Executive Summary Peran & Partisipasi Masyarakat Adat dalam Kebencanaan di Indonesia
(Pengurus Daerah Aliansi Masyarakat Adat Nusantara Kabupaten Mentawai) yang ada di Tuapeijat dan sekitarnya di Kabupaten Mentawai melalui kemitraan dari The Samdhana Institute.
Peran & Partisipasi Masyarakat Adat dalam Kebencanaan di Indonesia
Situasi Umum Masyarakat Adat terhadap Bencana Masyarakat adat merupakan kelompok rentan yang strategis untuk diprioritaskan ketika membicarakan perihal PRB dan kebencanaan secara umum. Berdasarkan peta risiko bencana dan peta indikatif masyarakat adat, sebagian besar masyarakat adat di Indonesia berkehidupan di kawasan dengan kelas kerawanan potensi bencana yang sedang dan besar. Berbagai peristiwa maupun isu global, seperti pemenuhan hak masyarakat adat, pengrusakan hutan, perubahan iklim, dan masalah-masalah lain yang dihadapi, menempatkan masyarakat adat sebagai kelompok dengan kerentanan yang berlipat ganda (multiple vulnerability).
Executive Summary
Perkumpulan Skala & AMAN
Selain itu, perhatian pada keterlibatan masyarakat adat dalam program dan kegiatan terkait kebencanaan, masih sangat minim dan belum dilihat secara spesifik dengan mempertimbangkan identitas mereka sebagai “masyarakat adat” (indigenous peoples), yaitu komunitas-komunitas yang hidup berdasarkan asal-usul secara turun-temurun di atas satu wilayah adat, yang memiliki kedaulatan atas tanah dan kekayaan alam, kehidupan sosial budaya yang diatur oleh hukum adat, dan lembaga adat yang mengelola keberlangsungan kehidupan masyarakat. Partisipasi masyarakat adat dalam proses perumusan dan pengambilan keputusan dan kebijakan di bidang kebencanaan pun belum kuat dan terbuka secara penuh. Salah satu faktor kunci bagi penerapan konsep PRB yang berbasis pada aspek ekologi/lingkungan (eco-DRR), adalah penataan ruang wilayah adat, termasuk di dalamnya adalah pertimbangan terhadap pengakuan bahwa hutan adat bukan lagi hutan negara melalui Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 35 Tahun 2012 (MK 35). Sementara dengan melihat tata ruang sebagai salah satu
Kegiatan “PRB & Rencana Kontinjensi Berbasis Masyarakat Adat di Mentawai, Sumatera Barat”
Jakarta, 07 Januari 2016 Perkumpulan Skala dan AMAN secara bersama menginisiasi kegiatan bertema “PRB (Pengurangan Risiko Bencana) dan Rencana Kontinjensi Berbasis Masyarakat Adat di Kepulauan Mentawai, Sumatera Barat.” Aktivitas mencakup upaya peningkatan kapasitas kelompok pemuda adat terhadap kebencanaan, termasuk workshop, diskusi, dan kunjungan lapangan; pemutaran film; pembuatan peta gabungan wilayah adat dan potensi bencana; serta penulisan dokumen ini sebagai executive summary sementara yang akan disempurnakan dengan menampung masukan dari kegiatan diskusi publik di Jakarta. Kegiatan melibatkan perwakilan komunitas adat yang menjadi anggota AMAN Mentawai
1
Executive Summary Peran & Partisipasi Masyarakat Adat dalam Kebencanaan di Indonesia
pondasi kuat bagi perencanaan dan strategi PRB dalam suatu wilayah, masyarakat adat masih menunjukkan posisi yang lemah terkait dengan partisipasi politik ruang, padahal kebijakan tata ruang merupakan pula dasar dalam rencana pembangunan (RTRWP/RDTR).
nilai dan kepercayaan yang dikaitkan pada leluhur atau roh, seperti Taikaleleu sebagai “penghuni” hutan, sehingga tidak boleh menebang pohon sembarangan dan harus permisi. Hal yang sama juga berlaku untuk laut (Taikabagat), sehingga tidak boleh merusak terumbu karang dan permisi ketika menangkap ikan (musibbla). Begitu pun dengan sungai (Taikabagat Oinan), sehingga siapa pun tidak boleh membuang kotoran di sungai sebagai salah satu sumber penghidupan.
