ANALISIS KEBIJAKAN PENGELOLAAN IPAL TERPADU CISIRUNG DI KABUPATEN BANDUNG
(Kajian Menuju lmplementasi BLUD /PAL Cisirung)
TESIS Karya tulis sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gclar Magister dari Institut Teknologi Bandung
oleh Linda l\larliana NIIVI : 24008021
Program Magister Studi Pcmbangunan Sckolah Arsitcktur, Pcrencamian dan Pcngcmbangan Kebijakan
INSTITUT TEKNOLOGI BANDUNG 2010
ANALISIS KEBIJAKAN PENGELOLAAN IPAL TERPADU CISIRUNG DIKABUPATENBANDUNG (Kajian Menuju Jmplementasi BLUD IPAL Cisirung)
oleh Linda Marliana NIM : 24008021
Program Magister Studi Pembangunan Sekolah Arsitektur, Perencanaan dan Pengembangan Kebijakan
Menyetujui
Tanggal
2010
Pembimbing
(Dr. Ir. Muhammad Tasrif, M.Eng)
ABSTRAK ANALISIS KEBIJAKAN PENGELOLAAN IPAL TERPADU CISIRUNG DIKABUPATENBANDUNG (Kajilln Menuju lmplementasi BLUD IPAL Cisirung) oleh Linda Marliana
24008021 Upaya pengendalian pencemaran air yang disebabkan oleh aktivitas industri dilakukan oleh pemerintah dengan berbagai cara di antaranya dengan membangun Instalasi Pengolahan Air Limbah (IPAL) Terpadu. Salah satu IPAL Terpadu yang dibangun oleh pemerintah adalah IPAL Terpadu Cisirung yang berlokasi di Kecamatan Dayeuhkolot Kabupaten Bandung. Bagi Pemerintah Kabupaten Bandung, IPAL Cisirung memiliki fungsi utama sebagai instrumen untuk pengendalian pencemaran air di wilayah Dayeuhkolot, namun sebagai salah satu aset daerah yang memiliki potensi keuntungan, IPAL Cisirung juga kemudian dipandang memiliki fungsi lain yaitu sebagai penghasil PAD bagi Kabupaten Bandung. Jika dilihat dari kondisi IPAL Cisirung saat ini, terdapat indikasi yang mengarah kepada kemungkinan IPAL Cisirung tidak akan dapat memenuhi kedua fungsi strategisnya bagi Pemerintah Kabupaten Bandung dengan maksimal dalam jangka panjang. Hal ini disebabkan oleh pola pengelolaan IPAL Cisirung yang kurang tepat selama ini. Penelitian ini dilakukan dengan tujuan untuk melacak strategi pengelolaan yang tepat bagi IPAL Cisirung melalui pengembangan suatu model simulasi pengelolaan IPAL Cisirung dengan menggunakan pendekatan model System Dynamics. Pengembangan model pengelolaan IPAL Cisirung dilakukan dengan mempertimbangkan penerapan kebijakan Pengelolaan Keuangan Badan Layanan Umum (PK-BLU) ke dalam struktur pengelolaan IPAL sebelumnya. Kemudian beberapa skenario kebijakan, yang dapat diterapkan dalam model tersebut, disimulasikan untuk mendapatkan pilihan kebijakan yang dapat menyelesaikan persoalan pengelolaan IPAL Cisirung. Hasil pengujian terhadap skenario kebijakan yang dikembangkan memperlihatkan bahwa penerapan kebijakan PK BLU pada IPAL dapat menyelesaikan persoalan yang diungkapkan dalam penelitian ini. Rekomendasi kebijakan yang disarankan untuk pengelolaan IPAL Cisirung adalah dengan pemanfaatan surplus IPAL untuk investasi IPAL sehingga kapasitas pengolahan IPAL dapat dipertahankan pada tingkat yang memadai. Kebijakan ini dalam jangka panjang dapat juga meningkatkan surplus IPAL dan pada akhimya dapat meningkatkan PAD bagi Pemerintah Kabupaten Bandung. Daftar kala /cunei: /PAL Terpadu, /PAL Cisirung, PK BLU, penge/olaan /PAL, System Dynamics
ABSTRACT 'POLICY ANALYSIS OF CISIRUNG INTEGRATED WASTEWATER TREATMENT INSTALLATIO N (IPAL) MANAGEMEN T IN BANDUNG DISTRICT (A Study on the implementation of BLUD IPAL Cisirung) by Linda Marliana
24008021 Various efforts to control water pollution caused by industrial activities has been carried out by the government in various ways. One of them is building an integrated waste\water treatment installation (IP AL). One of the integrated IP AL built by the government is the Cisirung Integrated IPAL located in District Dayeuhkolot Bandung Regency. For the Government of Bandung Regency, Cisirung IPAL has the main function as an instrument to control water pollution in the region of Dayeuhkolot. Moreover, as a regional asset that has potential benefits, Cisirung IPAL also later considered to have other functions as the producer of revenue for the District of Bandung. If viewed from Cisirung IPAL conditions at the moment, there are indications that lead to the possibility Cisirung IP AL will be unable to fulfill both their maximum strategic functions of the Bandung Regency in the long term. This is caused by inappropriate management patterns of Cisirung IPAL so far. This research was conducted to investigate the appropriate management strategy for Cisirung IPAL through the development of a simulation model of Cisirung IP AL management using an approach of the System Dynamics model. The development of management models of Cisirung IPAL was carried out by considering the implementation of Financial Management Public Services Agency (PK-BLU) policy into the previous IPAL management structure. Then some policy scenarios, which can be applied in the model were simulated to obtain a policy option that could solve the problem of Cisirung IP AL management. The simulation results toward the development of policy scenarios show that the implementation of policies on PK BLU of IPAL may solve the problems indicated in this research. The recommended policy for the management at Cisirung IP AL is the use of IP AL surplus for IPAL investment so that IPAL processing capacity can be maintained at an adequate level. This policy, in the long term, can also increase the IPAL surplus and ultimately can increase revenue for the Government of Bandung Regency. List of keywords: integrated IPAL, IPAL Cisirung, PK BLU, IPAL management, System Dynamics
ll
ABSTRACT 'POLICY ANALYSIS OF CISIRUNG INTEGRATED WASTEWATER TREATMENT INSTALLATION (IPAL) MANAGEMENT IN BANDUNG DISTRICT (A Study on the implementation of BLUD IPAL Cisirung) by Linda Marliana 24008021 Various efforts to control water pollution caused by industrial activities has been carried out by the government in various ways. One of them is building an integrated waste\water treatment installation (IP AL ). One of the integrated IP AL built by the government is the Cisirung Integrated IPAL located in District Dayeuhkolot Bandung Regency. For the Government of Bandung Regency, Cisirung IPAL has the main function as an instrument to control water pollution in the region of Dayeuhkolot. Moreover, as a regional asset that has potential benefits, Cisirung IPAL also later considered to have other functions as the producer of revenue for the District of Bandung. If viewed from Cisirung IPAL conditions at the moment, there are indications that lead to the possibility Cisirung IPAL will be unable to fulfill both their maximum strategic functions of the Bandung Regency in the long term. This is caused by inappropriate management patterns of Cisirung IP AL so far. This research was conducted to investigate the appropriate management strategy for Cisirung IPAL through the development of a simulation model of Cisirung IPAL management using an approach of the System Dynamics model. The development of management models of Cisirung IPAL was carried out by considering the implementation of Financial Management Public Services Agency (PK-BLU) policy into the previous IPAL management structure. Then some policy scenarios, which can be applied in the model were simulated to obtain a policy option that could solve the problem of Cisirung IP AL management. The simulation results toward the development of policy scenarios show that the implementation of policies on PK BLU of IPAL may solve the problems indicated in this research. The recommended policy for the management at Cisirung IPAL is the use of IP AL surplus for IPAL investment so that IPAL processing capacity can be maintained at an adequate level. This policy, in the long term, can also increase the IPAL surplus and ultimately can increase revenue for the Government ofBandung Regency. List of keywords: integrated IPAL, IPAL Cisirung, PK BLU, IPAL management, System Dynamics
11
PEDOMAN PENGGUNAAN TESIS
Tesis S2 yang tidak dipublikasikan terdaftar dan tersedia di Perpustakaan Institut Teknologi Bandung dan terbuka untuk umum dengan ketentuan bahwa hak cipta ada pada pengarang dengan mengikuti HAKI yang berlaku di Institut Teknologi Bandung. Referensi kepustakaan diperkenan dicatat, tetapi kutipan atau peringkasan hanya dapat dilakukan seijin pengarang dan harus disertai dengan kebiasaan ilmiah untuk menyertakan sumbemya.
Memperbanyak atau menerbitkan sebagian atau seluruh tesis haruslah dengan seijin Direktur Program Pascasarjana Institut Teknologi Bandung.
111
KATAPENGANTAR Alhamdulillahi rabbi/ 'alamin
Segala puji bagi Allah SWT, kepada-Nya lah penulis memanjatkan pujian dan pertolongan serta memohon ampunan. Dia lah Allah yang Maha Sempurna, yang awal dan yang tidak akan pernah berakhir. Hanya kepada Nya lah tempat kita bergantung. Shalawat serta salam semoga senantiasa tercurah pada Rasulullah SAW, utusan Allah yang terkasih. Banyak hal yang telah penulis dapatkan selama menjalani kuliah
di Studi
Pembangunan ITB, dan tesis ini merupakan salah satu upaya penulis untuk meramu semua yang telah penulis dapatkan dengan mencoba untuk sedikit memahami persoalan-persoalan yang sebelumnya dirasakan oleh penulis sangat berat untuk dipahami. Terimakasih dan penghargaan setinggi-tingginya penulis ucapkan kepada semua pihak yang telah sangat membantu penulis dalam menyelesaikan tesis tru, khususnya kepada: 1. Dua lelaki tercinta dalam hidup penulis, Asep Ridwan Subiana dan Azharuddiya Rasyad "ACAD", suami dan anak tercinta, atas segala cinta, perhatian dan dukungan yang diberikan tanpa pamrih, walaupun seringkali menjadi "nomor dua" ketika penulis menyelesaikan studinya. 2. Pak Muhammad Tasrif, selaku dosen pembimbing atas bimbingan, semangat, dorongan, serta inspirasi dan ide-ide cemerlang yang menjadi pemicu bagi penulis untuk menyelesaikan tesis ini dengan sebaik-baiknya. 3. Pak Sonny Yuliar dan Pak lndra Budiman Syamwil, atas kesediaannya menjadi dosen penguji dalam sidang penulis, serta kritikan dan masukanmasukannya sehingga tesis ini dapat menjadi lebih baik. 4. Dosen-dosen Studi Pembangunan ITB yang telah membuka cakrawala berpikir penulis sehingga penulis dapat melihat dunia menjadi lebih berwarna.
IV
5. Seluruh staf pegawai Program Studi Pembangunan ITB, mba Fitri, mba Riyani, Bu Nunuk, pak Gun dan mas Tar yang selalu siap memberikan pertolongan di kala penulis membutuhkannya, mas Ocha atas segala bantuannya dan kesediaannya untuk membuka "lapak" nya demi menyediakan tempat untuk kami berdiskusi. 6. Ibu Liah Mustarliah dan Bapak Dadang Supriman, orang tua penulis, Adit, Ryan dan Cici, adik-adik penulis, untuk segala semangat, bantuan, dan dukungan baik secara moril dan materil. 7. Pusbindiklatren Bappenas, Pemerintah Kabupaten Bandung, BPLH Kabupaten Bandung, BKPP Kabupaten Bandung, yang telah memberikan kesempatan kepada penulis untuk mewujudkan mimpinya untuk melanjutkan studi. 8. Teh Ovie, Teh Lia, Teh Yeti, Tria dan Teh Anne, "LADIES", untuk segala keceriaan, canda, tawa, tangis sedih dan bahagia yang membuat kehidupan penulis di SP menjadi jauh dari bayangan suram yang sebelumnya dibayangkan penulis, serta dukungan, semangat, dan bantuan yang diberikan kepada penulis selama di SP. 9. Chandra, Jimmy, Mas Surya, Mas Hari dan Adya, rekan-rekan penulis di kelompok 6 SP 2008, "Ours is Yours", untuk seluruh pengalaman, kerja keras, semangat dan kebersamaannya sehingga walaupun dengan jungkir balik akhirnya kita bisa menjadi salah satu kelompok terunik di SP. 10. Kelompok bimbingan system dynamics, dan seluruh keluarga besar angkatan SP 2008 "Development For All" yang membuat kuliah terasa sangat menyenangkan.
Dan semua pihak yang tidak bisa disebutkan satu per satu. Tidak ada hal bisa penulis lakukan untuk membalas semua kebaikan yang telah diberikan kecuali doa semoga Sang Maha Pencipta memberi balasan yang terbaik.
Tulisan ini adalah bagian dari proses belajar yang dilakukan oleh penulis dan seperti ungkapan yang menyebutkan bahwa all models are wrong, penulis menyadari bahwa dalam karya ini masih banyak yang belum dapat penulis lihat
v
dan ungkapkan, karena itu pasti akan terdapat banyak celah untuk diperbaiki dengan kritik dan saran dari pembaca semua. Namun, bagaimanapun penulis berharap karya kecil yang telah penulis buat ini dapat sedikit memberikan pencerahan dan membuka tabir "dunia nyata" yang selama ini kita lihat. Bandung, Maret 2010 Penulis
Vl
DAFTARISI ABSTRAK ABSTRACT PEDOMAN PENGGUNAAN TESIS KATAPENGANTAR DAFTARISI DAFTAR GAMBAR DAFTAR TABEL DAFTAR LAMPIRAN
11
lll lV Vl
X
xu Xlll
BABI
PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Penelitian 1.2 Rumusan Permasalahan Penelitian 1.3 Tujuan Penelitian 1.4 Kerangka Pemikiran Penelitian 1.5 Metodologi Penelitian 1.6 Sistematika Penulisan
1 1 6 8 8 11 12
BABII
TINJAUAN LITERATUR II. I Konsep Otonomi Daerah 112 Pelayanan Publik Defmisi Pelayanan Publik 11.2.1 Unsur Pelayanan Publik II.2.2 Konsepsi Pelayanan Publik II.2.3 Penyelenggaraan Pelayanan Publik II.2.4 II.2.4.1 Prinsip-Prinsip Penyelenggaraan Pelayanan Publik II.2.4.2 Standar Pelayanan Publik II. 3 Reinventing Government 11.4 Badan Layanan Umum (BLU) 11.5 Pengelolaan Lingkungan Hidup 11.6 Instalasi Pengolahan Air Limbah (IP AL) Terpadu
14 14 16 16 17 19 20 20 21 22 25 30 33
BABIII
METODOLOGI PENELITIAN Pemodelan System Dynamics III. I III.2 Langkah-langkah Pemodelan System Dynamics Mengartikulasikan masalah (problem articulatioll III.2.1 Merumuskan hipotesis dinamis {formulation of III.2.2 dynamic hypothesis) Perumusan model simulasi {formulation ofa III.2.3 simulation model) Pengujian (testing) III.2.4 Merancang dan mengevaluasi kebijakan (policy III.2.5 design and evaluation) 111.3 Penggunaan Metode Kualitatif dalam Pemodelan System Dynamics
35 35 37 37 38 39 39 45 46
Vll
BAB IV
INSTALASI PENGOLAHAN AIR LIMBAH (IPAL) CISIRUNG SERTA DINAMIKA PENGELOLAANNYA
48
IV.1
48 48 50 50 50 52
IV .2
IV .3
IV .4
BAB V
BAB VI
Pembangunan IPAL Cisirung IV .1.1 Latar Belakang Pembangunan IPAL Cisirung IV .1.2 Kronologis Pembangunan IPAL Cisirung Gambaran Umum IPAL Cisirung IV .2.1 Lokasi IPAL IV .2.2 Proses Pengolahan dan Instalasi Pengolahan Air Limbah IV .2.2.1 Proses Pengolahan Air Limbah IV.2.2.2 Instalasi Pengolahan Air Limbah Kronologis Pengelolaan IPAL Cisirung IV.3.1 Periode Tahun 1995-2000 IV.3.2 Periode Tahun 2000-2005 IV.3.3 Periode Tahun 2005- Sekarang Pengelolaan IPAL Cisirung oleh PT Damba Intra IV .4.1 Perkembangan Jumlah Industri Pengguna IPAL Cisirung IV .4.2 Perkembangan Debit Pengolahan Air Limbah IV.4.3 Perkembangan Tarif Jasa Pengolahan Air Limbah IV.4.4 Kualitas Air Buangan Hasil Pengolahan Air Limbah di IPAL Cisirung IV.4.5 Kendala-Kendala Pengelolaan IPAL Cisirung IV .4.6 Kondisi IPAL Cisirung Saat Ini
PEMODELAN PENGELOLAAN IPAL CISIRUNG V.1 Gambaran Umum Model V.1.1 Model Dasar Pengelolaan IPAL Cisirung V.l.2 Pengembangan Model Pengelolaan IPAL Cisirung V.l.2.1 AltematifPengembangan Model Pengelolaan IPAL Cisirung V.1.2.2 Pengembangan Model Pengelolaan IPAL Berdasarkan PP Nomor 23 Tahun 2005 (PKBLU) V.2 Pembatasan Model V.3 Pengujian Model SIMULASI DAN ANALISIS VI.I Simulasi Model Eksisting Pengelolaan IPAL Cisirung Dalam Jangka Panjang (Skenario Dasar) VI.1.1 Perilaku Penurunan Aset IPAL Vl.1.2 Perilaku Penurunan Kapasitas IPAL Vl.l.3 Perilaku Perkembangan Surplus IPAL Vl.2 Penentuan Skenario Kebijakan Pengelolaan IPAL Cisirung Vl.3 Simulasi Model Pengelolaan IPAL Cisirung (Skenario Kebijakan) VL3.1 Perilaku Model Dengan Skenario Kebijakan I dan2
52 55 58 58 59 61 63 63 64 65
65 66 69 71 71 71 74 74 77
84 85 90 90 91 92 93 95 99 99
Vlll
Perilaku Model Dengan Skenario Kebijakan 3 dan4 Analisis Kebijakan dan Pembahasan Analisis Kebijakan VI.4.I VI.4.I.I Dampak Implementasi Kebijakan Terhadap AsetiPAL VI.4.I.2 Dampak lmplementasi Kebijakan Terhadap Kapasitas Pengolahan IPAL VI.4.1.3 Dampak Implementasi Kebijakan Terhadap Surplus IP AL Pembahasan Vl.4.2 VI.4.2.I Kendala Implementasi Kebijakan PK BLU pada IPAL Cisirung Vl.4.2.2 lmplikasi Penerapan Kebijakan PK BLU pada Pengelolaan IPAL Cisirung Vl.3.2
VI.4
IOI I 02 I 02 I 02 I 05 107 IIO 110 114
BAB VII KESIMPULAN DAN SARAN VII.I Kesimpulan VII.2 Saran
117 117 118
OAFTAR PUSTAKA
120
IX
DAFTARGAMBAR
Gambar 1.1
Denah IP AL Cisirung
3
Gambar 1.2
Banjir tahunan yang merendam IP AL Cisirung
5
Gambarl.3
Unit-unit IPAL yang mengalami kerusakan
5
Gambarl.4
Grafik jumlah industri yang mengolah air limbahnya di IP AL
6
Cisirung Gambar 1.5
Kerangka Pemikiran Penelitian
10
Gambar 1.6
Alur kerja metodologi studi
12
Gambar 111.1
Prosedur pemodelan system dynamics menurut Sterman
40
Gambar 111.2
Prosedur pemodelan system dynamics menurut Saeed
46
GambariV.l
Zona-zona industri yang berada di DAS Citarum Hulu
49
GambariV.2
Lokasi IP AL Cisirung di Wilayah Industri Dayeuhkolot
51
Gambar IV.3
Diagram Alir IP AL Cisirung
52
Gambar IV.4
Proses Pengolahan Pendahuluan (Bak Ekualisasi)
53
Gambar IV.S
Proses Pengolahan Fisika Kimia (Koagulasi dan Flokulasi)
53
Gambar IV.6
Proses Pengolahan Biologi (Aerasi dan Pengendapan)
54
GambariV.7
Proses Pengolahan Lumpur (Pengentalan dan Pengeringan)
54
Gambar IV.8
Tata Letak Bangunan Instalasi Pengolahan
55
GambariV.9
Kondisi IPAL Cisirung yang terendam banjir
67
Gambar IV .1 0
Beberapa unit IPAL yang mengalami kerusakan
69
GambarV.l
Struktur Model Pengelolaan IPAL Cisirung Eksisting
72
GambarV.2
Diagram Alir Model Pengelolaan IP AL Cisirung Eksisting
73
GambarV.3
Stuktur Model Pengelolaan IP AL Hasil Pengembangan
78
GambarV.4
Diagram Alir Sub Model Pengelolaan Keuangan IP AL
82
GambarV.5
Diagram Alir Sub Model Aset IP AL
82
GambarV.6
Diagram Alir Sub Model Pengelolaan Keuangan Daerah
83
GambarV.7
Pola Referensi Perilaku Model Mental Pengelolaan IP AL
86
Cisirung GambarV.8
Perilaku Model Pengelolaan IPAL Cisirung Eksisting
87
GambarV.9
Uji Kesesuaian Perilaku Pengeluaran Daerah
87
GambarVI.l
Perilaku Penurunan Aset IPAL dalam Jangka Panjang
91
GambarVI.2
Perilaku Penurunan Kapasitas Pengolahan IPAL
92
dalam Jangka Panjang GambarVI.3
Perilaku Penurunan Kapasitas Pengolahan IP AL dan Penurunan Volume Limbah yang Dapat Diolah
X
GambarVI.4
Perilaku Perkembangan Surplus IPAL dalam Jangka Panjang
93
Gambar VI.5
Pengembangan Kebijakan Pengelolaan IPAL Cisirung
96
Gambar VI.6
Pengaruh Implementasi Skenario kebijakan 1 dan 2
100
Gambar VI.7
Pengaruh Implementasi Skenario kebijakan 3 dan 4 Pengaruh Implementasi Skenario kebijakan 1 dan 3 terhadap
102
GambarVI.8
103
perilaku Aset IPAL GambarVI.9
Pengaruh Implementasi Skenario kebijakan 2 dan 4 terhadap
104
perilaku Aset IPAL Gambar VI. I 0
Pengaruh Implementasi Skenario kebijakan 1 dan 3 terhadap
105
perilaku Kapasitas Pengolahan IP AL Gambar VI.11
Pengaruh Implementasi Skenario kebijakan 2 dan 4 terhadap
106
perilaku Kapasitas Pengolahan IP AL Gambar VI.12
Pengaruh Implementasi Skenario kebijakan 1 dan 3 terhadap perilaku Surplus IPAL dan Alokasi Surplus IPAL untuk PAD
108
Gambar VI.13
Pengaruh Implementasi Skenario kebijakan 2 dan 4 terhadap perilaku Surplus IPAL dan Alokasi Surplus IPAL untuk PAD
109
Gambar VI.14
Pengaruh Kualitas SDM Pengelola IP AL Terhadap
113
Pengelolaan IP AL Gambar VI.15
Kendala Internal Dalam Struktur Pengelolaan Keuangan
115
Daerah Yang Mempengaruhi Pengelolaan IPAL Cisirung
Xl
DAFTAR TABEL
Tabel 111.1
Pengujian-pengujian model sistem dinamik
41
Tabel IV.1
Bangunan lnstalasi Pengolahan yang ada di IP AL Cisirung
55
Tabel IV.2
Peralatan Elektromekanik yang ada di IPAL Cisirung
56
Tabel IV.3
Jumlah Industri yang Mengolah Air Limbahnya di IPAL Cisirung
63
Tabel IV.4
Daftar Industri Yang Mengolah Air Limbahnya di IPAL Cisirung
64
Tabel IV.5
Perkembangan Tarif Jasa Pengolahan Air Limbah
65
Tabel IV.6
Hasil Analisa Kualitas Air Limbah (Outlet) IP AL Cisirung
66
Tahun2008 Tabel V.1 Tabel V.2
Perbandingan Beberapa Bentuk Lembaga Pengelola IPAL Cisirung Nilai variabel dan parameter model pengelolaan IP AL
74 83
Cisirung Tabel V.3
Variabel-variabel model pengelolaan IPAL Cisirung
85
Tabel Vl.1
Kumpulan Skenario Kebijakan Pengelolaan IPAL Cisirung
98
Xll
DAFTAR LAMPIRAN
LAMPIRAN I
DIAGRAM ALIR SYSTEM DYNAMICS DENGAN
123
MENGGUNAKAN POWERSIM LAMPIRAN II
PERSAMAAN DIAGRAM ALIR MODEL
126
Xlll
BABI PENDAHULUAN
1.1
Latar Belakang Penelitian
Sektor industri di Kabupaten Bandung merupakan salah satu sektor yang berkembang cukup pesat dan memberikan kontribusi yang cukup besar bagi pembangunan wilayah Kabupaten Bandung. Pertumbuhan sektor ini di Kabupaten Bandung memberikan dampak positif bagi perkembangan potensi daerah, penyerapan tenaga kerja, bahkan dapat meningkatkan pendapatan asli daerah (PAD). Namun di lain pibak, pertumbuhan sektor ini juga memunculkan berbagai dampak negatif antara lain berupa pencemaran lingkungan yang disebabkan oleb timbulnya limbah sisa proses produksi, baik berbentuk cair, padat, maupun gas. Selain limbah cair yang berasal dari kegiatan domestik, limbab cair yang berasal dari kegiatan industri merupakan salah satu penyumbang terbesar pencemaran air di sungai
Citarum. Kegiatan industri di Kabupaten Bandung tersebar dalam beberapa zona (cluster) industri di antaranya yaitu zona lndustri Majalaya, Dayeuhkolot, dan Banjaran. Salah satu jenis industri yang berkembang cukup pesat di Kabupaten Bandung adalah industri basah atau industri yang menghasilkan limbah cair sebagai basil samping proses produksinya seperti industri tekstil. Berdasark.an basil inventarisasi industri pada tahun 2008, di Kabupaten Bandung terdapat 143 industri yang berpotensi menghasilkan limbah cair sebagai basil samping proses produksinya dan telah memiliki Instalasi Pengo laban Air Limbah (IP AL) 1, dan 123 industri di antaranya telah memiliki Ijin Pembuangan Air Limbah. Tiga puluh tujuh (37) dari 143 industri yang ada di Kabupaten Bandung atau sekitar 26 % nya berada di 1
lnstalasi Pengolahan Air Limbah (IPAL) didefmisikan sebagai sekelompok unit pengolahan yang berfungsi untuk mengurangi atau menghilangkan kelompok pencemar dalam air limbah hingga mencapai konsentrasi tertentu yang setidaknya memenuhi baku mutu yang disyaratkan. Umumnya unit IPAL terdiri dari unit pengolahan fisika (unit ekualisasi dan unit sedimentasi), kimia (unit koagulasi dan flokulasi), dan biologis (unit pengolahan aerobik dan anaerobik)
1
wilayah Bandung Selatan atau di zona Dayeuhkolot, dan kegiatan industri basah di wilayah ini menyebabkan pencemaran yang cukup mengkhawatirkan terhadap air sungai Citarum. Data tahun 1996 menyebutkan bahwa beban pencemaran yang terjadi akibat kegiatan industri di wilayah Bandung Selatan sebesar 7,5 ton per hari atau sekitar 12% dari beban total industi Citarum Hulu2 • Hal ini terjadi karena pada saat itu air limbah sisa produksi pada umumnya dialirkan langsung tanpa melalui proses pengolahan. Pemerintah telah melakukan upaya pengendalian pencemaran air di sungai Citarum akibat kegiatan industri, salah satunya dengan mewajibkan bagi seluruh kegiatan yang menghasilkan limbah cair untuk mengolah limbah cair yang dihasilkannya sebelum dibuang ke lingkungan termasuk bagi kegiatan industri 3, sehingga secara tidak langsung hal ini berarti bahwa setiap kegiatan yang menghasilkan limbah cair wajib memiliki IP AL. Namun, pembangunan IP AL pada umumnya menelan biaya investasi yang sangat tinggi sehingga tidak seluruh industri mampu membangun IPAL . Hal ini mengakibatkan banyak industri yang mengalirkan langsung limbahnya ke sungai Citarum tanpa melalui proses pengolahan seperti yang terjadi di zona industri Dayeuhkolot. Untuk mengantisipasi hal tersebut maka salah satu kebijakan yang dilakukan oleh pemerintah pada saat itu adalah dengan membangun IPAL Terpadu yang melayani pengolahan air limbah dari beberapa industri dalam satu zona (Cluster). Salah satu IPAL Terpadu yang ada
ru Kabupaten Bandung adalah IPAL Cisirung
yang berada di Kecamatan Dayeuhkolot4 • Gambar denah IPAL Cisirung dapat
2
Laporan Tim Kajian Kelayakan Usaha Instalasi Pengolahan Air Limbah Terpadu Bandung Selatan, 2006 3 Hal ini tercantum dalam Peraturan Pemerintah Nomor 82 Tahun 2001 pada Pasal37 yang berbunyi Setiap penanggung jawab usaha dan atau kegiatan yang membuang air limbah Ice air atau sumber air wajib mencegah dan menanggulangi terjadinya pencemaran air. Dan pasal 38 yang berbunyi Setiap penanggungjawab usaha dan atau kegiatan yang membuang air limbah Ice air wajib mentaati persyaratan yang ditetapkan dalam izin. Dalam persyaratan izin pembuangan air limbah sebagimana dimaksud dalam ayat (1) wajib dicantumkan: a. kewajiban untuk mengolah limbah; 4
IPAL Cisirung berlokasi di Jalan Cisirung Palasari Kelurahan Pasawahan Kecamatan Dayeuhkolot Kabupaten Bandung
2
dilihat pada Gambar 1.1. IPAL ini melayani pengolahan air limbah yang berasal dari 32 industri yang berada di wilayah zona industri Dayeuhkolot. Pembangunan IPAL ini dirintis pembangunannya sejak tahun 1992 dengan menghabiskan dana sekitar Rp 18,45 milyar yang bersumber dari dana APBN dan pinjaman luar negeri dan pembangunan IPAL ini selesai pada sekitar tahun 1995. Pembangunan
IPAL
tru
dilakukan
oleh
Departemen
Permukiman
dan
Pengembangan Wilayah (Departemen PU - sekarang).
SAWIIA.' ITM~ ...1'1~ \Jqll"IWt -c SlKoAI • I PA L CNI(I.JM , IMJU>m
Gambar 1.1. Denah IPAL C isirung
Selama peri ode tahun 1995 - 2000 IPAL Cisirung tidak dioperasikan dikarenakan tidak ada pihak yang bersedia mengelola dengan alasan biaya operasional. Kemudian sejalan dengan pelaksanaan otonomi daerah, pada tahun 2000 pemerintah pusat dalam hal ini Departemen Permukiman dan Pengembangan Wilayah kemudian menyerahkan wewenang pengelolaan IPAL Cisirung kepada Pemerintah Daerah Kabupaten Bandung5 • Hal ini tidak dapat dihindari karena IPAL Cisirung memang s Tercantum dalam Surat Badan Penelitian dan Pengembangan, Departemen KIMPRASWIL Nomor: KL.01.03-KU07 tanggal25 Januari 2000 perihal Penyerahan Pengoperasian IPAL Cisirung Bandung Selatan
3
berada di wilayah Kabupaten Bandung sehingga wewenang pengelolaannya secara otomatis ada pada Pemerintah Kabupaten Bandung. Setelah diserahterimakan kepada Pemerintah Kabupaten Bandung, Bupati Bandung pada saat itu kemudian menugaskan PDAM Kabupaten Bandung6 untuk melaksanakan pengelolaan IP AL Cisirung dan pada teknis pelaksanaannya, manajemen dan pengelolaan teknis IPAL Cisirung diserahkan kembali oleh PDAM pada pihak ketiga (swasta) yaitu PT Damba Intra (PT Dl). PDAM Kabupaten Bandung melalui pihak ketiga yaitu PT DI telah melaksanakan pengelolaan IPAL Cisirung selama periode tahun 2000-2005 7• Namun pada tahun 2005 sesuai dengan Peraturan Daerah Nomor 7 Tahun 2001 tentang Kewenangan Pemerintah Daerah, PDAM Kabupaten Bandung kemudian menyerahkan kembali wewenang pengelolaan IPAL Cisirung kepada Pemerintah Kabupaten Bandung, dan hingga saat ini Pemerintah Kabupaten Bandung melakukan pengelolaan IP AL dengan melanjutkan keijasama dengan pihak ketiga yaitu PT DI.
Kondisi Pengelolaan /PAL Cisirung Tahun 2000- sekarang Semenjak awal pengoperasiannya tahun 2000, PT DI dalam mengoperasikan IP AL Cisirung menghadapi berbagai kendala yang cukup berat di antaranya banjir tahunan yang pada saat itu kerap melanda wilayah Dayeuhkolot dan merendam IPAL seperti yang terlihat pada Gambar 1.2. Banjir yang melanda wilayah Dayeuhkolot setiap tahunnya umumnya merendam IP AL selama 1 - 14 hari dengan ketinggian maksimal 2,8 meter dari lantai dasar bangunan utama IP AL 8, dan hal ini menyebabkan IPAL tidak berfungsi dan banyak unit IP AL yang rusak dan tidak dapat digunakan kembali.
6
Sesuai dengan Surat Bupati Bandung Nomor: 658.12/423AIHUK Tanggal 21 Pebruari 2000
7
Sesuai dengan Kesepakatan Bersama (MoU ) antara PDAM Kabupaten Bandung dengan PT Damba Intra dengan Nomor: C 19/MoU-AL-PDAM/2000 dan nomor 0 I 01111-2000/DI-PDAM tanggal 13 Maret2000
8
Berdasarkan pengalaman banjir tahunan terparah yang terjadi pada tahun 2005
4
Gambar 1.2. Banjir tahunan yang merendam IPAL Cisirung
Kendala banjir yang kerap melanda wilayah Dayeuhkolot tersebut pada akhimya mengakibatkan banyaknya unit-unit IPAL yang mengalami kerusakan dan tidak dapat digunakan kembali seperti yang terlihat pada Gambar 1.3.
Gambar 1.3. Unit-unit IPAL yang mengaJami kerusakan
Kerusakan-kerusakan yang terjadi terhadap unit IPAL akibat banjir juga diperparah oleh pihak PT DI sebagai pengelola IPAL selama ini yang tidak melakukan investasi baru untuk mengganti unit-unit yang rusak ataupun mengganti peralatan yang telah habis umur pemakaiannya. Hal ini dikarenakan alasan pendapatan pengelola yang cukup minim karena rendahnya debit air limbah yang diolah selama ini ditambah tarif pengolahan yang juga relatif rendah. Dari data yang diungkapkan oleh PT DI terlihat bahwa jumlah industri yang mengolah limbahnya di IPAL Cisirung selama tahun 2000-2008 berfluktuasi dan cenderung mengalami penurunan yang berakibat terhadap berfluktuasinya debit pengolahan air limbah. Fluktuasi jumlah industri yang mengolah air limbahnya di IPAL Cisirung dapat dilihat pada Gambar 1.4.
