ANALISIS PELAKSANAAN KEBIJAKAN PENGELOLAAN SAMPAH SEBAGAI UPAYA MENINGKATKAN KUALITAS LINGKUNGAN HIDUP DI KOTA BANDUNG
DEDI A. BARNADI
SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2010
PERNYATAAN MENGENAI DISERTASI DAN SUMBER INFORMASI Saya yang bertanda tangan di bawah ini menyatakan bahwa disertasi yang berjudul Analisis Pelaksanaan Kebijakan Pengelolaan Sampah sebagai Upaya Meningkatkan Kualitas Lingkungan Hidup di Kota Bandung adalah karya saya sendiri dengan arahan komisi pembimbing dan belum pernah diajukan dalam bentuk apapun kepada perguruan tinggi manapun. Sumber data dan informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam daftar pustaka di bagian akhir disertasi. Demikian pernyataan ini saya buat dengan sebenar-benarnya. Bogor, Maret 2010 Dedi A. Barnadi P.062050494
i
1
RINGKASAN ANALISIS PELAKSANAAN KEBIJAKAN PENGELOLAAN SAMPAH SEBAGAI UPAYA MENINGKATKAN KUALITAS LINGKUNGAN HIDUP DI KOTA BANDUNG Berdasarkan data dari PD Kebersihan Kota Bandung Tahun 2009, volume timbulan sampah sebagai indikasi kualitas lingkungan hidup di Kota Bandung periode Tahun 2001-2008, setiap tahunnya menghasilkan rata-rata sebesar 1.369.659 m3, dengan rata-rata pertambahannya sebesar 17,29%/tahun atau sebesar 81.394 m3/tahun, dan ironisnya volume sampah yang diolah baru sekitar 10%. Data dari PD Kebersihan ini memperlihatkan pula bahwa setiap penduduk berpotensi menghasilkan sampah sekitar 3 liter per hari. Tak heran, dengan jumlah penduduk Kota Bandung sekitar 2,5 juta jiwa, beban sampah dapat mencapai sekitar 7.500 m3/hari. Beban kualitas lingkungan hidup berupa sampah ini memiliki konstribusi terbesar utama berasal dari rumah tangga yaitu sekitar 66% atau 4.952 m3. Kemudian sektor industri merupakan penghasil sampah yang memiliki konstribusi terbesar kedua dengan produksi sampah sekitar 798,50 m3/hari atau hampir 11%, dan sisanya sekitar 23% berasal dari pasar, sektor komersial, jalan, non komersial, serta sampah saluran. Lahirnya Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2008 Tentang Pengelolaan Sampah merupakan suatu tonggak baru bagi kebijakan pengelolaan sampah perkotaan di Kota Bandung yang mengarahkan kebijakan pengelolaan sampah perkotaan pada konsep zero waste dengan menekankan pentingnya peran masyarakat dalam pengelolaan sampah. Hal itu membawa konsekuensi hukum bahwa pemerintah merupakan pihak yang berwenang dan bertanggung jawab di bidang pengelolaan sampah meskipun secara operasional pengelolaannya dapat bermitra dengan badan usaha. Pengelolaan sampah yang selama ini berlangsung bertumpu pada wawasan bahwa sampah bukan sumberdaya dan mengandalkan diri pada pendekatan membuang sampah di lokasi tempat pembuangan akhir sampah. Pengelolaan sampah dengan paradigma baru bertujuan mengurangi volume sampah yang dibuang ke tempat pembuangan akhir sampah melalui upaya pengembangan memperlakukan sampah dengan cara mengurangi, menggunakan-kembali dan mendaur-ulang. Pengelolaan sampah dengan paradigma baru juga menegaskan bahwa pengelolaan sampah merupakan pelayanan publik yang bertujuan untuk mengendalikan sampah yang dihasilkan masyarakat melalui pemberdayaan masyarakat yang didukung oleh pelaksanaan kebijakan pengelolaan sampah. Terdapat 4 (empat) faktor yang mempengaruhi pelaksanaan kebijakan, seperti yang diungkapkan oleh Edward III (1980); yaitu komunikasi, sumberdaya, disposisi-disposisi atau sikap-sikap dan struktur birokrasi. Paradigma baru memandang sampah sebagai sumber daya yang memiliki nilai ekonomi seperti untuk energi, kompos, pupuk ataupun untuk bahan baku industri. Pengelolaan sampah dengan paradigma baru tersebut dapat dilakukan dengan kegiatan pengelolaan sampah yang menerapkan konsep 3R (reduce, reuse
2
dan recycle) dan pengelolaan sampah yang menerapkan konsep pemberdayaan masyarakat (empowerment). Pengelolaan sampah meliputi kegiatan pengurangan (reduce), penggunaan kembali (reuse), dan pendauran ulang (recycle), sedangkan pemberdayaan masyarakat (empowerment) berupa kegiatan pemilahan, pengumpulan, pengangkutan, pengolahan, dan pemrosesan akhir. Penelitian ini dapat dijadikan acuan untuk merumuskan pokok-pokok pikiran yang menjadi bahan dan dasar bagi penyusunan model kebijakan pengelolaan sampah perkotaan di Kota Bandung. Kajian akademis ini bertujuan untuk: 1. Mengkaji pelaksanaan kebijakan pengelolaan sampah di Kota Bandung. 2. Mengevaluasi faktor-faktor dominan yang mempengaruhi pelaksanaan kebijakan pengelolaan sampah di Kota Bandung. 3. Menetapkan prioritas dan strategi yang dibutuhkan dalam pelaksanaan kebijakan pengelolaan sampah di Kota Bandung 4. Merumuskan kebijakan pengelolaan sampah yang baru di Kota Bandung. Data sekunder yang dibutuhkan antara lain berkaitan dengan produkproduk peraturan berkaitan dengan kebijakan pengelolaan sampah yang berlaku di Kota Bandung sebagai acuan dalam pelaksanaan kebijakan yang berhubungan dengan pengelolaan sampah di Kota Bandung. Selain itu data sekunder lainnya dibutuhkan berkaitan dengan koordinasi dalam pelaksanaan kebijakan pengelolaan sampah, jumlah pegawai instansi berkaitan dengan persampahan, lokasi-lokasi TPA, alternatid-alternatif penanganan sampah, serta pendapat para pakar persampahan yang diperoleh dari hasil dokumentasi atau laporan-laporan yang dikumpulkan melalui studi pustaka dan informasi seperti PD Kebersihan, BPLHD Kota Bandung, Dinas Tata Kota, dan Dinas Pendapatan Daerah Kota Bandung. Data primer yang diperlukan terdiri dari pendapat/pandangan masyarakat tentang pelaksanaan kebijakan pengelolaan sampah yang dilakukan oleh pemerintah daerah melalui instansi-instansi terkait, serta pendapat/pandangan para pakar di bidang pengelolaan sampah dalam menemukan prioritas dalam pelaksanaan pengelolaan sampah. Selain itu wawancara dengan para pakar pengelolaan sampah baik dari institusi pemerintahan maupun institusi akademik dilakukan untuk memperoleh masukan dan arahan dalam pembahasan hasil analisis. Secara umum data primer dikumpulkan melalui wawancara dan kuesioner. Pengukuran variabel-variabel penelitian dilakukan berdasarkan penilaian persepsi pegawai PD Kebersihan dan Masyarakat Kota Bandung melalui 5 (lima) pilihan jawaban yang memiliki skor 1 sampai 5. Pada tahap analisis, data diolah dan diproses menjadi kelompokkelompok, diklasifikasikan, dikategorikan dan dimanfaatkan untuk memperoleh kebenaran sebagai jawaban dari masalah dalam hipotesis penelitian yang diajukan dalam penelitian. Analisis ini merupakan perpaduan antara Analitic Hierarchy Process (AHP) dan SWOT (Strength, Weakness, Oportunity, and Threat). Analisis SWOT menjadi suatu alat kekuatan untuk mencari dan menemukenali potensi dalam
3
kebijakan pengelolaan sampah sebagai kekuatan yang dimiliki. Hasil analisis ini dapat dijadikan sebagai landasan strategi untuk mencapai keberlangsungan pembangunan terutama dalam pengelolaan sampah di Kota Bandung dengan menggambarkan pengaruh, tindakan yang diperlukan, untuk mencapai keluaran yang diinginkan (Moughtin,1990). Pengelolaan sampah oleh masyarakat baik melalui komunitas dapat menjadi pemasukan bagi wilayahnya apabila dikelola dengan baik dan menambah lapangan pekerjaan. Sampah yang dihasilkan masyarakat jika sudah dapat dipisahkan berdasarkan jenisnya mulai dari awal, dapat dimanfaatkan kembali atau dijual untuk membiayai usaha pengelolaan sampah secara swadaya. Peranan swasta dalam upaya pengelolaan sampah adalah sebagai pendukung sistem (support system), seperti: 1) mempercepat proses transformasi/ peralihan dari dominasi pemerintah ke masyarakat; 2) sebagai Pengumpul material/barang yang masih dapat di daur ulang atau masih berguna. Peran pemerintah, apabila sistem pengelolaan sampah berbasis masyarakat ini berjalan, hanya memikirkan masalah pengelolaan TPA. Beban berat dari besarnya anggaran yang diharus ditanggung dapat dikurangi secara efisien. Beban mengelola sampah juga akan berkurang dengan drastis dengan hanya mengelola sampah. Sampah yang diangkut oleh pemerintah dari TPS ke TPA tentunya harus ditarik pungutan/retribusi yang akan digunakan untuk operasional. Sedangkan biaya rutin sampah per bulan akan menjadi hak dari pengelola masyarakat karena peran aktifnya mengatasi masalah pengelolaan sampah. Pelaksanaan kebijakan pengelolaan samapah dikota Bandung perlu ditingkatkan agar lebih baik sesuai dengan paradigma baru sebagaimana tertuang dalam UU No.18 Tahun 2008, serta memperhatikan faktor-faktor dominan apa (Disposisi,Sumberdaya,Komunikasi,Birokrasi) yang harus mendapat perhatian, serta prioritas kebijakan dalam hal mengurangi (reduce) sampah dari sumbernya. Langkah selanjutnya adalah merevisi dan atau menambah pasal dari peraturan daerah No.2 Tahun 1985 tentang PD kebersihan, peraturan daerah No.27 Tahun 2001 tentang pengelolaan kebersihan dan peraturan daerah No.11 Tahun 2005 tentang K.3. Operasionalisasi kebijakan perlu dilakukan pemberdayaan dengan melibatkan masyarakat dan dunia usaha, serta harus dilakukan langkah penegakan hukum (Law Enforcement) terhadap siapapun yang melanggar peraturan daerah.
ABSTRACT
Dedi A. Barnadi, 2010. Analysis of Waste Management Policy Implementation Efforts to Improve the Environmental Quality in Bandung, under a team of supervisors with Supiandi Sabiham as chairman, Syaiful Anwar and Wonny A. Ridwan as members. Waste policies governing waste management intended to improve public health and environmental quality and make waste as a resource. Implementation of waste management policies, including the excellent category based on employee perceptions of PD Kebersihan Bandung, but less well on the public perception of Bandung. Factors that influence the implementation of waste management policy in the city of Bandung which is the dominant factor, especially in terms of disposition implementing cleaner understanding of waste management policy. Operation of waste management is derived from the household waste reduction and handling. Waste management was improved by applying the 3R concept of community empowerment as a new paradigm. Efforts made in improving waste management in Bandung in the form of strategies and implementation models of waste management policy with a new paradigm. Keywords:
Model Policy Implementation, Waste Management, Environment, 3R Concept and Community Empowerment
ii
Urban
ABSTRAK
Dedi A. Barnadi, 2010. Analisis Pelaksanaan Kebijakan Pengelolaan Sampah sebagai Upaya Meningkatkan Kualitas Lingkungan Hidup di Kota Bandung, di bawah bimbingan Supiandi Sabiham sebagai ketua, Syaiful Anwar dan Wonny A. Ridwan sebagai anggota. Kebijakan persampahan mengatur tentang pengelolaan sampah yang ditujukan untuk meningkatkan kesehatan masyarakat dan kualitas lingkungan serta menjadikan sampah sebagai sumber daya. Pelaksanaan kebijakan pengelolaan sampah termasuk pada kategori yang cukup baik berdasarkan persepsi pegawai PD. Kebersihan Bandung, namun kurang baik berdasarkan persepsi masyarakat Kota Bandung. Faktor-faktor yang mempengaruhi pelaksanaan kebijakan pengelolaan sampah di Kota Bandung yang dominan yaitu pada faktor disposisi terutama dalam hal pemahaman pelaksana petugas kebersihan tentang kebijakan pengelolaan sampah. Penyelenggaraan pengelolaan sampah yang bersumber dari rumah tangga yaitu pengurangan dan penanganan sampah. Pengelolaan sampah dengan paradigma baru menerapkan konsep 3R dan pemberdayaan masyarakat. Upaya yang dilakukan dalam meningkatkan pengelolaan sampah di Kota Bandung berupa strategi dan model pelaksanaan kebijakan pengelolaan sampah dengan paradigma baru. Kata Kunci: Model Pelaksanaan Kebijakan, Pengelolaan Sampah, Lingkungan Hidup Perkotaan, Konsep 3R dan Pemberdayaan Masyarakat
i
© Hak cipta milik Institut Pertanian Bogor, Tahun 2010 Hak cipta dilindungi 1. Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan dan menyebutkan sumber : a. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik, atau tinjauan suatu masalah b. Pengutipan tidak merugikan kepentingan bagi IPB 2. Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian dan seluruhnya dalam bentuk apapun tanpa izin IPB
vi
Judul Disertasi: Analisis Pelaksanaan Kebijakan Pengelolaan Sampah Sebagai Upaya Meningkatkan Kualitas Lingkungan Hidup di Kota Bandung Nama:
Dedi A. Barnadi.
NIM.:
P.062050494
Program Studi: Pengelolaan Sumberdaya Alam Dan Lingkungan. Menyetujui Komisi Pembimbing
Prof. Dr. Ir. Supiandi Sabiham, M.Agr Ketua
Dr. Ir. Syaiful Anwar, M.Sc., Anggota
Dr. Wonny A. Ridwan, SE. M.M. Anggota
Diketahui, Ketua Program Studi Pengelolaan Sumberdaya Alam dan Lingkungan
Prof. Dr. Ir. Surjono Hadi Sutjahjo, MS.
Dekan Sekolah Pascasarjana
Prof. Dr. Khairil Anwar Notodiputro, MS.
Tanggal Ujian:
Tanggal Lulus:
viii
ANALISIS PELAKSANAAN KEBIJAKAN PENGELOLAAN SAMPAH SEBAGAI UPAYA MENINGKATKAN KUALITAS LINGKUNGAN HIDUP DI KOTA BANDUNG
Oleh:
Dedi A. Barnadi P062050494
Disertasi sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Doktor pada Program Studi Pengelolaan Sumberdaya Alam dan Lingkungan
SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2010 vii
Penguji Luar Ujian Tertutup
:
1. Prof. Dr. Ir. Surjono H. Sutjahjo. MS 2. Dr. Ir. Widiatmaka. DEA
Penguji Luar Ujian Terbuka
:
1. Dr. Ir. H. Kholil M.Com 2. Dr. Ir. Nonon Saribanon. M.Si
KATA PENGANTAR
Atas rahmat dan ridho Allah SWT penulis dapat menyelesaikan penelitian Disertasi dengan judul mengenai “Analisis Pelaksanaan Kebijakan Pengelolaan Sampah Sebagai Upaya Meningkatkan Kualitas Hidup Di Kota Bandung” Untuk itu, penulis menyampaikan terima kasih dan penghargaan yang tak terhingga kepada ; 1. Prof. Dr. Ir. Supiandi Sabiham, selaku Ketua Komisi Pembimbing yang telah banyak memberikan perhatian, tenaga dan waktu ditengah kesibukan yang luar biasa padatnya untuk mendiskusikan tahapan penulisan dengan memberi semangat secara terus menerus. 2. Dr. Ir. Syaiful Anwar, M.Sc., selaku anggota Komisi Pembimbing yang telah banyak memberikan perhatian, nasihat, waktu dan selalu memberi semangat. 3. Dr. Wonny A. Ridwan, M.M., selaku anggota Komisi Pembimbing yang telah banyak memberikan perhatian, nasihat dan waktu untuk berdiskusi dalam penulisan ini. 4. Prof. Dr. Ir. Khairil A. Notodiputro, MS., selaku dekan sekolah pasca sarjana institut pertanian bogor yang telah memberikan motivasi dan arahan selama mengikuti perkuliahan. 5. Prof. Dr. Ir. Marimin, MSc, selaku Sekretaris Program Doktor yang selalu memberi semangat dan dorongan dalam proses penulisan ini. 6. Prof. Dr. Surjono H. Sutjahjo, MS., selaku Ketua Program Studi Pengelolaan SDA dan Lingkungan, Sekolah Pascasarjana IPB yang telah memberikan masukan dan saran dari sisi akademik serta mengingatkan akan batas waktu studi. 7. Dr. Ir. Widiatmaka, DAA., selaku Sekretaris Eksekutif Program Studi Pengelolaan Sumber Daya Alam dan Lingkungan Institut Pertanian Bogor. 8. Kepada semua pihak yang telah membantu memperlancar proses penulisan Penelitian Disertasi ini.
ix
9. Kepada Pemerintah Kota Bandung yang telah memberi kesempatan untuk penelitian ini dan memberi masukan serta bahan-bahan yang diperlukan sehingga memperlancar proses penulisan disertasi ini.
Akhirnya penulis mengharapkan mudah-mudahan bantuan dan dorongan yang telah diberikan oleh Bapak dan ibu tidak terputus hingga penelitian dan penyelesaian Disertasi ini dapat diselesaikan sebagaimana mestinya. Semoga Allah SWT membalas semua kebaikan Bapak dan ibu dengan berlipat ganda. Amin.
Bogor, Maret 2010
Dedi A. Barnadi
x
RIWAYAT HIDUP
Penulis dilahirkan pada tanggal 17 Maret 1955 di Banjar-Jawa Barat, sebagai anak kelima dari tujuh bersaudara. Ayah bernama Achmad Barnas Wangsadiredja (Alm) dan ibu Ota Saadah. Pada tahun 1988 penulis menikah dengan Sri Budihartini, SE dikaruniai empat orang anak yaitu Achmad Furqon, Achmad Budi, Siti Nadia dan Nabila Siti Salsabila. Penulis menyelesaikan pendidikan di SD Negeri Bandung lulus tahun 1967, SMP Negeri 2 Cimahi lulus tahun 1970, SMA Negeri 6 Bandung lulus tahun 1973, Fakultas Sospol (Administrasi Negara) Universitas Pajajaran Bandung lulus tahun 1980, Fakultas Hukum (Pidana) Universitas Islam Nusantara Bandung lulus tahun 1994, Program S2 (Ilmu Pemerintahan) Universitas Satyagama Jakarta lulus tahun 2002. Pada tahun 2005 penulis mengikuti program Doktor (S3) pada Studi Pengelolaan Sumberdaya Alam dan Lingkungan di Institut Pertanian Bogor (IPB). Pada tahun 1982 penulis diangkat sebagai pegawai negeri sipil di Departemen Penerangan, tahun 1983 sampai dengan 1988 pegawai negeri sipil Departemen Dalam Negeri
dan 1988 sampai dengan sekarang pegawai negeri sipil
Pemerintah Kabupaten Bandung.
xi
DAFTAR ISI
Halaman HALAMAN PERNYATAAN ............................................................................. i ABSTRACT ........................................................................................................ ii RINGKASAN ................................................................................................... iii HALAMAN HAK CIPTA ............................................................................... vi HALAMAN JUDUL ....................................................................................... vii HALAMAN PENGESAHAN ........................................................................ viii KATA PENGANTAR ...................................................................................... ix RIWAT HIDUP ............................................................................................... xi DAFTAR ISI ................................................................................................... xii DAFTAR GAMBAR ....................................................................................... xiv DAFTAR TABEL ............................................................................................ xv DAFTAR LAMPIRAN ................................................................................. xviii
I. PENDAHULUAN ........................................................................................... 1 1.1 Latar Belakang ................................................................................... 1 1.2 Kerangka Pemikiran ........................................................................... 4 1.3 Perumusan Masalah ............................................................................ 9 1.4 Tujuan Penelitian .............................................................................. 10 1.5 Manfaat Penelitian ............................................................................ 10 1.6 Kebaruan Penelitian .......................................................................... 11
II. TINJAUAN PUSTAKA .............................................................................. 12 2.1 Kebijakan Pengelolaan Sampah ........................................................ 12 2.2 Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Pelaksanaan Kebijakan .............. 17 2.2.1 Komunikasi dalam Pelaksanaan Kebijakan .............................. 22 2.2.2 Sumberdaya dalam Pelaksanaan Kebijakan .............................. 25 2.2.3 Disposisi atau Sikap Pelaksana Kebijakan ................................ 28 2.2.4 Struktur Birokrasi dalam Pelaksanaan Kebijakan ..................... 31 xii
2.3 Keterkaitan Pengelolaan Sampah dengan Kualitas Lingkungan Hidup ............................................................................ 34
III. METODE PENELITIAN .......................................................................... 40 3.1 Waktu dan Tempat Penelitian ........................................................... 40 3.2 Tahapan Penelitian ........................................................................... 40 3.3 Jenis dan Sumber Data...................................................................... 41 3.4 Jumlah Sampel Penelitian ................................................................. 42 3.5 Metode Pengumpulan Data ............................................................... 44 3.6 Metode Analisis Data ....................................................................... 47
IV. GAMBARAN UMUM KUALITAS LINGKUNGAN HIDUP DI KOTA BANDUNG ............................................................................... 54 4.1 Gambaran Umum Lokasi Penelitian ................................................. 54 4.2 Sampah di Kota Bandung ................................................................. 57 4.3 Tingkat Kualitas Lingkungan Hidup Kota Bandung .......................... 61
V. HASIL DAN PEMBAHASAN .................................................................... 62 5.1 Kebijakan Pengelolaan Sampah di Kota Bandung ............................. 62 5.2 Faktor Dominan yang Mempengaruhi Pelaksanaan Kebijakan Pengelolaan Sampah di Kota Bandung ............................. 87 5.3 Strategi dan Model Meningkatkan Pelaksanaan Kebijakan Pengelolaan Sampah untuk Meningkatkan Pengelolaan Sampah di Kota Bandung ............................................................................. 100 5.4 Model Kebijakan Pengelolaan Sampah Perkotaan ........................... 111
VI. KESIMPULAN DAN SARAN ................................................................ 131 6.1 Kesimpulan .................................................................................... 131 6.2 Saran .............................................................................................. 131
DAFTAR PUSTAKA ..................................................................................... 134 xiii
DAFTAR GAMBAR
Halaman 1. Kerangka Pemikiran Pelaksanaan Kebijakan Pengelolaan Sampah di Kota Bandung ................................................................................. 9 2. Ilustrasi Solusi Empat Faktor Hasil Reduksi, Pengelompokkan dan Pengurutan Sumber: Hasil Kajian Kesesuaian dengan Penelitian yang Dilakukan (modifikasi Dillon, 1984) ......................... 48 3. Model Hirarki AHP dan SWOT ..................................................................... 53 4. Ilustrasi Peta Lokasi Kota Bandung................................................................ 55 5. Sistem Operasional Pelayanan Kebersihan ..................................................... 59 6. Program Pengelolaan Sampah di Kota Bandung ............................................. 67 7. Operasional Pengelolaan Kebersihan Kota Bandung ...................................... 68 8. Sistem Pengelolaan Konvensional yang dilakukan oleh PD Kebersihan ................................................................................................... 100 9. Struktur Hirarki Analitik Strength Penyusunan Prioritas Pengelolaan Sampah di Kota Bandung ......................................................... 106 10. Struktur Hirarki Analitik Weakness Penyusunan Prioritas Pengelolaan Sampah di Kota Bandung ....................................................... 107 11. Struktur Hirarki Analitik Opportunities Penyusunan Prioritas Pengelolaan Sampah di Kota Bandung ....................................................... 109 12. Struktur Hirarki Analitik Threats Penyusunan Prioritas Pengelolaan Sampah di Kota Bandung ....................................................... 110 13. Konsep Pelaksanaan Kebijakan Pengelolaan Sampah di Kota Bandung..................................................................................................... 120 14. Sistem Modifikasi Pengelolaan Sampah ..................................................... 128 15. Pola Operasional Kebijakan Pengelolaan Sampah di Kota Bandung..................................................................................................... 130
xiv
DAFTAR TABEL
Halaman 1. Perincian Penyebaran Kuesioner Penelitian Kepada Pegawai ......................... 44 2. Perincian Penyebaran Kuesioner Penelitian Kepada Masyarakat .................... 44 3. Kerangka Analisis SWOT .............................................................................. 51 4. Timbulan Sampah di Kota Bandung ............................................................... 58 5. Perkiraan Produksi Sampah Domestik Di Kota Bandung Tahun 2008 dan 2013 ..................................................................................... 60 6. Hasil Pemantauan Kualitas Sungai ................................................................. 61 7. Kejelasan Informasi yang Diterima mengenai Kebijakan Pengelolaan Sampah ...................................................................................... 68 8. Penguasaan Pegawai dalam Pengetahuan mengenai Masalah Pengelolaan Sampah di Kota Bandung ............................................. 69 9. Kecepatan Pesan yang Diterima dalam Menginformasikan Perkembangan berkaitan dengan Kebijakan Pegelolaan Sampah yang Ditetapkan oleh Pemerintah ...................................................... 70 10. Frekwensi Penyampaian Informasi Pemerintah Berkaitan dengan Perkembangan Pengelolaan Sampah ................................................ 71 11. Ketepatan dan Kesesuaian Pelaksanaan Kebijakan Pengelolaan Sampah yang Diterapkan oleh Pemerintah.................................................... 72 12. Penyelesaian Masalah dengan Adanya Informasi yang Diberikan Pemerintah Berkaitan dengan Kebijakan Pengelolaan Sampah ..................... 73 13. Perolehan Sumber Daya Informasi yang Dibutuhkan Pelaksanaan Berkaitan dengan Kebijakan Pengelolaan Sampah .................... 75 14. Kegunaan Sarana dan Prasarana Bantuan Pemerintah berupa Peralatan...........................................................................................................76 15. Sumber Daya Manusia atau Tenaga Pelaksana mengenai Kebijakan Pengelolaan Sampah.......................................................................76 16. Pemahaman Pelaksana Petugas Kebersihan tentang Kebijakan Pengelolaan Sampah.......................................................................77 xv
17. Kesesuaian Pengetahuan Petugas Pelaksana dengan Kebutuhan Masyarakat Berkaitan dengan Masalah Kebijakan Pengelolaan Sampah........................................................................................78 18. Penerapan dalam Pelaksanaan tentang Kebijakan Pengelolaan Sampah .................................................................................... 79 19. Kejujuran Aparat Pemerintah dalam Menjalankan Tugas Pengelolaan Sampah pada Umumnya ........................................................... 80 20. Komitmen Aparat Pemerintah dalam Menjalankan Tugas Pengelolaan Sampah pada Umumnya ........................................................... 80 21. Sikap Aparat Pemerintah dalam Prioritas Menjalankan Tugas Pengelolaan Sampah pada Umumnya81 22. Kejelasan Pembagian Tugas Aparat Pemerintah dalam hal Menjalankan Tugas Pengelolaan Sampah ..................................................... 82 23. Tanggungjawab Aparat Pemerintah dalam Menjalankan Tugas Pengelolaan Sampah pada Umumnya83 24. Kejelasan Wewenang Aparat Pemerintah dalam Menjalankan Tugas Pengelolaan Sampah pada Umumnya................................................. 83 25. Kejelasan Koordinasi yang Dilakukan Aparat Pemerintah dalam Menjalankan Tugas Pengelolaan Sampah pada Umumnya ................. 84 26. Pengujian Kecukupan Data dalam menggunakan Analisis ............................ 88 27. Hasil Perhitungan Total Variance Explained ................................................ 89 28. Hasil Akhir Analisis Faktor Variabel Komunikasi, Sumberdaya, Disposisi Dan Birokrasi Berdasarkan Penilaian Pegawai dan Penilaian Masyarakat ............................................................................. 90 29. Susunan Urutan Faktor Dominan.................................................................. 92 30. Hubungan Antara Variabel Laten dengan Variabel Manifes Berdasarkan Penilaian Pegawai dan Penilaian Masyarakat .............. 95 31. Bobot Faktor terhadap Goal ....................................................................... 102 32. Bobot Kriteria terhadap Faktor ................................................................... 104 33. Bobot Sub-Kriteria terhadap Kriteria .......................................................... 106 xvi
34. Faktor Internal dan Faktor Eksternal Pelaksanaan Kebijakan Pengelolaan Sampah di Kota Bandung ...................................... 113 35. Matriks Strategi Pelaksanaan Kebijakan ..................................................... 114
xvii
DAFTAR LAMPIRAN
Halaman 1. Kuesioner Analisis Faktor ......................................................................... 142 2. Kuesioner AHP ......................................................................................... 146 3. Pedoman Wawancara ................................................................................ 165 4. Data Hasil Penelitian Responden Pegawai ................................................. 167 5. Data Hasil Penelitian Responden Masyarakat ............................................ 168 6. Hasil Uji Validitas dan Reliabilitas Responden Pegawai ............................ 170 7. Hasil Uji Validitas dan Reliabilitas Responden Masyarakat ....................... 176 8. Data Tingkat Pelaksanaan Kebijakan Pengelolaan Sampah ........................ 180 9 . Hasil Analisis Faktor Responden Pegawai ................................................. 185 10. Hasil Analisis Faktor Responden Masyarakat ............................................ 190
xviii
1
I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Pertambahan jumlah penduduk, perubahan pola konsumsi masyarakat, peningkatan konsumsi masyarakat dan aktivitas kehidupan masyarakat di perkotaan, menimbulkan bertambahnya volume dan jenis sampah, serta karakteristik sampah yang semakin beragam. Sampah yang ditimbulkan dari aktivitas dan konsumsi masyarakat perkotaan ini, telah menjadi permasalahan lingkungan yang harus ditangani oleh setiap pemerintah kota dengan dukungan partisipasi aktif dari masyarakat perkotaan itu sendiri. Permasalahan sampah perkotaan ini dialami pula oleh Pemerintah Kota Bandung sebagai Ibu Kota Provinsi Jawa Barat. Kota Bandung yang dahulunya dikenal dengan ”Parijs van Java” dengan lingkungannya yang asri sehingga pernah dijuluki sebagai Kota Kembang, namun karena menghadapi permasalahan sampah perkotaan maka dikhawatirkan status yang sudah baik ini menjadi hilang karna menumpuknya sampah diberbagai tempat yang antara lain disebabkan oleh terbatasnya daya tampung tempat pembuangan akhir(TPA). Pada tingkat perkembangan kehidupan masyarakat di masa lampau, pengelolaan sampah bertumpu pada pendekatan akhir, dengan membuang sampah yang dihasilkan proses produksi dan konsumsi secara langsung ke tempat pembuangan akhir sampah (Djajadiningrat, 2001). Berdasarkan data dari PD Kebersihan Kota Bandung Tahun 2009, volume timbulan sampah sebagai indikasi kualitas lingkungan hidup di Kota Bandung periode Tahun 2001-2008, setiap tahunnya menghasilkan rata-rata sebesar 1.369.659 m3, dengan rata-rata pertambahan sebesar 17,29%/tahun atau sebesar 81.394 m3/tahun, namun demikian volume sampah yang bisa diolah baru sekitar 10%. Data dari PD Kebersihan ini memperlihatkan pula bahwa setiap penduduk berpotensi menghasilkan sampah sekitar 3 liter per hari, sehingga dengan jumlah penduduk Kota Bandung sekitar 2,5 juta jiwa, beban sampah dapat mencapai
2 sekitar 7.500 m3/hari. Beban kualitas lingkungan hidup berupa sampah ini memiliki konstribusi terbesar utama berasal dari rumah tangga yaitu sekitar 66% atau 4.952 m3. Kemudian sektor industri merupakan penghasil sampah yang memiliki konstribusi terbesar kedua dengan produksi sampah sekitar 798,50 m3/hari atau hampir 11%, dan sisanya sekitar 23% berasal dari pasar, sektor komersial, jalan, non komersial, serta sampah saluran. Pengelolaan sampah di Kota Bandung selama ini mengacu pada Peraturan Daerah Kota Bandung Nomor 02 Tahun 1985 yang memberikan kewenangan kepada Perusahaan Daerah untuk mengelola sampah. Artinya pengelolaan sampah di Kota Bandung lebih diarahkan kepada peningkatan Pendapatan Asli Daerah (PAD). Peran masyarakat didalam menangani sampah di Kota Bandung diposisikan hanya sebagai objek sumber pendapatan. Sampah yang berasal dari rumah tangga dikelola oleh lembaga kewilayahan tingkat RW, kemudian dibawa ke Tempat Pembuangan Sementara (TPS) yang dikelola oleh Perusahaan Daerah. Saat ini kebijakan pengelolaan sampah perkotaan yang diterapkan Pemerintah Kota Bandung selain dikelola oleh PD Kebersihan, juga mengacu pada Peraturan Daerah Kota Bandung Nomor 27 Tahun 2001 tentang Pengelolaan Kebersihan dan Peraturan Daerah Nomor 11 Tahun 2005 tentang Penyelenggaraan Ketertiban, Kebersihan, dan Keindahan, di Kota Bandung yang meminta peran serta masyarakat untuk ikut serta berpartisipasi dalam pengelolaan sampah. Dari dua peraturan daerah yang ada, terlihat adanya kontradiktif. Lahirnya Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2008 Tentang Pengelolaan Sampah merupakan suatu tonggak baru bagi kebijakan pengelolaan sampah perkotaan di Kota Bandung yang mengarahkan kebijakan pengelolaan sampah perkotaan pada konsep zero waste dengan menekankan pentingnya peran masyarakat dalam pengelolaan sampah. Pemerintah Daerah Kota Bandung dituntut untuk memformulasikan kebijakan pengelolaan sampah perkotaan dalam mengatasi permasalahan sampah khususnya sampah yang berasal dari rumah tangga dengan memberikan konstribusi terbesar (66%) penghasil sampah di Kota Bandung (PD Kebersihan,
3
2009). Hal itu diperlukan agar pengelolaan sampah rumah tangga dapat terintegrasi antar seluruh kelembagaan terkait dan menjadi instrumen penting dalam menerapkan kebijakan pengelolaan sampah perkotaan. Pengelolaan sampah di kota, tidak terlepas dari kebijakan publik yang dikeluarkan oleh pemerintah daerah. Secara umum menurut Edward III (1980) kebijakan publik dipengaruhi 4 (empat) aspek penting dalam pelaksanaan suatu kebijakan yaitu 1) Komunikasi, 2) Sumberdaya, 3) Disposisi, dan 4) Birokrasi. Upaya pelaksanaan kebijakan pengelolaan sampah perkotaan pada aspek komunikasi yang dilakukan Pemerintah Kota Bandung lebih banyak dilakukan dalam hal komunikasi internal antar instansi pemerintah terkait dengan pengelolaan sampah. Komunikasi eksternal kepada masyarakat hanya sekedar pada himbauan berupa pemasangan billboard di tempat-tempat tertentu seperti ”Buanglah
Sampah
pada
Tempatnya”,
”Dilarang
Membuang
Sampah
Sembarangan”, ”Jagalah Kebersihan”, dan ”Jangan Membuang Sampah ke Sungai”. Pemerintah Kota Bandung tidak memiliki program khusus yang secara intensif menangani kegiatan sosialisasi kebijakan pengelolaan sampah perkotaan berupa pengelolaan sampah. Pada aspek sumberdaya, khususnya dalam hal sumber pendanaan, Pemerintah Kota Bandung menerapkan retribusi sampah sebagai salah satu sumber PAD (Pendapatan Asli Daerah) dan sumber pendanaan dalam penyelenggaraan pelayanan pengelolaan sampah. Fenomena yang terjadi berkaitan dengan pendanaan ini yaitu adanya 2 (dua) kali pungutan sampah yang harus dibayar oleh masyarakat. Pertama, pungutan berupa iuran sampah bulanan yang dikelola oleh RW setempat dalam pengelolaan sampah berupa kegiatan pengumpulan sampah dari rumah penduduk ke TPS. Sedangkan yang kedua pungutan berupa retribusi sampah (pada saat pembayaran listrik PLN) yang dipungut oleh PD Kebersihan dalam pengelolaan sampah berupa kegiatan pengangkutan sampah dari TPS ke TPA. Pada aspek disposisi, Pemerintah Kota Bandung dituntut memiliki kesepakatan di kalangan pelaksana untuk menerapkan kebijakan pengelolaan sampah perkotaan, namun pada kenyataannya Pemerintah Kota Bandung memiliki
4
peraturan daerah yang kontradiksi antara Peraturan Daerah Kota Bandung Nomor 02 Tahun 1985 yang memberikan kewenangan kepada Perusahaan Daerah untuk mengelola sampah di Kota Bandung, dengan Peraturan Daerah Nomor 27 Tahun 2001 tentang Pengelolaan Kebersihan di Kota Bandung dan Peraturan Daerah Nomor 11 Tahun 2005 tentang Penyelenggaraan Ketertiban, Kebersihan, dan Keindahan; yang mengamanatkan peran serta masyarakat dalam pengelolaan sampah. Sedangkan pada aspek birokrasi, Pemerintah Kota Bandung menempatkan PD Kebersihan sebagai Badan Usaha Milik Daerah yang melakukan pengelolaan sampah di Kota Bandung. Namun pengelolaan sampah perkotaan yang dilakukan PD Kebersihan hanya difokuskan pada pengelolaan sampah dalam hal pengangkutan sampah dari TPS ke TPA. Peraturan Daerah Pengelolaan Sampah di Kota Bandung belum mengacu pada Pasal 5 dan Pasal 6 Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2008 tentang Pengelolaan Sampah yang mengamanatkan kepada Pemerintah
untuk
menumbuhkembangkan
partisipasi
masyarakat
dalam
pengelolaan sampah. Hal itu membawa konsekuensi hukum bahwa pemerintah merupakan pihak yang berwenang dan bertanggung jawab di bidang pengelolaan sampah meskipun secara operasional pengelolaannya dapat bermitra dengan badan usaha. Selain itu organisasi pengelola sampah, dan kelompok masyarakat yang bergerak di bidang persampahan dapat juga diikut sertakan dalam kegiatan pengelolaan sampah. Berdasarkan uraian latar belakang di atas, maka penulis melakukan penelitian dengan judul: ”Analisis Pelaksanaan Kebijakan Pengelolaan Sampah sebagai Upaya Meningkatkan Kualitas Lingkungan Hidup di Kota Bandung”
1.2 Kerangka Pemikiran Kebijakan pengelolaan sampah di Kota Bandung ditujukan untuk meningkatkan kesehatan masyarakat dan kualitas lingkungan hidup serta menjadikan sampah sebagai sumber daya. Pengertian kualitas lingkungan hidup
5
dalam kajian ini terkait dengan bebasnya lingkungan hidup dari timbunan sampah, bau akibat sampah dan turunan dari adanya timbunan sampah seperti penyakit disentri, kolera, tipus, dan penyakit lainnya. Sampah merupakan material sisa yang tidak diinginkan setelah berakhirnya suatu proses produksi/konsumsi, namun dalam proses alami, tidak dikenal istilah sampah. Proses-proses alam terkait satu sama lain dalam suatu siklus, di mana output dari satu proses menjadi input dari proses lain. Sampah adalah bahan yang tidak mempunyai nilai atau tidak berharga untuk maksud biasa atau utama dalam pembikinan atau pemakaian barang yang rusak atau bercacat dalam pembikinan manufaktur atau materi berkelebihan atau ditolak atau buangan. Pengelolaan sampah yang selama ini berlangsung bertumpu pada wawasan bahwa sampah bukan sumberdaya dan mengandalkan diri pada pendekatan membuang sampah di lokasi tempat pembuangan akhir sampah. Semua sampah yang dihasilkan dari kehidupan sehari-hari masyarakat dibuang ke tempat penimbunan akhir sampah yang pada akhirnya memberikan tekanan yang sangat berat terhadap tempat penimbunan akhir sampah, karena memerlukan jangka waktu panjang agar sampah dapat diurai oleh proses alam. Dalam jangka waktu proses penguraian oleh alam, sampah harus tetap dikelola yang berarti diperlukan dana, tenaga, waktu dan ruang untuk mengelolanya. Oleh karena itu, pengelolaan sampah perlu dirumuskan dan dirancang ke dalam suatu sistem dan mekanisme dalam bentuk kebijakan pengelolaan sampah. Pengelolaan sampah dengan paradigma baru bertujuan mengurangi volume sampah yang dibuang ke tempat pembuangan akhir sampah melalui upaya pengembangan memperlakukan sampah dengan cara mengurangi, menggunakankembali dan mendaur-ulang. Pengelolaan sampah dengan paradigma baru juga menegaskan bahwa pengelolaan sampah merupakan pelayanan publik yang bertujuan untuk mengendalikan sampah yang dihasilkan masyarakat melalui pemberdayaan
masyarakat
pengelolaan sampah.
yang
didukung
oleh
pelaksanaan
kebijakan
6
Lahirnya undang-undang tentang pengelolaan sampah merupakan suatu tonggak baru bagi pengelolaan sampah khususnya di Kota Bandung. Pengelolaan sampah di Kota Bandung diselenggarakan berdasarkan asas tanggung jawab, asas berkelanjutan, asas manfaat, asas keadilan, asas kesadaran, asas kebersamaan, asas keselamatan, asas keamanan, dan asas nilai ekonomi. Berdasarkan Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2008 tentang Pengelolaan Sampah yang mengatur mengenai penyelenggaraan pengelolaan sampah, pada Bab IV Pasal 19 menetapkan bahwa pengelolaan sampah rumah tangga dan sejenis sampah rumah tangga seperti plastik, sayuran dan buah-buahan dari sampah pasar, terdiri atas; 1) Pengurangan sampah, dan 2) Penanganan sampah. Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2008 tentang Pengelolaan Sampah pada Bab IV Pasal 20 ayat (1) menyatakan bahwa kegiatan pengurangan sampah merupakan kegiatan-kegiatan yang dilakukan untuk mengurangi sampah, yang meliputi kegiatan; 1) pembatasan timbulan sampah, 2) pendauran ulang sampah, dan/atau 3) pemanfaatan kembali sampah. Pada ayat (2) undang-undang ini dijelaskan pula bahwa dalam pengurangan sampah, pemerintah pusat dan pemerintah daerah wajib melakukan kegiatan berupa; 1) menetapkan target pengurangan sampah secara bertahap dalam jangka waktu tertentu, 2) memfasilitasi penerapan teknologi yang ramah lingkungan, 3) memfasilitasi penerapan label produk yang ramah lingkungan, 4) memfasilitasi kegiatan mengguna ulang dan mendaur ulang, dan 5) memfasilitasi pemasaran produkproduk daur ulang. Upaya pelaksanaan kegiatan pengurangan sampah mengharuskan pelaku usaha menggunakan bahan produksi yang menimbulkan sampah sesedikit mungkin, dapat diguna ulang, dapat didaur ulang, dan/atau mudah diurai oleh proses alam. Begitu pula dengan masyarakat, diharuskan menggunakan bahan yang dapat diguna ulang, didaur ulang, dan/atau mudah diurai oleh proses alam. Kebijakan pemerintah dalam pengelolaan sampah ini khususnya mengenai pengurangan sampah, pada Bab IV Pasal 21 tercakup mengenai pemberian insentif oleh pemerintah bagi setiap orang yang melakukan pengurangan sampah,
7
dan bagi setiap orang yang tidak melakukan pengurangan sampah akan diberikan disinsentif oleh pemerintah. Kegiatan penanganan sampah ditunjukkan pada Bab IV Pasal 22 yang merupakan kegiatan-kegiatan yang dilakukan untuk menangani sampah, meliputi kegiatan 1) Pemilahan dalam bentuk pengelompokan dan pemisahan sampah sesuai dengan jenis, jumlah, dan/atau sifat sampah, 2) Pengumpulan dalam bentuk pengambilan dan pemindahan sampah dari sumber sampah ke tempat penampungan
sementara
atau
tempat
pengolahan
sampah
terpadu,
3)
Pengangkutan dalam bentuk membawa sampah dari sumber dan/atau dari tempat penampungan sampah sementara atau dari tempat pengolahan sampah terpadu menuju ke tempat pemrosesan akhir, 4) Pengolahan dalam bentuk mengubah karakteristik, komposisi, dan jumlah sampah, dan/atau, 5) Pemrosesan akhir sampah dalam bentuk pengembalian sampah dan/atau residu hasil pengolahan sebelumnya ke media lingkungan secara aman. Berkaitan dengan pelaksanaan kebijakan, Webster (1990) dalam Wahab (2000)
mengemukakan:
”Implementasi
kebijakan
adalah
suatu
proses
melaksanakan keputusan kebijakan biasanya dalam bentuk Undang-undang, Peraturan Pemerintah, Keputusan Peradilan, Perintah Eksekutif atau Dekrit Presiden.” Selanjutnya Mazmanian dan Sabatier (1983) dalam Wahab (2000) mengemukakan: ”Implementasi kebijakan adalah kejadian-kejadian dan kegiatankegiatan yang timbul sesudah disahkannya pedoman-pedoman kebijaksanaan negara, yang mencakup baik usaha-usaha untuk mengadministrasikannya maupun untuk menimbulkan akibat/dampak nyata pada masyarakat atau kejadiankejadian”. Jadi yang perlu dalam pelaksanaan kebijakan merupakan bentuk tindakantindakan yang sah atau implementasi suatu rencana dengan peruntukannya. Terdapat 4 (empat) faktor yang mempengaruhi pelaksanaan kebijakan, seperti yang diungkapkan oleh Edward III (1980); yaitu komunikasi, sumberdaya, disposisi-disposisi atau sikap-sikap dan struktur birokrasi. Selain itu agar kebijakan yang dikeluarkan dapat dilaksanakan dengan efektif, menurut Jones
8
(1996) terdapat 3 (tiga) aktivitas utama yang merupakan dimensi dari pelaksanaan program atau keputusan yaitu: 1.
