PARTISIPASI MASYARAKAT DALAM PROGRAM KONSERVASI PENYU ( Kasus di Kawasan Konservasi Laut Kabupaten Berau, Kepulauan Derawan, Provinsi Kalimantan Timur )
ABIDZAR AL GIFFARI SKRIPSI
PROGRAM STUDI MANAJEMEN BISNIS DAN EKONOMI PERIKANAN–KELAUTAN FAKULTAS PERIKANAN DAN ILMU KELAUTAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2008
PERNYATAAN MENGENAI SKRIPSI DAN SUMBER INFORMASI Dengan ini saya menyatakan bahwa skripsi yang berjudul, “PARTISIPASI MASYARAKAT DALAM PROGRAM KONSERVASI PENYU”( Kasus di Kawasan Konservasi Laut Kabupaten Berau, Kepulauan Derawan, Provinsi Kalimantan Timur ). adalah benar hasil karya sendiri dan belum diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan tinggi manapun. Semua sumber data dan informasi yang berasal atau dikutip dari karya-karya yang diterbitkan dalam teks, baik yang dipublikasikan maupun yang tidak dipublikasikan, dicantumkan dalam daftar pustaka di bagian akhir skripsi ini.
Bogor, 17 Agustus 2008
Abidzar Al Giffari C44104019
ABSTRAK ABIDZAR AL GIFFARI. Partisipasi Masyarakat dalam Program Konservasi Penyu (Kasus di Kawasan Konservasi Laut Kabupaten Berau, Kepulauan Derawan, Provinsi Kalimantan Timur). Dibimbing oleh ARIF SATRIA Wilayah perairan laut dan pesisir Kepulauan Derawan merupakan daerah pengembaraan dan jalur migrasi penting bagi populasi penyu hijau. Status endangered species dan dilindungi Pemerintah tidak menghalangi penangkapan induk dan pemanenan telur di wilayah Kepulauan Derawan. Eksploitasi penyu hijau ini telah menurunkan populasi > 90% selama lima dekade. Tingginya tingkat eksploitasi yang dilakukan masyarakat Kepulauan Derawan telah mempercepat laju kepunahan penyu hijau di Indonesia. Perubahan kebijakan pemerintah harus segera dilakukan untuk menyelamatkan penyu hijau dari kepunahan. Strategi perlindungan yang dilakukan menggunakan konsep perlindungan habitat.penyu (konservasi in-situ) dengan membentuk Kawasan Konservasi Laut Daerah (KKLD) Kabupaten Berau (Perbub No.31 tahun 2005) seluas 1,2 juta hektar. Dalam pelaksanaannya Pemerintah dan LSM bekerjasama dengan masyarakat yang ada di sekitar KKLD Berau yakni masyarakat Pulau Derawan dan Pulau Maratua. Penelitian ini akan mengetahui tingkat partisipasi masyarakat dalam mengelola sumberdaya penyu dan habitatnya di kawasan konservasi serta faktorfaktor yang mendukung dan menghambat partisipasi masyarakat. Dari hasil penelitian diketahui bahwa tingkat partisipasi masyarakat Pulau Maratua menuju ke arah partnership (kemitraan) dimana pembagian kewenangan cenderung terbagi secara relatif seimbang (equity) antara masyarakat dan pemerintah. Hal ini ditunjukkan dengan keterlibatan masyarakat mulai dari perencanaan pengelolaan, pengambilan keputusan, persetujuan keputusan atas peraturan pengelolaan dan perencanaan program aksi bersama dalam penanganan isu, serta telah terbentuk organisasi berbasis masyarakat yaitu Dakayu Akkal wujud dari kesepakatan pengelolaan kawasan berbasis masyarakat. Sedangkan di Pulau Derawan tingkat partisipasi masih pada tahap manipulasi dimana pemerintah dan LSM sedang membangun dukungan masyarakat dalam menjalankan upaya konservasi penyu. Faktor-faktor pendukung partisipasi diantaranya adalah faktor ekonomi dan faktor dukungan pemerintah serta LSM, sedangkan faktor penghambatnya adalah penegakan hukum yang tidak tegas, kemiskinan, adanya tekanan dari pahter (pemegang konsesi telur penyu) dan konflik kepentingan terhadap sumberdaya penyu. Hal inilah yang menjadi penyebab partisipasi masyarakat di Pulau Derawan masih pada tahap manipulasi.
Kata kunci : penyu hijau, kawasan konservasi laut daerah, partisipasi masyarakat.
© Hak Cipta Milik Abidzar Al Giffari, Tahun 2008 Hak Cipta Dilindungi Dilarang mengutip dan memperbanyak tanpa izin tertulis dari Institut Pertanian Bogor, sebagian atau seluruhnya dalam bentuk apa pun, baik cetak, fotokopi, mikrofilm, dan sebagainya
PARTISIPASI MASYARAKAT DALAM PROGRAM KONSERVASI PENYU ( Kasus di Kawasan Konservasi Laut Kabupaten Berau, Kepulauan Derawan, Provinsi Kalimantan Timur )
SKRIPSI sebagai salah satu syarat untuk mendapatkan gelar Sarjana Perikanan pada Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan Institut Pertanian Bogor
Oleh : ABIDZAR AL GIFFARI C44104019
PROGRAM STUDI MANAJEMEN BISNIS DAN EKONOMI PERIKANAN–KELAUTAN FAKULTAS PERIKANAN DAN ILMU KELAUTAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2008
SKRIPSI Judul Skripsi
: Partisipasi Masyarakat dalam Program Konservasi Penyu (Kasus di Kawasan Konservasi Laut Kabupaten Berau, Kepulauan Derawan, Provinsi Kalimantan Timur)
Nama Mahasiswa
: Abidzar Al Giffari
Nomor Pokok
: C44104019
Program Studi
: Manajemen Bisnis dan Ekonomi Perikanan-Kelautan
Disetujui, Komisi Pembimbing
Dr. Ir. Arif Satria, M.Si NIP. 132 164 113
Diketahui, Dekan Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan
Prof. Dr. Ir. Indra Jaya, M.Sc NIP. 131 578 799
Tanggal Lulus : 7 Agustus 2008
KATA PENGANTAR Puji dan syukur Kehadirat Allah SWT yang telah memberikan Rahmat dan Hidayah-Nya kepada penulis dalam menyelesaikan skripsi dengan judul “Partisipasi Masyarakat dalam Program Konservasi Penyu (Kasus di Kawasan Konservasi Laut, Kabupaten Berau, Kepulauan Derawan, Provinsi Kalimantan Timur)” Shalawat serta salam penulis sampaikan kepada Nabi Muhammad SAW yang menjadi suri tauladan untuk umatnya. Skripsi ini disusun untuk memenuhi persyaratan dalam melaksanakan penelitian pada Program Studi Manajemen Bisnis Perikanan, Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan, Institut Pertanian Bogor. Penulis menyadari bahwa penyusunan usulan penelitian ini tidak mungkin dapat diselesaikan dengan baik tanpa bantuan dan bimbingan dari berbagai pihak. Oleh karena itu, penulis menyampaikan ucapan terima kasih kepada : 1) Dr. Ir. Arif Satria, M.Si selaku pembimbing skripsi yang telah memberikan bimbingan, arahan dan masukan kepada penulis sehingga penulis mampu menyelesaikan skripsi ini 2) Kedua orang tua H. Nurman Yusuf dan Hj. Husniar Hasbi, Kak Nana, Imay, dan Zuhri yang selalu memberikan kasih sayang, doa, semangat dan dukungan moril kepada penulis dalam penyusunan skripsi ini 3) Keluarga besar di Nanggroe Aceh Darussalam yang telah memberikan bantuan dan dukungan kepada penulis selama penelitian berlangsung 4) LSM Joint Program Marine Berau (TNC-WWF), Bestari, Yayasan Penyu Berau, Dinas Perikanan Kelautan, Konservasi Sumberdaya Alam, Tim Pengarah. 5) Teman seperjuangan di SEI, Pondok An-Nur, FDC, HMI dan IMTR 6) Masyarakat Kepulauan Derawan, Pak Yani, Kasmudin, Mba Nina dan Pak Hirmen yang telah bersedia memberikan ilmu dan tumpangan rumahnya selama penulis melakukan penelitian. Bogor, 17 Agustus 2008
Abidzar Al Giffari
RIWAYAT HIDUP Penulis dilahirkan di Lhokseumawe pada tanggal 17 Agustus 1985 dari ayah H. Nurman Yusuf dan ibu Hj. Husniar Hasbi. Penulis merupakan anak kedua dari empat bersaudara. Pendidikan formal yang dilalui adalah SMA Swasta Yayasan Pendidikan Arun Pertamina (YAPENA). Pada tahun 2004 penulis diterima masuk di IPB melalui jalur USMI, dan diterima di Program Studi Manajemen Bisnis dan Ekonomi Perikanan-Kelautan, Jurusan Sosial Ekonomi Perikanan dan Kelautan, Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan – Institut Pertanian Bogor. Selama mengikuti kegiatan perkuliahan di IPB, penulis aktif berkecimpung di beberapa organisasi mahasiswa, yaitu Fisheries Diving Club (FDC) Fakultas Perikanan Kelautan (2004-2008) sebagai koordinator bidang peralatan, Himpunan Mahasiswa Sosial Ekonomi Perikanan (2004-2008) sebagai anggota, dan aktif dalam Ikatan Mahasiswa Tanah Rencong (IMTR) sebagai Anggota, serta aktif di Himpunan Mahasiswa Islam (HMI) cabang Bogor. Selama kuliah juga ikut terlibat dalam kegiatan akbar (FDC) sebagai tim monitoring ekosistem terumbu karang Ekspedisi Zooxanthellae VIII & IX di Kabupaten Sumenep, Madura (2006) dan Kepulauan Wakatobi, Sulawesi Tenggara (2007), serta kegiatan monitoring Reef Health Joint Program Marine (TNC-WWF) di Kepulauan Derawan (2007), serta pernah menjadi internship student (2008) di Joint Program Marine (TNC-WWF) dan juga aktif mengabdi sebagai mentor di (FDC)-IPB (2005-2008). Penulis melakukan penelitian dengan judul“Partisipasi Masyarakat dalam Program Konservasi Penyu (Kasus di Kawasan Konservasi Laut, Kabupaten Berau, Kepulauan Derawan, Provinsi Kalimantan Timur)”. Dalam menyelesaikan skripsi ini penulis dibimbing oleh Dr. Ir. Arif Satria, M.Si.
DAFTAR ISI Halaman DAFTAR TABEL.......................................................................................
xii
DAFTAR GAMBAR.................................................................................
xiii
DAFTAR LAMPIRAN .............................................................................
xv
I. PENDAHULUAN.................................................................................
1
1.1 Latar Belakang ................................................................................ 1.2 Perumusan Masalah ........................................................................ 1.3 Tujuan Penelitian ............................................................................ 1.4 Manfaat Penelitian ..........................................................................
1 6 7 8
II. TINJAUAN PUSTAKA.......................................................................
9
2.1 Sumberdaya Alam .......................................................................... 2.2 Sumberdaya Penyu ......................................................................... 2.2.1 Klasifikasi dan Karakteristik Penyu ......................................... 2.2.2 Habitat Penyu ........................................................................... 2.2.3 Daur Hidup Penyu .................................................................... 2.2.4 Konservasi Sumberdaya Penyu ................................................ 2.3 Konservasi ...................................................................................... 2.3.1 Sejarah Perkembangan Konservasi di Indonesia...................... 2.3.2 Pengertian Konservasi .............................................................. 2.3.3 Kriteria Kawasan Konservasi ................................................... 2.3.4 Jenis Kawasan Konservasi ....................................................... 2.4 Partisipasi Masyarakat.................................................................... 2.4.1 Tangga Partisipasi Masyarakat................................................. 2.4.2 Proses Partisipasi ...................................................................... 2.5 Struktur Masyarakat ....................................................................... 2.6 Konsep Manajemen Kolaboratif.....................................................
9 10 10 10 11 12 13 13 15 17 18 21 22 24 25 28
III. KERANGKA PENDEKATAN STUDI ............................................
30
IV. METODOLOGI..................................................................................
34
4.1 Metode Penelitian........................................................................... 4.2 Jenis dan Sumber Data ................................................................... 4.3 Metode Pemilihan informan ........................................................... 4.4 Metode Pengumpulan Data ............................................................ 4.5 Metode Analisis Data ..................................................................... 4.6 Batasan Operasional ....................................................................... 4.6 Waktu dan Tempat Penelitian ........................................................
34 35 35 36 37 38 40
V. GAMBARAN UMUM LOKASI PENELITIAN ..............................
41
5.1 Lokasi dan Kondisi Alam ............................................................... 5.1.1 Kondisi Geografis ..................................................................... 5.1.2 Wilayah Administrasi ............................................................... 5.1.3 Kondisi Perairan dan Hutan Pantai ...........................................
41 41 41 46
5.2 Kondisi Sumberdaya Perikanan ...................................................... 5.2.1 Sumberdaya Perikanan Tangkap dan Darat .............................. 5.2.2 Sumberdaya Penyu.................................................................... 5.2.2.1 Populasi dan Tempat Peneluran ....................................... 5.2.2.2 Karakteristik Tempat Peneluran....................................... 5.3 Kondisi Sosial Ekonomi.................................................................. 5.3.1 Sejarah, Budaya dan Etnis Masyarakat..................................... 5.3.2 Kondisi Ekonomi ...................................................................... 5.3.2.1 Mata Pencaharian ............................................................. 5.3.2.2 Penggunaan Lahan ........................................................... 5.3.3 Kependudukan dan Sarana Umum............................................ 5.3.4 Pendidikan.................................................................................
48 48 50 50 52 54 54 55 55 58 61 65
VI. HASIL DAN PEMBAHASAN..........................................................
68
6.1 Struktur Sosial Masyarakat ............................................................ 6.1.1 Pola Pemukiman Masyarakat.................................................... 6.1.2 Struktur Penguasaan Sumberdaya Alam................................... 6.1.3 Hubungan Patroen-klien............................................................ 6.1.4 Struktur Kelembagaan Masyarakat ........................................... 6.1.4.1 Struktur Pemerintahan Desa............................................. 6.1.4.2 Organisasi Berbasis Masyarakat ...................................... 6.1.4.3 Organisasi Non-Pemerintah (ORNOP) ............................ 6.2 Partisipasi Masyarakat dalam Konservasi Penyu............................ 6.2.1 Sejarah Pemanfaatan Penyu ...................................................... 6.2.2 Sejarah Konservasi Penyu......................................................... 6.2.3 Pihak yang Berkepentingan Terhadap Sumberdaya Penyu ...... 6.2.3.1 Masyarakat ....................................................................... 6.2.3.2 Swasta .............................................................................. 6.2.3.3 Pemerintah........................................................................ 6.2.3.4 Lembaga Swadaya Masyarakat........................................ 6.2.4 Restrukturisasi Birokrasi ke Arah Desentralisasi di Era KKL . 6.2.5 Partisipasi Masyarakat dalam Rencana Pengelolaan Kawasan. 6.2.5.1 Rancangan Kesepakatan Pengelolaan di P.Maratua ........ A. Proses Kesepakatan ........................................................ B. Proses Penetapan Keputusan .......................................... C. Pelaksanaan Pengelolaan................................................ D. Mekanisme Pengawasan ................................................ E. Analisis Partisipasi Masyarakat Dalam Dakayu Akkal .. 6.2.5.2 Analisis Partisipasi Masyarakat di Pulau Derawan.......... 6.2.5.3 Sumber dan Hubungan Keterwakilan Masyarakat........... 6.3 Faktor yang Mempengaruhi Partisipasi Masyarakat....................... 6.3.1 Faktor Pendukung Partisipasi.................................................... 6.3.1.1 Faktor Ekonomi................................................................ 6.3.1.2 Faktor Dukungan dari Pemerintah dan LSM ................... A. Pelatihan Kerajinan dan Ekowisata............................... B. Pelatihan Peningkatan Kapasitas Masyarakat ............... 6.3.2 Faktor Penghambat Partisipasi.................................................. 6.3.2.1 Proses Penegakan Hukum yang Kurang Tegas................
68 68 71 76 84 88 90 91 92 92 96 100 100 101 102 103 105 108 108 109 111 114 115 117 121 124 125 125 125 127 127 129 132 132
6.3.2.2 Tekanan Dari Pahter......................................................... 6.3.2.3 Kemiskinan ...................................................................... 6.3.2.4 Konflik Kepentingan terhadap Sumberdaya Penyu .........
133 133 134
VII. KESIMPULAN DAN SARAN ........................................................
140
7.1 Kesimpulan ..................................................................................... 7.2 Saran................................................................................................
140 140
DAFTAR PUSTAKA ................................................................................
142
LAMPIRAN...............................................................................................
145
xii
DAFTAR TABEL
Halaman 1. Jenis Kawasan Konservasi(Mackinnon et.al) ......................................
18
2. Jenis Kawasan Konservasi (UU No.5 Tahun 1990).............................
19
3. Jenis Kawasan Konservasi (PP No. 60 Tahun 2007) ...........................
20
4. Partisipasi Masyarakat dalam Pengelolaan Sumberdaya Berbasis Masyarakat.............................................................................................
24
5. Tipologi Lembaga Sosial......................................................................
27
6. Jumlah Sebaran Pengambilan Informan...............................................
36
7. Nama dan Luas Pulau-Pulau Kecil dalam Kepulauan Derawan ..........
42
8. Nama Kampung di Kepulauan Derawan..............................................
43
9. Sumberdaya Hutan di Kepulauan Derawan .........................................
47
10. Komposisi Terumbu Karang di Kepulauan Derawan ..........................
48
11. Produksi Perikanan Menurut Sub Sektor Tahun 2006 .........................
49
12. Luasan Budidaya Perikanan di Kepulauan Derawan ...........................
50
13. Karakteristik Lokasi Peneluran Penyu .................................................
52
14. Komposisi Mata Pencaharian Penduduk Pulau Maratua .....................
55
15. Jumlah dan Jenis Armada Nelayan di KKL Berau...............................
57
16. Pemanfaatan Lahan di Kampung Kepulauan Derawan......................
58
17. Jumlah Penduduk Berdasarkan Usia Tahun 2005................................
62
18. Komposisi Penduduk Berdasarkan Jenis Kelamin...............................
62
19. Jumlah Sekolah yang Ada di Kepulauan Derawan ..............................
65
20. Hak Dalam Penguasaan Terhadap Sumberdaya...................................
75
21. Kewajiban dan Hak dalam Hubungan Punggawa-Nelayan .................
84
22. Sejarah Konservasi Penyu di Kepulauan Derawan ..............................
98
23. PAD yang Diperoleh Pemda Berau...................................................... 101 24. Stakeholder dan Kepentingannya Terhadap Sumberdaya Penyu......... 104 25. Pengamatan Diskusi Terfokus.............................................................. 119 26. Analisis Aktor Pendukung dalam Diskusi Terfokus ............................ 121 27. Kondisi pengelolaan sumberdaya di Pulau Maratua dan Pulau Derawan ..................................................................................... 124 28. Karakteristik dan Peranan Pihak-pihak dalam Konflik ........................ 138
xiii
DAFTAR GAMBAR Halaman 1. Daur Hidup Penyu ................................................................................
11
2. Arah Pergeseran Dalam Partisipasi ......................................................
21
3. Kerangka Pendekatan Studi..................................................................
33
4. Pantai-pantai di Kepulauan Derawan ...................................................
43
5. Peta Lokasi Penelitian di Kepulauan Derawan ....................................
44
6. Berbagai Ekosistem Hutan di Kepulauan Derawan .............................
47
7. Kekayaan Sumberdaya Laut yang Dimiliki Kepulauan Derawan........
48
8. Grafik Jumlah Populasi Penyu di Pulau Derawan................................
51
9. Grafik Jumlah Populasi Penyu di Pulau Sangalaki ..............................
51
10. Berbagai Aktifitas Masyarakat Dalam Mencari Nafkah ......................
57
11. Salah Satau Fasilitas yang Ada di Kepulauan Derawan.......................
65
12. Pemukiman Masyarakat di Kepulauan Derawan .................................
69
13. Berbagai Aktifitas Nelayan ..................................................................
70
14. Aktifitas Perikanan yang Digeluti Seorang Punggawa ........................
79
15. Ritual Mandi Safar Oleh Masyarakat Bohesilian.................................
88
16. Fasilitas yang Dimiliki Organisasi Masyarakat....................................
91
17. Fasilitas yang Dimiliki Lembaga Swadaya Masyarakat ......................
92
18. Koran yang Memuat Berita Penangkapan Kapal Ilegal Berisi Telur ...
95
19. Kondisi Kerusakan Ekosistem di Kepulauan Derawan........................
95
20. Berbagai Aktifitas Konservasi Penyu di Kepulauan Derawan.............
100
21. Berbagai Fasilitas yang Dimiliki Resort di Kepulauan Derawan.........
102
22. Alur Proses Dalam Rencana Pembentukan Badan Pengelola KKLD ..
106
23. Alur proses penentuan zonasi KKLD berbasis co-management ..........
107
24. Kegiatan yang Dilaksanakan Masyarakat Pulau Maratua ....................
110
25. Proses Penandatanganan Piagam Kesepakatan 4 Kampung Maratua ..
112
26. Alur Proses Pembentukan Badan Pengelola sumberdaya Pulau Maratua.......................................................................................
113
27. Berbagai Bentuk Promosi Ekowisata Masyarakat Maratua .................
114
28. Struktur Organisasi Badan Kelola Kawasan ........................................
115
xiv
29. Mekanisme Pengawasan pada Kawasan Pulau Maratua ......................
116
30. Papan Informasi Kampanye Konservasi Penyu. ..................................
117
31. Aktifitas Masyarakat dan Tim Monitoring Dalam Kegiatan Feeding..
118
32. Alur Proses Partisipasi Masyarakat Pulau Derawan ............................
121
33. Berbagai Aktifitas Kelompok Ekowisata Masyarakat di P.Derawan...
123
34. Sumber dan Hubungan Kekuatan Masyarakat dalam Dakayu Akkal ..
125
35. Pelatihan Mata Pencaharian Alternatif Bagi Masyarakat.....................
129
36. Kegiatan Pendidikan Lingkungan Hidup Untuk Pelajar ......................
130
37. Kegiatan Peningkatan Kapasitas Masyarakat.......................................
132
38. Pola Hubungan Pihak-Pihak dalam Konflik Sumberdaya Penyu .......
135
xv
DAFTAR LAMPIRAN
Halaman 1. Piagam Kesepakatan Bersama Masyarakat Pulau Maratua ...................
146
2. Karakteristik Blok Pantai Peneluran Penyu di Pulau Sangalaki ............
147
I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Indonesia dikenal sebagai negara dengan keanekaragaman hayati yang tinggi. Sebagian besar perairan laut Indonesia (sekitar 51.000 km²) berada pada segitiga terumbu karang dengan keanekaragaman tertinggi di dunia. Adanya arus termoklin dari Samudra Pasifik dan kekayaan biota laut menjadikan perairan Indonesia penting bagi pengembaraan 25 jenis mamalia laut dan enam jenis penyu laut. Penyu merupakan salah satu dari keanekaragaman reptil Indonesia. Menurut Steffen (2000), Indonesia memiliki empat bio-regional tempat berkembang biak penyu. Bio-regional tersebut diantaranya di sekitar wilayah pulau Jawa-Bali, Sumatera Utara, Kalimantan Timur dan Irian Jaya. Berdasarkan hasil lokakarya nasional yang diselenggarakan oleh WWF Wallacea Programme pada tahun 1999 di Bali, maka kawasan tersebut telah ditetapkan sebagai pusat pengelolaan penyu terbesar di Indonesia. Total populasi penyu dunia tiap tahun terus menurun, termasuk di Indonesia. Hal ini karena jenis penyu seperti penyu hijau (Chelonia mydas) dan penyu sisik (Eretmochelys olivacea) terus dikonsumsi oleh masyarakat dalam berbagai bentuk seperti telur, daging dan tempurung penyu (Steffen 2000) . Penurunan populasi tidak hanya terjadi pada spesies penyu, tetapi keanekaragaman hayati lain pun terus mengalami penurunan. Data dari Bank Dunia (World Bank) menyatakan bahwa dua pertiga dari total populasi sumberdaya khususnya perikanan dunia, telah mengalami penurunan (Kusumastanto 2006). Penurunan tersebut pada umumnya disebabkan oleh kegiatan perikanan destruktif, yaitu penggunaan bahan peledak, racun sianida, penambangan karang, pembuangan jangkar perahu, dan sedimentasi. Pelaku kerusakan tersebut tidak hanya dilakukan oleh masyarakat pesisir, tetapi juga oleh nelayan-nelayan modern dan nelayan asing. Kecenderungan di atas karena kurang optimalnya pengelolaan konservasi laut, yang disebabkan oleh : (1) orentasi pengelolaan kawasan konservasi laut lebih terfokus pada manajemen terrestrial (2) pengelolaan bersifat sentralistik serta belum melibatkan pemerintah daerah dan
2
masyarakat setempat (3) tumpang tindih pemanfaatan ruang dan benturan kepentingan para pihak, dan (4) banyaknya pelanggaran yang terjadi di kawasan konervasi laut (Wiryawan et al 2005) Menurut Undang-Undang Dasar Tahun 1945 pasal 33 ayat 3 bahwa kekayaan sumberdaya alam dimiliki oleh negara, namun fakta yang ada pemerintah tidak dapat mengelola sendiri, tetapi memberikan kepada pihak swasta untuk mengelola sumberdaya tersebut, sedangkan dalam pemanfaatannya cenderung tidak memperhatikan aspek sosial budaya masyarakat setempat (Marius 2003). Hak-hak eksklusif komunal, lembaga-lembaga adat dan nilai-nilai pengetahuan lokal (nobles savages) yang berhubungan dengan pengelolaan sumberdaya alam mengalami penurunan nilai (de-sakralisasi). Adanya perbedaan sistem kelembagaan tersebut menyebabkan dilema bagi masyarakat adat. Lembaga manakah yang bisa memenuhi kebutuhan hidup, kebutuhan beragama dan kebutuhan bermasyarakat (Soekanto 1979). Beberapa pengaruh dari kebijakan tersebut, masyarakat adat kehilangan sumberdaya alam sebagai bahan pangan dan sandang untuk keperluan pelaksanaan upacara adat, contohnya penangkapan ikan paus oleh masyarakat Lamalera, Nusa Tenggara Timur yang dilakukan pada musim-musim tertentu untuk kepentingan upacara adat, dan daging penyu untuk upacara adat yang dilaksanakan di Bali. Selama Orde Baru, banyak kebijakan pengelolaan sumber daya yang bersifat sentralistik, tak terkecuali kawasan konservasi laut (Satria 2006). Dasar yuridis pengembangan kawasan konservasi laut adalah UndangUndang (UU) Nomor 5 Tahun 1990 tentang Konservasi Sumber Daya Alam Hayati. Melalui UU Nomor 5 Tahun 1990 ini pemerintah pusat berwenang menetapkan kawasan konservasi, yang meliputi taman nasional, taman hutan, serta taman wisata alam. Untuk mengimplementasikannya, dikeluarkanlah Peraturan Pemerintah Nomor 68 Tahun 1998 tentang Kawasan Suaka Margasatwa dan Konservasi. PP tersebut juga mengatur kriteria penetapan kawasan taman nasional, seperti kecukupan ukuran untuk proses ekologis, keunikan sumber daya alamnya, keaslian ekosistem, potensi wisata bahari, dan kemungkinan zonasi. Saat ini, paling tidak ada tujuh taman nasional laut yang dikembangkan pasca-UU Nomor 5 Tahun 1990, yakni Kepulauan Seribu, Karimunjawa, Takabonerate,
3
Bunaken, Wakatobi, Cendrawasih, dan Togian. Pengelolaan kawasan konservasi di atas merupakan otoritas pemerintah pusat, yakni Departemen Kehutanan (Dephut). Untuk mengimplementasikannya, Dephut mengembangkan Unit Pelaksana Teknis Balai Taman Nasional dan Balai Konservasi Sumber Daya Alam (Satria 2006). Sementara itu sebagai wujud konsistensi terhadap semangat otonomi daerah, Departemen Kelautan dan Perikanan pun mendorong berkembangnya kawasan konservasi laut daerah (KKLD). Sejak 2002, ada sekitar 17 kawasan konservasi laut daerah tersebar di seluruh Tanah Air, meski hanya beberapa yang sudah diformalkan. Dengan demikian, saat ini terdapat dualisme pengelolaan kawasan konservasi: bercorak sentralistik dan desentralistik. Yang sentralistik masih dikelola Dephut, sedangkan yang desentralistik dipromosikan Departemen Kelautan dan Perikanan. Meski Departemen Kelautan dan Perikanan mempromosikan desentralisasi, akan tetapi saat ini desentralisasi masih hanya dipahami pada tingkat pemerintah daerah dan belum sampai pada tingkat masyarakat. Padahal desentralisasi kepada masyarakat sangatlah penting. Desentralisasi ke masyarakat saat ini masih bersifat de facto, belum de jure. Hal ini terlihat dari pasal-pasal dalam UU Nomor 31 Tahun 2004, seperti Pasal 7 ayat 1, 7 ayat 5, dan 61 ayat 3, yang menegaskan bahwa menteri menetapkan kawasan konservasi laut, termasuk taman nasional laut, untuk kepentingan ilmu pengetahuan, budidaya, wisata, dan berkeberlanjutan populasi ikan serta ekosistemnya, dan nelayan wajib menaati aturan konservasi yang diputuskan menteri. Ini menggambarkan bahwa pengelolaan konservasi oleh pemerintah masih dominan dibanding masyarakat. Bahkan penegasan eksplisit adanya pengakuan terhadap hak pengelolaan laut oleh masyarakat juga tak ada (Satria 2006) Ketiadaan desentralisasi kepada masyarakat tersebut dikhawatirkan akan menyebabkan meningkatnya konflik dengan nelayan sebagaimana marak terjadi di kebanyakan taman nasional laut yang ada. Konflik terjadi karena nelayan merasa "terjajah", mengingat tiba-tiba harus terusir dari wilayah tangkapannya tanpa adanya konsultasi terlebih dulu. Akibatnya, marginalisasi nelayan seolah menjadi kenyataan yang harus diterima di mana taman nasional itu berada (Satria 2006). Dalam prakteknya program-program konservasi tersebut telah ditetapkan
4
terlebih dahulu oleh pemerintah, sehingga partisipasi masyarakat sebatas tingkat penerima (partisipasi tokenisme atau semu). Jaminan bahwa masyarakat mempunyai hak dan kewajiban untuk berperan serta dalam pengelolaan sumberdaya alam, sebetulnya sangat positif. Hal ini bertujuan untuk aspek pengawasan atas sumberdaya alam tersebut. Oleh karena itu, dengan diberlakukannya konsep pembangunan berkelanjutaun oleh komisi lingkungan Dunia (Brutland Commission) pada tahun 1991, maka setiap negara harus dapat memiliki konsep pembangunan berkelanjutan (sustainable development) dalam agenda pembangunannya. Hal ini karena inti dari pembangunan berkelanjutan lebih memprioritaskan pembangunan ke arah nilai demokrasi dan keadilan bagi seluruh masyarakat , dengan mengutamakan manusia sebagai titik utama tujuan pembangunan (people center development). Kerangka pembangunan berkelanjutan memandang bahwa masyarakat lokal dan lingkungan merupakan suatu hubungan kausalitas yang tidak dapat dipisahkan, sehingga dipaparkan dalam prinsip yang ke-22, yaitu : “….Penduduk asli dan anggota masyarakat lainnya memiliki peranan yang penting dalam pengelolaan lingkungan dan pembangunan karena mereka memiliki pengetahuan dan kebiasaan tradisional yang bermanfaat untuk maksud tersebut. Negara harus menghormati dan memelihara identitas, kebudayaan dan kepentingan kelompok masyarakat ini mendorong mereka agar berpartisipasi aktif dalam mewujudkan pembangunan yang berkelanjutan….” Prinsip pembangunan berkelanjutan pula menurut Sitorus (2002) sejalan dengan proporsi-proporsi Sajogyo. Proporsi tersebut bertujuan untuk mengarahkan masyarakat menuju kesejahteraan dan kemakmuran. Pertama, kemakmuran tercapai sebagai hasil dari keseimbangan sistem struktural pemerintah. Struktur pemerintahan mulai dari pusat sampai ke desa memberikan gambaran tentang bagaimana perilaku yang selama masa pemerintahan orde baru, birokrat bersikap tidak adil terhadap masyarakat. Hal ini terlihat dalam struktur masyarakat desa yang terlalu jauh perbedaan kelas sosial masyarakatnya, antara kelas bawah dengan kelas atas, dalam mendapatkan akses kemudahan fasilitas ekonomi. Perbedaan artikulasi dalam strategi sosial-ekonomi inilah sekaligus mencerminkan perbedaan peluang setiap lapisan untuk mencapai taraf kemakmuran. Kedua, kemakmuran sebagai hasil dari keadilan dalam
5
pengalokasian sumberdaya dan ekonomi. Ketiga, adanya gerakan kebersamaan yang dilandasi oleh gerakan moralitas dan solidaritas masyarakat. Keempat, dalam melakukan gerakan tersebut, masyarakat harus memiliki ruang sosial otonom yang tidak didominasi oleh kekuatan dan kekuasaan politik pemerintah (supra desa dan supra lokal) sehingga dapat meningkatkan daya tawar masyarakat dalam pembentukan keputusan kebijakan. Setelah runtuhnya rezim orde baru masyarakat lebih berpikir kritis dan menuntut keadilan dalam pengelolaan sumberdaya, sehingga semangat reformasi yang dijunjung pemerintah saat ini harusnya dapat mengubah sistem pemerintahan sentralistik dan daerah diberi kepercayaan dalam pengelolaan sumberdaya alam. Perubahan sistem pemerintahan dari sentralistik ke desentralisasi di Indonesia sendiri ditandai dengan digulirkannya sistem otonomi daerah. Otonomi daerah memberikan peluang kepada masyarakat komunal untuk lebih pro-aktif dan partisipatif dalam menyikapi segala keputusan pengelolaan sumberdaya alam yang ada di sekitarnya (Satria 2006). Inti dari otonomi daerah pula adalah sebuah proses pemberdayaan masyarakat dalam pengelolaan sumberdaya, dengan dasar norma-norma budaya lembaga setempat. Berkaitan dengan otonomi daerah, adat istiadat ini dapat dijadikan dasar pengelolaan sumberdaya alam. Hal ini tercantum dalam Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 pasal 1 ayat 12, yaitu: “….Desa atau yang disebut dengan nama lain, selanjutnya disebut desa, adalah kesatuan masyarakat hukum yang memiliki batas batas wilayah yang berwenang untuk mengatur dan mengurus kepentingan masyarakat setempat, berdasarkan asal-asul dan adat istiadat setempat yang diakui dan dihormati dalam sistem Pemerintahan Negara Kesatuan Republik Indonesia.….” Daerah otonom tingkat II yang telah mengadopsi satuan-satuan kecamatan dan desa, dijadikan sebagai organisasi pembantu pembangunan masyarakat. Hal ini bertujuan untuk mendorong gerakan solidaritas kesatuan sosial masyarakat untuk lebih partisipatif, sadar akan kondisi yang ada, sehingga dapat mencari solusi bersama-sama dengan kekuatan dukungan pemerintah desa. Proses pemberian hak guna memanfaatkan dan mengelola sumberdaya kepada masyarakat menjadi salah satu titik utama adanya partisipasi masyarakat (Chambers 1996). Hal ini karena hubungan masyarakat dengan alam terjalin
6
lama, disisi lain pula pemberian hak guna mengelola sebagai salah satu sistem yang dapat meningkatkan kesejahteraan masyarakat. Hal seperti ini terjadi pula di kepulauan Derawan, yang memiliki ciri khas tersendiri yaitu sumberdaya penyu dan sumberdaya alam lainnya seperti hutan pantai sebagai habitat tempat peneluran (nesting site). Oleh karena itu, untuk melindungi sumberdaya tersebut, pemerintah mendirikan kawasan konservasi, dimana dalam pengelolaannya bekerjasama dengan masyarakat setempat. Proses perancangan peraturan pengelolaan konservasi tersebut menggunakan langkahlangkah partisipasi (participatory process) sebagai salah satu langkah keterlibatan masyarakat dalam penyelesaian konflik yang telah terjadi. Berdasarkan pemaparan diatas, sangat perlu dilakukan penelitian mengenai partisipasi masyarakat dalam mengelola penyu dan habitatnya secara bersama-sama. Penelitian ini akan mengetahui tingkat partisipasi masyarakat dalam mengelola sumberdaya penyu dan habitatnya di kawasan konservasi.
1.2 Perumusan Masalah Kawasan Konservasi Laut Daerah merupakan wujud dari Undang-Undang No.32 tahun 2004 tentang pemerintah daerah, yang pada pasal 18 memuat penjelasan bahwa salah satu kewenangan daerah di wilayah laut adalah eksplorasi, eksploitasi, konservasi, dan pengelolaan kekayaan laut di wilayahnya. Sejarah pemanfaatan penyu di Kabupaten Berau telah berlangsung sejak lama, mulai dari jaman Kerajaan Sambaliung. Pemerintah daerah Berau mendapat pendapatan asli daerah (PAD) yang cukup besar dari pelelangan konsesi telur penyu dari lima pulau, yaitu Pulau Sambit, Blambangan, Balikukup, Mataha, dan Bilang-bilangan. Karena kekhawatiran kelestarian penyu, maka sejak tahun 2001 ditetapkan agar 20 persen telur penyu dari konsesi itu dikembalikan untuk ditetaskan dan tidak boleh dijual. Sedang untuk Pulau Derawan dan Sangalaki, sudah sejak tahun 2001 ditetapkan sebagai kawasan larang ambil telur penyu (fully protected) melalui instruksi Bupati Berau No.60/2346-Um/XII/2001. Karena sebenarnya dalam masa konsesi telur penyu hanya pengusaha telur yang paling diuntungkan, sedangkan masyarakat hanya menjadi “penonton”, kalaupun terlibat hanya sebagai pekerja pengawas pulau-pulau telur. Selain itu juga
7
dibentuk tim monitoring dan penelitian penyu di kawasan Kepulauan Derawan melalui SK Bupati No.35 tahun 2001,serta tim pengawasan dan pengamanan Pulau Sangalaki, Pulau Derawan dan sekitarnya melalui SK Bupati No.36 tahun 2002. Di Pulau Sangalaki dibangun stasiun monitoring penyu yang melibatkan pemerintah daerah bersama beberapa LSM. Sejak tahun 2005 melalui SK Bupati, penyu tidak dapat dimanfaatkan untuk kepentingan apapun, berlaku di semua kawasan konservasi laut Berau (B.Wiryawan et al 2005). Serta sejak tahun 2001 LSM Bestari dan TNC-WWF sudah melakukan pendampingan terhadap masyarakat dengan berbagai program konservasi dan pengelolaan berbasis masyarakat. Program tersebut diharapkan dapat meningkatkan partisipasi dan kapasitas masyarakat dalam pengelolaannya, dan masyarakat dapat berpartisipasi dalam lembaga kolaborasi yang sampai sekarang masih dalam proses pembentukan oleh Tim Pengarah lewat SK Bupati Berau No.225 Tahun 2004 (tentang pengukuhan Tim Pengarah), yang mana nantinya berbagai organisasi dan kelembagaan masyarakat (grass root) yang ada di Kepulauan Derawan seperti Dakayu Akkal, Green Turtle dan Formal terlibat. Secara logis, pelibatan masyarakat secara efektif dapat dilakukan bila tercipta suatu kondisi dimana masyarakat mendapat dampak langsung (secara ekonomi) dari upaya konservasi. Bentuk pelibatan masyarakat (peran dan kebutuhan) yang sedang dikembangkan adalah lewat kelompok ekowisata berbasis penyu laut. Oleh karena itu, untuk mengetahui keterlibatan masyarakat, akan dikaji : (1) bagaimana keikutsertaan/partisipasi masyarakat dalam pengelolaan konservasi tersebut (2) faktor-faktor apa saja yang menghambat dan mendukung partisipasi masyarakat dalam konservasi penyu.
1.3 Tujuan Penelitian ini bertujuan untuk : 1) Menganalisis partisipasi masyarakat dalam pengelolaan konservasi penyu. 2) Mengetahui faktor-faktor yang mendukung dan menghambat partisipasi masyarakat.
8
1.4 Manfaat Penelitian Kegunaan dari penelitian ini : 1) Bagi penulis, sebagai bentuk tanggung jawab mahasiswa dalam meningkatkan kepekaan, pengalaman, mempelajari dan menganalisis permasalahan yang tengah dihadapi oleh pemerintah serta masyarakat pesisir. 2) Menjadi sarana bagi penulis untuk mengaplikasikan dan mensinergikan ilmu-ilmu yang telah diperoleh di Departemen Sosial Ekonomi Perikanan dan Kelautan. 3) Menambah wawasan penulis dalam bidang perikanan terutama yang berkaitan dengan sosial ekonomi masyarakat dan pengelolaan sumberdaya perikanan. 4) Menjadi bahan masukan bagi semua stakeholder yang terlibat dalam pengelolaan sumberdaya konservasi penyu diantaranya pemerintah daerah ( Dinas Perikanan dan Kelautan, Dinas Kehutanan, Bapelda, Dinas Pariwisata, organisasi-organisasi masyarakat, dan lembaga swadaya masyarakat).
II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Sumberdaya Alam Sumberdaya dalam pengertian umum adalah segala sesuatu yang dipandang memiliki nilai ekonomi. Rees (1990) diacu dalam Fauzi (2006) menyebutkan bahwa sesuatu dikatakan sumberdaya memiliki kriteria, yaitu : (1) sebagai sumber persediaan, penunjang atau bantuan dan (2) sebagai sarana yang dihasilkan oleh kemampuan individu. Menurut Fauzi (2006) sumberdaya alam termasuk sebagai bahan persediaan dan penunjang kebutuhan hidup. Secara umum menurut (Fauzi 2006) sumber daya alam dapat diklasifikasikan ke dalam dua kelompok : (1) sumberdaya alam yang tidak dapat diperbaharui (nonrenewable) mencakup sumberdaya mineral dan energi minyak bumi (2) sumberdaya alam yang dapat dapat diperbaharui (renewable) bersifat ” flows”, dapat dijaga dan dipelihara meliputi sumberdaya alam, kualitas tanah, hutan, cagar alam, dan kawasan suaka margasatwa. Oleh karena itu dalam penggunaan sumberdaya alam harus secara hati-hati sehingga tidak terjadi kelangkaan (scarcity). Menurut Bromley (1989) diacu dalam Fauzi (2006), sumberdaya alam dapat dikategorikan berdasarkan kepemilikannya menjadi beberapa tipe hak kepemilikan, diantaranya terdiri atas : (1) kepemilikan oleh pemerintah (state property) yaitu pemerintah memiliki sumberdaya alam, dan berhak untuk mengelola, mengatur akses pengguna (user) dengan bertujuan untuk menghindari kelangkaan. (2) kepemilikan oleh individu (privat property) yaitu sumberdaya dimiliki oleh individu atau lembaga perusahaan dengan tujuan untuk memanfaatkan sumberdaya sesuai kepentingan sendiri. (3) kepemilikan sumberdaya secara bersama (common property) dimana hak kepemilikan sumberdaya tersebut bersama-sama oleh suatu masyarakat komunal. (4) sumberdaya yang tidak jelas hak kepemilikannya (non-property) dimana sumberdaya tersebut lebih bersifat akses terbuka (open access) sehingga tidak ada mekanisme pembagian hak pemanfaatan, pengaturan dan pengelolaan, akibat kelangkaan sumberdaya pun terjadi.
