HIPERSEKSUAL SUAMI SEBAGAI ALASAN PERCERAIAN (Analisis Yurisprudensi No: 630/Pdt.G/2009/PA.JT Di PA Jakarta Timur) Skripsi Diajukan Kepada Fakultas Syariah dan Hukum Untuk Memenuhi Salah Satu Persyaratan Memperoleh Gelar Sarjana Syariah (S.sy)
Oleh:
Sofyan Suri NIM: 107044201970
KONSENTRASI ADMINISTRASI KEPERDATAAN ISLAM PROGRAM STUDI AHWAL AL-SYAKHSHIYYAH FAKULTAS SYARIAH DAN HUKUM UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA 2011 M/1432 H
HIPERSEKSUAL SUAMI SEBAGAI ALASAN PERCERAIAN (Analisis Yurisprudensi No: 630/Pdt.G/2009/PA.JT Di PA Jakarta Timur) Skripsi Diajukan Kepada Fakultas Syariah dan Hukum Untuk Memenuhi Salah Satu Persyaratan Memperoleh Gelar Sarjana Syariah (S.sy) Oleh:
Sofyan Suri NIM: 107044201970
Dibawah Bimbingan :
Dr. Djawahir Hejazziey, SH, MA. NIP :195510151979031002
KONSENTRASI ADMINISTRASI KEPERDATAAN ISLAM PROGRAM STUDI AHWAL AL-SYAKHSHIYYAH FAKULTAS SYARIAH DAN HUKUM UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA 2011 M/1432 H
LEMBAR PERNYATAAN Dengan ini saya menyatakan bahwa: 1. Skripsi ini merupakan hasil karya asli saya yang diajukan untuk memenuhi salah satu persyaratan memperoleh gelar strata 1 di Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta. 2. Semua sumber yang saya gunakan dalam penulisan ini telah saya cantumkan sesuai dengan ketentuan yang berlaku di Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta. 3. Jika dikemudian hari terbukti bahwa karya ini bukan hasil karya asli saya atau merupakan hasil jiplakan dari hasil karya orang lain, maka sata bersedia menerima sanksi yang berlaku di Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta.
Jakarta, 29 Maret 2011 M
Sofyan Suri
DAFTAR ISI HALAMAN JUDUL……………………………………………………. i HALAMAN PERSETUJUAN PEMBIMBING………………………. ii LEMBAR PERNYATAAN…………………………………………….. iii LEMBAR PENGESAHAN…………………………………………….. iv KATA PENGANTAR…………………………………………………..
v
DAFTAR ISI…………………………………………………………….
viii
DAFTAR LAMPIRAN…………………………………………………. x BAB I
PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah…………………………… 1 B. Pembatasan Masalah………………………………….5 C. Perumusan Masalah………………………………… 6 D. Tujuan Dan Manfaat Penelitian……………………. 6 E. MetodologiPenelitian…………………………………7 F. Review Kajian Terdahulu…………………………
10
G. Sistematika Penulisan……………………………… 12 BAB II
BAB III
TEORI TENTANG HIPERSEKSUAL A.
Kesetaraan Gender Dalam Islam…………………… 14
B.
Seks Dalam Perkawinan…………………………… 21
C.
Penyimpangan Seksual dan Hiperseksual.................
27
POTRET PENGADILAN AGAMA JAKARTA TIMUR A.
Sejarah Kelahiran Pengadilan Agama……………
34
BAB IV
B.
Kedudukan Pengadilan Agama……………………
38
C.
Wewenang Pengadilan Agama……………………
39
D.
Struktur Organisasi……………………………….
46
ANALISIS PUTUSAN TENTANG
PERCERAIAN KARENA
HYPERSEKSUAL
BAB V
A.
Prilaku Hyperseksual Sebagai Alasan Perceraian….
51
B.
Duduk Perkara No: 630 /Pdt. G/2009/PA.JT…………53
C.
Pertimbangan Hukum No: 630 /Pdt. G/2009/PA.JT…55
D.
Analisis Penulis............................................................ 58
PENUTUP A.
Kesimpulan………………………………………… 65
B.
Saran……………………………………………….
66
DAFTAR PUSTAKA…………………………………………………… 68
DAFTAR LAMPIRAN
1.
Pedoman Wawancara Dengan Hakim………………………………. 71
2.
Pedoman Wawancara Dengan Pihak Yang Berperkara…………….. 72
3.
Hasil Wawancara……………………………………………………. 73
4.
Permohonan Melakukan Wawancara di Pengadilan………………… 79
5.
Keterangan Telah Melakukan Wawancara di Pengadilan………….. 80
6.
Permohonan Kesedian Menjadi Pembimbing Skripsi……………….. 81
7.
Data Perkara Perceraian di Pengadilan Agama Jakarta Timur……… 82
8.
Data Struktur Organisasi Pengadilan Agama Jakarta Timur………… 84
9.
Putusan Perkara No: 630 /Pdt. G/2009/PA.JT………………………. 86
SURAT PERNYATAAN
Yang bertanda tangan di bawah ini: Nama
: Hj. Muhaya
Tempat/Tgl Lahir : Jakarta, 6 April 1952 Alamat
: Jl. Kayu Manis, Rt.06/03, No. 22, Condet, Balekambang, Jakarta Timur
Pekerjaan
: Ibu Rumah Tangga
Menyatakan dengan ini benar telah di wawancarai pada hari Rabu, 5 Januari 2011 oleh: Nama
: Sofyan Suri
Tempat/Tgl Lahir
: Jakarta, 24 Agustus 1988
Alamat`
: Jl. Kayu Manis, Rt. 003/03, No. 3 Condet, Balekambang, Jakarta Timur
Pekerjaan
: Mahasiswa
Dalam rangka menyelesaikan tugas akhir/skripsi yang sedang disusun oleh pewawancara. Demikian surat pernyataan ini saya buat dengan sebenar-benarnya, agar dapat dipergunakan dengan sebaik-baiknya.
Jakarta, 5 Januari 2011
Hj. Muhaya
Kata Pengantar
Segala puji bagi Allah SWT, Maha Adil dan Maha Pengasih yang telah melimpahkan taufiq dan hidayah-Nya kepada semua makhluknya dan penulis terutamanya dalam rangka penyelesaian skripsi ini. Shalawat serta salam semoga Allah selalu curahkan kepada junjungan besar Nabi Muhammad SAW beserta keluarga, para sahabat yang telah banyak berkorban dalam mensyiarkan Islam sehingga kita dapat merasakan nikmatnya iman sampai saat ini. Skripsi ini ditullis dalam rangka melengkapi syarat-syarat guna memperoleh gelar starata satu (S.1), dalam jurusan Ahwal Al-Syakhsiyyah, Fakultas Syariah dan Hukum UIN Syarif Hidayatullah Jakarta yang berjudul: HIPERSEKSUAL SUAMI SEBAGAI ALASAN PERCERAIAN (Analisis Yurisprudensi No: 744/Pdt.G/2009/PA.JT Di PA Jakarta Timur). Untuk menyelesaikan skripsi ini penulis banyak mendapat petunjuk, arahan, dan bimbingan dari berbagai pihak, baik secara langsung maupun tidak langsung yang terlibat dan berpartisipasi dalam rangka membantu penulis menyelesaikan skripsi ini. Karenanya penulis menghaturkan ucapan terimakasih yang sedalam-dalamnya kepada yang terhormat kepada: 1. Prof. Dr. H. M. Amin Suma, SH, MA, MM selaku Dekan Fakultas Syariah dan Hukum UIN Syarif Hidayatullah Jakarta. 2. Drs. H.A Basiq Djalil SH, MH Ketua Program Studi Ahwal Syakhsiyyah, Hj Rosdiana, MA Sekertaris Prodi, serta Dr. Supriyadi Ahmad, MA Dosen
v
Pembimbing Akademik. Terima kasih atas segala bantuan, perhatian, arahan, serta bimbingan yang selama ini diberikan. 3. Dr. Djawahir Hejazzie, SH, MA
Selaku dosen pembimbing yang
senantiasa ikhlas meluangkan waktunya untuk memberi arahan, koreksi, dan bimbingan yang sangat berarti demi kelancaran pembuatan skripsi ini. 4. Para narasumber dan staf Pengadilan Agama Jakarta Timur yang telah memberikan izin dan arahan dalam melaksanakan observasi dan wawancara
selama
penulis
mengadakan
penelitian,
khususnya
Fakhrurrozi, SH Panitera Muda Hukum, Hisni Mubarok, SHI, Staf Panitera yang banyak membantu dalam melakukan penelitian di Pengadilan, H. Abdillah, SH, Hakim yang terlah bersedia diwawancarai dalam menggali keterangan seputar judul yang penulis angkat. 5. Segenap dosen Fakultas Syariah dan Hukum yang selama tiga setengah tahun dengan ikhlas dan sabar memberikan ilmu pengetahuan, semoga ilmu yang diajarkan dapat menjadi bekal hidup penulis dalam menghadapi samudra kehidupan dan dapat diamalkan dalam keseharian. Serta, para pimpinan dan staff perpustakaan baik Perpustakaan Utama maupun Perpustakaan Fakultas Syariah dan Hukum yang telah memberikan fasilitas untuk mengadakan studi perpustakaan guna menyelesaikan skripsi ini. 6. H. Achmad Fauzi, SH ayahanda yang selama ini menjadi motivator dan inspirator dalam melangkah, Hj. Fatimah ibunda yang menjadi tempat bersandar dikala kejenuhan dan kegelisahan melanda, curahan cinta, kasih,
vi
perhatian yang beliau berikan dengan tulus, sehingga dapat menyelesaikan studi ini dengan lancar. Serta adik-adikku Marlia Ulfa dan Syarifa Aulia yang turut memotivasi penulis agar menjadi yang terbaik. Doakan ananda semoga kelak menjadi insan yang berguna bagi diri sendiri dan sesama, dan dapat mewujudkan segala cita dan impian yang diharapkan. 7. Siti Munawaroh adinda yang selalu memberikan dukungan, motivasi, dan dengan sabar selalu mengiringi suka duka penulis dalam menjalani masa studi. 8. Sahabat-sahabatku Universal 2007 (Alumni La-tansa) yang banyak memberi masukan dan tempat berbagi pengalaman. 9. Teman-teman seperjuangan Administrasi Keperdataan Islam angkatan 2007, kawan-kawan SCC_2010, serta kakak-kakak kelas yang banyak memberikan masukan dan informasi. 10. Kepada seluruh pihak yang secar langsung maupun yang tidak membantu penulisan skripsi ini.
Atas segala bantuannya penulis menghaturkan jazakumullah khoiron katsiron. Semoga skripsi ini dapar bermanfaat bagi semua pihak. Amin.
Jakarta, 10 Maret 2011 M
Penulis
vii
DAFTAR ISI HALAMAN JUDUL……………………………………………………. i HALAMAN PERSETUJUAN PEMBIMBING………………………. ii LEMBAR PERNYATAAN…………………………………………….. iii LEMBAR PENGESAHAN…………………………………………….. iv KATA PENGANTAR…………………………………………………..
v
DAFTAR ISI…………………………………………………………….
viii
DAFTAR LAMPIRAN…………………………………………………. x BAB I
PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah…………………………… 1 B. Pembatasan Masalah………………………………….5 C. Perumusan Masalah………………………………… 6 D. Tujuan Dan Manfaat Penelitian……………………. 6 E. MetodologiPenelitian…………………………………7 F. Review Kajian Terdahulu…………………………
10
G. Sistematika Penulisan……………………………… 12 BAB II
BAB III
TEORI TENTANG HIPERSEKSUAL A.
Kesetaraan Gender Dalam Islam…………………… 14
B.
Seks Dalam Perkawinan…………………………… 21
C.
Penyimpangan Seksual dan Hiperseksual.................
27
POTRET PENGADILAN AGAMA JAKARTA TIMUR A.
Sejarah Kelahiran Pengadilan Agama……………
viii
34
BAB IV
B.
Kedudukan Pengadilan Agama……………………
38
C.
Wewenang Pengadilan Agama……………………
39
D.
Struktur Organisasi……………………………….
46
ANALISIS PUTUSAN TENTANG
PERCERAIAN KARENA
HIPERSEKSUAL
BAB V
A.
Prilaku Hiperseksual Sebagai Alasan Perceraian….
51
B.
Duduk Perkara No: 630 /Pdt. G/2009/PA.JT…………53
C.
Pertimbangan Hukum No: 630 /Pdt. G/2009/PA.JT…55
D.
Analisis Penulis............................................................ 58
PENUTUP A.
Kesimpulan………………………………………… 65
B.
Saran……………………………………………….
66
DAFTAR PUSTAKA…………………………………………………… 68
ix
DAFTAR LAMPIRAN
1.
Pedoman Wawancara Dengan Hakim………………………………. 71
2.
Pedoman Wawancara Dengan Pihak Yang Berperkara…………….. 72
3.
Hasil Wawancara……………………………………………………. 73
4.
Permohonan Melakukan Wawancara di Pengadilan………………… 79
5.
Keterangan Telah Melakukan Wawancara di Pengadilan………….. 80
6.
Permohonan Kesedian Menjadi Pembimbing Skripsi……………….. 81
7.
Data Perkara Perceraian di Pengadilan Agama Jakarta Timur……… 82
8.
Data Struktur Organisasi Pengadilan Agama Jakarta Timur………… 84
9.
Putusan Perkara No: 630 /Pdt. G/2009/PA.JT………………………. 86
x
Lampiran 4
Lampiran 6
Lampiran 5
Lampiran 7
Lampiran 9
Lampiran 10
xi
Lampiran 8
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Sejak lahir manusia telah dilengkapi Allah dengan kecenderungan seks (libido seksual), oleh karena itu untuk menghindari terjadinya perbuatan keji pada diri manusia, maka Allah telah menyediakan wadah yang sudah sesuai dengan ajaran Islam demi terselenggaranya penyaluran tersebut sesuai dengan derajat manusia yakni melalui perkawinan. Akan tetapi perkawinan bukanlah semata-mata untuk menunaikan hasrat biologis saja atau dengan kata lain untuk sekedar memenuhi kebutuhan reproduksi saja. Melainkan perkawinan dalam Islam mempunyai multi aspek yang menyiratkan banyak hikmah didalamnya, salah satunya adalah untuk melahirkan ketenteraman dan kebahagiaan hidup yang penuh dengan mawaddah warahmah.1 Tujuan perkawinan menurut Undang-undang Nomor 1 tahun 1974 tentang Perkawinan adalah untuk membentuk keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa.2 Dalam membangun sebuah keluarga, kehidupan suami istri hanya dapat tegak berdiri atas dasar ketenteraman, ketenangan, suami istri saling sayang menyanyangi,
1
Mashuri Kurtubi, Menikah Itu Indah, (Jakarta: Insan Madani, 2007), h. 65
2
DEPAG RI, UU No. 1 Tahun 1974 dan Pedoman Akad Nikah, (Jakarta: DEPAG RI, 2006),
h. 62
1
2
bergaul dengan sebaik baiknya dan masing-masing pihak menunaikan hak dan kewajibannya dengan ikhlas, jujur, dan pengabdian. Adapun pemenuhan kewajiban suami terhadap istri ini mulai berlaku sejak terjadi transaksi (akad nikah). Seorang laki-laki yang menjadi suami memperoleh hak sebagai suami dalam keluarga. Begitu pula seseorang perempuan yang menjadi istri memperoleh hak sebagai istri dalam keluarga. Di samping keduanya mempunyai kewajiban-kewajiban yang harus diperhatikan satu sama lain. Suami istri harus memahami hak dan kewajibannya sebagai upaya membangun sebuah keluarga. Kewajiban tersebut harus dimaknai secara timbal-balik, yang berarti bahwa yang menjadi kewajiban suami merupakan hak istri dan yang menjadi kewajiban istri adalah menjadi hak suami.3 Keseimbangan hak dan kewajiban antara suami istri tersebut tertuang dalam Kompilasi Hukum Islam yang menyatakan bahwa keduanya mempunyai hak dan kedudukan yang seimbang dalam lingkup rumah tangga, pergaulan dalam masyarakat, dan hukum.4 Suami istri harus bertanggung jawab untuk saling memenuhi kebutuhan pasangannya untuk membangun keluarga yang harmonis dan tenteram. Demi keberhasilan dalam mewujudkan membangun sebuah keluarga yang harmonis dan tenteram sangat diperlukan adanya kebersamaan dan sikap berbagi tanggung jawab antara suami dan istri. Al-Qur’an menganjurkan kerja sama diantara mereka. Di 3
Mashuri Kurtubi, Baiti Jannati, (Jakarta: Yayasan Fajar Islam Indonesia, 2007), h. 91
4
Lihat Pasal 31 ayat 1 dan 2, Kompilasi Hukum Islam.
