IMPLIKASI YURIDIS SISTEM PEMILIHAN UMUM PRESIDEN/WAKIL PRESIDEN SECARA LANGSUNG TERHADAP PROSES IMPEACHMENT Oleh: Ishviati Joenaini Koenti Abstract Impeachment is a way to attract people's mandate which has been given by the voters for exceptional reasons or violation of the constitution. Impeachment must be preceded by the indictment or opinion by the House of Representative (DPR) that the President / Vice President has violated one of the five acts as stipulated in Article 7A submitted to the Constitutional Court. The Court will give legitimacy of juridical perspective by providing commentary on a charge that was alleged to the President / Vice President, wich is free from any political interests. Problems will arise if the opinion of the DPR and MPR is different with The Court’s decision . This, shows that the decision of The Court is non-executable. Keyword: Pendahuluan Implikasi yuridis sistem Pemilu Presiden dan Wakil Presiden secara langsung terhadap kedudukan lembaga eksekutif dalam penyelenggaran pemerintahan di Indonesia meliputi perubahan kedudukan Presiden dan Wakil Presiden selaku lembaga eksekutif. Dalam pemerintahan sebelum dilaksanakannya Pemilu Presiden dan Wakil Presiden secara langsung Presiden dan Wakil Presiden berkedudukan sebagai penyelenggara pemerintahan tertinggi di bawah MPR. Presiden dipilih dan diberi mandat oleh MPR yang berkedudukan sebagai lembaga tertinggi negara. Setelah adanya perubahan ketiga UUD 1945 yang menganut sistem Pemilu Presiden dan Wakil Presiden secara langsung, maka kedudukan Presiden adalah sebagai penyelenggara pemerintahan tertinggi dibawah UUD. Presiden tidak tunduk lagi di bawah MPR dan tidak lagi bertanggung jawab kepada MPR. MPR tidak
lagi
berwenang
memilih
Presiden
dan
Wakil
Presiden
serta
meminta
pertanggungjawaban Presiden. Dalam melaksanakan tugasnya, Presiden tidak lagi berpedoman pada program kerja yang dibuat oleh MPR, melainkan pada program-program yang dibuat sewaktu pencalonan Presiden dan Wakil Presiden. Presiden bertanggung jawab langsung kepada rakyat. Hal tersebut juga merupakan wujud dari sistem 1
pemerintahan presidensial yang dianut Indonesia1. Presiden tidak dapat diberhentikan dari jabatannya karena pertanggungjawabannya ditolak karena belum ada ketentuan perundang-undangan yang mengatur bentuk dan mekanisme pertanggungjawaban Presiden kepada rakyat secara langsung tersebut2. Namun demikian, MPR masih dapat memberhentikan Presiden atas usul DPR jika Presiden terbukti melakukan pelanggaran hukum berupa pengkhianatan terhadap negara, korupsi, penyuapan, tindak pidana berat lainnya, perbuatan tercela maupun tidak lagi memenuhi syarat sebagai Presiden dan/atau Wakil Presiden melalui mekanisme impeachment3. Kewenangan impeachment terhadap Presiden dan/atau Wakil Presiden diubah lebih sulit penggunaannya dengan meletakkan Mahkamah Konstitusi (MK) sebagai salah satu pelaku kekuasaan kehakiman yang baru diantara DPR dan MPR. UUD 1945 menegaskan norma untuk
impeachment berupa
4
pelanggaran hukum dan atau jabatan. Wewenang MK dalam hal impeachment adalah sebagai berikut: ”Mahkamah Konstitusi wajib memberi putusan atas pendapat Dewan Perwakilan Rakyat mengenai dugaan pelanggaran Presiden dan/atau Wakil Presiden menurut Undang-Undang Dasar”. Secara khusus, wewenang Mahkamah Konstitusi tersebut diatur lagi dalam Pasal 10 huruf e Undang-Undang No. 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi sebagai berikut :”Mahkamah Konstitusi wajib memberi putusan atas pendapat DPR bahwa Presiden dan/atau Wakil Presiden diduga telah melakukan pelanggaran hukum berupa pengkhianatan terhadap negara, korupsi, penyuapan, tindak pidana berat lainnya, atau perbuatan tercela, dan/atau Wakil Presiden sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia tahun 1945” DPR adalah satu-satunya pihak yang memiliki legal standing untuk beracara di MK dalam rangka tuduhan impeachment kepada Presiden dan/atau Wakil Presiden. Disebutkan secara eksplisit dalam pasal 80 ayat (1) bahwa “Pemohon adalah DPR”. Akan tetapi, permasalahan yang muncul adalah apakah proses impeachment sebagai proses
1
Aim Abdulkarim , Kewarganegaraan, (Bandung:, Rafindo Media Pratama, 2006) hlm.9 Yop Pandie, Polemik Cabut Mandat SBY: Suatu Tranformarmasi dari Masyarakat Nrimo ke Masyarakat Peduli Nasib Bangsa. (Jakarta: Bina Reka Pariwara, 2007), hlm.83. 3 Istilah impeachment di beberapa tulisan sering diterjemahkan sebagai pemakzulan, namun karena kandungan makna sedikit berbeda, impeachment diterjemahkan sebagai dakwaan/pemanggilan untuk pertanggungjawaban (kamus John M. Echols & Hassan Shadly, Gramedia, cet.ix, 1988) sedangkan pemakzulan diartikan sebagai memberhentikan dari jabatan (kamus besar bahasa Indonesi, Balai Pustaka, cet.ix, 1997), maka pada penulis memilih istilah impeachment. 4 AM.Fatwa, Potret Konstitusi Pasca Amandeman UUD 1945 (Jakarta: PT.Kompas Media Nusantara. 2009),. hlm.227 – 228.. 2
2
politik atau proses hukum, dan bagaimana dengan kedudukan para pihak dalam proses impeachment di Mahkamah Konstitusi?
