Bumi Persada
Bab: I Semua orang dalam keadaan takut saat ini, karna Presiden Indonesia sekarang berada di tangan musuh Negara nomer satu, wakil Presiden sekarang sedang berusaha menenangkan masyarakat dengan berpidato di depan kamera, semua rangkaian TV menyiarkan pidato wakil presiden. Dengan pakaian yang rapih berjas dan berdasi bapak wakil Presiden mulai berjalan menuju meja podium, sampai di meja podium beliau masih terlihat gugup, “Rakyatku semua…” pidatonya terputus-putus, “kalian semua jangan takut!” padahal dia sendiri terlihat jelas ke-takutan, “Presiden kita tidak akan apa-apa, bapak Presiden adalah orang yang hebat, Michael…” beliau masih takut menyebut satu nama itu, “Michael… Michael tidak akan berani menyentuhnya! Kita harus sama-sama yakin bahwa pak Presiden akan selamat…” Bapak wakil Presiden terus mengulang kalimat-kalimat yang sama, itu terjadi pasti karena dia sendiri merasa takut dengan keadaan sekarang ini. Pak Presiden sekarang bersama denganku di sini, di sebuah ruangan yang sudah aku kenal pasti, lumayan besar, semua serba putih, perangkat computer bertengger di salah satu meja di ruangan ini, peralatan praktek penelitian ruang laboratorium, ya mungkin bisa di bilang ruangan ini seperti itu, tapi yang sebenarnya ruangan ini adalah ruang base camp, tempat kami berlima berkumpul dan meneliti sesuatu yang belum kami ketahui, atau mencari solusi untuk satu masalah, 1
Bumi Persada pak Presiden yang bertubuh tidak terlalu besar tapi dia lumayan tinggi, berpakaian rapih, penampilannya hampir sama dengan bapak wakil Presiden yang sedang berpidato di dalam televisi di hadapan kami. Pak Presiden terdiam duduk di kursi tubuhnya terlilit tali tambang mulutnya di lakban, sama seperti aku, sama seperti seorang lelaki separuh baya di sebelah kiriku, pakaiannya tidak serapih pak Presiden, dia memakai kemaja kotak-kotak warna hitam biru, dia tidak terlalu jauh berbeda denganku, hanya saja rambutnya keriting awut-awutan hampir kribo tapi dia tidak kribo, ya wajar saja lha wong dia kan seorang artis, sedangkan aku rambutnya panjang ikal sebahu dengan phoni di atas mata sebagian rambutku sudah beruban, aku adalah seorang penulis, dua perempuan yang ada di sebelah kananku ini pun usianya tidak jauh berbeda dengan ku, usia kami mungkin berkisar antara empat puluh lima tahun sampai lima puluh tahun, usiaku sendiri tahun ini mencapai empat puluh enam sama juga dengan usia pak presiden walaupun pak presiden lebih tua lima tahun dari kami semua. Mereka semua, pak Presiden di depanku, lelaki setengah baya di sebelah kiriku, juga dua perempuan di sebelah kananku, mereka tidak ada yang tau siapa aku, dan aku juga yakin kalau mereka tidak saling mengenal, tapi aku tau siapa mereka, perempuan yang masih terlihat cantik dan lembut berpakaian serba warna pink itu adalah salah satu orang terkaya di Indonesia, dan yang satu lagi perempuan yang masih memakai jubah berwarna putih pudar adalah ilmuwan saintis penemu 2
Bumi Persada
mesin-mesin baru milik Indonesia, dulu kami berlima adalah siswa satu angkatan di sebuah Akademi, hari ini adalah minggu tanggal 27 juny 2032, kami berlima di culik oleh para teroris dunia yang di pimpin oleh Michael, kenapa kami di culik mereka? padahal di ruangan ini orang yang sangat penting di Indonesia adalah pak Presiden saja, untuk apa mereka menculik kami selain presiden? kenapa mereka tidak menculik mentri-mentri Indonesia atau orang penting lainnya di Indonesia saja? aku akan ceritakan asal muasal kenapa aku dan ke empat orang di sekitar aku ini berada di sini, cerita ini bermula dari sebuah Akademi bernama AIS (Akademi Indonesia School) # Tahun pertama Sebuah motor bebek berwarna hitam berhenti di depan pintu gerbang yang sangat besar, punggungku meng-gendong tas berisi pakaian dan tangan menenteng tas gendong sekolah, aku tergolong kurus berwajah bulat oval, mungkin karna baru kali ini ku melihat pintu gerbang sebesar ini, jadi begitu melihat pintu gerbang yang tinggi nya kurang lebih tiga meter dan lebar sekitar dua belas meter aku terkagum-kagum, aku turun dari motor bebek itu, mataku masih terpana dengan gerbang itu, kemudian beralih pada sebuah plang yang berukuran besar terpampang di ujung pintu gerbang “AIS pusat pendidikan dan kebudayaan serta perdamaian” di kanan dan kiri tulisan itu ada lambang AIS warna merah putih di lingkari garis hijau di tengah tertulis AIS dan satu plang lagi yang bertuliskan “Rokok 3
