GUGAT REKONPENSI DALAM SENGKETA CERAI GUGAT DAN IMPLIKASINYA TERHADAP HAK HADHANAH DI PENGADILAN AGAMA
( Studi Analisis Perkara No. 078/Pdt. G/2007/PA. Jakarta Pusat)
Skripsi Ditujukan untuk Memenuhi Persyaratan Memperoleh Gelar Sarjana Hukum Islam (SHI)
Oleh :
Rizal Purnomo 104044201485
KONSENTRASI ADMINISTRASI KEPERDATAAN ISLAM PROGRAM STUDI AHWAL AL-SYAKHSHIYYAH FAKULTAS SYARIAH DAN HUKUM UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA 1429 H / 2008 M
GUGAT REKONPENSI DALAM SENGKETA CERAI GUGAT DAN IMPLIKASINYA TERHADAP HAK HADHANAH DI PENGADILAN AGAMA
( Studi Analisis Perkara No. 078/Pdt. G/2007/PA. Jakarta-Pusat) Skripsi Diajukan Kepada Fakultas Syariah dan Hukum Untuk Memenuhi Persyaratan Memperoleh Gelar Sarjana Hukum Islam (SHI)
Oleh: RIZAL PURNOMO NIM. 104044201485
Dalam Bimbingan Pembimbing
KAMARUSDIANA, S.Ag., M.H NIP.150 285 972
KONSENTRASI ADMINISTRASI KEPERDATAAN ISLAM PROGRAM STUDI AHWAL AL- SYAKHSHIYYAH FAKULTAS SYARIAH DAN HUKUM UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA 1429 H / 2008 M
ِِْ ِِْ اِ ا ْ َِ ا KATA PENGANTAR Segala puji syukur kehadirat Allah SWT yang telah memberikan nikmat tak terhingga kepada setiap makhluk-Nya sehingga kita tidak dapat menghitungnya dengan alat modern sekalipun. Saya selalu berharap pada Ridha dan keberkahan-Nya, semoga dapat menjadi insan yang bermanfaat baik di dunia maupun di akhirat. Amiin. Shalawat serta salam senantiasa kita limpahkan kepada junjungan Nabi besar Muhammad SAW yang telah memberikan Nur pada umat di dunia dengan menghadirkan Agama yang diridhai oleh Allah SWT yakni Islam, semoga kita mendapatkan syafa'atnya di hari kiamat nanti. Amiin. Sungguh sangat anugerah tersendiri bagi diri saya pribadi akhirnya dapat menempuh perjalanan menyelesaikan skripsi ini, bukan sebuah halangan untuk berhenti di tengah jalan namun sebuah tantangan yang cukup merepotkan alhasil dapat diraih. Menggores hitam diatas putih ini menjadi mempunyai makna untuk kehidupan melalui fenomena yang terjadi dalam isi skripsi ini. Dan selesainya penulisan skripsi ini sesungguhnya tidak terlepas dari bantuan, motivasi serta bimbingan dari berbagai pihak yang telah membantu dan ikut berpartisipasi dalam membantu Penulis menyelesaikan skripsi ini, ucapan terima kasih Penulis haturkan kapada: 1. Bapak Prof. Dr. H. Muhammad Amin Suma, SH. MA. MM., Dekan Fakultas Syariah dan Hukum Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta. 2. Bapak Drs. H. A. Basiq Djalil, SH. MA., Ketua Program Studi Ahwal AlSyakhshiyyah
3. Bapak Kamarusdiana S.Ag. MH., Sekretaris Program Studi Ahwal AlSyakhshiyyah. 4. Bapak Kamarusdiana S.Ag. MH., Dosen pembimbing yang telah banyak meluangkan waktunya, membimbing, dan mengoreksi serta memotivasi Penulis hingga selesainya penulisan skripsi ini. 5. Segenap staf dan karyawan perpustakaan Fakultas Syariah dan Hukum dan Perpustakaan Utama Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta. Atas tersedianya buku-buku yang sangat membantu Penulis dalam penyusunan skripsi ini. 6. Segenap staf dan karyawan Akademik Fakultas Syariah dan Hukum dan Akademik Pusat Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta. 7. Ananda haturkan terima kasih dan penghormatan yang setinggi-tingginya untuk kedua orang tua, yakni : Ayahanda tercinta Bapak Kasro (Alm) dan ibunda tercinta Ibu Faridah karena berkat do’a, motivasi, kasih sayang, perhatian, dan bantuan (moril, materil, dan spiritual) yang beliau berikan dengan tulus, sehingga dapat menyelesaikan studi ini dengan lancar. Do’akan ananda semoga kelak menjadi orang sukses dunia dan akhirat serta dapat membahagiakan ibunda dan mengharumkan nama ayahanda. 8. Ananda haturkan juga kepada kakak-kakanda tercinta : Mba Nur Aini sekeluarga, Mas Ali sekeluarga, Mba Sondari sekeluarga, Mas Saeful Anwar S.E.A. Mas Mustofa S.E, dan kakak-kakanda lain yang tak mungkin disebutkan satu persatu, semoga sukses selalu yang senantiasa menemani perjalanan hidup menjadi berarti
dan mengharmoniskan suasana keluarga yang sakhina, mawaddah, warrahma meski di tanah perantauan. 9. Lembaga Pengadilan Agama Jakarta Pusat dengan segenap staf dan karyawan yang turut membantu pencarian dan telah memberikan data-data yang diperlukan oleh Penulis sehingga sangat membantu selesainya penulisan skripsi ini. 10. Sohib-sohib Administrasi Keperdataan Islam Angkatan Tahun 2004 dalam My Tim KKS 07, yakni : Yanto K, A. Zarkasy, Adnan Y, Taufik J, M. Ridwan, Mara SR, M. Topik, M. Zam-2, Taufik A, dan Boy yang telah mengisi agenda pengabdian masyarakat Bangbayang kidul dengan penuh keikhlasan dalam menjalankan misi sosial kemanusiaan selama satu bulan penuh di Ciamis serta sohib- sohib kelas, Dede S, A. Barri, Lilis, Hj. Hana, Ade P, Dia, Yuli, Atin, serta sohib-sohib alumni MAN 3 SKA Kaliwungu Angkatan Tahun 2003, tidak ketinggalan pula sohib-sohib IMT (Ikatan Mahasiswa Tegal) Mas shobirin, Gus Aqib, Rizqi, saeful kuadrat, Latif, Indah, zee, yang tidak mungkin untuk disebutkan satu persatu, semoga kita bisa tetap bersilaturrahim dan bisa menjaga persahabatan ini. Semoga kelak kita semua bisa menjadi orang yang sukses. Amiin. 11. Haturkan terima kasih kepada K.H. Nidhomuddin Al-Asror Sekelurga Pimpinan Pondok Pesantren Ta’limul Qur’an Al-Asror, yang telah memberikan segudang ilmu agama yang tanpa henti-henti selalu mendoakan anak didiknya agar menjadi insan kamil. Amiin. 12. Semua pihak yang telah memberikan bantuan dengan sukarela dalam penyusunan skripsi ini.