Namun, ketika selama ini perhatian terhadap masyarakat adat masih bisa dikatakan minim, masyarakat adat sesungguhnya telah menunjukkan kemampuan dirinya sebagai kelompok yang tangguh (resilient). Kehidupan masyarakat adat yang harmonis dengan lingkungan fisik dan non-fisik di sekitarnya ternyata terbukti mempunyai peluang yang besar untuk dikembangkan dan dimanfaatkan sebagai suatu solusi unik bagi penanggulangan bencana dan pengarusutamaan PRB di Indonesia dengan karakter keragaman budaya yang tinggi dan sebagai negara kepulauan. Masyarakat adat memiliki sistem kehidupan dan aktivitas (livelihood) serta sistem pengetahuan (indigenous knowledge/local wisdom/local knowledge) yang sudah menunjukkan keterkaitan langsung terhadap praktek-praktek eco-DRR, misalnya pola perladangan yang dilakukan oleh masyarakat adat Mentawai secara turun-temurun sejak dulu.
Namun, adanya intervensi pembangunan yang terus terjadi dan tidak melibatkan masyarakat adat Mentawai pada berbagai proses dan implementasinya, telah mendesak masyarakat adat untuk mengurangi, bahkan memaksa mereka untuk tidak dapat lagi melakukan praktek-praktek kearifan yang baik tersebut. Contoh nyata dari hal itu adalah dengan serangkaian kebijakan dan program pemerintah yang dipenuhi dengan persoalan pelanggaran hak dan kekerasan yang terjadi di masa lalu atas nama pembangunan, seperti penangkapan, pembakaran uma (rumah tradisional Mentawai), relokasi permukiman ke dalam konsep desa & dusun, transmigrasi, perampasan hutan adat, pemaksaan dalam beragama dan berkeyakinan (“kesepakatan tiga agama”), dan lain-lain yang bahkan masih terjadi hingga sekarang, terutama relokasi sepihak atas dalih sebagai zona merah bencana. Dalam hal ini, negara tidak atau belum secara penuh melibatkan masyarakat adat dalam kebencanaan dan belum melihat secara relevan bahwa sistem kehidupan dan aktivitas masyarakat adat dengan pengetahuan yang dimiliki sesungguhnya telah menunjukkan bukti nyata pada perilaku PRB maupun penanggulangan bencana. Intervensi pembangunan yang tidak melibatkan masyarakat adat Mentawai justru mengurangi kemampuan masyarakat adat untuk mempertahankan sikap dan perilaku PRB. Dengan belum adanya pengakuan terhadap hak-hak masyarakat adat Mentawai, termasuk wilayah adatnya, maka masyarakat adat akan terus mengalami kerentanan untuk disingkirkan dari wilayah kelola dan menjalankan peran sebagai penerus kearifan/pengetahuan terkait kebencanaan yang telah dipraktekkan secara
Masyarakat adat Mentawai menerapkan serangkaian ritual dalam membuka ladang, menanam, hingga memanen hasil yang dipimpin oleh tokoh spiritual (rimata). Mereka memiliki pengetahuan tertentu terkait dengan tanaman-tanaman yang memiliki sifat untuk menyuburkan tanah serta dapat mengantisipasi longsor dengan aktivitas menanam pohon besar dan pohon tertentu di daerah curam dan sungai. Hak kelola atas ladang juga diberikan kepada perempuan (perempuan adat) dengan corak pengelolaan secara kolektif. Dalam proses penebangan pohon besar pada area perladangan, masyarakat tidak dapat langsung menebang pohon seketika, tetapi pohon yang hendak ditebang itu akan dikuliti dan secara perlahan akan tumbang seiring dengan tumbuhnya tanaman pengganti (bibit pohon yang ditanam sebagai pengganti pohon yang hendak ditebang). Kearifan dalam tata kelola SDA itu dipadukan secara unik dengan sistem
2
Executive Summary Peran & Partisipasi Masyarakat Adat dalam Kebencanaan di Indonesia
turun-temurun berdasarkan serangkaian peristiwa bencana dan pengetahuan di komunitas adatnya.
