 41 Tentang Kehutanan. Jakarta:Departemen Kehutanan. _________. 2004. Buku Pintar Penyuluhan Kehutanan, Edisi Ketiga. Jakarta:Pusat Bina Penyuluhan Kehutanan. _________. 2006. Undang-undang Nomor 16 Tahun 2006 tentang Sistem Penyuluhan Pertanian, Perikanan dan Kehutanan. Jakarta:Pusat Bina Penyuluhan Kehutanan.
102 ___________. 2009. Pemberdayaan PKSM (Penyuluh Kehutanan Sawadaya Masyarakat) Jakarta:Pusat Bina Penyuluhan Kehutanan. [DEPTAN] Departemen Pertanian. 2007. Pedoman Pembinaan Kelembagaan Petani. Jakarta:Departemen Pertanian. [DISHUT] Dinas Kehutanan Kabupaten Bima. 2011. Statistik Dinas Kehutanan Kabupaten Bima. Bima:Dinas Kehutanan. Drakel A. 2008. Analisis Usaha Tani terhadap Masyarakat Kehutanan di Dusun Gumi Desa Akelamo Kota Tidore Kepulauan. J. Ilmiah Agribisnis dan Perikanan (Agrikan UMMU-Ternate) 1:24-33. Elida T. 2008. Tingkat Partisipasi Masyarakat dalam Kegiatan Program Penanggulangan Kemiskinan di Perkotaan. J. Psikologi. 2:75-83 Ginting R. 1999. Peranan Pemimpin Informal dalam Menggerakkan Partisipasi Masyarakat untuk Pembangunan Desa [tesis]. Bogor:Program Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor. Hakim AM. 2008. Kajian Peran Stakeholders dalam Pelaksanaan Penataan Fisik dan Pendampingan Masyarakat di Kawasan Kumuh Kali Surabaya (Studi Kasus di Lingkungan RW. 07 Pulo Tegal Sari, Kelurahan Wonokromo, Surabaya). J.Komunitas 4:27-51. Hamzah I. 2011. Faktor Penentu Kinerja Penyuluh Pertanian Di Kota Tidore Kepulauan Provinsi Maluku Utara. [tesis]. Bogor:Program Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor. Haqiqiansyah G. 1999. Partisipasi Petani dalam Kegiatan Kelompok Tani Tambak Udang Di Kabupaten Kutai Kalimantan Timur [tesis]. Bogor:Program Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor. Havigurst RJ. 1974. Developmental Tasks and Education. New York:David McKay Company Inc. Herawati, Pulungan I. 2006. Faktor-faktor yang Berhubungan dengan Partisipasi Kontaktani dalam Perencanaan Program Penyuluhan Pertanian (Kasus WKUPP Nyalindung, Kabupaten Sukabumi). J.Penyuluhan 2:107-114. Hubeis. 1992. Peranan Penyuluhan Menjelang Era Tinggal Landas. Di Dalam: Hubeis et al. Editor. Penyuluhan Pembangunan Indonesia Abad XXI. Jakarta:Pustaka Pembangunan Swadaya Nusantara. Huda N, Sumardjo, Slamet M, Tjitropranoto P. 2010. Strategi Pengembangan Kinerja Penyuluh Pertanian dalam Pendidikan Jarak Jauh Universitas Terbuka:Kasus Alumni UT di wilayah Serang, Karawang, Cirebon, dan Tanggamus. J.Penyuluhan 6:18-24.
