Publico, Volume 1 Nomor 1, November 2016
IMPLEMENTASI KEBIJAKAN TARIF JASA PENGELOLAAN SAMPAH DI KOTA BANDUNG Yanhar Jamaluddin Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Islam Sumatera Utara, Mahasiswa Program Doktor Ilmu Administrasi Publik Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Padjadjaran Email:
[email protected]
ABSTRAK Kebijakan Tarif Jasa Pengelolaan Sampah di Kota Bandung dimaksudkan untuk meningkatkan pelayanan kebersihan kepada masyarakat dan stakeholder dan untuk mewujudkan lingkungan kota Bandung yang sehat dan bersih. Saat ini implementasi kebijakan Tarif Jasa Pengelolaan Sampah di Kota Bandung, yang diatur dalam Peraturan Walikota Bandung nomor 316 Tahun 2013 belum mampu memenuhi biaya operasional pengelolaan sampah padahal potensi penerimaan dari retribusi tarif ini cukup besar. Fenomena ini penting untuk dianalisis untuk mengetahui Bagaimana Implementasi kebijakan Tarif Jasa Pengelolaan Sampah dan realisasi penerimaan retribusi tarif jasa pengelolaan sampah serta sejauh mana intervensi Pemerintah Kota dalam pengelolaan sampah di Kota Bandung . Adapun metode penelitian yang digunakan menggunakan metode Deskriptif, dengan pendekatan kualitatif. Hasil penelitian ditemukan bahwa realisasi penerimaan retribusi jasa pengelolaan sampah pada 2015 baru mencapai 97,06 %. Terdapat kendala implementasi kebijakan yaitu faktor Pelaksana dan persepsi setiap golongan wajib bayar retribusi. Sedangkan Intervensi pemerintah melalui instrumen provision, subsidy, production, and regulation tetap dibutuhkan untuk melindungi masyarakat dari ketidakadilan dan penindasan dari pihak lain. Kata kunci: Implementasi kebijakan, pengelolaan sampah, intervensi
PENDAHULUAN Pelayanan dan pengelolaan sampah di kota Bandung dikelola oleh Perusahaan Daerah Kebersihan. Sesuai corporate plan PD. Kebersihan 2012 – 2016, Pelayanan dan pengelolaan sampah pada saat ini diarahkan pada misi ; Mengembangkan kemampuan sumber daya manusia dengan berbasis kompetensi pengelolaan lingkungan yang berkelanjutan, Menjalankan operasi sistem pengelolaan sampah terpadu yang memenuhi persyaratan yang ditetapkan peraturan dan perundang-undangan serta standar pengelolaan lingkungan, Mengembangkan model bisnis pengelolaan sampah terpadu yang memberikan manfaat kepada seluruh stakeholder, Mengembangkan kemitraan yang saling menguntungkan dalam kegiatan bisnis maupun kegiatan pengelolaan lingkungan bagi masyarakat secara luas, dan Meningkatkan pelayanan kebersihan kepada masyarakat. Pencapaian misi dibarengi dengan program yang produktif dan anggaran yang memadai, yang bersumber dari penerimaan retribusi tarif jasa pelayanan sampah dan subsidi Pemerintah Kota. Dengan demikian misi, program, dan anggaran dalam pengelolaan sampah merupakan satu kesatuan, dalam rangka untuk meningkatkan pelayanan kebersihan kepada masyarakat dan stakeholder serta untuk mewujudkan lingkungan kota Bandung yang sehat dan bersih dari sampah. Dengan lingkungan yang sehat dan bersih, penduduk merasa nyaman dan bebas dari polusi sampah. 16
Publico, Volume 1 Nomor 1, November 2016