Bumi Persada adalah jembatan menuju narkoba” sebenarnya aku sudah ngga sabar ingin segera melihat sesuatu yang ada di balik pintu gerbang super besar itu. “Dua puluh ribu dek!” “Hah? Berapa mang?” “Dua puluh ribu.” “Mahal sekali mang!” “Itu masih murah dek! Dari stasiun ke lokasi AIS ini jauh dek, dan lagi resikonya juga besar dek!” “O begitu, ya sudah ngga apa-apa, nih, aku bayar! trimakasih ya mang!” dia itu seorang tukang ojek, dia sedang mencari rejeki, dan sekarang Alloh memberi rejeki nya melalui aku, ya masa iya sih karna uang dua puluh ribu ini aku jadi kere, padahal emang aku juga kere, sekarang aku mau masuk ke dalam pintu gerbang yang dari tadi sudah mempesonakan mataku, di belakangku ada seorang tukang ojek lagi yang sedang menurunkan penumpangnya, pasti dia yang turun itu juga seorang calon siswa sepertiku. Di depanku juga sudah ada banyak anak-anak lain, sebagian lelaki, dan sebagian lagi perempuan jadi ya aku harus mengantri untuk sampai di meja penerimaan siswa baru AIS. Ada sebuah bus yang baru sampai, pintu gerbang tiba-tiba membuka dengan sendirinya di dalamnya terdapat banyak anak-anak seusiaku, kenapa mereka tidak mengantri? Begitu bus sudah masuk, pintu gerbang menutup lagi, sekilas aku melihat isi yang ada di balik pintu gerbang itu, aku jadi makin ngga sabar. Aku Lintang Indrawan, umur tiga belas tahun, lahir di Jakarta, tapi aku di besarkan di sebuah desa di Cilacap 4
Bumi Persada
Jawa Tengah, baru saja tamat sekolah dasar, selama dua tahun aku selalu mendapatkan rangking pertama, karna alasan inilah aku terpilih menjadi salah satu calon siswa di AIS angkatan ke dua, mugkin, karna aku juga ngga tau alasan aslinya, aku hidup dengan kakek dan nenek, tinggi badan 155cm, berat badan 40kg, walaupun baru tamat SD, tapi tubuhku sudah seperti orang dewasa, orang-orang bilang aku tu bongsor. Dua bulan yang lalu aku dapat sepucuk surat dari AIS ‘Akademi Indonesia School’ ini adalah sebuah sekolah swasta, tidak semua orang tau apa yang di lakukan di dalam sekolah ini, dan memang itu di rahasiakan, tidak semua orang juga bisa masuk menjadi siswa di Akademi ini yang bisa hanyalah orang-orang yang sudah di pilih oleh AIS, ke hadirannya di Indonesia sempat menjadi kontroversi, dana yang di gunakan untuk membangun Akademi ini adalah hasil mengumpulkan uang dari berbagai golongan dari orang Indonesia yang ikhlas menyumbangkan hartanya untuk membangun Indonesia, Bapak Panji adalah pelopornya, lokasi AIS berada di Pulau jawa dan siswanya berasal dari Nusantara, yang artinya dari sabang sampai meraoke bahkan dari negri jiran pun ada, itu informasi yang ada bersama dengan sepucuk surat buatku, ngga tau selebih nya, mangkanya aku jadi penasaran, sekarang aku sudah ada di depan pintu gerbang AIS, langsung saja aku melangkah mendekati antrian ikut mengantri. “Surat undangannya dek!” tanya sang petugas begitu aku sampai pada antrian, aku serahkan amplop 5
Bumi Persada surat milikku yang aku ambil dari tas gendong yang aku tenteng, petugas penerima siswa baru itu menyerahkan amplop pada teman perempuan di sebelahnya, ia mencatat namaku dan kemudian menyerahkan surat itu padaku lagi. “Dek Lintang Indrawan, kamu masuk aja langsung, bilang sama kakak yang di dalam, kamu masuk Fajar 204” “Fajar 204?” “Itu tempat kamu akan tinggal di AIS dek! Selamat datang di AIS ya!” “Iya makasih kak!” aku pun masuk pintu gerbang yang membuka dengan sendiri ketika aku mendekatinya, mungkin gerbang ini ada remot kontrolnya kali ya? masih ke lihatan banget kampunganku, ada