3
dalam nash Al-Qur’an menyebutkan, bahwa seorang suami dan istri itu agar bergaul dengan (secara) baik, atau dalam istilah dikenal dengan ma’ruf. 5 Hajat biologis adalah pembawa hidup. Oleh karena itu, suami wajib memperhatikan hak istri dalam hal ini. Ketenteraman dan keserasian hidup perkawinan antara lain ditentukan oleh faktor hajat biologis ini. Kekecewaan yang dialami dalam masalah ini dapat menimbulkan keretakan dalam perkawinan, bahkan tidak jarang terjadi ketika pemenuhan hajat biologis ini sang suami tidak menghiraukan kondisi fisik istri istri sehingga sang istri merasa tersakiti dan menderita. Dalam hubungan seks, biasanya suami lebih berperan sedangkan istri melayani prakarsa suaminya. Akan tetapi dalam pandangan Islam, hubungan seksual lebih didasarkan pada saling menghormati dan saling pengertian, hingga kewajiban suami untuk mempergauli istrinya dengan baik telah ditunjukan oleh Al-Qur’an, antara lain dalam surat Al-Baqarah ayat 223. Ayat ini menunjukan kebiasaan bahwa suami (laki-laki) lebih berperan dalam masalah hubungan seks baik untuk melakukan aktivitas seks maupun dalam cara ketika melakukan hubungan seksual. Namun, kebolehan tersebut diiringi oleh kewajiban yang harus dilakukan oleh suami karena Al-Qur’an memberikan batasan- batasan yang tidak boleh dilanggar oleh suami.
5
Satria Efendi M. Zein, Problematika Hukum Keluarga Islam Kontemporer, (Jakarta:
Kencana, 2004), h. 142
4
Islam mengajarkan untuk menggauli istri dengan lembut, dan tidak menyakiti istri ketika melakukan hubungan intim, apalagi sampai melakukan kekerasan di dalam berhubungan intim, hal ini diterangkan dalam Al-Quran surat An-Nisa ayat 19. Secara teoritis ajaran Islam melihat seksualitas perempuan dan laki-laki secara seimbang, yaitu sama-sama dihargai sebagai dorongan kebutuhan yang manusiawi. Namun pada praktiknya ajaran ini justru asing dan tidak terbukti. Malah praktik yang ada memperlihatkan ajaran agama meligitimasi perlakuan kekerasan seksual yang dilakukan suami terhadap istri. Hal ini dikarenakan bias gender dalam pemahaman ajaran yang menempatkan perempuan sebagai objek seksual. Pemahaman ajaran yang bias tersebut, diindoktrinasikan, diajarkan,
dan disampaikan kepada masyarakat
sehingga kemudian terpatri kuat dalam benak individu baik laki-laki maupun perempuan. Di sinilah kemudian ada proses sosialisasi, di mana para tokoh masyarakat
dan
agama
menggunakan
doktrin-doktrin
agama
untuk
ditransformasikan secara turun temurun dari generasi ke generasi yang akhirnya doktrin tersebut menjadi stereotype dalam masyarakat.6 Dalam kasus cerai gugat yang terjadi di Pengadilan Agama Jakarta Timur antara Muhaya binti H. Muji (54 tahun) dengan H. Rameli bin H. Husin (69 tahun), sang istri sebagai penggugat merasa sudah tidak mampu lagi melayani kebutuhan biologis suaminya yang berlebihan, hal ini di dasari dari keadaan jasmani penggugat yang sudah manoupose. 6
Dwiyanto, dkk, Seksualitas, Kesehatan Reproduksi dan Ketimpangan Jender (Jakarta:
Pustaka Sinar Harapan, 1996), h. 260.
5
Penggugat yang menikah dengan tergugat pada 17 Oktober 2008 dan merupakan pernikahan ke-2 bagi penggugat dan tergugat yang memang sama-sama janda dan duda. Selama menikah kehidupan rumah tangga antara penggugat dan tergugat dalam keadaan rukun. Akan tetapi, dalam hal pemenuhan kebutuhan biologis, diakui istri sebagai penggugat bahwa suaminya terlalu berlebihan dalam melakukan hubungan badan tersebut, suami tidak menghiraukan keadaan istri yang memang dari segi fisik sudah tidak mampu memenuhinya secara berlebihan. Prilaku hiperseksual dari pasangan dalam rumah tangga ketika menimbulkan rasa tidak nyaman dari pasangan lainnya, tentunya dapat mengganggu keharmonisan bahtera rumah tangga. Dari permasalahan inilah kemudian penulis ingin mengadakan penelitian tentang “HIPERSEKSUAL SEBAGAI ALASAN PERCERAIAN (Analisis Yurisprudensi No: 630 /Pdt. G/2009/PA.JT di PA Jakarta Timur B. Pembatasan Masalah Agar dalam pembahasan skripsi ini lebih terarah dan spesifik, maka penulis memberikan batasan sesuai dengan judul yang diangkat pada penelitian ini sebagai berikut: 1. Hiperseksual dalam skripsi ini dibatasi pada faktor prilaku hiperseksual terhadap
pasangan,
motif,
jenis-jenis,
dan
dampaknya
terhadap
kelangsungan rumah tangga. 2. Analisis yurisprudensi pada skripsi ini dibatasi pada dasar pertimbangan yurisprudensi yang digunakan oleh hakim dalam memutus perkara
6
perceraian yang disebabkan prilaku hiperseksual dengan putusan No: 630 /Pdt. G/2009/PA.JT di Pengadilan Agama Jakarta Timur. C. Perumusan Masalah Masalah dalam skripsi ini dirumuskan sebagai berikut: 1. Bagaimana pertimbangan hakim dalam memutus perkara perceraian yang disebabkan prilaku hiperseksual? 2. Apa landasan hukum yang digunakan oleh hakim dalam memutus perceraian berdasarkan putusan No: 630 /Pdt. G/2009/PA.JT? 3. Apa indikasi hiperseksual suami yang terdapat pada pelaku dalam perkara ini? D. Tujuan Penelitian dan Kegunaan Penelitian 1. Tujuan Penelitian Tujuan penelitian dalam skripsi ini adalah: a. Mengetahui pertimbangan yang digunakan oleh hakim dalam memutus perkara perceraian yang disebabkan prilaku hiperseksual dengan putusan No: 630 /Pdt. G/2009/PA.JT. b. Mengetahui landasan hukum yang digunakan oleh hakim dalam memutus perceraian yang disebabkan prilaku hiperseksual dengan putusan No: 630 /Pdt. G/2009/PA.JT. c. Mengetahui indikasi hiperseksual suami yang terdapat pada pelaku.
7
2. Kegunaan penelitian Adapun kegunaan skripsi ini adalah sebagai berikut: a. Skripsi ini diharapkan mampu memberikan kontribusi pemikiran bagi para hakim di lingkungan Pengadilan Agama Jakarta Timur dalam menyelesaikan perkara perceraian karena prilaku hiperseksual sebagai alasan perceraian. b. Dari sisi ilmiah, skripsi ini diharapkan mampu manambah wawasan bagi penulis khususnya dan masyarakat luas umumnya terutama terkait perkara perceraian karena prilaku hiperseksual sebagai alasan perceraian. E. Metodologi Penelitian 1. Jenis Data Dilihat dari jenis datanya, penelitian ini merupakan penelitian kualitatif yang bersifat pendekatan analisisa yuridis, yaitu data yang diperoleh meliputi transkip interview, salinan putusan No: 630 /Pdt. G/2009/PA.JT, dokument pribadi, dan lainlain, kemudian menganalisa isi (conten analisa) putusan, untuk melihat sejauh mana proses penyelesaian yang dilakukan oleh hakim dalam menyelesaikan kasus perceraian akibat prilaku hiperseksual. Dilihat dari segi tujuan dalam penelitian termasuk dalam penelitian yang bersifat deskriptif analisis, yaitu penelitian lapangan yang menggambarkan data dan informasi dilapangan berdasarkan fakta yang diperoleh secara mendalam. Dan dari segi tipe penelitian hukum, penelitian ini juga termasuk jenis penelitian kepustakaan (Library Research), penelitian kepustakaan dilakukan dengan
8
menggunakan
buku-buku,
kitab-kitab
fiqih,
perundang-undanganan,
dan
Yurisprudensi yang berhubungan dengan skripsi ini.
2. Tekhnik Pengumpulan Data Tekhnik yang digunakan dalam pengumpulan data adalah: a. Survey, yaitu melakukan peninjauan ke Pengadilan Agama guna mendapatkan informasi mengenai perkara yang menyangkut hiperseksual suami sebagai alasan perceraian, serta melakukan survey ke kediamaman para pihak yang terkait dalam perkara ini, yakni pihak penggugat dan tergugat. b. Studi Dokumenter, yaitu cara memperoleh data dengan menelusuri dan mempelajari data primer dari dokumen-dokumen berkas putusan perkara No: 630 /Pdt. G/2009/PA.JT. Di samping itu dilakukan penelusuran dan pengkajian terhadap berbagai tulisan yang berkaitan dengan pembahasan ini, dalam aspek hukum untuk mempertajam analisis terhadap putusan pengadilan tersebut. c. Interview (wawancara), yaitu metode pengumpulan data dengan menggunakan pedoman wawancara. Adapun pihak yang diwawancarai adalah hakim Pengadilan Agama Jakarta Timur yang memutus perkara ini. Metode ini dipakai untuk memperoleh gambaran yang jelas tentang
9
pertimbangan hukum dan upaya majelis hakim untuk menyelesaikan masalah tersebut, sehingga dapat membantu proses analisis data. d. Studi Pustaka, yaitu melakukan penelusuran dan pengkajian terhadap berbagai tulisan yang berkaitan dengan pembahasan ini, dalam aspek hukum untuk mempertajam analisis terhadap putusan pengadilan tersebut. 3. Kriteria dan Sumber Data a. Data Primer Data primer adalah data yang diperoleh penulis dari hasil wawancara dengan para hakim, panitera yang memutus perkara No: 630 /Pdt. G/2009/PA.JT dan pejabat lainnya yang ada di Pengadilan Agama Jakarta Timur, para pihak yang terkait dalam perkara ini, yaitu pihak penggugat dan tergugat, serta berkas putusan No: 630 /Pdt. G/2009/PA.JT. b. Data Sekunder Data sekunder adalah data yang diperoleh dari buku-buku, internet, Yurisprudensi dan beberapa hasil penelitian yang berhubungan dengan perkara yang berkaitan dengan masalah seksual sebagai alasan perceraian, lalu dikumpulkan serta diklasifikasikan berdasarkan jenisnya. 4. Analisa Data Analisa data dalam penelitian ini dilakukan dengan cara menggunakan konten analisis, yaitu menganalisa dengan cara menguraikan dengan mendeskripsikan
10
putusan perceraian dengan No: 630 /Pdt. G/2009/PA.JT dan menghubungkannya dengan hasil interview dari hakim yang memutus perkara tersebut. Data yang diperoleh kemudian dianalisis secara kualitatif. Artinya penyusun lebih mempertajam analisis dengan memahami kualitas dari data yang diperoleh. Kemudian dibahas secara mendalam tentang putusan Pengadilan Agama terkait dengan pertimbangan hakim terhadap perkara perceraian karena prilaku hiperseksual yang muncul dari ketentuan yuridis. 5. Teknik Penulisan Dalam penyusunan skripsi ini, secara tekhnis penulisan berpedoman kepada Buku Pedoman Penulisan Skripsi, diterbitkan oleh: Fakultas Syariah dan Hukum, Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta, 2007, cet. Pertama. F. Review Kajian Terdahulu No
Judul skripsi
Pengarang
yang sudah ada 1
Kekerasan dalam rumah tanga ditinjau dari hukum Islam dan hukum positif (study analisis putusan perkara No: 1376/pid.b/2005/ PN. .Jak Sel.)
Universitas/Fak/
Fokus Bahasan
Perbedaan
Jur/Tahun Samsul Mu’min
Universitas Islam Penulis meneliti Menganalisis Negeri Syarif bagaimana putusan Hidayatullah kekerasan dalam Pengadilan Jakarta, Fakultas rumah tangga dalam Negeri Jakarta Syariah dan pandangan al-Quran, Selatan perkara Hukum, Jurusan sosio cultural dan No. Perbandingan kajian jender 1376/pid.b/200 Mazhab dan 5/PN.Jak.Sel Sejauh mana peran Hukum, Tahun putusan perkara No. Untuk 2006 1376/pid.b/2005/PN. memahami Jak.Sel. di bagaimana cara Pengadilan Negeri yang efektif Jakarta Selatan dan solusi
11
dalam mengatasi dan mencegah tindak kekerasan dalam rumah tangga. Sudahkan putusan tersebut sesuai dengan acuannya yaitu UU No. 23 Tahun 2004 tentang penghapusan kekeraan dalam rumah tangga
2
Perceraian akibat Muhammad kekerasan dalam Yasir Arafat rumah tangga di Pengadilan Agama Jakarta Selatan
dalam mencegah dan mengatasi tindak kekerasan dalam rumah tangga, dan apakah putuan perkara No. 1376/pid.b/200 5/PN.Jak.Sel. dapat mengatasi hal tersebut Untuk mengetahui sejauh mana korelasi putusan perkara No. 1376/pid.b/200 5/PN.Jak.Sel. dengan UU No. 23. tahun 2004 yang menjadi acuan keluarnya putuan ini. Universitas Islam Mengetahui latar Mengetahui Negeri Syarif belakang kekeraan KDRT sebagai Hidayatullah dalam rumah tangga alasan Jakarta, Fakultas sehingga kerap perceraia Syariah dan terjadi. Mengetahui Hukum, Jurusan Bagaimanakah latar belakang Peradilan Agama, bentuk-bentuk KDRT yang Tahun 2007 kekerasan dalam kerap rumah tangga yang dilakukan biasa terjadi Hanya melihat Faktor kekeraan apa informasi data saja yang bisa berupa bentuk dijadikan sebagai bentuk KDRT alasan perceraian di sebagai alaan
12
3
Baterred women Qur’aniyah syndrome pada perempuan korban kekerasan dalam rumah tangga
4.
Pandangan Masyarakat Terhadap kekerasan Fisik dalam Rumah Tangga (study kasus pada masyarakat Parung Serab, Kecamatan Ciledug)
Sopiani
Pengadilan Agama perceraian Jakarta Selatan Universitas Islam penulis meneliti Bagaimanakah Negeri Syarif bagaimanakah pola belief Hidayatullah gambaran system/pandan Jakarta, Fakultas istri/perempuan yang gan perempuan Psikologi, Tahun mengalamai Battered korban KDRT 2008 Women’s Syndrome. terhadap kekerasan yang Dampak psikologi dialaminy terhadap istri yang mengalamai tindak Syndrome apa kekerasan secara saja yang berulang kali yang dialami dilakukan oleh perempuan suami korban KDRT. Universitas Islam Sejauh mana Hanya melihat Negeri Syarif pandangan terhadap pandangan Hidayatullah KDRT yang diatur masyarakat Jakarta, Fakultas dalam UU dan Parung Serab Syariah dan Implikasinya terhadap Hukum, Jurusan terhadap kehidupan KDRT yang Peradilan Agama, sehari-hari terjadi, serta Tahun 2009 sejauh mana pengetauan mereka tentang KDRT diatur dalam UU.
G. Sistematika Penulisan Untuk mempermudah dalam menyelesaikan penyusunan skripsi ini, penulis menggunakan sistematika penuslisan sebagai berikut: Bab Pertama
: Dimulai dengan pendahuluan. Adapun sub-sub bab tersebut terdiri dari latar
belakang masalah, pembatasan masalah, perumusan
13
masalah, tujuan dan kegunaan penelitian, metode penelitian, sistematika penulisan, dan studi review. Bab Kedua
:
Pengertian prilaku hiperseksual. Bab ini terdiri dari, pengertian hiperseksual, jenis-jenis serta motiv dari prilaku hiperseksual seseorang terhadap pasangannya.