Pemilihan Presiden/Wakil Prsiden Secara Langsung sebagai Wujud Demokrasi Presidensial Demokrasi presidensial pada umumnya memiliki karakteristik yang sangat berbeda dengan demokrasi parlementer. Kepala eksekutif (Presiden) dipilih secara langsung dan memiliki masa jabatan yang tetap. Konsekuensi dari masa jabatan yang bersifat tetap adalah bahwa seorang kepala eksekutif (Presiden) yang terpilih secara langsung tidak mudah dijatuhkan oleh badan legislatif. Sebaliknya, badan legislatif dalam demokrasi presidensial juga bersifat tetap sehingga tidak dapat sewaktu-waktu dibubarkan oleh kepala eksekutif.5 Karakteristik utama dari demokrasi presidensial adalah pemilihan presiden secara langsung oleh pemilih tanpa melalui perantara. Pemilihan langsung tidak selalu menghasilkan suara mayoritas sehingga di beberapa negara dilakukan pemilihan ulang (run-off). Seperti halnya pemilihan presiden/wakil presiden di Indonesia tahun 2004, namun tahun 2009 hal ini tidak terjadi. Karakteristik utama lain adalah masa jabatan presiden bersifat tetap (fixed terms). 6 Demokrasi presidensial menempatkan lembaga eksekutif dan lembaga legislatif sebagai dua lembaga yang tidak dapat saling menjatuhkan. Politisi pada kedua lembaga politik utama ini dipilih secara langsung sehingga otomatis baik anggota legislatif maupun presiden selaku kepala eksekutif memiliki legitimasi langsung dari rakyat pemilih. Anggota legislatif lebih madiri karena tidak khawatir ancaman pembubaran parlemen oleh presiden. Kondisi ini memungkinkan badan legislatif mengembangkan kemandirian masing-masing anggota. Bukan berarti bahwa demokrasi presidensial menutup peluang untuk menghentikan kekuasaan presiden sebelum waktunya. Impeachment adalah jalan yang dibuka demokrasi presidensial untuk menarik mandat yang diberikan rakyat pemilih karena alasan luar biasa atau pelanggaran konstitusi. Namun, kasus semacam ini jarang terjadi di negara-negara demokrasi baru sedang impeachment memerlukan persyaratan yang ketat sebelum seorang presiden dapat dijatuhkan. Kelangkaan kasus ini membuat
5
AM. Fatwa, Op.Cit., hlm. 229 Bambang Cipto, Presiden, Partai dan Pemulihan Ekonomi Indonesia, (Yogyakarta: UII Press, Yogyakarta), hlm. 15. 6
3
prinsip masa jabatan tetap tidak kehilangan makna sebagai karakteristik utama demokrasi presidensial. Sistem presidesial di Indonesia tak dapat mengelak dari keharusan untuk tampil dengan gaya parlementer. Sekarang ini, pemerintahan Indonesia bukan sistem pemerintahan presidensial penuh. Pertama, karena menerapkan sistem presidensial namun dengan sistem multi-partai dan tidak ada partai dominan. Kedua, karena presiden berasal dari partai kecil sedangkan DPR dikuasai oleh partai mayoritas. Dimanapun model seperti ini tidak akan pernah bisa berjalan kalau sistem presidensial diterapkan pada kondisi multi partai. Hal ini tidak akan berhasil dan tidak akan menciptakan stabilitas pemerintah untuk mendorong pembangunan. Jadi, dalam kondisi seperti itu presiden hanya mengakomodasi kepentingan partai politik di dalam membentuk kabinetnya. Akhirnya, kabinet menjadi tidak efektif, karena bukan orang yang diinginkan presiden. Kondisi yang demikian memunculkan dua alternatif. Pertama, presiden betul-betul menerapkan sistem presidensial. Ketika membentuk kabinetnya presiden tidak memposisikan diri sebagai presiden dan tidak perlu mendengar aspirasi partai-partai politik. Kedua, presiden tidak menerapkan sistem presidensial penuh, tetapi melakukan cohabitation (sistem yang diterapkan Perancis), yakni presiden dipilih langsung dengan tidak ada wakil presiden, tetapi ada perdana menteri yang dipilih oleh parlemen. Kemudian menteri-menterinya ditunjuk oleh perdana menteri. Sistem presidensial tidak bisa diterapkan dalam sistem multi partai. Itu kombinasi yang sangat muskil dilakukan.7 Kiranya perlu analisis lebih lanjut untuk mencari model check & balances yang benarbenar dapat menyeimbangkan kepentingan pemerintah dan pelaksanaan fungsi parlemen, khususnya fungsi pengawasan kepada pemerintah. Fungsi parlemen pada negara-negara demokratis yang lebih menonjol adalah mendorong dan melakukan fungsi pengawasan terhadap performance administratur dalam melaksanakan tugasnya.8 Penguatan fungsi DPR dalam berhadapan dengan Pemerintah merupakan cermin pergeseran kekuasaan yang nyata. Peningkatan dan penguatan peran DPR yang dihasilkan melalui amandemen UUD ini bersifat strategis dan berjangka
7
Sofyan Effendi, Sistem Presidensial Tidak Bisa Diterapkan Dalam Sistem Multi Partai, Majalah Figur Edisi X Tahun 2007, hlm.14 8 Jimly Assidiqie, Hukum Tata Negara dan Pilar-Pilar Demokrasi, (Jakarta: Konstitusi Press.2005), hlm. 48.