5
2000
2003
2007
2008
Tahun
Gambar 1.4. Graftkjumlah industri yang mengolah air limbahnya di IPAL Cisirung
Hal ini terjadi karena selama talmn 2000 - 2008 diakibatkan banyak hal di antaranya karena kondisi perekonomian yang kurang mendukung sehingga banyak industri yang bankrut termasuk industri di wilayah Dayeuhkolot. Padahal, pada awal pembangunannya IPAL Cisirung direncanakan dapat mengolah air limbah sebanyak 175 lt/detik yang berasal dari sekitar 32 industri yang berada di wilayah Dayeuhkolot. Hal ini berarti bahwa selama tahun 2000 - 2008, IPAL Cisirung hanya dioperasikan maksimal 50% dari kapasitas terpasangnya. PT DI dalam pengoperasian IPAL selama ini hanya melakukan perbaikan-perbaikan dan pemeliharaan terhadap unit-unit utama IPAL yang beroperasi seperti pompa. Hal ini mengakibatkan secara total terjadi penurunan nilai aset IPAL dari tahun ke tahun yang kemudian dapat menurunkan kapasitas pengolahan IPAL dan pada akhimya dapat mengganggu pengelolaan IPAL secara keseluruhan. Dan jika hal ini terus dibiarkan maka IPAL Cisirung dalam masa mendatang tidak akan dapat memenuhi fungsi awalnya yaitu sebagai pengendali pencemaran air di wilayah Dayeuhkolot.
1.2
Rumusan Permasalahan Penelitian
Bagi Pemerintah Kabupaten Bandung IPAL Cisirung berperan utama sebagai salah satu instrumen pengendalian pencemaran air di zona industri Dayeuhkolot. Namun dalam perkembangan wacana yang terjadi sejak diserahkannya kembali wewenang pengelolaan kepada Pemerintah Kabupaten Bandung, IP AL Cisirung juga kemudian
6
dianggap sebagai salah satu aset daerah yang berpotensi menghasilkan keWltungan sehingga IPAL CisifWlg juga kemudian memiliki peran sebagai penghasil Pendapatan Asli Daerah (PAD) bagi Pemerintah Kabupaten BandWlg9 • Selama ini, IPAL CisifWlg melalui PT DI memiliki kewajiban Wltuk membayar sejumlah uang sebagai biaya jasa sewa IPAL ke Kas Daerah, namWl besaran biaya jasa sewa ini dihitung tetap setiap bulannya dan tidak pernah mengalami peningkatan semenjak tahWl 2000 hingga sekarang. Jika dilihat dari kondisi pengelolaan terhadap IP AL CisifWlg yang terjadi selama ini, IPAL CisifWlg dinilai belurn dapat memenuhi kedua peran strategisnya bagi Pemerintah Kabupaten Bandung dengan maksimal. Untuk itu diperlukan strategi pengelolaan IP AL CisifWlg yang tepat agar IP AL CisifWlg dapat berperan baik sebagai instrumen pengendalian pencemaran air di zona industri Dayeuhkolot dan instrumen penghasil Pendapatan Asli Daerah (PAD) bagi Pemerintah Kabupaten BandWlg. Strategi tersebut mencakup langkah yang perlu diambil gWla memperbaiki berbagai kekurangan yang terjadi dalam pengelolaan IP AL CisifWlg selama ini sehingga dapat dipilih kebijakan yang lebih tepat Wltuk memperbaikinya dan mencapai target yang diinginkan. Mengacu
pada
rumusan
permasalahan,
keterkaitan
berbagai
WlSur
serta
kompleksitas yang terjadi pada permasalahan di atas, maka penelitian ini dirancang Wltuk: 1. Melacak struktur pengelolaan IPAL CisirWlg yang terjadi selama ini, termasuk mengidentifikasi Wlsur-Wlsur yang ada serta memahami keterkaitan antar WlsurWlsur tersebut.
9
Hal ini banyak diungkapkan oleh pihak Pemerintah Kabupaten Bandung dalam berbagai laporan, telaahan maupun kajian yang berhubungan dengan IPAL Cisirung salah satunya dalam Surat Kepala Badan Pengendalian Lingkungan Hidup kepada Bupati Bandung nomor 666170/ BPLH tanggal 12 Januari 2009 perihal Laporan Kerjasama Pengelolaan IPAL Terpadu Cisirung
7
2. Membangun
struktur
pengelolaan
IPAL
Cisirung
yang
bam
dengan
menambahkan unsur-unsur bam dan pola keterkaitan bam antar unsur tersebut sebagai implikasi dari penerapan kebijakan pengelolaan IPAL Cisirung yang bam. 3. Memahami implikasi yang timbul dari penerapan kebijakan pengelolaan IPAL Cisirung yang bam terhadap pemenuhan peran IPAL Cisirung sebagai pengendali pencemaran air di zona industri Dayeuhkolot dan penghasil PAD bagi Pemerintah Kabupaten Bandung.
1.3
Tujuan Penelitian
Mengacu pada uraian mengenai latar belakang dan rumusan masalah pada subbab sebelumnya, tujuan yang ingin dicapai melalui penelitian ini yaitu mengetahui strategi pengelolaan yang tepat bagi IPAL Cisirung dengan membangun struktur dan model pengelolaan IPAL Cisirung dengan menggunakan pendekatan model System Dynamics. Diharapkan dengan pemodelan ini dihasilkan pilihan skenario - skenario
kebijakan yang dapat digunakan sebagai pertimbangan dalam pengambilan keputusan bagi Pemerintah Kabupaten Bandung dalam pengelolaan IPAL Cisirung sehingga IPAL Cisirung dapat berperan baik sebagai instrumen pengendalian pencemaran air dan penghasil PAD bagi Pemerintah Kabupaten Bandung.
1.4
Kerangka Pemikiran Penelitian
Pengembangan kerangka pemikiran yang dilakukan dalam penelitian ini dimulai dari dua isu besar dalam pembangunan yang relevan dalam penelitian ini yaitu
pengelolaan lingkungan hidup dan otonomi daerah. Kerangka pemikiran ini diawali dengan isu pengelolaan lingkungan hidup yang merupakan salah satu bagian penting dari proses pembangunan berkelanjutan yang diharapkan terjadi di Kabupaten
8
Bandung 10• Salah satu upaya pengelolaan lingkungan hidup yang dilakukan di Kabupaten Bandung adalah pengendalian pencemaran air salah satu bagiannya adalah pengendalian pencemaran air yang te:tjadi akibat aktivitas industri. Dan dalam hal ini, upaya pengelolaan IPAL Cisirung yang menjadi kajian dalam penelitian ini merupakan salah satu bagian dari kegiatan pengendalian pencemaran air yang dilakukan di wilayah Kabupaten Bandung. Isu pembangunan lain yang menjadi dasar pengembangan kerangka pemikiran dalam penelitian ini adalah isu otonomi daerah. lsu otonomi daerah ini yang kemudian memunculkan wacana bagi pemerintah daerah untuk menggali sumbersumber pendapatan daerah yang dapat meningkatkan penerimaan daerah, karena dengan otonomi daerah te:tjadi pelimpahan wewenang dari pemerintah pusat kepada pemerintah daerah untuk mengelola keuangan daerah, yang salah satunya meliputi pengelolaan pada sumber-sumber penerimaan. Sejalan dengan hal tersebut, Pemerintah Kabupaten Bandung dalam Kebijakan Umum Anggaran (KUA) pada setiap tahun anggaran selalu menekankan pada peningkatan pendapatan asli daerah untuk membiayai pos-pos pengeluaran pembangunan. Karenanya Pemerintah Kabupaten Bandung selalu berusaha menggali sumber-sumber pendapatan asli daerah, dan dalam hal ini Pemerintah Kabupaten Bandung mengkategorikan IPAL Cisirung sebagai salah satu aset daerah yang dapat dijadikan sebagai sumber pendapatan daerah (PAD). Dalam kajian penelitian pengelolaan IPAL Cisirung di Kabupaten Bandung ini, kedua isu besar penelitian ini kemudian dikembangkan sehingga dapat saling terkait dan dapat saling mempengaruhi satu sama lain serta menjadi kerangka pemikiran yang melandasi seluruh pelaksanaan penelitian tru. Kerangka pemikiran penelitian ini dapat dilihat dalam Gambar 1.5.
Hal ini tertuang dalam Visi, Misi, dan Program Kepala Daerah 2005-20 l 0, dimana Visi Kabupaten Bandung adalah "Terwujudnya Masyarakat Kabupaten Bandung yang Repeh Rapih Kertaraharja mela/ui Akse/erasi Pembangunan Partisipatif yang Berbasis Religius, Ku/tural dan Berwawasan Lingkungan dengan Berorientasi pada Peningkatan Kinerja Pembangunan Desa" serta tertuang dalam salah satu Misi Kabupaten Bandung yaitu memelihara keseimbangan lingkungan dan pembangunan berke/anjutan 10
9
Pengelolaan Lingkungan Hidup
Otonomi Daerah
!
~
Desentralisasi Fiskal
Pengendalian Pencemaran Air
+
Kemampuan Keuangan Daerah
r+
~ Pengelolaan Keuangan Daerah
I
Pengelolaan Penerimaan Daerah
I+-
Pendapatan Asli Daerah (PAD)
r
I""'"
r=-+l
Laba Perusahaan
l
r
Pengolahan Air Limbah Industri
~
~
L.._.
'
4
Pengelolaan Pengeluaran Daerah
f--
Belanja Perusahaan
t
+-1--
.. Peningkatan Penerimaan Daerah
H
Investasi Daerah
I
L....-
J
Pendapatan Perusahaan
Pengelolaan IPAL Terpadu Cisirung
Pengelolaan Keuangan IPAL Temadu Cisirune:
~
Gambar 1.5. Kerangka Pemikiran Penelitian
10
1.5
Metodologi Penelitian
Metodologi yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode kualitatif dengan studi kasus dan system dynamics. Pada tahap awal, penelitian ini dilaksanakan dengan studi kasus terhadap pengelolaan IPAL Cisirung. Pemilihan metode studi kasus ini dimaksudkan untuk mempelajari secara intensif mengenai latar belakang masalah keadaan dan posisi suatu peristiwa yang sedang berlangsung saat ini, serta interaksi lingkungan unit sosial tertentu yang bersifat apa adanya (given). Dengan awal penelitian dengan studi kasus, maka akan didapat pemahaman mengenai kondisi eksisting struktur pengelolaan IP AL Cisirung serta memberikan gambaran luas serta mendalam mengenai hal tersebut termasuk penjelasan mengenai unsurunsur serta pola keterkaitan antar unsur-unsur terse but. Selanjutnya penelitian ini ditujukan kepada pembuatan model pengelolaan IPAL Cisirung dengan menggunakan metode system dynamics. Dalam hal ini penggunaan metode ini didasarkan pada kemampuan metode ini untuk mengenali unsur-unsur dalam suatu sistem serta pola keterkaitan antar unsur tersebut. Setelah struktur tersebut teridentiflkasi maka selanjutnya diformulasikan sebuah model komputer yang dapat merepresentasikan struktur tersebut lalu dilakukan simulasi komputer terhadap model tersebut untuk mempelajari perilaku dinamis model tersebut. Hasil simulasi ini akan digunakan untuk membandingkan struktur serta perilaku model dengan struktur dan perilaku sistem sebenarnya. Jika model yang didapat telah dianggap dapat mewakili struktur yang tetjadi pada dunia nyatanya, maka selanjutnya model tersebut akan dapat digunakan untuk menentukan strategi pengelolaan yang tepat bagi IP AL Cisirung yang diimplementasikan ke dalam model dengan menambahkan unsur-unsur dan pola keterkaitan antar unsur yang baru ke dalam model sebelumnya dan kemudian mensimulasikan kembali model tersebut dan dari hasil simulasi dapat dipahami implikasi kebijakan yang telah diambil. Secara umum, alur ketja metodologi dalam studi ini dapat dilihat pada Gambar I.6.
II
Perumusan Masalah
Tinjauan Literatur
-
Reforence Mode dan data terlcait dengan IPAL Cisirung dan Pengelolaan Keuangan Daerah
il
il
Konseptualisasi Sistem
Penggambaran Model
-
r---+
i
i Menyusun Model Menentukan dan variabel keterlcaitannya Causal Membuat Loop
Mengubah causal loop menjadi diagram alir
system dynamics
-
Mengubah diagram alir persarnaan menjadi model dalam bahasa powersim
Rekomendasi
-
alternatif Memberikan kebijakan yang dapat perilaku menghasilkan yang dan diinginkan memberikan mampu solusi yang paling efektif atas efisien dan permasalahan yang terjadi
Uji PeriJaku Model
____.
kesahihan - Uji dengan model perilaku historis Evaluasi struktur pengelolaan !PAL Cisirung
-
Simulasi & Analisis Kebijakan
14~f------'
- Mensimulasikan perilaku
-
!PAL pengelolaan Cisirung dengan beberapa skenario kebijakan anal isis Melakukan terhadap hasil simulasi
Gambar 1.6. Alur ketja metodologi studi 11
1.6
Sistematika Pembahasan
Pembahasan yang dilakukan dalam studi ini akan terbagi kedalam enam bab yang terdiri atas : Bah I yang membahas latar belakang penelitian ini. Pembahasan dalam bah 1m
akan dilanjutkan dengan perumusan inti permasalahan yang akan menjadi pokok kajian, tujuan dan metodologi penelitian, dan diakhiri dengan pemaparan mengenai sistematika pembahasan dari seluruh kajian. 11
f--
Sumber ; Radianti, 2000 dan dilakukan modifikasi oleh penulis
12
Bab II memaparkan uraian mengenai latar belakang teoritis yang terkait dengan tujuan dari studi ini dan dirujuk penulis dalam penelitian ini. Tinjauan literatur yang diuraikan dalam bab ini dirangkum dan dipilih sesuai dengan kebutuhan dan batas penelitian yang dilakukan.
Bab III menguraikan metodologi yang akan digunakan di dalam penelitian ini yaitu
system dynamics. Metoda ini akan menjadi acuan dalam proses penelitian sampai dengan tahap operasinalisasi model dan rekomendasi kebijakan.
Bab IV memaparkan gambaran umum objek penelitian yaitu IP AL Cisirung meliputi sejarah pembangunan dan perkembangan pengelolaannya hingga sekarang. Selain itu juga akan dipaparkan hal-hal lain yang berkaitan dan mempengaruhi pengelolaan IP AL Cisirung serta pengaruh pengelolaan IP AL Cisirung secara umum bagi Pemerintah Kabupaten Bandung. Berangkat dari bab-bab sebelurnnya, pada Bab V dilakukan proses penyusunan struktur model eksisting serta pengujian validitasnya. Sedangkan dalam Bab VI disajikan modifikasi dari model
sebelurnnya sebagai implikasi dari penerapan
kebijakan pengelolaan IPAL Cisirung barn, serta hasil simulasi dan analisis penerapan kebijakan tersebut. Sebagai penutup tulisan, pada Bab VII dituangkan kesimpulan hasil penelitian serta saran tindak lanjut yang dapat dilakukan untuk penelitian selanjutnya.
13
BABII TINJAUAN LITERATUR
11.1
Konsep Otonomi Daerah
Otonomi daerah adalah suatu konsep pemberdayaan pemerintah daerah. Otonomi diberikan kepada daerah kabupaten/kota dengan memberikan kewenangan yang luas, nyata dan bertanggung jawab serta proporsional. Otonomi daerah pada hakikatnya merupakan upaya pemerintah untuk meningkatkan pelayanan publik
(public service) dan memajukan perekonomian daerah. Pada dasamya terkandung tiga misi utama pelaksanaan otonomi daerah dan desentralisasi fiskal, yaitu : (I) meningkatkan kualitas dan kuantitas pelayanan publik dan kesejahteraan masyarakat, (2) menciptakan efisiensi dan efektifitas pengelolaan sumber daya daerah, dan (3) memberdayakan dan menciptakan ruang bagi masyarakat (publik) untuk berpartisipasi dalam proses pembangunan. Kebijakan pemberian otonomi daerah merupakan langkah strategis dalam dua hal. Pertama, otonomi daerah dan desentralisasi merupakan jawaban atas permasalahan lokal bangsa Indonesia yang berupa ancaman disintegrasi bangsa, kemiskinan, ketidakmerataan pembangunan, rendahnya kualitas hidup masyarakat, dan masalah sumber daya manusia. Kedua, otonomi daerah dan desentralisasi merupakan langkah strategis bangsa Indonesia untuk menyongsong era globalisasi dengan memperkuat basis perekonomian daerah. Otonomi Daerah dan Pelayanan Publik Kebijakan otonomi/desentralisasi pada hakekatnya memiliki tujuan utama, yaitu tujuan politik dan tujuan administratif. Tujuan politik, diarahkan untuk memberi ruang gerak masyarakat dalam tataran pengembangan partisipasi, akuntabilitas, transparansi dan demokrasi. Di sisi lain dari pendekatan aspek pemdemokrasian daerah, memposisikan Pemerintahan Daerah sebagai medium pendidikan politik bagi masyarakat di tingkat lokal. Diharapkan pada saatnya. secara agregat daerah memberikan kontribusi signifikan tehadap perkembangan pendidikan politik secara nasional,
dan
terwujudnya
civil
society.
Sedangkan tujuan
administratif,
14
memposisikan Pemerintah Daerah sebagai unit pelayanan yang dekat dengan masyarakat yang diharapkan dapat berfungsi maksimal dalam menyediakan pelayanan publik secara efektif, efisien dan ekonomis untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat lokal. Berdasarkan tujuan politik dan administratif tersebut di atas, menjadi jelas bahwa misi utama keberadaan Pemerintahan Daerah, adalah bagaimana mensejahterakan warga dan masyarakatnya melalui penyediaan pelayanan publik secara efektif, efisien dan ekonomis, dengan cara-cara yang demokratis. Konsep kebijakan pemberian otonomi luas, nyata dan bertanggungjawab pada dasarnya diarahkan untuk mempercepat terwujudnya kesejahteraan masyarakat. Melalui peningkatan pelayanan publik dan pemberdayaan peran serta masyarakat, daerah diharapkan mampu mengembangkan kreativitas, inovasi, dan dengan komitmennya berupaya untuk meningkatkan kualitas pelayanan publik. Pada saatnya, daerah diharapkan mampu mengembangkan potensi unggulannya dan mendorong peningkatan daya saing daerah, dan pada gilirannya mampu meningkatkan perekonomian daerah. Dilihat dari tujuan pemberian otonomi, kondisi dan perkembangan masyarakat yang dinamis tersebut, memberikan sinyal peringatan bagi pemerintah daerah, dan merupakan
tantangan
tersendiri
yang
harus
disikapi
positif oleh
para
pemimpin/pengambil kebijakan dan jajaran aparat penyelenggara pelayanan publik. Konsep kebijakan pelayanan publik yang dikemas melalui produk hukum dan/atau kebijakan daerah, umumnya masih didasarkan pada pendekatan kekuasaan atau kewenangan (rule government) yang lebih mengedepankan kepentingan pemerintah daerah dan/atau birokrasi, dan kurang berorientasi pada kepentingan dan kebutuhan yang diharapkan masyarakat.
Konsep kebijakan pelayanan publik apakah
berorientasi pada kepentingan dan kebutuhan masyarakat (pelanggan) atau berorientasi pada kepentingan pemerintah daerah dan/atau aparat birokrasi (PAD
=
pendapatan asli daerah atau pendapatan diri sendiri) sangat dipengaruhi dan tergantung dari konsep manajemen pemerintahan yang digunakan.
15
Konsep kebijakan pelayanan publik di era otonomi daerah yang berorientasi pelayanan, pada hakekatnya ditujukan untuk meningkatkan pelayanan kepada masyarakat (pelanggan) dan memberdayakan (empowerment) staf penyelenggara pelayanan dan masyarakat. Oleh karena itu, bobot orientasi pelayanan publik, seharusnya untuk kepentingan dan kebutuhan masyarakat yang kurang mampu atau miskin, Apapun alasannya, tidak seharusnya pelayanan mengutamakan hak -hak atau kepentingan
kalangan
yang
berkemampuan
atau
pengusaha.
Diperlukan
keseimbangan pola pikir dari para penyelenggara pelayanan di dalam menyikapi kondisi nyata di daerah.
11.2
Pelayanan Publik
11.2.1 Defmisi Pelayanan Publik Pelayanan Umum menurut Lembaga Administrasi Negara (1998) diartikan: "Sebagai segala bentuk kegiatan pelayanan umum yang dilaksanakan oleh Instansi Pemerintahan di Pusat dan Daerah, dan di lingkungan BUMNIBUMD dalam bentuk barang dan/atau jasa, baik dalam pemenuhan kebutuhan masyarakat maupun dalam rangkat pelaksanaan ketentuan peraturan perundang-undangan ".
Departemen Dalam Negeri (Pengembangan Kelembagaan Pelayanan Terpadu Satu Pintu, 2004) menyebutkan bahwa; "Pelayanan Publik adalah Pelayanan Umum ", dan mendefinisikan "Pelayanan Umum adalah suatu proses bantuan kepada orang lain dengan cara-cara tertentu yang memerlukan kepekaan dan hubungan interpersonal tercipta kepuasan dan keberhasilan. Setiap pelayanan menghasilkan produk, baik berupa barang dan jasa ".
Dari beberapa pengertian pelayanan dan pelayanan publik yang diuraikan tersebut, dalam kontek pemerintah daerah, pelayanan publik dapat disimpulkan sebagai pemberian layanan atau melayani keperluan orang atau masyarakat dan/atau organisasi lain yang mempunyai kepentingan pada organisasi itu, sesuai dengan aturan pokok dan tata cara yang ditentukan dan ditujukan untuk memberikan kepuasan kepada penerima pelayanan.
16
Pelayanan Publik yang dibutuhkan Masyarakat
Pada dasamya kebutuhan masyarakat untuk mendapatkan pelayanan dapat dikelompokkan kedalam dua hal: (a) Kebutuhan dasar (basic needs) seperti kesehatan,
pendidik~
atr,
lingkungan,
keaman~
sarana dan
prasarana
perhubungan dan sebagainya; (b) Kebutuhan pengembangan sektor unggulan (core competence) masyarakat seperti pertanian, perkebunan, perdagangan, industri dan sebagainya, sesuai dengan potensi dan karakter daerahnya masing-masing. Dalam konteks otonomi, daerah harus mempunyai kewenangan untuk mengatur dan mengurus urusan-urusan yang berkaitan dengan kedua kelompok kebutuhan di atas. Kebutuhan dasar (basic needs) adalah hampir sama di seluruh daerah otonom di Indonesia, hanya gradasi kebutuhannya saja yang berbeda. Sedangkan kebutuhan pengembangan sektor unggulan dan penduduk, sangat erat kaitannya dengan potensi, karakter, pola pemanfaatan dan mata pencaharian penduduknya. Dengan demiki~
yang membedakan jwnlah, jenis urusan dan kewenangan antara daerah
adalah, urusan pilihan yang berkaitan kewenangan pengembangan sektor unggulan. 11.2.2 Unsur Pelayanan Publik Terdapat 3 unsur penting dalam pelayanan publik, yaitu unsur pertama, adalah organisasi pemberi (penyelenggara) pelayanan yaitu Pemerintah Daerah, unsur kedua, adalah penerima layanan (pelanggan) yaitu orang atau masyarakat atau organisasi yang berkepentingan, dan unsur ketiga, adalah kepuasan yang diberikan dan/atau diterima oleh penerima layanan (pelanggan). Unsur pertama menunjukkan bahwa pemerintah daerah memiliki posisi kuat sebagai (regulator) dan sebagai pemegang monopoli layanan, dan menjadikan pemda bersikap statis dalam memberikan layanan, karena layanannya memang dibutuhkan atau diperlukan oleh orang atau masyarakat atau organisasi yang berkepentingan. Posisi ganda inilah yang menjadi salah satu faktor penyebab buruknya pelayanan publik yang dilakukan pemerintah daerah, karena akan sulit
17
untuk memilah antara kepentingan menjalankan fungsi regulator dan melaksanakan fungsi meningkatkan pelayanan.
Unsur kedua, adalah orang, masyarakat atau organisasi yang berkepentingan atau memerlukan layanan (penerima layanan), pada dasamya tidak memiliki daya tawar atau tidak dalam posisi yang setara untuk menerima layanan, sehingga tidak memiliki akses untuk mendapatkan pelayanan yang baik. Posisi inilah yang mendorong terjadinya komunikasi dua arah untuk melakukan KKN dan memperburuk citra pelayanan dengan mewabahnya Pungli, dan ironisnya dianggap saling menguntungkan.
Unsur ketiga, adalah kepuasan pelanggan menerima pelayanan, unsur kepuasan pelanggan menjadi perhatian penyelenggara pelayanan (Pemerintah), untuk menetapkan arab kebijakan pelayanan publik yang berorienntasi untuk memuaskan pelanggan, dan dilakukan melalui upaya memperbaiki dan meningkatkan kinerja manajemen pemerintahan daerah. Paradigma kebijakan publik di era otonomi daerah yang berorientasi pada kepuasan pelanggan, memberikan arab untuk dilakukannya perubahan pola pikir aparatur pemerintah daerah, di dalam menyikapi perubahan dan/atau pergeseran paridgma penyelenggaraan pemerintahan daerah yang lebih berorientasi pelayanan. Kebijakan penyelenggaraan pemerintahan daerah yang semula didasarkan pada paradigma rule
government yang mengedepankan prosedur, berubah dan/atau bergeser menjadi paradigma good governance yang mengedepankan kebersamaan, transparansi, akuntabilitas, keadilan, kesetaraan dan kepastian hukum. Dengan demikian, pemerintah daerah dalam menjalankan monopoli pelayanan publik, sebagai regulator (rule government) harus mengubah pola pikir dan kinerja penyelenggaranya, disesuaikan dengan tujuan pemberian otonomi daerah, yaitu memberikan dan meningkatkan pelayanan yang memuaskan masyarakat. Untuk terwujudnya good governance, dalam menjalankan pelayanan publik, Pemerintah Daerah juga harus memberikan kesempatan luas kepada warga dan masyarakat,
18
mendapatkan akses pelayanan publik, berdasarkan pnnstp-pnnstp kesetaraan, transparansi, akuntabilitas, keadilan dan kepastian hukum.
11.2.3 Konsepsi Pelayanan Publik Konsepsi pelayanan publik, berhubungan dengan bagaimana meningkatkan kapasitas dan kemampuan pemerintah dan/atau pemerintahan daerah menjalankan fungsi pelayanan, dalam kontek pendekatan ekonomi, menyediakan kebutuhan pokok (dasar) bagi seluruh masyarakat. Kebutuhan pokok masyarakat akan terus berkembang seiring dengan tingkat perkembangan sosio-ekonomi masyarakat. Artinya, pada tingkat perkembangan tertentu, sesuatu jenis barang dan jasa yang sebelumnya dianggap sebagai barang mewah, dan terbatas kepemilikannya atau tidak menjadi kebutuhan pokok, dapat berubah menjadi barang pokok yang diperlukan bagi sebagian besar masyarakat. Penyediaan pelayanan dasar (core public services) dalam kontek pendekatan sosial, berhubungan dengan penyediaan pelayanan di bidang pendidikan dan kesehatan. Secara ekonomis, penyediaan pelayanan dasar tersebut tidak memberikan keuntungan fmansial atau PAD kepada Daerah, dan bahkan membutuhkan biaya dalam jumlah yang besar untuk menyediakan pelayanan pendidikan dan kesehatan. Penyediaan pelayanan pendidikan dan kesehatan hams dilihat sebagai investasi jangka panjang yang harus disikapi secara bijak dengan pandangan dan pemikiran jauh kedepan, karena hasilnya baru akan dinikmati oleh masyarakat dan pemerintah/pemerintah daerah dimas mendatang. Kebijakan penyediaan pelayanan dasar di bidang pendidikan dan kesehatan, pada hakekatnya menjadi tugas dan kewajiban pemerintah dan pemerintah daerah, untuk mewujudkan cita-cita bangsa sebagaimana diamanatkan dalam pembukaan Undang Undang Dasar Negara Republik Indonesia 1945. Secara teoritik, Birokrasi Pemerintahan memiliki tiga fungsi utama, yaitu; fungsi pelayanan, fungsi pembangunan dan fungsi pemerintahan umum.
19
1. Fungsi pelayanan, berhubungan dengan unit organisasi pemerintahan yang berhubungan langsung dengan masyarakat. Fungsi utamanya, memberikan pelayanan (service) langsung kepada masyarakat. 2. Fungsi pembangunan, berhubungan dengan unit oganisasi pemerintahan yang menjalankan salah satu bidang tugas tertentu disektor pembangunan. Fungsi pokoknya adalah development function dan adaptive function. 3. Fungsi pemerintahan umum, berhubungan dengan rangkaian kegiatan organisasi pemerintahan yang menjalankan tugas-tugas pemerintahan umum (regulasi), temasuk di dalamnya menciptakan dan memelihara ketentraman dan ketertiban. Fungsinya lebih dekat pada fungsi pengaturan (regulation function). Ketiga
fungsi
birokrasi
pemerintahan
tersebut,
menunjukan
bahwa
pelayanan publik yang dilaksanakan oleh pemerintahan daerah, cakupannya sangat luas yaitu pelayanan yang menghasilkan public good, seperti jalan, jembatan, pasar dan lain-lain, dan pelayanan yang menghasilkan peraturan perundang-undangan
atau kebijakan (fungsi regulasi), yang harus dipatuhi oleh masyarakat seperti perizinan, KTP, SIM, IMB, dan lain-lain.
11.2.4 Penyelenggaraan Pelayanan Publik Penyelengaraan pelayanan publik, dilakukan oleh penyelenggara pelayanan publik, yaitu;
penyelenggara
negara/pemerintah,
penyelenggara
perekonomian
dan
pembangunan, lembaga independen yang dibentuk oleh pemerintah, badan usaha/badan hukum yang diberi wewenang melaksanakan sebagian tugas dan fungsi pelayanan publik, badan usaha/badan hukum yang bekerjasama dan/atau dikontrak untuk melaksanakan sebagaian tugas dan fungsi pelayanan publik. Dan masyarakat umum atau swasta yang melaksanakan sebagian tugas dan fungsi pelayanan publik yang tidak mampu disediakan oleh pemerintah/ pemerintah daerah.
11.2.4.1
Prinsip-Prinsip Penyelenggaraan Pelayanan Publik
Sepuluh Prinsip pelayanan umum diatur dalam Keputusan Menteri Negara Pemberdayaan Aparatur Negara Nomor 63/KEP/M.PAN/7/2003 Tentang Pedoman
20
Umum Penyelenggaraan Pelayanan Publik, kesepuluh pnnstp tersebut adalah sebagai berikut; Kesederhanaan; Kejelasan ;Kepastian waktu; Keamanan; Tanggung jawab; Kelengkapan sarana dan prasarana kerja, peralatan ketja dan pendukung; Kemudahan Akses; Kedisiplinan, Kesopanan dan Keramahan; Kenyamanan. 11.2.4.2
Standar Pelayanan Publik
Setiap Penyelenggaraan pelayanan publik harus memiliki standar pelayanan, sebagai jaminan adanya kepastian bagi pemberi didalam pelaksanaan tugas dan fungsinya dan bagi penerima pelayanan dalam proses pengajuan permohonannya. Standar pelayanan merupakan ukuran yang dibakukan dalam penyelenggaraan pelayanan publik sebagai pedoman yang wajib ditaati dan dilaksanakan oleh penyelenggara pelayanan, dan menjadi pedoman bagi penerima pelayanan dalam proses pengajuan permohonan, serta sebagai alat control masyarakat dan/atau penerima layanan atas kinetja penyelenggara pelayanan. Oleh karena itu perlu disusun dan ditetapkan standar pelayanan sesuai dengan sifat, jenis dan karakteristik layanan yang diselenggarakan, serta memperhatikan kebutuhan dan kondisi lingkungan. Dalam proses perumusan dan penyusunannya melibatkan masyarakat dan/atau stakeholder lainnya (termasuk aparat birokrasi) untuk mendapatkan saran dan masukan, membangun kepedulian dan kornitmen meningkatkan kualitas pelayanan. Standar
Pelayanan
Publik
menurut
Keputusan
Menteri
PAN
nomor
63/KEP/M.PAN/7/2003, sekurang-kurangnya meliputi: 1. Prosedur pelayanan; 2. Waktu Penyelesaian; 3. Biaya Pelayanan; 4. Produk Pelayanan; 5. Sarana dan Prasarana; 6. Kompetensi petugas pelayanan;
21
Penyusunan standar pelayanan publik harus disusun dengan baik dan tidak rumit, untuk itu harus mempertimbangkan aspek; kemampuan, kelembagaan dan aparat penyelenggara pelayanan, serta potensi daerah dan karakteristik sosial budaya masyarakat setempat. Dengan demikian, standar pelayanan publik yang ditetapkan dapat dilaksanakan dengan baik, terutama oleh para pelaksana operasional pelayanan yang berhadapan langsung dengan masyarakat, serta mudah dimengerti dan diterima oleh masyarakat/stakeholder. Dalam pembahasan, perumusan dan penyusunan standar pelayanan seharusnya melibatkan aparat yang terkait dengan pelayanan, untuk tujuan membangun komitmen bersama tercapainya tujuan yang ditetapkan dalam visi, misi organisasi. Tidak kalah pentingnya dalam proses perumusan dan pembahasannya, melibatkan
masyarakat/stakeholder, dan dilakukan tidak bersifat formalitas.
II. 3
Reinventing Government
Pemberian otonomi daerah pada dasamya perubahan perilaku pemerintah daerah untuk
lebih efisien
dan professional.