103
Huraerah A. 2008. Pengorganisasian dan Pengembangan Masyarakat: Model dan Strategi Pembangunan Berbasis Kerakyatan. Cetakan Pertama. Bandung:Humaniora. Ikbal M. 2007. Analisis Peran Pemangku Kepentingan dan Implementasinya dalam Pembangunan Pertanian. J. Litbang Perta, 26:83-99 Indraningsih KS, Sugihen BG, Tjitropranoto P, Asngari PS, Wijayanto H. 2010. Kinerja Penyuluh dari Perspektif Petani dan Eksistensi Penyuluh Swadaya Sebagai pendamping Penyuluh Pertanian PNS (Studi Kasus di Kabupaten Cianjur dan Garut, Propinsi Jawa Barat). J. Analis Jak Perta 8:303-321. Karsidi R. 2007. Pemberdayaan Masyarakat Untuk Usaha Kecil dan Mikro (Pengalaman Empiris di Wilayah Surakarta Jawa Tengah) [konsep]. J.Penyuluhan 3:136-145. Kartono K. 1992. Pemimpin dan Kepemimpinan, Apakah Kepemimpinan Abnormal Itu?. Jakarta:Rajawali Pers. [KEMENHUT] Kementerian Kehutanan, Pusat Bina Penyuluhan Kehutanan. 2010. Rencana Strategis Pusat Bina Penyuluhan Kehutanan tahun 2010-2014. Jakarta:Pusat Bina Penyuluhan Kehutanan. __________. 2011. Eksekutif Data Strategis Kehutanan 2011. Jakarta:Kementerian Kehutanan. __________. 2011. Standar Kompetensi Kerja Nasional Indonesia Sektor Kehutanan Bidang Penyuluhan Kehutanan. Jakarta:Kementerian Kehutanan. __________. 2012. Updating Data Penyuluh Kehutanan PNS dan PKSM. Jakarta:Kementerian Kehutanan. Kusnendi. 2008. Model-model Persamaan Struktural. Bandung. Alfabeta. Leeuwis C. 2009. Komunikasi untuk Inovasi Pedesaan, Berpikir Kembali tentang Penyuluhan Kehutanan. Yogyakarta:Kanisius. Leilani, Jahi A. 2006. Kinerja Penyuluh Pertanian di Beberapa Kabupaten Provinsi Jawa Barat. J Penyuluhan 2:99-106 Lippitt R, et al. 1958. Planned Change: a Comparative Study of Principles and Techniques. New York: Harcourt, Brace, and World Inc. Lionberger HF, Paul HG. 1982. Communication Strategies: A Guide for Agricultural Change Agents. llinois: The Interstate Printers dan Publisher, Inc.
104 Mardijono, 2008. Persepsi dan Partisipasi Nelayan Terhadap Pengelolaan Kawasan Konservasi Laut Kota Batam [tesis]. Semarang:Program Pascasarjana Universitas Diponegoro. Mardikanto T. 1996. Penyuluhan Pembangunan Kehutanan. Kerjasama Penyuluhan Kehutanan Dephut RI dengan Fakultas Pertanian UNS. Jakarta:Departemen Kehutanan. __________. 2009. Sistem Penyuluhan Pertanian. Surakarta:Sebelas Maret University Press. Marius JA, Sumarjo, Slamet M, Asngari PS. 2007. Pengaruh Faktor Internal dan Eksternal Penyuluh Terhadap Kompetensi Penyuluh Di Nusa Tenggara Timur. J.Penyuluhan 3:78-89 Marliati, Sumardjo, Asngari PS, Tjitropranoto P, Saefuddin A. 2008. Faktorfaktor Penentu Peningkatan Kinerja Penyuluh Pertanian dalam Memberdayakan Petani (Kasus di Kabupaten Kampar Provinsi Riau). J. Penyuluhan 4:92-99. Mukmin U. 1992. Peranan Penyuluhan Pembangunan dalam Pelestarian Sumberdaya Alam. Di Dalam: Hubeis et al. Editor. Penyuluhan Pembangunan Indonesia Abad XXI. Jakarta:Pustaka Pembangunan Swadaya Nusantara. Nazir. 2003. Metode Penelitian. Jakarta:Penerbit Ghalia Indonesia Ndraha T. 1987. Pembangunan Masyarakat: Mepersiapkan Masyarakat Tinggal Landas. Jakarta:PT Bina Aksara. Njurumana GND. 2007. Penerapan Sistem Mondu dan Upaya Masyarakat dalam Konservasi Daerah Aliran Sungai Palamedu Di Pulau Sumba. Info Hut 4:605-616 Nugroho SP. 2000. Minimalisasi Lahan Kritis Melalui Pengelolaan Sumberdaya Lahan dan Konservasi Tanah dan Air secara Terpadu. J.Tekno Lingk, 1: 7382 Ozcatalbas O, Boz I, Demiryurek K, Budak BD, Karaturhan B, Akcaoz H. 2011. Developing participatory extension applications in Turkey. African J.Of Agric Research. 6:407-415. Padmowiharjo S. 2006. Penyuluhan Pendampingan Partisipatif [konsep]. J.Penyuluhan 2:63-64. Pasha GK, Jupri MT, Murtianto H. 2008. Tingkat Kerusakan dan Arahan Konservasi Lahan di Das Cikaro, Kabupaten Bandung. Bandung:FPIPS, UPI.