Pengorganisasian, penyesuaian dan penataan kembali sumberdaya, unit-unit serta metode untuk menjadikan program berjalan.
2.
Penafsiran (interpretasi) program menjadi rencana, pengarahan yang tepat dan dapat diterima serta dilaksanakan oleh para pelaksana kebijakan. Dalam hal ini diperlukan informasi proses kebijakan, standarisasi yang jelas, serta tingkat dukungan.
3.
Penerapan (aplikasi) pelayanan, pembayaran atau lainnya yang disesuaikan dengan tujuan atau perlengkapan program. Penelitian mengenai Penanganan Sampah Perkotaan Terpadu yang
dilakukan oleh Wibowo dan Djajawinata (2007), menunjukan bahwa beberapa kegiatan perlu dilakukan untuk mengatasi tingginya pertambahan penduduk dan arus urbanisasi ke perkotaan yang menyebabkan semakin tingginya volume sampah, ditambah keterbatasan lahan untuk Tempat Pembuangan Akhir (TPA) sampah, pengangkutan sampah ke TPA yang terkendala karena jumlah kendaraan yang tidak mencukupi dan kondisi peralatan yang telah tua serta pengelolaan TPA yang tidak sesuai dengan kaidah-kaidah yang ramah lingkungan. Paradigma baru memandang sampah sebagai sumber daya yang memiliki nilai ekonomi seperti untuk energi, kompos, pupuk ataupun untuk bahan baku industri. Pengelolaan sampah dengan paradigma baru tersebut dapat dilakukan dengan kegiatan pengelolaan sampah yang menerapkan konsep 3R (reduce, reuse dan recycle) dan pengelolaan sampah yang menerapkan konsep pemberdayaan masyarakat (empowerment). Pengelolaan sampah meliputi kegiatan pengurangan (reduce), penggunaan kembali (reuse), dan pendauran ulang (recycle), sedangkan pemberdayaan
masyarakat
(empowerment)
berupa
kegiatan
pemilahan,
pengumpulan, pengangkutan, pengolahan, dan pemrosesan akhir. Berdasarkan pemikiran yang telah dikemukakan, kerangka pemikiran untuk penelitian ini digambarkan seperti terlihat pada Gambar 1.
9
Masalah Pengelolaan Sampah Perkotaan
KEBIJAKAN (Tujuan dan Sasaran) PELAKSANAAN KEBIJAKAN PENGELOLAAN SAMPAH SAAT INI Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Pelaksanaan Kebijakan
Komunikasi
Sumberdaya
Disposisi
Birokrasi
Pengkomunikasian Pelaksanaan
Pemanfaatan Sampah
Sikap Para Pelaksana
Kelembagaan Persampahan
Paradigma Baru Pengelolaan Sampah Perkotaan
Pelaksanaan Kebijakan Pengelolaan sampah yang Baru
PENINGKATAN KUALITAS LINGKUNGAN HIDUP KOTA BANDUNG
Umpan balik
Gambar 1
Kerangka Pemikiran Pelaksanaan Kebijakan Pengelolaan Sampah di Kota Bandung
1.3 Perumusan Masalah Berdasarkan kerangka pemikiran dan latar belakang dapat dirumuskan permasalahan penelitian sebagai berikut:
10
1. Pelaksanaan kebijakan pengelolaan sampah yang dilakukan di Kota Bandung belum terlaksana dengan baik. 2. Terdapat faktor-faktor dominan yang mempengaruhi pelaksanaan kebijakan pengelolaan sampah di Kota Bandung. 3. Prioritas dan strategi yang dibutuhkan dalam pelaksanaan kebijakan pengelolaan sampah di Kota Bandung belum ada. 4. Kebijakan pengelolaan sampah
yang
dapat
dijadikan acuan dalam
melaksanakan pengelolaan sampah di Kota Bandung belum ada.
1.4 Tujuan Penelitian Penelitian ini dapat dijadikan acuan untuk merumuskan pokok-pokok pikiran yang menjadi bahan dan dasar bagi penyusunan model kebijakan pengelolaan sampah perkotaan di Kota Bandung. Kajian akademis ini bertujuan untuk: 1. Mengkaji pelaksanaan kebijakan pengelolaan sampah di Kota Bandung. 2. Mengevaluasi faktor-faktor dominan yang mempengaruhi pelaksanaan kebijakan pengelolaan sampah di Kota Bandung. 3. Menetapkan prioritas dan strategi yang dibutuhkan dalam pelaksanaan kebijakan pengelolaan sampah di Kota Bandung 4. Merumuskan kebijakan pengelolaan sampah yang baru di Kota Bandung.
1.5 Manfaat Penelitian Manfaat dari hasil penelitian yang dilakukan ini adalah: 1. Manfaat Praktis, yaitu memberikan masukan kepada Pemerintah Daerah khususnya Pemerintah Kota Bandung, Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) Kota Bandung, dan masyarakat Kota Bandung mengenai pengelolaan sampah yang lebih efektif, efisien dan ramah lingkungan. 2. Manfaat Teoritis, yaitu diharapkan dapat dijadikan referensi dan bahan rujukan dalam penelitian lain yang melakukan pengkajian terhadap kebijakan pengelolaan sampah, dan kegiatan pengelolaan sampah di wilayah perkotaan.
11
1.6 Kebaruan Penelitian Berdasarkan beberapa hasil kajian terhadap penelitian terdahulu, novelty dari disertasi ini adalah menetapkan faktor dominan yang menentukan pelaksanaan kebijakan pengelolaan sampah perkotaan dilihat dari konsep Edward III (1980) dan paradigma baru kebijakan pengelolaan sampah di Kota Bandung.
12
II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Kebijakan Pengelolaan Sampah Dunn (1999) mengartikan kebijakan publik sebagai arahan otoritatif bagi penyelenggaraan tindakan pemerintah dalam wilayah negara, kabupaten dan kota yang dikukuhkan oleh legislatif, aturan main adminstrasi, dukungan publik yang mempunyai pengaruh terhadap warga masyarakat dalam suatu wilayah pemerintahan. Hoogerwerf (1978) berpendapat bahwa kebijakan merupakan usaha mencapai tujuan-tujuan tertentu dengan sarana tertentu dan dalam urutan waktu yang tertentu, sedangkan kebijakan pemerintah merupakan kebijakan yang dibuat oleh pejabat pemerintah dan instansi pemerintah. Kebijakan pemerintah secara umum dapat diartikan sebagai ketentuanketentuan yang dijadikan pedoman, pegangan atau petunjuk bagi setiap usaha dari aparatur pemerintah, sehingga tercapai kelancaran dan keterpaduan dalam mencapai tujuan tertentu dan golongan ke dalam ruangan lingkup nasional dan lingkup wilayah/daerah. Gladden (1968) yang dikutip Badri (1982) menyatakan bahwa dilihat dari tingkatannya kebijakan pemerintah dapat dibedakan menjadi political policy, executive policy, administrative policy, technical or operational policy. Siagian (1985) berpendapat bahwa tingkatan kebijakan pemerintah terdiri dari 3 (tiga) tingkatan kebijakan, yaitu 1. Kebijakan Umum, yang sifatnya mendasar dan prinsipil; 2. Kebijakan Pelaksanaan, yang kadang-kadang juga dikenal dengan istilah kebijakan operasional; dan 3. Kebijakan Tehnis. Suradinata (1993) membagi kebijakan menjadi 5 (lima) tingkat kebijakan pemerintah, yaitu: 1) Kebijakan Nasional; 2) Kebijakan Umum; 3) Kebijakan Pelaksanaan; 4) Kebijakan Teknis; dan 5) Kebijakan Wilayah atau daerah. Mustopadidjaja (1999) membedakan level kebijakan pemerintah di Indonesia kedalam:
13
1. Tahap Kebijakan puncak, bentuknya berupa ketetapan MPR sebagai GarisGaris Besar Haluan Negara, dekrit Kepala Negara, Peraturan Kepala negara. 2. Tahap Kebijakan umum, bentuknya berupa Undang-Undang, peraturan pemerintah pengganti Undang-Undang, Peraturan Pemerintah, Penetapan Presiden, Keputusan Presiden dan Instruksi Presiden. 3. Tahap Kebijakan khusus, bentuknya berupa Peraturan Menteri, Keputusan Menteri, Instruksi menteri dan surat edaran Menteri. 4. Tahap Kebijakan tehnis, bentuknya berupa Peraturan Direktur Jenderal, Keputusan Direktur Jenderal dan Instruksi Jenderal. 5. Tahap Kebijakan kewilayahan Dati I (Provinsi) bentuknya berupa Peraturan daerah Provinsi dan Keputusan Gubernur serta Instruksi Gubernur. 6. Tahap Kebijakan kewilayahan Dati II (Kabupaten/Kota) bentuknya berupa Peraturan daerah Kabupaten/Kota dan Keputusan Bupati/Walikota serta Instruksi Bupati/Walikota. Kebijakan publik ini merupakan seperangkat aturan yang mengatur kepentingan publik dan pemerintahan untuk maksud dan tujuan yang saling menguntungkan atau demi ketertiban bersama. Untuk dapat mencapai maksud seperti ini maka proses pembuatan kebijakan harus mengaju pada masalahmasalah riil yang perlu diselesaikan dengan berbagai pengetahuan dan disiplin ilmu yang relevan dengan permasalahan yang dimaksud. Permasalahanpermasalahan berkaitan dengan persampahan yang ada di masyarakat perlu dianalisis dan diseleksi menurut prioritas tertentu sehingga dapat diupayakan proses penerapannya oleh lembaga yang berwenang yang melahirkan kebijakan publik. Oleh karena itu permasalahan persampahan yang beranekaragam mulai dari jenis, bobotnya dan urgensinya maka dalam proses pembuatan kebijakan pengelolaan sampah diperlukan berbagai macam disiplin ilmu dan kualitas dari para aktor pembuat kebijakan yang menguasai permasalahan pengelolaan sampah untuk dicarikan solusinya dengan tepat. Upaya mengatasi permasalahan sampah, pemerintah telah menetapkan kebijakan pengelolaan sampah yang tertuang dalam betuk peraturan perundangundangan tentang pengelolaan sampah dengan menetapkan Undang-Undang Nomor Nomor 18 Tahun 2008 tentang Pengelolaan Sampah. Pasal 1 Undangundang Nomor 18 Tahun 2008 tentang Pengelolaan Sampah ini, menjelaskan bahwa:
14
Sampah adalah sisa kegiatan sehari-hari manusia dan/atau proses alam yang berbentuk padat. Sampah spesifik adalah sampah yang karena sifat, konsentrasi, dan/atau volumenya memerlukan pengelolaan khusus. Sumber sampah adalah asal timbulan sampah. Penghasil sampah adalah setiap orang dan/atau akibat proses alam yang menghasilkan timbulan sampah. Pengelolaan sampah adalah kegiatan yang sistematis, menyeluruh, dan berkesinambungan yang meliputi pengurangan dan penanganan sampah. Tempat penampungan sementara adalah tempat sebelum sampah diangkut ke tempat pendauran ulang, pengolahan, dan/atau tempat pengolahan sampah terpadu. Tempat pengolahan sampah terpadu adalah tempat dilaksanakannya kegiatan pengumpulan, pemilahan, penggunaan ulang, pendauran ulang, pengolahan, dan pemrosesan akhir sampah. Tempat pemrosesan akhir adalah tempat untuk memroses dan mengembalikan sampah ke media lingkungan secara aman bagi manusia dan lingkungan. Nilandari (2006) mengemukakan bahwa berdasarkan asalnya, sampah padat dapat digolongkan menjadi 2 (dua), yaitu sampah organik dan sampah anorganik. Sampah organik terdiri dari bahan-bahan penyusun tumbuhan dan hewan yang diambil dari alam atau dihasilkan dari kegiatan pertanian, perikanan atau yang lain. Sampah ini dengan mudah diuraikan dalam proses alami. Sampah rumah tangga sebagian besar merupakan bahan organik. Termasuk sampah organik, misalnya sampah dari dapur, sisa tepung, sayuran, kulit buah, dan daun. Sedangkan sampah anorganik berasal dari sumberdaya alam tak terbarui seperti mineral dan minyak bumi, atau dari proses industri. Beberapa dari bahan ini tidak terdapat di alam seperti plastik dan aluminium. Sebagian zat anorganik secara keseluruhan tidak dapat diuraikan oleh alam, sedang sebagian lainnya hanya dapat diuraikan dalam waktu yang sangat lama. Sampah jenis ini pada tingkat rumah tangga, misalnya berupa botol, botol plastik, tas plastik, dan kaleng. Kertas, koran, dan karton merupakan perkecualian. Berdasarkan asalnya, kertas, koran, dan karton termasuk sampah organik. Tetapi karena kertas, koran, dan karton dapat didaur ulang seperti sampah anorganik lain (misalnya gelas, kaleng, dan plastik), maka jenis sampah ini dimasukkan ke dalam kelompok sampah anorganik. Sampah yang diproduksi di kehidupan liar diintegrasikan melalui proses daur ulang alami, seperti halnya daun-daun kering di hutan yang terurai menjadi tanah. Diluar kehidupan liar, sampah-sampah ini dapat menjadi masalah, misalnya
15
daun-daun kering di lingkungan pemukiman. Sampah manusia (Inggris: human waste) adalah istilah yang biasa digunakan terhadap hasil-hasil pencernaan manusia, seperti feses dan urin. Sampah manusia dapat menjadi bahaya serius bagi kesehatan karena dapat digunakan sebagai vektor (sarana perkembangan) penyakit yang disebabkan virus dan bakteri. Salah satu perkembangan utama pada dialektika manusia adalah pengurangan penularan penyakit melalui sampah manusia dengan cara hidup yang higienis dan sanitasi. Termasuk di dalamnya adalah perkembangan teori penyaluran pipa (plumbing). Sampah manusia dapat dikurangi dan dipakai ulang misalnya melalui sistem urinoir tanpa air. Sampah konsumsi merupakan sampah yang dihasilkan oleh (manusia) pengguna barang, dengan kata lain sampah merupakan sisa konsumsi yang dibuang ke tempat sampah. Ini merupakan sampah yang umum dipikirkan manusia. Meskipun demikian, jumlah sampah kategori ini relatif lebih kecil dibandingkan sampahsampah yang dihasilkan dari proses pertambangan dan industri (Wikipedia, 2009) Pengelolaan sampah yang dilakukan pemerintah umumnya masih menggunakan pendekatan end of pipe solution (Aditya, 2008). Pendekatan ini menitikberatkan pada pengelolaan sampah ketika sampah tersebut telah dihasilkan, yaitu berupa kegiatan pengumpulan, pengangkutan, dan pembuangan sampah ke Tempat Pembuangan Akhir (TPA) sampah. Seyogyanya pengelolaan sampah perlu dirumuskan dan dirancang ke dalam suatu sistem dan mekanisme dalam bentuk peraturan/kebijakan pengelolaan sampah. Kebijakan pengelolaan sampah diberlakukan dengan pertimbangan bahwa; 1)
pertambahan
penduduk
dan
perubahan
pola
konsumsi
masyarakat
menimbulkan bertambahnya volume, jenis dan karakteristik sampah yang semakin beragam, 2) pengelolaan sampah selama ini belum sesuai dengan metode dan teknik pengelolaan sampah yang berwawasan lingkungan sehingga menimbulkan dampak negatif terhadap kesehatan masyarakat dan lingkungan, 3) sampah telah menjadi permasalahan nasional sehingga pengelolaannya perlu dilakukan secara komprehensif dan terpadu dari hulu ke hilir agar memberikan manfaat secara ekonomi, sehat bagi masyarakat, dan aman bagi lingkungan, serta dapat mengubah perilaku masyarakat, 4) dalam pengelolaan sampah diperlukan
16
kepastian hukum, kejelasan tanggung jawab dan kewenangan Pemerintah, pemerintahan daerah, serta peran masyarakat dan dunia usaha sehingga pengelolaan sampah dapat berjalan secara proporsional, efektif, dan efisien, maka ditetapkan Undang-Undang Tentang Pengelolaan Sampah. Peraturan/kebijakan yang ditetapkan berupa Undang-undang Nomor 18 Tahun 2008 tentang Pengelolaan Sampah berfungsi dalam aspek teknis untuk: 1) Mengatur ketentuan-ketentuan teknis yang didelegasikan peraturan di atasnya, dan 2) Mengatur posisi, hak dan kewajiban pengelola sampah sesuai dengan ketentuan yang diaturnya. Tujuan disusunnya kebijakan pengelolaan sampah adalah pengendalian terhadap sampah dengan melakukan kegiatan berupa: 1. Mengurangi kuantitas dan dampak yang ditimbulkan sampah 2. Meningkatkan kualitas kesehatan masyarakat 3. Meningkatkan kualitas lingkungan hidup 4. Menyusun peraturan nasional untuk menjadi pedoman bagi Pemerintah Daerah dalam menyusun kebijaksanaan pengelolaan sampah Adapun sasaran disusunnya kebijakan pengelolaan sampah ini adalah: 1. Peningkatan pengelolaan sampah di daerah perkotaan dan pedesaan 2. Pencegahan terhadap dampak lingkungan 3. Peningkatan kesadaran dan kepedulian masyarakat dalam menjaga kebersihan 4. Peningkatan peran para pihak (pemerintah, Pelaku Usaha dan masyarakat) dalam pengelolaan sampah 5. Penerapan hierarki pengelolaan sampah yang meliputi: a. Pencegahan dan pengurangan sampah dari sumber b. Pemanfaatan kembali c. Tempat Pembuangan Akhir Pengelolaan sampah dengan paradigma baru bertujuan mengurangi volume sampah yang dibuang ke tempat pembuangan akhir sampah melalui pengembangan
upaya
memperlakukan
sampah
dengan
cara
mengganti,
pengurangan, penggunaan-kembali dan daur-ulang. Pengelolaan sampah dengan paradigma baru itu juga menegaskan bahwa pengelolaan sampah merupakan
17
pelayanan publik yang bertujuan untuk mengendalikan sampah yang dihasilkan masyarakat. Untuk melaksanakan hal tersebut diperlukan penetapan kebijakan pengelolaan sampah yang mendorong akuntabilitas orang-seorang dan korporasi serta menetapkan dan mengembangkan instrumen yang diperlukan untuk mendukung terciptanya perilaku yang kondusif bagi pemanfaatan sumberdaya secara berkelanjutan.
2.2 Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Pelaksanaan Kebijakan Aturan kebijakan yang telah ditetapkan pada pelaksanaannya perlu dilakukan evaluasi yang merupakan prosedur dalam analisis kebijakan untuk memberikan informasi tentang sebab dan akibat dari diberlakukannya kebijakan ini. Analisis kebijakan dapat mendeskripsikan adanya pengaruh pelaksanaan suatu kebijakan berdasarkan hasil yang dicapai, sehingga hasil evaluasi merupakan sumber informasi utama berkaitan dengan pelaksanaan kebijakan yang telah ditetapkan. Dunn (1999) menyatakan bahwa evaluasi bermaksud untuk menetapkan premis faktual tentang kebijakan publik, sementara premis faktual dan nilai dapat diperoleh berdasarkan rekomendasi dan evaluasi dalam suatu analisis yang sistematis. Oleh karena itu evaluasi terhadap pelaksanaan kebijakan akan menghasilkan kesimpulan yang jelas selama dan setelah suatu kebijakan diadopsi serta dilaksanakan, atau ex post facto. Evaluasi setidaknya memainkan 4 (empat) fungsi dalam analisis kebijakan (Dunn, 1999) yaitu eksplanasi, akuntansi, pemeriksaan dan kepatuhan, dengan penjelasan sebagai berikut: 1. Kepatuhan (Compliance). Evaluasi bermanfaat untuk menentukan apakah tindakan dari para administrator program, staf, dan pelaku lain sesuai dengan standar dan prosedur yang dibuat oleh para legislator, instansi pemerintah, dan lembaga profesional. 2. Pemeriksaan (Auditing). Evaluasi membantu menentukan apakah sumberdaya dan pelayanan yang dimaksudkan untuk kelompok sasaran maupun konsumen tertentu (individu, keluarga, kota, negara bagian, wilayah) memang telah sampai kepada mereka.
18
3. Akuntansi. Evaluasi menghasilkan informasi yang bermanfaat untuk melakukan akuntansi atas perubahan sosial ekonomi yang terjadi setelah dilaksanakannya sejumlah kebijakan publik dari waktu ke waktu. 4. Eksplanasi. Evaluasi juga menghimpun informasi yang dapat menjelaskan mengapa hasil-hasil kebijakan publik dan program berbeda. Evaluasi dalam analisis kebijakan publik berkaitan dengan kebijakan pengelolaan sampah membutuhkan informasi yang relevan, reliabel dan valid. Informasi yang dihimpun melalui evaluasi dapat diperoleh dengan observasi berkaitan dengan pengelolaan sampah yang dilakukan secara cermat dan dapat diandalkan. Berkaitan dengan pelaksanaan kebijakan, Webster (1990) yang dikutip Wahab (2000) mengemukakan: ”Pelaksanaan kebijakan adalah suatu proses melaksanakan keputusan kebijakan biasanya dalam bentuk Undang-undang, Peraturan Pemerintah, Keputusan Peradilan, Perintah Eksekutif atau Dekrit Presiden.” Wahab (2000) menyatakan bahwa pelaksanaan kebijakan adalah sebagai berikut : ”Pelaksanaan keputusan kebijaksanaan dasar, biasanya dalam bentuk Undang-undang, namun dapat pula berbentuk perintah-perintah atau keputusankeputusan eksekutif yang penting atau keputusan badan peradilan.” Jadi yang perlu dalam pelaksanaan kebijakan merupakan bentuk tindakan-tindakan yang sah atau pelaksanaan suatu rencana dengan peruntukannya. Membuat atau merumuskan kebijakan bukanlah suatu yang sederhana, karena banyak faktor hambatan serta pengaruh dalam proses pembuatan kebijakan tersebut. Sementara itu, ada 4 (empat) faktor kritis yang mempengaruhi pelaksanaan kebijakan, seperti yang diungkapkan oleh Edward III (1980) yang menyatakan: Di manapun dan kapanpun faktor-faktor kritis mendasar yang sangat penting untuk penerapan kebijakan publik, baik di negara-negara berkembang maupun negara-negara maju, adalah masalah implementasi. Faktor-faktor kritis ini adalah komunikasi, sumberdaya, disposisi-disposisi atau sikap-sikap dan struktur birokrasi
19
Faktor-fator kritis ini terdiri dari komunikasi, sumberdaya, disposisi/sikap, dan birokrasi yang penjabarannya secara umum (Edward III, 1980) adalah sebagai berikut: 1.
Komunikasi Komunikasi menunjukkan peranan penting sebagai acuan agar pelaksana kebijakan mengetahui persis apa yang mereka kerjakan. Komunikasi juga dapat dinyatakan dengan perintah dari atasan terhadap pelaksana-pelaksana kebijakan sehingga penerapan kebijakan tidak keluar dari sasaran yang dikehendaki, oleh karena itu komunikasi harus dinyatakan dengan jelas, tepat dan konsisten.
2.
Sumberdaya Sumberdaya tidak hanya mencakup jumlah sumberdaya manusia/aparat semata melainkan mencakup kemampuannya untuk mendukung pelaksanaan kebijakan tersebut. Hal ini dapat menjelaskan bahwa tanpa sumberdaya yang memadai maka pelaksanaan kebijakan tidak akan berjalan dengan efektif.
3.
Disposisi/ sikap pelaksana Disposisi diartikan sebagai keinginan atau kesepakatan dikalangan pelaksana untuk menerapkan kebijakan. Jika penerapan kebijakan dilaksanakan secara efektif, pelaksana tidak hanya harus mengetahui apa yang akan mereka kerjakan namun harus memiliki kemampuan dan keinginan untuk menerapkannya.
4.
Struktur Birokrasi Struktur birokrasi merupakan variabel terkhir yang mempunyai dampak terhadap penerapan kebijakan dalam arti bahwa dalam penerapan kebijakan itu tidak akan berhasil jika terdapat kelemahan dalam struktur birokrasi tersebut. Setiap pihak yang terkait dalam pelaksanaan kebijakan perlu mengembangkan suatu prosedur standar pelaksanaan. Namun, agar kebijakan yang dikeluarkan dapat dilaksanakan dengan
efektif, menurut Jones (1996) terdapat 3 (tiga) aktivitas utama yang merupakan dimensi dari pelaksanaan program atau keputusan yaitu:
20
1.
Pengorganisasian. Hal utama dalam tahapan ini adalah pembentukan atau penataan kembali sumberdaya, unit-unit serta metode untuk menjadikan program berjalan. Titik tolak dari aktivitas pengorganisasian ini adalah kinerja birokrasi, yang akan berdampak pada ketetapan, kecepatan, kejelasan, pengaturan, pengetahuan, kesinambungan, serta pembagian tugas yang jelas.
2.
Penafsiran (interpretasi) Menafsirkan agar program (seringkali dalam hal status) menjadi rencana dan pengarahan yang tepat dan dapat diterima serta dilaksanakan oleh para implementor kebijakan. Oleh karena itu, dalam penafsiran diperlukan informasi proses kebijakan, standarisasi yang jelas, serta tingkat dukungan politik yang dilaksanakan oleh para implementator kebijakan.
3.
Penerapan (aplikasi) Pada tahap ini aktivitas yang dilakukan berhubungan dengan penyediaan barang dan jasa atau ketentuan rutin dari pelayanan, pembayaran atau lainnya yang disesuaikan dengan tujuan atau perlengkapan program. Ketiga dimensi tersebut merupakan faktor determinan keberhasilan
pelaksanaan kebijakan. Oleh karena itu akan lebih berarti jika dikaitkan dengan pelaksanaan kebijakan pengelolaan sampah, yang akan difokuskan pada penelitian ini. Keberhasilan suatu kebijakan dalam hal pengorganisasian merupakan hal yang penting karena organisasi merupakan wadah dan proses yang menentukan dalam rangka pencapaian tujuan. Selain itu tingginya kemampuan pelaksanaan sumberdaya organisasi akan memberi harapan besar untuk dapat melaksanakan rencana kebijakan secara efektif. Wibowo
dan Djajawinata (2007) menyebutkan bahwa kebijakan
pengelolaan sampah yang dikeluarkan dapat dilaksanakan dengan efektif, diantaranya: 1. Melakukan pengenalan karekteristik sampah dan metoda pembuangannya. 2. Merencanakan dan
menerapkan pengelolaan
sampah secara terpadu
(pengumpulan, pengangkutan, dan pembuangan akhir).
21
3. Memisahkan peran pengaturan dan
pengawasan dari lembaga yang ada
dengan fungsi operator pemberi layanan, agar lebih tegas dalam melaksanakan reward & punishment dalam pelayanan. 4. Menggalakkan program yang dapat mencapai program zero waste pada masa mendatang, yaitu: a. Mengurangi sampah (Reduce) b. Menggunakan kembali sampah (Reuse) c. Mendaur ulang sampah (Recycle) 5. Melakukan pembaharuan struktur tarif dengan menerapkan prinsip pemulihan biaya (full cost recovery) melalui kemungkinan penerapan tarif progresif, dan mengkaji kemungkinan penerapan struktur tarif yang berbeda bagi setiap tipe pelanggan. 6. Mengembangkan teknologi pengelolaan sampah yang lebih bersahabat dengan lingkungan dan memberikan nilai tambah ekonomi bagi bahan buangan. Tinjauan perspektif pelaksanaan kebijakan pengelolaan sampah dalam hasil penelitian ini, ditujukan pada pengoperasiannya berlandasan pada konsepsi aktivitas fungsional dalam pelaksanaannya. Berkaitan dengan pengembangan teknologi, hasil penelitian yang dilakukan Amurwaraharja (2003) menyatakan bahwa teknologi merupakan prioritas utama untuk kegiatan pengolahan sampah di Jakarta Timur berupa pengomposan dan incenerator. Selain itu hasil penelitian Virgota et al. (2001) menunjukkan pula kelayakan sistem pemisahan sampah rumah tangga pada pengelolaan sampah di Kota Pekanbaru, Provinsi Riau. Hasil
penelitian
Hendrasarie
(2005) berkaitan
dengan
Sistem
Pengelolaan Sampah Pasar swakelola sebagai alternatif pengelolaan sampah dalam upaya memperpanjang umur TPA serta pengendalian lingkungan hidup. Pengelolaan sampah bukan hanya merupakan tanggung pemerintah saja, namun menjadi tanggungjawab bersama dengan masyarakatnya, seperti ditunjukkan oleh hasil penelitian Mandailing et al. (2001) tentang partisipasi pedagang dalam program kebersihan dan pengelolaan sampah pasar yang mengambil studi kasus di Kota Bogor, yang memperlihatkan bahwa partisipasi pedagang dibutuhkan dalam
22
pengelolaan sampah pasar. Selain itu hasil penelitian Jumiono et al. (2000) menunjukkan prospek yang besar dalam pendirian industri vermikompos berbahan baku sampah kota yang memfokuskan kepada analisis finansial industri vermikompos yang berbahan baku sampah kota. Hal ini didukung pula oleh hasil penelitian Suhartiningsih et al. (1998) yang melakukan penelitian tentang sistem penunjang keputusan investasi usaha daur ulang sampah kota untuk produksi kompos, dan hasil penelitian Syamsuddin et al. (1985) yang menilai keberhasilan sistem pengelolaan sampah rumah tangga di Ujung Pandang berdasarkan partisipasi masyarakat, persepsi masyarakat, pengelolaan sampah oleh pemerintah kota, dan peraturan perundang-undangan. Konsep pelaksanaan kebijakan meliputi pengorganisasian, penafsiran dan penerapan dalam pengelolaan sampah di perkotaan, penelitian ini difokuskan pada pelaksanaan kebijakan pengelolaan sampah pada aspek kelembagaan pengelolaan sampah yang menjadi tanggungjawab PD Kebersihan Kota Bandung, sehingga teori pelaksanaan kebijakan yang berkesesuaian dengan penelitian ini adalah teori Edward III (1980) dengan mengacu pada faktor-fator kritis pelaksanaan kebijakan yaitu komunikasi, sumberdaya, disposisi/sikap, dan birokrasi.
2.2.1 Komunikasi dalam Pelaksanaan Kebijakan Manusia membutuhkan komunikasi dengan sesamanya dalam kehidupan sosialnya.
Pada
umumnya
dalam
berkomunikasi
terdapat
orang
yang
menyampaikan pesan (komunikator), orang yang menerima pesan (komunikan) dan pesan yang disampaikan. Proses komunikasi antara komunikator dengan komunikan akan berjalan dengan baik bila pesan yang disampaikan singkat, jelas dan tepat sasaran. Berkaitan dengan komunikasi, Edward III mengatakan bahwa agar pelaksanaan kebijakan publik dilaksanakan dengan efektif maka perlu para pelaksana kebijakan mengetahui apa yang harus mereka laksanakan. Komunikasi mempunyai peranan yang penting sebagai acuan agar pelaksana kebijakan mengetahui persis apa yang akan dikerjakan. Komunikasi juga dinyatakan dengan perintah dari atasan terhadap pelaksana kebijakan, sehingga komunikasi harus dinyatakan dengan jelas, cepat dan konsisten.
23
Sistem komunikasi dalam organisasi modern berkembang sebagai akibat dari semakin pentingnya pendekatan kesisteman dan penyelenggaraan berbagai kegiatan yang menjadi tanggung jawab suatu organisasi (Siagian, 1997). Berkomunikasi dalam kehidupan berorganisasi, dibutuhkan untuk menyamakan persepsi atau pendapat yang berkaitan dengan tujuan yang akan dicapai. Komunikasi yang berlangsung dengan dinamis akan dapat menentukan keberhasilan tujuan organisasi. Halangan terbesar dalam berkomunikasi adalah terdapatnya
beraneka
komunikator
yang
ragam tidak
persepsi.
jelas
Pengiriman
membuat
pesan/informasi
komunikan
menerima
dari dan
menjalankannya tidak jelas dan bahkan dapat mengganggu jalannya organisasi. Pendekatan kesisteman menuntut interaksi yang tinggi dengan intensitas yang tinggi pula, terutama apabila dikaitkan dengan koordinasi, integrasi dan sinkronisasi. Edward III mengatakan bahwa lancar atau tidaknya suatu interaksi tersebut bertumpu pada kemauan orang dalam organisasi untuk: 1) menerima, memproses dan menghasilkan bahan-bahan yang perlu dikomunikasikan kepada orang lain; 2) mengkomunikasikan informasi yang ada pada seseorang dengan orang lain atau kelompok dimana yang bersangkutan menjadi anggota; 3) memanfaatkan jalur komunikasi yang terdapat dalam organisasi seefektif mungkin, dan 4) mengembangkan sistem penanganan informasi dalam organisasi baik secara manual maupun dengan menggunakan peralatan yang lebih modern. Cafezio dan Morehouse (1998) mengartikan komunikasi sebagai pemahaman yang merupakan kunci dalam mempengaruhi individu atau kelompok-kelompok untuk mengambil tindakan positif dalam mencapai sasaran spesifik - inti yang riil dari apa yang para pemimpin lakukan. Komunikasi yang baik adalah kunci dalam pemahaman. Pengertian komunikasi tersebut merupakan kunci penting dalam memahami sesuatu, dengan berkomunikasi, pencapaian tujuan akan lebih mudah tercapai. Berkomunikasi dalam lingkungan organisasi, merupakan sesuatu yang penting untuk menyamakan langkah dalam pencapaian tujuan. Berkomunikasi dapat membuat sistem kerjasama dalam organisasi semakin dinamis dan meningkatkan partisipasi bawahan terhadap pencapaian
24
tujuan organisasi. Berkomunikasi dibutuhkan dalam setiap organisasi baik formal atau informal, dalam organisasi, berkomunikasi digunakan untuk menyamakan persepsi tujuan organisasi. Berkomunikasi dapat memberikan kejelasan informasi yang akan disampaikan. Berkaitan dengan fungsi atau tujuan komunikasi, Thayer (1968) dalam Winardi (1992) mengatakan ada lima fungsi atau tujuan berkomunikasi di dalam sebuah organisasi, yaitu: 1) Mendapatkan keterangan atau memberikan keterangan (informasi) kepada orang lain; 2) Mengevaluasi input-input kita sendiri atau output pihak lain atau skema ideologis tertentu; 3) Membina pihak lain atau dibina pihak lain atau memberikan instruksi; 4) Mempengaruhi pihak lain atau dipengaruhi, dan 5) Berbagai fungsi insidential dan netral. Berkomunikasi merupakan salah satu fungsi pokok manajemen. Setiap orang berkomunikasi dapat memperlancar orang bekerja dengan baik dalam mencapai tujuan organisasi. Komunikasi yang tidak baik dapat mengganggu keharmonisan hubungan kerja antar sesama orang dalam organisasi dan pada akhirnya dapat mengganggu tercapainya tujuan organisasi. Kebijakan yang telah diambil organisasi akan dilaksanakan atau dilaksanakan dalam bentuk kegiatan. Pencapaian tujuan organisasi dengan optimal akan lebih mudah tercapai bila semua anggota organisasi mempunyai persepsi yang sama akan tujuan itu. Menyamakan persepsi dilakukan dengan komunikasi antar sesama anggota organisasi secara baik dan benar. Mengkomunikasian tujuan organisasi secara baik dan benar akan mempercepat dan mempermudah pencapaian tujuan secara optimal. Sejalan dengan hal tersebut, faktor komunikasi juga sangat berpengaruh terhadap penerimaan kebijakan oleh kelompok sasaran sehingga tidak berjalannya komunikasi ini menjadi titik lemah dari tercapainya efektivitas pelaksanaan kebijakan. Dengan demikian penyebarluasan isi kebijakan melalui proses komunikasi yang baik akan mempengaruhi efektivitas kebijakan publik. Indikatorindikator berhubungan dengan pengkomunikasian dalam kebijakan yang dapat dijadikan ukuran keberhasilan pelaksanaan kebijakan (Edward III, 1980) terdiri dari:
25
1. Kejelasan Penerimaan Informasi Kebijakan 2. Pengetahuan Melaksanakan Tugas dalam Kebijakan 3. Kecepatan Menerima Informasi Pelaksanaan Kebijakan 4. Frekuensi Penerimaan Informasi Kebijakan 5. Kesesuaian Pelaksanaan dengan Pedoman Pelaksanaan Kebijakan 6. Kecepatan Pemecahan Masalah Pelaksanaan Kebijakan
2.2.2 Sumberdaya dalam Pelaksanaan Kebijakan Keberadaan sumberdaya memiliki arti dan peranan yang besar dalam kehidupan organisasi. Tercapainya tujuan organisasi dengan cepat dan mudah adalah sumbangan yang besar dari sumberdaya. van Meter dan van Horn (1975) mengatakan
bahwa
sumberdaya
memiliki
peranan
yang
besar
dalam
melaksanakan suatu kebijakan. Manusia sebagai sumberdaya memiliki peranan yang besar dalam mempengaruhi keberhasilan pencapaian suatu tujuan organisasi. Pelaksanakan suatu kegiatan baik dalam organisasi publik maupun privat, keberadaan sumberdaya manusia sangat diperhitungkan. Keberadaan sumberdaya manusia sebagai pelaksanan suatu kebijakan, sangat menentukan keberhasilan pelaksanaan suatu kebijakan. van Meter dan van Horn (1975) mengatakan ada enam unsur yang berpengaruh terhadap pelaksanaan suatu kebijakan, yaitu: (1) Kompetensi dan ukuran dari perwakilan pegawai; (2) Tingkat hirarkis pengendalian dari keputusan sub unit dan proses-proses dalam perwakilan implementasi; (3) Sumber perwakilan politik (misalnya: dukungan antara pembuat undang-undang dengan para eksekutif); (4) Vitalitas dari suatu organisasi; (5) Tingkat komunikasi yang terbuka .... di dalam organisasi dan (6) Hubungan perwakilan formal dan informal dengan pembuat atau badan-badan pembuat kebijakan). Menurut van Meter dan van Horn (1975), setiap kebijakan mempunyai hubungan dengan sifat dan isu kebijakan yang akan dilaksanakan. Pelaksanaan kebijakan memberikan sumbangan yang besar kepada keberhasilan dari suatu Kebijakan secara keseluruhan. Proses pelaksanaan kebijakan menekankan prosedur yang mengutamakan perubahan, kontrol dan kepatuhan bertindak. Pelaksanaan kebijakan akan berhasil bila perubahan yang dikehendaki relatif
26
sedikit, sementara kesepakatan
terhadap tujuan
terutama dari mereka yang
mengoperasionalkan program di lapangan relatif tinggi. Keberhasilan suatu organisasi untuk mencapai tujuannya dapat dilihat dari berhasilnya kebijakan dilaksanakan, unsur turut mempengaruhinya adalah ukuran dan tujuan kebijakan sumber-sumber kebijakan, ciri-ciri atau sifat instansi pelaksana, komunikasi antar organisasi terkait dan kegiatan pelaksanaan, sikap para pelaksana serta lingkungan ekomoni, sosial dan politik. Berkaitan dengan sumberdaya, Edward III (1980) mengatakan bukan hanya sumberdaya manusia semata yang dapat mempengaruhi impelementasi kebijakan publik, melainkan juga mencakup kemampuan sumberdaya yang mendukung kebijakan tersebut berupa sarana, prasarana dan faktor dana. Menurut Edward III (1980), bahwa sumberdaya dapat dibagi menjadi 4 (empat) komponen, yaitu: 1) Staff yang mencukupi (jumlah dan mutu); 2) Informasi yang dibutuhkan lengkap guna proses pengambilan keputusan, kewenangan yang cukup guna melaksanakan tugas dan tanggung jawab; 3) Fasilitas pendukung; dan 4) Sarana dan prasarana serta tersedianya dana yang memadai. Semua kehidupan di dunia ini mempunyai sumberdaya, misalnya dalam manusia ada darah, ada pikiran, ada hati nurani, ada organ tubuh dan lainnya. Demikian juga dalam organisasi, sumberdaya mempunyai peran yang penting, karena tanpa sumberdaya yang cukup organisasi itu ibarat tubuh manusia kekurangan darah, karenanya agar suatu organisasi tetap bertahan hidup maka organisasi membutuhkan sumberdaya. Keberadaan
sumberdaya
diperlukan
dalam
organisasi,
seperti
dikemukakan oleh Sugandha (1991) yang mengatakan bahwa “Sumberdaya organisasi mencakup 1) Modal yang berupa uang, dan 2) Material atau bahan baku, informasi, mesin-mesin, peralatan, perlengkapan, gedung kantor, waktu dan personel.