10
2.2 Sumberdaya Penyu 2.2.1 Klasifikasi dan Karakteristik Penyu Suku penyu dapat mudah dibedakan dari jenis kura-kura lain dengan adanya keping infra marginal yang menghubungkan perisai perut dengan punggung. Letak lubang hidung yang agak dekat dengan permukaan atas tengkorak untuk memudahkan hewan tersebut mengambil udara dari permukaan air laut, dan kakinya yang berbentuk dayung merupakan salah satu ciri yang paling utama. Kaki depan umumnya hanya memiliki satu cakar. Klasifikasi penyu hijau menurut Nuitja (1992) sebagai berikut : Kingdom : Animalia Filum : Chordata Kelas : Reptilia Ordo : Testudinata Familia : Chelonida Genus : Chelonia Species : Chelonia mydas
2.2.2 Habitat Penyu Penyu hidup di dua habitat yang berbeda yaitu di laut sebagai habitat utama bagi keseluruhan hidupnya dan habitat darat yang digunakan penyu hanya pada waktu bertelur dan penetasan telur. Habitat darat sebagai tempat peneluran (nesting ground), memiliki beberapa karakteristik. Tempat yang cocok untuk penyu bertelur memiliki butiran pasir tertentu yang mudah digali dan aman untuk melakukan penetasan. Warna pasir yang biasa dijadikan tempat peneluran adalah warna keputih-putihan dan agak gelap (Nuitja 1992). Pantai berpasir tebal dengan latar belakang hutan lebat dari jenis pohon pandan (Pandanus tectorius), memberikan naluri penyu untuk bertelur. Menurut Nuitja (1992) penyu hijau menyukai pembuatan sarang di bawah naungan pohon pandan laut, karena perakaran pandan meningkatkan kelembapan, memberikan kestabilan pada pasir dan memberiakan rasa aman saat penggalian lubang sarang penyu. Habitat laut merupakan tempat pendewasaan penyu. Perairan laut tempat hidup penyu adalah lautan dalam terutama samudra kawasan tropis, dan tempat
11
kediamannya daerah yang relatif dangkal, dimana daerah padang lamun masih ada. Daerah yang lebih disukai lagi merupakan daerah yang berbatu sebagai tempat menempel berbagai jenis makanan penyu dan sebagai tempat berlindung. 2.2.3 Daur Hidup Penyu Daur hidup penyu menurut Balaz dan Ross (1974) diacu dalam Nuitja (1992), sebelum keluar dari sarang, tukik yang telah menetas menunggu tiga sampai tujuh hari sebelum pemunculannya ke permukaan. Kemudian sedikit demi sedikit mulai merangkak menuju permukaan pasir. Suhu permukaan yang tinggi pada siang hari akan menghentikan tukik untuk keluar sarang. Pada malam hari biasanya tukik keluar dari sarang sambil menggerak-gerakan tangan dan kakinya yang kecil dan berjalan ke laut. Sejumlah tukik dipastikan dimakan oleh burung, kepiting, semut, dan pemangsa lainnya. Peluang untuk hidup tukik diperkirakan bahwa hanya satu dari 1000 ekor tukik yang mampu hidup sampai dewasa (Nuitja 1992). Penyu betina
Sarang-sarang Telur-telur Habitat darat
Tukik Tukik
Habitat laut
Penyu muda Penyu dewasa
Penyu betina
Penyu betina
Penyu jantan
Sumber : Nuitja (1992)
Gambar 1. Daur Hidup Penyu Penyu dalam daur hidupnya memiliki masa lost year. Masa tersebut yaitu tahun ketidakmunculan tukik menurut Nuitja (1992), tukik menahan hidupnya di
12
padang lamun (sea weeds), padang rumput (sea grass) dan terumbu karang (coral reefs) sebagai tempat sarang perlindungan dan tempat mencari makan. Pada tahun pertama kehidupannya, penyu cenderung bersifat karnivora. Makanan yang dibutuhkan terutama zooplankton seperti kepiting, udang, kerang-kerangan dan ubur-ubur serta invertebrata. Akhir dari tahun pertama, dan seterusnya dilanjutkan dengan sifat herbivor. Penyu memiliki siklus hidup yang panjang lebih dari 60 tahun. Masa untuk mencapai tingkat kedewasaan penyu diperkirakan pada umur 30 tahunan. Setelah dewasa, penyu hijau melakukan kopulasi dekat dengan pantai peneluran. Penyu betina menetaskan telurnya pada waktu malam dan dalam kondisi tenang (Nuitja 1992). Penyu hijau merupakan salah satu sumber protein hewani bagi masyarakat tradisional pesisir di negara New Guinea, Melanesia, Amerika, Israel, dan negaranegara Asia Tenggara. Kecuali itu daging penyu juga banyak digemari oleh masyarakat golongan atas di negara-negara eropa. Pemanfaatan penyu di Indonesia terdapat di pesisir Mentawai, Pulau Nias, Bengkulu, Ujung Pandang, Irian Jaya dan Bali.
2.2.4 Konservasi Sumberdaya Penyu Penyu merupakan binatang langka telah terancam kepunahannya, sehingga masuk dalam kategori endangered dalam red data book Convention on International Trade in Endangered Spesies Of Wild Flora And Fauna (CITES). Negara Indonesia pada tahun 1978 telah berperan serta menandatangani CITES yang memasukkan satwa jenis penyu dalam Apendiks I. Hal ini berarti semua jenis penyu dan produk dari penyu tidak boleh diperdagangkan. Hal ini dikukuhkan pula dalam Undang-Undang Nomor 43 Tahun 1978. Berbagai peraturan mengenai perlindungan penyu ditingkat nasional adalah sebagai berikut : 1) SK Menteri Pertanian tanggal 29 Mei Tahun 1978 Nomor 327/kpts/5/1978 tentang Penetapan Tambahan Jenis Binatang Liar Yang Dilindungi didalamnya Termasuk Penyu Belimbing.
13
2) SK Menteri Pertanian tanggal 4 Oktober Tahun 1980 Nomor 716/kpts/um/18/1980 tentang Penetapan Tambahan Jenis Binatang Liar Yang Dilindungi Antara Lain Penyu Lekang dan Penyu Tempayan . 3) SK Menteri Kehutanan Nomor 828/kpts-ii/1992 tentang Perlindungan Terhadap Penyu Sisik dan Penyu Pipih. 4) Peraturan Pemerintah Nomor 7 Tahun 1999 tentang Pengawetan Jenis Tumbuhan dan Satwa serta 5) Peraturan Pemerintah Nomor 8 Tahun 1999 tentang Pemanfaatan Jenis Tumbuhan dan Satwa yang didalamnya Terdapat Peraturan Mengenai Penyu Hijau. Konservasi sumberdaya alam hayati menurut Undang-Undang konservasi Nomor 5 Tahun 1990 adalah pengelolaan sumberdaya alam hayati yang pemanfaatannya dilakukan secara bijaksana untuk menjamin kesinambungan dengan tetap memelihara, meningkatkan kualitas keanekaragaman dan nilainya. Lebih lanjut dalam Undang-Undang tersebut terdapat peraturan antara lain : Pertama, pengelolaan penyu termasuk pelestariannnya. Kedua, penetapan kawasan suaka marga satwa di wilayah perairan. Ketiga pembagian izin pemanfaatan dan pembudidayaan, dan keempat, melaksanakan pengawasan dan pengendalian dalam rangka pelestarian. Konservasi sumberdaya alam hayati dan ekosistemnya berazaskan pada pelestarian dan pemanfaatan sumberdaya alam hayati yang seimbang. Konservasi flora dan fauna dapat dilakukan melalui peningkatan kegiatan konservasi dan manajemen satwa secara efektif melalui pendidikan. Kegiatan konservasi meliputi perbandingan sistem penyangga kehidupan, pengawetan dan pemanfaatan keanekaragaman jenis tumbuhan serta satwa beserta ekosistemnya.
2.3
Konservasi
2.3.1
Sejarah Perkembangan Konservasi Indonesia Damanik et al, (2006) menyebutkan sejarah konservasi alam di Indonesia
adalah sebagai berikut. Perkembangan lingkungan hidup dan konservasi dunia sangat mempengaruhi kebijakan pemerintah di Indonesia. Pembentukan kantor Menteri Negara Pengawasan Pembangunan Lingkungan Hidup pada tahun 1978,
14
merupakan implikasi politis dari konferensi Stockholm tahun 1972. Sejak saat itu, masalah-masalah yang terkait dengan lingkungan hidup mulai diperhatikan sebagai salah satu agenda nasional. Selain itu penetapan Undang-Undang No 5 1990 tentang konservasi Sumberdaya Alam Hayati dan Ekosistemnya merupakan ratifikasi pemerintah Indonesia terhadap Strategi Pelestarian Dunia (World Conservation Strategy) yang ditetapkan pada tahun 1980. Menurut (Damanik et al, 2006), gerakan preservasi yang lahir di Eropa (berkembang menjadi konservasi dengan prinsip pemanfaatan di Amerika) dibawa ke Indonesia oleh pemerintah Kolonial Belanda melalui penetapan cagar alam (Natuur Reservaat) di Depok pada tahun 1714. Kemudian, konsep taman nasional sebagaimana dilakukan pada Yellowstone National Park mengilhami penetapan taman nasional di seluruh dunia, termasuk Indonesia. Penetapan kawasan konservasi di Indoneisia diprakarsai oleh birokrat dan beberapa LSM/Ornop luar negeri, dan penunjukannya berdasakan hasil studi Mackinnon yang dituangkan dalam rencana Konservasi Nasional tahun 1980. Penentuanya dilakukan melalui pendekatan top-down tanpa negosiasi dengan komunitas lokal dan masyarakat sekitar. Damanik et. al (2006) juga menyebutkan, di Indoneisia, pemikiran konservasi, termasuk taman nasional, mulai berkembang sekitar tahun 1970-an. Lima taman Nasional pertama dengan luas 1. 430.984 ha ditetapkan oleh Menteri Pertanian pada tanggal 6 Maret 1980, yaitu Taman Nasional Gunung Leuser, Taman Nasional Gunung Gede –Pangrango, Taman Nasional Ujung Kulon, Taman Nasional Baluran, dan Taman Nasional Komodo. Kemudian pada tahun 1982, saat kongres taman nasional dan kawasan lindung Sedunia III yang berlangsung di Bali, pemerintah Indoneisia mendeklarasikan 11 taman nasional dengan luas 3.287.063 ha, yaitu Taman Nasional Kerinci Seblat, Taman Nasional Bukit Barisan Selatan, Taman Nasional Kepulauan Seribu, Taman Nasional Bromo-Tengger-Semeru, Taman Nasional Meru Betiri, Taman Nasional Tanjung Putting, Taman Nasional Kutai, Taman Nasional Bali Barat, Taman Nasional Lore Lindu, Taman Nasional Bogani Nani Warta Bone, dan Taman Nasional Manusela.
15
2.3.2
Pengertian Konservasi Istilah konservasi berasal dari bahasa Latin yaitu conservare yang berarti
mengawetkan. Istilah ini kemudian diadopsi ke dalam bahasa Inggris menjadi conservation yang diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia menjadi konservasi. Menurut Wiratno (2004) diacu dalam Damanik et al (2006), Dalam arti sempit, konservasi berarti pelestarian alam beserta isinya untuk kehidupan masa kini dan mendatang. Dalam arti yang lebih luas dan popular, konservasi diartikan sebagai penghematan terhadap sumber daya agar dapat digunakan selama mungkin dan seefisien mungkin. Damanik et al (2006), menyebutkan, konservasi merupakan hasil evolusi pemikiran preservasi yang lahir sebagai respon manusia terhadap upaya eksploitasi sumberdaya hayati secara besar-besaran. Punahnya berbagai spesies tersebut mendorong upaya perlindungan dalam bentuk pengawetan, yaitu salah satu bentuknya adalah ide cagar alam. Namun demikian dalam perkembangannya pemikiran preservasi dianggap terlalu statis dalam melihat sumberdaya alam, sehingga dikoreksi dengan munculnya istilah baru yaitu konservasi. Konservasi dianggap lebih dinamis yang berangkat dari asumsi bahwa sumberdaya alam hayati mesti dikelola agar bisa lestari. Kata kunci dari konservasi adalah pengelolaan, yang berarti bahwa sumber daya alam hayati mesti dikelola agar bisa lestari. Adapun berdasarkan kesepakatan lembaga internasional yaitu UNEP, IUCN dan WWF, pada tahun 1990 disusun strategi bagi upaya konservasi di seluruh dunia. Strategi tersebut adalah: 1) Memelihara proses-proses ekologi yang essensial dan sistem penyangga kehidupan. 2) Pelestarian keanekaragaman genetik. 3) Terjaminnya pemanfaatan spesies dan ekosistem secara lestari. Menurut Undang-undang tentang Ketentuan-ketentuan Pokok Pengelolaan Lingkungan Hidup No. 23 Tahun 1997, konservasi adalah pengelolaan sumber daya alam tak terbaharui untuk menjamin pemanfaatanya secara bijaksana dan sumber daya alam yang terbaharui untuk menjamin kesinambungan
16
ketersediaannya dengan tetap memelihara dan meningkatkan kualitas serta keanekaragamnya. Kegiatan konservasi meliputi tiga hal yaitu : 1) Melindungi keanekaragaman hayati (biological diversity). 2) Mempelajari fungsi dan manfaat keanekaragaman hayati, dan 3) Memanfaatkan keanekaragaman hayati untuk kesejahteraan umat manusia. Ketiga tujuan konservasi tersebut, didefinisikan sebagai jumlah, variasi dan variabilitas dari semua makhluk hidup yang ada dalam ekosistem daratan, lautan maupun ekosistem perairan lainnya dimana mereka merupakan bagian dari kehidupan tersebut. Menurut Courrier et.al (1992) diacu dalam Aligori (2004), ada sepuluh prinsip yang harus diperhatikan dalam melakukan konservasi terhadap keanekaragaman hayati, yaitu: 1) Setiap bentuk kehidupan adalah unik, oleh sebab itu keberadaannya harus dihargai. 2) Konservasi keanekargaman hayati merupakan suatu investasi yang memberikan keuntungan substantif kepada level lokal,nasional dan global. 3) Biaya dan manfaat dari konservasi keanekaragam hayati harus ditanggung bersama antara berbagai negara dan oleh para penduduk dari masingmasing negara. 4) Dalam upaya untuk menerima konsep pembangunan berkelanjutan, konservasi keanekargaman hayati membutuhkan perubahan yang mendasar pada bentuk dan pelaksanaan pembangunan ekonomi. 5) Menaikkan anggaran konservasi tidak berarti laju kehilangan keanekaragaman akan menurun. Untuk itu, dibutuhkan reformasi dalam kebijakan dan kelembagaan sehingga akan tercipta kondisi dimana kenaikan anggaran mempunyai dampak yang efektif terhadap laju kehilangan keanekaragaman hayati. 6) Prioritas dalam konservasi keanekaragaman hayati berbeda pada setiap tingkatan (lokal, nasional, dan global), dan semuanya sah. Setiap negara dan komunitas mempunyai kepentingan agar keanekaragaman hayati yang mereka miliki terkonservasi. Fokus yang dibuat, jangan hanya pada spesies ekosistem yang kaya.
17
7) Konservasi keanekaragaman hayati hanya dapat berlanjut jika mendapat perhatian serta kepedulian yang besar dari masyarakat , dan jika para pengambil keputusan mempunyai informasi yang akurat berdasarkan pilihan pada kebijakan yang ada. 8) Tindakan untuk mengkonservasi keanekaragaman hayati mesti direncanakan dan diimplementasikan pada skala yang dapat diterminir melalui kriteria ekologi dan sosial. Fokus dari kegiatan ini haruslah mengarah pada tempat dimana masyarakat tinggal dan bekerja seperti halnya kawasan konservasi. 9) Keanekaragaman budaya mempunyai hubungan yang erat dengan keanekaragaman hayati. Pengetahuan bersama masyarakat tentang keanekaragaman hayati yang ada serta kegunaannya merupakan suatu nilai tambah serta dapat memperkuat integritas budaya. 10) Meningkatkan partisipasi publik, menghargai hak asasi manusia, meningkatkan akses masyarakat dalam bidang pendidikan dan informasi serta keterbukaan institusi yang lebih luas, merupakan hal yang penting dalam melakukan konservasi keanekaragaman hayati.
2.3.3
Kriteria Kawasan Konservasi Pertambahan penduduk dunia yang cenderung meningkat dari tahun ke
tahun khususnya di negara-negara berkembang, telah menyebabkan hilangnya sejumlah habitat yang kemudian menyebabkan punahnya sejumlah spesies hewan dan tumbuhan. Dengan tujuan agar kepunahan tidak berlanjut, maka kebijakan konservasi merupakan langkah yang tepat. Untuk menetapkan kawasan konservasi yang baik, menurut Mackinnon et al (1993) diacu dalam Aligori (2004), ada beberapa hal yang harus diperhatikan yaitu : 1) Karakteristik atau keunikan ekosistem, misalnya hutan hujan daratan rendah, fauna pulau yang endemik, ekosistem pegunungan tropika. 2) Spesies khusus yang diminati, nilai, kelangkaan atau keterancaman, misalnya badak, burung dan penyu. 3) Tempat yang memiliki keanekaragaman spesies. 4) Bentang alam atau ciri geofisik yang bernilai estetik atau pengetahuan.
18
5) Fungsi perlindungan hidrologi yaitu tanah, air dan iklim lokal. 6) Fasilitas untuk rekreasi alam atau wisata, misalnya danau, pantai, pemandangan pegunungan, satwa liar yang menarik. 7) Tempat penggalian budaya. Selain ketujuh kriteria tersebut, menurut Mackinnon et al (1993), hal lain yang harus diperhatikan dalam menetapkan serta mengelola suatu kawasan konservasi adalah : 1) Kesesuaian antara tujuan perlindungan dengan pilihan pengelolaan dan pemanfaatan, serta 2) Kepraktisan pengelolaan.
2.3.4
Jenis-Jenis Kawasan Konservasi Jumlah kawasan konservasi yang ada di dunia, menurut MacKinnon et al
(1993), mencapai 2600 kawasan konservasi, tersebar pada 124 negara dengan luas mencapai empat juta hektar. Berdasarkan kriteria yang dibuat oleh IUCN, maka di dunia ini dikenal sepuluh jenis kawasan konservasi, dimana antara jenis kawasan konservasi yang satu dengan yang lain terkadang memiliki kesamaan fungsi dan kriteria. Adapun uraian singkat mengenai kesepuluh jenis kawasan konservasi tesebut, menurut MacKinnon et al (1993) diacu dalam Aligori (2004), adalah sebagai berikut : Tabel 1. Jenis kawasan konservasi (Mackinnon et.al, 1993) No 1)
Nama Cagar Alam/Cagar Ilmiah
2)
Taman Nasional
3)
Monumen Alam/Landmark Alam
4)
Suaka Marga satwa
Keterangan Untuk melindungi alam dan menjaga proses alami dalam kondisi yang tidak terganggu dengan maksud untuk memproleh contoh-contoh ekologis yang mewakili lingkungan alami, yang dapat dimanfaatkan bagi keperluan studi ilmiah, pemantauan lingkungan, pendidikan dan pemeliharaan sumberdaya plasma nutfah dalam suatu keadaan dinamis dan berevolusi. Untuk melindungi kawasan alami dan pemandangan indah yang terpenting, secara nasional atau internasional serta memiliki nilai bagi pemanfaatan ilmiah, pendidikan dn rekreasi. Kawasan alami ini relatif luas, materinya tidak diubah oleh kegiatan manusia serta pemanfaatan sumberdaya tambang tidak diperkenankan. Untuk melindungi ciri-ciri alam yang bernilai secara nasional karena menarik perhatian atau mempunyai karakteristik yang unik. Kawasan ini relatif kecil dan dipusatkan pada perlindungan ciri-ciri spesifik. Untuk menjamin kondisi alami yang perlu bagi spesies, kumpulan spesies, komunitas hayati atu ciri-ciri
19
5)
Bentangan Alam dan Bentang Laut Dilindungi
6)
Cagar Sumberdaya
7)
Cagar Budaya /Kawasan Biosis Alam
8)
Kawasan Pengelolaan Sumberdaya Ganda/Dikelola
9)
Cagar Biosfir
10)
Taman Warisan Dunia
lingkungan fisik yang penting secara nasional, mungkin diperlukan campur tangan manusia yang spesifik untuk menjaga kelestariannya. Pengembalian beberapa sumberdaya secar terkendali diperkenankan contoh dari kawasan konservasi jenis ini adalah Suaka Margasatwa Manas di India. Untuk menjaga bentang alam yang penting secara nasional, yang memiliki karakteristik interaksi yang serasi antara manusia dengan lingkungannya. Sementara itu juga tersedia kesempatan bagi masyarakat untuk menikmatinya melalui rekreasi dan wisata dalam lingkup gaya hidup dan kegiatan ekonomi normal di kawasan tersebut. Kawasan ini merupakan campuran bentang alami/budaya uang memiliki nilai keindahan tinggi dimana tataguna lahan tradisional terpelihara. Untuk melindungi sumberdaya alam kawasan cagar alam diperuntukkan untuk mencegah kegiatan pembangunan yang dapat mempengaruhi sumberdaya. Jumlah negara yang menggunakan kategori ini bagi kawasan konservasinya masih sangat sedikit. Untuk memungkinkan berlangsungnya cara hidup masyarakat yang serasi dengan lingkungannyacagar budaya/kawasan biosis alam cocok untuk kawasan konservasi, dimana penduduk asli diperlakukan secara tradisional. Untuk menyediakan produksi air, kayu, satwa, padang pengembalaan dan objek wisata secara berkelanjutan, dengan pelestarian alam terutama ditujukan untuk mendukung kegiatan ekonomi. Contoh dari kawasan konservasi jenis ini adalah Kawasan Konservasi Ngoorogoro di Tanzania, Taman Nasional Kutai di Indoneisia. Cagar biosfir diperuntukkan untuk melestarikan keanekaragaman dan keutuhan komunitas tumbuhan dan satwa dalam ekosistem alaminya bagi penggunaan masa sekarang dan masa depan, dan juga untuk menjaga keanekaragaman plasma nutfah dari spesies yang merupakan bahan baku bagi evolusinya. Kawasan ini ditunjuk secara internasional untuk kepentingan penelitian, pendidikan dan latihan. Taman Warisan Dunia diperuntukkan untuk melindungi bentang alam yang dianggap memiliki nilai universal yang menonjol dan merupakan daftar pilihan dari kawasan alami dan budaya yang unik di bumi, yang dicalonkan oleh negara yang merupakan anggota World Heritage Convention.
Sedangkan menurut Undang-Undang No.5 Tahun 1990 Tentang Konservasi Sumber Daya Alam dapat dikategorikan menjadi : Tabel 2. Jenis Kawasan Konservasi (Undang-undang No.5 Tahun 1990) No 1)
Nama Kawasan Suaka Alam
Keterangan kawasan dengan ciri khas tertentu, baik di darat maupun di perairan yang mempunyai fungsi pokok sebagai kawasan pengawetan keanekaragaman tumbuhan dan satwa serta ekosistemnya yang juga berfungsi sebagai wilayah sistem penyangga kehidupan.
20
2)
Cagar Alam
3)
Suaka Margasatwa
4)
Cagar Biosfer
5)
Kawasan Pelestarian Alam
6)
Taman Nasional
7)
Taman Hutan Raya
8)
Taman Wisata Alam
kawasan suaka alam karena keadaan alamnya mempunyai kekhasan tumbuhan, satwa, dan ekosistemnya atau ekosistem tertentu yang perlu dilindungi dan perkembangannya berlangsung secara alami. kawasan suaka alam yang mempunyai ciri khas berupa keanekaragaman dan atau keunikan jenis satwa yang untuk kelangsungan hidupnya dapat dilakukan pembinaan terhadap habitatnya. suatu kawasan yang terdiri dari ekosistem asli, ekosistem unik, dan atau ekosistem yang telah mengalami degradasi yang keseluruhan unsur alamnya dilindungi dan dilestarikan bagi kepentingan penelitian dan pendidikan. kawasan dengan ciri khas tertentu, baik di darat maupun di perairan yang mempunyai fungsi perlindungan sistem penyangga kehidupan, pengawetan keanekaragaman jenis tumbuhan dan satwa, serta pemanfaatan secara lestari sumber daya alam hayati dan ekosistemnya. kawasan pelesatarian alam yang mempunyai ekosistem asli, dikelola dengan sistem zonasi yang dimanfaatkan untuk tujuan penelitian, ilmu pengetahuan, pendidikan, menunjang budidaya, pariwisata, dan rekreasi. kawasan pelestarian alam untuk tujuan koleksi tumbuhan dan atau satwa yang alami atau buatan, jenis asli dan atau bukan asli, yang dimanfaatkan bagi kepentingan penelitian, ilmu pengetahuan, pendidikan, menunjang budidaya, budaya, pariwisata dan rekreasi. kawasan pelestarian alam yang terutama dimanfaatkan untuk pariwisata dan rekreasi alam.
Selain itu dalam undang-undang perikanan No.31 Tahun 2004 Pasal 13 ayat 1, juga dijelaskan mengenai kategori kawasan yang menjadi wilayah konservasi meliputi terumbu karang, padang lamun, rawa, bakau, sungai, danau dan embung yang dianggap penting untuk dilakukan konservasi. Dalam hal ini pemerintah dapat melakukan penetapan kawasan konservasi sesuai dengan peraturan pemerintah, yaitu taman nasional perairan, suaka alam perairan,taman wisata perairan, dan suaka perikanan, selanjutnya dijelaskan dalam tabel dibawah ini. Tabel 3. Jenis kawasan konservasi (PP No. 60 Tahun 2007) No
Nama
1)
Taman Nasional Perairan
2)
Suaka Alam Perairan
3)
Taman Wisata Perairan
Keterangan Kawasan konservasi perairan yang mempunyai ekosistem asli, yang dimanfaatkan untuk tujuan penelitian, ilmu pengetahuan, pendidikan, kegiatan yang menunjang perikanan yang berkelanjutan, wisata perairan, dan rekreasi. Kawasan konservasi perairan dengan ciri khas tertentu untuk tujuan perlindungan keanekaragaman jenis ikan dan ekosistem. Kawasan konservasi perairan dengan tujuan untuk dimanfaatkan bagi kepentingan wisata perairan dan rekreasi.
21
4)
Suaka Perikanan
Kawasan perairan tertentu, baik air tawar, payau, maupun laut dengan kondisi dan ciri tertentu sebagai tempat berlindung/berkembang biak jenis sumber daya ikan tertentu, yang berfungsi sebagai daerah perlindungan.
2.4 Partisipasi Masyarakat Bank Dunia (World Bank) mendefinisikan partisipasi masyarakat sebagai proses dimana para pemilik kepentingan berinisiatif dalam menentukan keputusan pembangunan dan keputusan pengelolaan sumberdaya yang berdampak pada kehidupan masyarakat lokal. Partisipasi menurut Sajogyo (1979) diacu dalam Aligori (2004) meliputi tiga hal, Pertama, masyarakat berpeluang ikut serta dalam menentukan kebijakan pembangunan di tingkat desa, kecamatan sampai ke tingkat parlemen kabupaten atau kota. Kedua, adanya peluang untuk ikut melaksanakan pembangunan pada tingkat supra lokal (desa dan kecamatan). Ketiga, peluang ikut mengawasi dan mengevaluasi hasil pembangunan. Pandangan ini mengartikan bahwa partisipasi merupakan tataran konsultasi dalam penetapan kebijakan dan dalam program pembangunan. Hal tersebut lebih lanjut menurut Bank Dunia merupakan partisipasi sosial masyarakat. Partisipasi dipandang dalam segi politik merupakan kegiatan legal oleh warga secara langsung atau tidak langsung ditujukan untuk mempengaruhi kebijakan pemerintah. Dari
Ke
Penerima Proyek Konsultasi Penilaian Mikro
Warga Kebijakan Pengambil Keputusan Pelaksanaan Makro
Sumber : The British Council (2001) diacu dalam Aligori (2004)
Gambar 2. Arah Pergeseran dalam Partisipasi Secara radikal partisipasi dipahami sebagai pendekatan yang muncul paska kegagalan pendekatan pembangunan top-down (Kusumastanto 2006). Menurut kesepakatan APEKSI ( Asosiasi Pemerintah Kabupaten Seluruh Indonesia). Partisipasi mendorong setiap warga untuk menggunakan haknya dalam menyampaikan pendapat dan proses pengambilan keputusan dari perumusan
22
sampai evaluasi secara langsung ataupun tidak langsung (Marius 2003) melalui Lembaga Musyawarah Desa (LMD) dan Lembaga Ketahanan Masyarakat Desa (LKMD) sebagai kelembagaan pemerintah yang terdekat dengan masyarakat (Ditjen Pemerintahan Dalam Negeri dan Otonomi Daerah 1999).
2.4.1 Tangga Partisipasi Masyarakat Arnstein (1969) diacu dalam Jabir dan Julmansyah (2003) membuat hierarki partisipasi sesuai dengan perilaku karakter negara untuk melibatkan masyarakat dalam proses pembentukan kebijakan pengelolaan, diantaranya yaitu : 1) Manipulasi adalah bentuk partisipasi yang dimaksudkan untuk mendidik atau membangun dukungan publik dengan memberi kesan bahwa pengambil keputusan sudah partisipatif. Keputusan tersebut dimanipulasi dengan beralaskan proses partisipasi telah berjalan. 2) Terapi sebagai bentuk partisipasi masyarakat yang diberlakukan atas ketidakjujuran dan kearoganan pemerintah. Masyarakat diberikan kesempatan untuk mengadvokasi kepada pihak yang terlibat dalam hal pemerintah, supaya seolah-olah pengajuannya akan ditindaklanjuti. 3) informasi merupakan salah satu bentuk partisipasi dimana masyarakat telah diberikan informasi mengenai hak, tanggungjawab, dan pilihan yang ada dengan saluran komunikasi satu arah tanpa diikuti dengan kesempatan untuk menegosiasikan pilihan. Pola informatif ini bersifat pemberian informasi yang tidak mendalam, tidak ramah terhadap pertanyaan atau memberikan jawaban yang tidak benar terhadap suatu pertanyaan. 4) Konsultasi, dalam tahap ini telah dilakukan konsultasi dan dengan pendapat masyarakat terhadap kebijakan yang diambil, sayangnya belum diikuti dengan adanya jaminan pendapat tersebut dimasukkan dan dipertimbangkan dalam kebijakan yang akan dibuat. 5) Semu (placation) yaitu masyarakat telah memiliki pengaruh terhadap kebijakan yang masih belum murni. Keberhasilan partisipasi pada tahap ini masih ditentukan oleh besar dan solidnya kekuatan masyarakat untuk menyampaikan kepentingannya.
23
6) Tingkat kemitraan (partnership). Kekuatan dalam tahap ini telah terbagi kewenangan secara relatif seimbang antara masyarakat dengan pemegang kekuasaan, dan lebih lanjut telah terjadi komitmen diantara kedua belah pihak untuk membicarakan perencanaan dan pengambil keputusan secara bersama. Dalam tahap ini inisiatif dan komitmen, baru timbul setelah adannya desakan publik yang kuat untuk menjalankan proses partisipatif. 7) Delegasi kewenangan (delegated power) dalam tahap ini masyarakat telah memiliki kewenangan lebih besar dibanding penyelenggaraan negara. 8) Kontrol warga negara (citizen control) pada tahap ini partisipasi telah mencapai tahap akhir dimana masyarakat memiliki kewenangan untuk memutuskan, melaksanakan, dan mengawasi pengelolaan sumberdaya alam atau sumberdaya lainnya. Pretty (1997) diacu dalam Suseno (2007) membagi tipe partisipasi berdasarkan karakteristik partisipasi masyarakat di tingkat lokal, diantaranya terdiri atas : (1) manipulatif, yaitu partisipasi dapat dimanipulasi (2) partisipasi pasif, dimana masyarakat hanya sekedar menginformasikan permasalahan kepada pemerintah, tetapi tidak dijadikan sebagai bahan pertimbangan keputusan kebijakan (3) partisipasi dengan konsultasi dimana masyarakat hanya pada posisi penerima informasi dari pemerintah (4) partisipasi dengan insentif (5) partisipasi fungsional, yaitu partisipasi masyarakat atas inisiatif agen eksternal (6) partisipasi interaktif, dimana masyarakat bekerjasama dengan pihak lain untuk merencanakan program, karena adanya kekuatan lembaga lokal dalam menghimpun masyarakat untuk mengelola sumberdaya (7) mobilitas sendiri, yaitu masyarakat berpartisipasi atas inisiatif dan pengawasan bersama, sedangkan pihak eksternal hanya sebatas konsultan. Bass,et al (1995) diacu dalam Aligori (2004) membagi partisipasi masyarakat berdasarkan keikutsertaan dalam proses penetapan kebijakan diantaranya : Pertama, masyarakat diposisikan hanya sebatas pendengar dari pemerintah. Kedua, masyarakat diposisikan sebagai pendengar dan pemberi informasi. Ketiga, masyarakat diposisikan sebagai stakeholder yang memiliki kekuatan dalam sebuah kelembagaan yang bekerjasama dalam merancang peraturan kebijakan. Keempat, masyarakat dapat menganalisis perencanaan
24
kebijakan yang bekerjasama dengan berbagai stakeholder. Kelima, masyarakat secara bersama-sama memutuskan keputusan kebijakan dan program-program aksi bersama. Keenam, partisipasi masyarakat dalam pelaksanaan dan evaluasi program pembangunan dan pengelolaan sumberdaya alam. 2.4.2 Proses Partisipasi Konsep dalam pelibatan partisipasi masyarakat pesisir menurut Bass, et al (1995) diacu dalam Aligori (2004), memiliki tiga kriteria utama, yaitu : Pertama, adanya work group atau organisasi berbasis komunitas (community base organizing) yang dihasilkan dari hubungan kerjasama antar kelompok-kelompok yang ada di masyarakat. Kedua, adanya alternative livehood sebagai alternatif mata pencarian pemenuhan kebutuhan keluarga, dan ketiga, harus adanya restrukturisasi birokrasi ke arah desentralisasi. Desentralisasi dipahami sebagai alih kekuasaan dan pengelolaan sumberdaya ke tingkat yang lebih rendah dari pemerintah pusat dimana program-program pembangunan dijalankan atas inisiatif masyarakat bawah melalui mekanisme yang lebih demokratis. Tabel 4. Partisipasi Masyarakat dalam Pengelolaan Sumberdaya Berbasis Masyarakat . Partisipasi Masyarakat Partisipasi dalam pengumpulan data dasar dan pelatihan pengumpulan data 2. Menghadiri pertemuan dalam identifikasi isu dan analisis isu 3. Memberi masukan terhadap permasalahan dan isu serta berperan serta dalam penentuan prioritas isu 4. Berpartisipasi dalam penyusunan dan diseminasi profil sumberdaya desa 2. Persiapan 1. Partisipasi dalam kegiatan-kegiatan pendidikan lingkungan perencanaan hidup 2. Partisipasi dalam pelatihan pengelolaan sumberdaya 3. Partisipasi dalam pembuatan rencana pengelolaan 4. Partisipasi dalam pengambilan keputusan dan pemberian masukan saran pendapat 3. Persetujuan 1. Partisipasi dalam pengorganisasi dalam semua rapat rencana dan musyawarah desa untuk menentukan dan menyetujui rencana pendanaan pengelolaan 4. Pelaksanaan dan 1. Partisipasi dalam rapat pembuatan rencana dalam jangka penyusunan tertentu 2. Partisipasi dalam pembentukan lembaga koordinasi (badan pengelola) 3. Partisipasi dalam mengawasi dan mengevaluasi pelaksanaan rencana kerja Sumber : The British Council (2001) diacu dalam Aligori (2004) 1.
Tahapan Identifikasi isu
1.
Langkah-langkah partisipasi masyarakat untuk mengelola sumberdaya dapat dibagi menjadi beberapa langkah yang dipaparkan pada Tabel 4,
25
diantaranya terdiri atas : pertama, identifikasi isu. Kedua, persiapan perencanaan. Ketiga, persetujuan rencana dan pendanaan. Keempat, pelaksanaan dan penyusunan program aksi.
2.5 Struktur Masyarakat Struktur sosial menurut Soekanto (1993) merupakan jaringan dari berbagai unsur sosial yang pokok dalam masyarakat. Menurut Koentjaraningrat (1981) struktur sosial adalah kaitan antar berbagai unsur masyarakat, yaitu pranata, kedudukan sosial dan peranan sosial. Unsur-unsur struktur sosial pokok mencakup kelompok sosial, adat kebudayaan, lembaga sosial, stratifikasi sosial, kekuasaan dan wewenang. Unsur-unsur tersebut dapat dijelaskan dalam berbagai dimensi struktur sosial yang saling berhubungan. Status dan peran merupakan salah satu hubungan yang tidak dapat dipisahkan dimana status adalah suatu kumpulan hak dan kewajiban, sedangkan peran adalah aspek dinamis dari status (Soekanto 1993). Dimensi lembaga-lembaga (pranata) sosial merupakan pola-pola prilaku yang terorganisasikan di dalam sebuah lembaga formal atau informal. Cooley dan Davis diacu dalam Soekanto (1993) mengartikan lembaga merupakan kaidahkaidah norma yang kompleks, ditetapkan oleh masyarakat secara teratur untuk memenuhi kebutuhan sosialnya. Masyarakat melakukan proses konformitas dengan anggota lainnya sebagai cara untuk mengindahkan dari semua tata norma yang telah ditetapkan dalam kelembagaan tersebut. Konformitas yang dilakukan masyarakat terjadi akibat adanya perlakuan pengkoreksian, pengendalian sosial dan kontrol sosial atas norma-norma sosial yang ada agar terhindar dari penyelewengan dan pelanggaran. Dengan adanya konformitas, maka kehidupan masyarakat menurut teori fungsional tersebut cenderung terus stabil. Koentjaraningrat (1981) mengklasifikasikan pranata dalam berbagai bagian, yaitu : 1) Pranata yang berfungsi sebagai untuk memenuhi keperluan hidup, kekerabatan, kindship. 2) Pranata yang berfungsi untuk bermata pencaharian, memproduksi dan mendistribusikan barang.
26
3) Pranata yang berfungsi memenuhi keperluan penerangan dan pendidikan masyarakat. 4) Pranata yang berfungsi memenuhi keperluan ilmiah masyarakat untuk menyelami alam semesta. 5) Pranata yang berfungsi memenuhi keperluan masyarakat untuk menghidupkan rasa keindahan dan rekreasi. 6) Pranata yang berfungsi untuk memenuhi kebutuhan berhubungan dengan Tuhan. 7) Pranata yang berfungsi untuk mengatur dan mengelola keseimbangan kekuasaan dalam kehidupan masyarakat. 8) Pranata untuk memenuhi kebutuhan somatik, fisik dan kenyamanan hidup. Pada kelembagaan lingkungan ada beberapa unsur untuk mengatur dan mengelola terhadap pengalokasian sumberdaya. Unsur tersebut sangat penting dalam sistem pengelolaan, yaitu terdiri atas : kepemilikan hak (property right), aturan representasi dan batas-batas yurisdiksi (Adiwibowo 2000). Pertama, hak (Right). Hak menurut Bromley (1991) diacu dalam Aligori (2004) merupakan hak satu individu dengan individu lainnya untuk memanfaatkan sumberdaya bukan hubungan antar individu (users) terhadap lingkungan. Tietienberg diacu dalam Nikijuluw (2002) berpandangan secara konsep bahwa struktur hak kepemilikan bisa menghasilkan pengalokasian sumberdaya alam secara efisien. Lebih lanjut Tietienberg membagi hak dalam ekonomi pasar. Hak-hak kepemilikan terbagi empat bagian hak, yaitu diantaranya : (1) universalitas, merupakan hak kepemilikan sumberdaya secara pribadi, (2) eksklusivitas, bahwa semua keuntungan dan biaya yang dibutuhkan sebagai akibat dari kepemilikan dan pemanfaatan sumberdaya secara langsung maupun tidak dalam transaksi dengan pihak lain, (3) transferabilitas, yakni hak kepemilikan yang bisa dipindahkan dari satu pemilik ke pihak lainnya dengan transaksi yang bebas dan jelas, dan (4) penegakan (enforctabilitas), merupakan hak kepemilikan yang diketahui oleh pengguna lainnya sehingga dapat terhindar dari pengambilan oleh pihak lain. Kedua, batas yuridiksi. Batas Yurisdiksi merupakan batas kewenangan pranata dalam mengelola sumberdaya. Batas Yurisdiksi mengacu kepada empat kriteria yang harus dipenuhi, yaitu : (1) memiliki sense of community yang
27
mengacu kepada jarak sosial dan tingkat kohesivitas antar anggota masyarakat. (2) adanya eksternalitas, manfaat atau dampak pengelolaan sumberdaya oleh pranata masyarakat melampaui batas-batas dari masyarakat itu sendiri, (3) homogenitas yaitu kesamaan pola berpikir (norma) dan pola bertindak dalam pengelolaan sumberdaya, (4) skala ekonomi (economic of scale) berarti ongkos yang dikeluarkan untuk mengelola sumberdaya oleh suatu pranata yang tepat dalam arti dapat diterima dan berakar dalam masyarakat, sedangkan aturan representasi (rule of representation) merupakan pranata yang memiliki mekanisme pengaturan pembagian hak dalam pemanfaatan sumberdaya. Untuk menuju proses pengelolaan sumberdaya alam bersama, kelembagaan yang hadir terdiri dari hubungan kelembagaan formal dan informal seperti pada Tabel 2. Hubungan tersebut secara efektif dapat meningkatkan kerjasama dan koordinasi untuk mengontrol dan mendistribusikan sumberdaya secara merata. Tabel 5. Tipologi Lembaga Sosial Makro
Mikro
Lembaga Pemerintah - Pemerintah Pusat - Pemerintah Propinsi - Kabupaten/ Kota
Lembaga Sosial Masyarakat - Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) - Organisasi Kemasyarakatan (Agama atau Suku) - Himpunan Ekonomi Perdagangan - Himpunan Suku Kasta - Organisasi Komunitas Masyarakat - Rukun Warga - Jaringan Etnik - Pemimpin Tradisional (Kepala Suku) - Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) - Kelompok Tani - Kelompok Nelayan
- Pemerintah Lokal - Lembaga Penegak Hukum Lokal - Lembaga Hukum Tradisional - Polisi - Pegawai Penyuluh Masyarakat Sumber : Adopsi dari Kartasapoetra (1982)
Dimensi kelompok sosial masyarakat (Komunitas) sebagai himpunan atau kesatuan individu yang hidup bersama, saling berhubungan timbal balik dan saling mempengaruhi. Redfield diacu dalam Koentjaraningrat (1981) menyebutkan bahwa komunitas dalam masyarakat petani (peasant community) merupakan komunitas kecil yang terintegrasi dengan lingkungan alam dengan batas-batas kemampuan tertentu untuk memanfaatkan alam. Batas dalam kelompok sosial masyarakat pesisir ditentukan oleh tipikal aktifitas perilaku memanfaatkan sumberdaya alam dengan menggunakan berbagai kapal atau perahu dan teknologi alat tangkap.
28
Sistem kebudayaan, adat istiadat dalam masyarakat merupakan hasil dari hubungan intensif antar masyarakat yang ditandai suatu ritualitas nilai-nilai budaya yang selalu ada dalam kehidupan masyarakat (Giddens 2000), sehingga masyarakat menerjemahkan sebagai pedoman hidup tata kelakuan dan cara berpikir konformitas. Sistem nilai-nilai kearifan lokal yang terakumulasi sepanjang sejarah hidup masyarakat memiliki peran sangat besar. Nilai-nilai dalam sistem sosial yang menghubungkan masyarakat dengan alam sekitarnya berdasarkan aturan sederhana menurut Bromley (1991) dan Mitchell,et al (2000) diacu dalam Suseno (2007) bisa menjamin eksistensi sumberdaya alam dalam jangka panjang.
2.6 Konsep Manajemen Kolaboratif Manajemen kolaboratif (MK), gagasan sentral yang disodorkan dalam pembahasan ini merupakan terjemahan dari istilah collaborative management. Menurut Marshall (1995) diacu dalam Tajudin (2000), kolaborasi merupakan suatu bentuk resolusi konflik yang mengakomodasikan sikap kooperatif dan asertif yang tinggi. Dengan demikian kolaborasi itu merupakan resolusi konflik yang akan menghasilkan situasi “menang-menang” dan sama sekali tidak mempertimbangkan suatu keputusan atau kesepakatan yang bersifat zero-sum seperti yang ditunjukkan oleh Thurrow (1980) dalam Tajudin (2000). Tujuan manajemen kolaboratif : 1) Menyediakan instrumen untuk mengenali stakeholder yang terkait dengan pengelolaan sumberdaya perikanan secara proporsional. Dalam setiap stakeholder itu akan melekat atribut-atribut berupa hak, aspirasi, tujuan individual, kelembagaan, dan potensi konfliknya. Keberadaan SH itu dipahami dan diakui secara adil, tanpa prestensi untuk memenangkan kepentingan suatu SH tertentu atas SH lainnya. 2) Meningkatkan potensi kerjasama antar SH secara egaliter dengan memperhatikan prinsip “sebesar-besarnya untuk kemakmuran rakyat” dan prinsip kelestarian lingkungan. 3) Menciptakan mekanisme pemberdayaan masyarakat agar dapat mengaktualisasikan pengetahuan dan kearifan lokalnya secara baik dan
29
menyumbangkannya dalam wahana manajemen pengelolaan sumberdaya hutan. Sehingga diperoleh sistem pendistribusian manfaat dan resiko yang adil diantara SH yang terlibat dalam pengelolaan sumberdaya perikanan. 4) Menciptakan mekanisme pembelajaran yang dialogic untuk memperoleh rumusan tentang bentuk dan pola pendayagunakan sumberdaya perikanan yang produktif daan lestari dengan meloloskan sesedikit mungkin tindakan coba-coba (trial and error) yang mengandung ketidakmenentuan yang tinggi. 5) Memperbaiki tindakan-tindakan perlindungan sumberdaya perikanan melalui mekanisme internalisasi hal-hal eksternal yang mengancam kelestarian sumberdaya perikanan yang bersangkutan. 6) Menyediakan sistem manajemen yang membuka kesempatan selebarlebarnya bagi tindakan perbaikan dalam setiap tahapan manajerialnya. Era kolaborasi dalam pengelolaan sumberdaya di Kepulauan Derawan ditandai dengan upaya kerjasama yang memberi perhatian terhadap upaya konservasi sumberdaya laut. Pada tahun 2002 dibentuk Tim 16 yang terdiri dari berbagai instansi di lingkungan Pemda Berau, KSDA,WWF,Kehati,Bestari,Kalbu, TNC, TNI-AL, Sangalaki Dive Lodge,dan perwakilan dari 5 kampung. Tahun berikutnya Pemkab Berau mengeluarkan Keputusan Bupati No.179 Tahun 2003 Tentang Pembentukan Tim Pengawasan dan Pengamanan Konservasi Penyu. Pada tahun 2004 ditandatangani MOU tentang pengembangan Kawasan Konservasi Laut (KKL) Kabupaten Berau diantara 4 organisasi , Yaitu : TNC,WWF-Indonesia,Kehati dan Mitra Pesisir yang kemudian membentuk Sekretariat Bersama (Sekber) dimana Bestari dan Kalbu juga menjadi anggota. Pada era ini, Pemda Berau menandatangani MOU dengan sekber mengenai pengembangan perencanaan dan manajemen kolaborasi KKL Berau dan mengeluarkan kebijakan penting, yaitu : Pembentukan Tim Pengarah. Sedangkan susunan personil Tim Pengarah meliputi ketua Kepala Dinas Perikanan dan Kelautan, wakil ketua Kepala Bappeda, sekretaris Kepala Subdin Sumberdaya DPK Kabupaten Berau Anggota (Dinas Perikanan dan Kelautan, Bappeda , Dinas Pariwisata dan Kebudayaan, Bapelda, KSDA Kabupaten Berau, Dinas Kehutanan, LSM (Bestari, TNC, WWF, Yayasan Penyu Berau).