Bab Ketiga
:
Membahas tentang gambaran Pengadilan Agama Jakarta
Timur,
yaitu: sejarah kelahiran Pengadilan Agama Jakarta Timur, kedudukan
Pengadilan
Agama
Jakarta
Timur,
wewenang
Pengadilan Agama Jakarta Timur, dan data susunan organisasi yang ada di Pengadilan Agama Jakarta Timur. Bab Keempat : Analisa yurisprudensi tentang perceraian yang diakibatkan karena prilaku hiperseksual terhadap istri yang terdiri dari, hiperseksual sebagai alasan perceraian, tinjauan hukum islam tentang prilaku hiperseksual yang diatur dalam kitab-kitab fiqih, analisis keputusan majelis hakim Pengadilan Jakarta Timur dalam menjatuhkan
perceraian
dengan
putusan
No:
G/2009/PA.JT dengan alasan suami hiperseksual. Bab Kelima
:
Penutup yang terdiri dari kesimpulan dan saran-saran.
630
/Pdt.
BAB II TEORI TENTANG HIPERSEKSUAL
A. Kesetaraan Gender Dalam Islam Secara historis, istilah gender merupakan sebuah istilah yang baru dan muncul di barat pada sekitar ± tahun 1980, digunakan pertama kali pada sekelompok ilmuan wanita yang juga membahas tentang peran wanita saat itu khususnya tentang peran wanita pada wilayah publik. Dalam perkembangannya kemudian gender kemudian di maknai sebagai sebuah kontruksi sosial yang digunakan untuk mengidentifikasikan perbedaan laki-laki dan perempuan dilihat dari segi sosial dan budaya dan tidak terbatas pada perbedaan jenis kelamin semata (sex).1 Gender adalah kelompok kata yang mempunyai sifat maskulin, feminin, atau tanpa keduanya (netral)2. Dapat dipahami bahwa gender adalah perbedaan yang bukan biologis dan juga bukan kodrat tuhan. Konsep gender sendiri harus dibedakan dengan kata seks (jenis kelamin). Perbedaan jenis kelamin antara laki-laki dan perempuan adalah kodrat tuhan karena secara secara permanen tidak berubah dan merupakan ketentuan biologis, sedangkan gender adalah perbedaan tingkah laku antara laki-laki dan perempuan yang secara sosial dibentuk.3
1
Siti Ruhaini Dzuhayatin, dkk, Rekontruksi Metodologis Wacana Kesetaraan Gender dalam Islam, (Yogyakarta: PSW IAIN Sunan Kalijaga, 2002), h. 5 2
Hasbi Indra, dkk, Potret Wanita Shehah, (Jakarta: Penamadani, 2004), h. 242
3
Nasaruddin Umar, Argument Kesetaraan Gender: Perspektif Al-Quran, (Jakarta, Paramadina, 2001), h. 45
14
15
Karena gender lahir dari kontruksi sosial, maka gender berkaitan erat dengan proses keyakinan bagaimana seharusnya laki-laki dan perempuan berperan dan bertindak dengan tata nilai yang terstruktur, ketentuan sosial dan budaya stempat, yang secara faktual belum tentu sama antar satu tempat dengan tempat yang lain, serta dalam jangka waktu yang lain dapat berubah dari waktu ke waktu.4 Jadi, kesetaraan gender merupakan sebuah keadaan dimana antara laki-laki dan perempuan memiliki status, kondisi, atau kedudukan yang setara, sehingga terwujud secara penuh pemenuhan hak dan kewajiban bagi pembangunan di segala aspek kehidupan berkeluarga, berbangsa dan bernegara. Dalam studi gender dikenal bebrapa teori yang cukup berpengaruh dalam menjelaskan latar belakang perbedaan dan persamaan peran gender laki-laki dan perempuan, antara lain sebagai berikut: 1. Teori Psikoanalisa/Identifikasi Teori ini mengungkapkan bahwa prilaku dan kepribadian laki-laki dan perempuan sejak awal ditentukan oleh perkembangan seksualitas. Freud sebagai penggagas teori ini mengatakan kepribadian seseorang tersusun atas tiga struktur yaitu: a. ID, sebagai pembawa sifat-sifat biologis seseorang sejak lahir, termasuk nafsu seksual dan insting yang cendrung selalu agresif.
4
Tim Penulis, Demi Keadilan dan Kesetaraan, (Jakarta: PUSKUMHAM UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, 2009), h. 10
16
b. EGO, yang bekerja dalam lingkup rasional dan berupaya menjinakka keinginan agresif dari ID, ia berusaha mengatur hubungan antara keinginan sebyektif individu dan tututan objektif realitas sosial. c. SUPER EGO, yang berfungsi sebagai aspek moral dalam kepribadian, berupaya mewujudkan ksempurnaan hidup, lebih dari sekedar mencari kesenagan dan kepuasan, serta senantiasa mengingatkan EGO agar menjalankan fungsinya mengontrol ID. 2. Teori Fungsionalis Struktural Teori ini berangkat dari asumsi bahwa suatu masyarakat terdiri atas bagian yang saling mempengaruhi. Teori ini mencari unsur-unsur mendasar yang berpengaruh di dalam masyarakat, mengidentifikasi fungsi setiap unsur-unsur tersebut di dalam masyarakat. Diantara prinsip-prinsip teori ini adalah: 1. Suatu masyarakat adalah suatu kesatuan dari berbagai bagian 2. Sistem-sistem sosial
senantiasa terpekihara karena mempunyai perangkat
mekanisme kontrol. 3. Ada bagian-bagian yang tidak berfungsi akan tetapi bagian-bagian itu dapat dipelihara dengan sendirinya atau hal itu melembaga dalam waktu yang cukup lama. 4.
Perubahan terjadi secara berangsur-angsur.
17
5. Integrasi sosial dapat dicapai melalui persepakatan mayoritas anggota masyarakat terhadap seperangkat nilai. Sistem nilai adalah bagian yang paling stabil di dalam suatu sisrtem masyarakat. Menurut teori ini, harmoni dan stabilitas suatu masyarakat sangat ditentukan oleh efektifitas konsensus nilai-nilai. Sistem nilai senantiasa bekerja dan berfungsi untuk menciptakan keseimbangan dalam masyarakat.5 Jadi, menurut teori ini peran seseorang terikat dan mengacu kepada normanorma kebiasaan yeng lebih mempertimbangkan jenis kelamin daripada daya saing dan keterampilan yang dimiliki oleh seseorang, karena laki-laki dianggap sebagai pemburu yang harus bekerja di luat rumah, sedangkan wanita dianggap hanya sebagai peramu yang bertugas di dalam rumah. 3. Teori Konflik Teori ini berangkat dari asumsi bahwa dalam susunan dalam masyarakat terdapat beberapa kelas yang saling memperebutkan pengaruh dan kekuasaan. Siapa yang memiliki dan menguasai sumber-sumber produksi dan distribusi merekalah yang paling berpeluang untuk memainkan peran utama di bidangnya. Teori ini menganggap bahwa ketimpangan gender yang terjadi antara laki-laki dan perempuan tidak disebabkan oleh perbedaan biologis, tetapi merupakan bagian dari penindasan dari kelas yang berkuasa dalam relasi produksi yang ditetapkan dalam konsep keluarga, karena dalam konsep ini menyebutkan bahwa hubungan
5
Nasaruddin Umar, Argument Kesetaraan Gender: Perspektif Al-Quran, h. 45
18
suami istri tidak ubahnya dengan hubungan yang terjadi antara tuan dan hamba. Singkatnya ketimpangan gender yang terjadi menurut teori ini adalah disebabkan oleh kontruksi masyarakat (social contruction). 4. Teori Feminis Menurut teori tentang perbedaan gendar yang terjadi adalah bahwa kodrat dari seorang wanita tidak ditentukan oleh faktor biologis, malainkan faktor budaya masyarakat dalam daerah tersebut. Teori ini mengusung untuk mensejajarkan derajat antara laki-laki dan perempuan sebagai sebuah kemitrasejahteraan yang diusulkan menjadi ideoligi dalam tatanan kontruksi masyarakat. Sistem patriarki pun menurut para penganut teori ini perlu ditinjau karena dirasa merugikan perempuan dan hanya menguntungkan pihak laki-laki. 5. Teori Sosio-Biologis Dalam menyikapi perbedaan gender, teori ini menggabungkan antara faktor biologi dan faktor sosial yang menyebabkan laki-laki lebih unggul dari pada perempuan. Laki-laki dinyatakan lebih dominan secara politis dalam semua masyarakat karena predisposisi biologis bawaan mereka. Fungsi reproduksi pada perempuan seperti haid, mengandung, melahirkan, dan manyusui dianggap sebagai faktor penghambat untuk mengimbangi kekuatan dan peran laki-laki, karena faktor reproduksi tersebut tidak mungkin di gantikan oleh laki-laki..6 6
Sulistyowati Irianto, Menuju Hukum Yang Berperspektif Kesetaraan dan Keadilan, (Jakarta: Yayasan Obor Indonesia, 2006), h. 12
19
Islam
sendiri
dalam
berbagai
nash
baik
Al-Quran
maupun
Hadist
mengamanahkan manusia untuk memperhatikan konsep keseimbangan, keserasian, keseimbangan, keutuhan, baik dengan sesama manusia ataupun dengan lingkungan alamnya. Konsep relasi gender dalam islam lebih dari sekedar mengatur keadilan gender dalam masyarakat, tetapi secara teologis mengatur pola relasi mikrokosmos (manusia), makrosromos (alam), dan tuhan. Hanya dengan demikian manusia dapat menjalankan fungsinya sebagai khalifah.7 Laki-laki dan perempuan mempunyai hak dan kewajiban yang sama dalam menjalankan peran khalifah dan hamba. Permasalahan tentang peran sosial dalam masyarakat tidak ditemukan dalam Al-Quran atau hadist yang melarang kum perempuan aktif di dalamnya. Islam memperkenalkan konsep relasi gender yang mengacu kepada ayat-ayat Al-quran yang sekaligus menjadi tujuan umum syari’ah (Maqasid Al-Syariah), antara lain untuk mewujudkan keadilan dan kebijakan yang tertuang dalam Q:S. An-Nahl/ 16; 90: (90:16/ )اﻟﻨﺤﻞ
“Sesungguhnya
Allah menyuruh (kamu) Berlaku adil dan berbuat kebajikan, memberi kepada kaum kerabat, dan Allah melarang dari perbuatan keji, kemungkaran dan permusuhan. Dia memberi pengajaran kepadamu agar kamu dapat mengambil pelajaran.” (Q:S. An-Nahl/ 16; 90)
7
Nasaruddin Umar, Argument Kesetaraan Gender: Perspektif Al-Quran, h. 30
20
Dan dalam ayat lain yaitu Q:S. Al-Hujarat/ 49; 13, di terangkan: (13 :49/ )اﻟﺤﺠﺮات “Hai manusia, Sesungguhnya Kami menciptakan kamu dari seorang laki-laki dan seorang perempuan dan menjadikan kamu berbangsa - bangsa dan bersuku-suku supaya kamu saling kenal-mengenal. Sesungguhnya orang yang paling mulia diantara kamu disisi Allah ialah orang yang paling taqwa diantara kamu. Sesungguhnya Allah Maha mengetahui lagi Maha Mengenal.” (Q:S. Al-Hujarat/ 49;13). Ayat diatas menjelaskan kedudukan pria dan wanita adalah sederajat. Adanya perbedaan antara pria dan wanita di bidang hukum bukan karena jenis laki-laki itu lebih mulia menurut Allah dan lebih dekat dengan tuhannya dibandingkan wanita. Kemuliaan seseorang dihadapan tuhannya bukan didasarkan pada jenis kelamin atau etnisnya, melainkan berdasarkan prestasi ibadah dan muamalah yang dilakukannya. Jenis laki-laki dan perempuan sama dihadapan Allah. Memang ada ayat yang menerngkan bahwa para laki-laki (suami) adalah pemimpian para wanita (istri), yaitu yang tertuang dalam Q:S. An-Nisa/ 4; 34:
(34 :4/ )اﻟﻨﺴﺎء
“kaum laki-laki itu adalah pemimpin bagi kaum wanita, oleh karena Allah telah melebihkan sebahagian mereka (laki-laki) atas sebahagian yang lain (wanita), dan karena mereka (laki-laki) telah menafkahkan sebagian dari harta mereka. sebab itu
21
Maka wanita yang saleh, ialah yang taat kepada Allah lagi memelihara diri ketika suaminya tidak ada, oleh karena Allah telah memelihara (mereka). wanita-wanita yang kamu khawatirkan nusyuznya, Maka nasehatilah mereka dan pisahkanlah mereka di tempat tidur mereka, dan pukullah mereka. kemudian jika mereka mentaatimu, Maka janganlah kamu mencari-cari jalan untuk menyusahkannya. Sesungguhnya Allah Maha Tinggi lagi Maha besar.” (Q:S. An-Nisa/ 4; 34) Namun kepemimpinan ini tidak boleh mengantarknnya kepada kesewenanganwenangan, karena dari satu sisi Al-Quran memerintahkan untuk saling tolong menolong antara laki-laki dan perempuan, dan dari sisi lain Al-Quran juga menyuruh agar para suami dan istri hendaknya mendiskusikan dan memusyawarahkan persoalan mereka bersama.
B. Seks Dalam Perkawinan Seks mempunyai arti yang khusus dan penting dalam sebuah perkawinan. Seks yang berarti jenis kelamin, hal yang berhubungan dengan alat kelamin seperti senggama yang merupakan bagian hidup manusia, atau di sebut sebagai birahi. Seks Maniak berarti orang yang nafsu seksnya berlebihan orang yang gila seks.8 Kehidupan seks dalam perkawinan adalah kehidupan seksual bersama antara suami istri sebagai satu pasangan, seks merupakan salah satu kebutuhan dasar manusia dan mempunyai dasar dari sebuah perkawinan. Seks menjadi sarana untuk memperoleh keturunan, kenikmatan, dan kepuasan seksual. Kepuasan seksual merupakan salah satu faktor penentu dalam kehidupan keluarga, namun bila salah
8
Depertemen Pendiidikan Nasional Pusat Bahasa, kamus besar bahasa indonesia, (Jakarta: Balai Pustaka, 2007), edisi ke-3 h.1014
22
satu suami atau istri merasa tidak menikmati ataupun tidak merasa puas, maka hubungan tersebut dapat menjadi sesuatu yang ingin dihindari bahkan di benci. Manusia di ciptakan dilengkapi dengan nafsu seksual. Hal ini sesuai dengan firman Allah: (14 :3/)ال ﻋﻤﺮان “Dijadikan indah pada (pandangan) manusia kecintaan kepada apa-apa yang diingini, Yaitu: wanita-wanita, anak-anak, harta yang banyak dari jenis emas, perak, kuda pilihan, binatang-binatang terna dan sawah ladang. Itulah kesenangan hidup di dunia, dan di sisi Allah-lah tempat kembali yang baik (surga).” (Q:S. Ali-Imran/ 3; 14). Al-Quran menggambarkan perkawinan sebagai hubungan yang dalam dan kuat. Suami-istri harus bergaul secara baik dalam rumah tangga. Islam benar-benar mempromosikan pernikahan sebagai perlindungan dari keburukan seksual. Jika seorang pria melihat wanita yang dianggapnya menarik, maka ia harus segara pergi kepada istrinya, sebab dengan begitu ia akan terlindung dari dosa.9 Persetubuhan adalah suatu hal yang mengacu kepada tabiat dan kodrat manusia, jadi dia merupakan fitrah manusia. Allah telah meletakan tabiat ini dalam diri manusia agar ia terdorong untuk mencari istri yang akan memberinya keturunan, di samping bahwa perbuatan itu adalah satu isyarat akan keberadaan nikmat di surga. Ia mempunyai banyak manfaat bila dilakukan dengan dasar hukum yang benar atau halal. Hal ini juga menunjukan akan kesempurnaan Islam dalam
9
Hasan Hathout, Panduan Seks Islami, (Jakarta: Zahra, 2007), h.56
23
membahas semua aspek kedidupan manusia, baik urusan dunia ataupun urusan akhirat, sehingga perbuatan inipun diatur dengan etika-etika tertentu.10 Berbicara masalah seksualitas ada anggapan sebagian masyarakat bahwa masalah tersebut merupakan sesuatu yang tabu,masalah kotor, jijik, dan tidak patut diperbincangkan, apabila itu semua dikaitkan dengan keagamaan. Sifat kotor memang melekat sekali dengan masalah seksual yang dapat mencemari kesesuaian nilai-nilai agama. Ibn al-Qayyim dalam bukunya Al-Thib Al-Nabawiy (pengobatan nabi), menyajikan satu bab khusus yang membahas sikap Islam terhadap seksual antara suami istri, diantaranya yaitu: 1. Dalam Islam, seks selalu dipandang secara serius dan seharusnya tetap demikian. Seks bukanlah sarana untuk bersenang-senang belaka. Dalam Islam hubungan seksual antara suami istri merupakan ibadah dan dapat menciptakan hubungan yang harmonis antara keduanya. 2. Dalam Islam, selalu berkaitan dengan kehidupan keluarga. Seks dipandang sebagai hubungan manussia yang luar biasa tunduk kepada aturan-aturan yang ketat. Dengan demikian, seks diluar hubungan pernikahan (zina) merupakan dosa yang dikenai hukuman.
