PARAMETER VERBA EMOSI Mulyadi Universitas Sumatera Utara
[email protected] Abstract It is difficult semantically and syntactically to differ emotion verbs from the other sub-classes of mental verb. Besides they belong to an abstract word group, there is no a clear border line of emotion verbs. This article attempts to propose a parameter to identify the class of emotion verbs across languages. For the purpose of the research, the data of Indonesian and Asahan Malay languages were collected by means of observation and interview were used as a case study. A number of syntax tests were elaborated and the theory of Natural Semantic Metalanguage was adopted to examine the semantic aspect of emotion verb. Based on the tests, the findings suggest that the emotion verb of Indonesian and Asahan Malay languages meets the transitive, interrogative, progressive, deliberate adverb, and the reflesive type of the formal test. Systematically, emotion verbs is characterized by the component ‘X felt something because X thought something.’ Keywords: emotion verbs, parameter, and semantic components Abstrak Verba emosi sulit dibedakan secara sintaktis-semantis dengan subkelas verba mental yang lain. Selain tergolong kelompok kata yang abstrak, verba emosi memiliki batas yang kabur. Artikel ini mengusulkan sebuah parameter untuk mengidentifikasikan keanggotaan verba emosi secara lintas bahasa. Untuk keperluan penelitian ini, data bahasa Indonesia dan bahasa Melayu Asahan yang dikumpulkan melalui pengamatan dan wawancara digunakan sebagai uji kasus. Sejumlah tes sintaktis dielaborasi dan Teori Metabahasa Semantik Alami diterapkan untuk menguji aspek semantis dari verba emosi. Dari pengujian yang dilakukan diperoleh hasil bahwa verba emosi bahasa Indonesia dan bahasa Melayu Asahan secara formal memenuhi tes transitif, interogatif, progresif, adverbia dengan sengaja, dan refleksif. Secara semantis verba emosi dicirikan oleh komponen ‘X merasakan sesuatu karena X memikirkan sesuatu.’ Kata kunci: verba emosi, parameter, dan komponen semantis
Pendahuluan Verba keadaan dan verba tindakan sebagai representasi dari peristiwa statifaktif biasanya dibedakan melalui tes formal seperti interogatif, progresif, imperatif, dan konstruksi agentif (lihat, antara lain, Frawley, 1992; Saeed, 1997; dan Van Voorst, 2008). Tes untuk verba emosi belum pernah dibicarakan secara khusus dalam literatur. Van Valin dan LaPolla (1999: 114) menegaskan bahwa tidak ada tes yang dapat digunakan untuk menandai perbedaan konseptual pada subtipe dari verba keadaan, termasuk verba emosi. Hal ini memberi kesan bahwa penetapan keanggotaan verba emosi dalam sebuah bahasa cenderung bersifat intuitif. Bertolak dari kenyataan itu, penelitian ini menawarkan suatu parameter untuk mengidentifikasi keanggotaan verba emosi secara lintas bahasa. Bahasa Indonesia (BI) dan bahasa Melayu Asahan (BMA) digunakan sebagai uji kasus untuk mengetahui perubahan atau pergeseran makna pada struktur kognitif penuturnya. Selain karena kekerabatan BI dan BMA, penutur kedua bahasa itu memiliki ekspresi lingual yang berbeda dalam mengonseptualisasikan emosi. Kecuali itu, pembicaraan tentang verba emosi dalam BI 203
Vol.1, No.2 Agustus 2015
JURNAL TUTUR
ISSN 2442-3475
dan BMA belum sampai pada taraf penentuan status kenaggotaannya secara lintas bahasa (lihat Mulyadi, 2000, 2001, 2009, 2010). Penelitian ini berfokus pada perbedaan verba emosi dengan verba sensasi dan verba volisi. Ketiga verba itu tergolong kata abstrak dengan batas yang sangat kabur. Dalam bahasa sehari-hari, ekspresi ketiganya dipahami dengan cara yang sama. Hal ini didukung fakta gramatikal. Misalnya, cemburu (verba emosi), geli (verba sensasi), dan bergairah (verba volisi), meskipun acuan semantisnya berbeda, dapat mengisi slot komplemen pada konstruksi “X merasa”, seperti pada kalimat hipotetis berikut. (1) X merasa cemburu/geli/bergairah melihat gadis itu.