Untuk
meningkatkan efisiensi
dan
profesionalisme, pemerintah daerah perlu melakukan rekayasa ulang terhadap birokrasi yang selama ini dijalankan (bureaucracy reengineering). Banyak konsep dikemukan dalam upaya rekayasa ulang birokrasi tersebut dalah satunya adalah konsep reinventing government yang diungkapkan oleh Osborne dan Gaebler (1992). Konsep reinventing government pada dasamya merupakan representasi dari paradigma New Public Management. Di dalam New Public Management (NPM), negara dilihat sebagai perusahaan jasa modem yang kadang-kadang bersaing dengan pihak swasta, tapi di lain pihak dalam bidang-bidang tertentu memonopoli layanan jasa, namun tetap dengan kewajiban memberikan layanan dan kualitas yang maksimal. Segala hal yang tidak bermanfaat bagi masyarakat dianggap sebagai pemborosan dalam paradigma NPM. Dalam paradigm ini masyarakat dilihat sebagai pelanggan layanan publik dimana karena pajak yang dibayarkannya masyarakat memiliki hak atas layanan dalam jumlah tertentu dan kualitas tertentu pula. 22
Menurut David Osborne dan Peter Plastrik ( 1997) dalam bukunya "Memangkas Birokrasi", Reinventing Government adalah "transformasi sistem dan organisasi pemerintah secara fundamental guna menciptakan peningkatan dramatis dalam efektifitas,
efesiensi,
Transformasi
m1
dan
kemampuan
mereka
untuk
dicapai
dengan
mengubah
melak:ukan
tujuan,
sistem
inovasi. insentif,
pertanggungjawaban, struktur kekuasaan dan budaya sistem dan organisasi pemerintahan". Pembaharuan dilakukan dengan penggantian sistem yang birokratis menjadi sistem yang bersifat wirausaha. Pembaharuan dengan kata lain membuat pemerintah siap untuk menghadapi tantangan-tantangan dalam hal pelayanan terhadap masyarakat, menciptakan organisasi-organisasi yang mampu memperbaiki efektifitas dan efisiensi pada saat sekarang dan di masa yang akan datang. Pada awalnya, gerakan reinventing government diilhami oleh beban pembiayaan birokrasi yang besar, namun dengan kinerja aparatur birokrasi yang rendah. Pressure dari publik sebagai pembayar pajak mendesak pemerintah untuk mengefisiensikan anggarannya dan meningkatkan kinerjanya. Pengoperasian fungsi pelayanan publik yang tidak dapat diefisiensikan lagi dan telah membebani keuangan Negara diminta untuk dikerjakan oleh sektor non-pemerintah. Dengan demikian, maka akan terjadi proses pereduksian peran dan fungsi pemerintah yang semula memonopoli semua bidang pelayanan publik, kini menjadi berbagi dengan pihak swasta, yang semula merupakan "big government' ingin dijadikan "small government" yang efektif, efisien, responsive, dan accountable terhadap kepentingan publik. Proses inventarisasi dan reduksi pemerintah paling tidak dilakukan melalui dua cara. Pertama, melalui perbaikan menajemen pemerintahan dari gaya birokratis ke gaya
entrepreuner yang umumnya diterapkan di sektor bisnis. Perspektif ini mereformasi pendekatan manajemen pelayanan publik
di
Indonesia yang
sebelumnya
menggunakan pendekatan birokratis. Teknik-teknik manajemen yang biasa digunakan di sektor bisnis telah digunakan di sektor pemerintahan, seperti penyusunan renstra dan pengukuran kinerja untuk pemerintahan lokal dan BUMD yang tertuang dalam AKiP (Akuntabilitas Kinerja Pemerintah). Inefisiensi unsureunsur sektor pemerintah seperti departemen, BUMN, BUMD, dan lain-lain, menyebabkan pendekatan ini mendapatkan tempat, apalagi didukung realita 23
anggaran pemerintah yang mengalami defisit dan keharusan membayar hutang luar negen. Cara yang kedua yakni dengan mentransfer beberapa fungsi-fungsi pelayanan publik ke sektor non-pemerintah, seperti penggunaan manajemen kontrak, privatisasi, dan membuka altematif-altematif pelayanan sehingga masyarakat memiliki banyak pilihan. Namun, di sini yang harus diperhatikan adalah tindakan privatisasi yang akhir-akhir ini sering dilakukan pemerintah. Privatisasi tidaklah harus dengan upaya melepas aset (transfer of assets) seperti yang terjadi dengan BUMN-BUMN di Indonesia, tetapi privatisasi dapat juga dilakukan dengan upaya alih manajemen (transfer of management) BUMN/BUMD. Maka dari itu, dalam melakukan privatisasi harus terlebih dahulu melalui kajian yang mendalam dan penuh kehati-hatian (prudential measures). Ada 10 (sepuluh) perspektif baru pemerintahan yang terkandung dalam reinventing government yang diungkapkan oleh Osborne dan Gaebler, yaitu:
1. Pemerintahan katalis (Catalytic Government) : fokus pada pemberian pengarahan bukan pada produksi pelayanan publik
2. Pemerintahan milik masyarakat (Community-Owned Government)
memberi
wewenang kepada masyarakat daripada melayani
3. Pemerintahan yang kompetitif (Competitive Government)
Menciptakan
semangat kompetisi kepada pemberian pelayanan publik
4. Pemerintahan yang digerakkan oleh misi (Mission-Driven Government) mengubah organisasi yang digerakkan oleh peraturan menjadi organisasi yag digerakkan oleh misi
5. Pemerintahan yang berorientasi pada basil (Result-Oriented Government) membiayai hasil bukan masukan
6. Pemerintahan berorientasi pelanggan (Costumer-Driven Government) memenuhi kebutuhan pelanggan, bukan birokrasi
7. Pemerintahan wirausaha (Enterprising Government) : menghasilkan daripada membelanjakan
24
8. Pemerintahan antisipatif (Anticipatory Government)
mencegah daripada
mengobati
9. Pemerintahan desentralisasi (Decentralized Government) 10. Pemerintahan berorientasi pasar (Market-Oriented Government) : mendongkrak perubahan melalui pasar
11.4
Badan Layanan Umum (BLU)
Paradigma bam pengelolaan keuangan negara sesuai dengan paket peraturan perundang-undangan di bidang keuangan negara meliputi Undang-undang No. 17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara, Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2004 Tentang Perbendaharaan Negara, dan RUU Pemeriksaan Pengelolaan dan Tanggungjawab Keuangan Negara (disetujui dalam siding paripurna DPR tanggal 21 Juni 2004) setidaknya mengandung tiga kaidah manajemen keuangan Negara, yaitu: orientasi pada hasil, profesionalitas serta akuntabilitas dan transparansi. Salah satu dari reformasi yang paling menonjol adalah pergeseran dari pengganggaran tradisional ke penganggaran berbasis kinerja. Dengan basis kinerja ini, mulai dirintis arab yang jelas bagi penggunaan dana pemerintah, berpindah dari sekedar membiayai masukan (inputs) atau proses ke pembayaran terhadap apa yang akan dihasilkan (outputs). Perubahan ini penting dalam rangka proses pembelajaran yang lebih rasional untuk mempergunakan sumber daya yang dimiliki pemerintah mengingat tingkat kebutuhan dana yang makin tinggi, sementara sumber dana yang tersedia tetap terbatas. Hal ini semakin mendesak lagi dengan kenyataan bahwa beban pembiayaan pemerintahan yang bergantung pada pinjaman semakin dituntut pengurangannya demi keadilan antargenerasi. Dengan demikian, pilihan rasional oleh publik sudah seyogianya menyeimbangkan prioritas dengan kendala dana yang tersedia. Orientasi pada outputs semakin menjadi praktik yang dianut luas oleh pemerintahan modem di berbagai negara. Mewiraswastakan pemerintah (enterprising the government) adalah paradigma yang memberi arah yang tepat bagi keuangan sektor
publik. Dalam kaitan ini, Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2003 tentang Keuangan 25
Negara, yang menekankan basis kinerja dalam penganggaran, memberi landasan yang penting bagi orientasi baru tersebut di Indonesia. Selanjutnya, Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2004 tentang Perbendaharaan Negara membuka koridor baru bagi penerapan basis kinerja ini di lingkungan pemerintah. Dengan Pasal 68 dan Pasal 69 dari undang undang tersebut, instansi pemerintah yang tugas pokok dan fungsinya memberi pelayanan kepada masyarakat dapat menerapkan pola pengelolaan keuangan yang fleksibel dengan menonjolkan produktivitas, efisiensi, dan efektivitas. Instansi demikian, dengan sebutan umum sebagai Badan Layanan Umum (BLU), diharapkan menjadi contoh konkrit yang menonjol dari penerapan manajemen keuangan berbasis pada hasil (kinerja). Peluang ini secara khusus disediakan kesempatannya bagi satuan satuan kerja pemerintah yang melaksanakan tugas operasional pelayanan publik (seperti layanan kesehatan, pendidikan, pengelolaan kawasan, danlisensi), untuk membedakannya dari fungsi pemerintah sebagai regulator dan penentu kebijakan. Seperti dikatakan Max Weber, bapak sosiologi modem bahwa pemerintah memiliki peranan yang sangat penting. Ditinjau dari mechanic view pemerintah sebagai regulator dan sebagai administrator, sedangkan dari organic view pemerintah berfungsi sebagai
public service agency dan sebagai investor. Peranan sebagai regulator dan administrator erat sekali kaitannya dengan birokrasi sedangkan sebagai agen pelayan masyarakat dan sebagai investor harus dinamis dan dapat diitransformasikan menjadi unit yang otonom. Praktik ini telah berkembang luas di manca negara berupa upaya pengagenan (agencification) aktivitas yang tidak harus dilakukan oleh lembaga birokrasi mumi, tetapi diselenggarakan oleh instansi yang dikelola ala bisnis (business like) sehingga pemberian layanan kepada masyarakat menjadi lebih efisien dan efektif. Di lingkungan pemerintahan di Indonesia, terdapat banyak satuan kegiatan yang berpotensi untuk dikelola lebih efektif melalui pola Badan Layanan Umum. Di antara mereka ada yang memperoleh imbalan dari masyarakat dalam proporsi signifikan sehubungan dengan layanan yang diberikan, dan ada pula yang bergantung sebagian besar pada dana yang disediakan oleh APBN/APBD. Kepada
26
mereka, terutama yang selama ini mendapatkan basil pendapatan dari layanannya dalam porsi signifikan, dapat diberikan keleluasaan dalam mengelola sumber daya untuk meningkatkan pelayanan yang diberikan. 11.4.2 Karakteristik dan Jenis Badan Layanan Umum (BLU)
Bermula dari tujuan peningkatan pelayanan publik tersebut diperlukan pengaturan yang spesifik mengenai unit pemerintahan yang melakukan pelayanan kepada masyarakat yang saat ini bentuk dan modelnya beraneka macam. Sesuai dengan pasal 1 butir (23). Undang-undang Nomor 1 Tahun 2004 tentang Perbendaharaan Negara disebutkan: Badan Layanan Umum adalah instansi di lingkungan
Pemerintah yang dibentuk untuk memberikan pelayanan kepada masyarakat berupa penyediaan barang dan/atau jasa yang dijual tanpa mengutamakan mencari keuntungan dan dalam melakukan kegiatannya didasarkan pada prinsip ejisiensi dan produktivitas. Penjelasan tersebut secara spesifik menunjukkan karakteriktik entitas yang merupakan Badan Layanan Umum, yaitu: 1. Berkedudukan sebagai lembaga pemerintah yang tidak dipisahkan dari kekayaan negara; 2. Menghasilkan barang dan/atau jasa yang diperlukan masyarakat; 3. Tidak bertujuan untuk mencarai laba; 4. Dikelola secara otonom dengan prinsip efisiensi dan produktivitas ala korporasi; 5. Rencana kerja, anggaran dan pertanggungjawabannya dikonsolidasikan pada instansi induk; 6. Penerimaan baik pendapatan maupun sumbangan dapat digunakan secara langsung; 7. Pegawai dapat terdiri dari pegawai negeri sipil dan bukan pegawai negeri sipil; 8. BLU bukan subyek pajak
27
Apabila dikelompokkan menurut jenisnya Badan Layanan Umum terbagi menjadi 3 kelompok, yaitu: 1. BLU yang kegiatannya menyediakan barang atau jasa meliputi rumah sakit, lembaga pendidikan, pelayanan lisensi, penyiaran, dan lain-lain; 2. BLU yang kegiatannya mengelola wilayah atau kawasan meliputi otorita pengembangan wilayah dan kawasan ekonomi terpadu (Kapet); dan 3. BLU yang kegiatannya mengelola dana khusus meliputi pengelola dana bergulir, dana UKM, penerusan pinjaman dan tabungan pegawai. 11.4.3 Lingkup Keuangan BLU
Sehubungan dengan karakteristik yang spesifik tersebut, BLU dihadapkan pada peraturan yang spesifik pula, berbeda dengan entitas yang merupakan Kekayaan Negara yang dipisahkan (BUMN/BUMD). Perbedaan tersebut terletak pada hal-hal sebagai berikut: 1. BLU dibentuk untuk meningkatkan pelayanan kepada masyarakat dalam rangka memajukan kesejahteraan umum dan mencerdaskan kehidupan bangsa 2. Kekayaan BLU merupakan bagian dari kekayaan negara/daerah yang tidak dipisahkan
serta
dikelola
dan
dimanfaatkan
sepenuhnya
untuk
menyelenggarakan kegiatan BLU yang bersangkutan 3. Pembinaan BLU instansi pemerintah pusat dilakukan oleh Menteri Keuangan dan pembinaan teknis dilakukan oleh menteri yang bertanggungjawab atas bidang pemerintaahn yang bersangkutan; 4. Pembinaan keuangan BLU instansi pemerintah daerah dilakukan oleh pejabat pengelola keuangan daerah dan pembinaan teknis dilakukan oleh kepala satuan kerja perangkat daerah yang bertanggungjawab atas bidang pemerintahan yang bersangkutan; 5. Setiap BLU wajib menyusun rencana kerja dan anggaran tahunan
28
6. Rencana Kerja dan Anggaran (RKA) serta laporan keuangan dan laporan kinerja BLU disusun dan disajikan sebagai bagian yang tidak terpisahkan dari RKA serta
laporan
keuangan
dan
laporan
kinerja
kementerian
negara/lembagalpemerintah daerah; 7. Pendapatan yang diperoleh BLU sehubungan dengan Jasa layanan yang diberikan merupakan pendapatan negaraldaerah; 8. Pendapatan tersebut dapat digunakan langsung untuk membiayai belanja yang bersangkutan; 9. BLU dapat menerima hibah atau sumbangan dari masyarakat atau badan lain; 10. Ketentuan lebih lanjut mengenai pengelolaan keuangan BLU diatur dalam peraturan pemerintah. Dengan pola pengelolaan keuangan BLU, fleksibilitas diberikan dalam rangka pelaksanaan anggaran, termasuk pengelolaan pendapatan dan belanja, pengelolaan kas, dan pengadaan barang/jasa. Kepada BLU juga diberikan kesempatan untuk mempekerjakan tenaga profesional non PNS serta kesempatan pemberian imbalan jasa kepada pegawai sesuai dengan kontribusinya. Tetapi sebagai pengimbang, BLU dikendalikan secara ketat dalam perencanaan dan penganggarannya, serta dalam pertanggungjawabannya. Dalam Peraturan Pemerintah ini, BLU wajib menghitung harga pokok dari layanannya dengan kualitas dan kuantitas yang distandarkan oleh menteri teknis pembina. Demikian pula dalam pertanggungjawabannya, BLU harus mampu menghitung dan menyajikan anggaran yang digunakannya dalam kaitannya dengan layanan yang telah direalisasikan. Oleh karena itu, BLU berperan sebagai agen dari menteri/pimpinan lembaga induknya. Kedua belah pihak menandatangani kontrak kinerja (a contractual performance agreement), di mana menteri/pimpinan lembaga induk bertanggung jawab atas kebijakan layanan yang hendak dihasilkan, dan BLU bertanggungjawab untuk menyajikan layanan yang diminta. Dengan sifat-sifat tersebut, BLU tetap menjadi instansi pemerintah yang tidak dipisahkan. Dan karenanya, seluruh pendapatan yang diperolehnya dari non APBN/APBD
dilaporkan
dan
dikonsolidasikan
dalam
pertanggungjawaban
29
APBN/APBD. SehubWlgan dengan privilese yang diberikan dan tuntutan khusus yang diharapkan dari BLU, keberadaannya harus diseleksi dengan tata kelola khusus. Untuk itu, menterilpimpinan lembaga/satuan kerja dinas terkait diberi kewajiban Wltuk membina aspek teknis BLU, sementara Menteri Keuangan/PPKD berfungsi sebagai pembina di bidang pengelolaan keuangan. Dengan demikian, BLU diharapkan tidak sekedar sebagai format baru dalam pengelolaan APBN/APBD, tetapi BLU diharapkan Wltuk menyuburkan pewadahan baru bagi pembaharuan manajemen keuangan sektor publik, demi meningkatkan pelayanan pemerintah kepada masyarakat.
11.5
Pengelolaan Lingkungan Hidup
Arah pembangooan jangka panjang Indonesia adalah pembangooan ekonomi dengan
bertumpu pada pembangooan industri, yang di antaranya memakai berbagai jenis bahan kimia dan zat radioaktif. Di samping menghasilkan produk: yang bermanfaat bagi masyarakat, industrialisasi juga menimbulkan ekses, antara lain dihasilkannya limbah bahan berbahaya dan beracWl, yang apabila dibuang ke dalam media lingkWlgan hidup dapat mengancam lingkWlgan hidup, kesehatan, dan kelangsWlgan hidup manusia serta makhluk: hidup lain. Makin meningkatnya upaya pembangooan menyebabkan akan makin meningkat dampaknya terhadap lingkWlgan hidup. Keadaan ini mendorong makin diperluk:annya upaya pengendalian dampak lingkWlgan hidup sehingga risiko terhadap lingkWlgan hidup dapat ditekan sekecil mWlgkin. Upaya pengendalian Wltuk: mengurangi dampak kegiatan terhadap lingkungan harus melibatkan seluruh pihak baik pemerintah, pihak industri hingga masyarakat. Dalam Undang-Wldang Pengelolaan LingkWlgan Hidup Nomor 23 TahWl 1997 disebutkan bahwa masing-masing pihak dalam pengelolaan lingkWlgan memiliki hak dan kewajibannya masing-masing. Upaya pengendalian dampak lingkWlgan hidup tidak dapat dilepaskan dari tindakan pengawasan agar ditaatinya ketentuan peraturan perWldang-Wldangan di bidang 30
lingkungan hidup. Suatu perangkat hukum yang bersifat preventif berupa izin melakukan usaha dan/atau
kegiatan lain. Oleh karena itu, dalam izin harus
dicantumkan secara tegas syarat dan kewajiban yang harus dipatuhi dan dilaksanakan oleh penanggung jawab usaha dan/atau kegiatan lainnya. Apa yang dikemukakan tersebut di atas menyiratkan ikut sertanya berbagai instansi dalam pengelolaan lingkungan hidup sehingga perlu dipertegas batas wewenang tiap-tiap instansi yang ikut serta di bidang pengelolaan lingkungan hidup. Pengelolaan Kualitas Air dan Pengendalian Pencemaran Air
Sumberdaya air selain merupakan sumber daya alam juga merupakan komponen ekosistem yang sangat penting bagi kehidupan manusia. Kebutuhan akan air cenderung semakin meningkat dari waktu ke waktu, baik untuk memenuhi kebutuhan dasar manusia seperti untuk air minum, air bersih dan sanitasi maupun sebagai sumber daya yang diperlukan bagi pembangunan ekonomi seperti untuk pertanian, industri, pembangkit tenaga listrik dan pariwisata. Air yang digunakan untuk berbagai kebutuhan dan keperluan hingga saat ini dan untuk kurun waktu mendatang masih mengandalkan pada sumber air permukaan, khususnya air sungai. Ketersediaan sumber daya air sungai cenderung menurun karena penurunan kualitas dan kuantitas yang tersedia juga karena kualitas yang ada menjadi tidak dapat dimanfaatkan karena adanya pencemaran (BAPEDAL, 2001 ).
Pencemaran
mengakibatkan dampak negatif terhadap manusia, hewan, tumbuh - tumbuahan dan harta benda atau dengan kata lain terhadap kehidupan bersama (sosial). Berkaitan
dengan hal tersebut, pengelolaan kualitas air merupakan salah satu prioritas dalam pengelolaan lingkungan di Indonesia. Hasil pemantauan kualitas air yang dilaksanakan melalui program Prokasih masih menunjukkan tingginya kadar polutan di badan air. Air mempunyai karakteristik fisik dan kimiawi yang sangat mempengaruhi kehidupan organisme di dalamnya. Apabila tetjadi perubahan kualitas perairan, terutama oleh bahan pencemaran lingkungan, maka keseimbangan hidup organisme yang ada di perairan tersebut bahkan kehidupan manusia pada khususnya dapat terganggu. Pencemaran lingkungan air sebaiknya dikendalikan 31
pada tingkat awal dari suatu proses pencemaran yang tetjadi. Apabila tingkat pencemaran air sangat dominan, maka pencegahan dan penanggulangannya memerlukan biaya yang sangat mahal (Rao, et al., 2001 ). Dalam upaya melakukan pengendalian pencemaran rur,
pemerintah telah
menerbitkan Peraturan Pemerintah Nomor 82 Tahun 2001 Pengelolaan Kualitas Air dan Pengendalian Pencemaran Air. Secara prinsip, pengelolaan kualitas air dan
pengendalian air ditujukan untuk mempertahankan dan memulihkan kualitas air yang masuk dan yang ada pada sumber-sumber air. Hal ini dapat dilakukan dengan cara memperbaiki kualitas air pada sumber air. Sedangkan pengendalian pencemaran air dilakukan dengan cara mencegah masuknya pencemaran air pada sumber air. Sehubungan dengan hal tersebut, sesuai dengan PP tersebut, Pemerintah dan Pemerintah Propinsi, Pemerintah Kabupaten/Kota sesuai dengan kewenangan masing-masing dalam rangka pengendalian pencemaran air pada sumber air berwenang: a. menetapkan daya tampung beban pencemaran; b. melakukan inventarisasi dan identifikasi sumber pencemar; c. menetapkan persyaratan air limbah untuk aplikasi pada tanah; d. menetapkan persyaratan pembuangan air limbah ke air atau sumber air. e. memantau kualitas pada sumber air; dan f.
memantau faktor lain yang menyebabkan perubahan mutu air.
Dalam PP tersebut juga disebutkan bahwa kewajiban pengendalian pencemaran air tidak hanya ada pada pihak pemerintah namun juga bagi pihak industri dimana dinyatakan bahwa setiap penanggung jawab usaha dan atau kegiatan yang membuang air limbah ke air atau sumber air wajib mencegah dan menanggulangi tetjadinya pencemaran air. Lebih spesifik disebutkan bahwa setiap penanggung jawab usaha dan atau kegiatan yang mbuang air limbah ke air wajib mentaati persyaratan yang ditetapkan dalam izin dimana dalam persyaratan izin pembuangan air limbah tersebut wajib dicantumkan:
32
a. kewajiban untuk mengelola limbah; b. persyaratan mutu dan kualitas air limbah yang boleh dibuang ke media lingkungan; c. persyaratan cara pembuangan air limbah; d. Persyaratan untuk mengadakan sarana dan prosedur penanggulangan keadaan darurat; e. Persyaratan untuk melakukan pemantauan mutu dan debit air lim bah; f.
Persyaratan lain yang ditentukan oleh pemeriksaan analisis mengenai dampak lingkungan yang erat kaitannya dengan pengendalian pencemaaran air bagi usaha dan atau kegiatan yang wajib melaksanakan analisis mengenai dampak lingkungan;
g. Larangan pembuangan secara sekaligus dalam satu saat atau pelepasan dadakan; h. Larangan untuk melakukan pengenceran air limbah dalam upaya penataan batas kadar yang dipersyaratkan; 1.
Kewajiban melakukan swapantau dan kewajiban untuk melaporkan hasil swapantau.
Berdasarkan ketentuan tersebut, disebutkan bahwa setiap kegiatan usaha yang menghasilkan limbah cair wajib mengelola air limbahnya. Hal ini menyiratkan bahwa setiap kegiatan usaha tersebut wajib memiliki IP AL, ataupun jika tidak maka mereka tetap memiliki kewajiban untuk mengelola limbahnya dengan cara apapun, misalnya dengan membuang air limbahnya ke Instalasi Pengolahan Air Limbah Terpadu yang melayani pengolahan air limbah yang berasal dari beberapa industri.
11.6
lnstalasi Pengolahan Air Limbah (IPAL) Terpadu
IPAL (instalasi pengolahan air limbah) terpadu merupakan suatu instalasi pengolahan limbah yang menampung dan mengolah air limbah dari beberapa industri yang berada di daerah Iayanannya. Konsep IP AL terpadu ini telah banyak dipakai di kawasan-kawasan industri karena memang memberi manfaat yang cukup tinggi dalam penerapannya. Keuntungan dari IP AL terpadu antara lain:
33
1. Menghemat biaya dan lahan Hal ini terutama bagi industri skala kecil dan menengah. Dengan IPAL terpadu, industri berskala kecil tidak perlu mengeluarkan dana investasi, operasional (terutama biaya energi), dan perawatan untuk instalasi pengolahan limbah di lokasi mereka. Yang perlu disediakan biasanya sebuah laboratorium mini yang berfungsi untuk menganalisis karakteristik limbahnya. Untuk industri yang lebih besar atau yang limbahnya tergolong "sulit" biasanya terdapat unit-unit pengolahan pendahuluan (pre treatment units) agar air limbahnya memenuhi baku mutu limbah kawasan. 2. Adanya "sumbangan" nutrien dan zat organik Industri yang air limbahnya kekurangan nutrien atau zat organik akan memperoleh "sumbangan" dari industri-industri yang limbahnya kaya akan zat organik maupun nutrien. Kondisi seperti ini terjadi karena di dalam IPAL terpadu terjadi pencampuran air limbah dari bermacam industri dengan karakteristik air limbah yang beragam. Seperti kita ketahui, zat organik dan nutrien diperlukan oleh mikroorganisme untuk pertumbuhan. Karena umumnya pengolahan di IP AL terpadu menggunakan sistem pengolahan biologi maka kecukupan nutrien dan zat organik menjadi salah satu faktor penting di dalam proses.
34
BABIII METODOLOGI PENELITIAN
Seperti yang telah diungkapkan pada Bah Pendahuluan, dalam penelitian ini akan digunakan pendekatan system dynamics. Penggunaan system dynamics ini didasari pertimbangan bahwa metoda ini mampu merepresentasikan keterkaitan antar variabel-variabel yang dikaji dan mampu menggambarkan interaksi dari masingmasing sistem serta mensimulasikan perilaku sistem apabila dilakukan intervensi terhadap sistem tersebut. Penggunaan system dynamics lebih menekankan pada tujuan peningkatan pemahaman tentang bagaimana perilaku dimunculkan oleh struktur eksisting, serta bagaimana implikasi-implikasi perilaku yang dimunculkan pada saat sebuah kebijakan diintervensikan ke dalam slruktur eksisting. Menurut Sterman, system dynamics adalah suatu bidang studi atas struktur dan perilaku sistem-sistem sosioteknis untuk memandu pengambilan keputusan, pembelajanm, dan pemilihan kebijakan yang efektif dalam dunia yang penuh kompleksitas dinamik (Sterman, 2000 dalam Rasyidi, 2009)
111.1.
Pemodelan System Dynamics
Dasar metodologi system dynamics adalah analisis sistem. Suatu sistem (suatu sistem dapat terdiri dari beberapa sub sistem) didefinisikan sebagai seperangkat unsur yang saling berinteraksi satu sama lain dengan pola interaksi yang saling mempengaruhi dan saling menentukan satu dengan yang lainnya. Interaksi yang terjadi di dalam sistem sepanjang waktu akan mempengaruhi keadaan w1sur-unsur di dalam sistem, sehingga struktur suatu sistem (system stucture) sangat ditentukan oleh pola hubungan diantara unsur-unsurnya, sedangkan balasan sistem
(~ystem
boundary) akan membatasi/memisahkan sistem dengan lingkungannya. Karena perilaku sistem yang selalu dipengaruhi oleh slruklurnya maka analisis sistem lebih banyak mempertimbangkan hubungan antar unsur (inter relasi) dalam sistem dibandingkan dengan detil input dan output data. Melalui pemodelan interelasi, analisis sistem akan mampu menjelaskan perubahan-perubahan dari masing-masing unsur sislem lerhadap perubahan waktu. Dinamika perilaku sualu sistem sangat 35
ditentuk.an oleh struk.tur umpan balik (feedback loops) yang menyatakan hubungan sebab akibat antar unsur bukan hubungan karena adanya korelasi-korelasi statistik. Dalam pembentuk.an model tersebut dilakukan melalui pendekatan struktural atau berdasarkan pendekatan system thinking. Di dalam pendekatan system thinking tersebut struktur fisik maupun struktur pengambilan keputusan diyakini dibangun oleh unsur-unsur yang saling bergantung dan membentuk suatu lingkar tertutup
(closed loop atau feedback loop). Hubungan unsur-unsur yang saling berganlung tersebut merupakan hubungan sebab akibat umpan balik dan bukan hubungan sebab akibat yang searah. Lingkar umpan balik tersebut merupakan pembentuk. utama model (building block). Unsur-unsur dalam lingkaran umpan balik dapat berbentuk materi atau informasi dan dapat bersifat stok atau aliran. Dalam aliran ini dapat terjadi bias, distorsi, kelambatan, penguatan maupun peredaman, dimana hubungan yang terjadi antar unsur tersebut dapat terjadi secara linier maupun non linier. Terdapat 2 (dua) jenis hubungan kausal, yaitu hubungan kausal positif dan hubungan kausal negatif. Sealin itu, terdapat juga 2 (dua) jenis lingkar urnpan balik, yaitu umpan balik negatif dan umpan balik positif. Umpan balik negative merupakan suatu proses untuk. mencapai tujuan (goal seeking). Umpan balik ini cenderung menjadi penyeimbang terhadap setiap gangguan dan selalu membawa sistem ke dalam keadaan yang stabil. Sedangkan umpan balik positif terjadi jika perubahan dalam komponen lainnya yang akan memperkuat proses awalnya. Umpan balik positif merupakan proses yang sifatnya tumbuh (growth). Asumsi utama dalam paradigma system dynamics adalah bahwa tendensi-tendensi dinamik yang bersifat persisten pada setiap sistem yang kompleks adalah bersumber dari struktur kausal yang mau membentuk sistem lersebut. Keberadaan struktur tersebut merupakan konsekuensi dari adanya interaksi antara kendala-kendala fisik dan tujuan-tujuan sosial, penghargaan dan tekanan yang menyebabkan manusia bertingkah laku dan membangkitkan secara kumulatif tendensi-tendensi dinamik yang dominan dari sistem total (secara keseluruhan).
System dynamics memiliki 4 (empat) fondasi teoritis yaitu: teori informasifeedback, teori keputusan, eksperimen simulasi komputer dan proses penyelesaian model 36
mental. Sebagai metoda yang diduk.ung dengan kekuatan simulasi komputer maka
system dynamics dapat memberikan pemahaman yang lebih baik dan meramalkan berbagai kemungkinan yang akan tetjadi pada berbagai jenis sistem sosial. Suatu sistem dipelajari guna mengetahui dinamika non linier dari perubahan perilaku di dalam sistem. Sebagian besar unsur model merupak.an unsur realita dengan inter relasi di dalamnya.
m.2.
Langkah-langkah Pemodelan System Dynamics
Ada beberapa langkah yang dilak.uk.an untuk menyusun model
~ystem
dynamics
yaitu (Sterman, 2000) dalam (Rasyidi, 2009): 1) mengartikulasikan masalah (problem articulation); 2) merumuskan hipotesis dinamis (formulation ofdynamic hypothesis); 3) merumuskan model simulasi (formulation ofa simulation model); 4) menguji (testing); dan, 5) memncang dan mengevaluasi kebijakan (policy design and evaluation). 111.2.1. Mengartikulasikan masalah (problem articulation) Pada tahap ini masalah diidentifikasikan, kemudian dilakukan dengan melakukan identifikasi dan analisis permasalahan yang akan dikaji. Menurut Sterman (2000) diperlukan basis data mental dan basis data tertulis selama dalam proses pembatasan masalah ini. Biasanya pembuat model mengembangkan karakteristik permasalahan awal ini melalui suatu diskusi dengan pihak terkait, mencari informasi penelitian tambahan yang telah dilakukan sebelumnya, pengumpulan data, melakukan wawancara dan observasi langsung dan peran serta. Dua hal yang paling penting pada tahap ini adalah menyusun reference mode dan menetapkan rentang waktu (time horizon) secara eksplisit. Reference mode dapat berupa gambar atau data deskriptif lain yang menggambarkan permasalahan dan kemungkinan yang akan tetjadi pada masa mendatang. Pengumpulan data dan informasi historis ak.an menjadi reference mode yang diwak.ili oleh pola perilak.u 37
kumpulan variabel yang meliputi aspek-aspek yang berhubungan dengan pola perilaku persoalan. Informasi historis ini sangat penting agar dapat menggambarkan pola perilaku persoalan dan memperkimkan kemungkinan perilaku permasalahan di kemudian hari. 111.2.2. Merumuskan hipotesis dinamis (formulation of dynamic hypothesis) Tahap ini memfokuskan pada perumusan dynamic hypothesis yang dapat menjelaskan struktur umpan balik yang diperkirakan mempunyai kemampuan dalam mempengaruhi perilaku permasalahan. Pengembangan struktur sebab akibat didasarkan pada hipotesis awal, variabel-variabel utama, reference mode, dan datadata yang lain, antara lain dengan menggunakan model boundary diagrams, sub~yslem
diagrams, causal loop diagrams, stock and flow maps, dan polic..y
structure diagrams. Teknik pengembangan struktur yang sering digunakan adalah diagram sebab akibat (causa/loop diagram~) Pembuatan causal loop diagrams dilakukan dengan menghubungkan antar variabelvariabel yang terkait dengan persoalan. Pola hubungan antar variabel tersebut digambarkan dengan diagram sebab akibat yang memperlihatkan sejauhmana interaksinya antard variabel satu dengan yang lainnya dan kemudian diidentifikasi lingkar umpan balik (feedback loop) yang terbentuk dari pola hubungan tersebut. Ada 2 (dua) macam lingkar umpan balik yang mungkin dapat terbentuk dalam diagram tersebut, yaitu lingkar umpan balik positif yang menghasilkan pola pertumbuhan, dan lingkar umpan balik negatif yang akan menghasilkan pola pencapaian tujuan (goal seeking). Kombinasi kedua lingkar tersebut akan menggambarkan pola perilaku sistem. Dinamika sebuah sistem dipengaruhi oleh faktor internal (endogenous) dan ekstemal
(exogenous). Faktor-faktor tersebut, terutama faktor endogenous
merupakan
variabel yang sangat penting dalam analisis suatu sistem. Oleh karena itu, penentuan batas model perlu ditentukan terlebih dahulu dengan jelas agar untuk selanjutnya dapat lebih mudah untuk mendifinisikan faktor endogenous dan exogenous tersebut. Batasan model ini juga akan memudahkan dalam memisahkan proses-proses yang
38
menyebabkan adanya kecenderungan internal yang diungkapkan dalam pola referensi dari proses-proses yang mempresentasikan pengaruh-pengaruh eksogen atau pengaruh yang ben1sal dari luar sistem. 111.2.3. Perumusan model simulasi (formulation of a simulation model) Ada tiga hal penting dalam tahap ini, yaitu melakukan spesifikasi struktur dan keputusan, memperkirakan pannneter, hubungan perilak.u, dan kondisi awal, dan menguji konsistensi sesuai dengan tujuan dan lingkup masalah (Sterman, 2000). Penyusunan model simulasi dilakukan dengan mentransformasikan pola hubungan antar variabel diagram umpan balik ke dalam persamaan atau program komputer. Struktur dasar dalam pemodelan ~yslem dynamics adalah sebagai berikut. a)
Level, merupakan akumulasi yang terdapat dalam sistem yang besarnya dipengaruhi oleh nilai awal dan nilai rate. Level pada suatu loop hanya bisa didahului oleh rate, tetapi tidak bisa diikuti oleh auxiliary atau rate. Level tidak bisa dipengaruhi secan:tlangsung oleh levellainnya.
b) Rate, adalah aliran yang bisa mengubah level dan nilainya dipengaruhi oleh informasi-informasi yang datang kepadanya. c)
Aliran material adalah aliran dari level satu ke level yang lainnya, yang besarnya ditentukan oleh persamaan rate.
d) Aliran informasi adalah struktur yang berperan dalam fungsi-fungsi keputusan yang tidak mempengaruhi variabel secara langsung. 111.2.4. Pengujian (testing) Pengujian ini dilakukan antara lain untuk melihat kesesuaian perilaku simulasi model dengan perilaku sistem yang sebenarnya. Pengujian menekankan pada sejauh mana model yang disusun mampu menirukan pola perilaku historisnya. Setiap variabel harus bisa menggambarkan konsep yang terdapat di dunia nyata. Pengujian dilakukan segera setelah menuliskan persamaan dalam simulasi. Apabila ditemukan adanya ketidaksesuaian pola perilaku antara model dengan perilaku historisnya, model segera diperbaiki agar bisa menggambarkan keadaan yang sebenarnya.