Demikian ucapan terima kasih Penulis ucapkan yang setinggi-tingginya yang mengingatkan saya pada sebuah Hadits Nabi Muhammad SAW berbunyi: ”Khoirunnas
Anfa’ahum
Linnas”
Artinya:
”Sebaik-baiknya
manusia
bisa
memberikan manfaat kepada manusia lain” dapat disimpulkan memiliki tiga unsur manfaat dalam diri manusia, Pertama. Bila ada Ilmu diamalkan; Kedua, Bila ada Hartanya disedekahkan; dan Ketiga, Bila ada Tenaganya kerjakan. Jika dalam diri manusia memiliki tiga manfaat itu adalah manusia yang sempurna di mata Allah SWT. Semoga skripsi ini dapat membantu serta dapat memberikan pengetahuan kepada semua pihak.
Jakarta, 17 Ramadhan 1429 H 17 September 2008 M
Penulis
DAFTAR ISI KATA PENGANTAR.......................................................................................... iii DAFTAR ISI ........................................................................................................ vii BAB I
PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah ............................................................
1
B. Pembatasan dan Perumusan Masalah ......................................... 10 C. Tujuan dan Manfaat Penelitian................................................... 11 D. Metode Penelitian...................................................................... 12 E. Sistematika Penulisan ................................................................ 13 BAB II
TINJAUAN UMUM TENTANG PERCERAIAN A. Pengertian Perceraian dan Dasar Hukumnya ............................. 15 B. Sebab-sebab Perceraian............................................................. 18 C. Macam-macam Perceraian ....................................................... 20 D. Akibat Perceraian...................................................................... 27 E. Tata Cara Perceraian dan Persyaratan Administratif .................. 30
BAB III
TINJAUAN TEORITIS TENTANG HADHANAH A. Pengertian Hadhanah Secara Umum .......................................... 36 1. Hadhanah Menurut Hukum Islam ........................................ 38 2. Hadhanah Menurut UU No.1 Tahun 1974 ........................... 39 3. Hadhanah Menurut KHI ...................................................... 41 B. Syarat-syarat Hadhanah ............................................................ 45 C. Hak Pemeliharaan Anak (Hadhanah).......................................... 48
D. Masa Pemeliharaan Anak (Hadhanah) dan Biaya Hadhanah ....... 48 BAB IV
PUTUSAN PERKARA NO.78/PDT.G/2007/PA. JAKARTA PUSAT DALAM CERAI GUGAT REKONPENSI DENGAN HAK HADHANAH A. Pengertian, Syarat, dan Larangan Gugat Rekonpensi ................. 52 B. Cara Mengajukan Gugatan Rekonpensi ..................................... 63 C. Kronologis Perkara.................................................................... 65 D. Pertimbangan dan Putusan Hakim.............................................. 73 E. Analisis Penulis.......................................................................... 80
BAB V
PENUTUP A. Kesimpulan ............................................................................... 85 B. Saran......................................................................................... 86
DAFTAR PUSTAKA ............................................................................................. 87 LAMPIRAN............................................................................................................. 90
PENGESAHAN PANITIA UJIAN
Skripsi berjudul GUGAT REKONPENSI DALAM SENGKETA CERAI GUGAT DAN IMPLIKASINYA TERHADAP HAK HADHANAH DI PENGADILAN AGAMA ( STUDI ANALISIS PERKARA NO.078/PDT.G/2007/PA. JAKARTA PUSAT) telah di ujikan dalam Sidang Munaqasyah Fakultas Syariah dan Hukum Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta pada tanggal 17 September 2008. Skripsi ini telah diterima sebagai salah satu syarat memperoleh gelar Sarjana Hukum Islam pada Program Studi Ahwal Al-Syakhshiyyah (Administrasi Keperdataan Islam). Jakarta, 17 September 2008 Mengesahkan, Dekan Fakultas Syariah dan Hukum
Prof. DR. H. Muhammad Amin Suma, SH, MA, MM NIP. 150 210 422
PANITIA UJIAN
1. Ketua
: Drs. H. Basiq Djalil, SH, MA NIP.150 169 102
(............................)
2. Sekretaris
: Kamarusdiana, SH, M.Ag NIP.150 285 972
(............................)
3. Pembimbing
: Kamarusdiana, SH, M.Ag NIP.150 285 972
(............................)
4. Penguji I
: DR. KH. A. Juaini Syukri, LC, MA NIP.150 256 969
(............................)
5. Penguji II
: Drs. H. Asep Syarifuddin Hidayat, SH, MH (............................) NIP.150 268 783
LEMBAR PERNYATAAN
Dengan ini saya menyatakan bahwa : 1. Skripsi ini merupakan hasil karya asli saya yang diajukan untuk memenuhi salah satu persyaratan memperoleh gelar Strata I di Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta. 2. Semua sumber yang saya gunaakan dalam penulisan ini telah saya cantumkan sesuai dengan ketentuan yan berlaku di Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta. 3. Jika di kemudian hari terbukti bahwa karya ini bukan hasil asli karya saya atau merupakan hasil jiplakan dari karya orang lain, maka saya bersedia menerima sanksi yang berlaku di Universitas Islam Negeri Syarif (UIN) Hidayatullah Jakarta.