Hal ini menunjukkan pentingnya sebuah parameter untuk menetapkan keanggotaan verba emosi. Apabila keanggotaannya dapat dibatasi dengan tepat, deskripsi makna verba emosi berhasil diungkapkan. Untuk mengkaji hal itu diterapkan teori Metabahasa Semantik Alami (MSA) (lihat Wierzbicka, 1996a, b, 1999 dan Goddard, 1994, 1996a, b) yang berbasis pada parafrase reduktif; artinya, makna kata-kata kompleks dieksplikasi dengan kata-kata sederhana. Tujuannya ialah untuk menghindari analisis makna yang berputar-putar dan kabur. Dalam teori MSA, identifikasi terhadap verba emosi berbasis pada perangkat makna asali yang dibentuk ke dalam komponen semantis. Pemetaan komponen semantis pada verba emosi bersumber dari predikat mental seperti RASA, PIKIR, TAHU, INGIN, TERJADI, dan sebagainya. Kombinasi dua makna asali yang berbeda untuk membatasi makna bentuk leksikon tunggal dinamai polisemi (Wierzbicka, 1996; Goddard, 1996, 1998). Dari polisemi TAHU/INGIN, misalnya, dapat dihasilkan komponen, seperti ‘aku TAHU bahwa sesuatu yang buruk telah terjadi, aku tidak INGIN hal ini terjadi’. Komponen semantis dibentuk oleh predikat pada pola “sintaksis universal”. Perangkat makna yang berfungsi sebagai predikat adalah (1) predikat mental [PIKIR, TAHU, INGIN, RASA, LIHAT, DENGAR], (2) ujaran [UJAR, KATA], (3) tindakan, peristiwa, pergerakan, dan perkenaan [LAKU, TERJADI, GERAK, dan SENTUH], (4) keberadaan dan milik [ADA dan PUNYA], dan (5) hidup dan mati [HIDUP dan MATI]. Tipe predikat yang membentuk komponen semantis bergantung pada perilaku semantis/ sintaktis dari verba emosi. Penting dicatat bahwa penelitian ini juga mengadopsi dan mengelaborasi beberapa tes diagnostis yang bersumber dari Chafe (1970), Frawley (1992), Saeed (1997), dan Van Voorst (2008). Jika tes-tes itu biasanya digunakan untuk membedakan peristiwa statif (keadaan) dengan peristiwa aktif (tindakan), dalam penelitian ini tes-tes itu dielaborasi untuk membedakan verba emosi dengan verba sensasi dan verba volisi. Metode Penelitian Data penelitian dikumpulkan melalui penggunaan kuesioner dan wawancara. Kuesioner yang berisi data leksikon emosi BI dan berbagai perilakunya dalam kalimat dipadankan ke dalam BMA oleh responden yang ditetapkan dengan kriteria berikut: (1) kesediaan membantu peneliti, (2) penutur jati, (3) sabar, jujur, dan terbuka, dan (4) penguasaan budaya dan bahasa yang baik. Wawancara bertujuan untuk menggali pengalaman emosional subjek. Isi wawancara menyangkut bentuk dan relasi verba emosi dan (2) perbandingan perilaku dan makna verba emosi. Dalam analisis data diterapkan metode padan dan metode agih untuk 204
Parameter Verba Emosi Mulyadi
Vol.1, No.2 Agustus 2015
JURNAL TUTUR
ISSN 2442-3475
mengidentifikasi butir-butir leksikal yang secara intuitif tergolong verba emosi. Dari pengujian ini dapat diketahui mana butir-butir leksikal yang tergolong verba emosi dan mana yang tidak. Kemudian, digunakan metode eksplikasi untuk menguji verba emosi secara lintas bahasa. Hasil analisis data disajikan dengan metode informal dan metode formal. Metode informal direalisasikan dalam penggunaan kata-kata atau kalimat yang dikembangkan secara deduktif dan induktif. Metode formal dinyatakan melalui pemakaian tanda-tanda dan tabel untuk menerangkan contoh-contoh data. Parameter Verba Emosi (1) Parameter Formal Secara formal tes diagnostis yang diusulkan untuk menguji keanggotaan verba emosi ialah (1) transitif, (2) interogatif, (3) progresif, (4) adverbia dengan sengaja, dan (5) refleksif. Semua tes ini merupakan refleksi struktural, tetapi penerapannya dimotivasi oleh fakta semantis. Hal ini didasari pandangan bahwa relasi bentuk-makna dalam bahasa bersifat arbitrer dan perbedaan pada perilaku gramatikal mencerminkan perbedaan pada maknanya secara ikonis. Ketransitifan ditandai hadirnya dua argumen verba pada struktur klausa. Verba emosi memenuhi tes transitif sebab properti sintaktisnya merealisasikan dua tipe argumen: subjek dan objek. Argumen objek biasanya dimarkahi preposisi. Misalnya, kata untuk ‘rindu’, ‘curiga’, dan ‘cemburu’ adalah verba emosi transitif sebab perilakunya memunculkan argumen objek (berpreposisi) pada struktur klausa. Melalui proses inkorporasi preposisi, argumen itu mengisi slot objek langsung tanpa perubahan pada maknanya. (2) a. Dia rindu/curiga/cemburu pada istrinya. Rindu/curigo/camburu dio ka bininyo. → b. Dia merindukan/mencurigai/mencemburui istrinya. Dio marindukan/mancurigoi/mancamburui bininyo.
Verba volisi dan verba sensasi mempunyai perilaku sintaktis yang berbeda dalam penyandian argumen. Verba volisi berterima dengan tes transitif (mis. hendak → menghendaki atau gandrung → menggandrungi). Pada verba sensasi, hanya argumen subjek yang biasanya muncul pada struktur klausa sehingga verbanya tergolong intransitif. Bandingkan verba volisi pada (3) dengan verba sensasi pada (4). (3) a. Aku suka pada kalung ini. (verba volisi) Suko/hoji aku samo rante-ni. → b. Aku menyukai kalung ini. Aku manyukoi rante-ni. (4) a. Tubuhnya menggigil. (verba sensasi) Manggalatuk badannyo. → b. *Tubuhnya menggigili kedinginan. *Badannyo manggalatuki kadinginan.