Memperhatikan pernyataan
Sugandha
(1991)
tersebut,
bahwa
sumberdaya pertama adalah modal berupa uang, tentu sangat masuk akal karena tanpa uang maka organisasi sulit untuk hidup apalagi berkembang, karena sebagian besar kehidupan organisasi memerlukan pembiayaan dalam bentuk modal yang cukup untuk memenuhi kebutuhan operasional.
27
Keberadaan sumberdaya manusia dalam kehidupan organisasi, Gomes (1997) mengatakan bahwa: Unsur manusia di dalam organisasi, mempunyai kedudukan yang sangat strategis, karena manusialah yang bisa mengetahui input-input apa saja yang perlu diambil dari lingkungan dan bagaimana caranya untuk mendapatkan input-input tersebut, tehnologi dan cara yang dianggap tepat untuk mengolah atau mentranformasikan input-input tadi menjadi ouput yang memberikan keinginan publik (lingkungan). Berhubungan dengan sumberdaya manusia, Board (dalam Famularo, 1986) mengatakan bahwa ada 7 (tujuh) kriteria kebijakan sumberdaya manusia, yaitu 1. Suatu kebijakan merupakan suatu pernyataan yang berisi maksud dan tujuan perusahaan yang menjadi acuan bagi langkah kerja individual. 2. Kebijakan harus dituangkan dalam suatu tulisan. 3. Kebijakan harus dinyatakan dalam ruang lingkup badan tersebut dalam arti luas. 4. Kebijakan tidak dapat diganggu gugat karena merupakan salah satu kekuatan dalam manajemen. 5. Penyusunan kebijakan memerlukan tingkat pemikiran dan kontemplasi yang sangat dalam. 6. Kebijakan harus disyahkan oleh pemegang otoritas tertinggi dalam organisasi tersebut. 7. Kebijakan berlaku untuk jangka waktu yang lama. Kebijakan yang diberlakukan di suatu organisasi yang dibuat secara jelas akan mudah dapat dijadikan pedoman kerja pegawai dalam rangka melaksanakan pekerjaannya. Kemampuan pegawai sebagai sumber daya manusia dalam suatu organisasi sangat penting arti dan keberadaannya bagi peningkatan produktivitas kerja di lingkungan organisasi. Manusia merupakan salah satu unsur terpenting yang menentukan berhasil atau tidaknya organisasi dalam mencapai tujuan dan menggembangkan misinya. Pengelolaan seluruh kegiatan sumberdaya manusia perlu didasarkan pada suatu manajemen sehingga pemberdayaannya dapat optimal. Indikator-indikator berhubungan dengan keberadaan sumberdaya dalam
28
kebijakan yang dapat dijadikan ukuran keberhasilan pelaksanaan kebijakan (Edward III, 1980) terdiri dari: 1. Kemudahan Perolehan Informasi Pelaksanaan Kebijakan 2. Ketersediaan Peralatan Pendukung Pelaksanaan Kebijakan 3. Kemampuan Sumberdaya Pengelola
2.2.3 Disposisi atau Sikap Pelaksana Kebijakan Berkaitan dengan disposisi/sikap pelaksana, Edward III (1980) mengatakan bahwa disposisi/sikap pelaksana memiliki kegunaan di kalangan pelaksana untuk menerapkan kebijakan, jika penerapan kebijakan dilakukan secara efektif. Pelaksana bukan harus tahu apa yang harus mereka kerjakan tetapi harus memiliki kemampuan untuk menerapkan kebijakan itu. Disposisi adalah sikap dan komitmen dari pelaksana terhadap program atau kebijakan, khususnya para pelaksana yang menjadi impelementator dari program yang dalam hal ini terutama adalah aparatur birokrasi. Keberadaan aparat pelaksana memiliki peranan yang besar dalam menentukkan keberhasilan suatu kebijakan dalam pelaksanaannya. Keberadaan aparat pelaksana dalam suatu organisasi pelaksana kebijakan, Wahab (2000) mengatakan bahwa ada tiga kelompok yang mempengaruhi keberhasilan suatu kebijakan, yaitu 1) Pemrakarsa kebijakan atau the center, 2) Pelaksana di lapangan atau the periphery, dan 3) Aktor perorangan di luar badan pemerintah atau kelompok sasaran. Hasil kajian terhadap artikel Resosudarmo (2000), menunjukan bahwa tantangan yang dihadapi aparat pelaksana dalam menerapkan suatu kebijakan pengelolaan sampah adalah (1) merangsang digunakannya berbagai teknologi bersih lingkungan, (2) membantu agar biaya yang dikeluarkan dalam mengadopsi teknologi untuk mengurangi jumlah pencemaran sampah dapat ditekan serendah mungkin, (3) menjaga agar sektor produksi yang terkena peraturan pencemaran sampah tidak perlu mengurangi aktivitas produksinya dan (4) mengontrol dengan ketat hingga setiap individu maupun institusi agar mematuhi peraturan untuk mengurangi jumlah pencemaran sampah yang dilepaskan ke lingkungan. Dengan demikian, pelaksanaan kebijakan dapat memperbaiki lingkungan.
29
Hasil Kajian terhadap artikel Tiwow, Widjajanto, Darjamuni, Hartman, Mahajoeno, Irwansyah dan Nurhasanah (2003), menunjukkan bahwa pendekatan yang paling tepat untuk masa mendatang dalam penanganan sampah melalui sistem pengelolaan sampah terpadu yang dapat merubah paradigma dari cost center menjadi profit center dengan cara memaksimalkan peran serta masyarakat dan pemanfaatan sampah menjadi bahan yang mempuyai nilai. Hasil kajian terhadap artikel Wibowo dan Djajawinata (2007), menunjukan bahwa aparat pelaksana perlu untuk menggalakkan program yang dapat mencapai program zero waste pada masa mendatang, yaitu: 1. Mengurangi sampah (Reduce) 2. Menggunakan kembali sampah (Reuse) 3. Mendaurulang sampah (Recycle) Menurut Wahab (2000), suatu kebijakan merupakan produk dari pemrakarsa atau pemerintah yang bertujuan untuk melayani masyarakat. Kebijakan yang telah diformulasi akan dilksanakan agar dapat dirasakan masyarakat manfaatnya. Kegiatan dan program adalah bentuk nyata dari kebijakan dilapangan yang dapat diwujudkan dalam pelaksanaannya. Bila program ternyata tidak berjalan sebagaimana mestinya maka kemungkinan akan dilakukan upaya penyesuaian terhadap kegiatan dan program yang telah ada. Pelaksanaan kebijakan membutuhkan dukungan aparat pelaksana di lapangan sehingga dapat mencapai sasaran atau tujuan dengan optimal. Aparat pelaksana di lapangan mengetahui secara mendalam bagaimana suatu kebijakan itu dapat dilaksanakan dengan efektif, karena mereka lebih mengetahui apa yang menjadi kebutuhan dari masyarakat. Pemahaman situasi dan kondisi masyarakat membuat aparat pelaksana menjadi diperhitungkan dalam melaksanakan suatu kebijakan. Kelompok sasaran atau target group mengartikan pelaksanaan kebijakan sebagai jaminan untuk menerima dan menikmati hasil atau keuntungan dari kebijakan. Hasil yang dinikmati masyarakat atau kelompok sasaran akan menunjukkan sejauh mana keberhasilan yang dicapai dari pelaksanaan suatu
30
kebijakan. Keberhasilan pelaksanaan suatu kebijakan memerlukan penilaian dan evaluasi dari berbagai kelompok agar dengan demikian dapat memperbaiki prestasi kebijakan yang telah dicapai sebelumnya. Penilaian dan evaluasi menjadi tuntutan dari kelompok sasaran apabila kebijakan itu tidak menyentuh kebutuhan dan aspirasi masyarakat secara keseluruhan. Sekalipun demikian, kelompok sasaran itu kemungkinan akan lebih memusatkan perhatian pada permasalahan apakah pelayanan yang telah diberikan tersebut benar-benar mengubah pola hidupnya, benar-benar memberikan dampak positif dalam jangka panjang bagi peningkatan mutu hidup termasuk pendapatan mereka. Pemahaman konsep pelaksanaan kebijakan dari pemrakarsa atau pembuat, pelaksana lapangan dan target group di atas akan mampu menjamin tercapainya tujuan kebijakan secara optimal dan memuaskan berbagai pihak stakeholders yang terkati langsung dan tidak langsung dengan tujuan dan sasaran implementai kebijakan itu. Dengan demikian, proses pelaksanaan kebijakan sesungguhnya tidak menyangkut perilaku badan-badan adminstratif yang bertanggung jawab untuk melaksanakan program dan menimbulkan ketaatan pada diri kelompok sasaran tetapi juga menyangkut jaringan kekuatan politik, ekonomi dan sosial yang langsung atau tidak langsung dapat mempengaruhi perilaku dari semua pihak yang terlibat dan yang akhirnya berpengaruh terhadapa dampak yang diharapkan maupun yang tidak diharapkan. Indikator-indikator berhubungan dengan disposisi atau sikap pelaksana dalam kebijakan yang dapat dijadikan ukuran keberhasilan pelaksanaan kebijakan (Edward III, 1980) terdiri dari: 1. Pemahaman Pengelola dalam Kebijakan 2. Pengetahuan Pengelola dalam Pekerjaannya 3. Penerapan Pengelola dalam Melaksanakan Kebijakan 4. Kesopanan dan Kejujuran Pengelola 5. Komitmen Pengelola dalam Menjalankan Tugas 6. Prioritas Keberhasilan Kebijakan
31
2.2.4 Struktur Birokrasi dalam Pelaksanaan Kebijakan Berkaitan dengan struktur birokrasi, Edward III (1980) mengatakan bahwa struktur birokrasi mempunyai dampak terhadap penerapan kebijakan dalam arti bahwa penerapan kebijakan tidak akan berhasil jika terdapat kelemahan dalam srtuktur. Karakteristik birokrasi yang umum dikelompokkan menjadi 2 (dua), yaitu: 1) penggunaan sikap dan prosedur yang rutin dan 2) transformasi dalam pertanggungjawaban diantara unit organisasi. Standard Operating Prosedure (SOP) dalam struktur birokrasi, mengatur tata aliran pekerjaan dan pelaksanaan program. Jika hal ini tidak ada, maka akan sulit sekali mencapai hasil yang memuaskan karena penyelesaian masalahmasalah akan bersifat ad-hoc, memerlukan penanganan dan penyelesaian khusus tanpa pola baku, fragmentasi yang sering sekali terjadi harus dapat dihindari dan diatasi dengan cara sistem koordinasi yang baik. Struktur yang tepat memberikan dukungan yang kuat terhadap keberhasilan pelaksanaan kebijakan publik. Istilah birokrasi berasal dari dua akar kata, yaitu Bureau (burra, kain kasar penutup meja) dan – cracy, ruler. Keduanya membentuk kata bureaucracy. Ada 3 (tiga) macam arti birokrasi, yaitu: 1. Birokrasi diartikan sebagai “government by bureau” yaitu pemeritahan biro oleh aparat yang diangkat pemegang kekuasaan, pemerintah atau pihak atasan dalam sebuah organisasi formal baik publik maupun privat (pendapat Riggs yang dikutip oleh Ndraha, 2003). 2. Birokrasi diartikan sebagai sifat atau perilaku pemerintahan, yaitu sikap kaku, macet, berliku-liku dan segala tuduhan negatif terhadap instansi yang berkuasa (pendapat Kramer yand dikutip oleh Ndraha, 2003). 3. Birokrasi sebagai tipe ideal organisasi, biasanya birokrasi dalam arti ini dianggap bermula pada teori Max Weber tentang sosiologik rasionalisasi aktivitas kolektif (dikutip oleh Ndraha, 2003). Birokrasi terdapat di semua bidang kehidupan dan diperlukan oleh setiap organisasi formal yang memproduksi public goods, birokrasi seperti ini disebut birokrasi publik. Birokrasi dipengaruhi karakteristik birokrasi dan karakteristik
32
manusia. Birokrasi sebagai gejala kekuasaan diartikan kekuasaan untuk mengontrol kedua karakteristik birokrasi tadi dalam rangka efektivitas dan efesiensi penyelenggaraan pemerintahan. Sedangkan birokrasi sebagai gejala sosial mengandung arti dinamikia karakteristik manusia dalam kehidupan organisasi. Hasil kajian terhadap artikel Muhdhar dan Margono (2003), menunjukkan bahwa pengelolaan sampah masih belum terpadu dengan partisipasi masyarakat yang terbatas, peran pemerintah masih sangat besar dalam mengelola sampah kota. Sampah masih dianggap sebagai barang buangan yang berusaha dimusnahkan, tidak merupakan barang ekonomis yang masih bisa diolah dan diperjualbelikan. Kerjasama antar daerah masih belum ada dalam peraturan, begitu juga ketentuan tentang penyelesaian perselisihan antar daerah dan masyarakat masih belum diatur. Penegakan hukum masih menggunakan pendekatan penguatan negatif, belum ada peraturan yang mengarah pada pemberian penguatan positif berupa penghargaan. Keberadaan
birokrasi
dalam
sistem
administrasi
modern
sangat
dibutuhkan untuk mengoptimalkan pencapaian tujuan organisasi. Suatu organisasi memiliki struktur organisasi yang membagi semua tugas dan fungsi kepada anggota organisasi. Kewenangan yang ada dalam struktur organisasi membuat organisasi bekerja dengan optimal untuk mencapai tujuan yang telah ditetapkan sebelumnya. Birokrasi suatu organisasi mempunyai peranan yang besar untuk mencapai tujuan organisasi secara optimal. Birokrasi sebagai organisasi mempunyai struktur yang membagi semua tugas dan fungsinya (Albrow, 1989). Pembagian tugas kepada semua anggota organisasi memberikan kemudahan mengadakan pencapaian tujuan seperti yang telah direncanakan sebelumnya. Struktur yang ada dalam birokrasi membuat adanya kesamaan persepsi terhadap misi dan visi organisasi. Adaya struktur birokrasi maka dapat diketahui siapa mengerjakan apa dan bagaimana prestasi yang dicapainya. Struktur birokrasi akan membawa adanya suatu kewenangan. Kewenangan sangat dibutuhkan dalam memberikan keleluasaan dalam bekerja secara optimal.
33
Pendapat Etzioni (1983) yang dikutip Kumorotomo (1992) mengatakan bahwa tujuan utama pembentukan struktur birokrasi adalah agar suatu organisasi dapat berjalan secara rasional, sistematis dan dapat diramalkan sehingga tercapai efektivitas dan efesiensi. Menurut Etzioni (1983) dalam Kumorotomo (1992), menyatakan bahwa: struktur birokrasi memberikan kewenangan kepada anggota organisasi bekerja sesuai tugas dan fungsinya seperti yang telah digariskan dalam struktur organisasi. Kejelasan wewenang yang dimiliki setiap anggota organisasi membuat mereka bekerja dengan optimal sesuai dengan kewenangan yang dimiliki. Perencanaan yang telah didasarkan kewenangan yang dimiliki anggota organisasi membuat kejelasan tujuan atau sasaran yang akan dicapai. Pencapaian tujuan yang rasional membuat organisasi semakin kredibel dan akuntabel dalam pelaksanaan operasionalnya. Struktur birokrasi adalah suatu standard operating prosedur yang menata hubungan kerja anggota organisasi dalam mencapai tujuan yang telah ditetapkan sesuai dengan rencana sebelumnya. Pembagian kerja termasuk didalamnya kejelasan kewenangan yang dimiliki memberikan kepastian bagi anggota organisasi dalam berprestasi dalam bekerja. Struktur birokrasi memberikan sumbangan yang besar dalam melaksanakan suatu kebijakan publik. Dukungan birokrasi yang telah ditata secara baik akan memperlancar keberhasilan pelaksanaan kebijakan yang telah ditetapkan. Pelaksanaan kebijakan akan dilakukan dalam suatu organisasi. Dalam organisasi pemerintahan, keberadaan birokrasi yang sudah tertata dengan struktur yang baik memberikan sumbangan yang besar dalam memperlancar pelaksana dilapangan dalam bekerja dengan optimal. Indikator-indikator berhubungan dengan birokrasi dalam kebijakan yang dapat dijadikan ukuran keberhasilan pelaksanaan kebijakan (Edward III, 1980) terdiri dari: 1. Kejelasan Pembagian Tugas Pengelolaan 2. Tanggung Jawab Pelaksana 3. Kejelasan Wewenang Pelaksana 4. Kejelasan Koordinasi Pelaksana
34
2.3 Keterkaitan Pengelolaan Sampah dengan Kualitas Lingkungan Hidup Lingkungan hidup adalah suatu sistem komplek yang berada di luar individu yang mempengaruhi pertumbuhan dan perkembangan organisme (Pustekkom, 2005, http://www.e-dukasi.net). Lingkungan hidup itu terdiri dari dua komponen yaitu komponen abiotik dan biotik: 1. Komponen biotik adalah unsur yang terdapat dalam lingkungan hidup untuk media saling berhubungan, seperti; manusia, hewan, tumbuhan air, jasad renik dan sebagainya. Unsur biotik sangat berpengaruh bagi kehidupan manusia karena kalau tidak ada unsur biotik maka manusia tidak bisa berkembang biak secara sempurna. 2. Komponen abiotik adalah unsur yang terdapat dalam lingkungan hidup untuk media berlangsungnya kehidupan, seperti: tanah, air, udara, sinar matahari, dan lain-lain. Unsur abiotik juga berpengaruh bagi kehidupan karena unsur abiotiklah kebutuhan utama dalam berlangsungnya kehidupan (Pustekkom, 2005, http://www.e-dukasi.net). Komponen-komponen yang ada di dalam lingkungan hidup merupakan satu kesatuan yang tidak dapat dipisahkan dan membentuk suatu sistem kehidupan yang disebut ekosistem. Suatu ekosistem akan menjamin keberlangsungan kehidupan apabila lingkungan itu dapat mencukupi kebutuhan minimum dari kebutuhan organisme. Pengertian tentang kualitas lingkungan sangatlah penting, karena merupakan dasar dan pedoman untuk mencapai tujuan pengelolaan lingkungan. Perbincangan tentang lingkungan pada dasarnya adalah perbincangan tentang kualitas lingkungan, namun seringkali kualitas lingkungan hanyalah dikaitkan dengan masalah lingkungan, misalnya pencemaran, erosi dan banjir. Secara sederhana kualitas lingkungan hidup diartikan sebagai keadaan lingkungan yang dapat memberikan daya dukung yang optimal bagi kelangsungan hidup manusia di suatu wilayah. Kualitas lingkungan itu dicirikan, antara lain dari suasana yang membuat orang betah/kerasan tinggal di tempatnya sendiri. Berbagai keperluan hidup terpenuhi dari kebutuhan dasar/fisik seperti makan
35
minum, perumahan sampai kebutuhan rohani/spiritual seperti pendidikan, rasa aman, ibadah dan sebagainya (Pustekkom, 2005, http://www.e-dukasi.net). Kualitas lingkungan hidup dibedakan berdasarkan biofisik, sosial ekonomi dan budaya, yaitu: 1. Lingkungan biofisik adalah lingkungan yang terdiri dari komponen biotik dan abiotik yang berhubungan dan saling mempengaruhi satu sama lain. Komponen biotik merupakan makhluk hidup, seperti; hewan, tumbuhan dan manusia, sedangkan komponen abiotik, terdiri dari benda-benda mati, seperti; tanah, air, udara, cahaya matahari. Kualitas lingkungan biofisik dikatakan baik jika interaksi antar komponen berlangsung seimbang. 2. Lingkungan sosial ekonomi, adalah lingkungan manusia dalam hubungan dengan sesamanya dalam memenuhi kebutuhan hidupnya. Standar kualitas lingkungan sosial ekonomi dikatakan baik jika kehidupan manusia cukup sandang, pangan, papan, pendidikan dan kebutuhan lainnya. 3. Lingkungan budaya adalah segala kondisi, baik berupa materi (benda) maupun nonmateri yang dihasilkan oleh manusia melalui aktifitas dan kreatifitasnya. Lingkungan budaya dapat berupa bangunan, peralatan, pakaian, senjata dan juga termasuk non materi seperti tata nilai, norma, adat istiadat, kesenian, sistem politik dan sebagainya. Standar kualitas lingkungan diartikan baik jika di lingkungan tersebut dapat memberikan rasa aman, sejahtera bagi semua anggota masyarakatnya dalam menjalankan dan mengembangkan sistem budayanya (Pustekkom, 2005, http://www.e-dukasi.net). Kegiatan yang dilakukan oleh umat manusia memiliki dampak pada lingkungan hidup. Kegiatan ekonomi dan pertumbuhan penduduk yang pesat telah memberikan tekanan pada keseimbangan alam berupa pencemaran hingga mengakibatkan kerusakan pada lingkungan hidup. Padahal tipologi pencemaran yang terdiri dari pencemaran air, udara, dan tanah berakibat pada menurunnya kualitas lingkungan hidup memiliki dampak pada kehidupan manusia. Berikut ini disajikan beberapa kasus berdasarkan tipologi pencemaran yang berakibat pada
36
penurunan kualitas lingkungan hidup yang menjadi soroton para ahli lingkungan hidup di seluruh dunia. 1. Kasus rendahnya kualitas air di negara berkembang. Menurut Bank Dunia (1992), sekurangnya 170 juta orang yang tinggal di kotakota dan sekurangnya 850 juta orang yang tinggal di desa-desa di negara berkembang tidak memiliki akses guna mendapatkan air bersih untuk minum, masak dan cuci. Sumber-sumber air telah terkontaminasi dengan berbagai penyakit yang disebabkan oleh kotoran manusia, bahan kimia beracun dan metal berat yang sudah sulit untuk dihilangkan dengan menggunakan teknik purifikasi biasa (standar). Dilaporkan juga bahwa penggunaan air yang tercemar tersebut telah menyebabkan jutaan orang meninggal dan lebih dari satu milyar orang sakit setiap tahun (World Bank, 1992). 2. Kasus tingginya tingkat pencemaran udara di kota-kota besar. Baru-baru ini dalam sebuah penelitian mengenai tingkat pencemaran udara di 20 kota besar di seluruh dunia, Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) memperkirakan bahwa sekurangnya satu jenis polusi udara di kota-kota besar tersebut telah melebihi ambang batas pencemaran udara WHO (UNEP dan WHO, 1992). Penelitian lain memperkirakan bahwa kurang lebih 600 juta orang hidup di kota yang tingkat pencemaran sulfur dioksidanya melebihi ambang batas pencemaran udara WHO, dan sekitar 1,25 milyar orang tinggal di kota-kota yang tingkat pencemaran debunya sudah sangat tinggi. Lebih jauh lagi, tingkat pencemaran udara yang tinggi diperkirakan telah menyebabkan gangguan kesehatan pada masyarakat. Misalnya, di Jakarta, dengan penduduk sekitar sembilan juta orang, diperkirakan sekitar 1558 kasus kematian dini, 39 juta kasus gangguan tenggorokan, 558 ribu kasus serangan asma, 12 ribu kasus bronhitis kronis, dan 125 ribu kasus sakit tenggorokan pada anak-anak di tahun 1990 disebabkan oleh tingginya tingkat pencemaran udara di kota tersebut (Ostro, 1994). 3. Kasus menurunnya tingkat kesuburan tanah. Program Lingkungan Persatuan Bangsa-bangsa (UNEP) memperkirakan sekitar 11 persen dari tanah subur di dunia telah tererosi, berubah secara
37
kimiawi, atau secara fisik memadat yang mengakibatkan menurunnya kemampuan tanah tersebut untuk memproses nutrisi mencari bahan yang berguna bagi tanaman. Lebih jauh lagi, UNEP juga mengestimasi bahwa kurang lebih tiga percen dari tanah di dunia ini telah rusak hingga tidak lagi dapat menjalankan fungsi abiotiknya sama sekali (WRI in collaboration with the UNEP and the UNDP, 1992). Tentunya tingkat kesuburan tanah yang menurun menyebabkan menurunnya tingkat produktivitas pertanian. 4. Kasus menurunnya tingkat keragaman biota. Sebagai contoh, para peneliti memperkirakan bahwa empat sampai delapan persen dari species yang hidup di hutan tropis akan punah dalam 25 tahun mendatang (Reid, 1992). Kasus kerusakan batu karang juga semakin banyak. Kelestarian rawa-rawa (wetlands) juga semakin mengkuatirkan. Semakin menurunnya tingkat keragaman biota tentunya merupakan ancaman serius bagi keseimbangan dan kelestarian alam (WRI in collaboration with the UNEP and the UNDP, 1992). Peningkatan kualitas lingkungan hidup terutama perkotaan, diperlukan suatu kebijakan berkaitan dengan pengelolaan sampah terutama dalam upaya menanggulagi pencemaran dan kerusakan lingkungan hidup. Untuk mewujudkan peningkatan kualitas lingkungan hidup berskaka rumah tangga perlu ditempuh dengan kegiatan diantaranya, yaitu: 1. Meningkatkan pengelolaan sumber daya alam dan pelestarian fungsi lingkungan hidup. 2. Meningkatkan peran serta masyarakat dan swasta dalam pengelolaan sumberdaya alam dan pelestarian fungsi lingkungan hidup. 3. Meningkatkan pengelolaan kebersihan dan pertamanan. Keberhasilan capaian sasaran tersebut antara lain pada pengembangan kualitas lingkungan hidup diupayakan untuk meningkat, yang dinilai berdasarkan tolok ukur standar kualitas lingkungan hidup. Faktor - faktor yang mempengaruhi keberhasilan pencapaian sasaran meningkatnya kualitas lingkungan hidup yaitu meningkatnya kesadaran masyarakat dalam pengelolaan lingkungan hidup.
38
Hambatan dan permasalahan yang dihadapi dalam upaya pengendalian lingkungan hidup di Kota Bandung antara lain: 1. Kesadaran masyarakat terhadap lingkungan hidup masih perlu ditingkatkan utamanya pada pelaku usaha kecil dan menengah. 2. Penegakan hukum lingkungan yang masih lemah. 3. Pemahaman konsep pembangunan berwawasan lingkungan belum sinkron bagi seluruh stakeholder 4. Masih banyaknya masyarakat yang memiliki kebiasaan membuang sampah di sembarang tempat, sehingga mengakibatkan kesulitan untuk pengelolaan sampah pada tahapan berikutnya. 5. Prasarana dan sarana pengelolaan sampah tidak seimbang dengan produksi sampah yang dihasilkan masyarakat. Strategi pemecahan masalah dapat dilakukan dengan: 1. Peningkatan Penegakan Hukum Lingkungan. 2. Mensosialiasikan konsep pembangunan berwawasan lingkungan bagi seluruh stakeholder 3. Menyediakan fasilitas pembuangan sampah di tempat-tempat umum 4. Peningkatan pengolahan sampah menjadi produk yang bermanfaat Hasil penelitian yang dilakukan Saribanon (2007) menunjukkan bahwa kondisi pengelolaan sampah saat ini memerlukan upaya penguatan kelembagaan dan pembatasan lingkup fungsi pemerintah daerah untuk mendukung partisipasi masyarakat secara optimal. Oleh karena itu, kebijakan pengelolaan sampah yang bersumber dari rumah tangga perlu bertumpu pada strategi pengembangan infrastruktur, strategi partisipasi komunitas dan strategi pengelolaan kelembagaan. Pelaksanaan ketiga strategi tersebut dapat mengakomodasikan heterogenitas dalam masyarakat serta meningkatkan penerimaan dan partisipasi masyarakat dalam pengelolaan sampah pemukiman berbasis masyarakat. Hasil penelitian yang dilakukan Saraswati (2007) menghasilkan 7 faktor dari rumah tangga yang berpengaruh nyata terhadap pengelolaan sampah yaitu 1) jumlah sampah, 2) yang menangani sampah di rumah sebelum di buang, 3)
39
pengetahuan tentang 3R, 4) pemilahan, 5) pelaksanaan reduce, 6) pelaksanaan reuse dan 7) kesediaan melakukan recycle. Ibu rumah tangga merupakan pihak yang paling berperan dalam pengelolaan sampah di rumah sebelum dibuang. Aspek terlemah dalam kapasitas organisasi adalah aspek pelayanan. Faktor kunci dalam pengembangan kelembagaan pada pengelolaan sampah kota berbasis partisipasi masyarakat adalah sosialisasi 3R, pemahaman 3R, peran ibu rumah tangga, kegiatan usaha kompos, pemasaran kompos, kegiatan usaha daur ulang, dan pemasaran produk daur ulang. Sedangkan hasil penelitian yang dilakukan Kholil (2005) membuktikan bahwa penanganan sampah kota tidak dapat didasarkan pada pendekatan cost recovery, waste to product yang bertujuan untuk mencari keuntungan peningkatan PAD, atau untuk tujuan menciptakan lapangan kerja baru; akan tetapi didasarkan pada pendekatan waste to clean dan clean to product, yaitu pendekatan dengan tujuan utama menjaga kebersihan dan kesehatan lingkungan kota. Salah satu faktor kunci yang menentukan keberhasilan penanganan sampah kota adalah keterlibatan masyarakat, khususnya para ibu rumah tangga yang menjadi sumber utama penghasil sampah. Hasil penelitian ini menunjukkan kebijakan penanganan sampah kota harus berlandaskan pada prinsip transparansi, akuntabilitas, dan profesionalisme
perlu
restruktunisasi
anggaran
kebersihan
kota
dengan
membentuk BLU Kebersihan (Badan Layanan Umum Kebersihan), dan restrukturisasi lembaga penanganan sampah kota dengan membentuk Komisi Penanganan Sampah Kota, yang anggotanya terdiri dari tokoh formal, tokoh agama, tokoh masyarakat, para ahli, LSM, pengusaha dan penegak hukum.
40
III. METODE PENELITIAN 3.1 Waktu dan Tempat Penelitian Penelitian dilakukan mulai bulan Maret 2007 sampai Desember 2009. Penelitian dilakukan di Kota Bandung berkaitan dengan pengembangan kebijakan pemerintah Kota Bandung dalam hal pelaksanaan kebijakan pengelolaan sampah yang berkaitan dengan pengendalian sampah rumah tangga.
3.2 Tahapan Penelitian Langkah-langkah analisis data dalam penelitian ini sebagai berikut: 1. Penelaahan seluruh data Langkah ini melihat keseluruhan data, menginventarisasi data yang ada, baik data primer maupun data sekunder. Data primer dikumpulkan dari catatan lapangan, hasil wawancara dari berbagai kalangan, sesuai dengan fokus pertanyaan
masing-masing.
Kemudian
dicek
keabsahan dan kriteria
kelengkapan data itu dari beberapa catatan yang ada. Data sekunder yang dikumpulkan berupa dokumen penting dari berbagai instansi terkait. Dilengkapi juga dengan foto, gambar, peta wilayah, dan dokumen lain yang erat kaitannya dengan masalah yang diteliti. 2. Reduksi Data Setelah data ditelaah secara keseluruhan, dibaca dan dipelajari, maka langkah berikutnya adalah reduksi data yakni membuat abstraksi, membuat rangkuman inti, poin-poin penting. Bisa berupa pola pikir atau skema secara sistematik dengan alur tertentu. Hal ini amat membantu menggiring peneliti pada fokus kajian yang telah dirumuskan. 3. Menyusun dalam satuan. Setelah melakukan reduksi data maka langkah berikutnya adalah menyusun karakteristik dan indikator-indikator yang dipertanyakan dalam penelitian. Karakteristik dan indikator ini kemudian disatukan menjadi satuan konsep. Lincoln dan Guba (1985) menamakan sebagai satuan informasi yang berfungsi
41
untuk mendefinisikan kategori. Hal ini disebabkan karena suatu latar sosial individu merupakan suatu kebulatan (Lafland and Lofland, 1984). Setelah itu kemudian diberi label tertentu sehingga dapat diidentifikasikan satuan yang satu dengan lainnya. Perilaku sosial dan budaya dapat dipelajari dari pandangan arti perilaku manusia (Moleong, 1989). Jadi konseptualisasi satuan dapat ditemukan dengan menganalisis proses kognitif dan struktur kognitif seseorang yang diteliti bukan dari segi peneliti. Dengan demikian memunculkan keutuhan dan kebulatan heuristik, artinya menurut Lincoln dan Guba (1985): memberikan peluang penafsiran atau informasi yang banyak walaupun tanpa ada informasi tambahan. 4. Kategorisasi Kategorisasi merupakan langkah penyusunan dan pengelompokan bagianbagian yang memperlihatkan kaitan dengan indikator yang dipergunakan. Prosesnya dimulai dari pemilihan indikator, kemudian merangkaikannya dengan pilihan jawaban. 5. Penafsiran data Setelah data dikategorikan langkah selanjutnya adalah penafsiran data. Penafsiran data adalah mendeskripsikan hasil penelitian baik berupa deskripsi analitik maupun deskripsi substansif. Menurut Schaltzman dan Strauss (1973) deskripsi analitik adalah penafsiran data dengan menggunakan acuan teori yang sudah ada. Sedangkan deskripsi teori substansif menafsirkan data tidak menggunakan acuan teori yang ada, tetapi memunculkan kategori atau classes tertentu kemudian dicari karakter hubungan yang ditafsirkan dari data itu. Dari tafsiran data itu secara mendasar ada gambaran munculnya konsep-konsep baru, yang bisa memperkuat konsep yang ada, menggoyahkan atau menolak teori yang sudah ada.
3.3 Jenis dan Sumber Data Data sekunder yang dibutuhkan antara lain berkaitan dengan produkproduk peraturan berkaitan dengan kebijakan pengelolaan sampah yang berlaku di Kota Bandung sebagai acuan dalam pelaksanaan kebijakan yang berhubungan
42
dengan pengelolaan sampah di Kota Bandung. Selain itu data sekunder lainnya dibutuhkan
berkaitan
dengan
koordinasi
dalam
pelaksanaan
kebijakan
pengelolaan sampah, jumlah pegawai instansi berkaitan dengan persampahan, lokasi-lokasi TPA, alternatid-alternatif penanganan sampah, serta pendapat para pakar persampahan yang diperoleh dari hasil dokumentasi atau laporan-laporan yang dikumpulkan melalui studi pustaka dan informasi seperti PD Kebersihan, BPLHD Kota Bandung, Dinas Tata Kota, dan Dinas Pendapatan Daerah Kota Bandung. Data primer yang diperlukan terdiri dari pendapat/pandangan masyarakat tentang pelaksanaan kebijakan pengelolaan sampah yang dilakukan oleh pemerintah daerah melalui instansi-instansi terkait, serta pendapat/pandangan para pakar di bidang pengelolaan sampah dalam menemukan prioritas dalam pelaksanaan pengelolaan sampah. Selain itu wawancara dengan para pakar pengelolaan sampah baik dari institusi pemerintahan maupun institusi akademik dilakukan untuk memperoleh masukan dan arahan dalam pembahasan hasil analisis. Secara umum data primer dikumpulkan melalui wawancara dan kuesioner.
3.4 Jumlah Sampel Penelitian Jumlah sampel minimum responden pegawai PD Kebersihan Kota Bandung yang digunakan dalam penelitian ini mengacu pada rumus Slovin (Rakhmat, 1997). Hal ini dilakukan karena jumlah populasi diketahui yaitu sebesar 1.852 pegawai (Tahun 2008). Perhitungan jumlah sampelnya mengacu pada Slovin (Rakhmat, 1997) sebagai berikut: n=
N Ne 2 + 1
Keterangan: n = Ukuran Sampel N = Jumlah Populasi e = Nilai kritis (batas ketelitian) yang diinginkan (persen kelonggaran ketelitian karena pengambilan sampel populasi) batas kesalahan ditentukan sebesar 15% Sehingga dengan mempergunakan rumus ini diperoleh jumlah sampel
43
minimum yaitu :
n=
1.852 = 43,4 ≈ 44 1.852(0,15) 2 + 1
Jumlah sampel minimum responden masyarakat Kota Bandung yang digunakan dalam penelitian ini mengacu pada rumus Slovin (Rakhmat, 1997). Hal ini dilakukan karena jumlah populasi diketahui, yaitu sebesar 1.615.582 masyarakat Kota Bandung yang berusia 15-64 tahun (www.jabar.go.id, Tahun 2008). Perhitungan jumlah sampelnya, sebagai berikut: n=
N Ne 2 + 1
Keterangan: n = Ukuran Sampel N = Jumlah Populasi e = Nilai kritis (batas ketelitian) yang diinginkan (persen kelonggaran ketelitian karena pengambilan sampel populasi) batas kesalahan ditentukan sebesar 6% Sehingga dengan mempergunakan rumus ini diperoleh jumlah sampel minimum, yaitu :
n=
1.615.582 = 277,7 ≈ 278 1.615.582(0,06) 2 + 1
Berdasarkan perhitungan di atas, maka jumlah sampel responden pegawai PD Kebersihan Kota Bandung yang dapat dipergunakan adalah sebanyak minimal 44 sampel, sedangkan jumlah sampel responden masyarakat Kota Bandung yang dapat dipergunakan adalah sebanyak minimal 278 sampel, dengan teknik pengambilan sampel responden pegawai PD Kebersihan Kota Bandung menggunakan Simple Random Sampling dengan menggunakan bantuan daftar absen, responden dipilih secara acak, dengan memilih 150 pegawai, sedangkan teknik pengambilan sampel responden masyarakat Kota Bandung menggunakan Simple Random Sampling dengan pembagian menurut kecamatan, responden dipilih secara acak, dengan memilih 450 masyarakat. Kuesioner dianggap sah jika pernyataan pada kuesioner dijawab seluruhnya dan pada setiap pernyataan hanya ada satu jawaban. Perincian
44
penyebaran kuesioner penelitian kepada pegawai dan kepada masyarakat ditampilkan pada Tabel 1 dan Tabel 2.