10
Abdul Aziz bin Fathi as-Sayyid Nada, Ensiklopedi Etika Islam, (Jakarta: Maghfirah Pustaka, 2008), h. 333
24
3. Seks merupakan khusus diantara suami istri. Apa yang terjadi itu merupakan rahasia dan tidak seharusnya diberitahukan kepada pihak lain. 4. Islam menjelaskan bahwa seks tidak tunduk pada perubahan (yang dibuat) oleh kelompok-kelompok berpengaruh atau perubahan dalam kehidupan seksual. 5. Pengetahuan seputar ayat-ayat dan hadis-hadis tentang permasalahan pendidikan seks tidak ada spesifikasi usia untuk seseorang memulai mempelajarinya pada usia tertentui. Akan tetapi ketika seorang mukmin mempelajari Al-Quran dan sunah, ia akan menemukan ajaran-ajaran atau permasalahan ini.11 Di dalam perkawinan kehidupan seksual mengalami penyesuaian karena hadirnya suami istri di sisinya. Dia tidak hanya berkepentingan dengan seksualitas itu sendiri tetapi juga seksualitas pasangannya, sehingga dia harus menyesuaikan diri agar tidak timbul masalah dalam perkawinannya. Hubungan seks pada dasarnya mempunyai tiga maksud utama, yaitu: 1. Menjaga keberlangsungan turunan. 2. Mengeluarkan sperma yang akan berbahaya terhadap keseimbangan jika tersimpan dan tidak di keluarkan.
11
Abdul Wahab Bouddiba, Sexuality In Islam, terjemahan Fauzi Abbas, (Yogyakarta: Alinea, 2004) Cet ke-1, h. 207
25
3. Menyalurkan syahwat, merasakan kenikmatan dan kelezatan12 Adapun seksualitas di dalam perkawinan mempunyai 4 dimensi yaitu: 1. Dimensi prokreasi, bertujuan membuat keturunan sebagai generasi penerus 2. Dimensi rekreasi, bertujuank mencapai kesenangan, kenikmatan dan kepuasan. 3. Dimensi relasi, berfungsi sebagai pengikat yang lebih mempercepat hubungan pribadi suami istri. 4. Dimensi institusi, berfungsi sebagai suatu isntitusi yaitu lembaga perkawinan. Tentu saja keempat dimensi ini dapat dicapai apabila tak ada gangguan seksual dan reproduksi baik dari pihak istri maupun suami. Hubungan seks adalah ekspresi cinta, lebih dari sekedar sarana pemuasan kebutuhan seksual. Permainan pendahuluan atau perangsangan (foreplay) sangat dianjurkan agar masing-masing pasangan siap secara fisik dan psikologis, agar tidak ada salah satu pihak yang merasa hanya menjadi objek semata.13 Pemuasan hasrat seksual merupakan salah satu alasan utama perkawinan. Seseorang yang tidak mempunyai dorongan seksual sama sekali, tidak patut untuk menikah, karena ia dapat merugikan pasangannya.
12
Khid As-Sayyid Abdul ‘Aal, Seni Menumbuhkan Cinta, (Solo, Ziyad Visi Media, 2006) Cet ke-1, h. 174 13
Hasan Hathout, Panduan Seks Islami, h.65
26
Sungguhpun hubungan biologis antara suami istri mempunyai hal yang penting dan berpengaruh dalam kehidupan rumah tangga. Tidak mementingkan hal itu atau menempatkannya bukan pada tempatnya dapat membawa kehancuran suami istri. Diantara persoalan yang muncul dan berpotensi memicu perceraian adalah ketidak harmonisan dalam hubungan seksual. Persoalan ini semakin memancing kericuhan jika pola hidup salah satu atau kedua suami istri biasa mengeksploitasi seks, jauh dari moralitas, terbiasa bergaul dengan pria dan wanita dalam pola membaur, dan toleran terhadap hal-hal yang berbau pornografi. Jelas dengan kehidupan seperti ini, maka tuhan dalam benaknya sekedar menyalurkan hasrat spritu hal, tidak lebih.14 Seperti halnya aktivitas-aktivitas manusia lainnya, hubungan seks harus dilakukan secara moderat, tidak berlebihan dan juga tidak kurang. Berlebihan dalam seks dapat membahayakan fisik maupun psikis seseorang, begitupula sebaliknya. Tiap pasangan suami istri harus menemukan sendiri frekuensi berhubungan seks yang pas bagi mereka, karena kondisi masing-masing orang berbeda. Hal ini harus benarbenar diperhatikan agar mereka tidak terjerumus kedalam perbuatan dosa.15 Perkawinan dalam Islam tidak melupakan hal ini. Banyak peraturan baik tentang hak dan kewajiban suami istri di perbincangkan. Yang menjadi kendala 14 15
Marzuki Umar Syahab, Seks & Kita, (Jakarta: Gema Insani, 1998), cet-ke-1, h. .447 Hasan Hathout, Panduan Seks Islami, h.66
27
adalah metode pembahasan dan pemecahan masalah ini. Seks sebagai kesenangan telah diletakan dalam Islam sebagai hal yang sangat pribadi. Permasalahan seks dalam pernikahan muncul apabila salah satu atau kedua pasangan suami istri tidak terpenuhi hasrat keinginannya. Permasalahan semakin besar apabila keduanya tidak dapat mengkomunikasikan keluhan atau keinginan masing-masing akibat malu yang tidak perlu. Akhirnya, permasalahan semakin parah, menimulkan kebencian, kemarahan, saling mencaci, serta tidak mau mengerti kondisi pasangannya.16 Perkawinan sesungguhnya lebih luas daripada sekedar seks. Perkawinan juga mencakup aspek-aspek sosial dan psikologis. Suami-istri harus dekat dan akrab secara
fisikal,
psikologis,
dan
emosional.
Saling
bersimpati
dan
saling
memperlakukan dengan baik dapat melanggengkan cinta, bahkan ketika masa-masa “penuh gairah” telah berlalu.17 C. Penyimpangan Seksual dan Hiperseksual Seksualitas merupakan salah satu ranah yang paling pribadi, dan secara umum privat dalam kehidupan individu. Setiap orang adalah makhluk seksual dengan minat dan fantasi yang dapat mengejutkan atau bahkan mengagetkan kita dari waktu ke waktu. Hal itu merupakan fungsi seksual yang normal. Namun, ketika fantasi atau
16
Sahid Athar, Bimbingan Seks Bagi Kaum Muda Muslimin, (Jakarta: Pustaka Zahra, 2004) Cet Ke-2, h.68 17
Hasan Hathout, Panduan Seks Islami, h.63
28
hasrat tersebut mulai membahayakan diri kita dan orang lain, maka hal tersebut dapat digolongkan abnormal.18 Penyimpangan seksual terdiri dari dua suku kata yaitu penyimpangan dan seksual. Penyimpangan berasal dari kata dasar “simpang” yang memiliki empat pengertian. Pertama, mempunyai arti proses, yaitu cara perbuatan yang menyimpang atau menyimpangkan. Kedua bermakna membelok atau menempuh jalan lain. Ketiga, maksudnya tidak menurut apa yang sudah dutentukan. Keempat, menyalahi kebiasaan, menyeleweng baik dari hukum, kebenaran, dan agama.19 Kata “seksual” mempunyai dua pengertian. Pertama, berarti menyinggung hal reproduksi atau perkembangan lewat penyatuan dua individu yang berbeda yang masing-masing menghasilkan sebutir telur dan sperma. Kedua, secara umum berarti menyinggung tingkah laku, perasaan atau emosi yang bersosiasi dengan perangsangan alat kelamin, daerah-daerah erogenous, atau dengan
proses
perkembangbiakan.20 Dari definisi diatas dapat disimpulkan, bahwa yang dimaksud dengan penyimpangan seksual adalah prilaku seseorang yang dianggap menyimpang atau menyalahi aturan yang sudah ditetapkan dalam masalah seksual. Definisi lain menyebutkan bahwa penyimpangan seksual adalah aktivitas seksual yang ditempuh seseorang untuk mendapatkan kenikmatan seksual dengan 18
A. Sutarto Wiramiharja, Psikologi Abnormal, (Bandung: Refika Aditama, 2005), h. 118
19
Depertemen Pendiidikan Nasional Pusat Bahasa, Kamus Besar Bahasa Indonesia, h. 4660
20
J.P Chaplin, Kamus Lengkap Biologi, terjemahan. Kartini Kartono, (Jakarta: PT Raja Grafindo Perasada, 2004), cet.ke-9, h. 460
29
tidak sewajarnya. Biasanya cara yang digunakan oleh orang tersebut adalah menggunakan objek seks yang tidak wajar.21 Hiperseksualitas, atau Perilaku seksual berlebihan, adalah suatu istilah yang merujuk pada hasrat untuk melakukan aktivitas seksual pada suatu tingkat yang dianggap sangat tinggi dalam hubungannya dengan perkembangan yang normal atau budaya dan pada tingkat yang bisa menyebabkan tekanan atau masalah serius pada pelaku maupun orang terdekatnya. Hal ini diangap sebagai kelainan psikologis yang ditandai dengan hasrat seksual yang hiperaktif, obsesi yang berlebihan pada seks, dan halangan seksual yang rendah.22 Orang yang mengalami hiperseks tidak pernah merasa puas saat berhubungan seks, walaupun sudah mengalami orgasme.23 Hiperseksualitas pada perempuan dikenal sebagai nymphomania atau furor uterinus, sementara pada pria disebut satyriasis.24 Dalam istilah medis, perilaku hiperseks juga sering disebut perilaku seks kompulsif, nymphomania atau erotomania. Ada juga yang menyebut kecanduan seks atau maniak seks. Hiperseks atau hypersexuality merupakan penyimpangan seksual yang ditandai dengan tingginya keinginan untuk melakukan hubungan seksual dan sulitnya mengontrol keinginan seks tersebut. 21
A. Sutarto Wiramiharja, Psikologi Abnormal, h. 118
65
22
Hiperseksualitas, artikel diakses pada tanggal 10 Desember 2010 dari www.wikipedia.org
23
Lyne Low. Memahami Seks, (Jakarta: Gaya Favorit Press, 2006), h. 21
24
Patrick Killingstone, Sex And Love Guide To Teeagers, (Jakarta: Prestasi Pustaka, 2008), h.
30
Perilaku seks kompulsif secara umum dipertimbangkan sebagai suatu kelainan yang dialami seseorang dalam mengendalikan impuls atau dorongan seks. Akibat kelainan ini, seseorang tak mampu menolak godaan atau dorongan melakukan suatu tindakan yang merugikan diri sendiri atau pun orang lain. Pada kelainan seks ini, perilaku normal yang seharusnya menyenangkan dapat berubah menjadi kebiasaan yang ekstrim.25 Ciri-ciri dari penderita hiperseksual menurut Prof, Dr, Wimpie Pangkahila, Sp diantaranya adalah : 1. Tidak pernah merasa puas saat berhubungan seks, walaupun ia sudah mengalami orgasme. Inilah terkadang yang membuat pria hiperseks tak puas dengan satu wanita. 2. Tuntutan seks tidak bisa ditunda. 3. Tidak bisa mengontrol keinginan seks. 4. Sangat tergila-gila dengan hal-hal yang berhubungan dengan seks. Adapun penyebab seseorang menjadi hiperseks dikarenakan adanya faktor fisik dan psikologis. Secara fisik, biasanya lantaran adanya gangguan pada metabolisme dalam tubuh. Atau terjadi gangguan pada bagian saraf. Sedangkan secara psikologis, karena adanya rasa trauma atau pola pikir yang berubah.
25
Tanda Tanda Hiperseks, artikel diakses pada tanggal 4 Desember 2010 dari hypercustom.blogspot.com
31
Prof, Dr, Wimpie Pangkahila dalam hal ini juga menjelaskan beberapa penyebab yang di duga menjadi penyebab seseorang menjadi hiperseks diantaranya, yaitu : 1. Abnormalitas Otak. Penyakit atau kondisi medis tertentu kemungkinan dapat menimbulkan kerusakan pada bagian otak yang mempengaruhi perilaku seksual. Penyakit seperti multiple sclerosis, epilepsi dan demensia juga berkaitan dengan hiperseks. Selain itu, pengobatan penyakit Parkinson dengan dopamine diduga dapat memicu perilaku hiperseks. 2. Senyawa Kimia Otak. Senyawa kimia pembawa pesan antarsel otak (neurotransmiter) seperti serotonin, dopamin, norepinephrine dan zat kimia alami lain dalam otak berperan penting bagi fungsi seksual dan mungkin juga berkaitan dengan hiperseks meski belum jelas mekanismenya. 3. Androgen. Hormon seks ini secara alami terdapat pada lelaki dan perempuan. Walaupun androgen juga memiliki peran yang sangat penting dalam memicu hasrat atau dorongan seks, belum jelas apakah hormon ini berkaitan langsung dengan hiperseks. 4. Perubahan Sirkuit Otak. Beberapa ahli membuat teori bahwa hiperseks adalah sebuah jenis kecanduan yang seiring waktu menimbulkan perubahan para sirkuit syaraf otak. Sirkuit ini merupakan jaringan syaraf yang menjadi sarana komunikasi antara satu sel dengan sel lain dalam otak. Perubahan ini dapat
32
menimbulkan reaksi psikologis menyenangkan saat terlibat dalam perilaku seks dan reaksi tidak menyenangkan ketika perilaku itu berhenti. 26 Selain dari penyebab-penyebab diatas, terdapat beberapa penyebab seseorang menjadi hiperseks ditinjau dari segi kejiwaannya, yaitu : 1. Seks sebagai satu-satunya cara berkomunikasi. Biasanya terjadi pada orang yang tidak mampu membuka diri dan berkomunikasi dengan baik. Jadi, kalau dia mau berkomunikasi, ujung-ujungnya lewat hubungan intim. 2. Pelepas ketegangan. Pada pekerjaan dengan tingkat stres tinggi, seringkali melampiaskan ketegangan dengan cara berhubungan seksual. 3. Terobsesi segala hal berbau seks, meski sebenarnya dalam dirinya timbul konflik karena sadar terobsesi oleh seks itu tidak baik. 4. Gangguan jiwa, yang menganggap dirinya yang paling hebat, termasuk dalam hal seks. 5. Perasaan rendah diri (inferiority). Misalnya, seseorang tak kunjung memberikan kontribusi bagus untuk kehidupan rumah tangga, atau memiliki latar belakang keluarga, status sosial, atau pendidikan yang lebih rendah dari Anda, dia bisa melampiaskan rasa rendah diri ini dengan ‘kegagahan’ di tempat tidur.27
26
Penyebeb Pria Menjadi Hiperseksualitas, artikel diatas diakses pada tanggal 4 Desember 2010 dari duniaweb.wordpress.com/2009/03/20/tanda-tanda-hiperseks/ 27
A. Sutarto Wiramiharja, Psikologi Abnormal, h. 124
33
Sebuah perkawinan akan bermasalah bila salah satu pasangan merasa takut atau menghindari hubungan seks. Penyimpangan seksual ini merupakan gangguan yang sering kali merupakan distres bagi orang yang mengalaminya dan bagi pasangan mereka.