Kota Bandung yang terbagi dalam 30 kecamatan,151 kelurahan, 9.733 RT dan 1.567 RW, memiliki penduduk (tahun 2014) berjumlah 2.470.802 orang dengan komposisi penduduk laki-laki sebanyak 1.248.478 orang dan penduduk perempuan sebanyak 1.222.324 orang, sedangkan jumlah rumah tangga sebanyak 657.769 (sumber : BPS Kota Bandung, 2016). Disamping itu Kota Bandung merupakan kota tujuan wisata. Selama tahun 2010 – 2014, rata-rata wisatawan yang berkunjung ke Bandung berjumlah 3,821,051 wisatawan, untuk mengunjungi 10 Jenis Objek Wisata (BPS Kota Bandung, 2016 : 291, tabel 8.3.4). Dengan jumlah penduduk sebanyak itu ditambah dengan wisatawan yang berkunjung ke Kota Bandung serta menggunakan / memanfaatkan berbagai saranaprasarana kota (seperti Hotel, pasar, pusat perbelanjaan, tempat wisata, angkutan umum, rumah sakit, dan lainnya berkorelasi terhadap kewajiban membayar retribusi), sehingga berimplikasi terhadap meningkatnya volume sampah yang dihasilkan. Jika diperhatikan, hal ini menjadi sebuah permasalahan bagi Kota Bandung. Berdasarkan data dari PD Kebersihan Kota Bandung volume sampah terus mengalami peningkatan mencapai 1.649 ton per hari pada 2015.Jumlah itu naik lebih 100 ton dibanding volume sampah pada 2014 sebanyak 1.523 ton per hari. Dalam upaya meningkatkan pelayanan kebersihan kepada masyarakat dan stakeholder, diperlukan berbagai regulasi pengelolaan sampah yang secara terpadu melibatkan semua pihak yang berorientasi untuk menjadikan sampah sebagai sumber daya. Berdasarkan pertimbangan inilah, Pemerintah Kota Bandung mengeluarkan kebijakan teknis Peraturan Walikota Bandung nomor 316 Tahun 2013 tentang Tarif Jasa Pengelolaan Sampah. Pada hakekatnya peraturan ini merupakan kebijakan teknis yang dimaksudkan untuk mengatur besaran tarif jasa pelayanan sampah yang dibebankan kepada masyarakat dan stakeholder. Konsekuensi dari pembayaran retribusi, masyarakat dan stakeholder menerima manfaat jasa pelayanan pengelolaan sampah. Pada sisi lain retribusi tarif yang dibayarkan masyarakat dan stakeholder menjadi pendapatan bagi PD. Kebersihan untuk membiayai operasional kegiatan pengelolaan sampah. Implementasi Peraturan Walikota Bandung nomor 316 Tahun 2013 pada tahun 2015, penerimaan retribusi tarif jasa pelayanan sampah ternyata berimplikasi terhadap belum signifikannya penerimaan tarif dalam membiayai operasional pengelolaan sampah, padahal potensi penerimaan dari retribusi tarif ini cukup besar. “ Dari potensi Rp 50 miliar, Dana retribusi yang diperoleh dari masyarakat hanya sekitar Rp 21 miliar, sedangkan dana yang harus dikeluarkan sekitar Rp 80 miliar per tahun“ (http://regional.kompas.com/read/2015/08/05/18532381/Kota. Bandung.Sampah.dan. Adipura). Fenomena di atas menunjukkan bahwa implikasi dari implementasi Peraturan Walikota nomor 316 Tahun 2013 yaitu penerimaan retribusi tarif jasa pelayanan sampah masih minim. Akibatnya PD Kebersihan mengalami defisit anggaran sehingga pembiayaan operasional pengelolaan sampah lebih besar dibebankan pada APBD Kota Bandung. Penelitian atau artikel ilmiah terkait pengelolaan sampah cukup banyak dilakukan dengan berbagai pendekatan, antara lain penelitian : Dianne Rahm (1998), Fiona Nunan (1999), Helen Lingard, Peter Graham And Guinevere Smithers (2000), P. J. Rudden (2007), MÔns Nilsson - Mats Eklund - Sara Tyskeng (2009), Frank Ackerman (2010), Tony Carrizales and Jay Bainbridge (2013), Bernadette Connaughton (2014), Alwi Smith and Haedar Akib (2014), dan Magdalena Fallde (2015). Memperhatikan beberapa hasil penelitian dan pendekatan yang digunakan pada artikel tersebut, maka artikel ini menggunakan pendekatan yang berbeda. Pendekatan pada artikel ini adalah tentang realisasi penerimaan retribusi tarif jasa pengelolaan sampah dan intervensi pemerintah kota dalam pengelolaan sampah. Dengan demikian identifikasi masalah dapat dirumuskan sebagai berikut: 1). Bagaimanakah Implikasi implementasi kebijakan Tarif Jasa Pengelolaan Sampah yaitu terhadap realisasi
17
Publico, Volume 1 Nomor 1, November 2016
penerimaan retribusi jasa pengelolaan sampah?; 2). Bagaimanakah intervensi pemerintah dalam pengelolaan sampah di Kota Bandung?