hal tersebut kemudian berdampak pada sulitnya akses penanganan darurat bagi masyarakat adat yang terdampak bencana. 3. Komunitas adat ada yang belum memiliki atau telah kehilangan mekanisme koordinasi secara tradisional (pengetahuan lokal) yang penting terkait dengan informasi bencana. 4. Semakin pudarnya tradisi dan budaya kearifan/pengetahuan (serangkaian filosofi nilai, etika, cara, dan perilaku) masyarakat adat Mentawai terkait langsung maupun tidak langsung dengan tata kelola SDA dan kebencanaan. 5. Belum terorganisirnya secara optimal kelompok pemuda adat yang diharapkan oleh masyarakat adat di Mentawai dapat menjadi garda depan dalam upaya penanggulangan bencana (dalam proses memulai ke arah sana). 6. Belum adanya rencana kontinjensi bencana untuk wilayah Mentawai yang menyentuh pada perspektif masyarakat adat, contohnya bagi kawasan yang sudah ada pola jalur evakuasi pun belum terbangun tempat singgah dan kebutuhannya. Proses perencanaan juga belum mempertimbangkan pengetahuan masyarakat adat. 7. Lembaga adat yang lemah dan bahkan di banyak komunitas telah hilang (saat ini AMAN Mentawai sedang mengupayakan untuk membangkitkan dan menguatkan kembali lembaga adat). 8. Belum adanya peta risiko bencana dan masyarakat adat masih ada yang belum paham terhadap pentingnya peta, baik kaitannya dengan peta wilayah adat maupun peta risiko bencana sebagai alat bantu bagi upaya pengelolaan bencana dan pengakuan hak masyarakat adat. 9. Saat ini uma (rumah adat di Mentawai) sangat jarang sekali ditemukan, sementara itu rumah-rumah beton yang ada sangat tidak fleksibel pada gempa bumi yang sering terjadi. 10. Masalah pada pengelolaan informasi terkait peristiwa bencana maupun dampak (korban dan kerusakan) bencana di kawasan yang relatif tidak memiliki
Tantangan yang Dihadapi Masy. Adat Masyarakat adat di Mentawai menghadapi berbagai tantangan yang berpotensi melemahkan ketangguhan dan daya lenting mereka dalam mengelola bencana. Temuan berupa hambatan tersebut dapat muncul dari dalam komunitas adat sendiri (internal) maupun dapat dilihat sebagai faktor eksternal yang dilakukan oleh negara dan perusahaan perkebunan berskala besar yang justru melemahkan masyarakat adat dalam melakukan upaya terkait PRB maupun pengelolaan bencana (pra-bencana, saat bencana, dan pasca-bencana) serta arus modernisasi yang datang secara tidak adil dan setara. Pada proses yang dilakukan oleh tim Perkumpulan Skala dan AMAN bersama perwakilan berbagai komunitas adat di Mentawai, masyarakat adat merinci dan mendiskusikan tantangan-tantangan yang dihadapi selama ini terkait dengan peristiwa bencana dan pengalaman yang telah mereka alami sendiri, baik itu dengan atau tanpa intervensi pemerintah. Internal 1. Semakin tingginya intensitas potensi bencana dan variasi bencana yang terjadi di Mentawai, mulai dari bencana alam (gempa bumi, tsunami, kekeringan, dan lainnya), bencana non-alam, hingga bencana sosial (konflik). Intensitas dan variasi potensi bencana semakin meningkat seiring dengan melemahnya kemampuan masyarakat adat dalam mengatasi bencana secara arif melalui pengetahuan masyarakat adat. 2. Keterbatasan akses-akses dan minimnya infrastruktur di wilayah adat (desa), seperti sarana fisik jalan penghubung, transportasi, komunikasi (sinyal telepon dan telepon seluler), serta infrastruktur maupun fasilitas pelayanan publik lainnya di mana
3
Executive Summary Peran & Partisipasi Masyarakat Adat dalam Kebencanaan di Indonesia
akses-akses, sehingga seringkali tidak tersentuh bantuan karena tidak diketahui.