Tabel 1 Perincian Penyebaran Kuesioner Penelitian Kepada Pegawai Klasifikasi Kuesioner Jumlah Kuesioner yang disebar Jumlah kuesioner yang kembali Jumlah kuesioner yang sah Sumber: Hasil Pengolahan Data
Jumlah 150 107 73
Tabel 2 Perincian Penyebaran Kuesioner Penelitian Kepada Masyarakat Klasifikasi Kuesioner Jumlah Kuesioner yang disebar Jumlah kuesioner yang kembali Jumlah kuesioner yang sah Sumber: Hasil Pengolahan Data
Jumlah 450 389 300
Berdasarkan Tabel 1 dan Tabel 2 didapat jumlah kuesioner yang disebar adalah 150 kuesioner untuk pegawai dan 450 untuk masyarakat, jumlah kuesioner yang kembali 107 kuesioner untuk pegawai dan 389 untuk masyarakat. Dari jumlah kuesioner yang kembali diperiksa dan hasil kuesioner yang sah, yaitu 73 responden pegawai dan 300 responden masyarakat yang dipergunakan menjadi data primer untuk pengolahan data.
3.5 Metode Pengumpulan Data Metode pengumpulan data dalam penelitian ini, sebagai berikut: 1. Penyebaran kuesioner Kuesioner dirancang sedemikian rupa dengan mengacu pada indikatorindikator yang dipergunakan dalam penelitian ini untuk keperluan analisis data yang dipergunakan. Kuesioner untuk analisis faktor, disebarkan baik kepada pegawai PD Kebersihan, maupun kepada masyarakat di Kota Bandung. Kuesioner untuk Analysis Hierarchy Procecess ditujukan kepada 5 (lima) orang tenaga ahli di bidang Pengelolaan Sampah yaitu 1) PD Kebersihan Kota Bandung, 2) Badan Pengelola Lingkungan Hidup Kota
45
Bandung, 3) Tokoh Masyarakat Bidang Pengelolaan Sampah, 4) Pejabat Pemerintah Daerah Kewilayahan (Camat, Lurah, RW atau RT), dan 5) Tenaga Ahli (Dosen) Bidang Pengelolaan Sampah. 2. Wawancara secara mendalam (in-depth interview) Wawancara mendalam (indepth interview) dilakukan melalui sejumlah pertemuan dengan informan yang di dalamnya berlangsung tanya jawab dan pembicaraan akrab mengenai berbagai aspek penelitian baik dalam suasana formal maupun informal. Proses wawancara ini selain menjelaskan informasi mengenai dirinya seperti asal daerah, aktivitas kerja, kehidupan dalam pergaulan, dan pandangan hidupnya; informasi juga menjelaskan hal di luar dirinya seperti kondisi komunitas, hubungannya dengan masyarakat sekitar. Wawancara mendalam yang dilakukan ini ditujukan kepada para stakeholder yang berkaitan dengan pengelolaan sampah seperti 1) Kepala PD Kebersihan Kota Bandung, 2) Kepala Dinas Kesehatan, 3) Kepala Badan Pengelola Lingkungan Hidup, 4) Tokoh Masyarakat bidang Lingkungan Hidup, dan 5) Pejabat Pemerintah Daerah Kewilayahan (Camat, Lurah, RW dan RT) Fokus wawancara mendalam terbagi ke dalam 7 (tujuh) bagian. Pertama, berkaitan dengan kebutuhan akan tempat pembuangan sampah yang terus meningkat. Kedua, peningkatan pelayanan kepada masayarakat. Ketiga, membantu Pemerintah Kota Bandung dalam pengadaan lokasi tempat pembuangan sampah alternatif. Empat, tidak terjadi penumpukan sampah yang dapat mengganggu kesehatan. Lima, kemudahan dalam membuang sampah. Enam, tidak terganggu bau sampah dan tujuh, kompensasi yang wajar. 3. Pengamatan Berperanserta Pengamatan berperanserta (partisipant-observation) dilakukan dengan mengikuti proses awal pengangkutan sampah sampai proses pembuangan sampah di Tempat Pembuangan Akhir (TPA). Selain itu, interaksi dengan masyarakat terutama mereka yang tinggal dekat Tempat Pembuangan Akhir (TPA). Mengacu pada klasifikasi peran serta dari Spradley (1980:60), jenis peran serta peneliti adalah peran serta moderat (moderate partisipation), yakni
46
peran serta yang memelihara keseimbangan posisi sebagai insider dan outsider,
sebagai
pengamat
sekaligus partisipan.
Sebelum
pengamatan
berperanserta berlangsung, pendekatan pada masing-masing kasus dilakukan, untuk menciptakan saling percaya (trust building). Pengamatan dilakukan dengan mencatat hal-hal yang berkaitan dengan membangun tempat pembuangan akhir (TPA) untuk meningkatkan daya tampung pembuangan sampah organik dan an-organik yang diproduksi oleh masyarakat Kota Bandung yang meliputi antara lain: a. Pengumpulan data dokumenter dilakukan di PD Kebersihan, Badan Pengelolaan Lingkungan Hidup, Badan Perencanaan Daerah, Asisten Bidang Pemerintahan, Dinas Kampraswil dan catatan penting lainnya. b. Catatan lapangan, yang meliputi berbagai informasi dari hasil wawancara terhadap informan yang berupa: 1) Isi pembicaraan langsung yang dicatat dari hasil wawancara secara terbuka, bebas, langsung dalam rangka melengkapi informasi. Hal ini membantu wawancara agar tidak kaku dalam pembicaraan, bahkan muncul masalah menarik dari catatan pembicaraan secara bebas. 2) Catatan peristiwa, konteks dan situasi, siapa, dimana, apa, kapan dan bagaiamana kegiatan itu. Catatan ini dapat menggambarkan peristiwa dan refleksi yang berisi kerangka berfikir dan pendapat peneliti, gagasan dan kepedulian (Bogdan dan Biklen, 1992).
4. Studi Literatur Metode melalui studi literatur dilakukan dengan cara mempelajari dan menelaah berbagai literatur yang berkaitan dengan penelitian yang dilakukan, antara lain melalui buku teks, buku-buku pendukung maupun penelitian terdahulu yang relevan. Studi ini dilakukan untuk memperoleh informasi yang sifatnya teoritis dan digunakan sebagai pembanding dalam pembahasan.
47
3.6 Metode Analisis Data 1. Pengukuran Variabel-Variabel Penelitian Pengukuran variabel-variabel penelitian dilakukan berdasarkan penilaian persepsi pegawai PD Kebersihan dan Masyarakat Kota Bandung melalui 5 (lima) pilihan jawaban yang memiliki skor 1 sampai 5. Hasil penilaian berdasarkan persepsi responden penelitian ini kemudian diolah untuk memperoleh prosentase berdasarkan pilihan jawaban, sehingga diperoleh prosentase terbanyak yang dijadikan acuan dalam menetapkan hasil pengukuran terhadap variabel penelitian.
2. Factor Analysis Pada tahap analisis, data diolah dan diproses menjadi kelompokkelompok, diklasifikasikan, dikategorikan dan dimanfaatkan untuk memperoleh kebenaran sebagai jawaban dari masalah dalam hipotesis penelitian yang diajukan dalam penelitian. Penelitian yang dilakukan ini bermaksud untuk mengungkapkan faktor utama yang merupakan variabel penyebab atau independent variable yaitu faktor-faktor yang mempengaruhi pelaksanaan kebijakan pengelolaan sampah dalam upaya meningkatkan kualitas lingkungan hidup di Kota Bandung. Dalam statistika, metode analisis yang sesuai dengan permasalahan tersebut adalah analisis faktor berkaitan dengan komunikasi, sumberdaya, disposisi, dan struktur birokrasi yang merupakan faktor penentu kebijakan berdasarkan teori Edward III (1980) yang diterapkan pada pelaksanaan kebijakan pengelolaan sampah. Prinsip kerja analisis faktor digunakan dalam pengolahan data penelitian yang bertujuan untuk mengelompokkan dan mereduksi suatu varibel penelitian. Hasil analisis faktor yang berbentuk kelompok faktor berdasarkan variabel penelitian yang lebih sederhana dengan informasi yang lebih baik yang diberikan oleh variabel penelitian. Analisis faktor adalah model matematik yang berfungsi menjelaskan hubungan antara kumpulan besar variabel menjadi bentuk kumpulan yang kecil berdasarkan faktor-faktor yang terbentuk. Gambar 2 menjelaskan prinsip kerja analisis faktor.
48
Solusi Empat Faktor Gambar 2 Ilustrasi Solusi Empat Faktor Hasil Reduksi, Pengelompokkan dan Pengurutan Sumber: Hasil Kajian Kesesuaian dengan Penelitian yang Dilakukan (modifikasi Dillon, 1984)
49
Keterangan: X1 = Komunikasi X1.1 = Kejelasan Penerimaan Informasi Kebijakan Pengelolaan Sampah X1.2 = Pengetahuan Melaksanakan Tugas dalam Kebijakan Pengelolaan Sampah X1.3 = Kecepatan Menerima Informasi Pelaksanaan Kebijakan Pengelolaan Sampah X1.4 = Frekuensi Penerimaan Informasi Kebijakan Pengelolaan Sampah X1.5 = Kesesuaian Pelaksanaan dengan Pedoman Pelaksanaan Kebijakan Pengelolaan Sampah X1.6 = Kecepatan Pemecahan Masalah Pelaksanaan Kebijakan Pengelolaan Sampah X2 = Sumberdaya X2.1 = Kemudahan Perolehan Informasi Pelaksanaan Kebijakan Pengelolaan Sampah X2.2 = Ketersediaan Peralatan Pendukung Pelaksanaan Kebijakan Pengelolaan Sampah X2.3 = Kemampuan Sumberdaya Pengelola Persampahan X3 = Disposisi atau Sikap Pelaksana Pengelola Persampahan X3.1 = Pemahaman Pengelola dalam Kebijakan Pengelolaan Sampah X3.2 = Pengetahuan Pengelola dalam Pekerjaannya X3.3 = Penerapan Pengelola dalam Melaksanakan Kebijakan Pengelolaan Sampah X3.4 = Kesopanan dan Kejujuran Pengelola Persampahan X3.5 = Komitmen Pengelola Persampahan dalam Menjalankan Tugas X3.6 = Prioritas Keberhasilan Kebijakan Pengelolaan Sampah X4 = Struktur Birokrasi Pengelolaan Persampahan X4.1 = Kejelasan Pembagian Tugas Pengelolaan X4.2 = Tanggung Jawab Pelaksana Persampahan X4.3 = Kejelasan Wewenang Pelaksana Persampahan X4.4 = Kejelasan Koordinasi Pelaksana Persampahan
Analisis Faktor digunakan dengan melakukan validasi. Metoda ini berguna untuk menghitung keterkaitan (korelasi) antar variabel-variabel penyebab yang membentuk variabel akibatnya. Variabel yang akan digunakan adalah variabel yang mempunyainilai lebih besar dari 0,3. Besarnya angka 0,3 tersebut di dasarkan kepada pendapat dillon dan goldstein (1984) yang menyatakan bahwa variabel yang mempunyai nilai 0,3 dapat digunakan sebagai variabel bermakna.
3. Analisis AHP dan SWOT (AWOT) Analisis ini merupakan perpaduan antara Analitic Hierarchy Process (AHP) dan SWOT (Strength, Weakness, Oportunity, and Threat). Analisis SWOT menjadi suatu alat kekuatan untuk mencari dan menemukenali potensi dalam kebijakan pengelolaan sampah sebagai kekuatan yang dimiliki. Hasil analisis ini
50
dapat dijadikan sebagai landasan strategi untuk mencapai keberlangsungan pembangunan terutama dalam pengelolaan sampah di Kota Bandung dengan menggambarkan pengaruh, tindakan yang diperlukan, untuk mencapai keluaran yang diinginkan (Moughtin,1990). Tujuan akhir dari analisa ini adalah untuk memilih strategi yang efektif untuk memaksimalkan keunggulan kekuatan/potensi dan memanfaatkan peluang serta pada saat yang sama meminimalkan pengaruh kelemahan dan ancaman yang dihadapi (Diklat Manajemen Perkotaan, 1999). Analisis SWOT tidak mungkin dicapai tanpa adanya pengetahuan mengenai sejarah wilayah studi dan pengetahuan faktor baik eksternal maupun internal yang ada di perkotaan (Moughtin, 1999). Analisis SWOT di sini akan mengidentifikasikan faktor internal wilayah sebagai kekuatan dan kelemahan, dan faktor eksternal sebagai peluang dan ancaman, matriks SWOT sebagai rangkuman dari faktor eksternal dan internal yang dipengaruhi dari peluang, ancaman, kekuatan dan kelemahan. Matriks SWOT sebagai rangkuman dari faktor internal dan eksternal yang dipengaruhi dari peluang, ancaman, kekuatan dan kelemahan dimana analisis ini memungkinkan untuk diformulasikan dan dirumuskan suatu strategi yang sesuai dengan visi dan misi dari kebijakan pengelolaan sampah yang ditetapkan. Kerangka Analisis SWOT ditampilkan pada Tabel 3. Analisis SWOT dapat digunakan dengan berbagai cara untuk membantu perumusan strategi. Cara yang paling lazim adalah memanfaatkannya sebagai kerangka acuan logis yang dijadikan pedoman pembahasan sistematik tentang situasi dan kondisi pengelolaan sampah serta alternatif-alternatif pokok yang mungkin dipertimbangkan dalam pengelolaan sampah perkotaan. Analisis SWOT yang sistematik dapat dilakukan untuk semua aspek situasi dalam pengelolaan sampah. Sebagai hasil analisis ini memberikan kerangka yang dinamik serta bermanfaat untuk analisis strategik. Dalam proses pengambilan keputusan publik, seringkali sumber kerumitan masalah keputusan bukan hanya pada ketidakpastian atau ketidaksempurnaan informasi. Penyebab lainnya adalah banyaknya faktor yang berpengaruh terhadap pilihan-pilihan yang ada serta beragamnya kriteria pemilihan tersebut (Saaty dan
51
Vargas, 1994). Dengan adanya berbagai alternatif pemilihan keputusan tersebut, masalah mendasar pengambilan keputusan publik adalah bagaimana menentukan bobot penilaian untuk suatu kriteria yang digunakan menurut kepentingan tertentu.
Tabel 3 Kerangka Analisis SWOT Strengths (Kekuatan)
Weakness (Kelemahan)
Kekuatan diukur berdasarkan situasi dan kemampuan internal yang bersifat positif yang memungkinkan PD Kebersihan Kota Bandung memenuhi keuntungan stratejik dalam mencapai visi dan misi. Kekuatan dalam pelaksanaan kebijakan pengelolaan sampah ini berupa keberadaan sumberdaya, keunggulan pelaksana, dukungan lingkungan, karakteristik kawasan dan letak geografis. Kekuatan ini merupakan kompetensi khusus yang memberikan keunggulan dalam melaksanakan kebijakan pengelolaan sampah. Kekuatan dapat terkandung dalam sumberdaya keuangan, citra, sarana dan prasarana yang tersedia serta faktorfaktor lainnya
Kelemahan diukur berdasarkan situasi dan faktorfaktor dalam PD Kebersihan Kota Bandung yang bersifat negatif, yang menghambat PD Kebersihan mencapai atau mampu melampaui pencapaian visi dan misi. Kekuatan dalam pelaksanaan kebijakan pengelolaan sampah berupa keterbatasan atau kekurangan dalam sumberdaya, daya dukung dan kapabilitas yang menghambat kualitas lingkungan yang meliputi fasilitas sumberdaya keuangan, sarana dan prasarana, kemampuan sumberdaya manusia dan budaya yang dapat menghambat pelaksanaan kebijakan pengelolaan sampah
Opportunities (Peluang)
Threat (Ancaman)
Peluang diukur berdasarkan situasi dan faktorfaktor luar PD Kebersihan Kota Bandung yang bersifat positif, yang membantu organisasi mencapai atau mampu melampaui pencapaian visi dan misi organisasi. Peluang dalam kebijakan pengelolaan sampah berupa situasi penting yang menguntungkan dalam melaksanakan kebijakan. Kecenderungan penting merupakan salah satu identifikasi perubahan kualitas lingkungan, peraturan serta kebutuhan masyarakat dan swasta yang dapat memberikan peluang bagi pelaksanaan kebijakan
Ancaman diukur berdasarkan faktor-faktor luar organisasi yang bersifat negatif, yang dapat mengakibatkan PD Kebersihan Kota Bandung gagal mencapai visi dan misinya. Ancaman dalam kebijakan pengelolaan sampah berupa situasi yang tidak menguntungkan dalam pelaksanaan kebijakan. Ancaman merupakan pengganggu utama bagi pelaksanaan kebijakan saat ini atau tidak diinginkan dalam melaksanakan kebijakan. Perubahan kualitas lingkungan, perkembangan teknologi, peraturan baru dapat menjadi ancaman bagi pengelolaan sampah.
Sumber: Hasil Kajian Peneliti Pengambilan keputusan penetapan prioritas kriteria, model Analytic Hierarchy Process (AHP) merupakan model kuantitatif yang cocok untuk diterapkan dalam rangka pengambilan keputusan penetapan prioritas kriteria dalam rangka pengambilan keputusan penentuan prioritas dalam pengelolaan
52
sampah di Kota Bandung. Metode ini merupakan metode perencanaan yang luwes dan memungkinkan adanya pengambilan keputusan dengan mengkombinasikan pertimbangan dan nilai-nilai pribadi secara logis. Hal tersebut dimungkinkan terjadi karena AHP mengandalkan pada intuisi pada input utamanya. Intuisi tersebut harus datang dari pengambil keputusan yang cukup informasi yang memahami masalah yang sedang dihadapi dan akan diambil keputusan. Ada beberapa Variabel yang ditetapkan untuk diterapkan dengan menggunakan metode AHP, yakni: 1. Faktor utama/Main Isue (Level 1): Agar tercapai goal yang dituju, ada isue utama yang diperhatikan, yakni keterkaitan kriteria terhadap faktor utama, dapat digambarkan sebagai suatu proses hubungan kausal, yang memberikan pengaruh menguntungkan dan merugikan terhadap key isue. 2. Kriteria (Level 2): Dari faktor-faktor yang berpengaruh di atas ada berbagai kriteria, agar dapat memaksimalkan pengelolaan sampah yang dilakukan dalam rangka mencapai tujuan pengendalian sampah. 3. Alternatif (Level 3): Alternatif ini merupakan kriteria yang mengacu kepada pendekatan faktor penting dalam pelaksanaan kebijakan pengelolaan sampah berupa pengelolaan sampah rumah tangga di Kota Bandung Penggunaan Model AHP dan SWOT dalam penelitian ini disajikan dalam Gambar 3 di halaman berikut.
53
Kebijakan Persampahan
Strengths
Red
K
S
Weaknesses
Reu
D
B
K
S
Rec
D
B
K
S
Emp
D
B
K
S
Red
D
B
K
S
Reu
D
B
K
S
Opportunities
Rec
D
B
K
S
Emp
D
B
K
S
Red
D
B
K
S
Reu
D
B
K
S
Rec
D
B
K
Gambar 3 Model Hirarki AHP dan SWOT Keterangan: Red = Reduce (Mengurangi Sumber). Reu = Reuse (Memanfaatkan Kembali) Rec = Recycle (Mengolah Kembali) Emp = Empower (Memberdayakan)
K S D B
Threats
= Komunikasi = Sumberdaya = Disposisi = Birokrasi
S
Emp
D
B
K
S
Red
D
B
K
S
Reu
D
B
K
S
Rec
D
B
K
S
Emp
D
B
K
S
D
B
54
IV. GAMBARAN UMUM KUALITAS LINGKUNGAN HIDUP DI KOTA BANDUNG
4.1 Gambaran Umum Lokasi Penelitian Kota Bandung terletak di wilayah Propinsi Jawa Barat dan merupakan Ibukota Propinsi Jawa Barat, yang terletak diantara 107° 36” Bujur Timur, 6° 55’ Lintang Selatan. Ketinggian tanah ± 791 m di atas permukaan laut, titik terendah + 675 m berada di sebelah selatan dengan permukaan relatif datar dan titik tertinggi + 1,050 m berada di sebelah utara dengan kontur yang berbukitbukit. Luas wilayah Kota Bandung 16.729,65 Ha yang terdiri dari dataran (145,52 km²), perbukitan (0,82 km²) dan pesawahan (21,56 km²) dan sebanyak 8.791,35 (52,55%) digunakan untuk daerah perumahan/pemukiman. Kota ini secara geografis terletak di tengah-tengah provinsi Jawa Barat. Peta Kota Bandung, dapat dilihat pada Gambar 4. Kota Bandung terletak di ketinggian ±768 m di atas permukaan laut (dpl). Daerah utara Kota Bandung pada umumnya lebih tinggi daripada daerah selatan. Rata-rata ketinggian di sebelah utara adalah ±1050 dpl, sedangkan di bagian selatan adalah ±675 dpl. Bandung dikelilingi oleh pegunungan yang membuat Bandung menjadi semacam cekungan (Bandung Basin). Wilayah pemerintahan terbagi dalam 30 kecamatan dan 151 kelurahan. Secara administratif Kota Bandung berbatasan dengan daerah kabupaten/kota lainnya yaitu: 1) Sebelah Utara berbatasan dengan kabupaten Bandung Barat, 2) Sebelah Barat berbatasan dengan Kota Cimahi, dan 3) Sebelah Timur dan Selatan berbatasan dengan Kabupaten Bandung. Jumlah penduduk Kota Bandung tahun 2007 adalah 2.329.928 jiwa dengan jumlah penduduk laki-laki sebesar 1.188.312 jiwa atau 51,00% dan penduduk perempuan sebesar 1.146.865 jiwa atau sebesar 49,00% (BPS Kota Bandung Tahun 2007), dan telah terjadi kenaikan sebesar 33.080 jiwa.
55
Gambar 4 Ilustrasi Peta Lokasi Kota Bandung
56
Pertumbuhan penduduk di Kota Bandung dipengaruhi oleh faktor alami seperti kelahiran dan kematian serta faktor migrasi atau perpindahan penduduk yang disebabkan karena Bandung merupakan ibukota propinsi, juga merupakan kota jasa yang dikunjungi oleh banyak pendatang dari luar Kota Bandung yang akhirnya bekerja dan menetap di Kota Bandung. Peningkatan laju pertumbuhan penduduk 49,00% (BPS Kota Bandung Tahun 2007), disebabkan oleh perkembangan Kota Bandung yang pesat dan ketersediaan berbagai fasilitas kehidupan yang membuat orang tertarik untuk datang dan menetap di Kota Bandung. Jumlah penduduk terbanyak tingkat kecamatan yaitu kecamatan Babakan Ciparay (137.392 jiwa) dan paling sedikit di Kecamatan Bandung Wetan (31.714 jiwa). Bila dilihat dari jumlah penduduk di Kota Bandung 2.329.928 jiwa maka rata-rata kepadatan penduduk di Kota Bandung yaitu 13.196 jiwa/km². Walaupun Kecamatan Babakan Ciparay memiliki jumlah penduduk terbanyak tetapi Kecamatan Bandung Kulon merupakan kecamatan terpadat di Kota Bandung yaitu 37.991 jiwa/km². Kecamatan yang tingkat kepadatan penduduknya jarang adalah kecamatan Astanaanyar (6.203 jiwa/km2). Dan ini menandakan bahwa persebaran penduduk di Kota Bandung belum merata dan masih terpusat di tempat-tempat tertentu. Penduduk Kota Bandung menurut registrasi Penduduk sampai dengan Tahun 2006 (Sumber: BPS Kota Bandung 2007) berjumlah 2.232.848 jiwa dengan luas wilayah 16.729,65 Ha (145,52 Km2), sehingga kepadatan penduduknya per hektar sebesar 13.196 jiwa (Sumber: BPS Kota bandung 2007). Kondisi perekonomian Kota Bandung dapat terlihat dari Indikator Laju Pertumbuhan Ekonomi (LPE) yang setiap tahun mengalami kenaikan yang signifikan. Hal tersebut berkaitan dengan penetapan salah satu target program prioritas yaitu LPE Kota Bandung Tahun 2008 adalah 11%. LPE Kota Bandung pada tahun 2007 mencapai 8,24% di atas pencapaian LPE Propinsi Jawa Barat yang mencapai 5,31% (Sumber: BPS/Kependudukan Kota bandung 2007). Faktor lain yang menjadi salah satu ukuran kemajuan dalam proses pembangunan adalah Produk Domestik Regional Bruto (PDRB) yang menggambarkan produksi barang
57
dan jasa masyarakat Kota Bandung. Peningkatan PDRB ini secara tidak langsung akan berpengaruh terhadap tingkat produksi sampah di Kota Bandung.
4.2 Sampah di Kota Bandung Volume sampah yang dihasilkan di Kota Bandung berasal dari kegiatan rumah tangga (domestik) dan berasal dari kegiatan fasilitas sosial, perkantoran, pasar, pertokoan dan kegiatan lainnya (non domestik). Dengan menggunakan standar produksi sampah sebesar 2,5 liter/orang/hari, produksi sampah di Kota Bandung pada tahun 2008 sebesar 7.152 m3/hari dan pada tahun 2013 sebesar 7.362 m3/hari. Diasumsikan cakupan pelayanan pada tahun 2008 sebesar 80% dan pada tahun 2013 sebesar 90%, maka timbulan sampah yang harus ditangani adalah sebesar 5.206 m3/hari dan 6.626 m3/hari. Sementara itu kapasitas TPA yang ada sebesar 3.837.899 m3 (PD Kebersihan Kota Bandung, 2009). Volume sampah yang dihasilkan dari tahun 2008 hingga 2013 dengan mengasumsikan tetap, yaitu sebesar 2,4 juta m3/tahun, dan jumlah sampah yang dihasilkan dapat direduksi hingga 70% dengan menggunakan teknik-teknik pemadatan, pengomposan, dan daur ulang, maka volume sampah yang tersisa di TPA dari tahun 2008 hingga 2013 adalah sebesar 3,6 juta m3. Angka 3,6 juta m3 ini sudah hampir mendekati kapasitas TPA yang ada, yaitu sebesar lebih kurang 3,8 juta m3. Analisis ini belum mempertimbangkan volume sampah yang dihasilkan sejak TPA dibuka hingga tahun 2008. Apabila volume sampah tersebut dipertimbangkan, ada kemungkinan bahwa untuk sepuluh tahun mendatang TPA yang ada sudah tidak lagi dapat menampung sampah yang dihasilkan (Satriyo, 2008). Hal yang sama juga berlaku untuk TPS. Pada saat ini terdapat 202 TPS dan 279 kontainer dengan volume 10 m3 dan 6 m3. Apabila diasumsikan bahwa semua kontainer yang digunakan di TPS adalah container dengan volume 10 m3, maka TPS yang ada pada saat ini mempunyai kapasitas 2.790 m3. Pada tahun 2008 diperlukan tambahan kapasitas sebesar 2.416 m3 atau sama dengan 242 kontainer 10 m3, dan pada tahun 2013 diperlukan tambahan kapasitas sebesar 1.420 m3 (dari tahun 2008) atau 142 kontainer 10 m3 yang dapat disebarkan pada
58
lokasi TPS yang ada atau TPS-TPS baru (Satriyo, 2008). Volume timbulan sampah di Kota Bandung dari Tahun 2001 sampai Tahun 2008, dapat dilihat pada Tabel 4. Tabel 4 Timbulan Sampah di Kota Bandung No Tahun Volume (m3) Trend (%) 1 2001 887.990 2 2002 911.900 2,69 3 2003 1.053.957 15,58 4 2004 1.165.652 10,60 5 2005 2.737.712 134,87 6 2006 1.345.612 -50,85 7 2007 1.396.701 3,80 8 2008 1.457.748 4,37 Rata-Rata 1.369.659 17,29 Sumber: PD Kebersihan Kota Bandung, 2009 Pada Tabel 4 terlihat bahwa pada Tahun 2005 merupakan Tahun yang paling besar terjadi timbulan sampah. Hal ini disebabkan pada Tahun 2005 terjadinya bencana longsor di TPA Leuwigajah, sehingga timbulan sampah tidak dapat lagi dialokasikan di TPA ini. Sejak 21 Februari 2005 (Sumber: Pikiran Rakyat - 22 Februari 2007) kawasan seluas 23,6 hektare ini digunakan untuk menampung sampah hingga volumenya mencapai tak kurang dari 1,62 juta meter kubik. Sistem pengelolaan sampah di TPA Leuwigajah masih menggunakan teknologi open dumping, yakni dengan hanya menumpuk sampah-sampah di tempat terbuka. Selain itu, TPA ini juga tidak memiliki saluran khusus air sampah (lindi). Gambar 5 memperlihatkan sistem operasional pelayanan kebersihan yang diterapkan di Kota Bandung, sedangkan perkiraan produksi sampah domestik di Kota Bandung pada Tahun 2013 serta perbandingannya dengan Tahun 2008 disajikan pada Tabel 5.
59
Sumber: PD Kebersihan Kota Bandung, Tahun 2008 Gambar 5 Sistem Operasional Pelayanan Kebersihan
60
Tabel 5
Perkiraan Produksi Sampah Domestik Di Kota Bandung Tahun 2008 dan 2013 2008 2013 No. Kecamatan (m3/hari) (m3/hari) Wilayah Bojongloa 1 Kec. Andir 308,8 345,4 2 Kec. Sukasari 210,1 237,7 3 Kec. Cicendo 296,7 335,7 4 Kec. Sukajadi 278,1 314,6 Wilayah Cibeunying 5 Kec. Cicadas 149,5 169,1 6 Kec. Coblong 337,8 382,2 7 Kec. Bandung Wetan 191,7 218,2 8 Kec. Cibeunying Kidul 316,8 358,3 9 Kec. Cibeunying Kaler 189,2 214,1 10 Kec. Sumur Bandung 136,7 154,6 Wilayah Tegalega 11 Kec. Astana Anyar 243,3 275,3 12 Kec. Bojongloa Kidul 203,8 252,8 13 Kec. Bojongloa Kaler 295,1 355,6 14 Kec. Babakan Ciparay 295,1 331,6 15 Kec. Bandung Kulon 329,1 372,3 Wilayah Karees 16 Kec. Regol 242,3 274,3 17 Kec. Lengkong 242,7 274,6 18 Kec. Batununggal 358,4 405,3 19 Kec. Kiaracondong 361,4 408,8 Wilayah Ujungberung 20 Kec. Cicadas 298,2 337,4 21 Kec. Arcamanik 242,9 274,8 22 Kec. Ujungberung 207,3 234,6 23 Kec. Cibiru 203,2 232,2 Wilayah Gedebage 24 Kec. Bandung Kidul 119,1 134,7 25 Kec. Margacinta 256,4 290,2 26 Kec. Rancasari 179,6 203,2 Kota Bandung 6.495,5 7.349,0 Data: Data BPLH Kota Bandung, Juli 2008. Pada awal Tahun 2005, Kota Bandung dihadapkan pada persoalan tidak tersedianya TPA karena beberapa lokasi yang akan dipakai ditolak oleh masyarakat. Hal ini disebabkan:
61
1. Penolakan masyarakat di sekitar wilayah yang akan dipakai TPA disebabkan mereka melihat pengalaman dalam cara pengelolaan sampah yang selama ini dilakukan. Kejadian longsor sampah di TPA Leuwigajah, Cimahi, yang memakan korban puluhan orang menjadi pengalaman traumatis masyarakat. 2. Masyarakat menolak karena permukiman berdekatan dengan TPA akan menimbulkan bau. 3. Masyarakat menolak karena lahan pertanian yang letaknya dekat dengan daerah yang dipakai TPA dianggap tercemar polusi dari sampah sehingga merusak produktivitas tanah dan hasil produksi pertanian akan rusak. 4. Masyarakat yang berada di sekitar lokasi TPA menolak karena nilai ekonomi tanah dan permukiman akan turun. Orang enggan bermukim dan berusaha di sekitar lokasi, ditambah dengan pertimbangan kesehatan dan estetika. 4.3 Tingkat Kualitas Lingkungan Hidup Kota Bandung Tingkat kualitas lingkungan hidup Kota Bandung yang berkaitan dengan pengelolaan sampah dapat diukur berdasarkan tingkat pencemaran sungai. Diasumsikan sungai menjadi salah satu tempat pembuangan sampah akhir sebagian masyarakat Kota Bandung. Hasil pemantauan pada 16 sungai di Kota Bandung
memperlihatkan tingkat pencemaran masih menunjukan hasil yang
berada di atas baku mutu. Rincian hasil pemantauan dengan 9 parameter dapat dilihat pada Tabel 6 Tabel 6 Hasil Pemantauan Kualitas Sungai Kondisi Sungai (16) lokasi Tidak Memenuhi Memenuhi Baku Mutu Baku Mutu 1 Amoniak 16 (100%) 2 Timbal 16 (100%) 3 BOD 6 (37,50 %) 10 (62,50%) 4 COD 3 (18,75 %) 13 (81,25%) 5 DO 6 (37,50 %) 10 (62,50%) 6 Detergen 5 (31,25 %) 11 (68,75%) 7 E. Coli 1 (6,25 %) 15 (93,75%) 8 Tembaga 3 (18,75 %) 13 (81,25%) 9 Nitri 8 (50,00 %) 8 (50,00%) Sumber: BPLHD Kota Bandung, 2009 No
Parameter
62
V. HASIL DAN PEMBAHASAN 5.1 Kebijakan Pengelolaan Sampah di Kota Bandung Acuan normatif berkaitan dengan kebijakan pengelolaan sampah di Indonesia saat ini yaitu Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2008 tentang Pengelolaan Sampah. Meskipun Undang-undang tentang Pengelolaan Sampah telah disahkan namun Peraturan Pemerintah sebagai acuan dalam pelaksanaan pengelolaan sampah sebagai tindak lanjut Undang-undang tersebut masih belum ada. Direncanakan terdapat 3 (tiga) Peraturan Pemerintah namun baru satu yang telah siap proses legalisasinya. Isu lain adalah kontradiksi pendekatan 3R yang menekankan pengurangan timbulan sampah versus penerapan waste to energy (ubah sampah menjadi energi) yang mendorong peningkatan timbulan sampah. Isu lain yang mengemuka berupa perlunya Pemerintah Daerah memberdayakan masyarakat dan melibatkan dunia usaha atau pihak lain yang terkait dengan masalah persampahan. Program 3R menyatu dengan sistem pengelolaan sampah skala kota. Terdapat 5 Kebijakan dan 29 Strategi Nasional Pengelolaan Sampah. Kelima kebijakan tersebut adalah pengurangan sampah, penanganan sampah, pemanfaatan
sampah,
peningkatan
kapasitas
pengelolaan
sampah,
dan
pengembangan kerjasama regional dan global. Kebijakan yang menjadi acuan dasar dalam pengelolaan sampah di Kota Bandung mengacu pada: 1. Skala Nasional yaitu Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2008 tentang Pengelolaan Sampah 2. Skala Regional Pemerintah Daerah Kota Bandung yaitu Peraturan Daerah Kota Bandung Nomor 11 Tahun 2005 tentang Perubahan atas Peraturan Daerah Nomor 3 Tahun 2005 tentang Penyelenggaraan Ketertiban, Kebersihan, dan Keindahan 3. Skala Regional Pemerintah Daerah Kota Bandung yaitu Peraturan Daerah Kota Bandung Nomor 27 Tahun 2001 tentang Pengelolaan Kebersihan di Kota Bandung
63
4. Perusahaan Daerah dalam Pengelolaan Sampah yaitu Peraturan Daerah Kota Bandung Nomor 02 Tahun 1985, yang menetapkan pendirian PD Kebersihan Kota Bandung sebagai Badan Usaha Milik Daerah yang bergerak dalam jasa pelayanan kebersihan di Kota Bandung. Kebijakan pengelolaan sampah di Kota Bandung dalam bentuk Peraturan Daerah mengacu pada Peraturan Daerah Nomor 11 Tahun 2005 tentang Perubahan atas Peraturan Daerah Nomor 3 Tahun 2005 tentang Penyelenggaraan Ketertiban, Kebersihan, dan Keindahan. Salah satu pertimbangan ditetapkannya Peraturan Daerah Nomor 11 Tahun 2005 ini yaitu bahwa ketentuan sanksi yang ditetapkan dalam agar dapat berlaku efisien, efektif dan memiliki kepastian hukum, masih perlu dilakukan penyempurnaan. Ketetapan
Peraturan
Daerah
Nomor
11
Tahun
2005
tentang
Penyelenggaraan Ketertiban, Kebersihan, dan Keindahan yang berkaitan dengan pengelolaan sampah mengacu pada Undang-Undang Nomor 32 Tahun 1997 tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup (Lembaran Negara Tahun 1997 Nomor 68, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3699) dan Peraturan Daerah Kota Bandung Nomor 27 Tahun 2001 tentang Pengelolaan Kebersihan di Kota Bandung. Pengelolaan sampah di Kota Bandung harus sesuai dengan perundangundang yang berlaku tentang pengelolaan sampah. Berdasarkan Pasal 20 dan 22 Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 18 Tahun 2008 Tentang Pengelolaan Sampah, sebagai berikut: Pasal 20 1. Pengurangan sampah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 19 huruf a meliputi kegiatan: a. Pembatasan timbulan sampah; b. Pendauran ulang sampah; dan/atau c. Pemanfaatan kembali sampah. 2. Pemerintah dan pemerintah daerah wajib melakukan kegiatan sebagaimana dimaksud pada ayat 1, sebagai berikut: a. Menetapkan target pengurangan sampah secara bertahap dalam jangka waktu tertentu; b. Memfasilitasi penerapan teknologi yang ramah lingkungan; c. Memfasilitasi penerapan label produk yang ramah lingkungan;
64
d. Memfasilitasi kegiatan mengguna ulang dan mendaur ulang; dan e. Memfasilitasi pemasaran produk-produk daur ulang. 3. Pelaku usaha dalam melaksanakan kegiatan sebagaimana dimaksud pada ayat 1 menggunakan bahan produksi yang menimbulkan sampah sesedikit mungkin, dapat diguna ulang, dapat didaur ulang, dan/atau mudah diurai oleh proses alam. 4. Masyarakat dalam melakukan kegiatan pengurangan sampah sebagaimana dimaksud pada ayat 1 menggunakan bahan yang dapat diguna ulang, didaur ulang, dan/atau mudah diurai oleh proses alam. 5. Ketentuan lebih lanjut mengenai pengurangan sampah sebagaimana dimaksud pada ayat 1, ayat 2, ayat 3, dan ayat 4 diatur dengan peraturan pemerintah. Pasal 22 1. Kegiatan penanganan sampah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 19 huruf b meliputi: a. Pemilahan dalam bentuk pengelompokan dan pemisahan sampah sesuai dengan jenis, jumlah, dan/atau sifat sampah; b. Pengumpulan dalam bentuk pengambilan dan pemindahan sampah dari sumber sampah ke tempat penampungan sementara atau tempat pengolahan sampah terpadu; c. Pengangkutan dalam bentuk membawa sampah dari sumber dan/atau dari tempat penampungan sampah sementara atau dari tempat pengolahan sampah terpadu menuju ke tempat pemrosesan akhir; d. Pengolahan dalam bentuk mengubah karakteristik, komposisi, dan jumlah sampah; dan/atau e. Pemrosesan akhir sampah dalam bentuk pengembalian sampah dan/atau residu hasil pengolahan sebelumnya ke media lingkungan secara aman. 2. Ketentuan lebih lanjut mengenai penanganan sampah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dengan peraturan pemerintah dan/atau peraturan daerah sesuai dengan kewenangannya. Peraturan Daerah Kota Bandung Nomor 02 Tahun 1985, yang menetapkan pendirian PD Kebersihan Kota Bandung sebagai pengelola sampah di Kota Bandung mengarahkan pada sampah sebagai sumber pendapatan daerah, hal ini tidak sesuai dengan falsafah yang terkandung dalam Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 18 Tahun 2008 Tentang Pengelolaan Sampah, yang mengarahkan pengelolaan sampah dengan melibatkan partisipasi masyarakat. Berdasarkan hal tersebut, maka upaya pengelolaan sampah dengan melibatkan masyarakat Kota Bandung haruslah ditekankan pada dua aspek, yaitu aspek demand, dengan cara mengurangi produksi sampah, dan aspek supply, yaitu
65
dengan meningkatkan kualitas dan kuantitas sarana dan prasarana. Secara lebih rinci, upaya pengelolaan sampah di Kota Bandung adalah sebagai berikut: -
Memanfaatkan teknik-teknik yang lebih berwawasan lingkungan berdasarkan konsep daur ulang-pemanfaatan kembali-pengurangan dalam pengolahan sampah di TPA yang ada maupun yang akan dikembangkan.
-
Rehabilitasi dan pengadaan sarana dan prasarana persampaan, bergerak dan tidak bergerak, seperti TPS, TPA, kontainer, dan truk.