Jakarta, 17 September 2008
Rizal Purnomo
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Setiap manusia ingin menciptakan sebuah kedamaian satu sama lain di kehidupannya. Dengan berbagai cara untuk mendapatkan kebahagiaan melalui kedamaian tersebut, tentulah dengan membangun rasa hormat dan kasih sayang terhadap sesama mahluk ciptaan Allah SWT. Misalnya dengan membentuk masyarakat kecil melalui sebuah perkawinan yang ujungnya akan terlahir kedamaian dan kebahagiaan bila saling menaruh nilai-nilai rasa kasih dan sayang dalam mengarungi kehidupan bahtera rumah tangga, baik suka dan dukanya diterima dengan lapang dada yang mungkin ujian dan cobaan merupakan sebuah kodrat bagi makhluk-Nya, demi untuk menciptakan keluarga yang sakinah, mawaddah, warrahmah. Maka masalah-masalah apapun dapat terselesaikan dengan baik. Namun tidaklah mudah mewujudkan kedamaiaan dan keharmonisan melalui perkawinan bila terus di dasari dengan nafsu amarah dan emosi yang berlebihan yang dapat menggoyahkan mahligai perkawinan dalam rumah tangga. Itu sebabnya tidak menutup kemungkinan perselisihan dan persengketaan yang terlalu lama tanpa adanya upaya kedamaian dan solusi untuk menyatukan maka perceraianlah yang menjadi ujung solusi baginya. Meski perceraian merupakan satu-satunya jalan sebagai pemisah antara mereka. Setiap usaha untuk merusak hubungan perkawinan dan melemahkan adalah yang dibenci Islam, karena
merupakan merusak sendi-sendi kebaikan dan menghilangkan kemaslahatan antara suami isteri.1
َِ"ل#ُ ا$َ%ْ َ ا:ََْ اَ ِ َُرََِ اُ ََُْ َِ اَِّ َ ََ ْ ِ وَ ََْ َ ل 2
( ##آ ؤ#داؤدؤا/ ا0 ؤَ)َ( اَ'"قُ )رؤا+َ َاَِ ا
Artinya: Dari Ibnu Umar, bahwa Rasulullah SAW bersabda: " Perbuatan halal yang sangat di benci Allah Azza Wajalla ialah talak ".(HR. Abu Dawud dan Hakim dan yang mengesyahkannya) Pertengkaran dan perselisihan terus-menerus dalam suatu rumah tangga tidaklah selalu digambarkan adanya pertengkaran secara fisik maupun melalui kata-kata yang tidak senonoh ataupun mengucapkan kata talak, baik secara sharih (jelas) maupun khinayah (sindiran bermaksud mentalaq) tetapi juga dapat suatu pertengkaran itu berupa adanya acuh (tidak ada komunikasi) dan mendiamkan satu sama lain yang menunjukkan tidak ada harapan lagi keduanya akan hidup rukun kembali dalam rumah tangga.3 Apabila perceraian memang sebagai jalan yang ditempuh, maka kedua pasangan diantara salah satunya untuk menunjuk Pengadilan sebagai jalan tengah dalam menemukan keadilan untuk masalah sengketa perkawinan dan akibatakibatnya. Dalam hal ini, Pengadilan sangat berperan penting untuk memecahkan masalah tersebut. Tanpa adanya pengajuan kepada Pengadilan oleh para pihak yang berperkara, Pengadilan tidak bisa berbuat apa-apa. Suatu perkara di 1
Al-Sayyid Sabiq. Fiqih SunnahTerjemah, (Bandung:PT Alma'arif,1996),Cet,ke-2,jilid 9,h 9.
2
Al-Hafidz Abu Dawud. Sunan Abu Dawud, (Beirut:Daar al-Fiqri, 1994), jilid 2, h.500
3
Arsip Putusan No.78/Pdt.G/2007/PA.JP
Pengadilan baru dapat diperiksa setelah adanya suatu "permohonan" dan atau "gugatan". Seperti yang termuat dalam pasal 2 ayat 1 Undang-undang No.14 tahun 1970 tentang Ketentuan Kekuasaan Kehakiman yang berbunyi: "Penyelenggaraan kekuasaan kehakiman tercantum dalam pasal 1 diserahkan kepada badan-badan Peradilan dan ditetapkan dengan UndangUndang, dengan tugas pokok untuk menerima, memeriksa, dan mengadili serta menyelesaikan setiap perkara yang diajukan kepadanya. Cara mengajukan gugatan dan atau permohonan, keduanya memiliki kesamaan, baik gugatan atau permohonan diajukan kepada ketua Pengadilan yang berwenang, yang memuat tuntutan hak dan di dalamnya mengandung suatu sengketa dan sekaligus merupakan dasar landasan pemeriksaan perkara dan pembuktian kebenaran suatu hak. Dalam suatu gugatan harus ada suatu sengketa antara pihak yang berperkara, demikian pula dalam suatu permohonan juga harus ada sengketa antara dua pihak yang berperkara. Pihak yang berperkara menghadap hakim untuk mendapat suatu putusan. Dalam hal gugatan dan permohonan ada berbagai macam formulasi gugatan yang biasa digunakan di Pengadilan, baik Pengadilan Negeri maupun Pengadilan Agama. Mengajukan suatu gugatan atau permohonan tidak sembarangan, karena setiap gugatan atau permohonan itu harus sesuai dengan undang-undang dan peraturan yang berlaku dimasing-masing lingkungan Peradilan.