kering akibat hadirnya sawah irigasi serta merusak pola kedaulatan pangan masyarakat adat Mentawai terhadap sumber karbohidrat lokal: sagu, keladi, dan beragam jenis umbi-umbian); transmigrasi (memicu konflik tenurial terkait wilayah adat yang dirampas); taman nasional dan HPH (memaksa masyarakat adat untuk direlokasi dan memicu konflik hutan adat sebagai sumber penghidupan masyarakat adat). 7. Rendahnya (bahkan hampir tidak dilibatkan) partisipasi/keterwakilan masyarakat adat dalam proses kebencanaan, baik itu kebijakan maupun upaya penanggulangan bencana di Mentawai, sehingga kebutuhan tidak sesuai dengan kebutuhan riil masyarakat adat, misalnya kebijakan/keputusan relokasi, pembuatan plang evakuasi yang tak sesuai, bantuan bencana yang tak tepat sasaran/tak sesuai keperluan, dan lainnya. 8. Pencemaran sungai yang diakibatkan oleh adanya praktek meracun ikan di sungai dan kerusakan hutan. Bagi masyarakat adat, sungai adalah sumber penghidupan kaitannya dengan upaya ketahanan dan kedaulatan pangan di mana terdapat ladang keladi, pnyimpan cadangan sagu, dan lauk pauk/sumber protein (ikan dan ulat pohon) di sungai untuk jangka waktu yang cukup lama (misalnya penyimpanan sagu dengan merendamnya di sungai selama setengah tahun akan dapat mencukupi kebutuhan pangan satu kelompok masyarakat adat Mentawai dalam satu uma yang dihuni beberapa keluarga). 9. Kebijakan zonasi dan relokasi. Ketidakjelasan zonasi (kaitannya dengan zona merah atau potensi terkena tsunami, hutan adat, dan lainnya). 10. Ketidakjelasan penyaluran bantuan bencana (mekanisme koordinasi serta transparansi bantuan), bahkan tidak ada sama sekali. Misalnya saja ada peristiwa di mana logistik bantuan bencana tertahan sampai berbulan-bulan di kantor pemerintahan karena urusan birokrasi, sehingga logistik terlambat, menjadi rusak,
Eksternal: Pemerintah, Perusahaan Perkebunan, & Modernitas 1. Belum diakuinya hak-hak masyarakat adat di Mentawai, sehingga berdampak pada potensi bencana non-alam dan bencana sosial, serta melemahkan masyarakat adat dalam mengelola bencana alam (manajemen risiko & krisis kaitannya dengan tata kelola wilayah/SDA). Saat ini Ranperda PPHMA Mentawai sudah ada dan masuk dalam Prolegda tahun 2016. 2. Minim, bahkan hampir tidak adanya upaya-upaya peningkatan kapasitas terhadap masyarakat adat di Mentawai terkait dengan kebencanaan, baik itu kaitannya dengan upaya pengarus-utamaan PRB, mitigasi, kesiapsiagaan, hingga penanganan darurat, rehabilitasi, dan konstruksi (manajemen risiko dan manajemen krisis). 3. Kebijakan relokasi oleh pemerintah. Pada awalnya, masyarakat adat Mentawai bermukim di kawasan dekat sungai. Masyarakat adat direlokasi atas nama “pembangunan” (perampasan hutan adat) ke kawasan pantai (dari dalam hutan), lalu mengalami relokasi kembali ketika terjadi bencana, seperti gempa dan tsunami. 4. Derasnya arus modernisasi yang masuk ke dalam kehidupan masyarakat adat di Mentawai yang tidak berimbang dan adil (kaitannya dengan masyarakat adat dan kearifan terkiat bencana). 5. Stigma dan stereotipe negatif terhadap masyarakat adat yang dikonotasikan dengan kuno, primitif, terbelakang, miskin, dan lain-lain. 6. Masuknya program-program pemerintah yang berdampak pada pelemahan masyarakat adat dalam mengelola bencana, yaitu relokasi permukiman di mana masyarakat adat dijauhkan dari sumber kehidupan dan penghidupannya dalam berladang serta memicu konflik kaitannya dengan klaim tanah, wilayah, dan hutan adat; sawah irigasi (di sebagian tempat terdapat potensi sumber mata air yang
4
Executive Summary Peran & Partisipasi Masyarakat Adat dalam Kebencanaan di Indonesia
dan rentan disalahgunakan oleh oknum. Prinsip Rencana Kontinjensi Berbasis Masy. Adat Pada sebuah sesi dalam proses peningkatan kapasitas terkait bencana dengan peserta workshop masyarakat adat Mentawai, khususnya pemuda adat, muncul pembahasan mengenai nilai-nilai apa saja yang perlu diterapkan ketika pihak-pihak dari luar komunitas adat hendak bekerja sama dengan masyarakat adat terkait kerja-kerja kebencanaan. Para peserta mengutarakan berbagai masukan dan mengalir suatu diskusi tentang mengapa nilai-nilai tersebut diperlukan. Pada tahap ini, masyarakat adat memiliki kesadaran dan menunjukkan kemampuan dan keinginan untuk bisa berpartisipasi lebih lanjut untuk bermitra dengan siapa pun dalam meningkatkan ketangguhan dan daya lenting masyarakat adat menghadapi bencana. 1.