seorang pemuda lain yang sedang berdiri di samping bus putih, aku lihat kawasan AIS dari pintu gerbang, waw besar banget, batinku, aku masih mencoba menyembunyikan sikap kampunganku, karna aku emang orang kampung. “Kak! Fajar 204.” “O iya…masuk dulu ya dek! Nunggu yang lain.” aku masuk ke bus yang sedang berhenti ini, di dalam bus sudah banyak kawan-kawanku, mereka semua diam, pasti karna mereka tidak saling mengenal, aku cari tempat duduk yang kosong, di barisan belakang ada yang kosong, aku pun menelusuri koridor bus, banyak kawan yang belum aku kenal ini ngelihatin, cuek aja kali, aku duduk di kursi yang kosong, aku lihat ke luar lewat jendela, banyak bangunan tinggi di dalam sana, 6
Bumi Persada
sebenarnya aku sudah sempat terkejut tadi waktu baru masuk pintu gerbang tapi aku belum tau bangunan apa itu, kemungkinan itu adalah sekolahan, itu artinya aku akan masuk ke gedung itu besok, dari pintu gerbang ini berjarak sekitar 2km, di dalam sini banyak sekali pepohonan hijau sepanjang jalan, setiap jarak sekitar 3meter ada satu pohon di tepi jalan dan setiap tanah yang tidak ada gedungnya, di sana terdapat banyak pepohonan, persis seperti hutan dan tidak terdapat rumput liar di bawah pepohonan rindang itu, pepohonan itu daunnya lebar kalau menurut aku sih itu pohon jati, aku belum tau apakah tebakanku bener apa enggak, tapi kalau bener, pohon jati sebanyak itu kalau sudah besar akan menghasilkan uang yang berlimpah ruah tempat ini seperti kota di dalam desa, di tambah lagi hutan di dalam kota coba kalau Indonesia semua seperti ini. “Kita akan berangkat ke Fajar, sekarang saya akan absen kalian dulu ya!” kakak yang bertugas mengawal siswa baru itu menyebut satu persatu nama mereka yang ada di bus ngga perlu waktu lama karna di bus ini hanya ada enam puluh orang pelajar baru yang rata-rata umur mereka sama, ini baru tebakanku lho, karna tampang kami bisa sama, tapi usia kami pasti berbeda, ngga mungkin kan ada enam puluh orang di dalam bus yang lahir di hari yang sama, ya kecuali emang bus itu khusus untuk orang yang lahir di hari yang sama, bus pun melaju dengan kecepatan normal, aku jadi bisa melihat ke adaan di luar sana, sepertinya sih tempat ini sangat nyaman, mungkin juga aman, dan tentram, tapi 7
Bumi Persada kalau menurutku, di atas bumi ini ngga ada tempat yang tidak ada problema, bukti terdekatnya saja nih, berdirinya AIS, baru berdiri saja ada orang yang bilang kalau AIS itu adalah sarang teroris, kenapa? Karna kita di bumi, masih ingat nyanyian roma irama yang bunyinya begini “Lain lubuk lain airnya lain juga ikannya.” Setiap manusia itu punya satu kepala, dan di dalam kepala itu lain isinya, ya maksudku pemikirannya, kalau isinya pasti sama semua kepala isinya pasti otak, bener ngga? Itulah kenapa aku bilang kalau di sini juga pasti akan ada problema, aku sih sudah siap dengan segala apa yang akan terjadi, tentu sudah ku pertimbangkan jauh-jauh hari. Setelah menyerahkan sekali lagi amplop surat undanganku ke seorang perempuan yang menjaga Fajar, o iya ternyata Fajar adalah sebuah nama asrama, dan asrama ini adalah khusus lelaki, eh salah, asrama ini di bagi menjadi dua bagian, jadi asrama ini terdiri dari lima lantai setiap lantai ada enam blok setiap blok ada enam kamar setiap kamar ada enam ranjang dan setiap ranjang ada dua siswa, ranjang atas dan ranjang bawah. Nah setiap lantai di bagi menjadi dua, tiga blok sebelah kanan untuk perempuan dan tiga blok kiri untuk lelaki, sedang kan kamar nomer 204 itu ada di blok A, angka 2 untuk lantai dan 04 untuk urutan kamarnya, jadi sekarang aku harus naik ke lantai dua belok ke kiri mencari blok A. Ada satu lagi asrama yang sudah di huni siswa, asrama Fajar menghadap ke arah barat dan asrama satu lagi yang bernama Mushthofa menghadap ke arah 8
Bumi Persada