TINJAUAN PUSTAKA 1. Implementasi Kebijakan Implementasi kebijakan publik memegang peranan yang penting dalam keseluruhan proses kebijakan. Apabila dalam proses formulasi kebijakan, aktor utama adalah pemerintah sebagai pemegang hak legitimasi untuk memutuskan dan menyusun kebijakan, maka pada tahap berikutnya yaitu implementasi kebijakan terjadi pergeseran posisi (Nurliawati, 2016:53). Pada tahap implementasi kebijakan posisi pemerintah tidak lagi memonopoli proses implementasi kebijakan karena keterbatasan yang dimiliki. Sehingga untuk keberhasilan sebuah implementasi kebijakan diperlukan dukungan internal dan eksternal kelembagaan. Dalam kamus Webster disebutkan bahwa to implement (mengimplementasikan) berarti “to provide the means for carrying out “(menyediakan sarana untuk melaksanakan sesuatu) ; atau “to give practical effect to “ (menimbulkan dampak/akibat terhadap sesuatu). Dengan demikian implementasi kebijakan merupakan proses melaksanakan keputusan melalui penyediaan sarana untuk mencapai tujuan tertentu. Sementara itu para ahli kebijakan memahami implementasi kebijakan secara berbeda menurut pendekatannya masing-masing. Seperti halnya pandangan Van Meter dan Van Horn (1975), dalam Hamdi 2014: 99, “Implementasi kebijakan mencakup (encompasses) semua tindakan oleh perorangan atau kelompok publik dan privat yang diarahkan pada perwujudan tujuan yang telah ditetapkan terlebih dahulu dalam keputusan kebijakan “. Sementara itu James P. Lester dan Joseph Stewart (2000:104), “Implementasi kebijakan dipandang dalam pengertian yang luas merupakan alat administrasi hukum dimana berbagai aktor, organisasi, prosedur, dan teknik yang bekerja bersama-sama untuk menjalankan kebijakan guna meraih dampak atau tujuan yang diinginkan “. Berdasarkan teori di atas maka pada hakekatnya implementasi kebijakan merupakan tindakan yang dilakukan individu ataupun satuan-satuan pemerintah bersama dengan pihak-pihak yang menjadi sasaran kebijakan pada suatu waktu demi mencapai tujuan tertentu. Tujuan yang dicapai akan memberi pengaruh dan dampak terhadap penyelesaian permasalahan pemerintah dan publik. Apakah implementasinya menunjukkan adanya keberhasilan atau tidak. Abidin (2002 : 141) menguraikan, terdapat dua faktor yang menentukan keberhasilan suatu kebijakan : “Pertama; mutu dari kebijakan dilihat dari substansi kebijakan yang dirumuskan. Kedua; ada dukungan pada strategi kebijakan yang dirumuskan. Tanpa dukungan yang cukup, kebijakan tidak dapat diwujudkan“. Dengan demikian, suatu kebijakan boleh jadi bermutu tetapi kurang mendapat dukungan dalam masyarakat. Sebaliknya kebijakan mungkin mendapat dukungan dari masyarakat, tetapi dinilai kurang bermutu dilihat dari substansinya. Hal ini bisa dilihat pada kebenaran mengidentifikasi masalah secara tepat, yaitu masalah yang diidentifikasi itu tidak sekedar benar dalam arti plausible atau masuk akal, tetapi juga dapat ditangani (actionable) dilihat dari berbagai sarana yang ada dan mungkin dapat diusahakan. Keberhasilan implementasi kebijakan dipengaruhi oleh banyak faktor. Faktor-faktor tersebut berpengaruh secara simultan dan berkaitan satu sama lain untuk membantu ataupun menghambat implementasi kebijakan. Oleh karena itu Edward III, dalam Winarno 2002: 126, berpendapat “pendekatan yang ideal untuk keberhasilan implementasi kebijakan adalah dengan cara merefleksikan kompleksitas dengan membahas semua faktor sekaligus “. Lebih lanjut Edward III menguraikan variabel-variabel yang mempengaruhi proses implementasi kebijakan itu adalah: 1). Komunikasi; terdapat 3 hal penting dalam proses komunikasi yaitu transmisi, konsistensi, dan 18
Publico, Volume 1 Nomor 1, November 2016
kejelasan (clarity). Menurut Edward III persyaratan pertama bagi implementasi kebijakan yang efektif adalah bahwa mereka yang melaksanakan keputusan harus mengetahui apa yang harus mereka lakukan; 2). Sumber-sumber; yaitu berupa staf yang memadai dan keahlian-keahlian untuk melaksanakan tugas-tugas mereka, wewenang, dan fasilitas-fasilitas yang diperlukan; 3). Kecenderungan dari pelaksana kebijakan; maksudnya adalah jika pelaksana kebijakan bersikap baik terhadap suatu kebijakan, hal ini berarti dukungan dan kemungkinan besar mereka akan melaksanakan kebijakan sebagaimana yang diinginkan oleh para pembuat keputusan awal. Demikian pula sebaliknya, jika prilaku para pelaksana kebijakan berbeda dengan para pembuat keputusan maka proses pelaksanaan kebijakan menjadi sulit; 4). Birokrasi; yaitu berupa prosedurprosedur kerja (Standard Operating Procedures – SOP), dan fragmentasi (Winarno 2002: 126).