39
Pengujian model dilakuk.an untuk. mengetahui sejauh mana model yang dibuat sudah cukup valid atau sahih sehingga dapat memberikan keyakinan untuk digunakan dalam menmcang kebijakan. Bila kesahihan model telah dapat dicapai, simulasi selanjutnya dapat digunakan untuk. merancang kebijakan yang efektif. Hal tersebut dapat dicapai apabila pemodelan sistem-sistem sosial tersebut memenuhi kaidah-kaidah ilmiah (Tasrif, 1998). Untuk mendapatkan model yang sahih tersebut maka dalam pembuatannya harus sepenuhnya mengikuti suatu metoda ilmiah yang mensyaratkan bahwa suatu model harus mempunyai titik kontak yang banyak dengan dunia nyatanya. Pemodelan sebuah fenomena sosial yang efektif melibatkan suatu perbandingan model dengan dunia nyata yang berulang-ulang seperti yang digambarkan dalam Gambar 111.1.
Strategy, Structure, Decision Rules
Mental Models of Real World
~---
Gambar III. I. Prosedur pemodelan system dynamics menurut Sterman (2000:88)
40
Bila suatu korespondensi antara model mental sistem, model eksplisit dan pengetahuan empirik tentang sistem telah diperoleh, maka model yang dibuatdapat diterima sebagai sualu representasi persoalan yang sahib dan dapal digunakan untuk melakukan analisis kebijakan. Secara ringkas, pengujian-pengujian yang dapat dilakukan dalam suatuu proses pemodelan system dynamics dirdDgkum dalam Tabel 111.1. berikut ini. Tabel III. I. Pengujian-pengujian model system dynamics Bidang
Jenis
Pengujian
Pengujian
Pertanyaan yang diajukan dalam Pengujian
Pengujian
Verifikasi
Apakah struktur model konsistensi dengan pengetahuan
struktur
struktur
deskriptif yang relevan tentang sistem ?
Verifikasi
Apakah parameter-parameter model konsistensi dengan
parameter
pengetahuan deskriptif yang relevan tentang sistem ?
Kondisi
Apakah masing-masing persamaan masuk akal meskipun
ekstrim
inputnya memiliki nilai-nilai ekstrim?
Kecukupan
Apakah konsep-konsep yang penting menyangkut persoalan
batas (struktur)
telah tercakup (endogenous) dengan model?
Konsistensi
Apakah masing-masing persamaan konsisten secara
dimensional
dimensional tanpa menggunakan parameter-parameter yang
model
tidak ada di dunia nyata? Pengujian
Reproduksi
perilaku
perilaku
Apakah model secara endogenous membangkitkan gejalagejala dan persoalan, mode-mode perilaku, frekuensi dan karakteristik lain dari perilaku sistem riil?
model Anomali
Apakah perilaku abnormal munculjika suatu asumsi model
perilaku
ditiadakan?
Family
Dapatkah model mereproduksi perilaku dari contoh-contoh
member
sistem lain dalam kelas yang sama seperti model ?
Perilaku
Apakah model menunjukkan adanya suatu mode perilaku yang
mengejutkan
sebelumnya tidak dikenali dalam sistem riil?
Kebijakan
Apakah model berperilaku sebagaimana mestinya bila
ekstrim
dihadapkan pada kebijakan-kebijakan ekstrim atau input-input pengujian?
Kecukupan
Apakah ~laku model sensitifterhada~ambahan atau
41
batas
perubahan struktur untuk mewakili teori-teori altematif yang
(perilaku)
dapat diterima?
Karakter
Apakah output model memiliki karakter statistika yang sama
statistika
dengan output dari sistem riil?
Pengujian
Perbaikan
Apakah kinerja sistem riil meningkat melalui penggunaan
implikasi
sistem
model?
Prediksi
Apakah model dengan benar menjabarkan basil-basil dari
perilaku
kebijakan yang baru?
Kecukupan
Apakah rekomendasi kebijakan sensitifterhadap penambahan
batas
atau pengubahan struktur untuk merepresentasikan teori-teori
(kebijakan)
altematifyang dapat diterima?
Sensitivitas
Apakah rekomendasi-rekomendasi kebijakan sensitif dengan
kebijakan
variasi-variasi yang masuk akal dalam parameter-
kebijakan
parametemya?
Sumber : diadaptasi dari Sterman (1984 : 52)
Selain pengujian-pengujian tersebut di atas perlu juga dilakukan pengujian model dengan uji statistik. Dalam uji statistik, standar yang digunakan untuk mengukur kesalahan adalah dengan melihat mta-rdta kuadmt kesalahan (mean square error,
MSE), yang dinyatakan dengan persamaan berikut (Sterman, 1984): MSE = 1/n
f-~=l~tt-At)r
··········································· (3.1)
dimana: MSE =
Mean Square Error;
St
nilai simulasi pada waktu t;
At n
=
nilai aktual pada waktu t; jumlah pengamatan (t = 1, ....... n)
semakin kecil nilai MSE maka hal tersebut menunjukkan bahwa tingkat kesalahan yang ada di dalam model juga kecil dan demikian sebaliknya. Penafsiran kesalahankesalahan hasil simulasi ditunjukkan dengan Root Mean Square Percent Error
(RMSPE), yang dinyatakan dengan persamaan berikut:
42
RMSPE =
f-P=l~tt-At)r
1/n
...........................................
(3.2)
Kesalahan-kesalahan yang terkandung di dalam MSE dapat disusun dalam 3 (tiga) jenis kesalahan. Uji statistik ini didasarkan pada perhitungan bahwa error di dalam model merupakan proporsi ketidaksamaan bias (UM), ketidaksamaan varian (Us) dan ketidaksamaan kovarian
(lf).
Dalam meningkatkan tingkat kepercayaan terhadap
model maka model yang ideal seharusnya memiliki tingkat kesalahan yang sangal kecil dan terkonsentrasi pada if dan us. Namun dari semua uji statistik dimaksud, penentuan signifikansi dan tingkat toleransinya berganlung pada tujuan model tersebut dibuat dan karakteristik datanya. Persamaan-persamaan ketidaksamaan tersebut diuraikan di bawah ini: (s-.4)2
i tn=l (St-At) 2 't'n _ (St-At) 2 .!. n .Lon-1
................................................ (3 .3)
................................................ (3.4)
················································ (3 .5)
················································· (3.6)
dimana: Nilai dari masing-masing besaran tersebut di atas diberikan oleh persamaanpersamaan berikut: A
1
l:St
................................................ (3. 7)
A=-n l:At
................................................ (3 .8)
S
=-
..
1
n
................................................ (3. 9)
................................................ (3.10)
43
.!. }:(St- S) 2 r = n
(At- A) 2
................................................ (3.11)
dimana uM
=
proporsi MSE karena bias
us
=
proporsi MSE karena varian
=
proporsi MSE karena kovarian
=
rata-rata nilai simulasi
A
=
rata-rata nilai aktual
St
=
nilai simulasi pada waktu t
uc s
nilai aktual pada waktu t
At Ss
=
standar deviasi nilai simulasi
SA
-
standar deviasi nilai aktual
n
=
jumlah pengamatan (t = I, ....... n)
Hasil-hasil uji ketidaksamaan menjelaskan bebera hal sebagai berikut: a.
Kesalahan karena bias diindikasikan dengan huruf uM yang besar, sementara nilai us dan
UC kecil.
Kesalahan karena bias dianggap berpotensi serius dan
biasanya merupakan kesalahan dalam melakukan estimasi parameter. Kesalahan ini dikategorikan sebagai kesalahan sistematis antara model dengan dunia nyata. b.
Kesalahan karena ketidaksamaan varian yang besar juga termasuk kesalahan sistematis. Terdapat dua macam kesalahan yang termasuk dalam kelompok ini, yaitu: •
Jika nilai US mendominasi kesalahan, dengan nilai UM dan UC yang kecil berarti terdapat rata-rata yang sama dan korelasi yang tinggi, tetapi jarak varian rata-ratanya berbeda. Keadaan ini menunjukkan nilai simulasi dan nilai aktual mempunyai kecenderungan yang berbeda.
44
•
Jika
us besar tetapi memiliki rata-rata yang sama (UM =
0) dan
uc kecil,
berarti kesalahan terjadi karena gangguan acak (random noise) atau nilai aktual mempunyai siklus yang berbeda dengan nilai simulasi. Interpretasi atas kesalahan ini sangat ditentukan oleh tujuan dalam membuat model. Jika model dibuat untuk menyelidiki pola siklus pada sualu sistem, maka kesalahan ini dapat dikategorikan sebagai kesalahan sistematis. Namun apabila tuj uan pembuatan model adalah untuk melakukan analisis perilaku jangka panjang maka kesalahan ini tidak penting dan tidak bersifat sistematis. •
Kesalahan karena ketidaksamaan kovarian diindikasikan dengan nilai yang besar sedangkan nilai
uM dan us kecil.
tf
Hal tersebut menunjukkan
bahwa nilai dari masing-masing titik (point by point) antara simulasi dengan basil aktual tidak sama meskipun model dapal dikatakan memiliki nilai rata-rata dan kecenderungan yag sama dengan nilai aktualnya. Nilai Uc yang besar merupakan indikasi terjadinya gangguan (noise) pada pola siklus (cyclical model) pada data historis yang tidak dapat ditangkap oleh model. Kesalahan ini pada umwnnya bukan merupakan kesalahan yang sistematis. 111.2.5. Merancang dan mengevaluasi kebijakan (policy design and evaluation) Setelah struktur model yang dikembangkan diyakini telah menggambarkan perilaku dunia nyata, model dapal dikembangkan untuk merd.Dcang dan mengevaluasi kebijakan. Analisis kebijakan dilakukan untuk mengkaji pengaruh beberapa alternatif kebijakan yang dapat diimplementasikan untuk memperbaiki sislem yang sesuai dengan harapan. Terhadap kebijakan yang dipilih, langkah antisipasi dapat dilakukan untuk menghindari dampak pemilihan kebijakan tersebut. Menurut Sterman (2000), pemodelan merupakan suatu proses umpan balik (foedback), bukan suatu urutan tahapan yang linier. Oleh karena itu, model harus disusun secara iterative, selalu bertanya, menguji, dan menggali terus-menerus. Proses penyusunan model tidak berhenti hanya pada satu siklus, tetapi melalui proses yang berulang-ulang sampai dianggap cukup jelas dapat menggambarkan 45
struktur permasalahan yang ingin dianalisis. Proses dianggap cukup apabila struktur model yang dikembangkan telah cukup dapat menggambarkan perilaku yang terjadi di dunia nyata. Tidak jauh berbeda dengan Sterman, Saeed (1994: 23) menggambarkan prosedur pemodelan system dynamics seperti terlihat pada Gambar 3.2 berikut.
j
Model Altematit:
r-
LTr
Proses validasi
Rekonsiliasi
struk.1ur
\__
Lf~' j
~l
Bukti Ernpiris L
Perbandingan dan
Penggambarao
!
Time series yang
empiris
Konseptualistii Sistem
_j
•
\ _l
Proses validasi struktur
Perbandingan dan
Rekonsiliasi
7 --~
Perumusao Model
_) ~
i
'4
•
Dcduksi Perilalru Model
_·r
Peratatan Deskripsi
L
l
Literatur
l PJ;____ .•, [_
--
Bantuan PM!itunpo
dan Diagram
-
-,
Gambar m.2. Prosedur pemodelan system dynamics menurut Saeed (1994: 23)
ID.3 Penggunaan Metode Kualitatif dalam Pemodelan System Dynaitiks
Pada dasamya pemodelan dengan system dynamics memerlukan data kuantitatif untuk melakukan simulasi dengan komputer. Namun tidak semua fenomena, terutama fenomena
sosial,
dapat dikenali
melalui
pendekatan kuantitatif.
Wolstenholme (1990), mengusulkan untuk mengombinasikan pendekatan kuantitatif
dan pendekatan kualitatif untuk menyusun pemodelan dengan system dynamics
46
Kedua pendekatan ini dapat dikombinasikan secara harmonis dan saling mengkaitkan ide-ide kualitatif dengan data kuantitatif, sehingga informasi dapat dikembangkan secara lebih luas dan lebih komprehensif. Penggunaan metode kualitatif dalam pemodelan system dynamics juga dapat menginterpretasikan analisis data kuantitatif secara lebih jelas dan menyelwuh mengenai kineija sistem, mempeijelas struktur permasalahan, mengklarifikasi dan melakukan pengecekan (triangulasi) data primer dan skunder. Teknik pendekatan kualitatif yang dapat digunakan dalam pemodelan Pada tahap awal, penelitian ini dilaksanak.an dengan studi kasus terhadap pengelolaan IPAL Cisirung. Pemilihan metode studi kasus ini dimaksudkan untuk mempelajari secam intensif mengenai latar belakang masalah keadaan dan posisi suatu peristiwa yang sedang berlangsung saat ini, serta interaksi lingkungan unit sosial tertentu yang bersifat apa adanya (given). Dengan awal penelitian dengan studi kasus, maka akan didapat pemahaman mengenai kondisi eksisting struktur pengelolaan IP AL Cisirung serta memberikan gambardll luas serta mendalam mengenai hal tersebut termasuk penjelasan mengenai unsur-unsur serta pola keterkaitan antar unsur-unsur tersebut. Selanjutnya penelitian ini ditujukan kepada pembuatan model pengelolaan IPAL Cisirung dengan menggunakan metode system dynamics. Konstruksi struktur dan perilaku model dilakukan dengan menggunakan program software Powersim
Constructor 2.5. lalu dilakukan simulasi komputer terhadap model tersebut untuk mempclajari pcrilaku dinamis dari model tcrscbut. Hasil dari simulasi ini akan digunakan untuk membandingkan struktur serta perilaku model dengan struktur dan perilaku sistem sebenarnya. Jika model yang didapat telah dianggap dapat mewakili struktur yang teijadi pada dunia nyatanya, maka selanjutnya akan model tersebut dapat digunakan untuk menentukan stmtegi pengelolaan yang tepat bagi IPAL Cisirung yang diimplementasikan kedalam model dengan menambahkan unsurunsur dan pola keterkaitan antar unsur yang baru ke dalam model sebelurnnya dan kemudian mensimulasikan kembali model tersebut dan dari hasil simulasi dapat dipahami implikasi dari kebijakan yang telah diambil.
47
BABIV INSTALASI PENGOLAHAN AIR LIMBAH (IPAL) CISIRUNG SERTA DINAMIKA PENGELOLAANNYA
IV.l
Pembangunan IPAL Cisirung
IV.l.l Latar Belakang Pembangunan IPAL Cisirung IPAL Cisirung merupakan IPAL Terpadu yang mengolah air limbah industri yang berada di sekitar wilayah Dayeuhkolot. IPAL ini dibangun dengan dilatarbelakangi terjadinya penurunan kualitas air sungai Citarum yang terjadi pada sekitar dekade tahun delapanpuluhan. Berdasarkan hasil pemantauan kualitas air sungai Citarum didapatkan bahwa tingkat pencemaran air di sungai Citarum tergolong sangat berat sehingga tidak sesuai dimanfaatkan untuk berbagai keperluan seperti sumber air baku, perikanan dan pertanian. Hasil pengukuran kualitas memperlihatkan bahwa terjadi peningkatan kadar BOD 1 rata-rata dari tahun ke tahun, begitu pula dengan parameter kualitas air sungai yang lain sepertu COD dan Chrom. Penurunan kualitas air sungai Citarum ini sebenarnya terjadi disebabkan oleh banyak hal di antaranya karena limbah domestik dan limbah industri. Namum karakteristik limbah industri yang memiliki tingkat toksisitas tinggi 2 menyebabkan pemerintah pada saat itu lebih mengutamakan untuk melakukan upaya pengendalian pencemaran air akibat limbah industri. Salah satu upaya yang dilakukan pemerintah adalah melalui Program Kali Bersih (Prokasih) yang salah satu agendanya adalah mewajibkan setiap industri 1 BOD (Biologica/Orygen Demand) merupakan salah satu parameter utama dalam penentuan kualitas air sungai. Kadar BOD dalam sungai menunjukkan seberapa banyak kadar zat organik yang terkandung dalam air sungai. BOD didefmisikan sebagai kebutuhan oksigen biokima yang menunjukkan jumlah oksigen yang digunakan dalam reaksi oksidasi oleh bakteri. Sehingga semakin banyak bahan organik dalam air, maka semakin besar kadar BOD nya. Air yang bersih adalah yang BOD nya kurang dari 1 mgll atau lppm,jika BOD nya di atas 4ppm, air dikatakan tercemar.
2
Pada umumnya limbah industri mengandung bahan berbahaya dan beracun (83). Karakteristik limbah B3 adalah korosif/ menyebabkan karat, mudah terbakar dan meledak, bersifat toksik/ beracun dan menyebabkan infeksi/ penyakit. Limbah industri yang berbahaya antara lain yang mengandung logam dan cairan asam. Misalnya limbah yang dihasilkan industri pelapisan logam, yang mengandung tembaga dan nikel serta cairan asam sianida, asam borat, asam kromat, asam nitrat dan asam fosfat atau limbah industri tekstil yang mengandung fenol atau krom.
48
untuk mengolah limbahnya terlebih dahulu sehingga arr limbah yang dibuang memenuhi standar mutu yang dipersyaratkan. Di daerah aliran sungai (DAS) Citarum sendiri terdapat beberapa wilayah/zona industri seperti yang terlihat pada Gambar IV .1.
u
~
. , .. ·~
KETERANG A N : •• ~
1,;,;,.
.,
Gambar IV .1 Zona-zona industri yang berada di DAS Citarum Hulu
Dari zona-zona industri yang berada di sekitar DAS Citarum tersebut, salah satu zona industri yang memberikan kontribusi besar terhadap pencemaran air sungai Citarum adalah zona industri Dayeuhkolot. Data tahun 1996 menyebutkan bahwa beban pencemaran yang terjadi akibat kegiatan industri di wilayah Bandung Selatan 3
sebesar 7,5 ton per hari atau sekitar 12 % dari be ban total industi Citarum Hulu • Hal
ini terjadi salah satunya sebagai akibat dari pembuangan air lirnbah industri ke sungai tanpa proses pengolahan terlebih dahulu. Upaya pengendalian pencemaran
3
Laporan Tim Kajian Kelayakan Usaha lnstalasi Pengolahan Air Limbah Terpadu Bandung Selatan, 2006
49
air melalui Program Kali Bersih sebenarnya secara tidak: langsung mewajibkan
setiap kegiatan yang menghasilkan limbah cair untuk memiliki IPAL. Namun, pembangunan IPAL pada umumnya menelan biaya investasi yang sangat tinggi sehingga tidak: seluruh industri mampu membangun IPAL sehingga ak:ibatnya banyak: industri yang mengalirkan langsung limbahnya ke sungai Citarum tanpa melalui proses pengolahan seperti yang terjadi di zona industri Dayeuhkolot. Untuk mengantisipasi hal tersebut mak:a salah satu kebijak:an yang dilak:ukan oleh pemerintah pada saat itu adalah dengan membangun IPAL Terpadu yang melayani pengolahan air limbah dari beberapa industri dalam satu zona (Cluster), dan salah satu IPAL Terpadu yang dibangun adalah IPAL Cisirung. IV.1.2 Kronologis Pembangunan IPAL Cisirung
Pembangunan IPAL Cisirung pada dasarnya merupak:an salah satu upaya pengendalian pencemaran air di wilayah Dayeuhkolot pada dekade tahun 1980-an dilak:ukan oleh Tim Koordinasi Penanggulangan Polusi (TKP2) Propinsi Daerah TK.I Jawa Barat. Upaya ini didahului dengan pembuatan gorong-gorong saluran pembuangan air limbah industri secara swadaya oleh masyarak:at industri sepanjang 6,8 km di sepanjang Jl. Moh Toha Kecamatan Dayeuhkolot yang dilak:ukan oleh tim pelak:sana yang beranggotak:an 5 (lima) orang yang berasal dari perwakilan kalangan industri di wilayah Dayeuhkolot. Tim ini dikukuhkan oleh (TKP2) melalui Surat Instruksi Nomor 15/INSTR/80. Upaya selanjutnya yang dilak:ukan oleh TKP2 adalah menunjuk PUSLITBANG Pengairan untuk melak:ukan penelitian dan pembangunan instalasi pengolahan air limbah di wilayah Dayeuhkolot. Hasil penelitian mengenai pembangunan IP AL di Dayeuhkolot yang dilak:ukan oleh PUSLITBANG Pengairan4 kemudian diusulkan kepada BAPPENAS sebagai salah satu proyek percontohan pengolahan limbah industri secara kolektif di Jawa Barat. Proyek percontohan inilah yang menjadi cikal bak:al IPAL Cisirung. Saat ini bernama PUSLITBANG SDA (Pusat PeneJitian dan Pengembangan) Sumber Daya Air Departemen Pekeljaan Umum 4
50
Proyek percontohan ini kemudian mulai dilaksanakan pada tahun 1985 dengan anggaran yang berasal dari Kementerian Negara Lingkungan Hidup dan Departemen Peketjaan
Umum.
Pada petjalanannya
proyek percontohan
ini
kemudian
mendapatkan tambahan dana pembangunan yang berasal dari pinjaman (loan) Asian Development Bank (ADB). Pembangunan IPAL Terpadu Cisirung dilaksanakan selama tahun 1985 -
1995 dengan total biaya pembangunan sebesar Rp.
18.449.400.000,00 (delapan belas milyar empat ratus empat puluh sembilan juta empat ratus sibu rupiah).
IV.2
Gambaran Umum IPAL Cisirung
IV.2.1 Lokasi IPAL IPAL Cisirung berlokasi Jalan Cisirung Palasari Kelurahan Pasawahan Kecamatan Dayeuhkolot Kabupaten Bandung. IPAL Cisirung dibangun di atas laban seluas 11.972 m 2 yang hingga sekarang kepemilikannya masih berada ditangan Yayasan Darma Bakti Industri Bandung Selatan (YDBffiS) yang berganggotakan 40 industri yang berada di wilayah Bandung Selatan. IPAL ini dibangun di tengah daerah industri di wilayah Dayeuhkolot. Gambar lokasi IP AL Cisirung dapat dilihat pada Gambar IV .2.
\AllMA..'-Il"' -....4 ,
•
Ul
"I
...... ""'
PM ,.,..HI,.._,
"""''"' Gambar IV .2. Lokasi IPAL Cisirung di Wit ayah Industri Dayeuhkolot
51
IV.2.2 Proses Pengolaban dan Instalasi Pengolaban Air Lim bah IV.2.2.1 Proses Pengolahan Air Limbah
IPAL Cisirung dibangun dengan teknologi proses pengolahan air limbah secara fisika-kirnia-biologi (FKB). IPAL ini dibangun dengan kapasitas pengolahan air limbah rata-rata sebesar 175 lt/detik. Secara umum proses pengolahan air limbah di IPAL Cisirung dapat dilihat pada diagram alir IPAL Cisirung pada Gambar IV.3.
-
-+ air -+ lumpur
Gambar IV.3 Diagram Alir IPAL Cisirung Keterangan : I. 2. 3. 4.
5. 6.
Bak ekualisasi Penampung Koagulan Penampung Flokulan Bak Koagulasi Bak Flokulasi Bak Sedimentasi I
7. Bak Aerasi 8. Bak Sedirnenatsi 2 9. RSPS I 0. Bak Pengering Lumpur II . Bak Pengental Lumpur
Proses pengolahan air limbah di IPAL Cisirung terdiri dari 4 proses utama sebagai berikut: 1. Pengolahan Pendahuluan Pada pengolahan pendahuluan ini air limbah dipisahkan dari partikel-partikel besar seperti sampah, maupun pasir lalu kemudain air limbah dihomogenkan 52
kondisinya pada bak ekualisasi agar memiliki karakteristik yang lebih seragam sebelum masuk pada proses selanjutnya. Proses pengolahan pendahuluan ini sangat penting mengingat IPAL Cisirung mengolah air limbah yang karakteristiknya sangat beragam karena berasal dari puluhan industri berbeda.
Gam bar IV .4 Proses Pengo laban Pendahuluan (Bak Ekualisasi)
2. Pengolahan Fisika Kimia Setelah melewati proses pengolahan pendahuluan air limbah kemudian diolah dalam proses pengolahan secara fisika dan kimia. Pada proses ini air limbah mengalami penyesuaian pH (netralisasi), lalu dibubuhi koagulan untuk mendestabilisasi partikel-partikel koloid yang ada dalam air limbah dan terbentuk inti-inti endapan (flok kecil/halus) lalu dibubuhi flokulan sehingga teijadi proses penggabungan inti-inti endapan menjadi molekul yang lebih besar (flok) sehingga mudah diendapkan. Setelah melalui proses ini zat-zat yang terlarut dalam air limbah dapat mengendap dan diendapkan pada bak pengendap pertama. Sebelum memasuki proses pengolahan selanjutnya, pada proses pengolahan ini air limbah juga dibubuhi nutrien sebagai persiapan untuk memasuki proses pengolahan selanjutnya.
Gambar IV .5 Proses Pengolaban Fisika Kimia (Koagulasi dan Flokulasi)
53
3. Pengolahan Biologi Proses pengolahan air limbah selanjutnya dilakukan melalui proses biologi dimana tetjadi pengolahan air limbah dengan mengkonversi bahan organik yang dapat didegradasi yang dilakukan oleh mikroorganisme (biodegradable) dan bahan nutrien lainnya menjadi bentuk yang lebih sederhana. Proses ini terjadi melalui proses aerobik menggunakan lumpur aktif. Kemudian proses pengolahan biologi ini dilanjutkan dengan pengendapan lumpur biologis pada bak pengendap kedua.
Gambar N.6 Proses PengoJahan Biologi (Aerasi dan Pengendapan)
4. Pengolahan Lumpur Proses terakhir yang tetjadi dalam pengolahan air limbah adalah pengolahan lumpur yang didapat dari proses pengolahan fisika kimia dan proses pengolahan biologis. Pada proses ini lumpur dipisahkan dari air dengan cara dikentalkan atau diturunkan kadar airnya dan dikeringkan untuk kemudian dikelola lebih lanjut oleh pihak ketiga yang memiliki ijin untuk mengelola limbah B3 seperti lumpur
IPAL.
Gambar IV.7 Proses Pengolahan Lumpur (Pengentalan dan Pengeringan)
54
IV.2.2.2 Instalasi Pengolahan Air Limbah Secara fisik bangunan IPAL Cisirung terdiri dari 3 kelompok bangunan yang terdiri dari :
1. Bangunan Instalasi Pengolahan Bangunan instalasi pengolahan terdiri dari unit-unit bangunan IPAL dimana proses-proses pengolahan air limbah seperti yang telah dijelaskan pada uraian sebelumnya dilangsungkan. Gambar tata letak bangunan instalasi pengolahan dapat dilihat pada Gambar IV.8.
I. Equalitation Basin
2 3. 4. 5. 6. 7.
Primary Trealrnent Block Sludge Thickening Old Chemical Building SludgeDryingBed Panel Control Aeration Tank
8. 9.
I0. II. 12.
13.
Sedimentation Tank Retwn Sludge Pumping Station Sludge Decanter House Flood Chamber Olftee PLN Building
Gambar IV.8 Tata Letak Bangunan Instalasi Pengolahan Berikut adalah daftar bangunan instalasi pengolahan yang terdapat di IPAL Cisirung beserta fungsi unit operasi dan dimensi dari bangunan tersebut.
Tabel IV.I Bangunan Instalasi Pengolahan yang ada di IPAL Cisirung
A.
Pengolahan Pendahuluan I. 2. 3.
4.
Saringan Kasar Alat Ukur Debit Bak Pengendap Pasir dan Minyak Bak Ekualisasi
Penyaring partikel kasar Pengukur debit Penangkap pasir dan minyak Nonnalisasi dan ekualisasi beban limbah
Volume = 2.327 m3
55
Unit Pengolahan
NO B.
Pengolaban Fisika Kimia Netralisasi Pengaduk Cepat Pengaduk Lambat
1. 2. 3.
c.
4.
Bak Pengendap I
5.
Pembubuh Nutrien
Menetralkan pH air limbah Pencampuran bahan koagulan Pembentukan gumpalan partikel Pengendapan gumpalan partikel Pembubuhan bahan
Pengolaban Biologi Tangki Kontak Stabilisasi
Proses biologis (proses aerasi)
2.
Pengendapan lumpur biologi
1.
D.
Fungsi Operasi
Bak Pengendap II
Pengolaban Lumpur Bak Pengental Lumpur Decanter
1. 2.
Pemisahan air dan lumpur Penurunan kadar air dalam lumpur
Dimensi (4,0x3,25x4,0) m3 (3,65x2,05x4,0) m3 {5,0x4,25x4,0) m3 2 unit (28,0x3,9x5,25) m3 3 unit
(12,0x6,0x4,0) m3 12 unit f = 15m, d = 5 m 3 unit f = 16m, d = 4 ,5 m
Proses pengolahan air limbah di IPAL Cisirung dilakukan dengan menggunakan peralatan elektromekanik yang juga terdapat dalam bangunan-bangunan IP AL. Berikut daftar peralatan elektromekanik utama yang digunakan dalam proses pengolahan air limbah di IPAL Cisirung.
Tabel IV .2 Peralatan Elektromekanik yang ada di IPAL Cisirung
NO l 2 3 4
s 6 7 8 9 10
JeDis Peralatan Pompa penyalur air limbah Peralatan ekualisasi Pompa Intake Mixer Netralisasi Mixer Pengaduk Cepat Pompa Pembuluh Scrapper Pengendap I dan Pompa Lumpur Aerator Kontak Stabilisasi Scrapper Pengendap II Motor dan Mesin Pengolah Lumpur
Instalasi Pengolahan Pengolahan Pendahuluan
Pengolahan Fisika Kimia
Pengolahan Biologi Pengolahan Lumpur
2. Saluran Pengumpul dan Bangunan Pengolahan Pendahuluan Saluran pengumpul merupakan bagian dari IPAL Cisirung yang berfungsi untuk menyalurkan air limbah yang berasal dari industri di sekitar wilayah
56
Dayeuhkolot ke IPAL Cisirung. Saluran pengumpul ini terbuat dari pipa beton khusus berdiameter 600- 800 mm dan pipa PVC berdiameter 100- 400 mm. Saluran pengumpul air limbah industri berada di sepanjang Jalan Moh Toha, Jalan Cisirung, dan Jalan Mengger. Di sepanjang jalur saluran pengumpul juga terdapat 3 (tiga) buah rumah pompa yang dilengkapi dengan alat duga air otomatis (Automatic Water Level) dan masing-masing dilengkapi dengan 2 buah pompa submersible. Keberadaan rumah pompa ini dimaksudkan untuk membantu penyaluran air limbah dari industri yang berlokasi dan letaknya berada di bawah saluran pengumpul. Pada setiap industri yang mengolah air limbah terdapat bangunan pengolah pendahuluan yang terdiri dari alat pengukur debit, saringa kasar, pemisah minyak dan tempat pengambilan contoh air. Bangunan pengolah pendahuluan di setiap industri terletak di lokasi sebelum masuk ke pipa pengumpul (kolektor) menuju IPAL Terpadu.
3. Fasilitas Penunjang Selain bangunan utama yang digunakan untuk proses pengolahan air limbah, terdapat pula fasilitas-fasilitas penunjang lain yang berupa bangunan maupun peralatan yang ada di IP AL Cisirung yang terdiri dari : a. Bangunan Kantor Bangunan kantor pada IP AL Cisirung terdiri dari 2 lantai dengan luas lantai keseluruhan 637,6 m 2 • Bangunan ini digunakan untuk ruang kantor, ruang staf administrasi dan keuangan, ruang staf teknik, ruang laboratorium, ruang rapat/siding, gudang, dan lain-lain. b. Truk Pengangkut Lumpur Truk pengangkut lumpur yang tersedia di IPAL Cisirung sebanyak 2 buah berupa Dump Truck yang dilengkapi 5 buah tangki lumpur (kapasitas masing-masing 5 m 3)
57
c. ForkLift Untuk operasi dan pemeliharaan IPAL Cisirung tersedia I buah fork lift dengan kapasitas 2,5 ton
IV.3
Kronologis Pengelolaan IPAL Cisirung
IV.3.1 Periode Tahun 1995 - 2000
Pada tahun 1995, IPAL Cisirung selesai dibangun dan secara teknis dapat dioperasikan. Namun demikian besamya biaya pra-usaha (start up) IPAL menyebabkan tidak adanya lembaga baik yang berasal dari instansi pemerintah maupun swasta yang bersedia untuk menjadi lembaga pengelola bagi IPAL Cisirung pada saat itu. Biaya pra-usaha IPAL pada saat itu diperkirakan sebesar minimal 5 bulan biaya operasional sebelum pihak industri membayar jasa pengolahan air limbah. Bagi instansi pemerintah, besarnya biaya talangan yang harus disediakan menjadi kendala pengoperasian IPAL, karena biaya pra-usaha IPAL Cisirung ini tidak dianggarkan pada anggaran instansi manapun sehingga tidak ada instansi yang mampu untuk menyediakan biaya pra-usaha ini. Sedangkan bagi pihak swasta, pengelolaan IPAL Cisirung tidak menjadi suatu hal yang menarik karena selain dana awal yang harus disediakan cukup besar, situasi dan kondisi pada saat itu tidak menunjukkan bahwa usaha pengelolaan IPAL merupakan usaha yang menarik dan menguntungkan. Hal inilah yang menyebabkan IPAL Cisirung menjadi terbengkalai dan tidak dioperasikan. Air-air limbah industri yang sudah dialirkan ke IPAL
Cisirung tidak dapat diolah dan akhimya meluap hingga ke jalan raya dan pemukiman penduduk, sehingga menimbulkan kritik dan kecaman kepada pemerintah akibat pencemaran lingkungan yang terjadi pada saat itu. Untuk menyelesaikan permasalahan tersebut, pemerintah kemudian banyak membuat kajian pengelolaan IPAL Cisirung di antaranya Kajian Kelayakan Usaha Instalasi Pengolahan Air Limbah Terpadu Bandung Selatan pada tahun 1996. yang dilakukan oleh Tim Kajian yang terdiri dari PUSLITBANG Pengairan, Perum Otorita Jatiluhur (POJ), dan Yayasan Dharma Bakti Industri Bandung Selatan 58
(YDBIBS) sebagai perwakilan dari industri. Hasil kajian ini mengusulkan dua pilihan bagi pengelolaan IPAL Cisirung yaitu yang pertama pengelolaan IPAL dilakukan oleh POJ dan yang kedua pengelolaan IPAL dilakukan dengan Kerja Sarna Operasi (KSO) dengan Badan Usaha yang berasal dari pihak swasta yang dalam hal ini adalah YDBIBS. Namun, basil kajian dari tim ini kemudian tidak ditindaklanjuti dan diimplementasikan sehingga IPAL Cisirung tetap terbengkalai. Pada tahun 1999, pemerintah kemudian melakukan kajian lagi mengenai ujicoba IPAL Cisirung. Kajian kedua ini dibuat oleh Tim yang terdiri dari Bapedal, PUSLITBANG Pengairan, Bapedalda TK I Jawa Barat, Pemda Kab TK II Bandung, YDBIBS, dan POJ. Kajian ini dibuat sebagai evaluasi dari pelaksanaan uji coba pengoperasian IPAL Cisirung dengan kapasitas penuh selama 24 jam . Uji coba pengoperasian IPAL ini dilakukan oleh tim yang terdiri dari PUSLITBANG Pengairan dan calon pengelola serta masyarakat industri yang tergabung dalam YBDIBS. Calon pengelola IPAL Cisirung yang diusulkan dalam uji coba ini terdiri dari 4 usulan yaitu YDBffiS, Pemda Tingkat II 5, POJ, dan Kerja Sarna Operasi
(KSO) Pemda TK II dengan YDBIBS. Dalam kajian ini juga disebutkan bahwa serah terima pengelolaan IPAL Cisirung akan dilakukan secara berjenjang menurut hierarki pemerintahan hingga akhimya diserahkan kepada pihak Calon Pengelola yang bersedia dan disetujui Gubemur KDH TK I Jawa Barat.
