EVALUASI KINERJA SISTEM IPAL DOMESTIK DI IPAL LAMBUNG MANGKURAT PD PAL KOTA BANJARMASIN SYSTEM PERFORMANCE EVALUATION OF DOMESTIC WWTP IN LAMBUNG MANGKURAT WWTP PD PAL BANJARMASIN Ridha Audina1, Chairul Abdi2, dan Riza Miftahul Khair3 1. Teknik Lingkungan, Fakultas Teknik, ULM, JL. A.Yani Km.36, Banjarbaru 2. Program Studi Teknik Lingkungan, ULM, Banjarbaru Email :
[email protected]
ABSTRAK IPAL Lambung Mangkurat sejak beroperasi pada tahun 2001 sampai sekarang belum pernah dilakukan evaluasi kinerja. Evaluasi kinerja sistem IPAL dilakukan untuk mengetahui tingkat keberhasilan IPAL dalam mengolah air limbah yang diharapkan dapat menjadi rekomendasi untuk mengoptimalkan proses pengolahan air limbah yang dilakukan. Tujuan dari penelitian ini untuk mengetahui pengaruh kesesuaian dimensi dan menganalisis kondisi operasional meliputi debit, waktu tinggal, beban permukaan dan beban organik air limbah terhadap efektivitas kinerja bangunan pengolahan dan IPAL secara keseluruhan Metode yang dilakukan berupa pengamatan skala lapangan terhadap karakteristik fisik dan pengamatan skala laboratorium terhadap karakterisasi kondisi operasi parameter BOD dan TSS. Hasil penelitian ini diketahui bahwa pengoperasian pompa yang dilakukan secara manual mempengaruhi debit, waktu tinggal, beban permukaan dan kualitas air limbah yang dihasilkan. Pada kondisi fisik, hanya ukuran lebar bak pengendap kedua yang belum memenuhi kriteria desain Beban permukaan seluruh unit pengolahan tidak memenuhi kriteria desain dan hanya waktu tinggal pada bak pengendap kedua yang memenuhi kriteria desain. Efesiensi penyisihan BOD pada bak pengendap pertama, RBC dan bak pengendap kedua masing-masing berkisar 16 – 33,85 %; 23,81 – 51,43 %; dan 15,63 – 70,59% dengan efesiensi penurunan TSS pada masing-masing unit berkisar 34,24 - 41,06 %; 1,9 – 4,61 %; dan 4,35 – 4,81 %. Efesiensi IPAL secara keseluruhan untuk parameter BOD yaitu46 – 89,59 % sedangkan untuk parameter TSS sebesar20 – 46,2 %. Kata Kunci : Evaluasi, IPAL, Efesiensi BOD, TSS ABSTRACK Lambung Mangkurat WWTP has operated since 2001 until now, there has never been done a performance evaluation. Evaluation of system is performed to determine the success rate in wastewater process. It’s expected to improve WWTP performance. The purpose of this research was to determine the effect of suitability dimensions and analyze operational conditions include flowrate, detention time, hydraulic load and organic load of wastewater on the effectiveness of units in the process of domestic wastewater. The methods that used in this research are observational field to the physical characteristics and observation laboratory to characterization operating conditions for BOD and TSS parameter. The results of this research has known that manually operating pump affect to the flowrate, detention time, hydraulic loading and quality of wastewater. On the physical condition, only widths of secondary clarifier hasn’t meet the design
criteria. Hydraulic loading in overall units process hasn’t meet the design criteria and only detention time on the secondary clarifier that meets the design criteria. Efficiency BOD removal in the primary clarifier, RBC and secondary clarifier each ranged from 16 - 33.85%; 23.8151.43%; and 15.63 - 70.59% and TSS removal in each unit ranges from 34.24 - 41.06%; 1.9 4.61%; and 4.35 - 4.81%. The efficiency of WWTP for BOD removal ranged from 46 - 89.59% while the efficiency of WWTP for TSS removal are 20 - 46.2%. Keywords: Evaluation, WWTP, Efficiency BOD, TSS
I.
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang Saat ini pengelolaan terhadap sanitasi khususnya air limbah domestik, menjadi kebutuhan yang sangat diperlukan. Air limbah domestik mengandung senyawa organik yang dapat menurunkan kualitas air, sehingga diperlukan suatu pengolahan agar tidak mencemari lingkungan. Perusahaan Daerah Pengelola Air Limbah (PD PAL) Banjarmasin sebagai perusahaan yang memberikan jasa pengumpulan dan pengolahan air limbah memberikan solusi berupa pengolahan air limbah secara terpusat (off site system). Menurut Samina dkk (2013) untuk mengetahui tingkat keberhasilan IPAL dalam mengolah air limbah dapat dilakukan evaluasi kinerja sistem IPAL untuk mendapatkan gambaran nyata mengenai kondisi yang terjadi di lapangan. Dalam jurnalnya Fitrahani dkk. (2012) menyebutkan, penentuan kinerja IPAL dapat dilihat berdasarkan karakterisasi fisik tiap unit pengolahan berupa pengukuran terhadap debit, dimensi dan waktu tinggal yang dibandingkan dengan kriteria desain. Selain itu dilakukan juga identifikasi kondisi operasi berupa pengambilan sampel air limbah dengan parameter tertentu untuk mengetahui efektivitas pengolahan pada IPAL tersebut. Evaluasi kinerja IPAL baru dilakukan pada IPAL Pekapuran Raya dan IPAL HKSN/Hasan Basry dengan kapasitas pengolahan masing-masing IPAL yaitu 2000 m3/hari. Berdasarkan penelitian Rizkya (2014) di IPAL Pekapuran Raya didapatkan ketidaksesuaian ukuran lebar bak pengendap kedua, debit dan waktu tinggal air limbah. Dimensi bak pengendap yang besar dengan debit masuk yang kecil, membuat beban permukaan menjadi kecil dan waktu tinggal menjadi lebih lama sehingga berpotensi terjadinya kondisi anaerob pada air limbah. Berdasarkan penelitian Febella (2015), kapasitas bak pengendap yang besar membuat tampungan air menjadi lebih banyak dan menyebabkan terjadinya kenaikan debit pada Rotating Biological Contractor (RBC) melebihi kapasitas pengolahannya. Kenaikan debit ini membuat waktu tinggal air limbah pada RBC menjadi lebih cepat, sehingga perombakan senyawa organik oleh mikroorganisme menjadi lebih singkat. Kondisi seperti ini dapat mengakibatkan terjadinya penurunan efesiensi pengolahan akibat ketidaksesuaian faktor-faktor yang mempengaruhi proses pengolahan air limbah. Berdasarkan hasil evaluasi kinerja IPAL yang telah dilakukan didapatkan efesiensi pengolahan air limbah pada IPAL Pekapuran Raya sebesar 65,78% dan IPAL HKSN/Hasan Basry sebesar 53,425 %. IPAL Lambung Mangkurat belum pernah dilakukan evaluasi kinerja sejak beroperasi pada tahun 2001 sampai sekarang. IPAL ini memiliki kapasitas pengolahan 1000 m3/hari yang terbagi atas 2 bangunan pengolahan dengan kapasitas masing-masing sebesar 500 m3/hari. Evaluasi dilakukan pada bangunan B IPAL Lambung Mangkurat yang mencakup keseluruhan unit pengolahan air limbah meliputi karakterisasi fisik pada bak pengendap pertama, RBC dan bak pengendap kedua. Selain itu, dilakukan juga pengambilan sampel untuk mengidentifikasi kondisi operasi dengan parameter analisa Biochemical Oxygen Demand (BOD), Total Suspended Solid
(TSS), pH, suhu dan Disolve Oxygen (DO) serta pengencekan terhadap beban organik dan beban permukaan air limbah pada tiap unit pengolahan. Evaluasi ini dilakukan untuk mengetahui seberapa besar pengaruh kesesuaian dimensi terhadap efektivitas kinerja bangunan pengolahan. Melalui kegiatan ini dapat diketahui tingkat keberhasilan IPAL Lambung Mangkurat dalam mengolah air limbahnya. Penelitian ini diharapkan dapat menjadi masukan bagi IPAL Lambung Mangkurat untuk memperbaiki sistem pengolahan dan mengantisipasi kendala-kendala yang muncul di lapangan, sehingga dapat mengoptimalkan proses pengolahan air limbah yang dilakukan. 1.2 1. 2. 3.