105 Pardosi J, Asngari PS, Tarumingkeng RC, Susanto D, Sumarjo. 2005. Pemberdayaan Peladang Berpindah, Kasus Kabupaten Kutai Kartanegara, Kabupaten Kutai Timur, dan Kabupaten Kutai Barat di Propinsi Kalimantan Timur. J. Penyuluhan 1:33-40. Pescosolido. 2001. Informal Leaders and The Development of Group Efficacy. Small Group Research 32: 74-93. Pretty et al. 1995. Using Rapid or Participatory Rural Appraisal. Di dalam: Burton E.Swanson et al. Improving Agriculture Extension: A Reference Manual. Rome:FAO of the UN. Pratiwi. 2006. Prosiding Ekspose Hasil-Hasil Penelitian: Konservasi Tanah dan Air, Pemanfaatan Limbah dalam Rehabilitasi Hutan dan Lahan Terdegradasi. Bogor: Badan Penelitian dan Pengembangan Kehutanan. Purwatiningsih, A., Ismani, Noor, I. 2004 Faktor-faktor yang mempengaruhi
Partisipasi Masyarakat dalam Pembangunan Desa. J. Admin Publik 2:75-83
Rayuddin ZT, Ramli. 2010. Partisipasi Petani dalam Pembangunan Pedesaan di Kabupaten Konawe. J. Penyuluhan 6:76-85 Riduwan. 2007. Skala pengukuran variabel-variabel penelitian. Bandung: Penerbit Alfabeta _______. 2010. Metode dan Teknik Menyusun Tesis. Bandung:Alfabeta. Riyanto B. 2008. Hutan Adat dan Hutan Desa, Peluang dan Kendala bagi Masyarakat. [Kajian dan Opini]. Working Group on Forest Land Tenure www.wg-tenure.org. Warta Tenure 5:6-8. Ruwiyanto W. 2008. Andil Penyuluhan Pembangunan dalam Mengurangi Laju Pemanasan Global. Di dalam: Yustina I dan Sudrajat A, penyunting. Pemberdayaan Manusia Pembangunan yang Bermartabat. Bogor:Pustaka Bangsa Press. Pr. hlm 66-75. Sarwono. 2005. Psikologi Sosial, Psikologi Kelompok dan Psikologi Terapan. Jakarta:Balai Pustaka. Schaduw JNW. 2008. Pelestarian Ekosistem Mangrove pada daerah Perlindungan Laut Desa Blongko Kecamatan Sinonsayang Kabupaten Minahasa Selatan Propinsi Sulawesi Utara [tesis]. Bogor:Institut Pertanian Bogor. Setiana L. 2005. Tehnik Penyuluhan dan Pemberdayaan Masyarakat. Bogor:Ghalia Indonesia. Setiawan HH. 2008. Peranan Pekerja Sosial dalam Pendampingan Anak Berkonflik dengan Hukum. Informasi 13:23-31.