III. KERANGKA PENDEKATAN STUDI Pengelolaan sumberdaya alam bersama memiliki ciri khas yaitu memprioritaskan mekanisme partisipasi masyarakat. Partisipasi dalam pengelolaan sumberdaya ini bertujuan untuk mengakomodasi norma-norma sistem tradisional dan budaya masyarakat ke dalam sebuah kerangka peraturan pengelolaan sumberdaya. Hal ini didasari atas konsep bahwa etnik komunitas tertentu memiliki hak eksklusif untuk mengelola sumberdaya lokal (Chambers 1996), sehingga memiliki tanggungjawab atas pengawasan sumberdaya alam. Agenda sekarang , posisi pemerintah hanya sebagai Pembina, sementara masyarakat setempat diberikan kewenangan mengelola dan melakukan proses perencanaan, pengambilan keputusan serta mengevaluasi program pengelolaan. Selain itu lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) dan organisasi kemasyarakatan (Orkesmas) lainnya berperan dalam memfasilitasi dan menjembatani hubungan antara masyarakat dan pemerintah, sehingga komunikasi antar masyarakat dan pemerintah terus berlangsung. Masyarakat sebagai subyek sasaran pengelolaan sumberdaya. Pengikutsertaan partisipasi masyarakat dimulai dari perencanaan sampai pengawasan yang bekerja sama dengan berbagai stakeholder lain. Hal ini bertujuan agar memungkinkannya pengelolaan sumberdaya berjalan dengan ideal sesuai dengan karakteristik struktur masyarakat (Soekanto 1993). Objek dari penelitian ini adalah masyarakat yang berada di kepulauan Derawan. Hal ini bertujuan untuk mencari dan mengkonstruksi pola hubungan sosial dan struktur masyarakat. Oleh karena itu pemakaian teori-teori sosiologi berfungsi sebagai alat perbandingan analisis untuk dapat menghasilkan konfigurasi struktur masyarakat yang ada di Kepulauan tersebut. Pengamatan terhadap struktur dan dimensi sosial masyarakat, kebudayaan adat istiadat, nilai-nilai kearifan lokal serta pandangan masyarakat terhadap lingkungan, merupakan titik awal mengetahui proses mekanisme pengelolaan. Hal sosial lainnya, posisi stratifikasi sosial dapat menggambarkan status dan peran masing-masing lapisan masyarakat yang saling berinteraksi sehingga menghasilkan distribusi hak, kewajiban dan nilai-nilai sosial dan pengaruhanya
31
diantara anggota-anggota masyarakat yang berhubungan dengan pengelolaan atas sumberdaya alam. Kelompok-kelompok sosial masyarakat sebagai himpunan kesatuan masyarakat yang hidup bersama-sama, berhubungan saling mempengaruhi berdasarkan spesialisasi dalam pembagian pekerjaan. Kelompokkelompok ini mulai akan terbentuk perwakilan sebagai sarana untuk memberikan informasi kepada kelompok masyarakat lain, kepada lembaga sosial masyarakat dan pemerintah dalam fokus proses pengelolaan sumberdaya alam. Partisipasi akan berjalan jika dalam tahap awal program pengelolaan bersama terjadi konsolidasi antara berbagai stakeholder. Hal ini menyangkut proses-proses dalam partisipasi yang terdiri atas (1) tahap pra-implementasi diartikan sebagai identifikasi terhadap semua elemen kelembagaan dan isu-isu permasalahan sumberdaya alam (2) tahap implementasi yaitu masing-masing peran melaksanakan tugasnya (3) tahap paska implementasi (postimplementation) dan (4) phase-out yaitu evaluasi secara menyeluruh. Pada tahap pra-implementasi dilakukan pengangkatan sebuah isu yang berkembang dimana isu tersebut dihasilkan dari masyarakat, kelompok nelayan, kelompok swadaya masyarakat dan tokoh agama sebagai stakeholder yang lebih mengetahui kondisi lingkungan lokal. Posisi agen eksternal disini berfungsi sebagai fasilitator untuk meningkatkan partisipasi masyarakat. Agen eksternal memanfaatkan metode FGD (Focus Group Discusion), brainstorming, musyawarah-musyawarah formal dan informal atau konsultasi publik sebagai tempat pengumpulan pendapat masyarakat dan sebagai teknik untuk melakukan pendekatan lebih dekat kepada masyarakat. Metode ini pula merupakan tempat proses penukaran informasi yang masuk (in-information) dan keluar (Out-information) antar kelompok-kelompok masyarakat dan pemerintah dapat berlangsung. Adanya proses tersebut maka suatu konsensus antar berbagai pihak yang terlibat, dengan mudah bisa dilakukan. Hasil akhir dari tahap perencanaan adalah diadopsi secara formal dan diputuskan secara bersama sebuah peraturan pengelolaan konsevasi sebagai hasil dari negosiasi dari seluruh stakeholder. Oleh karena itu, kebutuhan akan sebuah mediator sangat penting keberadaannya. Hal ini bertujuan untuk ,mengkoordinasi aspirasi dari berbagai stakeholder termasuk pemerintah lokal.
32
Untuk menguatkan analisis dalam penelitian ini, maka dilihat juga tindakan pemerintah lokal dalam memposisikan masyarakatnya. Melalui mekanisme partisipasi dengan mengambil standar dari Arnstein(1969) dan Bass, et al (1995) diacu dalam Aligori (2004) . Dapat mengkomparasi dan mencari tangga (tingkat) atau posisi partisipasi masyarakat dalam proses pengelolaan konservasi penyu di kawasan konservasi. Oleh karena itu, pendekatan partisipatif dalam manajemen konservasi bertujuan untuk menghindari sebuah konflik-konflik sosial dan konflik memperebutkan sumberdaya. Kerangka pendekatan studi yang digunakan dalam penelitian ini dapat dijelaskan pada Gambar 3.
Dimensi struktur sosial 1. Kelompok masyarakat 2. Peran dan status dalam lapisan masyarakat 3. Organisasi masyarakat 4. Lembaga Swadaya Masyarkat
Program pengelolaan sumberdaya Penyu
Masyarakat
Proses partisipasi masyarakat 1. Ikut mengidentifikasi masalah 2. Menyusun dan meninjau usulan kegiatan program dan perancanaan 3. Memberikan masukan pemecahan 4. Menghadiri pertemuan 5. Memberikan persetujuan 6. Merancang peraturan/sanksi 7. Merancang pelaksanaan langkah tindak lanjut
Lembaga pemerintah
Mekanisme partisipasi
Faktor pendukung partisipasi 1. Penukaran informasi 2. Keterwakilan 3. Negosiator 4. Mediator
Mekanisme kerja kelembagaan kolaborasi
Implementasi
Evaluasi dan tindak lanjut
Keterangan : : Batasan Penelitian
Gambar 3. Kerangka Pendekatan Studi 33
IV. METODOLOGI 4.1 Metode Penelitian Penelitian yang diselenggarakan menggunakan metode studi kasus, dengan tingkat partisipasi masyarakat dalam konservasi penyu sebagai satuan kasusnya, menggunakan pendekatan kualitatif. Penggunaan studi kasus dimaksudkan agar hasil penelitian dapat menggambarkan secara detail tentang latar belakang, sifatsifat, dan karakter-karakter yang khas dari kasus yang diteliti. Salim (2000) mengatakan studi kasus adalah suatu pendekatan untuk mempelajari, menerangkan atau menginterpretasi suatu kasus (case) dalam konteks secara natural tanpa adanya intervensi dari pihak luar. Sementara itu, Sitorus (2000) menjelaskan bahwa studi kasus mempunyai makna lain, yaitu : (a) studi kasus adalah studi aras mikro (menyorot satu atau beberapa kasus). (b) studi kasus adalah strategi penelitian yang bersifat multi-metode. Analisis dengan pendekatan kualitatif dipilih karena penelitian ini akan menghasilkan data deskiptif berupa kata-kata atau lisan dari berbagai pihak. Adapun menurut Lincoln penelitian-penelitian dengan pendekatan kualitatif adalah ”Istilah kualitatif menunjukkan pada suatu penekanan pada proses dan makna yang tidak diuji atau diukur”. Lincoln dan Guba (1985) diacu dalam Mulyana (2001), menyebutkan bahwa dalam penelitian kualitatif, metode studi kasus mempunyai beberapa kelebihan dan keistimewaan, yaitu : · Studi kasus merupakan sarana utama bagi peneliti emik, yakni menyajikan pandangan subjek yang diteliti. · Studi kasus menyajikan uraian menyeluruh yang mirip dengan apa yang dialami pembaca dalam kehidupan sehari-hari. · Studi kasus merupakan sarana efektif untuk menunjukan hubungan peneliti dan informan. · Studi kasus memungkinkan pembaca untuk menemukan konsistensi internal yang tidak hanya merupakan konsistensi gaya dan konsistensi faktual tetapi juga kepercayaan (trust worthiness). · Studi kasus memberikan “uraian tebal” yang diperlukan bagi penilaian atas transferabilitas.
35
· Studi kasus terbuka bagi penilaian atas konteks yang turut berperan bagi pemaknaaan atas fenomena dalam konteks tersebut.
4.2 Jenis dan Sumber Data Jenis data yang digunakan dalam penelitian ini adalah data kualitatif dan kuantitatif. Data kualitatif adalah data deskriptif, berupa kata-kata lisan atau tulisan dari masyarakat atau tentang perilaku masyarakat yang diamati (Bungin 2003). Data tersebut dapat dibagi dalam tiga kategori, yaitu : (1) hasil pengamatan uraian deskripsi rinci mengenai situasi, peristiwa dan perilaku yang bisa diamati secara langsung di lapangan yang berhubungan dengan pengelolaan kawasan konservasi, pengumpulan telur penyu, pengawasan terhadap masyarakat nelayan dan masyarakat lainnya. Hasil pengamatan lain yang akan dilakukan yaitu terhadap tingkah laku kelembagaan seperti pengamatan dalam agenda pertemuan rutin tiap bulan , agenda diskusi kelompok (2) hasil pembicaraan kutipan langsung dari pernyataan orang-orang tentang pengalaman, sikap, berita acara, rekaman dan sejarah masyarakat. Data kuantitatif adalah data yang berupa nilai dan angka yang disajikan dalam bentuk ringkas yang didapatkan dari beberapa instansi kelembagaan yang berhubungan dengan pengelolaan kawasan konservasi seperti data harian penyu , dinamika populasi penduduk dari pemerintah desa dan Dinas Perikanan dan Kelautan Kabupaten Berau dan agenda program kerja dari pegawai lapangan. Sumber data yang diambil terdiri dari data primer dan data sekunder. Data primer merupakan data yang didapat dari sumber pertama baik dari individu yang dilakukan dengan wawancara. Data sekunder merupakan data yang telah diolah oleh lembaga yang terkait dan beberapa data hasil penelitian orang lain yang berhubungan dengan kajian dinamika masyarakat Kepulauan Derawan dan dinamika reproduksi penyu yang digunakan sebagai rujukan untuk diproses lebih lanjut sebagai bahan literatur.
4.3 Metode Pemilihan Informan Dalam penelitian dengan metode studi kasus, menurut Salim (2000) merupakan cara pengambilan informan yang memiliki ciri khas tersendiri bersifat
36
pragmatis, purposive atau penyelesaian berdasarkan kriteria (creation based selection). Penyelesaian berdasarkan kriteria adalah sebuah proses memilih unitunit data yang memiliki sejumlah keragaman. Goetz dan le Compte diacu dalam Salim (2000) mengetengahkan lima cara seleksi berdasarkan kriteria, yaitu : (1) seleksi sederhana menggunakan kriteria tunggal, (2) seleksi komprehensif dalam penetapan sampel berlandaskan pada tahapan kasus yang relevan, (3) seleksi berdasarkan kuota, (4) seleksi menggunakan jaringan dengan menetapkan sampelnya berdasarkan informan dari warga masyarakat sebagai objek penelitian, dan (5) seleksi berdasarkan perbandingan antar kasus. Pengambilan informan dilakukan dengan metode purposive dan metode bola salju (snowballing). Dua metode ini digunakan untuk lebih mudah mendapatkan informan yang terlibat langsung dalam pengelolaan wilayah konservasi serta informan-informan lainnya yang menunjang dalam penambahan data informasi. Jumlah informan yang diambil dari masing-masing kategori lembaga dapat diketahui pada Tabel 6 Tabel 6 : Jumlah Sebaran Pengambilan Informan. No 1 2 3 4 5 6
Lembaga Kepala Desa Anggota KSDA Anggota LSM Pegawai DKP Camat Pegawai Bapelda Jumlah
Kategori Informan Jumlah (orang) Masyarakat 4 Tokoh Agama 3 Tokoh Masyarakat 7 Anggota Dakayu Akkal 3 Anggota Formal 1 Kelompok ekowisata 1 19
Jumlah (orang) 1 8 4 5 1 19
4.4 Metode Pengumpulan Data Metode pengumpulan data yang digunakan dalam penelitian ini adalah triangulasi. Menurut Sitorus (1998) triangulasi dapat diartikan sebagai "kombinasi sumber data " yang memadukan sedikitnya tiga metode, seperti pengamatan, wawancara dan analisis dokumen. Kelebihan dari metode ini adalah saling menutupi kelemahan antara satu metode dengan metode lainnya, sehingga hasil yang diharapkan dari realitas sosial masyarakat menjadi lebih valid. Wawancara yang dilakukan dalam penelitian ini adalah wawancara mendalam. Wawancara mendalam dilakukan dengan cara mendatangi rumahrumah nelayan selepas melaut dan tokoh masyarakat. Gaya bahasa yang
37
digunakan dalam mewawancara disesuaikan dengan tingkat kemampuan dan pemahamannya tentang hal-hal atau permasalahan yang ditanyakan peneliti. Selain itu, instrumen lain yang digunakan untuk pengumpulan data kualitatif dalam penelitian ini adalah catatan harian atau catatan lapang. Menurut Sitorus (1998) catatan harian berisi data kualitatif hasil pengamatan dan wawancara di lapangan dalam bentuk uraian rinci maupun kutipan langsung, catatan harian dalam penelitian kualitatif memiliki arti dengan kuesioner dalam penelitian kuantitatif. Sementara itu, Allport (1942) diacu dalam Mulyana (2001) mendefinisikan catatan harian sebagai : Dokumen pribadi yang paling istimewa (par excelllence) karena penulisnya hanya mengemukakan peristiwa, pikiran dan perasaan yang penting baginya; ia tidak menghadapi kendala berapa keharusan melaksanakan tugas yang sering mengendalikan penulisan surat, wawancara atau atau autobiografi, sehingga reaksinya biasanya lebih subjektif daripada dalam bentuk tulisan-tulisan lainnya. Informasi yang dibutuhkan dalam penelitian ini diperoleh dari para informan-informan yang berasal dari berbagai elemen, yaitu masyarakat nelayan, tokoh masyarakat, pemerintah daerah, Lembaga Swadaya Masyarakat.
4.5 Metode Analisis Data Dalam penelitian ini, data yang dihasilkan berbentuk rangkaian dokumen, petikan hasil wawancara dan dokumen lainnya. Data yang didapatkan dapat dianalisis dalam alur bagian (Miles dan Hubermen 1992), yaitu : (1) melakukan pereduksian data. Reduksi data dapat diartikan sebagai proses pemilihan, pemusatan perhatian pada penyederhanaan, menajamkan, menggolongkan, pengabstrakan, dan tranformasi data kasar yang muncul dari catatan-catatan tertulis di lapang sedemikian rupa sehingga kesimpulan akhirnya dapat ditarik dan diverifikasi (2) Penyajian data. Penyajian merupakan sekumpulan informasi tersusun yang memberikan kemungkinan besar adanya penarikan kesimpulan. Bentuk teks naratif yang sering ada dalam analisis kualitatif dimanfaatkan untuk menemukan pola-pola yang sederhana dari dinamika sosial masyarakat. Penyajian data juga menggunakan berbagai jenis grafik, jaringan hubungan dari
38
proses partisipasi yang telah dilakukan masyarakat dan bagan yang semuanya dirancang guna menggabungkan informasi yang tersusun dalam suatu bentuk yang terintegrasi dengan tujuan untuk mendapatkan peristiwa yang sedang dan telah terjadi (3) Penarikan kesimpulan. Penarikan kesimpulan sebagai kegiatan dari konfigurasi yang utuh, hasil dari kegiatan pengulangan-pengulangan bolak-balik antara reduksi data, penyajian dan penarikan kesimpulan sesuai dengan tinjauan catatan lapangan. Seiring dilakukannya tiga tahapan di atas, dilakukan pula analisis komparasi studi literatur. Analisis komparasi studi literatur menurut Glaser dan Strauss (1967) dalam Bungin (2003) digunakan sebagai prosedur mencermati hasil reduksi data atau hasil pengolahan data guna memanfaatkan keterandalan (reabilitas) dan keabsahan (validitas) bangunan konsep, teori serta keseluruhan temuan penelitian.
4.6 Batasan Operasional 1) Partisipasi masyarakat adalah keterlibatan masyarakat dalam pengelolaan konservasi penyu melalui beberapa tahapan dari pembukaan wacana permasalahan yang muncul melalui pertemuan rutin, menyusun perencanaan program aksi, bernegosiasi dalam perencanaan pengambilan keputusun dan menetapkan kesepakatan secara bersama. Partisipasi dianggap tinggi ketika keterlibatan masyarakat : a) Pada tahap pembukaan wacana (permasalahan), masyarakat memberikan informasinya dalam sebuah pertemuan rutin organisasi masyarakat seperti Dakayu Akkal. b) Ikut serta dalam pemetaan partisipatif yang dilakukan secara bersamasama. c) Pengusulan program aksi yang telah didiskusikan di tahap kelompok oleh perwakilan-perwakilannya yang duduk di dalam Dakayu Akkal. d) Masyarakat mampu memberikan usulan dan pendapatnya dalam sebuah diskusi dengan pemerintah dalam suatu forum. e) Masyarakat terlibat langsung dalam pengelolaan kawasan konservasi laut Kabupaten Berau
39
2)
Pelibatan masyarakat adalah keikutsertaan masyarakat didalam permasalahan dalam Dakayu Akkal secara bersama-sama yang hubungannya bersifat setara (horizontal) dan ada sikap saling mempercayai antara masyarakat lainnya walaupun statusnya berbeda.
3)
Struktur masyarakat adalah pola hubungan interaksi sosial masyarakat pesisir yang ada kaitannya dengan lapisan masyarakat seperti pola penguasaan terhadap sumberdaya alam (tanah, hutan pantai, sumberdaya perikanan,walet) dan manusia sebagai faktor produksi.
4)
Organisasi ekonomi masyarakat adalah organisasi menangani proses untuk mendapatkan pendapatan masyarakat melalui pertukaran berbagai alat produksi seperti pertukaran pemanfaatan buruh majikan untuk menangkap ikan.
5)
Organisasi politik masyarakat adalah organisasi yang menangani masalah yang dihadapi oleh masyarakat untuk berhadapan dengan lembaga yang melakukan persengketaan.
6)
Solidaritas masyarakat yaitu keeratan dan kekerabatan yang ada dalam masyarakat disebabkan oleh dekatnya tempat tinggal, kesamaan dalam bermata pencaharian dan memiliki tujuan yang sama untuk mendapat jaminan secara kekeluargaan.
7)
Pengelolaan bersama adalah mekanisme pengelolaan dalam kawasan konservasi laut Kabupaten Berau yang melibatkan seluruh unsur pihak (instansi pemerintah,LSM, Dakayu Akkal, Formal dan swasta) yang terlibat dalam pengelolaan sumberdaya.
8)
Masyarakat pesisir merupakan masyarakat yang posisinya dekat dengan ekosistem perairan pantai dan dalam memenuhi kebutuhan hidup selalu memanfaatkan sumberdaya sekitar pantai (pesisir).
9)
Konservasi adalah suatu cara melindungi sumberdaya alam dan hayati dengan berupa menetapkan tiga alternatif yaitu dengan cara membuat kawasan terlindung (eksitu dan insitu), KKL, penangkaran.
10) Kawasan konservasi laut adalah kawasan yang dijadikan sebagai tempat perlindungan atas sumberdaya perikanan dengan membagi wilayah menjadi zona inti, zona penyangga, dan zona pemanfaatan.
40
4.7 Waktu dan Tempat Penelitian Penelitian ini dilaksanakan pada bulan Maret-Mei 2008 yang bertempat di Kepulauan Derawan, Kabupaten Berau Propinsi Kalimantan Timur. Kepulauan Derawan merupakan tempat habitat Penyu Hijau terbesar di Asia Tenggara dan sekarang ditetapkan sebagai kawasan konservasi yang dikelola secara bersamasama antara masyarakat dan pemerintah. Selain itu dalam program pengelolaan ini mendapat bantuan dari LSM. Selain itu terdapat suatu forum yang disebut Tim Pengarah, sebagai pusat koordinasi antar lembaga non-pemerintah dengan pemerintah Kabupaten Berau. Tujuannya adalah untuk keberhasilan konservasi. Oleh karena itu Kepulauan Derawan sangat baik untuk dijadikan sebagai tempat penelitian.
V. GAMBARAN UMUM LOKASI PENELITIAN 5.1 Lokasi dan kondisi Alam 5.1.1 Kondisi Geografis Kabupaten Berau merupakan salah satu Kabupaten yang berada pada bagian utara Propinsi Kalimantan Timur. Letak daerah ini berada tidak jauh dari Garis Khatulistiwa dengan posisi berada antara 116° sampai dengan 119° Bujur Timur dan 1° sampai dengan 2°33’ Lintang Utara. Keadaan topografi Kabupaten Berau bervariasi berdasarkan bentuk relief, kemiringan lereng dan ketinggian dari permukaan laut. Wilayah daratan tidak terlepas dari gugusan bukit dan perbukitan yang terdapat hampir di seluruh wilayah kecamatan, terutama Kecamatan Kelay yang membentang perbukitan batu kapur memanjang dari hampir mencapai 100 km. Selanjutnya di Kecamatan Talisayan terdapat perbukitan dan yang tertinggi dikenal dengan nama Bukit Padai. Sedangkan danau berjumlah 7 buah, keseluruhannya berada di wilayah Kabupaten Berau dengan luas keseluruhan danau mencapai 15 ha. Sebagai salah satu pintu gerbang pembangunan di wilayah Propinsi Kalimantan Timur bagian utara, Kabupaten Berau juga dikenal sebagai gudang kayu dan hasil hutan lainnya, industri pulp dan batubara ini mempunyai puluhan sungai yang tersebar pada hampir semua daerah kecamatan dan merupakan sarana angkutan utama disamping angkutan darat, dengan sungai terpanjang adalah Sungai Berau. Daerah pesisir Kabupaten Berau terletak di Kecamatan Talisayan, BidukBiduk dan Pulau Derawan serta Maratua yang secara geografis berbatasan langsung dengan lautan. Khusus Kecamatan Pulau Derawan dan Maratua terkenal sebagai daerah tujuan wisata, dimana pantainya memiliki panorama yang sangat indah, dan terdapat beberapa gugusan pulau penghasil telur penyu yang merupakan penyumbang Pendapatan Asli Daerah (PAD) di era konsesi yang cukup potensial. 5.1.2
Wilayah Administrasi Berdasarkan hasil pemekaran kecamatan tahun 2003, Kabupaten Berau
terdiri dari 11 kecamatan, 95 desa dan 7 kelurahan. Terdapat penambahan 2
42
kecamatan dari tahun 2002, kecamatan baru tersebut adalah Kecamatan Tubaan yang merupakan pemekaran dari Kecamatan Talisayan dan Kecamatan Maratua yang terbentuk dari pemecahan Kecamatan Pulau Derawan. Tabel 7. Nama dan Luas Pulau-Pulau Kecil dalam Kepulauan Derawan No
Nama Pulau
Luas (Ha)
1)
Bakungan
8,70
2)
Derawan
44,60
3)
Maratua
2.375,70
4)
Panjang
565,40
5)
Rabu-Rabu
26,70
6)
Sangalaki
15,90
7)
Samama
91,10
8)
Kakaban
774,20
9)
Sambit
18,00
10)
Blambangan
22,00
11)
Pabahanan
2,00
12)
Sangalan
3,50
13)
Andongabu
5,30
14)
Semut
6,90
15)
Bulingisan
4,50
16)
Sidau
31,20
Sumber : Pengukuran dengan Citra Landsat,2000 diacu dalam (Wiryawan et al, 2005)
Kepulauan Derawan merupakan wilayah Kecamatan Pulau Derawan dan Kecamatan Maratua. Kepulauan Derawan secara geografis terletak di semenanjung utara dari wilayah perairan laut Kabupaten Berau yang terdiri dari beberapa pulau. Dua diantaranya adalah kawasan konservasi yaitu : Pulau Sangalaki dengan status sebagai Suaka Margasatwa, dan Pulau Semama. Pulau Derawan dan Pulau Maratua merupakan dua pulau yang berpenghuni diantara pulau-pulau yang memiliki nama disekitar Kepulauan Derawan, karena kedua pulau ini memiliki sumber air tawar (lapisan aquiver) untuk kebutuhan masyarakat. Sebelum tahun 2002 kedua pulau berada dalam satu wilayah Administrasi Kecamatan Derawan, namun sejak adanya pemekaran wilayah tahun 2003, Pulau Maratua kemudian sendiri menjadi Kecamatan Maratua sedangkan Pulau Derawan masih merupakan bagian dari Kecamatan
43
Derawan bersama tiga desa yang lain yaitu Pegat Betumbuk, Teluk Semanting dan Tanjung Batu. Tabel 8. Nama kampung di Kepulauan Derawan. Nama Pulau Derawan
Letak 118,24 BT & 2,28 LU
Luas 48,704 ha
Maratua
118,60 BT & 2,25 LU
2565,915 ha
Jumlah Kampung 1 (kampung Pulau Derawan) 4 kampung (Payungpayung, Bohe Silian, Teluk Harapan & Teluk Alulu
Sumber : Bapeda
Sebagaimana karakter pulau-pulau disekitar Kalimantan, maka kedua pulau merupakan deretan bertingkat batu-batu karang yang muncul dari permukaan laut hingga batuan yang memiliki lapisan tanah yang cukup dan bisa menunjang kehidupan vegetasi bawah dan semak (Kathy Mackinon dkk 1994) diacu dalam Wiryawan et al (2005), sehingga pulau ini kemudian memiliki tutupan vegetasi dengan berbagai keanekaragaman hayati di laut dan daratan Pulau Derawan berbentuk gugusan karang memanjang dari Timur ke Barat dengan panjang 7 Km dan lebar 2 Km. Pulau Maratua berbentuk seperti tapal kuda, melintang dari utara ke selatan dimana bagian selatan adalah sisi yang terbuka, panjang keseluruhan pulau adalah 30,5 Km, memiliki teluk yang cukup tenang (diameter 6 Km), dengan berbagai jenis karang bernilai ekonomis dan kemungkinan cocok untuk budidaya (mariculture) yang membutuhkan perairan tenang. Selanjutnya akan dibahas deskripsi dari masing-masing kampung di Kepulauan Derawan.
(a)
(b)
(c)
(d)
(e)
Keterangan : (a) Pantai Teluk Harapan. (b) Pantai Payung-payung. (c) Pantai Bohesilian.
(d) Pantai Teluk Alulu. (e) Pantai Derawan.
Gambar 4. Pantai-pantai di Kepulauan Derawan.
44
Ada penduduk
Gambar 5. Peta Lokasi Penelitian di Kepulauan Derawan (WWF) Topografi Pulau Derawan cenderung datar dengan tumbuhan didarat adalah kebun kelapa, mengkudu dan alang-alang, sedangkan topografi Maratua bervariasi datar dan berbukit dengan vegetasi hutan yang cukup rapat. Posisi Kampung Pulau Derawan terletak pada posisi 118,24 BT & 2,28 LU dimana sebelah utara berbatasan dengan Pulau Panjang, sebelah timur berbatasan dengan Pulau Maratua, sebelah selatan dengan karang Masimbung, sedangkan sebelah barat berbatasan dengan Tanjung Batu. Pulau Derawan memiliki luas sekitar 48,704 ha. Posisi Kampung Payung-payung terletak di wilayah barat laut Pulau Maratua. Sebelah Utara berbatasan dengan Kampung Bohe Bukut, sebelah timur berbatasan dengan Kampung Bohe Silian dan sebelah barat merupakan Pantai. Pulau Kakaban yang berjarak 4,05 Nmill (mill laut) termasuk dalam wilayah Kampung Payung Payung. Posisi Geografis Wilayah Kampung Payung-payung terletak dalam cakupan 118.50 BT 2.12 LU ; 118.51 BT 2.16 LU; 118.56 BT 2.24LU; 118.65 BT 2.16 LU; 118.56 BT 2.12 LU. Luas Wilayah darat kampung Payung Payung di Pulau Maratua adalah 696,863 Ha, sedangkan untuk Pulau Kakaban adalah 1.170,071 Ha, jadi jumlah keseluruhan wilayah darat Kampung Payung Payung adalah 1.866,934 Ha. Kampung Bohe Bukut mulai terbentuk sejak tahun 1975, dan saat ini merupakan ibukota dari kecamatan Maratua. Wilayah Administrasi kampung Bohe Bukut : Sebelah utara berbatasan dengan kampung Teluk Alulu yakni di dekat Pulau Kamagi, Sebelah Selatan Berbatasan dengan Kampung Payung-
45
payung di Gosong Pal, Sebelah Timur adalah wilayah laut dangkal (kedalaman kurang dari 50 M) yang berbatasan dengan wilayah laut dangkal Kampung Teluk Alulu, sedangkan di sebelah barat adalah wilayah laut. Posisi Geografis Wilayah Kampung Teluk Alulu berada dalam cakupan : 118.59 BT 2.30 LU; 118.58 BT 2.29 LU; 118.57 BT 2.29 LU; 118.58 BT 2.28 LU; 118.57 BT 2.27 LU; 118.58 BT 2.26 LU, 118.58 BT 2.25 LU; 118.56 BT 2.24 LU; 118.56 BT 2.24 LU; 118.56 BT 2.24 LU; 118.56 BT 2.32 LU; 118.59 BT 2.31 LU. Luas keseluruhan wilayah darat kampung Bohe Bukut saat ini adalah 614,42 Ha. Bohesilian merupakan kampung tertua yang berada di Pulau Maratua, Pemukiman yang pertama-tama ada di Pulau Maratua adalah di kampung ini, yakni pada tahun 1912. Pada saat itu pemukiman di daerah ini masih dikenal sebagai kampung Bait-bait, selanjutnya selang beberapa lama, ada seorang warganya yang bernama Silian yang menggali tanah untuk membuat sumur, hingga kampung ini pada akhirnya dikenal dengan sebutan Bohesilian. Pada saat itu Pulau Maratua masih merupakan salah satu areal Perkebunan Kelapa Belanda. Di sebelah Utara Kampung Bohesilian berbatasan dengan kampung Bohe Bukut, sebelah barat berbatasan dengan Kampung Payung-payung, sedangkan di sebelah Timur dan sebelah selatan merupakan pantai. Batas antara Kampung Bohe Silian dan Payung-payung merupakan batas alam yang berupa perbukitan yang memanjang dari Barat laut sampai Tenggara. Luas wilayah darat yang mencakup danau dan rawa di Pulau Maratua adalah sebesar 447,14 Ha, ditambah dengan 5 buah Pulau Kecil yakni Pulau Bulingisan (4,16 Ha), Pulau Kokok (1,93 Ha), Pulau Sentubung (1,36 Ha), Pulau Bakungan Besar (5,82Ha), Pulau Bakungan Kecil (4,38 Ha). Posisi Geografis Wilayah Kampung Bohesilian berada dalam cakupan 118.57 BT 2.24 LU, 118.58 BT 2.25 LU, 118.67 BT 2.22 LU, 118.74 BT 2.11 LU, 118.72 BT 2.10 LU, 118.65 BT 2.17 LU, 118.60 BT 2.21 LU, 118.59 BT 2.21. Wilayah Administrasi Kampung Teluk Alulu, sebelah utara adalah Teluk Harapan yang berbatasan dengan kampung Bohe Bukut, sebelah selatan adalah wilayah Laut dangkal, sebelah barat adalah garis dari teluk harapan sampai ke Pulau Pabahanan, Pulau Andongabo dan Pulau Sangalan berbatasan dengan
46
wilayah laut dangkal Kampung Bohe Silian, sedangkan bagian timur adalah wilayah laut Selat Sulawesi berjarak 4 mill laut (Nmill) dari pantai. Posisi Geografis Wilayah Kampung Teluk Alulu berada dalam cakupan : 118,61 BT 2,35 LU; 118,58 BT 2,29 LU; 118,57 BT 2,29 LU; 118,58 BT 2,28 LU; 118,57 BT 2,28 LU; 118,58 BT 2,26 LU; 118,58 BT 2,25 LU; 118,68 BT 2,22 LU; 118,75 BT 2,20 LU; 118,63 BT 2,36 BT (Bestari, 2005)
5.1.3
Kondisi Perairan dan Hutan Pantai Kepulauan Derawan merupakan salah satu daerah di Indonesia yang
memiliki potensi sumberdaya pesisir dan laut yang besar. Di wilayah laut Kepulauan Derawan seluas 1,2 juta Hektar, terdapat terumbu karang yang cukup luas, kondisi baik dengan tingkat diversitas jenis yang tinggi. Keragaman terumbu karang Kepulauan Derawan tertinggi kedua (507 spesies karang keras) di Indonesia setelah Raja Ampat dan ke tiga di dunia, setelah Solomon. Hutan mangrove ditemukan di Pulau Panjang, Rabu-rabu, Samama, Maratua, seluas 49.488 Hektar, merupakan habitat pesisir yang paling baik di Pulau Kalimantan. Beberapa spesies yang dilindungi dapat ditemukan seperti penyu, paus, lumbalumba, duyung, pari manta, ubur-ubur endemik, pigmi seahorses, berbagai spesies decapoda dan beberapa spesies nudibranch. Perairan Kepulauan Derawan dikenal sebagai wilayah yang memiliki habitat penyu hijau terbesar di dunia. Selain itu, potensi perikanan dan pariwisatanya masih baik. Namun demikian, di kawasan pesisir dan laut Kepulauan Derawan juga terdapat berbagai permasalahan seperti pengrusakan terumbu karang, penurunan populasi penyu, praktek penangkapan ikan yang tidak ramah lingkungan, dan masih maraknya pencurian sumberdaya laut oleh nelayan asing dan luar daerah. Dengan potensi sumberdaya pesisir dan laut yang besar beserta permasalahannya, wilayah pesisir dan laut Kepulauan Derawan perlu dikelola dengan baik dan tepat. Mengelola sumberdaya alam, berarti menjaga kelestarian dan memanfaatkan sumberdaya sesuai dengan fungsinya sehingga dapat mendukung kesejahteraan masyarakat dan pembangunan berkelanjutan. Secara ekologis mangrove berfungsi sebagai tempat pemijahan ikan dan udang, pelindung pantai dari abrasi akibat arus dan gelombang dan penyuplai
47
nutrient bagi lingkungan, sehingga patut untuk dijadikan kawasan konservasi dan ekowisata. Mangrove yang ditemukan di wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil Kepulauan Derawan sebanyak 26 jenis. Selain itu hutan mangrove juga ditemukan dibeberapa pulau, seperti Pulau Panjang, Semama dan Maratua di bagian utara, dan di Pulau Buaya-buaya di bagian selatan. Tabel 9. Sumberdaya Hutan di Kepulauan Derawan. No Pulau Jenis 1) Pulau Panjang Hutan mangrove / pantai 2) Pulau Semama Hutan mangrove 3) Pulau Maratua Hutan mangrove / hutan kapur 4) Pulau Derawan Hutan pantai 5) Pulau Sangalaki Hutan pantai 6) Pulau Kakaban Hutan kapur 7) Pulau Sambit Hutan pantai 8) Pulau Blambangan Hutan pantai Sumber : Profil KKL Berau (Wiryawan, et.al 2005).
(a)
(b)
(c)
Luas (Ha) 417,38 / 148,04 77,15 369 / 2.065,72 18,33 10,62 695 11 7
(d)
Keterangan : (a) (b) (c) (d)
Hutan mangrove yang tumbuh subur di PulauMaratua. Kapal yang ditambatkan di sekitar hutan mangrove untuk mencegah badai. Hutan kapur di Pulau Kakaban. Vegetasi hutan pantai di Kepulauan Derawan.
Gambar 6. Berbagai Ekosistem Hutan di Kepulauan Derawan. Padang lamun (seagrass-meadows) atau hamparan lamun ditemukan tersebar di seluruh Kepulauan Derawan dengan kondisi yang berbeda, dengan rata-rata luas tutupan kurang dari 10 % sampai 80 %. Ikan yang terdapat di ekosistem lamun di Kepulauan Derawan terdapat 85 jenis dari 34 famili. Survei pada Juli 2003 yang dilakukan oleh Wawan Kiswara (P2O LIPI) dan tim TNC diacu dalam Wiryawan et al (2005), menemukan 8 spesies lamun yang ada di Kepulauan Derawan yaitu : Halodule univervis, H. pinifolia, Cyamodocea rotundata, Syringodium isoetifolium, Enhalus acoroides, Thalassia hemprichii, Halophila ovata dan Halophila ovalis. Terumbu karang di Kepulauan Derawan tersebar luas pada seluruh pulau dan gosong yang ada di bagian utara dan selatan. Tipe terumbu karang di Kepulauan Derawan terdiri dari karang tepi, karang penghalang dan atol.
48
Beberapa atol ada yang telah terbentuk menjadi pulau dan ada yang terbentuk menjadi danau air asin. Atol yang ada di Kepulauan Derawan hanya ada dibagian utara yaitu Pulau Kakaban, Pulau Maratua dan Gosong Muaras. Luas atol Kakaban adalah 19 km², Atol Maratua 690 km², Atol Muaras 288 km². Tabel 10. Komposisi Terumbu Karang di Kepulauan Derawan. No Pulau Karang Keras (%) 1 Pulau Panjang 24,25 2 Pulau Derawan 17,41 3 Pulau Semama 20,88 4 Pulau Sangalaki 26,75 5 Pulau Kakaban 27,12 6 Pulau Maratua 26,43 Sumber : Survei Manta Tow 2003
Karang Hidup(%) 34,88 27,78 41,62 42,50 33,96 37,09
Survei pada Oktober 2003 menemukan 832 spesies ikan yang terbagi dalam 272 genera dan 71 famili. Sebagai tambahan terdapat 40 spesies, 16 genera dan 6 famili dari survei 1994 di Sangalaki-Kakaban, sehingga total spesies 872 (Allen, 2003) diacu dalam Wiryawan et al (2005).
(a)
(b)
(c)
Keterangan : (a) Danau kakaban merupakan danau air asin dengan ekosistem unik. (b) Ubur-ubur endemik yang ada di Danau Kakaban. (c) Kondisi ekosistem terumbu karang di Kepulauan Derawan.
Gambar 7. Kekayaan Sumberdaya Laut Yang Dimiliki Kepulauan Derawan. Ubur-ubur yang ditemukan di danau laut Pulau Kakaban merupakan uburubur endemik. Danau yang terisolasi selama ribuan tahun ini hanya dihubungkan dengan saluran bawah air, seperti gua dan terowongan (channel). Limpasan air karena pengaruh pasang surut sangat kecil. Karena kondisi yang terisolasi tersebut, maka banyak terdapat flora dan fauna endemik hidup dalam danau. 5.2 Kondisi Sumberdaya Perikanan 5.2.1 Sumberdaya Perikanan Tangkap dan Darat Kegiatan perikanan tangkap merupakan kegiatan utama bagi penduduk yang menetap di dalam Kepulauan Derawan.
49
Tabel 11. Produksi Menurut Sub Sektor Perikanan, Tahun 2006 N
Kecamatan
Jumlah
O
Sub district
Total
Jumlah-Total
Satuan: ton
Sub Sektor Perikanan Penangkapan Budidaya Perikanan Laut
Perairan Umum
Kolam
Haba
Tambak
Laut
15,257.1
13,854.0
1,109.2
14.0
27.6
218.0
34.3
1
Pulau Derawan
2,955.1
2,858.1
-
-
-
88.7
8.3
2
Maratua
1,503.8
1,498.1
-
-
-
-
5.7
3
Talisayan
1,317.0
1,308.8
-
-
-
8.2
-
4
Biatan
1,008.4
1,002.0
6.4
-
5
Tubaan
1,736.4
1,679.9
-
0.4
-
56.1
-
6
Biduk - Biduk
1,335.3
1,328.6
-
-
-
-
6.7
7
Batu Putih
1,590.9
1,577.3
-
-
-
13.6
8
Gunung Tabur
1,283.1
686.8
536.0
0.8
4.7
54.8
-
9
Sambaliung
1,079.2
744.8
326.2
1.4
3.0
3.8
-
10
Tanjung Redeb
1,283.7
1,169.6
98.1
1.2
14.8
-
-
11 Teluk Bayur 164.2 148.9 10.2 5.1 Sumber : Data Kuartalan Dinas Perikanan dan Kelautan Kabupaten Berau. 2006
-
-
-
Umumnya nelayan menjual hasil tangkapan kepada pengumpul dan kemudian langsung dikirim ke Malaysia, Hongkong dan Surabaya dan beberapa kota luar propinsi dan kabupaten. Lokasi dan area penangkapan sumberdaya kelautan yang dimanfaatkan oleh nelayan dalam Kepulauan Derawan dapat dibagi kedalam tiga kategori, yaitu area pesisir dan muara sungai, paparan terumbu karang dan laut dalam. Area penangkapan pada terumbu karang ditentukan berdasarkan atas penilaian keadaan terumbu karang di suatu lokasi. Lokasi yang dipilih terutama adalah lokasi memiliki terumbu karang yang cukup luas dan bagus, serta merupakan tempat perlindungan dan bertelur ikan atau udang. Selain itu nelayan juga menyatakan bahwa di lokasi-lokasi tersebut relatif terlindung dari pengaruh angin terutama saat musim utara, serta kondisi perairannya cenderung jernih. Nelayan dalam melakukan penangkapan sumberdaya kelautan berlangsung selama 12 bulan setiap tahunnya. Aktivitas di laut bagi masyarakat sangat tergantung kepada kondisi musim dan angin. Berdasarkan kondisi alam dan
50
kelimpahan sumberdaya kelautan, waktu yang paling menguntungkan yakni saat musim angin utara (September hingga Maret tahun berikutnya). Hasil penangkapan yang paling tinggi yakni pada bulan Maret dan September setiap tahunnya. Bentuk-bentuk kegiatan dan alat tangkap dalam pemanfaatan sumberdaya kelautan dalam Kepulauan Derawan secara rinci adalah sebagai berikut : 1) 2) 3) 4) 5)
Mini Trawl. Jaring Gondrong. Dogol. Pancing. Rawai dasar .
6) Bagan tancap. 7) Bekarang dan menanjuk. 8) Jaring Pukat 9) Bubu. 10) Penyelam Kompresor
Kegiatan perikanan budidaya pada beberapa kampung di wilayah Kepulauan Derawan terdiri dari perikanan keramba jaring apung/tancap. Perikanan keramba jaring merupakan kegiatan yang paling dominan. Budidaya keramba jaring yang dikembangkan masih secara tradisional dengan pola monokultur kerapu dan teripang. Biasanya bibit masih di dapat dari alam. Tabel 12. Luasan Budidaya Perikanan di Kepulauan Derawan. No
Nama Kampung
1.
Pulau Derawan
Budidaya
Luas Rata-rata Kepemilikan (Ha) 0,30
Panen (Kg)
Keramba kerapu, lobster 2. Bohe Silian Keramba kerapu, 0,30 lobster 3. Payung-payung Keramba kerapu 0,10 4. Teluk Harapan Keramba kerapu 0,10 Sumber : Profil Sosial Ekonomi KKL Berau (Wiryawan, et.al 2005)
-
5.2.2 Sumberdaya Penyu 5.2.2.1 Populasi dan Tempat Peneluran Penyu Hijau (Chelonia mydas) merupakan sumberdaya hayati khas di daerah Kabupaten Berau khususnya di Kepulauan Derawan. Perkembangan populasi penyu di Pantai-pantai Kepulauan Derawan dan sekitarnya mengalami fluktuasi tiap tahunnya. Penyu Hijau, merupakan salah satu jenis satwa langka dilindungi Undang-Undang (UU No.5 tahun 1990, PP 7 Tahun 1999) dan termasuk dalam daftar Apendix I CITES, pemanfaatan satwa dilindungi hanya dapat dilakukan untuk kepentingan / tujuan : Penelitian, penangkaran, pendidikan dan ilmu pengetahuan. Penyu Hijau yang terdapat di perairan Kepulauan Derawan tercatat memiliki sebaran hingga Malaysia dan Philipina.