1.3 1. 2. 3.
Rumusan Masalah Rumusan masalah penelitian ini adalah : Bagaimana pengaruh kesesuaian dimensi terhadap kinerja bangunan pengolahan air limbah ? Bagaimana kondisi operasional meliputi debit, waktu tinggal, beban organik dan beban permukaan air limbah (parameter BOD, TSS, DO,pH dan suhu) ? Bagaimana kinerja tiap unit pengolahan dan IPAL secara keseluruhan dalam mengolah air limbah ? Tujuan Penelitian Tujuan dari penelitian ini adalah : Mengevaluasi pengaruh kesesuaian dimensi terhadap kinerja bangunan pengolahan. Menganalisis kondisi operasional meliputi debit, waktu tinggal, beban organik dan beban permukaan. Menganalisis kinerja tiap unit pengolahan dan IPAL secara keseluruhan dalam mengolah air limbah
1.4 Tinjauan Pustaka 1.4.1 Air Limbah Air limbah adalah air buangan dari suatu lingkungan masyarakat dimana terdapat kontaminan di dalamnya yang merupakan substansi organik dan anorganik. Menurut Yudha (2013) air limbah adalah air bekas pakai yang dihasilkan oleh aktivitas manusia baik yang berasal dari rumah tangga, pertanian, industri maupun tempat-tempat umum yang harus dibuang karena dapat membahayakan kehidupan manusia dan kelestarian lingkungan. Air limbah domestik adalah air limbah yang berasal dari usaha dan atau kegiatan permukiman, rumah makan (restauran), perkantoran, perniagaan, apartemen dan asrama. Selain itu air limbah domestik juga diartikan sebagai air yang telah digunakan dan berasal dari rumah tangga atau pemukiman termasuk di dalamnya adalah yang berasal dari kamar mandi, tempat cuci, wc, tempat memasak dan kegiatan rumah tangga lainnya (Sugiharto, 1987; Santoso). 1.4.2 Pengolahan air limbah dengan sistem RBC Rotating Biological Contactor (RBC) atau reaktor kontak biologis merupakan adaptasi dari proses pengolahan air limbah dengan biakan melekat (attached growth). Polutan organik terkandung dalam air limbah akan diurai oleh mikroba yang tumbuh di media RBC. Mikroba tersebut membentuk suatu lapisan yang disebut biofilm . Media untuk penempelan biofilm berupa piring tipis berbentuk bulat yang dipasang sejajar dalam suatu poros yang terbuat dari baja, membentuk suatu modul RBC. Selanjutnya modul diputar di dalam reaktor khusus dimana di dalamnya dialirkan air limbah secara kontinyu dengan kecepatan tertentu. Sebagai salah satu IPAL yang menerapkan proses pengolahan air limbah dengan menggunakan sistem RBC, proses
pengolahan air limbah pada IPAL Lambung Mangkurat terdiri atas inlet, barscreen (penyaring kasar), RSPS, grase trap, bak pengendap awal, RBC, bak pengendap kedua dan outlet. Bak Inlet Bak inlet merupakan unit pengolahan pertama yang berfungsi sebagai bak pengumpul air limbah sebelum diolah. Air limbah tersebut berasal dari penyaluran air limbah dari sumber timbulan menuju IPAL dengan sistem jaringan perpipaan dan proses penyaluran air limbahnya menggunakan sistem gravitasi, sehingga air limbah akan masuk dalam bak inlet melalui saluran yang paling rendah. Penyaring Kasar (Barscreen) Barscreen berfungsi untuk menyaring sampah yang berukuran besar agar tidak masuk ke pengolahan selanjutnya. Hal ini bertujuan untuk menghindari terganggunya proses pengolahan karena sistem pengolahan yang dilakukan tidak diperuntukkan untuk mengolah sampah anorganik, melainkan untuk pengolahan padatan yang tersuspensi dan sampah organik secara biologis. Apabila sampah anorganik ini masuk ke pengolahan selanjutnya dapat menyebabkan terjadinya penyumbatan pada pompa hingga berakhir pada kerusakan. Sistem pengumpul RSPS (Raw Sewage Pump Station) RSPS merupakan sumur pengumpul yang dilengkapi dengan stasiun pemompaan. Pada bak ini terdapat fasilitas pompa untuk memompa air limbah dari saluran yang rendah ke saluran yang lebih tinggi. Air limbah yang telah melalui penyaringan pada barscreen akan masuk ke dalam bak pengumpul RSPS melalui pipa yang menghubungkan kolam inlet dengan bak RSPS. Grease Trap Grease trap berfungsi untuk memisahkan kandungan minyak dan lemak yang terdapat pada air limbah. Kandungan minyak dan lemak pada bak ini akan mengapung di bagian atas sedangkan air limbah akan mengalir menuju ke bak pengendap pertama. Adanya bak penangkap minyak dan lemak ini juga bertujuan untuk mengurangi beban pengolahan di dalam unit IPAL, karena kandungan minyak atau lemak yang cukup tinggi di dalam air limbah dapat menghambat transfer oksigen pada air limbah yang dapat menyebabkan kinerja IPAL menjadi kurang optimal. Bak Pengendap Pertama Bak pengendap pertama berfungsi untuk menghilangkan zat padat tersuspensi dalam air limbah melalui proses pengendapan. Proses pengendapan pada bak ini masih sederhana dengan memanfaatkan gaya gravitasi. Pada proses ini aliran air limbah dibuat sangat tenang untuk memberi kesempatan padatan tersuspensi untuk mengendap. Partikel-partikel yang lebih berat dari air akan terpisah dan mengendap di dasar bak sedangkan partikel-partikel yang memiliki masa jenis lebih kecil dari air akan mengapung pada permukaan air limbah, dan ikut masuk ke unit pengolahan selanjutnya. Rotating Biological Contractor (RBC) Pengolahan air limbah dengan RBC merupakan pengolahan air limbah dengan sistem biologis yang terdiri atas piringan melingkar yang dipasang sejajar dalam suatu poros yang terbuat dari baja membentuk suatu modul RBC. Selanjutnya modul diputar di dalam reaktor khusus dimana di dalamnya dialirkan air limbah secara kontinu dengan kecepatan tertentu. Modul-modul tersebut diputar dalam keadaan tercelup sebagian yakni sekitar 40% dari diameter piring. Polutan organik yang terkandung dalam air limbah akan diurai oleh mikroba yang tumbuh di media RBC, dengan sistem biakan melekat (attached culture). Mikroba tersebut membentuk suatu lapisan yang disebut biofilm (biasanya terdiri dari bakteri, alga, protozoa dan fungi). Bak Pengendap Kedua ( Final Clarifier) Air limbah yang telah melewati pengolahan tahap 1 dan 2 akan mengalami proses pada tahap 3 yang merupakan pengendap akhir untuk menurunkan padatan tersuspensi yang masih terikut di