-
Mengembangkan kemitraan dengan swasta dan kerjasama dengan kabupaten dan kota sekitarnya yang berkaitan untuk pengelolaan sampah dan penyediaan TPA. Pengelolaan sampah di Kota Bandung selama ini mengacu pada Peraturan
Daerah Kota Bandung Nomor 02 Tahun 1985 yang memberikan kewenangan kepada Perusahaan Daerah untuk mengelola sampah. Selain itu, kebijakan pengelolaan sampah yang diterapkan Pemerintah Kota Bandung selain dikelola oleh PD Kebersihan, juga mengacu pada Peraturan Daerah Kota Bandung Nomor 27 Tahun 2001 tentang Pengelolaan Kebersihan dan Peraturan Daerah Nomor 11 Tahun 2005 tentang Penyelenggaraan Ketertiban, Kebersihan, dan Keindahan, di Kota Bandung yang meminta peran serta masyarakat untuk ikut serta berpartisipasi dalam pengelolaan sampah, hal tersebut sejalan dengan UndangUndang Nomor 18 Tahun 2008 Tentang Pengelolaan Sampah yang merupakan tonggak baru bagi kebijakan pengelolaan sampah perkotaan di Kota Bandung yang mengarahkan kebijakan pengelolaan sampah perkotaan pada konsep zero waste dengan menekankan pentingnya peran masyarakat dalam pengelolaan sampah. Instansi-instansi yang terkait dengan kegiatan Pengelolaan Sampah di Kota Bandung yaitu PD Kebersihan Kota Bandung sebagai pelaksana kegiatan Pengelolaan Sampah, dan petunjuk teknis Pengelolaan Sampah disusun oleh Dinas Cipta Karya, dan Dinas Pekerjaan Umum Kota Bandung. Selain itu, instansi terkait dengan proses distribusi pembuangan sampah yaitu Pemerintah Kabupaten Bandung Barat, karena lokasi Tempat Pembuangan Sampah berada di
66
Kabupen Bandung Barat. Dinas Kebersihan dan Dinas Lingkungan Hidup Kota pada tiga pemerintahan daerah yaitu Kabupaten Bandung Barat, Pemerintah Kota Bandung dan Pemerintah Kota Cimahi merupakan instansi-instansi yang terkait dengan PD Kebersihan Kota Bandung. Perusahaan
Daerah Kebersihan
(PD Kebersihan)
Kota Bandung
menyelenggarakan pelayanan jasa kebersihan di bidang Pengelolaan Sampah untuk mewujudkan kondisi kota yang bersih dan memupuk pendapatan, dengan fungsinya yaitu 1) Perumusan kebijakan dan strategi pengelolaan kebersihan dan usaha jasa kebersihan di bidang Pengelolaan Sampah sejalan dengan visi dan misi Kota Bandung, 2) Penyelenggaraan pengelolaan kebersihan di bidang Pengelolaan Sampah kota meliputi penyapuan, pengumpulan, pengangkutan, pembuangan dan pengolahan akhir, dan 3) Penyelenggaraan usaha jasa pelayanan kebersihan di bidang Pengelolaan Sampah. Sistem operasional pelayanan kebersihan jalan, pasar komersial dan non komersial, fasilitas umum dan fasilitas sosial ditampilkan pada Gambar 6 dan Gambar 7. Selain pengelolaan sampah di Kota Bandung yang diserahkan kepda PD Kebersihan, pemerintah Kota Bandung mempunyai kebijakan untuk membangun pabrik pengolahan sampah menjadi energi listrik (PLTSa) di Gedebage sebagai salah satu upaya dalam mengatasi dan menyelesaikan masalah pengelolaan sampah di Kota Bandung yang semakin sulit dan berat. Dengan upaya ini, diharapkan nantinya tidak lagi tergantung kepada salah satu Tempat Pembuangan Akhir (TPA) yang ada di wilayah luar Kota Bandung.
67
Sumber: BPLH Kota Bandung, 2005 Gambar 6 Program Pengelolaan Sampah di Kota Bandung
68
TEKNIK OPERASIONAL
PENYAPUAN/ PENGUMPULAN
PEMINDAHAN KE TPS
PENGANGKUTAN
PEMBUANGAN KE TPA
DAUR ULANG
Sumber: PD Kebersihan Kota Bandung, Tahun 2008 Gambar 7 Operasional Pengelolaan Kebersihan Kota Bandung
Untuk mengetahui persepsi masyarakat dan pegawai terhadap kebijakan pengelolaan sampah di Kota Bandung dilihat dari faktor-faktor yang mempengaruhi pelaksanaan kebijakan pengelolaan sampah yang terdiri dari faktor komunikasi, sumberdaya, disposisi dan birokrasi disajikan sebagai berikut.
1. Komunikasi
dalam Pelaksanaan
Kebijakan
Pengelolaan Sampah
Perkotaan di Kota Bandung Pengukuran tingkat penerapan komunikasi dalam pelaksanaan kebijakan pengelolaan sampah di Kota Bandung berdasarkan penilaian pegawai dan masyarakat digolongkan dalam 5 (lima) kategori untuk setiap pernyataan yang diajukan, seperti ditampilkan mulai Tabel 7 sampai Tabel 12. Tabel 7 Kejelasan Informasi Pengelolaan Sampah
yang
Diterima
mengenai
Penilaian Pegawai Masyarakat 1 Sama Sekali Tidak Jelas 0.00% 44.33% 2 Tidak Jelas 4.11% 34.67% 3 Kurang Jelas 57.53% 4.00% 4 Jelas 38.36% 15.67% 5 Sangat Jelas 0.00% 1.33% Total 100.00% 100.00% Sumber: Hasil Pengumpulan Data Kuesioner No
Pilihan Jawaban
Kebijakan
69
Tabel 7 menunjukkan bahwa berdasarkan penilaian pegawai PD Kebersihan dan masyarakat Kota Bandung dalam menerapkan komunikasi berkaitan dengan kejelasan informasi yang diterima mengenai kebijakan pengelolaan sampah, memperlihatkan bahwa mayoritas pegawai menilai kurang jelas (57,53%), sedangkan mayoritas masyarakat menilai sama sekali tidak jelas (44.33%). Artinya pegawai dan masyarakat berkecenderungan merasakan ketidakjelasan terhadap informasi mengenai kebijakan pengelolaan sampah yang diterapkan di Kota Bandung, yang menunjukkan secara umum bahwa penerapan kebijakan pengelolaan sampah belum secara jelas tersampaikan baik kepada pegawai PD Kebersihan sebagai pelaksana pengelolaan sampah, maupun kepada masyarakat Kota Bandung sebagai penerima pelayanan pengelolaan sampah yang dilakukan oleh pemerintah Kota Bandung. Penilaian selanjutnya yang dilakukan oleh pegawai PD Kebersihan dan masyarakat Kota Bandung dalam menerapkan komunikasi berkaitan dengan penguasaan pegawai dalam pengetahuan mengenai masalah pengelolaan sampah di Kota Bandung, memperlihatkan bahwa mayoritas pegawai menilai sedikit menguasai (52,05%), sedangkan mayoritas masyarakat menilai pegawai kurang menguasai (38,67%) yang perinciannya ditampilkan pada Tabel 8. Tabel 8 Penguasaan Pegawai dalam Pengetahuan mengenai Masalah Pengelolaan Sampah di Kota Bandung Penilaian No Pilihan Jawaban Pegawai Masyarakat 1 Tidak Menguasai 0,00% 22,67% 2 Kurang Menguasai 16,44% 38,67% 3 Sedikit Menguasai 52,05% 3,67% 4 Menguasai 31,51% 34,00% 5 Sangat Menguasai 0,00% 1,00% Total 100.00% 100.00% Tabel 8 memperlihatkan bahwa pegawai menilai dirinya sedikit menguasai mengenai masalah pengelolaan sampah, namun masyarakat menilai pegawai kurang menguasai dalam pengetahuannya mengenai masalah pengelolaan sampah di Kota Bandung. Hal ini menunjukkan secara umum bahwa penerapan kebijakan pengelolaan sampah belum didukung oleh penguasaan pengetahuan pegawai PD
70
Kebersihan
sebagai
pelaksana
pengelolaan
sampah
dalam
menangani
permasalahan pengelolaan sampah di Kota Bandung. Perlu
adanya
peningkatan
pengetahuan
pegawai
tentang
teknis
pelaksanaan pengelolaan sampah yang dapat berupa pendidikan dan pelatihan teknis substansi pengelolaan sampah yang ditujukan untuk membekali atau meningkatkan pengetahuan pegawai dalam melaksanakan tugas dalam bidang pengelolaan sampah (misalnya Diklat penerapan teknologi pengolahan sampah dan pendayagunaan sampah yang bernilai ekonomi). Tabel 9 memperlihatkan penilaian pegawai dan masyarakat berkaitan dengan kecepatan pesan yang diterima dalam menginformasikan perkembangan kebijakan pegelolaan sampah yang ditetapkan oleh pemerintah. Tabel 9 Kecepatan Pesan yang Diterima dalam Menginformasikan Perkembangan berkaitan dengan Kebijakan Pegelolaan Sampah yang Ditetapkan oleh Pemerintah Penilaian No Pilihan Jawaban Pegawai Masyarakat 1 Sangat Lambat Diberikan 6,85% 43,67% 2 Lambat Diberikan 17,81% 37,67% 3 Kadang-Kadang Cepat 43,84% 5,00% Diberikan 4 Sering Cepat Diberikan 31,51% 13,33% 5 Selalu Cepat Diberikan 0,00% 0,33% Total 100,0% 100,00% Tabel 9 yang mengukur kecepatan pesan yang diterima dalam menginformasikan perkembangan kebijakan pegelolaan sampah yang ditetapkan oleh pemerintah memperlihatkan bahwa pegawai menilai kadang-kadang cepat diberikan (43,84%), sedangkan mayoritas masyarakat menilai sangat lambat diberikan (43,67%). Artinya bahwa kebijakan pengelolaan sampah di Kota Bandung secara umum dalam hal pelaksanaan pengkomunikasian berupa kecepatan pesan yang diterima dalam menginformasikan perkembangan berkaitan dengan kebijakan Pengelolaan Sampah yang ditetapkan oleh pemerintah dapat dikatakan lambat diberikan. Lambatnya informasi pekembangan kebijakan pengelolaan sampah yang dikeluarkan pemerintah baik kepada para tenaga pelaksana, maupun kepada
71
masyarakat karena kurangnya sosialisasi yang dilakukan pemerintah berkaitan dengan perkembangan kebijakan pengelolaan sampah. Perlu adanya sarana komunikasi yang terkoordinasi dengan baik di dalam internal organisasi pemerintahan yang dapat menginformasikan setiap perkembangan-perkembangan baru dalam pelaksanaan kebijakan pengelolaan sampah, sehingga dapat menjangkau tenaga teknis pelaksana kebijakan pengelolaan sampah. Selain itu sosialisasi kepada masyarakat mempergunakan bantuan media massa televisi dapat diterapkan dalam bentuk program layanan masyarakat yang dapat menjangkau lebih banyak masyarakat. Meskipun lambat diberikannya informasi berkaitan dengan perkembangan kebijakan pengelolaan sampah, namun dalam hal frekuensi penyampaiannya berkecenderungan sering dilakukan oleh pemerintah Kota Bandung. Seperti terlihat pada Tabel 10. Tabel 10 Frekwensi Penyampaian Informasi Pemerintah Berkaitan dengan Perkembangan Pengelolaan Sampah Penilaian No Pilihan Jawaban Pegawai Masyarakat Tidak Pernah 2,74% 13,33% 1 Jarang 15,07% 24,33% 2 Kadang-Kadang 38,36% 4,33% 3 Sering 43,84% 57,00% 4 Selalu 0,00% 1,00% 5 Total 100,0% 100,00% Tabel 10 ini menunjukkan bahwa berdasarkan penilaian pegawai PD Kebersihan dan masyarakat Kota Bandung dalam menerapkan komunikasi berkaitan dengan frekwensi penyampaian informasi pemerintah berkaitan dengan perkembangan
Pengelolaan
Sampah,
terjadi
kesamaan
penilaian
yang
memperlihatkan bahwa mayoritas pegawai menilai sering dilakukan (43,84%), dan mayoritas masyarakat menilai juga sering dilakukan (57,00%). Artinya kebijakan pengelolaan sampah di Kota Bandung dalam hal pelaksanaan pengkomunikasian
berkaitan
dengan
frekwensi
penyampaian
informasi
pemerintah berkaitan dengan perkembangan Pengelolaan Sampah, dapat
72
dikatakan baik karena secara umum sering dilakukan oleh Pemerintah Kota Bandung. Selajutnya pada Tabel 11 diperlihatkan hasil penilaian pegawai PD Kebersihan dan masyarakat Kota Bandung berkaitan dengan ketepatan dan kesesuaian pelaksanaan kebijakan pengelolaan sampah yang diterapkan oleh pemerintah daerah. Tabel 11 Ketepatan dan Kesesuaian Pelaksanaan Kebijakan Pengelolaan Sampah yang Diterapkan oleh Pemerintah Penilaian No Pilihan Jawaban Pegawai Masyarakat 1 Tidak pernah sesuai dengan pedoman pelaksanaan 2,74% 33,00% 2 Jarang sesuai dengan pedoman pelaksanaan 19,18% 39,33% 3 Kadang sesuai dengan pedoman pelaksanaan 35,62% 5,00% 4 Sering sesuai dengan pedoman pelaksanaan 42,47% 21,00% 5 Selalu sesuai dengan pedoman pelaksanaan 0,00% 1,67% 100,00% Total 100,00% Tabel 11 menunjukkan bahwa berdasarkan penilaian pegawai PD Kebersihan dan masyarakat Kota Bandung dalam menerapkan komunikasi berkaitan dengan ketepatan dan kesesuaian pelaksanaan kebijakan Pengelolaan Sampah yang diterapkan oleh pemerintah, terjadi perbedaan penilaian yang memperlihatkan bahwa mayoritas pegawai menilai sering sesuai dengan pedoman (42,47%), sedangkan mayoritas masyarakat menilai jarang sesuai dengan pedoman (39,33%). Artinya kebijakan pengelolaan sampah di Kota Bandung dalam hal pelaksanaan pengkomunikasian berkaitan dengan ketepatan dan kesesuaian pelaksanaan kebijakan Pengelolaan Sampah yang diterapkan oleh pemerintah secara umum dapat dikatakan sering sesuai menurut penilaian pegawai PD Kebersihan sebagai pelaksana kebijakan pengelolaan sampah, karena setiap pegawai dituntut untuk selalu bertindak sesuai dengan pedoman pelaksanaan yang ditetapkan. Namun penilaian masyarakat Kota Bandung menilai jarang sesuai
73
dengan pedoman karena masyarakat merasakan hasil pengelolaan sampah yang dilakukan para pegawai PD Kebersihan tidak memperlihatkan hasil yang sesuai dengan harapan masyarakat yang menginginkan timbulan sampah tidak terjadi di TPS-TPS. Penyelesaian masalah pengelolaan sampah yang disampaikan melalui informasi oleh pemerintah daerah berkaitan dengan kebijakan pengelolaan sampah, hasil penilaian pegawai PD Kebersihan dan masyarakat Kota Bandung diperlihatkan pada Tabel 12. Tabel 12 Penyelesaian Masalah dengan Adanya Informasi yang Diberikan Pemerintah Berkaitan dengan Kebijakan Pengelolaan Sampah Penilaian No Pilihan Jawaban Pegawai Masyarakat 1 Tidak pernah dapat menyelesaikan masalah 2,74% 52,33% 2 Jarang dapat menyelesaikan masalah 19,18% 35,33% 3 Kadang dapat menyelesaikan masalah 30,14% 3,67% 4 Sering dapat menyelesaikan masalah 47,95% 7,33% 5 Selalu dapat menyelesaikan masalah 0,00% 1,33% Total 100,0% 100,00% Tabel 12 menunjukkan bahwa berdasarkan penilaian pegawai PD Kebersihan dan masyarakat Kota Bandung dalam menerapkan komunikasi berkaitan dengan penyelesaian masalah dengan adanya informasi yang diberikan pemerintah berkaitan dengan kebijakan Pengelolaan Sampah, memperlihatkan bahwa mayoritas pegawai menilai sering dapat menyelesaikan masalah (47,95%), sedangkan mayoritas masyarakat menilai tidak pernah dapat menyelesaikan masalah (52,33%). Artinya kebijakan pengelolaan sampah di Kota Bandung dalam hal pelaksanaan pengkomunikasian berkaitan dengan penyelesaian masalah dengan adanya informasi yang diberikan pemerintah berkaitan dengan kebijakan Pengelolaan Sampah, secara umum belum dapat menyelesaikan permasalah pengelolaan sampah di Kota Bandung. Meskipun menurut penilaian pegawai PD
74
Kebersihan
informasi
yang
diberikan
pemerintah
daerah
sudah
dapat
menyelesaikan permasalahan pengelolaan sampah, hal ini karena pegawai PD Kebersihan sebagai pelaksana kebijakan pastinya merasakan bahwa berbagai kegiatan yang dilakukan dalam pengelolaan sampah di Kota Bandung mengacu berdasarkan informasi yang diberikan oleh pemerintah Daerah. Hasil analisis berdasarkan penilaian pegawai PD Kebersihan dan masyarakat Kota Bandung memperlihatkan bahwa penerapan komunikasi dalam pelaksanaan kebijakan pengelolaan sampah di Kota Bandung masih kurang baik. Hal ini terlihat dari penyampaian informasi berkaitan dengan kebijakan pengelolaan sampah oleh pelaksana kebijakan kepada masyarakat yang masih belum jelas, lambatnya penyampaian informasi terkini berkaitan dengan pengelolaan sampah belum merata, dan tidak sesuainya pelaksanaan kegiatan pengelolaan sampah dengan harapan masyarakat. Hal ini akan menyebabkan tingkat partisipasi masyarakat yang kurang. Peran pegawai yang masih rendah dalam mengkomunikasikan kegiatan-kegiatan berkaitan dengan pengelolaan sampah diindikasikan dari rendahnya komunikasi yang dilakukan pegawai. Berdasarkan wawancara dengan pihak PD Kebersihan hal ini disebabkan oleh tingkat pendidikan pegawai yang mayoritas masih pada tingkat sekolah menengah pertama, dan jarang dilakukan pelatihan berkaitan dengan pengkomunikasian kebijakan pengelolaan sampah kepada masyarakat. Partisipasi masyarakat merupakan hal yang sangat penting dalam pengelolaan sampah. Oleh karena itu pelaksanaan kebijakan pengelolaan sampah harus melibatkan peran serta masyarakat dalam aspek teknis pengelolaannya. Hal ini dapat dilakukan misalnya dengan pemisahan sampah organik dan sampah anorganik pada skala rumah tangga.
2.
Sumberdaya dalam Pelaksanaan Kebijakan Pengelolaan Sampah di Kota Bandung Pengukuran tingkat penggunaan sumberdaya dalam pelaksanaan kebijakan
pengelolaan sampah di Kota Bandung berdasarkan penilaian pegawai dan
75
masyarakat digolongkan dalam 5 (lima) kategori untuk setiap pernyataan yang diajukan, seperti ditampilkan mulai Tabel 13 sampai Tabel 15. Tabel 13 Perolehan Sumber Daya Informasi yang Dibutuhkan Pelaksanaan Berkaitan dengan Kebijakan Pengelolaan Sampah Penilaian No Pilihan Jawaban Pegawai Masyarakat 6,85% 42,00% 1 Tidak pernah diperoleh 16,44% 36,67% 2 Jarang diperoleh 32,88% 7,67% 3 Kadang diperoleh 43,84% 12,00% 4 Sering diperoleh 0,00% 1,67% 5 Selalu diperoleh Total 100,0% 100,00%
Tabel 13 menunjukkan bahwa berdasarkan penilaian pegawai PD Kebersihan dan masyarakat Kota Bandung dalam keberadaan sumberdaya berkaitan dengan perolehan sumber daya informasi yang dibutuhkan pelaksanaan berkaitan dengan kebijakan Pengelolaan Sampah, mayoritas pegawai menilai sering diperoleh (43,84%), sedangkan mayoritas masyarakat menilai tidak pernah diperoleh (42,00%). Artinya kebijakan pengelolaan sampah di Kota Bandung dalam hal keberadaan sumberdaya berkaitan dengan perolehan sumber daya informasi yang dibutuhkan pelaksanaan berkaitan dengan kebijakan pengelolaan sampah, dapat dikatakan sering diperoleh menurut persepsi pegawai PD Kebersihan, namun sumberdaya informasi tidak diperoleh menurut persepsi masyarakat Kota Bandung. Hal ini menunjukkan secara umum bahwa penerapan kebijakan pengelolaan sampah tidak didukung oleh sumberdaya informasi sehingga pelaksanaan kebijakan pengelolaan sampah kepada masyarakat Kota Bandung belum tersosialisasikan sampai ke masyarakat. Berkaitan dengan kegunaan sarana dan prasarana bantuan pemerintah berupa peralatan dalam mendukung pelaksanaan kebijakan menurut persepsi pegawai PD Kebersihan dan masyarakat Kota Bandung ditampilkan pada Tabel 14.
76
Tabel 14
Kegunaan Sarana dan Prasarana Bantuan Pemerintah berupa Peralatan Penilaian No Pilihan Jawaban Pegawai Masyarakat 5,48% 36,00% 1 Tidak pernah tepat guna 12,.33% 29,67% 2 Jarang tepat guna 39,73% 8,33% 3 Kadang tepat guna 42,47% 23,33% 4 Sering tepat guna 0,00% 2,67% 5 Selalu tepat guna Total 100,0% 100,00% Tabel 14 menunjukkan bahwa berdasarkan penilaian pegawai PD
Kebersihan dan masyarakat Kota Bandung dalam keberadaan sumberdaya berkaitan dengan kegunaan sarana dan prasarana bantuan pemerintah berupa peralatan, terjadi perbedaan penilaian yang memperlihatkan bahwa mayoritas pegawai menilai sering tepat guna (42,47%), sedangkan mayoritas masyarakat menilai tidak pernah tepat guna (36,00%). Artinya kebijakan pengelolaan sampah di Kota Bandung dalam hal keberadaan sumberdaya berkaitan dengan kegunaan sarana dan prasarana bantuan pemerintah berupa peralatan, dapat dikatakan sering tepat guna menurut persepsi pegawai PD Kebersihan, namun menurut masyarakat Kota Bandung tidak pernah tepat guna. Hal ini menunjukkan bahwa penerapan kebijakan pengelolaan sampah dalam ketepatan penggunaan sarana dan prasarana bantuan pemerintah menurut masyarakat Kota Bandung belum tepat guna ditujukan pada masyarakat Kota Bandung. Penggunaan sumberdaya manusia yaitu pegawai PD Kebersihan sebagai tenaga
pelaksana
kebijakan
pengelolaan
sampah
berdasarkan
penilaian
pegawainya dan masyarakat Kota Bandung diperlihatkan pada Tabel 15. Tabel 15 Sumber Daya Manusia atau Tenaga Pelaksana Kebijakan Pengelolaan Sampah Penilaian No Pilihan Jawaban Pegawai Masyarakat 5,48% 24,67% 1 Sangat tidak memadai 26,03% 38,00% 2 Tidak memadai 35,62% 11,00% 3 Cukup memadai 32,88% 24,00% 4 Memadai 0,00% 2,33% 5 Sangat memadai Total 100,0% 100,00%
mengenai
77
Tabel 15 menunjukkan bahwa berdasarkan penilaian pegawai PD Kebersihan dan masyarakat Kota Bandung dalam keberadaan sumberdaya berkaitan dengan sumber daya manusia atau tenaga pelaksana mengenai kebijakan Pengelolaan Sampah, terjadi perbedaan penilaian yang memperlihatkan bahwa mayoritas pegawai menilai cukup memadai (35,62%), sedangkan mayoritas masyarakat menilai tidak memadai (38,00%). Artinya kebijakan pengelolaan sampah di Kota Bandung dalam hal keberadaan sumberdaya berkaitan dengan sumber daya manusia atau tenaga pelaksana mengenai kebijakan Pengelolaan Sampah, dapat dikatakan tidak memadai. Hal ini menunjukkan bahwa keberadaan sumberdaya manusia berupa pegawai PD Kebersihan tidak memadai, dan berdasarkan hasil wawancara dengan pihak PD Kebersihan bahwa tidak memadainya pegawai terlihat dari jumlah pegawai (1.852 pegawai) maupun kualitas pegawainya yang masih banyak berpendidikan setingkat pendidikan menengah pertama meskipun mayoritas setingkat SLTA.
3. Disposisi dalam Pelaksanaan Kebijakan Pengelolaan Sampah di Kota Bandung Pengukuran tingkat penerapan disposisi dalam pelaksanaan kebijakan pengelolaan sampah di Kota Bandung berdasarkan penilaian pegawai dan masyarakat digolongkan dalam 5 (lima) kategori untuk setiap pernyataan yang diajukan, seperti ditampilkan mulai Tabel 16 sampai Tabel 21. Tabel 16 Pemahaman Pelaksana Petugas Kebersihan tentang Kebijakan Pengelolaan Sampah No 1 2 3 4 5
Penilaian Pegawai Masyarakat Sangat tidak memahami 5,48% 49,67% Tidak memahami 32,88% 29,33% Cukup memahami 30,14% 6,00% Memahami 31,51% 13,00% Sangat memahami 0,00% 2,00% Total 100,0% 100,00% Pilihan Jawaban
78
Tabel 16 menunjukkan bahwa berdasarkan penilaian pegawai PD Kebersihan dan masyarakat Kota Bandung dalam menerapkan disposisi berkaitan dengan pemahaman pelaksana petugas kebersihan tentang kebijakan Pengelolaan Sampah, terjadi perbedaan penilaian yang memperlihatkan bahwa mayoritas pegawai menilai tidak memahami (32,88%), sedangkan mayoritas masyarakat menilai sama sekali tidak memahami (49,67%). Artinya kebijakan pengelolaan sampah di Kota Bandung dalam hal pelaksanaan disposisi berkaitan dengan pemahaman pelaksana petugas kebersihan tentang kebijakan Pengelolaan Sampah, dapat dikatakan tidak memahami dalam informasi-informasi yang diperoleh dalam pelaksanaan kebijakan pengelolaan sampah. Penilaian pegawai PD Kebersihan dan masyarakat Kota Bandung berkaitan dengan kesesuaian pengetahuan petugas pelaksana dengan kebutuhan masyarakat
berkaitan
dengan
masalah
kebijakan
pengelolaan
sampah
diperlihatkan pada Tabel 17. Tabel 17 Kesesuaian Pengetahuan Petugas Pelaksana dengan Kebutuhan Masyarakat Berkaitan dengan Masalah Kebijakan Pengelolaan Sampah Penilaian No Pilihan Jawaban Pegawai Masyarakat 1 Sangat tidak mengetahui 1,37% 69,67% 2 Tidak mengetahui 8,22% 24,00% 3 Cukup mengetahui 45,21% 2,67% 4 Mengetahui 45,21% 2,67% 5 Sangat mengetahui 0,00% 1,00% Total 100,0% 100,00% Tabel 17 menunjukkan bahwa berdasarkan penilaian pegawai PD Kebersihan dan masyarakat Kota Bandung dalam menerapkan disposisi berkaitan dengan pengetahuan petugas pelaksana sesuai dengan kebutuhan masyarakat berkaitan dengan masalah kebijakan Pengelolaan Sampah, terjadi perbedaan penilaian yang memperlihatkan bahwa mayoritas pegawai menilai cukup mengetahui dan mengetahui (masing-masing 45,21%), sedangkan mayoritas masyarakat menilai sangat tidak mengetahui (69,67%). Artinya kebijakan pengelolaan sampah di Kota Bandung dalam hal pelaksanaan disposisi berkaitan
79
dengan pengetahuan petugas pelaksana sesuai dengan kebutuhan masyarakat berkaitan dengan masalah kebijakan Pengelolaan Sampah, dapat dikatakan sangat tidak mengetahui. Penilaian pegawai PD Kebersihan dan masyarakat Kota Bandung berkaitan dengan penerapan dalam pelaksanaan tentang kebijakan pengelolaan sampah diperlihatkan pada Tabel 18. Tabel 18 Penerapan dalam Pelaksanaan tentang Kebijakan Pengelolaan Sampah Penilaian Pilihan Jawaban No Pegawai Masyarakat 0,00% 6,67% 1 Seluruhnya tidak dapat diterapkan 4,11% 20,67% 2 Banyak yang tidak dapat diterapkan 38,36% 8,33% 3 Sedikit yang dapat diterapkan 4 Sebagian besar dapat diterapkan 57,53% 61,33% 0,00% 3,00% 5 Seluruhnya dapat diterapkan Total 100,0% 100,00% Tabel 18 menunjukkan bahwa berdasarkan penilaian pegawai PD Kebersihan dan masyarakat Kota Bandung dalam menerapkan disposisi berkaitan dengan penerapan dalam pelaksanaan tentang kebijakan Pengelolaan Sampah, terjadi perbedaan penilaian yang memperlihatkan bahwa mayoritas pegawai menilai sebagian besar dapat diterapkan (57,53%), sedangkan mayoritas masyarakat juga menilai sebagian besar dapat diterapkan (61,33%). Artinya kebijakan pengelolaan sampah di Kota Bandung dalam hal pelaksanaan disposisi berkaitan dengan penerapan dalam pelaksanaan tentang kebijakan pengelolaan sampah, dapat dikatakan sebagian besar dapat diterapkan. Penilaian pegawai PD Kebersihan dan masyarakat Kota Bandung berkaitan dengan sikap aparat pemerintah dalam menjalankan tugas pengelolaan sampah pada umumnya diperlihatkan pada Tabel 19.
80
Tabel 19 Kejujuran Aparat Pemerintah dalam Menjalankan Tugas Pengelolaan Sampah pada Umumnya Penilaian No Pilihan Jawaban Pegawai Masyarakat 4,11% 7,33% 1 Sangat tidak jujur 41,10% 17,33% 2 Tidak jujur 34,25% 4,33% 3 Kurang jujur 20,55% 66,67% 4 Cukup jujur 0,00% 4,33% 5 Sangat jujur Total 100,0% 100,00% Tabel 19 menunjukkan bahwa berdasarkan penilaian pegawai PD Kebersihan dan masyarakat Kota Bandung dalam menerapkan disposisi berkaitan dengan sikap aparat pemerintah dalam menjalankan tugas pengelolaan sampah pada umumnya, terjadi perbedaan penilaian yang memperlihatkan bahwa mayoritas pegawai menilai tidak jujur (41,10%), sedangkan mayoritas masyarakat menilai cukup jujur (66,67%). Artinya kebijakan Pengelolaan Sampah di Kota Bandung dalam hal pelaksanaan disposisi berkaitan dengan sikap aparat pemerintah dalam menjalankan tugas pengelolaan sampah pada umumnya, dapat dikatakan cukup jujur. Kejujuran pegawai dalam menjalankan kebijakan pengelolaan sampah dibutuhkan, selain berhubungan dengan pendanaan dalam memberikan pelayanan kepada masyarakat, juga berkaitan dengan kegiatankegiatan dalam melaksanakan kebijakan pengelolaan sampah. Tabel 20 Komitmen Aparat Pemerintah dalam Menjalankan Tugas Pengelolaan Sampah pada Umumnya Penilaian No Pilihan Jawaban Pegawai Masyarakat 1 Sangat tidak komit terhadap tugas yang diemban 8,22% 7,33% 2 Tidak komit terhadap tugas yang diemban 27,40% 21,33% 3 Kurang komit terhadap tugas yang diemban 43,84% 9,00% 4 Komit terhadap tugas yang diembannya 20,55% 58,00% 5 Sangat komit terhadap tugas yang diemban 0,00% 4,33% Total 100,0% 100,00%
81
Tabel 20 menunjukkan bahwa berdasarkan penilaian pegawai PD Kebersihan dan masyarakat Kota Bandung dalam menerapkan disposisi berkaitan dengan komitmen aparat pemerintah dalam menjalankan tugas pengelolaan sampah pada umumnya, terjadi perbedaan penilaian yang memperlihatkan bahwa mayoritas pegawai menilai kurang komit terhadap tugas yang diemban (43,84%), sedangkan mayoritas masyarakat menilai komit terhadap tugas yang diemban (58,00%). Artinya kebijakan Pengelolaan Sampah di Kota Bandung dalam hal pelaksanaan disposisi berkaitan sikap aparat pemerintah dalam menjalankan tugas pengelolaan sampah pada umumnya, dapat dikatakan komit terhadap tugas yang diemban. Tabel 21 Sikap Aparat Pemerintah dalam Prioritas Menjalankan Tugas Pengelolaan Sampah pada Umumnya Penilaian No Pilihan Jawaban Pegawai Masyarakat 1 Sangat tidak memprioritaskan keberhasilan kebijakan 0,00% 8,33% 2 Tidak memprioritaskan keberhasilan kebijakan 6,85% 7,67% 3 Kurang memprioritaskan keberhasilan kebijakan 52,05% 1,67% 4 Memprioritaskan keberhasilan kebijakan 41,10% 74,33% 5 Sangat memprioritaskan keberhasilan kebijakan 0,00% 8,00% Total 100,0% 100,00% Tabel 21 menunjukkan bahwa berdasarkan penilaian pegawai PD Kebersihan dan masyarakat Kota Bandung dalam menerapkan disposisi berkaitan dengan sikap aparat pemerintah dalam prioritas menjalankan tugas pengelolaan sampah pada umumnya, terjadi perbedaan penilaian yang memperlihatkan bahwa mayoritas pegawai menilai kurang memperioritaskan keberhasilan kebijakan (52,05%),
sedangkan
mayoritas
masyarakat
menilai
memperioritaskan
keberhasilan kebijakan (74,33%). Artinya kebijakan pengelolaan sampah di Kota Bandung dalam hal pelaksanaan disposisi berkaitan dengan sikap aparat
82
pemerintah dalam menjalankan tugas pengelolaan sampah pada umumnya, dapat dikatakan memperioritaskan keberhasilan kebijakan.
4. Birokrasi dalam Pelaksanaan Kebijakan Pengelolaan Sampah di Kota Bandung Pengukuran tingkat penerapan birokrasi dalam pelaksanaan kebijakan pengelolaan sampah di Kota Bandung berdasarkan penilaian pegawai dan masyarakat digolongkan dalam 5 (lima) kategori untuk setiap pernyataan yang diajukan, seperti ditampilkan mulai Tabel 22 sampai Tabel 25. Tabel 22 Kejelasan Pembagian Tugas Aparat Pemerintah dalam hal Menjalankan Tugas Pengelolaan Sampah Penilaian No Pilihan Jawaban Pegawai Masyarakat Sangat tidak terlihat jelas 1 pembagian tugasnya 2,74% 7,33% Tidak terlihat jelas pembagian 2 tugasnya 4,11% 22,00% Kurang terlihat jelas 3 pembagian tugasnya 56,16% 10,33% Cukup terlihat jelas pembagian 4 tugasnya 36,99% 58,33% Sangat terlihat jelas pembagian 5 tugasnya 0,00% 2,00% Total 100,0% 100,00% Tabel 22 menunjukkan bahwa berdasarkan penilaian pegawai PD Kebersihan dan masyarakat Kota Bandung dalam menerapkan komunikasi berkaitan dengan kejelasan pembagian tugas aparat pemerintah dalam hal menjalankan tugas pengelolaan sampah, terjadi perbedaan penilaian yang memperlihatkan bahwa mayoritas pegawai menilai kurang jelas (56,16%), sedangkan mayoritas masyarakat menilai cukup jelas (58,33%). Artinya kebijakan pengelolaan sampah di Kota Bandung dalam hal pelaksanaan pengkomunikasian berkaitan dengan kejelasan pembagian tugas aparat pemerintah dalam hal menjalankan tugas pengelolaan sampah, dapat dikatakan sudah cukup jelas.
83
Berkaitan dengan penilaian pegawai PD Kebersihan dan masyarakat Kota Bandung dalam tanggungjawab aparat pemerintah dalam menjalankan tugas pengelolaan sampah pada umumnya diperlihatkan pada Tabel 23. Tabel 23 Tanggungjawab Aparat Pemerintah dalam Menjalankan Tugas Pengelolaan Sampah pada Umumnya Penilaian No Pilihan Jawaban Pegawai Masyarakat 0,00% 8,00% 1 Sangat tidak bertanggung jawab 9,59% 17,67% 2 Tidak bertanggung jawab 58,90% 9,00% 3 Kurang bertanggung jawab 31,51% 61,67% 4 Bertanggung jawab 0,00% 3,67% 5 Sangat bertanggung jawab Total 100,0% 100,00% Tabel 23 menunjukkan bahwa berdasarkan penilaian pegawai PD Kebersihan dan masyarakat Kota Bandung dalam menerapkan komunikasi berkaitan dengan tanggungjawab aparat pemerintah dalam menjalankan tugas pengelolaan sampah pada umumnya, terjadi perbedaan penilaian
yang
memperlihatkan bahwa mayoritas pegawai menilai kurang bertanggungjawab (58,90%), sedangkan mayoritas masyarakat menilai bertanggungjawab (61,67%). Artinya kebijakan pengelolaan sampah di Kota Bandung dalam hal pelaksanaan pengkomunikasian berkaitan dengan tanggungjawab aparat pemerintah dalam menjalankan tugas pengelolaan sampah pada umumnya, dapat dikatakan bertanggungjawab. Berkaitan dengan penilaian pegawai PD Kebersihan dan masyarakat Kota Bandung dalam kejelasan wewenang aparat pemerintah dalam menjalankan tugas pengelolaan sampah diperlihatkan pada Tabel 24. Tabel 24 Kejelasan Wewenang Aparat Pemerintah dalam Menjalankan Tugas Pengelolaan Sampah pada Umumnya Penilaian No Pilihan Jawaban Pegawai Masyarakat 0,00% 27,33% 1 Tidak jelas 8,22% 45,00% 2 Kurang jelas 58,90% 6,00% 3 Kadang jelas 32,88% 17,33% 4 Jelas 0,00% 4,33% 5 Sangat jelas Total 100,0% 100,00%
84
Tabel 24 menunjukkan bahwa berdasarkan penilaian pegawai PD Kebersihan dan masyarakat Kota Bandung dalam menerapkan komunikasi berkaitan dengan kejelasan wewenang aparat pemerintah dalam menjalankan tugas pengelolaan sampah pada umumnya, terjadi perbedaan penilaian yang memperlihatkan bahwa mayoritas pegawai menilai kadang jelas (58,90%), sedangkan mayoritas masyarakat menilai kurang jelas (45,00%). Artinya kebijakan pengelolaan sampah di Kota Bandung dalam hal pelaksanaan pengkomunikasian berkaitan dengan kejelasan wewenang aparat pemerintah dalam menjalankan tugas pengelolaan sampah pada umumnya, dapat dikatakan kurang jelas. Berkaitan dengan penilaian pegawai PD Kebersihan dan masyarakat Kota Bandung dalam kejelasan koordinasi yang dilakukan aparat pemerintah dalam menjalankan tugas pengelolaan sampah diperlihatkan pada Tabel 25. Tabel 25 Kejelasan Koordinasi yang Dilakukan Aparat Pemerintah dalam Menjalankan Tugas Pengelolaan Sampah pada Umumnya Penilaian No Pilihan Jawaban Pegawai Masyarakat Tidak jelas 1 0,00% 27,67% Kurang jelas 2 5,48% 41,33% Kadang jelas 3 64,38% 4,00% Jelas 4 30,14% 23,33% Sangat jelas 5 0,00% 3,67% Total 100,0% 100,00% Tabel 25 menunjukkan bahwa berdasarkan penilaian pegawai PD Kebersihan dan masyarakat Kota Bandung dalam menerapkan birokrasi berkaitan dengan kejelasan koordinasi
yang dilakukan aparat
pemerintah dalam
menjalankan tugas pengelolaan sampah pada umumnya, terjadi perbedaan penilaian yang memperlihatkan bahwa mayoritas pegawai menilai kadang jelas (64,38%), sedangkan mayoritas masyarakat menilai kurang jelas (41,33%). Artinya kebijakan pengelolaan sampah di Kota Bandung dalam hal pelaksanaan pengkomunikasian berkaitan dengan kejelasan koordinasi yang dilakukan aparat pemerintah dalam menjalankan tugas pengelolaan sampah pada umumnya, dapat dikatakan kurang jelas.