METODE PENELITIAN Untuk menjawab permasalahan di atas penulis menggunakan metode penelitian Deskriptif. Menurut Neuman (2006: 35) dalam Creswell (2009) ; penelitian deskriptif sebagai presents a picture of the spesific details of a situation, social setting or relationship.... descriptive study presents a picture of types of people or of social activities “. Sedangkan data yang diperlukan terdiri dari data primer dandata sekunder. Data primer diperoleh melalui wawancara dan observasi. Wawancara dilakukan secara terbuka dengan key informan (dari pihak PD. Kebersihan), sedangkan observasi dilakukan dengan mengamati fenomena yang berkaitan dengan permasalahan. Selanjutnya Data sekunder didapatkan melalui literatur atau dokumen berupa hasil penelitian dan artikel terkait tentang pengelolaan sampah, buku-buku serta peraturan pengelolaan sampah dan retribusi tarif jasa pelayanan sampah. Analisis data menggunakan pendekatan kualitatif, yang menguraikan data secara bermutu dalam bentuk kalimat yang teratur, runtun, logis, tidak tumpang tindih dan efektif sesuai dengan topik kajian sehingga memudahkan pemahaman dan interpretasi data. Analisis dengan cara tersebut bertujuan untuk menggali secara mendalam dan selektif data deskriptif berupa kata-kata tertulis atau lisan dari informan. Pertimbangan yang mendasari digunakannya pendekatan kualitatif, karena peneliti ingin mendeskripsikan fakta dan fenomena penerimaan retribusi jasa pelayanan sampah dan kaitannya dengan intervensi pemerintah dalam pengelolaan sampah di Kota Bandung. Sebagaimana definisi penelitian kualitatif yang diungkapkan Berg (2007: 3), “ Qualitative research thus refers to the meaning, concepts, defenition, characterictics, metaphors, symbols, and description of things “.
HASIL PENELITIAN DAN ANALISIS Implikasi dari implementasi Peraturan Walikota nomor 316 Tahun 2013, yaitu pada penerimaan retribusi tarif pengelolaan sampah. Berdasarkan peraturan walikota tersebut setiap golongan wajib bayar yang menggunakan atau menerima manfaat jasa pengelolaan sampah, wajib membayar jasa pengelolaan sampah sesuai dengan tarif dan golongannya masing-masing. Adapun Golongan Wajib Bayar retribusi jasa pelayanan sampah yang dimaksud, terdiri dari golongan Rumah Tinggal; Komersial/Non Komersial; Sosial; Pedagang Sektor Informal; dan Angkutan Umum. Sedangkan tarif retribusi jasa ditetapkan berdasarkan prinsip Subsidi Silang. Prinsip subsidi silang adalah mempertimbangkan tingkat kemampuan membayar dan tingkat pelayanan pengelolaan sampah. Pada tahun 2015, pencapaian realisasi penerimaan dari retribusi sampah belum mencapai target. Tingkat pencapaiannya masih 97,06 %. Secara lebih rinci Tingkat Pencapaian Pendapatan Retribusi Sampah Tahun 2015 dapat dilihat pada tabel berikut:
19
Publico, Volume 1 Nomor 1, November 2016
Tabel 1. Tingkat Pencapaian Pendapatan Retribusi Sampah Tahun 2015 No
Golongan Wajib Retribusi 2015 Bayar Target Realisasi 1 Rumah Tinggal 9.544.676.560 8.676.826.000 2 Komersial / Non 13.287.993.948 14.140.847.375 Komersial 3 Pedagang Sek.Informal 1.800.000.000 1.406.645.000 4 Angkutan Umum 469.800.000 142.301.000 Jumlah 25.102.470.508 24.366.619.375 Data olahan bersumber dari PD. Kebersihan Kota Bandung, 2016