106
Setiawan I, Hapsari H, Tridakusumah C. 2009. Peningkatan Efektivitas Integrasi dan koordinasi Peran antara Penyuluh Pertanian Pemerintah, Swasta dan Swadaya bagi Pelaku Agroindustri Skala Kecil Menengah (Suatu Kasus di Kec. Cililin Kab. Bandung Barat) [laporan penelitian]. Bandung: Universitas Padjadjaran. Setiawinata AB. 2001. Peran Tokoh Masyarakat dalam Komunikasi Kebijakan Pengembangan Kawasan Pariwisata Puncak [Tesis]. Bogor:Institut Pertanian Bogor. Setyowati E. 2010. Partisipasi Masyarakat Dalam Pengelolaan Hutan Mangrove Di Desa Surodadi Kecamatan Sayung Kebupaten Demak [tesis]. Bogor:Institut Pertanian Bogor. Sinambela S, Naibao P. 2011. Pengaruh Pendidikan dan Pelatihan untuk Meningkatkan Kinerja Pegawai Negeri Sipil di Badan Penelitian dan Pengembangan Kementerian Dalam Negeri. J Manaj dan Akun. 7: 96-158. Sismanto. 2009. Analisa Lahan Kritis Sub DAS Riam Kanan DAS Barito Kabupaten Banjar Kalimantan Tengah. J Aplikasi 6:1-11. Slamet M. 2002. Perspektif Ilmu Penyuluhan Pembangunan Menyongsong Era Tinggal Landas. Di dalam: Hubeis AVS, Tjitropranoto P, Ruwiyanto W, editor. Penyuluhan Pembangunan Di Indonesia. Jakarta:Pustaka Pembangunan Swadaya Nusantara. Soedijanto. 1981. Keefektifan Kelompok Tani dalam Kegiatan Penyuluhan Pertanian [desertasi]. Bogor:Program Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor. Soekanto S. 2000. Sosiologi Suatu Pengantar. Ed ke-30. Jakarta:Rajawali Press. Stanley CL. 2005. Sikap-Sikap Dan Kesadaran Orang Bajo Terhadap Lingkungan Hidup Dan Konservasi Studi Kasus: Kampung Sampela, Taman Nasional Kepulauan Wakatobi, Sulawesi Tenggara [tesis]. Malang: Universitas Muhammadiyah Malang. Subagyono K, Marwanto S, Kurnia U. 2003. Tehnik Konservasi Tanah Secara Vegetatif. Bogor:Balitbang Pertanian, Departemen Pertanian. Sugiyono. 2011. Metode Penelitian Kuantitatif, Kualitatif dan R&D. Cetakan ke-12. Bandung:Alfabet. Suhanda NS, Jahi A, Sugihen BG, Susanto D. 2008. Kinerja Penyuluh Pertanian Di Jawa Barat. J. Penyuluhan. 4:100-108.