51
Kepulauan Derawan, merupakan habitat penyu hijau yang terbesar di Asia, pulau-pulau yang paling sedikit ada 11 pulau yang menjadi surga kehidupan penyu dan merupakan tempat bertelur dan daerah makan (feeding area) sebagai berikut : Taman Wisata Alam Laut (TWAL) Pulau Sangalaki, Suaka Margasatwa Pulau Semama, Derawan, Mataha, Bilang-Bilangan, Blambangan, Sambit, Panjang, Rabu-rabu, Maratua, Bakungan. Populasi Penyu Pulau Derawan 450 400 350
Jumlah
300 250 200 150 100 50 0 2003
2004
2005
2006
2007
Tahun
Penyu naik
Penyu bertelur
Sarang menetas
Gambar 8. Grafik Jumlah Populasi Penyu Pulau Derawan ( WWF Indonesia Turtle Monotoring 2003-2007). P o pu la s i P e n y u d i P u la u S a n ga la ki
1400
1200
1000
800
600
400
200
0
2 002
2 003
20 04
NAIK TIDAK BERTELUR Poly. (BERTELUR)
2005
2006
20 07
BERTELUR Poly. (NAIK) Poly. (TIDAK BERTELUR)
Gambar 9. Grafik Jumlah Populasi Penyu di Pulau Sangalaki (Yayasan Penyu Berau) Pada era konsesi pemanfaatan telur ini sampai pada tingkat capaian yang luar biasa besar, berdasarkan sumber mantan “pahter” tahun 1990-an produksi telur bisa mencapai ± 1,9 juta telur/tahun. Pulau penghasil telur penyu di kawasan ini dari yang paling besar hasilnya berturut-turut adalah : Pulau Sangalaki, Pulau Bilang-bilangan, Pulau Blambangan, Pulau Mataha, Pulau Sambit, dan beberapa pulau lain yang rata-rata di bawah lima sarang/malam seperti Pulau Derawan, Pulau Maratua.
52
Dalam kurun waktu lima dekade terakhir ini, telah terjadi penurunan populasi penyu di Kepulauan Derawan yang hebat, Penurunan tersebut bahkan diperkirakan mencapai 90% dari jumlah yang biasa ditemukan 50 tahun yang lalu. Banyak faktor yang bisa menyebabkan penurunan drastis tersebut, namun yang paling dominan tampaknya adalah pengambilan telurnya. Selama bertahun-tahun proses pengambilan telur penyu dikendalikan oleh Pemerintah Daerah, dan merupakan salah satu sumber PAD yang cukup signifikan bagi Kabupaten Berau pada era konsesi. 5.2.2.2 Karakteristik Tempat Peneluran Tabel 13. Karakteristik lokasi peneluran penyu. Kemiringan ( ° ) No Lokasi Pantai Tertinggi Terendah 1 Gusung Penyu 30 9 2 Lumantang Kecil 20 9 3 Lumantang Besar 20 9 4 Danakan-BMI 20 6 5 Kiani Kertas 60 8 6 Pos AL 15 6 7 Blok Sangalaki 11 6 Sumber : Studi Lapang dan Yayasan Penyu Berau (TF).
Kisaran Panjang (m) 45 - 52 45 - 50 290 - 300 670 - 675 220 - 225 745 - 750 1450 - 1500
Kisaran Lebar (m) 5-8 5 - 10 5 - 10 3-6 3-4 3-4 12 - 15
Tempat peneluran penyu di Pulau Maratua yang signifikan terdapat di Kampung Teluk Alulu, yang tersebar di tiga blok pantai peneluran yaitu pantai Gusung Penyu, Lumantang Besar, dan Lumantang Kecil. Pantai Gusung Penyu merupakan lokasi terbanyak peneluran penyu dibandingkan pantai yang lain, karena topografi yang landai dan jarak bibir pantai dengan tubir karang tidak jauh, sehingga sangat memudahkan penyu untuk naik. Berbeda halnya dengan Pantai Lumantang Besar dan Kecil yang jarak bibir pantai dengan tubir karang jauh. Panjang garis pantai Gusung Penyu adalah 52 m, pantai Lumantang Besar 300 m, sedangkan Lumantang Kecil hanya 50 m. Ketika musim bertelur antara bulan Februari – Mei rata-rata setiap bulan 12 ekor penyu naik untuk bertelur. Sebenarnya di Pulau Maratua masih ada lokasi pantai tempat peneluran penyu, akan tetapi belakangan ini jumlah yang naik tidak signifikan lagi bahkan tidak ada sama sekali. Karena sesuai dengan pengalaman Pak Rusli (42) yang merupakan kordinator monitoring penyu WWF mengatakan bahwa sebenarnya Pulau Maratua merupakan lokasi feeding terbaik di Kepulauan Derawan, bukan sebagai nesting ground, mengingat topografi pulaunya yang curam, misal di Kampung Payung-
53
payung dalam sehari jumlah penyu yang makan di sepanjang perairan yang dangkal sangat banyak, bahkan berkumpul di sekitar jeti (jembatan) menghabiskan waktunya seharian untuk makan, dan akan bermigrasi untuk bertelur di pulau-pulau sekitar Kepulauan Derawan seperti Sangalaki. Sehingga bukan pemandangan istimewa jika melihat gerombolan penyu dengan berbagai ukuran tengah asyik makan di perairan dangkal sebelum tubir karang. Sedangkan karakteristik tempat peneluran di Pulau Derawan berbeda dengan Pulau Maratua karena topografi pulaunya lebih landai, dengan pasir putih mengelilingi hampir seluruh wilayah pulau, sehingga hampir di sepanjang pantai Pulau Derawan cocok untuk lokasi peneluran penyu, kecuali di bagian pemukiman penduduk. Lokasi peneluran penyu di Pulau Derawan terbagi menjadi 3 blok pantai yaitu, blok Pantai Danakan-BMI (Bumi Manimbora Interbuana) sejauah 675 m, dimana lebar pantai berkisar antara 3 sampai 4 m, lalu blok Pantai Kiani Kertas sepanjang 225 m, topografi pantai di blok ini cenderung terjal dengan kemiringan hingga 60º, dan lebar 3m-4m, tetapi hanya berada di perbatasan antara pantai BMI. Kemudian blok Pantai Pos Angkatan Laut sejauh 750 m yang merupakan blok peneluran terpanjang di Pulau Derawan dan lebar pantainya juga berkisar antara 3m-4m dengan kemiringan yang cenderung landai yaitu 15º. Selain Pulau Derawan dan Pulau Maratua di Kepulauan Derawan terdapat pulau tak berpenghuni yang menjadi lokasi terbanyak peneluran penyu, yaitu Pulau Sangalaki yang telah di tetapkan sebagai Suaka Margasatwa oleh menteri pertanian. Pulau Sangalaki dikelilingi oleh pantai dengan 15 blok pantai peneluran. Setiap satu blok terbagi menjadi empat sub blok yaitu, blok A sampai D, jarak subblok dari A ke B sejauh 25 m, sehingga satu blok panjangnya 100 m. Karakteristik pantai di Pulau Sangalaki cenderung landai dengan kemiringan berkisar antara 6º-11º. Pantai yang paling lebar berada di blok 1 sampai blok 3, dimana lebarnya berkisar antara 12m-15m. dan persis di depan blok 1 ini terdapat bangunan resort yang dikelola oleh PT. Resort Sangalaki Dive Lodge (RSDL).
54
5.3 Kondisi Sosial Ekonomi 5.3.1 Sejarah, Budaya dan Etnis Masyarakat Berdasarkan catatan sejarah, peran kawasan perairan dalam perubahan Kabupaten Berau telah dimulai sejak abad ke 13. Perairan daerah ini menjadi pintu masuk bagi para pendatang dari Makasar, Filipina Selatan, Cina, India, bahkan Eropa. Mereka ini memiliki peran besar dalam perubahan sosial dalam kurun waktu lebih dari tujuh abad. Beberapa dari mereka bertujuan untuk berdagang dan menyebarkan agama, dan bahkan ada yang menetap dan turun menurun sampai sekarang. Seiring dengan berlalunya waktu, para pendatang kemudian menyatu, menjadi bagian dan ikut mempengaruhi perkembangan sejarah Kabupaten Berau. Pada jaman pemerintahan Sultan Akhmad Maulana1, wilayah laut Kerajaan Berau dibawah tanggungjawab dua orang panglima perang (Punggawa) yang berasal dari Kerajaan Solok. Punggawa Zitokke bertanggungjawab mulai dari Lubaan sampai dengan Tanjung Mangkalihat, termasuk Pulau Manimbora, Balikukup, Kaniungan Besar, Kaniungan Kecil, Bilang-bilangan dan Mataha. Punggawa Zitaba bertanggungjawab untuk Lungsuran Naga, Betumbuk, Karang Muaras, Pulau Panjang, Derawan, Sangalaki, Derawan, Samama, Maratua, Bakangan, Blambangan dan Sambit. Keturunan mereka ini menyebar di Kampung Pulau Derawan, Payung-payung, Bohe Silian, Teluk Alulu dan Teluk Harapan. Hingga kini keturunan mereka tetap mengingat sejarah kampung halaman dan tradisi suku bangsa Bajau Moro yang menggantungkan hidup dari laut. Di wilayah pesisir pengaruh Islam sangat kuat bersamaan dengan semakin banyaknya orang Bugis dari Sulawesi, Solok dari Filipina dan orang-orang dari Brunei2 Muktaman (2003) dalam Wiryawan (2005). Selain masyarakat dari keturunan pesisir seperti Bajau, Bugis, Mandar, ada juga pendatang dari etnis jawa yang mereka umumnya datang karena menjalani tugas sebagai pegawai negeri (guru dan pegawai lapangan) yang ditetapkan di Kepulauan Derawan, sehingga proses akultrasi budaya dengan pendatang tidak 1
Nama Akhmad Maulana, dalam Silsilah Raja-Raja Berau, tercatat sebagai Sultan di Kesultanan Gunung Tabur pada 1921 – 1952 dengan nama Sultan Achmad Maulana Muh. Chalifatullah. Lihat Drs. H. Achmad Maulana, Sejarah Daerah Berau (Tanjung Redep 2001) hal. 37. Karya ini tidak menuliskan sama sekali bacaan-bacaan sebagai referensinya. 2 “Pertalian darah” antara Kerajaan Berau dan Kerajaan Brunei Darussalam yang muncul dalam cerita, juga tanpa penjelasan bagaimana pertalian itu terjadi.
55
terjadi. Hal ini karena hampir dari semua pendatang kembali lagi ke daerahnya semula ketika masa kerjanya telah habis. Pola perkawinan yang bersifat hubungan keluarga masih terjadi3. Sebagian besar keluarga masyarakat Kepulauan Derawan merupakan hasil dari proses perkawinan dengan kerabatnya sendiri (extended family). Oleh karena itu, kekuatan kekerabatan dan kekeluargaan sangat erat sekali.4 5.3.2 Kondisi Ekonomi 5.3.2.1 Mata Pencaharian Sesuai dengan kondisi masyarakat pesisir pada umumnya, mata pencaharian utama sebagian besar penduduk adalah nelayan dan petambak. Kondisi kampung yang terletak dekat pantai dan ditunjang dengan keberadaan sumberdaya perikanan yang masih relatif baik, menjadikan masyarakat menggantungkan nasibnya di laut. Di beberapa kampung, bertani merupakan mata pencaharian sampingan penduduk. Perkampungan nelayan dalam Kepulauan Derawan dapat dibagi ke dalam perkampungan pulau-pulau kecil. Sesuai dengan pola pergerakan masyarakat nelayan yang dinamis, perkampungan nelayan di daerah ini dalam lima tahun mengalami perubahan dan perkembangan yang cukup pesat. Hal ini disebabkan antara lain oleh migrasi yang tinggi, arus informasi dan komunikasi yang terbuka, serta akses transportasi yang relatif semakin mudah. Tabel.14 Komposisi mata pencaharian penduduk Pulau Maratua No
Kampung
Nelayan
1)
Teluk Harapan Bohesilian
123 kk (74%) 149 kk (77,9%) 218 kk (77,5%)
2) 3)
Payungpayung
4)
Teluk Alulu
93 kk (73,2%)
Pedagang ikan 9 kk (3,5%) 5 kk (3,9%)
Pedagang sembako 8 kk (4,8%) 15 kk (9%) 9 kk (3,2%)
Pengusaha perahu 10 kk (6%) 2 kk (1,04%) 24 kk (8,5%)
Bengkel/ Tani 1 kk (O,6%) -
PNS
Buruh
24 kk (14,4%) -
-
-
13 kk (4,6%)
17 kk (8,9%) 17 kk (6,1%)
6 kk (4,7%)
9 kk (7,08%)
2 kk (1,5%)
3 kk (2,3%)
9 kk (7,08%)
Sumber : Profil Kampung Pulau Maratua (Yayasan Lebah) 3
Asi yang diminum oleh dua orang berlainan jenis kelamin misalnya, maka mereka dianggap berasal dari seorang ibu; antara mereka berdua dilarang menikah/kawin. Ini bisa berarti mereka seibu dan se-ayah; se-ibu lain ayah; lain-ibu dan lain-ayah tetapi menyusu ke seorang ibu. 4 Orang-orang yang orangtuanya bersaudara disebut Minkaki Mintendah; jika embo bersaudara disebut Minkaki Mindua; dan Minkaki Mintiga bila yang bersaudaar itu muyang (orangtua dari embo).
56
Jika di lihat komposisinya, terlihat bahwa Pegawai negeri sipil menempati urutan kedua, Karena Kampung Bohe Bukut sebagai pusat pemerintahan bagi Kecamatan Maratua menjadi tempat tinggal bagi para pegawai kantor kecamatan. Dan di kampung ini pun sudah muncul mata pencaharian baru yakni bengkel sepeda motor, yang merupakan jenis mata pencaharian baru yang muncul karena kebutuhan dari para pemilik kendaraan roda dua di ketiga kampung di Pulau Maratua ini. Dari komposisi di Kampung Bohesilian terlihat bahwa mata pencaharian sebagai nelayan telah mampu mengundang munculnya pekerjaan pekerjaan lain yakni buruh dan pedagang yang sudah mencapai 21,4 %. Bahkan di Kampung Bohe Silian ini telah mampu mengundang investor pengumpul ikan kerapu yang selalu siap menerima ikan-ikan tangkapan masyarakat. Sedangkan di Payung-payung mata pencaharian masyarakat juga di dominasi oleh nelayan, dan pengusaha perahu menempati urutan kedua, pada saat penelitian berlangsung memang di kampung ini paling banyak terdapat aktifitas usaha pembuatan perahu, yang dipakai nelayan untuk menangkap ikan. Sebagaian besar warga Teluk Alulu yang berprofesi sebagai nelayan juga memiliki penghasilan tambahan dari hasil kebunnya baik kelapa maupun tanaman semusim ( pisang, singkong). Kedalaman tanah yang rata-rata kurang dari 20 Cm dan tidak adanya aliran sungai ataupun sumur-sumur air tawar, menyebabkan tanaman semusim tidak dapat diusahakan secara intensif. Hal inilah yang menyebabkan pertanian tidak dapat diandalkan sebagai mata pencaharian utama. Hanya tanaman kelapa yang baik tumbuh di kampung ini. Dari Tabel 15 diketahui bahwa kebanyakan telah menggunakan perahu bermotor dengan ukuran paling banyak 0-5 GT, dan di Pulau Derawan masih ada aktifitas nelayan yang tidak menggunakan perahu, misalnya aktifitas bekarang atau menanjuk yang sering dilakukan masyarakat pada saat air surut. Penduduk yang mendiami perkampungan nelayan umumnya masyarakat suku Bajau, Suku Bugis, Jawa, Mandar, Makassar, Buton, Madura, Manado, Timor, Banjar, Berau dan Lombok. Walaupun terdapat keragaman suku, namun kehidupan sosial di seluruh pemukiman secara umum berlangsung baik. Penduduk sesama suku dan penduduk antar suku hidup berdampingan tanpa terjadi konflik
57
sosial. Pembauran dari suku yang ada dapat dilihat dari terjadinya perkawinan antar suku, kebiasaan sehari-hari dan penggunaan bahasa. Dalam pergaulan sehari-hari masyarakat menggunakan campuran Bahasa Indonesia, Bajau, Bugis dan Berau. Tabel.15 Jumlah dan Jenis Armada Nelayan di Kawasan Konservarsi Laut Berau Kategori Besarnya Usaha N O
Rumah Tangga Perikanan / Perusahaan Perikanan Kecamatan
Perahu Tanpa Motor Tanpa
Jumlah
Kapal Motor
Perahu Papan
Motor
0-5
5-10
10-30
GT
GT
GT
Perahu
Jukung
Kecil
Sedang
Besar
Tempel
39
-
86
124
5
484
1,573
90
12
39
-
20
22
1
136
433
12
1
1
Pulau Derawan
2
Maratua
-
-
8
11
-
28
161
8
9
3
Talisayan
-
-
7
7
2
64
110
5
-
4
Biatan
-
-
2
9
-
21
61
2
-
5
Tubaan
-
-
12
19
-
92
296
9
-
6
Biduk-Biduk
-
-
9
12
2
51
135
4
2
7
Batu Putih
-
-
4
13
-
53
141
39
-
8
Gunung Tabur
-
-
9
18
-
4
30
1
-
9
Sambaliung
-
-
11
6
-
3
110
1
-
10
Tanjung Redeb
-
-
4
7
-
32
96
9
-
Sumber : Laporan tahunan tahun 2006 DKP Kabupaten Berau.
(a) Sumber : WWF Keterangan : (a) (b) (c) (d)
(b)
(c)
(d)
Kapal nelayan yang sedang berlayar mencari posisi tebar jaring. Nelayan bekerjasama dalam mengangkat pukat cincin. Nelayan wanita ikut memancing ikan. Pengusaha kapal sedang mengontrol kerja anak buahnya.
Gambar 10. Berbagai Aktifitas Masyarakat Dalam Mencari Nafkah
58
5.3.2.2 Penggunaan Lahan Hutan mendominasi penggunaan tanah di wilayah kampung Teluk Harapan. Hutan berada mulai dari batas kampung Payung-payung terus memanjang ke utara sesuai dengan bentuk pulau sampai ke batas wilayah kampung Teluk Alulu. Kebun di wilayah kampung Bohe Bukut berada di dekat areal pemukiman dan di pantai bagian timur yang memanjang dari selatan sampai ke utara dan berada pada jarak 50 – 100 m dari pantai. Di wilayah bagian utara dekat mercusuar juga ditemui kebun yang cukup luas, yaitu kebun kelapa yang merupakan peninggalan perkebunan di jaman Belanda. Jenis tanaman singkong, pisang dan buah-buahan , lebih banyak merupakan tanaman pekarangan. Mangrove lebih banyak berada di pantai bagian timur, dan memanjang dari selatan sampai ke utara dan berada dari bibir pantai dengan ketebalan rata-rata 40 m – 50 m. Gosong lebih banyak berada di bagian pantai barat dekat areal pemukiman, bentuknya memanjang dari batas wilayah Payung-payung terus ke utara sampai ke rawa Tanjung siku. Areal Pemukiman berada di pantai barat di bagian selatan wilayah kampung Teluk Harapan. Sebagaimana tipe dari sebuah kampung pesisir, maka pola pemukiman sejajar garis pantai dan berkumpul menjadi sebuah areal pemukiman. Di areal Kampung Teluk Harapan, hampir setiap rumah memiliki sumur air tawar, dengan kedalaman muka air rata-rata 2 – 2,5 meter. Dan kampung ini merupakan satu-satunya kampung di Pulau Maratua yang memiliki sumber mata air tawar. Tabel.16 Pemanfaatan Lahan di Kampung Kepulauan Derawan. No 1) 2) 3) 4)
Satuan : Ha
Kampung
Rawa
Hutan
Kebun
Mangrove
Gosong
Pemukiman
Danau
Teluk Harapan Bohesilian
2,73
476,51
100,77
20,92
7,26
6,23
-
0,61
288,42
94,38
52,71
-
19,29
9,38
-
953,87
256,39
105,42
-
10,24
491,251
0.23
374,67
124,83
49,71
11,15
21,01
0,47
Payungpayung Teluk Alulu
Sumber : Profil kampung Maratua (Yayasan Lebah).
Di Bohesilian juga terdapat danau air asin seperti di Pulau Kakaban, akan tetapi ukurannya lebih kecil. Hutan di Bohesilian memanjang dari Tanjung Duata terus kearah Barat laut, sampai keperbatasan dengan wilayah kampung Teluk Harapan. Hutan di kampung Bohesilian lebih banyak di dominasi oleh tanaman hutan dengan diameter kurang dari 30 cm, hal ini karena kondisi tanah yang tipis
59
di atas pulau karang, hingga tanaman pun kurang baik pertumbuhannnya. Areal Kebun yang terbesar berada di dekat areal pemukiman, sedangkan yang lainnya berada memanjang di bagian pantai timur, mulai dari dekat areal pemukiman sebelah utara, terus memanjang sejajar garis pantai kearah barat laut sampai ke batas kampung Teluk Harapan. Kebun di wilayah Bohesilian didominasi oleh tanaman kelapa yang merupakan sisa-sisa peninggalan perkebunan kelapa di zaman Belanda. Untuk tanaman pisang, singkong dan buah-buahan berada didekat-dekat areal perumahan penduduk, dan kebanyakan merupakan tanaman pekarangan. Areal pemukiman di kampung ini terbagi dua blok, dengan pola pemukiman yang memanjang sejajar garis pantai. Kondisi Perumahan nampak lebih berdekatan antar satu dengan yang lainnya. Mangrove di kampung Bohesilian memanjang mulai dari bagian utara Tong Tunjal, terus memanjang sejajar garis pantai hingga kebatas kampung Teluk Harapan. Dan lokasi mangrove yang lainnya dapat ditemui di dekat Tong Papat, dan bagian tenggara Tong Kuyak hingga Tanjung Duata. Penggunaan tanah di wilayah kampung Payung Payung di dominasi oleh Hutan Tanaman kayu yang ada di hutan Pulau Kakaban yang dikenal dengan istilah lokal diantaranya gaggil, ipil, nyatoh dan sappuh . Hutan di Pulau Maratua berada pada jarak antara 50 – 100 Meter dari garis pantai ke arah timur, semakin tinggi akan semakin lebat hutannya. Jenis-jenis tanaman kayu yang ada di Hutan Kampung Payung Payung antara lain gagil, nyatoh, ipil, dan melinjo. Untuk tanaman melinjo sekarang semakin berkurang jumlahnya, dikarenakan adanya kebiasaan masyarakat yang jika melakukan pemanenan hasil dilakukan dengan menebangi pohon tersebut. Areal kebun di wilayah Payung-payung berada diantara areal pemukiman dan areal hutan . Untuk kebun yang berada dekat pantai dan dekat pemukiman merupakan kebun-kebun kelapa, sedangkan areal kebun yang berada di bagian utara kampung, merupakan areal kebun buah-buahan (nangka, mangga), yang kebanyakan sudah tidak terawat lagi. Pada sekitar tahun 90-an di saat masih sering terjadi perampokan oleh bajak laut dari Philipina, banyak masyarakat yang bermukim di areal kebun yang agak terlindung dari sergapan perampok. Pada saat itulah tanaman buah-buahan ikut berkembang. Tetapi sejalan dengan peningkatan keamanan dan hilangnya gangguan perampok,
60
maka penduduk kembali lagi bermukim di wilayah-wilayah pinggir pantai dan di saat itulah kebun-kebun mulai tidak terurus. Untuk tanaman kelapa banyak tumbuh di pinggir- pinggir pantai pada tanah-tanah berpasir. Tanaman kelapa ini pun lebih banyak merupakan sisa-sisa peninggalan perkebunan di Zaman Belanda (Tahun 1912 –1945) yang sebenarnya juga sudah kurang terawat. Mangrove di Pulau Kakaban hampir seluruhnya berada di sekeliling Pulau, kecuali di pantai bagian selatan dekat pondok wisata. Di wilayah kampung payung-payung di Pulau Maratua, mangrove berada mulai dari ujung pemukiman bagian paling selatan terus menyusuri Teluk Pea sampai ke daerah perbatasan kampung Bohe Silian dekat Tanjung Duata. Jarak mangrove dari bibir pantai ke arah bukit berjarak antara 40 m – 50 m. Di Pulau Kakaban tidak dijumpai areal Pemukiman penduduk, hanya beberapa pondok di areal kebun kelapa dan areal goa sarang walet di bagian utara danau kakaban, sedangkan di wilayah kampung Payungpayung di Pulau Maratua, areal pemukiman berada sepanjang pantai barat, dengan pola memanjang mengikuti garis pantai. Terdapat dua danau di Pulau Kakaban yg memiliki keindahan panorama yang sangat mengesankan. Di danau Kakaban bagian selatan merupakan lokasi yang sudah menjadi daerah penyelaman bagi wisatawan yang ingin menyaksikan keindahan bawah air danau dengan jenis-jenis ikan dan ubur-ubur yang tergolong langka. Danau Kakaban memang saat ini sudah dijadikan target wisata untuk menarik wisatawan wisatawan luar maupun dalam negeri, dan jika danau Kakaban yang indah ini dikemas dalam sebuah paket wisata yang menarik dengan pengelolaan yang profesional, maka pendapatan daerah pun akan terangkat naik. Pada wilayah Kampung Payungpayung di Pulau Maratua dapat dijumpai Danau Haji Buang dan danau Mbo Ngadi yang berada di sebelah selatan Teluk Pea. Semua danau tersebut merupakan danau air asin. Hutan di Teluk Alulu yang ada di Pulau Maratua masih tergolong bagus, dan didominasi oleh tanaman-tanaman hutan yang berdiameter diatas 30 cm, hal ini menunjukkan bahwa masyarakat kampung teluk Alulu dapat menjaga wilayah hutannya dengan baik . Kebun di Kampung Teluk Alulu berada di wilayah yang dekat dengan areal pemukiman penduduk, kesemuanya merupakan kebun kelapa peninggalan jaman penjajahan Belanda. Sedangkan untuk tanaman pisang dan
61
singkong lebih banyak ditanam sebagai tanaman pekarangan. Memang sangat sulit untuk menggantungkan hidup dari hasil berkebun, disamping kedalaman tanah yang kurang memenuhi syarat juga hanya mengandalkan curahan air hujan. Mangrove yang berada di Kampung Teluk Alulu berada di wilayah Tanjung Bahaba, Pulau Siddau, Pulau Siappung, Pulau Sangalan, Pulau Pabahanan dan Pulau Andongabo. Gosong dapat ditemui di pantai utara wilayah kampung Teluk Alulu, diantaranya Gosong Penyu, Lumantang, Gosong Kokok dan Lumantang Diki. Pemukiman di Kampung teluk Alulu memiliki pola linier sejajar pantai yang semuanya menyebar dan terbagi dalam 3 RT. RT 01 berada di Tanjung Bahaba, sedangkan RT 02 dan RT 03 berada di bagian utaranya. Rumah penduduk di sini menyebar berjauhan dan tidak berdekatan, pemukiman seperti ini terbentuk karena luas tanah masyarakat di sini relatif lebih besar di banding kampung yang lain, dan pada awalnya mereka membangun rumahnya sesuai dengan letak kebunnya, hingga pada akhirnya membentuk pemukiman yang agak berjauhan. Sedangkan di Pulau Derawan penggunaan lahan telah didominasi oleh pemukiman penduduk, dimana pemukiman ini hampir menyebar merata di seluruh pulau. Selain pemukiman di Pulau Derawan juga banyak dibangun resortresort wisata, bahkan karena sudah sempitnya lahan, resort dibangun sampai menjorok kearah laut. Di Pulau Derawan tidak terdapat hutan mangrove, hanya vegetasi pantai yang banyak tumbuh di pinggiran pantai yang tidak dihuni penduduk. Pemukiman penduduk dibangun sejajar garis pantai, akan tetapi juga ada yang ditengah daratan, dimana posisi rumah saling berhadapan, karena topografi Pulau Derawan yang landai sehingga rumah dapat dibangun hampir disemua lokasi. Kebun di Pulau Derawan didominasi oleh Kebun Kelapa yang juga bekas peninggalan Belanda. Bahkan di Pulau Derawan pohon kelapa bukan saja dimanfaatkan buahnya, akan tetapi juga dipakai oleh penduduk untuk menandai batas tanahnya. Sehingga pohon kelapa di Pulau Derawan banyak ditandai dengan cat tulisan inisial sebagai tanda bagi pemiliknya. 5.3.3
Kependudukan dan Sarana Umum Perkampungan dan pemukiman masyarakat nelayan di dalam dan sekitar
Kepulaun Derawan tersebar di 5 Kampung pada 2 Kecamatan. Jumlah KK dan
62
penduduk dari seluruh perkampungan nelayan sekitar 994 KK dan 4.359 jiwa. Penduduk terbanyak di Pulau Derawan sebanyak 1.370 jiwa. Tabel 17. Jumlah Penduduk Berdasarkan Usia Tahun 2005 No
Kampung
Jumlah Penduduk (jiwa)
Usia (0-4) tahun
Usia (jiwa) Usia (5-14) Usia (15-60) tahun tahun
Usia Lanjut (60 tahun Keatas)
808
39
195
552
22
2)
Teluk Harapan Payungpayung
587
90
58
408
31
3)
Teluk Alulu
635
78
146
372
39
4) Bohesilian 959 80 140 Sumber : Profil Kampung Pulau Maratua (Yayasan Lebah).
363
376
1)
Jumlah penduduk di kampung Teluk Harapan adalah 808 jiwa, yang terdiri dari 450 laki-laki dan 358 wanita, dengan jumlah kepala keluarga sebanyak 169 kk. Penduduk usia 0-4 tahun : 39 orang (4,8 %); Penduduk usia 5-14 tahun adalah 195 orang (24,1 %); Penduduk usia 15 – 60 tahun : 552 orang (98,3 %); Penduduk usia diatas 60 tahun adalah 22 orang (2,7 %). Dari jumlah kepala keluarga (KK) yang ada di kampung Bohe Bukut, 127 KK (75,2 %) adalah suku Bajao(75,2 %), 15 KK (8,9 %) Suku Bugis, 15 KK (8,9 %) Suku Buton, 10 KK (5,9 % ) Suku Jawa, 2 KK (1,1 %) Suku Banjar. Mayoritas penduduk beragama Islam. Penduduk di kampung ini di dominasi oleh penduduk usia produktif ( 98,3% ), dan Suku Bajao merupakan yang terbesar, diikuti oleh Suku Bugis dan Buton yang merupakan suku-suku yang telah lama dikenal sebagai pelaut ulung di negeri ini. Dari komposisi suku yang beragam dan jumlah pendatang, menunjukkan bahwa penduduk kampung Bohe Bukut merupakan sebuah komunitas yang terbuka dan mau menerima pendatang dari suku dan agama yang berbeda. Tabel 18. Komposisi Penduduk Berdasarkan Jenis Kelamin. No
Kampung
Penduduk (orang) Laki-laki
Kepala Keluarga
Perempuan
1) Teluk Harapan 450 358 2) Bohesilian 478 481 3) Payung-payung 321 266 4) Teluk Alulu 330 305 5) Derawan 680 690 Sumber : Profil Kampung Pulau Maratua (Yayasan Lebah)
169 192 135 127 371
Jumlah Penduduk di Kampung Bohe Silian saat ini adalah 959 jiwa, yang terdiri dari 478 laki-laki dan 481 Perempuan. Jumlah Kepala keluarga adalah
63
sebanyak 192 KK yang terdiri dari 72 KK dari Suku Bajao, 15 KK dari Suku Bugis 3 KK Jawa dan 2 KK Manado. Dari komposisinya maka jumlah laki-laki dan perempuan di Kampung Bohe Silian dapat dikatakan berimbang, dan jumlah anggota keluarga rata-rata per KK adalah 4 orang, dan di kampung ini didominasi oleh penduduk usia lanjut, menurut Camat Maratua dikarenakan banyak dari penduduk usia produktif yang merantau untuk mencari pekerjaan yang lebih baik, misal ke Tarakan dan Berau serta banyak juga yang menjadi (Tenaga Kerja Indonesia) TKI di Tawaw Malaysia. Sedangkan untuk komposisi berdasarkan suku adalah 89,6 % Suku Bajao yg menduduki urutan teratas, yang diikuti oleh Suku Bugis sebesar 7,8 %. Hal ini menunjukkan bahwa Suku Bajao dan Bugis merupakan dua suku yang sudah lama dikenal sebagai pelaut ulung dan hanya merekalah suku-suku di negeri ini yang mampu hidup dan bertahan di wilayah laut dengan medan yang penuh bahaya. Semua Warga Kampung Bohe Silian 100 % beragama Islam. Sedangkan untuk tempat ibadah telah ada satu buah mesjid. Jumlah Penduduk dikampung Payung Payung adalah 587 jiwa yang terdiri dari 321 (54,6%) laki-laki dan 266 (45,4%) wanita, dengan Jumlah kepala keluarga sebanyak 135 KK. Mayoritas Penduduk di kampung ini beragama islam, yakni sebesar 98 % (576 jiwa) sedangkan sisanya 12 % (11 jiwa) beragama Kristen. Untuk penduduk usia 0 - 4 tahun adalah sebanyak 15,3 % ( 90 jiwa ), penduduk usia 5-14 tahun sebanyak 9,9 % ( 58 jiwa ), penduduk usia 15 – 60 tahun sebanyak 69,5 % ( 408 jiwa ), sedangkan penduduk usia diatas 60 tahun adalah sebanyak 5,2 % ( 31 jiwa ). Berdasarkan data-data kependudukan di atas, diperoleh gambaran bahwa penduduk kampung Payung Payung didominasi oleh penduduk dari usia produktif, yakni sebesar 69,5 %, dengan mayoritas penduduk beragama islam, dan jumlah rata-rata anggota tiap KK adalah sebanyak 4 orang. Dan jika jumlah kepala keluaraga (135 KK) dibandingkan terhadap jumlah rumah yang sebanyak 112 rumah maka berarti 20,5 % dari KK yang ada di kampung ini masih tinggal serumah bersama dengan orang tuanya. Jumlah penduduk Teluk Alulu 635 jiwa, yang terdiri dari 330 Laki-laki dan 305 wanita, sedangkan jumlah kepala keluarga adalah 127 KK. Penduduk usia 0 - 4 tahun adalah 78 orang (12,3%), penduduk usia 5-14 tahun adalah 146 orang
64
( 22,9 % ), penduduk usia 15 - 60 tahun adalah 372 orang (58,6%), penduduk usia diatas 60 tahun adalah 39 orang (6,2 %). Jumlah Suku Bajao 93 KK, Bugis 12 KK, Filipina 15 KK, Bulungan 1 KK, Berau 1 KK, Buton 2 KK, Jawa 1 KK dan Banjar 2 KK. Hampir 100% penduduk beragama Islam yakni 126 KK, tempat ibadah di kampung ini baru ada dua musholla, dan dengan jumlah warga dewasa sebanyak 379 orang, jika semuanya hadir pada saat yang bersamaan maka kedua musholla ini tidak akan cukup menampung warganya untuk menunaikan ibadahnya. Untuk di Pulau Derawan jumlah penduduknya paling banyak diantara kampung-kampung lain yang ada di Kepulauan Derawan, yaitu 1.370 jiwa, dimana komposisinya 680 laki-laki dan 690 wanita. Dengan luas pulau yang hanya 48,704 ha, Pulau Derawn merupakan Pulau terpadat diantara pulau-pulau lain di Kepulauan Derawan, yaitu 28 orang/ha. Hal ini dapat dimaklumi karena banyaknya pendatang dan Pulau Derawan merupakan tujuan wisata favorit di Kabupaten Berau, sehingga banyak orang yang mengadu nasib di pulau ini untuk menjadi pemandu selam dan pekerja di resort wisata. Sarana kesehatan berupa puskesmas atau puskesmas pembantu serta petugas kesehatan telah tersedia hampir di seluruh kampung. Untuk keperluan ibadah agama, seluruh perkampungan nelayan memilki sarana peribadatan seperti mesjid, surau dan langgar yang cukup memadai. Rumah ibadah tersebut selain digunakan sebagai tempat aktivitas keagamaan, juga dikembangkan sebagai sarana pendidikan dan kepemudaan. Fasilitas perdagangan umum seperti pasar belum berkembang dengan baik di perkampungan nelayan. Sehingga untuk memenuhi kebutuhan masyarakat, pengusaha setempat mengembangkan usaha perdagangan berupa toko dan kios yang menjual bahan kebutuhan sehari-hari. Kebutuhan listrik penduduk yang dipasok oleh PLN belum menyentuh seluruh perkampungan nelayan, sehingga kebanyakan masyarakat menggunakan alat pembangkit listrik pribadi (genset). Pada beberapa kampung yang kebutuhan listriknya telah dipasok oleh PLN, listrik hanya dinyalakan antara 6-16 jam setiap hari. Perkampungan nelayan di daerah ini dilayani oleh angkutan darat, sungai dan laut sebagai sarana utama. Transportasi regular ke Tanjung Redeb belum menyentuh seluruh perkampungan nelayan. Sehingga jika masyarakat di beberapa
65
perkampungan nelayan hendak melakukan perjalanan ke Tanjung Redeb harus menggunakan angkutan non-reguler. Hampir setiap kecamatan memiliki Petugas Penyuluh Perikanan Lapangan yang bertugas sebagai penyuluh, pembina dan pengawas kegiatan perikanan masyarakat. Tidak seluruh perkampungan nelayan memiliki darmaga permanen untuk penambatan dan berlabuh kapal. Sampai saat ini belum tersedia sarana pendaratan dan pelelangan ikan.
(a)
(b)
(c)
(d)
Keterangan : (a) (b) (c) (d)
Mesjid yang ada di Kampung Teluk Alulu. Posyandu Nuri yang ada di Kampung Teluk Alulu. Jembatan untuk berlabuhnya kapal di Kampung Payung-payung. 2 kampung di Pulau Maratua dihubungkan oleh jembatan penyeberangan.
Gambar 11. Salah Satu Fasilitas yang Ada di Kepulauan Derawan. 5.3.4
Pendidikan Untuk mendukung pendidikan di kampung Bohe Bukut, pada saat ini
sudah memiliki satu buah gedung SD, tujuh guru PNS, lima guru bantu, satu kepala sekolah. Dengan jumlah murid yang saat ini sekolah di SD sebanyak 115 orang. Untuk SLTP, mereka harus melanjutkan di SLTP yang berada di Kampung Payung-payung dan dapat di tempuh lewat jalan kampung sejauh 6 km. Sedangkan bagi warga yang ingin menyekolahkan anaknya sampai ke jenjang SLTA dan Akademi atau Perguruan Tinggi, harus mengirimnya ke luar Pulau Maratua (Berau). Tabel 19. Jumlah Sekolah yang Ada di Kepulauan Derawan No
Kampung
TK
SD
SMP
TPA
1.
Pulau Derawan
1
1
1
1
2.
Payung-payung
1
1
1
1
3.
Teluk Alulu
-
1
-
1
4.
Teluk Harapan
1
1
-
1
5.
Bohe Silian
-
1
-
1
Sumber : Data primer (diolah 2008)
66
Untuk Sarana pendidikan, kampung Bohe Silian telah memiliki satu buah gedung SD dengan lima orang guru PNS, satu orang guru bantu dan satu orang guru honor. Pada saat ini jumlah murid yang sedang belajar sebanyak 223 anak . Saat ini Jumlah Penduduk tamat SD adalah 531 orang, penduduk tamat SLTP adalah 70 orang, tamat SLTA adalah 30 orang, sedang kuliah dan tamat Perguruan Tinggi sebanyak 3 orang. Jika di lihat prosentasenya 61,9 % tamat SD, 8,2 % tamat SLTP, 3,5 % tamat SLTA dan 0,4 % perguruan tinggi, terlihat bahwa penduduk tamat SD sangat mendominasi sedangkan untuk jenjang yang semakin tinggi semakin menurun jumlahnya. Tetapi telah ada yang sedang kuliah dan lulus Perguruan tinggi yang menunjukkan minat yang besar dari warga Bohe Silian untuk menyekolahkan anak-anaknya sampai ke jenjang yang setinggi-tingginya. Di kampung Payung-payung, telah memiliki 2 buah gedung SD yang didukung oleh 7 orang guru PNS, dan 1 buah gedung SMP yang didukung oleh 8 orang guru PNS. Jumlah murid SD saat ini, adalah sebanyak 123 orang yang kesemuanya adalah warga Payung Payung. Sedangkan untuk jumlah murid SMP saat ini adalah sebanyak 111 orang, yang merupakan anak-anak dari warga yang ada di keempat kampung di pulau Maratua ini. Tingkat Pendidikan penduduknya adalah : 152 orang tidak tamat SD, 157 orang tamat SD, 65 orang tamat SLTP, 54 tamat SLTA, 16 sarjana, sedangkan sebanyak 143 orang masih sekolah di SD, SLTP atau SLTA. Komposisi Tingkat pendidikan di kampung Payung Payung didominasi oleh penduduk tamat dan tidak tamat SD yakni sebesar 52,6%, selanjutnya adalah penduduk yang masih sekolah yakni sebesar 24,3 % nya, dan 2,7 % nya adalah sarjana. Di kampung teluk Alulu telah memiliki 2 buah gedung SD, dengan 2 orang guru PNS dan 2 orang guru bantu. Jumlah murid yang saat ini sedang sekolah di SD Kampung Teluk Alulu berjumlah 97 murid. Kondisi Kampung yang terisolir menyebabkan anak-anak yang ingin melanjutkan sekolah kejenjang SMP harus tinggal di kampung Payung Payung, 97 orang (15,3 %) sedang sekolah SD, 495 orang (77,9 %) tamat dan tidak tamat SD, 25 orang (3,9 %) tamat SLTP, 16 orang (2,5 % ) tamat SLTA. Dari komposisi Tingkat pendidikan penduduk kampung Teluk Alulu, di dominasi oleh penduduk tamat dan tidak tamat SD yakni sebesar 77,9%, sedangkan tamatan SLTP dan SLTA hanya 6,4 %. Hal ini
67
menggambarkan beratnya beban warga kampung Teluk Alulu untuk menyekolahkan anak-anaknya sampai ke jenjang SLTP ataupun SLTA. Karena sebagai nelayan dengan pendapatan rata-rata sebesar Rp 7,5 juta/tahun, sangatlah berat untuk membiayai sekolah anak-anaknya yang berada di luar kampung. Tingkat pendidikan masyarakat Pulau Derawan umumnya sama dengan daerah pulau lainnya. Di pulau tersebut terdapat SD, SMP dan TPA. Sedangkan sarana pendidikan untuk SLTA belum ada. Keluarga yang menyekolahkan anakanaknya kejenjang lebih tinggi biasanya bersekolah di luar Kepulauan Derawan, seperti ke Tanjung Redep. Sedangkan menurut (Wiryawan, 2005) 2,3 % diantara masyarakat Kepulauan Derawan telah mengenyam pendidikan (tamatan SLTA hingga SD). Dari gambaran tersebut dapat diketahui bahwa sebagian besar masyarakat setempat tidak berpendidikan.
VI. HASIL DAN PEMBAHASAN
6.1
Struktur Sosial Masyarakat Struktur masyarakat Kepulauan Derawan yang terbentuk telah stabil, seperti
pola pemukiman masyarakat, struktur penguasaan sumberdaya alam dan hubungan patron-klien. Mengacu akan alur pikir Soekanto (1993), memahami struktur masyarakat sangat diperlukan, hal ini untuk menganalisis realita kehidupan dan sistem sosial masyarakat. 6.1.1
Pola Pemukiman Masyarakat Tersebarnya penduduk Kepulauan Derawan pada wilayah tertentu
mengakibatkan ketidakmerataan penyebaran penduduk antar kampung. Umumnya warga lebih memilih tempat tinggal secara terpusat di sekitar pusat pemerintahan desa atau di sepanjang pantai. Secara fisik, budaya ini dicirikan dengan rumahrumah yang berada di tepi pantai terdapat bentengan batu-batu dan karang mati disekitarnya. Hal ini untuk mencegah rembesan air ke darat dan untuk menahan dari terjangan ombak ketika pasang. Bentuk-bentuk rumah penduduk umumnya telah memakai arsitek gaya perumahan kota dan permanen, terbuat dari bahan batu bata, semen dan atap memakai seng. Arsitektur rumah penduduk beraneka ragam seperti gaya rumah yang ada diperkomplekan kota-kota besar dengan memasang tiang di depan rumah, pagar kayu yang tertata dan pot-pot bunga yang besar, sehingga menambah asri rumah-rumah penduduk. Selain bentuk permanen, ditemukan pula rumah-rumah yang masih panggung, terbuat dari papan atau anyaman bambu (bilik). Perbedaan bentuk rumah penduduk ini didasari oleh kekuatan ekonomi keluarga yang selalu dijadikan sebagai salah satu simbol dalam stratifikasi masyarakat yang ada di pesisir. Setiap kampung yang ada umumnya didominasi oleh komunitas nelayan dengan berbagai macam alat tangkap. Semakin lama pola komunitas berkembang berhubungan dengan terdiferensiasinya berbagai macam alternatif mata pencaharian, seperti memanfaatkan sumberdaya hutan pantai untuk mencari kayukayu bakar, mencari kelapa dan daun-daun pandan yang ada disekitar pemukiman penduduk.