85
Berdasarkan hasil pengumpulan data pada aspek komunikasi, masyarakat Kota Bandung tidak mengetahui secara umum berkaitan dengan kebijakan pengelolaan sampah yang diterapkan oleh Pemerintah Kota Bandung. Masyarakat masih menganggap bahwa sampah tidak memiliki nilai ekonomis, bahkan masih mengganggap bahwa khususnya sampah rumah tangga merupakan beban biaya yang dikeluarkan untuk membuang sampah. Pada aspek sumberdaya, khususnya dalam hal sumber pendanaan, Pemerintah Kota Bandung menerapkan retribusi sampah sebagai salah satu sumber PAD dan sumber pendanaan dalam penyelenggaraan pelayanan pengelolaan sampah. Fenomena yang terjadi berkaitan dengan pendanaan ini yaitu adanya 2 (dua) kali pungutan sampah yang harus dibayar oleh masyarakat. Pertama, pungutan berupa iuran sampah bulanan yang dikelola oleh RW setempat dalam pengelolaan sampah berupa kegiatan pengumpulan sampah dari rumah penduduk ke TPS. Sedangkan yang kedua pungutan berupa retribusi sampah (pada saat pembayaran listrik PLN) yang dipungut oleh PD Kebersihan dalam pengelolaan sampah berupa kegiatan pengangkutan sampah dari TPS ke TPA. Pada aspek disposisi, para pegawai PD Kebersihan yang belum memiliki sikap mendukung kebijakan pengelolaan sampah,
akan
menyebabkan
kurangnya
efektivitas
keberhasilan
dalam
pengelolaan sampah. Pemerintah Kota Bandung pada aspek birokrasi, menempatkan PD Kebersihan sebagai Badan Usaha Milik Daerah yang melakukan pengelolaan sampah di Kota Bandung. Namun pengelolaan sampah perkotaan yang dilakukan PD Kebersihan hanya difokuskan pada pengelolaan sampah dalam hal pengangkutan sampah dari TPS ke TPA. Selain itu, konsep pelayanan publik yang diamanatkan dalam Pasal 28H ayat (1) Undang-Undang Dasar Tahun 1945 memberikan hak kepada setiap orang untuk mendapatkan lingkungan hidup yang baik dan sehat. Amanat Undang-Undang Dasar tersebut memberikan konsekuensi bahwa pemerintah wajib memberikan pelayanan publik dalam pengelolaan sampah. Hal itu membawa konsekuensi hukum bahwa pemerintah merupakan pihak yang berwenang dan bertanggung jawab di bidang pengelolaan sampah meskipun secara operasional pengelolaannya dapat bermitra dengan badan usaha.
86
Selain itu organisasi dan atau kelompok masyarakat pengelola sampah dapat juga diikut sertakan dalam kegiatan pengelolaan sampah. Beberapa pokok pikiran sebagai rumusan hasil Focus Group Discussion (FGD) dengan pihak PD Kebersihan, Dinas Kesehatan, BPLHD, tokoh masyarakat, dan kelurahan berkaitan dengan kebijakan pengelolaan sampah adalah sebagai berikut: 1. Penanganan masalah lingkungan hidup perkotaan dan upaya-upaya yang dilakukan Pemerintah Kota Bandung bahwa; a. Penanganan sampah harus ditanggulangi semua pihak b. Apabila sampah ditangani secara serius, maka sampah bukan lagi musuh tapi sahabat, karena bisa didaur ulang dan dapat menghasilkan peningkatan ekonomi c. Air limbah bila diolah tidak akan merugikan d. Kendala utama adalah masalah sumberdaya manusianya karena Undangundang dan aspek Hukum yang sudah lengkap, namun sosialisasi belum sepenuhnya dilaksanakan e. Harus ada keterpaduan antara pemerintah, swasta dan masyarakat 2. Pemberdayaan Masyarakat di lokasi pembuangan sampah a. Sampah bukan lawan, tapi kawan dan mempunyai sumber daya yang bernilai ekonomi. b. Merubah paradigma perilaku masyarakat mulai dari keluarga untuk memilah dan memilih sampah c. Pola pembuangan menjadi pengolahan sampah keluarga, TPS baru. d. Upaya penanganan sampah harus tetap dilakukan melalui sosialisasi dalam pengelolaan sampah kepada semua komponen melalui berbagai lembaga sosial masyarakat. e. Upaya pengembangan pembentukan kelompok usaha produktif f. Pengembangan Pengolahan melalui metode 3R (Reduce, Reuse, Recycle) dan Empowerment. g. Mekanisme operasional pengelolaan sampah melalui PKK h. Kompos digunakan oleh KWT (Kelompok Wanita Tani)
87
3. Pokok-pokok Pikiran Akademis dalam mengatasi masalah sampah : a. Sampah bukan harus dibuang, tetapi harus dikelola b. Pengelolannya perlu memberdayakan masyarakat c. Terbuka peluang usaha d. Pelaksanaan perlu melibatkan pihak : masyarakat, swasta/mitra kerja, pemerintah. a. Harapan penduduk/masyarakat yang bermukim dekat TPA bahwa sampah semula jadi masalah yang besar, namun bila dikelola dengan baik dapat meningkatkan ekonomi keluarga. 4. Pokok-Pokok Pikiran dalam mengatasi masalah Pengelolaan Sampah di perkotaan : a. Sampah bisa menjadi nilai ekonomi b. Dalam pelaksanaannya fenomena sampah mengundang institusi lokal c. Pemerintah/dunia usaha/masyarakat harus sinergis menanggulangi sampah dengan pendekatan bisnis. d. Dianjurkan penanggulangan sampah skala komunal terbatas 1 (satu) RT atau per 100 rumah. e. Peran pendidikan dan sosialisasi dengan Perda secara intensif dan sanksi.
5.2
Faktor Dominan yang Mempengaruhi Pelaksanaan Kebijakan Pengelolaan Sampah di Kota Bandung Pengolahan data dari hasil penilaian responden terhadap kuesioner yang
berskala Likert (tingkat skala pengukuran ordinal) agar dapat diolah dengan mempergunakan Analisis Faktor, maka digunakan data berskala minimal interval dengan cara menaikkan skala pengukurannya dari skala ordinal dengan format Likert ke skala interval dengan mempergunakan Metoda Successive Interval. Analisis faktor ini dilakukan pada faktor komunikasi, sumberdaya, disposisi dan birokrasi sebagai variabel laten, dan item-item pertanyaan dalam kuesioner (indikator) dipergunakan sebagai variabel-variabel manifes-nya. Hasil pengolahan data untuk validasi kesesuaian penggunaan analisis faktor diawali dengan penyusunan matrik data mentah yang diperoleh dari Metode Successive Interval,
88
menyusun matrik korelasi, ekstraksi faktor, pembobotan faktor dan rotasi varimaks yang dilakukan dengan alat bantu Software SPSS (Lampiran 9 dan Lampiran 10). 1. Kesesuaian Penggunaan Analisis Faktor dan Kecukupan Data Hasil pengujian kesesuaian pengolahan data mempergunakan analisis faktor berdasarkan penilaian pegawai PD Kebersihan dan penilaian masyarakat Kota Bandung menunjukkan nilai-nilai yang dapat dilihat pada Tabel 26. Tabel 26 Pengujian Kecukupan Data dalam menggunakan Analisis No
Parameter Kecukupan Data
1 Determinan Matrik Korelasi 2 KMO 3 Bartlett Test (Chi Square) 4 Signifikans Bartlett Test Sumber: Hasil Pengolahan Data
Hasil Perhitungan Pegawai Masyarakat 0,000 0,000 0,879 0,912 1.179,962 4.198,884 0,000 0,000
Hasil pengolahan data untuk pengukuran Kaiser-Meyer-Olkin (KMO) dalam MSA (Measure of Sampling Adequacy) atau disebut sebagai pengujian kecukupan data, menunjukkan bahwa matriks data yang terbentuk bukan merupakan matriks identitas dilihat dari nilai determinant mendekati nilai 0 (nol) dan KMO yang didapat adalah 0,879 (penilaian pegawai), dan 0,912 (penilaian masyarakat). Hasil ini menunjukkan bahwa penggunaan analisis faktor dalam penelitian ini adalah mencukupi dengan nilai KMO yang cukup besar, berdasarkan kriteria Kaiser yang lebih besar dari 0,7. Hal ini ditunjukkan pula pada hasil uji Bartlett dengan nilai chi kuadrat yang tinggi sebesar 1.179,962 (penilaian pegawai) dan 4.198,884 (penilaian masyarakat) dengan tingkat signifikan hasil perhitungan tersebut lebih kecil dari =0,05 yang memperlihatkan bahwa untuk ukuran kecukupan jumlah sampel yang digunakan yaitu sebesar 73 sampel pegawai dan 300 sampel masyarakat dapat disimpulkan sudah mencukupi. 2. Perhitungan Total Variance Explained Perhitungan analisis faktor ini dilakukan dengan mengekstraksi variabelvariabel manifes (indikator) menjadi 4 (empat) variabel laten (faktor) yang telah
89
terbentuk sebelumnya, yaitu faktor komunikasi, sumberdaya, disposisi dan birokrasi. Hasil rangkuman perhitungan Total Variance Explained disajikan dalam Tabel 27. Tabel 27 Hasil Perhitungan Total Variance Explained Hasil Perhitungan Pegawai Masyarakat 76,088% 71,608% 4 4
Parameter Total Variance Explained 1. Qumulative Varians Explained 2. Jumlah Faktor Terbentuk Sumber: Hasil Pengolahan Data
Tabel 27 merupakan hasil penggekstraksian faktor sebelumnya sehingga diperoleh nilai total variansi yang menunjukkan bahwa keempat faktor dapat menjelaskan 76,088% berdasarkan penilaian pegawai dan 71,608% berdasarkan penilaian masyarakat dari
variabilitas ke 19 indikatornya.
Angka ini
mencerminkan keragaman dalam setiap indikator yang dapat dijelaskan oleh ke-4 faktor yang terbentuk. Jumlah bobot faktor yang lebih dari 50% dianggap reliabel untuk melakukan ekstraksi faktor. Meskipun menurut Dillon (1984) tidak ada pedoman generik yang dapat dipakai sebagai dasar untuk menentukan bobot faktor minimum yang dapat diterima, karena hal tersebut bersifat judgemental. Semakin besar nilai bobot faktor atau keragaman yang dapat dijelaskan akan semakin baik. 3. Perhitungan Rotated Component Matriks Hasil rotasi faktor berupa bobot faktor yang ditampilkan pada Tabel 28 yang menunjukkan bahwa secara umum terbentuk 4 (empat) variabel laten dengan nilai berupa bobot-bobot faktor untuk setiap indikatornya terhadap faktor yang terbentuk. Indikator dengan nilai bobot tinggi untuk suatu faktor yang terbentuk menunjukkan besarnya kedekatan hubungan indikator dengan faktor yang terbentuk. Tabel 28 menampilkan hasil akhir analisis faktor yang merupakan hasil perhitungan Rotated Component Matrix berupa bobot faktor. Indikator yang memiliki bobot faktor lebih besar memiliki pengaruh lebih besar terhadap faktornya.
Berdasarkan
bobot
faktor
tersebut,
dikelompokkan menjadi suatu faktor dominan tertentu.
indikator-indikator
dapat
90
Tabel 28 Hasil Akhir Analisis Faktor Variabel Komunikasi, Sumberdaya, Disposisi Dan Birokrasi Berdasarkan Penilaian Pegawai dan Penilaian Masyarakat Penilaian Pegawai Penilaian Masyarakat VARIABEL F1 F2 F3 F4 F1 F2 F3 F4 Komunikasi 1 0,878 0,879 Komunikasi 2 0,654 Komunikasi 3 0,369 0,857 Komunikasi 4 0,332 0,443 Komunikasi 5 0,335 0,763 Komunikasi 6 Sumberdaya 1 0,489 0,584 Sumberdaya 2 0,549 0,768 Sumberdaya 3 0,622 Disposisi 1 0,653 Disposisi 2 0,890 Disposisi 3 0,777 0,879 Disposisi 4 0,888 Disposisi 5 0,307 0,859 Disposisi 6 0,694 0,803 Birokrasi 1 0,904 Birokrasi 2 0,868 Birokrasi 3 0,918 0,769 Birokrasi 4 0,791 0,798 Sumber: Hasil Justifikasi berdasarkan Pengolahan Data Analisis Faktor Keterangan: F1, F2, dst = Faktor 1 (Faktor dominan pertama), Faktor 2 (faktor dominan kedua) dan seterusnya Komunikasi 1 = Informasi yang diterima mengenai kebijakan Pengelolaan Sampah Komunikasi 2 = Pengetahuan pegawai mengenai masalah Pengelolaan Sampah di Kota Bandung Komunikasi 3 = Kecepatan pesan yang diterima dalam menginformasikan perkembangan berkaitan dengan kebijakan Pengelolaan Sampah yang ditetapkan oleh pemerintah Komunikasi 4 = Frekwensi penyampaian informasi pemerintah berkaitan dengan perkembangan Pengelolaan Sampah Komunikasi 5 = Ketepatan dan kesesuaian pelaksanaan kebijakan Pengelolaan Sampah yang diterapkan oleh pemerintah Komunikasi 6 = Penyelesaian masalah dengan adanya informasi yang diberikan pemerintah berkaitan dengan kebijakan Pengelolaan Sampah Sumberdaya 1 = Perolehan sumberdaya informasi yang dibutuhkan pelaksanaan berkaitan dengan kebijakan Pengelolaan Sampah Sumberdaya 2 = Kegunaan sarana dan prasarana bantuan pemerintah berupa peralatan
91
Sumberdaya 3 = Sumberdaya manusia atau tenaga pelaksana mengenai kebijakan Pengelolaan Sampah Disposisi 1 = Pemahaman pelaksana petugas kebersihan tentang kebijakan Pengelolaan Sampah Disposisi 2 = Pengetahuan petugas pelaksana sesuai dengan kebutuhan masyarakat berkaitan dengan masalah kebijakan Pengelolaan Sampah Disposisi 3 = Penerapan dalam pelaksanaan tentang Kebijakan Pengelolaan Sampah Disposisi 5 = Sikap aparat pemerintah dalam menjalankan tugas pengelolaan sampah pada umumnya Disposisi 6 = Sikap aparat pemerintah dalam menjalankan tugas pengelolaan sampah pada umumnya Birokrasi 1 = Kejelasan pembagian tugas aparat pemerintah dalam hal menjalankan tugas pengelolaan sampah Birokrasi 2 = Tanggungjawab aparat pemerintah dalam menjalankan tugas pengelolaan sampah pada umumnya Birokrasi 3 = Kejelasan wewenang aparat pemerintah dalam menjalankan tugas pengelolaan sampah pada umumnya Birokrasi 4 = Kejelasan koordinasi yang dilakukan aparat pemerintah dalam menjalankan tugas pengelolaan sampah pada umumnya Catatan Tabulasi silang antara faktor dominan dengan setiap indikator yang tidak ada angkanya, memiliki nilai bobot faktor yang kurang dari 0,3 dan indikatornya dianggap tidak memiliki konstribusi terhadap faktornya. Bobot faktor berdasarkan penilaian pegawai menunjukkan besarnya kontribusi indikator komunikasi 1 (0,878), komunikasi 2 (0,654), komunikasi 3 (0,369), komunikasi 4 (0,332), komunikasi 5 (0,335) dan komunikasi 6 (<0,3) terhadap faktor komunikasi yang termasuk pada urutan faktor keempat. Sedangkan bobot faktor berdasarkan penilaian masyarakat menunjukkan besarnya kontribusi dari indikator komunikasi 1 (0,879), komunikasi 2 (<0,3), komunikasi 3 (0,857), komunikasi 4 (0,443), komunikasi 5 (0,763) dan komunikasi 6 (<0,3) terhadap faktor komunikasi yang termasuk pada urutan faktor kedua. Bobot faktor berdasarkan penilaian pegawai menunjukkan besarnya kontribusi dari indikator sumberdaya 1 (0,489), sumberdaya 2 (0,549), sumberdaya 3 (0,622) terhadap faktor sumberdaya yang termasuk pada urutan faktor ketiga. Sedangkan bobot faktor berdasarkan penilaian masyarakat menunjukkan besarnya kontribusi dari indikator sumberdaya 1 (0,584),
92
sumberdaya 2 (0,768), sumberdaya 3 (<0,3) terhadap faktor sumberdaya yang juga termasuk pada urutan faktor ketiga. Bobot faktor berdasarkan penilaian pegawai menunjukkan besarnya kontribusi dari indikator-indikator pertanyaan pada indikator disposisi 1 (0,653), disposisi 2 (0,890), disposisi 3 (0,777), disposisi 4 (<0,3), disposisi 5 (0,307), disposisi 6 (0,694) terhadap faktor disposisi yang termasuk pada urutan faktor kesatu. Bobot faktor berdasarkan penilaian masyarakat menunjukkan besarnya kontribusi dari indikator-indikator pertanyaan pada indikator disposisi 1 (<0,3), disposisi 2 (<0,3), disposisi 3 (0,879), disposisi 4 (0,888), disposisi 5 (0,859), disposisi 6 (0,803) terhadap faktor disposisi yang juga termasuk pada urutan faktor kesatu. Bobot faktor berdasarkan penilaian pegawai menunjukkan besarnya kontribusi dari indikator-indikator pertanyaan pada indikator birokrasi 1 (0,904), birokrasi 2 (0,868), birokrasi 3 (0,918), dan birokrasi 4 (0,791) terhadap faktor biorokrasi yang termasuk pada urutan kedua. Bobot faktor berdasarkan penilaian masyarakat menunjukkan besarnya kontribusi dari indikator-indikator pertanyaan pada indikator birokrasi 1 (<0,3), birokrasi 2 (<0,3), birokrasi 3 (0,769), dan birokrasi 4 (0,798) terhadap faktor birokrasi yang termasuk pada urutan keempat. Tabel 29 memperlihatkan susunan urutan faktor dominan berdasarkan penilaian pegawai dan masyarat. Tabel 29 Susunan Urutan Faktor Dominan Penilaian FAKTOR Pegawai Komunikasi Faktor Keempat Sumberdaya Faktor Ketiga Disposisi Faktor Pertama Birokrasi Faktor Kedua Keterangan Faktor Pertama = faktor yang sangat kuat Faktor Kedua = faktor yang kuat Faktor Ketiga = faktor yang lemah Faktor Keempat = faktor yang sangat lemah
Penilaian Masyarakat Faktor Kedua Faktor Ketiga Faktor Pertama Faktor Keempat
Keterangan Berbeda Sama Sama Berbeda
Hasil susunan urutan faktor dominan pada Tabel 29 memperlihatkan bahwa Faktor Komunikasi berdasarkan penilaian pegawai PD Kebersihan
93
merupakan faktor dominan keempat sedangkan menurut penilaian masyarakat Kota Bandung merupakan faktor dominan kedua. Hal ini menunjukkan bahwa faktor komunikasi termasuk faktor yang sangat lemah menurut pelaksana kebijakan dan termasuk faktor yang kuat menurut masyarakat, dalam mempengaruhi keberhasilan pelaksanaan kebijakan pengelolaan sampah di Kota Bandung. Faktor komunikasi ini berkaitan dengan informasi yang diterima, kecepatan pesan yang diterima, frekwensi penyampaian informasi, serta ketepatan dan kesesuaian pelaksanaan kebijakan. Komunikasi yang diterapkan saat ini menghambat pelaksanaan kebijakan pengelolaan sampah dalam mendorong partisipasi masyarakat untuk ikut serta dalam pengelolaan sampah di Kota Bandung. Sangat lemahnya faktor komunikasi menurut pelaksana kebijakan pengelolaan sampah di Kota Bandung ini berkaitan dengan faktor sumberdaya yang termasuk pada faktor yang lemah baik menurut pegawai maupun masyarakat dalam mempengaruhi keberhasilan pelaksanaan kebijakan. Hal ini dikarenakan sumberdaya berkaitan dengan perolehan sumberdaya informasi serta kegunaan sarana dan prasarana bantuan dari pemerintah yang tidak tersalurkan dengan baik kepada masyarakat dalam mendukung pelaksanaan kebijakan persampahan di Kota Bandung. Sehingga lemahnya penerapan faktor sumberdaya berkaitan dengan sangat lemahnya penerapan komunikasi yang dilakukan oleh pegawai yang akan mempengaruhi keberhasilan pelaksanaan kebijakan pengelolaan sampah di Kota Bandung. Faktor disposisi menempati urutan pertama baik menurut penilaian pegawai maupun masyarakat, yang memperlihatkan bahwa disposisi merupakan faktor sangat kuat dalam mempengaruhi pelaksanaan kebijakan pengelolaan sampah di Kota Bandung. Hal ini menunjukkan bahwa keberhasilan pelaksanaan kebijakan pengelolaan sampah di Kota Bandung sangat ditentukan oleh penerapan kebijakan dalam pelaksanaan pengelolaan sampah, komitmen pegawai pemerintah dalam menjalankan tugas pengelolaan, dan prioritas aparat pemerintah dalam mencapai keberhasilan pelaksanaan kebijakan pengelolaan sampah. Sangat kuatnya disposisi yang diterapkan saat ini dalam mencapai keberhasilan
94
pelaksanaan kebijakan pengelolaan sampah di Kota Bandung sangat ditentukan oleh penerapan kebijakan, komitmen pegawai dan prioritas yang ditetapkan oleh pemerintah dalam mencapai keberhasilan pengelolaan sampah di Kota Bandung. Faktor birokrasi yang termasuk pada faktor yang kuat menurut pegawai, dan dianggap faktor yang sangat lemah menurut masyarakat, memperlihatkan bahwa dalam menjalankan tugas pelaksanaan kebijakan pengelolaan sampah, pegawai melaksanakan tugas berdasarkan birokrasi yang telah ditetapkan oleh pemerintah daerah Kota Bandung sesuai dengan aturan yang berlaku, sedangkan masyarakat sebagai target pelayanan yang diberikan oleh pemerintah daerah yang menganggap sangat lemah menunjukkan bahwa birokrasi yang diterapkan saat ini menghambat pelaksanaan kebijakan pengelolaan sampah di Kota Bandung.
4. Hasil
Analisis
Faktor
Dominan
dalam
Pelaksanaan
Kebijakan
Pengelolaan Sampah di Kota Bandung Hasil pembobotan faktor berdasarkan penilaian pegawai dan masyarakat mengacu pada pola pengelompokkan 4 (empat) faktor sebelumnya yang terdiri dari komunikasi, sumberdaya, disposisi dan birokrasi. Hasil Analisis Faktor yang terbentuk setelah rotasi dengan metoda varimax dapat dijabarkan berdasarkan faktor dominan pertama (F1) sampai faktor dominan keempat (F4), dan terdapat beberapa indikator yang dibuang dari model penelitian. Berdasarkan penilaian pegawai, indikator yang dibuang yaitu komunikasi 6 dan disposisi 4, karena memiliki bobot faktor yang kurang dari 0,3; sedangkan berdasarkan penilaian masyarakat, indikator yang dibuang yaitu komunikasi 2, komunikasi 6, sumberdaya 3, disposisi 1, disposisi 2, birokrasi 1 dan birokrasi 2. Hasil akhir analisis faktor merupakan penggabungan berdasarkan penilaian pegawai dan penilaian masyarakat. Variabel-variabel manifes (indikator) yang membentuk variabel laten (Faktor) yang ada berdasarkan penilaian pegawai, berkesesuaian juga berdasarkan penilaian masyarakat. Hasil kesesuaian antara penilaian pegawai dan penilaian masyarakat ditampilkan pada Tabel 30.
95
Tabel 30 Hubungan Antara Variabel Laten dengan Variabel Manifes Berdasarkan Penilaian Pegawai dan Penilaian Masyarakat Faktor
1
2
Variabel Laten
Variabel Manifes
Masyarakat
Komunikasi 1
0,878 (+)
0,879 (+)
Komunikasi 3
0,369 (-)
0,857 (+)
Komunikasi 4
0,332 (-)
0,443 (-)
Komunikasi 5
0,335 (-)
0,763 (+)
Sumberdaya 1
0,489 (-)
0,584 (+)
0,549 (+) 0,777 (+)
0,768 (+) 0,879 (+)
Disposisi 5
0,307 (-)
0,859 (+)
Disposisi 6
0,694 (+)
0,803 (+)
Birokrasi 3
0,918 (+)
0,769 (+)
Birokrasi 4
0,791 (+)
0,798 (+)
Komunikasi
Sumberdaya Sumberdaya 2 Disposisi 3
3
4
Bobot Faktor Pegawai
Disposisi
Birokrasi
Keterangan Informasi yang diterima mengenai kebijakan Pengelolaan Sampah Kecepatan pesan yang diterima dalam menginformasikan perkembangan berkaitan dengan kebijakan Pengelolaan Sampah yang ditetapkan oleh pemerintah Frekwensi penyampaian informasi pemerintah berkaitan dengan perkembangan Pengelolaan Sampah Ketepatan dan kesesuaian pelaksanaan kebijakan Pengelolaan Sampah yang diterapkan oleh pemerintah Perolehan sumberdaya informasi yang dibutuhkan pelaksanaan berkaitan dengan kebijakan Pengelolaan Sampah Kegunaan sarana dan prasarana bantuan pemerintah berupa peralatan Penerapan dalam pelaksanaan tentang Kebijakan Pengelolaan Sampah Komitmen aparat pemerintah dalam menjalankan tugas pengelolaan sampah pada umumnya Prioritas aparat pemerintah dalam menjalankan tugas pengelolaan sampah pada umumnya Kejelasan wewenang aparat pemerintah dalam menjalankan tugas pengelolaan sampah pada umumnya Kejelasan koordinasi yang dilakukan aparat pemerintah dalam menjalankan tugas pengelolaan sampah pada umumnya
Sumber: Hasil Justifikasi berdasarkan Pengolahan Data Analisis Faktor Keterangan: (+) = Indikator penting yang perlu ditingkatkan (-) = Indikator kurang penting
96
Berdasarkan hasil akhir analisis faktor baik penilaian masyarakat Kota Bandung maupun penilaian pegawai PD Kebersihan dapat dijelaskan variabelvariabel manifes (indikator) sebagai berikut: 1. Variabel Komunikasi. a. Informasi yang diterima mengenai kebijakan Pengelolaan Sampah (Komunikasi 1), menurut penilaian pegawai dan masyarakat merupakan indikator penting sehingga perlu ditingkatkan. Penyampaian informasi mengenai kebijakan pengelolaan sampah kepada pegawai dan masyarakat berkaitan dengan penyampaian informasi rencana strategis dan rencana kerja yang akan dilakukan pemerintah daerah dalam melaksanakan kebijakan ini, dapat dilakukan misalnya dengan mensosialisasikan kepada masyarakat menggunakan media yang efektif melalui televisi atau radio. b. Kecepatan pesan yang diterima dalam menginformasikan perkembangan berkaitan dengan kebijakan Pengelolaan Sampah yang ditetapkan oleh pemerintah (Komunikasi 3), menurut penilaian pegawai kurang penting, sedangkan menurut penilaian masyarakat merupakan indikator penting sehingga perlu ditingkatkan. Kecepatan pesan dibutuhkan dalam menginformasikan perkembangan kebijakan, baik kepada pegawai sebagai pelaksana kegiatan maupun kepada masyarakat agar ikut berpartisipasi dalam kegiatan pengelolaan sampah. c. Frekwensi
penyampaian
informasi
pemerintah
berkaitan
dengan
perkembangan Pengelolaan Sampah (Komunikasi 4), menurut penilaian pegawai maupun masyarakat merupakan indikator kurang penting, karena dianggap sudah dilaksanakan dengan baik sehingga perlu dipertahankan karena berpengaruh terhadap pelaksanaan kebijakan pengelolaan sampah. d. Ketepatan dan kesesuaian pelaksanaan kebijakan Pengelolaan Sampah yang diterapkan oleh pemerintah (Komunikasi 5), menurut penilaian pegawai merupakan indikator kurang penting, karena pegawai sebagai pelaksana menggap bahwa kebijakan yang ditetapkan merupakan acuan dalam melaksanakan kegiatan pengelolaan sampa, sedangkan menurut penilaian masyarakat merupakan indikator penting sehingga perlu
97
ditingkatkan terutama berkaitan dengan ketepatan dan kesesuaian sasaran dalam pelaksanaan kebijakan pengelolaan sampah. 2. Variabel Sumberdaya. a. Perolehan sumberdaya informasi yang dibutuhkan pelaksanaan berkaitan dengan kebijakan Pengelolaan Sampah (Sumberdaya 1), menurut penilaian pegawai merupakan indikator kurang penting, sedangkan menurut penilaian masyarakat merupakan indikator penting sehingga perlu ditingkatkan. b. Kegunaan sarana dan prasarana bantuan pemerintah berupa peralatan (Sumberdaya 2), menurut penilaian pegawai dan masyarakat merupakan indikator penting sehingga perlu ditingkatkan. 3. Variabel Disposisi. a. Penerapan dalam pelaksanaan tentang Kebijakan Pengelolaan Sampah (Disposisi 3), menurut penilaian pegawai dan masyarakat merupakan indikator penting sehingga perlu ditingkatka. b. Sikap aparat pemerintah dalam menjalankan tugas pengelolaan sampah pada umumnya (Disposisi 5), menurut penilaian pegawai merupakan indikator kurang penting, sedangkan menurut penilaian masyarakat merupakan indikator penting sehingga perlu dipertahankan. c. Sikap aparat pemerintah dalam menjalankan tugas pengelolaan sampah pada umumnya (Disposisi 6), menurut penilaian pegawai dan masyarakat merupakan indikator penting sehingga perlu ditingkatkan. 4. Variabel Birokrasi. a. Kejelasan wewenang aparat pemerintah dalam menjalankan tugas pengelolaan sampah pada umumnya (Birokrasi 3), menurut penilaian pegawai dan masyarakat merupakan indikator penting sehingga perlu ditingkatkan. b. Kejelasan
koordinasi
yang
dilakukan
aparat
pemerintah
dalam
menjalankan tugas pengelolaan sampah pada umumnya (Birokrasi 4), menurut penilaian pegawai dan masyarakat merupakan indikator penting sehingga perlu ditingkatkan.
98
Secara operasional, pengelolaan sampah meliputi pelaksanaan kegiatan pewadahan, pengumpulan, penyapuan jalan, pemindahan dan pengangkutan, serta pengolahan dan pembuangan akhir. Meskipun demikian, ruang lingkup dalam pengelolaan sampah tidak hanya meliputi pelaksanaan kegiatan operasional, namun meliputi juga berbagai aspek seperti pembiayaan, kelembagaan, peratuan hukum, serta aspek peran serta masyarakat. Keterkaitan setiap aspek dalam pengelolaan sampah pada masing-masing dimensi strategis pengelolaan kebersihan tersebut dapat dijelaskan lebih detil: 1. Aspek sumberdaya dalam hal pembiayaan dalam pengelolaan sampah di Kota Bandung meliputi: a. Anggaran biaya perusahaan Anggaran biaya perusahaan diperuntukkan guna membiayai berbagai kebutuhan penyelenggaraan pelayanan seperti belanja pegawai, belanja BBM, olie dan ban kendaraan, biaya perbaikan dan pemeliharaan, biaya administrasi dan biaya umum, serta biaya investasi. b. Anggaran pendapatan perusahaan. Guna membiayai belanja perusahaan sebagaimana disebut diatas, perusahaan memperoleh pendapatan dari hasil pelayanan jasa kebersihan. Pendapatan ini terdiri dari 2 (dua) macam, yakni: hasil penagihan jasa pelayanan kebersihan umum (kebersihan jalan) yang berasal dari pembayaran Pemerintah Kota Bandung; serta hasil penagihan jasa pelayanan kebersihan masyarakat baik dari pelanggan rumah tinggal, komersial dan non komersial serta dari pedagang di pasar. 2. Aspek Birokrasi dalam hal kelembagaan pengelolaan sampah meliputi: a. Tugas tanggungjawab dan wewenang yang dimiliki oleh PD Kebersihan dalam penyelenggaraan pengelolaan sampah kota. b. Tugas tanggungjawab dan wewenang dari lembaga dan masyarakat dalam berperanserta mengelola
sampah
kota
(Stakeholder
di luar
PD
Kebersihan). c. Lembaga lain (di luar Pemerintah Kota Bandung) yang ikut berpengaruh dalam penyelenggaraan pengelolaan sampah, misalnya Pemerintah Kota
99
Cimahi dan Kabupaten Bandung terkait dengan pengelolaan TPA Leuwigajah dan TPA Jelekong. d. Lembaga lain yang ikut terlibat dalam rangkaian Manajemen persampahan baik pada fungsi perencanaan, pengorganisasian, pelaksanaan dan pengawasan. 3. Aspek komunikasi dalam mendorong partisipasi masyarakat, pada seluruh tingkatan masyarakat dan aparat pemerintah yang berada di wilayah kota Bandung merupakan pengguna dan yang ikut menikmati penyelenggaraan pengelolaan sampah kota. Oleh karenanya semua pihak diperlukan keterlibatannya untuk berperan serta baik secara aktif maupun pasif dalam pengelolaan sampah. Tanpa adanya keterlibatan masyarakat maka tidak akan berhasil mewujudkan kebersihan kota, dan kalaupun dapat mewujudkan hal itu membutuhkan sumberdaya yang sangat mahal. Peran serta mereka dapat diaktualisasikan baik dalam peran dan fungsi perencanaan, pelaksanaan maupun dalam fungsi pengawasan. 4. Aspek disposisi berupa Peraturan dalam pengelolaan sampah baik di Kota Bandung maupun di kota-kota lainnya, pada intinya mengatur tentang:1) Kelembagaan, yaitu menetapkan pembentukan lembaga pengelola sampah kota menyangkut tugas, tanggungjawab, wewenang dan struktur organisasi. 2) Tatacara penyelenggaraan pengelolaan sampah, mengatur tentang ketentuan pengelolaan sampah kota, kewajiban bagi pemerintah dan masyarakat serta larangan terhadap pelanggaran ketentuan. 3) Pembiayaan pengelolaan sampah, mengatur sumber biaya pengelolaan terutama penetapan tarif jasa pelayanan kebersihan/pengelolaan sampah. Sudah saatnya sistem pengelolaan sampah Kota Bandung dikritisi kembali. Selama ini alur pengangkutan sampah yang terjadi adalah: sumber sampah – TPS – TPA, tanpa pemilahan sampah ketika di sumber sampah maupun di TPS. Dengan demikian membuat volume sampah di TPA menggunung dan sulit untuk diolah. Di samping itu, seluruh proses pengangkutan, mulai dari
100
sumber sampai akhirnya tiba di TPA ditangani oleh PD Kebersihan. Peran masyarakat sangat kecil dalam ikut mengelola sampah. Maksimal yang dapat dilakukan masyarakat adalah membawa sampah sampai di TPS. Biaya yang diperlukan untuk menangani sampah dibandingkan dengan pemasukan dari retribusi, selama diurus oleh PD Kebersihan Kota Bandung, belum memberikan tambahan pemasukan berarti bagi Pemerintah Daerah Kota Bandung. Sistem pengelolaan sampah berdasarkan kebijakan sampah perlu dimodifikasi dari sistem pengelolaan konvensional yang selama ini dilakukan oleh PD Kebersihan (Gambar 8). Perbedaan yang mendasar dari sistem modifikasi ini dengan adanya pembagian peran dan wewenang yang jelas antara masyarakat dengan pemerintah. Wewenang dan peran masyarakat adalah mengelola dari sumber hingga TPS plus, sedangkan pemerintah hanya mengelola TPA, dengan sumber sampah yang diangkut dari TPS. SISTEM PENANGANAN SAMPAH YANG SELAMA INI DI LAKUKAN PEMERINTAH
Sumber sampah dari rumah tangga, hotel, restoran, dll.
TPS
TPA
Sumber: Kertas Posisi Yayasan Wisnu No. 01/IV/2001 Gambar 8 Sistem Pengelolaan Konvensional yang dilakukan oleh PD Kebersihan 5.3
Prioritas dan Strategi Pelaksanaan Kebijakan Pengelolaan Sampah di Kota Bandung Pengelolaan Sampah di Kota Bandung perlu dilakukan secara prioritas
dengan mempergunakan kriteria-kriteria yang memungkinkan dijadikan acuan dalam pelaksanaan pengelolaannya. Dalam menghadapi persoalan pengelolaan sampah ini yang perlu diperhatikan adalah mengenai penyebab timbulnya persoalan dalam pengelolaan sampah di Kota Bandung, dan seberapa jauh pihakpihak yang terkait telah melakukan upaya untuk mengeliminir terhadap timbulnya persoalan pengelolaan sampah di Kota Bandung.
101
Penyusunan model penelitian prioritas pengelolaan sampah di Kota Bandung yang dikembangkan dengan pendekatan metoda Analityc Hierarchy Process (AHP) dan SWOT berfungsi untuk menyederhanakan keterkaitan dan kompleksitas kriteria penilaian obyek pengelolaan sampah. Pada studi ini dapat diketahui bahwa terdapat kriteria yang diperkirakan memiliki porsi dominan atau memberikan konstribusi yang sangat penting dalam mencapai tujuan penelitian. Studi ini disusun berdasarkan 4 (empat) tingkat hierarki termasuk hierarki tujuan. Pada tingkat hierarki tujuan yaitu fator utama yang mempengaruhi Pelaksanaan Kebijakan Pengelolaan Sampah, untuk mencapai tujuan ini perlu didukung oleh faktor di tingkat yang lebih rendah (level 1), pada level 1 ini terdapat 4 (empat) faktor berdasarkan SWOT yaitu: faktor kekuatan, faktor kelemahan, faktor peluang, dan faktor ancaman. Faktor ini merupakan komponen penilaian dalam mempertimbangkan objek yang akan dikendalikan dalam Pengelolaan Sampah. Komponen dalam level ini dapat berdiri sendiri atau saling melengkapi dalam mencapai hierarki tujuan. Tingkat berikutnya adalah level 2 yang secara keseluruhan terdiri dari 4 (empat) kriteria yaitu: kriteria Mengurangi, Menggunakan Kembali, Mendaur Ulang dan Memberdayakan. Kriteria ini merupakan komponen penilaian dalam menentukan objek pengelolaan dan perlu mendapatkan perhatian dalam pelaksanaan operasionalnya. Kriteria ini merupakan komponen strategis berkaitan dengan
konstribusinya
terhadap
level
1,
untuk
setiap
faktor
dalam
mempertimbangkan objek pengelolaan sampah di Kota Bandung. Pada level 3 yang secara keseluruhan terdiri dari 4 (empat) sub kriteria, merupakan komponen penilaian pelaksanaan kebijakan sampah yang dalam konstribusinya dijadikan acuan dalam menangani persoalan pengelolaan sampah di Kota Bandung. Sub kriteria pada level ini yaitu: Komunikasi, Sumberdaya, Disposisi, dan Birokrasi. Sub kriteria ini berupa komponen strategis yang memiliki konstribusi terhadap pelaksanaan kebijakan sampah di Kota Bandung dalam melakukan pelaksanaan pengelolaan sampah. Komponen pelaksanaan pengelolaan ini dapat dipilih untuk mendapatkan nilai bobot prioritas untuk diperhatikan solusinya.