IV.3.2 Periode Tahun 2000 - 2005 Sebagai tindak lanjut dari kajian yang dilakukan pada tahun 1999, Departemen Permukiman dan Pengembangan Wilayah menyerahkan wewenang pengelolaan IPAL Cisirung kepada Pemerintah Kabupaten Bandung6 • Penyerahan wewenang pengelolaan ini juga dilakukan atas dasar kesediaan Pemerintah Kabupaten Bandung 5
Dalam hal ini Pemda TK II adalah Pemda TK II Kab Bandung yang diwakili oleh PDAM. PDAM mewakili Pemerintah Kabupaten Bandung pada saat itu karena PDAM memiliki pengalaman dalam pengelolaan air bersih dan pada saat itujuga telah terbentuk divisi air kotor di PDAM. 6
Tercantum dalam Berita Acara Serah Terima Pengelolaan Instalasi Pengolahan Air Limbah (IPAL) Cisirung Daerah Industri Bandung Selatan Nomor: J7/BAJM/2000
59
yang dalam hal ini diwakili oleh PDAM untuk menerima dan mengoperasikan IP AL Cisirung 7• Kesediaan Pemerintah Kabupaten Bandung dalam menerima IPAL Cisirung didasari oleh wacana otonomi daerah yang memang sedang berkembang saat itu, serta pertimbangan bahwa memang IP AL Cisirung berlokasi di wilayah Kabupaten Bandung dan jika tidak dilakukan pengelolaan dengan baik maka dampak dari pencemaran lingkungan yang ditimbulkan dari hal tersebut juga akan dirasakan secara langsung oleh masyarakat di Kabupaten Bandung. Dalam Berita Acara Serah Terima tersebut disebutkan bahwa yang diserahkan pada saat itu adalah hak atas pengelolaan IPAL Cisirung, sedangkan pengalihan kepemilikan asset IP AL Cisirung dilakukan menyusul oleh PUSLITBANG Pengairan bersama dengan Pemerintah Kabupaten Bandung. Setelah menerima hak pengelolaan atas IP AL Cisirung, Pemerintah Kabupaten Bandung, dalam hal ini Bupati Bandung kemudian menugaskan PDAM Kabupaten Bandung untuk. mengoperasikan IPAL Cisirung8• Selanjutnya, PDAM Kabupaten Bandung kemudian melakukan kerjasama dengan pihak swasta yaitu PT Damba Intra (DI) dalam pengoperasian IPAL Cisirung dengan beberapa pertimbangan, di antaranya: 1. PT Damba Intra merupakan perusahaan yang berpengalaman, memiliki pengetahuan dan keahlian yang kompeten dan professional sebagai pengelola lingkungan khususnya dalam pengoperasian IP AL industri. 2. PT Damba Intra memiliki modal awal yang cukup yang diperlukan untuk. pengoperasian IP AL 3. PDAM tidak memiliki sumber daya manusia yang cukup kompeten dalam pengelolaan IPAL sehingga dengan kerjasama ini diharapkan terjadi transfer
7
Berdasarkan surat dari Bupati Bandung kepada Menteri Peketjaan Umum Nomor : 893.8/1614/PDAM tanggal2 Agustus 1999, perihal Kesediaan Menerima dan Pengeoperasian IPAL Cisirung 8
Berdasarkan Surat Bupati Bandung Nomor: 658.12/423A!Huk tanggal21 Pebruari 2000, Perihal Penyerahan Pengoperasian IPAL Cisirung kepada PDAM Kabupaten Bandung
60
knowledge sehingga dapat meningkatkan kompetensi SDM PDAM dan dapat
menjadi modal dasar pengelolaan lingkungan selanjutnya9• Berdasarkan surat kesepakatan tersebut kemudian selanjutnya PT Damba Intra mengoperasikan IPAL Cisirung selama periode tahun 2000 - 2005. Dalam perjanjian kerjasama tersebut juga disebutkan bahwa PT Damba Intra wajib membayar biaya jasa kontrak sewa IPAL Cisirung sebesar Rp. 12.000.000,- (dua belas juta rupiah) kepada pihak PDAM. IV.3.3 Periode Tahun 2005 - Sekarang PDAM melalui PT Damba Intra melakukan pengelolaan IPAL Cisirung selama periode tahun 2000-2005 sesuai dengan perjanjian kerjasama yang dilakukan. Dan setelah masa berlaku perjanjian tersebut berakhir, PDAM
pada tahun 2005
menyerahkan kernbali wewenang pengelolaan IPAL Cisirung kepada Pemerintah Kabupaten Bandung 10• Hal ini juga didasarkan pada kewenangan PDAM yang diatur dalam Peraturan Daerah Nomor 7 Tahun 2001 Tentang Pembentukan Organisasi Dinas Kabupaten Bandung. Dalam Perda tersebut disebutkan bahwa PDAM saat ini hanya memiliki kewenangan untuk melakukan pengelolaan air bersih, sehingga pengelolaan IPAL Cisirung yang selama ini dilakukan oleh PDAM menjadi tidak sesuai lagi. Pemerintah Kabupaten Bandung melalui Bupati Bandung selanjutnya menyerahkan kewenangan pengelolaan IPAL Cisirung kepada Dinas Lingkungan Hidup 11 • Hal ini sesuai dengan kewenangan Dinas Lingkungan hidup yang diatur dalam Perda Nomor 7 Tahun 2001, dimana wewenang upaya pengendalian Hal-hal yang menjadi pertimbangan bagi PDAM dalam melakukan keljasama dengan PT Damba Intra tercantum dalam dokwnen Kesepakatan Bersama (Memorandwn of Understanding) antara PDAM dan PT Damba Intra Nomor C 19/MoU-AL-PDAM/2000 dan Nomor 0 I 01111-2000/DI-PDAM tanggal 13 Maret 2000 tentang Pengolahan Air Limbah Industri Terpadu di Cisirung Dayeuhkolot Bandung Selatan. 9
10
Sesuai surat dari Direktur PDAM Nomor 658.31/117.UT/2005 tanggal30 Mei 2005
11
Sesuai dengan Surat Bupati Bandung kepada Kepala Dinas Lingkungan Hidup Nomor : 658.31/2039/0rg tanggal 18 September 2007 perihal Penyerahan Kewenangan Pengelolaan IPAL Gabungan di Dayeuhkolot
61
pencemaran air berada dibawah Dinas LingkWlgan Hidup, dan dalam hal ini pengelolaan IP AL CisirWlg dianggap sebagai salah satu upaya pengendalian pencemaran air di Kabupaten BandWlg. Dinas LingkWlgan Hidup Kabupaten BandWlg sebagai instansi yang diberikan kewenangan oleh Pemerintah Kabupaten BandWlg kemudian melakukan kajian yang menyimpulkan bahwa pengelolaan IPAL CisirWlg sebaiknya tetap dilaksanakan oleh pihak swasta (PT Damba Intra) dengan beberapa pertimbangan di antaranya : 1. Untuk menjaga netralitas tugas Dinas LingkWlgan Hidup sebagai instansi pembina, pengawas dan pengendali di bidang pengelolaan lingkWlgan hidup 2. Kurangnya SDM yang berpengalaman dalam mengoperasikan/mengelola IPAL 3. Untuk menJaga kesinambWlgan pengelolaan IPAL CisifWlg, karena PT Damba Intra selama ini telah mengoperasikan IPAL sejak awal sehingga telah
mengetahui
secara detail
tentang
segala permasalahan
yang
menyangkut operasionalisasi dan pemeliharaan IPAL 12 • Secara teknis pengelolaan IP AL CisifWlg hingga saat ini masih dilakukan oleh pihak ketiga yaitu PT Damba Intra. NamWl jika dilihat dari sisi aspek legalitas, PT Damba Intra, setelah berakhimya masa kesepakatan kerjasama dengan PDAM, belum mendapatkan dasar hukum perpanjangan waktu pengelolaan IP AL CisifWlg karena hingga saat ini belum ada kesepakatan antara PT Damba Intra dan Pemerintah Kabupaten BandWlg mengenai pengelolaan IP AL CisifW1g. Hal ini terjadi karena hingga saat ini Pemerintah Kabupaten BandWlg masih belum memutuskan bentuk pengelolaan yang akan diterapkan pada pengelolaan IP AL CisirWlg.
Tercantum dalam Surat Kepala Dinas Lingkungan Hidup kepada Bupati Bandung Nomor 666/164/DLH tanggal26 Januari 2006 perihal Petjanjian Kerjasama Pengelolaan IPAL Gabungan di Dayeuhkolot 12
62
IV.4
Pengelolaan IPAL Cisirung oleh PT Damba Intra
Seperti yang telah dijelaskan sebelumnya, PT Damba Intra telah melaksanakan pengelolaan IPAL Cisirung selama tahun 2000-2005 (kerjasama dilakukan dengan PDAM Kabupaten Bandung, dan tahun 2005 - sekarang. Pada awal pengoperasian IPAL Cisirung, PT Damba Intra mendapatkan dukungan penuh dari pemerintah dalam hal sosialisasi kepada pihak industri agar pihak industri bersedia mengolah air Iimbahnya di IPAL Cisirung. Namun, terjadinya krisis ekonomi dan kondisi pengelolaan lingkungan saat itu sangat tidak mendukung sehiingga para pengusaha terkesan enggan memanfaatkan IPAL Cisirung. Dalam pembahasan pada sub bah selanjutnya akan dipaparkan kondisi pengelolaan yang dilakukan serta kendalakendala yang muncul selama pengelolaan IPAL Cisirung oleh PT Damba Intra.
IV.4.1 Perkembangan Jumlah Industri Pengguna IPAL Cisirung Hasil sosialisasi yang dilakukan pada awal pengoperasian IPAL Cisirung membuahkan hasil dengan bergabungnya 27 industri di wilayah Dayeuhkolot dengan IPAL Cisirung dengan tujuan untuk mengolah air limbahnya di IPAL Cisirung. Selama pengelolaan IPAL Cisirung hingga sekarang jumlah industri yang mengolah air limbahnya di IPAL Cisirung berfluktuasi dan memiliki kecenderungan untuk menurun. Hal ini dapat terlihat dari data yang diungkapkan oleh PT Damba Intra seperti yang terlihat pada Tabel IV.3. Tabel lV.3 Jumlah Industri yang Mengolah Air Limbahnya di IPAL Cisirung
TAHUN
2000 2003 2007 2008
Jumlah Industri 27 35 27 25
Berikut adalah daftar industri yang mengolah air limbahnya di IPAL Cisirung per tanggal 1 Juli 2008.
63
Tabel IV.4 Daftar Industri Yang Mengolah Air Limbahnya di IPAL Cisirung
1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20 21 22 23 24 25
Nama Iadastri
Alamat
Jeais Industri
PT. Alena Textile Industry PT. Artostex CV. Bad_jatex PT. Bandung Sakura Textile Mills PT. Bentara Sinarprima PT. Candratex Sejati PT. CERES PT. Dhanarmas Concern PT. Exindo Raya PT. Famatex Ltd PT. Finnan Jaya Dua Saudara PT. General Food Industries PT. Hakatex PT. Idaman Era Mandiri PT. fdar Buana CV. Istana Mas Abadi PT. Liem Tjung Sioe PT. Marga Sandang PT. Nagasakti Kurnia Textile Mills PT. Panasia Filament Inti (Hadtex) PT. Panasia Filament Inti (Panafil) PT. Panasia lndosyntec PT. Purbasari Pupunden PT. Te~Jaya PT. Yasako
Jl. Moch. Toha KM 6,1 No. l47 Jl. Raya Dayeuhkolot No.66 Jl. Cisirun~ No. 47 Jl. Raya Dayeuhkolot No.33 Jl. Cisirun~ No. 112 Jl. Cisirung No.4? Jl. Raya Dayeuhkolot No.92 Jl. Cisirung KM 6 Jl. Moch. Toha KM 6, I No.53 Jl. Raya Dayeuhko1ot No.48 Jl. Radio No. 149- 150 Jl. Raya Dayeuhkolot No.84 Jl. Moch. Toha KM 5,6 Jl. Cisirung No. l23 Jl. Raya Dayeuhkolot No.44 Jl. Raya Dayeuhkolot No.122 Jl. Mengger No. 8 Jl. Raya Dayeuhkolot No.ll2 Jl. Cisirung No.38 Jl. Moch. Toha KM 6,3 11. Moch. Toha KM 6,3 Jl. Moch. Toha KM 6 Jl. Moch. Toha No.32 Jl. Men~er No.99 Jl. Moch. Toha No.392
Textile Textile Textile Textile Textile Textile Makanan Textile Textile Textile Textile Makanan Textile Textile Textile Textile Textile Textile Textile Textile Textile Textile Textile Textile Textile
IV.4.2 Perkembangan Debit Pengolahan Air Limbah
Debit air limbah yang dibuang oleh industri-industri yang membuang limbahnya ke IPAL Cisirung bervariasi. Selain karena kapasitas produksi industri tersebut juga berbeda, hal ini juga disebabkan karena beberapa industri di wilayah Dayeuhkolot juga sudah memiliki IPAL sendiri sehingga hanya sebagian kecil limbahnya yang dibuang ke IPAL Cisirung. Dari data yang didapatkan dari PT Damba Intra debit operasional atau kapasitas pengolahan air limbah yang selama ini dilakukan hanya berkisar antara 70 lt/detik- 80 lt/detik atau hanya sekitar 50% dari kapasitas IPAL Cisirung terpasang. Fluktuasi debit pengolahan air limbah yang teijadi saat ini di IPAL Cisirung selain disebabkan oleh jumlah industri yang berfluktuasi juga disebabkan jam operasional pabrik yang cenderung berubah-ubah menyesuaikan
64
dengan jwnlah permintaan akan produk juga menyesuaikan dengan kondisi ekonomi saat ini.
IV.4.3 Perkembangan Tarif Jasa Pengolahan Air Limbah Pada awal pengelolaan IPAL Cisirung yang dilakukan oleh PT Damba Intra sebenamya telah ditetapkan tarif jasa pengolahan air limbah di IPAL Cisirung melalui SK Bupati Bandung Nomor 660.13/Kep-448A-PDAM/2000 tentang Penetapan Tarif Sementara Ujicoba Pengoperasian IPAL Cisirung. Namun tarif yang ditetapkan sebesar Rp.3.000,-/m 3 (tiga ribu rupiah) per meter kubik tidak dapat dipenuhi oleh sebagian besar pihak industri karena kondisi ekonomi yang tidak memungkinkan. Hal tersebut mengakibatkan pihak PT Damba Intra kemudian menetapkan
tarif baru
sebesar
1793, 18/m 3
Rp.
perkembangannya tarif jasa pengolahan
(sebelum
PPN).
Dalam
air limbah kemudian mengalami
penyesuaian-penyesuaian hingga sekarang seperti yang terlihat pada Tabel IV .5 Tabel IV.5 Perkembangan Tarif Jasa Pengolahan Air Limbah
PeriOde -:··~·
Tarif~-
'
Pebruari 200 I - Mei 2003 Juni 2003 - Agustus 2003 September 2003 - Nopember 2003 Desember 2003 - April 2007 Mei 2007 - sekarang
'
-•--L
AJrl...,..
(Re/Dt:f),(. . . . . .Mmfi 1.793,18 1.972,50 2.123,41 2.272,72 2.819,00
Jika dilihat dari perkembangannya, tarif pengolahan air limbah yang sekarang diterapkan di IP AL Cisirung oleh PT Damba Intra telah mendekati besaran nilai tarif yang sebelumnya telah ditetapkan oleh Bupati Bandung.
IV.4.4 Kualitas Air Buangan Hasil Pengolaban Air Lim bah di IPAL Cisirung Pengolahan air limbah yang dilakukan di IP AL Cisirung dilakukan pada dasarnya agar air limbah yang dibuang ke lingkungan dapat memenuhi baku mutu yang dipersyaratkan seperti yang tercantum SK. Gub. Jawa Barat No. 6 Tahun 1999 mengenai Baku Mutu Limbah Cair. Nilai Baku Mutu Limbah Cair yang diacu dalam mengukur kualitas limbah yang dibuang dari IPAL Cisirung adalah nilai baku mutu
65
limbah cair untuk industri tekstil. Hal ini dikarenakan sebagian besar industri yang membuang limbahnya ke IPAL Cisirung adalah industri tekstil. Hasil pemantauan kualitas yang dilakukan oleh PT Damba Intra menunjukkan bahwa ada beberapa parameter air limbah yang dibuang dari IPAL Cisirung tidak memenuhi baku mutunya seperti yang terlihat pada Tabel IV .6. Tabel IV.6 Hasil Analisa Kualitas Air Limbah (Outlet) IPAL Cisirung Tahun 2008 Parameter Kualitas Bulan
Minyak
BOD
COD
TSS
Fenol Total
Krom Total
Amonia Total
Sulfida
dan Lemak
(mg!L)
(mg!L)
(mg!L)
(mg!L)
(mg!L)
(mg!L)
(mg!L)
(mg!L)
1.0
8.0
0.3
3.0
6.0-9.0
< 0.037 < 0.037 < 0.037 < 0.002 < 0.002 < 0.002 < 0.002
4 .24 4 . 14 3.65 3.24 3.15 4. 15 5.24
0. 12 0.08 0.06 <0.04 <0.04 <0.04 0 .08
0.4 0.25 0.22 0.15 0.1 0.15 0.25
7.8 7.5 7.5 7.7 7.5 7.8 8.0
< 0.002 < 0.017 < 0.017 < 0.017
4.55 3.60 4.19 4 .26
0.08 0. 18 0.15 0.06 0. 16 ---- 025 0.08 - 0.2
10.9 7.6 7.5 7.5
Baku 60 /50 50 0.5 Mutu *J Januari 55 0.1 02 148 48 Pebruari 53 144 46 0.092 Maret 54 148 45 0. 103 April 53 145 48 0.096 Mei 56 150 48 0 . 104 Juni 46 55 147 0.087 Juli 57 150 48 0. 105 Agustus I) September 57 148 45 0. 102 Oktober 53 145 44 0.093 Nopember 148 47 0. 102 55 Desember 53 145 46 0. 104 Berdasarkan SK. Gub. Jawa Barat No. 6 Tahun 1999 1) Data tidak ditemukan
.,
pH
Dari basil pemantauan kualitas air limbah di atas terlihat bahwa pengelolaan IPAL Cisirung secara teknis belum optimal karena terlihat terdapat beberapa nilai parameter air limbah (pH) dari IPAL Cisirung yang tidak memenuhi baku mutu pada bulan tertentu.
IV.4.5 Kendala-Kendala Pengelolaan IPAL Cisirung Dalam pengeJoJaan IP AL Cisirung selama tahun 2000 - sekarang, PT Damba Intra banyak mengalami kendala-kendala baik yang bersifat bencana alam (banjir), teknis, maupun keuangan dan ekonomi. Beberapa kendala utama pengelolaan IPAL Cisirung dapat dipaparkan sebagai berikut :
66
1. Kendala Banjir
Masalah banjir adalah masalah utama yang sangat mengganggu pengelolaan IPAL Cisirung selama ini. Wilayah Dayeuhkolot selama ini merupakan wilayah di Kabupaten Bandung yang seringkali terendam banjir pada musim penghujan. Banjir di wilayah ini juga tak pelak sering merendam IPAL Cisirung dan menghentikan operasional pengelolaan air limbahnya selama beberapa waktu. Hal ini disebabkan oleh beberapa hal di antaranya : 1. IPAL Cisirung dibangun pada level elevasi permukaan yang cukup rendah, sehingga ketika terjadi peninggian elevasi permukaan jalan, elevasi permukaan IPAL Cisirung menjadi jauh lebih rendah dibanding permukaan Jalan Cisirung. 2. Dalam musim hujan seringkali terjadi peningkatan tinggi muka air Sungai Citarum, selain disebabkan oleh sedimentasi yang terjadi di Sungai Citarum, hal ini disebabkan oleh banyaknya sampah yang ada di Sungai Citarum. Peninggian muka air Sungai Citarum ini menyebabkan terjadinya aliran balik air sungai Citarum ke anak-anak sungai salahsatunya ke Sungai Cisuminta yang letaknya persis di sebelah IPAL Cisirung. Dan jika aliran batik ini terjadi, sebagian besar air limpasan tersebut masuk ke IPAL Cisirung melalui bak ekualisasi sehingga menyebabkan terjadinya banjir di IPAL Cisirung.
Gambar IV.9. Kondisi IPAL Cisirung yang terendam banjir
Beberapa pengalaman menunjukkan bahwa banjir yang melanda wilayah Dayeuhkolot setiap tahunnya umumnya merendam IPAL Cisirung selama 1 - 14 hari dengan ketinggian maksimal 2,8 meter dari lantai dasar bangunan utama
67
IP AL 13 • Dan kendala banjir ini menyebabkan IPAL berhenti beroperasi untuk sementara waktu dan menyebabkan beberapa kerugian lain seperti kerusakankerusakan peralatan mekanikal-elektrikal, dan penurunan pendapatan IPAL karena sebagian besar industri pengguna IP AL Cisirung juga mengalami gangguan produksi yang akhirnya juga menurunkan debit limbah yang dibuang ke IP AL Cisirung.
2. Kendala Teknis Kendala banjir merupakan salah satu faktor penyebab terjadinya kendala teknis pengelolaan IP AL karena akibat banjir banyak peralatan mekanikal-elektrikal IPAL yang rusak dan menjadi tidak berfungsi. Namun selain banjir, terdapat juga beberapa kendala teknis lain yang menyebabkan sulit dipenuhinya kualitas hasil pengolahan air limbah yang baik yang berujung pada penilaian efisiensi dan efektivitas kinerja pengelolaan IPAL yang kurang baik 14 • Kendala- kendala teknis tersebut di antaranya adalah umur hidup (lifetime) peralatan mekanikalelektrikal dan unit pengolahan utama IPAL yang sudah hampir habis sehingga diperlukan penggantian alat baru. Kendala teknis ini menyebabkan biaya pemeliharaan peralatan IPAL maupun unit pengolahan IPAL menjadi sangat tinggi.
3. Kendala Keuangan dan Ekonomi Kendala terberat yang dihadapi dalam aspek keuangan dan ekonomi dalam pengelolaan IP AL Cisirung adalah tingginya biaya pemeliharaan unit-unit instalasi seperti bangunan maupun peralatan mekanikal elektrikal. Seperti yang sudah dijelaskan sebelumnya tingginya biaya pemeliharaan ini disebabkan oleh umur hidup (lifetime) peralatan mekanikal-elektrikal dan unit pengolahan utama IP AL yang sudah hampir habis. Selain itu, biaya pemeliharaan diluar pemeliharaan rutin seperti biaya pemeliharaan pasca banjir juga menjadi kendala yang cukup berat dalam aspek keuangan yang dihadapi pengelola IPAL. Hal ini 13
Berdasarkan pengalaman banjir tahunan terparah yang terjadi pada tahun 2005
Telaahan Operasional Instalasi Pengolahan Air Limbah Bandung Selatan s.d Desember 2008, PT Damba Intra, 2008 14
68
menyebabkan berkurangnya pendapatan yang diterima oleh PT Damba Intra selaku pengelola IPAL. Selain
i~
rendahnya tarif jasa pengolaban dan rendahnya kapasitas pengolahan
air limbah aktual di IPAL Cisirung juga turut berkontribusi terhadap kesulitan yang dihadapi oleh pengelola IPAL Cisirung dalam aspek keuangan. Karena halhal tersebut sangat mempengaruhi pendapatan pengelola IPAL Cisirung.
IV.4.3 Kondisi IPAL Cisirung Saat Ini Saat ini secara fisik kondisi IPAL Cisirung sudah banyak mengalami kerusakan jika dibandingkan dengan kondisi awal pengoperasiannya pada tahun 2000. Hasil penelitian memperlihatkan banyaknya unit-unit IPAL baik unit bangunan sipil maupun unit pengolahan yang berupa peralatan mekanikal-elektrikal yang rusak.
- ·Gambar IV. to. Beberapa unit IPAL yang mengalami kerusakan
Hal ini teijadi selain akibat kendala-kendala baik banjir, teknis, dan ekonomi yang dihadapi oleh pengelola IPAL juga teijadi karena pengelola IP AL dalam hal ini PT Damba Intra tidak banyak melakukan penggantian unit IPAL yang rusak. PT Damba Intra selama ini banyak melakukan pemeliharaan-pemeliharaan yang bersifat untuk menunjang operasional IPAL, dan hal ini pun teijadi karena tingginya biaya
69
pemeliharaan yang harus ditanggung PT Damba Intra seperti yang telah dijelaskan pada sub bab sebelumnya. Kondisi fisik IPAL Cisirung saat ini kemudian berdampak cukup besar terhadap penurunan kapasitas pengolahan IP AL Cisirung maupun berfluktuasinya kualitas air limbah yang dibuang oleh IPAL Cisirung. Berbeda dengan fluktuasi kualitas air limbah yang dibuang IP AL Cisirung yang telah terlihat nyata sebagai dampak dari kondisi IPAL Cisirung saat ini seperti yang terlihat pada tabel IV .6, penurunan kapasitas pengolahan IP AL Cisirung belurn dirasakan sebagai dampak yang nyata dari kondisi IPAL Cisirung saat ini. Hal ini terjadi karena selama ini IP AL Cisirung hanya mengolah air limbah maksimal 50% dari kapasitas terpasangnya. Namun jika hal ini terus dibiarkan penurunan kapasitas pengolahan IP AL akan membuat terjadinya penurunan debit air limbah yang dapat diolah di IPAL Cisirung bahkan lebih kecil dari debit air limbah yang sekarang diolah di IP AL Cisirung.
70
BABV PEMODELAN PENGELOLAAN IPAL CISIRUNG
Upaya
pemecahan permasalahan
dalam
penelitian
ini
dilakukan
dengan
mengembangkan model dari permasalahan tersebut. Suatu permasalahan terjadi dalam suatu sistem ketika terdapat perilakunya yang menimbulkan akibat yang tidak diinginkan. Pengembangan model yang dilakukan untuk mencari altematif solusi dari permasalahan tersebut dilakukan dengan merumuskan atau membentuk unsur-
unsur dan pola saling keterkaitan yang ada di dalam sistem tersebut ke dalam suatu model yang diharapkan dapat menggambarkan atau mewakili kondisi sistem tersebut di dunia nyata. Dari model yang dikembangkan tersebut dipelajari perilakuperilaku dari masing-masing variabel yang diamati dan kemudian melalui simulasi dikaji perilaku model apabila kepada model tersebut dikenakan suatu intervensi kebijakan.
V.l.
Gambaran Umum Model
Dalam penelitian ini model dasar yang digunakan adalah model pengelolaan IP AL Cisirung yang ada atau eksisting. Dari model pengelolaan IPAL Cisirung eksisting tersebut kemudian dikembangkan sebuah struktur mode] baru pengelolaan IPAL dengan menambahkan unsur-unsur serta pola keterkaitan baru sebagai hasil dari implementasi sebuah kebijakan. Dalam penelitian ini kebijakan baru yang diterapkan dalam pengelolaan IPAL adalah kebijakan Pengelolaan Keuangan Badan Layanan Umum (PK-BLU) V.l.l Model Pengelolaan IPAL Cisirung Eksisting
Model dasar yang digunakan dalam penelitian ini dibuat berdasarkan hasil penelitian awal mengenai kondisi eksisting pengelolaan IPAL Cisirung. Dalam penelitian ini dipelajari secara intensif mengenai latar belakang masalah keadaan dan posisi pengelolaan IPAL Cisirung yang sedang berlangsung saat ini. Dengan penelitian awal ini, maka didapat pemahaman struktur pengelolaan IPAL Cisirung serta memberikan gambaran luas serta mendalam mengenai hal tersebut termasuk 71
penjelasan mengenai unsur-unsur serta pola keterkaitan antar unsur-unsur tersebut. Gambaran umum model dasar pengelolaan IPAL tersebut dapat dilihat pada Gambar
V.I.
~
~ V
_______f.;\ ... Pendapatan
PAD~ Pemda
Biaya Sewa lnstalasi -
Pengeluaran IPAL
\
~
Swpl"'
!PAL~
K" Peogelolo IPAL
Pendapatan
~IP~
Debit Air Limbah yg diolah
Tmll
Pengolaban Limbah
""r-..tJ--_
Kapasitas Pengolahan Limbah
..__-I
Gambar V .1. Struktur Model Pengelolaan IPAL Cisirung Eksisting
Dalam model dasar pengelolaan IPAL Cisirung tersebut terlihat adanya hubungan antara 3 (tiga) variabel utama model yang selanjutnya akan menjadi fokus pengembangan model yaitu Aset IPAL, Surplus IPAL, dan PAD. Dalam model dasar tersebut terlihat bahwa terdapat 1 loop negatif (loop 1) yang terjadi antara aset dan depresiasi aset yang terjadi. Dalam loop tersebut digambarkan bahwa depresiasi akan mengurangi aset sehingga asset IPAL baik berupa bangunan sipil maupun
peralatan mekanikal-elektrikal seiring dengan berjalannya waktu akan mengalami penurunan. Dalam gambar di atas juga terlihat bahwa penurunan nilai aset yang terjadi di IPAL Cisirung tidak diimbangi dengan penambahan aset baru yang dilakukan oleh pihak pengelola selama ini. Hubungan sebab akibat lain yang digambarkan dalam model dasar tersebut adalah hubungan sebab akibat yang terjadi antara Aset IPAL - Kapasitas Pengolahan Limbah - Debit Air Limbah yang diolah - Pendapatan IPAL - Surplus IPAL. Dalam
72
model digambarkan bahwa semua hubungan antara variabel-variabel tersebut bertanda positif dimana hal ini berarti perubahan yang terjadi pada satu variabel akan mempengaruhi variabel lain dalam arab perubahan yang sama. Hal ini
menjelaskan kondisi dimana ketika terjadi penurunan aset IPAL maka secara otomatis akan terjadi pula penurunan pendapatan IPAL dan penurunan Surplus IPAL. Dalam model dasar pengelolaan IPAL tersebut terlihat bahwa hubungan yang terjadi antara pengelola IPAL (PT Damba Intra) dengan Pemerintah Daerah terjadi melalui hubungan pembayaran biaya jasa sewa instalasi yang dilakukan pengelola kepada pemerintah daerah yang kemudian masuk ke dalam pos PAD dalam pendapatan daerah. Biaya jasa sewa instalasi ini dalam model digambarkan sebagai bagian dari pengeluaran IPAL yang secara negatif dapat mempengaruhi surplus IPAL. Dari causal loop model pengelolaan IPAL Cisirung kemudian dibuat diagram alir model dasar pengelolaan IPAL Cisirung yang dapat dilihat pada Gam bar V .2.