Suatu gugatan dapat digabungkan atau dikumulasi menjadi satu surat gugat, misalnya cerai gugat disertai gugatan penguasaan dan nafkah anak. Kemudian dalam gugatan atau permohonan tidak dikumulasikan dengan hal-hal tersebut, maka pihak lawan dalam hal ini tergugat atau termohon dapat mengajukan gugatan balik atau rekonpensi dalam hal-hal tersebut pada waktu menjawab gugatan pokok. Hal ini sesuai dengan pasal 86 ayat 1 Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989 Tentang Peradilan Agama jo Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2006 Tentang Perubahan Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989 Tentang Peradilan Agama yaitu: "Gugatan soal penguasaan anak, nafkah anak, nafkah isteri, dan harta bersama suami isteri dapat diajukan bersama-sama dengan gugatan perceraian ataupun sesudah perceraian mempunyai kekuatan hukum tetap" Sekilas tentang pasal 86 ayat 1 Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989 Tentang Peradilan Agama jo Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2006 Tentang Perubahan Undang-undang Nomor 7 Tahun 1989 Tentang Peradilan Agama tidak menyebutkan adanya gugat rekonpensi. Berarti menandakan bahwa gugat rekonpensi tidak diatur secara tegas dan jelas di dalam Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989 Tentang Peradilan Agama jo Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2006 Tentang Perubahan Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989 Tentang Peradilan Agama sebagai hukum formil bagi Peradilan Agama. Walaupun demikian tidak berarti tidak ada aturan lain yang mengatur akan hal gugat rekonpensi di Pengadilan Agama. Seperti pasal 54 Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989
Tentang Peradilan Agama jo Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2006 Tentang Perubahan Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989 Tentang Peradilan Agama berbunyi: "Hukum acara yang berlaku pada Pengadilan dalam lingkungan Peradilan Agama adalah acara perdata yang berlaku pada Pengadilan dalam lingkungan Peradilan Umum, kecuali yang telah diatur secara khusus dalam Undang-Undang ini”. Jadi mengenai gugat rekonpensi walaupun tidak diatur secara tegas dalam undang-undang tersebut, akan tetapi dapat di dasarkan dalam 132 a dan 132 b (ps. 157,158 Rbg) yang dialihkan dari Rv dan disisipkan pada tahun 1927 yang menjadikan hukum acara perdata di lingkungan Peradilan Umum. Walaupun demikian, Menurut pemahaman Penulis, apabila pasal 86 ayat 1 Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989 Tentang Peradilan Agama jo UndangUndang Nomor 3 Tahun 2006 Tentang Perubahan Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989 Tentang Peradilan Agama bila dipahami mendalam maka dalam gugatan atas perceraian, pihak lawan dapat mengajukan gugat rekonpensi tentang akibat perceraian, seperti gugatan penguasaan anak dan nafkah anak. Oleh karena itu, maka kumulasi tuntutan hak dalam gugatan rekonpensi itu akan mencapai tujuannya apabila gugatan-gugatan itu saling berhubungan. Dalam perkara perceraian di lingkungan Pengadilan Agama, terdapat permasalahan ketika seorang suami dengan isterinya bercerai, yakni muncul persoalan tentang penguasaan anak dan nafkah anak. Masalah ini bila hendak
diselesaikan dengan tidak menghabiskan waktu yang lama, dapat diajukan dengan menggabungkan bersama permohonan cerai gugat sesuai dengan ketentuan yang berlaku. Bila tidak digabungkan permohonan cerai gugat sekaligus dengan masalah penguasaan dan nafkah anak. Maka pihak suami dapat memungkinkan mengajukan gugat rekonpensi tentang penguasaan dan nafkah anak. Sesuai dengan pasal 86 ayat 1 Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989 Tentang Peradilan Agama jo Undang-undang Nomor 3 Tahun 2006 Tentang Perubahan UndangUndang Nomor 7 Tahun 1989 Tentang Peradilan Agama yang membolehkan menggabungkan permohonan cerai gugat dengan penguasaan dan nafkah anak. Maka hal tersebut dapat diajukan dalam bentuk gugat rekonpensi yang bersamaan dengan gugat perceraian, karena antara gugat perceraian sebagai pokok perkara sangat erat kaitannya dengan gugatan penguasaan dan nafkah anak. Dengan demikian suami isteri dalam perkara perceraian dikaitkan dengan akibat perceraian sudah sama-sama diberi cara oleh hukum yang seadil-adilnya dan juga berimbang dengan adanya rekonpensi.4 Tuntutan rekonpensi pada hakekatnya merupakan kumulasi atau gabungan dua tuntutan, yang bertujuan untuk menghemat biaya, mempermuda prosedur, dan menghindarkan putusan-putusan yang bertentangan satu sama lain, jadi mempunyai alasan praktis untuk menetralisir tuntutan konpensi. Terutama bagi tergugat gugat rekonpensi ini menghemat biaya, karena tidak diwajibkan untuk 4
h.89
Raihan, A. Rasyid, Hukum Acara Peradilan Agama, (Jakarta : RajaGrafindo Persada, 2001),