dalam aliran. Padatan yang berasal dari proses pengolahan RBC lebih mudah di endapkan karena ukurannya lebih besar dan lebih berat. Desinfeksi / Pembubuhan Kaporit Air olahan dari RBC dan bak pengendap kedua masih mengandung bakteri patogen, virus dan bakteri yang berpotensi menginfeksi masyarakat. Oleh karena itu pembubuhan desinfektan diperlukan untuk membunuh mikroorganisme patogen. IPAL Lambung Mangkurat memiliki 2 buah tangki desinfektan dan setiap tangki desinfektan dipasang pipa injeksi kaporit. Tangki desinfektan dihubungkan dengan bak pengendap kedua, sehingga air yang keluar dari pengolahan RBC menuju bak pengendap kedua langsung dikontakkan dengan kaporit yang keluar dari pipa injeksi . Outlet Outlet merupakan tempat keluarnya air limbah hasil pengolahan dari bak pengendap ke dua. Outlet ini berupa saluran pipa yang yang terhubung dengan bak pengendap ke dua, dengan hasil keluaran air yang sudah cukup jernih, setara dengan kualitas air kelas 3 yang dapat diperuntukan bagi pembudidayaan ikan air tawar, peternakan, dan untuk pengairan tanaman.
II. METODOLOGI PENELITIAN 2.1 Rancangan Penelitian Evaluasi kinerja IPAL Lambung Mangkurat dilakukan pada skala lapangan dan skala laboratorium. Penelitian skala lapangan mencakup karakterisasi fisik berupa kesesuaian dimensi, debit dan waktu tinggal air limbah serta pengambilan sampel air yang didasarkan pada waktu tinggal pengolahan. Dimensi bangunan pengolahan IPAL Lambung Mangkurat didapatkan berdasarkan pengukuran lapangan dan data sekunder dari PD PAL Banjarmasin. Dimensi ini digunakan untuk mengetahui volume air limbah pada tiap unit pengolahan. Pengukuran debit terdiri 2 tahap yaitu pengukuran debit awal dan debit tiap unit pengolahan. Pengukuran debit awal dilakukan secara manual selama 7 hari dengan lama pengukuran 24 jam per hari. Pengukuran debit awal dilakukan pada RSPS IPAL untuk mengetahui debit yang masuk secara keseluruhan, sehingga dapat ditentukan perwakilan hari dan jam puncak air limbah sebagai tolak ukur untuk pengambilan sampel air pertama kali pada inlet bak pengendap pertama. Pada saat pengukuran debit ini juga dilakukan pengukuran terhadap kualitas air limbah dengan parameter DO, pH dan suhu. Pengukuran debit pada tiap unit pengolahan dilakukan pada outlet RBC. Pengukuran ini dilakukan selama 3 hari didasarkan pada perwakilan hari selama satu minggu yang didapatkan pada pengukuran debit awal. Pengukuran debit dilakukan dengan menggunakan metode tampung berupa wadah yang berukuran 10 L. Pada saat bersamaan juga dihitung waktu tampungnya menggunakan stopwatch. Pengulangan dilakukan sebanyak 5 kali untuk mengoreksi hasil yang didapatkan. Nilai yang didapat kemudian di rata-ratakan. Melalui pembagian volume dengan waktu tampung air, maka akan didapatkan debit aliran pada tiap unit pengolahan. Waktu tinggal air limbah didapatkan dari pembagian antara volume air dengan debit yang mengalir pada tiap unit pengolahan. Waktu tinggal ini digunakan untuk pengambilan sampel air limbah, agar sampel yang diambil pada outlet merupakan hasil pengolahan dari air limbah yang terdapat pada inlet. Karakterisasi kondisi operasi dilakukan dengan pengambilan sampel air limbah pada inlet bak pengendap pertama, inlet RBC, inlet bak pengendap kedua dan outlet. Parameter analisa yang digunakan yaitu BOD, TSS, pH, suhu dan DO. Pengukuran pH, suhu dan DO dilakukan secara langsung di lapangan bersamaan dengan pengambilan sampel air limbah. Pengujian parameter BOD dan TSS dilakukan di UPTD Laboratorium Kesehatan Kota Banjarmasin. Hasil yang
didapatkan kemudian dianalisis untuk mengevaluasi kinerja IPAL, sehingga diketahui tingkat keberhasilan IPAL dalam mengolah air limbah. 2.2 Tempat dan Waktu Penelitian Penelitian skala lapangan dilakukan selama 2 minggu bertempat di IPAL Lambung Mangkurat. Pengukuran debit awal dilakukan secara manual pada RSPS IPAL selama 7 hari dengan lama pengukuran 24 jam setiap harinya. Penelitian ini dimulai pada hari Senin, 18 April 2016 – Minggu, 24 April 2016. Penelitian utama dilakukan pada minggu kedua berupa pengukuran debit serta pengambilan sampel pada inlet dan outlet pada tiap unit pengolahan. Penelitian ini dilakukan pada hari Rabu, 18 Mei 2016; Jum’at 20 Mei 2016 dan Minggu, 22 Mei 2016 yang dimulai pada pukul 09.00 WITA. Pemilihan hari dan waktu pengambilan sampel didapatkan dari perwakilan hari dan jam puncak pada saat pengukuran debit awal. Pengukuran kualitas air dengan parameter pH, suhu dan DO dilakukan secara langsung bersamaan dengan pengambilan sampel air limbah, sedangkan pengukuran kualitas air parameter BOD dan TSS dilakukan di Laboratorium UPTD Kesehatan Kota Banjarmasin.