Lebih jauh, verba emosi memiliki dua kelas intransitif jika dihubungkan dengan ciri kendali pada subjek. Kedua kelas itu adalah intransitif agentif dan intransitif pasientif. Verba emosi intransitif agentif berciri [+kendali] untuk menerangkan bahwa suatu peristiwa emosional dibentuk oleh agen, sedangkan pada verba emosi intransitif pasientif yang berciri [-kendali], suatu peristiwa emosional terjadi karena hadirnya partisipan lain. Hal ini diskemakan pada gambar berikut. Parameter Verba Emosi Mulyadi
205
ISSN 2442-3475
JURNAL TUTUR
Vol.1, No.2 Agustus 2015
verba emosi transitif
intransitif
benci
agentif [+kendali]
pasientif [-kendali]
kalap
gugup
Gambar 1 Kelas Sintaktis Verba Emosi Ciri [±kendali] pada subjek diuji dengan tes kausatif (morfologis). Dalam perspektif morfosintaktis, penerapan tes ini ditandai pelekatan afiks (me-) –kan pada verba emosi intransitif. Sejalan dengan Gambar 5.1, kata kalap disebut verba emosi intransitif agentif karena tidak hadir sebuah agen baru pada klausa derivasi. Sebaliknya, kata gugup adalah verba emosi intransitif pasientif sebab sebuah agen baru dapat muncul pada klausa derivasi tanpa mengubah makna verbanya. (5) a. Pemuda itu kalap. → b. *Mereka mengalapkan pemuda itu. (6) a. Anak itu gugup. → b. Kedatangan polisi menggugupkan anak itu.
Penerapan tes ketransitifan menyarankan klasifikasi lintas semantis dari verba emosi. Hal ini disebabkan determinasi makna pada properti sintaktis. Jika didasarkan pada tipe-tipe semantis verba emosi dan dihubungkan dengan dua tipe verba intransitif— nirergatif dan nirakusatif—pada Hipotesis Nirakusatif (lihat Blake, 1990: 29, 33—34), keanggotaan verba emosi terpilah di antara beberapa kelas sintaktis. Hal ini tampak pada tabel di bawah ini. Tabel 2 Tipe Semantis dan Ketransitifan pada Verba Emosi BI dan BMA Tipe Semantis
Transitif
SEDIH
kasihan kasian
--
sedih sodih
TAKUT
ragu ragu
--
gelisah galisah
MALU
segan sogan
--
malu malu
HERAN
Nirergatif
--
Nirakusatif
heran heran --
terkejut takojut
SENANG
senang sonang
CINTA
sayang sayang
iri iri/angek
--
MARAH
marah marah
jenuh jolak
--
206 1
gembira mogah
Parameter Verba Emosi Mulyadi
Vol.1, No.2 Agustus 2015
ISSN 2442-3475
JURNAL TUTUR
Tes interogatif diuji dengan pertanyaan Hatinya dalam keadaan apa? Ada dua alasan dalam penerapan tes ini. Pertama, tes ini dipahami untuk menunjukkan ciri keadaan dari verba emosi. Kedua, peleksikalan verba emosi bersumber dari hati sebagai pusat emosi/perasaan. Pada praktiknya, tipe pertanyaan ini menjadi anomali pada verba sensasi (mis. jijik, nikmat, atau dahaga) dan meragukan pada verba volisi (mis. peduli, berambisi, atau berhasrat). (7) A: Hatinya dalam keadaan apa? B: Hatinya (dalam keadaan) kecewa/terharu/girang. ??Hatinya (dalam keadaan) jijik/nikmat/dahaga. ?Hatinya (dalam keadaan) peduli/berambisi/berhasrat.
Dalam bahasa kolokial, perasaan dan proses tubuh sering dipersepsi dengan cara yang sama oleh penutur. Verba merasa (atau maraso dalam BMA) digunakan untuk gejala tubuh dan gejala mental. Kenyataan menunjukkan bahwa spektrum perasaan lebih luas daripada spektrum emosi sebab perasaan mencakup kata-kata sensasi. Emosi adalah perasaan hati atau suasana hati, sedangkan sensasi adalah perasaan badani. Itu sebabnya, verba sensasi seperti pedih, letih, atau nyaman secara denotatif kurang relevan untuk menjawab pertanyaan Hatinya dalam keadaan apa?, seperti pada contoh (8), dan lebih tepat dihubungkan dengan contoh (9). (8) ??Hatinya pedih/letih/nyaman. ??Podih/lotih/nyaman hatinyo. (9) Lukanya pedih. Tubuhnya letih. Dirinya nyaman. Podih lukonyo. Lotih badannyo. Nyaman dirinyo.