4
panjang sehingga tidak hanya tergantung pada dinamika politik yang bersifat sesaat dan kondisional.9 Parlemen dengan sistem multipartai menyebabkan presiden tak dapat mengabaikan parpol-parpol. Ketika DPR melakukan impeachment maka keputusan tersebut lebih diakibatkan oleh alasan sebuah proses politik. Oleh sebab itu, harus ada sebuah lembaga yang memberikan legitimasi dalam perspektif yuridis dengan memberikan tafsiran atas tuduhan yang dijatuhkan kepada Presiden dan/atau Wakil Presiden.
Proses Politik Impeachment di DPR Sebelum terjadinya perubahan UUD 1945, Presiden dan/atau Wakil Presiden dapat diberhentikan dengan alasan-alasan yang bersifat politik, bukan yuridis. Pengalaman ketatanegaraan mengenai impeachment yang dibingkai oleh UUD 1945 terjadi dua kali terhadap Presiden Soekarno dan Presiden Abdulrachman Wahid. Terakhir, terjadi pada Presiden Abdurrahman Wahid pada tahun 2001. Dengan argumen bahwa Presiden Abdurrahman Wahid dinilai telah melakukan pelanggaran hukum dan konstitusi, para anggota DPR kemudian mengajukan usulan memorandum yang memang diatur oleh TAP MPR Nomor III/ MPR/1978. Memorandum kepada presiden itu untuk meminta keterangan dalam kasus Buloggate dan Bruneigate. Keterangan yang disampaikan oleh Presiden dalam Memorandum Pertama ditolak oleh mayoritas anggota DPR yang berakibat harus dilakukan Memorandum Kedua. Namun pada Memorandum Kedua ini keterangan Presiden tetap ditolak oleh mayoritas anggota DPR. Konflik politik antara presiden dan DPR-pun menjadi tajam. Dalam posisi politik yang semakin terjepit dan kelanjutan kekuasaannya terancam, Presiden Abdurrahman Wahid mengambil langkah politik mengeluarkan Dekrit. Impeachment terhadap Presiden Abdurrahman Wahid telah sesuai ketentuan mengenai proses Memorandum yakni sebanyak tiga tahapan sebelum dapat dilakukan impeachment terhadap presiden. Ketentuan proses impeachment ini diatur dalam Ketetapan MPR Nomor IX Tahun 1978. Namun dalam kenyataannya, ketentuan ini pun tidak sepenuhnya ditaati oleh anggota MPR ketika melakukan impeachment terhadap Presiden Abdurrahman Wahid. Sebab, mayoritas anggota MPR menafsirkan bahwa MPR 9
Ibid., hlm. 69.
5
dapat melakukan Memorandum yang dipercepat ketika ada keadaan yang memaksa. Meskipun begitu, yang nyata adalah bahwa MPR setiap waktu dapat memberhentikan presiden dari jabatannya (kan hem op elk gewenst moment onslaan) atau dapat menjatuhkan hukuman pemecatan (op straffe van ontslag).10 Pasal 7A dan 7B Perubahan Ketiga UUD 1945 merupakan ketentuan impeachment yang belum pernah ada praktiknya dalam sejarah ketatanegaraan di Indonesia. Cara impeachment Presiden/Wapres, menurut pasal 7B, haruslah didahului adanya dakwaan atau pendapat oleh DPR bahwa Presiden/Wapres sudah melanggar salah satu dari lima perbuatan yang tertuang pada Pasal 7B atau tidak memenuhi syarat lagi sebagai presiden/wapres, yang kemudian dimintakan putusan Mahkamah Konstitusi (MK). Dengan mekanisme seperti itu, terjadilah saling tahan-menahan kepentingan antara presiden dan parpol-parpol di DPR. Parpol menekan Presiden agar mau menerima sodoran kader untuk kabinet atau minta imbalan politik lainnya. Presiden juga berkepentingan menekan sebagian besar parpol agar tak menjatuhkannya dengan dakwaan sehingga Presiden dapat di-impeach. Sekurang-kurangnya presiden akan terus berusaha agar kalangan parpol yang melawannya tidak mencapai dua pertiga per dua pertiga di DPR dan dua pertiga per tiga perempat di MPR. Jadi, meskipun menurut ketentuan Pasal 7A dan 7B UUD 1945 untuk menjatuhkan presiden/wapres tampak sulit, sebenarnya bisa menjadi mudah.