2.
3.
4. 5. 6.
7.
8.
FPIC (free, prior, informed consent) atau persetujuan di awal atas dasar tanpa paksaan sebagai prasyarat utama, yaitu keadaan bebas tanpa paksaan yang berarti kesepakatan hanya mungkin dilakukan di atas berbagai pilihan bebas masyarakat (free), sebelum proyek/program tertentu diizinkan pemerintah terlebih dulu mendapat izin dari masyarakat (prior), informasi yang terbuka seluas-luasnya (informed), dan persetujuan diberikan oleh masyarakat sendiri (consent). Prinsip ini menekankan hak pada keberimbangan informasi dan menjamin rencana dan implementasi berlangsung tanpa paksaan, kekerasan, intimidasi, dan diskriminasi terhadap masyarakat adat sebagai subjek (bukan objek). Berbasis pada kearifan/pengetahuan masyarakat adat di mana berbagai proses maupun kerja-kerja terkait kebencanaan mempertimbangkan relevansi pengetahuan masyarakat adat sebagai salah satu sumber pengetahuan yang didasarkan pada pengalaman masyarakat adat. Hak atas kelola tanah/wilayah dan
sumber dayanya yang menjadi sumber penghidupan yang berarti tidak menjauhkan masyarakat dari sumber kehidupan/penghidupan, seperti ladang, laut, hutan adat, dan lain-lain (terkait dengan kemungkinan pada kesepakatan relokasi). Musyawarah dan gotong royong. Optimalisasi pada kemandirian komunitas adat. Teknologi yang ramah masyarakat adat (penerapan teknologi dapat mudah dipahami dan dikelola oleh masyarakat adat secara berkelanjutan). Partisipasi masyarakat adat dalam seluruh proses, termasuk pemuda adat dan perempuan adat. Pertimbangan pada peran dan fungsi lembaga adat terhadap proses-proses, termasuk fungsi mediasi/perantara (antara masyarakat adat dan pihak lain) dan pengawasan terhadap penyaluran bantuan atau kerja-kerja bencana. Pengembangan Pengetahuan Masy. Adat
Masyarakat adat telah belajar dari peristiwa bencana yang dihadapi selama puluhan dan bahkan ratusan tahun yang menghasilkan kearifan masyarakat adat terkait kebencanaan secara langsung maupun tidak langsung. Sebagian kalangan menyebutnya sebagai kearifan lokal atau pengetahuan lokal. Namun pada konteks masyarakat adat, menjadi jauh lebih tepat untuk menyebutnya sebagai kearifan/pengetahuan masyarakat adat (indigenous knowledge/wisdom). Begitu pun dengan masyarakat adat Mentawai yang sudah pasti memiliki beragam kearifan, baik lisan atau tulisan dan berwujud atau tidak berwujud. Masyarakat adat di Mentawai telah melakukan praktek-praktek baik yang selama ini sudah dilakukan dan perlu dipertahankan dan dikembangkan kaitannya dengan bencana. Sebagian kearifan tersebut mungkin telah hilang, tetapi tak menutup kemungkinan untuk digali kembali. Sementara sebagian lain yang masih ada, juga potensial untuk bisa dikembangkan
5
Executive Summary Peran & Partisipasi Masyarakat Adat dalam Kebencanaan di Indonesia
untuk mendukung upaya PRB dan pengelolaan bencana, termasuk perencanaan kontinjensi yang berbasis masyarakat adat. Beragam kearifan di Mentawai memiliki keterkaitan yang erat hubungannya dengan tuhan/leluhur/roh, sesama manusia, dan alam. Pengetahuan yang terjalin secara langsung pada perihal kebencanaan, antara lain mengenai bagaimana masyarakat adat di Mentawai memiliki tata kelola SDA, seperti berladang dan berburu; bentuk fisik dan sistem nilai pada uma (rumah tradisional Mentawai); dan pula sistem dan pola komunikasi dan penyebaran informasi yang dimiliki di antara komunitas adat. Sedangkan pengetahuan lain dalam hal kedaulatan pangan dan tanaman obat misalnya, merupakan kearifan lain yang mempunyai kaitan lain terhadap kebencanaan.