Selanjutnya, aspek progresif pada konteks yang tepat dapat berinteraksi dengan verba emosi, verba sensasi, dan verba volisi. Progresif secara leksikal ditandai oleh adverbia temporal sedang (dalam BI) atau tongah ‘tengah’ (dalam BMA). Pada contoh berikut, tampak bahwa ketiga kelas verba mental ini dapat disela dengan aspek progresif. (10) sedang gelisah, sedang susah, sedang marah tongah galisah, tongah susah, tongah marah
(verba emosi)
(11) sedang lapar, sedang haus, sedang mulas tongah lapar, tongah haus, tongah mulas
(verba sensasi)
(12) sedang gemar, sedang bernafsu, sedang berharap (verba volisi) tongah suko, tongah banafsu, tongah baharap
Progresif mengandung konotasi dinamis. Verba keadaan kurang cocok berkombi nasi dengan progresif (Frawley, 1992: 149; Van Voorst, 2008: 1). Namun, subtipe dari verba keadaan seperti verba emosi, verba sensasi, dan verba volisi bersesuaian dengan progresif karena situasi dipandang penutur bahasa sebagai keadaan temporer yang menyiratkan perubahan. Akibatnya, pada struktur internalnya termuat suatu proses untuk menerima progresif. Dalam pengertian lain, pada peristiwa emosional, peristiwa sensasional, dan peristiwa volisional, progresif melonggarkan interval waktu dan memberi ruang bagi peristiwa lain terjadi pada saat yang sama. Misalnya, pada kalimat (13), peristiwa yang diperluas diwujudkan pada klausa Parameter Verba Emosi Mulyadi
207
Vol.1, No.2 Agustus 2015
JURNAL TUTUR
ISSN 2442-3475
subordinatif ketika kami masuk dan pada kalimat (14) peristiwanya dinyatakan pada klausa waktu kutogur ‘waktu kusapa’. (13) Abang sedang marah ketika kami masuk. (14) Waktu kutogur, tongah galisah dio. KONJ 1Tg.tegur PROG gelisah 3Tg. ‘Waktu kusapa, dia sedang gelisah’.
Tes berikut ialah adverbia dengan sengaja. Tes ini berterima dengan verba emosi dan verba volisi, tetapi gagal diterapkan pada verba sensasi, seperti pada (16). Kepekaan verba emosi dan verba volisi pada tipe adverbia ini bertalian dengan fakta bahwa ekspresi emosi dan ekspresi volisi disengaja oleh pengalam. Malah, gagasan kesengajaan pada verba volisi merupakan elemen yang inheren pada maknanya. Oleh sebab itu, pengujian adverbia dengan sengaja pada verba volisi, seperti pada (17) menghasilkan konstruksi redudansi. (15) Aku (dengan) sengaja kasihan melihat nasib mereka. Sangajo aku kasian manengok paruntungan orang-tu. (16) ??Aku (dengan) sengaja gatal. ??Sangajo aku gatal. (17) ??Aku (dengan) sengaja berselera pada makanan ini. ??Sangajo aku basalero samo makanan-ni.
Perlu ditekankan di sini bahwa tidak semua anggota verba emosi dapat berkombinasi dengan adverbia dengan sengaja. Sejalan dengan ciri kendali pada verba emosi, verba seperti sedih, takut, atau kaget, umpamanya, gagal disela dengan adverbia itu pada konstruksi gramatikal. Ini terjadi karena ketiganya mengandung ciri [-kendali]. (18) ??Perempuan itu dengan sengaja sedih/takut/kaget.
Hendaknya tidak diartikan bahwa tes volisional kurang sesuai dengan verba emosi. Penerapan tes ini justru memberi ruang untuk interpretasi tentang dikotomi agenpasien pada verba emosi. Dalam pengertian yang lebih luas, parameter formal memberi suatu gambaran umum, dan tidak dimaksudkan sebagai suatu ”prosedur penemuan”. Oleh karenanya, tidak perlu berpandangan bahwa fakta semantis tertentu akan konsisten seratus persen dengan beberapa fakta lain. Tes diagnostis terakhir ialah refleksif yang menerangkan koreferensi subjek dengan objek. Subjek mengungkapkan perasaan untuk dirinya sendiri, dan refleksif bermarkah secara leksikal, yaitu dengan diri sendiri. Verba emosi pada (19a) dan verba sensasi pada (20) memenuhi tes refleksif, kecuali verba volisi pada (21). Tes refleksif tidak berlaku untuk anggota verba emosi, seperti (19b). Verba [-refleksif] seperti curiga, girang, dan takjub adalah verba emosi impersonal, sedangkan verba [+refleksif] seperti marah, heran, dan malu adalah verba emosi personal. (19) a. marah/heran/malu pada diri sendiri marah/heran/malu samo diri sandiri b. *curiga/girang/takjub pada diri sendiri *curigo/mogah/takjub samo diri sandiri
208
Parameter Verba Emosi Mulyadi
Vol.1, No.2 Agustus 2015
ISSN 2442-3475
JURNAL TUTUR
(20) asyik/geli/lucu pada diri sendiri asik/goli/lucu samo diri sandiri (21) *ingin/sanggup/berahi pada diri sendiri *ondak/tolop/nafsu samo diri sandiri
Hasil pengujian yang lengkap dari kelima tes formal/struktural diringkas pada tabel berikut. Tabel 2 Hasil Tes Formal untuk Verba Emosi, Verba Sensasi, dan Verba Volisi No.