% Pencapaian 90,90 106,41 78,15 30,28 97,06
Berdasarkan tabel di atas, golongan wajib bayar Komersil/Non-Komersil merupakan pembayar retribusi jasa tertinggi, dan terendah adalah golongan wajib bayar Angkutan Umum. 46,8 % dari golongan wajib bayar Komersil/Non-Komersil adalah Perusahaan Jasa, Kantor, Bank yang berkontribusi sebanyak 46,8 %, sedangkan sisanya 53,2 % adalah Hotel, Restoran/Rumah Makan, Toko, Pusat Perbelanjaan, Rumah Sakit, Pabrik, dan home industri. Jika diperhatikan penerimaan dari golongan komersil/Non-Komersil sebenarnya potensi penerimaannya sangatlah besar dan dapat melampaui target penerimaan yang ditetapkan. Apabila pengutipan retribusi pada golongan komersil/Non-Komersil diefektifkan, maka penerimaan retribusi tarif jasa sampah akan meningkat. Itu artinya bahwa penerimaan retribusi tarif jasa pelayanan sampah dari Perusahaan Jasa, Kantor, Bank, Hotel, Restoran/Rumah Makan, Toko, Pusat Perbelanjaan, Rumah Sakit, Pabrik, dan home industri dapat diandalkan menjadi prioritas sumber penerimaan terbesar dibandingkan dari golongan wajib bayar retribusi lainnya. Menurut hasil observasi di lapangan, kendala belum tercapainya target penerimaan retribusi pengelolaan sampah secara umum disebabkan oleh faktor aparatur pelaksana dan persepsi setiap golongan wajib bayar retribusi. Faktor aparatur pelaksana adalah berkaitan dengan ketersediaan petugas pelaksana penagihan yang dibagi atas 5 zona wilayah pengutipan, yaitu Bandung Kota, Bandung Timur, Bandung Barat, Bandung Utara, dan Bandung Selatan. Jika ditelaah penyebaran aparatur pelaksana penagihan ternyata tidak sebanding dengan jumlah wajib bayar retribusi di masing-masing zona wilayah. Berdasarkan fakta ini maka berakibat pada bukti penagihan yang tidak dapat tertagih sehingga menjadi retribusi terutang. Selama kurun waktu penagihan tahun 2015 jumlah bukti penagihan yang diterbitkan sebanyak 98.700 lembar, 83.080 lembar retribusi yang tertagih sedangkan sebanyak 15.620 lembar retribusi yang tidak tertagih. Dengan demikian maka upaya untuk mengefektifkan penerimaan retribusi jasa sampah harus diselaraskan dengan ketersediaan aparatur pelaksana berdasarkan kelompok wajib bayar bukan berdasarkan sebaran menurut zona wilayah sehingga terdapat pengelompokan aparat pelaksana penagihan menurut wajib bayar Perusahaan Jasa, Kantor, Bank, Hotel, Restoran/Rumah Makan, Toko, Pusat Perbelanjaan, Rumah Sakit, Pabrik, dan home industri. Sedangkan persepsi masing-masing wajib bayar retribusi terhadap kewajiban membayar retribusi sampah berbeda-beda, yaitu: 1). Golongan Rumah Tinggal; Tarif belum sama dengan daya listrik, penggantian kepengurusan RW, tidak membayar karena tidak mampu dan tidak merasa dilayani; 2). Golongan Komersil dan Non-Komersil telah melampaui target sehingga tidak menghadapi kendala; 3). Golongan pedagang sektor informal; jumlah hari kerja yang tidak sama, penagihan oleh RW setempat dan Ormas, penertiban pedagang oleh Satpol PP, dan pembatasan berdagang dari kewilayahan dan instansi; 4). Golongan Angkutan Umum; tidak adanya petugas penagih, tarif tidak sesuai dengan Peraturan Walikota No. 316/2013, dan tidak semua awak bus mau membayar.