BAB III PROFIL PENGADILAN AGAMA JAKARTA TIMUR
A. Sejarah Kelahiran Pengadilan Agama Jakarta Timur Sejarah lahirnya Pengadilan Agama Jakarta timur erat kaitannya dengan sejarah pembentukan Pengadilan Agama pada umumnya diseluruh kepulauan Indonesia, khususnya di wilayah daerah khusus Ibukota Jakarta. Sebagai kelanjutan dari sikap pemerintah Hindia Belanda terhadap Peradilan Agama, pada tahun 1828 dengan ketetapan Komisaris Jenderal tanggal 12 Maret 1828 nomor 17 khusus untuk Jakarta (Betawi) di tiap-tiap distrik dibentuk satu majelis distrik yang terdiri dari : a.
Komandan Distrik sebagai Ketua
b. Para penghulu masjid dan Kepala Wilayah sebagai anggota.1 Meski ada perbedaan semangat dan arti terhadap Pasal 13 Staatsblad 1820
Nomor 22, maka melalui resolusi tanggal 1 Desember 1835 pemerintah di masa itu mengeluarkan penjelasan Pasal 13 Staatsblad Nomor 22 tahun 1820 sebagai berikut : “Apabila terjadi sengketa antara orang-orang Jawa satu sama lain mengenai soal-soal perkawinan, pembagian harta dan sengketa-sengketa sejenis yang harus diputus menurut hukum Islam, maka para “pendeta” memberi keputusan, tetapi
1
Dadang Muttaqien, dkk, Peradilan Agama Dan Kompilasi Hukum Islam Dalam Tata Hukum Indonesia, (Yogyakarta: UI Press, 1999), h. 41.
34
35
gugatan untuk mendapat pembiayaan yang timbul dari keputusan dari para “pendeta” itu harus diajukan kepada pengadilan-pengadilan biasa”.2 Penjelasan ini dilatarbelakangi pula oleh adanya kehendak dari pemerintah Hindia Belanda untuk memberlakukan politik konkordansi dalam bidang hukum, karena beranggapan bahwa hukum Eropa jauh lebih baik dari hukum yang telah ada di Indonesia. Seperti diketahui bahwa pada tahun 1838 di Belanda diberlakukan
Burgerlijk Wetboek (BW). Akan tetapi dalam rangka pelaksanaan politik konkordansi itu, Mr. Scholten
van Oud Haarlem yang menjadi Ketua Komisi penyesuaian undang-undang Belanda dengan keadaan istimewa di Hindia Belanda membuat sebuah nota kepada pemerintahnya, dalam nota itu dikatakan bahwa : “Untukmencegah timbulnya keadaan yang tidak menyenangkan mungkin juga perlawanan jika diadakan pelanggaran terhadap agama orang Bumi Putera, maka harus diikhtiarkan sedapat-dapatnya agar mereka itu dapat tinggal tetap dalam lingkungan (hukum)agama serta adat istiadat mereka ” Secara khusus, sejarah lahirnya Pengadilan Agama kelas 1A Jakarta Timur di pimpin oleh menteri Agama RI yang tersebut dalam keputusan Menteri Agama RI Nomor 67 Tahun 1963 jo Nomor 4 Tahun 1967.3 Adapun kronologis Pengadilan Agama Jakarta Timur adalah Sebagai Berikut:
2
Staatsblad 1820 Nomor 22 Tentang Pengadilan Agama Di Jawa dan Madura.
3
Laporan Pengadilan Agama Jakarta Timur Tahun 2009, h. 21
36
1. Pada saat itu, Pengadilan agama di tanah Betawi hanya memiliki satu Pengadilan Agama yaitu “Penghadilan Agama Istimewa Jakarta Raya” yang dibantu oleh dua (2) kantor cabang Pengadilan Agama Jakarta Tengah. Kemudian warga ibukota ini kian bertambah, sehingga terbitlah Keputusan Menteri Agama Nomor 67 Tahun 1963 jo Nomor 4 Tahun 1967 yang berbunyi antara lain: “Membubarkan kantor-kantor cabang Pengadilan Agama (bentuk lama) dalam daerah khusus Ibukota Jakarta Raya”. (Keputusan Menteri Agama Nomor 67 Tahun 1963 jo Nomor 4 Tahun 1967)4 2. Pada tahun 1966 Gubernur kepala daerah khusus Ibukota jakarta melalui keputusan beliau Nomor Ib.3/1/1/1966 tanggal 12 Agustus 1966 membentuk Ibukota Negara ini menjadi 5 wilayah dengan sebutan Kota Administratif. Membentuk kantor-kantor Cabang Pengadilan Agama yang baru sederajat atau setara dengan Kantor Agama tingkat II, yaitu : a. Kantor Cabang Pengadilan Agama Jakarta Pusat b. Kantor Cabang Pengadilan Agama Jakarta Timur c. Kantor Cabang Pengadilan Agama Jakarta Barat d. Kantor Cabang Pengadilan Agama Jakarta Selatan, dan e. Kantor Cabang Pengadilan Agam Jakarta Utara.
4
Ibid, h. 32
37
3. Pengadilan Agama istimewa daerah khusus ibukota jakarta raya yang daerah hukumnya meliputi wilayah kekuasaan daerah ibukota Jakarta Raya, adalah kantor induk pengadilan agama jakarta raya,ditetapkan berkedudukan di kota jakarta pusat dan secara khusus bertugas pula sebagai pengadilan agama sehari-hari bagi eilayah kekuasaan jakarta pusat.5 Berdasarkan pertimbangan tersebut, melalui keputusan gubernur kepala daerah khusus ibukota jakarta Nomor Ib.3/I/I1966 tanggal 12 Agustus 1966, maka pada tanggal 18 Pebruari 1967 diresmikan sebutan maupun operasional pengadilan agama di lima wilayah daerah khusus ibukota, terutama pengadilan agama jakarta timur menjadi berikut: a.
Pengadilan Agama Jakarta Pusat
b.
Pengadilan Agama Jakarta Utara
c.
Pengadilan Agama Jakarta Barat
d.
Pengadilan Agama Jakarta Selatan, dan
e.
Pengadilan Agama Jakarta Timur
Pengadilan Agama Jakarta Timur, terbentuk dan berdiri berdasarkan keputusan menteri agama RI Nomor 4 tahun 1967 tanggal 17 Januari 1967. Pendirian pengadilan agama diwilayah hukum daerah ibukota(DKI) Jakarta.6
5
Ibid, h. 33
6
Ibid, h. 35
38
B. Kedudukan Pengadilan Agama Gedung Pengadilan Agama Jakarta Timur telah 2 kali mengalami perpindahan, yaitu: 1. Gedung lama Pengadilan Agama Jakarta Timur terletak di Jakarta Timur, dengan alamat Jl. Raya Bekasi KM 18 Kel. Jatinegara, Kec. Pulogadung Timur dibangun diatas tanah negara milik Pemda DKI dengan luas tanah 360 M2, luas bangunan 360 M2, terdiri dari 2 lantai, dibangun tahun 1979 di bawah APBN Depag RI, dengan keadaan yang demikian kecil dan volume pekerjaan yang relatif padat, begitu pula dengan karyawan yang berjumlah 59 orang ditambah dengan pegawai honorer 4 orang, maka gedung tersebut tidak memadai lagi. Oleh karena itu, pada tahun anggaran 1997/1998, melalui anggaran APBN/ABBD DKI Jakarta Pemerintah telah membangun tambahan gedung 1 lantai di lokasi yang sama seluas 360 m2, sehingga menjadi 2 lantai dan 14 ruangan. 2. Gedung Baru Pengadilan Agama Jakarta Timur, berkedudukan di Kelapa Dua Wetan alamat Jl. Raya PKP No. 24 Kel. Kelapa Dua Wetan Kec. Ciracas Kodya Jakarta Timur, Telp (021) 87717549 kode pos 13750 Gedung Pengadilan Agama Jakarta Timur dibangun di atas nama hak pakai No. 28 Kodya Jakarta Timur dengan luas tanah 2.760 m2, luas bangunan 1400 m2 terdiri dari 3 lantai yang dibangun tahun 2003 dengan Dana Pemda DKI Jakarta. Gedung baru kantor Pengadilan Agama Jakarta Timur yang demikian besar dan volume pekerjaan yang cukup padat begitu pula dengan karyawan yang berjumlah 70 orang PNS, ditambah dengan pegawai honorer 13 orang,
39
pada tanggal 1 Maret 2004 seluruh karyawan/i dan member pindah ke kantor tersebut sampai dengan sekarang.7 C. Wewenang Pengadilan Agama Jakarta Timur Wilayah hukum/yuridikasi yang dimaksud pada pembahasan ini bermuara pada istilah kewenangan memeriksa, memutuskan, dan menyelesaikan suatu perkara bagi pengadilan. Dalam istilah”Kewenangan”sama dengan sinonim dari kata “kekuasaan”. Adapun yang bermaksud denagn kewenangan dan kekuasaan itu terdapat dalam HIR yang dikenal denagn istilah kompetensi.8 Adapun pembahasan kompetensi ini terbagi pada dua aspek, yaitu : 1. Kompetensi Absolut, yaitu kewenangan atau kekuasaan untuk memeriksa, memutus, dan menyelesaikan perkara bagi pengadilan yang menyangkut pokok perkara itu sendiri.dalam Undang-undang Nomor 3 tahun 2006 tentang perubahan atas Undang-undang Nomor 7 tahun 1989 tentang Peradildan Agama pada pasal 49 yang menyatakan bahwa Pengadilan Agama bertugas dan berwenang dalam bidang : a.
perkawinan
b.
waris
c.
wasiat
7
Pengadilan Agama Jakarta Barat, artikel diakses pada 21 September 2010 dari http://pajt.net.
8
R. Soeroso, Praktik Hukum Acara Perdata, (Jakarta: Sinar Grafika, 2004), h. 42
40
d.
hibah
e.
wakaf
f.
zakat
g.
infaq
h.
shadaqah
i.
ekonomi syariah.9
2. Kompetensi Relatif, yaitu kewenangan atau kekuasaan untuk memeriksa, memutuskan, dan menyelesaikan suatu perkara bagi pengadilan yang berhubungan dengan wilayah atau domisili pihak atau para pihak pencari keadilan.10Wilayah kekuasaan hukum (yuridiksi) Pengadilan Agama Jakarta Timur adalah wilayah daerah Kotamadya Jakarta Timur yang terdiri dari 10 (sepuluh) kecamatan dan 65 kelurahan. Adapun batas-batas wilayahnya adalah : a. Sebelah utara dengan : Kodya Jakarta Utara dan Kodya Jakarta Pusat b. Sebelah barat dengan : Kodya Jakarta Selatan c. Sebelah selatan dengan : Kabupaten Bogor /Kodya Depok d. Sebelah timur dengan : Kabupaten Bekasi/Kota Bekasi.11
9
Mukti Arto, Praktek Perkara Perdata Pada Pengadilan Agama, (Jakarta: Pustaka Pelajar, 2005), h. 37. 10 11
Ibid, h. 39
Pengadilan Agama Jakarta Barat, artikel diakses pada 21 September 2010 dari http://pajt.net.
41
Luas wilayah dari Pengadilan Agama Jakarta Timur adalah 18.877.77 Ha. Jumlah penduduknya 3.050.713 jiwa (besumber data BAPEKO TAHUN 2003). Jumlah penduduk yang beragama Islam 2.569.390 jiwa (bersumber data Depag. Tahun 2003). Kodya Jakarta Timur adalah wilayah Yuridiksi Pengadilan Agama Jakarta Timur, adapun 10 wilayah kecamatan tersebut adalah sebagai berikut 1)
Kecamatan Matraman, terdiri dari 7 (tujuh) kelurahan dengan jumlah penduduknya sebanyak 153.484 jiwa : a) Kelurahan Kebon Manggis b) Kelurahan Palmerah c) Kelurahan Pisangan Baru d) Kelurahan Kayu Manis e) Kelurahan Utan Kayu Utara f) Kelurahan Utan Kayu Utara g) Kelurahan Utan Kayu Selatan.12
2)
Kecamatan Jatinegara, teridri dari 8 (delapan) Kelurahan dengan jumlah penduduknya sebanyak 250.186 jiwa : a) Kelurahan Bali Mester 12
Ibid.
42
b) Kelurahan Bidaracina c) Kelurahan Cipinang Besar Selatan d) Kelurahan Cipinang Besar Utara e) Kelurahan Cipinang Cempedak f) Kelurahan Cipinang Muara g) Kelurahan Rawa Bunga h) Kelurahan Kampung Melayu Kecil.13 3)
Kecamatan Pasar Rebo, terdiri dari 5 (lima) kelurahan dengan jumlah penduduknya sebanyak 240.074 jiwa : a) Kelurahan Baru b) Kelurahan Cijantung c) Kelurahan Gedong d) Kelurahan Kalisari e) Kelurahan Pekayon.14
4)
Kecamatan Kramat Jati, terdiri dari 7 (tujuh) kelurahan dengan jumlah penduduknya sebanyak 175.883 jiwa : 13
Ibid.
14
Ibid.
43
a) Kelurahan Balekambang b) Kelurahan Batu Ampar c) Kelurahan Cawang d) Kelurahan Cililitan e) Kelurahan Dukuh f) Kelurahan Kampung Tengah g) Kelurahan Kramat Jati.15 5)
Kecamatan Pulogadung terdiri dari 7 (tujuh) kelurahan dengan jumlah penduduk sebanyak 250.878 jiwa : a) Kelurahan Cipinang b) Kelurahan Jati c) Kelurahan Jatinegara Kaum d) Kelurahan Kayu Putih e) Kelurahan Pisangan Timur f) Kelurahan Pulogadung g) Kelurahan Rawamangun.16
15
Ibid.
44
6)
Kecamatan Cakung terdiri dari 7 (tujuh) kelurahan dengan jumlah penduduknya sebanyak 251.184 jiwa : a) Kelurahan Cakung Barat b) Kelurahan Cakung Timur c) Kelurahan Jatinegara d) Kelurahan Penggilingan e) Kelurahan Pulogebang f) Kelurahan Rawa Terate g) Kelurahan Ujung Menteng.17
7)
Kecamatan Ciracas, terdiri dari 5 (lima) kelurahan dengan jumlah penduduknya sebanyak 160.679 jiwa : a) Kelurahan Cibubur b) Kelurahan Ciracas c) Kelurahan Kelapa Dua Wetan d) Kelurahan Rambutan e) Kelurahan Susukan.18 16
Ibid.
17
Ibid.
45
8)
Kelurahan Cipayung terdiri dari 7 (tujuh) kelurahan dengan jumlah penduduknya sebanyak 171.883 jiwa : a) Kelurahan Ceger b) Kelurahan Cilangkap c) Kelurahan Cipayung d) Kelurahan Lubang Buaya e) Kelurahan Munjul f) Kelurahan Pondok Rangon g) Kelurahan Setu.19
9)
Kecamatan Makasar terdiri dari 5 (lima) kelurahan dengan jumlah penduduk sebanyak 193.085 jiwa : a) Kelurahan Cipinang Melayu b) Kelurahan Halim c) Kelurahan Kebon Pala d) Kelurahan Pinang Ranti
18
Ibid.
19
Ibid.
46
e) Kelurahan Makasar.20 10) Kecamatan Duren Sawit terdiri dari 5 (lima) kelurahan dengan jumlah penduduknya 203.280 jiwa : a) Kelurahan Duren Sawit b) Kelurahan Malaka Jaya c) Kelurahan Pondok Kopi d) Kelurahan Pondok Bambu e) Kelurahan Klender.21
D. Struktur Organisasi Berdasarkan surat keputusan Ketua Mahkamah Agung RI Nomor 004 Tahun 1992 tentang susunan organisasi serta surat keputusan Menteri Agama RI Nomor 303 Tahun 1990 tentang susunan organisasi ditetapkan bahwa struktur organisasi Pengadilan Agama Jakarta Timur sebagaimana berlaku pada Pengadilan Agama di lingkungan Departement Agama RI, adalah sebagai berikut:
20
Ibid.
21
Ibid.