69
(a)
(b)
(c)
(d)
Keterangan : (a) (b) (c) (d)
Pemukiman penduduk di sepanjang pantai. Rumah panggung bentuk adaptasi terhadap topografi pulau yang curam. Pemukiman penduduk yang dibangun jauh dari pantai. Speed boat yang ditambatkan di depan darmaga kampung.
Gambar 12. Pemukiman Masyarakat di Kepulauan Derawan. Komunitas pemukiman nelayan menempati lima area perkampungan di Kepulauan Derawan, Kabupaten Berau, yaitu Kampung Teluk Harapan, Payungpayung, Bohesilian, Teluk Alulu dan Derawan. Pemilihan tempat ini dilatarbelakangi untuk memudahkan aktifitas pendaratan perahu nelayan. Secara fisik, memang topografi lokasi tersebut tidak memiliki tutupan karang yang terjal, sehingga banyak penduduk mendirikan rumah di sekitar pantai tersebut, kecuali kampung Bohe Silian dan Teluk Alulu yang pemukiman penduduknya kebanyakan di bangun diatas bukit kapur yang terjal, rumah biasanya dibangun menjorok kearah pantai dengan bentuk seperti rumah panggung. Pondasi rumah terbuat dari kayu ulin dengan lantai juga terbuat dari papan. Bentuk rumah seperti ini merupakan adaptasi terhadap topografi pulau Maratua yang memang didominasi oleh perbukitan kapur. Akan tetapi keuntungannya Kampung Bohe Silian dan Teluk Alulu ini terlindung dari ombak besar ketika musim utara atau selatan karena terletak di bagian dalam teluk (atoll) Maratua, sehingga sering dijadikan sebagai tempat sandaran kapal-kapal besar, selain itu pemukiman ini terlindung oleh hutan bakau karena terletak di teluk atau sungai kecil yang menjorok kedalam sehingga terhindar dari gelombang besar dan angin. Sedangkan di Pulau Derawan hanya terdapat satu kampung , dengan penduduk sekitar 1.370 jiwa mendiami pulau seluas 48,704 ha. Pulau Derawan merupakan sistem lahan Putting (PTG) yang merupakan pantai dengan kemiringan dibawah 2 % dengan tipe batuan berasal dari laut, sehingga dengan kondisi tersebut pemukiman tersebar merata di seluruh daratan pulau.
70
(a)
(b)
(c)
(d)
Keterangan : (a) (b) (c) (d)
Aktifitas nelayan di Teluk Alulu. Nelayan sedang memperbaiki jaring yang rusak Ikan yang sedang di jemur di pinggir pantai Nelayan sedang membuat kapal
Gambar 13. Berbagai Aktifitas Nelayan Perkembangan nelayan di kawasan pantai cukup pesat, walaupun dalam pemanfaatan sumberdaya masih menggunakan alat tangkap sederhana seperti mini trawl, jaring gondrong, dogol, pukat yang menggunakan perahu dayung sampai motor tempel yang hanya berkekuatan rata-rata 5-15 PK. Pola penyebaran penduduk seperti yang telah disinggung di atas merupakan adaptasi masyarakat terhadap alam5. Pola penyebaran pemukiman ini sangat bermanfaat sekali bagi warga kampung karena tujuannya untuk mendapatkan kemudahan saling berinteraksi, berkomunikasi antar satu warga dengan warga lainnya, walaupun hubungan komunikasinya masih tradisional, tujuan lain pula dengan dekatnya pola pemukiman di sekitar sumberdaya, hal ini untuk memudahkan pengawasan dan pemanfaatan atas sumberdaya alam. Pola pemukiman yang terkonsentrasi di beberapa kampung menjadikan rasa solidaritas dan hidup bermasyarakat sangat tinggi. Masyarakat dengan biasa bergotong-royong untuk memperbaiki berbagai fasilitas umum seperti rumah ibadah, perahu, serta untuk melakukan ritual mandi tulak bala6. Ritual mandi tulak bala ini masih dilaksanakan sampai saat ini, salah satu tujuannya untuk menjamin keselamatan mereka selama beraktifitas di laut, yang memang sangat beresiko dan rawan bencana seperti badai dan gelombang besar. Masyarakat 5
Pola adaptasi sering dilakukan oleh masyarakat asli yang pola mata pencahariannya sangat erat dengan alam seperti laut, hutan, tanah dan sungai sehingga masyarakat secara alamiah dirasakan penting untuk melakukan penghormatan kepada alam (Satria 2003) dengan melakukan ritualitas seperti duwata, bejin dan lainnya sesuai dengan kondisi daerah dan mata pencaharian masyarakat. 6 Budaya mandi tulak bala dikenal masyarakat umum merupakan tradisi pesta laut yang dilakukan oleh masyarakat yang bekerja dari hasil melaut. Dalam budaya mandi tulak bala menurut masyarakat Kepulauan Derawan merupakan sebagai tanda rasa syukur usainya masa panen ikan dan menghindarkan dari musibah dan petaka selama melaut.
71
merasakan dengan saling dekatnya rumah mereka dengan yang lainnya, perasaan ikatan solidaritas mereka sangat tinggi. Jika tetangga mereka terkena musibah, tetangga lainnya selalu mengulurkan untuk memberi pertolongan. Ketika ada yang meninggal dunia, tetangga lainnya berbondong-bondong untuk segera melawat (ngelayat) keluarganya dengan menyisihkan barang-barang berbentuk uang, beras dan lainnya yang biasa dimanfaatkan oleh keluarga yang ditinggalkan. Selain itu budaya gotong royong juga terlihat ketika ada kegiatan yang menyangkut konservasi penyu, misalnya bersih pantai dan pen-tagging an yang rutin dilakukan masyarakat bekerjasama dengan tim monitoring penyu. Untuk meningkatkan lagi ikatan kekerabatan, biasanya tiap minggu warga biasanya melakukan pengajian Majlis Talim yang disertai dengan aktifitas lain seperti membuat kelompok arisan ibu-ibu PKK, kelompok rebana dan kelompok shalawatan. Bahkan rasa saling percaya diantara mereka sangat kuat, seperti bapak Ahmad Yani, dari kampung Payung-payung mengaku tidak pernah mengunci pintu rumahnya, kecuali sampai ditinggal berhari-hari, juga banyak warga yang memarkir kendaraannya tanpa dikunci karena mereka sudah saling mengenal dan percaya. Ikatan sosial seperti ini menurut Soekanto (1993) hadir karena adanya persamaan tempat (territorial based relationship community) dan didasari atas kesamaan kepercayaan beragama (religius community) yaitu agama islam. Oleh karena itu, pola pemukiman terpusat tersebut sebagai salah satu modal sosial (social capital) yang dimiliki oleh masyarakat (Dyah 2007) dimana mereka bisa bekerjasama dan berkelompok dengan mudah untuk menjamin kelangsungan hidup. Gerakan gotong-royong, berkumpul dan bekerjasama untuk saling membantu dalam kepentingan umum dengan mudah dan cepat dapat dilakukan. 6.1.2
Struktur Penguasaan Sumberdaya Alam Pada komunitas masyarakat, pola penguasaan terhadap tanah sering
dilakukan masyarakat dengan cara hasil warisan, jual beli, penggadaian, dan ada pula pada masa dahulu dengan cara merambah hutan pantai. Tanah yang dijadikan areal perkebunan di Maratua semuanya atas kepemilikan pribadi, sehingga masyarakat dulu tidak mengenal tanah ulayat atau tanah komunal, kalaupun ada tanah tersebut digunakan sebagai fasilitas umum seperti tanah
72
pemakaman umum. Hasil rambahan hutan tersebut diklaim hak milik kelompok menurut batasan dusun atau kampung yang dimanfaatkan untuk areal perkebunan baru atau untuk tanah pekarangan. Beberapa keluarga yang merambah hutan di sekitar perbukitan secara berkelompok dibantu oleh para isteri nelayan. Berdasarkan hukum kepemilikan tanah, bahwa tanah bisa dimiliki oleh masingmasing atau kelompok jika tanah tersebut belum ada yang mengakui baik oleh Negara atau lainnya, selain itu pula kepemilikan akan berubah menjadi kepemilikan pribadi, jika orang lain memandang sipemilik secara intensif memanfaatkan tanah tersebut untuk kepentingan ekonomi. Hal ini merupakan hak okupasi (hak menduduki) dan seperangkat hak lainnya (bundle of right) yang diberikan kepada kelompok masyarakat atas tanah tersebut untuk menguasai, memanfaatkan dan mendapatkan keuntungan (Bromley 1991) diacu dalam Fauzi (2006). Penghindaran persengketaan atas hak kepemilikan tanah dilakukan oleh para penduduk dengan cara menandai wilayah tanah dengan berbagai macam yang secara fisik dapat diketahui dengan mudah. Batasan fisik tersebut seperti menggunakan pagar tanaman, pohon yang sengaja ditanam dan dibiarkan membesar, misalnya pohon kelapa yang biasa digunakan warga untuk menandai watas (batas) tanah warisannya. Bahkan pohon kelapa ini memiliki nilai jual tersendiri karena pada budaya masyarakat Kepulauan Derawan ketika menjual tanah segala tanaman dan pohon yang tumbuh di atas tanah dihitung dalam transaksi jual beli, dan pohon kelapa memiliki harga jual paling tinggi, yaitu sekitar Rp.250 ribu / batang. Pola penguasaan tanah lain yang sering dilakukan oleh masyarakat setempat dengan sistem jual beli dan terkadang sistem gadai. Sistem gadai sering dilakukan ketika si pemilik tanah sangat membutuhkan uang secara cepat dengan kuantitas yang cukup banyak. Tanah tersebut secara hukum dipindahkan hak gunanya kepada penggadai selama uang gadai tersebut belum diserahkan kembali (uang tebus). Umumnya masyarakat yang mau menggadaikan tanahnya mencari orang yang memiliki status terpandang seperti mereka mencari orang yang berdagang atau bandar pengumpul. Hak guna tanah bisa berubah menjadi hak milik karena batasan jangka waktu untuk menebus uang tersebut tidak ditepati
73
oleh penggadai, tetapi yang terjadi di masyarakat Kepulauan Derawan tidak demikian. Para pemegang hak pakai tanah merasa tidak nyaman untuk melakukan negosiasi untuk memperpanjang masa tebus atau masa tebus akan terus berlanjut jika benar-benar warga yang menggadaikan tanahnya tidak bisa membayar karena alasan belum bisa mengganti. Pola-pola sistem gadai saat ini tidak begitu banyak digunakan oleh warga, hal ini karena semua warga memiliki pandangan negatif. Seseorang yang melakukan penggadaian dirasakan tidak bisa menghargai kekayaannya sendiri, lebih tegas lagi kalau dijual. Jika meninggal dunia, tidak ada kekayaan yang bisa diwariskan kepada anak-anaknya walaupun kekayaan yang dimiliki hanya sepetak tanah. Pandangan masyarakat bahwa masih banyak yang bisa dimanfaatkan untuk memenuhi kebutuhan keluarga. Masyarakat menganggap bahwa orang yang memiliki tanah yang cukup luas sangat sedikit, hanya dimiliki oleh beberapa orang. Setiap keluarga umumnya memiliki petakan tanah yang hampir sama sekitar satu sampai tiga petak tanah. Misalnya di kampung Payung-payung hampir setiap kelurga memiliki hubungan persaudaraan, karena aslinya mereka satu nenek moyang, dimana warisan tanah dibagi sama rata setiap individunya. Pada penguasaan terhadap sumberdaya perikanan tangkap di perairan pantai dan laut, secara turun temurun tidak ada polanya. Masyarakat memandang bahwa sumberdaya perikanan seluruhnya bersifat kepemilikan bersama (common property). Semuanya bebas untuk memanfaatkan sesuai dengan kekuatan alat untuk memanfaatkan sumberdaya perikanan tersebut. Oleh karena itu hak akses terhadap sumberdaya perikanan dibatasi dengan perlengkapan penangkapan, sehingga pola penguasaan terhadap sumberdaya perikanan berhubungan dengan pola penguasaan terhadap perahu dan alat tangkap. Pola penguasaan atas perahu dan alat tangkap bagi nelayan laut menggunakan sistem sewa perahu dengan perlengkapannya kepada pemilik. Nelayan menyewa perahu dengan sistem bagi hasil. Stratifikasi komunitas nelayan berdasarkan penguasaan atas perahu dan alat tangkap terbagi atas tiga kelas. Pertama nelayan yang memiliki lebih dari
74
satu perahu motor dan alat tangkap dengan posisi pemilik kapal (punggawa)7 tidak ikut melaut, mereka juga berfungsi sebagai pengepul ikan. Punggawa hanya bekerja mengelola dan mengkoordinasikan armada yang disewakannya. Kedua nelayan yang memiliki satu armada dengan peralatan melautnya dimana posisi sipemilik ikut melaut. Ketiga, nelayan yang hanya memiliki alat tangkap saja yang digunakan untuk menangkap ikan di perairan pantai atau perairan umum. Di Pulau Maratua juga ada pola penguasaan terhadap sumberdaya sarang burung walet, dimana pola pemanfaatan ini sudah berkembang sejak zaman Kerajaan Sambaliung. Dahulu di tanah Berau ada dua kerajaan yang berkuasa. Dimana Kerajaan Gunung Tabur menguasai sumberdaya yang ada di daratan meliputi rempah-rempah, hutan, dan hasil perkebunan, sedangkan Kerajaan Sambaliung menguasai wilayah laut dan pulau-pulau kecil serta telur penyu, sehingga Pulau Maratua yang memiliki gua-gua tempat sarang burung walet masuk ke dalam kekuasaan Kerajaan Sambaliung. Sehingga dahulu hasilnya dimiliki oleh kerajaan. Tetapi sekarang setelah zaman kemerdekaan pola penguasaan seperti itu tidak berlaku lagi, sehingga sekarang untuk gua-gua sarang burung walet dipegang oleh pemda lewat tender yang diberikan kepada pihak swasta. Adanya pola penguasaan atas sumberdaya tanah dan perikanan serta diferensiasinya, pemilik tanah atau armada perahu dan alat tangkap memiliki hak eksklusif untuk mengambil manfaatnya dari sumberdaya tersebut8. Hak eksklusif tersebut dapat dipindah tangankan (hak transferibilitas) kepada orang lain seperti sepetak tanah yang dipindahtangankan kepada orang lain dengan cara dibeli atau digadaikan, juga seperti kepemilikan armada dengan sistem sewa kepada nelayan dengan tujuan mengambil manfaat dari sumberdaya tersebut. Sumberdaya alam lain yang bisa dimanfaatkan oleh masyarakat dan menurutnya bersifat common property yaitu hutan pantai. Hutan dipenuhi oleh vegetasi ekonomis (kayu bakau) dimanfaatkan oleh masyarakat secara kecil-
7
Di kalangan Orang Bugis-Makassar, kata “punggawa” berarti pemimpin atas sejumlah orang yang disebut “sawi”, untuk sesuatu kegiatan kerja tertentu, baik yang berlangsung lama, maupun dalam jangka waktu singkat untuk terselenggaranya kegiatan kerja. 8 Hak eksklusif merupakan hak yang paling tinggi yang dimiliki seseorang. Hal ini karena hak tersebut tidak dipisahkan dengan hak milik atas sumberdaya.
75
kecilan,9 yang sering digunakan sebagai bahan baku pembuatan kapal dan bentukbentuk lainnya yang dapat digunakan sebagai perlengkapan rumah tangga. Masyarakat juga memanfaatkan hutan pantai sebagai pencarian kayu bakar. Kayu-kayu tersebut dimanfaatkan dengan cara menebang ranting-ranting pohon yang cukup besar untuk kebutuhan keluarga. Pencarian tersebut sering dilakukan tergantung persediaan. Masyarakat menghabiskan kayu dalam empat sampai lima kali memasak dan mencari kembali ke tempat yang belum diambil pada hari-hari sebelumnya. Kebutuhan akan kayu bakar semakin meningkat seiring sering terjadinya kelangkaan BBM dan mahalnya harga minyak tanah. Banyaknya pengeksploitasian sumberdaya hutan pantai secara bebas oleh masyarakat, hal ini mengakibatkan tingkat pertumbuhan sumberdaya tersebut menurun. Dilema sumberdaya seperti ini selalu terjadi di kawasan lainnya. Penyebab utamanya merupakan sistem kepemilikan bersama (common property) oleh kelompok masyarakat setempat. Pola kepemilikan, akses dan kontrol terhadap sumberdaya tersebut secara kolektif inilah disebut sebagai tenurial system. Sistem ini dengan berbagai kondisinya akan menciptakan insentif yang sangat kuat terhadap kerusakan atau kelestarian sumberdaya alam (Fauzi 2006) termasuk hutan pantai dengan segala isinya. Tabel 20. Hak Dalam Penguasaan terhadap Sumberdaya No 1.
Penguasaan Sumberdaya Tanah (ladang dan perkebunan)
2.
Hutan pantai
3.
Perairan laut dan segala isinya
4
Cara Mendapatkan Sumberdaya - Warisaan - Jual beli - Perambahan hutan pantai Bebas untuk memanfaatkan sumberdaya Penyewaan alat tangkap dan perahu pemilikan atas perahu dan alat tangkap
Goa Sarang Pelelangan Burung Walet Sumber : Studi Lapang (data primer) diolah 2008.
9
Sifat kepemilikan Sumberdaya Kepemilikan pribadi
Hak Didapatkan Hak eksklusif, hak guna dan hak milik
Kepemilikan bersama
Hak akses secara komunal
Kepemilikan bersama
Hak akses secara komunal tergantung dari teknologi alat tangkap Hak eksklusif, hak guna
Kepemilikan pribadi
Pengambilan secara kecil-kecilan tersebut terjadi sebelum adanya peraturan mengenai perizinan pemanfaatan atas sumbedaya hutan pantai sekitar tahun 1998-an. Walaupun setelah didirikannya desa, dengan menetapkan status hak milik atas hutan oleh pemerintah tetapi tetap saja hal ini terus dilakukan oleh masyarakat setempat.
76
Tabel 20 menjelaskan pola penguasaan serta hak yang didapatkan atas sumberdaya yang ada di Kepulauan Derawan. Pemetaan tersebut dapat menghasilkan penjelasan bahwa sumberdaya yang bersifat common pool resources (CPR) terdiri dari hutan pantai dan perairan pantai (sumberdaya perikanan) lebih bersifat akses terbuka. Hal ini selalu menjadi permasalahan, walaupun pada masa orde baru status sumberdaya hutan pantai dimiliki oleh pemerintah.
6.1.3
Hubungan Patron-klien Apakah Punggawa melahirkan tertib sosial? Dengan relasi-relasi yang
tercipta antara individu-individu dengan Punggawa, Punggawa akhirnya dapat mengendalikan dan mengarahkan apa yang perlu dan tidak perlu dilakukan. Ide memasukkan Punggawa dalam bahasan ini, bermula dari pendapat Pak Derfin (45), seorang mantan pembeli ikan dan kini menjadi manejer sebuh perusahaan pembelian ikan dari nelayan-nelayan beberapa desa di Maratua. Ia mengatakan, “kalau anda mau menghentikan pemboman atau penggunaan potas oleh nelayan, anda cukup mengajak punggawa atau mempengaruhi punggawa untuk tidak membeli ikan-ikan yang diperoleh dengan kedua cara itu. Sepanjang punggawa masih menyediakan apa yang diperlukan oleh nelayan untuk menangkap ikan, termasuk bom dan potas, maka selama itu pula kegiatan pemboman dan pemotasan oleh nelayan akan berlangsung” Pendapat ini didasarkan pada kenyataan bahwa punggawa memosok bahan-bahan terlarang itu ke kampung-kampung. Punggawa yang mempunyai jaringan lebih luas di luar, dan jaringan ini kalau punggawa mau memanfaatkan, sangatlah dimungkinkan. Keterikatan individu-individu nelayan kepada punggawa memang memungkinkan punggawa untuk menciptakan tertib sosial. Keterikatan individuindividu nelayan dengan punggawa, tercipta sejak dari penyediaan perbekalan mencari ikan, pemenuhan kebutuhan nelayan atas pembuatan kapal, rumah, dan kebutuhan sehari-hari nelayan. Adalah punggawa, lepas dari kecerdikannya mencari untung, membuat nelayan harus mencari ikan sebanyak-banyaknya untuk
77
dijual guna membayar hutang-hutang sehari-hari10 mereka kepada punggawa. Punggawa membeli ikan yang diasinkan tanpa peduli dari mana atau dengan cara apa ikan-ikan tersebut diperoleh. Kalau punggawa menolak membeli ikan-ikan asin dengan ciri-ciri bahwa ikannya diperoleh dengan pemboman, nelayan pasti akan mencari ikan dengan jalan lain atau sumber lain yang bisa menghasilkan uang. Sebab, punggawa juga yang bisa menjadikan benda-benda yang semula tidak berharga menjadi berharga. Dulu orang tidak mencari kerapu, kini kerapu dicari, dulu orang tidak memerlukan teripang dan gurita, kini semua orang di kampung mencari teripang dan gurita . Laki-laki dan perempuan, semuanya mencari teripang dan gurita. Oleh sebab itu, lebih dari institusi mana pun, kekuatan punggawa mempengaruhi individu-individu nelayan benar-benar hidup dan ‘bekerja’ dari waktu ke waktu sepanjang hari11. Pengalaman di Pulau Maratua dalam pemilihan Kepala Kampung 2008 dan dalam Pemilu 2004 lalu telah memperlihatkan betapa punggawa dapat merenggut suara warga secara signifikan. Dengan berbagai keterikatan dan ketergantungan warga kepada punggawa, punggawa akhirnya dapat meraih kemenangan dalam pemilihan. Kepentingan-kepentingan pribadi warga yang dipenuhi lewat kerjasamanya dengan punggawa, membuat warga tidak bisa berpaling dari apa yang diminta atau diinginkan punggawa dari warga. Di lain pihak, untuk kepentingan pribadi sang punggawa sendiri, para punggawa terpaksa menjaga dan memelihara hubungan-hubungannya dengan para warga/nelayan, baik melalui jalur bisnis maupun jalur kekerabatan. Ada komitmen yang harus dijaga kedua belah pihak agar hubungan mereka tetap produktif. Aturan-aturan inilah yang sering dinamakan dalam literatur antropologi hukum sebagai living law, atau rule-in-use dalam literatur-literatur pengembangan masyarakat. Apakah punggawa di Kepulauan Derawan memiliki rasa khawatir akan ditinggalkan oleh ‘pegawainya’ (nelayan-nelayan yang terikat kerjasama dengan punggawa)? Melban (49), salah seorang punggawa di Bohe Silian, mengakui 10
Hutang sehari-hari terjadi karena nelayan mengambil segala keperluan dapur + rokok sehari-hari diambil lebih dulu dari punggawa dan bayarnya belakangan (bon). Untuk melunasi hutang-hutang inilah nelayan mencari/membuat ikan asin untuk dijual kepada punggawa tersebut. Para punggawa biasanya menampung/membeli ikan-ikan asin dari nelayan.
11
Dalam hal ini punggawa juga dipengaruhi oleh pasar nasional dan internasional.
78
kekhawatiran itu karena semua nelayan di kampungnya memiliki sarana dan prasarana untuk menangkap ikan. Kalau nelayan mau meninggalkan punggawanya, nelayan-nelayan di Bohe Silian, kata Melban, dapat melakukannya. Nelayan di sini mestinya bisa hidup tanpa bon. Penghasilan mereka sanggup untuk menopang kehidupan harian mereka. Hanya karena cara nelayan mengelola uang kurang cermat menyebabkan mereka sering kehabisan modal untuk melaut. Mereka tidak bisa menunggu lama uang tersimpan dan menahan selera, begitu mereka mendapatkan uang, mereka membeli barang-barang mewah, seperti emas dan elektronik dengan cara kredit, sehingga modalnya habis pada saat mau berangkat melaut, itulah sebabnya punggawa di Maratua bersepakat untuk bersaing antar sesama punggawa dengan cara-cara yang tidak merugikan nelayan. Nelayan akan lari ke punggawa yang lebih besar bila dalam persaingan antar punggawa di kampung menyebabkan harga beli yang terlalu timpang antara satu dan lain punggawa. Melban mengakui bahwa nelayan di kampungnya tidak dapat dipandang sebagai target semata. Mereka merupakan bagian dari keluarga dan masyarakat di mana kita sehari-hari bergaul dan berhubungan. Punggawa tidak dapat memenuhi kebutuhannya sendiri tanpa bergantung sama sekali pada warga. Banyak urusanurusan di kampung yang memerlukan gotong-royong dari warga. Kematian, perkawinan dan lain-lain kegiatan semuanya memerlukan gotong-royong. Oleh sebab itu kerukunan dengan warga harus tetap dijaga dengan jalan tidak melakukan sesuatu yang menyebabkan warga merasa dirugikan. Bahkan para punggawa di Bohe Silian, menurut Melban, mengadakan transportasi gratis bagi siapapun yang ingin ikut kapal mereka pada saat mereka berbelanja barang ke Tanjung Redep12. Warga boleh memesan atau mengirim apa saja dari dan ke Tanjung Redep tanpa dipungut bayaran asalkan warga tersebut mau mengangkat sendiri barang-barang pesanannya itu dari dermaga. Kami kira inilah bentukbentuk service yang diberikan punggawa kepada warga guna menjaga
12
Cara yang sama diterapkan oleh Punggawa di Pulau Derawan. Punggawa ini menyilahkan siapa saja yang mau ikut tanpa dipungut biaya ketika kapal miliknya berangkat ke Tanjung Redep 2 kali seminggu. Tetapi konon, menurut seorang informan yang merupakan lawan politiknya, punggawa bersangkutan diskriminatif terhadap warga yang tidak memilih partai PPP saat pemilu yang lalu. Mereka disuruh turun atau dilarang naik ke kapal gratis yang dioperasikannya.
79
hubungannya tetap baik dengan warga sehingga usahanya berjalan lancar dan menjadi kaya.
(a)
(b)
(c)
Keterangan : (a) Kapal rengge yang di modali punggawa (b) Bidang usaha lain yang digeluti punggawa. (c) Kapal kedo-kedo yang menjadi binaan punggawa
Gambar 14. Aktifitas Perikanan yang Digeluti Seorang Punggawa. Kekayaan seorang punggawa yang tampak lebih dari kekayaan nelayan, lanjut Melban, tidak lepas dari jualan-jualan yang diadakan para punggawa di luar kegiatan membeli ikan. Dagang sembako dan kebutuhan-kebutuhan lain, ikut memberi kontribusi pada kekayaan di samping, kata Melban, caranya mengelola pendapatan dari kegiatan dagang. Jadi sumber pendapatan para punggawa, berbeda dari nelayan, tidak hanya satu. Nelayan kebanyakan hanya mengandalkan pendapatan dari hasil ikan yang ditangkap. Begitu musim angin kencang sehingga tidak dapat melaut, nelayan tidak lagi mempunyai pencaharian lain kecuali menghabiskan apa yang diperoleh dari masa sebelumnya. Para punggawa, pada saat yang sama masih menerima pemasukan dari jualan-jualan sembako yang dibutuhkan masyarakat. Kemampuan punggawa membaca peluang usaha di desa memang perlu diakui jauh di atas kemampuan nelayan. Konsentrasinya pada bisnislah yang membuat punggawa lekas melihat dan membaca peluang-peluang pasar. Baru beberapa bulan yang lalu punggawa Helbi (48) bersama rekannya mendirikan ‘rumah billyard’ dengan empat meja dan dua orang wanita penjaga. Sekarang hampir tiap malam ‘rumah billyard’ tersebut diserbu pengunjung, tidak kurang 100 ribu tiap malam Helbi mendapat uang dari usahanya itu. Kedai rokok miliknya ikut keciprat tambahan omset setelah rumah bilyard yang terletak di depan tokonya dibuka hingga jam 12 malam. Begitu pun ketika seorang lelek, orang Bugis penjual es-krim keliling di Maratua membutuhkan es batu sepuluh
80
bungkus sehari, Helbi lah yang memasoknya tanpa harus menambah investasi. Helbi hanya memanfaatkan kulkas miliknya untuk memenuhi permintaan lelek. Dengan es batu saja, kata Helbi, ia bisa menutupi separuh biaya solar mesin pembangkit listrik yang ada di rumahnya. Dengan tertutupi separuh, Helbi sudah merasa untung karena nilai rupiah yang separuhnya lagi itu sudah sama dengan pengeluaran rumah tangga lain untuk solar. Belum lagi sesekali lelek ikut belanja kebutuhannya di toko milik Helbi. Kemampuan para punggawa ini mengelola dan menjaga hubungan sosial agar tetap baik dengan warga merupakan contoh bagaimana tertib sosial dapat diciptakan dalam masyarakat. Saling menjaga kepentingan sebagaimana diterapkan para punggawa terhadap sesama dan terhadap nelayan rekanannya itu menjadi contoh bagiamana ikatan-ikatan sosial dapat dipelihara. Sebuah cerita dari Pak Sahnar (50) dalam pengalamannya sebagai anggota sebuah kelompok penangkapan ikan dengan menggunakan pukat milik juragannya, mengungkapkan satu lagi contoh bagaimana menjaga dan mengelola hubungan-hubungan sosial. Pak Sahnar ikut dengan seorang juragan menangkap ikan dengan menggunakan pukat. Pukat dan kapal adalah milik juragan sementara biaya operasi setiap kali melaut ditanggung bersama antara juragan, dia dan satu lagi rekannya. Hubungan kerja macam itu sudah dilakukan sejak lama, namun masih tetap bertahan hingga kini karena ada keterbukaan dalam manajemen. “Berapa solar, berapa makanan, dan berapa hasil kilo serta harga jual ikan. Semuanya jelas,. sehingga kita tahu berapa bagian kita. Berapa untuk kapal”, kata Sahnar menjelaskan manajemen terbuka itu. Lebih lanjut Sahnar mengatakan: “Keterbukaan juragan membagi hasil karena anak buah juga jujur dan suka menolong. Jujur kita itu artinya tidak mengambil barang-barang yang bukan milik kita dari kapal. Kalau gak bisa pergi karena sakit, bilang sakit. Kemudian kalau lihat kawan kerja, kita bantu. Kita pokoknya suka menolong. Anak buah itu tidak boleh terlalu ‘berhitung’ dalam mengeluarkan tenaganya. Artinya kita tidak boleh berdiam diri manakala ada pekerjaan yang patut dikerjakan. Kita harus membantu juragan, misalnya membuatkan kopi, memasakkan air, membuang air dari dalam kapal, dan sebagainya. Besok harinya membersihkan kapal, ngecet, dan lain-lain. Jadi kita jangan biarkan juragan kita mengerjakan sendiri. Kita gotong royong lah. Kita jangan terpaku hanya mengerjakan tugas kita saja. Misalnya, kalau tugas kita juru mesin jangan itu saja. Atau kalau
81
tugas kita tebar jaring terus gak mau bantu lagi tugas lain. Ini tidak bagus. Dengan begini juragan senang sama kita. Juragan pun tidak sembarangan mengeluarkan kita. Kalau kita dikeluarkan, kita bisa tanya apa alasannya”. Dari contoh-contoh tersebut di atas dapat ditarik pelajaran bahwa tertib sosial dapat dibangun tanpa mesti ada organisasi yang tugasnya khusus menjaga tertib sosial. Semua individu, termasuk punggawa, juragan dan anak buah (nelayan) dapat membangun tertib sosial di lingkungannya masing-masing. Ikatan-ikatan kepentingan memungkinkan hal itu terjadi. Konsisten pada ‘janji’, jujur dan bertanggungjawab, saling menghormati dan tidak enggan menolong adalah kunci dari ketertiban sosial. Adanya pola penguasaan terhadap tanah dan armada tangkap menggambarkan struktur penguasaan masyarakat terhadap produksi13. Adanya pola penguasaaan terhadap sumberdaya alam yang memiliki nilai ekonomi, maka penguasaan berhubungan dengan sumberdaya manusia untuk mengelola sumberdaya terjadi pula. Pada komunitas nelayan, stratifikasi sosial berdasarkan penguasaan atas sumberdaya manusia menunjukkan pola yang sama. Hal ini karena tiap individu memiliki kekuatan sendiri berupa modal untuk menguasai baik sumberdaya alam yang bernilai ekonomi dan sumberdaya manusia sebagai tenaga kerja. Hubungan yang terjadi antara lapisan kelas atas dengan bawah pada komunitas nelayan membentuk hubungan punggawa-anak buah (nelayan). Istilah ini lebih terkenal dengan hubungan patron-klien (Satria, et al 2002). Hubungan yang sangat erat antar patron-klien ini disinyalir oleh masyarakat umum berdampak negatif terhadap klien. Secara struktural klien berada diposisi lemah akibat dari sistem buruh atau bagi hasil yang ditetapkan, tetapi masyarakat Pulau Derawan dan Pulau Maratua (Kepulauan Derawan) memandang bahwa punggawa sebagai pelindung. Hal ini karena pada masyarakat Kepulauan Derawan terbentuk budaya hak dan kewajiban secara moral diberikan kepada dua simbol kelas sosial tersebut. Hak dan kewajiban tersebut suatu keharusan dan telah terinternalisasi (mendarah daging) dan menjadi nilai-nilai moral kelas atas. Akibat dari kejadian 13
Struktur produksi merupakan struktur masyarakat untuk mendapatkan penghasilan ekonomi, hasil dari kerjasama yang saling membutuhkan dengan masyarakat lainnya yang berbeda dalam kepemilikan alat produksinya seperti tanah pertanian dan armada tangkap untuk melaut.
82
kecelakaan yang menimpa nelayan yang sedang melaut, banyak keluarga nelayan tidak memiliki kepala keluarga atau kehilangan anaknya. Nelayan tersebut berprofesi sebagai anak buah (nelayan) atau juru mudi yang menyewa perahunya punggawa. Oleh karena itu, kewajiban punggawa harus melindungi keluarganya dengan cara memberikan bagian dari hasil tangkapannya yang biasa sering didapatkan kepada keluarganya. Selain itu hubungan yang terbentuk antara punggawa dengan nelayan sangat kuat, pada saat melaut seluruh kebutuhan pokok selama di laut akan ditanggung oleh punggawa, baik kebutuhan di kapal maupun keluarga yang ditinggalkannya, juga pada saat nelayan membutuhkan uang untuk keperluan biaya berobat atau sekolah anak, maka tanpa sungkan-sungkan punggawa akan memberikan pinjaman tanpa ada bunga dan batas waktu pengembalian, sehingga secara moral pun nelayan akan menjual hasil tangkapan ikannya kepada punggawa. Pada saat musim panen, pendapatan nelayan kerapu dalam satu kali melaut dalam 20 hari kerja selama sebulan sekitar Rp 1.000.000 – 2.500.000.14 itu merupakan pendapatan bersih nelayan setelah dipotong seluruh biaya yang ditanggung punggawa selama melaut, seperti bahan bakar dan sembako. Sebelum berangkat melaut biasanya nelayan akan mengisi bahan bakar dan mengambil sembako di rumah punggawa untuk keperluan selama melaut, juga untuk kebutuhan kelaurga selama ditinggalkannya. Untuk nelayan kerapu ini lokasi pemancingannya adalah di sekitar Karang Muaras, Pulau Sambit, Pulau Mataha dan sekitarnya, dimana lokasi tersebut terletak di wilayah perbatasan. Sehingga tidak memungkinkan mereka untuk pulang pergi kerumah, sehingga harus menginap di dalam atoll karang selama di Karang Muaras, atau merapat ke pulaupulau terluar tersebut. Ikan kerapu harus dijual dalam kondisi hidup, supaya mendapatkan harga tinggi sehingga selama melaut nelayan memasang keramba (Lokal)15 di sekitar Karang Muaras untuk mengkarantina sementara ikan kerapu tangkapannya, tiga hari sekali mereka beri makan agar tetap hidup, sambil menunggu kapal loding dari Hongkong atau Tarakan yang memang menjadi mitra 14
Dalam sebulan (20 hari) melaut mendapatkan kerapu sebanyak 50 kg hanya kerapulah yang biasanya masuk dalam pembagian hasil sedangkan hasil tangkapan campuran biasanya dibawa oleh nelayan untuk dikonsumsi bersama keluarga. 15 Keramba tancap yang dipakai untuk menampung ikan selama memancing di sekitar karang muaras, sehingga ikan bisa tetap hidup.
83
masing-masing punggawa mereka. Sehingga transaksi jual beli antara punggawa dan kapal loding berlangsung di laut. Sedangkan pembayaran ke nelayan akan dilakukan di rumah punggawa setelah dipotong hutang modal produksi, tidak heran selama penelitian berlangsung peneliti jarang sekali melihat nelayan membawa pulang hasil tangkapannya ke kampung. Harga jual ikan Kerapu dari nelayan ke punggawa sangat bervariasi, sesuai dengan jenis dan beratnya. Untuk jenis Kerapu Sunu (Seising) untuk ukuran baby perkilogramnya adalah Rp.30.000, ukuran super Rp. 56.000, sedangkan ukuran 1.3 kg keatas dihitung Rp.57.000/ekor. Untuk Kerapu Macan ada selisih harga sekitar Rp.4000 dari Kerapu Sunu. Sehingga dibandingkan ikan lainnya yang hanya Rp. 5000 perkilogram, menangkap ikan Kerapu menjadi target utama bagi nelayan Kepulauan Derawan, apalagi untuk Kerapu jenis Tongsing dapat mencapai harga hingga Rp. 145.000 / kilogram. Sedangkan punggawa mengambil keuntungan sekitar Rp.15.000 / kilogramnya ketika menjual kepada Kapal loding. Dalam sebulan biasanya nelayan kerapu melaut selama 20 hari, sedangkan 10 hari sisanya mereka pakai untuk beristirahat, dan memperbaiki perahu yang rusak. Semakin eratnya hubungan antara punggawa dan nelayan nelayan akan mempengaruhi keterikatan kohesi asimetris16. Oleh karena itu walaupun hubungan antara patron-klien tersebut asimetrik tetapi hal ini merupakan solidaritas (kohesi social) masyarakat yang begitu kuat dalam interaksi sosial ekonomi masyarakat sejak lama.17 Menurut Scott (1993) dalam Satria (2003) bahwa sistem tukar menukar tenaga kerja jasa dan benda dalam proses produksi seperti ini pula dapat berperan sebagai penggerak aksi kolektif (collective conscience) dalam masyarakat. Pengaruh dari pola pemukiman yang terkonsentrasi di lima kampung pada komunitas nelayan Kepulauan Derawan, menyebabkan hubungan antara kelas sosial nelayan terjadi tumpang tindih. Pada saat penelitian dilakukan beberapa 16
Kohesi dalam masyarakat terbagi atas dua bagian yaitu kohesi simetris dan asimetris. Asimetris timbul karena adanya perbedaan lapisan antara atas dan bawah , kaya dan miskin atau dununganpakacar. 17 Hubungan antara dua lapisan masyarakat tersebut lebih memprioritaskan moral budaya yang saling membutuhkan dan menghormati. Seorang punggawa menjadi pelindung kepada nelayan karena terikat norma yang berlaku. Hal ini sejalan dengan teori sosial-fungsional dimana suatu masyarakat melakukan penghormatan kepada lapisan lainnya untuk menghindari persengketaan tetapi keinginannya untuk tetap selalu bekerjasama saling melindungi. Walaupun hubungan tersebut dirasakan tidak adil, ini karena perbedaan status dan peran antara lapisan yang ada.
84
orang dari masyarakat menduduki posisi sebagai punggawa, disatu sisi memiliki tanah dan di sisi lain memiliki toko. Terjadinya status dan peran yang tumpang tindih ini menjadikan masyarakat melakukan penghormatan yang lebih. Figur tersebut menjadi orang yang terpandang dan memiliki nilai kharismatik tersendiri. Masyarakat sepenuhnya memberikan kepercayaan untuk mengurusi permasalahan kepada punggawa. Struktur seperti ini memiliki kelebihan dimana simbol ini digunakan sebagai simbol jaringan komunikasi secara tradisional. Proses aksi kolektif secara cepat pula dapat digerakkan karena adanya sistem kepemimpinan yang bersifat monolitik. Tabel 21. Kewajiban dan Hak dalam Hubungan Punggawa-Nelayan. No
Status
1
Punggawa
2
Nelayan
6.1.4
Kewajiban
Hak
• Penghidupan subsistem dasar, berupa pemberian pekerjaan tetap, penyediaan logistik dan sembako, jasa pemasaran, dan bantuan teknis. • Jaminan krisis subsisten berupa pinjaman yang diberikan pada klien menghadapi kesulitan ekonomi. • Memberikan jasa kolektif berupa bantuan untuk mendukung sarana umum setempat. • Menjual ikan hasil tangkapan kepada punggawa. • Menyediakan tenaga dan keahlian untuk kepentingan punggawa, misal jasa pekerjaan dasar, jasa tambahan bagi rumah tangga punggawa.
• Membeli ikan hasil tangkapan nelayan. • Memanfatkan tenaga dan keahlian dari nelayan untuk kepentingan punggawa, misal merawat kapal, alat tangkap.
• Mendapat penghidupan subsistem dasar (pekerjaan, penyediaan logistik dan sembako untuk melaut, pemasaran, bantuan teknis). • Pinjaman uang pada saat nelayan membutuhkan.
Struktur Kelembagaan Masyarakat Lembaga-lembaga formal yang terdapat di perkampungan nelayan adalah
lembaga Pemerintahan Kampung (Kepala Kampung, Sekretaris Kampung, Kepala Urusan, dan Ketua RT), Badan Perwakilan Kampung, Lembaga Pemberdayaan Masyarakat, PKK dan Karang Taruna. Selain itu juga terdapat kelompok arisan, pengajian dan shalawatan. Beberapa pengurus organisasi massa dan partai politik juga telah berdiri di sebagian besar perkampungan nelayan. Sedangkan lembaga non formal misalnya pegawai 12.
85
Semua desa atau kampung di Kepulauan Derawan memiliki apa yang dinamakan ‘pegawai 12’ ini. “Pegawai 12” adalah lembaga yang mengurus, menjaga, memelihara dan melaksanakan hal-hal yang dianggap berkaitan dengan agama (Islam). Markas lembaga ini, secara formal, adalah masjid. Organisasi lembaga ini terdiri dari: penghulu, imam, khatib, bilal dan mukim. Tugas penghulu mengurus dan melayani pernikahan atau perkawinan. Tugas imam memimpin sembahyang / shalat berjamaah: shalat lima waktu sehari semalam, shalat Jum’at, shalat Tarawih, shalat Idul Fitri dan Idul Adha serta shalat jenazah. Bilal bertugas mengumandangkan azan setiap waktunya tiba (waktu shalat atau pada waktu upacara mandi safar), menangani jenazah, dan lain-lain. Tugas khatib memberi ceramah atau khutbah pada saat Jum’at-an atau pada ketika yang lain. Dan terakhir tugas mukim, ialah menjaga dan memelihara kebersihan dan merawat peralatan-peralatan yang ada di masjid. Jumlah dari keseluruhan orang (petugas) yang mengurus lembaga ini adalah 12 orang. Komposisinya bisa berbeda dari satu ke lain kampung. Di kampung Bohesilian misalnya, penghulu satu orang dan biasanya pengulu ini ditunjuk atau diutus oleh Departemen Agama Kecamatan. Imam jumlahnya dua orang, khatib dua orang, bilal enam orang dan mukim satu orang. Di desa/kampung Pulau Derawan, imamnya empat orang termasuk satu penghulu, khatib tiga orang, bilal tiga orang dan penjaga masjid dua orang (total: 12 orang). Di Bohe Silian penghulu sekaligus menjadi “pimpinan” lembaga, sementara di Pulau Derawan pimpinan lembaga adalah imam tua. Lembaga ini, di kampung mana pun berada, sifatnya lebih banyak monopang, menyokong dan menunggu permintaan warga untuk sesuatu keperluan. Di Masjid lembaga ini eksis, menyelenggarakan sholat lima waktu dan shalat jum’at secara berjamaah. Tetapi mereka tidak mampu menarik dan ataupun memaksa lebih banyak lagi warga untuk menambah jumlah jamaahnya dari waktu ke waktu. Porsi anak-anak dapat dikatakan seimbang atau bahkan lebih besar ketimbang porsi orang dewasa dalam setiap berjamaah. Kecuali pada saat jum’at atau magrib, orang dewasa bisa lebih besar namun tidak seberapa jumlahnya. Dibanding jumlah penduduk, jama’ah shalat tidak sampai lima persen. Sikap Pegawai 12, sama seperti sikap keluarga, tidak terlibat dalam menggolong-
86
golongkan warga ke dalam golongan santri atau bukan santri, kaum tua atau kaum muda, sehingga tidak menimbulkan dinamika atau ketegangan di dalam kehidupan beragama di kalangan masyarakat. Personil-personil lembaga 12, khususnya penghulu, dibutuhkan masyarakat pada waktu adanya akad-nikah. Penghulu yang memimpin acara akad nikah sekaligus melengkapi surat-surat adminstrasi pernikahan itu, termasuk buku/surat nikah. Kepala Kampung biasanya menjadi salah satu saksi atas pernikahan itu dan ditambah satu saksi lagi dari tokoh agama (imam atau khatib). Tokoh agama ini juga memberikan khutbah atau menyampaikan doa selepas akad nikah berlangsung. Mejelang diadakannya suatu pernikahan, sehari atau dua hari sebelumnya, ahli bait biasanya mengadakan acara syukuran. Syukuran ini, meski maknanya mengekspresikan bahagia, selalu saja bersuasana religius. Doa-doa dipanjatkan secara beramai-ramai di bawah komando tokoh agama, orang yang fasih membacakan dan menghafalkan doa-doa ialah imam, khatib atau bilal. Tidak ada syukuran tanpa kehadiran sama sekali tokoh agama, sehingga mereka merasa dibutuhkan. Meraka akan datang ke suatu syukuran hanya apabila diundang. “Kita tidak datang kalau tidak diundang”, kata Pak Armansyah (56), imam di Kampung Payung-payung. Tetapi sangat jarang untuk acara-acara seperti ini orang tidak mengundang tokoh agama. “Kecuali untuk urusan kematian, kita akan datang tanpa diundang”, kata Bilal di Payung-payung. Personil lembaga pegawai 12 paling menonjol perannya dalam menangani kematian, disebut “kerja orang mati”. Kerja ini meliputi memandikan, mengkafankan, men-shalatkan, menguburkan, mendoakan jenazah (doa arwah dan doa selamat18). Kerja ini diselenggarakan dalam rangka fardhu kifayah, artinya kewajiban yang harus dijalankan oleh muslim terhadap muslim yang meninggal dunia: “Akan mendapat dosa seluruh isi kampung bila tak seorang di antara
18
Acara-acara doa arwah dan doa selamat dapat meliputi: tahlilan (acara membaca doa 3 hari berturut-turut setelah musibah kematian), doa arwah (acara mendoakan orang yang sudah meninggal di hari ke-7, ke-14, ke-40, ke-100, dan ke-1000), akikah, serta berbagai macam acara syukuran dalam hal kelahiran, pindah rumah, perkawinan dan sebaginya.