Tuddukat adalah alat komunikasi yang menjadi tradisi di Mentawai. Alat yang digunakan dengan cara dipukul tersebut berfungsi untuk menyebarluaskan informasi dengan nada tertentu terkait kabar mengenai adanya upacara/pesta/perayaan adat, kelahiran/kematian di uma dan ladang, bencana, dan lainnya. Pada uma, tuddukat umumnya ditaruh pada atap teras rumah. Saat ini, tuddukat yang berada di Uma AMAN Mentawai telah berusia 450 tahun. Namun, generasi muda Mentawai belum sepenuhnya menggali dan memahami tata cara penggunaannya (cara membunyikan dan membedakan jumlah pukulan untuk kabar tertentu).
Penerapan dan pengembangan yang berlandaskan pada kearifan masyarakat adat tidak hanya menjadi upaya terhadap pelestarian pengetahuan mereka sebagai bagian dari khasanah kebudayaan Indonesia, melainkan pula sebagai modal dan strategi dalam mengefisienkan dan mengefektifkan upaya PRB dan kerja-kerja pengelolaan bencana yang konkrit dan relevan di tingkat komunitas. Maka untuk mengoptimalkan pendokumentasian serta fungsi dan manfaat kearifan/pengetahuan masyarakat adat, diperlukan perhatian khusus terhadap pentingnya revitalisasi lembaga adat (terkait peran strategis lembaga adat) dan pengayaan konten pendidikan yang berbasis pada budaya/muatan lokal (kearifan masyarakat adat), baik itu pada pendidikan formal (sekolah) maupun non-formal.
Sejak dulu gempa telah menjadi keseharian masyarakat Mentawai. Uma adalah rumah tradisional masyarakat adat Mentawai dengan pondasi utama berupa kayu dari pohon utuh yang ditancapkan sekitar 2 meter ke bawah tanah. Ketika gempa terjadi, pasak tersebut akan memberi tanda dan bergoyang. Jika gempa begitu besar, maka rumah umumnya tidak rubuh, tetapi hanya miring dan dapat dikembalikan pada posisi semula di mana keluarga dan tetangga secara gotong royong membantu menegakkan rumah kembali. Sayangnya, uma kini telah jarang ditemukan terkait dengan peristiwa pembakaran massal terhadap uma di masa lalu.
6
Executive Summary Peran & Partisipasi Masyarakat Adat dalam Kebencanaan di Indonesia
Rencana Kontinjensi Berbasis Komunitas Adat
atau jalur informasi, proses atau cara/teknik penyebarluasan informasi, dan memetakan titik penting (jalur evakuasi, titik kumpul/evakuasi, dan titik-titik yang dianggap penting lainnya terkait bagaimana masyarakat adat mempertahankan kelangsungan hidup pada saat bencana yang terintegrasi erat dengan pola masyarakat adat melakukan pengelolaan sumber daya alam pada wilayah adat dan hutan adatnya).
Pada kunjungan kedua yang dilakukan tim ke Mentawai di mana perwakilan komunitas adat di Tuapeijat dan sekitarnya di Pulau Sipora, kembali berkumpul untuk bersama-sama berdiskusi terkait proses perencanaan kontinjensi yang paling sederhana bisa dilakukan oleh pemuda adat di masing-masing komunitas adat.
Komunitas adat mengidentifikasi bahwa pihak-pihak terkait bencana di dalam komunitas mencakup banyak pihak. Di sini mereka menggarisbawahi bahwa bukan hanya pemerintah desa, sekolah, dan pusat layanan kesehatan saja yang penting dicatat, melainkan pula ada lembaga adat (tokoh adat), ormas terkait (dalam hal ini adalah AMAN), dan institusi agama (gereja dan masjid) yang memiliki peran sangat signifikan. Siapa pun dapat mengabarkan berita atau informasi bencana di dalam komunitas.
Tim meminta masyarakat adat (peserta workshop) untuk mengelompokkan diri menjadi tiga kelompok. Mereka membagi kelompok sesuai dengan tiga komunitas yang dijadikan sebagai percontohan untuk rencana kontinjensi di tingkat komunitas. Komunitas adat tersebut adalah Komunitas Adat Goisooinan (Desa Goisooinan), Saureinu (Desa Saureinu), dan Rokot (Desa Rokot). Ketiga komunitas anggota PD AMAN Mentawai tersebut dipilih karena tiga komunitas tersebut berada di Pulau Sipora (berlokasi paling dekat atau masih di sekitar kawasan Tuapeijat) dan telah melakukan proses pemetaan partisipatif bersama AMAN, sehingga memiliki peta wilayah adat. Dengan adanya peta wilayah adat, maka hal tersebut akan jauh lebih memudahkan komunitas untuk merumuskan perencanaan kontinjensi berbasis komunitas di mana masyarakat adat telah memahami cakupan wilayah adat komunitas mereka melalui peta.