2.3 Alat dan Bahan 2.3.1 Alat Alat – alat yang digunakan dalam penelitian ini adalah : 1. Alat pengambil sampel yaitu gayung yang dilengkapi dengan tongkat 2. Botol sampel ukuran 1 L 3. Box pendingin 4. Ice Replacement 5. DO meter 6. pH meter 7. Termometer 8. Stopwatch 9. Meteran 10. Wadah/ember ukuran 10 L 11. Kertas label 12. Sarung tangan karet 13. Masker 14. Gunting 2.3.2 Bahan Bahan-bahan yang digunakan dalam penelitian ini adalah : 1. Aquadest 2. Sampel Air Limbah III. HASIL DAN PEMBAHASAN 3.1 Pengukuran Debit Awal Pengukuran debit awal bertujuan untuk mengetahui debit yang masuk pada IPAL Lambung Mangkurat dan menentukan perwakilan hari serta jam puncak air limbah sebagai tolak ukur pengambilan sampel air pertama kali. Debit puncak atau debit tertinggi di setiap harinya terjadi pada jam 09.00 karena pada jam tersebut, terdapat kiriman air limbah dari PS 4 yang merupakan
stasiun pompa sentral yang menampung air limbah dengan wilayah layanan terbanyak. Fluktuasi debit puncak selama 1 minggu dapat dilihat pada gambar 1.
Debit (m3/hari)
800 700 600 500 Debit
400 300 Senin
Selasa
Rabu
Kamis
Jumat
Sabtu
Minggu
Hari Pengukuran pukul 09.00
Gambar 1. Fluktuasi Debit Puncak selama 1 Minggu
30 28 26 24 22 20 18 16 14 12 10 8 6 4 2 0
Rabu (Hari ke 1) Jum'at (Hari ke 2)
23:00
22:00
21:00
20:00
19:00
17:00 18:00
16:00
15:00
14:00
13:00
12:00
11:00
9:00
10:00
7:00 8:00
6:00
5:00
4:00
3:00
2:00
1:00
Minggu (Hari ke 3)
0:00
Debit (m3/jam)
Berdasarkan gambar 1 diketahui nilai debit puncak pada hari Senin sebesar 538,445 m3/hari ; debit hari Selasa sebesar 443,981 m3/hari ; debit hari Rabu sebesar 632,909 m3/hari; debit hari Kamis sebesar 419,420 m3/hari; debit hari Jum’at sebesar 597,957 m3/hari; debit hari Sabtu sebesar 645,189 m3/hari dan debit hari Minggu sebesar 682,975 m3/hari. Penentuan hari untuk pengambilan sampel air didasarkan pada debit puncak tertinggi selama 1 minggu yang terdiri atas 3 bagian. Berdasarkan debit puncak air, didapatkan perwakilan hari dan jam puncak yang digunakan untuk pengambilan sampel air yaitu hari Rabu sebagai hari ke 1 menjadi perwakilan untuk hari kerja yaitu hari Senin – Kamis, hari Jum’at sebagai hari ke 2 menjadi perwakilan antara hari kerja dan hari libur, karena aktivitas penggunaan air pada hari ini biasanya cenderung berbeda. Sedangkan hari Minggu sebagai hari ke 3 menjadi perwakilan untuk hari libur yaitu hari Sabtu dan Minggu. Fluktuasi debit pada hari Rabu, Jum’at dan Minggu dapat dilihat pada gambar 2.
Jam Pengukuran
Gambar 2. Fluktuasi debit air limbah pada hari Rabu,Jum’at dan Minggu Jam puncak air limbah setiap harinya terjadi pada pukul 09.00. Adanya fluktuasi debit yang masuk di IPAL Lambung Mangkurat, disebabkan karena adanya perbedaan penggunaan air bersih oleh masyarakat setiap jamnya. Selain itu, kiriman air yang berasal dari stasiun pompa juga
berpengaruh terhadap fluktuasi debit air yang masuk. Apabila instalasi mendapatkan kiriman air dari PS 4 dan PS 2 maka debit air akan meningkat. Sedangkan apabila kiriman air berasal dari jaringan tanpa pemompaan debit air yang masuk tergantung pada pola aktivitas masyarakat dalam menggunakan air bersih. 3.2 Analisa Dimensi, Debit dan Waktu Tinggal Pengolahan 3.2.1 Analisa Dimensi Bak Pengendap Pertama Berdasarkan tabel 1, diketahui bahwa dimensi panjang, lebar, tinggi serta rasio panjang dengan lebar bak pengendap pertama masih berada di dalam rentang kriteria desain yang ditetapkan. Sedangkan rasio panjang dan tinggi dengan nilai 3,8 masih berada di bawah kriteria desain yang ada yaitu 4,2 – 25. Dimensi bak pengendap pertama dapat dilihat pada tabel 1. Tabel 1 Dimensi Bak Pengendap Pertama No
Keterangan
Satuan
1 2 3 4 5
Panjang Lebar Tinggi Rasio P : L Rasio P : H
m m m
Hasil Pengukuran 11,5 6 3,1 1,9 3,8
Kriteria Desain 3 - 100 3 - 24 2-5 1 - 7,5 4,2 - 25
RBC RBC bangunan B berjumlah 1 buah dengan kapastitas 500 m3/hari. RBC ini terdiri atas 3 tahap pengolahan dengan jumlah paket disk sebanyak 5 buah. Berdasarkan hasil pengukuran diketahui, reaktor RBC memiliki panjang 8 m, lebar 2,7 m dan tinggi reaktor sebesar 1,45 m. Banyaknya putaran RBC per menit sebanyak 3,75 rpm sedangkan menurut kriteria desain RBC berputar sangat lambat yaitu pada kisaran 1 – 2 rpm. Pada umumnya, RBC memiliki diameter berkisar antara 2 – 4 m dengan kondisi tercelup sebesar 40 % dari diameter piringan sedangkan pada RBC bangunan B memiliki diameter 2,4 m dengan kondisi tercelup berada pada kisaran 36,7 % - 37,8 %. Bak Pengendap Kedua Bak pengendap kedua berjumlah 1 berbentuk persegi panjang dengan ukuran panjang 6 m; lebar 4 m dan tinggi 3,1 m. Berdasarkan pengukuran yang dilakukan, ukuran panjang dan tinggi bak pengendap kedua telah memenuhi kriteria desain 3 - < 100 m dan 3 – 6 m. Sedangkan ukuran lebar bak pengendap kedua masih berada di bawah kriteria desain yang ditetapkan yaitu 6 – 24 m. Hasil pengukuran dimensi pada bak pengendap kedua dapat dilihat pada tabel 2.. Tabel 2. Dimensi Bak Pengendap Kedua No
Keterangan
Satuan
Hasil Pengukuran
Kriteria Desain
1
Panjang
m
6
3 - <100
2
Lebar
m
4
6 - 24
3
Tinggi
m
3,1
3-6
Hasil pengukuran dimensi digunakan untuk menentukan volum air yang tertampung pada tiap unit pengolahan. Pengukuran volum dilakukan bersamaan dengan pengukuran debit air pada tiap unit pengolahan. Hasil pengukuran volum air pada tiap unit pengolahan dapat dilihat pada tabel 3.