Tipe Tes Formal
Verba Emosi
Verba Sensasi
Verba Volisi
1.
Transitif
Ya
Tidak
Ya
2
Interogatif
Ya
Tidak
Tidak
3.
Progresif
Ya
Ya
Ya
4.
Adverbia dengan sengaja
Ya
Tidak
Ya
5.
Refleksif
Ya
Ya
Tidak
(2) Parameter Semantis Verba emosi secara semantis dapat dibatasi melalui perangkat makna asali. Pada struktur komponen verba emosi, perangkat makna itu menjadi unit dasar. Tes diagnostisnya dirumuskan dalam suatu skenario/wacana. Artinya, butir-butir leksikal yang diasumsikan sebagai verba emosi diidentifikasi dengan komponen semantis dalam suatu skenario kognitif. Verba emosi merupakan kombinasi dari tiga elemen semantis, yaitu “perasaan”, “pikiran”, dan “tubuh”. Emosi adalah suatu pengalaman rasa di dalam tubuh, atau lebih tepatnya di dalam hati, manusia. Pengalaman itu muncul kalau manusia berpikir tentang situasi tertentu. Contohnya, orang dapat berbicara tentang “rasa mual”, “rasa kenyang”, atau “rasa perih”, tetapi orang tidak dapat berbicara tentang “emosi mual”, “emosi kenyang”, atau “emosi perih” karena semua perasaan itu tidak bertalian dengan pikiran. Sebagai acuan yang eksplisit pada gejala tubuh, kata-kata itu merupakan representasi dari verba sensasi. Selanjutnya, orang mungkin berbicara tentang “rasa peduli”, “rasa berahi”, atau “rasa berminat”, tetapi bukan “emosi peduli”, “emosi berahi”, atau “emosi berminat”. Apa yang dipersepsi penutur sebagai perasaan adalah keinginan yang dipicu oleh proses tubuh—misalnya, naiknya tekanan darah, keluarnya air liur, berubahnya raut muka, dan sebagainya. Mengingat motivasi utamanya adalah suatu keinginan, ekspresi butir leksikalnya dinamai verba volisi. Berdasarkan kombinasi perangkat makna asali (Goddard, 1994, 1996a; Wierzbicka, 1996a, b), perbedaan komponen semantis antara verba emosi, verba sensasi, dan verba volisi dirumuskan pada tabel berikut.
Parameter Verba Emosi Mulyadi
209
Vol.1, No.2 Agustus 2015
JURNAL TUTUR
ISSN 2442-3475
Tabel 3 Skenario Kognitif pada Verba Emosi, Verba Sensasi, dan Verba Volisi Subkelas predikat mental Verba emosi Verba sensasi Verba volisi
Skenario kognitif X merasakan sesuatu karena X memikirkan sesuatu X merasakan sesuatu karena sesuatu terjadi pada bagian dari tubuh X X menginginkan sesuatu karena sesuatu terjadi pada bagian dari tubuh X
Sejumlah kata BI dan BMA dapat diuji dengan skenario semantis verba emosi. Misalnya, jengkel, girang, dan rindu (BI) atau mogah ‘gembira’, sabas ‘puas’, dan cuak ‘takut’ (BMA) adalah verba emosi. (22) a. X merasa jengkel/girang/rindu karena X memikirkan sesuatu b. X merasa mogah/palak/cuak karena X memikirkan sesuatu
Kata-kata seperti puas, sengsara, dan merana tidak dapat diletakkan pada slot komplemen pada skenario verba emosi, seperti pada (23), atau skenario verba volisi, seperti pada (24), kecuali skenario verba sensasi, seperti pada (25). (23) ??X merasa puas/sengsara/merana karena X memikirkan sesuatu (24) ??X ingin puas/sengsara/merana karena sesuatu terjadi pada bagian dari tubuh X (25) X merasa puas/sengsara/merana karena sesuatu terjadi pada bagian dari tubuh X
Implikasi Parameter Secara Lintas Bahasa Parameter verba emosi mengandung beberapa implikasi secara lintas bahasa. Pertama, tidak terdapat korelasi satu lawan satu di antara dua bahasa yang dibandingkan. Misalnya, kata cinta, gembira, dan sewot adalah verba emosi dalam BI, tetapi padanannya dalam BMA, yaitu bajanji ‘berjanji’, mogap ‘megap’, dan mamuncung ‘memuncung’ bukanlah verba emosi. (26) X merasa cinta/gembira/sewot karena X memikirkan sesuatu (27) ??X merasa bajanji/mogap/mamuncung karena memikirkan sesuatu
BMA.
Cermatilah perilaku cinta dan gembira pada kalimat BI dan terjemahannya dalam (28) Mereka sudah lama bercinta. Udah lamo baya orang-tu bajanji. (29) Jangan kamu terlalu gembira menerima duit itu, habis itu nanti. Jangan pala mogap kau manarimo duit-tu, habisnyo itu karang. (30) Jika disuruh, kamu selalu saja sewot. Kolo disuruh (pulak) sek mamuncung sajo kau jang.