Dengan
sistem
politik
presiden/wapres tidak sangat kuat.
yang
multipartai
seperti
sekarang,
kedudukan
Jika kondisi politik di parlemen mengarah pada
menjatuhkan presiden/wapres, maka hal itu mudah untuk dilakukan. Mencari-cari bukti bahwa presiden/wapres melanggar salah satu dari lima larangan itu tidaklah terlalu sulit. Banyak yang dapat ditemukan dan masalahnya tinggal kuorum dan kesepakatan parpol di DPR. Itulah sebabnya, presiden dihadapkan pada paksaan untuk selalu memperhatikan parpol-parpol. Presiden
akan merangkul parpol agar tak ada
“guliran bola politik” yang mengarah pada munculnya dua pertiga dari dua pertiga kekuatan di DPR dan dua pertiga dari tiga perempat di MPR yang melawannya. Pada
peristiwa penting menyangkut kebijakan Pemerintah yang dianggap
bertentangan dengan kepentingan negara dan rakyat Indonesia, Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) sebagai pengawas performance administratur akan menggunakan Hak Angket yang
10 Yusril Ihza Mahendra, Dinamika Hukum Tata Negara Indonesia, (Jakarta: Gema Insani Press, 1996), hlm. 102.
6
melekat padanya sesuai Undang-Undang, sebagai perangkat politik untuk mengadakan penyelidikan terhadap kebijakan Pemerintah yang dianggap merugikan negara.11 Undangundang yang mengatur penggunaan hak angket ialah UU Nomor 6 Tahun 1954 tentang Hak Angket Dewan Perwakilan Rakyat. UU ini berasal dari zaman sistem pemerintahan parlementer di bawah UUD Sementara Tahun 1950, namun sampai sekarang belum pernah dicabut. Mahkamah Konstitusi melalui putusannya tanggal 26 Maret 2004 telah menegaskan bahwa UU Nomor 6 Tahun 1954 itu masih berlaku berdasarkan ketentuan Pasal I Aturan Peralihan UUD 1945. Dengan demikian, tidak ada keraguan apapun untuk menggunakan ketentuanketentuan dalam UU Nomor 6 Tahun 1954 itu untuk melaksanakan hak angket DPR. Penerapannya tentu harus mempertimbangkan sistem pemerintahan presidensial yang kini berlaku di bawah UUD 1945. Hak Angket disebut juga sebagai hak penyelidikan, karena hak ini lazimnya memang dimiliki oleh DPR untuk menyelidiki hal-hal yang terkait dengan masalah keuangan yang menjadi kebijakan Pemerintah. Namun, ketentuan Pasal 176 ayat (1) Peraturan Tata Tertib DPR menegaskan bahwa hak angket digunakan untuk menyelidiki “kebijakan pemerintah yang penting dan strategis serta berdampak luas pada kehidupan bermasyarakat dan bernegara yang diduga bertentangan dengan peraturan perundangundangan”. Rumusan ini memang sangat luas, karena setiap gerak langkah dan keputusan yang diambil Pemerintah pada dasarnya dapat dikatakan sebagai “kebijakan”. Jadi tidak spesifik terkait dengan masalah tertentu saja, misalnya: keuangan negara. Pasca amandemen ketiga, keberadaan hak angket diatur dalam Pasal 20A ayat (2) UUD 1945 dan kemudian ditegaskan kembali dalam Pasal 27 UU Nomor 22 Tahun 2003 tentang Susunan dan Kedudukan MPR, DPR, DPD dan DPRD dan Pasal 176-183 Peraturan Tata tertib DPR. Walaupun Pasal 20A ayat (4) UUD 1945 menegaskan bahwa ketentuan lebih lanjut mengenai hak DPR itu akan diatur dalam undang-undang, namun UU Nomor 22 Tahun 2003 tidak mengatur secara rinci tentang pelaksanaan dari hak angket itu. Hak angket kemudian diatur secara lebih rinci dalam Undang-undang Republik Indonesia Nomor 27 Tahun 2009 tentang Majelis Permusyawaratan Rakyat, Dewan
11 “Hak-angket-dari-masa-ke-masa” http://top10headline.com/isu-pekan-ini/40-, diakses tanggal 10 Januari 2010.