1Lkenalkan_op_cost_stlh_2008
laju_kenaikan_tarif
tarif_dasar_2001
Gambar V.2 Diagram Alir Model Pengelolaan IPAL Cisirung Eksisting 73
V.1.2 Pengembangan Model Pengelolaan IPAL Cisirung V.1.2.1 Altematif Pengembangan Model Pengelolaan IPAL Cisirung Pengembangan model pengelolaan IP AL Cisirung dalam penelitian ini dilakukan dengan menggunakan dasar pemikiran seperti yang diungkapkan pada Bab I pada Gambar 1.5. Dalam gambar tersebut terlihat bahwa terdapat dua hal yang menjadi tujuan dalam pengelolaan IPAL Cisirung yaitu peningkatan PAD dalam rangka desentralisasi fiskal serta pengendalian pencemaran air dalam rangka pengelolaan lingkungan hidup. Dalam upaya untuk mencapai kedua tujuan dari pengelolaan IP AL Cisirung di atas diperlukan adanya sinergi antara pengelolaan keuangan daerah dan pengelolaan keuangan IPAL seperti yang terlihat dalam gambar 1.5. Dalam gambar tersebut diperlihatkan adanya hubungan timbal balik
antara
pengelolaan keuangan daerah dengan pengelolaan keuangan IP AL. Pengelolaan IPAL Cisirung sebagai salah satu aset daerah yang berfungsi memberikan pelayanan kepada masyarakat dapat dilakukan melalui beberapa altematif kelembagaan seperti UPTD (Unit Pelaksana Teknis Daerah), BLUD (Badan Layanan Umum Daerah), maupun kerjasama dengan pihak swasta. Masingmasing bentuk lembaga pengelola memiliki perbedaan yang cukup signifikan satu sama lain terutama dalam hal pengelolaan keuangan seperti yang terlihat pada Tabel
V.1 berikut. Ta bel VI . .. Perban d.mgan Beberapa BentukLem b,aga PengeIo Ia IPAL C ISirung UPTD
BLUD
Swasta Murni
Orientasi Laba
Non Profit
Non profit
Profit
Pola Pertanggungjawaba nKeuanf{an Kemandirian dan Fleksibilitas
SKPD
Kepala Daerah
Direktur Perusahaan
Kurang mandiri dan kurang fleksibilitas, DPA menjadi satu kesatuan dengan SKPD
Cukup mandiri dan fleksibel
Mandiri dan sangat fleksibel
/ntervensi Pemda
Cukupkuat
Kurangkuat
Lemah
Biaya Operasional
Tarif jasa Layanan dan Subsidi yang harus disetor dulu ke kas daerah
Tarif jasa layanan atau subsidi atau kedua-duanya
Tarif jasa layanan
74
UPTD
BLVD
Swasta Murni
Tanggungjawab jika dejisit
PEMDA
PEMDA
Pihak swasta
Kepemilikan Aset
Aset Milik Pemda
Aset milik Pemda
Aset milik Pemda, Pemanfaatan asset oleh pihak swasta melalui ketjasama pemanfaatan
SDM
PNS
Bisa PNS atau swasta atau perpaduan
Swasta
Subsidi APBD
Bisa langsung mendapat subsidi tapi tidak bisa langsung ke UPTD, dan tidak bisa menerima iuran/subsidi langsung dari masyarakat
Bisa terus mendapatkan subsidi, bantuan modal, infrastruktur, dan biaya operasionaJ pegawai
Tidak mendapatkan subsidi dari pemerintah
Pembentukan Unit Pelaksana Teknis Daerah (UPTD) sebagai pengelola IPAL Cisirung memiliki beberapa kelebihan dan kekurangan. Proses pembentukan UPTD relatiflebih mudah dan cepat karena langsung berada di bawah Dinas Teknis Daerah terkait. Namun demikian, bentuk UPTD sebagai operator IP AL memiliki kelemahan terutama pada efektifitas pengelolaan dana operasional pelayanan IP AL. Hal ini disebabkan karena pengelolaan keuangan UPTD yang belum terpisah dari keuangan daerah. Selain itu, kelemahan UPTD terletak pada sulitnya untuk menerapkan pendekatan enterpreneur untuk mengembangkan pelayanan karena UPTD berada dalam lingkup birokrasi kedinasan. Selain UPTD, pengelola IP AL Cisirung juga dapat berasal dari pihak operator swasta seperti yang telah diterapkan selama ini. Pengelolaan IP AL oleh swasta hanya mungkin dilakukan sejauh pengelolaan IPAL terse but dapat memberikan keuntungan finansial. Pengalaman pengelolaan IP AL selama ini oleh pihak swasta memperlihatkan bahwa terjadi hal-hal yang tidak diinginkan. Hal ini terjadi karena kurangnya pengawasan yang intensif dari pihak pemerintah. Untuk itu, yang terpenting dalam pengelolaan IP AL Cisirung oleh pihak swasta adalah transparansi pemilihan operator IPAL untuk menghindarkan ketidakefisienan pengelolaan serta pengawasan intensif dari pemerintah. 75
Alternatif bentuk lembaga pengelola IPAL yang lain yang dapat diterapkan di IP AL Cisirung adalah Badan Layanan Umum Daerah (BLUD). Untuk operator IPAL yang berbentuk BLUD, kelebihan utamanya terletak pada fleksibilitas pengelolaan keuangan yang terpisah dari keuangan pemerintah daerah. Dengan BLUD pendapatan yang didapat dari layanan pengolahan limbah dapat langsung dikelola tanpa keharusan menyetor ke kas daerah. Kelebihan lainnya terletak pada skema subsidi yang dapat diterima, dan juga mekanisme kontrol yang didasarkan pada rencana kegiatan yang dibuat sebelum BLUD beroperasi. Pemilihan jenis kelembagaan yang dapat dijadikan dasar dalam pengembangan model pengelolaan IPAL Cisirung didasarkan pada tujuan bahwa dengan model pengelolaan IP AL Cisirung yang baik, IPAL Cisirung diharapkan dapat memenuhi fungsinya sebagai pengendali pencemaran air di wilayah Dayeuhkolot dengan memberikan pelayanan pengolahan air limbah yang baik serta sebagai penghasil PAD bagi Kabupaten Bandung dengan memberikan kontribusi yang lebih besar kepada PAD. Karenanya, pengembangan model pengelolaan IPAL Cisirung tersebut dalam jangka panjang tidak hanya terbatas bertujuan untuk menyelesaikan masalahmasalah pengelolaan lingkungan hidup saja. Namun, perlu adanya pemikiran sebuah konsep yang komprehensif terkait dengan pemecahan berbagai permasalahan lain seperti peningkatan pendapatan daerah melalui PAD. Hal ini menyebabkan pengembangan konsep dan model pengelolaan IPAL Cisirung tersebut memerlukan sebuah organisasi yang tidak hanya berpikir masalah keuntungan semata tetapi juga dapat beroperasi dengan prinsip-prinsip efisiensi, keefektifan, produktivitas, dan profesionalisme. Permasalahan yang mengemuka dalam penelitian ini merupakan permasalahan sosial dan memerlukan tanggungjawab serta peranan pemerintah sebagai public service provider utama, sehingga organisasi pengelola IPAL yang diperlukan adalah organisasi yang mampu bergerak dinamis dan fleksibel tetapi tidak terlalu mementingkan keuntungan semata. Fokus utama organisasi pengelola lebih ditekankan pada layanan secara optimal. Namun, untuk kepentingan pengembangan program layanan secara lebih luas diperlukan kemampuan untuk bergerak secara
76
fleksibel baik dalam pemberian layanan maupun dalam pengelolaan sumber daya yang dipedukan termasuk pengelolaan dan pertanggungjawaban keuangan. Dengan memperhatikan beberapa kebutuhan dan karatekteristik tersebut, maka bentuk kelembagaan yang digunakan untuk mengembangkan model pengelolaan IPAL Cisirung berjenis BLU yang beorientasi layanan masyarakat (non profit) sebagai dasar strategi pengelolaannya. Selain itu, pengendalian usaha sepenuhnya berada di tangan
Pemerintah
Daerah
atas
dasar
Peraturan
daerah
sebagai
dasar
pembentukannya
V.1.2.2
Pengembangan Model Pengelolaan IPAL Berdasarkan PP Nomor 23 Tahun 2005 (PK BLU)
Dari model dasar pengelolaan IPAL Cisirung sebelumnya kemudian dikembangkan sebuah struktur model baru pengelolaan IPAL dengan menambahkan unsur-unsur serta pola keterkaitan baru sebagai hasil dari implementasi sebuah kebijakan. Dalam penelitian ini kebijakan baru yang diterapkan dalam pengelolaan IP AL adalah kebijakan Pengelolaan Keuangan Badan Layanan Umum (PK-BLU). Sebagaimana yang telah diuraikan dalam Bab II (sub Bab 11.4.2) mengenai karakteristik BLU, ada beberapa prinsip dasar mengenai BLU yang dapat di terapkan kedalam pengelolaan IPAL sehingga sehingga dapat merubah struktur model pengelolaan IPAL sebelumnya. Prinsip dasar BLU yang diterapkan pada pengelolaan IPAL berada dalam lingkup pengelolaan keuangan BLU terutama dalam hal Surplus dan Defisit seperti yang tercantum dalam pasal29 yang berbunyi: Surplus anggaran BLU dapat digunakan dalam tahun anggaran berikutnya kecuali atas perintah Menteri Keuangan/Gubernur/ Walikota/Bupati, sesuai dengan kewenangannya, disetorkan sebagian atau seluruhnya ke Kas Umum Negara/Daerah dengan mempertimbangkan posisi likuiditas BLU. Dari model dasar pengelolaan IPAL Cisirung sebelumnya kemudian dikembangkan sebuah struktur model baru pengelolaan IPAL dengan menambahkan unsur-unsur serta pola keterkaitan baru sebagai hasil dari implementasi sebuah kebijakan. Dalam penelitian ini kebijakan baru. yang diterapkan dalam pengelolaan IP AL adalah
77
kebijakan Pengelolaan Keuangan Badan Layanan Ummn (PK-BLU). Hasil dari pengembangan model dasar tersebut dapat dilihat pada Gambar V .3
Tarif
Pengolahan Limbah
Alokasi Pengeluaran Daerah u/IPAL
Debit Air Limbah yg diolah Kapasitas
Pengolahan -..-~ Limbah
Struktur baru yang ditambahkan pada model pengelolaan lPAL eksisting
Gambar V.3 Stuktur Model Pengelolaan IPAL HAsil Pengembangan Secara umum pengembangan model ini dilakukan dengan mengembangkan 3 variabel utama model seperti yang telah dijelaskan sebelumnya yaitu Aset IPAL, Surplus IPAL dan PAD. Pengembangan paling besar terjadi pada sub model Aset IPAL, dimana pada model sebelumnya tidak terdapat sumber-sumber investasi baru untuk penambahan ase4 sedangkan dalam pengembangan model dilakukan digambarkan adanya penambahan aset dari investasi yang dilakukan dari surplus
78
IPAL dan dari investasi daerah. Penjelasan lebih lanjut dari masing-masingfeedback
loop yang ada dalam model di atas adalah sebagai berikut : 1. Loop 1 (positif) Loop I ini merupakan loop yang bersifat tumbuh yang menggambarkan hubungan antara surplus IPAL dengan Aset IPAL. Dalam loop tersebut diperlihatkan bahwa pengalokasian surplus IP AL untuk investasi IP AL dapat meningkatkan nilai aset IPAL, dan peningkatan nilai aset IP AL kemudian dapat meningkatkan kapasitas pengolahan limbah IPAL Cisirung yang pada akhimya akan meningkatkan pendapatan IP AL dan surplus IP AL. Pengalokasian surplus IPAL ini dimungkinkan untuk dilakukan jika dalam pengelolaan IP AL Cisirung
ini diterapkan kebijakan pengelolaan keuangan BLU. Hal ini dimungkinkan karena dalam Peraturan Pemerintah RI Nomor 23 Tahun 2005 Tentang Pengelolaan Keuangan Badan Layanan Umum (BLU) pasal 29 yang menyabutkan bahwa Surplus anggaran BLU dapat digunakan dalam tahun
anggaran berikutnya kecuali alas perintah Menteri Keuangan/Gubernur/ Walikota!Bupati, sesuai dengan kewenangannya, disetorkan sehagian atau seluruhnya ke Kas Umum Negara/Daerah dengan mempertimbangkan posisi
likuiditas BLU. Dalam hal ini jika posisi pengelolaan IPAL membutuhkan investasi baru, maka sangat dimungkinkan untuk dilakukan investasi baru dengan dana yang berasal dari surplus IP AL selama tidak ada ketentuan mengikat dari Bupati untuk menyetorkan seluruh surplus IPAL Cisirung ke Kas Daerah.
2. Loop 2 (negatif) Loop 2 merupakan loop negatif yang menggambarkan hubungan antara aset dan depresiasinya. Nilai depresiasi akan mendeakumulasi aset menjadikan stok aset yang telah memasuki masa kadaluwarsa tidak lagi berfungsi efektif dalam melakukan pengolahan air limbah. Depresiasi akan selalu terjadi selama aset IPAL masih ada, dan nilai depresiasi inilah yang menjadi pemicu keharusan terjadinya investasi baru dalam penambahan aset IPAL agar aset IPAL masih dapat menyediakan kapasitas pengolahan limbah yang sesuai dengan debit air limbah yang seharusnya diolah di IPAL Cisirung. 79
3. Loop 3 (negatif) Loop 3 merupakan loop negatif yang menggambarkan hubungan antara investasi IPAL dan surplus IPAL. Dalam hal ini jika investasi IPAL dilakukan dengan alokasi dana yang berasal dari surplus IPAL maka nilai investasi IPAL akan mengurangi surplus IPAL dan secara otomatis juga akan mengurangi alokasi surplus IPAL yang diperuntukkan untuk PAD.
4. Loop 4 (negatif) Loop 4 merupakan loop negatif yang memperlihatkan hubungan antara kenaikan aset IPAL yang berbanding terbalik dengan surplus IPAL. Kenaikan aset IPAL Cisirung pada dasamya akan meningkatkan kapasitas pengolahan limbah dan juga meningkatkan debit air limbah yang dapat diolah di IPAL Cisirung. Kenaikan volume debit air limbah yang dapat diolah di IPAL cisirung juga akan meningkatkan biaya operasional IPAL yang pada akhimya dapat meningkatkan pengeluaran IPAL, dan kenaikan pengeluaran IPAL dapat mengurangi surplus IPAL yang dapat diperoleh pengelola IPAL.
5. Loop 5 (positif) Sarna halnya seperti loop 1, loop 5 ini juga merupakan loop yang bersifat tumbuh yang menggambarkan hubungan antara surplus IPAL dengan Aset. Hal yang membedakan antara loop I dan loop 5 adalah bahwa pada loop 5 penambahan aset IPAL Cisirung dilakukan melalui jalur investasi daerah. Dalam hal ini pemerintah daerah membuat suatu kebijakan dimana seluruh surplus IPAL disetorkan seluruhnya ke Kas Daerah, dan melalui mekanisme pengelolaan keuangan daerah surplus IPAL terse but dapat dikembalikan kern bali ke IPAL Cisirung melalui investasi daerah. Investasi daerah untuk IPAL Cisirung dapat dilakukan dengan mempertimbangkan likuiditas keuangan pemerintah daerah. Dengan potensi penambahan PAD yang bersumber dari surplus IPAL, maka kas pemda dapat meningkat dan likuiditas kas pun akan meningkat juga sehingga memungkinkan terjadinya investasi daerah untuk IPAL Cisirung.
80
6. Loop 6 (negatif) Loop 6 merupakan loop negatif yang bersifat menyeimbangkan (balancing) yang menggambarkan hubungan antara likuiditas keuangan pemerintah daerah dengan pengeluaran daerah yang dimungkinkan terjadi dengan ketersediaan kas pemerintah daerah. Loop inilah yang pada akhimya dapat menghambat terjadinya investasi daerah untuk IPAL Cisirung. Dalam pengelolaan keuangan daerah, pemerintah daerah biasanya memiliki prioritas-prioritas pengeluaran
yang didahulukan dalam pelaksanaan pembangunan. Dalam hal ini investasi daerah termasuk dalam pos pengeluaran pembiayaan yang sifatnya bukan prioritas. Dalam model ini pemerintah daerah memberikan prioritas tinggi terhadap pengeluaran-pengeluaran pembangunan yang sifatnya rutin. Dan jika kondisi likuiditas keuangan pemerintah daerah berada dalam level yang rendah maka investasi daerah untuk IP AL Cisirung bisa jadi tidak mendapatkan alokasi dana dari pemerintah. Secara umum, dalam pengembangan model pengelolaan IPAL Cisirung terdapat pengembangan tiga sub model yaitu sub model pengelolaan keuangan IP AL Cisirung yang berkaitan dengan smplus IPAL, sub model Aset IPAL, dan sub model pengelolaan keuangan daerah yang berkaitan dengan PAD dan investasi daerah untuk IPAL Cisirung. Ketiga diagram alir dari ketiga sub model tersebut dapat dilhat pada Gambar V.4, V.S, dan V.6 dibawah ini.
81
laju_kenllibwl_tarif
tarif_dasar_2001
Gambar V .4 Diagram Alir Sub Model Pengelolaan Keuangan IPAL init_Kap_ Bgm
, ~0
Gambar V .5. Diagram Alir Sub Model Aset IPAL
82
Gambar V.6. Diagram Alir Sub Model Pengelolaan Keuangan Daerah
Untuk keperluan simulasi, dalam pemodelan pengelolaan IPAL Cisirung tru digunakan beberapa nilai asumsi terhadap beberapa variabel dan parameter. Pada tabel V.l disajikan data variabel dan parameter berikut nilai awal yang digunakan dalam pemodelan ini. Tabel V.2. Nilai variabel dan parameter model pengelolaan IPAL Cisirung
Variabellparameter Dimensi Sub Model Pengelolaan Keuangan IPAL Cisirung Rp/mj Tarif 1 Laju kenaikan tarif /tahun 2 Tax rate 3 /tahun 4 Kapasitas awal IPAL m"'/tahun Sub Model Aset IPAL 5 Initial aset Bangunan Rp 6 Initial aset ME Rp 7 Umur aset Bangunan tahun 8 UmurasetME tahun 9 Alokasi investasi bangunan Tanpa dimensi No
Nilai
Somber
1904 0.07 0.3 4.97e6
Dokumen IPAL Perhitungan Wawancara Dokumen IPAL
8.39e9 5.02e9 20 10 0.5
Dokumen IPAL Dokumen IPAL Dokumen IPAL Dokumen IPAL Asumsi, wawancara
83
No
Variabellparameter
10
Alokasi investasi ME
11
Tahun BLU
Dimensi
Nilai
Somber
Tanpa dimensi Tanpa dimensi
0.5
Asumsi, wawancara Asumsi
2012
Sub Model Pengelolaan Keuangan Daerah Data sekunder Asumsi, wawancara Perhitungan data sekunder Perbitungan data sekunder Perhitungan data sekunder
11 12
Initial Kas Daerah W aktu kecukupan kas
Rp /tahun
7.98el0 0.25
13
Laju pertumbuhan pajak dan retribusi Laju pertumbuhan lain-lain PAD
/tahun
0.03
/tahun
0.32
Laju pertumbuhan lain-lain pendapatan Laju pertumbuhan penerimaan pembiayaan Laju pertumbuhan belanja langsung Laju pertumbuhan belanja tidak langsung Laju petumbuhan lain-lain pengeluaran pembiayaan
/tahun
0.09
/tahun
0
Perhitungan data sekunder
/tahun
0.2
Perhitungan data sekunder
/tahun
0.08
Perhitungan data sekunder
/tahun
0.25
Perhitungan data sekunder
14 15
16 17 18 19
V.2.
Pembatasan Model
Mencermati kompleksitas permasalahan yang ada di dunia nyata, dalarn proses pemodelan, Sterman (2000) mengemukakan perlunya pembatasan di dalarn rrtembangun struktur model. Batasan model merepresentasikan
ring~asan
lingkup
model yang tersusun atas variabel-variabel endogen, eksogen dan di luar batas model. Variabel endogen adalah variabel yang nilainya ditentukan oleh interaksi dalarn model yang tercakup dalarn diagram lingkar urnpan balik. Variabel eksogen adalah elemen yang mempengaruhi keadaan dan dinarnika model narnun tidak dipengaruhi oleh model, sedangkan di luar batas model merupakan variabel yang tidak dapat dipengaruhi dan mempengaruhi model. Pembatasan dan generalisasi ditempuh guna menyederhanakan fenomena dari dunia nyatanya. Formulasi keterkaitan antar variabel model untuk mendapatkan mode referensi (reference mode) antara variabel satu dengan lainnya didasarkan atas perilaku dan kaidah yang
84
bersifat umum, dengan mengacu pada penelusuran pustaka dan diskusi dengan para pihak.. Dalam penelitian ini juga dilakukan pembatasan model pengelolaan IPAL Cisinmg. Secara garis besar, batasan model yang dibangun diperlihatkan pada Tabel V.2. berikut. Tabel V.3. Variabel-variabel model pengelolaan IPAL Cisirung
Variabel Endogen
Varlabel Eksogen
Submodel Pengelollllln KeiUlllgan /PAL Cisirung Operating Cost per unit Pendapatan IPAL TarifPengolahan Air Kapasitas Pengolahan Lim bah Lim bah Volume limbah yang diolah Surplus lPAL
Di luar Batas Model Kondisi Lingkungan
Submodel Aset /PAL Alokasi investasi bangunan AsetiPAL Total Investasi yang Alokasi investasi ME dibutuhkan Investasi Aset yang dikehendaki Submodel Pengelolaan Keuangan Daerah Kas Daerah Penerimaan pembiayaan Pendapatan Daerah Pajak dan retribusi Pengeluaran Daerah Lain- lain PAD Alokasi Pemda untuk Lain-lain pendapatan daerah investasi BLU Belanja langsung Belanja tidak langsung Lain-lain pengeluaran pembiayaan
V.3.
Pengujian Model
Model pengelolaan IPAL Cisinmg yang telah dibangun dalam bab ini selanjutnya diuji, dengan membandingkan perilak.unya terhadap data ak.tual yang diperoleh. Pengujian ini untuk melihat apakah model yang dibuat telah mendekati kondisi sebenarnya. Persyaratan agar model dapat digunak.an untuk melihat pola perkembangan di masa depan maupun melak.ukan analisis kebijakan adalah model 85
tersebut haruslah valid. Dan salah satu cara apakah model system dynamics yang telah dibangun cukup layak. atau sahib untuk dijadikan alat untuk menganalisiis kebijak.an di masa datang adalah dengan menguji kemampuan model untuk menirukan perilak.u historisnya Perilak.u model hasil simulasi dapat dibandingkan dengan perilak.u historisnya jika tersedia data menurut time seriesnya. Kemudian selanjutnya dilak.ukan uji statistik, yang mana merupak.an landasan untuk mempertegas sahihnya model. Walaupun demikian, hal ini bukan merupak.an satusatunya cara dalam melak.ukan perigujian model. Jika tidak. tersedia data time series dari suatu variabel mak.a pengujian model dapat dilak.ukan dengan membandingkan perilak.u model dengan pola perilak.u (reference mode) model mental pengelolaan IPAL yang didapat dari penelusuran pustak.a, penelitian di lapangan dan diskusi dengan para pihak. terkait dengan perilak.u yang didapat dari hasil simulasi model.
Uji Perilaku Aset /PAL Dalam penelitian ini dilak.ukan beberapa metode pengujian yang berbeda terhadap perilak.u aset IPAL dan perilak.u pengeluaran pemerintah daerah. Untuk perilak.u aset IPAL dilak.ukan pengujian perilak.u aset IPAL dengan cara membandingkan perilak.u aset IPAL dengan pola perilak.u (reference mode) model mental pengelolaan IPAL yang didapat dari penelusuran pustak.a, penelitian di lapangan dan diskusi dengan para pihak. terkait dengan perilak.u hasil simulasi. Dari hasil penelusuran, pola
perilak.u (reference mode) model mental pengelolaan IPAL dapat dilihat pada GambarV.7. NilaiAwal Aset
-~ 0.
0:::
...J
-
Tahun
Gambar V.7. Pola Referensi Perilaku Model Mental Pengelolaan IPAL Cisirung
86
Dari basil simulasi yang dilakukan terbadap model dasar pengelolaan IPAL Cisinmg didapatkan perilaku aset IPAL baik aset bangunan dan aset mekanikal elektrikal yang dapat mengikuti pola perilaku (reference mode) model mental pengelolaan IPAL. Hal ini dapat dilibat pada Gambar V.8. 1e10-
5e9- "2--£~~---L-2---L~
'1 '
4e9-
1
3e9-
"---1-........ 1-....... 1-..._1 -
1e101
- 1-
2e9-
Kapilal ME
-
-z- init-Kap-ME
1e92,003
2,001
2,005
8e~ -2~--z-2--z--z--z--z
1<........11- 1-
6e9-
.
4e" 2,001 2,003 2,005
2,008
1--1
- 1-
Kapitai_Bgnn
-z- inii_Kap_Bgm
2,008
Tahun
Tahun
Gambar V .8. Perilaku Model Pengelolaan lPAL Cisirung Eksisting
Uji Perilllku Pengelwran Pemerintah Daerah Pengujian perilaku model juga dilakukan terbadap variabel pengeluaran pemerintah daerah. Pengujian perilaku terbadap variabel ini dilakukan dengan membandingkan perilaku model dengan perilaku historis karena untuk variabel ini tersedia data historis dalam lime seriesnya. Hasil uji kesesuaian perilaku terhadap variabel ini dapat dilibat pada Gambar V.9
Tahun
_ _ Pengeluaran_Daerah 1
-z- Pengeluaran_Daerah_historis ().
..
. . •·
2,005.0
.
_,_
2,006.5
·-·2,008.0
Tahur Gambar V .9 Uji Kesesuaian Perilaku Pengeluaran Daerah
Historis Simulasl (Rp/Tahun) (Rp/Tahun)
2005
1.28E+12
5.24E+ll
2006
1.48E+12
1.50E+12
2007
1.90E+12
1.91E+12
2008
1.50E+12
1.53E+12
MSE
0.087486
RMSPE
0.295781
UM
0.215237
us uc
0.586440 0.198322
Setelah dilakukan uji kesesuaian perilaku model, kemudian dilakukan uji statistik dengan basil seperti terlihat pada gambar sebelumnya. Dari basil uji statistik tersebut dapat disimpulkan validitas model sebagai berikut : 87
1. Dilihat dari kesalahan karena adanya ketidaksamaan bias (inequality bias
proprtion) atau uM terlihat bahwa nilai uM adalah 0.215237. Hal tersebut menunjukkan bahwa kesalahan yang disebabkan adanya kesalahan sistematis antara model yang telah dibangun dengan dunia nyatanya kecil atau dengan kata lain model tersebut cukup baik dalam menerjemahkan kondisi riil dan nilai parameter yang digunakan di dalam model pun sudah cukup tepat 2. Sedangkan kesalahan karena ketidaksamaan varian (variance inequality
proportion) us dapat terlihat bahwa nilai us untuk variabel yang diuji adalah 0.586440. Ada beberapa uji statistik yang menunjukkan nilai us yang cukup besar (lebih dari 0,5). Untuk melihat bahwa apakah model tersebut memeliki kesalahan yang sistematis dengan tingginya ketidaksamaan varian tersebut hams dikembalikan lagi pada tujuan pembuatan model, apakah model tersebut ditujukan untuk menerjemahkan dan melakukan analisis pola siklus pada suatu sistem ataukah ditujukan untuk melakukan analisis perilaku sistem dalam jangka panjang. Apabila model tersebut akan digunakan untuk melakukan analisis pola siklus pada suatu sistem maka tingginya nilai ketidaksamaan varian atau us tersebut dapat dikategorikan sebagai kesalahan yang sistematis (menunjukkan perilaku hasil simulasi dan perilaku di dunia nyata mempunyai kecenderungan yang berbeda atau mempunyai siklus yang berbeda). Namun apabila pembuatan model tersebut ditujukan untuk menganalisis perilaku suatu sistem dalam jangka panjang maka kesalahan ini dapat dikategorikan sebagai kesalahan yang tidak penting atau tidak sistematis dan hanya merupakan gangguan acak biasa. Di dalam model ini karena tujuannya digunakan untuk melakukan analisis pengelolaan IPAL Cisirung dalam jangka panjang, maka adanya nilai ketidaksamaan varian atau Us yang cukup tinggi (lebih dari 0,5) tersebut dapat dianggap sebagai adanya gangguan acak biasa dan bukan merupakan kesalahan yang sistematis terhadap model sehingga model tersebut masih layak untuk digunakan sebagai alat melakukan analisis suatu sistem. 3. Kesalahan karena ketidaksamaan kovarian (inequality covariance proportion) merupakan indikasi adanya gangguan (noise) pada pola siklus (cyclical modes) pada data historis yang tidak dapat ditangkap oleh model. Di dalam model ini
88
nilai ketidaksamaan kovarian ini bernilai 0.198322. Nilai yang relatif kecil tersebut menunjukkan bahwa nilai tiap-tiap titik (point by point) antara perilaku hasil simulasi dengan data historisnya tidak sama meskipun model dapat dikatakan merniliki nilai rata-rata dan kecenderungan yang sama dengan dunia nyata. Kesalahan karena ketidaksamaan kovarian ini pada umumnya bukan merupakan kesalahan yang sistematis. Secara umum nilai hasil pengujian statistik di atas dianggap sudah cukup dalam menentukan kesahihan (validitas) model yang dibuat dalam menirukan perilaku historisnya, karena walaupun masih terdapat kesalahan namun masih dalam rentang batas toleranasi untuk analisis suatu kebijakan yaitu tidak melebihi angka 1. Selanjutnya, model dapat digunakan untuk analisis perilaku dasarnya serta pengambilan kebijakan.
89
BABVI SIMULASI DAN ANALISIS
Berdasarkan model yang telah dibangun sebelumnya dan telah diuji validitasnya seperti yang tercantum dalam Bah V, selanjutnya akan dilakukan simulasi terhadap model tersebut dan dilakukan analisis terhadap kecenderungan perilaku variabelvariabel yang dikaji. Adapun variabel-variabel utama yang dikaji dalam penelitian ini adalah Aset 1PAL, Kapasitas Pengolahan IPAL, Surplus IPAL dan Alokasi Surplus IPAL untuk PAD. Dalam penelitian ini model akan dicoba untuk disimulasikan dalam jangka panjang (periode 2001 - 2020) tanpa dilakukan intervensi kebijakan (skenario dasar). Selanjutnya dari hasil analisis atas perilaku yang terjadi dalam skenario dasar tersebut akan dicoba dilakukan intervensi berbagai altematif kebijakan ke dalam model, simulasi model dengan beberapa altematif kebijakan akan dilakukan dalam periode waktu tahun 2005 - 2020. Hal ini dilakukan karena dasar pengelolaan IPAL Cisirung oleh pemerintah Kabupaten Bandung dimulai pada saat wewenang pengelolaan IPAL Cisirung dikembalikan Kabupaten
Bandung.
Dari
berbagai
oleh PDAM kepada Pemerintah
altematif
skenario
kebijakan
yang
diintervensikan ke dalam model tersebut selanjutnya akan dilakukan analisis lebih mendalam agar dihasilkan rekomendasi pemilihan kebijakan yang paling tepat dan layak untuk diterapkan. VI.l
Simulasi Model Eksisting Pengelolaan IPAL Cisirung Dalam Jangka Panjang (Skenario Dasar)
Perilaku model dasar pengelolaan IPAL Cisirung didapat dengan mensimulasikan model dasar pengelolaan IPAL dengan tanpa adanya intervensi kebijakan yang dapat mengubah struktur pengambilan keputusan pada model. Skenario dasar ini akan menggambarkan keadaan yang terjadi saat ini, dan kecenderungan perilaku variabelvariabel pada masa yang akan datang. Simulasi dilakukan pada rentang waktu 200 I - 2020 dengan asumsi bahwa pengelolaan IPAL Cisirung dilakukan efektif mulai
90
tahun 2001 dan simulasi ini akan memperlihatkan dampak pengelolaan IPAL selama ini terhadap perilaku variabel-variabel yang dikaji.
VI.l.l Perilaku Penurunan Aset IPAL dalam Jangka Panjang Hasil simulasi terhadap model dasar pengelolaan IP AL dalam jangka panjang memperlihatkan perilaku aset IPAL baik aset bangunan sipil maupun aset peralatan mekanikal-elektrikal yang terns mengalami penurunan dalam jangka seperti yang terlihat pada Gambar VI.1.
_ _ Kapitai_Bgnn 1
""""2- Kapitai_ME
n
2,005
2,010
2,015
2,020
Tahun
Gambar VI.l Perilaku Penurunan Aset IPAL dalam Jangka Panjang
Hal ini terjadi karena selama pengelolaan IPAL Cisirung yang dilakukan sejak tahun 2001 tidak banyak upaya yang dilakukan oleh pengelola IPAL untuk mengganti aset IPAL yang berkurang akibat depresiasi maupun rusak akibat banjir dengan melakuk:an investasi baru. Pengelola IPAL selama ini melakuk:an upaya-upaya yang lebih menjurus kepada upaya pemeliharaan peralatan IPAL yang utama yang bersifat menunjang operasional pengolahan limbah. Jika dilihat dari Gambar VI. I penurunan aset IPAL yang berupa peralatan mekanikal
elektrikal lebih tajam dan nilainya mendekati nol pada tahun 2020. Hal ini terjadi selain karena umur aset peralatan ME ini memang lebih kecil dan juga karena peralatan ME ini merupakan ujung tombak pengolahan IPAL sehingga digunakan terns menerns sehingga pada akhirnya memiliki tingkat kerusakan yang cuk:up tinggi.
91
VI.1.2 Perilaku Penurunan Kapasitas IPAL dalam Jangka Panjang Besamya kapasitas pengolahan IPAL Cisirung sangat ditentukan oleh nilai aset IPAL yang ada. Kapasitas pengolahan maksimal didapat ketika nilai aset IPAL sama dengan nilai aset awal IPAL pada saat awal pengoperasian IPAL Cisirung. Dan jika nilai aset IP AL terns mengalami penurunan dari tahun ke tahun maka bersarnya kapasitas pengolahan IPAL Cisirung juga akan mengalami penurunan seperti yang terlihat pada Gambar Vl.2.
4,000, c: :J .c:
3,000,
~ ('t)
2,000,
cu
E
1,000,
2,005
2,010
2,015
2,020
Tahun
Gambar V1.2 Perilaku Penurunan Kapasitas Pengolahan IPAL daJam Jangka Panjang
Besarnya kapasitas pengolahan air limbah di IPAL Cisirung sangat mempengaruhi besarnva volume air limbah yang dapat diolah di IPAL Cisirung. Meskipun volume air limbah yang diolah di IPAL Cisirung selama ini masih jauh dibawah kapasitas pengolahan IPAL Cisirung1 namun dalam jangka panjang penurunan kapasitas pengolahan IPAL Cisirung akan dapat mengurangi volume air limbah yang dapat diolah di IPAL Cisirung seperti yang terlihat pada Gambar VI.3. Pada gambar tersebut terlihat bahwa pada tahun 2012 nilai kapasitas pengo laban IPAL akan lebih kecil dibanding volume air limbah yang seharusnya diolah di IPAL Cisirung. Hal ini menyebabkan ada sebagian air limbah yang dibuang ke IPAL Cisirung yang tidak dapat diolah dan pada akhimya akan mengganggu kualitas air limbah yang dibuang dari IPAL Cisirung. 1
Volume air limbah yang diolah di IPAL Cisirung rata-rata adalah 70- 80 lt/detik, masih jauh dibawah kapasitas IPAL terpasang yaitu 175 lt/detik
92
5,000, 4,000,
§
.c.
3,000,
E
2r ~~ 1
(1J
~
1~
2,000,
_ _ kapasitas_IPAL 1
12......._ '---1
£ - volume_limbah_yg_diolah
1,000,
2,005 2,010 2,015 2,020
Tahun Gambar VI.3 Perilaku Penurunan Kapasitas Pengo laban IPAL dan Penurunan Volume Lim bah yang Dapat Diolah
Perilaku ini dalam jangka panjang sangat berpotensi untuk menyebabkan terjadinya pencemaran air yang disebabkan oleh kualitas air limbah yang dibuang oleh IPAL Cisirung yang tidak memenuhi Baku Mutu, dan hal ini terjadi karena dalam jangka panjang kapasitas pengolahan IPAL tidak lagi dapat mengolah seluruh air limbah yang dibuang ke IPAL Cisirung.
VI.l.3 Perilaku Perkembangan Surplus IPAL dalam Jangka Panjang Berbeda dengan perilaku yang terjadi pada aset dan kapasitas pengolahan IPAL, hasil sirnulasi model dasar pengelolaan IPAL Cisirung memperlihatkan perilaku perkembangan surplus IPAL yang cenderung mengalami kenaikan dari tahun ke tahun seperti yang terlihat pada Gambar VI.4.
2,005
2,010
2,015
2,020
Tahun Gam bar VI.4 Perilaku Perkembangan Surplus IPAL dalam Jangka Panjang
93
Perilaku peningkatan surplus IPAL yang selalu meningkat dari tahun ke tahun dapat dijelaskan karena walaupun tarif pengo laban limbah pada awal pengoperasian IP AL Cisirung tahun 2001 cukup rendah, namun tarif pengo laban air limbah di IP AL Cisirung telah mengalami penyesuaian beberapa kali sehingga berdampak positif terhadap pendapatan pengelola. Selain itu, pihak pengelola IPAL juga telah memodifikasi sebagian proses pengolahan air limbah dengan tidak mengaktitkan beberapa unit IPAL yang bersifat pengo laban sekunder2 yang mengkonsumsi banyak listrik sehingga hal tersebut dapat mengurangi biaya operasional IP AL yang pada akhimya juga akan berdampak positif terhadap surplus IPAL. Selain hal-hal yang berdampak positif terhadap surplus IPAL, terdapat juga variabel biaya operasional IP AL yang dapat mengurangi pendapatan pengelola Komponen terbesar dari biaya operasional adalah biaya bahan kimia, listrik dan pemeliharaan dan perbaikan. Beberapa modifikasi proses pengolahan limbah yang dilakukan oleh pengelola telah dapat mengurangi biaya bahan kimia dan listrik sehingga biaya operasional IPAL Cisirung tidak secara signifikan mengurangi surplus IP AL. Selain itu, seperti yang telah dijelaskan pada sub bah sebelumnya pihak pengelola IPAL selama pengelolaan IP AL Cisirung memang tidak banyak melakukan investasi baru untuk mengganti aset IP AL yang rusak. Hal ini menandakan bahwa tidak dimasukkan komponen depresiasi yang dapat mengurangi surplus IPAL. Namun, jika kita lihat peningkatan surplus IP AL mulai tahun 2012 akan lebih landai dibanding
tahun-tahun sebelumnya. Hal ini terjadi karena mulai tahun 2012
kapasitas pengolaban IPAL akan lebih kecil dibanding dengan volume limbah yang seharusnya diolah di IP AL Cisirung. Hal ini menyebabkan volume limbah maksimal yang akan diolah di IPAL adalah sebesar kapasitas pengolahan aktual pada saat itu dan secara langsung akan mengurangi pendapatan pengelola ke level yang lebih rendah dibanding tahun-tahun sebelumnya. 2
Modifikasi proses salah satu contohnya dilakukan pada pengolahan lumpur IPAL dengan tidak mengaktifkan decanter lumpur (pengering lumpur) yang mengkonsumsi banyak listrik dan menggantinya dengan sludge drying bed, atau unit pengering lumpur yang menggunakan tenaga matahari. Modifikasi ini pun dilakukan dengan memodifikasi unit bangunan sipil yang sebelumnya digunakan untuk gudang bahan kimia bubuk yang sudah tidak digunakan.