Tabel 3. Volum Air pada Tiap Unit Pengolahan Volum (m3) No
Hari
1 2 3
Hari ke 1 Hari ke 2 Hari ke 3
Bak Pengendap 1
RBC
Bak Pengendap 2
157,225 157,225 157,695
17,145 17,733 17,537
55,774 57,199 56,962
Volum air yang tertampung pada bak pengendap pertama berada pada kisaran 158,048 158,516 m3. Pada RBC volum air yang tertampung berada pada kisaran 17,145 - 17,733 m3, sedangkan volum air yang tertampung pada bak pengendap kedua berkisar 55,774 - 57,199 m3. Dengan mengetahui volum air yang tertampung dan debit air, maka dapat ditentukan waktu tinggal air limbah pada tiap unit pengolahan. 3.2.2 Analisa Debit Beban permukaan meningkat seiring dengan meningkatnya debit air limbah yang masuk dan terolah pada tiap unit pengolahan. Hubungan debit dan beban permukaan pada bak pengendap pertama dapat dilihat pada gambar 3. 10,00 Debit
Debit (m3/hari)
Beban Permukaan
600
9,00
550
8,00 Hari Ke 1
Hari ke 2
Beban Permukaan (m3/m2.hari)
650
Hari ke 3
Hari Pengukuran
Gambar 3 Hubungan Debit Dan Beban Permukaan Pada Bak Pengendap Pertama Pengukuran debit pada bak pengendap pertama dimulai pada pukul 09.00. Debit air yang masuk pada bak pengendap pertama berkisar 587,755 m3/hari - 635,294 m3/hari, dengan nilai beban permukaan sebesar 8.518 m3/m2.hari - 9.207 m3/m2.hari. Nilai beban permukaan pada bak pengendap pertama masih berada di bawah kriteria desain yang ditentukan yaitu 60 – 130 m3/m2.hari. Hal ini disebabkan karena adanya ketidaksesuaian antara dimensi bak dengan debit air yang terolah. Kapasitas bak yang cukup besar membuat beban permukaan air limbah masih berada dibawah kriteria desain yang ditentukan. Kondisi seperti ini membuat waktu tinggal pengolahan menjadi lebih lama, sehingga berpotensi terjadi proses anaerob pada air limbah akibat terbatasnya kandungan oksigen bagi mikroorganisme. Hubungan debit dan beban permukaan pada RBC dapat dilihat pada gambar 4.
0,30
620
Debit
600
Beban Permukaan
0,27
580
0,24
560 0,21
540 520
0,18
500 480
Beban Permukaan (m3/m2.hari)
Debit (m3/hari)
640
0,15 Hari Ke 1
Hari ke 2
Hari ke 3
Hari Pengukuran
Gambar 6. Hubungan Debit dan Beban Permukaan pada RBC
30,00
Debit (m3/hari)
650
Debit Beban Permukaan
25,00
550
20,00
450
350
Beban Permukaan (m3/m2.hari)
Debit air limbah yang terolah pada RBC berkisar antara 530,713 – 615,385 m3/hari, dengan nilai beban permukaan sebesar 0,173 – 0,2 m3/m2.hari. Besarnya debit air limbah yang masuk pada RBC disebabkan karena nilai debit yang terolah pada bak pengendap pertama telah mebihi kapasitas yang direncanakan yaitu 500 m3/hari, sehingga beban permukaan air limbah pada RBC melebihi kriteria desain yang ditentukan yaitu 0,08 – 0,16 m3/m2.hari. Hubungan debit dan beban permukaan pada bak pengendap kedua dapat dilihat pada gambar 7.
15,00 Hari Ke 1
Hari ke 2
Hari ke 3
Hari Pengukuran
Gambar7. Hubungan Debit dan Beban Permukaan pada RBC Debit air limbah yang masuk dan terolah di bak pengendap kedua sebesar 416,988 – 590,164 m3/hari. Meskipun nilai debit yang masuk melebihi rencana pengolahan, namun karena kapasitas bak pengendap kedua yang terlalu besar membuat beban permukaan air limbah yang berkisar 17,375 – 24,59 m3/m2.hari masih belum memenuhi kriteria desain yang ditentukan yaitu 40 – 49 m3/m2.hari. 3.2.3 Analisa Waktu Tinggal Penentuan waktu tinggal air limbah terdiri atas 2 cara yaitu waktu tinggal air limbah berdasarkan perhitungan dan waktu tinggal air limbah eksisting yang didasarkan pada waktu pompa. Waktu tinggal air limbah berdasarkan perhitungan dapat dilihat pada tabel 4.
Tabel 4. Waktu Tinggal Air Limbah pada Tiap Unit Pengolahan berdasarkan Pengukuran No
Hari
1 2 3
Hari ke 1 Hari ke 2 Hari ke 3
Waktu Tinggal Pengukuran (jam) Bak Pengendap Bak Pengendap RBC Pertama Kedua 6,420 0,775 3,210 6,123 0,740 2,326 5,957 0,684 2,506
Waktu tinggal air limbah yang terhitung setiap harinya berbeda-beda tergantung pada debit yang masuk pada tiap unit pengolahan. Semakin besar debit yang masuk, maka waktu tinggal air limbah akan semakin cepat. Meskipun debit yang masuk pada bak pengendap pertama melebihi kapasitas pengolahan, namun kapasitas bak yang cukup besar membuat waktu tinggal air limbah pada bak pengendap pertama lebih lama dibandingkan dengan kriteria desain yaitu berkisar 5,957 6,420 jam. Besarnya debit yang masuk melebihi kapasitas pengolahan membuat waktu tinggal air limbah pada RBC menjadi lebih cepat yaitu selama 0,684 – 0,775 jam. Berdasarkan pengukuran debit dan volum air yang tertampung, waktu tinggal air limbah pada bak pengendap kedua berkisar 2,326 – 3,210 jam. Pengambilan sampel, pengukuran debit dan pemeriksaan kualitas air limbah parameter DO, pH dan suhu didasarkan pada waktu pompa. Waktu pompa ini dianggap sebagai waktu tinggal air limbah pada tiap unit pengolahan, karena pada waktu inilah terdapat aliran air limbah sehingga pengambilan sampel, pengukuran debit dan pemeriksaan kualitas air dapat dilakukan. Waktu tinggal eksisting air limbah pada tiap unit pengolahan dapat dilihat pada tabel 5. Tabel 5. Waktu Tinggal Eksisting Air Limbah pada Tiap Unit Pengolahan ..berdasarkan Waktu Pompa Waktu Tinggal Eksiting (jam) No
Hari
1
Hari ke 1
Bak Pengendap Pertama 4
4
Bak Pengendap Kedua 2
2
Hari ke 2
5
2,5
3,50
3
Hari ke 3
4
0,684
2.48
RBC
Waktu tinggal air limbah pada bak pengendap pertama lebih cepat dibandingkan waktu tinggal yang seharusnya yaitu 4 – 5 jam. Waktu tinggal ini lebih lama apabila dibandingkan dengan kriteria desain yaitu selama 1 – 3 jam. Waktu tinggal yang terlalu lama dapat menyebabkan terjadinya kondisi anaerob. Gas yang dihasilkan dari dekomposisi anaerobik dapat membuat partikel yang telah terendap , ikut kembali ke dalam aliran air limbah yang dapat menurunkan efesiensi pengolahan air limbah. Apabila dibandingkan dengan waktu tinggal berdasarkan kriteria desain yaitu 0,7 – 1,5 jam, Waktu tinggal eksisting air limbah pada RBC menjadi lebih lama yaitu berkisar 0,684 – 4 jam. Debit air yang besar membuat waktu tinggal air limbah menjadi lebih cepat, sehingga kontak air limbah dengan media permukaan RBC menjadi lebih singkat. Sedangkan waktu tinggal yang terlalu lama dapat menyebabkan terjadinya ketidakseimbangan antara jumlah bakteri dengan makanan yang tersedia, sehingga laju kematian bakteri lebih besar dibandingkan laju pertumbuhan. Kondisi seperti ini, dapat menurunkan efesiensi karena proses penguraian zat organik menjadi kurang optimal.