107 Suharto E. 2009. Membangun Masyarakat Memberdayakan Rakyat. Kajian Strategis Pembangunan Kesejateraan Sosial dan Pekerjaan Sosial. Cetakan ke-3. Bandung:PT Rafika Adiatama. Sumardjo. 2008. Penyuluhan Pembangunan Pilar Pendukung Kemajuan dan Kemandirian Masyarakat. Di dalam: Yustina I, Sudrajat A, penyunting. Pemberdayaan Manusia Pembangunan yang Bermartabat. Bogor:Pustaka Bangsa Press. hlm 76-98. Sumarlan. 2004. Peran Tokoh Masyarakat Sekitar Hutan Dalam Pemanfaatan Hutan Rakyat (Kasus Di Kecamatan Warmare dan Prafi Kabupaten Manokwari) [tesis]. Bogor:Institut Pertanian Bogor. Suprayitno AR. 2008. Pelibatan Masyarakat Lokal:Upaya Memberdayakan Masyarakat Menuju Hutan Lestari [kajian analitik]. J Penyuluhan 4:135-138 Susanto D. 2008. Peranan Penyuluhan Pembangunan dalam Meningkatkan Kualitas SDM. Di dalam:Yustina I dan Sudrajat A, penyunting. Pemberdayaan Manusia Pembangunan yang Bermartabat. Bogor:Pustaka Bangsa Press. Pr. Hlm 52-65. Sutrisna N. 2009. Model Usaha Tani Konservasi Berbasis Sumberdaya Spesifik Lokasi Di Daerah Hulu Sungai (Studi Kasus: Lahan Pertanian Berlereng di Hulu Sub DAS Cikapundung, Kawasan Bandung Utara. Bogor:Program Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor. Suyadi. 2009. Tropical Deforestation in Bukit Barisan Selatan National Park, Sumatera, Indonesia. Bogor:Bogor Agricultural University. Umar. 2009. Persepsi dan Perilaku Masyarakat dalam Pelestarian Fungsi Hutan sebagai Daerah Resapan (Studi Kasus Hutan Penggaron Kabupaten Semarang) [tesis]. Semarang:Universitas Diponegoro. Utama S, Sumardjo, Susanto D, Gani DS. 2010. Dinamika Kelompok Tani Hutan pada Pengelolaan Hutan Produksi Bersama Masyarakat di Perum Perhutani Unit I Provinsi Jawa Tengah. J. Penyuluhan 6:43-57 Van Den Ban, Hawkins. 1999. Penyuluhan Pertanian. Yogyakarta:Kanisius. Wardoyo. 1992. Pendekatan Penyuluhan Pertanian Untuk Meningkatkan Partisipasi Masyarakat. Di Dalam: Hubeis et al. Editor. Penyuluhan Pembangunan Indonesia Abad XXI. Jakarta:Pustaka Pembangunan Swadaya Nusantara. Yani DE, Ludifica ES, Noviyanti R. 2010. Meningkatkan Kemampuan Penguasaan Teknologi Budidaya Belimbing. J Mat Sains dan Tekno 11:133-145.
108 Yuhono JT, Suhirman S. 2006. Analisis Sosial Ekonomi Usaha Tani Konservasi Pada Lahan Miring dengan Pola Tanam Jambu, Mete, Kemiri, Melinjo dan jati di kabupaten Lombok Barat. Bul Littro XVII:22-29. Yumi. 2002. Efektivitas Penyuluhan Partisipatif sebagai Upaya Pemberdayaan Masyarakat dalam Pengelolaan Hutan Kemasyarakatan (Kasus Di Desa Sumber Agung dan Desa Sungai Langka Gunung Betung, Propinsi Lampung) [tesis]. Bogor:Institut Pertanian Bogor.
109 Lampiran 1 Kisi-kisi instrumen penelitian
Variabel
Indikator
INDEPENDEN Karakteristik individu petani (X1): Pertanyaan umum Nama responden sampai dengan jenis kegiatan yang dilakukan 1. Umur Jumlah tahun sejak dilahirkan 2. Pendidikan Tingkat pendidikan formal /nonformal 3. Pendapatan Jumlah pendapatan ratarata /bulan 4. Jumlah Jumlah keluarga yang tanggungan ditanggung 5. Luas lahan Jumlah lahan garapan 6. Status lahan Status kepemilikan lahan 7. Motivasi Dorongan untuk konservasi lahan 8. Kekosmopolitan Keterbukaan terhadap informasi dan hubungan dengan dunia luar INDEPENDEN Peran Pendampingan PKSM (X2): 1. Analisator