membayar biaya perkara5. Hal ini sesuai dengan azas Peradilan, bahwa Peradilan dilakukan dengan sederhana, cepat, dan biaya ringan sebagaimana ketentuan pasal 4 ayat 2 Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1970 jo pasal 5 ayat 1 UndangUndang Nomor 7 Tahun 1989 Tentang Peradilan Agama. Sehingga permeriksaan perkara menjadi efisien. Seperti yang dikemukakan para pakar hukum oleh R. Supomo, dalam gugat rekonpensi memiliki beberapa manfaat, yakni; 1. Menghemat ongkos perkara; 2. Mempermuda prosedur; dan 3. Menghindarkan putusan-putusan yang bertentangan.6 Begitu juga yang dipaparkan oleh pakar hukum seperti Raihan A.Rasyid tentang pentingnya gugatan rekonpensi. Bahwa gugatan rekonpensi ini menghemat biaya, sebab penggugat rekonpensi tidak perlu membayar "Vorschot" ongkos perkara. Bahkan ongkos perkara cukup hanya untuk satu proses sekaligus serta menghemat waktu, tenaga, sebab pemeriksaan, mengadili, dan penyelesaian perkara tidak perlu dua kali, selain itu, akan dapat terhindar kemungkinan adanya putusan yang saling bertentangan".7
5
Sudikno Mertokusumo, Hukum Acara Perdata Indonesia, (Yogyakarta;Liberty, 1998) Edisi ke-7 Cet,1 h.124 6
R.Supomo, Hukum Acara Perdata Pengadilan Negeri, (Jakarta:Pradnya Paramitha, 1972), Cet.ke-5, h.40 7
Raihan.A.Rasyid, Hukum Acara Peradilan 2001), Cet ke-8, h.71
Agama, (Jakarta: Raja Gragfindo Persada,
Dalam hal rekonpensi ini, tergugat kembali penggugat dan posisinya pun menjadi terbalik, tergugat dalam konpensi menjadi penggugat dalam rekonpensi dan penggugat dalam konpensi menjadi tergugat dalam rekonpensi.8 Dapat dilihat, pada satu sisi berdiri gugatan konpensi yang diajukan penggugat kepada tergugat. Pada sisi lain, muncul gugatan rekonpensi yang diajukan tergugat kepada penggugat. Secara teknis, pada saat bersamaan saling berhadapan gugatan konpensi dan rekonpensi dalam suatu proses pemeriksaan yang sedang berjalan. Permasalahan yang sering timbul dalam perkara perceraian, khususnya yang disertai dengan gugatan rekonpensi yaitu terdapat perbedaan keputusan antara gugatan konpensi (gugatan asal) dengan gugatan rekonpensi (gugatan balik) dalam perceraian, yang mana kalau gugat konpensi dikabulkan maka gugat rekonpensi pun baru bisa dikabulkan dan sebaliknya bila gugat konpensi ditolak maka gugat rekonpensi pun harus ditolak atau tidak dapat diterima karena gugat cerai (konpensi) merupakan gugatan pokok sedangkan gugatan tentang akibat cerai (rekonpensi) merupakan "Assesor" (tambahan). Dalam masalah perceraian juga timbul persoalan dalam acara, jika gugat diajukan oleh isteri selaku penggugat, kemudian suami selaku tergugat selain menjawab dan membantah alasan dan dalil gugatan, tergugat juga mengajukan gugat rekonpensi untuk menjatuhkan talak terhadap isteri, dengan dalih bahwa
8
Sudikno mertokusumo, Hukum Acara Perdata Indonesia, (Yogyakarta: Liberty,1998)Edisi ke-5 Cet,1. h.99
bukan suami yang bersalah akan tetapi isterilah yang bersalah. Serta dalam konpensi isteri ingin menggabungkan gugatan bersama hak hadhanahnya akan tetapi suami menggugat kembali dengan gugat rekonpensi padahal dalam pokok perkara atau petitum tidak boleh ada gugatan rekonpensi dalam satu kwalitas yang sama. Apakah hal ini dibenarkan adanya dalam beracara? Padahal dalam perkara perceraian dan hal yang sudah jadi konpensi dari pihak isteri yakni hak hadhanah tidak dapat dilakukan gugatan balik (rekonpensi) dalam hal yang sama, Serta dalam permasalahan diatas seharusnya dalam rekonpensi mengenai pokok perkara yang sama tidak bisa diterima dan dalam hal rekonpensi seharusnya menyangkut kebendaan bukan kepemilikan status orang. Karena gugat rekonpensi dalam cerai gugat dengan hak hadhanah akibat perceraian masih memerlukan penjelasan dan analisa. Apakah perlu adanya eksekusi anak? terhadap putusan hakim mengenai hak hadhanah yang jatuh kepada penggugat (isteri). Namun pada kenyataannya pihak tergugat (suami) yang mengambil alih atas hak hadhanahnya tanpa persetujuan dan izin pihak penggugat (isteri) di bawah keluar negeri dengan alasan tidak puas atas putusan mengenai perkara tersebut. Apakah hasil dalam penyelesaian perkara ini sebuah keputusan atau penetapan yang sesuai dengan undang-undang yang berlaku. Maka atas dasar itulah Penulis menganalisa dari masalah tersebut dalam skripsi yang berjudul "GUGAT REKONPENSI DALAM SENGKETA CERAI GUGAT
DAN IMPLIKASINYA TERHADAP HAK HADHANAH DI PENGADILAN AGAMA (Studi Analisis Perkara No 78/Pdt. G/2007/PA.Jakarta Pusat)" B. Pembatasan dan Perumusan Masalah Untuk memperjelas dan lebih terarah dalam pembahasan skripsi ini. Penulis memberi batasan dalam pokok bahasan mengenai analisis putusan No.078/Pdt.G/20007/PA.JP. gugat rekonpensi dalam sengketa cerai gugat dan implikasinya terhadap hak hadhanah di Pengadilan Agama Jakarta Pusat. Sesuai dengan pembatasan masalah, Penulis memaparkan rumusan masalah yang berkaitan dengan judul skripsi ini, yaitu: 1. Bagaimana kedudukan gugat rekonpensi dalam sengketa cerai gugat dengan kumulasi hadhanah di Pengadilan Agama? 2. Bagaimana pertimbangan dan putusan hakim tentang cerai gugat rekonpensi mengenai hak hadhanah di Pengadilan Agama? 3. Bagaimana perspektif fiqih dan hukum positif tentang putusan hakim mengenai rekonpensi dalam cerai gugat bersama hak hadhanah di Pengadilan Agama? C. Tujuan Penelitian dan Manfaat Penelitian Dengan adanya perumusan masalah tersebut di atas. Penulis dapat memberikan dari penelitian ini: 1. Untuk mengetahui kedudukan gugat rekonpensi dalam sengketa cerai gugat dengan kumulasi hadhanah di Pengadilan Agama.