selatan di sana juga sama separuh untuk lelaki dan separuh untuk perempuan, asrama Fajar ini terlihat seperti baru di gunakan, kalau Mushthofa Asrama itu sepertinya adalah asrama pertama di AIS tepat di belakang Fajar ada lagi sebuah asrama yang belum sempurna, asrama itu bernama Nur. Ada yang mengganjal di otakku, dari nama-nama asrama di AIS, pertama Mushthofa, masih ingat lagu yang di nyanyikan oleh Sulis? Kalau ngga salah Mushthofa itu adalah julukan nabi Muhammad saw. Yang artinya cahaya bulan, lalu Fajar, setelah bulan tidak bersinar maka akan datang Fajar, begitu Fajar menyingsing maka Nur atau cahaya matahari akan muncul, menurut informasi dari petugas asrama tadi, AIS sedang mempersiapkan satu asrama lagi yang bernama Madani artinya masyarakat yang damai, dari nama-nama asrama di AIS sepertinya nama-nama itu saling berhubungan. Kita lihat nanti saja lah, sekarang kan aku masih siswa baru, malah belum bisa di bilang siswa, sebab, aku belum resmi menjadi siswa di sini, katanya sih sebelum masuk AIS setiap siswa akan di tes dulu, tesnya seperti apa tentu aku juga belum tau Sekarang aku sudah ada di depan kamar 204 aku lihat daftar nama yang tertempel di pintu dan memang ada namaku tanpa ketuk pintu aku langsung masuk ke kamar ini di dalam kamar ini sudah ada beberapa orang seusiaku. “Baru sampai ya? E…siapa nama kamu?” sapa seorang anak yang sedang santai di sebuah kursi di ruang belajar. 9
Bumi Persada “Lintang, nama saya Lintang Indrawan, saya dari Jawa Tengah.” “O…saya Kodir Jaelani. Saya dari Kalimantan selatan.” Aku menjabat tangannya dan terus menuju ruang tidur. “Hai…aku Yogi, dari Sukabumi.” Seseorang keluar dari dalam kamar mandi, dia seperti sudah akrab denganku, Kodir berbadan besar, dan tinggi, sedangkan Yogi sedikit gendut, mereka semua juga masih lugu. “Aku Yuwanda dari Bengkulu.” Di belakang Yogi yang juga baru keluar dari kamar mandi seorang yang berbadan lebih gendut ikut memperkenalkan diri, rupanya di dalam kamar ada kamar mandinya juga, sebenarnya kamar ini hanyalah satu ruangan tapi antara ruang tidur dan ruang belajar di sekat dengan barisan lemari pakaian yang jumlahnya sesuai dengan jumlah siswa yang tinggal di tambah satu rak buku, tentu kamar mandinya di sekat dengan tembok itu artinya terpisah dari dua ruangan ini, “Aku Muhammad Tsalis, aku dari Surabaya.” Logatnya kental sekali, dia memang dari Surabaya. “Aku Sholeh dari Riau.” Dua orang lagi yang sudah ada di atas ranjang tidur ikut menyebutkan namanya, masih beberapa orang yang ada di kamar 204 ini, tapi aku emang sudah kecapean, akhirnya ya aku memaksakan diri untuk tidur, langsung saja menuju ke salah satu ranjang yang kosong, tanpa ragu langsung merebahkan badan dan terlelap. Untuk mengisi waktu luang setelah ujian sebelum menjadi siswa AIS, aku menyempatkan bermain 10
Bumi Persada
badminton dengan temen-temen baru yang benarbener baru ku kenal, bahkan aku kenal teman-temenku ini dari badminton yang baru kali ini aku bermain, sebelumnya mungkin aku pernah main badminton di sekolah dasar, tapi bolanya bukan terbuat dari bulu angsa melainkan dari buah nyamplung yang di bungkus dengan plastic di ikat ujungnya dan di sisakan plastiknya dan untuk memukul bolanya meng-gunakan triplek bekas yang sudah di bentuk seperti raket, hanya saja tidak ada benangnya, dan pangkalnya jauh lebih pendek, terkadang malah menggunakan sandal jepit. Setelah puas dan merasa capek, aku kembalikan raket yang aku pinjam itu pada pemiliknya, aku pun istirahat duduk di trotoar jalan yang terbuat dari beton di tepi jalan yang juga terbuat dari beton bukan dari aspal, sebagian siswa ada juga yang bermain bola. Ada seseorang yang ngga aku kenal, dia sepertinya baru bermain bola, terlihat banget kalau dia sedang kecapean, dia duduk di sampingku. “Namaku Sofian Nur, gua dari Kal-Tim.” Orang itu mengulurkan tangannya dan menyebutkan namanya serta asalnya, aku memang sedikit terkejut tapi aku langsung ikut mengulurkan tanganku juga menyebut namaku. “Lintang Indrawan, aku dari Cilacap.” “Salam kenal ya!” dia bangun dan pergi entah kemana, aku ngga terlalu memperhatikannya, aku sendiri masih merasakan capek di badanku ini.
11