Verba bajanji adalah sebuah kelas verba ujaran sebab maknanya mengandung elemen BERKATA (mis. ‘X mengatakan sesuatu pada seseorang’). Verba mogap dan verba 210
Parameter Verba Emosi Mulyadi
Vol.1, No.2 Agustus 2015
JURNAL TUTUR
ISSN 2442-3475
mamuncung memuat elemen GERAK dalam maknanya: mogap tergolong tipe gerakan nonagentif (mis. ‘seseorang (X) bergerak di tempat ini’ dan ‘X tidak menginginkan ini’) dan mamuncung tergolong tipe gerakan agentif (mis. ‘X menggerakkan sesuatu dari bagian tubuhnya (‘mulut’)’. Jadi, ketiga verba itu mempunyai acuan semantis yang berbeda dalam BMA. Kedua, ekspresi kata-kata emosi ialah ekspresi harfiah, dan bukan ekspresi figuratif, pada interelasi antara pikiran, perasaan, dan tubuh. Dalam kalimat lain, parameter yang diusulkan merupakan refleksi dari ciri denotata prototipe. Ini berarti bahwa kelompok kata BI, seperti tertekan, tertarik, terpukul, kecut, dan ciut, serta ungkapan emosi, seperti patah hati, putus asa, dan salah tingkah, tidak termasuk anggota verba emosi. Kata tertekan, tertarik, terpukul, kecut, dan ciut adalah ekspresi yang mengacu pada peristiwa atau proses imajiner yang terjadi pada tubuh, yang digunakan sebagai dasar untuk menggambarkan pengalaman perasaan subjektif yang diasumsikan berdasarkan pikiran (Wierzbicka, 1999: 305). Di sisi lain, ungkapan patah hati, putus asa, dan salah tingkah merupakan ekspresi figuratif dalam mengungkapkan perasaan yang terkait dengan pikiran yang didasari oleh citra tubuh. Kesamaan pada kedua kelompok verba itu tampaknya bertalian dengan dua cara dasar dalam pengungkapan perasaan. Pertama, pengalam dapat menyampaikan kepada orang lain bahwa dia “merasa baik” atau dia “merasa buruk”, dan peleksikalan ini, antara lain, menurunkan verba emosi. Kedua, pengalam dapat memberitahukan kepada orang lain bahwa dia merasa SEPERTI orang yang merasa dalam situasi tertentu dan kemudian mengenali, dalam satu cara atau cara lain, situasi prototipe. Artinya, apabila seseorang menyampaikan kepada orang lain bahwa saya “merasa seperti orang yang dihimpit beban yang berat” (‘tertekan’), atau saya “merasa seperti orang dengan tubuh yang mengerut” (‘kecut’), atau saya “merasa seperti orang yang tidak mempunyai harapan” (‘putus asa’), ekspresi semacam ini tidak dapat membatasi verba emosi. Jadi, kurang berterima kalau pada skenario (31a), kata-kata seperti tertekan, terpukul, atau kecut mengisi slot komplemen; juga ungkapan seperti patah hati, putus asa, dan salah tingkah pada (31b). (31) a. ??X merasa tertekan/terpukul/kecut karena memikirkan sesuatu b. ??X merasa patah hati/putus asa/salah tingkah karena X memikirkan sesuatu
Eksplikasi yang tepat untuk membatasi makna beberapa verba di atas dipostulasikan pada (32). Pada skenario tersebut, elemen SEPERTI diletakkan setelah subkomponen ‘X merasa’ untuk menunjukkan suatu perbandingan. Jenis subkomponen yang mengisi slot itu bergantung pada butir leksikal yang dibatasi. (32) X merasa SEPERTI .... karena X memikirkan sesuatu
Ketiga, elemen “berpikir” pada komponen ‘X memikirkan sesuatu’ tidak dimaksudkan untuk menandai sebuah peristiwa tunggal, tetapi mengacu pada kategori peristiwa yang terdiri atas sub-sub peristiwa dari pelbagai tipe yang berbeda. Apabila pengalam berpikir tentang “peristiwa baik”, pengalam merasakan sesuatu yang baik. Ketika pengalam berpikir tentang “peristiwa buruk”, pengalam merasakan sesuatu buruk. Kedua jenis perasaan ini, yang lazim disebut emosi positif dan emosi negatif, dirumuskan pada skenario (33). Sekalipun begitu, pengalam adakalanya tidak memberi penilaian dalam proses berpikirnya, dan jenis emosinya adalah emosi netral. Parameter Verba Emosi Mulyadi
211
Vol.1, No.2 Agustus 2015
ISSN 2442-3475
JURNAL TUTUR
(33) X merasakan sesuatu yang BAIK/yang BURUK karena X memikirkan sesuatu yang BAIK/yang BURUK
Tipe-tipe emosi dapat diuji dengan menggunakan hati sebagai organ, atau wadah untuk, emosi. Emosi positif atau emosi negatif berkombinasi dengan hati dalam konstruksi gramatikal. Emosi netral tidak dibentuk dengan model konstruksi seperti itu. Boleh diartikan bahwa emosi positif dan emosi negatif dipersepsi sebagai entitas yang berada dalam tubuh pengalam, sedangkan emosi netral adalah entitas yang berada di luar tubuh pengalam. Misalnya, emosi pada (34) dibentuk dengan hati melalui dua model konstruksi; pertama, hati sebagai wadah emosi diisi oleh perasaan kagum, bosan, atau khawatir, seperti pada (34a) dan kedua, model konstruksinya dicirikan oleh pemakaian preposisi dalam yang menyiratkan bahwa emosi dikonstrual sebagai entitas dalam diri manusia, seperti pada (34b). (34) a. Hatinya penuh dengan rasa kagum/bosan/khawatir. b. Ada kekaguman/kebosanan/kekhawatiran dalam hatinya.
