http://www.sinarharapan.co.id/content/read/pak-presiden-mohon-bapak-turun-tangan-langsung/
31.12.2011 12:07
Pak Presiden, Mohon Bapak Turun Tangan Langsung! Penulis : Gomar Gultom* Salah satu persoalan serius yang kita hadapi sampai di penghujung 2011 adalah semakin terancamnya kebebasan beragama. Sepanjang 2011 kita menyaksikan begitu banyaknya kasus-kasus kekerasan atas nama agama dan berbagai bentuk pelarangan beribadah yang dilakukan sekelompok masyarakat yang begitu memprihatinkan, dan itu semua terjadi seolah dibiarkan negara. Negara yang direpresentasikan pemerintah sering ragu menindak kelompok-kelompok yang senang bertindak anarkis atas nama agama. Yang paling mencolok adalah kasus yang dihadapi jemaat GKI Yasmin, di mana Wali Kota Bogor mencabut IMB gereja yang sudah terbit sebelumnya. Walau Mahkamah Agung telah mengeluarkan penetapan final yang memenangkan GKI Yasmin dan Ombudsman RI telah mengeluarkan rekomendasi yang memerintahkan wali kota melaksanakan penetapan Makamah Agung tersebut, Wali Kota Bogor tetap pada tekadnya membekukan IMB GKI Yasmin, hanya atas dasar desakan sekelompok masyarakat. Selama setahun penuh ini kepada kita disuguhkan dua tontonan yang begitu menyesakkan dada. Pertama, pembangkangan hukum oleh pejabat publik setingkat wali kota dan tidak mendapat teguran apa pun dari atasannya, dalam hal ini Mendagri dan presiden. Kedua, jemaat GKI Yasmin harus terlunta-lunta melaksanakan ibadahnya setiap Minggu, dan berjuang keras di bawah ancaman gerombolan tertentu, sementara aparat negara malah ikut memaksakan ancaman gerombolan tersebut. Kedua hal ini nyata-nyata merupakan pengkhianatan terhadap amanat Pasal 29 UUD 1945. Kita juga sangat prihatin dengan terjadinya kecenderungan praktik impunitas terhadap para pelaku kekerasan atas nama agama. Mereka dibiarkan bebas tanpa ditindak secara hukum. Selain itu kita menyaksikan bias agama dalam pengambilan keputusan di lembaga peradilan, sebagaimana nampak dalam kasus penganiayaan pendeta dan penatua HKBP Ciketing, Bekasi, kasus Temanggung, Jawa Tengah, serta kasus penganiayaan dan pembunuhan jemaah Ahmadiyah, di Cikeusik, Banten. Pengadilan Bias
Membandingkan kasus Temanggung dan kasus lain, kasus HKBP Ciketing Bekasi dan kasus Ahmadiyah Cikeusik, maka kita akan mendapatkan gambaran betapa putusan pengadilan sangat tidak adil dan bias agama. Dalam kasus Ciketing dan Cikeusik, para pelaku penganiayaan (dan pembunuhan) hanya dihukum 5-7 bulan kurungan, sementara dalam kasus Temanggung terdakwa yang terbukti hanya menyebarkan selebaran bernuansa penghinaan agama, divonis maksimal 5 tahun kurungan penjara. Fenomena ini menggambarkan peradilan kita telah dipengaruhi kepentingan kelompok dengan model penafsiran berdasar agama tertentu, sehingga putusannya tidak memberi keadilan yang sejati bagi masyakarat. Kita juga makin prihatin dengan penguatan resistensi masyarakat sekitar terhadap pendirian rumah ibadah. Hal itu tidak hanya terjadi terhadap rumah ibadah Kristen, tapi juga terhadap rumah ibadah umat beragama lain. Banyak kasus keberatan terhadap pendirian rumah ibadah muncul di beberapa daerah dan dilakukan agama dengan jumlah umat terbanyak di daerah tersebut. Hal ini ditandai dengan munculnya keberatan dan penolakan untuk mendirikan gereja, pura, dan vihara di daerah-daerah lainnya. Bahkan simbol-simbol budaya yang dianggap tidak sejalan dengan selera penganut agama tertentu pun harus dirobohkan, seperti patung-patung tokoh pewayangan dan patung Buddha. Fenomena