47
STRUKTUR ORGANISASI22 PENGADILAN AGAMA JAKARTA TIMUR (UNDANG-UNDANG No. 7/1989/ Jo UU No. 3/2006 )
22
Pengadilan Agama Jakarta Timur, artikel diakses pada 24 Januari 2011 dari http://www.pajt.net/index.php/struktur-organisasi
48
Adapun susunan personalia yang ada di lingkungan Pengadilan Agama Jakarta Timur berdasarkan data pegawai Pengadilan Agama Jakarta Timur adalah sebagai berikut: a. Ketua
: Drs. H. Wakhidun AR, SH, M. Hum
b. Wakil Ketua
: Drs. H. Muh. Abduh Sulaeman, SH, MH
c. Dewan Hakim
:
d. Panitera/Sekertaris
-
Dra. Hj. Saniyah KH
-
Drs. Abu semen Bastoni, SH
-
Drs. H Fauzi M Nawawi
-
Dra. Nurroh Sunnah, SH
-
Hj. Nani Setyawati, SH
-
Drs.HM. Fadjri Rivai, SH, MH
-
Hj. Yustimar, SH
-
Drs. Nasrul
-
Elvin Nailana, SH.MH
-
Drs. Mahmudin
-
Drs. Uwaisul Qumy
-
Drs. Achmad Harun Shofa, SH
-
H. Abdillah, SH
-
Drs. Achmad Busyro, MH
-
Hj. Munifah Djam’an, SH
: Drs. H. Syaiful Anwar
49
e. Wakil Sekertaris
: Drs. H. Ujang Mukhlis, SH, MH
f. Wakil Panitera
: H. Hafani Baihaqi, Lc, SH
g. Ka. Sub. Keuangan
: Sanjaya Langgeng Santoso
h. Ka. Sub. Kepegawaian
: Hamim Nafan, SHI
i. Ka. Sub. Umum
: Muhammad Zuhri
j. Panmud Permohonan
: H. Bangbang Sri Pancala, SH
k. Panmud Gugatan
: Ali Mushofa, SH
l. Panmud Hukum
: Pahrurrozi, SH
m. Panitera Pengganti
: -
Drs. Ade Faqih
-
Siti Makbullah, SH
-
Aday, S.Ag
-
Syamsul Rizal, SH
-
Sumaryuni, SH
-
Hamdani, SHI
-
Mastanah, SH
-
Titiek Indriyaty, SH
-
Dra. Siti Nurhayati
-
Idris M Ali, SH
-
Nova Asrul Lutfi, SH
-
Hj. Spa Icthtiyatun, SH. MH
50
n. Jurusita
m. Jurusita Pengganti
23
Ibid.
: -
Moch. Sidik
-
Zulkipli
-
Burhamzah
-
Budi Sukirno
-
Obang Hasyim. A
-
Ikbal Bisry
-
Sri Mulyati
-
Veny Rarmawati
-
Rahmah Sufiyah, SH
-
Muhammad Sayhon
-
Tati Yulianti23
:
BAB IV ANALISIS PUTUSAN TENTANG PERCERAIAN KARENA HIPERSEKSUAL
A. Prilaku Hiperseksual Sebagai Alasan Perceraian Di dalam pasal 19 PP No. 9 Tahun 1975 dan di dalam KHI N0. 1 Tahun 1991 di sebutkan bahwa terdapat delapan alasan-alasan yang memperbolehkan mengajukan perceraian, enam alasan kita dapat temukan di dalam PP No. 9 Tahun 1975, sedangkan di dalam KHI ada penambahan dua alasan, yaitu suami melanggar ta’lik talak, dan terjadinya peralihan agama atau murtad yang mengakibatkan terjadinya ketidak rukunan dalam rumah tangga. Gangguan seksual pada umumnya, dan hiperseksual pada khususunya tidak disebutkan secara definitif di dalam kedua peraturan perundang-undangan tersebut sebagai alasan yang dapat diterima sebagai alasan perceraian. Bila kita lihat kembali kepada kedua peraturan tersebut maka dapat kita analogikan bahwa sebenarnya gangguan seksual pada umumnya, dan hiperseksual pada khususunya dapat di jadikan sebagai alasan perceraian. Analogi yang digunakan adalah pasal 19 PP No. 9 Tahun 1975 huruf (e) yang menyebutkan, “salah satu pihak mendapatkan cacat badan atau penyakit dengan akibat-akibat tidak dapat menjalankan kewajibannya sebagai suami/istri”. dari sini dapat kita katakan bahwa cacat badan tersebut mencakup masalah seksual seperti suami yang mengalami impotensi permanen sehingga tidak dapat melakukan
51
52
hubungan badan atau istri yang pada rahimnya terdapat tulang sehingga menghalangi masuknya penis kedalamnya atau dalam istilah kitab-kitab fiqih disebut sufaq. Atau dapat pula digunakan pasal 19 PP No. 9 Tahun 1975 huruf (d) yang menyebutkan “salah satu pihak melakukan kekejaman atau penganiayaan berat yang membahayakan pihak lain” dari sini dapat kita katakan bahwa melakukan pemaksaan oleh seseorang terhadap orang lain dengan menggunakan egoisme, kekuasaan menjadi salah satu alasan dikabulkannya perceraian. Dengan adanya unsur paksaan dari sikap kekejaman dan kekerasan akan mengakibatkan bahaya bagi pihak lain, luka, dan penderitaan terhadap orang lain Hubungan seksual yang dipaksakan akan mengakibatkan bahaya bagi korban. Suami yang memaksakan hasrat biologisnya saat istri tidak siap untuk melaksanakan dan menerima ajakan suami akan mengakibatkan bahaya pada organ kelaminnya. Luka yang dimaksud adalah seperti lecet di organ intim, menjadikan hasrat seksual isti frigiditas. Banyak hal yang menyebabkan istri sangat jarang mau terbuka untuk berbicara tentang kehidupan kamar tidur mereka, termasuk gejolak seksual yang dilakukan suami terhadap istri, diantara penyebabnya adalah, membicarakan aktivitas kamar tidur adalah rahasia suami istri merupakan aib dan ada perasaan malu ketika rahasia kamar tidur ini diketahui khalayak ramai. Begitupula dalam proses pemeriksaan di
53
Pengadilan Agama, walaupun yang menjadi alasannya adalah masalah seksual, akan tetapi kadang hal tersebut tidak banyak terungkap.1
B. Duduk Perkara No: 630/Pdt.G/2009/PA.JT 1. Tentang Para Pihak Identitas dari pihak penggugat yakni Muhaya binti H. Muji, umur 57 tahun, agama Islam, pekerjaan sebagai ibu rumah tangga, dan bertempat tinggal di Jl. Kayu Manis No. 22, Rt. 06, Rw 03, kelurahan Balekambang, Kecamatan Kramat Jati, Jakarta Timur. Sedangkan dari pihak tergugat yakni H. Rameli bin H. Husin, umur 69 tahun, agama Islam, pekerjaan adalah berdagang, dan bertempat tinggal di Jl. Kayu Manis No. 22, Rt. 06, Rw 03, kelurahan Balekambang, Kecamatan Kramat Jati, Jakarta Timur.2 2. Tentang Posita dan Petitum Dalam surat gugatan duduk perkara/posita sangat penting eksistensinya, setiap surat gugatan memuat posita. Pada hakikatnya posita atau fundamentium petendi yaitu menguraikan tentang kejadian-kejadian atau peristiwa-peristiwa.3 Biasanya dalam praktik baik dalam putusan ataupun surat gugatan lebih dikenal atau lazim disebut dengan tentang duduk pekara yang menjadi dasar yuridis gugatan atau 1
Wawancara Pribadi dengan Hakim Pengadilan Agama Jakarta Timur, 20 Januari 2011
2
Arsip Pengadilan Agama Jakarta Timur, Putusan No: 630/Pdt.G/2009/PA.JT
3
Faizal Kamil, Asas Hukum Acara Perdata, (Jakarta: Badan Penerbit Iblam, 2005), h. 60
54
menguraikan secara kronologis duduk perkaranya kemudian penguraian tentang hukumnya, tidak berarti harus menyebutkan peraturan-peraturan hukum yang menjadi dasar tuntutan, melainkan cukup hak atau peristiwa yang harus dibuktikan dalam persidangan nanti sebagai dasar dari tuntutan.4 Dan mengenai posita yang diterangkan oleh penggugat dalam putusan No: 630/Pdt.G/2009/PA.JT, diantaranya: 1. Bahwa kedua belah pihak telah melangsungkan pernikahan pada hari Jumat, 17 Oktober 2008 dihadapan pejabat PPN KUA Kecamatan Kramat Jati, Jakarta Timur dengan Akta Nikah No: 1396/29/X/2008. 2. Bahwa setelah menikah kedua pihak baik penggugat ataupun tergugat hidup rukun sebagaimana layaknya suami istri dengan baik, telah berhubungan badan dan keduanya bertempat tinggal bersama di Jl. Kayu Manis No. 22, Rt. 06, Rw 03, kelurahan Balekambang, Kecamatan Kramat Jati, Jakarta Timur. 3. Bahwa kehidupan penggugat dan tergutat mulai goyah dan terjadi pertengkaran secara terus menerus yang sulit diatasi sejak bulan Januari 2009.. 4. Bahwa sebab-sebab terjadinya perselisihan danpertengkaran tersebut karena: a. Tidak ada kesesuaian dalam membina rumah tangga. 4
Fauzie Yusuf Hasibuan, Hukum Acara Perdata, (Jakarta: Yayasan Pustaka Hukum Indonesia, 2006), h. 9
55
b. Penggugat sudah tidak mampu lagi melayani/memenuhi kebutuhan biologis tergugat yang berlebihan. 5. Bahwa tergugat dan penggugat masih satu rumah, namun sejak tanggal 28 Maret, kurang lebih sudah 4 hari sudah pisah ranjang dan sudah tidak berhubungan badan sama sekali layaknya suami istri. 6. Bahwa penggugat telah berupaya mengatasi masalah tersebut dengan baik-baik tetapi tidak berhasil..5 Dan dengan hal-hal tersebut diatas, maka pihak penggugat dalam hal ini Muhaya binti H. Muji sebagai seorang istri mengajukan gugatannya untuk bercerai dari suaminya.
C. Pertimbangan dan Putusan Majelis Hakim Majelis hakim dalam memutuskan suatu perkara dituntut suatu keadilan, dan untuk itu hakim melakukan penilaian terhadap pristiwa dan fakta-fakta yang ada apakah benar-benar terjadi. Hal ini hanya bisa dilihat dari pembuktian, mengklasifikasikan antara yang penting dan yang tidak penting, dan menanyakan kembali kepada pihak lawan mengenai keterangan saksi-saksi dan fakta-fakta yang ada.
5
Arsip Pengadilan Agama Jakarta Timur, Putusan No: 630/Pdt.G/2009/PA.JT
56
Berdasarkan penelitian dalam petitum dari gugatan penggugat, putusan No: 630/Pdt.G/2009/PA.JT, maka pertimbangan hukum majelis hakim yang mencakup hal-hal pokok tersebut, diantaranya yaitu: Pertimbangan pertama, bahwa penggugat telah mengajukan surat gugatannya yang didaftarkannya di Kepaniteraan Pengadilan Agama Jakarta Timur tanggal 1 April 2009 dan telah dibacakan di depan persidangan dengan dihadiri oleh pihak penggugat dan tergugugat yang kemudian isinya tetap dipertahankan oleh penggugat.6 Pertimbangan kedua, berdasarkan bukti-bukti yang diajukan oleh penggugat untuk menguatkan gugatannya diantarantya bukti P-1 berupa Kutipan Akta Nikah Nomor 1396/29/X/2008 dan berdasarkan pengakuan tergugat maka terbukti bahwa keduanya telah terikat dalam hubungan suami istri yang sah.7 Pertimbangan ketiga, bahwa pihak penggugat dalam usaha menguatkan gugatannya selain mengajukan bukti tertulis, penggugat juga memberikan bukti-bukti lain yakni mengajukan beberapa orang saksi. Saksi pertama yang diajukan penggugat adalah Haryati binti Harun (Sebagai sepupu dari penggugat), dimuka persidangan saksi tersebut mengungkapkan bahwa saksi mengetahui rencana penggugat akan mengajukan gugatan cerai kepada penggugat. Saksi tersebut mengungkapkan pula bahwa mengetahui bahwa antara penggugat dan tergugat sering terlibat cekcok yang penyebabnya adalah karena penggugat sudah tidak mampu lagi melayani kebutuhan 6
Ibid.
7
Ibid.
57
biologis penggugat yang berlebihan, saksi pun telah berupaya menasehati keduanya, akan tetapi usaha tersebut tidak berhasil. Saksi kedua yang dihadirkan adalah Ahmad Nawawi bin H. Idrus Umman (Sopir pribadi tergugat), dimuka persidangan saksi tersebut mengungkapkannya seputar pengetahuannya tentang alasan kenapa penggugat mengajukan gugatan perceraian yang inti dari keterangannya sama dengan yang diungkapkan oleh saksi pertama. Pertimbangan keempat, tergugat menyatakan menerima dan membenarkan apa yang telah disampaikan oleh penggugat dan para saksi yang di hadirkan oleh penggugat, dan dalam hal ini tergugat tidak akan mengajukan saksi-saksi. Berdasarkan hal tersebut, majelis hakim menggunakan Pasal 174 HIR yang menerangkan bahwa pengakuan merupakan bukti sempurna terhadap yang melakukannya, maka sengketa diantara para pihak dianggap terbukti.8 Pertimbangan kelima, bahwa penggugat dan tergugat masing-masing menyampaikan kesimpulannya secara lisan. Penggugat dalam hal ini tetap teguh untuk bercerai dengan tergugat, dan tergugat pun bersedia untuk bercerai dengan tergugat.9 Pertimbangan keenam, majelis hakim menilai bahwa secara yuridis alasanalasan yang diajukan penggugat tersebut mengacu kepada Pasal 19 huruf (f) Peraturan pemerintah Nomor 9 Tahun 1975 jo. Pasal 116 huruf (f) Kompilasi Hukum Islam, yakni pertengkaran terus-menerus yang sulit untuk dapat dirukunkan. Majelis 8
Ibid.
9
Ibid.
58
hakim menambahkan bahwa pertengkaran tersebut dapat saja bersifat aktif yakni berbentuk percekcokan mulut dengan suara keras dan kasar antara keduanya, namun dapat pula pertengkaran pasif yang berbentuk saling diam tidak menegur sapa antara suami istri, atau perpisahan tempat tinggal yang cukup lama antara keduanya.10
D. Analisis Penulis Kasus yang diangkat penulis adalah masalah cerai gugat yang diajukan istri kepada institusi Pengadilan Agama Jakarta Timur yang menjadi kompetensi relatif Pengadilan Agama Jakarta Timur, karena memang istri selaku pihak penggugat bedomisili di wilayah Jakarta Timur. Institusi Peradilan Agama sebagai bagian dari sistem hukum nasional memiliki kontribusi penting dalam mempengaruhi dan membentuk praktik dan kebiasaan yang terjadi dalam hubungan hukum antara laki-laki dan perempuan. Hal ini karena hampir semua kompleksitas persoalan relasi antara laki-laki dengan perempuan sebagai sepasang suami istri adalah bagian pokok dari kompetensi peradilan agama.11 Perceraian merupakan perkara yang mendominasi ruang sidang Pengadilan Agama di Indonesia. Peraturan perundang-undangan menyebutkan bahwa perceraian hanya dapat dilakukan melalui Pengadilan Agama.12 10
Ibid.