Pemuda adat memiliki fungsi yang strategis sebagai komunikator dalam melakukan aksi dalam penyebarluasan informasi di mana hal itu tak perlu dibatasi pada mekanisme formal pada pemerintah desa. Secara cepat, masyarakat adat perlu mengoptimalkan peran masing-masing aktor di dalam komunitas dan memanfaatkan infrastruktur yang dimiliki. Maka proses penyebarluasan informasi memiliki kanal yang berbeda dan unik. Di Komunitas Adat Goisooinan yang terdiri dari masyarakat beragama Kristen dan Islam, lonceng gereja dan pengeras suara elektronik pada masjid dianggap penting. Di sana ada pula kearifan bernama tolokokoukou atau kentongan yang terbuat dari bambu yang biasa digunakan oleh masyarakat adat untuk memberi tanda atau peringatan (loloklok di Siberut). Sementara di Saureinu, tak ada masjid (hampir seluruh masyarakat beragama Kristen), sehingga selain gereja, ada pula radio komunitas yang menjadi modal utama dalam penyebarluasan informasi.
Ada empat hal penting yang perlu digali oleh masing-masing komunitas dalam menyusun rencana kontinjensi di setiap komunitas berdasarkan pada keunikan wilayah masing-masing. Kekhasan dalam hal fisik maupun non-fisik dengan kearifan di masing-masing komunitas adalah perbedaan yang membuat mereka menjadi begitu unik. Meski memiliki hal yang umum, namun hal yang khusus perlu diperhatikan sebagai sesuatu yang relevan. Pada proses ini, komunitas adat mampu mendiskusikan dan merumuskan sendiri suatu langkah-langkah kontinjensi di mana mereka melakukan pemetaaan atau identifikasi pihak-pihak terkait (stakeholders) di dalam komunitas, menentukan mekanisme
Melalui peta wilayah adat, masyarakat adat pun menjadi jauh lebih mudah memahami wilayahnya, termasuk menyadari kerentanan
7
Executive Summary Peran & Partisipasi Masyarakat Adat dalam Kebencanaan di Indonesia
terhadap bencana dan mengelola bencana. Komunitas adat dapat menandai titik-titik penting yang ada di komunitas atau dusun dan desanya di mana mereka dapat mempertimbangkan sendiri di mana letak jalur evakuasi dan titik kumpul yang pernah dan potensial untuk ditetapkan. Hal inilah yang kemudian membuka kembali pengetahuan pada pengalaman bencana gempa di Komunitas Adat Rokot tahun 2004, 2007, dan 2009. Mereka mengingat area perbukitan di Bukit Suddut dan Leleu Tunangkaliau yang pernah dijadikan tempat evakuasi dan pengungsian sementara. Selain alasan geografis bahwa kedua area itu memiliki kondisi fisik yang relatif aman dan mudah dijangkau, alasan lain adalah bahwa titik tersebut berada dekat dengan sumber air dan pangan mereka, yaitu ladang sagu, keladi, dan pisang di mana mereka dapat bertahan hidup secara mandiri dengan kondisi di mana komunitas masih menghadapi kendala pada keterbatasan/ketiadaan akses informasi (sinyal komunikasi) dan infrastruktur jalan untuk menyalurkan bantuan.
alternatif terhadap upaya PRB dan pengelolaan bencana di Indonesia. Masyarakat adat memiliki modal partisipasi dan pengetahuan/kearifan yang relevan untuk mengarusutamakan PRB dan mengelola bencana di wilayah adatnya masing-masing. Masyarakat adat pun penting dan harus dilibatkan dalam segala proses pengelolaan SDA dalam kebijakan, program, maupun implementasi kegiatan terkait kebencanaan. Pengakuan terhadap hak-hak masyarakat adat dan pengetahuan yang mereka miliki adalah penting di mana masyarakat adat dapat memiliki peluang secara bebas dan aman untuk meneruskan pengelolaan SDA yang arif dan berkelanjutan tanpa adanya tudingan/pemojokkan terhadap pengetahuan dan praktek pengetahuan lokal yang mereka lakukan. Masyarakat adat pun memiliki sikap yang terbuka untuk bekerja sama dalam mengembangkan pengetahuan/kearifan ke dalam suatu rencana dan strategi guna memperkuat ketangguhan dan daya lenting masyarakat secara umum pada level komunitas di Indonesia. Namun dengan segala persoalan yang dihadapi dan keterbatasan yang dimiliki komunitas, dukungan terhadap masyarakat adat dalam mengelola bencana, menjadi hal yang harus terus diupayakan secara bersama-sama.