7
Perwakilan Rakyat dan Dewan Perwakilan Daerah yang mengatur secara jelas hak-hak yang dimiliki oleh Dewan Perwakilan Rakyat. Pasal 77 mengatur mengenai hak-hak DPR berupa hak interpelasi, hak angket dan hak menyatakan pendapat. Lebih lanjut, Pasal 77 ayat (3) menentukan definisi hak angket sebagai hak DPR untuk melakukan penyelidikan terhadap pelaksanaan suatu undang-undang dan/atau kebijakan Pemerintah yang berkaitan dengan hal penting, strategis, dan berdampak luas pada kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara yang diduga bertentangan dengan peraturan perundangundangan. Tetapi, mengenai penyelidikan itu sendiri tidak didefenisikan. Apakah penyelidikan dalam pengertian UU No. 27 tahun 2009 sama dengan pengertian penyelidikan dalam KUHAP12? Hak interpelasi adalah hak DPR untuk meminta keterangan kepada Pemerintah mengenai kebijakan Pemerintah yang penting dan strategis serta berdampak luas pada kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara. Hak menyatakan pendapat adalah hak DPR untuk menyatakan pendapat atas: (a) kebijakan Pemerintah atau mengenai kejadian luar biasa yang terjadi di tanah air atau di dunia internasional (b) tindak lanjut pelaksanaan hak interpelasi dan hak angket atau (c) dugaan bahwa Presiden dan/atau Wakil Presiden melakukan pelanggaran hukum baik berupa pengkhianatan terhadap negara, korupsi, penyuapan, tindak pidana berat lainnya, maupun perbuatan tercela, dan/atau Presiden dan/atau Wakil Presiden tidak lagi memenuhi syarat sebagai Presiden dan/atau Wakil Presiden dengan peraturan perundang-undangan. Terkait dengan alasan, menurut Yusril Ihza Mahendra ada dua hal bagi Presiden atau Wakil Presiden untuk bisa dimakzulkan, yakni melanggar hukum serta adanya pelanggaran syarat jabatan misalnya terbukti melakukan korupsi, suap, penghianatan kepada negara dan melakukan tindak pidana berat. Kategori melakukan tindak pidana berat sesuai dengan ancamannya yang di atas lima tahun. Pemakzulan juga bisa dilakukan kalau Presiden dan Wapres melakukan perbuatan tercela. Presiden dan Wapres juga bisa dimakzulkan kalau dia sudah tidak bisa melaksanakan kewajiban sebagai presiden. Sementara itu, mantan Ketua Mahkamah Agung (MA) Bagir Manan mengatakan jika presiden atau wakil presiden melakukan perbuatan tercela dan terbukti di MK, maka mereka bisa juga diseret ke peradilan umum selaku warga negara biasa. Menurut Bagir
12 Fauzan Dj, Nasib Hak Angket DPR,
8
Indonesia tidak mengenal forum priviligiatum. UUD juga tidak menganut forum priviligiatum. Meski demikian, Bagir menilai isu untuk memakzulkan Presiden dan Wakil presiden masih terlalu dini untuk dibicarakan mengingat proses untuk itu lama dan berbelit13. Tindak lanjut atas keputusan DPR tentang penggunaan hak angket diatur dalam Pasal 184 ayat (1a) ialah menyampaikan “Hak Menyatakan Pendapat” atas keputusan hasil penyelidikan melalui penggunaan hak angket, atau langsung menggunakan ketentuan Pasal 184 ayat (1b) yakni Hak Menyatakan Pendapat untuk menduga bahwa “Presiden dan/atau Wakil Presiden melakukan pelanggaran hukum berupa pengkhianatan terhadap negara, korupsi, penyuapan, tindak pidana berat lainnya atau perbuatan tercela maupun tidak memenuhi syarat sebagai Presiden dan/atau Wakil Presiden”. Dalam hal rapat paripurna DPR memutuskan menerima laporan panitia khusus yang menyatakan bahwa Presiden dan/atau Wakil Presiden melakukan pelanggaran hukum berupa pengkhianatan terhadap negara, korupsi, penyuapan, tindak pidana berat lainnya, atau perbuatan tercela, ataupun tidak lagi memenuhi syarat sebagai Presiden dan/atau Wakil Presiden, DPR menyampaikan keputusan tentang hak menyatakan pendapat kepada Mahkamah Konstitusi (MK).
Mahkamah Konstitusi Sebagai Lembaga Tafsir Yuridis atas Impeachment Proses pemberhentian jabatan Presiden dan/atau Wakil Presiden hanya dapat dilakukan setelah didahului adanya proses konstitusional melalui MK yang akan memeriksa, mengadili dan memutus pendapat DPR bahwa Presiden dan/atau Wakil Presiden telah melakukan pelanggaran hukum berupa pengkhianatan terhadap negara, korupsi, penyuapan, tindak pidana berat lain, perbuatan tercela, atau tidak lagi memenuhi syarat sebagai Presiden dan/atau Wakil Presiden.14 Salah satu persoalan penting setelah terjadinya empat kali perubahan UUD 1945 adalah adanya ketentuan yang secara eksplisit mengatur pemberhentian Presiden dan/atau Wakil Presiden dalam masa jabatannya oleh MPR atas usul DPR.