Emosi netral sulit diterima jika dikonstrual dalam hati pengalam. Emosi kaget, terkejut, atau terpana, misalnya, lebih cocok dikonseptualisasikan sebagai entitas yang terletak di luar tubuh pengalam, dan bahkan berelasi dengan tipe gerakan tubuh; maksudnya, tubuh pengalam secara alamiah memberi reaksi langsung ketika keadaan emosi terjadi. (35) a. ??Hatinya penuh dengan rasa kaget/terkejut/heran. b. ??Ada kekagetan/keterkejutan/keheranan dalam hatinya.
Penggunaan komponen semantis sebagai alat analitis memperlihatkan bahwa penutur BI dan penutur BMA memiliki model kognitif yang berbeda dalam menilai suatu peristiwa emosi. Misalnya, jika terpukau cenderung ditafsirkan oleh penutur BI sebagai emosi positif, padanannya dalam BMA, yaitu tabodoh, adalah emosi netral. Hal ini lebih jelas pada contoh berikut. (36) ??Ponuh raso tabodoh hatinyo jang. penuh rasa terbodoh hati.3Tg PART ‘Hatinya penuh dengan rasa terpukau.’
Implikasi yang keempat menyangkut properti temporal. Ada tiga jenis orientasi waktu pada verba emosi: masa kini, masa lalu, dan masa mendatang. Verba emosi yang berorientasi pada masa kini dan pada masa lalu menerangkan sebuah peristiwa aktual, sedangkan verba emosi yang berorientasi pada masa mendatang mendeskripsikan sebuah peristiwa hipotetis. Peristiwa aktual dan peristiwa hipotetis dapat diperinci atas peristiwa duratif dan peristiwa pungtual. Sebuah peristiwa duratif menerangkan perubahan waktu yang lambat dalam mengekspresikan emosi, sementara peristiwa pungtual mengandung perubahan waktu yang cepat. Kedua properti temporal ini dalam MSA direalisasikan oleh elemen ‘selama beberapa waktu’ (duratif) dan elemen ‘sekejap’ (pungtual). (37) X memikirkan sesuatu SELAMA BEBERAPA WAKTU/SEKEJAP karena ini, X merasakan sesuatu SELAMA BEBERAPA WAKTU/SEKEJAP
212
Parameter Verba Emosi Mulyadi
ISSN 2442-3475
JURNAL TUTUR
Vol.1, No.2 Agustus 2015
Implikasi yang terakhir ialah bahwa struktur peristiwa emosi yang lengkap melibatkan dua jenis partisipan, yakni pengalam dan stimulus. Dalam skenario, realisasi komponennya berpusat pada pengalam daripada stimulus, khususnya pada verba emosi agentif. Pengalam merujuk pada entitas bernyawa (mis. ‘aku’ pada komponen ‘AKU merasakan sesuatu yang baik’). Stimulus boleh jadi berupa entitas bernyawa (mis. ‘orang ini’ pada komponen ‘ORANG INI tidak dapat seperti bagian dari aku’) atau entitas tak bernyawa (mis. ‘sesuatu’ pada komponen ‘SESUATU yang buruk sedang terjadi’). Model skenario kognitif yang melibatkan pengalam dan stimulus diilustrasikan sebagai berikut. (38) SESUATU YANG BURUKStimulus sedang terjadi padaku karena ini, AKUPengalam tidak dapat berpikir sekarang
Contoh (38) menjelaskan bahwa pada peristiwa emosional terdapat dua jenis relasi kausal yang berbeda antara pengalam dan stimulus (dalam skenario dihubungkan elemen KARENA INI). Pengalam mengungkapkan perasaannya pada stimulus atau stimulus menyebabkan terjadinya perubahan pada keadaan perasaan pengalam. Struktur konseptual dari peristiwa emosi mencakup kedua arah relasi kausal tersebut, seperti diskemakan pada Gambar 2.
Pengalam
Stimulus
Gambar 2 Struktur Peristiwa Emosi Contoh di bawah menerangkan penandaan gramatikal terhadap struktur konseptual dari peristiwa emosi yang di dalamnya terlibat pengalam dan stimulus. Penandaan ini menyangkut contoh verba emosi BI, seperti pada (39) dan contoh verba emosi BMA, seperti pada (40). (39) a. Tentara ituPengalam marah pada supir taksiStimulus. b. TingkahnyaStimulus menjengkelkan sayaPengalam. (40) a. Kacewo kamiPengalam ka dioStimulus. kecewa 1Jm Prep 3Tg ‘Kami kecewa pada dia.’ b. DioStimulus nalar manyusahkan kaluargonyoPengalam. 3Tg ADV AKT.susah.KAUS keluarga.3Tg ‘Dia selalu menyusahkan keluarganya.’