87
mereka melakukan kewajiban ini”. Dalam kerja ini bilal sangat penting perannya. Maka dari itu seorang bilal dari Bohe Silian mengatakan: “Pegawai 12 harus bisa bersikap adi, tidak boleh mencampur-adukkan kepentingan pribadi dengan kepentingan masyarakat. Karena tugas pegawai 12 menyangkut kepentingan masyarakat maka tidak boleh tidak datang kepada keluarga orang meninggal karena ada dendam pribadi”. Artinya, keberatan-keberatan pribadi harus disingkirkan dan didahulukan kepentingan orang lain yang mendapat musibah. Pegawai 12 juga berjasa menyokong penyelenggaraan kegiatan-kegiatan massal yang bersifat religius seperti: Tolak Bala (10 Safar), Talian (Bulan Maulud) dan Assyura (10 Muharram). Di Pulau Derawan upacara tolak-bala berlangsung di laut, yaitu di suatu tempat di gusung19, pada saat pasang surut. Seluruh warga, kecuali yang tidak sanggup secara fisik, pada hari itu berangkat dengan kapal-kapal milik mereka ke gusung. Anak-anak hingga orang dewasa laki perempuan hadir di sana. Di sana diadakan upacara yang tidak terlalu rumit. Hadirin sesampai di tempat, berdiri membentuk lingkaran besar tetapi masih di dalam batas tonggak kayu yang telah ditancapkan di empat penjuru mata-angin (empat penjuru rumah) sehari sebelumnya. Empat orang, terdiri dari bilal, masing-masing mengumandangkan azan di empat penjuru mata angin tadi. Siap azan, imam membaca doa. Doa yang dibaca, kata Ahmad Yani (51) (imam masjid Pulau Derawan) adalah ‘salamun qaolam mir robbir rohim’. Lalu hadirin saling bersiram-siraman air laut hingga basah kuyup. Itulah sebabnya upacara ini juga dinamakan upacara mandi safar. Sesudah mandi-mandi di laut para hadirin peserta upacara pulang ke kampung dan menuju masjid untuk makan ketupat. Para ibu-ibu, sebelum berangkat ke gusung, ternyata terlebih dahulu mengantarkan ketupat hasil olahannya ke masjid. Ketupat-ketupat ini memang dimaksudkan untuk disantap bersama-sama warga sekampung sepulang mandi-mandi di laut. Caranya, sebelum di santap, ketupat-ketupat beserta adonannya yang lain didoakan lebih dahulu. Imam, dalam hal ini, kembali membaca dan memimpin doa. Menurut Penghulu Kampung, Pak Armansyah, upacara mandi safar atau tolak bala itu tidaklah sekedar mandi di laut. Sebelum mandi di laut, pegawai 12 dan tokoh-tokoh masyarakat sudah 19
hamparan pasir di tengah laut yang kelihatan hanya pada saat surut air laut.
88
berkeliling kampung sambil membacakan yasin. “Surat yasin dibaca sambil berjalan mengelilingi kampung dan berakhir di ujung kampung”.
Sumber : Bestari (2007)
Gambar 15. Ritual Mandi Safar oleh masyarakat Bohesilian (Bestari) Simbol-simbol Islam seperti kaligrafi dan ayat-ayat yang dipetik dari kitab suci Al-Qur’an (umumnya produk pasar) banyak terlihat dipajang di dindingdinding ruang tamu rumah penduduk. (Barang-barang ini, menurut informan, diperoleh dari lelek julukan untuk pedagang keliling, termasuk penjual barang yang datang dari luar kampung untuk menjual barang secara kredit). Simbolsimbol ini dapat menjadi petunjuk bahwa penghuni rumah tersebut agamanya Islam. Tetapi di samping simbol-simbol Islam, di rumah-rumah penduduk juga terpajang benda-benda khusus lain yang merupakan simbol kepercayaan, seperti “ajimat” dan bendera kuning. Kedua benda ini berhubungan dengan kepercayaan yang kepemimpinannya ada di tangan dukun. 6.1.4.1
Struktur Pemerintahan Desa Desa sebagai suatu kesatuan administrasi terkecil yang menempati tingkat
paling bawah dalam susunan pemerintahan nasional. Sebagai suatu kesatuan administratif desa memiliki suatu sistem pemerintahan untuk mengurus rumah tangga. Pemerintahan desa terdiri dari perangkat pemerintahan desa dan Badan Pengawas Kampung (BPK). BPK merupakan lembaga baru dalam pemerintahan desa dimasa otonomi daerah sesuai dengan Undang-undang Otonomi Daerah. Secara struktural organisasi birokrasi desa terdiri dari satu orang Kepala Kampung yang didampingi oleh seorang sekretaris desa dan beberapa kepala urusan. Bagian urusan yang ada di kampung adalah urusan pemerintahan, urusan pembangunan, urusan umum. Struktur pemerintah Republik Indonesia yang paling dini dikenal oleh masyarakat kepulauan Derawan adalah pemerintahan kampung. Lewat sejumlah intervensi, pemerintahan yang dipimpin oleh orang lokal ini berkembang sehingga
89
menjadi satu kekuatan yang sulit dihindari. Kebijakan-kebijakan pemerintah yang tersalur ke desa-desa, ditembus lewat lembaga ini dan dilaksanakan oleh lembaga ini pula. Mulai dari KTP hingga urusan berumahtangga, mulai dari urusan ekonomi hingga urusan politik, mulai dari kesenian, olah raga, kesehatan hingga pendidikan, semuanya melibatkan lembaga ini. Tidak terasa, lama kelamaan lembaga ini kian menguat melebihi lembaga-lembaga lain yang ada di kampung. Orang-orang yang datang dari luar kampung, apa pun urusannya, selalu memperhitungkan Kepala Desa atau Ketua RT. Siapa pun yang masuk kampung dengan niat baik, juga tidak segan melaporkan kehadirannya kepada kepala desa. Kalau peneliti yang masuk kampung, tidak jarang menjadikan kepala desa sebagai responden atau orang yang merepresentasikan desa. Atau sebagai informan, kalau yang datang adalah peneliti-peneliti dari kalangan kualitatif. Tanpa disengaja, sikap-sikap orang luar ini pun ikut memberi bentuk penguatan sosial, politik dan hukum kepada kepala desa beserta perangkatnya. Akan tetapi dengan bertumpuk-tumpuknya tugas yang harus dijalankan oleh kepala desa di desanya masing-masing, kepala desa sulit menyusun program kerja. Belum selesai satu pekerjaan ditangani sudah datang lagi pekerjaan lainnya, sementara ‘yang kerja’ dan ‘sumberdaya yang kerja’ tidak terlalu super. Ditambah dengan teknologi yang sangat terbatas, membuat pekerjaan itu menjadi semakin keteter. Di Payung-payung, sebagai contoh, kepala desa dalam waktu bersamaan bertugas menyiapkan kegiatan-kegiatan menyambut hari ulang tahun kampung 5 mei 2008, mengisi formulir super-rumit untuk mendata calon pemilih dalam program Pilkada, mensosialisasikan undang-undang No.32 tahun 2004, melayani/mendukung program LSM dalam ekowisata, menyelesaikan sengketa perbatasan dengan Teluk Harapan, mengatasi masalah penutupan jalan umum oleh pengusaha Maratua Paradise, mendukung program pemetaan sumberdaya dari LSM, peneliti dari IPB dan peneliti dari Unmul dan sejumlah soal ‘dalam negeri’ berkenaan dengan belum rampungnya pembentukan lembaga-lembaga seperti Dakayu Akkal. Tugas-tugas tersebut masih belum termasuk tugas-tugas dalam rangka menghadiri berbagai undangan dari kecamatan, undangan dari warga yang mengadakan hajatan, melayani/menyambut tetamu suatu acara perkawinan, menjadi saksi sebuah pernikahan, dan seterusnya.
90
6.1.4.2 Organisasi Berbasis Masyarakat Organisasi yang ada di dalam kehidupan masyarakat adalah Badan Kelola Kawasan (BKK), BKK ini telah di bentuk di setiap kampung sehingga ada lima Badan Kelola Kawasan yang terdapat di Kepulauan Derawan, yakni satu di Pulau Derawan dan empat di Pulau Maratua. Tujuan dari Badan Kelola Kawasan ini adalah untuk mensejahterakan masyarakat umum melalui pengelolaan sumberdaya alam dan pelestariannya. Sehingga untuk mewujudkan tujuan tersebut maka setiap Badan Kelola Kawasan membuat rencana kerja dimana rencana kerja tersebut dibuat sesuai dengan kondisi sumberdaya alam yang ada di masing-masing kampung. Struktur kelembagaan di dalam organisasi ini adalah Ketua, Wakil Ketua, Sekretaris, Bendahara, seksi ekowisata, seksi konservasi, seksi pemberdayaan ekonomi serta penasehat yang terdiri dari Badan Pengawas Kampung (BPK) dan Camat. Di Kepulauan Derawan masih ada organisasi berbasis masyarakat yang konsen terhadap kesejahteraan nelayan, yaitu Forum Komunikasi Masyarakat Nelayan (Formal). Keterpolaan hubungan antara lapisan atas dengan lapisan bawah dan menengah serta dengan banyaknya nelayan dari luar Kepulauan Derawan yang masuk ke wilayah perairan menyebabkan konflik kepentingan dalam perebutan sumberdaya.20 Sehingga karena alasan inilah menjadi awal terbentuknya Forum Komunikasi Masyarakat Nelayan. Bapak Andi Erson (52) sebagai salah satu pengurus Formal mengatakan konflik yang terjadi antara nelayan lokal dan nelayan andon serta nelayan lengkong telah membuat gerah nelayan lokal, akan tetapi sebelum terbentuknya Formal nelayan belum satu suara dalam penanganan masalah, sehingga setelah terbentuknya Formal diharapkan dapat mengakomodasi semua kepentingan yang ada.21 Formal saat ini telah terbentuk di 6 kecamatan pesisir, yaitu kecamatan Pulau Derawan, Tabalar, Biduk-biduk, Talisayan-Lempake, dan Batu Putih. Untuk Kecamatan Maratua belum terbentuk Formal. Pada tingkat elit organisasi, 20
Konflik yang terjadi biasanya karena adanya kapal Andon, kapal lengkong yang beroperasi di wilayah tangkapan nelayan lokal. Nelayan ini berasal dari daerah Tarakan dan Nunukan. 21 Pernyataan ini juga termuat di dalam Koran Editor Berau edisi No.VIII/Tahun I/Mar-Apr 2008, dan hasil wawancara dengan beliau. Andi Erson merupakan tokoh masyarakat Kampung Pegat, dan juga seorang punggawa. Sekarang dipercayakan menjadi Ketua Jaman (Jaringan Masyarakat Nelayan) Kabupaten Berau.
91
Formal terdiri dari Ketua, Wakil, Sekretaris, Bendahara, dan Koordinator di tiap kampung, dan untuk lebih melegalkan forum ini maka pada tanggal 24 November 2006 Formal Kecamatan Pulau Derawan telah di akte notariskan. Bahkan saat ini Formal ini telah membentuk jaringan untuk di tingkat Kabupaten Berau, sehingga Formal yang terbentuk di tiap kecamatan akan berada di bawah Jaman (Jaringan Masyarakat Nelayan). Berdasarkan fungsi tersebut selain organisasi yang mengurus aspirasi nelayan, Formal juga merupakan salah satu organisasi politik masyarakat.22 Di Kepulauan Derawan juga telah dibentuk Kelompok Masyarakat Pengawas yang dibentuk oleh DKP, di setiap kampung kelompok ini berjumlah 10 orang dan telah berjalan sejak tahun 2007. Tugas dari Pokmaswas ini adalah melaporkan informasi jika adanya pelanggaran dalam pengelolaan dan pemanfaatan sumberdaya perikanan, serta melaporkan jika adanya tindak pidana perikanan oleh kapal ikan Indonesia, maupun kapal ikan asing kepada pengawas perikanan, TNI-AL dan Polri.
(a)
(b)
Keterangan : (a) Lokasi persemaian bibit mangrove milik Formal. (b) Papan nama Pokmaswas di Kampung Payung-payung.
Gambar 16. Fasilitas yang Dimiliki Organisasi Masyarakat. 6.1.4.3 Organisasi Non-Pemerintah (ORNOP) Untuk mendukung kegiatan konservasi penyu di Kepulauan Derawan maka pemerintah bekerjasama dengan berbagai LSM baik yang berskala lokal, regional maupun internasional. LSM yang masih menjalankan programnya di Kepulauan Derawan yang berskala lokal, selama ini pemerintah bekerjasama dengan Yayasan Berau Lestari (Bestari), dan Com-Viro. Lalu ada LSM skala regional seperti WWF Indonesia, dan untuk LSM skala internasional seperti The 22
Politik yang dilakukan yaitu strategi untuk mendapatkan legitimasi atas persengketaan wilayah tangkapan untuk kepentingan anggota Formal.
92
Nature Conservancy (TNC), dan Turtle Foundation (TF) serta Conservation International (CI). Sebenarnya dalam proses konservasi yang telah dijalankan selama ini masih ada LSM yang pernah berperan, akan tetapi dengan berbagai alasan sekarang LSM tersebut tidak lagi menjalankan programnya di Kepulauan Derawan, adapun LSM tersebut adalah : Kalbu, Kehati,& Mitra Pesisir. Namun untuk LSM Kehati masih tetap medukung dana lewat LSM Bestari.
(a)
(b)
(c)
(d)
Sumber : WWF (2007) Keterangan : (a) Stasiun kelautan bersama (TNC,WWF,Mitra Pesisir). (b) Pos pengamanan bersama (WWF,TNC,Pemkab Berau). (c) Speed Boat untuk operasional di Kepulauan Derawan. (d) Stasiun monitoring penyu di Pulau Sangalaki.
Gambar 17. Fasilitas yang Dimiliki Oleh Berbagai LSM di Kepulauan Derawan Untuk LSM lokal pendiri dari organisasi ini merupakan orang yang memiliki pendidikan dan status tinggi dalam lapisan masyarakat. Pendirian lembaga tersebut bermula dari rasa keprihatinan atas berubahnya lingkungan disekitarnya seperti kerusakan terhadap hutan pantai dan berkurangnya penyu, akibat penebangan yang dilakukan oleh masyarakat serta kelangkaan penyu akibat pengambilan telur penyu. Hal ini menjadi suatu tujuan untuk melakukan pembalikan posisi lingkungan kepada aslinya dengan melestarikan hutan pantai dan penyu sebagai salah satu satwa kebanggaan yang berada di Kepulauan Derawan. 6.2 Partisipasi Masyarakat dalam Konservasi Penyu 6.2.1 Sejarah Pemanfaatan Penyu Penyu dan Pemda Kabupaten Berau satu dan lainnya tidak dapat dipisahkan. Jauh sebelum Kabupaten Berau terbentuk penyu sudah memberikan andil yang cukup besar dalam menunjang kehidupan sebagian masyarakat Berau, sehingga dengan terbentuknya Kabupaten Berau penyu diabadikan dalam lambang daerah, sejak itu pula perhatian pemerintah tetap konsisten dalam
93
memandang penyu sebagai sumber daya hayati yang harus tetap dipertahankan keberadaannya. Kawasan Kepulauan Derawan di Kabupaten Berau Kalimantan Timur telah lama dikenal sebagai penghasil telur penyu hijau (Chelonia mydas). Telur penyu telah lama dikenal lama oleh masyarakat Berau sebagai sumber protein hewani dan cukup digemari untuk dikonsumsi bukan hanya oleh masyarakat pesisir, tetapi juga oleh masyarakat perkotaan, menurut mereka diyakini telur penyu mampu menjaga stamina dan sangat bermanfaat bagi kesehatan. Namun sebaliknya daging penyu sangat tidak disukai masyarakat pesisir , bahkan ada mitos bagi yang mengganggu penyu apalagi membunuhnya maka ia akan mendapat celaka di kemudian hari. Bagi pemerintah daerah mengenal penyu hijau bukan saja sebagai satwa yang perlu dilestarikan dan di sisi lain dapat dimanfaatkan bahkan perannya bagi pengembangan Pendapatan Asli Daerah sangat besar. Akibat sistem penguasaan atas sumberdaya alam yang bersifat kepemilikan bersama, seperti hutan pantai, masyarakat beranggapan segala sumberdaya yang ada di dalamnya dimiliki secara bersama. Seperti sumberdaya perikanan lainnya pemanfaatan penyu bersifat open acces dan perairan laut tidak ada kepemilikan (no one’s property). Penangkapan penyu dan pemanenan telurnya mewakili kasus eksploitasi sumberdaya secara open access sehingga timbulnya tragedy of the common karena adanya moral kompetitif dalam pemanfaatan dan perilaku pemusnahan atas sumberdaya tersebut (Fauzi 2006). Penurunan fungsi ekologis semacam ini tidak punya ‘solusi teknis’, kecuali jika aturan pemanfaatan diubah untuk memastikan agar daya dukung tidak terlewati. Sebagaimana yang berlaku umum bahwa daya dukung suatu sumber daya alam selalu ada batasnya, demikian juga dengan sumberdaya penyu. Dengan demikian pengelolaan, pemanfaatan sumberdaya penyu harus benar-benar memperhatikan dan memprioritaskan aspek lingkungan (konservasi) agar dapat dimanfaatkan secara berkelanjutan. Sekurangnya ada dua macam cara pemanfaatan sumberdaya penyu di Kepulauan Derawan yaitu secara langsung dan tidak langsung :
94
a) Secara langsung adalah dengan pemanfaatan secara fisik yang dapat dibedakan lagi menjadi : 1) Pemanfaatan daging penyu sebagai bahan makanan : Yaitu pemanfaatan sumberdaya penyu dengan cara penangkapan langsung untuk dikonsumsi, diperdagangkan, upacara adat dan lain-lain. 2) Pemanfaatan telur penyu sebagai bahan makanan yang diyakini sangat kaya dengan gizi dan menambah vitalitas. Penggemar atau pengkonsumsi telur penyu semakin luas sedangkan ketersediaan semakin menurun sehingga mendorong harga telur terus meningkat dari tahun ke tahun. 3) Pemanfaatan Karapas/sisik penyu yang dibuat berbagai keperluan dan kerajinan tangan untuk dipasarkan atau sebagai cendramata. b) Secara tidak langsung adalah dengan cara menjadikan penyu sebagai atraksi wisata, atau dimanfaatkan sebagai tontonan yang menarik atau memberikan kesempatan bagi wisatawan yang peduli dan pencinta lingkungan untuk mengadopsi setiap sarang penyu. Penyu dikelola sedemikian rupa dikembangkan secara alami, tapi dapat dilihat oleh para tamu dengan cara membayar sejumlah uang, sehingga pendapatan dapat diperoleh tapi tidak mengorbankan perkembangbiakan di alam. Pemanfaatan langsung kalau dalam kondisi tertentu akan terpulihkan, namun bila melebihi daya dukungnya maka mengakibatkan punahnya populasi. Sumberdaya penyu meskipun memiliki daya pulih kembali (renewable) tetapi siklus hidupnya sangat panjang. Oleh karena itu apabila pemanfaatannya kurang bijaksana atau bertentangan dengan kaidah-kaidah pengelolaan sumberdaya hayati akan menimbulkan hal-hal yang dapat membahayakan kelestarian dan lingkungan hidupnya. Sehingga tanpa kegiatan pengelolaan yang baik maka dikhawatirkan pada suatu kurun waktu tertentu keberadaan sumber daya penyu ini akan menjadi punah sama sekali. Menurut Fauzi (2006) suatu spesies mengalami kepunahan bila berada pada kondisi dipanen dengan biaya yang sangat rendah dan kondisi pemanenan open access. Bagi penduduk Kepulauan Derawan, telur penyu merupakan
95
komoditi temuan dengan mudah mendapatkannya di sepanjang pantai. Demikian halnya dengan penangkapan penyu untuk dikonsumsi dagingnya. Dari beberapa informasi yang penulis dapatkan, sebenarnya tidak ada budaya atau kebiasaan dari masyarakat Kepulauan Derawan untuk mengkonsumsi daging penyu, ternyata kebiasaan ini berasal dari tentara yang bertugas untuk pengamanan pada masa orde baru, dahulu tentara ini pada saat bertugas sering berburu untuk menangkap penyu dan monyet dengan senjata yang mereka miliki untuk kebutuhan konsumsi, sehingga awalnya masyarakat coba-coba dan akhirnya terbiasa mengkonsumsi daging penyu. Di perairan laut berlaku kondisi common property, siapapun dapat melakukan penagkapan penyu tanpa mendapat sanksi hukum.
Sumber : Koran Editor Berau Edisi No.VIII/Tahun I/Maret-April 2008.
Gambar 18. Koran Memuat Berita Penagkapan Kapal Ilegal Berisi Telur Penyu.
(a)
(b)
(c)
Sumber : WWF (2007) Keterangan : (a) Penagkapan penyu dengan jaring. (b) Kapal nelayan Cina yang menagkap 386 ekor penyu. (c) Pembabatan kayu di sekitar hutan pantai.
Gambar 19. Kondisi kerusakan ekosistem di Kepulauan Derawan Di Kepulauan Maratua pekerjaan mengambil telur penyu dalam bahasa Bajau disebut nugsuk intelo bokko, biasanya dilakukan oleh para lelaki yang sering melakukan aksi pencarian di malam hari. Seperti di kampung Teluk Alulu pemanfaatan telur penyu dikelola di bawah naungan RT, karena kebetulan di setiap RT memiliki blok pantai tempat peneluran penyu. Mekanisme
96
pemanfaatannya diatur lewat pertemuan kampung dan hasilnya adalah setiap hari ada 2 kepala keluarga yang berhak mengambil telur penyu. Artinya ketika tiba giliran suatu kepala keluarga maka ia berhak berjaga-jaga sampai ada penyu yang naik ke pantai untuk bertelur. Walaupun sampai berhari-hari tidak ada penyu yang bertelur, maka itu akan tetap menjadi haknya sampai ada penyu yang bertelur, jika tanpa sengaja ada warga yang mendapatkan telur penyu, sesuai kesepakatan maka si penemu juga akan mendapat bagiannya, sebagai upah atas jasanya. Baru setelah itu giliran dua kepala keluarga berikutnya untuk memanfaatkan telur penyu. Setiap warga memakai kemahirannya dalam perhitungan-perhitungan masa laut dan perhitungan perbintangan, seperti yang diungkapkan oleh Pak Kafrawi (52) seorang tokoh masyarakat di Teluk Alulu, beliau dahulu adalah salah seorang pemegang konsesi telur penyu di Teluk Alulu sejak tahun 1987-1992. Dalam sebulan dia bisa mendapatkan sampai 500 butir telur, untuk dijual ke Berau, sehingga dalam sebulan dahulu dia bisa mengantongi keuntungan sebesar 1.000.000 dengan harga perbutirnya Rp.2000. Sebagai kompensasinya dia membayar 1,2 juta per pantai ke kas kampung dalam setahun. Sedangkan sekarang setelah adanya peraturan pelarangan pemanfaatan telur penyu aktifitas ini tidak berlangsung lagi. Hanya aktifitas pemanfaatan oleh warga yang dijelaskan sebelumnya masih berlangsung itu pun sudah jarang sekali ada penyu yang naik untuk bertelur, dan biasanya telur hanya dimanfaatkan untuk kebutuhan konsumsi warga.
6.2.2 Sejarah Konservasi Penyu Kabupaten Berau sejak zaman dahulu telah menjadi icon penghasil telur penyu di Kalimantan Timur yang dimanfaatkan dari pulau-pulau penghasil telur yang berjumlah ± 17 pulau, namun demikian masyarakat tidak memiliki kebiasaan mengkonsumsi daging penyu. Berdasarkan penuturan masyarakat di Kepulauan Derawan, serta sumber lain dari instansi pemerintah dan organisasi kemasyarakatan, pemanfaatan dan pelestarian penyu hijau sudah dikenal sejak zaman kerajaan. Awalnya telur penyu dipergunakan sebagai upeti diantara keluarga kerajaan. Kebiasaan ini kemudian
97
berkembang menjadi pengambilan besar-besaran tanpa aturan yang mempertimbangkan pengetahuan ekologi untuk tujuan komersial. Pada zaman kolonial Belanda, pulau-pulau tempat penyu bertelur tidak selamanya dibuka untuk dipanen telurnya, tapi sudah diatur sedemikian rupa untuk kurun waktu tertentu. Selebihnya dibiarkan berkembang secara alami (openclose conservation). Sistem pengaturan di Pulau Sangalaki ini (periode 1934-1945) zaman kolonial inilah yang kemungkinan berpengaruh pada peningkatan jumlah telur penyu yang bisa diambil di pulau ini sampai dekade 1980-an. Setelah kemerdekaan, pengelolaan pulau tempat peneluran penyu ditangani oleh Pemerintah Daerah (Pemda) yang pada waktu itu dikenal dengan pemerintah swapraja/kewedanan. Akan tetapi, karena situasi Negara belum menentu, pengelolaannya belum terlaksana dengan baik. Masyarakat Derawan pada masa ini sering memanfaatkan telur penyu sebagai barang barter dengan bahan kebutuhan pokok dengan masyarakat di Samarinda atau bahkan dengan masyarakat Philipina dan Malaysia. Tahun 1950-an pengelolaan diserahkan pada perorangan (pihak swasta) melalui proses pelelangan yang diatur melalui peraturan daerah (Perda) Istimewa Berau nomor 30 tahun 1953, yang dikeluarkan pasca berlakunya Undang-undang Darurat No.3 tahun 1953 tentang pembentukan Daerah Tingkat II di Kalimantan. Berdasarkan Perda Istimewa Berau No.30 Tahun 1953 tersebut, pihak perorangan/swasta yang diberikan hak pengelolaan penyu dan telurnya diberikan kewajiban untuk membayar retribusi dengan jumlah yang telah ditentukan serta kewajiban lainnya seperti : menjaga kelestarian, mengadakan pengawasan dan tidak memperdagangkan bagian-bagian penyu lainnya (daging dan karapas). Perda ini berlaku hingga dikeluarkannya Perda nomor 15 tahun 1983 yang mengatur tentang penyu dan telurnya. Ringkasan sejarah pemanfaatan dan pengelolaan penyu di Berau seperti pada tabel 22 berikut ini :
98
Tabel 22. Sejarah Konservasi Penyu Kepulauan Derawan. Periode Sebelum 1901 (Kerajaan)
Kegiatan Pemanfaatan terbuka.
1901 – 1934 (Zaman Kolonial)
Pembatasan Pemanfaatan.
1934 – 1945 (Zaman Kolonial) 1945 – 1950 (Perang Kemerdekaan) 1950 - 1997
Pelelangan.
Pemanfaatan terbuka.
Pelelangan.
1998
Pemanfaatan terbuka 6 bulan & penunjukan oleh SK Bupati pada 6 bulan berikutnya.
1999 - 2000
Pelelangan .
2001
Pelelangan terbatas awal proteksi Pulau Derawan dan Sangalaki.
2002 - 2003
Penunjukan langsung pihak ke 3 selain Sangalaki, Semama dan Derawan.
2004
SK Tim Pengarah Kelautan Kabupaten Berau Peraturan Bupati.
2005
Keterangan Ekploistasi untuk komersial sangat tinggi, juga dimanfaatkan sebagai hadiah dan alat tukar dengan daerah lain. Dilarang menangkap penyu dewasa; pengambilan telur penyu harus ada izin. Penerapannya hanya berjalan baik di Sangalaki dan Derawan. Diberlakukan periode pengambilan dan pelarangan berseling-seling setiap tahun, namun hanya efektif di Sangalaki. Eksploitasi diduga sangat tinggi, dimanfaatkan juga sebagai hadiah dan alat tukar dengan daerah lain. Berdasarkan Peraturan Daerah nomor 30/35 dan nomor 15/83. Kewajiban pembibitan 3000 ekor/tahun. Pemberlakuan Undang-undang tentang Pajak dan Retribusi sehingga Peraturan Daerah nomor 15/83 tidak berlaku. Adopsi sarang oleh pengusaha wisata di Derawan dan Sangalaki. Disisihkan 10% telur untuk dibiakkan dan ditebarkan ke laut (Surat Keputusan Bupati nomor 69/99). Adopsi sarang oleh pengusaha wisata Derawan dan Sangalaki 25 % telur untuk pasar Berau. Dibentuk tim monitoring dan penelitian konservasi penyu (Surat Keputusan Bupati nomor 25/2001); kewajiban untuk menyisihkan (untuk konservasi) sejumlah 20 % dan penjualan pihak ketiga/LSM dalam upaya pelestarian (Surat Keputusan Bupati nomor 44/2001), instruksi Bupati penghentian pemanfaatan telur penyu di Pulau Derawan dan Sangalaki (660/2346UM/XII/2001). Pembentukan Tim pengamanan untuk Sangalaki dan Derawan (Surat Keputusan Bupati nomor 36/2002). Penunjukan tim pengawasan dan pengamanan konservasi penyu (Surat Keputusan Bupati nomor 179/2003) SK. Bupati. 225/Um/2004.
Perbub No.31 Tahun 2005 tentang KKL Berau. Sumber : Hutomo (2007) dan hasil wawancara serta studi literatur peneliti
Berdasarkan sejarah perkembangan tersebut pelelangan dimaksudkan untuk pertama, memudahkan kontrol pemanfaatan. Kedua, memberikan jaminan adanya upaya penetasan sebagian telur penyu 10 – 20%. Ketiga, memberikan kesempatan kepada pemerintah daerah untuk mendapatkan APBD. Keempat,
99
menghindarkan adanya konflik di pulau karena pulau telur merupakan pulau kosong. Kelima, menyediakan biaya konservasi penyu yang ditanggung oleh pemerintah kabupaten. Upaya pemerintah kabupaten dalam konservasi penyu juga pernah dilakukan melalui program pembesaran tukik oleh masyarakat selanjutnya dilepas pada saat sudah cukup besar dan mendapat kompensasi dari pemerintah kabupaten, akan tetapi strategi ini tidak dilakukan lagi. Menghadapi kondisi kritis seperti ini harus ada perjuangan mengupayakan perlindungan spesies dan habitatnya. Perlindungan spesies penyu hijau telah dilaksanakan oleh pemerintah Indonesia dengan penetapan Peraturan Pemerintah No.7 tahun 1999. Semakin menurunnya populasi penyu di sekitar Kepulauan Derawan menyebabkan pemerintah kabupaten berinisiatif mengeluarkan peraturan daerah sebagai upaya untuk melindungi penyu. Menurut teori konservasi, ada tiga strategi besar untuk melindungi satwa, yaitu dengan cara eksitu, insitu dan penangkaran. Pemeliharaan alternatif ini berdasarkan kondisi populasi penyu yang ada di perairan. BKSDA setempat mencatat bahwa nilai minimum populasi penyu semakin menurun setiap tahunnya. Oleh karena itu, pemerintah kabupaten mengeluarkan berbagai kebijakan dengan tujuan untuk melindungi penyu dan ekosistemnya. Berikut ini akan dikemukakan beberapa produk kebijakan yang diputuskan dan di implementasikan. Kebijakan yang mendukung inisiatif pengelolaan sumberdaya pesisir dan kelautan di Kabupaten Berau: 1) SK Bupati No. 69 Tahun 1999 tentang pengelolaan penyu dan telurnya dalam Kabupaten Berau. 2) SK Bupati No. 35 Tahun 2001 tentang pembentukan tim monitoring dan penelitian penyu di kawasan Kepulauan Derawan. 3) SK Bupati No. 44 Tahun 2001 tentang penunjukan pihak ketiga dalam upaya pelestarian penyu di Kabupaten Berau. 4) Intruksi Bupati No. 660/2346-UM/XII/tahun 2001 tentang pengelolaan penyu dan telurnya di Pulau Sangalaki dan Derawan untuk tidak dimanfaatkan secara langsung baik penyu maupun telurnya.
100
5) SK Bupati No. 36 Tahun 2002, kemudian direvisi dengan SK Bupati No 179 Tahun 2003 tentang tim pengawasan dan pengamanan penyu di Kabupaten Berau. 6) SK Bupati No. 02 Tahun 2002 tentang penunjukan CV Derawan Penyu Lestari sebagai pengelola pulau telur penyu di Kabupaten Berau Selain Pulau Sangalaki dan Derawan. 7) SK Bupati No. 70 Tahun 2004 tentang penetapan Pulau Kakaban sebagai Kawasan Konservasi Laut Daerah (KKLD). 8) SK Bupati No. 225 Tahun 2004 tentang Tim Pengarah Pengelolaan Sumber daya Pesisir dan Laut Kabupaten Berau 9) Peraturan Bupati tentang Kawasan Konservasi Laut Kabupaten Berau tahun 2005.
(a)
(b)
(c)
(d)
Sumber : WWF (2007) Keterangan : (a) Hatchery di stasiun monitoring penyu Pulau Sangalaki. (b) Aktifitas relokasi yang dilakukan petugas monitoring. (c) Pos penjagaan di Karang Sentagi, Pulau Panjang. (d) Masyarakat membantu pembuatan hatchery di Pulau Derawan.
Gambar 20. Berbagai Aktifitas Konservasi Penyu di Kepulauan Derawan.
6.2.3
Pihak-pihak yang Berkepentingan Terhadap Sumberdaya Penyu Keberadaan sumberdaya penyu di Kepulauan Derawan telah menjadi ikon
bagi Kabupaten Berau. Berbicara sumberdaya penyu berarti membahas salah satu sumberdaya yang sangat bernilai ekonomis, sehingga banyak pihak yang berkepentingan, diantaranya masyarakat, swasta, pemerintah dan LSM. 6.2.3.1 Masyarakat Yang dimaksud masyarakat adalah penduduk yang tinggal di Kepulauan Derawan. Disini masyarakat dalam memenuhi kebutuhannya dapat dipandang sebagai individu rumah tangga yang memiliki fungsi tujuan memaksimalkan utilitas dan juga sebagai entitas bisnis untuk memperoleh keuntungan ekonomi sebesar-besarnya.
101
Perilaku masyarakat dalam praktek pemanfaatan sumberdaya alam bersifat positif dan negatif. Perilaku positif ini dapat diidentifikasi dengan indigenous knowledge, yakni kearifan dan pengetahuan lokal unggul yang dipelihara dan dimanfaatkan dalam mengelola sumberdaya alam. Sedangkan perilaku negatif merupakan resultan dari beberapa faktor penyebab antara lain: tingkat pendapatan masyarakat yang rendah dan tingkat ketergantungan terhadap sumberdaya alam yang tinggi. Akhirnya kemiskinan masyarakat dan tidak tersedianya alternatif pendapatan lain akan mengarahkan pada tindakan destruktif terhadap sumberdaya alam.
6.2.3.2 Swasta Swasta adalah badan usaha yang bidang bisnisnya melakukan pemanenan telur penyu (pahter) dan pengusaha resort wisata. Hak pengusahaan telur penyu diperoleh melalui penunjukan ataupun sistem pelelangan yang dilakukan Pemda Kabupaten Berau. Setiap tahun penunjukan ataupun pelelangan hak pengusahaan telur penyu diperbaharui, dan Pemda mendapat PAD dari pelelangan telur ini setiap tahunnya dalam jumlah yang tidak sedikit. Sedangkan pihak pemerintah sendiri terdapat dualisme kebijakan pengelolaan.23 Kebijakan privatisasi dan jangka pengusahaan yang singkat akan mendorong pengusaha swasta untuk memaksimalkan pendapatan dengan menguras habis telur penyu selama pengusahaannya. Tabel 23. PAD yang diperoleh Pemda Kabupaten Berau Tahun 1995 1996 1997 1998 1999 2000 2001
PAD 483.830.000 776.830.000 647.730.000 800.000.000 937.830.000 1.050.000.000 753.000.000
Sumber : Bapelda 23
Dalam rapat dengar pendapat yang dilakukan di kantor DPRD Kabupaten Berau pada saat penelitian berlangsung, terjadi beda pendapat di kalangan anggota DPRD, masih ada anggota yang tidak setuju dengan pelarangan konsumsi telur penyu, anggota tersebut mengatakan “sejak dahulu kita sudah terbiasa makan telur penyu, sehingga mustahil jika ini dilarang.” bahkan mereka akan mengusulkan agar Pemda dapat mengatur strategi baru agar aktifitas penjualan telur penyu kembali di legalkan akan tetapi khusus untuk di kawasan Kabupaten Berau.
102
Memang sekarang aktifitas pelelangan ini sudah tidak ada lagi, akan tetapi oknum-oknum yang tetap melakukan aktifitas ini adalah mantan pahter yang dahulu diberikan hak untuk mengelola telur penyu, bahkan masih beroperasi sampai sekarang.24 Sedangkan untuk resort wisata sendiri sekarang di Kepulauan Derawan tersedia di Pulau Derawan, Sangalaki dan Maratua.25
(a)
(b)
(c)
(d)
Sumber : WWF (2007) Keterangan : (a) Nabuco resort di Pulau Maratua (b) Wisatawan disambut tarian oleh Sangalaki Dive Lodge. (c) Salah satu sudut di Resort Paradise Maratua. (d) Atraksi wisata penyu laut yang ditawarkan oleh resort wisata.
Gambar 21. Berbagai Fasilitas yang Dimiliki Resort di Kepulauan Derawan. 6.2.3.3 Pemerintah Dalam UUD 1945 pasal 33 ayat 3 yang bunyinya : “ Bumi dan air dan kekayaan yang terkandung didalamnya dikuasai oleh Negara dan dipergunakan untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat “. Selanjutnya pengelolaan sumberdaya hayati diatur oleh dalam berbagai Undang-undang (UU) seperti; UU No. 41 tahun 1999 tentang kehutanan; UU No.31 tahun 2004 tentang perikanan; UU No.5 Tahun 1990 tentang konservasi sumberdaya alam hayati ekosistemnya. Pemerintah baik yang berada di pusat dan di daerah merujuk berbagai peraturan perundang-undangan diatas maka semua kehidupan liar dikuasai oleh Negara. Pada taraf internasional, Indonesia turut menandatangani perjanjian internasional yang berkaitan dengan pengaturan sumberdaya hayati, seperti CITES pada tahun 1978, Konvensi Ramsar pada tahun 1991 dan Konvensi Keanekaragaman Hayati 24
Pada tanggal 3/3/2008 pada pukul 22.00 wite Aliansi LSM Berau yang terdiri dari beberapa lembaga masyarakat dan wartawan telah memergoki KM.Tuna yang sedang berlayar di perairan Sungai Berau membawa 3.500 butir telur penyu. Berita ini juga dapat dibaca di Koran Editor Berau Edisi No.VIII/Tahun I/Mar-Apr 2008. 25 Resort yang ada di Pulau Derawan diantaranya adalah BMI (Bumi Manimbora Interbuana), di Sangalaki ada Sangalaki Dive Lodge sedangkan di Pulau Maratua terdapat Nabuco, dan Paradise. Dan kepimilikan modalnya banyak dikuasai oleh warga negara asing.
103
pada tahun 1994. keikutsertaan Indonesia diberbagai konvensi internasional, pemerintah menunjuk Direktorat Jenderal PHPA sebagai Management Outhority dan Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) sebagai Scientific Outhority Indonesia. Selain Direktorat Jenderal PHPA ada kebijakan dari lembaga pemerintah yang berbeda dalam pengelolaan penyu di Kepulauan Derawan. Dualisme pengelolaan penyu dari lembaga pemerintah, satu pihak dilaksanakan oleh Pemerintah Daerah Kabupaten Berau dan pihak lainnya oleh Direktorat Jenderal PHKA melalui Unit Pelaksana Teknis Balai Konservasi Sumber Daya Alam (BKSDA). Yang dimaksud pemerintah daerah adalah Daerah beserta perangkat daerah otonomi yang lain. Sejak ditetapkan Undang-undang No. 32 tahun 2004 tentang pemerintah daerah, telah menciptakan pergantian tanggung jawab di banyak fungsi dari Pemerintah Pusat langsung ke Pemerintah Daerah tingkat Kabupaten/Kotamadya.
6.2.3.4 LSM (Lembaga Swadaya Masyarakat) LSM adalah lembaga penyangga (buffer institusions) yang memiliki ciri sikap kepedulian terhadap masalah pemberdayaan masyarakat dan pelestarian lingkungan. Fungsi tujuan LSM adalah memaksimalkan layanan akomodatif, korektif, dan dukungan agar interaksi antara masyarakat, pemerintah dan swasta dapat berjalan dengan baik (Tajudin,2000). Kehadiran berbagai LSM (Bestari, Yayasan Penyu, WWF, TNC) dalam kaitannya dengan upaya konservasi penyu baik yang berasal dari tingkat internasional, nasional, tingkat regional, dan lokal memberikan indikasi rumit konflik kepentingan. Hampir semua LSM melakukan aksinya di lokasi peneluran penyu hingga pengawasan pemanenan telur penyu. Tabel 24 akan menjelaskan secara rinci pihak-pihak yang memiliki kepentingan di Kepulauan Derawan terkait dengan sumberdaya penyu, secara garis besar terdiri dari masyarakat, pemerintah, Lembaga Swadaya Masyarakat, dan Swasta.
104
Tabel 24. Stakeholder dan Kepentingannya Terhadap Sumberdaya Penyu No 1)
Stakeholder Masyarakat
2)
Organisasi masyarakat - Dakayu Akkal
- Formal
3)
4)
LSM - WWF-TNC
Kepentingan Memanfaatkan sumberdaya yang ada disekitarnya untuk pemenuhan kebutuhan ekonomi secara ekstraktif dan non ekstraktif Organisasi masyarakat di Pulau Maratua, terbentuk dari kesepakatan pengelolaan bersama atas sumberdaya yang ada di Pulau Maratau Organisasi yang dibentuk masyarakat sebagai forum komunikasi masyarakat nelayan di seluruh pesisir Kepulauan Derawan, mengadvokasi kepentingan nelayan. Melakukan pendampingan terhadap masyarakat di pesisir Berau dan Pulau Derawan, lewat program-program konservasi berbasis masyarakat
- Bestari
Pendampingan terhadap masyarakat di Pulau Maratua, membantu membentuk organisasi masyarakat dan mengembangkan ekowisata serta advokasi terhadap kepentingan masyarakat
- Yayasan Penyu Berau
Melakukan kegiatan konservasi penyu di Kepulauan Derawan, tidak melakukan pendampingan terhadap masyarakat.
Pemerintah - KSDA
Unit pelaksana teknis (Dephut) dalam menjalankan program konservasi penyu di Pulau Sangalaki, dan Semama.