2. Stimulator
3. Fasilitator
4. Pendorong
Peran penyuluh swadaya dalam menganalisis sistuasi, masalah dan kebutuhan masyarakat tiap tahap partisipasi Peran penyuluh sebagai pemicu masyarakat pada setiap tahap partisipasi Peran PKSM sebagai penghubung pada setiap tahap partisipasi Peran PKSM sebagai pendorong bagi masyarakat
Jumlah Pertanyaan
5
Nomor Pertanyaan
1,3,4,5,6
1
2
2
7, 8
1
9
1
10
2
11,12
1
13
1
14
4
15,19,23, 27
4
16,20,24, 28
4
17,21,25, 29
4
18,22,26, 30
110 Lampiran 1 Kisi-kisi instrumen penelitian (lanjutan)
Variabel
INDEPENDEN Peran dan Fungsi Kelompok (X3): Pertanyaan umum
Indikator
Jumlah Pertanyaan
Nomor Pertanyaan
Proses terbentuknya kelompok tani
7
1. Kelas belajar
Kelompok berfungsi sebagai wahana belajar bagi masyarakat
12
2. Wahana kerjasama
Kelompok berfungsi sebagai wahana saling interaksi antar anggota kelompok dan masyarakat Kelompok berfungsi sebagai unit produksi bagi masyarakat
9
7
59,60,61, 62,63,64, 65
Tingkat keikutsertaan dalam merencanakan kegiatan konservasi lahan Tingkat keikutsertaan melaksanakan kegiatan konservasi lahan Tingkat keikutsertaan memanfaatkan hasil kegiatan konservasi lahan Tingkat keikutsertaan memelihara hasil kegiatan konservasi lahan
3
66,67,68
2
69,70
2
71,72
2
73,74
3. Unit produksi
DEPENDEN Partisipasi Masyarakat (Y1): 1. Perencanaan
1. Pelaksanaan
2. Pemanfaatan
3. Evaluasi
31,32,33, 34,35,36, 37 38,39,40, 41,42,43, 44,45,46, 47, 48, 49 50,51,52, 53,54,55, 56,57,58
111 Lampiran 2 Peta lokasi penelitian 5 Kecamatan di Kabupaten Bima
112 Lampiran 3 Peta Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) Kabupaten Bima
113 Lampiran 4 Peta tutupan lahan Kabupaten Bima
114 Lampiran 5 Peta kawasan hutan di Kabupaten Bima
115 Lampiran 6 Kondisi lahan kritis dan penanaman lahan di Kabupaten Bima
116 Lampiran 7 Kondisi infrastruktur dan sarana transportasi di Kabupaten Bima
117 Lampiran 8 Profil PKSM di Kabupaten Bima
118 Lampiran 9 Kondisi sarana dan prasarana yang dimiliki oleh kelompok tani
119 Lampiran 10 Contoh usaha produktif yang dimiliki oleh kelompok tani
Sumber: koleksi pribadi dan internet
120
RIWAYAT HIDUP
Penulis dilahirkan di Bima, NTB pada tanggal 21 Agustus 1977 dari ayah H. Muhammad Usman, A.md dan ibu Hj. Siti Fatimah. Penulis merupakan putrid pertama dari lima bersaudara. Tahun 1994 penulis lulus dari SMA Negeri 1 Bima dan pada tahun yang sama masuk Institut Pertanian Malang (IPM), penulis memilih Jurusan Konservasi Sumberdaya Hutan, Fakultas Kehutanan, lulus tahun 1998. Tahun 2003, penulis diterima pada Pusat Bina Penyuluhan Kementerian Kehutanan Jakarta, sebelum ditempatkan di tempat tugas, penulis mengikuti magang selama 6 (enam) bulan di Taman Nasional Ujung Kulon, Banten. Pada tahun 2010, penulis diterima di Program Studi Ilmu Penyuluhan Pembangunan pada Program Pascasarjana IPB dan menamatkannya pada tahun 2013. Beasisiwa pendidikan pascasarjana diperoleh dari Kementerian Kehutanan Republik Indonesia cq. Pusat Pendidikan dan Pelatihan, Badan Penyuluhan dan Pengembangan SDM, Kementerian Kehutanan. Saat ini penulis ditempatkan di Pusat Perencanaan dan Pengembangan Sumberdaya Manusia, Badan Penyuluhan dan Pengembangan Sumberdaya Manusia Kehutanan (BP2SDMK) Kementerian Kehutanan di Jakarta. .