102
Proses analisis pembobotan tiap komponen dalam struktur hirarki dengan mempergunakan input berupa penilaian yang telah diberikan oleh responden melalui pengisian kuesioner studi. Hasil analisis ini menunjukkan bobot tiap elemen dari hirarki yang secara otomatis akan menunjukkan skala prioritas berdasarkan besarnya nilai dari faktor, kriteria, sub kriteria ataupun alternatif penanganan pengelolaan sampah di Kota Bandung. Penentuan bobot faktor utama dimaksudkan untuk mengetahui seberapa penting masing-masing faktor memiliki nilai sebagai bahan pertimbangan dalam mendukung pencapaian goal/tujuan yaitu penyusunan prioritas Kebijakan Pengelolaan Sampah. Bobot faktor ini diperoleh dari hasil pengolahan data kuesioner yang berisi perbandingan berpasangan antar faktor melalui perhitungan nilai eigen vektor yang menggambarkan prioritas. Faktor utama yang digunakan dalam analisis ini mengacu pada analisis SWOT yaitu terdapat 4 (empat) faktor dalam mempertimbangkan obyek yang akan dikendalikan dengan kategori berdasarkan Kekuatan, Kelemahan, Peluang, dan Ancaman. Hasil analisis akan menunjukkan tingkat kepentingan berdasarkan persoalan pengelolaan sampah di Kota Bandung. Adapun hasil perhitungan yang dilakukan terhadap rata-rata geometrik penilaian bobot faktor mempergunakan program Expert Choice ditunjukkan dalam Tabel 31. Tabel 31 Bobot Faktor terhadap Goal NO
FAKTOR
1 Kekuatan 2 Kelemahan 3 Peluang 4 Ancaman Sumber : Hasil Analisis
BOBOT LOKAL GLOBAL 0,506 0,506 0,252 0,252 0,092 0,092 0,150 0,150
RANKING 1 2 4 3
Tabel 31 memperlihatkan bahwa 4 (empat) faktor yang digunakan sebagai dasar dalam penyusunan prioritas pengelolaan sampah tersebut memiliki bobot prioritas lokal dan global yang sama besar. Bobot lokal merupakan besarnya konstribusi faktor-faktor di dalam levelnya terhadap 1 level di atasnya, sedangkan bobot global merupakan besarnya konstribusi faktor-faktor terhadap level utamanya (level 0). Hal ini menunjukkan bahwa faktor yang terdapat pada level 1 memiliki bobot yang memberikan pengaruh kepada goal sebagai elemen tunggal
103
di level 0 yang memiliki bobot sama dengan 1. Oleh karena itu jumlah bobot total kriteria dalam satu hierarki sama dengan jumlah bobot yang dimiliki oleh goal yang berada pada hierarki di atasnya. Bobot terbesar atau rangking yang tertinggi berdasarkan hasil analisis ditujukan pada faktor kekuatan (0,506), selanjutnya faktor kelemahan (0,252), kemudian faktor threats (0,150) dan rangking terakhir adalah faktor peluang (0,092). Hal ini dapat diinterpretasikan bahwa dalam analisis prioritas pengelolaan sampah di kota Bandung, faktor yang menjadi prioritas utama sebagai dasar pertimbangan pengelolaan sampah adalah faktor kekuatan, mencakup kekuatan yang didasarkan pada sumberdaya keuangan, citra, sarana dan prasarana yang tersedia serta faktor-faktor lainnya. Sedangkan bobot yang terendah terlihat bahwa faktor peluang tidak dijadikan acuan prioritas dalam pengelolaan sampah. Hal ini menunjukkan bahwa peluang dalam pengelolaan sampah di kota Bandung secara umum tidak terlihat adanya hubungan dengan pelaksanaan kebijakan sampah yang merupakan perkembangan identifikasi perubahan kualitas lingkungan, peraturan serta kebutuhan masyarakat dan swasta yang dapat memberikan peluang bagi pelaksanaan kebijakan. Perhitungan
bobot
kriteria
pengelolaan sampah
bertujuan untuk
mengetahui seberapa besar konstribusi nilai dari setiap kriteria pengelolaan (level 2) terhadap bobot dari faktor yang berada pada hierarki di atasnya (level 1). Bobot tiap kriteria pengelolaan sampah diperoleh melalui proses perbandingan dengan operasi penskalaan, sehingga diperoleh nilai bobot yang dinormalisasi (nilai total bobot = 1). Normalisasi bobot yang dilakukan ini bertujuan untuk mendapatkan nilai prioritas secara global yang mengandung arti bahwa jumlah total bobot dari seluruh elemen tiap hierarki adalah sama dengan 1, sehingga dapat ditunjukkan skala prioritas secara keseluruhan dalam satu hierarki. Masing-masing bobot faktor pada level 1 yang memiliki 4 (empat) kriteria pada level 2 memiliki hasil pembobotannya disajikan dalam Tabel 32
104
Tabel 32 Bobot Kriteria terhadap Faktor NO
1
2
3
4
Kriteria Kekuatan Mengurangi Menggunakan Kembali Mendaur Ulang Memberdayakan Jumlah Kelemahan Mengurangi Menggunakan Kembali Mendaur Ulang Memberdayakan Jumlah Peluang Mengurangi Menggunakan Kembali Mendaur Ulang Memberdayakan Jumlah Ancaman Mengurangi Menggunakan Kembali Mendaur Ulang Memberdayakan Jumlah TOTAL
BOBOT
RANKING
LOKAL
GLOBAL
0,203 0,125 0,039 0,139 0,506
0,370 0,198 0,111 0,321 1,000
1 4 9 3
0,143 0,041 0,020 0,048 0,252
0,365 0,233 0,116 0,286 1,000
2 8 14 7
0,052 0,021 0,008 0,011 0,092
0,273 0,233 0,094 0,400 1,000
6 12 16 15
0,075 0,028 0,020 0,027 0,150 1.000
0,374 0,106 0,187 0,333 1,000 4.000
5 10 13 11
Perankingan yang dilakukan dalam menentukan prioritas pengelolaan sampah dilakukan berdasarkan bobot global, yang merupakan konstribusi faktorfaktor pengelolaan yang dapat dilakukan dalam pelaksanaan kebijakan sampah. Hasil pembobotan pada Tabel 32, masing-masing komponen kriteria pada level 2, memiliki bobot kepentingan terhadap sasaran faktor-faktor penilaian pengelolaan sampah. Berikut ini ditampilkan penilaian pengelolaan sampah yang termasuk 3 (tiga) prioritas utama. -
Rangking pertama adalah faktor kekuatan berdasarkan kriteria mengurangi dengan bobot sebesar 0,203.
-
Rangking kedua adalah faktor kelemahan berdasarkan kriteria mengurangi dengan bobot sebesar 0,143.
105
-
Rangking ketiga adalah faktor kekuatan berdasarkan kriteria memberdayakan dengan bobot sebesar 0,139. Konstribusi terbesar pertama pengelolaan sampah berupa mengurangi
termasuk faktor kekuatan, namun ranking kedua termasuk pula ke dalam kelemahan. Hal ini dapat dijelaskan bahwa pengelolaan sampah dengan mengupayakan pengurangan sampah dari sumbernya, merupakan faktor yang menjadi prioritas utama yang dapat dijadikan kekuatan dalam pengelolaan sampah di Kota Bandung. Banyaknya kendala-kendala dalam melaksanakan kebijakan Pengelolaan Sampah berupa pengurangan sampah dari sumbernya, terlihat pada faktor kelemahan dalam mengurangi sampah dari sumbernya. Hal ini memperlihatkan bahwa salah satu kendala utama mengurangi sampah dari sumbernya sehingga menjadi faktor kelemahan disamping karena budaya masyarakat yang masih berperilaku memproduksi sampah yang banyak, juga dengan mengurangi sampah dari sumbernya akan mengurangi produksi sampah yang dapat dimanfaatkan kembali. Perhitungan bobot sub-kriteria pengelolaan bertujuan untuk mengetahui seberapa besar konstribusi nilai dari setiap sub-kriteria pengelolaan (level 3) terhadap bobot dari kriteria yang berada pada hierarki di atasnya (level 2). Bobot tiap kriteria pengelolaan diperoleh melalui proses perbandingan dengan operasi penskalaan, sehingga diperoleh nilai bobot yang dinormalisasi (nilai total bobot = 1). Normalisasi bobot yang dilakukan ini bertujuan untuk mendapatkan nilai prioritas secara global yang mengandung arti bahwa jumlah total bobot dari seluruh elemen tiap hierarki adalah sama dengan 1, sehingga dapat ditunjukkan skala prioritas secara keseluruhan dalam satu hierarki.
Masing-masing bobot
kriteria pada level 2 yang memiliki 4 (empat) sub-kriteria pada level 3 memiliki hasil pembobotannya dapat dilihat pada Tabel 33. Hasil pembobotan pada Tabel 33, masing-masing komponen sub-kriteria pada level 3, memiliki bobot kepentingan terhadap sasaran kriteria-kriteria penilaian pengelolaan sampah. Berikut ini ditampilkan penilaian pengelolaan
106
sampah yang termasuk 4 (empat) prioritas utama berdasarkan kriteria penilaian pelaksanaan kebijakan Pengelolaan Sampah dalam mengurangi. -
Rangking pertama sub-kriteria komunikasi dengan bobot lokal sebesar 0,171.
-
Rangking kedua sub-kriteria sumberdaya dengan bobot lokal sebesar 0,119.
-
Rangking ketiga sub-kriteria birokrasi dengan bobot lokal sebesar 0,101.
-
Rangking keempat sub-kriteria disposisi dengan bobot lokal sebesar 0,082.
Tabel 33 Bobot Sub-Kriteria terhadap Kriteria No
1
2
3
4
Sub-Kriteria Kriteria Mengurangi - Komunikasi - Sumberdaya - Disposisi - Birokrasi Jumlah Kriteria Menggunakan Kembali - Komunikasi - Sumberdaya - Disposisi - Birokrasi Jumlah Kriteria Mendaur Ulang - Komunikasi - Sumberdaya - Disposisi - Birokrasi Jumlah Kriteria Memberdayakan - Komunikasi - Sumberdaya - Disposisi - Birokrasi Jumlah TOTAL
BOBOT LOKAL GLOBAL
RANKING (thd Kriteria)
0,171 0,119 0,082 0,101 0,473
0,370 0,298 0,141 0,191 1,000
1 2 4 3
0,091 0,065 0,031 0,028 0,215
0,401 0,387 0,131 0,081 1,000
1 2 3 4
0,038 0,028 0,011 0,010 0,087
0,428 0,297 0,188 0,087 1,000
1 2 3 4
0,033 0,102 0,032 0,058 0,225 1,000
0,328 0,338 0,148 0,186 1,000 4,000
2 1 4 3
Sumber : Hasil Analisis Hasil perhitungan lengkap bobot prioritas pengelolaan sampah di Kota Bandung dengan mempergunakan metoda Analityc Hierarchy Process dengan alat bantu software Expert Choice disajikan beserta hasil pembobotan alternatif penanganan pengelolaan sampah di Kota Bandung ditampilkan dalam Gambar 9.
107
Level 0 GOAL
Prioritas Pelaksanaan Kebijakan Persampahan
Level 1 FAKTOR
Level 2 KRITERIA
Level 3 SUB KRITERIA
Kekuatan (0,506)
Mengurangi (0,203)
Komunikasi (0,370)
Kelemahan (0,252)
Menggunakan Kembali (0,125)
Sumberdaya (0,298)
Peluang (0,092)
Mendaur Ulang (0,039)
Disposisi (0,141)
Disposisi 3 Disposisi 5 Disposisi 6
Ancaman (0,150)
Memberdayakan (0,139)
Birokrasi (0,191)
Birokrasi 3 Birokrasi 4
Level 4 Hasil Analisis Faktor Komunikasi 1 Komunikasi 3 Komunikasi 4 Komunikasi 5 Sumberdaya 1 Sumberdaya 2
Sumber : Hasil Analisis Gambar 9 Struktur Hirarki Analitik Strength Penyusunan Prioritas Pengelolaan Sampah di Kota Bandung Gambar 9 memperlihatkan suatu interpretasi bahwa berdasarkan bobot tertinggi strength (kekuatan) dalam pelaksanaan persoalan pengelolaan sampah di Kota Bandung secara menyeluruh dan umum perlu dilakukan dengan kecenderungan mengupayakan mengurangi (0,203). Hal ini dapat dilakukan dengan mengupayakan pelaksanaan kebijakan Pengelolaan Sampah dalam hal komunikasi dan merupakan kekuatan pada organisasi PD Kebersihan Kota Bandung yang bertugas untuk pengelolaan sampah dengan cara mengurangi, Hasil ini didasarkan pada penilaian umum yang menjadi acuan prioritas pengelolaan sampah di Kota Bandung. Namun berdasarkan bobot alternatif penanganan pengelolaan ini, diperoleh nilai bobot yang hampir seimbang terutama dalam penanganan pengelolaan
sampah
dalam
hal
menggunakan
kembali
(0,125)
dan
memberdayakan (0,139), yang mengindikasikan bahwa alternatif penanganan pengelolaan sampah di Kota Bandung hampir seluruhnya dapat dilakukan. Model prioritas pengelolaan sampah di Kota Bandung disajikan dalam Gambar 10.
108
Level 0 GOAL
Prioritas Pelaksanaan Kebijakan Persampahan
Level 1 FAKTOR
Level 2 KRITERIA
Level 3 SUB KRITERIA
Level 4 Hasil Analisis Faktor
Kekuatan (0,506)
Mengurangi (0,143)
Komunikasi (0,401)
Komunikasi 1 Komunikasi 3 Komunikasi 4 Komunikasi 5
Kelemahan (0,252)
Menggunakan Kembali (0,041)
Sumberdaya (0,387)
Sumberdaya 1 Sumberdaya 2
Peluang (0,092)
Mendaur Ulang (0,020)
Disposisi (0,131)
Disposisi 3 Disposisi 5 Disposisi 6
Ancaman (0,150)
Memberdayakan (0,048)
Birokrasi (0,081)
Birokrasi 3 Birokrasi 4
Sumber : Hasil Analisis Gambar 10 Struktur Hirarki Analitik Weakness Penyusunan Prioritas Pengelolaan Sampah di Kota Bandung Gambar 10 memperlihatkan suatu interpretasi bahwa berdasarkan bobot tertinggi weakness (kelemahan) dalam pelaksanaan persoalan pengelolaan sampah di Kota Bandung secara menyeluruh dan umum perlu dilakukan dengan kecenderungan mengupayakan mengurangi (0,143). Hal ini dapat dilakukan dengan mengupayakan pelaksanaan kebijakan Pengelolaan Sampah dalam hal komunikasi dan merupakan kekuatan pada organisasi PD Kebersihan Kota Bandung yang bertugas untuk pengelolaan sampah dengan cara mengurangi, Hasil ini didasarkan pada penilaian umum yang menjadi acuan prioritas pengelolaan sampah di Kota Bandung. Namun berdasarkan bobot alternatif penanganan pengelolaan ini, diperoleh nilai bobot yang hampir seimbang terutama dalam penanganan pengelolaan sampah dalam hal menggunakan kembali (0,041) dan memberdayakan (0,048), yang mengindikasikan bahwa alternatif penanganan pengelolaan sampah di Kota Bandung hampir seluruhnya dapat dilakukan. Model prioritas pengelolaan sampah di Kota Bandung ditampilkan pada Gambar 11.
109
Level 0 GOAL
Prioritas Pelaksanaan Kebijakan Persampahan
Level 1 FAKTOR
Level 2 KRITERIA
Level 3 SUB KRITERIA
Level 4 Hasil Analisis Faktor Komunikasi 1 Komunikasi 3 Komunikasi 4 Komunikasi 5
Kekuatan (0,506)
Mengurangi (0,052)
Komunikasi (0,428)
Kelemahan (0,203)
Menggunakan Kembali (0,021)
Sumberdaya (0,297)
Peluang (0,092)
Mendaur Ulang (0,008)
Disposisi (0,188)
Disposisi 3 Disposisi 5 Disposisi 6
Ancaman (0,150)
Memberdayakan (0,011)
Birokrasi (0,087)
Birokrasi 3 Birokrasi 4
Sumberdaya 1 Sumberdaya 2
Sumber : Hasil Analisis Gambar 11 Struktur Hirarki Analitik Opportunities Penyusunan Prioritas Pengelolaan Sampah di Kota Bandung Gambar 11 memperlihatkan suatu interpretasi bahwa berdasarkan bobot tertinggi opportunities (peluang) dalam pelaksanaan persoalan pengelolaan sampah di Kota Bandung secara menyeluruh dan umum perlu dilakukan dengan kecenderungan mengupayakan mengurangi (0,052). Hal ini dapat dilakukan dengan mengupayakan pelaksanaan kebijakan Pengelolaan Sampah dalam hal komunikasi dan merupakan kekuatan pada organisasi PD Kebersihan Kota Bandung yang bertugas untuk pengelolaan sampah dengan cara mengurangi. Hasil ini didasarkan pada penilaian umum yang menjadi acuan prioritas pengelolaan sampah di Kota Bandung. Namun berdasarkan bobot alternatif penanganan pengelolaan ini, diperoleh nilai bobot yang hampir seimbang terutama dalam penanganan pengelolaan sampah dalam hal reuse (0,025) dan empower (0,011), yang mengindikasikan bahwa alternatif penanganan pengelolaan sampah di Kota Bandung hampir seluruhnya dapat dilakukan. Model prioritas pengelolaan sampah di Kota Bandung ditampilkan pada Gambar 12.
110
Level 0 GOAL
Prioritas Pelaksanaan Kebijakan Persampahan
Level 1 FAKTOR
Level 2 KRITERIA
Level 3 SUB KRITERIA
Level 4 Hasil Analisis Faktor Komunikasi 1 Komunikasi 3 Komunikasi 4 Komunikasi 5
Kekuatan (0,506)
Mengurangi (0,075)
Komunikasi (0,328)
Kelemahan (0,203)
Menggunakan Kembali (0,028)
Sumberdaya (0,338)
Peluang (0,092)
Mendaur Ulang (0,020)
Disposisi (0,148)
Disposisi 3 Disposisi 5 Disposisi 6
Ancaman (0,150)
Memberdayakan (0,027)
Birokrasi (0,186)
Birokrasi 3 Birokrasi 4
Sumberdaya 1 Sumberdaya 2
Sumber : Hasil Analisis Gambar 12
Struktur Hirarki Analitik Threats Penyusunan Prioritas Pengelolaan Sampah di Kota Bandung
Gambar 12 memperlihatkan suatu interpretasi bahwa berdasarkan bobot tertinggi threats (ancaman) dalam pelaksanaan persoalan pengelolaan sampah di Kota Bandung secara menyeluruh dan umum perlu dilakukan dengan kecenderungan mengupayakan mengurangi (0,075). Hal ini dapat dilakukan dengan mengupayakan pelaksanaan kebijakan Pengelolaan Sampah dalam hal komunikasi dan merupakan kekuatan pada organisasi PD Kebersihan Kota Bandung yang bertugas untuk pengelolaan sampah dengan cara mengurangi, Hasil ini didasarkan pada penilaian umum yang menjadi acuan prioritas pengelolaan sampah di Kota Bandung. Namun berdasarkan bobot alternatif penanganan pengelolaan ini, diperoleh nilai bobot yang hampir seimbang terutama dalam penanganan pengelolaan
sampah
dalam
hal
menggunakan
kembali
(0,028)
dan
memberdayakan (0,027), yang mengindikasikan bahwa alternatif penanganan pengelolaan sampah di Kota Bandung hampir seluruhnya dapat dilakukan.
111
Berdasarkan AWOT prioritas kebijakan yang harus dilakukan jika dilihat dari kekuatan,kelemahan, dan peluang ternyata faktor komunikasi perlu diperkuat, namun dari sudut ancaman perlu memperhatikan sumberdaya. Dengan demikian prioritas kebijakan dalam mengurangi sampah di kota bandung adalah dengan melakukan : Sosialisai, Pemberdayaan masyarakat, Pemanfaatan media komunikasi secara optimal dan menambah sumberdaya manusia maupun sarana.
5.4 Rumusan Kebijakan Pengelolaan Sampah Perkotaan Berdasarkan hasil analisis AHP dalam penentuan aspek pertimbangan dalam lingkup kriteria penilaian obyek pengelolaan sampah, kajian literatur, karakteristik, dan pengelompokan, maka untuk tahap berikutnya adalah merumuskan strategi dalam pelaksanaan kebijakan Pengelolaan Sampah di Kota Bandung yang perlu dilaksanakan berdasarkan kajian pengelolaan sampah yang akan diterapkan. Rumusan strategi digunakan sebagai acuan dalam pelaksanaan terhadap pengelolaan sampah di Kota Bandung. Berdasarkan rumusan tersebut, maka akan ditentukan strategi dan model kebijakan Pengelolaan Sampah di Kota Bandung yang memiliki prioritas berdasarkan kriteria penilaiannya. Bentuk institusi yang disarankan untuk sebuah kota dengan penduduk lebih kurang 250.000 jiwa adalah PD Kebersihan seperti yang ada di Kota Bandung, sesuai ketentuan Departemen Pekerjaan Umum. Keberhasilan institusi pengelola sampah dipengaruhi juga oleh struktur organisasi, personalia dan kejelasan tata laksana kerja. Tugas pokok PD Kebersihan sesuai Peraturan Daerah Nomor 02 Tahun 1985 adalah menyelenggarakan pelayanan jasa kebersihan di bidang Pengelolaan Sampah untuk mewujudkan kondisi kota yang bersih dan memupuk pendapatan.
112
Melaksanakan tugas pokok di atas, PD Kebersihan menyelenggarakan manajemen operasional kebersihan yang mencakup kegiatan administratif, keuangan dan pengaturan kegiatan pelaksanaan kebersihan. Struktur organisasi PD Kebersihan yang dibentuk dengan mempertimbangkan beberapa kriteria: -
Jumlah personil minimal untuk melayani pengelolaan sampah setiap 1000 penduduk adalah 2 orang. Jumlah penduduk Kota Bandung menurut catatan akhir PD Kebersihan pada tahun 2006 adalah sebesar 3.914.081 dengan demikian jumlah personil minimal untuk pelayanan Pengelolaan Sampah di Kota Bandung adalah 1.957 orang, tanpa memperhatikan kualitas personil yang dimiliki PD Kebersihan saat ini yakni sebanyak 1.852 pegawai.
-
Dari segi kualifikasi pendidikan tenaga staf dan manajemen pengelolaan sudah terlihat cukup baik di mana dari 1.852 pegawai tetap, 20,5% diantaranya memiliki pendidikan setingkat strata satu dan satu orang S2. Namun jika dilihat kualifikasi pendidikan yang spesifik mengenai Pengelolaan Sampah, maka tenaga yang ada dinilai masih kurang, selain itu SDM sebagai operator peralatan yang merupakan faktor vital dalam kegiatan pengelolaan perlu ditambah dan dilatih. Lebih mempertajam analisis model pelaksanaan kebijakan Pengelolaan
Sampah dilakukan analisis SWOT (Strength, Weakness, Opportunities and Threats). Analisis ini merupakan pendekatan manajerial dalam merumuskan variabel-variabel yang menentukan dan berpengaruh terhadap pengelolaan sampah di Kota Bandung baik positif maupun negatif. Pada kondisi internal variabel positif berupa kekuatan (strengths) sedangkan negatifnya berupa kelemahan (weakness). Pada kondisi eksternal, variabel positif berupa peluang (opportunities) sedangkan variabel negatif berupa ancaman (threats). Hasil evaluasi lebih jelasnya disajikan pada Tabel 24. Berdasarkan Tabel 34 disajikan Tabel 35 berupa rumusan strategi berdasarkan AHP, SWOT dan analisis faktor.
113
Tabel 34
Faktor Internal dan Faktor Eksternal Pelaksanaan Kebijakan Pengelolaan Sampah di Kota Bandung KEKUATAN KELEMAHAN - Struktur organisasi berbentuk - Tidak tersedianya SDM dengan pendidikan spesifik Pengelolaan PD yang memiliki akses luas Sampah. - Tugas, wewenang dan dan fasilitas tanggung jawab pasti dan jelas. - Kendaraan penunjang umurnya sudah tua. - Sudah ada sarana/prasarana untuk mendukung kinerja - Jumlah personalia/ SDM yang belum memadai. personalia. - Sudah ada Rencana Strategis - Pola penempatan pegawai belum Faktor dan Rencana Kerja. dengan “the right man in the right Internal - Adanya anggaran untuk place”. mendukung kegiatan. - Pola birokrasi dengan rantai pengambilan keputusan yang panjang membuat suatu permasalahan yang muncul tidak dengan segera dapat diambil tindakan. PELUANG ANCAMAN - Menggejalanya anggapan di - Adanya Perda yang sebagian warga kota bahwa jika mendukung pelaksanaan tugassudah membayar retribusi maka tugas di bidang kebersihan. tidak perlu lagi peduli dengan - Adanya keterlibatan kebersihan sekitarnya. kantor/instansi lain untuk - Minimnya anggaran yang tersedia mendukung tugas-tugas PD di APBD. kebersihan - Kenaikan harga alat dan bahan. - Adanya potensi dukungan - Munculnya klaim warga baik masyarakat melalui kegiatan pribadi atau kelompok terhadap kerja bakti aset tanah yang dipergunakan - Kemungkinan memberikan Faktor sebagai lahan akhir. nilai ekonomis pada sampah Eksternal - Masyarakat membuang sampah di - Penyertaan swasta sebagai Tempat Pembuangan Akhir liar. mitra dalam pengelolaan - Kecenderungan untuk sampah mereorganisasi PD Kebersihan - Dukungan pembinaan dan hingga menjadi bantuan dana dari pemerintah subdin/bidang/bagian dari suatu pusat melalui Departemen kantor. terkait. - Belum berjalannya prinsip “law and punishment” bagi pelanggar Perda kebersihan.
114
Tabel 35 Matriks Strategi Pelaksanaan Kebijakan Faktor Internal
-
-
KEKUATAN Struktur organisasi berbentuk PD Tugas, wewenang dan tanggung jawab pasti dan jelas. Adanya personalia/SDM. Adanya sarana/prasarana. Sudah ada Rencana Strategis dan Rencana Kerja. Adanya anggaran untuk mendukung kegiatan.
Faktor Eksternal PELUANG - Adanya Perda yang mendukung. - Adanya keterlibatan kantor/instansi lain. - Adanya potensi dukungan masyarakat. - Kemungkinan nilai ekonomis sampah. - Penyertaan swasta sebagai mitra - Dukungan pembinaan staf dan dana kegiatan
STRATEGI S-O: - Mempertahankan bentuk PD dengan peran yang lebih besar dalam mendorong peran masyarakat - Peningkatan koordinasi dengan instansi lain. - Melakukan analisis kebutuhan staf dan personil lapangan sesuai volume kerja - Menyertakan swasta sebagai mitra yang dituangkan dalam Renstra dan Perda. - Penajaman rencana Strategis dan Rencana Kerja. - Peningkatan efisiensi dan penggalangan sumber-sumber dana mandiri dari retribusi dan jasa kebersihan.
ANCAMAN - Menggejalanya anggapan warga bahwa jika sudah membayar retribusi maka tidak perlu lagi peduli dengan kebersihan. - Minimnya anggaran yang tersedia di APBD. - Kenaikan harga alat dan Bahan - Masyarakat membuang sampah tidak pada tempatnya. - Kecenderungan untuk mereorganisasi PD Kebersihan hingga menjadi Belum berjalannya prinsip “law and punishment”
STRATEGI S-T: - Sosialisasi perda kebersihan kepada masyarakat. - Merumuskan biaya minimum pengelolaan sampah. - Penyertifikatan asset tanah dan jika perlu dituangkan dalam perda - Penerapan sanksi bagi pelanggar Perda kebersihan. - Mempertahankan bentuk organisasi.
KELEMAHAN Tidak tersedianya SDM dengan pendidikan spesifik Pengelolaan Sampah. - Kendaraan dan fasilitas sudah tua. Belum ada manual pekerjaan di lapangan. - Pola penempatan pegawai sebagian masih belum “the right man in the right place”. - Pola birokrasi dengan rantai pengambilan keputusan yang panjang. - Sistem penyusunan anggaran yang kaku. - Minimnya tenaga teknis pemeliharaan. STRATEGI W-O: - Peningkatan kualitas SDM di bidang kebersihan, melalui program pelatihan atau pendidikan formal. - Penggantian kendaraan dan alat. - Perumusan dan penajaman metode kerja di lapangan dalam bentuk manual baku. - Penerapan analisis jabatan dalam penempatan pejabat. - Mempersingkat rantai birokrasi. - Penyusunan pola anggaran lebih dinamis dan fleksibel terhadap kemungkinan perubahan kegiatan. - Kerjasama dengan swasta untuk mengatasi minimnya anggaran dengan memanfaatkan nilai ekonomis sampah. - Pengembangan kemampuan teknis staf peralatan dengan memanfaatkan program pelatihan dari pusat. STRATEGI W-T: - Peningkatan fungsi Subdin Pembinaan Masyarakat. - Kontrak/kerjasama dengan swasta dalam pemeliharaan/sewa alat. - Mempersingkat rentang pengambil keputusan ancaman yang timbul. - Pemanfaatan dana pihak ketiga seperti misalnya pengguna jasa untuk kegiatan non-budget. -
115
Berdasarkan hasil perumusan strategi pada matriks strategi, dapat ditetapkan model pelaksanaan kebijakan Pengelolaan Sampah dalam upaya meningkatkan kualitas lingkungan di Kota Bandung, berupa tindakan-tindakan pengelolaan sampah sebagai berikut: 1. Reduce a. Pelaksanaan kebijakan pengelolaan sampah dalam hal komunikasi : 1) Menetapkan strategi berupa penyebaran informasi pengurangan
sampah dari sumber berupa kebijakan pengurangan sampah plastik, atau sampah lainnya yang tidak dapat didaur ulang. 2) Menetapkan strategi penggunaan media massa dalam penyampaian kebijakan
pengurangan sampah
berupa penyebaran
informasi-
informasi berkaitan dengan bahan-bahan yang tidak dapat didaur ulang dengan menggunakan teknologi informasi seperti internet, atau melalui pamflet, televisi maupun spanduk. 3) Menetapkan strategi penyampaian informasi secara berkala di tempattempat yang memiliki potensi menghasilkan sampah yang tidak dapat didaur ulang. 4) Menetapkan strategi ketepatan dan kesesuaian penggunaan media maupun penanganan terhadap produsen penghasil bahan yang tidak dapat didaur ulang. b. Pelaksanaan kebijakan pengelolaan sampah dalam hal sumberdaya 1) Menetapkan strategi perolehan sumberdaya informasi yang dibutuhkan
pelaksanaan berkaitan dengan pengurangan sampah dari sumbernya. 2) Menetapkan strategi dalam penggunaan sarana dan prasarana bantuan
pemerintah berupa peralatan dalam pengurangan sampah dari sumbernya. c. Pelaksanaan kebijakan pengelolaan sampah dalam hal disposisi 1) Menetapkan
strategi
penerapan
dalam
pelaksanaan
tentang
pengurangan sampah dari sumbernya 2) Menetapkan strategi dalam meningkatkan sikap aparat pemerintah
dalam menjalankan tugas pengurangan sampah dari sumbernya
116
3) Menetapkan strategi dalam mengupayakan sikap aparat pemerintah
dalam menjalankan tugas pengurangan sampah dari sumbernya d. Pelaksanaan kebijakan pengelolaan sampah dalam hal birokrasi 1) Menetapkan strategi kejelasan wewenang aparat pemerintah dalam
menjalankan tugas pengurangan sampah dari sumbernya 2) Menetapkan strategi kejelasan koordinasi yang dilakukan aparat
pemerintah dalam menjalankan tugas pengurangan sampah dari sumbernya. 2. Reuse a. Pelaksanaan kebijakan pengelolaan sampah dalam hal komunikasi 1) Menetapkan
strategi berupa penyebaran informasi penggunaan
kembali sampah berupa kebijakan penggunaan kembali sampah plastik, atau sampah lainnya yang dapat dipakai ulang. 2) Menetapkan strategi penggunaan media massa dalam penyampaian
kebijakan penggunaan kembali sampah berupa penyebaran informasiinformasi berkitan dengan bahan-bahan yang dapat digunakan kembali dengan menggunakan teknologi informasi seperti internet, atau melalui pamflet, televisi maupun spanduk. 3) Menetapkan strategi penyampaian informasi secara berkala di tempat-
tempat yang memiliki potensi menghasilkan sampah yang dapat digunakan kembali. 4) Menetapkan strategi ketepatan dan kesesuaian penggunaan media
maupun penanganan terhadap produsen penghasil bahan yang dapat digunakan kembali. b. Pelaksanaan kebijakan pengelolaan sampah dalam hal sumberdaya 1) Menetapkan strategi perolehan sumberdaya informasi yang dibutuhkan
pelaksanaan berkaitan dengan penggunaan kembali sampah yang dihasilkan. 2) Menetapkan strategi dalam penggunaan sarana dan prasarana bantuan
pemerintah berupa peralatan dalam penggunaan kembali sampah yang dihasilkan.
117
c. Pelaksanaan kebijakan pengelolaan sampah dalam hal disposisi 1) Menetapkan
strategi
penerapan
dalam
pelaksanaan
tentang
penggunaan kembali sampah yang dihasilkan. 2) Menetapkan strategi dalam meningkatkan sikap aparat pemerintah
dalam menjalankan tugas penerapan penggunaan kembali sampah yang dihasilkan 3) Menetapkan strategi dalam mengupayakan sikap aparat pemerintah
dalam menjalankan tugas pelaksanaan penggunaan kembali sampah yang dihasilkan d. Pelaksanaan kebijakan pengelolaan sampah dalam hal birokrasi 1) Menetapkan strategi kejelasan wewenang aparat pemerintah dalam
menjalankan tugas penggunaan kembali sampah yang dihasilkan 2) Menetapkan strategi kejelasan koordinasi yang dilakukan aparat
pemerintah dalam menjalankan tugas pelaksanaan penggunaan kembali sampah yang dihasilkan
3. Recycle a. Pelaksanaan kebijakan pengelolaan sampah dalam hal komunikasi 1) Menetapkan strategi berupa penyebaran informasi sampah yang dapat
didaur ulang berupa kebijakan penggunaan bahan-bahan yang dapat didaur ulang. 2) Menetapkan strategi penggunaan media massa dalam penyampaian
kebijakan penggunaan sampah berupa penyebaran informasi-informasi berkitan dengan bahan-bahan yang dapat didaur ulang dengan menggunakan teknologi informasi seperti internet, atau melalui pamflet maupun spanduk. 3) Menetapkan strategi penyampaian informasi secara berkala di tempat-
tempat yang memiliki potensi menghasilkan sampah yang dapat didaur ulang.
118
4) Menetapkan strategi ketepatan dan kesesuaian penggunaan media
maupun penanganan terhadap produsen penghasil bahan yang dapat didaur ulang. b. Pelaksanaan kebijakan pengelolaan sampah dalam hal sumberdaya 1) Menetapkan strategi perolehan sumberdaya informasi yang dibutuhkan
pelaksanaan berkaitan dengan penggunaan sampah yang dapat didaur ulang. 2) Menetapkan strategi dalam penggunaan sarana dan prasarana bantuan
pemerintah berupa peralatan dalam pengolahan sampah yang dapat didaur ulang. c. Pelaksanaan kebijakan pengelolaan sampah dalam hal disposisi 1) Menetapkan strategi penerapan dalam pelaksanaan tentang sampah
yang dapat didaur ulang 2) Menetapkan strategi dalam meningkatkan sikap aparat pemerintah
dalam menjalankan tugas pengelolaan sampah yang dapat didaur ulang 3) Menetapkan strategi dalam mengupayakan sikap aparat pemerintah
dalam menjalankan tugas pengelolaan sampah yang dapat didaur ulang
d. Pelaksanaan kebijakan pengelolaan sampah dalam hal birokrasi 1) Menetapkan strategi kejelasan wewenang aparat pemerintah dalam
menjalankan tugas pengelolaan sampah yang dapat didaur ulang 2) Menetapkan strategi kejelasan koordinasi yang dilakukan aparat
pemerintah dalam menjalankan tugas pengelolaan sampah yang dapat didaur ulang. 4. Empower a. Pelaksanaan kebijakan pengelolaan sampah dalam hal komunikasi 1) Menetapkan strategi berupa penyebaran informasi pemanfaatan
sampah berupa kebijakan yang berorientasi dalam mengerahkan masyarakat dalam mengelola sampah. 2) Menetapkan strategi penggunaan media massa dalam penyampaian
kebijakan pengelolaan sampah berupa penyebaran informasi-informasi
119
berkitan dengan bahan-bahan yang memiliki nilai jual tinggi dengan menggunakan teknologi informasi seperti internet, atau melalui pamflet maupun spanduk. 3) Menetapkan strategi penyampaian informasi secara berkala di tempat-
tempat yang memiliki potensi dalam pengelolaan sampah secara swadaya masyarakat. 4) Menetapkan strategi ketepatan dan kesesuaian penggunaan media
maupun penanganan terhadap pengelola sampah dari penghasil sampah. b. Pelaksanaan kebijakan pengelolaan sampah dalam hal sumberdaya 1) Menetapkan strategi perolehan sumberdaya informasi yang dibutuhkan
pelaksanaan berkaitan dengan pengelolaan sampah secara personal. 2) Menetapkan strategi dalam penggunaan sarana dan prasarana bantuan
pemerintah berupa peralatan dalam memproduksi barang/produk dengan bahan baku sampah. c. Pelaksanaan kebijakan pengelolaan sampah dalam hal disposisi 1) Menetapkan
strategi
penerapan
dalam
pelaksanaan
tentang
pemberdayaan masyarakat dalam pengelolaan sampah. 2) Menetapkan strategi dalam meningkatkan sikap aparat pemerintah
dalam menjalankan tugas penerapan pengelolaan sampah yang dihasilkan 3) Menetapkan strategi dalam mengupayakan sikap aparat pemerintah
dalam menjalankan tugas pelaksanaan pengelolaan kembali sampah yang dihasilkan d. Pelaksanaan kebijakan pengelolaan sampah dalam hal birokrasi 1) Menetapkan strategi kejelasan wewenang aparat pemerintah dalam
menjalankan tugas pemberdayaan masyarakat dalam pengolahan sampah 2) Menetapkan strategi kejelasan koordinasi yang dilakukan aparat
pemerintah dalam menjalankan tugas pelaksanaan pengolahan sampah yang dihasilkan
120
Model pelaksanaan kebijakan Pengelolaan Sampah dalam mengendalikan sampah di Kota Bandung, disajikan dalam Gambar 13. Pengelolaan Sampah di Kota Bandung
Mengurangi
Menggunakan Kembali
Mendaur Ulang
Memberdayakan
Komunikasi
Sumberdaya
Disposisi
Birokrasi
Sosialisasi
Sumber informasi
Penerapan
Wewenang
Media
Peralatan
Sikap aparat
Koordinasi
Potensi Lokasi
Keinginan aparat
Potensi Media
Gambar 13 Model Pelaksanaan Kebijakan Pengelolaan Sampah di Kota Bandung Berdasarkan ketetapan model pelaksanaan kebijakan Pengelolaan Sampah di Kota Bandung maka rencana strategi yang paling baik diambil oleh PD Kebersihan adalah strategi pemanfaatan kekuatan kelembagaan untuk menangkap peluang yang ada (strategi SO). Strategi yang dirumuskan yakni penguatan fungsi seksi di dalam PD Kebersihan khususnya seksi Operasional dan jika perlu pembentukan unit baru seperti seksi Pembinaan Masyarakat dalam rangka memanfaatkan
potensi
masyarakat
dalam
bentuk
Lembaga
Kebersihan
Lingkungan (LKL). Strategi ini merupakan grand strategy berdasarkan strategi dan model pelaksanaan kebijakan Pengelolaan Sampah yang harus juga dibarengi strategi-strategi tambahan lain seperti:
121
-
Peningkatan
koordinasi dengan
instansi-instansi
lain
seperti
Kantor
Pendapatan, Kantor Kesejahteraan, Kecamatan, Kelurahan dalam rangka mencapai visi dan misi PD Kebersihan. -
Peningkatan
kualitas
SDM
dengan
program-program
Pelatihan
dan
Pendidikan baik formal maupun informal bagi staf dijajaran manajerial maupun teknis pada PD Kebersihan. -
Peningkatan efesiensi operasional dan biaya pelaksanaan kegiatan pada tahap pengunpulan dan pengangkutan, sehingga alokasi anggaran pembinaan dan penyuluhan masyarakat dapat meningkat. Untuk dapat merencanakan pengelolaan sampah di Kota Bandung harus
dilihat menurut sudut pandang mekanisme/prosedur operasional, pelaksana, penanggung jawab (lembaga pengelola sampah), peralatan/tempat dan sisi keuangan/finansial.
Rencana
peningkatan pelayanan pengelolaan
sampah
dilakukan dengan dasar perhitungan proyeksi jumlah penduduk sehingga dapat ditentukan besar timbulan sampah di Kota Bandung. Selanjutnya tingkat pelayanan pengelolaan sampah diasumsikan berdasarkan kepadatan penduduk tiap kelurahan sesuai dengan pedoman pelaksanaan. Dengan dasar tersebut dapat dihitung nilai volume pelayanan sampah dan berapa kebutuhan sarana/prasarana untuk tahun mendatang. Tata cara pengelolaan sampah perkotaan yang direncanakan pada kawasan perencanaan meliputi kegiatan: 1. Pewadahan sampah: merupakan tahap awal dalam pengelolaan sampah, sampah dari sumber timbulan dimasukkan dalam wadah untuk memudahkan pengumpulan sampah dan meminimalkan kontak langsung sampah dengan lingkungan di sekitarnya. 2. Pengumpulan sampah: pengumpulan sampah dari sumber timbulan sampai transfer depo atau lokasi pembuangan sementara (TPS). 3. Pemindahan sampah: pemindahan sampah dari transfer depo atau TPS ke dalam alat pengangkut yang akan membawa sampah ke TPA.
122
4. Pengangkutan sampah: pengangkutan sampah dari transfer depo/TPS ke lokasi pengolahan sampah atau pembuangan akhir. Seluruh kegiatan pengelolaan sampah tersebut harus dilaksanakan secara terpadu. Sehingga kegiatan pengelolaan sampah dapat optimal dan dampak terhadap lingkungan dapat dikurangi. Perumusan komponen pertimbangan tindakan pengelolaan sampah di Kota Bandung dengan menggunakan teknikteknik pengelolaan berdasarkan pendekatan pengelolaan dan karakteristik penerapan di Kota Bandung yang telah dianalisis dengan mempergunakan analisis faktor, dan dikombinasikan dengan pendekatan metoda Analityc Hierarchy Process (AHP) serta Analisis SWOT. Rumusan hasil analisis yang telah dilakukan tersebut digunakan sebagai arahan penanganan pengelolaan sampah di Kota Bandung berdasarkan tipologinya yaitu Reduce, Reuse, Recycle dan Empower. Keterlibatan para stakeholder yang terdiri dari masyarakat, lembaga swadaya masyarakat (LSM) atau pihak swasta dan pihak pemerintah berkaitan dengan tipologi pengelolaan sampah diperlukan dalam upaya meningkatkan pelaksanaan kebijakan Pengelolaan Sampah di Kota Bandung, yang dijelaskan sebagai berikut: 1. Stakeholder mengurangi sampah, terdiri dari: a. Masyarakat, dengan membudayakan penggunaan produk konsumsi yang tidak menimbukan sampah, seperti mengurangi penggunaan sampah plastik b. LSM, dengan mengawasi perusahaan-perusahaan yang menghasilkan produk yang memproduksi sampah, seperti mengawasi penggunaan bahan plastik yang tidak bisa hancur. c. Pemerintah, dengan menetapkan suatu kebijakan yang menekan produksi sampah plastik, seperti kebijakan pelarangan penggunaan plastik yang tidak bisa hancur.