13
Jimly: tak-mudah-memakzulkan-presiden: http://bataviase.co.id/contentSubmitted by admin on Mon, 12/07/2009. Diakses tgl 10 Januari 2010. 14 Impeacment dan Hukum Acara Mahkamah Konstitusi:http://id.wikisource.org/wiki/Mekanisme. Diakses tanggal 7 Januari 2010.
9
Alasan pemberhentian Presiden dan/atau Wakil Presiden disebutkan secara limitatif dalam konstitusi, yaitu pengkhianatan terhadap negara, korupsi, penyuapan, tindak pidana berat lain, perbuatan tercela, atau tidak lagi memenuhi syarat sebagai Presiden dan/atau Wakil Presiden. Ketentuan tersebut diatur dalam Pasal 7A dan 7B Perubahan Ketiga UUD 1945.15 Munculnya ketentuan ini sebenarnya merupakan konsekuensi logis dari adanya keinginan untuk lebih mempertegas sistem pemerintahan presidensial yang merupakan salah satu kesepakatan dasar Panitia Ad Hoc I Badan Pekerja MPR. Penegasan sistem pemerintahan presidensial tersebut mengandaikan adanya lembaga kepresidenan yang mempunyai legitimasi kuat yang dicirikan denga: (1) adanya masa jabatan Presiden yang bersifat tetap (fixed term); (2) Presiden selain sebagai kepala negara juga kepala pemerintahan; (3) adanya mekanisme saling mengawasi dan mengimbangi (checks and balances); dan (4) adanya mekanisme impeachment.16 15
Pasal 7A menyatakan bahwa Presiden dan/atau Wakil Presiden dapat diberhentikan dalam masa jabatannya oleh Majelis Permusyawaratan Rakyat atas usul Dewan Perwakilan Rakyat baik apabila terbukti telah melakukan pelanggaran hukum berupa korupsi, penyuapan, tindak pidana berat lainnya, atau perbuatan tercela maupun apabila terbukti tidak lagi memenuhi syarat sebagai Presiden dan/atau Wakil Presiden Sedangkah Pasal 7B yang terdiri atas 7 ayat menyatakan: (1) Usul pemberhentian Presiden dan/atau Wakil Presiden dapat diajukan oleh dewan Perwakilan Rakyat kepada Majelis Permusyawaratan Rakyat hanya dengan terlebih dahulu mengajukan permintaan kepada Mahkamah Kostitusi untuk memeriksa, mengadili dan memutus pendapat Dewan Perwakilan Rakyat bahwa Presiden dan/atau Wakil Presiden telah melakukan pelanggaran hukum berupa penghianatan terhadap negara, korupsi, penyuapan, tindak pidana berat lainnya atau perbuatan tercela dan atau pendapat bahwa Presiden dan Wakil Presiden tidak lagi memenuhi syarat sebagai Presiden dan/atau Wakil Prseiden. (2) Pendapat Dewan Perwakilan Rakyat bahwa Presiden dan/atau Wakil Presiden telah melakukan pelanggaran hukum tersebut ataupun telah tidak lagi memenuhi syarat sebagai Presiden dan / atau wakil Presiden adalah dalam rangka pelaksanaan fungsi pengawan Dewan Perwakilan Rakyat. (3) Pengajuan permintaan Dewan Perwakilan Rakyat kepada Mahkamah Konstitusi hanya dapat dilakukan dengan dukungan sekurang-kurangnya 2/3 dari jumlah anggota Dewan Perwakilan Rakyat. (4) Mahkamah Konsitusi wajib memeriksa mengadili dan memutus dengan seadil-adilnya terhadap pendapat Dewan Perwakilan Rakyat tersebut paling lama sembilan puluh hari setelah permintaan Dewan Perwakilan Rakyat itu diterima oleh Mahkamah Konstitusi. (5) Apabila Makhamah Konsitusi memutuskan bahwa Presiden dan/atau Wakil Presiden terbukti melakukan pelanggaran hukum berupa penghianatan terrhadap negara, korupsi, penyuapan, tindak pidana berat lainnya, atau perbuatan tercela dan /atau Presiden dan/atau Wakil Presiden tidak lagi memenuhi syarat sebagai Presiden dan/atau Wakil Presiden , Dewan Perwakilan Rakyat menyelengragarakan sidang paripurna untuk meneruskan usul pemberhentian Presiden dan/atau Wakil Presiden kepada Majelis Permusyawaratan Rakyat. (6) Majelis Permusyawaratan Rakyat wajib menyelenggarakan sidang untuk memutuskan usul DPR paling lambat tiga puluh hari sejak Majelis Permusyawaratan Rakyat menerima usul tersebut. (7) Keputusan Majelis Permusyawaratan Rakyat atas usul pemberhentian Presiden dan/atau Wakil Presiden harus diambil dalam rapat paripurna Majelis Permusyawaratan Rakyat yang dihadiri sekurang-kurangnya ¾ dari jumlah anggota dan disetujui oleh 2/3 dari jumlah anggota yang hadir, setelah Presiden dan/atau Wakil Presiden diberi kesempatan menyampaikan penjelasan dalam rapat paripurna Majelis Permusyawaratan Rakyat. 16 Risalah Sidang Panitia Ad Hoc I Badan Pekerja MPR 2002-2003: Penguatan Sistem Politik dan Pemerintahan Presidensiil.