Pembelajaran untuk kondisi lokal pada komunitas adat di Mentawai adalah dengan mempertimbangan situasi dan kondisi yang ada. Rencana kontinjensi secara sederhana dapat disusun dengan pendekatan yang partisipatif. Berdasarkan pengalaman pada peristiwa gempa dan tsunami di Mentawai beberapa tahun lalu, tantangan pada rencana kontinjensi yang perlu dipertimbangkan, yaitu dengan optimalisasi sistem analog ketimbang memaksakan pada teknologi digital di mana masyarakat dan infrastruktur fisik belum memiliki kesiapan yang memadai (teknologi yang ramah terhadap masyarakat adat).
Berikut ini adalah sejumlah rekomendasi yang penting untuk ditindaklanjuti kaitannya dengan penguatan peran dan partisipasi masyarakat adat terhadap upaya PRB berbasis lingkungan (eco-DRR) dan pengelolaan bencana di Indonesia. 1.
Rekomendasi Menguatkan Ketangguhan & Daya Lenting Masyarakat Adat Berdasarkan serangkaian proses dan pembelajaran yang telah dialami oleh tim bersama dengan masyarakat adat di Mentawai, maka masyarakat adat di Mentawai telah menunjukkan bahwa mereka memiliki peran yang strategis dalam memberikan solusi
2.
8
Dokumentasi, analisis, dan upaya pengarus-utamaan PRB dan bencana, mencakup kegiatan terhadap penguatan pendokumentasian dan pendataan data kondisi iklim di Mentawai, data bahaya dan risiko bencana, analisa kebutuhan, dan rencana kebutuhan dan strategi. Tata ruang wilayah adat untuk eco-DRR, yaitu dengan menginisiasi kegiatan pelatihan pemetaan dan tata ruang, pemetaan wilayah adat mencakup aspek
Executive Summary Peran & Partisipasi Masyarakat Adat dalam Kebencanaan di Indonesia
3.
4.
5.
potensi ekonomi dan sosial, perencanaan tata ruang (perspektif wilayah adat), dan workshop dengan pemerintah tentang tata ruang wilayah adat. Intervensi pada penguatan ekonomi/sumber penghidupan melalui upaya pengintegrasian sistem peringatan dini dan pengarusutamaan PRB pada peningkatan keberlangsungan sumber-sumber penghidupan/mata pencaharian masyarakat adat, misalnya inisiatif pada pembentukkan kelompok maupun permodalan kelompok usaha. Advokasi kebijakan dan kampanye, meliputi penguatan kapasitas terhadap lobi dan advokasi, kegiatan lobi dan advokasi, pembentukkan jariangan/aliansi, dan penyusunan strategi kampanye dan pembuatan material kampanye secara kreatif. Penguatan informasi dan media menjadi hal yang sangat krusial dalam mendukung penguatan masyarakat adat terkait bencana secara langsung maupun tidak langsung. Memastikan jalur informasi tersampaikan secara optimal dan menguatkan media lokal dapat dilakukan dengan berbagai upaya terkait peningkatan kapasitas melalui pelatihan jurnalisme bagi masyarakat adat (terutama pemuda adat), inisiasi pembuatan media alternatif atau penguatan terhadap media yang ada, dan dorongan untuk bermitra dan berjejaring dengan media pada level lokal, nasional, dan internasional, baik itu media cetak, elektronik, maupun online. Kegiatan “PRB & Rencana Kontinjensi Berbasis Masyarakat Adat di Mentawai, Sumatera Barat” merupakan kegiatan yang diinisiasi dan dimplementasikan oleh Perkumpulan Skala & AMAN bersama masyarakat adat di Mentawai (PD AMAN Mentawai) melalui kemitraan dengan The Samdhana Institute.
***
Kontak Perkumpulan Skala: Nurdiyansah 0815 861 38750/
[email protected] www.PerkumpulanSkala.net AMAN: Andri Febrian 0877 7070 1288/
[email protected] www.AMAN.or.id
9