Verba marah pada (39a) dan kacewo pada (40a) mendeskripsikan relasi teratas pada struktur peristiwa emosi, seperti pada Gambar 2. Kedua verba ini menyajikan pengalam pada slot subjek dan stimulus pada objek preposisional. Verba menjengkelkan pada (39b) dan manyusahkan pada (40b) mendeskripsikan relasi terbawah pada struktur, yaitu keadaan perasaan yang berubah. Pada relasi kausal ini, stimulus mengisi slot subjek dan pengalam mengisi slot objek. Simpulan Penelitian ini menyarankan sebuah parameter untuk mengidentifikasi verba emosi. Tanpa parameter yang tepat sulit dihindari masuknya fenomena-fenomena lain Parameter Verba Emosi Mulyadi
213
Vol.1, No.2 Agustus 2015
JURNAL TUTUR
ISSN 2442-3475
pada ranah verba emosi. Ada dua jenis parameter yang diusulkan, yaitu parameter formal dan parameter semantis, yang dieksplorasi dari properti umum verba emosi. Tes formal untuk verba emosi terdiri atas (1) transitif, (2) interogatif (Hatinya dalam keadaan apa?), (3) progresif, (4) adverbia dengan sengaja, dan (5) refleksif. Tes semantis untuk verba emosi didalilkan pada skenario ‘X merasakan sesuatu karena X memikirkan sesuatu’. Parameter verba emosi mengandung lima implikasi secara lintas bahasa. Pertama, butir-butir leksikal BI dan BMA tidak selalu berkorelasi satu lawan satu. Kedua, ekspresi kata-kata emosi ialah ekspresi harfiah. Ketiga, elemen pikir pada komponen ‘X memikirkan sesuatu’ mengacu pada kategori peristiwa yang terdiri atas sub-subperistiwa dari pelbagai tipe yang berbeda. Keempat, properti temporal pada verba emosi berorientasi pada masa kini, masa lalu, dan masa mendatang. Kelima, struktur peristiwa emosional yang lengkap melibatkan dua jenis partisipan, yaitu pengalam dan stimulus. DAFTAR PUSTAKA Blake, B. J. 1990. Relational Grammar. London: Routledge. Chafe, W. L. 1970. Meaning and the Structure of Language. Chicago: The University of Chicago Press. Frawley, W. 1992. Linguistic Semantics. New Jersey: Lawrence Erlbaum. Goddard, C. 1994. “Semantic Theory and Semantic Universal”. Dalam C. Goddard (ed.) 1996. CrossLinguistic Syntax from a Semantic Point of View (NSM Approach), 1—5. Canberra: Australian National University. Goddard, C. 1996a. “Building a Universal Semantic Metalanguage: the Semantic Theory of Anna Wierzbicka”. Dalam C. Goddard (ed.) 1996. Cross-Linguistic Syntax from a Semantic Point of View (NSM Approach), 24—37. Canberra: Australian National University. Goddard, C. 1996b. “Grammatical Categories and Semantic Primes”. Dalam C. Goddard (ed.) 1996. Cross-Linguistic Syntax from a Semantic Point of View (NSM Approach), 38—57. Canberra: Australian National University. Goddard, C. 1998. Semantic Analysis: A Practical Introduction. Oxford: Oxford University Press. Levin, B. 2007. ”The Lexical Semantics of Verbs III: Semantic Determinant of Argument Realization.” [dikutip 22 Oktober 2008] Tersedia dari: http://www.stanford.edu/~blevin/lsa07 semdet.pdf. Mulyadi. 2000. “Struktur Semantis Verba Bahasa Indonesia”. Linguistika, 3: 40—52. Mulyadi. 2001. “Konsep Emosi dalam Bahasa Melayu”. Dewan Bahasa, 1: 28—35. Mulyadi. 2009. “Kategori dan Peran Semantis Verba dalam Bahasa Indonesia.” Logat, 1: 56—65. Mulyadi. 2010. “Verba Emosi Statif dalam Bahasa Melayu Asahan.” Linguistika, 17, 168—176. Saeed, J. I. 1997. Semantics. Oxford: Blackwell. Van Valin, R. D. dan R. LaPolla. 1999. Syntax: Structure, Meaning, and Function. Cambridge: Cambridge University Press. Van Voorst, J. 2008. “The Aspectual Semantics of Psych-Verbs.” [dikutip 11 April 2009] Tersedia dari: http://ifla.uni-stutgart.de/institut/mitarbeiter/florian/kurs/psych-verbs/handout7.pdf. Wierzbicka, A. 1996a. “The Syntax of Universal Semantic Primitives. Dalam C. Goddard (ed.). 1996. CrossLinguistic Syntax from a Semantic Point of View (NSM Approach), 6—23. Canberra: Australian National University. Wierzbicka, A. 1996b. Semantics: Primes and Universals. Oxford: Oxford University Press. Wierzbicka, A. 1999. Emotions Across Languages and Cultures: Diversity and Universals. Cambridge: Cambridge University Press.
214
Parameter Verba Emosi Mulyadi