11
Tim Penulis, Demi Keadilan dan Kesetaraan, h. 16
12
Ibid, h. 18
59
Penggugat mengajukan gugatan cerainya karena merasa sudah tidak mampu lagi melayani kebutuhan suaminya yang diakuinya berlebihan, terlebih karena hubungan yang berlebihan tersebut mengakibatkan rasa sakit pada organ kelaminnya. Dari hasil wawancara dengan penggugat didapatkan keterangan bahwa tampaknya tergugat tidak memahami dan mengerti tentang kondisi fisik penggugat yang memang sudah monopouse, yang menjadi fokusnya hanya bagaimana naluri seksualnya tersebut dapat terpenuhi setiap saat.13 Dalam pemeriksaan sidang penggugat dan tergugat hadir dipersidangan melalui panggilan secara sah dan patut serta sesuai dengan peraturan perundangundangan yang berlaku untuk menghadap ke persidangan.14 Berdasarkan keterangan saksi-saksi dari pihak penggugat yakni Haryanti binti Harun selaku sepupu dari penggugat dan Ahmad Nawawi bin H. Idrus Rusman selaku sopir pribadi tergugat di dapatkan keterangan bahwa memang konflik yang terjadi diantara keduanya karena penggugat sudah tidak mampu melayani kebutuhan biologis tergugat yang berlebihan. Pada dasarnya putusan di tuntut untuk menciptakan suatu keadilan, dan untuk itu hakim melakukan penilaian dan pemeriksaan terhadap pristiwa dan fakta-fakta. Hal ini dapat dilakukan lewat pembuktian, mengklasifikasikan antara yang penting dan yang tidak, dan menanyakan kembali kepada pihak lawan mengenai keterangan saksi dan fakta-fakta yang ada. Maka dalam putusan hakim, yang perlu diperhatikan 13
Wawancara dengan puhak penggugat
14
Pasal 122 HIR
60
adalah pertimbangan hukumnya,15 sehingga dapat dinilai apakah putusan yang dijatuhkan cukup memenuhi alasan yang objektif atau tidak.16 Acuan utama dalam membuat pertimbangan hukum adalah apa yang terjadi di persidangan serta ketentuan hukum yang berlaku di lingkungan peradilan. Putusanputusan hakim pada dasarnya tidak boleh melewati apa yang dimohon atau digugat.17 Pertimbangan hukum yang dibuat oleh majelis hakim adalah karena majelis hakim melihat bahwa antara penggugat dan tergugat sering terjadi percekcokan yang alasannya adalah karena penggugat sudah tidak mampu lagi melayani kebutuhan biologis suami yang berlebihan. Bukti-bukti yang dijadikan landasan hakim adalah keterangan-keterangan dari para saksi dari pihak penggugat yang memang menyatakan bahwa mereka memang mengetahui percekcokan antara keduanya yang disebabkan karena penggugat tidak mampu melayani kebutuhan biologis suami yang berlebihan, dan ditambah pengakuan dari tergugat yang membenarkan h tersebut. Majelis hakim kemudian mendasarkan hal tersebut kepada pasal 39 ayat (2) Undang-undang No. 1 Tahun 1974, pasal 19 huruf (f) Peraturan Pemerintah No. 9 Tahun 1975 dan pasal 116 huruf (f) Kompilasi Hukum Islam yang menerangkan bahwa salah satu alasan diperbolehkannya mengajukan perceraian adalah pertengkaran yang terus menerus yang sulit untuk dapat dirukunkan lagi.
15
Pertimbangan yang dimaksud adalah seorang hakim dalam pertimbangan hukum harus merujuk kepada perundang-undangan dan peraturan yang terkait dengan h itu. 16 17
R. Soeroso, Praktik Hukum Acara Perdata, set. VI, (Jakarta: Sinar Grafika, 2004), h.79.
Tim Penulis, Demi Keadilan dan Kesetaraan, h. 42
61
Majelis hakim pun menjelaskan yang dimaksud dalam kedua pasal tersebut adalah bukan semata-mata pertengkaran yang bersifat aktif saja, yaitu pertengkaran dengan suara kasar, keras antara penggugat dan tergugat, tetapi juga pertengkaran pasif yang berbentuk saling diam, tidak menegur sapa antara suami istri dan atau perpisahan tempat tidur yang cukup lama antara keduanya. Ditinjau dari hukum positif, putusan hakim terhadap perkara ini tidak keluar dari koridor hukum yang berlaku di Indonesia, khususnya yang menjadi rujukan hakim-hakim di Pengadilan Agama di Indonesia. Dalam hal ini majilis hakim sebelum menjatuhkan putusan telah melakukan upaya mediasi diantara kedua pasangan tersebut dengan tujuan supaya pasangan suami-istri ini dapat hidup rukun damai sesuai dengan tujuan perkawinan. Alasan ketidak mampuan istri dalam rangka memenuhi kebutuhan seks suami yang hiperseks tersebut bukanlah didasari hanya karena istri yang sudah manopouse sehingga hasrat seksualnya menjadi hilang atau berkurang. Sebuah mitos bahwa hasrat seks wanita berkurang setelah masa manopouse, sebaliknya, meski tidak lagi memiliki kemampuan melahirkan anak, kebutuhan kasih sayang dan ekspresi seksual masih berlanjut dan bahkan lebih tinggi karena ketakutan akan kehamilan tidak ada lagi. Perubahan pada wanita terutama pada organ intimnya yang diakibatkan karena perubahan usia adalah dinding-dinding menjadi lebih tipis dan kurang elastis. Pelumasan vagina lebih lamban dan volumenya lebih kecil. Dan karena vagina tidak melebar dengan cepat, hubungan seks bisa saja jadi menyakitkan.
62
Pasangan harus menyadari bahwa meskipun tubuhnya semakin lamban dalam memberi reaksi seksual dibandingkan sebelumnya, namun kebutuhan-kebutuhan untuk ekspresi seksual dan kenikmatan sensual masih besar. Respon-respon seksual memang berbeda bagi pasangan yang bernjak tua, tapi bukan semakin buruk. Pada kenyataannya, kebutuhan-kebutuhan akan intimasi, kehangatan, dan hubungan cinta masih tetap semarak dan meningkat seiring dengan pertambahan usia.18 Akan tetapi tergugat yang memang cendrung egois dan hanya mementingkan kepuasan pemenuhan hasrat seksualnya semata, tanpa memperhatikan dan memahami kondisi baik batin ataupun fisik istri. Terlebih dalam kesehariannya tergugat hanya memperhatikan masalah seks saja,
sehingga diakui oleh istri selaku penggugat
merasa tersakiti dengan hubungan seks yang diakuinya berlebihan tersebut. Kenikmatan hubungan seks bukan hanya hak laki-laki saja, tetapi perempuan juga mempunyai hak untuk menikmati seks saat berhubungan dengan suaminya. Ini menunjukan bahwa laki-laki dan perempuan mempunyai derajat yang sama. Berdasarkan kutipan wawancara dengan ketua majelis hakim yang menangani perkara ini, penulis dapat menyimpulkan bahwa sensititas gender hakim kurang dalam menangani masalah ini khususnya, dan perkara-perkara yang alasan perceraiannya adalah masalah seksual. Hal ini terlihat dari pendapat hakim yang mengatakan bahwa dalam Islam tidak mengenal adanya kekerasan seksual dalam rumah tangga, karena ketika menikah maka hubungan seksual menjadi halal, dan baru
18
Jennifer L. Floren, The Complete Sex Guide, (Jakarta: Prestasi Pustaka, 2007), h. 198
63
dikatakan kekerasan seksual ketika suami melakukan penganiyayaan fisik terhadap istri ketika akan melakukan hubungan seks. Hakim agama tidak hanya sekedar bertindak sebagai aparatur penegak hukum dan keadilan tetapi juga dapat menjadi agen perubahan hukum untuk mengatasi masalah-masalah diskriminasi gender di dalam lingkup domestik keluarga.19 Analisis gender dapat membantu hakim untuk memahami bahwa kekerasan berbasis prasangka gender meliputi berbagai jenis kekerasan mulai dari yang fisik sampai yang non fisik. Selama ini, hakim telah sangat memahami kekerasan fisik karena biasanya hal itu bisa dibuktikan oleh visum dokter atau ditunjukan bekasbekasnya di dalam persidangan. Namun dibutuhkan pemahaman lebih untuk mengerti kekerasan non fisik, seperti penghinaan, perendahan martabat, pengucapan kata-kata kasar, penelantaran, tidak diberi nafkah, pemaksaaan hubungan atau aktivitas seksual yang menyakiti, dan lain-lain yang tak meninggalkan jejak secara fisik. Pemahaman ini perlu untuk menyempurnakan pengetahuan mereka tentang syiqoq. Selama ini, para hakim memang mengenal syiqoq ini sebagai alasan terjadinya kekerasan, tetapi dalam konsep yang dipahaminya itu terkandung makna bahwa percekcokan itu sebagai kesalahan kedua belah pihak. Dengan analisis gender, mereka dapat menelusuri pangkal atau asal muasal percekcokan itu.20 Parameter gender yang digunakan itu adalah bagaimana hukum diputuskan tidak didasarkan kepada prasangka dan diskriminasi (stereotype), tidak berakibat 19
Ibid, h. 18
20
Ibid, h. 69
64
memiskinkan satu pihak (marjinalisasi), tidak memunculkan kekerasan baik fisik maupun non-fisik (kekerasan berbasis gender), tidak didasarkan kepada anggapan bahwa salah satu pihak memiliki kedudukanyang lebih rendah dihadapan Allah dan di antara sesama manusia (subordinasi).21
21
Ibid, h. 69
BAB V PENUTUP A. Kesimpulan Berdasarkan dari uraian diatas maka penulis dapat menarik beberapa kesimpulan menjadi beberapa bagian sebagai berikut: 1. Hakim dalam memutuskan perkara perceraian yang disebabkan prilaku hiperseksual memiliki beberapa pertimbangan, diantaranya adalah: a. Pertimbangan pertama adalah bahwa antara penggugat dan tergugat adalah pasangan suami istri yang sah hal ini dibuktikan dengan Akta Nikah No. 1396/29/X/2008, sehingga perkaranya dapat diputus di Pengadilan Agama. b. Pertimbangan kedua adalah antara penggugat dan tergugat sering terjadi selisih faham bahkan sering terjadi percekcokan yang alasannya disebabkan karena penggugat sudah tidak mampu memenuhi kebutuhan seks tergugat yang berlebihan, dan hal ini pun dibuktikan dengan pengakuan tergugat yang menurut Pasal 174 HIR sebuah pengakuan merupakan bukti yang semupurna dan dianggap telah terbukti. c. Pertimbangan ketiga bahwa secara yuridis alasan-alasan tersebut telah mengacu kepada Pasal 19 huruf (f) PP No. 9 Tahun 1975 tentang pelaksanaan Undang-undang No 1 tahun 1974 tentang perkawinan jo. Pasal 116 huruf (f) Kompilasi Hukum Islam.
65
66
2. Hakim mendasarkan putusan ini pada Pasal 19 huruf (f) PP No. 9 Tahun 1975 tentang pelaksanaan Undang-undang No 1 tahun 1974 tentang perkawinan jo. Pasal 116 huruf (f) Kompilasi Hukum Islam. Memang kedua pasal ini tidak menybutkan secara gamblang bahwa hiperseksual suami dalam rumah tangga dapat dijadikan alasan dalam perceraian. Akan tetapi, akibat dari hiperseksual suami tersebut menyebabkan ketidak harmonisan dalam membina rumah tangga sehingga menyebabkan cekcok yang terus menerus, syiqoq. Dan syiqoq inilah yang menjadi penekanan majelis hakim dalam memutuskan perkara tersebut. Dan kedua pasal tersebut sudah cukup untuk memutus cerai hubungan suami istri, walaupun masih tampak ketidak sensitivan gender majelis hakim dalam membuat putusan ini. 3. Indikasi dari hiperseksual tergugat berdasarkan keterangan penggugat adalah intensitas hubungan seks yang berlebihan sehingga membuat istri merasa tersakiti dengan hubungan seks tersebut, serta tidak pernah merasa puas dengan hubungan seks yang dijalaninya walaupun dengan intensitas yang berlebih. Serta yang ada difikirannya hanyalah seks semata, dan bagaimana memuaskannya.
B. Saran 1. Pembahasan masalah seksual, khususnya hiperseksual hendaknya diajarkan di sekolah-sekolah, baik pada tingkat SMP/MTS ataupun SMA/MA. Selain itu, para ulama, da’i, dan khatib pun hendaknya menyampaikan hukum masalah
67
seksual kepada masyarakat dalam kuliah keagamaan dan ceramah agar masalah yang masih dianggap tabu dan sensitif ini dapat diketahui dengan jelas dan baik. 2. Bagi pasangan suami istri, hendaknya memahami secara benar makna, tujuan, dan hikmah pernikahan yang akan mereka jalani. Dalam sebuah pernikahan harus memiliki tujuan hidup. Oleh karenanya, kepada para pasangan agar betul-betul mengenal satu sama lain, secara fisik maupun non fisik sebelum menikah ataupun setelah menikah. Karena ini dapat menumbuhkan rasa cinta, saling menerima kelebihan dan kekurangan satu sama lainnnya, serta dapat menciptakan keluarga yang harmonis dan bahagia. 3. Kecerdasan seksual harus dimiliki oleh setiap pasangan suami istri, karena masalah pemenuhan kebutuhan seksual merupakan sesuatu yang urgent dalam kehidupan rumah tangga. Siklus seksual pun harus mutlak diketahui oleh para pasangan suami istri, serta diperlukan saling mengerti dan memahami satu sama lainnya. 4. Kepada Pengadilan Agama agar lebih aktif lagi mentelusuri dan menggali hukum-hukum yang hidup dalam masyarakat. Serta lebih peka terhadap sensititas gender, karena dengan begitu maka para hakim akan dapat mewujudkan keadilan yang berbasis sensitivitas gender.
68
DAFTAR PUSTAKA
Al-Quranul Karim dan Terjemahannya, Departement Agama RI Abdurrahman, Kompilasi Hukum Islam di Indonesia, Jakarta: CV Akademika Pressindo, 1992 Arsip Pengadilan Agama Jakarta Timur, Putusan No: 630 /Pdt. G/2009/PA.JT Abdul ‘Aal, Khalid As-Sayyid, Seni Menumbuhkan Cinta, Solo, Ziyad Visi Media, 2006 Athar, Sahid, Bimbingan Seks Bagi Kaum Muda Muslimin, Jakarta: Pustaka Zahra, 2004 Arto, Mukti, Praktek Perkara Perdata Pada Pengadilan Agama, Jakarta: Pustaka Pelajar, 2005 As-Sayyid Nada, Abdul Aziz bin Fathi, Ensiklopedi Etika Islam, Jakarta: Maghfirah Pustaka, 2008 Bouddiba, Abdul Wahab, Sexuality In Islam, terjemahan Fauzi Abbas, Yogyakarta: Alinea, 2004 Chaplin, JP, Kamus Lengkap Biologi, terjemahan. Kartini Kartono, Jakarta: PT Raja Grafindo Perasada, 2004
69
DEPAG RI, UU No. 1 Tahun 1974 dan Pedoman Akad Nikah, Jakarta: DEPAG RI, 2006 Dwiyanto, dkk, Seksualitas, Kesehatan Reproduksi dan Ketimpangan Jender Jakarta: Pustaka Sinar Harapan, 1996 Dzuhayatin, Siti Ruhaini, Rekontruksi Metodologis Wacana Kesetaraan Gender dalam Islam, Yogyakarta: PSW IAIN Sunan Kalijaga, 2002) Depertemen Pendiidikan Nasional Pusat Bahasa, kamus besar bahasa indonesia, Jakarta: Balai Pustaka, 2007 Efendi, Satria, Problematika Hukum Keluarga Islam Kontemporer, Jakarta: Kencana, 2004 Floren, L Jennifer , The Complete Sex Guide, Jakarta: Prestasi Pustaka, 2007 Hathout, Hasan, Panduan Seks Islami, Jakarta: Zahra, 2007 Hasibuan, Fauzie Yusuf, Hukum Acara Perdata, Jakarta: Yayasan Pustaka Hukum Indonesia, 2006 Irianto, Sulistyowati, Menuju Hukum Yang Berperspektif Kesetaraan dan Keadilan, Jakarta: Yayasan Obor Indonesia, 2006 Indra, Hasbi, dkk, Potret Wanita Shalehah, Jakarta: Penamadani, 2004 Kurtubi, Mashuri, Menikah Itu Indah, Jakarta: Insan Madani, 2007 Kurtubi, Mashuri, Baiti Jannati, Jakarta: Yayasan Fajar Islam Indonesia, 2007
70
Kamil, Faizal, Asas Hukum Acara Perdata, Jakarta: Badan Penerbit Iblam, 2005 Killingstome, Patrick, Sex And Love Guide To Teeagers, Jakarta: Prestasi Pustaka, 2008 Low, Lyne, Memahami Seks, Jakarta: Gaya Favorit Press, 2006 Laporan Pengadilan Agama Jakarta Timur Tahun 2009 Muttaqien, Dadang, dkk, Peradilan Agama Dan Kompilasi Hukum Islam Dalam Tata Hukum Indonesia, Yogyakarta: UI Press, 1999 Syahab, Marzuki Umar Seks & Kita, Jakarta: Gema Insani, 1998 Soeroso, R, Praktik Hukum Acara Perdata, Jakarta: Sinar Grafika, 2004 Tim Penulis, Demi Keadilan dan Kesetaraan, Jakarta: PUSKUMHAM UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, 2009 Tim Penulis Fakultas Syariah dan Hukum, Peduman Penulisan Skripsi, cet.I, Jakarta: Fakultas Syariah dan Hukum Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta, 2007 Umar, Nasruddin, Argument Kesetaraan Gender: Perspektif Al-Quran, Jakarta: Paramadina, 2001 Wiramiharja, Sutarto, Psikologi Abnormal, Bandung: Refika Aditama, 2005 Wawancara Pribadi dengan Pengggugat, Rabu, 5 Januari 2011 Wawancara Pribadi dengan Abdillah, Kamis, 20 Januari 2011
71
Lampiran 1 PEDOMAN WAWANCARA
1. Apa pandangan bapak tentang bias gender yang terjadi dalam rumah tangga? 2. Apa pandangan bapak tentang kasus perceraian yang alasannya adalah masalah seksual khususnya hiperseksual? 3. Menurut pandangan bapak secara pribadi, apakah kekerasan seksual yang dilakukan suami terhadap istrinya merupakan sebuah pemerkosaan dalam rumah tangga, atau dikenal dengan istilah “marital rape”? 4. Dalam perkara dengan putusan No. 630/Pdt.G/2009/PA.JT, selain istri yang tidak mampu lagi melayani kebutuhan suami yang berlebihan, apakah ada hal lain yang menyertai sehingga istri mengajukan gugatan cerai? 5. Dalam memutus perkara dengan putusan No. 630/Pdt.G/2009/PA.JT, apa pertimbangan dan landasan hukum yang diambil majelis hakim? 6. Apakah dalam pemeriksaan perkara tersebut, istri selaku penggugat merasa tersiksa secara fisik maupun batin akibat perbuatan suaminya yang diakuinya dalam berhubungan badan berlebihan? 7. Apakah faktor psikologi menjadi pertimbangan dalam membuat suatu keputusan? 8. Apakah menurut bapak, prilaku hiperseksual suami terhadap istrinya yang monopouse tersebut adalah sebuah kekerasan seksual?