Waktu tinggal eksisting air limbah pada bak pengendap kedua, didasarkan pada selang waktu antara pompa ke 3 dan pompa ke 4 yang berada pada kisaran 2 – 3,5 jam. Meskipun beban permukaan pada bak pengendap kedua belum memenuhi kriteria desain. Namun, waktu tinggal yang terhitung dan waktu tinggal eksisting air limbah pada bak pengendap kedua masih memenuhi kriteria desain yang ditentukan yaitu selama 2 – 4 jam. 3.3 Analisa Parameter Kualitas Air Parameter pH, Suhu dan DO 3.3.1 Analisa Parameter pH Nilai pH air limbah pada inlet bak pengendap pertama berkisar 6,74 – 6,88. Adanya proses pengolahan air limbah membuat pH air limbah semakin meningkat dengan kisaran 7,14 – 7,33 pada outlet bak pengendap kedua. Pengendapan padatan tersuspensi yang terjadi di bak pengendap pertama dan bak pengendap kedua serta penguraian senyawa organik pada RBC dalam proses pengolahan air limbah membuat kandungan oksigen terlarut dalam air meningkat. Peningkatan oksigen terlarut menandakan adanya peningkatan kualitas air. Oksigen ini digunakan oleh mikroorganisme dalam proses respirasi sehingga menghasilkan CO2 yang terlarut dalam air. CO2 mengalami reaksi kesetimbangan menghasilkan ion OH- yang meningkatkan nilai pH air limbah. Berdasarkan Peraturan Gubernur Kalimantan Selatan No. 36 Tahun 2008 tentang Baku Mutu Air Limbah Domestik, pH air limbah pada inlet dan outlet IPAL telah memenuhi baku mutu yang telah ditetapkan yaitu 6 - 9. Nilai pH pada tiap unit prngolahan dapat dilihat pada gambar 8. 7,4 7,3 7,2 7,1
pH
7
Hari Ke 1
6,9
Hari Ke 2
6,8
Hari Ke 3
6,7 6,6 6,5 6,4 Inlet BP1
Outlet BP1/Inlet RBC
Outlet RBC/Inlet BP2
Outlet
Gambar 8. pH Air Limbah Tiap Unit Pengolahan 3.3.2 Analisa Parameter Suhu Pada suhu yang rendah aktivitas biologi seperti pertumbuhan dan metabolisme menjadi lebih lambat. Peningkatan suhu menyebabkan peningkatan kecepatan metabolisme dan respirasi mikroorganisme, sehingga mengakibatkan peningkatan konsumsi oksigen. Suhu pada pengolahan air limbah penting untuk diketahui karena sangat berpengaruh terhadap kehidupan mikroorganisme yang tumbuh pada reaktor RBC. Suhu air limbah pada inlet bak pengendap pertama berkisar 29 – 30 oC sedangkan suhu air limbah pada outlet IPAL berada pada kisaran 28 – 29 oC. Nilai suhu pada tiap unit prngolahan dapat dilihat pada gambar 9.
Suhu 30,5
Suhu (oC)
30
29,5 29
Hari Ke 1
28,5
Hari Ke 2
28
Hari Ke 3
27,5 27 Inlet BP1
Outlet BP1/Inlet RBC
Outlet RBC/Inlet BP2
Outlet
Gambar 9. Suhu Air Limbah Tiap Unit Pengolahan Penurunan padatan tersuspensi dan penguraian senyawa organik oleh mikroorganisme dalam proses pengolahan air limbah, membuat kandungan oksigen terlarut dalam air meningkat. Peningkatan oksigen terlarut disertai dengan penurunan suhu air limbah, seperti yang terjadi pada inlet bak pengendap pertama yang cenderung memiliki suhu lebih tinggi dibandingkan dengan suhu pada RBC dan bak pengendap kedua. Kisaran suhu pada bak pengendap pertama masih berada dalam kisaran suhu optimal untuk dilakukan pengolahan dengan sistem RBC yaitu 15 – 40 oC. Sedangkan menurut Peraturan Gubernur Kalimantan Selatan No. 36 Tahun 2008 tentang Baku Mutu Limbah Cair, suhu air limbah pada inlet dan outlet sudah memenuhi standar baku mutu yang ditetapkan yaitu 38oC. 3.3.3 Analisa Parameter DO Recycle air limbah yang berasal dari RBC pada bak pengendap pertama membuat kandungan oksigen pada unit ini meningkat. Selain itu, peningkatan nilai DO dengan kisaran 0,4 – 0,6 mg/L juga disebabkan adanya proses pengendapan padatan tersuspensi. Nilai DO berbanding terbalik dengan nilai BOD. Semakin tinggi nilai DO maka nilai BOD akan semakin rendah akibat adanya penguraian senyawa organik oleh mikroorganisme. Proses penguraian senyawa organik pada RBC terjadi ketika poros RBC berputar. Saat biofilm pada media RBC berada di atas permukaan air, mikroorganisme menyerap oksigen untuk menguraikan senyawa organik. Penurunan kandungan senyawa organik disertai dengan peningkatan nilai DO pada air limbah yang menyebabkan peningkatan nilai DO pada unit ini paling tinggi dibandingkan pada unit lain mencapai 1,2 mg/L. DO 4
DO (mg/L)
3 Hari Ke 1 Hari Ke 2
2 1 0 Inlet BP1
Outlet Outlet BP1/Inlet RBC RBC/Inlet BP2
Outlet
Gambar 10. Suhu Air Limbah Tiap Unit Pengolahan
Adanya penurunan suhu, penurunan padatan tersuspensi dan penguraian senyawa organik yang telah terjadi pada bak pengendap pertama dan RBC membuat nilai DO pada outlet bak pengendap kedua berada pada kisaran 3 – 3,3 mg/L dan memenuhi syarat minimum kandungan DO untuk mendukung kehidupan organisme di perairan yaitu 2 mg/L. Selain berfungsi untuk respirasi mikroorganisme dalam proses metabolisme untuk menguraikan zat organik, keberadaan oksigen terlarut juga berguna untuk mencegah timbulnya bau pada air limbah. 3.4 Analisa Parameter BOD5 Analisa BOD diperlukan sebagai tolok ukur untuk mengetahui kinerja tiap unit pengolahan dan IPAL secara keseluruhan dalam mengolah air limbah. Tingkat keberhasilan IPAL dalam mengolah air limbah dapat diketahui melalui perhitungan efisiensi penurunan konsentrasi BOD pada tiap unit pengolahan dan IPAL secara keseluruhan. Beban organik, beban permukaan, waktu tinggal air limbah dan efesiensi penyisihan BOD5 tiap unit pengolahan dapat dilihat pada tabel 6. Tabel 6. Beban Organik, Waktu Tinggal Konsentrasi dan Efesiensi Penyisihan Pengolahan
Lokasi
Bak Pengendap 1
RBC Bak Pengendap 2 Inlet dan Outlet