- DKP
Berwenang dalam kebijakan pengelolaan sumberdaya perikanan di Kabupaten Berau
- Bapelda
Sempat menjalankan program konservasi penyu bekerjasama dengan KSDA, akan tetapi program penangkaran yang pernah dijalankan tidak lagi berjalan, sekarang tergabung dalam Tim Pengarah
- Aparat Keamanan (TNI dan Polri)
Melakukan pengamanan dan penegakan hukum terhadap pelanggaran pemanfaatan sumberdaya dan kedaulatan Indonesia di perbatasan Berwenang dalam kebijakan daerah, sejak otonomi daerah memiliki peran yang lebih besar terhadap kebijakan pengelolaan sumberdaya Mengembangkan sektor pariwisata di Kepulauan Derawan, berbasis penyu laut Membentuk badan pengelola KKLD Berau serta strategi pengelolaannya (manajemen plan)
- Pemda Berau
- Dinas Pariwisata - Tim Pengarah 5)
Swasta - CV Derawan Penyu Lestari / Pahter - Bumi Manimbora Interbuana - Sangalaki Dive Lodge - Paradise Resort - PT. Nabucco - Danakan Sumber : Data Primer diolah tahun 2008
Pemegang konsesi telur penyu pada saat kebijakan konsesi telur penyu masih dijalankan. Resort wisata yang beroperasi di Pulau Derawan Resort wisata di Pulau Sangalaki Resort wisata yang ada di Pulau Maratua Resort wisata yang ada di Pulau Maratua Resort wisata yang ada di Pulau Derawan
105
6.2.4
Restrukturisasi Birokrasi ke Arah Desentralisasi di Era KKL Berau Untuk melindungi penyu diperlukan kawasan konservasi yang luas yang
meliputi berbagai tipe ekosistem dan rawan terhadap gangguan manusia maka penyu dapat berperan sebagai payung (umbrella) bagi upaya konservasi spesies lain dan proses ekologi yang ada di dalamnya. Sehingga untuk mengelolanya pemerintah kabupaten Berau sejak tahun 1998 sudah melakukan inisiatif pengelolaan wilayah pesisir dan laut Kabupaten Berau. Inisiatif ini terus berkembang dari tahun ke tahun dan melibatkan banyak pihak. Pada tahun 2002 dimulai inisiatif pengembangan Kawasan Konservasi Laut (KKL) Berau dengan dilakukannya kajian ekologi sumberdaya pesisir dan laut. Para pihak, baik yang berasal dari daerah, nasional, maupun internasional, menaruh banyak perhatian terhadap kawasan ini dengan berbagai latar belakang dan kepentingannya. Pihak pemerintah dan lembaga nonpemerintah secara sendiri-sendiri maupun bekerjasama telah banyak melakukan kegiatan dalam upaya memperbaiki dan meningkatkan kualitas lingkungan dan ekonomi masyarakat. Namun pendekatan kegiatan tersebut masih bersifat sektoral dan belum ada kerangka formal dalam pengelolaan sumberdaya ini. Untuk itu diperlukan kerjasama dan koordinasi yang baik antar lembaga, baik pemerintah maupun lembaga non-pemerintah, yang mempunyai komitmen dalam membangun kawasan ini. Terlebih, dalam pengelolaan kawasan diperlukan peran aktif seluruh komponen masyarakat, pemerintah, dan swasta. Dengan adanya kerjasama yang baik dan pelibatan segenap para pihak secara intensif, program dan kegiatan yang dilakukan akan memberikan manfaat yang lebih optimal. Setelah melewati berbagai macam proses dan lokakarya di tingkat lokal, regional sampai internasional maka untuk kebijakan pengelolaan konservasi penyu, sejak otonomi daerah Kabupaten Berau telah membentuk suatu kelembagaan dari mulai tim 16 yang terdiri dari unsur-unsur DKP, Bapedda, KSDA, WWF, Kehati, Bestari, Kalbu, TNC, AL, Sangalaki Dive Lodge, dan perwakilan masyarakat dari lima kampung di Pulau Derawan dan Maratua, dimana tugas dari tim 16 ini adalah mempersiapkan sebuah lembaga pengelola sumberdaya pesisir dan laut termasuk penyu di dalamnya yang menjadi payung
106
atau ikon di dalam Kabupaten Berau. Tim 16 ini telah melakukan berbagai pertemuan dan kegiatan dalam rangka menginisiasi terbentuknya Komite Pengelolaan Pesisir dan Laut. Bahkan komite ini sudah sempat terbentuk akan tetapi tidak mendapat persetujuan dari Bupati karena dianggap dapat membebani anggaran daerah. Baru pada tanggal 8 Januari 2003 terbentuk kesepakatan pengelolaan bersama antara berbagai lembaga, yaitu TNC,WWF, Mitra Pesisir, dan Kehati seiring dengan peningkatan komitmen pemda maka pada bulan September 2004 dikeluarkan SK Bupati Berau No.225 Tahun 2004 tentang pengukuhan Tim Pengarah. Tim Pengarah (Pemerintah & LSM)
Co-manajemen
Balancing Act Badan Pengelola Lembaga Kolaboratif
Proses yang dilakukan Management plan Managemen body Konsultasi publik Laporan ke Bupati Pendampingan oleh Lembaga Swadaya Masayarakat
Organisasi berbasis komunitas: Forum Masyarakat Nelayan Badan Kelola Kawasan Kelompok Ekowisata Kelompok Kerajinan
Implementasi kegiatan : 1) Pembangunan sarana & prasarana. 2) Kegiatan sosialisasi dan public awareness. 3) Pengembangan mata pencaharian alternatif. 4) Peningkatan kapasitas. 5) Pengembangan konsep ekowisata berbasis penyu.
Menjaring Aspirasi
Gambar 22. Alur Proses Dalam Rencana Pembentukan Badan Pengelola KKLD.
107
Adapun tugas dari tim ini sendiri adalah pertama, memfasilitasi penyempurnaan dan mensosialisasikan rancangan peraturan daerah mengenai pengelolaan sumberdaya wilayah pesisir terpadu berbasis masyarakat. Kedua, memfasilitasi pembentukan Dewan / Komite bersama pengelolaan kawasan konservasi laut daerah (KKLD). Ketiga, sebagai tempat/wadah komunikasi, konsultasi, dan kordinasi dalam pengelolaan pesisir dan laut terpadu. Keempat, memberikan laporan hasil kegiatan Tim Pengarah kepada Bupati Berau. Melihat komposisi yang ada di dalam tim pengarah memang tidak ada perwakilan dari masyarakat, proses yang dijalankan sekarang memang masih bersifat top-down, dengan luasan daerah pengelolaan yang begitu luas mencakup 8 kecamatan pesisir akan sulit untuk mengkordinasikan jika harus ada pelibatan masyarakat di dalam tim pengarah, apalagi pemahaman dan aspirasi dari masyarakat tiap kampung akan berbeda, sehingga strategi yang direncanakan kedepan adalah membuat suatu management body / badan pengelola setelah adanya konsep management plan yang matang, nantinya komponen-komponen yang terlibat di dalam badan pengelola seimbang antara pemerintah dan masyarakat.
Program Monitoring (SOP)
+
Lokakarya Para Ahli
Pemetaan Kampung
Area Penting Versi Monitoring + Penelitian
Area Penting Versi Masyarakat Peta Daerah Penting
Inputs Para Ahli + Government + Masyarakat Zona Rinci Konsultasi Publik
Peta + Rencana Pengelolaan
Gambar 23. Alur proses penentuan zonasi KKLD berbasis co-management.
108
Maka untuk mempersiapkan masyarakat yang nantinya akan terlibat di dalam badan pengelola dibutuhkan organisasi berbasis komunitas yang kuat dan diakui di kalangan masyarakat. Sehingga ketika semua konsep ini telah matang maka antara tim pengarah dan organisasi masyarakat akan bertemu di titik seimbang (balancing act), dan badan pengelola inilah yang akan menjalankan kawasan konservasi laut daerah Kabupaten Berau.
6.2.5
Partisipasi Masyarakat dalam Rencana Pengelolaan Kawasan Adanya permasalahan tentang konflik yang terjadi di masyarakat, menjadi
daya tarik dan kewajiban bagi kalangan LSM untuk melakukan advokasi atas permasalahan yang ada. Seperti, penuntutan kepada pemerintah untuk mengklarifikasi konflik dan melakukan klarifikasi kepada masyarakat. Inisiatif LSM pun tidak saja bergerak dalam pengadvokasian tetapi secara menyeluruh bertujuan untuk meningkatkan kekuatan kapasitas sosial, ekonomi, politik serta lingkungan masyarakat desa, dan yang paling utama LSM merupakan agen eksternal yang memprakarsai perancangan peraturan yang melibatkan masyarakat. Hal ini karena menurut Tajudin (2000) merupakan salah satu infra struktur atas keterjaminannya partisipasi masyarakat dalam program pengelolaan sumberdaya. Sesuai dengan yang dikemukakan diatas, pemerintah dan LSM (Bestari) dan TNC-WWF yang selama ini telah melakukan pendampingan terhadap masyarakat di dalam menjalankan programnya di Kepulauan Derawan telah melakukan beberapa kegiatan dalam rangka meningkatkan partisipasi masyarakat agar terlibat dalam proses-proses yang nantinya akan dijalankan bersama-sama, untuk itu dibutuhkan partisipasi masyarakat salah satunya dengan rancangan kesepakatan tentang pengelolaan bersama sumberdaya alam di Pulau Maratua, dimana penyu menjadi payung dalam sumberdaya tersebut. Diharapkan nantinya akan ada organisasi berbasis masyarakat.
6.2.5.1 Rancangan Kesepakatan Pengelolaan Bersama di Pulau Maratua Permasalahan yang terjadi berlangsung lama, dituntut dengan secepatnya harus segera dilakukan penyelesainnya. Melihat kondisi tersebut dalam rangka menyamakan persepsi tentang pengelolaan sumberdaya alam khususnya program
109
konservasi diperlukan sosialisasi dan pemahaman konsep ditingkat masyarakat sehingga pada pelaksanaannya resistensi terhadap kebijakan dapat di minimalisir dan pada akhirnya kebijakan tersebut diperuntukkan bagi kesejahteraan masyarakat khususnya masyarakat pesisir. Keterlibatan masyarakat dalam program merupakan syarat mutlak, salah satu bentuk keterlibatan tersebut diantaranya dengan melakukan serangkaian pertemuan rutin yang dilakukan LSM baik formal maupun informal dengan tokoh masyarakat, pemuda, kelompok perempuan, nelayan, dan aparat pemerintah kampung. Dari pertemuan tersebut dapat menggali bentuk partisipasi yang diinginkan oleh masyarakat sehingga terjalin kordinasi dan komunikasi di tingkat kampung, kecamatan maupun Kabupaten.
A. Proses Kesepakatan Rencana kesepakatan pengelolaan bersama sumberdaya alam di Pulau Maratua diawali dengan kegiatan lokakarya hasil pemetaan partisipatif masyarakat dan rencana strategis pengelolaan kawasan oleh masyarakat yang dilaksanakan di Teluk Harapan kegiatan ini didukung oleh Yayasan Kehati dan Lebah Nusantara. Tujuan dari Lokakarya ini adalah : Pertama, untuk mengidentifikasi dan mendiskusikan potensi dan permasalahan yang ada di masing – masing kampung yang kemudian merumuskan rencana pengelolaan bersama sesuai dengan kearifan yang ada di masyarakat. Kedua, untuk mewujudkan pengelolaan kawasan oleh masyarakat kecamatan Maratua secara bersama. Yang nantinya sebagai masukan dan pertimbangan bagi perencanaan yang lebih tinggi ke tingkat Kabupaten hingga tingkat pusat. Kegiatan ini diikuti oleh 16 orang perwakilan dari masyarakat yang terdiri dari berbagai elemen yang ada di masyarakat, kegiatan ini berlangsung selama tiga hari. Pada hari pertama dibuka dengan kata sambutan dari Camat Maratua, dan direktur LSM Bestari. Selama kegiatan berlangsung masyarakat di pandu oleh fasilitator yang membantu dalam kegiatan ini. Sebelum kegiatan ini berlangsung masyarakat sudah membuat peta potensi sumberdaya alam yang ada di empat kampung secara partisipatif. Sehingga diperoleh peta potensi perikanan,
110
peta penggunaan lahan, potensi lokasi pariwisata dan peta karang untuk kecamatan Maratua.
(a)
(b)
(c)
Sumber : Bestari (2007) Keterangan : (a) Proses pemetaan partisipatif. (b) Lokakarya hasil pemetaan partisiatif dan kelola kawasan. (c) Masyarakat aktif dalam identifikasi pemetaan partisipatif.
Gambar 24. Kegiatan yang Dilaksanakan Masyarakat di Pulau Maratua. Masyarakat kemudian membahas keempat topik tersebut dengan membentuk kelompok, sehingga dari empat peta partisipatif tersebut diperoleh potensi dan wilayah yang dikelola secara bersama : 1) Titik-titik selam. 2) Lokasi-lokasi tangkapan ikan/pemancingan. 3) Lokasi budidaya rumput laut. 4) Karang tempat ikan bertelur 5) Hutan rakyat dan mangrove 6) Sumber air tawar.
7) Lokasi-lokasi obyek wisata yang menarik 8) Pulau Kakaban. 9) Batu (Tambang Galian C). 10) Perlindungan Kepiting Kenari. 11) Perlindungan Penyu.
Peristiwa tersebut dapat dijadikan kasus bagaimana proses negosiasi dan pengambilan keputusan dilakukan dalam forum warga. Setelah melewati proses diskusi yang panjang akhirnya masyarakat menyepakati untuk membuat strategi dalam menyikapi kondisi yang sedang terjadi di Pulau Maratua yaitu : 1) 2) 3) 4) 5) 6) 7) 8)
Rehabilitasi karang. Pembuatan konsep pengelolaan Pulau Kakaban. Membuat konsep pengelolaan hutan rakyat. Kesepakatan 4 Kampung tentang pengelolaan kawasan Maratua. Konsep aturan perlindungan penyu oleh masyarakat. Pembentukan Kelompok Pengawasan Masyarakat (Pokmaswas). Pembuatan aturan perlindungan kepiting Kenari oleh masyarakat. Rapat dalam pembuatan aturan tentang tata cara penangkapan ikan yang tidak merusak. 9) Kesepakatan masyarakat dengan pemerintah tentang pengelolan kawasan oleh Masyarakat. 10) Pembuatan aturan pengelolaan batu gunung. 11) Kesepakatan masyarakat dengan pengusaha (resort).
111
12) Pembentukan kelompok pengelola/unit usaha bersama. 13) Pengembangan potensi objek wisata lainnya (wisata selain penyelaman). 14) Pengembangan budidaya rumput laut. 15) Pembuatan aturan pemancingan dan titik selam. 16) Pemulihan hutan darat dan mangrove. (Sumber : Notulensi pertemuan Bestari)
Selanjutnya dari ke enambelas strategi tersebut, masyarakat akan menindaklanjutinya dengan membuat program rencana pertahun yang di mulai sejak tahun 2006. Sedangkan untuk program konservasi penyu akan dibuat suatu kesepakatan konsep aturan perlindungan oleh masyarakat yang mulai dilaksanakan pada tahun 2008. Hal yang terpenting adalah membuat kesepakatan empat kampung tentang pengelolaan kawasan Maratua, sehingga proses-proses yang dilewati masyarakat selanjutnya adalah regular meeting.
B. Proses Penetapan Keputusan Pertemuan pertama dilaksanakan pada bulan Januari 2007 di Kampung Bohesilian yang dihadiri tiga kampung yang ada di Pulau Maratua selain Teluk Alulu karena berhalangan hadir pada pertemuan ini. Setiap kampung diwakili oleh unsur pemerintah, kampung, BPK, tokoh masyarakat,dan Badan Kelola Kawasan. Dalam pertemuan ini membahas tentang tindak lanjut dari lokakarya perencanaan strategis Pulau Maratua dimana pada pertemuan tersebut menghasilkan kesepahaman bersama dalam mengelola SDA secara bersama di Pulau Maratua. Peserta pertemuan memandang perlu untuk bertemu secara rutin membicarakan berbagai hal yang menyangkut kemajuan Pulau Maratua kedepan tanpa dibatasi oleh masalah administrasi kampung. Pertemuan memutuskan agar masing-masing kampung menunjuk dua orang utusan kampung selain aparat kampung yang secara tetap sebagai perwakilan yang akan mengikuti pertemuan selanjutnya. Pertemuan kedua dilakukan sebanyak dua kali yaitu tanggal 2 dan 5 Februari 2007 yang dilaksanakan di Balai Kampung Teluk Harapan. Pertemuan kali ini dihadiri oleh perwakilan empat kampung yang ada di Pulau Maratua. Kedua pertemuan tersebut menyusun draft kesepakatan bersama tentang pengelolaan sumberdaya alam di Pulau Maratua dan membahas poin apa saja yang akan diatur bersama yang dituangkan dalam draft kesepakatan tersebut. Pada
112
pertemuan ini tiap kampung mengutus perwakilan yang menjadi representative kampung sehingga pertemuan lebih efektif tanpa harus menunggu kepala kampung dalam mengambil keputusan karena selama ini pertemuan sering tertunda karena para kepala kampung tidak berada di tempat karena kesibukan tugas. Pada pertemuan ketiga dilaksanakan pada Bulan Maret 2007 di Tanjung Redep, hal ini dilakukan mengingat para aparat kampung sedang berada di Tanjung Redep mengikuti pelatihan pembuatan Peraturan Kampung yang dilaksanakan oleh Yayasan Berau Lestari dan Yayasan Kehati. Kegiatan ini untuk memperkuat upaya yang sedang dilakukan dalam menyusun draft kesepakatan yang sedang diproses. Dalam pertemuan tersebut juga terjadi sharing informasi antara Forum Masyarakat Nelayan dari Biduk-biduk dengan masyarakat Derawan dan Maratua tentang kelembagaan kelompok, program yang dilakukan dan tentang kebijakan KKL Berau. Selain itu juga dilakukan pertemuan informal dan silaturahmi dengan Bupati Berau Drs. H. Makmur HAPK, Bupati mendukung upaya yang dilakukan dan beliau menegaskan bahwa program KKL Berau untuk menjamin kelangsungan masyarakat nelayan dalam mencari hasil laut. Peserta pertemuan juga sepakat akan dibentuk kelembagaan bersama setelah draft kesepakatan di tanda tangani oleh kepala kampung dan menambah jumlah personil perwakilan kampung yang sebelumnya berjumlah 8 orang ditambah 1 orang setiap kampung sehingga berjumlah 12 orang yaitu : Ahmad Yani (Payungpayung), Tarmi (Bohesilian), Haitami (Teluk Alulu), Osdek (Teluk Harapan). Agenda selanjutnya membahas draft akhir kesepakatan yang akan dilaksanakan di kampung Teluk Alulu di perkirakan minggu ke dua bulan April.
(a)
(b)
(c)
Sumber : Bestari (2007) Keterangan : (a) Penandatanganan piagam oleh Kepala Kampung Payung-payung. (b) Penandatanganan piagam oleh Kepala Kampung Teluk Harapan. (c) Penandatanganan piagam oleh Kepala Kampung Bohesilian.
Gambar 25. Proses penandatanganan piagam kesepakatan 4 kampung Maratua
113
Pertemuan bulan April 2007 merupakan pertemuan ke empat dimana agenda pertemuan ini adalah membahas rencana penandatanganan kesepakatan dan finalisasi draft kesepakatan dimana empat kepala kampung telah setuju dengan isi kesepakatan. Selanjutnya peserta pertemuan memberikan mandat kepada Kepala Kampung Bohesilian untuk mempersiapkan rencana penandatanganan dan lobi ke kecamatan untuk acara tersebut. Pihak kecamatan sangat mendukung upaya yang dilakukan dan siap memfasilitasi acara penandatanganan tersebut yang berlangsung pada tanggal 24 Mei 2007. dan hadir sebagai saksi adalah Kapolsek Maratua, Babinsa Teluk Harapan, Komandan Pos TNI AL Maratua, Petugas Perikanan Maratua, Yayasan Berau Lestari serta mengetahui Camat Maratua Drs. Zulfikar. Setelah penandatanganan piagam kesepakatan tersebut akan dibentuk organisasi yang dapat mewadahi aspirasi yang tertuang di dalam piagam tersebut, dimana “Dakayu Akkal” dipilih sebagai nama yang diambil dari bahasa Bajau yang artinya satu pemikiran. Tim Pengarah Pelatihan dan Pemetaan Partisipatif
Studi Banding Pengalaman Legislasi
Lokakarya tentang kebutuhan topik negosiasi dan perancangan pengelolaan
Dialog Warga
Tim Panitia Inti Masyarakat
Diskusi dan FGD
Usulan Rencana Pengelolaan
Proses Legislasi dan Keputusan
Dakayu Akkal Keterangan :
: Garis konsultasi
: Garis kordinasi
Gambar 26.Alur proses pembentukan badan pengelola sumberdaya Pulau Maratua
114
C. Pelaksanaan Pengelolaan Sampai sekarang proses yang sedang berjalan adalah pembentukan konstitusi organisasi, pada saat penelitian berlangsung terlihat para tokoh masyarakat sering berkumpul untuk membicarakan wacana pembuatan anggaran dasar dan anggaran rumah tangga, karena nantinya Dakayu Akkal ini akan diakte notariskan, agar secara hukum diakui keberadaannya. Harapannya kedepan akan ada dua bentuk pengelolaan di dalam Dakayu Akkal yaitu, konservasi dan pemanfaatan. Untuk kegiatan konservasi telah dilakukan pemetaan partisipatif dimana masyarakat telah memetakan potensi-potensi yang akan di protect, sedangkan untuk pemanfaatan masyarakat akan mengembangkan ekowisata yang diharapkan nantinya akan dibentuk suatu badan pengelola yang khusus akan menjalankan ekowisata ini lewat community corporate dimana sahamnya 75 % akan dikuasai oleh masyarakat sendiri. Nantinya diharapkan tidak ada lagi pemanfaatan secara ekstraktif terhadap sumberdaya alam. Pada saat penelitian berlangsung terlihat sebagian warga sedang mempersiapkan ekowista berbasis masyarakat tersebut, Pak Yani misalnya sedang mempersiapkan kapal yang nantinya akan digunakan sebagai kapal transportasi yang akan melayani rute Maratua ke Tanjung Redep, sedangkan warga yang lain membantu mempersiapkan homestay yang akan dipakai sebagai penginapan turis yang akan datang, juga masyarakat melakukan studi banding ke Bali yang difasilitasi oleh LSM Bestari, sedangkan untuk promosi ekowisata masyarakat masih menyerahkannya kepada LSM Bestari, terlihat di Tanjung Redep promosi ini sudah mulai dilakukan seperti penyebaran poster, banner, liflet, dan baliho. Bahkan promosi ini juga dibuat dalam bentuk film wisata26.
(a)
(b)
Keterangan : (a) Liflet Promosi Ekowisata Pulau Maratua (b) Sticker Kampanye Ekowisata Pulau Maratua
Gambar 27. Berbagai Bentuk Promosi Ekowisata Masyarakat Maratua. 26
Film wisata yang sedang digarap sedang dalam proses editing, bahkan pemeran utama di dalam film tersebut adalah aktor muda ternama Indonesia Nicolas Saputra, penggarapan film ini dibiayai oleh LSM Kehati Indonesia.
115
Pengelolaan yang profesional dengan tetap melindungi kelestarian alam, dan mampu melibatkan peran serta masyarakat lokal, merupakan sebuah konsep yang justru akan menjadikan sebuah paket wisata menjadi daya tarik tersendiri bagi wistawan mancanegara. Pengelolaan paket wisata yang tidak melibatkan peran serta masyarakat lokal hanya akan menyebabkan ketidaknyamanan bagi wisatawan yang datang, karena hanya akan membatasi ruang gerak masyarakat dan hanya menguntungkan pihak investor, yang pada akhirnya justru malah akan menyebabkan kegagalan. Tetapi sebuah paket wisata yang di kemas dengan melibatkan peran serta masyarakat melalui sistem kerjasama yang harmonis dan profesional akan menjadikan nilai jual dari kawasan ini semakin terangkat naik. Kesemuanya itu memang membutuhkan pertimbangan-pertimbangan yang matang dari pihak kecamatan dan diperlukan keterlibatan ahli-ahli dibidang pariwisata dan konservasi alam. Tim Pengarah
Badan Perwakilan Kampung (BPK)
Kepala Kampung
Badan Kelola Kawasan Dakayu Akkal Ketua Dakayu Akkal Bendahara
Sekretaris
Ekowisata
Kuliner
Seksi Konservasi
Kapal
Guide
Seksi Pemberdayaan Ekonomi
Seksi Pendamping Masyarakat
Home Stay
Masyarakat Keterangan :
: Garis konsultasi : Garis pertanggungjawaban : Garis kordinasi
Gambar 28. Struktur Organisasi Badan Kelola Kawasan (Sumber Bestari) D. Mekanisme Pengawasan Proses pengawasan dilakukan secara bersama-sama antara masyarakat dengan pemerintah dimana masing-masing telah memiliki tugas dan tanggung
116
jawab. Pada masyarakat, Dakayu Akkal menunjuk Pokmaswas, yang bekerjasama dengan polisi air untuk mengawasi penangkapan penyu, dan sumberdaya perikanan yang lain. Sedangkan untuk pengamanan telur sesuai dengan SK Bupati No. 36 Tahun 2002, yang kemudian direvisi dengan SK Bupati No 179 Tahun 2003, dimana Tim Teknis Pengawasan terdiri dari unsur Pemda, Kodim, Polres, LSM lokal, dan pengelola wisata, memang dalam SK tersebut tidak ada unsur dari masyarakat, mengingat SK tersebut dikeluarkan pada tahun 2002, dan Pokmaswas belum terbentuk saat itu. Akan tetapi dalam proses pengawasan yang dilakukan dalam rangka konservasi penyu di KKLD Berau saat ini khususnya di Pulau Maratua tim pengawasan dan tim monitoring selalu melakukan kordinasi dengan Dakayu Akkal. Jika ditemukan pelanggaran atas peraturan maka langkah klarifikasi dilakukan dengan, diantaranya : pertama, melakukan pertemuan ditingkat Dakayu Akkal. Kedua, memberikan teguran secara lisan dihadapan pengurus Dakayu Akkal dan kepolisian kampung sebagai tahap awal sanksi. Jika seseorang melakukan kembali pelanggarannya, maka masyarakat yang melanggar dikenakan sanksi peraturan yang berlaku yaitu mengacu kepada peraturan terkait yaitu Peraturan Pemerintah No. 7 dan 8 tahun 1999 sebagai sangsi pemanfaatan penyu (setelah menetas), dan jika melanggar peraturan atas pengrusakan habitat dikenakan sanksi peraturan kehutanan.
Dakayu Akkal
Pokmaswas
Petugas Lapangan DKP
Zona Pemanfaatan
Klarifikasi
Polisi Air dan TNI AL
Tindak Lanjut
Zona Inti
Gambar 29. Mekanisme Pengawasan pada Kawasan Pulau Maratua Pada saat penelitian berlangsung tidak ada data mengenai pelanggaran terhadap peraturan dari hasil pengawasan. Walaupun ada pelanggaran tersebut tidak fatal, hanya faktor ketidaksengajaan. Pengalaman yang dilakukan oleh
117
nelayan yang sedang melaut, mereka secara tidak sengaja menangkap penyu karena terkait jaring, setelah di bawa ke atas kapal kemudian dilepaskan kembali. Hal ini diungkapkan oleh Pak Yani (42) : “....nelayan bah, sekarang tahu peraturan bahwa penyu itu dilarang untuk ditangkap. Kalaupun ditangkap itu bukan disengaja, tapi terjaring waktu menebar jaring. Jika penyu itu ketangkap biasa dilepas lagi”
(a)
(b)
(c)
Keterangan : (a) Papan kampanye konservasi penyu. (b) Papan informasi pelarangan eksploitasi penyu. (c) Pos kelompok masyarakat pengawas (Pokmaswas)
Gambar 30. Papan Informasi Kampanye Konservasi Penyu.
E. Analisis Partisipasi Masyarakat dalam Kelembagaan Dakayu Akkal Seiring dengan diberlakukannya otonomi daerah maka secara struktural pemerintahan desa memiliki kelembagaan yang baru yaitu BPK (Badan Perwakilan Kampung) dengan format untuk menjalankan demokratisasi dan partisipasi di tingkat desa. Adanya inisiatif dari LSM sebagai wadah untuk penyelesaian konflik yang terjadi maka masyarakat kampung mendirikan Dakayu Akkal sebagai representasi dari BPK. Dakayu Akkal sebagai bentukan dari BPK dan merupakan organisasi sosial-politik hasil dari koalisi dari berbagai tokoh masyarakat, organisasi kemasyarakatan yang ada di di Kampung Pulau Maratua. Secara struktural Dakayu Akkal berkoordinasi dengan berbagai lembaga yang siap bekerjasama sesuai dengan isu yang ada pada masyarakat seperti digambarkan pada Gambar diatas. Pada saat penelitian berlangsung hanya berlangsung sekali proses pengambilan keputusan, pertemuan yang diselenggarakan pada tanggal 16 April 2008 dimana di dalamnya terdapat pembukaan proses wacana pen-tagging an penyu yang akan dilaksanakan oleh tim monitoring penyu TNC-WWF. Seperti diketahui sebelumnya Pulau Maratua merupakan feeding ground bagi penyu hijau di Kepulauan Derawan. Terutama kampung Payung-payung, sehingga tim
118
monitoring penyu akan melaksanakan program tagging bagi penyu betina. Sebelum tim monitoring penyu melaksanakan kegiatannya Pak Rusli selaku kordinator tim monitoring menyampaikan rencana kegiatannya lewat Kepala Kampung Payung-payung, karena di Maratua sendiri sudah ada kesepakatan bersama maka Kepala Kampung mengajak agar rencana tersebut didiskusikan secara mufakat lewat forum Dakayu Akkal, sehingga pada malam harinya diadakan pertemuan antara tim monitoring penyu dengan para pengurus Dakayu Akkal beserta masyarakat. Proses pertemuan diawali dengan penjelasan dari tim monitoring perihal kegiatan yang akan mereka lakukan dan menjelaskan mekanisme kerja di lapangannya. Agar tidak terjadi kesalahpahaman diantara warga, karena kesalahpahaman ini sering terjadi tutur Pak Rusli. Bentuk kesalahpahaman itu misalnya ada anggapan tulisan yang tertera di dalam tagging tersebut adalah nama daerah lain, atau suatu instansi tertentu yang mereka anggap tidak mengatas namakan kampung mereka. Padahal informasi yang tertera di tagging tersebut adalah no. ID penyu dan PHPA, selaku badan pemerintah di bawah Departemen Kehutanan yang menangani konservasi penyu di Indonesia.
(a)
(b)
(c)
(d)
Keterangan : (a) (b) (c) (d)
Masyarakat terlibat dalam kegiatan feeding area Tagging yang dipasang di sirip penyu sebagai tanda. Tim siap diatas speed boat untuk mengejar penyu. Pengukuran panjang karapas penyu hijau.
Gambar 31. Aktifitas Masyarakat dan Tim Monitoring Dalam Kegiatan Feeding. Setelah penjelasan dirasa cukup Pak Yani selaku tokoh masyarakat Kampung Payung-payung memberikan izin kepada tim monitoring untuk melaksanakan kegiatannya, akan tetapi ada beberapa hal yang disepakati yaitu : Pertama, sebelum pelaksanaan kegiatan selanjutnya tim monitoring penyu TNCWWF harus mengadakan pelatihan kepada masyarakat yang tertarik untuk terlibat dalam kegiatan monitoring, yaitu pelatihan bagaimana cara pentaggingan penyu dilakukan, agar selain terlibat warga juga akan mengetahui teori dan mendapat
119
pemahaman secara ilmiah. Kedua, harus ada mekanisme pelibatan masyarakat dalam proses kegiatan yang dilakukan. Sehingga rasa tanggung jawab dan kepedulian tinggi. Piagam kesepakatan pengelolaan bersama yang telah disepakati oleh masyarakat Pulau Maratua adalah sebuah proses yang panjang, dimana kesebelas sumberdaya yang telah disepakati tersebut dapat dijadikan kasus bagaimana proses negosiasi dan pengambilan keputusan dilakukan dalam forum warga. Perencanaan keputusan tersebut telah melibatkan berbagai pihak berkepentingan secara internal dalam forum itu sendiri juga pihak yang datang dan baru ikut menangani isu yang berkembang. Tabel 24 merupakan hasil dan isi pertemuan dimana tercatat 153 spot (panjang) pembicaraan dari seluruh peserta rapat (29 orang). Jumlah warga yang mendapatkan kesempatan bicara sebanyak 14 orang atau 66% menyampaikan pembicaraan, 14% pembicaraan dari anggota LSM, 14% dari pemerintah. Tabel 25. Pengamatan Diskusi Terfokus dengan isu Rencana Strategis Pengelolaan Bersama Masyarakat Pulau Maratua. No Keterangan Persentase Pemimpin pertemuan Fasilitator 1 ½ lingkaran 2 Setting tempat duduk 3 Jumlah warga yang terlibat dalam pembicaraan per jumlah 14/21 atau 66% peserta yang bicara Anggota LSM yang terlibat dalam pembicaraan per jumlah peserta yang bicara 5 Jumlah stakeholder ( camat, DKP, kepolisian) yang terlibat dalam pembicaraan per jumlah peserta yang bicara 6 Total penyampaian bicara 7 Frekuensi pemerintah 8 Frekuensi LSM Bestari 9 Frekuensi warga 10 Frekuensi fasilitator Sumber : Notulensi Pertemuan Bestari (2007)
4
3/21 atau 14% 3/21 atau 14% 153 spot bicara 8/153 atau 5 % 31/153 atau 20 % 69/153 atau 45 % 45/153 atau 29 %
Warga mendominasi pembicaraan bersama-sama LSM Bestari. Dari 153 spot pembicaraan yang telah tercatat, pembicaraan yang dikeluarkan oleh pemerintah 5% dari total pembicaraan, 20% oleh Bestari dan 45% oleh warga, sisanya oleh fasilitator 29%. Sejumlah 21 orang warga yang hadir, hanya 14 orang saja yang menggunakan kesempatan bicara menyampaikan opini dan pendapatnya. Fakta ini menunjukkan bahwa kesempatan menyampaikan opini didominasi oleh masyarakat yang memiliki informasi dan wawasan tinggi dalam
120
permasalahan isu yang sedang ditangani. Sebagiannya lagi hanya menjadi penerima opini, saran dan pendapat baik dari pemerintah, temannya sendiri dan dari Bestari. Jika dilihat dari posisi dalam masyarakat, warga yang banyak mengeluarkan opininya merupakan warga yang ada dilapisan atas seperti Pak Yani, Pak Umran dan Pak Nawir. Namun, jika dilihat dari substansi yang dibicarakan, pertemuan tersebut merupakan wahana tempat pentransferan dan peningkatan pengetahuan warga dari orang yang memiliki pengetahuan seputar isu yang diangkat walaupun keputusan yang diambil tidak terlalu membutuhkan pemikiran yang tinggi. Hasil dari tabel memperlihatkan pula, seperti telah disinggung diatas bahwa tidak semuanya warga dalam forum siap, mampu, kompeten dan fasih dalam penyampaian opini, melakukan perdebatan wacana sesuai dengan isu. Kefasihan dan kompetensi menguasai teknik bicara, penggunaan bahasa dan mempertahankan argumentasi tidak bisa dilakukan. Warga cenderung lebih memberikan kepercayaan kepada orang yang lebih vokal untuk melakukan argumentasi. Pertemuan itu pula dapat dianalisis juga faktor-faktor pendukung partisipasi masyarakat dalam sebuah diskusi. Faktor tersebut diantaranya pertukaran informasi yang masuk kepada masyarakat melalui penerimaan opini, saran dan pendapat (information-in) yang didapatkan cenderung tinggi sedangkan penyaluran informasi juga tinggi. Hal ini kembali dari proses pertemuan dimana masyarakat yang berbicara mengeluarkan informasi (information-out) berjumlah tujuh orang yang mendominasi, sedangkan masyarakat lainnya cenderung diam (silent majority), akan tetapi dari ketujuh orang ini mendominasi dari keseluruhan pembicaraan dalam diskusi. Masyarakat yang memberikan informasi kepada pemerintah, LSM dan lainnya cenderung menguasai masalah serta memiliki pengetahuan yang tinggi. Sedangkan dari pihak resort wisata keterlibatan didalam diskusi ternyata juga tidak tinggi, hal ini terlihat perwakilan dari resort yang hanya satu orang, bahkan pemilik resort tidak hadir dalam pertemuan tersebut. Berbedanya kekuatan dan kelemahan yang didapatkan masyarakat ini dapat diimbangi oleh LSM. Jika dilihat dari kapasitas informasinya LSM mendapatkan dan mengetahui informasi yang seimbang baik informasi yang
121
didapatkan atau dikeluarkan dari proses diskusi dengan pemerintah dan masyarakat serta informasi yang diberikan dalam forum diskusi dengan kelompok lainnya. Oleh karena itu, LSM berfungsi sebagai jembatan yang menghubungkan para stakeholder. Sehingga partisipasi yang terjadi menuju pada tahap kemitraan (partnership) yang berarti dalam tahap berbagai permasalahan yang terjadi sekarang atau pada masa dulu, pembagian kewenangan cenderung terbagi secara relatif seimbang (equity) antara masyarakat dan pemerintah dimana kedua-duanya ingin berkomitmen untuk melakukan perencanaan serta pengambilan keputusan peraturan secara bersama-sama. Tabel 26. Analisis Aktor Pendukung dalam Diskusi Terfokus Aktor Keterwakilan LSM Sedang Pemerintah Sedang Masyarakat Tinggi Fasilitator Rendah Swasta (Resort) Rendah Sumber : Data primer (Diolah 2008)
Informasi masuk Tinggi Rendah Tinggi Tinggi Rendah
Informasi keluar Tinggi Tinggi Tinggi Tinggi Rendah
6.2.5.2 Analisis Partisipasi Masyarakat di Pulau Derawan Berbeda dengan kondisi di Pulau Maratua dimana telah ada kesepakatan pengelolaan kawasan oleh masyarakat , di Pulau Derawan belum ada organisasi masyarakat yang fokus terhadap pengelolaan sumberdaya. Program konservasi Penyu
Pro BKSDA
Masyarakat
Kontra Pemda
Pemerintah LSM
Pro : Formal Green Turtle
Pahter
Kontra
Keterangan :
Melakukan : Penghasutan Pemburukan Citra
: Hubungan kerjasama
Partisipasi karena Dukungan agen eksternal (LSM)
: Kordinasi
Sokong dana utk Parpol,melegal kan aksi
: Hubungan khusus
Gambar 32. Alur Proses Partisipasi Masyarakat Pulau Derawan. Sebenarnya pernah ada pendampingan yang dilakukan oleh beberapa LSM untuk membantu membentuk organisasi masyarakat di Pulau Derawan, lewat
122
training community organizer, pembentukan forum dan berbagai pelatihan untuk meningkatkan kapasitas masyarakat, akan tetapi sampai sekarang tidak ada tindak lanjut dari masyarakat mengenai hal tersebut. Akan tetapi ada beberapa komunitas yang berkembang seperti kelompok ekowisata Kalea yang di bentuk oleh masyarakat, juga ada kelompok Green Turtle yang di bentuk oleh para pemuda di Pulau Derawan. Akan tetapi sekarang kondisinya terjadi konflik yang sangat sensitif perihal konservasi penyu di Pulau Derawan, karena mantan pahter (pemegang konsesi telur penyu) bertempat tinggal di kampung tersebut, bahkan merupakan tokoh yang sangat disegani dan berpengaruh di pulau tersebut. Bahkan pahter ini juga memiliki dukungan politik yang kuat di tingkat pemerintahan Pemda Berau, mengingat penghasilan yang didapat dari konsesi telur penyu sejak tahun 2005, tidak mengherankan jika pahter dengan kekuatan modalnya berusaha melegalkan kembali aksinya dengan sokongan dana kepada salah satu partai politik yang berkuasa, demi mendapatkan kursi suara di Dewan Perwakilan Daerah Kabupaten Berau, sehingga Pahter dapat mengintervensi setiap kebijakan yang berhubungan dengan konservasi penyu Hal tersebut diperkuat oleh Rusli Andar (42) : ”...keberadaan Pahter di Pulau Derawan sangat menghambat upaya konservasi penyu, dengan kekuatan modal dan kekuasaannya Pahter selalu berusaha menghambat kegiatan konservasi yang masyarakat lakukan, mulai dari melakukan penghasutan sampai melakukan pengrusakan terhadap fasilitas konservasi penyu. Bahkan secara tegas Pahter ini menolak seluruh kegiatan LSM yang melakukan aksinya di Pulau Derawan...” Selain dukungan pemerintah, pahter juga berusaha mendapatkan dukungan dari masyarakat, upaya penghasutan dan propaganda sering dilakukan, dukungan dari masyarakat ini terlihat dengan terpilihnya Haji Bahri sebagai Kepala Kampung Pulau Derawan, yang jelas-jelas merupakan mantan pahter yang paling lama berkuasa di Kepulauan Derawan. Sehingga kelompok-kelompok yang terbentuk tersebut dari aspek keterwakilannya oleh penulis masih diragukan jika disebut sebagai organisasi berbasis masyarakat, mengingat adanya pro kontra dikalangan masyarakat sendiri Kelompok Green Turtle sendiri sampai sekarang masih melaksanakan beberapa kegiatannya seperti monitoring, tagging, dan relokasi telur, serta bersih
123
pantai yang dilakukan sebulan sekali dengan mengerahkan masyarakat. Bahkan fasilitas hatchery sudah tersedia di Pulau Derawan, walaupun pernah terjadi pengrusakan oleh oknum tertentu. Kelompok Green Turtle di Pulau Derawan juga sebenarnya punya kegiatan ekowisata yang mereka rintis, seperti pendampingan wisata, glass bottom boat untuk transportasi lokal, dan homestay.
(a)
(b)
(c)
(d)
Sumber : Green Turtle (2007) Keterangan : (a) Glass bottom boat milik kelompok Green Turtle. (b) Green Turtle sedang mendampingi para wisatawan. (c) Anggota Green Turtle berkumpul di homestay milik mereka. (d) Kegiatan bersih pantai oleh masyarakat Pulau Derawan.
Gambar 33. Berbagai aktifitas kelompok ekowisata masyarakat di Pulau Derawan. Keberadaan kelompok ekowisata ini dirasakan cukup banyak membantu tim monitoring penyu TNC-WWF, menurut penuturan Rusli Andar (42) : “...anak-anak muda inilah yang membantu saya dalam menjalankan program konservasi penyu di Pulau Derawan, dukungan ini misalnya membantu monitoring penyu, relokasi sarang, bahkan sampai menjaga lokasi hatchery, selain itu sebulan sekali mereka melakukan bersih pantai (beach clean) dalam rangka menjaga kebersihan pantai agar tidak menganggu penyu saat naik untuk bertelur di pantai Pulau Derawan, selain itu juga dapat mencegah abrasi pantai”. Pada saat penelitian berlangsung juga terlihat anak-anak muda kelompok ekowisata ini berjumlah 15 orang dengan semangat dan ikhlas membantu tim monitoring penyu untuk melakukan pentaggingan penyu di Pulau Derawan, Pulau Panjang, dan Pulau Maratua serta Pulau Samama. Bahkan walaupun harus meninggalkan rumah berhari-hari untuk melaksanakan bagian dari konservasi penyu, mereka terlihat sangat kompak dan akrab, jumlah wanita dan pria dalam kelompok ini juga seimbang, biasanya pada saat berlangsung kegiatan para wanita menyiapkan konsumsi, hanya satu orang yang ikut kegiatan monitoring tugasnya adalah mencatat informasi dan data yang didapat, karena wanita dianggap lebih telaten dan rapi dalam membuat catatan, sedangkan para pria melakukan kegiatan monitoring, sehingga partisipasi ini masyarakat yang terjadi atas inisiatif agen
124
eksternal yaitu LSM, yang selalu mengajak kelompok Green Turtle dalam upaya konservasi penyu, Darjon (29) salah satu pendiri kelompok ini mengatakan “...anak-anak muda ini memiliki kemauan dan komitmen yang kuat untuk membantu tim monitoring penyu, padahal tidak sedikit warga yang kontra dengan aksi kita, akan tetapi saya mempunyai keyakinan suatu saat nanti kegiatan konservasi yang kita rintis akan berhasil, karena masa depan Pulau Derawan ada di tangan kita” Sehingga partisipasi yang terjadi masih menuju pada tahap manipulasi dimana pemerintah dan LSM sedang membangun dukungan masyarakat dalam upaya menjalankan konservasi penyu. Tabel 27. Kondisi pengelolaan sumberdaya di Pulau Maratua dan Pulau Derawan No 1)
Keterangan Organisasi berbasis masyarakat
Pulau Maratua √
Pulau Derawan ─
2)
Kesepakatan pengelolaan bersama
√
─
3)
Kelompok ekowisata berbasis masyarakat
√
√
4)
Mekanisme pengawasan oleh masyarakat
√
─
6.2.5.3 Sumber dan Hubungan Keterwakilan Masyarakat Hubungan dan sumber kekuatan para pelaku dalam lembaga Dakayu Akkal dapat diketahui dari dalam dan di luar organisasi. Dakayu Akkal sebagai organisasi telah mengatur format lembaga berdasarkan wewenangnya, dalam proses pengambilan keputusan secara internal dalam lembaga sendiri. Namun hubungan kekuatan dari luar terjadi walaupun hanya sebatas garis kordinasi seperti digambarkan pada struktur organisasi Dakayu Akkal. Kekuatan Dakayu Akkal terdiri dari individu yang memiliki wewenang dan kekuasaan. Jika dilihat aspek jumlah komposisi, Dakayu Akkal memiliki komposisi 28% diduduki oleh orang-orang yang duduk di dalam struktur otoritas pemerintahan terdiri dari pejabat kampung serta kecamatan dan pegawai penyuluh DKP yang secara wewenang memiliki hubungan akses kuat kepada pemerintah daerah. Begitupun dari komposisi masyarakat yang diwakili oleh Badan Kelola Kawasan sebesar 36% dan yang bergabung dengan tokoh kampung sebesar 18% . sedangkan dari non pemerintah hanya 18% perwakilan, terdiri dari anggota LSM. Walaupun sebagai LSM lokal, faktanya lembaga tersebut memiliki kekuatan koordinasi dengan pejabat pemerintahan kabupaten, provinsi, nasional bahkan internasional. Struktur kekuatan yang ada pada saat pendirian memperlihatkan
125
bahwa Dakayu Akkal secara organisasi memiliki legitimasi dari pemerintahan kecamatan. Karena itu, dalam proses selanjutnya seperti hubungan dengan pemerintahan baik eksklusif dan legislatif relatif dapat diterima dengan mudah.