123
2. Stakeholder menggunakan kembali sampah, terdiri dari: a. Masyarakat, dengan membudayakan penggunaan kembali sampah yang tidak bisa hancur, seperti penggunaan kembali sampah plastik untuk pembungkus sampah. b. LSM, dengan ikut serta mensosialisasikan penggunaan kembali sampah, seperti memberikan solusi kepada masyarakat tentang manfaat-manfaat sampah yang dapat digunakan kembali. c. Pemerintah, dengan menetapkan suatu program yang mendorong masyarakatnya untuk selalu berupaya mengurangi produksi sampah dengan cara memberikan alternatif-alternatif penggunaan kembali sampahsampah yang diproduksi rumah tangga 3. Stakeholder mendaur ulang sampah, terdiri dari: a. Masyarakat, agar ikut serta dalam proses mendaur ulang sampah, seperti memilah atau memisahkan sampah rumahtangganya menjadi sampah organik dan anorganik. b. LSM, dengan mendorong masyarakat untuk ikut serta memproduksi daur ulang sampah, seperti mengenalkan produk-produk yang dapat dihasilkan dari bahan baku sampah. c. Pemerintah, dengan ikut serta mendorong dan memasarkan hasil-hasil produksi daur ulang sampah. 4. Stakeholder memberdayakan masyarakat, terdiri dari: a. Masyarakat, dengan ikut serta dalam pemberdayaan masyarakat agar ikut bertanggungjawab menangani permasalahan berkaitan dengan sampah. b. LSM, dengan ikut serta dalam proses pemberdayaan masyarakat yang berhubungan dengan pengelolaan sampah, dari mulai pengumpulan, pemilahan, sampai kepada pengantaran ke TPA. c. Pemerintah, dengan memfasilitasi pemberdayaan masyarakat, seperti menyediakan tempat-tempat penampungan sampah hasil pengumpulan sampah masyarakat.
124
Salah satu publikasi Masyarakat Perlindungan Air dan Tanah (The Soil and Water Conservation Society, 1995) disebutkan tentang hierarki perlindungan sumberdaya (resource recovery hierarchy) untuk manajemen aliran sampah. Hierarki tersebut terdiri dari 4 (empat) langkah: 1. Material sampah harus dikelola secara benar sejak awal (rumah tangga, RS, industri, dan sebagainya) guna mengurangi kontribusi yang tidak perlu pada masalah sampah di kemudian hari. 2. Material sampah harus digunakan ulang (reused atau recycled) atau diubah melalui teknologi yang dapat memberi nilai tambah pada sampah tersebut. 3. Sisa material sampah-pun harus di daur-ulang, termasuk untuk membuat pupuk organik, atau bahan tertentu yang bias digunakan untuk pemakaian di waktu mendatang. 4. Bahan-bahan sampah tertentu tetap harus dibuang. Dalam hal ini, tempat pembuangan sampah harus dipilih dengan pertimbangan matang sehingga dapat menjamin perlindungan yang maksimal bagi lingkungan, baik tanah, air, dan udara, serta bagi kesehatan umat manusia. 5. Isu sentral dari masalah pengelolaan sampah di wilayah perkotaan ini terutama pengelolaan sampah secara efektif dalam rangka meningkatkan standar hidup masyarakat sekaligus melindungi lingkungan dan sumberdaya alam lainnya. Manajemen kebersihan dalam konteks pengelolaan sampah terdiri dari beberapa aspek yang saling terkait. Seluruh aspek dalam pengelolaan sampah memerlukan kerjasama dalam pelaksanaannya, baik pada fungsi perencanaan, pelaksanaan maupun pengawasan. Apabila dilakukan identifikasi jenis-jenis kerjasama dalam menjalankan manajemen pengelolaan sampah, maka hal ini dapat ditinjau dari masing-masing aspek. 1. Kerjasama dalam Aspek Teknik Operasional a. Kerjasama pengumpulan sampah, dalam hal ini kerjasama dengan RW untuk pengumpulan sampah dari lingkungan pemukiman. b. Kerjasama dengan pengusaha dalam kegiatan operasional pengelolaan sampah dan daur ulang (masih dalam proses penjajagan).
125
c. Kerjasama dengan Pemerintah Kota Cimahi dan Kabupaten Bandung dalam kegiatan pengelolaan pembuangan akhir. 2. Kerjasama dalam Aspek Pembiayaan a. Kerjasama dengan PLN, KUD dan Bank dalam penyelenggaraan pemungutan jasa pelayanan kebersihan. b. Kerjasama dengan lembaga pengawasan khususnya dalam pelaksanaan auditing keuangan perusahaan melalui akuntan publik. 3. Kerjasama dalam Aspek Peran Serta Masyarakat -
Kerjasama dengan media masa dalam melakukan sosialisasi program pengelolaan sampah kota.
4. Kerjasama dalam Aspek Peraturan Hukum -
Kerjasama dengan aparat penegak hukum dalam menindak pelanggaran terhadap peraturan kebersihan kota. Oleh karena sifat dari pengelolaan sampah memerlukan keterlibatan semua
pihak, maka setiap aspek pengelolaan sampah perlu dijalankan melalui mekanisme kerjasama. Tanpa adanya kerjasama maka pengelolaan sampah tidak akan dapat berhasil. Jika dikelola secara baik dan professional, usaha yang berbasis sampah sesungguhnya memiliki potensi yang cukup menjanjikan. Bahkan Kompas pernah menurunkan laporan tentang pengelolaan Pengelolaan Sampah, dan mengatakan bahwa sampah bisa dipandang sebagai kotoran sekaligus harta karun (Kompas, 10 Januari 2004). Komponen utama dari pertanian organik adalah pupuk kompos. Kalau sebidang tanah dikompos dengan baik, tanah akan menjadi sehat. Kalau kelebihan air, tanah berkompos akan mendrainasekannya, sementara jika kekurangan air di musim kemarau, air itu ditahan. Kompos juga mempunyai daya tahan terhadap zat-zat, seperti fosfor, nitrogen, dan elemen-elemen mikro, seperti magnesium dan polidenum. Tanpa kompos, begitu ada air, tanah akan terus larut. Karena itu, bila ada tanaman di tanah berpasir, kalau pun tumbuh akan kurus. Inilah nilai tinggi yang dimiliki oleh sampah. Karena terlalu tingginya nilai ekonomis sampah, di Belanda industri kompos membuat jalur jalan kereta
126
api sendiri dan tidak lagi menggunakan angkutan truk seperti di Jakarta. Hal ini mengindikasikan betapa ekonomisnya bisnis Pengelolaan Sampah. Jika pemerintah sadar terhadap potensi ekonomis sampah tersebut, mestinya segera dilakukan kajian kebijakan untuk menarik sektor swasta menanamkan modal di bidang industri pengolahan sampah. Jika hal ini bisa dilakukan, maka akan dapat terwujud keuntungan secara merata bagi setiap pihak yang terkait dengan upaya pengelolaan sampah. Bagi pemerintah, misalnya, keuntungan yang dapat diraih dari pola pengelolaan sampah yang sinergis ini antara lain adalah: 1. Beban Pemerintah (daerah) dalam penyediaan / pemberian layanan semakin berkurang karena telah diambil alih sebagian oleh sektor swasta sebagai ujung tombak. 2. “Pengambil alihan” sebagian tugas-tugas pelayanan publik oleh sektor swasta sekaligus merupakan wahana memberdayakan potensi masyarakat yang selama ini terabaikan. 3. Pemda tidak perlu membentuk kelembagaan khusus yang besar hanya untuk menangani pengelolaan sampah. Ini berarti dapat mendorong efek penghematan anggaran. 4. Menjadi sumber pendapatan daerah melalui penarikan retribusi atau pemberian lisensi / konsesi pengelolaan sampah. 5. Kendala teknis berupa keterbatasan sumberdaya atau kelemahan manajemen yang biasanya melekat pada birokrasi publik dapat teratasi dengan cara sharing antar Pemda atau antara Pemda dengan swasta. Di sisi lain, jika pengelolaan sampah dilakukan oleh swasta atau sebuah tim bersama, diharapkan dapat dicapai beberapa keuntungan diantaranya: -
Menjanjikan keuntungan (profit margin) bagi pengelola atau penanam modal di bidang pelayanan kebersihan.
-
Dapat bekerja lebih cepat, fleksibel dan efisien disbanding lembaga induk yang membentuknya.
-
Lebih bersifat fungsional sehingga mampu melepaskan diri dari jeratan-jeratan dan kendala struktural yang menjadi ciri khas dari sistem birokrasi publik.
127
-
Pengelolaan suatu urusan lebih professional, sehingga dapat menciptakan mutu pelayanan yang jauh lebih baik dan dapat dipertanggungjawabkan. Sementara bagi masyarakat, pengelolaan yang professional dari service
provider diharapkan dapat memperbaiki kinerja pelayanan umum yang diindikasikan oleh tingkat kepuasan pelanggan (costumer satisfaction). Hal ini dapat tercapai jika penyelenggaraan suatu urusan atau suatu kawasan dapat lebih terfokus (tidak ada intervensi birokrasi publik), sehingga pelayanan bidang tertentu (cq. Pengelolaan Sampah) dapat meningkat secara signifikan. Dengan kata lain, jika pelayanan Pengelolaan Sampah dapat menimbulkan kepuasan bagi masyarakat, berarti telah terpenuhi prinsip penting dalam pelayanan yakni best value for money. Artinya, masyarakat yang telah mengeluarkan biaya untuk memperoleh pelayanan tersebut (yakni dengan membayar retribusi), mendapatkan tegen prestatie yang seimbang dengan biaya yang telah dikeluarkan tadi. Prinsip best value for money telah dapat terpenuhi, maka dapat dikatakan bahwa kinerja pelayanan pemerintah dalam pemberian layanan sudah mencapai derajat yang optimal. Selanjutnya, untuk mendorong agar pola-pola kerjasama ini dapat menjadi ”kebutuhan” bagi pemerintah daerah pada umumnya dan penyedia jasa layanan pada khususnya, maka dibutuhkan adanya payung hukum secara nasional yang mengatur mengenai aturan main serta hak dan kewajiban, termasuk implikasi dari penyelenggaraan kerjasama (joint management) tersebut. Ini berarti pula, kerjasama dalam rangka pemenuhan kebutuhan publik ini perlu mengintegrasikan kaidah-kaidah hukum privat / perdata dengan kaidah-kaidah hukum publik (HAN). Disamping itu, diperlukan juga adanya sikap pro-aktif dan kesadaran dari pihak pemerintah untuk terus-menerus memperbaiki berbagai dimensi yang terkait dengan pelayanan yang bersangkutan.
128
Gambar 14
Sumber: Kertas Posisi Yayasan Wisnu No. 01/IV/2001 Sistem Modifikasi Pengelolaan Sampah
Dari hasil kajian dapat dirumuskan kebijakan pengelolaan sampah di kota bandung harus melibatkan unsur Pemerintah, Masyarkat, dan Swasta. 1. Peran Masyarakat Pengelolaan sampah oleh masyarakat baik melalui komunitas dapat menjadi pemasukan bagi wilayahnya apabila dikelola dengan baik dan menambah lapangan pekerjaan. Sampah yang dihasilkan masyarakat jika sudah dapat dipisahkan berdasarkan jenisnya mulai dari awal, dapat dimanfaatkan kembali atau dijual untuk membiayai usaha pengelolaan sampah secara swadaya. Selama ini berbagai macam himbauan dari pemerintah untuk melakukan pemisahan mulai dari sumber sampah tidak jalan, karena tidak jelas apa manfaatnya bagi masyarakat. Kalau pemilahan ini memberikan nilai ekonomis bagi masyarakat, tentunya sistem monitoring dari masyarakat akan berjalan dengan sendirinya. Begitu juga dengan pemulung. Anggapan umum dari masyarakat, pemulung menyebabkan timbulnya masalah keamanan, oleh karena itu agar tidak menimbulkan ketegangan sosial, dimulai dengan saling curiga, kehadiran pemulung dapat lebih diatur tidak langsung ke rumah tangga sebagai sumber sampah, tetapi hanya sampai TPS atau TPA saja.
129
2. Peran Swasta Peranan swasta dalam upaya pengelolaan sampah adalah sebagai pendukung sistem (support system), seperti: 1) mempercepat proses transformasi/ peralihan dari dominansi pemerintah ke masyarakat; 2) sebagai Pengumpul material/barang yang masih dapat di daur ulang atau masih berguna. 3. Peran Pemerintah Peran pemerintah, apabila sistem pengelolaan sampah berbasis masyarakat ini berjalan, hanya memikirkan masalah pengelolaan TPA. Beban berat dari besarnya anggaran yang diharus ditanggung dapat dikurangi secara efisien. Beban mengelola sampah juga akan berkurang dengan drastis dengan hanya mengelola sampah. Sampah yang diangkut oleh pemerintah dari TPS ke TPA tentunya harus ditarik pungutan/retribusi yang akan digunakan untuk operasional. Sedangkan biaya rutin sampah per bulan akan menjadi hak dari pengelola masyarakat karena peran aktifnya mengatasi masalah pengelolaan sampah. Memperhatikan peran Masyarakat, kebijakan yang harus dilakukan oleh pemerintah kota Bandung adalah mengatur peran rukun warga (RW) sebagai kolektor tahap awal dan memberikan kewenangan kepada RW untuk Mengumpulkan, Mengolah sampah dengan konsep 3R dan menjualnya sebagai bangkitan pendapatan (Incomegenerating). Memperhatikan peran Swasta, diperlukan kebijakan insentif berupa kemudahan akses mengelola sampah, kemudahan akses memperoleh modal, kemudahan dalam perijinan, keringanan pajak dan retribusi, sedangkan peran Pemerintah perlu ada kebijakan agar pemerintah melakukan pemberdayaan Masyarakat, RW, dan Swasta, selain itu program penyuluhan/sosialisasi harus dilakukan secara terus-menerus dan berkelanjutan. Pemerintah wajib menyerap sebagian hasil pengelolaan sampah di tingkat RW terutama kompos untuk kebutuhan pemupukan taman kota. Peran PD kebersihan diarahkan sebagai pembina/bapa asuh dari Masyarakat, RW, dan Swasta untuk mengelola sampah secara profesional dan saling menguntungkan.
130
PD kebersihan dapat mengembangkan unit usahanya untuk bekerjasama dengan pihak swasta dalam mengambangkan bisnis daur ulang dan pengomposan, dengan demikian perlu ditijau kembali atau di revisi Perda no 2 Tahun 1985 tentang PD kebersihan, Perda no 27 Tahun 2001 tentang pengelolaan kebersihan, dan Perda no 11 Tahun 2005 tentang K3. Proses ini diharapkan dapat meningkatkan kwalitas lingkungan hidup di kota Bandung dan meningkatnya ekonomi secara tidak langsung dari pengelolaan sampah oleh masyarakat dan terhindarnya banjir akibat tersumbatnya aliran sungai oleh sampah. Secara keseluruhan proses kebijakan tersebut dilihat pada gambar 15. SAMPAH (Rumah Tangga) MASYARAKAT
Tempat Pengolahan RW 3R
SWASTA TPS
EMPOWERMENT Reduce Recycle Reuse PEMERINTAH Birokrasi Disposisi Sumberdaya Komunikasi Sosialisasi, Media, Potensi Lokasi dan Potensi Media
Wewenang dan Koordinasi Penerapan, Sikap Aparat dan Keinginan Aparat Sumber Informasi dan Peralatan
Gambar 15 Pola Operasional Kebijakan Pengelolaan Sampah di Kota Bandung
131
VI. KESIMPULAN DAN SARAN 6.1 Kesimpulan 1. Kebijakan pengelolaan sampah yang dilaksanakan di Kota Bandung saat ini belum sepenuhnya terlaksana dengan baik. Kebijakan pengelolaan sampah perkotaan yang diterapkan di Kota Bandung saat ini mengarah pada sampah sebagai sumber pendapatan daerah yang di laksanakan dalam bentuk berdirinya BUMD Perusahaan Daerah Kebersihan. Kebijakan pengelolaan sampah yang dilaksanakan oleh pemerintah Kota Bandung belum sesuai dengan Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2008 tentang Pengelolaan Sampah. 2. Faktor-faktor
dominan
yang
mempengaruhi
pelaksanaan
kebijakan
pengelolaan sampah perkotaan di Kota Bandung : Pertama faktor disposisi terdiri dari: a) penerapan, b) sikap aparat dan c) keinginan aparat; Kedua faktor sumberdaya terdiri dari: a) sumber informasi dan b) peralatan, Ketiga faktor komukasi yang terdiri dari: a) sosialisasi, b) media, c) potensi lokasi dan d) potensi media; dan Keempat faktor birokrasi terdiri dari: a) wewenang dan b) koordinasi. 3. Berdasarkan kekuatan, kelemahan, peluang, dan ancaman prioritas kebijakan dalam mengurangi sampah di kota Bandung adalah dengan melakukan sosialisasi, pemberdayaan masyarakat, pemanfaatan media komunikasi dan meningkatkan kualitas sumberdaya manusia serta menambah sarana. 4. Pemerintah kota Bandung perlu membuat kebijakan untuk pemberdayaan masyarakat dan swasta dalam pengelolaan sampah, peranan PD kebersihan adalah sebagai pembina/bapak asuh bagi masyarakat dan swasta dalam pengelolaan sampah, dengan demikian perlu adanya revisi terhadap Perda no 2 tahun 1985 tentang PD kebersihan, Perda no 27 Tahun 2001 tentang pengelolaan kebersihan, dan Perda no 11 Tahun 2005 tentang K3.
132
6.2 Saran Dari temuan lapangan serta berdasarkan kesimpulan di atas, maka dapat disarankan beberapa hal sebagai berikut: 1. Perlu adanya kajian yang lebih komprehensif tentang fungsi Perusahaan Daerah Kebersihan Kota Bandung. 2. Perlu adanya penelitian lebih lanjut tentang kemungkinan adanya konflik pengelolaan sampah perkotaan penerapan model kelembagaan pengelolaan sampah pengurangan dan penanganan melalui pemberdayaan masyarakat. 3. Pemerintah daerah juga seharusnya segera menyusun strategi kebijakan guna menarik investasi swasta dalam pengelolaan persampahan, mempromosikan teknologi pengolahan sampah, antara lain dengan memberi kemudahan – kemudahan dan pembebasan pajak tertentu kepada investor yang berminat, serta
memperkuat
partisipasi
masyarakat
dalam
siklus
manajemen
persampahan. Dengan kata lain, pemerintah daerah harus secepatnya memikirkan bagaimana menciptakan iklim yang kondusif untuk investasi di sektor kebersihan, sekaligus menyediakan sistem insentif dan disinsentif dalam pengelolaan persampahan, antara lain dengan pengurangan tarif pajak bagi produsen yang hasil produknya relatif tidak banyak mengandung limbah/sampah dan penambahan tarif pajak terhadap produsen yang hasil produknya lebih banyak mengandung limbah/sampah. 4. Pengelolaan sampah oleh pemerintah daerah harus secara sistemik. Artinya, isu persampahan haruslah dikaitkan dengan isu lain seperti pelestarian lingkungan dan pendapatan masyarakat. Dalam kaitan dengan aspek lingkungan, harus dipikirkan cara agar proses pembuangan, penimbunan, pembakaran,
pengolahan
atau
proses
lainnya
tidak
membahayakan
lingkungan hidup hayati maupun non-hayati. Sementara dari aspek pendapatan dan kesejahteraan masyarakat, pemerintah perlu berusaha keras agar potensi sampah yang sesungguhnya sudah tidak bernilai (worthless), dapat dijadikan sebagai potensi dengan nilai ekonomis yang cukup tinggi, diantaranya pelaksanaan sosialisasi yang efektif untuk memberdayakan masyarakat yang dimulai dari rumah tangga dalam hal reduce, reuse, recycle.
133
5. Manajemen persampahan juga tidak bisa dilepaskan dari isu pendidikan dan pertanian. Dalam kaitan dengan isu pendidikan, pemerintah perlu melakukan program penyadaran publik tentang cara membuang sampah dan jika perlu dilakukan pemisahan/pemilahan antara sampah organik dan non-organik, upaya yang dilakukan diantaranya melaksanakan simulasi pengelolaan sampah kepada para siswa yang duduk di sekolah dasar, sekolah lanjutan hingga perguruan tinggi. Sedangkan kaitannya dengan pembangunan pertanian, pemerintah semestinya dapat mengoptimalkan sampah sebagai bahan dasar pembuatan pupuk kompos, dengan upaya memberi pelatihan – pelatihan kepada para petani tentang tata cara pembuatan kompos, sehingga keberadaan sampah justru berdampak positif terhadap sektor lainnya, dalam hal ini sektor pertanian. Tentu saja, sampah juga memiliki potensi yang positif di sektor-sektor lainnya. 6. Pemerintah juga harus menjamin bahwa sarana pembuangan sampah tersedia di berbagai tempat seperti jalan-jalan dan taman umum, sekolah, rumah sakit, dan sebagainya. Pada saat yang bersamaan, pemerintah juga perlu mengatur bahwa para pengusaha swasta seperti hotel, restoran, super market, dan sebagainya harus menyediakan tempat pembuangan sampah secara memadai, dengan melaksanakan sosialisasi dan pengawasan. 7. Pemerintah daerah harus menegakan hukum (Law Enforcement) terhadap siapapun yang melanggar peraturan daerah mengenai kebersihan.
134
DAFTAR PUSTAKA
Aditya, D. 2008. Faktor-Faktor Penentuan Lokasi Tempat Penampungan Sampah Sementara (TPS) Berdasarkan Aspirasi Masyarakat Di Kecamatan Sukolilo, Surabaya; Teknik Perencanaan Wilayah & Kota, Sekolah Pascasarjana Institut Teknologi Sepuluh November, Surabaya. Albrow, M. 1989. Birokrasi, terjemahan M. Rusli Karim dan Totok Daryanto, Jogjakarta: PT. Tiara Wacana. Amurwaraharja, I.P. 2003. Teknologi Pengolahan Sampah Jakarta Timur. Bogdan, R., and Biklen. S.K. 1992. Qualitative Research For Education, Boston: Allyn and Bacon. Bogdan, R., and Taylor, S.J. 1975. Introduction to Qualitative Research Methods: A Phenomenological Approach to the Social Sciences, New York: Wiley. Brannen, J. 2002. Memadu Metode Penelitian Kualitatif dan Kuantitatif, Jogjakarta: Pustaka Pelajar. Cafezio, P., and Morehouse, D. 1998. Secrets of Break Through Leadership, Mumbai: Jaico Publishing House. Dillon, W.R., and M. Goldsetein. 1984. Multivariate Analisis Methods and applications. John Willey and sons. Inc. Djajadiningrat. 2001. Pendekatan Pengolahan Limbah (end of pipe). Dunn, W.N. 1999. Public Policy Analysis : An Introduction, New Jersey: Prentice Hall. Dye, T. 1976. Understanding Public Policy, New Jersey: Prentice Hall Englewood Cliffs. Edward III, G.C. 1980. Implementation Public Policy, Washington DC: Congresional Quarter Press. Edwards III, G.C., and Sharkansky, I. 1978. The Policy Predicament, San Fransisco: W.H. Freeman and Company. Effendi, S. 2000. Metode Penelitian Survai, Cetakan kedelapan, Jakarta: LP3ES. Famularo, J.J. 1986. Hand Book of Human Resources Administration. Singapore: Fong and Sons Printers Pte Ltd. Gomes, F.C. 1997. Manajemen Sumber Daya Manusia, Yogyakarta: Andi Offset. Grindle, M.S. 1980. Politic and Policy Implementation in The Third World, New Jersey: Princeton University Press.
135
Guba, E.G. 1981. Criteria For Assessing The Trustworthiness of Naturalistic Inquiries. Education Communication and Technology, Journal, Vol. 29, p. 75-92. Hasibuan,
M.S.P. 1996. Organisasi dan Motivasi, Produktivitas, Jakarta: Bumi Aksara.
Dasar
Peningkatan
Hogwood, B.W., and Gunn, L.A. 1987. Policy Analysis for the Real world, Oxford: University Press. Hoogerwerf. 1983. Ilmu Pemerintahan, alih bahasa Tobing, Jakarta: Erlangga. Hovland, C. I. 1959. Communication and Persuasion, Princeton University Press. Howlett, M., and Ramesh, M. 1995. Studying Public Policy, Policy Cycles and Policy Subsystems, New York: Oxford University Press. Isaac, S., and Michael, W.B. 1982. Handbook in Research and Evaluation, San Diego: EdIT Publishers. Islamy, M. I. 1994. Prinsip-prinsip Perumusan Kebijakan Negara, Jakarta: Bumi Aksara. Islamy, M. I. 2001. Policy Analysis, Malang: Program Pascasarjana Universitas Brawijaya. Istamto, R. 1994. Pengantar Kebijakan Publik, (Jones, Charles O.) Jakarta: Raja Grafindo Persada. Jones, C.D. 1994. Pengantar Kebijakan Publik, Jakarta: PT. Rajawali. Kholil. 2005. Rekayasa Model Sistem Dinamika Pengelolaan Sampah Terpadu Berbasis Nir Limbah (Zero State), Sekolah Pasca Sarjana Institut Pertanian Bogor. Komisi WHO mengenai Kesehatan dan Lingkungan. 2001. Planet Kita Kesehatan Kita,Yogyakarta: Gadjah Mada University Press. Kumorotomo, W. 1992. Etika Administrasi Negara, Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada. Lafland, J., and Lofland, L.H. 1984. Analyzing Social Setting A Guide to Qualitative Observation and Analysis. California: Wadwort Publishing Company Helmeth. Lincoln, Y.S., and Guba, E. 1985. Naturalistic Inquiry. San Francisko: Sage Publication. Lineberry, R.L. 1978. American Public Policy, New York: North Western University Harpen and Row Publisher. Mazmanian, D., and Sabatier, P.A. 1983. Effective Policy Implementation, Massachusets: D.C.Heath. Miles, M.B. and Huberman, M.A. 1992. Analisa Data Kualitatif, Jakarta: UI Press.
136
Moleong, L.J. 1989. Metodologi Penelitian Kualitatif, Bandung: PT.Remaja Rosdakarya. Moughtin, C., Taner, Oc., and Steven, T. 1999. Urban Design: Ornament and Decoration. Boston: Architectural Press. Moughtin, C., Gardner, A.R.T. 1990. "Towards an improved and protected environment", The Planner, pp.9-12.. Mouightin, C., Taner, Oc., and Steven, T. 1999. Urban Design: Ornament and Decoration. Oxford: Butterworth Architecture. Muhadjir, N. 1990. Metodologi Penelitian Kualitatif, Yogyakarta : Rake Sarasin. Mustopadidjaja, A.R. 1999. Studi Kebijaksanaan, Perkembangan, dan Penerapannya dalam Rangka Administrasi dan Manajemen Pembangunan, Jakarta: LP-FE-UI. Ndraha, T. 1997. Metodologi Ilmu Pemerintahan, Jakarta: Rineka Cipta. Ndraha, T. 2003. Kybernology (Ilmu Pemerintahan) 1 dan 2, Jakarta: Rineka Cipta. Nilandari, A. 2006. Aku Bisa Menghemat Listrik, Jakarta: Dian Rakyat. Patton, M.Q. 1987. How the Use Qualitative Methods in Evaluation, New Delhi India: Sage Publications. Pattons, C.V., and Sawicki, D.S. 1980. Basic Methods of Policy Analysis and Planning, New Jersey: Prentice-Hall Inc. Englewood Cliffs. Pearson, W. 1997. Public Policy: An Introduction to the Theory and Practice of Policy Analysis, Cambridge Great Britain: Edward Elgar. Rakhmat, J. 1997. Metode Penelitian Komunikasi. Bandung: PT. Remaja Rosdakarya. Rasyid, H.A. 1994. Statistika Sosial, Bandung: PPs UNPAD. Ripley, R. 1994. Policy Analysis in Political Science, Chicago: Nelson Hall. Saaty, T.L. 1994. Fundamentals of Decision Making and Priority Theory, RWS Publications, 4922 Ellsworth Avenue , Pittsburgh, PA. Saraswati, E. 2007. Model Pengembangan Kelembagaan Pengelolaan Sampah Kota Berbasis Pertisipasi Masyarakat, Sekolah Pasca Sarjana Institut Pertanian Bogor. Saribanon, N. 2007. Perencanaan Sosial Partisipatif Dalam Pengelolaan Sampah Permukiman Berbasis Masyarakat, Sekolah Pasca Sarjana Institut Pertanian Bogor. Schaltzman, L., and Strauss, A.L. 1973. Field Research : Strategies for a Natural Sociology, Englewood Cliffs: N.J. Prentice Hall. Siagian, S.P. 1985. Patologi Birokrasi: Analisis, Identifikasi dan Terapinya, Jakarta: Ghalia Indonesia.
137
Siagian, S.P. 1997. Organisasi Kepemimpinan dan Perilaku Administrasi, Jakarta: PT. Gunung Agung. Spradley, J.P. 1980. Participant Observation, Orlando FL: Harcourt Brace Jovanovich College Publishers. Sugandha, D. 1991. Koordinasi: Alat Pemersatu Gerak Administrasi, Cetakan Kedua, Jakarta: Intermedia. Sugiyono. 2002. Statistika Untuk Penelitian, Bandung: Alfabeta. Sunggono, B. 1994. Pemberdayaan Masyarakat, Jaringan Pengamanan Sosial, Jakarta: Gramedia Utama. Supriatna I., Setiadi, M.A., dan Hadi, S. 2005. Penyusunan Kebijakan Peningkatan Produksi Peternakan dengan Penerapan Teknologi Inseminasi Buatan di Daerah Tertinggal. Jakarta: PT Bernala Nirwana. Resource Development Consultant. Suradinata, E. 1993. Teori dan Praktek Kebijaksanaan Negara, Bandung: Ramadan. Suryaningrat, B. 1989. Perumusan Kebijaksanaan dan Koordinasi Pembangunan di Indonesia, Jakarta: PT. Bima Aksara. Van Meter, D.S., and Van Horn, C.E. 1975. The Policy Implementation Process A Conceptual Frame Work, London: Sage Publications Inc. Vargas, L.G. 1994. “Reply to Schenkerman’s Avoiding Rank Reversal in AHP Decision Support Models”, European Journal Of Operational Research, 74, pp. 420-425. Wahab, S.A. 1990. Analisis Kebijaksanaan Dari Formulasi ke Implementasi Kebijaksanaan Negara, Jakarta: Bumi Aksara. Wahab, S.A. 2000. Ekonomi Politik Pembangunan, Malang: Danar Wijaya Press. Wibowo., dan Djajawinata. 2007. Jurnal Penanganan sampah terpadu. Widodo, J. 2002. Good Governance, Telaah Dimensi: Akuntabilitas dan Kontrol Birokrasi Pada Era Dsentralisasi dan Otonomi Daerah, Surabaya: Insan Cendekia. Winardi, J. 1992. Manajemen Perilaku Organisasi, Bandung: Citra Aditya Bakti. Yin, R.K. 1989. Studi Kasus: Desain dan Metode, Jakarta: Raja Grafindo Persada.
Jurnal, Internet dan Dokumentasi Lainnya: Aida, N., dan Mudikdjo, K. 1996. Usaha Pemanfaatan Barang Bekas dari Sampah dan Pengaruhnya Terhadap Pengelolaan Sampah di Kotamadya Bogor : Studi Kasus TPA Gunung Galuga. Tesis Program Pascasarjana IPB. Tidak diterbitkan.
138
Amurwaraharja, I.P. 2003. Analisis Teknologi Pengolahan Sampah Dengan Proses Hirarki Analitik Dan Metoda Valuasi Kontingensi (Studi Kasus Di Jakarta Timur), Ilmu Pengelolaan Sumberdaya Alam Dan Lingkungan Program Pascasarjana Institut Pertanian Bogor. Bakri, A.R., Mudikdjo, K., Suratmo, F.G., dan Partoatmodjo, S. 1992. Pengelolaan Sampah Pemukiman dan Partisipasi Masyarakat dalam Pelaksanaannya di Kota Administratif Depok. Tesis Program Pascasarjana IPB. Tidak diterbitkan. Bandung.go.id, 2008. Sosialisasi PLTSa (Pembangkit Listrik Tenaga Sampah), http://www.bandung.go.id/?fa=berita.detail&id=865,yang ditampilkan pada tanggal 9 April 2009. Dana Mitra Lingkungan, http: //www. dml. or. id/ dml5/ sampah/ budaya_ manajemen_ persampahan.dml, 6 Juli 2008 Daryanto, 2005. Kebijakan pengelolaan sampah di Kabupaten Bekasi dengan Metode Incinerator. Thesis Program MPKP, Jakarta: Universitas Indonesia. Diana, E., Sutamihardja, R.T.M., dan Mudikdjo, K. 1992. Pemantauan Dampak Lokasi Pembuangan Akhir Sampah Secara Sanitary Landfill Bantar Gebang Terhadap Kualitas Air Permukan, Air Tanah dan Sosial Ekonomi Masyarakat Disekitarnya. Tesis Program Pascasarjana IPB. Tidak diterbitkan. Djuwendah, E., Anwar,A., Winoto, J., dan Mudikdjo, K. 1998. Analisis Keragaan Ekonomi dan Kelembagaan Penanganan Sampah Perkotaan, Kasus di Kotamadya DT II Bandung Provinsi Jawa Barat. Tesis Program Pascasarjana IPB. Tidak diterbitkan. Ecolink. 1996. Istilah Lingkungan untuk Manajemen, E-dukasi.net, http://www.edukasi.net/pengpop/pp_full.php?ppid=257&fname=hal2.htm download 14 Maret 2008. Gumelar, A. 2004. Pengelolaan Kebersihan di Kota Bandung (Tinjauan Dari Aspek Manajemen Kerjasama), makalah disajikan pada acara Diskusi Terbatas, diselenggarakan oleh PKP2A I LAN, Bandung, 8 September 2004 Hanifah, T.A., Saeni, M.S., Bintoro, M.H., dan Adijuwana, D,H. 1999. Analisis Kandungan Logam Berat dalam Ubi Kayu (Manihot esculenta Crantz) yang Dipupuk Dengan Sampah Kota di Desa Kulim, Pekanbaru, Riau. Tesis Program Pascasarjana IPB. Tidak diterbitkan. Hendrasarie. 2005. Kajian Sistem Pengelolaan Sampah Pasar, Jurnal Fakultas Teknik, Surabaya: Universitas Brawijaya. Http://www.jabar.go.id
139
Iriani., Mudikdjo, K., Pelly, U., dan Dartius. 1994. Sistem Organisasi Pengelolaan Sampah Pemukiman di Kotamadya Medan. Tesis Program Pascasarjana IPB. Tidak diterbitkan. Jumiono, A., Mudikdjo, K., dan Simamora, S. 2000. Prospek Pendirian Industri Vermikompos Berbahan Baku Sampah Kota (Studi Kasus Di Kota Bogor). Tesis Program Pascasarjana IPB. Tidak diterbitkan. Kamus
Istilah Lingkungan. 1994. Hijau Gerakan Peduli Lingkungan http://yayasanhijau.wordpress.com/2008/01/15/budaya-kita-sampahdan-daur-ulang/ download 24 Maret 2008.
Kompas, 10 Januari 2004. Pengelola TPA Bantar Gebang Adukan Pemkot Bekasi. Kompas - Pengelola Tempat Pembuangan Akhir Sampah Bantar Labatjo, M.R. 2007. Persepsi Masyarakat Terhadap Pelayanan Persampahan Di Kota Manado, Kesehatan Lingkungan, IKIP Manado. Majalah Percik. 2005. Gara-gara Sampah, Bandung Jadi Kota Terkotor di Indonesia. Beberapa Langkah Telah Diupayakan Untuk Mengatasinya. Mampukah Ini Bisa Bertahan lama? Strategi Apa Untuk Penanganan Ke Depan?, http: //digilib- ampl. net/ file/ pdf/ percik14. pdf, yang ditampilkan pada tanggal 5 April 2009. Mandailing, M.M., Saeni, M.S., dan Rusli, S. 2001. Partisipasi Pedagang Dalam Program Kebersihan dan Pengelolaan Sampah Pasar (Kasus Di Kota Bogor). Tesis Program Pascasarjana IPB. Tidak diterbitkan. Muhdhar, M.H.I., dan Margono, 2003. Kajian Peraturan Perundang-undangan tentang Pengelolaan Sampah di Wilayah Surabaya Metropolitan. State University of Malang. Ostro, B. 1994. Estimating the Health Effects of Air Pollutants: A Method with an Application to Jakarta. Policy Research Working Paper No. 1301, World Bank. PD. Kebersihan Kota Bandung, 2009 Pustekkom, 2005, http://www.e-dukasi.net Radyastuti, W. 1996. E-dukasi.net, http: //www. e-dukasi. net/ pengpop/ pp_full. php?ppid= 257& fname= hal2.htm download 14 Maret 2008. Raharja, Y.T., Mudikdjo, K., Suratmo, F.G., dan Utomo, B.S. 1988. Studi Sosial Ekonomi Pengelolaan Limbah Pemukiman (Sampah) dengan Sistem Jali-jali di Jakarta Pusat. Tesis Program Pascasarjana IPB. Tidak diterbitkan. Rajab, B. 2009. Budaya Manjamen Persampahan, http://www.kasundaan.org/ index.php?option=com_content&task=view&id=87&Itemid=1, yang ditampilkan pada tanggal 25 Maret 2009.
140
Reid, W.V. 1992. How Many Species Will There Be? Tropical Deforestation and Species Extinction. T. Whitmore and J. Sayer, eds., pp. 55-74. London: Chapman and Hall. Resosudarmo., dan Napitupulu, L.BP. 2000. Health and Economic Impact of Air Pollution in Jakarta. Economic Record, page:65-75 Satriyo. 2008. Persampahan di Kota Bandung, http:// satriyo. net/ 2006/ 05/ 15/ persampahan-kota-bandung/ yang direkam pada 4 July 2008. Suhartiningsih. 1998. Sistem Penunjang Keputusan Investasi Usaha Daur Ulang Sampah Kota Untuk Produksi Kompos. Tesis Program Pascasarjana IPB. Tidak diterbitkan. Sundra, I.K., Suratmo, F.G., Saeni, M.S., dan Partoatmodjo, S. 1997. Pengaruh Pengelolaan Sampah Terhadap Kualitas Air Sumur Gali Disekitar Tempat Pembuangan Akhir Sampah Suwung – Denpasar – Bali. Tesis Program Pascasarjana IPB. Tidak diterbitkan. Syamsuddin, A., Partoatmodjo, S., Paembonan, S.,dan Wirjowidagdo, S. 1985. Studi Tentang Pengelolaan Sampah Di Kotamadya Ujung Pandang. Tesis Program Pendidikan Pascasarjana KPK IPB – UNHAS. Tidak diterbitkan. Tandjung, 1982. Hijau Gerakan Peduli Lingkungan http://yayasanhijau. wordpress.com/ 2008/ 01/ 15/ budaya- kita- sampah- dan- daur- ulang/ download 24 Maret 2008. The Soil and Water Conservation Society. 1995. Municipal Solid Waste Management, pada http: //www. swcs. org/ t_ publicaffairs_ solidwaste.htm Tiwow, C., Widjajanto, D., Darjamuni., Hartman , E., Mahajoeno, E., Irwansyah, E., dan Nurhasanah. 2003. Pengelolaan Sampah Terpadu Sebagai Salah Satu Upaya Mengatasi Problem Sampah Di Perkotaan, Makalah Pengantar Falsafah Sains (PPS702), Program Pasca Sarjana / S3, Institut Pertanian Bogor, April 2003, http: //tumoutou. net/ 6_sem2_023/ kel6_sem2_023.htm, yang ditampilkan pada tanggal 17 Januari 2009. Tiwow, C., Widjajanto, D., Darjamuni., Hartman , E., Mahajoeno, E., Irwansyah, E., dan Nurhasanah. 2003. Pengelolaan sampah terpadu sebagai salah satu upaya mengatasi problem sampah di perkotaan, Makalah Pengantar Falsafah Sains (PPS702), Program Pascasarjana (S3), Bogor: IPB. Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 18 Tahun 2008 Tentang Pengelolaan Sampah, http://legalitas.org/incl-php/buka.php?d=2000+8&f=UU182008.htm, yang ditampilkan pada tanggal 25 Maret 2009. WHO. 1992. IPCS Environmental Health Criteria: Vol.134, Cadmium. Geneva WHO.
141
Wibowo, A., dan Djajawinata, D.T. 2007. Penanganan Sampah Perkotaan Terpadu, dalam www.kppi.or.id. diakses pada tanggal 25 Maret 2009. Wikipedia, 2009. Ensiklopedia bebas berbahasa Indonesia, http://id.wikipedia.org Virgota, A., Gumbira, S.E., dan Saefuddin, A. 2001. Kajian Simulasi Kelayakan Sistem Pemisahan Sampah Rumah Tangga pada Pengelolaan Sampah di Kotamadya Pekanbaru, Riau. Tesis Program Pascasarjana IPB. Tidak diterbitkan. World Bank. 1992. World Development Report, New York: Oxford University Press, 1992. World Development Report. 1992. Development and the Environment. Washington, D.C.: The World Bank, 1992. World Resources Institute. 1992. in collaboration with the United Nations Environment Programme (UNEP) and the United Nations Development Program (UNDP). World Resources 1992-93. New York: Oxford University Press. Yolanda, W., Angreni, E., dan Yuniarto, A. 2007. Evaluasi Pelayanan Persampahan Dengan Optimasi Sistem Pengangkutan Sampah Di Kota Mempawah Program Pascasarjana Jurusan Teknik Lingkungan, Surabaya: ITS.