2. Untuk mengetahui pertimbangan dan putusan hakim dalam cerai gugat rekonpensi mengenai hak hadhanah Pengadilan Agama 3. Untuk mengetahui dalam perspektif fiqih dan hukum positif tentang putusan hakim mengenai rekonpensi dalam cerai gugat bersama hak hadhanah di Pengadilan Agama Jakarta Pusat Adapun manfaat dari penelitian ini adalah: 1. Dapat menambah wawasan dan pengetahuan yang lebih mendalam tentang gugat rekonpensi dalam sengketa cerai gugat dan implikasinya terhadap hak hadhanah melalui putusan hakim di Pengadilan Agama khususnya dalam studi analisis perkara No.078/Pdt.G/2007/PA.Jakarta Pusat. 2. Dapat mengetahui prosedur mengajukan perkara dalam hukum acara Peradilan Agama di Jakarta Pusat khususnya. 3. Dalam lembaga pustaka, hasil penelitian diharapkan dapat dijadikan sebagai bahan ilmiah dalam memperkaya studi analisis lapangan. 4. Memberikan pengetahuan hukum secara teori dan praktek di Pengadilan Agama terutama masalah gugat rekonpensi dalam sengketa cerai gugat dan implikasinya terhadap hak hadhanah. D. Metode Penelitian 1. Jenis Penelitian Dalam skripsi ini. Penulis menggunakan metode penelitian kepustakaan (library
reseach)
yang
bersifat
kualitatif
yakni
membaca,
menelaah,
mendeskripsikan, dan menganalisa permasalahan serta penelitian mengadakan
wawancara para hakim di Pengadilan. Metode skripsi ini menggunakan deskripsi analisis dengan cara membaca, menelaah, mendeskripsikan, dan menganalisa permasalahan serta peneliti mengadakan wawancara di Pengadilan Agama Jakarta Pusat. 2. Sumber Data a. Primer, yaitu merupakan data yang diperoleh dari surat putusan No.78/Pdt.G/2007PA. JP, buku-buku, internet serta wawancara dengan pihak Pengadilan. b. Sekunder, yaitu merupakan data yang diperoleh dari buku-buku sumber lainnya yang berkaitan dan sesuai dengan pokok bahasan skripsi ini. 3. Teknik Pengumpulan Data Instrumen yang digunakan yaitu pengambilan putusan hakim Jakarta Pusat dan pedoman wawancara. Adapun wawancara yang digunakan adalah wawancara terbuka, Penulis juga mengajukan sejumlah pertanyaan dan mengundang jawaban secara bebas. 4. Pengolahan dan Analisis Data Seluruh data yang Penulis peroleh dari wawancara dan kepustakaan diseleksi dan disusun, setelah itu melakukan klasifikasi data yakni usaha mengelompokkan data berdasarkan kategori tertentu. Setelah data-data yang ada diklasifikasikan, lalu diadakan analisa data, maka dalam hal ini yang dikumpulkan Penulis adalah data kualitatif.
Tehnik penulisan ini menggunakan buku pedoman skripsi Fakultas Syari'ah dan Hukum UIN Syarif Hidayatullah Jakarta penerbit IAIN Press dengan pengecualian terjemah Al-Qur'an dan Hadits ditulis satu spasi dan daftar pustaka Al-Qur'an ditulis diawal. E. Sistematika Pembahasan Skripsi ini terdiri dari lima bab dan setiap bab terdiri beberapa sub bab, yaitu: Bab I
: Pendahuluan
yang
memberikan
gambaran
secara
umum
dan
menyeluruh tentang skripsi dengan menguraikan tentang latar belakang masalah, pembatasan dan perumusan masalah, tujuan dan manfaat penelitian, metode penelitian serta sistematika penulisan. Bab II
: Memberikan penjelasan mengenai pengertian perceraian dan dasar hukumnya, sebab-sebab perceraian, macam-macam perceraian dan akibatnya, tata cara perceraian, dan persyaratan administratif
Bab III : Membahas tinjauan teoritis tentang hadhanah, pengertian hadhanah secara umum, hadhanah menurut hukum Islam, hadhanah menurut UU No.1 Tahun 1974, hadhanah menurut KHI, syarat-syarat hadhanah, hak
pemeliharaan
anak
(hadhanah),
masa
pemeliharaan
anak
(hadhanah) dan biaya hadhanah. Bab IV : Putusan perkara no. 78/Pdt.G/2007/ PA. Jakarta Pusat dalam cerai gugat rekonpensi dengan hak hadhanah, pengertian, syarat, dan
larangan gugat rekonpensi, cara mengajukan gugat rekonpensi, kronologis perkara, pertimbangan dan putusan hakim, analisis Penulis. Bab V
: Penutup yang mencakup di dalamnya mengenai kesimpulan dan saransaran.
BAB II PERCERAIAN A. Pengertian perceraian dan dasar hukumnya 1. Pengertian cerai Kata ”cerai” dalam kamus bahasa indonesia berarti pisah atau putus hubungan sebagai suami isteri. Sedangkan perceraian dalam istilah ahli fiqih disebut
“Talaq” atau
membatalkan
perjanjian.
“Furqah”. 9 ”Furqah”
Talak berarti
berarti
“membuka
“Bercerai”.