BKK 36%
Tokoh Kampung 18%
Otoritas Pemerintah 28%
Otoritas NonPemerintah 18%
Gambar 34. Sumber dan Hubungan Kekuatan Masyarakat dalam Dakayu Akkal Komposisi Dakayu Akkal diatas merupakan komposisi perwakilanperwakilan dari berbagai lapisan masyarakat. Pada proses partisipasi, keterwakilan menjadi sebuah keharusan, hal ini diperlukan untuk meningkatkan keterjalinan hubungan antara kelompok lapisan masyarakat.
6.3 Faktor yang Mempengaruhi Partisipasi Masyarakat 6.3.1 Faktor Pendukung Partisipasi Dari penjelasan sebelumnya dapat di analisis bahwa faktor pendukung partisipasi masyarakat di Kepulauan Derawan adalah faktor ekonomi dan faktor karena adanya dukungan dari pemerintah. 6.3.1.1 Faktor Ekonomi Secara logis, pelibatan masyarakat secara efektif dapat dilakukan bila tercipta suatu kondisi dimana masyarakat mendapat dampak langsung (secara ekonomi) dari upaya konservasi. Tidak bisa dipungkiri bahwa pemenuhan kebutuhan ekonomi bagi setiap masyarakat merupakan hal yang terpenting. Sejak dikeluarkannya peraturan konservasi penyu banyak masyarakat yang menggantungkan hidupnya dari telur penyu memilih untuk mencari alternatif baru pendapatan. Sehingga sektor yang paling dapat diandalkan masyarakat kini adalah wisata, selain perikanan tangkap. Potensi sumberdaya penyu hijau terbesar di Asia Tenggara ini dapat menjadi magnet bagi turis lokal dan mancanegara untuk berkunjung ke Kepulauan Derawan. Sehingga ekowisata berbasis penyu
126
laut merupakan strategi baru yang sedang digalakkan, dimana kegiatan ini tidak saja dapat menjamin keutuhan populasi penyu yang tersisa, namun juga akan secara langsung memberikan keuntungan ekonomi kepada masyarakat maupun pemerintah. Di Pulau Maratua misalnya, sekarang sedang dikembangkan ekowisata berbasis masyarakat. Di sekitar pemukiman masyarakat sudah mulai dibangun sarana dan prasarana wisata, misalnya penginapan, rumah makan, dan sarana transportasi. Mekanisme pengelolaannya berada di bawah koordinasi Dakkayu Akkal, akan tetapi dari pengamatan penulis konsep pengelolaannya masih dalam proses studi banding dan pelatihan, nantinya Pulau Maratua ini akan dijadikan kampung wisata, dimana lokasinya dipusatkan disekitar Teluk Pea. Hal yang sama juga dilakukan oleh masyarakat Pulau Derawan, masyarakat membentuk kelompok ekowisata seperti Green Turtle dan Kalea, fasilitas seperti glass bottom boat, penginapan, cendramata dan guide wisata sudah tersedia. Guide wisata biasanya memanfaatkan atraksi wisata penyu laut, seperti melihat penyu bertelur di malam hari, melihat lokasi tempat penyu mencari makan, dan kegiatan relokasi telur yang dilakukan petugas monitoring penyu di Pulau Sangalaki. Akan tetapi di Pulau Derawan sektor pariwisata masih dikuasai oleh pengusaha-pengusaha besar lewat paket wisatanya. Hampir di sepanjang pantai Pulau Derawan sekarang dipenuhi oleh bangunan seperti bungalow, darmaga, dan restoran terapung, yang rata-rata dimiliki mereka. Dari penuturan masyarakat, belum ada kesepakatan atau mekanisme pengelolaan antara pengusaha dan kelompok ekowisata yang ada di Pulau Derawan, hal ini terjadi karena belum terbentuknya organisasi masyarakat yang dapat mengakomodasi kepentingan masyarakat tempatan. Pada saat penelitian berlangsung kelompok-kelompok kerajinan tengah sibuk mengerjakan duplikat boneka penyu yang terbuat dari cangkang keong dan limbah kayu, hal tersebut mengingat Pulau Derawan menjadi lokasi penyelenggaraan Pekan Olahraga Nasional (PON ke-XIV) untuk cabang selam, layar dan voli pantai yang akan diselenggarakan pada bulan Juli 2008. Sehingga akan banyak offisial, atlet dan turis berdatangan ke Pulau Derawan, mereka akan mencari cendramata khas Pulau Derawan, sehingga sadar akan potensi tersebut kini masyarakat mengembangkan usaha kerajinan.
127
6.3.1.2 Faktor Dukungan dari Pemerintah dan LSM Pulau Derawan dan Maratua adalah bagian dari kepulauan yang berpenduduk yang banyak tergantung dari hasil laut tentunya. Keberadaan dan keanekaragaman hayati laut sangat penting untuk menunjang keberlanjutan kehidupan masyarakat. Selain potensi dari lautan juga terdapat potensi daratan yang tidak kalah penting yaitu sektor perkebunan dalam hal ini kebun kelapa. Disisi lain dalam upaya kegiatan pelestarian alam terdapat ancaman yang sangat besar dan kompleks dikarenakan eksploitasi besar-besaran di daerah hulu sungai baik di bidang kehutanan maupun pertambangan yang menyebabkan tercemarnya air lautan dan terdamparnya limbah-limbah kayu dan juga hasil sisa perkebunan kelapa yang dibiarkan terbuang begitu saja sebagai sampah sehingga mengurangi keindahan dan kebersihan pantai serta laut tempat kita mencari nafkah sehari-hari, disisi lain menurunnya hasil tangkapan nelayan dan berpengaruh pada berkurangnya pendapatan. Kepulauan Derawan dan Maratua merupakan daerah tujuan wisata yang sangat potensial, kondisi alamnya merupakan terbaik di dunia setelah kepulauan Solomon, dan Raja Ampat Papua. Peluang wisata ini belum dapat dimanfaatkan masyarakat karena masih terbatasnya kemampuan mereka untuk dapat terlibat secara ekonomi dalam bisnis wisata. Berangkat dari latar belakang ini, Yayasan Berau Lestari dan Joint Programme TNC-WWF mengadakan berbagai kegiatan pelatihan kerajinan dengan bahan dasar limbah kayu dan tempurung kelapa di Pulau Maratua dan Pulau Derawan. Kegiatan ini merupakan upaya dukungan dari pemerintah dan LSM untuk meningkatkan partisipasi masyarakat.
A. Pelatihan Kerajinan dan Ekowisata Berbasis Masyarakat Kegiatan ini dilaksanakan pada tanggal 23 – 24 Mei 2007 di Pendopo Kecamatan Pulau Maratua kerja sama antara PKK Kecamatan Maratua, Dinas Perindako, Bestari, dan didukung oleh Joint Program TNC-WWF dan Kecamatan Maratua. Adapun tujuan dari kegiatan ini adalah pertama, memberikan motivasi pada masyarakat untuk mencari alternatif ekonomi dan pemahaman serta ketrampilan dalam memanfaatkan hasil limbah kayu dan tempurung kelapa, yang
128
dapat dijadikan cenderamata bagi wisatawan yang berkunjung ke Kabupaten Berau khususnya Pulau Derawan dan Maratua. Kedua, meningkatkan kualitas sehingga memiliki nilai jual yang dapat bersaing di pasaran. Ketiga, memberikan pemahaman kepada masyarakat bahwa membuat kerajinan tidak harus dengan eksploitasi sumbedaya yang sudah dilindungi (penyu sisik), akan tetapi dapat menggunakan bahan baku yang lain, akan tetapi memiliki nilai seni yang sama. Dalam kegiatan ini masyarakat yang terlibat sebanyak 30 orang, berdasarkan hasil seleksi dari tim penggerak PKK Kecamatan Maratua dimana pada tahap pertama kegiatan ini bisa melibatkan peserta sebanyak 45 orang dari lima kampung. Pemberian materi disampaikan oleh Nuryaman, Wayan Dirgayusa, dan Basuki Rachmad yang merupakan trainer yang sudah sangat berpengalaman. Di Pulau Derawan juga pernah dilakukan kegiatan yang sama dimana kegiatan ini berlangsung pada tanggal 2-5 April 2005 dengan mengusung tema “Pelatihan Pengenalan Membuat Kerajinan Tangan dan Pemandu Wisata Sebagai Peluang Usaha Untuk Meningkatkan Partisipasi Masyarakat Dalam Pengelolaan Konservasi Penyu di Kecamatan Pulau Derawan dan Maratua”. Kegiatan ini difasilitasi oleh Pemda Berau, Pemda Bali, TNC-WWF, serta Mitra Pesisir. Kegiatan pelatihan ini dilakukan mengingat banyaknya warga Pulau Derawan yang menjual cendramata yang berasal dari penyu sisik dalam bentuk cincin, gelang, serta awetan penyu, sehingga keberadaan penyu sisik semakin langka karena gencarnya eksploitasi oleh warga. Maka lewat pelatihan ini diharapkan adanya alternatif bahan baku yang dapat digunakan seperti limbah kayu dan tempurung kelapa. Pelatihan ini langsung mendatangkan trainer/ pengrajin dari Bali yang sudah sukses menjalankan kerajinan patung penyu dari bahan kerang dan limbah kayu. Sehingga diharapkan warga Pulau Derawan tidak ada lagi yang menjual kerajinan berasal dari penyu sisik. Kegiatan ini diikuti oleh 35 peserta yang terdiri dari para pengrajin sisik, anak muda, dan aparat kampung, dalam pelatihan ini warga mendapat bekal teori dan praktek, awalnya para peserta mendapat pembekalan teori, baru setelah dianggap cukup para peserta langsung mempraktekannya, bahkan para peserta langsung mendapatkan hasilnya, peserta merasakan kerajinan yang mereka buat
129
memiliki peluang usaha yang cukup menjanjikan karena produk patung penyu yang mereka hasilkan cukup bagus. Selain pelatihan kerajinan pada saat bersamaan juga diadakan pelatihan ekowisata sebagai mata pencaharian alternatif warga, sasaran utamanya adalah anak-anak muda yang memiliki kemauan dan semangat untuk mengembangkan wisata di Pulau Derawan. Dalam pelatihan ini para peserta mendapat pelatihan tentang bagaimana cara membentuk dan membangun ekowisata, latihan menjadi pendamping tamu (Guide) sehingga selain memiliki kemauan mereka juga mempunyai ketrampilan dalam memandu tamu atau wisatawan yang berkunjung ke Pulau Derawan, sehingga diharapkan anakanak muda ini dapat menjadi ujung tombak dalam membangun ekowisata di Pulau Derawan. Pelatihan inilah yang menjadi cikal bakal terbentuknya kelompok ekowisata Green Turtle di Pulau Derawan. Karena antusiasme dari warga pelatihan ini sempat dilakukan dua kali di tahun yang sama, dimana kegiatan pelatihan yang kedua berlangsung pada tanggal 17-21 September 2005. untuk kelompok ekowisata sendiri sekarang telah memiliki aset glass bottom boat bantuan dari TNC-WWF dan mereka juga pernah melakukan studi banding ke Bali dan Sukabumi perihal kegiatan ekowisata berbasis penyu laut, sedangkan para pengrajin mendapat bantuan peralatan untuk membuat kerajinan patung penyu tersebut.
(a)
(b)
(c)
(d)
Sumber : WWF (2007) Keterangan : (a) Kerajinan dari limbah kayu dan kelapa oleh masyarakat Maratua. (b) Masyarakat sedang mempraktekkan cara membuat kerajinan. (c) Pelatihan ekowisata di Pulau Derawan antusias diikuti masyarakat. (d) Patung penyu yang menjadi alternatif baru cenderamata khas Derawan.
Gambar 35. Pelatihan Mata Pencaharian Alternatif Bagi Masyarakat. B. Pelatihan Peningkatan Kapasitas Masyarakat Wilayah perairan Kepulauan Derawan merupakan daerah yang memiliki potensi keanekaragaman hayati yang sangat tinggi. Potensi yang tinggi tersebut
130
bagi masyarakat merupakan sumber penghidupan. Namun potensi kekayaan alam laut tersebut masih kurang diketahui dari berbagai kalangan masyarakat khususnya generasi muda yang berasal dari pesisir dan pulau-pulau Kepulauan Derawan. Karena itu perlu dilakukan diskusi mengenai potensi sumberdaya perairan Kepulauan Derawan yang melibatkan para pelajar dan mahasiswa dimana kegiatan ini sebagai ajang berbagi informasi tentang potensi sumberdaya alam di Kepulauan Derawan. Kegiatan ini berlangsung pada tanggal 10-11 Februari 2007 di Bumi Perkemahan Mayang Mangurai Kecamatan Teluk Bayur Kabupaten Berau. Peserta diskusi ini diikuti oleh 38 orang yang berasal dari pelajar sebanyak 27 orang dan mahasiswa 3 orang, dimana mereka berasal dari Kepulauan Derawan, Kecamatan Biduk-biduk, Kecamatan Talisayan, dan Tabalar. Pada kegiatan ini hadir sebagai narasumber adalah Kepala BKSDA Berau dan Direktur Bestari. Tujuan dari kegiatan ini adalah memberikan gambaran dan pemahaman kepada pelajar dan mahasiswa Kepulauan Derawan khususnya pelajar dan mahasiswa yang berasal dari pesisir dan pulau-pulau tentang potensi sumberdaya laut di Kepulauan Derawan. Selain kegiatan diskusi, pendidikan lingkungan hidup mengenai pengenalan konservasi penyu juga pernah dilaksanakan dimana peserta dari kegiatan ini adalah para pelajar dari dua sekolah yang ada di Maratua, dan Berau, yaitu SMPN Maratua, dan SMA Plus Berau, kegiatan ini berlangsung pada tanggal 1-2 April 2007 untuk SMPN Maratua, sedangkan SMA Plus Berau mengikuti kegiatan ini pada tanggal 17-18 April 2007. Kegiatan ini difasilitasi oleh Bestari, TNC-WWF, BKSDA, serta Yayasan Penyu Berau.
(a)
(b)
(c)
(d)
Sumber : Bestari (2007) Keterangan : (a) Kunjungan para pelajar ke stasiun monitoring penyu Pulau Sangalaki. (b) Perkenalan boneka penyu sebagai maskot Kabupaten Berau. (c) Seminar pelajar tentang pengelolaan sumberdaya. (d) Lomba cerdas cermat tingkat SLTA tentang lingkungan hidup.
131
Gambar 36. Kegiatan Pendidikan Lingkungan Hidup Untuk Pelajar. Adapun tujuan dari kegiatan ini adalah : memberikan gambaran dan pemahaman kepada siswa SLTP dan SMA tentang pelestarian penyu di Indonesia khususnya kegiatan konservasi yang dilakukan oleh tim monitoring dan riset penyu di Pulau Sangalaki. Dalam kegiatan PLH ini jumlah siswa yang terlibat sebanyak 35 orang siswa SMP, dan 15 orang siswa dari SMA Plus Berau. Sedangkan untuk para kalangan dewasa dalam rangka untuk peningkatan kapasitas maka masyarakat Kepulauan Derawan juga pernah mengikuti kegiatan pelatihan Commnity Organizer (CO) yang dilaksanakan pada tanggal 9-12 Mei 2006. dimana tujuan utama dari kegiatan ini adalah pertama, Untuk memgembangkan kapasitas dan wawasan masyarakat sebagai wujud peran masyarakat dalam pengembangan kawasan konservasi di Kepulauan Derawan seperti tertuang dalam peraturan Bupati No.31 tahun 2005. diharapkan setelah pelatihan ini peserta dapat mengimplementasikan pengetahuan yang didapat dan menjadi motivator bagi masyarakat di kampung masing- masing dalam kerangka konservasi. Kedua, meningkatkan kapasitas pemahaman tentang pengorganisasian masyarakat. Ketiga, memberikan landasan teori dan konsepkonsep serta ketrampilan yang dibutuhkan oleh seorang community organizer dalam konteks konservasi. Kegiatan ini di fasilitasi oleh Bestari dan TNC-WWF, dan peserta yang terlibat dalam kegiatan pelatihan ini berjumlah 27 orang yang merupakan perwakilan dari 11 kampung pesisir di Kabupaten Berau. Selain kegiatan peningkatan kapasitas tersebut, karena Kepulauan Derawan termasuk dalam Kawasan Konservasi Laut Daerah (KKLD) Berau dan kebijakan pengelolaan ( termasuk di dalamnya konservasi penyu ) sekarang di bawah kewenangan Tim yang telah disahkan Bupati adalah Tim Pengarah27 maka didalam wilayah KKLD nantinya akan ada penzonasian sehingga untuk sosialisasi rencana tersebut tim pengarah bekerjasama dengan LSM Joint program melakukan training Marine Protected Area (MPA) dimana kegiatan ini ditujukan kepada masyarakat, guru, dan aparat pemerintah. 27
Dibentuk berdasarkan SK Bupati Berau No.225/2004 dimana tugasnya adalah mempersiapkan terbentuknya Badan Pengelola KKL Berau, konsultasi publik terhadap zonasi, dan menyusun managemen plan.
132
Selain itu dalam rangka sosialisasi KKLD tersebut tim pengarah juga melaksanakan Training Radio Komunitas, karena salah satu strategi dalam sosialisasi KKLD adalah lewat informasi yang dapat diakses oleh banyak orang, sehingga radio komunitas ini merupakan sarana yang tepat dalam memberikan informasi dan menyaring aspirasi dari masyarakat. Setelah kegiatan training ini sekarang radio komunitas ini telah terbentuk di setiap kecamatan, dan telah berjalan dua tahun, misalnya di Tanjung Batu radio komunitas ini dinamakan Suara Panutan, dan sekarang telah menjadi sarana informasi bagi masyarakat Tanjung Batu. Secara hukum diperlukan pengakuan oleh masyarakat perihal program KKLD tersebut. Sehingga karena pengelolaan yang bersifat desentralisasi maka diperlukakan juga peraturan yang dibuat dan disepakati oleh masyarakat di tingkat kampung. Sehingga akan ada sinergi dalam pengelolaan KKLD, sehingga melihat perlunya hal tersebut maka tim pengarah juga telah melakukan kegiatan Pelatihan kepada aparat dan tokoh kampung cara membuat peraturan kampung. Sehingga nantinya Peraturan Kampung ini dapat menyuarakan dan membela kepentingan masyarakat. Untuk proses peraturan kampung sendiri sekarang masih dalam proses pembuatan, dan pelaksanaannya masih di tingkat kampung.
(a)
(b)
(c)
(d)
Sumber : WWF (2007) Keterangan : (a) Training MPA kepada masyarakat di Kepulauan Derawan. (b) Training MPA kepada institusi pemerintahan. (c) Pelatihan pembuatan peraturan kampong, dan community organizer. (d) Radio komunitas dalam aksi penyiarannya kepada masyarakat.
Gambar 37. Kegiatan Peningkatan Kapasitas Masyarakat. 6.3.2 Faktor Penghambat Partisipasi 6.3.2.1 Proses Penegakan Hukum yang Kurang Tegas Peraturan perundang-undangan tentang konservasi penyu sudah jelas, yaitu tidak ada lagi pemanfaatan secara ekstraktif dalam bentuk apapun, bahkan di
133
tingkat pemerintah daerah, Bupati telah mengeluarkan Surat Keputusan (SK) perihal konservasi penyu. Akan tetapi penegakan hukum dilapangan memang tidak mudah, lokasi geografis yang luas dan kurangnya fasilitas pendukung pengamanan merupakan faktor penghambat dalam penegakan hukum dilapangan. Luas KKLD Berau yang mencapai 1,2 juta Ha dengan mudah disinggahi oleh nelayan-nelayan asing dengan tujuan penangkapan penyu. Serta aktifitas pemanenan telur penyu yang sampai sekarang konon masih terjadi. Semua hal ini terjadi karena kurangnya pengawasan dari pemerintah. Sehingga memberikan kesan kepada masyarakat bahwa pemerintah ’pilih kasih’ dan seakan memberikan celah bagi upaya terjadinya eksploitasi penyu oleh oknum tertentu.
6.3.2.2 Tekanan Dari Pahter Dari penjelasan sebelumnya sudah jelas bagaimana keberadaan pahter sangat besar pengaruhnya, khususnya di Pulau Derawan dalam upaya menentang konservasi penyu. Sehingga keberadaan pahter berpengaruh terhadap partisipasi masyarakat dalam upaya konservasi penyu. Akan tetapi sebaliknya keberadaan pahter tidak berpengaruh terhadap partisipasi masyarakat di Pulau Maratua, karena di pulau tersebut pahter tidak mendapat dukungan dari masyarakat.
6.3.2.3 Kemiskinan Kemiskinan menjadi salah satu faktor penghambat partisipasi masyarakat terhadap program konservasi penyu di Pulau Kepulauan Derawan. Hal ini disebabkan karena masyarakat miskin tidak memiliki pekerjaan dan modal untuk melaut, apalagi mengembangkan usaha wisata, sehingga akses pemanfaatan sumberdaya yang paling mudah dan gampang adalah lewat pengunduhan telur penyu, dimana biaya produksi sangat rendah dan keuntungan yang sangat besar. Dalam pelaksanaannya mereka terbagi menjadi pengunduh telur penyu yang bekerja sendiri (akan tetapi ini jarang terjadi karena takut akan ancaman hukuman penjara) atau biasanya mereka bekerjasama atau dipekerjakan oleh pahter sebagai tenaga pengawas pulau telur. Dengan rata-rata tingkat pendidikan dan pemahaman yang rendah tentang konservasi serta desakan pemenuhan kebutuhan ekonomi yang tinggi maka dengan mudah mereka akan tergiur dengan tawaran
134
pekerjaan dari pahter. Kondisi inilah yang terjadi di Pulau Derawan, banyak masyarakat yang menggantungkan hidupnya dari aktifitas pengunduhan telur penyu yang dilakukan pahter. Sejak kebijakan konsesi ditarik dan aktifitas pahter terhenti banyak pekerja pengawas tidak memiliki pekerjaan lagi, melihat kondisi tersebut LSM dan pemerintah mulai merangkul para mantan pekerja di pulau telur sebagai tenaga pengawas dan monitoring penyu di Kepulauan Derawan, dan mereka mendapat gaji yang layak. Sebelumnya mereka diberi pelatihan dan pemahaman tentang konservasi, sehingga selain faktor materi (gaji) yang terpenting adalah kesadaran dan loyalitas terhadap komitmen mereka dalam menjalankan konservasi penyu. Sekarang mereka ditempatkan di pulau-pulau telur, bukan sebagai pengunduh telur penyu lagi, akan tetapi sebagai aktivis yang menjalankan program konservasi penyu di Kepulauan Derawan. 6.3.2.4 Konflik Kepentingan terhadap Sumberdaya Penyu Konflik yang terjadi pada prinsipnya adalah antara pihak yang memiliki kepentingan eksploitasi versus konservasi. Dapat dilihat pada Gambar 38 terjadi konflik antara LSM dan pahter dimana LSM selalu menentang aktifitas pengunduhan telur penyu yang dilakukan oleh pahter, bahkan pada saat penelitian berlangsung terjadi pemukulan terhadap salah seorang aktivis LSM di Pulau Derawan, pemukulan ini dilakukan oleh oknum atas perintah pahter, karena aktivis ini dianggap telah mengancam eksistensi pahter di Pulau Derawan lewat program-program konservasi yang dijalankannya. Selain itu juga pernah terjadi pengrusakan hatchery dan ancaman-ancaman yang ditulis lewat coretan-coretan di dinding bangunan hatchery, hal ini sesuai penuturan Yusuf (24) : ” ...ketika malam itu saya sedang berjaga-jaga di mess monitoring WWF Derawan, tiba-tiba salah seorang staf monitoring didatangi oknum suruhan dan tanpa banyak berbasi-basi langsung menghajarnya, aksi ini dilakukan didepan warga dan saya, saya dan korban langsung lari ke pulau seberang dan nginap di mess Polisi Tanjung Batu untuk minta perlindungan hukum, ini terjadi karena kita mengabaikan ancaman yang sering kita terima selama ini, mungkin malam ini puncak kemarahan dari pahter..dan esok hari berita ini termuat di Koran Berau, dan terlihat propaganda pahter,’ cuci tangan’ dalam kejadian pemukulan tersebut” .
135
± Masyarakat
Pahter
±
Pemda
±
±
± –
– LSM + Organisasi masyarakat
KSDA +
+
+ Polisi dan TNI AL
Tim Pengarah +
Keterangan :
: Hubungan kerjasama dan saling mendukung. : Konflik terbuka : Terjadi hubungan pro dan kontra : Saling koordinasi dan komunikasi dua arah. : Konflik Laten
+ : Hubungan baik - : Hubungan buruk ± : Pro dan kontra
Gambar 38. Pola Hubungan Pihak-Pihak dalam Konflik Sumberdaya Penyu Aktifitas pahter ini juga mendapat tekanan dari KSDA dan aparat keamanan. Akan tetapi juga terdapat pro dan kontra dikalangan masyarakat terkait program konservasi yang dijalankan oleh LSM, mereka yang kontra adalah masyarakat yang ada dibawah pengaruh pahter, bahkan pengaruh/intervensi pahter ini juga sampai pada tataran pengambil kebijakan di Kabupaten Berau, dimana pahter memiliki dukungan politik dan lobi yang cukup kuat terhadap pemda lewat partai politik yang mendapat sokongan dana dari pahter, walaupun pemda telah mengeluarkan SK tentang konservasi penyu, aktifitas pahter seakan tidak terbendung. Hal ini terlihat dalam rapat dengar pendapat DPRD pada tanggal 8 April 2008. Kemungkinan besar agenda tersembunyi mereka dengan dengar pendapat ini adalah untuk mendesakkan dibolehkannya kembali aktifitas konsesi telur penyu. Sehingga isu yang mereka angkat selama dengar pendapat ini adalah lemahnya pengawasan dari aparat yang berwenang, yaitu KSDA (anehnya pihak KSDA tidak diundang pada acara dengar pendapat ini). Menurut Wakil Bupati : “.. jika konsesi tidak dibolehkan lagi di empat pulau tersebut, berarti tidak ada lagi penjagaan atau pengawasan, sehingga akan terjadi ‘hukum rimba’, masyarakat akan berebut memanfaatkan akses bebas mengambil telur penyu, dan bisa jadi sampai ke pertumpahan darah”. Wakil Bupati tersebut menawarkan konsep “pemanfaatan” yang diatur ketat yaitu hanya boleh 30% dan hanya untuk dikonsumsi di Berau saja, yang 70%
136
dikonservasi. Beliau kemudian mendorong untuk dicarikan “celah hukum” demi kepentingan masyarakat Berau. Beliau juga meminta rekomendasi ilmiah dari LIPI untuk pembenaran pemanfaatan ini, selanjutnya ditegaskan : ”Jika dengan ini serta pertimbangan ‘demi kepentingan rakyat’ UU dan PP di tingkat pusat tidak dapat diubah, maka semua pihak harus angkat kaki dari semua pulau penyu, tidak ada penjagaan atau kegiatan apapun juga”. Dari penuturan diatas terlihat dualisme kebijakan antara Pemda dan KSDA, dan hal tersebut memicu timbulnya konflik laten antara Pemda dan KSDA. Akan tetapi dari rapat dengar pendapat ini juga terlihat bahwa ada juga anggota dewan yang pro terhadap program konservasi, sehingga dapat ditarik kesimpulan terjadi pro dan kontra di kubu internal Pemda Kabupaten Berau terkait konservasi penyu. Hubungan masyarakat dan pahter juga terjadi pro dan kontra, masyarakat yang pro adalah mereka yang mendapat manfaat dari aktifitas pengunduhan telur penyu, misal para pekerja pengawas di pulau-pulau telur dan para pengrajin gelang sisik yang kebanyakan berdomisili di Pulau Derawan, sedangkan mereka yang kontra adalah dari kalangan masyarakat yang telah sadar akan dampak kerusakan dari aktifitas pengunduhan telur penyu, dan biasanya mereka mendukung program konservasi yang diusung LSM. Melihat kondisi tersebut ada yang menjadi akar konflik, yakni perebutan sumberdaya penyu bahkan dalam konflik tersebut sarat akan kepentingan politik. Selain itu konflik yang terjadi juga berasal dari kebijakan pemerintah lewat Departemen Kehutanan dan KSDA selaku badan pelaksana di lapangan melakukan pencabutan hak atas pemanfaatan sumberdaya penyu dengan alasan pembangunan kawasan lindung dan kelestarian sumberdaya penyu. Pemerintah mengubah hak milik secara paksa tanpa ada dialog terlebih dahulu menjadi bentuk state property. Masyarakat tidak berdaya menghadapi kekuatan pemaksaan oleh Negara, menampilkan kepatuhannya dan ketundukannya didepan pemerintah, namun menyimpan kemarahan (outrage). Jika situasi krisis terjadi, maka muncul kemarahan sosial yang tak jarang menghasilkan hal-hal destruktif (kekerasan). Menurut Damanik et al (2006) bahwa kebijakan pemerintah yang mengusir masyarakat sekitar yang hidup bergantung kepada sumberdaya alam lokal secara turun temurun atau dialihkan dengan alasan pembuatan kawasan perlindungan
137
akan menimbulkan masalah-masalah sosial budaya. Konflik akan muncul antara masyarakat yang tinggal dalam kawasan dengan pemerintah. Masyarakat memandang sumberdaya alam sebagai faktor produksi untuk mendapatkan keuntungan dan memenuhi kebutuhan keluarga secara jangka pendek. Alasan ini merupakan permasalahan laten yang selalu terjadi diberbagai daerah dimana umumnya masyarakat yang menduduki hutan, pantai dan desadesa termaginalkan secara ekonomi. Untuk menjamin kebutuhan pangan dan papan mereka sepenuhnya memanfaatkan sumberdaya yang dekat dengan tempat tinggal mereka, tetapi disisi lain pemerintah menilai dimana dalam kasus ini sumberdaya yang ada sepenuhnya harus dilestarikan. Kelemahan peraturan sentralistik yaitu kemampuan dan keberhasilan masyarakat untuk melakukan penghindaran terhadap peraturan. Suseno (2007) mengatakan bahwa sumberdaya yang ada di Indonesia merupakan immerse community dalam arti kawasannya sangat luas sementara pemerintah menerapkan yurisdiksi dan kewenangan sepenuhnya terhadap sumberdaya. Sumberdaya kemudian menjadi open access karena tidak ada satu pihak pun memiliki kepastian hak yang dapat menjadi insentif bagi pemilik. Selain menghindari dari peraturan, masyarakat bahkan mengeluarkan sikap lebih keras lagi melakukan pengrusakan terhadap fasilitas pemerintah. Selain itu permasalahan lain yang terjadi di dalam masyarakat adalah adanya anggapan bahwa selama ini penetapan konservasi penyu hanya menguntungkan pemerintah dan pengusaha pariwisata (resort). Sedangkan masyarakat tidak mendapatkan nilai tambah dari potensi yang ada di kampungnya sendiri, setiap hari berdatangan turis dan peneliti dari dalam dan luar negeri. Belum lagi lembaga-lembaga pemerintah yang melakukan riset bekerjasama dengan LSM juga ikut menikmati sumberdaya yang ada di Kepulauan Derawan, sedangkan masyarakat hanya menjadi penonton dan bahkan tidak menyadari potensi apa yang dimiliki oleh kampungnya. Memang kenyataannya resort di Pulau Maratua membayar kompensasi ke pemerintah kampung setiap tahunnya, akan tetapi kompensasi itu hanya bisa dinikmati oleh sebagian kampung, sedangkan kenyataannya resort tersebut juga memanfaatkan potensi wisata di seluruh kampung yang ada di Kepulauan Derawan. Misal banyaknya penyu yang
138
makan di Kampung Payung-payung, ini merupakan kepatuhan masyarakat untuk menjaga kelestarian penyu, sedangkan setiap hari ada banyak turis dan peneliti yang memanfaatkan dan menikmati fenomena alam tersebut, tetapi karena posisi tawar masyarakat sangat lemah tidak ada kompensasi yang didapat oleh masyarakat dari aktifitas tersebut. Tabel 28. Karakteristik dan Peranan Pihak-pihak dalam Konflik Pihak-Pihak dalam Konflik Masyarakat (pro konservasi)
Masyarakat (kontra konservasi)
Pahter
Pemda Kabupaten Berau KSDA
Polisi dan TNI AL
Karakteristik Masyarakat yang sadar akan pentingnya kelangsungan sumberdaya penyu, pemanfaatan non-ekstraktif (misal lewat ekowisata) dan mendukung program konservasi. Melakukan pengunduhan telur penyu untuk pemenuhan kebutuhan ekonomi, bekerjasama dengan pahter dalam melakukan aktifitas. Pihak swasta yang berwenang dalam pengelolaan telur penyu di masa konsesi. Masih memiliki pengaruh kuat di masyarakat dan pemda, sehingga aktifitas pengunduhan telur penyu secara ilegal masih terus dilakukan. Lembaga pemerintah yang memiliki kepentingan besar terhadap pengelolaan sumberdaya penyu. Unit pelaksana program konservasi penyu yang dijalankan oleh Departemen Kehutanan. Aparat keamanan yang sering membantu dalam patroli, dan ikut menjaga pengawasan terhadap pulaupulau telur di Kepulauan Derawan.
Organisasi masyarakat (Dakayu Akkal, Formal)
Wadah komunikasi antar masyarakat, merupakan lembaga non-formal yang mengakomodasi aspirasi masyarakat.
Organisasi nonpemerintah
Menjalankan program konservasi, mengedepankan peran serta masyarakat, dan advokasi terhadap kepentingan masyarakat. Lembaga kolaborasi yang dibentuk pemerintah untuk membentuk badan pengelola KKLD Berau
Tim Pengarah
Sumber : Data Primer (diolah 2008)
Peranan Pelaku utama konflik, melakukan perlawanan terhadap pengeksploitasi penyu. Meminta pihak luar untuk membantu dalam melakukan perlawanan dan penyelesaian konflik. Pelaku utama konflik, melakukan tindakan-tindakan yang dapat mendorong konflik sekaligus yang dapat meredam konflik dalam waktu tertentu. Pelaku utama konflik, melakukan perlawanan kepada pemerintah dan LSM dalam menjalankan program konservasi penyu, memiliki lobi dan intervensi kuat ke Pemda Berau lewat partai politik dan anggota dewan. Mediator konflik, saksi dalam islah/perjanjian, akan tetapi lemah terhadap intervensi pahter. Menjalankan program konservasi penyu dimana pengelolaan secara sentralistik. Menjaga keamanan dan ketertiban wilayah perairan Kepulauan Derawan, dan mencegah terjadinya pelanggaran di KKLD Berau, serta mediator konflik. Negosiator dan mediator dalam mengakomodasi kepentingan masyarakat, bekerjasama dengan LSM dalam menjalankan program kerja. Mediator dan negosiator dalam penyelesaian konflik, dan pro terhadap masyarakat. Mengakomodasi kepentingan para stakeholder dalam pengelolaan KKLD Berau, mediator dalam upaya penyelesaian konflik.
139
Penyelesaian konflik yang paling baik dengan manajemen kolaborasi yang sekarang sedang dirancang oleh Tim Pengarah, yang mengakomodasi sikap kooperatif dan asertif yang tinggi dan akan menghasilkan situasi ‘win-win’. Manajemen Kolaborasi (Collaborative Management) yang diusulkan Marshall yakni resolusi konflik melalui suatu bentuk pengelolaan yang mengakomodasikan kepentingan seluruh stakeholder secara adil dan memandang harkat setiap stakeholder sederajat sesuai dengan tata nilai yang berlaku dalam mengupayakan tujuan bersama (Marshall, 1995 disarikan dalam Tajudin, 2000).
VII. KESIMPULAN DAN SARAN 7.1 Kesimpulan Berdasarkan hasil dan analisis penelitian, maka dapat disimpulkan sebagai berikut, diantaranya bahwa : 1) Tingkat partisipasi masyarakat dalam pengelolaan konservasi penyu di Pulau Maratua cenderung mengarah menuju ke tingkat kemitraan (partnership). Hal ini ditunjukkan dengan keterlibatan masyarakat mulai dari perencanaan pengelolaan, pengambilan keputusan, persetujuan keputusan atas peraturan pengelolaan dan perencanaan program aksi bersama dalam penanganan isu. Sedangkan di Pulau Derawan partisipasi masyarakat masih pada level manipulasi, karena pemerintah dan LSM masih mencari dukungan dari masyarakat. Hal ini disebabkan karena adanya tekanan Pahter di Pulau Derawan 2) Faktor-faktor yang mendukung partisipasi adalah faktor ekonomi dan faktor adanya dukungan dari pemerintah dan LSM, sedangkan faktor penghambatnya adalah penegakan hukum yang kurang tegas, kemiskinan, konflik kepentingan penyu dan keberadaan pahter yang selalu menentang aktivitas konservasi penyu. 3) Adanya partisipasi masyarakat dalam setiap program aksi tidak terlepas dari kinerja aktor-aktor sosial (Yayasan Penyu Berau, TNC-WWF, Bestari, Comviro) yang dekat dengan masyarakat dan disisi lain mendapatkan legitimasi dari pemerintah, sehingga menciptakan hubungan kerjasama lebih solid antara masyarakat dengan pemerintah.
7.2 Saran 1) Untuk meningkatkan posisi tawar masyarakat perlu diadakan pendampingan secara terus menerus oleh lembaga-lembaga swadaya masyarakat baik lokal maupaun internasional dengan menyusun programprogram pendidikan dan manajemen usaha, sampai masyarakat telah benar-benar berada pada posisi tangga citizen control sebagai posisi tangga tertinggi dari partisipasi .
141
2) Selain itu dari hasil penelitian ini juga terlihat bahwa kebanyakan perundang-undangan yang ada yang terkait dengan masyarakat setempat banyak yang lebih menekankan aspek larangan, pemberian sanksi dan ancaman penjara belaka. Hampir tidak ada kebijakan yang mengaitkan dengan pemberian insentif (reward system) yang sepadan atas upaya masyarakat untuk mengkonservasi kawasan laut dan pesisirnya. Skema insentif yang sekarang tersedia kelihatannya masih terbatas pada pemberian penghargaan, tapi mugkinkah mengaitkannya dengan, misal pemberian keringanan pajak terbatas, atau alokasi dana program pemerintah atau jenis-jenis berupa reward lain yang bentuknya tentu tidak selalu harus berupa uang. Insentif ini berpotensi untuk menggairahkan minat dan dukungan masyarakat untuk terlibat dalam pembangunan model-model pengelolaan yang lestari. 3) Dalam menjalankan program konservasi, pemerintah dan LSM harus dapat merangkul dan mengikutsertakan punggawa dalam setiap program aksi, karena ternyata punggawa memiliki pengaruh dan kekuatan di masyarakat, sehingga dapat membantu keberhasilan program.
142
DAFTAR PUSTAKA Adiwibowo S. 2000. Pranata Sosial Masyarakat Pesisir. Prosiding Pelatihan untuk Pelatih Pengelolaan Wilayah Pesisir Terpadu. Bogor. Pusat Kajian Sumberdaya Pesisir dan Laut (PKSPL) IPB. Aligori, A. 2004. Dokumentasi Partisipasi Masyarakat Dalam Progarm Konservasi Penyu : Perspektif Sosiologi [Skripsi]. Bogor. Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan. Institut Pertanian Bogor. [Bestari] Yayasan Berau Lestari. 2007. Laporan Akhir Program Penguatan Partisipasi Masyarakat. Tanjung Redep. Bestari. Bungin B. 2003. Analisis Penelitian Kualitatif : Pendekatan Metode Filosopis Ilmu Sosial. Jakarta. Raja Wali Press. Chambers, R.1996. Memahami Desa Secara Partisipatif. Yogyakarta. Kanisius. 114 hal Damanik, Satria, Budiati. 2006. Menuju Konservasi Laut yang Pro Rakyat dan Pro Lingkungan. Jakarta. Wahana Lingkungan Hidup Indoneisia. Fauzi, A. 2006. Ekonomi Sumber Daya Alam dan Lingkungan Teori dan Aplikasi. Jakarta. PT Gramedia Pustaka Utama. Giddens, A. 2000. Jalan Ketiga. Jakarta. Gramedia. Hutomo, M. 2007. Pengembangan Konservasi Penyu Hijau dan Penyu Sisik di Kabupaten Berau Kalimantan Timur. Berau. [BKSDA]. Ita, D. 2007. Struktur dan Organisasi Sosial. Kumpulan materi kuliah. Bogor Sekolah Pasca Sarjana IPB. Jabir, M dan Julmansyah. 2003. Mewujudkan Produk Hukum Partisipatoris. Upaya Membingkai kembali Proses-Proses Sosial Komunitas. Jakarta. LP3S. Kartasapoetra. 1982. Teori Sosiologi. Bandung. Armico. Keraf, S A. 2000. Etika Lingkungan. Jakarta. Kompas. Koentjaraningrat. 1981. Pengantar Ilmu Antropologi. Jakarta. Rineka Cipta. Kusumastanto, T et al.2006. Pembangunan Perikanan Pasca Undang-Undang Perikanan. Bogor. Makalah Seminar.
143
Mulyana, D. 2001. Metodologi Penelitian Kualitatif : Paradigma Baru Ilmu Komunikasi dan Ilmu Sosial Lainnya. Bandung. Remaja Rosdakarya. 302 hal Marius, A. 2003. Tata Pemerintahan yang Baik untuk Kesejahteraan Umum. Jurnal Penelitian Edisi Ilmu-Ilmu Sosial Vol XIV No. 1. Yogyakarta. FISIP UGM. Maulana, A. 2001. Sejarah Daerah Berau. Tanjung Redep. Unmul Press. Miles, M dan Michel H. 1992. Analisis Data Kualitatif. Buku Sumber tentang Metode-Metode Baru. Jakarta. UI Press. Nikijuluw, V P H. 2002. Rezim Pengelolaan Sumberdaya Perikanan. Jakarta. Cidesindo P3R. Nuitja, I N S. 1992. Biologi dan Ekologi Pelestarian Penyu Laut. Bogor. IPB Press Sajogyo. 1979. Mengenai Partisipasi Mendasar Golongan Petani Dasa Warsa 1980-an. Bogor. LPS Pedesaan. Salim, A. 2000. Teori dan Paradigma Penelitian Sosial (dari Denzin Guba dan Penerapannya). Yogyakarta. PT. Tiara Wacana Yogya. 244 hal. Satria, et al. 2002. Acuan Singkat Menuju Desentralisasi Pengelolaan Sumberdaya Perikanan. Jakarta. Pustaka Cidesindo. Satria, A. 2003. Sosiologi Masyarakat Pesisir. Jakarta. Pustaka Cidesindo. _______. 2006. Politik Taman Nasional. Jakarta. Tempo Sitorus, MT Felix. 1998. Penelitian Kualitatif Suatu Perkenalan. Bogor. Kelompok Dokumentasi Ilmu Sosial. 73 hal. ______________. 1999. Mengenal Pemikiran Sajogyo. Bogor. Mimbar Sosek Pertanian. Bogor. Faperta IPB Soekanto S. 1993. Beberapa Teori Sosiologi Tentang Struktur Masyarakat. Jakarta. Raja Grafindo. Steffen J H. 2000. New Opportunities for Sea Turtle Conservation and Management in Indonesia. Jakarta. Yayasan Kehati. Suseno. 2007. Menuju Perikanan Berkelanjutan. Jakarta. Pustaka Cidesindo. Tajudin D. 2000. Manajemen Kolaborasi. Bogor . Pustaka Latin.
144
[Tim Pengarah]. 2005. Rencana Strategis Pengembangan Kawasan konservasi Laut Kabupaten Berau 2004-2009. Tanjung Redep. Tim Pengarah. Wiryawan, B., M.Khazali, & M.Knight (eds.). 2005. Menuju Kawasan Konservasi Laut Berau, Kalimantan Timur. Status sumberdaya pesisir dan proses pengembangannya. Jakarta. Program Bersama Kelautan Berau Mitra Pesisir/CRMP II USAID, WWF dan TNC. [WWF] World Wide Fund for Nature Indonesia. 2001. Prosiding Lokakarya Pengelolaan dan Pemanfaatan Penyu Berkelanjutan di Kabupaten Berau. Tanjung Redep. WWF. [Yayasan Lebah]. 2005. Profil Kampung Maratua. Tanjung Redep. Bestari.
LAMPIRAN
146
Lampiran 1. Piagam Kesepakatan Bersama Masyarakat di Pulau Maratua.
147
Lampiran 2. Karakteristik Blok Pantai Peneluran Penyu di Pulau Sangalaki.