BOD5 Tiap Unit
Beban Organik (g sBOD/m2.hari)
Waktu Tinggal Perhitungaan (jam)
Waktu Tinggal Eksisting (jam)
Inlet
Outlet
Efesiensi BOD5 (%)
Hari ke 1 Hari ke 2
425,909 575,610
6,420 6,123
4 5
50 65
42 43
16 33,85
Hari ke 3
441,944
5,957
4
48
35
27,08
Hari ke 1 Hari ke 2 Hari ke 3 Hari ke 1 Hari ke 2 Hari ke 3 Hari ke 1 Hari ke 2 Hari ke 3
18,151 20,143 17,539 555,985 737,705 386,364
0.775 0.740 0,684 3.21 2.326 2.506 10,439 9,493 9,178
4 2,5 0.684 2 3 2.48 10 10,5 7,164
42 43 35 32 30 17 50 65 48
32 30 17 27 25 5 27 25 5
23,81 30,23 51,43 15,63 16,67 70,59 46 61,54 89,59
Hari
BOD5 (mg/L)
Penurunan kandungan padatan tersuspensi pada bak pengendap pertama disertai dengan penurunan kandungan senyawa organik karena padatan tersuspensi yang terendapkan bersifat organik dan anorganik. Sehingga, keberadaan bak pengendap pertama dapat membantu mengurangi beban biologis melalui penurunan konsentrasi BOD mencapai 25 – 40 %. Meskipun waktu tinggal air limbah pada bak pengendap pertama tidak memenuhi kriteria desain, namun waktu tinggal eksisting air limbah masih berada di bawah waktu tinggal optimum yang diperlukan. Sehingga, sebagian efesiensi penyisihan BOD pada bak pengendap pertama sudah memenuhi kriteria desain yaitu berkisar 16 - 33,85 %. Hal ini dikarenakan, waktu yang diperlukan oleh suatu tahap pengolahan agar tujuan pengolahan dapat berjalan secara optimal sudah hampir tercapai. Beban organik sebesar 575,610 g sBOD/m2.hari dengan waktu tinggal eksisting selama 5 jam memiliki efesiensi penyisihan BOD5 sebesar 33,85 %. Sedangkan beban organik sebesar 441,944 dan 425,909 g sBOD/m2.hari dengan waktu tinggal 4 jam memiliki efesiensi lebih rendah yaitu 27 % dan 16 %. Sehingga beban organik yang besar, waktu tinggal yang lama dan selisih waktu
tinggal berdasarkan pehitungan dengan waktu tinggal eksisting yang lebih kecil membuat efesiensi pengolahan air limbah pada bak pengendap pertama semakin meningkat. Berdasarkan kriteria desain dengan waktu tinggal selama 0,7 - 1,5 jam, penyisihan BOD pada RBC dapat mencapai 80 – 95 %. Besarnya efesiensi pengolahan dipengaruhi oleh kesesuaian antara waktu tinggal, beban permukaan dan beban organik air limbah. Berdasarkan tabel 6, terdapat perbedaan antara waktu tinggal perhitungan dengan waktu tinggal eksisting air limbah yaitu selama 0,684 – 4 jam. Sehingga, proses pengolahan menjadi tidak optimal dan membuat efesiensi penyisihan BOD belum memenuhi kriteria desain yaitu 23,81 – 51,43 %. Dengan waktu tinggal yang sesuai dengan perhitungan dan mendekati dengan kriteria desain yaitu selama 0,685 jam, efesiensi penyisihan BOD berada pada tingkat paling tinggi yaitu sebesar 51,43%. Hal ini dikarenakan kandungan senyawa organik sebagai makanan bagi mikroorganisme cukup tersedia, sehingga pertumbuhan mikroorganisme masih dapat dipertahankan untuk menguraikan senyawa organik dalam air limbah. Efesiensi penyisihan BOD semakin menurun seiring dengan meningkatnya waktu tinggal eksisting melebihi waktu tinggal optimum yang diperlukan. Dengan waktu tinggal eksisting selama 2,5 jam efesiensi pengolahan mencapai 30,23% sedangkan efesiensi terendah sebesar 23,81% terjadi pada waktu tinggal selama 4 jam. Hal ini dapat terjadi apabila jumlah bakteri dan makanan tidak seimbang. Apabila fase ini terus berlanjut, laju kematian mikroorgansme lebih besar dari pada laju pertumbuhan, sehingga efesiensi pengolahan menurun akibat meningkatnya kandungan senyawa organik dari kematian mikroorganisme. Beban organik yang masuk pada RBC berkisar 17,539 – 20,143 g sBOD/m2.hari, sedangkan beban organik pada RBC menurut kriteria desain berkisar 12 – 15 g sBOD/m2.hari. Berdasarkan kriteria desain, efesiensi penyisihan BOD pada bak pengendap kedua mencapai 88%. Dengan beban organik yang masuk sebesar 386,364 – 737,705 g sBOD/m2.hari, efesiensi penyisihan BOD pada bak pengendap kedua belum memenuhi kriteria desain yaitu berkisar 15,63 – 70,59%. Efesiensi penyisihan ini dipengaruhi oleh waktu tinggal dan kualitas air limbah pada tahap sebelumnya. Waktu tinggal yang memenuhi kriteria desain dan mendekati dengan waktu tinggal optimum yang diperlukan yaitu selama 2,48 jam memiliki efesiensi penyisihan paling tinggi yaitu selama 70,59%. Selain itu, kualitas air limbah yang cukup bagus pada tahap sebelumnya juga mempengaruhi tingginya efesiensi penyisihan BOD pada bak pengendap kedua. Dengan waktu tinggal air limbah selama 3 jam, didapatkan efesiensi penyisihan BOD pada bak pengendap kedua sebesar 16,67%. Waktu tinggal yang melebihi waktu tinggal optimum yang diperlukan dapat membuat kondisi bak menjadi anaerob akibat berkurangnya kandungan oksigen terlarut dalam air limbah. Gas yang dihasilkan dari proses dekomposisi secara anaerobic dapat membuat partikel yang telah megendap terikut kembali ke dalam aliran air limbah. Sehingga dapat menurunkan efesiensi penyisihan BOD pada bak pengendap kedua. Efesiensi penyisihan BOD terendah yaitu sebesar 15,63% terjadi pada waktu tinggal eksisting selama 2 jam. Waktu tinggal yang lebih singkat dibandingkan dengan waktu tinggal yang diperlukan membuat proses pengolahan belum berjalan optimal karena partikel memiliki waktu pengendapan lebih cepat, sehingga penyisihan BOD yang terjadi semakin berkurang. Efesiensi pengolahan air limbah parameter BOD pada IPAL Lambung Mangkurat berkisar 46 – 89,59%. Berdasarkan Peraturan Gubernur Kalimantan Selatan No. 36 Tahun 2008 tentang Baku Mutu Limbah Cair, nilai BOD hasil pengolahan tiap unit pengolahan aman apabila air tersebut dibuang ke perairan karena telah memenuhi baku mutu yang ditetapkan yaitu sebesar 100 mg/L. 3.5 Analisa Parameter TSS Analisa kandungan TSS digunakan untuk mengetahui kemampuan tiap unit pengolahan dalam menurunkan kandungan zat padat tersuspensi pada air limbah. Kinerja IPAL dapat dilihat melalui perhitungan efisiensi penurunan konsentrasi TSS pada tiap unit pengolahan dan IPAL secara