ikatan”
Lawan
dari
“berkumpul”. Kemudian kedua perkataan ini dijelaskan istilah oleh ahli fiqih yang berarti perceraian antara suami-isteri.10 Menurut istilah “talak” adalah memutus tali perkawinan yang sah dari pihak suami dengan kata-kata khusus atau dengan apa yang dapat mengganti kata-kata tersebut.11 Sedangkan menurut Kompilasi Hukum Islam (KHI) mendefinisikan “talak” sebagai ikrar suami di hadapan sidang Pengadilan Agama yang menjadi salah satu sebab putusnya perkawinan dengan cara sebagaimana yang dimaksud dalam pasal 129, 130, dan 131.12
9
Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, Kamus Besar Bahasa Indonesia, (Jakarta: Balai Pustaka,1989), h.168 10
Kamal Mukhtar. Asas-Asas Hukum Islam Perkawinan, (Jakarta: Bulan Bintang,1974), Cet.ke-2. h. 156 11
Ziyad Abbas,Fiqih Wanita Islam, (Jakarta: Pustaka Panjimas,1991), h.43
12
Lihat Kompilasi Hukum Islam pasal 117
Perceraian (talak) dalam ajaran Islam diatur dalam al-qur’an dan hadits Nabi SAW. Dengan adanya landasan tersebut menegaskan bahwa perceraian dalam Islam boleh (halal) dilakukan. 2. Dasar Hukum Perceraian Surat Al-Baqarah, ayat 229 dan ayat 231
% !"#$ /01 $ ,*-. &⌧()*+ :; <= % 6789 23#4 5 +, @A☺C 1: > +☺# H0% > ( 5 % F0G DE;⌧ E> IJM- I☺JKG( IJM 1R;KG( H0% N:O"PQ I☺V6)4 II !ST /⌧ E>
I&# $ X#-. *7IM4W 1R;# Y I@M4W /⌧ E> JM E>
IJM +MI 4W4( ,41 7 @ I&Z[ =\=
`G1 ]^^_ 4 AR8
1:> #bS
N:OG[ +,dIT% Q,49 % !"#$ ef @A:$P= /01 Y & h !"#$ +, @A-g)e
S2 1)P +, @A:$Pi: 63I "4( ,41 Y M4C 4W#l Y n-"4o Qm *M G ID ` #r4( 1: ":;#pqC /01 h:u` 1 Y Sst @ E>
> 41 67:$;4v E> rI☺ #o Q,#b 7:$;4v 4w4to% #xI☺$P 1 K4WP$
A8G{ 1 Y X#-. .:$z8# 4( { % |AR* 1 >
اة4ا2 N4v :~⌧E }3:$. >
(٢٣١ ٢٢٩5 Artinya : ”Talak (yang dapat dirujuki) dua kali. setelah itu boleh rujuk lagi dengan cara yang ma'ruf atau menceraikan dengan cara yang baik. tidak halal bagi kamu mengambil kembali sesuatu dari yang Telah kamu berikan kepada mereka, kecuali kalau keduanya khawatir tidak akan dapat menjalankan hukum-hukum Allah. jika kamu khawatir bahwa keduanya (suami isteri) tidak dapat menjalankan hukum-hukum Allah, Maka tidak ada dosa atas keduanya tentang bayaran yang diberikan oleh isteri untuk menebus dirinya. Itulah hukum-hukum Allah, Maka janganlah kamu melanggarnya. barangsiapa yang melanggar hukum-hukum Allah mereka Itulah orang-orang yang zalim. Kemudian jika si suami mentalaknya (sesudah Talak yang kedua), Maka perempuan itu tidak lagi halal baginya hingga dia kawin dengan suami yang lain. Itulah hukum-hukum Allah, diterangkan-Nya kepada kaum yang (mau) Mengetahui. Apabila kamu mentalak isteri-isterimu, lalu mereka mendekati akhir iddahnya, Maka rujukilah mereka dengan cara yang ma'ruf, atau ceraikanlah mereka dengan cara yang ma'ruf (pula). janganlah kamu rujuki mereka untuk memberi kemudharatan, Karena dengan demikian kamu menganiaya mereka” (Surat Al-Baqarah, ayat 229 dan ayat 231) Serta Surat Al-Thalaq ayat 1
`G ~K{ xVM=[4( 1:> #bS
mCG[ efV+M# # +, @A8G#V !+M#
Az*-%1 /0 6789q.12 > A8G{ 1 +,d#A;. u,# ef @ATh(\ 4#=4( % F0G f*Th( 5 /01 Y &x1Kb4& &x4P ⌧". ,41 Y E> JM I *M G E>
IJM +MI 4W4( t2*M /0 Y n-"4o Q7 IM 4. #M4:5 > {3I (١: )ا'"قh% ID `
Artinya :“Hai nabi, apabila kamu menceraikan Isteri-isterimu Maka hendaklah kamu ceraikan mereka pada waktu mereka dapat (menghadapi) iddahnya (yang wajar) dan hitunglah waktu iddah itu serta bertakwalah kepada Allah Tuhanmu. janganlah kamu keluarkan mereka dari rumah mereka dan janganlah mereka (diizinkan) ke luar kecuali mereka mengerjakan perbuatan keji yang terang. Itulah hukum-hukum Allah, Maka Sesungguhnya dia Telah berbuat zalim terhadap dirinya sendiri. kamu tidak mengetahui barangkali Allah mengadakan sesudah itu sesuatu hal yang baru”.(Surat At-Thalaq, ayat 1)
Hadist Nabi SAW
+َ ََ"لِ اَِ ا#ُ ا$َ%ْ َ ا:َ اَ ِ َُرََِ اُ ََُْ َِ اَِّ َ ََ ْ ِ وَ ََْ َ ل ْ َ 13
( ##آ ؤ#داؤدؤا/ ا0ؤَ)َ( اَ'"قُ )رؤا
Artinya ”Dari Ibnu Umar dari Rasulullah SAW, Bersabda: Perkara halal yang tidak disukai Allah SWT adalah Thalak” Hal tersebut di atas adalah merupakan dasar hukum sekaligus berarti bahwa dalam Agama Islam perceraian diperbolehkan meskipun sangat dibenci Allah SWT. B. Sebab-sebab Perceraian Menurut KHI, pengertian perceraian yang dirumuskan dalam Ra XVI tentang putusnya perkawinan dinyatakan ada tiga sebab yaitu: 1. karena kematian; 2. karena perceraian; 3. karena atas putusan pengadilan. 14
13
Al-Hafidz Abu Dawud, Sunan Abu Dawud, (Beirut:Daar al-Fiqri, 1994), jilid 2, h.500 14 Ahmad Khuzari, Nikah Sebagai Perikatan, (Jakarta:PT.Raja Grafindo persada.1995) Cet, ke-1.h.117
Perceraian bisa merupakan sebab hak suami, sebab hak isteri, dan keputusan Pengadilan penjelasan tersebut sebagai berikut: 1. Sebab yang merupakan hak suami Suami diberi hak untuk melaksanakan suatu perbuatan hukum yang akan menjadi sebab pemutusannya. Perbuatan hukum itu disebut talak.15 2. Sebab yang merupakan hak isteri Isteri disebut hak untuk melakukan suatu perbuatan hukum yang menjadi sebab putusnya perkawinan, perbuatan hukum tersebut adalah khul’un. Isteri meminta suaminya untuk melakukan pemutusan tali ikatan talak perkawinan dengan cara isteri menyediakan pembayaran untuk menebus dirinya kepada suami. 3. Sebab atas keputusan Pengadilan Sesuai dengan kedudukannya, kekuasaan atau hak Pengadilan berada di luar pihak-pihak yang mengadakan akad sehingga dalam hal pemutusan hubungan ikatan perkawinan ini Pengadilan tidak melakukan inisiatif keterlibatannya terjadi apabila salah satu pihak, baik pihak suami atau pihak isteri mengajukan gugat atau permohonan kepada Pengadilan. Perceraian hanya dapat dilakukan dalam suatu sidang di Pengadilan. Apabila perceraian dilakukan bukan dalam sidang Pengadilan maka perceraian itu tidak sah karena tidak ada kekuatan hukum yang tetap. Pada permulaan sidang di Pengadilan hakim melakukan upaya perdamaian terhadap para pihak untuk
15
Ibid, Ahmad Khuzari, Nikah Sebagai Perikatan h.117-118
bercerai, tetapi apabila tidak bisa didamaikan maka sidang dilanjutkan. Jadi putusnya perkawinan atas putusan Pengadilan berarti bahwa hakim memberikan keputusan menurut pertimbangan pada keadilan dan kemaslahatan pihak-pihak yang mengajukan perkara ke Pengadilan, hakim boleh mengabulkan dan juga boleh menolak gugatan.