94
Dari ketiga perilaku yang dihasilkan dari simulasi terhadap model dasar pengelolaan IPAL Cisirung diperlihatkan bahwa upaya pengelolaan IP AL Cisirung selama ini dalam jangka panjang akan menyebabkan IP AL Cisirung tidak dapat berfungsi sebagai pengendali pencemaran air di wilayah Dayeuhkolot maupun sebagai penghasil PAD bagi Pemerintah Kabupaten Bandung. Hal ini terjadi karena dalam jangka panjang penurunan kapasitas pengolahan IP AL kemudian akan menurunkan kinerja IPAL sehingga IP AL kemudian tidak dapat berfungsi sebagai pengendali pencemaran atr. Dalam hal lain, IPAL Cisirung juga tidak akan dapat berfungsi optimal sebagai penghasil PAD bagi Pemerintah Kabupaten Bandung. Hal ini terjadi karena meskipun surplus IPAL yang didapat oleh pengelola IP AL memiliki kecenderungan untuk mengalami peningkatan dari tahun ke tahun, namun tidak ada hubungan langsung antara kenaikan surplus tersebut dengan PAD bagi Pemerintah Kabupaten Bandung. Aliran dana yang terjadi dari IP AL Cisirung ke Pemerintah Kabupaten Bandung hanya terjadi melalui biaya jasa sewa instalasi yang besarnya tetap dari tahun ke tahun.
VI.2. Penentuan Skenario Kebijakan Pengelolaan IPAL Cisirung Untuk mengatasi berbagai permasalahan yang timbul akibat pengelolaan IPAL Cisirung yang dilakukan selama ini maka diperlukan suatu pengembangan kebijakan yang dapat diterapkan ke dalam pengelolaan IP AL Cisirung sehingga IP AL Cisirung dapat berfungsi baik sebagai pengendali pencemaran air di wilayah Dayeuhkolot maupun sebagai penghasil PAD bagi Pemerintah Kabupaten Bandung. Model dasar pengelolaan IPAL Cisirung sebelumnya dikembangkan sebuah struktur model baru pengelolaan IPAL dengan menambahkan unsur-unsur serta pola keterkaitan baru sebagai basil dari implementasi sebuah kebijakan. Dalam hal ini kebijakan baru yang diterapkan dalam pengelolaan IPAL adalah kebijakan Pengelolaan Keuangan Badan Layanan Umum (PK-BLU). Hasil dari pengembangan model dasar tersebut dapat dilihat pada Gambar V.3 (pada bab sebelumnya).
95
Titik berat dari pengembangan kebijakan pengelolaan IPAL Cisirung dilakukan untuk mengatasi permasalahan penurunan aset IPAL. Pengembangan kebijakan pengelolaan IPAL dilakukan dengan melakukan penambahan aset IPAL melalui investasi yang berasal dari surplus IPAL maupun yang berasal dari investasi daerah yang dilakukan pemerintah daerah. Hal ini dapat dilihat pada gambar VI.4
----------
\
Tarif Pengolahan Limbah
\
Alokasi Pengeluaran \ Daerah u/ IPAL I I
I
I I I I
Debit Air Lirnbah Yl! diolab Kapasitas Pengolaban Limbah
-.----4
Gambar VI. 5. Pengembangan Kebijakan Pengelolaan lPAL Cisirung
Keterangan : Daerah yang diarsir menunjukkan pengembangan struktur model untuk penambahan aset IPAL sedangkan variabel dengan bulatan berwarna merah menunjukkan variabel yang akan menjadi titik utama penentuan skenario kebijakan
Penambahan aset IPAL sangat mungkin dilakukan dengan investasi yang dilakukan dengan mengunakan dana dari surplus IPAL, selain secara aspek hukum
96
3 perundangan hal terse but dimungkinkan , penambahan aset menggunakan investasi
dari surplus IP AL juga lebih mudah dilakukan dibanding penambahan aset IPAL melalui investasi daerah yang hams melewati struktur yang lebih rumit seperti yang terlihat pada loop 5. Hal lain yang menjadi perhatian dalam pengembangan kebijakan ini adalah bahwa IP AL Cisirung juga berfungsi sebagai penghasil PAD bagi Pemerintah Kabupaten Bandung, karena ketika seluruh surplus IPAL dialokasikan untuk investasi IPAL maka sudah pasti bahwa tidak ada bagian surplus IP AL yang akan masuk sebagai PAD. Hal ini mnegakibatkan IPAL Cisirung tidak dapat menjadi penghasil PAD bagi Pemerintah Kabupaten Bandung. Dua tarikan kepentingan yang berkaitan dengan IP AL Cisirung terse but yang kemudian menjadi titik tolak perumusan skenario kebijakan pengelolaan IPAL Cisirung. Variabel utama yang akan divariasikan dalam simulasi kebijakan adalah surplus IPAL. Skenario kebijakan akan dibuat dengan 2 skenario dimana skenario pertama surplus IP AL disetorkan seluruhnya untuk PAD, dan skenario kedua surplus IP AL digunakan seluruhnya untuk investasi IPAL. Pengaktifan skenario kebijakan alokasi surplus ini dilakukan pada model setelah tahun 2012 dengan asumsi bahwa kebijakan ini barn dapat diterapkan ketika IPAL Cisirung telah menjadi BLUD sehingga dapat menerapkan pola pengelolaan keuangan BLU. Asumsi ini diambil dengan perkiraan bahwa pembentukan BLUD IPAL Cisirung berlangsung selama 2 tahun dari tahun 20102012.4 Selain itu, berkaitan dengan upaya pengendalian pencemaran air di wilayah Dayeuhkolot, penentuan skenario kebijakan pengelolaan IP AL Cisirung yang dikembangkan akan memperhatikan volume limbah yang diolah di IP AL Cisirung. 3
Sesuai dengan Peraturan Pemerintah RI Nomor 23 Tahun 2005 Tentang Pengelolaan Keuangan Badan Layanan Umum (BLU) pasal 29 yang menyebutkan bahwa Surplus anggaran BLU dapat digunakan dalam tahun anggaran berikutnya kecuali atas perintah Menteri Keuangan/Gubernur/ Walikota!Bupati, sesuai dengan kewenangannya, disetorkan sebagian atau seluruhnya ke Kas Umum Negara!Daerah dengan mempertimbangkan posisi likuiditas BLU. 4
Hal ini didasarkan dari pengalaman instansi pemerintahan lain yang telah membentuk: unit BLU di instansinya
97
Saat ini jumlah industri yang membuang limbahnya ke IPAL Cisirung masih berada pada rentang 25 - 27 industri. Jika dilihat dari hasil inventarisasi yang dilakukan oleh Badan Pengendalian Lingkungan Hidup Kabupaten Bandung masih ada sejumlah kurang lebih 5 industri yang berlokasi di sekitar IPAL Cisirung yang masih belum melakukan pengelolaan air limbah dengan baik. Hal ini berarti bahwa masih ada potensi kenaikan volume air limbah yang dapat diolah di IP AL Cisirung sekitar 30%5 • Potensi kenaikan ini dapat direalisasikan dengan catatan adanya kebijakan pemerintah daerah yang mewajibkan industri untuk mengolah limbahnya dengan optimal disertai pengawasan yang intensif serta dorongan kuat dari pemerintah daerah agar industri tersebut untuk memanfaatkan IP AL Cisirung apabila industri tersebut tidak dapat meningkatkan upaya pengelolaan lim bah caimya. Berdasarkan uraian sebelumnya, pada Tabel VI.l disajikan kumpulan skenarioskenario kebijakan yang akan diterapkan dan disimulasikan ke dalam model pengelolaan IPAL Cisirung barn. Tabel VI.l. Kumpulan Skenario Kebijakan Pengelolaan IPAL Cisirung
~ 0
1
2 3 4
Debit Air Limbah Yang Diolah
Alokasi Surplus IPAL
Tetap0 Tetap Meningkat 30%' Meningkat 30%
PAD Investasi IPAL PAD Investasi IP AL
5
Potensi ini juga mempertimbangkan munculnya industri-industri basah yang baru yang berlokasi di sekitar IPAL Cisirung 6
Debit air lirnbah diasumsikan tetap dikarenakan tidak teljadi penambahan industri yang membuang air limbah ke IPAL Cisirung 7
Debit air limbah meningkat sebesar 30% teljadi selama periode tahun 2009-2020, peningkatan sebesar 300/o didasarkan pada potensi industri yang dapat membuang air lirnbahnya di dayeuhkolot ke IPAL Cisirung. Potensi ini dapat dicapai dengan dorongan kebijakan dari pemerintah
98
VI.3
Simulasi Model Pengelolaan IPAL Cisirung (Skenario Kebijakan)
Untuk mengetahui perilaku dari variabel-variabel yang diamati, selanjutnya dilakukan simulasi terhadap model pengelolaan IPAL Cisirung yang baru dengan menggunakan skenario-skenario kebijakan yang telah ditentukan sebelumnya. Hasil dari simulasi tersebut dapat diilihat pada sub bah selanjutnya.
VI.3.1 Perilaku Model Dengan Skenario Kebijakan 1 dan 2 Skenario kebijakan 1 dan 2 adalah skenario kebijakan dimana nilai debit limbah yang diolah dibuat tetap sementara yang divariasikan adalah variabel alokasi surplus IPAL, untuk skenario I alokasi surplus IPAL disetorkan seluruhnya ke Pemerintah
Daerah, sedangkan skenario 2 surplus IPAL dialokasikan seluruhnya untuk investasi IPAL. Hasil simulasi model dengan skenario 1 dan 2 diperlihatkan pada Gambar VI. 6.
Perilaku Kapital Baagunan IPAL
Perilaku Kapital Mekaaikal ElektrikaliPAL 6e
1e10.
5e9'2:3"4"3 4------------J-4------------J
a_
0::
5e9-
"'1'2~~
Kapitai_BIJ!n
4e9-
""'2-
Kapilal_ BIJln
ft 3e9-
1· - - -
1
--:3-
- BIJln
inil Kap
-
- 4- init_Kap_BIJ!n
n. 2,005 2,010 2,015 2,020
Tahun (a) Keterangan : Garis 1,3 Garis 2,4
- 1-
~ -4--:3"4
"4
2~
2e9-
- 1- Kapitai_ME
1'2~----2 1~
1e9-
Kapital ME
--:3-
init Kap ME
-
-
-
_ _ inii_Kap_ME 4
n. 2,005
""'2-
2,010
2,015
2,020
Tahun (b)
: Skenario l : Skenario 2
99
Perbandingan Perilaku Volume Limbab Yang Diolab Dengan Kapasitas IPAL 5,000,000 '
4'
~
4,000,000
c
:::l
~
~
3-4
3,000,000.
_ _ volume_limbah_yang_diolah 1
.c
~ E
12
(')
~- kapasitas_IPAL
4
_ kapasitas_IPAL
1,000,000-
" 2,005
2,015
2,010
2,020
Tahun
(c) Keterangan : Garis 1,3 Garis 2,4
: Skenario I : Skenario2 Perilaku Surplus IPAL
Perilaku Alokasi Surplus IPAL untuk PAD
2e1Q.
2e1
§
1e1
.L;
~
{t5e 2,005
2,010
2,015
Tahun
(d)
2,020
2,005
2,010
2,015
2,020
Tahun
(e)
Keterangan : Garis 1 : Skenario 1 Garis 2 : Skenario 2
Gambar VI.6 Pengaruh Implementasi Skenario kebijakan I dan 2 terhadap perilaku : (a) Perilaku Aset Bangunan Sipil IPAL; (b) Perilaku Aset Peralatan MekanikalElektrikal IPAL; (c) Perbandingan Perilaku Volume Limbah Yang diolah dengan Kapasitas IPAL; (d) Perilaku Surplus IPAL; dan (e) Perilaku Alokasi Surplus IPAL untuk PAD
100
VI.3.2 Perilaku Model Dengan Skenario Kebijakan 3 dan 4 Berbeda dengan skenario sebelumnya, skenario kebijakan 3 dan 4 adalah skenario kebijakan dimana nilai debit limbah yang diolah meningkat sebesar 30% selama periode tahun 2009 - 2020, dan sama halnya dengan skenario sebelumnya nilai variabel alokasi surplus IPAL divariasikan, dimana untuk skenario 3 alokasi surplus IPAL disetorkan seluruhnya ke Pemerintah Daerah, sedangkan skenario 4 surplus IPAL dialokasikan seluruhnya untuk investasi IPAL. Hasil simulasi model dengan skenario 3 dan 4 diperlihatkan pada Gambar VI. 7. Perilaku Kapital Bangunan IPAL
Per ilaku Kapital Mekanikal Elektrikal IPAL 6e95e9- ;:----3 4--J-4 4e9- 2~
1e10. - 1-
-2::3-4-3·4~-4~
--.......
a.
0::
1'2~--2 1- - 1
5e9-
Kapilai_Bgnn
~ 3e92e9-
~- Kapilai_Bgm ~-
- 4-
n.
init K.ap Bgm
-
-
-
" 2,005
2,005 2,010 2,015 2,020
1~ 2,015
Kapitai_ME
~- Kapitai_ME ~-
..
- 2,010
init K.ap ME
- - -
inil K.ap ME
2,020
Tahun
Tahun
(b)
(a) Keterangan : Garis 1,3 Garis 2,4
_ _ 1
2~--2
1e9-
init K.ap Bgm
-
1
-4
: Skenario 3 : Skenario 4
Perbandingan Perilaku Volume Limbah Yang Diolah Dengan Kapasitas IPAL 5, 000.~ ,
4, 4 ,000,000
c:
::J
~
~
~
34 "-...
~ ==-==--=- -
3,000,000
s .£;
,.,
E
~
'2
2
1'3-----------
2 ,000.000
- - - - - -1
~- volume_limbah_yang_diolah
"'-3- kapasitas_ IPAL
1,000,000
2 ,005
2,010
2 ,015
2,020
Tahun
(c) Keterangan : Garis 1,3 Garis2,4
: Skenario 3 : Skenario4
101
Perilaku Surplus IPAL
Perilaku Alokasi Surplus IPAL untuk PAD
2e1(}
2e1
// §
1e1()-
---2 /
~ -2--
&.
(U
:!:::
a. 5e9-
0:::
1
§
/2
/ 1e1()-
&.
1
(U
a. 5e9-
0:::
'2/
"
2,005
:2./
:!:::
2,010
2,015
2,020
Tahun
(d)
200~
2.~/o
2,015
2,020
Tahun
(e)
Keterangan : Garis l : Skenario 3 Garis 2 : Skenario 4
Gambar VL7 Pengaruh Implementasi Skenario kebijakan 3 dan 4 terhadap perilaku : (a) Perilaku Aset Bangunan Sipil IPAL; (b) Perilaku Aset Peralatan MekanikaiElektrikal IPAL; (c) Perbandingan Perilaku Volume Limbah Yang diolah dengan Kapasitas IPAL; (d) Perilaku Surplus IPAL; dan (e) Perilaku Alokasi Surplus IPAL untuk PAD
VI.4. Analisis Kebijakan dan Pembahasan VI.4.1 Analisis Kebijakan Implementasi skenario-skenario kebijakan terhadap model kebijakan pengelolaan IPAL Cisirung memperlihatkan perubahan perilaku variabel yang san gat signifikan dibanding dengan perilaku variabel tersebut pada model dasar. Analisa terhadap masing-masing perilaku variabel hasil simulasi tersebut diuraikan pada sub bah dibawah ini.
VI.4.1.1 Dampak Implementasi Kebijakan Terhadap Aset IPAL Berbagai skenario yang diterapkan terhadap model pengelolaan IPAL Cisirung menghasilkan dampak yang berbeda terhadap perilaku aset IPAL seperti yang dijelaskan pada uraian berikut :
1. Skenario 1 dan 3 Hasil implementasi skenario kebijakan 1 dan 3 pada model pengelolaan IPAL didapatkan bahwa nilai aset IPAL baik aset bangunan sipil maupun aset peralatan mekanikal elektrikal terns mengalami penurunan seperti yang terlihat 102
pada Gambar Vl.8. Hal ini sama dengan perilaku model pada skenario dasar pengelolaan IPAL. Perilaku Kapital Mekanikal Elektrikal IPAL
Perilaku Kapital Bangunan IPAL
6e 1e10.
5e9<2:3.4"3 ·4~.4~
a.
0:::
5e9-
--......1'2--............ 1'2---...
- 1- Kapitai_Bgm
£ - Kapilai_Bgm 1
-:3-
init Kap Bgm
-
-
~ 4 --:3 4 -
2~
3e92e9-
---"3 4 - 1- Kapilai_ME
1'2
12- - - 1
ft
2,005
2,005 2,010 2,015 2,020
£ - Kapital- ME
~
1e9-
- 4- init_Kap_Bgm
n
4e9-
2,010
2,015
-:3-
init K.apME
-
-
_ _ init_Kap_ME 4
2,020
Tahun
Tahun
Gambar VI.8 Pengaruh Implementasi Skenario kebijakan I dan 3 terhadap perilaku Aset IPAL Keterangan : Garis 1,3 : Skenario 1 Garis 2,4 : Skenario 3
Pada skenario I dan 3 surplus IP AL dialokasikan seluruhnya untuk PAD, sehingga tidak teijadi investasi IPAL yang didanai oleh surplus IPAL yang kemudian dapat meningkatkan aset IPAL. Hal ini bisa teijadi jika dalam pengelolaan keuangan IPAL yang telah mengadopsi pola keuangan BLU, Bupati sebagai kepala daerah memerintahkan seluruh surplus IPAL untuk disetorkan ke kas daerah. Meskipun sebenarnya ada potensi pengembalian surplus IPAL yang telah disetorkan seluruhnya ke kas daerah ke IPAL Cisirung melalui pos pengeluaran pembiayaan (investasi daerah), namun nyatanya hal itu tidak teijadi. Hal ini dikarenakan bahwa pemerintah daerah memiliki kebijakan prioritas belanja dan pembiayaan yang menempatkan pos investasi daerah dalam tingkat prioritas yang cukup rendah. Artinya, investasi daerah untuk IPAL baru akan dilakukan jika pos-pos pengeluaran lain telah terpenuhi, dan jika tingkat pengeluaran pemerintah daerah yang sebenarnya teijadi sesuai dengan proyeksi yang dilakukan dalam model, maka tidak akan teijadi investasi daerah untuk IPALCisirung. Hal ini lah yang menyebabkan aset IPAL akan terus menurun walaupun pengelolaan keuangan IPAL telah mengadopsi kebijakan pengelolaan keuangan BLU.
103
2. Skenario 2 dan 4 Pada skenario 2 dan 4 surplus IPAL dialokasikan seluruhnya untuk investasi IPAL. Secara urnurn, hasil implementasi skenario kebijakan 2 dan 4 memperlihatkan bahwa nilai aset IPAL yang sebelumnya mengalami penurunan dapat dihentikan penurunannya. Hal ini dapat terjadi karena dalam skenario 2 dan 4 terjadi penambahan aset IPAL dengan adanya investasi baru yang dananya Hal yang membedakan antara skenario 2 dan
berasal dari surplus IPAL.
skenario 4 adalah pada skenario 2 besarnya volume air limbah yang diolah di IPAL Cisirung diasumsikan tetap sehingga tidak ada kebutuhan aset yang berasal dari peningkatan volume limbah yang harus diolah, sehingga pada skenario 2 besarnya kebutuhan investasi baru dihitung dari nilai depresiasi aset yang terjadi. Hal inilah yang menjelaskan perilaku aset dalam jangka panjang pada skenario 2 dimana nilai aset IP AL cenderung tetap pada suatu level tertentu. Sedangkan pada skenario 4 besarnya volume air limbah yang diolah di IPAL Cisirung mengalami peningkatan sebesar 30% selama periode tahun 2009 -2020 sehingga secara kumulatif terjadi peningkatan kebutuhan aset. Hal ini menyebabkan pada skenario 4 ini selain dari nilai depresiasi, kebutuhan aset IPAL juga muncul dari peningkatan volume limbah yang diolah. Hal ini yang membuat terjadinya perilaku peningkatan aset IPAL yang sebanding dengan peningkatan volume limbah yang diolah. Perilaku aset setelah implementasi skenario kebijakan 2 dan 4 dapat dilihat pada Gambar Vl.9. Perilaku Kapital Mekanikal ElektrikaiiPAL
Perilaku Kapital Baagunan IPAL 6e 1e1 "2_3-4"3"4
----.....
a. 0:::
5e
"4
1 '2~ "2---"1
-1 - ~-Bgm
-1 - ~-ME
~- Kapilai_Bgm
~- Kapilai_ME
J _ lnit_Kap_Bgm
J -
4
Wllt_Kap_Bgm
4
2,005
2,005 2,010 2,015 2,020
2,010
2,015
1nit Kap ME
-
-
init_Kap_ME
2,020
Tahun
Tahun
Gambar V1.9 Pengaruh Implementasi Skenario kebijakan 2 dan 4 terhadap perilaku Aset IPAL
104
Keterangan : : Skenario 2 : Skenario 4
Garis I ,3 Garis 2,4
VI.4.1.2
Dampak lmplementasi Kebijakan Terhadap Kapasitas Pengolahan IPAL
1. Skenario 1 dan 3 Hasil implementasi skenario 1 dan 3 kepada model pengelolaan IPAL secara umum memperlihatkan kecenderungan perilaku kapasitas pengolahan IPAL yang sama dengan skenario dasar, dimana terjadi penurunan kapasitas pengolahan IPAL Cisirung yang kemudian dapat mengurangi volume air limbah yang dapat diolah di IPAL Cisirung seperti yang terlihat pada Gambar Vl.1 0. Perbandingan Perilaku Volume Limbab Yang Diolah Dengan Kapasitas IPAL 5,000,
4,000,
3,000,
- 1- volume_limbah_yang_diolah
('I)
""""2- votume_ri!Tlbah_yang_diolah
E 2,000,
""'3- kapasitas_IPAL
4
2,005
2,015
2,010
_ kapasitas_IPAL
2 ,020
Tahun
Gambar VI. I 0 Pengaruh Implementasi Skenario kebijakan I dan 3 terhadap perilaku Kapasitas Pengolahan IPAL
Keterangan : Garis I,3 Garis 2,4
: Skenario I : Skenario 3
Penurunan kapasitas pengolaban IPAL yang tetjadi pada skenario I tetjadi setelah tahun 2015, hal ini lebih lambat dibanding dengan penurunan kapasitas pengolahan IPAL yang terjadi pada skenario dasar yaitu pada tahun 2012. Sedangkan untuk skenario 3 penurunan kapasitas pengolahan IPAL terjadi lebih cepat dari skenario 1 yaitu sebeum tahun 2015, hal ini terjadi karena pada lOS
skenario 3 mulai tahun 2009 terjadi peningkatan volume limbah yang dilah di IPAL Cisirung secara bertahap. lmplementasi kedua skenario ini dalam jangka panjang dapat menyebabkan fungsi IP AL Cisirung sebagai pengendali pencemaran air di Dayeuhkolot tidak dapat dipenuhi.
2. Skenario 2 dan 4 Seperti yang telah dijelaskan sebelumnya, implementasi skenario kebijakan 2 dan 4 dapat meningkatkan nilai aset sampai pada batas tertentu dan hal ini
berdampak pula terhadap kapasitas pengolahan IPAL seperti yang terlihat pada Gambar VI. II . Perbandingan Perilaku Volume Limbab Yang Diolab Dengan Kapasitas IPAL 5,000,
4,000,
3,000,
- 1- volume_limbah_yang_diolah
(")
~- volurne_lirnbah_yang_diolah
E 2,000,
"""3- kapasitaa_ IPAL 4
2,005
2,015
2,010
kapaaitas_IPAL
2,020
Tahun
Gambar VI. II Pengaruh lmplementasi Skenario kebijakan 2 dan 4 terhadap perilaku
Kapasitas Pengolahan JPAL Keterangan : : Skenario 2 Garis I ,3 : Skenario 4 Garis 2,4
Setelah sebelumnya mengalami penurunan, ketika skenario kebijakan 2 diimplementasikan nilai kapasitas pengolahan IPAL dapat dipertahankan pada level tertentu. Dan nilai kapasitas pengolahan IPAL (garis 3) masih berada di atas nilai volume limbah yang harus diolah di IPAL Cisirung (garis 1)sehingga dengan IPAL Cisirung masih dapat mengolah seluruh air limbah yang masuk, bahkan dengan batas toleransi (allowance) yang cukup besar. Artinyajika terjadi 106
fluktuasi volume air limbah yang masuk ke IP AL Cisirung8, Berbeda dengan skenario 2, skenario 4 menghasilkan perilaku kapasitas IP AL yang dapat mengikuti perilaku volume limbah yang diolah. Kecenderungan peningkatan volume limbah yang diolah yang mungkin terjadi akan dapat diantisipasi besamya oleh penambahan aset IP AL yang sesuai sehingga dapat meningkatkan kapasitas IP AL yang sesuai dengan volume limbah yang diolah. Batas peningkatan volume limbah yang diolah pada akhirnya akan ditentukan oleh besamya surplus IPAL yang dapat digunakan untuk investasi aset. Dengan implementasi kedua skenario kebijakan ini terlihat bahwa IP AL Cisirung masih akan dapat berfungsi dengan baik sebagai pengendali pencemaran air di wilayah Dayeuhkolot.
VI.4.1.3
Dampak Implementasi Kebijakan Terhadap Surplus IPAL
1. Skenario 1 dan 3 Pada implementasi skenario kebijakan 1 dan 3, didapatkan perilaku surplus IP AL yang mengalami peningkatan yang cukup tajam dari awal tahun simulasi. Namun seiring dengan terus berkurangnya aset IP AL dan juga kapasitas IP AL maka peningkatan surplus IP AL menjadi terus melandai. Hal ini dikarenakan pada saat terjadi penurunan kapasitas pengolahan IPAL hingga lebih kecil dari volume limbah yang seharusnya diolah, dan hal tersebut akan menyebabkan penurunan pendapatan IP AL yang berujung juga pada penurunan surplus IP AL. Dan hal ini juga berdampak pada alokasi surplus IPAL untuk PAD, dengan semakin berkurangnya surplus IP AL potensi PAD bagi pemerintah daerah juga akan semakin berkurang seperti yang dapat dilihat pada Gambar VI.12.
8
Fluktuasi volume air limbah tetjadi bukan karena penambahan jumlah industri yang mengolah air limbahnya di IPAL Cisirung, namun tetjadi karena penambahan jam ketja, atau kapasitas produksi dari industri-industri yang sudah tergabung dengan IPAL Cisirung
107
Perbaodiogao Perilaku Surplus IPAL dan Alokasi Surplus IPAL uJ PAD
/
/ _ _ surplus_IPAL 1
a.
~- surplus_IPAL
0::
--:3_ Aiok_Surplus_u_PAD _ _ Aiok_Surplus_u_PAD 4
2 ,005
2,010
2,015
2,020
Tahun
Gambar VI.l2 Pengaruh Implementasi Skenario kebijakan 1 dan 3 terhadap perilaku Surplus IPAL dan Alokasi Surplus IPAL untuk PAD Keterangan : Garis t ,3 : Skenario t Garis 2,4 : Skenario 3
Hal yang sedikit berbeda ditunjukkan oleh perilaku surplus IPAL pada skenario 3. Pada implementasi skenario kebijakan 3 terlihat adanya peningkatan surplus IPAL dibanding pada skenario 1 walaupun pada akhirnya juga akan mencapai nilai yang sama dengan skenario 1. Hal ini terjadi karena pada skenario 3 terjadi peningkatan volume limbah yang diolah yang secara langsug akan meningkatkan pendapatan IPAL dan surplus IPAL.
2. Skenario 2 dan 4 Pada implementasi skenario kebijakan 2 dan 4, terlihat bahwa perilaku surplus IPAL terns mengalami peningkatan seperti yang dapat dilihat pada gambar Vl.l2. Hal ini terjadi karena tingkat pendapatan IPAL terjaga dengan baik seiring dengan nilai kapasitas pengolahan IPAL yang terus dipertahankan. Hal ini akan berdampak positif terhadap alokasi surplus IPAL untuk PAD, karena dengan peningkatan surplus IPAL alokasi surplus IPAL untuk PAD juga akan meningkat. Meskipun secara prioritas surplus IPAL dialokasikan untuk investasi IPAL, namun karena nilai kebutuhan investasi IPAL masih jauh dibawah nilai
108
surplus IPAL maka masih banyak surplus IPAL yang tersisa yang dapat dialokasikan untuk PAD. Perbaodingao Perilaku Surplus I PAL dan Alokasi Surplus IPAL ul PAD
_ _ surplus_IPAL 1 surplus_IPAL 2
a.
0::
~- Aiok_Surplus_u_PAD
4
2,015
Alok_Surplus_u_PAD
2,020
Tahun
Gambar VI. 13 Pengaruh Implementasi Skenario kebijakan 2 dan 4 terhadap perilaku Surplus IPAL dan Alokasi Surplus IPAL untuk PAD Keterangan : Garis l ,3 : Skenario 2 Garis 2,4 : Skenario 4
Dari gambar di atas dapat dilihat juga bahwa peningkatan surplus IPAL yang terjadi pada skenario 4 (garis 2) lebih besar dibanding peningkatan surplus IPAL pada skenario 2 (garis 1). Hal ini te.tjadi karena pada skenario 4 terjadi peningkatan volume limbah yang diolah sehingga dapat meningkatkan pendapatan IPAL dan pada akhimya dapat meningkatkan surplus IPAL dan alokasi surplus IPAL untuk PAD.
Secara umum, implementasi skenario kebijakan 2 dan 4 memberikan perilaku variabel model yang lebih baik dibanding dengan skenario kebijakan 1. Dalam hal aset IPAL, skenario 2 dan 4 dapat meredam laju penurunan aset yang terjadi dan juga dapat mempertahankan kapasitas pengolahan IPAL pada level yang dibutuhkan. Sedangkan dalam hal surplus IPAL, skenario 2 dan 4 dalam jangka panjang dapat meningkatkan surplus IPAL. Dalam hal alokasi surplus IPAL untuk PAD meskipun pada awalnya nilai alokasi surplus IPAL untuk PAD pada skenario 2
109
dan 4 bernilai lebih kecil dibanding skenario I dan 3 karena ada sebagian surplus yang digunakan untuk investasi, namun dalam jangka panjang implementasi skenario 2 dan 4 akan dapat meningkatkan PAD bagi pemerintah daerah dibanding dengan skenario I dan 3.
VI.4.2 Pembahasan
VI.4.2.1 Kendala Implementasi Kebijakan PK BLU pada IPAL Cisirung Hasil simulasi skenario kebijakan yang dilakukan terhadap model pengelolaan IP AL Cisirung memperlihatkan bahwa skenario 2 dan 4 dapat menghasilkan perilaku variabel model yang sesuai dengan yang diharapkan. Skenario kebijakan 2 dan 4 merupakan skenario kebijakan yang dibuat dengan dasar implementasi kebijakan pengelolaan keuangan Badan Layanan Umum (BLU). Hal ini menunjukkan bahwa kebijakan yang dapat diterapkan dalam pengelolaan IP AL Cisirung adalah dengan membentuk BLUD IP AL Cisirung. Pembentukan BLUD IP AL Cisirung juga pada dasarnya dapat mensiasati terjadinya tumpang tindih fungsi BPLH dalam Pengendalian Pencemaran Air. Menurut Perda Nomor 7 Tahun 2001, kewenangan pengelolaan IPAL Cisirung saat ini berada pada BPLH Kabupaten Bandung, namun dalam Perda tersebut juga disebutkan bahwa BPLH juga memiliki tugas sebagai instansi pembina, pengawas dan pengendali pencemaran di Kabupaten Bandung. Jika pengelolaan IP AL Cisirung dilakukan secara teknis oleh BPLH maka akan tumpang tindih fungsi BPLH dan akan mengganggu netralitas tugas BPLH sebagai instansi pembina, pengawas dan pengendali pencemaran9 • Namun, jika IPAL Cisirung menjadi berstatus BLUD maka BLUD IP AL Cisirung akan menjadi satu unit kerja otonom di luar BPLH yang bertanggung jawab langsung ke Bupati meskipun pada awal pembentukannya BLUD IPAL Cisirung diusulkan oleh BPLH.
Tercantum dalam Surat Kepala Dinas Lingkungan Hidup kepada Bupati Bandung Nomor 666/164/DLH tanggal 26 Januari 2006 perihal Peljanjian Keljasama Pengelolaan IPAL Gabungan di Dayeuhkolot 9
l\0
Max Weber menyatakan bahwa pemerintah memiliki dua tinjauan peranan penting. Pemerintah mempunyai fungsi sebagai regulator dan administrator jika ditinjau dari mechanic view. Jika ditinjau dari organic view pemerintah juga berfungsi sebagai public service agency dan investor yang harus dinamis. Idealnya kedua peran
pemerintah itu dapat terlaksana secara simultan. Pembentukan BLU(D) bisa jadi salah satu upaya pemerintah agar dapat menjalankan perannya sebagai regulator dan administrator maupun sebagai public service agency dan investor secara simultan. Namun meskipun demikian, penerapan kebijakan BLU terhadap IP AL bukan hal yang mudah untuk dilakukan karena beberapa hal diantaranya yang paling utama adalah bahwa IPAL Cisirung belum termasuk salah satu asset daerah yang dimiliki oleh Kabupaten Bandung. Saat ini kepemilikan asset IPAL Cisirung masih berada pada Pemerintah Pusat dalam hal ini Departemen Pekerjaan Umum (Departemen Permukiman dan Pengembangan Wilayah). Pada tahun 2000 Pemerintah pusat menyerahkan wewenang pengelolaan IPAL Cisirung kepada Pemerintah Kabupaten Bandung melalui Berita Acara Serah Terima Nomor 17/BAIM/2000 tanggal 19 April 2000. Dalam berita acara tersebut juga disebutkan bahwa akan dilakukan pengalihan kepemilikan aset IPAL kepada Pemerintah Kabupaten Bandung. Namun, hingga saat ini proses pengalihan kepemilikan aset ini belum dilaksanakan sehingga secara formal kepemilikan aset IPAL Cisirung masih berada pada Pemerintah Pusat. Hal ini menjadi kendala utama pembentukan BLUD IPAL Cisirung. Kendala kepemilikan asset juga akan menghambat proses penghitungan aset IPAL yang akan menjadi dasar pembuatan neraca awal keuangan yang menggambarkan posisi keuangan mengenai aset, dan neraca awal keuangan ini merupakan salah satu persyaratan administratif yang harus dipenuhi. Selain itu, perubahan IPAL Cisirung untuk menjadi berstatus BLUD juga memerlukan persiapan yang cukup matang termasuk berbagai persyaratan yang harus dipenuhi. Dalam hal ini pembentukan BLUD mensyaratkan banyak hal dari perencanaan hingga target-target pencapaian detail layanan yang akan dijalankan. Merujuk pada Peraturan Pemerintah Nomor 23 Tahun 2005 tentang Pengelolaan Keuangan Badan Layanan Umum ada beberapa persyaratan yang harus dipenuhi
111
sebuah instansi atau unit kerja dapat melakukan pengelolaan keuangan dengan PK BLU di antaranya: 1. Persyaratan substantif lnstansi
pemerintah
yang
bersangkutan
bersifat
operasional
dalam
menyelenggarakan pelayanan umum yang menghasilkan semi barang I jasa publik ( quasi public goods ) 2. Persyaratan teknis Persyaratan teknis terpenuhi apabila : Kinerja pelayanan dibidang tugas pokok dan fungsinya yang layak dikelola dan
ditingkatkan
pencapruannya
melalui
BLU
sebagaimana
direkomendasikan oleh menterilpimpinan lembaga kepada SKPD sesuai kewenangannya Kinerja keuangan satuan kerja instansi yang bersangkutan adalah sehat sebagaimana ditunjukkan dalam dokumen usulan penetapan BLU. 3. Persyaratan administratif, Persyaratan tersebut terpenuhi apabila instansi pemerintah tersebut dapat menyajikan seluruh dokumen berikut: Pemyataan kesanggupan untuk meningkatkan kinerja pelayanan, keuangan dan manfaat bagi masyarakat.