keseluruhan. Konsentrasi TSS dan efesiensi penynurunan TSS pada tiap unit pengolahan dapat dilihat pada tabel 7. Tabel 7. Konsentrasi dan Efesiensi Penyisihan TSS pada Tiap Unit Pengolahan Lokasi
Hari
Bak Pengendap 1
Hari ke 1 Hari ke 2
Inlet 71.6 73.6
Outlet 42.2 43.4
Efesiensi TSS (%) 41.06 41.03
Hari ke 3 Hari ke 1 Hari ke 2 Hari ke 3 Hari ke 1 Hari ke 2 Hari ke 3 Hari ke 1 Hari ke 2 Hari ke 3
66 42.2 43.4 43.4 41.4 41.6 41.4 71.6 73.6 66
43.4 41.4 41.6 41.4 39.6 39.6 39.6 39.6 39.6 39.6
34.24 1.90 4.15 4.61 4.35 4.81 4.35 44.69 46.20 40.00
RBC
Bak Pengendap 2
Inlet dan Outlet
TSS (mg/L)
Penurunan TSS pada bak pengendap pertama berkisar 34,24 – 41,06 %. Efesiensi tersebut belum memenuhi kriteria desain yaitu sebesar 50 - 70 %. Hal ini disebabkan waktu tinggal eksisting air limbah lebih singkat dibandingkan dengan waktu tinggal berdasarkan perhitungan. Menurut Davis (2010) waktu tinggal yang lebih singkat membuat pengendapan padatan tersuspensi yang terjadi lebih sedikit karena partikel belum mengendap secara sempurna mencapai dasar bak. Zat padat tersuspensi yang belum terendapkan, dapat terikut kembali ke dalam aliran air limbah. Adanya keberadaan partikel ini membuat konsentrasi TSS bertambah, sehingga menurunkan efesiensi penurunan TSS pada bak pengendap pertama. Adanya aktivitas mikroorganisme dalam menguraikan senyawa organik di RBC sangat mempengaruhi penurunan TSS pada air limbah. Namun, karena tidak semua zat padat tersuspensi dimakan oleh mikroorganisme membuat penurunan TSS pada air limbah cukup rendah berkisar 1,9 – 4,61 %. Penurunan zat padat tersuspensi memerlukan aliran yang tenang agar pengendapan dapat terjadi. Namun, besarnya beban permukaan yang masuk membuat perubahan beban permukaan terjadi secara tiba-tiba. Sehingga, padatan yang telah terendap terikut kembali kedalam aliran yang ditandai dengan masih adanya patikel-partikel yang melayang di dalam air hasil pengolahan RBC. Kondisi ini lah yang membuat penurunan TSS pada RBC cukup rendah. Rendahnya penurunan konsentrasi TSS pada RBC juga dipengaruhi oleh kecepatan putaran selama 3,75 rpm. Menurut Said (2005), kecepatan putaran efektif pada RBC berkisar 1 – 2 rpm. Menurut Thoriq dalam Laili dkk, perlakuan dengan putaran lebih lambat dapat menurunkan TSS lebih besar karena waktu kontak antara biofilm dan air limbah akan lebih lama. Hal ini dikarenakan mikroorganisme aerob yang berfungsi sebagai pengurai dapat tumbuh dengan baik dengan kandungan oksigen yang cukup, sehingga dapat mempercepat penggumpalan endapan dalam menurunkan konsentrasi TSS pada air limbah. Efesiensi penurunan TSS pada bak pengendap kedua, tidak sebanyak pada bak pengendap pertama. Konsentrasi TSS pada inlet yang telah berada dibawah bawah baku mutu serta adanya penurunan konsentrasi TSS pada tahap 1 dan 2 membuat konsentrasi TSS yang terbawa pada tahap ini sudah cukup rendah. Rendahnya konsentrasi yang masuk pada bak pengendap kedua membuat efesiensi penurunan TSS pada tahap ini terbilang kecil yaitu berkisar 4,35 – 4,81 %. Efesiensi penurunan konsentrasi TSS pada IPAL Lambung Mangkurat berkisar 40 – 46,2 . Berdasarkan
Peraturan Gubernur Kalimantan Selatan No. 36 Tahun 2008 tentang Baku Mutu Limbah Cair, konsentrasi TSS hasil pegolahan pada outlet IPAL Lambung Mangkurat telah memenuhi baku mutu yaitu 100 mg/L. IV. KESIMPULAN Kesimpulan yang didapat dari penelitian yang telah dilakukan adalah sebagai berikut : 1. Pengoperasian pompa secara manual membuat proses pengolahan air limbah menjadi terhambat karena pengaliran air limbah tidak terjadi secara terus-menerus. Sehingga mempengaruhi debit, waktu tinggal, beban permukaan dan kualitas air limbah yang dihasilkan. 2. Kapasitas bak pengendap pertama yang cukup besar membuat beban permukaan belum memenuhi kriteria desain dan waktu tinggal menjadi lama. Pengoperasian pompa secara manual membuat debit, waktu tinggal, beban organik dan beban pemukaan pada RBC melebihi kriteria desain. Waktu tinggal pada bak pengendap kedua sesuai dengan kriteria desain, sedangkan beban permukaan belum memenuhi kriteria desain yang ditentukan 3. Kualitas air parameter BOD, TSS, DO, pH dan suhu pada inlet dan outlet telah memenuhi bakumutu berdasarkan Peraturan Gubernur Kalimantan Selatan No. 36 Tahun 2008, dan telah memenuhi syarat untuk dilakukan pengolahan dengan sistem RBC. 4. Pada bak pengendap pertama, efesiensi penyisihan BOD berkisar 16 – 33,85 % dan efesiensi penurunan TSS sebesar 34,24 - 41,06 %. Dengan efesiensi penyisihan BOD sebesar 23,81 – 51,43 %, penurunan kandungan TSS pada RBC hanya berkisar 1,9 – 4,61 %. Efesiensi penyisihan BOD pada bak pengendap kedua berkisar 15,63 – 70,59 % sedangkan penurunan TSS sebesar 4,35 – 4,81 %. 5. Efesiensi pengolahan air limbah parameter BOD pada IPAL Lambung Mangkurat berkisar 46 – 89,59 % dan penurunan TSS hasil olahan dari inlet ke outlet IPAL mencapai 40 – 46,2 %.