20
Publico, Volume 1 Nomor 1, November 2016
Persepsi yang sangat beragam tersebut, menjadi alasan PD. Kebersihan untuk melakukan penagihan retribusi tarif pengelolaan sampah sehingga berakibat tidak maksimalnya retribusi tarif yang diterima. Padahal ketiga golongan ini dapat memberikan kontribusi yang signifikan terhadap penerimaan retribusi. Persepsi ini muncul dikarenakan belum optimalnya upaya yang dilakukan PD. Kebersihan dalam menjalin komunikasi dan interaksi kepada semua golongan wajib bayar untuk membayar retribusi dan menyadarkan golongan wajib bayar retribusi tentang pentingnya lingkungan yang bersih, sehat dan nyaman. Begitu juga disebabkan belum maksimalnya PD. Kebersihan berkoordinasi dengan Kepala Desa/Ketua RW, PLN, pengelola angkutan umum, himpunan pedagang sektor informal. Untuk mengatasi mis-perception seperti ini maka Unit Komunikasi Publik (Humas) PD. Kebersihan harus lebih aktif menyebarluaskan kebijakan dan program pengelolaan sampah kepada pengguna layanan. Berdasarkan fenomena ini dan dalam upaya memberhasilkan implementasi peraturan walikota ini, dibuktikan dengan meningkatnya penerimaan tarif jasa pengelolaan sampah, maka diperlukan sinergitas yang menyeluruh. Sinergitas yang dimaksudkan adalah efektifnya komunikasi dan koordinasi secara internal di lingkungan internal PD. Kebersihan, yaitu jajaran direktur – kepala bagian – dan aparatur pelaksana, dan secara eksternal yaitu PD. Kebersihan dengan para golongan wajib bayar retribusi. PD. Kebersihan sebagai Badan Usaha Milik Daerah Kota Bandung, merupakan asset daerah. Sebagai aset daerah berarti pengelolaan PD. Kebersihan secara totalitas diatur dan mengikuti sistem manajemen pemerintahan. Termasuk diantaranya adalah biaya operasional di PD. Kebersihan bersumber dari Anggaran Pendapatan dan Belanja (APBD) Kota Bandung. Implikasinya penyelenggaraan manajerial di PD Kebersihan tidak lepas dari intervensi pemerintah kota, baik dalam hal perencanaan, pembinaan dan pengawasan. Sebagaimana dijelaskan oleh Hughes (1998: 84-87) dalam Setiyono (2014: 29); intervensi dan peranan pemerintahan terhadap kehidupan rakyat pada umumnya dilakukan melalui empat instrumen, yakni: provision, subsidy, production, and regulation. Provision, yakni peranan dimana pemerintah menyediakan barang atau jasa (goods of services) melalui anggaran; Peran ini semakin nyata ketika pemerintah melegitimasi kewajiban pemerintah daerah membiayai penyelenggaraan pengelolaan sampah, sebagaimana tersebut di dalam pasal 24 Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2008 tentang Pengelolaan Sampah. Realisasinya pada tahun 2015 biaya operasional pelayanan dan pengelolaan sampah di Kota Bandung sebesar Rp. 120.501.965.849,- Miliar dibebankan pada APBD Kota Bandung. Berikut komponen biaya operasional PD. Kebersihan Tahun 2015. Tabel 2. Komponen biaya operasional PD. Kebersihan Tahun 2015 Component Public Service (cost for street sweeping) Cost for dumping to landfill (transportation & tipping fee) Management Cost for closed landfill Administration cost (office utilities, salary, etc) Investment Other cost Total Cost Sumber : PD. Kebersihan Kota Bandung, 2016
Budget (Rp) 30.136.808.500 45.636.515.200 14.698.516.000 22.112.187.500 4.815.300.000 3.102.638.649 120.501.965.849
Namun menurut penulis, kewajiban ini sepatutnya harus diikuti dengan ketentuan tentang seberapa besar batasan yang menjadi kewajiban pemerintah daerah membiayai penyelenggaraan pengelolaan sampah. Misalnya Mengkonversi anggaran operasional dibandingkan penerimaan retribusi dan/atau Mengkoreksi komponen anggaran pada Cost for dumping to landfill dan Public Service. Contohnya di tahun 2015; penerimaan retribusi hanya mampu membiayai operasional 21
Publico, Volume 1 Nomor 1, November 2016
pengelolaan sampah sebesar 20,22 % , sedangkan sisanya 79,78 % menjadi beban APBD. Dengan gambaran seperti itu, maka untuk tahun 2016 setidak-tidaknya dapat dilakukan koreksi terhadap komponen anggaran Cost for dumping to landfill dan Public Service. Subsidy, yakni pemerintah membantu seseorang atau kelompok di sektor private untuk memproduksi atau menyediakan barang atau jasa yang dikehendaki pemerintah; Kaitannya dalam pengelolaan sampah terlihat adanya upaya pemerintah melalui PD. Kebersihan bersinergitas dan menjalin kerjasama dengan sektor private dalam menyediakan layanan pengelolaan sampah. Dari kerjasama ini PD. Kebersihan mendapatkan langsung retribusi tarif jasa dari sektor private tersebut. Tercatat setidaknya terdapat 53 sektor privat yang menjalin kerjasama pelayanan pengelolaan sampah dengan PD. Kebersihan. Menurut penulis, upaya ini harus dievaluasi mengingat kontribusi dari retribusi jasa pengelolaan sampah yang diperoleh langsung PD. Kebersihan dari sektor private tidak begitu signifikan dengan realisasi yang diterima. Artinya potensi yang akan diperoleh sebenarnya