Pola tata kelola ( Corporate Governance ). Rencana strategis bisnis. Laporan keuangan pokok. Standar Pelayanan minimum. Laporan audit terakhir atau pemyataan bersedia untuk diaudit secara independen. Jika melihat sejumlah persyaratan yang harus dipenuhi di atas, IPAL Cisirung pada dasamya telah memenuhi persyaratan substantif dimana IPAL Cisirung merupakan unit kerja yang bersifat operasional dan memberikan pelayanan yang berupa jasa pengolahan air limbah. Namun pemenuhan persyaratan yang lain seperti persyaratan administratif akan sulit untuk dilakukan mengingat pengelolaan IPAL selama ini dilakukan oleh pihak swasta Sementara pengajuan status BLUD untuk IPAL 112
Cisirung hams dilakukan oleh instansi pemerintah dimana unit kerja tersebut berada, yaitu oleh Badan Pengendalian Lingkungan Hidup (BPLH) Kabupaten Bandung. Dan dalam hal ini penyusunan persyaratan administratif BLU, BPLH Kabupaten Bandung akan mengalami kesulitan yang cukup berat karena selama ini BPLH Kabupaten Bandung tidak cukup memahami dan berpengalaman dalam mengelola IPAL Cisirung. Selain kendala-kendala di atas, jika dilihat dari model pengelolaan IPAL Cisirung dengan penerapan kebijakan PK BLU seperti yang dapat dilihat pada Gambar Vl.5, terdapat beberapa kendala yang dapat menghambat pelaksanaan pengelolaan IPAL Cisirung sesuai model tersebut secara teknis, di antaranya :
1. Sumber Daya Manusia (SDM) Kewenangan pengelolaan IPAL Cisirung saat ini berada pada BPLH Kabupaten Bandung sesuai dengan Perda Nomor 7 Tahun 2001, namun selama ini kegiatan operasional pengelolaan IPAL dilakukan oleh pihak swasta. Hal ini yang menyebabkan tidak tersedianya sumber daya manusia yang berpengalaman dalam pengelolaan IPAL di BPLH Kabupaten Bandung. Hal inilah yang akan menjadi kendala terbesar dalam penerapan status BLUD IPAL Cisirung. Seperti yang terlihat pada Gambar Vl.l4, kualitas SDM pengelola IPAL mempengaruhi besarnya kapasitas pengolahan IPAL, namun dalam penelitian ini variabel SDM ini menjadi variabel di luar batas model. Minimnya tenaga ahli pengelola IPAL
yang berasal dari pemerintah daerah akan membuat pemerintah daerah kesulitan dalam hal operasional pengelolaan IPAL.
Debit Air Limbah ygdiolah
~ /'\
Kapasitas
tJ-__ Pengolahan.,._--j Limbah
~ ,.... \:J--___
SOM Pengelola I PAL
Gambar Vl.l4 Pengaruh Kualitas SDM Pengelola IPAL Terhadap Pengelolaan IPAL
113
Kesulitan dalam hal pengelolaan IP AL akan berdampak pada kualitas pengelolaan IP AL yang dilakukan sehingga pada akhirnya dapat mempengaruhi kapasitas pengolahan IP AL, karena meskipun kapasitas pengolahan IP AL secara fisik dapat dipertahankan untuk mengolah seluruh air limbah yang masuk ke IPAL
Cisirung
namun jika tidak
didukung
oleh
SDM
yang
dapat
mengoperasikannya dengan baik maka tetap saja kapasitas pengolahan IP AL akan menjadi tidak optimal. Penurunan kapasitas pengolahan IPAL ini pada akhirnya akan berdampak pula pada menurunnya debit air limbah yang dapat diolah di IP AL Cisirung, dan jika hal ini terjadi maka pencemaran air akibat pengelolaan IPAL Cisirung yang kurang tepat dapat terjadi. 2. Kendala Internal Dalam Pengelolaan Keuangan Daerah Kabupaten Bandung Kendala lain yang dihadapi dalam penerapan kebijakan BLUD pada IPAL Cisirung adalah kendala-kendala yang berasal dari struktur pengelolaan keuangan Pemerintah Daerah. Seperti yang telah dijelaskan sebelumnya, dalam penerapan kebijakan BLUD pada IPAL Cisirung terdapat peluang untuk menyerahkan seluruh surplus IPAL sebagai PAD bagi Kabupaten Bandung. Namun meskipun demikian melalui mekanisme pengelolaan keuangan daerah, surplus IP AL tersebut dapat dikembalikan kembali ke IP AL Cisirung melalui alokasi pengeluaran daerah untuk IPAL seperti yang dapat dilihat pada Gam bar Vl.15. Dalam struktur tersebut diperlihatkan bahwa alokasi pengeluaran daerah untuk IP AL Cisirung dapat dilakukan dengan mempertimbangkan likuiditas keuangan pemerintah daerah, sehingga jika likuiditas tidak memungkinan maka pengeluaran daerah untuk IP AL tidak dapat dialokasikan. Selain karena likuiditas, pengembalian surplus IP AL ke IP AL Cisirung juga melalui struktur pengelolaan keuangan daerah yang kompleks. Dalam hal ini pembuatan keputusan alokasi pengeluaran daerah untuk IP AL sangat dipengaruhi oleh pengeluaran daerah lain seperti pengeluaran pembiayaan daerah dan belanja daerah yang juga merupakan prioritas yang harus didahulukan sehingga akibatnya alokasi pengeluaran daerah untuk IP AL menjadi sesuatu hal yang belum pasti dapat dilakukan.
114
Pengeluaran Pembiayaan
/
~
/
Belanja Daerah
~'~)~
____. Kas Pemda
Pengeluaran Pemda
Pendapatan
Pemda
\
r1 v I \
\
(. )
PAD
y
•
Kebutuhan Kas
~ .
~
(• )
~......,_
....___
S•~uWAL~
Alokasi Pengeluaran Daerah u/ lPAL
Pengeluaran ydi
+
I
I
)~
L~~;
+
};('
/
ff
I
J
Aset IPAL
Gam bar VI.15 Kendala Internal Dalarn Struktur Pengelolaan Keuangan Daerah Yang Mempengaruhi Pengelolaan IPAL Cisirung Keterangan : Garis hijau memperlihatkan jalur yang horus ditempuh o/eh surplus !PAL untuk dapat dikembalikan ke IPAL Cisirung sebagai investasi daerah yang me/a/ui struktur pengelo/aan keuangan daerah
Dari hasil simulasi yang dilakukan dengan skenario mengalokasikan seluruh surplus IPAL untuk kas daerah memperlihatkan bahwa IPAL Cisirung pada akhimya tetap mengalami permasalahan yang sama dalam hal aset seperti sebelumnya, padahal dalam hal ini penerapan BLVD pada awalnya dimaksudkan untuk menjaga aset IPAL. Hal ini terjadi karena pada umumnya pemerintah daerah termasuk Pemerintah Kabupaten Bandung saat ini masih memiliki
pemikiran untuk mengutamakan PAD, dan jika hal ini tetap terjadi maka sekalipun konsep BLUD diterapkan pada IPAL Cisirung maka tetap saja tidak
115
dapat menjawab persoalan pengelolaan IPAL terutama dalam hal pengelolaan asetnya. Pembuatan keputusan mengenai alokasi pengeluaran daerah untuk IPAL juga dipengaruhi oleh kemampuan SDM Pemerintah Daerah untuk menetapkan prioritas-prioritas pembangunan. Untuk itu, perlu ada dorongan/insentif tambahan agar sistem BLUD IPAL ini tetap berjalan. Jika dikaitkan dengan visi misi Kabupaten Bandung yaitu dimana Visi Kabupaten Bandung adalah "Terwujudnya Masyarakat Kabupaten Bandung yang Repeh Rapih Kertaraharja melalui Akselerasi Pembangunan Partisipatif yang Berbasis Religius, Kultural dan Berwawasan Lingkungan dengan Berorientasi pada Peningkatan Kinerja Pembangunan Desa" serta tertuang dalam salah satu Misi Kabupaten Bandung
yaitu memelihara keseimbangan lingkungan dan pembangunan berkelanjutan, maka sebenamya pengelolaan lingkungan dapat menjadi prioritas utama bagi pembangunan di Kabupaten Bandung, sehingga jika hal tersebut terjadi seluruh upaya pengelolaan lingkungan dapat menjadi perhatian bagi pemerintah daerah termasuk upaya pengelolaan IPAL Cisirung melalui BLUD IPAL Cisirung.
3. Belum adanya instansilunit kerja di Kabupaten Bandung yang menerapkan status BLUD. Di Kabupaten Bandung belum ada instansi/unit kerja yang menerapkan status BLUD. Hal ini mengakibatkan instansi/unit kerja di Kabupaten Bandung kurang berpengalaman baik dalam hal pengajuan persyaratan BLUD maupun dalam operasional BLUD. Selain itu, belum adanya instansi/unit kerja yang menjadi BLUD di Kabupaten Bandung menyebabkan belum terbentuknya sistem administrasi dan birokrasi yang mendukung termasuk sistem administrasi keuangan (akuntansi) untuk operasional BLUD.
116
BABVII KESIMPULAN DAN SARAN
VII.l Kesimpulan Berdasarkan uraian, analisis serta pembahasan yang telah dilakukan pada bab-bab terdahulu, dapat disimpulkan beberapa hal sebagai berikut. 1. Upaya pengelolaan IPAL Cisirung yang selama ini dilakukan oleh pihak swasta mengakibatkan terjadinya penurunan nilai aset IPAL. Hal ini terjadi karena selama pengelolaan IPAL Cisirung yang dilakukan oleh pengelola tidak banyak upaya yang dilakukan oleh pengelola IPAL untuk mengganti aset IPAL yang berkurang akibat depresiasi maupun rusak akibat banjir dengan melakukan investasi baru. Selama ini surplus yang didapat dari hasil pengelolaan IPAL tidak ada yang dikembalikan ke IPAL untuk keperluan investasi karena hampir seluruhnya masuk ke kas pengelola IP AL. Jika penurunan aset IP AL dibiarkan maka dalam jangka panjang dapat menurunkan kapasitas pengolahan IPAL hingga pada suatu saat kapasitas pengolahan IPAL akan lebih kecil dibanding dengan volume limbah yang seharusnya diolah. Jika hal tersebut terjadi maka IPAL Cisirung sudah tidak dapat berfungsi lagi sebagai pengendali pencemaran air di wilayah Dayeuhkolot. 2. Berkaitan dengan hal tersebut, diperlukan upaya pengelolaan IPAL Cisirung terutama terkait dengan pengelolaan aset IP AL agar kapasitas IPAL dapat dipertahankan pada tingkat yang cukup untuk mengolah limbah yang dibuang ke IP AL Cisirung sehingga upaya pengendalian pencemaran air melalui IPAL Cisirung dapat dilakukan. Pengelolaan aset IPAL dilakukan khususnya untuk mengantisipasi penurunan nilai aset IPAL dengan melakukan penambahan aset melalui investasi baru. 3. Upaya pengelolaan IPAL melalui penambahan aset dapat dilakukan dengan mengubah struktur pengelolaan IPAL Cisirung dengan menerapkan kebijakan pengelolaan keuangan BLUD (PK BLUD) pada pengelolaan IPAL Cisirung.
117
4. Berdasarkan peluang dalam penerapan kebijakan BLUD pada IPAL Cisirung terdapat dua alternatif kebijakan yang dapat ditempuh dalam pemanfaatan surplus pengelolaan IP AL yaitu pertama dengan menyetorkan surplus IPAL tersebut ke Kas Daerah lalu melalui mekanisme pengelolaan keuangan daerah surplus tersebut dapat dikembalikan menjadi investasi daerah untuk IPAL Cisirung. Sedangkan yang kedua adalah dengan langsung memanfaatkan surplus IPAL untuk investasi IPAL. 5. Rekomendasi kebijakan yang disarankan untuk pengelolaan IPAL Cisirung adalah dengan pemanfaatan surplus IPAL untuk investasi IPAL sehingga kapasitas pengolahan IPAL dapat dipertahankan pada tingkat yang cukup. Hal ini terjadi karena melalui kebijakan tersebut pemanfaatan surplus IPAL untuk investasi IPAL dapat terjadi lebih mudah karena melalui mekanisme yang lebih sederhana. Alternatif kebijakan ini dalam jangka panjang dapat juga meningkatkan surplus IP AL dan pada akhirnya dapat meningkatkan PAD bagi Pemerintah Kabupaten Bandung. 6. Penerapan kebijakan BLUD terhadap IPAL dapat menyelesaikan persoalan yang diungkapkan dalam penelitian ini. Namun penerapan kebijakan BLUD IP AL Cisirung ini juga bukan hal yang mudah untuk dilakukan karena masih banyaknya kendala-kendala yang muncul seperti kendala SDM, dan kendala internal yang berasal dari struktur keuangan pemerintah daerah. Kendalakendala tersebut perlu diantisipasi agar penerapan BLUD IPAL Cisirung dapat menyelesaikan persoalan pengelolaan IPAL Cusirung terutama dalam hal pengelolaan asetnya.
VII.2 Saran 1. Model yang dibangun dalam penelitian ini masih bersifat sangat umum, masih banyak digunakan data-data asumsi serta faktor-faktor yang bersifat eksogenus yang belurn diakomodasi di dalam model. Untuk penelitian selanjutnya data-data tersebut dapat digali lebih tajam dari berbagai sumber, sedangkan faktor-faktor eksogenus dapat diubah menjadi variabel endogenus, seperti dalam sub model
118
pengelolaan keuangan IPAL yaitu variabel biaya operasional IPAL (operating cost per unit) dan tarif pengolahan air limbah.
2. Dalam penelitian ini proses pengambilan keputusan pemerintah dalam melakukan investasi daerah masih bersifat sangat sederhana, hanya dipengaruhi oleh ketersediaan kas. Dalam kenyataannya proses pengambilan keputusan pemerintah tersebut juga dipengaruhi oleh kondisi politik, sosial dan lingkungan. Maka untuk penelitian selanjutnya dapat dilakukan elaborasi yang lebih detail terhadap struktur pengambilan keputusan investasi daerah tersebut.
119
DAFfAR PUSTAKA
Buku
I. Bapedal, dkk. Proposal Uji Coba Instalasi Pengolahan Air Limbah Industri Cisirung Bandung Selatan, 1999. 2. Gusti, Susi Melya. (tesis) Ana/isis Keterkaitan Pertumbuhan Ekonomi Dengan Upaya Peningkatan Kemampuan Keuangan Pemerintah Kota Bukittinggi, Studi Pembangunan ITB, 2006. 3. Lyneis, James M. Corporate Planning and Policy Design: A System Dynamics Approach, The MIT Press, 1980. 4. Mardiasmo. Otonomi dan Manajemen Keuangan Daerah, Andi, 2002.
5. Maxwell, Joseph A Qualitative Research Design, Sage Publications, 1996 6. Osborne, David & Ted Gaebler. Reinventing Government: How the Entrepreneurial Spirit is Transforming the Public Sector, Addison-Wesley Publishing Company, Inc, 1992. 7. Pemerintah Kota Balikpapan. Kajian Kesiapan Masyarakat Tentang Penerapan Program Jaminan Pemeliharaan Kesehatan Masyarakat (Menyongsong Balikpapan Sehat 2007) Kota Balikpapan. 2007 8. Radianti, Jaziar (tesis) Kajian Kebijakan Pengelolaan Utang Luar Negeri Indonesia Dengan Pendekatan System Dynamics, Studi Pembangunan ITB, 2000. 9. Rasyidi, M. Salahudin. (tesis) Menuju Ketersediaan Air Yang Berkelanjutan Di Das Cikapundung Hulu : Suatu Pendekatan System Dynamics, Studi Pembangunan ITB, 2009. 10. Saeed, Khalid. Development Planning and Policy Design, Avebury Ashgate Publishing Limited, 1994. 11. Sasmojo, Saswinadi. Sains, Teknologi, Masyarakat dan Pembangunan, Program Pascasarjana, Studi Pembangunan ITB, 2004.
12. Satker Direktorat Konservasi dan Taman Nasional Laut. Pedoman Teknis Penyiapan Kelembagaan Kawasan Konservasi Perairan di Daerah. Direktorat Konservasi dan Taman Nasional Laut, Direktorat Jenderal Kelautan, Pesisir dan Pulau-pulau Kecil, Departemen Kelautan dan Perikanan. 2008. 13. Sterman, John D. Business Dynamics : System Thinking and Modelling for a Complex World, The McGraw-Hill Company, 2000.
120
14. Supriatna, Dadan. (tesis) Analisis Kesiapan RSUD Kota Bandung Dalam Rangka Menuju Badan Layanan Umum Daerah, Sekolah Pascasarjana Universitas Gadjah Mada, 2007. 15. Sutedi, Adrian. Implikasi Hukum Atas Sumber Pembiayaan Daerah Dalam Kerangka Otonomi Daerah, Sinar Grafika, 2009. 16. Tasrif, Muhammad. Analisis Kebijakan Menggunakan Model System Dynamics (Modul Kuliah!Kursus), Program Magister Studi Pembangunan, 2006. 17. Tim Kajian Kelayakan Usaha. Kajian Kelayakan Usaha Instalasi Pengolahan Air Limbah Terpadu Bandung Selatan, 1996.
Jumal 1. Gill, Roderic. An integrated social fabric matrix/system dynamics approach to policy analysis, System Dynamics Review Vol. 12, no. 3. Artikel
1. Ahmad, Hardiansyah. Suatu Tinjauan Pelaksanaan Prinsip-prinsip Good Governance dan Reinventing Government dalam Pelayanan Publik pada era Otonomi Daerah. 2009. http://hardiyansyah-ahmad blogspot. com/2009101lpelaksanaan-prinsip-prinsipgoodhtml 2. Mujiyanto. Badan Layanan Umum Pengelola Air Limbah (BLUPAL) Bali. Website Sanitasi Indonesia_ ISSDP (Indonesia Sanitation Sector Development Program). 3. Supriyanto, Joko dan Suparjo. Badan Layanan Umum: Sebuah Pola Pemikiran Baru atas Unit Pelayanan Masyarakat. disarikan dari Acara Workshop Penyusunan RPP tentang Pengelolaan Keuangan Badan Layanan Umum (BLU)) 4. Yuwana, Wiryawan Purwa. Badan Layanan Umum (BLU) pengakuan dosa dari Pemerintah.2008. ihsanarham. multiply. com
merupakan
Presentasi
1. Direktorat Pembinaan PK BLU. Implementasi Pengelolaan Keuangan Badan Layanan Umum. 16 Februari 2009. 2. PT Damba Intra. Manfaat Sarana Pengolahan Air Limbah Terpadu Bagi Kelompok Manufaktur Dalam Zona Industri Yang Tersebar. 3. Rochaeni, Anni. Pedoman Praktis Desain /PAL. 07 April2009.
121
Peraturan Perundang-undangan
I. Undang-undang Republik Indonesia No. 23 Tahun I997 Tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup 2. Undang-undang Republik Indonesia No. I7 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara 3. Undang-undang Republik Perbendaharaan Negara
Indonesia
Nomor
4. Undang-undang Republik Pemerintahan Daerah
Indonesia Nomor
I 32
Tahun Tahun
2004 2004
Tentang tentang
5. Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 82 Tahun 200I Tentang Pengelolaan Kualitas Air dan Pengendalian Pencemaran Air 6. Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 23 Tahun 2005 Tentang Pengelolaan Keuangan Badan Layanan Umum 7. Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 58 Tahun 2005 Tentang Pengelolaan Keuangan Daerah 8. Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 13 Tahun 2006 Tentang Pedoman Pengelolaan Keuangan Daerah 9. Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 59 Tahun 2007 Tentang Perubahan Atas Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 13 Tahun 2006 Tentang Pedoman Pengelolaan Keuangan Daerah IO. Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 61 Tahun 2007 Tentang Pedoman Teknis Pengelolaan Keuangan Badan Layanan Umum Daerah
122
LAMPIRANI DIAGRAM ALIR SYSTEM DYNAMICS DENGAN MENGGUNAKAN
POWERSIM
Secara wnwn, simbol-simbol struktur yang dipakai dalam pembuatan model dengan system dinamics sebagai berikut :
Source
Auxiliary
1. Level Level merupakan hasil akwnulasi dari aliran-aliran di dalam diagram alir dan menyatakan kondisi sistem setiap saat. Dalam konsep sistem, level dikenal sebagai state variabel. Nilai atau besamya level dipengaruhi nilai awalnya dan nilai rate. Dalam diagram alir level dilukiskan dengan simbol empat persegi panjang. 2. Rate Rate merupakan suatu aliran yang menyebabkan bertambah atau berkurangnya suatu level. Oleh karena itu rate terdiri dari dua jenis, yaitu rate masuk dan rate keluar. Rate masuk akan menambah akwnulasi di dalam suatu level dan dilambangkan dengan simbol katup dan panah menuju level. Sedangkan rate keluar ditunjukan dengan katup yang dihubungkan dengan panah yang menuju sink
123
3. Source dan Sink Simbol awan (cloud) menunjukan source dan sink untuk suatu material yang mengalir ke dalam atau ke luar suatu level. 4. Information Link aliran infonnasi dalam powersim dilambangkan dengan tanda panah yang tegas. Aliran ini merupakan penghubung antar sejumlah variabel di dalam suatu sistem. Jika suatu aliran informasi keluar dari level, ia tidak akan mengurangi akumulasi yang terdapat di dalam level tersebut.
5. Inisialisasi Tanda panah yang terputus-putus menunjukkan inisialisasi atau penentuan nilai awal. Inisialisasi ini hanya berlaku pada awal tahun simulasi.
6. VariabeiAuxi/iary V ariabel auxiliary adalah suatu penambahan infonnasi yang dibutuhkan dalam merumuskan persamaan atau variabel rate. Atau dapat pula dikatakan bahwa variabel auxiliary adalah suatu variabel yang membantu untuk memfonnulasikan variabel rate. V ariabel auxiliary digambarkan dengan suatu lingkaran penuh.
7. Parameter (Konstanta) Konstanta adalah suatu besaran yang nilainya tetap selama proses simulasi. Konstanta dalam powersim digambarkan dengan simbol persegi belah ketupat.
8. Delay Proses delay dalam powersim akan tergambar pada simbol berikut :
Waktu_Delay
124
Dalam menggambarkan delay dibutuhkan penghubung panah bergaris yang menunjukan delay dan panah sebagai aliran informasi, jika nilai awal delay sama dengan variabel input. Jika nilai awalnya ditetapkan terlepas dari variabel input maka hanya dibutuhkan satu panah delay sebagai penghubung. Simbol ini akan muncul bukan hanya untuk mencari delay tetapi juga untuk instruksi tertentu seperti : mencari rata-rata (SMOOTH dalam bahasa dynamo) dan mencari trend.
9. Fungsi Step Simbol ini menunjukkan bahwa dalam variabel tersebut terdapat instruksi yang menyangkut pilihanllogical function.
Tinggi_Step
Waktu_Step
10. Fungsi Graph Simbol ini menunjukkan bahwa dalam variabel tersebut terdapat fungsi Graph.
8
Graph_
ll. Simbol Lainnya Gambar-gambar di bawah 1m menunjukkan bahwa variabel yang ada telah digunakan di tempat lain.
D
level
~ ~ Delay
D 1...::
~
~
M
Auxiliary Konstanta_1
125
LAMPIRANII PERSAMAAN DIAGRAM ALIR MODEL Akumulasi_invest_Ydbth = 0 Akumulasi- invest- Ydbth = +dt*Total- Invest Ydbth Akumulasi_Surplus = 0 Akumulasi_Surplus = +dt*surplus_ IPAL Kapital_Bgnn = init_Kap_Bgnn Kapital_Bgnn = +dt*Pnmbhn_Kap_Bgnn -dt*DPR_ Bgnn Kapital_Bgnn = 100 doc Kapital_ME = init_Kap_ME init flow Kapital_ME = +dt*Pnmbhn_ Kap_ME -dt*DPR ME Kapital_ME = 100 doc Kas Daerah = 79814226444.33 init flow Kas- Daerah = +dt*Penerimaan- Kas- Daerah -dt*Pengeluaran_ Daerah DPR_ Bgnn = Kapital_Bgnnlumur_ Bgnn aux DPR_ME = Kapital_ME/umur_ME aux Penerimaan_ Kas_ Daerah = Pendapatan_ daerah+Penerimaan_pembiayaan aux Pengeluaran_ Daerah = efek_likuiditas*Pengeluaran_ Ydi aux Pnmbhn_Kap_Bgnn = Investasi*alokasi_invest_Bgnn aux Pnmbhn_Kap_ME = Investasi*alokasi_Invest_ME aux surplus_IP AL = Laba_ Kotor-pajak aux Total- Invest- Ydbth = aux Invest_dr_DPR_bgnn+lnvest_dr_DPR_ME+Invest_dr_Kap_Ydkh Alok_Surplus_u_PAD = IF(TIME<=tahun_BLU, 0, surplus_IPALaux Invest_dr_Surplus) alokasi_PEMDA_u_invest_BLU = MIN(Alokasi_u_pembiayaan, aux investasi_BLU) Alokasi_u_pembiayaan = Pengeluaran_ Daerah-Belanja_ Riil aux Belanja_daerah_ydi = Blj_lgsg+Blj_tdk_lgsg aux Belanja_Riil = MIN(Pengeluaran_Daerah, Belanja_daerah_ydi) aux Blj_lgsg = IF(TIME<=2008, Blj_lgsg_historis, prbhn_Blj_lgsg) aux Blj_lgsg_historis = aux GRAPH(TIME,2005,1,[325677331467,513151169900,663831105079,48836853578 3,50 1845699864"Min:300000000000;Max:700000000000;Zoom"]) Blj_tdk_lgsg = lain2_Blj_tdk_lgsg aux depresiasi = DPR_Bgnn+DPR_ME aux efek likuiditas = aux GRAPH(likuiditas,0,0.1 ,[0.01 ,0.17 ,0.33,0.49,0.61 ,0. 71 ,0.82,0.89,0.95,0.98, 1"Min:O; Max: 1;Zoom"]) Invest_dr_DPR_bgnn = DPR_Bgnn aux Invest dr DPR- ME = DPR- ME aux init flow init flow init flow
126
Invest_dr_ Kap_ Ydkh = Kapital_Ydkh/waktu_ u_invest aux Invest_dr_Surplus = (IF(TIME<=tahun_BLU, O,IF(surplus_IPALaux Total_Invest_Ydbth>=O, Total_Invest_Ydbth, surplus_IPAL)))*switch_kebijakan_Alokasi_Surplus_IPAL lnvest_ydbth_dr_PEMDA = IF(TIME<=tahun_BLU, 0, aux Total_Invest_Ydbth-Invest_dr_Surplus) Investasi = alokasi_PEMDA_u_invest_BLU+Invest_dr_Surplus aux investasi_BLU = IF(TIME<=tahun_BLU, 0, Invest_ydbth_dr_PEMDA) aux kapasitas_ IPAL = kapasitas_per_unit_kapital *Kapital aux kapasitas_per_unit_kapital = kapasitas_ awal_IPAL/Kapital_awal aux Kapital = Kapital_Bgnn+Kapital_ME aux Kapital_awal = init_Kap_ Bgnn+init_Kap_ME aux Kapital_Ydkh = MAX(O,Vol_limbah_skenario_naikaux kapasitas_ IPAL)/kapasitas_per_unit_kapital Laba_ Kotor = Pendapatan-pengeluaran-depresiasi aux lain2_Blj_tdk_lgsg = IF(TIME<=2008, lain2_Blj_tdk_lgsg_historis, aux prbhn_lain2_ Blj_tdk_lgsg) lain2_Blj_tdk_lgsg_historis = aux GRAPH(TIME,2005,1,[8098547871 06,915353176164,1136144615381,9917336944 29,1202305931496"Min:800000000000;Max:l203000000000;Zoom"]) lain2_pglrn_pbyn_ historis = aux GRAPH(TIME,2005, I,[ 145682727896,55944878663,96065617975,22644638896,9 025540760"Min:9000000000;Max: 150000000000;Zoom"]) lain2_pndptn = IF(TIME<=2008, lain2_pndptn_ historis, aux prbhn_lain2_pndptn) lain2_pndptn_ historis = aux GRAPH(TIME,2005,1 ,[1 093078265323,1458103087137,1703972245004,13124475 94297, 1368937007750"Min: 1OOOOOOOOOOOO;Max: 1800000000000;Zoom"]) Lain2_pnglrn_pbyn = lain2_pglm_pbyn_ historis+prbhn_lain2_pnglrn_pbyn aux lain2PAD = lain2PAD_lain2+surplus_BLU_IPAL aux lain2PAD_lain2 = IF(TIME<=2008, lain2PAD_lain2_ historis, aux prbhn_lain2P AD) lain2PAD- lain2- historis = aux GRAPH(TIME,2005, 1,[25377751625,39290229367,48489183903,56938596322,52 433000000"Min:20000000000;Max:57000000000;Zoom"]) likuiditas = pengeluaran_ max!Pengeluaran_ Ydi aux op_cost_per_unit_skenario = aux op_cot_per_unit_2008*EXP(lj_kenaikan_op_cost_stlh_2008*(TIME-2008)) operating_cost_per_unit = IF(TIME<=2008, aux operating_cost_per_unit_historis, op_cost_per_unit_skenario) operating_cost_per_unit_historis = aux GRAPH(TIME,200 1,1 ,[0.000325,0.000322,0.000328,0.000322,0.000353,0.000415, 0.000362,0.000386"Min:O;Max:0.00045;Zoom"]) PAD = lain2PAD+Pjk_dan_Rtrbs aux pajak = Laba_ Kotor*tax_rate aux Pendapatan = volume_limbah_yang_diolah*tarif aux Pendapatan_ daerah = lain2_pndptn+PAD aux 127
Penerimaan_pembiayaan = pnnnan_pmbyn_ historis+prbhn_pnnnn_pmbyn aux pengeluaran = volume_limbah_yang_diolah*operating_cost_per_unit aux Pengeluaran_Daerah_historis = aux GRAPH(TIME,2005, 1,[116641 0000000,1484451000000,1896040000000,15027500 OOOOO"Min: 1OOOOOOOOOOOO;Max: 1900000000000;Zoom"]) pengeluaran_max = Kas_Daerah/Wkt_kckpn_kas aux Pengeluaran_pmbyn_ydi = Lain2_pnglrn_pbyn+investasi_BLU aux Pengeluaran_ Ydi ~ Belanja_ daerah_ydi+Pengeluaran_pmbyn_ydi aux Pjk_dan_Rtrbs = IF(TIME<=2008, pjk_dan_Rtrbs_historis, aux prbhn_ Pjk_dan_Rtrbs) pjk_dan_Rtrbs_ historis = aux GRAPH(TIME,2005,1,[82944603077,98242269829,99141803587,87721812955,99 063194500"Min:80000000000;Max: 1OOOOOOOOOOO;Zoom"]) pnnnan_pmbyn_ historis = aux GRAPH(TIME,2005,1,[79814226444,0,5708194113,3314753418"Min:7000000000 O;Max:250000000000;Zoom"]) prbhn_Blj_lgsg = Blj_lgsg_th_2008*EXP(lj_prtmbhn_Blj_lgsg*(TIMEaux 2008)) prbhn_lain2_Blj_tdk_lgsg = aux lain2_ Blj_tdk_lgsg_th_ 2008*EXP(lj_prtmbhn_lain2_ Blj_tidk_lgsg*(TIME-2008)) prbhn_lain2_pndptn = aux lain2_pndptn_th_2008*EXP(lj_prtmbhn_lain2_pndptn*(TIME-2008)) prbhn_lain2_pnglrn_pbyn = aux pnglm_pmbyn_th_2008*EXP(lj_prtmbhn_lain2_pglrn_pmbyn*(TIME-2008)) prbhn_lain2PAD = aux lain2_PAD_th_2008*EXP(Ij_prtmbhn_lain2PAD*(TIME-2008)) prbhn_ Pjk_dan_Rtrbs = aux Pjk_dan_Rtrbs_th_2008*EXP(lj_prtmbhn_Pjk_dan_Rtrbs*(TIME-2008)) prbhn_pnnnn_pmbyn = aux pnrmn_pmbyn_th_ 2008*EXP(lj_prtmbhn_pnrmn_pmbyn*(TIME-2008)) surplus_BLU_IPAL = IF(TIME<=tahun_BLU, 0, surplus_IPAL) aux tarif = tarif_ dasar_200 1*EXP(laju_kenaikan_tarif*(TIME-200 1)) aux Vol- limbah- skenario- naik = aux GRAPH(TIME,200 1,1 ,[211 0000,2230000,2290000,2440369,2330000,2073600,248 8320,2443992,2450000,2480000,2500000,2560000,2610000,2680000,2760000,285 0000,2930000,3020000,3160000,34 70000"Min:2000000;Max:3500000;Zoom "]) Vol_limbah_skenario_tetap = aux GRAPH(TIME,200 1,1 ,[211 0000,2230000,2290000,2440369,2330000,2073600,248 8320,2443992,2450000,2450000,2450000,2450000,2450000,2450000,2450000,245 0000,2450000,2450000,2450000,2450000"Min:2000000;Max:3500000;Zoom"]) volume_limbah_yang_diolah = MIN(kapasitas_IPAL, aux Vol_limbah_ skenario_ naik) const alokasi_invest_Bgnn = 0.5 const alokasi- Invest- ME = 0.5 const Blj_lgsg_th_2008 = 488368535783 const init_Kap_Bgnn = 8388466000 const init_Kap_ME = 5018400000 128
const const const const const const const const const const const const const const const const const const const const const const const const const
kapasitas_awal_IPAL = 4.97e6 lain2_Blj_tdk_lgsg_th_2008 = 991733694429 lain2_PAD_th_2008 = 56938596322.38 lain2_pndptn_th_2008 = 1312447594297 laju_kenaikan_tarif = 0.07 lj_kenaikan_op_cost_stlh_2008 = 0 lj_prtmbhn_Blj_lgsg = 0.2 lj_prtmbhn_lain2_Blj_tidk_lgsg = 0.08 lj_prtmbhn_lain2_pglrn_pmbyn = 0.25 lj_prtmbhn_lain2_pndptn = 0.09 lj_prtmbhn_lain2PAD = 0.32 lj_prtmbhn_Pjk_dan_Rtrbs = 0.03 lj_prtmbhn_pnrmn_pmbyn = 0 op_cot_per_unit_2008 = 0.000386 Pjk_dan_Rtrbs_th_2008 = 8954.707721812 pnglrn_pmbyn_th_2008 = 22644638896.0 pnrmn_pmbyn_th_2008 = 3314753418 switch_kebijakan_Alokasi_Surplus_IPAL = 0 tahun BLU = 2012 tarif- dasar- 2001 = 1904 tax rate = 0.3 umur_ Bgnn = 20 umur ME = 10 waktu u invest = 1 Wkt_kckpn_kas = 0.25
129