ini tentunya harus mendapatkan penyikapan yang lebih serius, tidak hanya oleh kalangan umat dan tokoh agama, namun yang lebih penting oleh pemerintah. Ini karena jika dibiarkan terus seperti yang sekarang berlangsung, maka akan rawan menimbulkan konflik sosial, dan dengan sendirinya mengancam keutuhan Negara Kesatuan Republik Indonesia. Hukum Dilemahkan Kenyataan di atas membawa kita pada empat masalah pokok yang sangat mengganggu penataan kebangsaan kita di masa depan. Pertama, hilangnya kepatuhan hukum. Pembangkangan hukum yang dilakukan aparat negara dan dibiarkan tanpa mendapat teguran dari atasannya merupakan contoh buruk dalam penegakan hukum dan tiadanya kepastian hukum. Entah pendidikan apa yang sedang kita tanamkan kepada generasi muda kita dengan peristiwa semacam ini. Kedua, Indonesia telah bergeser dari rechtstaat atau Negara Hukum sebagaimana ditegaskan dalam penjelasan UUD 1945 menjadi semacam mobokrasi, negara yang diatur para gerombolan (yang marah).
Di berbagai tempat kita menyaksikan sepanjang 2011 ini bagaimana gerombolan yang marah dan mengamuk mengambil alih peran negara memaksakan kehendaknya. Dari kasus GKI Yasmin dan beberapa kasus sejenis, kita juga belajar bagaimana penegakan hukum dikalahkan desakan segerombolan anggota masyarakat yang mengedepankan kekuatan. Ini tentu mengancam eksistensi RI sebagai negara hukum. Anehnya, gerombolan yang memaksakan kehendak ini acap menggunakan tameng hendak menegakkan hukum. Hukum yang mana, tak pernah jelas. Ketiga, sulitnya mendirikan rumah ibadah di beberapa lokasi dan kecenderungan memaksakan alternatif berupa relokasi, sebagaimana dengan entengnya selalu ditawarkan pemerintah dalam kasus-kasus penutupan gereja dan pelarangan beribadah, hanya akan menciptakan segregasi masyarakat berdasarkan agama. Keempat, preseden relokasi tersebut hanya akan mempersubur keengganan sebagian masyarakat untuk tidak lagi mampu dan sedia hidup berdampingan di tengah realitas keberagaman masyarakat Indonesia. Hal ini ditopang berbagai penelitian (PPIM-UIN, Setara Institute, dan LaKIP) yang menunjukkan kecenderungan makin mengkhawatirkan, di mana angka-angka hasil penelitian menunjukkan semangat intoleransi makin naik. Penelitian yang diselenggarakan Biro Liktom PGI juga menunjukkan hal yang kurang lebih sama. Masyarakat pada umumnya mengatakan penolakan mereka atas berdirinya rumah ibadah di luar agama Islam adalah bagian dari akidah atau ajaran agamanya. Yang sangat memprihatinkan adalah abainya negara terhadap kecenderungan yang bisa memecah masyarakat dan bangsa Indonesia ini. Bukan “Policy” Negara Dengan demikian, pertanyaan yang sangat mengusik, masihkah Indonesia akan bertahan sebagai sebuah bangsa dengan kondisi seperti ini? Itulah pertanyaan yang kini menghantui benak banyak orang kini di penghujung 2011. Tentu, harapan kini ditujukan kepada negara, dalam hal ini pemerintah, yang diharapkan dapat bertindak tegas atas nama konstitusi. Menarik menyimak apa yang dikatakan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono di hadapan pemimpin PGI dan pemimpin gereja-gereja di Papua, 16 Desember 2011, "Apa yang terjadi sekarang itu bukanlah sebuah policy. Saya mencintai pluralisme, dan kebebasan sesuai dengan konstitusi. Terkait dengan GKI Yasmin, putusan hukum yang sudah final tidak boleh diabaikan. Kalau ada masalah dalam menjalankannya, masalah itu yang harus diselesaikan. Saya sudah minta menteri menyelesaikannya, kalau tidak, saya akan turun tangan langsung.”