masih cukup besar dibandingkan dengan realisasi penerimaan yang telah diperoleh selama ini. Oleh karenanya besaran tarif ataupun volume sampah yang dihitung harus dievaluasi. Production, yakni pemerintah membuat atau memproduksi barang atau jasa untuk “dijual “di pasar. Jika diamati sejauh ini PD. Kebersihan hanya memiliki core bisnis pelayanan jasa pengelolaan sampah saja dan belum efektif mengembangkan model bisnis pengelolaan sampah yang terpadu. Misalkan: 1). Penawaran cleaning service di seluruh kantor milik pemerintah dan swasta; 2). Mengolah dan mengembangkan Bio-energi dengan mengkonversi tumpukan sampah menjadi energi baru bekerjasama dengan investor, seperti pengalaman di Jepang: dengan menggunakan Plasma yang mengionisasi gas dalam ruangan, tumpukan sampah mampu menghasilkan suhu hingga 16.000 derajat celcius). Dengan inovasi bisnis seperti ini diharapkan akan menambah pendapatan bagi PD. Kebersihan, sehingga dapat mengurangi beban anggaran APBD. Regulation, yakni pemerintah menggunakan kekuatan memaksa untuk mengijinkan atau melarang aktivitas tertentu. Alat untuk mengijinkan dan melarang berbagai aktivitas diatur dalam regulasi dan peraturan. Dalam kaitan pengelolaan sampah, pemerintah dinilai telah memiliki aturan mulai dari UU no. 18 Tahun 2008 tentang Pengelolaan Sampah, UU No. 28 Tahun 2009 tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah, Permendagri No. 33 Tahun 2010 tentang Pedoman Pengelolaan Sampah, Peraturan Daerah Prov. Jawa Barat No. 12 Tahun 2010 tentang Pengelolaan Sampah di Jawa Barat, Peraturan Daerah Kota Bandung No. 09 Tahun 2011 tentang Pengelolaan Sampah, dan Peraturan Walikota Bandung No. 316 Tahun 2013 tentang Tarif Jasa Pengelolaan Sampah. Namun yang menjadi persoalan adalah implementasi dari semua kebijakan tersebut. Merujuk Teori George Edwards III, kelemahan yang terlihat dalam implementasi kebijakan Perwal Kota Bandung no. 316 Tahun 2013 adalah pada variabel Sikap Pelaksana. Variabel sikap pelaksana diarahkan pada pemahaman dan kepatuhan para pelaksana terhadap aturan, ketentuan dan arahan yang ada. Berdasarkan kenyataan yang ada di lapangan didapatkan bahwa para pelaksana penyelenggaraan pemungutan retribusi sampah belum memiliki pemahaman yang jelas mengenai kebijakan penyelenggaraan pemungutan retribusi sampah dan apa yang harus mereka lakukan. Ini berarti ada kaitannya dengan proses penetapan-pengutipan-penerimaan dan pelaporan, dan prilaku para pelaksana. Berdasarkan uraian di atas, maka menurut penulis Intervensi dan peranan pemerintahan terhadap kehidupan rakyat masih perlu dilakukan. Sebagaimana dikemukakan oleh Adam Smith mengenai legitimasi Sektor Publik. Menurut Smith tugas pokok pemerintah adalah Melindungi masyarakat dari bahaya kejahatan atau ekspansi negara lain (military force), melindungi masyarakat dari ketidakadilan (injustice) dan penindasan (oppressesion).Oleh karenanya melalui intervensi Pemerintah Kota, PD. Kebersihan pun dapat beraktivitas mencapai visi, misi dan programnya. Visi 22
Publico, Volume 1 Nomor 1, November 2016
dan misi pada PD Kebersihan juga merupakan bagian ata sub-sistem dari visi dan misi Pemerintah Kota Bandung.Itu artinya bahwa intervensi pemerintah atau kehadiran negara dalam penyelenggaraan pemenuhan kebutuhan publik tetap diperlukan.
PENUTUP Berdasarkan pembahasan di atas, maka kesimpulan dari artikel ini adalah: 1). Merujuk Teori George Edwards III, kelemahan dalam implementasi kebijakan Peraturan Walikota Bandung No. 316 Tahun 2013 adalah pada faktor pelaksana dan persepsi setiap golongan wajib bayar retribusi; 2). Realisasi penerimaan retribusi jasa pengelolaan sampah pada 2015 mencapai 97,06 % sehingga belum mampu membiayai keseluruhan operasional pengelolaan sampah; 3). Intervensi dan peranan pemerintah terhadap kehidupan rakyat melalui instrumen provision, subsidy, production, and regulation tetap dibutuhkan dalam pengelolaan sampah di Kota Bandung. Tujuannya adalah untuk melindungi masyarakat dari ketidakadilan (injustice) dan penindasan (oppressesion) dari pihak lain, dan untuk menjamin pencapaian visi-misi-program PD. Kebersihan Kota Bandung. Untuk mengefektifkan implementasi Peraturan Walikota Bandung No. 316 Tahun 2013, penulis merekomendasikan kepada PD. Kebersihan yaitu: 1). Bersinergi melalui komunikasi dan koordinasi menyeluruh baik secara internal; di lingkungan internal kelembagaan PD. Kebersihan, dan secara eksternal; PD. Kebersihan dengan para golongan wajib bayar retribusi; 2). Melakukan koreksi terhadap komponen anggaran pada Cost for dumping to landfill dan Public Service untuk menyeimbangkan anggaran pada komponen biaya lainnya; 3). Meningkatkan pemahaman dan kepatuhan para pelaksana kebijakan terhadap aturan, ketentuan dan arahan yang ada terutama berkaitan dengan proses penetapan - pengutipan – penerimaan dan pelaporan retribusi tarif pengelolaan sampah.