10
Pendapat DPR bahwa Presiden dan/atau Wakil Presiden telah melakukan pengkhianatan terhadap negara, korupsi, penyuapan, tindak pidana berat lain, perbuatan tercela, atau tidak lagi memenuhi syarat sebagai Presiden dan/atau Wakil Presiden selanjutnya akan diperiksa, diadili, dan diputus oleh MK apakah pendapat DPR tersebut mempunyai landasan konstitusional atau tidak. MK memutus benar atau salahnya pendapat DPR atas tuduhan yang ditujukan kepada Presiden dan/ atau Wakil Presiden. Ketika proses impeachment di MK, MK berarti tidak sedang mengadili Presiden dan/atau Wakil Presiden atas tuduhan impeachment karena yang menjadi obyek dalam proses impeachment di MK adalah pendapat DPR. MK wajib memeriksa, mengadili dan memberikan putusan atas pendapat tersebut. Pendapat DPR yang diputuskan dalam rapat paripurna adalah lebih bernuansa politis. Oleh sebab itu proses impeachment di MK adalah untuk melihat tuduhan impeachment kepada Presiden dan/atau Wakil Presiden dalam perspektif hukum. Karena MK merupakan institusi peradilan sebagai salah satu pemegang kekuasaan kehakiman maka putusan yang dijatuhkan MK atas pendapat DPR adalah untuk memberi justifikasi secara hukum. Agar pelaksanaan tugas dan wewenang MK dalam acara sidang impeachment lancar maka MK mengeluarkan Peraturan Mahkamah Konstitusi (PMK) Nomor 21 tahun 2009 Tentang Pedoman Beracara dalam Memutus Pendapat Dewan Perwakilan Rakyat Mengenai Dugaan Pelanggaran oleh Presiden dan/atau Wakil Presiden. PMK tersebut menyebut bahwa Pihak yang memohon putusan Mahkamah Konstitusi atas pendapat DPR adalah DPR yang diwakili oleh Pimpinan DPR yang dapat menunjuk kuasa hukumnya. Pengajuan itu harus disertai bukti yang cukup meyakinkan tentang kesalahan yang diperbuat Presiden dan/atau Wakil Presiden. DPR juga wajib menunjukkan bahwa permintaan pemakzulan itu harus didukung minimal 2/3 (dua pertiga) dari jumlah anggota DPR yang hadir dalam Sidang Paripurna yang dihadiri minimal 2/3 (dua pertiga) jumlah anggota DPR. DPR harus menunjukkan alat bukti mengenai dugaan pelanggaran oleh presiden dan atau wakil presiden yang menjadi dasar pendapat DPR. Setelah berkas permohonan dianggap lengkap, MK selanjutnya memeriksa dan pada akhirnya memberi putusan. Amar putusan MK atas pendapat DPR tersebut sekurang-kurangnya terdiri dari tiga kemungkinan. Pertama, amar putusan MK menyatakan bahwa permohonan tidak dapat diterima apabila permohonan tidak memenuhi syarat. Kedua, amar putusan MK 11
menyatakan membenarkan pendapat DPR apabila Presiden dan/atau Wakil Presiden terbukti melakukan tindakan yang dituduhkan. Ketiga, amar putusan MK menyatakan bahwa permohonan ditolak apabila Presiden dan/atau Wakil Presiden tidak terbukti melakukan tindakan yang dituduhkan. Jika MK menolak pendapat DPR, tentu akan menimbulkan perdebatan sangat panjang, siapa yang salah atau siapa yang benar. Jika pendapat DPR ditolak MK dan diterima saja oleh DPR, maka kekecewaan pada DPR sebagai representasi rakyat akan mengemuka. Jika DPR menolak pendapat MK dan MK tetap bersikukuh atas pendapatnya menolak pendapat DPR, maka yang akan terjadi adalah perang opini di tingkat publik dan konsekuensi berikutnya massa parlemen jalanan akan beraksi saling dukung-mendukung, anarki massa mungkin tidak dapat terhindarkan. Permasalahan ini memang masih perlu dipecahkan sekalipun MK sudah mengeluarkan PMK No 21 tahun 2009 yang mengatur tentang hukum acara pemberhentian atau pemakzulan Presiden dan/atau Wakil Presiden. DPR adalah bagian 50% anggota MPR, maka keadaan akan sulit jika amar putusan MK menyatakan bahwa permohonan ditolak. Jika MPR menerima, maka MPR wajib menyelenggarakan sidang paripurna MPR untuk memutuskan usul DPR mengenai pemberhentian Presiden dan/atau Wakil Presiden pada masa jabatannya paling lambat 30 (tiga puluh) hari sejak MPR menerima usul DPR. Usul tersebut harus dilengkapi dengan putusan Mahkamah Konstitusi bahwa Presiden dan/atau Wakil Presiden terbukti melakukan pelanggaran hukum baik berupa pengkhianatan
terhadap
negara,
korupsi, penyuapan, tindak pidana berat lainnya,
maupun perbuatan tercela; dan/atau terbukti bahwa Presiden dan/atau Wakil Presiden tidak lagi memenuhi syarat sebagai Presiden dan/atau Wakil Presiden. Pimpinan
MPR
mengundang
Presiden
dan/atau
Wakil
Presiden
untuk
menyampaikan penjelasan yang berkaitan dengan usulan pemberhentiannya dalam sidang paripurna MPR. Keputusan MPR terhadap usul pemberhentian Presiden dan/atau Wakil Presiden diambil dalam sidang paripurna MPR yang dihadiri sekurang-kurangnya 3/4 (tiga perempat) dari jumlah anggota dan disetujui oleh sekurang-kurangnya 2/3 (dua pertiga) dari jumlah anggota yang hadir.