72
Lampiran 2 HASIL WAWANCARA
Hari/Tanggal
: Kamis, 20 Januari 2011
Waktu
: 09.00 WIB
Tempat
: Ruang Mediasi Pengadilan Agama Jakarta Timur
Nama Responden
: H. Abdillah, SH
Jabatan
: Hakim Pengadilan Agama Jakarta Timur.
1. Apa pandangan bapak tentang bias gender yang terjadi dalam rumah tangga? Masalah bias gender dalam rumah tangga dan sering saya dapatkan dan tangani selama menjabat menjadi hakim adalah masalah ekonomi dan perselingkuhan. Factor dominan suami dalam hal materi membuat istri merasa tidak mendapatkan haknya, factor dominan kekuasaan suami dalam rumah tangga juga yang membuat suami melakukan perselingkuhan dengan wanita lain. Hal tersebut yang sering saya temui perkaranya, selain masalah-masalah lain seperti halnya kekerasan yang di lakukan suami terhadap istri (KDRT).
2. Apa pandangan bapak tentang kasus perceraian yang alasannya adalah masalah seksual khususnya hiperseksual? Dalam masalah perceraian dengan alasan seksual sulit untuk terungkap dan di buktikan, kecuali apabila para pihak mengakui tentang hal tersebut, karena
73
pembuktian seperti dalam HIR pasal 174 yang menyebutkan bahwa pengakuan merupakan bukti sempurna terhadap yang melakukannya. Apabila tidak ada pengakuan dari para pihak, maka harus dibuktikan dengan mendatangkan saksi ahli atau surat keterangan resmi dari ahlinya.
3. Menurut pandangan bapak secara pribadi, apakah kekerasan seksual yang dilakukan suami terhadap istrinya merupakan sebuah pemerkosaan dalam rumah tangga, atau dikenal dengan istilah “marital rape”? Tidak, dalam Islam tidak mengenal itilah pemerkosaan dalam rumah tangga, ataupun kekerasan seksual dalam rumah tangga, karena ketika mereka telah menjadi suami istri,maka halal untuk melakukan hubungan badan. Istilah marital rape tersebut merupakan istilah yang berasal dari barat dan bukan berasal dari hukum Islam.
4. Dalam pemeriksaan perkara dengan putusan No. 630/Pdt.G/2009/PA.JT, selain istri yang tidak mampu lagi melayani kebutuhan suami yang berlebihan, apakah ada hal lain yang menyertai sehingga istri mengajukan gugatan cerai? Seperti yang ada dalam putusan tersebut, bahwa alasan utama dari istri mengajukan gugatan cerai adalah karena istri yang mengaku sudah monopouse tidak kuat lagi melayani kebutuhan seksual suaminya, akan tetapi tidak disebutkan intensitas suaminya melakukan hubungan seksual tersebut, yang pasti istri mengaku bahwa istri merasa sakit ketika berhubungan, hal itu pun kemudian
74
diakui oleh suaminya, dan dari situ mulai timbul percekcokan dan ketidak pahaman antara masing-masing sehingga akhirnya istri mengajukan cerai, para saksi yang dihadirkan oleh para pihak pun menerangkan bahwa masalah percekcokan tersebut diakibatkan karena masalah seksual, yakni istri yang sudah tidak mampu memenuhi kebutuhan seksual suaminya yang berlebihan.
5. Dalam memutus perkara dengan putusan No. 630/Pdt.G/2009/PA.JT, apa pertimbangan dan landasan hukum yang diambil majelis hakim? Hal itu dapat dilihat pada putusan, akan tetapi yang saya ingin tegaskan bahwa karena masalah seksual tidak menjadi alasan pengajuan perceraian seperti yang terdapat dalam pasal 19 PP No. 9 Tahun 1975 dan KHI sebagai landasan hukum, maka yang ditekankan adalah masalah percekcokan yang terjadi antara keduanya, yang alasannya memang disebabkan karena masalah seksual tersebut
6. Apakah dalam pemeriksaan perkara tersebut, istri selaku penggugat merasa tersiksa secara fisik maupun batin akibat perbuatan suaminya yang diakuinya dalam berhubungan badan berlebihan? Dalam pemeriksaan persidangan, istri mengaku mengalami rasa sakit pada organ vitalnya karena hubungan yang berlebihan, di tambah si istri telah manopouse, hal itupun diperkuat dengan pengakuan dari suami. Akan tetapi dalam hal siksaan batin, istri tidak menjelaskan apakah dia mengalami siksaan batin atau tidak dan hal tersebut tidak terbukti di dalam persidangan.
75
7. Apakah faktor psikologi menjadi pertimbangan dalam membuat suatu keputusan? Untuk pertimbangan yang menggunakan factor psikologis hanyalah dalam masalah hak pemeliharaan saja (Hadhanah), karena yang terpenting dalam masalah tersebut adalah kemaslahatan si anak tersebut. Proses dalam pengambilan keteranganpun harus memperhatikan psikologi anak, dengan para hakim mencopot baju toga dan menyuruh kedua orangtuanya untuk keluar dari ruang siding terlebih dahulu, baru hakim menanyakan keinginan si anak kepada siapa ia ingin diasuh. Akan tetapi, dalam masalah lain, seperti perceraian, yang digunakan adalah konsiderans hukum yang berlaku.
8. Apakah menurut bapak, prilaku hiperseksual suami terhadap istrinya yang monopouse tersebut adalah sebuah kekerasan seksual? Saya rasa kalau untuk disebut sebagai kekerasan seksual itu tidak, karena seperti yang saya jelaskan sebelumnya, bahwa untuk dikategorikan sebagai kekerasan seksual harus terdapat unsur penyiksaan, dan menimbulkan luka, serta berdasarkan paksaan, sedangkan dalam kasus tersebut istri memang mengaku merasakan sakit ketika berhubungan dengan suaminya yang dikarenakan dia sudah manopouse, akan tetapi dalam perkara tersebut tidak terbukti unsur penyiksaan, pelukaan, ataupun pemaksaan.
76
Lampiran 3 HASIL WAWANCARA DENGAN PIHAK PENGGUGAT Nama
: Muhaya binti H. Muji
Pekerjaan : Ibu Rumah Tangga Alamat
: Jl. Kayu Manis No. 22, Rt. 06, Rw 03, kelurahan Balekambang, Kecamatan Kramat Jati, Jakarta Timur
Waktu
: Rabu, 5 Januari 2011
1. Apa yang melatar belakangi ibu menikah dengan mantan suami ibu? Saya memang kenal dengan penggugat karena masih dalam satu lingkungan, kemudian dia juga seorang ustadz disini. Setelah istrinya (Hj. Nani) meninggal, saya ada yang memberitahu dan mendekat-dekatkan saya dengan dia berdasarkan perintah dari dia (mantan suaminya) untuk menjadi istrinya karena pada saat itu saya juga sudah tidak bersuami lagi, jadi sama-sama janda dan duda. Nah karena sama-sama janda dan duda, lalu karena saya juga tidak mempunyai anak untuk nanggung hidup saya, dan dia juga seorang ustadz jadi saya menerima untuk menikah dengan dia.
2. Apakah ibu sebelumnya mengetahui bagaimana keadaan/prilaku mantan suami ibu sebelum kemudian menikah dengan dia?
77
Kalau yang saya tahu dan sudah menjadi rahasia umum, dia hanya pelit dalam masalah keuangan walaupun dia punya kontrakan banyak, selain itu saya tidak banyak tahu.
3. Apa hal-hal yang melatarbelakangi ibu kemudian mengajukan gugatan cerai kepada mantan suami ibu? Saya sudah tidak kuat kalo melayani kebutuhan badannya yang terus-terusan (berlebihan), kemudian juga dalam memberikan nafkah belanja, walaupun dia termasuk orang kaya tapi untuk memberikan nafkah susah mengeluarkannya, bahkan sering saya harus makai uang sendiri kalo mau belanja kebutuhan hidup. Nah, karena begitu jadi sering rebut.
4. Bagaimana hubungan komunikasi ibu dengan mantan suami ibu? Kalau komunikasi tentang keluhan-keluhan dan hal-hal dalam rumah tangga sering di komunikasikan, tapi suami saya susah dibilangin dan tidak mau mengerti, jadi kadang solusinya tidak pernah ketemu.
5. Apakah ibu sudah berupaya untuk mencari solusi dalam masalah rumah tangga ibu terlebih dahulu sebelum kemudian memutuskan untuk ke Pengadilan? Ya, saya sering bicarakan dengan suami saya tentang keluhan-keluhan saya berumah tangga dengan dia, kemudian saya juga konsultasi ke penghulu (Pejabat KUA) tentang masalah saya, dia pun sudah di datangi, diberitahukan apa keluhan-
78
keluhan saya, dan dinasehati oleh pak penghulu, tapi hal itu tidak dihiraukan oleh suami saya.
6. Apakah ibu merasa tersakiti dengan prilaku/apa yang dilakukan mantan suami ibu, khususnya masalah pemenuhan kebutuhan biologis? Ya, karena saya sudah tidak haid (monopouse) jadi ga ada jeda buat saya untuk tidak melayani kebutuhan badan suami saya, fisik saya juga sudah tidak kuat kalau harus terus-terusan dan berlebihan seperti itu.
7. Bagaimana prilaku mantan suami ibu dalam hal pemenuhan kebutuhan biologis? Kalau hubungan badan terus-terusan dalam sehari, jadi ga ada puasnya. Kemudian juga hampir tiap waktu organ vital saya (payudara) di mainkan terus.
8. Bagaimana menurut ibu tentang keputusan hakim dalam perkara perceraian ibu? Apakah ibu merasa adil dengan putusan tersebut? Ya, saya merasa sudah cukup adil karena yang penting saya bisa bercerai dengan suami saya.
DAFTAR PUSTAKA
Al-Quranul Karim dan Terjemahannya, Departement Agama RI Abdurrahman, Kompilasi Hukum Islam di Indonesia, Jakarta: CV Akademika Pressindo, 1992 Arsip Pengadilan Agama Jakarta Timur, Putusan No: 630 /Pdt. G/2009/PA.JT DEPAG RI, UU No. 1 Tahun 1974 dan Pedoman Akad Nikah, Jakarta: DEPAG RI, 2006 Kurtubi, Mashuri, Menikah Itu Indah, Jakarta: Insan Madani, 2007 Kurtubi, Mashuri, Baiti Jannati, Jakarta: Yayasan Fajar Islam Indonesia, 2007 Efendi, Satria, Problematika Hukum Keluarga Islam Kontemporer, Jakarta: Kencana, 2004 Dwiyanto, dkk, Seksualitas, Kesehatan Reproduksi dan Ketimpangan Jender Jakarta: Pustaka Sinar Harapan, 1996 Dzuhayatin, Siti Ruhaini, Rekontruksi Metodologis Wacana Kesetaraan Gender dalam Islam, Yogyakarta: PSW IAIN Sunan Kalijaga, 2002) Indra, Hasbi, dkk, Potret Wanita Shalehah, Jakarta: Penamadani, 2004 Umar, Nasruddin, Argument Kesetaraan Gender: Perspektif Al-Quran, Jakarta: Paramadina, 2001 Tim Penulis, Demi Keadilan dan Kesetaraan, Jakarta: PUSKUMHAM UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, 2009 Floren, L Jennifer , The Complete Sex Guide, Jakarta: Prestasi Pustaka, 2007
Irianto, Sulistyowati, Menuju Hukum Yang Berperspektif Kesetaraan dan Keadilan, Jakarta: Yayasan Obor Indonesia, 2006 Depertemen Pendiidikan Nasional Pusat Bahasa, kamus besar bahasa indonesia, Jakarta: Balai Pustaka, 2007 As-Sayyid Nada, Abdul Aziz bin Fathi, Ensiklopedi Etika Islam, Jakarta: Maghfirah Pustaka, 2008 Bouddiba, Abdul Wahab, Sexuality In Islam, terjemahan Fauzi Abbas, Yogyakarta: Alinea, 2004 Abdul ‘Aal, Khalid As-Sayyid, Seni Menumbuhkan Cinta, Solo, Ziyad Visi Media, 2006 Syahab, Marzuki Umar Seks & Kita, Jakarta: Gema Insani, 1998 Athar, Sahid, Bimbingan Seks Bagi Kaum Muda Muslimin, Jakarta: Pustaka Zahra, 2004 Chaplin, JP, Kamus Lengkap Biologi, terjemahan. Kartini Kartono, Jakarta: PT Raja Grafindo Perasada, 2004 Muttaqien, Dadang, dkk, Peradilan Agama Dan Kompilasi Hukum Islam Dalam Tata Hukum Indonesia, Yogyakarta: UI Press, 1999 Laporan Pengadilan Agama Jakarta Timur Tahun 2009 Soeroso, R, Praktik Hukum Acara Perdata, Jakarta: Sinar Grafika, 2004 Arto, Mukti, Praktek Perkara Perdata Pada Pengadilan Agama, Jakarta: Pustaka Pelajar, 2005 Hasibuan, Fauzie Yusuf, Hukum Acara Perdata, Jakarta: Yayasan Pustaka Hukum Indonesia, 2006
Tim Penulis Fakultas Syariah dan Hukum, Peduman Penulisan Skripsi, cet.I, Jakarta: Fakultas Syariah dan Hukum Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta, 2007 Kamil, Faizal, Asas Hukum Acara Perdata, Jakarta: Badan Penerbit Iblam, 2005 Killingstome, Patrick, Sex And Love Guide To Teeagers,
Jakarta: Prestasi
Pustaka, 2008 Low, Lyne, Memahami Seks, Jakarta: Gaya Favorit Press, 2006 Wiramiharja, Sutarto, Psikologi Abnormal, Bandung: Refika Aditama, 2005 Hathout, Hasan, Panduan Seks Islami, Jakarta: Zahra, 2007 Wawancara Pribadi dengan Pengggugat, Rabu, 5 Januari 2011 Wawancara Pribadi dengan Abdillah, Kamis, 20 Januari 2011