DAFTAR PUSTAKA Abidin, Said Zainal. 2002. Kebijakan Publik,Yayasan Pancur Siwah; Jakarta. Alwi Smith and Haedar Akib.2014. The Implementation Effectiveness of Trash Management in Ambon, Maluku: The Influence of Socialization, Coordination and Control to the Effectiveness of Trash Management, International Journal of Public Administration. Badan Pusat Statistik Kota Bandung.2016. Kota Bandung Dalam Angka-2016. Berg, Bruce L. 2007.Qualitative Research for The Social Sciences, Pearson Education, Inc.; Boston Bernadette Connaughton. 2014. A Rubik’s Cube Dilemma? The Implementation of European Union Waste-Management Policy in Ireland, Journal of Environmental Policy & Planning. Creswell, John W. 2009. Research Design: Pendekatan Kualitatif – Kuantitatif – dan Mixed, Pustaka Pelajar; Yogyakarta. Dianne, Rahm. 1998. Controversial Cleanup: Superfund and the Implementation of U.S. Hazardous Waste Policy, Policy Studies Journal. Fiona, Nunan. 1999. Policy Network Transformation: The Implementation Of The Ec Directive On Packaging And Packaging Waste, Public Administration.
23
Publico, Volume 1 Nomor 1, November 2016
Frank, Ackerman. 2010. Waste Management: Taxing the Trash Away, journal Environment: Science and Policy for Sustainable Development. Hamdi, Muchlis. 2014. Kebijakan Publik: Proses, Analisis, dan Partisipasi, Ghalia Indonesia; Bogor. Helen Lingard, Peter GrahamAnd Guinevere Smithers. 2000. Employee perceptions of the solid waste management system operating in a large Australian contracting organization: implications for company policy implementation, Construction Management and Economics. http://regional.kompas.com/read/2015/08/05/18532381/Kota.Bandung.Sampah.dan. Adipura http://dokumen.tips/documents/retribusi-sampah-kota-bandung. Lester, James P dan Joseph Stewart. 2000. Public Policy: an Evolutionary Approach. Wodsworth, Second Edition; Australia. Magdalena Fallde.2015. Can area managers connect policy and tenants ? Implementation and diffusion of a new waste management system in Link€oping, Sweden, Journal of Environmental Planning and Management. MÔns Nilsson - Mats Eklund - Sara Tyskeng. 2009. Environmental integration and policy implementation: competing governance modes in waste management decision making, Environment and Planning C: Government and Policy. Nurliawati, Nita. 2016. Jejaring Dalam Implementasi Kebijakan Pendidikan Anak Usia Dini di Kota Bandung (Ringkasan Disertasi), Universitas Padjajaran; Bandung. Permendagri No. 33 Tahun 2010 tentang Pedoman Pengelolaan Sampah. Peraturan Daerah Prov. Jawa Barat No. 12 Tahun 2010 tentang Pengelolaan Sampah di Jawa Barat. Peraturan Daerah Kota Bandung No. 09 Tahun 2011 tentang Pengelolaan Sampah. Peraturan Walikota Bandung No. 316 Tahun 2013 tentang Tarif Jasa Pengelolaan Sampah. P. J. Rudden. 2007. Report: Policy drivers and the planning and implementation of integrated waste management in Ireland using the regional approach, Waste Management and Research Setiyono, Budi. 2014. Pemerintahan dan Manejemen Sektor Publik, PT. BUKU SERU; Jakarta. Tony Carrizales and Jay Bainbridge.2013. International Sanitation Management and Performance Measuremen t: Taking Out the Trash, International Journal of Public Administration. Undang - Undang No. 18 Tahun 2008 tentang Pengelolaan Sampah. Undang - Undang No. 28 Tahun 2009 tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah. Winarno, Budi. 2002. Teori dan Proses Kebijakan Publik, Media Pressindo; Yogyakarta.
24