Terima kasih, pak presiden! Melihat kenyataan di lapangan kini, sudah waktunya bapak turun tangan langsung, demi keutuhan Republik yang sama-sama kita cintai ini. Bersegeralah, sebelum lebih terlambat lagi. Mayoritas rakyat menunggu dan mendukung tindakan nyata dan tegas bapak dalam hal ini.
*Penulis adalah pendeta HKBP, Sekretaris Umum Persekutuan Gereja-gereja di Indonesia.
Mereka Tak Lagi Berharap pada SBY Oleh Willy Widianto | TRIBUNnews.com – 8 jam yang lalu Laporan Wartawan Tribunnews.com, Willy Widianto TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Konflik lahan kerap terjadi di beberapa daerah di Indonesia beberapa waktu belakangan ini. Para petani yang dibenturkan dengan perusahaan-perusahan kerap dirugikan karena banyak lahannya yang tersebut dicaplok perusahaan. Aksi demi aksi pun mereka lakukan, salah satunya yang dilakukan oleh puluhan petani yang tergabung di Serikat Tani Nasional. Sabtu (31/12/2011) malam ini, jelang pergantian tahun mereka kembali hadir di Gedung DPR RI. Acara di gedung wakil rakyat ini mereka jadikan wahana untuk menyuarakan perjuangan hak-haknya yang tercabik. Di depan gedung wakil rakyat para petani juga merayakan malam pergantian tahun bersama. Terbesit banyak harapan di benak mereka dalam aksi tersebut. Kamil, salah satunya petani asal Pulau Padang, Kabupaten Meranti, Provinsi Riau ini berharap di tahun 2012 kehidupannya lebih baik dari sebelumnya. "Mudah-mudahan hidup saya lebih baik di tahun mendatang," ujar Kamil di depan gedung DPR, Jakarta, Sabtu (31/12/2011). Tidak hanya itu di tahun mendatang Kamil juga mengharapkan PT RAPP sebuah perusahaan kertas yang selama ini berkonflik dengan petani di wilayahnya, segera angkat kaki dari Pulau Padang. "Harapan kami itu perusahan RAPP angkat kaki. Kami selama ini tidak ada perusahaan itu tetap sejahtera," jelas Kamil. Kehadiran PT RAPP kata Kamil sangat merugikan dirinya, keluarga dan ratusan petani lain. Betapa tidak, daerah gambut yang belakangan menjadi sumber penghasilannya dengan seenaknya diambil begitu saja tanpa ada kompensasi yang jelas. "Lahan diambil, kami makan darimana, hidup darimana," jelas Kamil. Uluran tangan pemerintah pun sangat ditunggu Kamil. Dengan mimik wajah penuh pengharapan ia berharap ada modal yang dikucurkan bagi petani seperti dirinya. "Bantulah masyarakat ini, bantulah kelompok tani, biar makmur untuk pertanian karet, sawit atau perikanan," jelasnya.
Lalu apa harapan Kamil di tahun 2012 untuk Presiden SBY?petani sawit ini rupanya sudah hilang asa kepada SBY. Dirinya sudah tidak percaya lagi kepada kepala negara yang diusung Partai Demokrat tersebut. "Enggak percaya lagi sama SBY, korupsi tidak pernah tuntas, pengangguran tidak pernah tuntas sekian tahun, petani selalu kekurangan,"jelasnya. Kegeraman kepada SBY juga keluar dari mulut petani asal Riau bernama Sari Dewi. Pria tua ini mengaku sudah tidak ada yang bisa diharapkan dari Presiden SBY dan antek-anteknya. "Pak SBY dengarlah sekali teriakan kami, jangan kau tuli," pungkasnya.