12
Penutup Setelah adanya perubahan ketiga UUD 1945 yang menganut sistem Pemilu Presiden dan Wakil Presiden secara langsung, maka kedudukan Presiden adalah sebagai penyelenggara pemerintahan tertinggi di bawah UUD. Presiden tidak tunduk lagi di bawah MPR dan tidak lagi bertanggungjawab kepada MPR. Implikasi terhadap kedudukan Presiden dan/atau Wakil Presiden yang bertanggung jawab langsung kepada rakyat menyebabkan impeachment dibuka untuk menarik mandat yang diberikan rakyat pemilih karena alasan luar biasa atau pelanggaran konstitusi. Tidak dapat dipungkiri bahwa impeachment yang dijatuhkan oleh DPR adalah sebuah proses politik dimana kepentingan-kepentingan politik yang lebih kuat yang mempengaruhi
sebuah keputusan. Dengan sistem politik yang multipartai seperti
sekarang, kedudukan Presiden/Wapres tidak sangat kuat. Jika kondisi politik di DPR mengarah pada menjatuhkan Presiden/Wapres, maka tak terlalu sulit untuk dilakukan. Hal ini tidak akan menciptakan stabilitas pemerintah
karena bayangan impeachment. Oleh
sebab itu, harus ada sebuah lembaga yang memberikan legitimasi dalam perspektif yuridis dengan memberikan tafsiran atas tuduhan yang dijatuhkan kepada Presiden dan/atau Wakil Presiden, dalam hal ini adalah MK. MK wajib memberi putusan atas pendapat DPR bahwa Presiden dan/atau Wakil Presiden diduga telah melakukan pelanggaran hukum berupa pengkhianatan terhadap negara, korupsi, penyuapan, tindak pidana berat lainnya, atau perbuatan tercela. Untuk kepentingan tersebut, maka MK telah mempersiapkan proses beracara dalam memutus pendapat DPR mengenai dugaan pelanggaran oleh Presiden dan/atau Wakil Presiden. Namun demikian, implikasi sistem presidensial yang tidak utuh dianut di Indonesia, tetap akan menimbulkan permasalahan dalam penerapan impeachment. Kedudukan pemerintah yang tidak begitu kuat akan rentan impeachment apabila hubungan Presiden/Wakil Presiden dengan partai politik memburuk. Jika MK menolak pendapat DPR, sedangkan DPR adalah representasi rakyat yang merupakan anggota MPR, juga akan menimbulkan persoalan. Akhir kata, proses reformasi ketata negaraan di Indonesia harus terus mencari format untuk menemukan
sistem ketata
negaraan yang paling ideal.
13
DAFTAR PUSTAKA Aim Abdulkarim, 2006, Kewarganegaraan, Jakarta : Rafindo Media Pratama. AM.Fatwa, 2009, Potret Konstitusi Pasca Amandeman UUD 1945, Jakarta, PT. Kompas Media Nusantara. . Bambang Cipto, 2007, Presiden, Partai dan Pemulihan Ekonomi Indonesia, Yogyakarta: UII Press, Indonesia, Undang-Undang Republik Indonesia Nomor. 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi Indonesia, Indonesia, Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 27 Tahun 2009 Tentang Majelis Permusyawaratan Rakyat, Dewan Perwakilan Rakyat dan Dewan Perwakilan Daerah Peraturan Mahkamah Konstitusi (PMK) Nomor 21 Tentang Pedoman Beracara dalam Memutus Pendapat Dewan Perwakilan Rakyat Mengenai Dugaan Pelanggaran oleh Presiden dan/atau Wakil Presiden. Jimly Assidiqie, 2005, Hukum Tata Negara dan Pilar-Pilar Demokrasi, Jakarta, Konstitusi Press. Sofyan Effendi, 2007, Sistem Presidensial Tidak Bisa Diterapkan Dalam Sistem MultiPartai, Majalah Figur Edisi X. Yop Pandie, 2007, Polemik Cabut Mandat SBY : Suatu Tranformarmasi dari Masyarakat Nrimo ke Masyarakat Peduli Nasib Bangsa. Bandung, Bina Reka Pariwara, Yusril Ihza Mahendra, 1996, Dinamika Hukum Tata Negara Indonesia, Jakarta, Gema Insani Press, Fauzan Dj, Nasib Hak Angket DPR,
14