C. Macam-macam Perceraian Dalam hukum Islam putusannya perkawinan dapat terjadi karena talak atau gugatan perceraian, khulu, syiqaq, fasakh, ta’lik talak, zihar, ‘ila, lian, riddah (murtad) berikut penjelasannya: 1. Talak Kata thalaq (talak) berasal dari kata bahasa Arab; Ithlaq yang berarti “melepaskan” atau meninggalkan. Dalam istilah Fiqih berarti melepaskan ikatan perkawinan, yakni perceraian antara suami dan isteri16 Menurut Kompilasi Hukum Islam pasal 117 menjelaskan talak adalah ikrar suami dihadapan sidang Pengadilan Agama yang menjadi salah satu 16
M.Baqir al- Habsyi. Fiqih Praktis, Menurut al-Qur’an, as-Sunah dan Pendapat Para Ulama, (Bandung;Mizan.2002), Cet.ke 2.h.181
sebab putusnya perkawinan, dengan cara sebagaimana yang dimaksud dalam pasal 129,130, dan 131. Adapun macam-macam talak adalah Talak ditinjau dari boleh tidak nya suami rujuk kembali pada isterinya setelah isteri ditalak yaitu: a. Talak Raj’i Adalah talak seorang suami kepada isterinya dengan hak suami kembali lagi kepada bekas isterinya tanpa melakukan akad nikah lagi (baru). Seperti talak satu atau talak kedua untuk dapat kembali rujuk. Mereka bekas suami isteri pernah melakukan hubungan seksual dan tanpa uang ganti rugi (tebusan dari pihak isteri) b. Talak Ba’in Adalah talak suami yang dijatuhkan kepada isterinya dan suami tidak boleh rujuk kecuali dengan nikah baru. Talak ba'in terbagi menjadi 2 bagian yaitu: 1) Talak Ba’in sughra.17 Yaitu talak yang dijatuhkan suami kepada isterinya yang belum dicampuri (qabla al dhukul) atau talak yang disertakan tebusan atau uang ganti rugi dari isteri (khulu’). 2) Talak Ba’in Kubra. 18 Yaitu talak ketiga yang dijatuhkan suami kepada isterinya. Bagi kedua belah pihak tidak boleh rujuk atau melakukan akad nikah baru kecuali bekas isteri melakukan perkawinan baru 17
Abdul Qadir Djaelani. Keluarga Sakinah, (Surabaya: PT.Bina Ilmu, 1993), h.331
18
R. Abdul Djamal. Hukum Islam, (Bandung: CV.Mundur Maju, 1992), Cet.ke-1, h.98
dengan laki-laki lain. Kalau perkawinan itu putus karena perceraian atau suami meninggal maka ia dapat melakukan perkawinan dengan bekas suami pertama setelah menjalani masa ‘iddahnya. Talak ditinjau dari waktu mengatakkannya yaitu: a. Talak Sunni (Pasal 121 KHI) adalah talak yang dibolehkan yaitu talak yang dijatuhkan kepada isteri yang sedang suci dan tidak dicampuri dalam waktu sucinya tersebut. b. Talak Bid’i (Pasal 121 KHI) adalah talak yang dilarang yaitu talak yang dijatuhkan kepada isteri pada waktu isteri dalam keadaan haid atau isteri dalam keadaan suci tapi sudah dicampuri pada waktu suci tersebut19. 2. Khulu’ Adalah suatu perceraian perkawinan dengan cara memberikan sejumlah uang dari pihak isteri kepada suami, yang disebut “Talak tebus”. Khulu’ berarti permintaan talak oleh isteri kepada suaminya dengan membayar tebusan. Menurut ahli fiqih, khulu’ adalah isteri memisahkan diri dari suaminya dengan ganti rugi kepadanya.20 Ganti rugi (tebusan) merupakan salah satu bagian pokok dari pengertian khulu’, jika ganti rugi tidak ada maka khulu’nya juga tidak sah. 3. Syiqaq 19
Lihat Pasal 121 Kompilasi Hukum Islam
20
Sayyid Sabiq. Fiqih al Sunna, (Beirut: Dar AlFikr.1983), cet. ke-4, jilid 2, h.253
Adalah krisis memuncak yang terjadi antara suami isteri sedemikian rupa sehingga antara suami isteri terjadi pertentangan pendapat dan pertengkaran, menjadi dua pihak yang tidak mungkin dipertemukan dan kedua pihak tidak bisa mengatasinya. 21 Dasar hukum syiqaq firman Allah Surat Q.S.Al Nisa. 4:35
G# mC"PQ G1 A I 6. 1RV4. X#% @% *,#b ☺ $I G > Id@% *,#b ☺ $I-1 #l1A( ☯ *G > IM(h( > { G $ > I☺V J4. >
(٣٥5) )ا<ءh&IQ ☺J4 4 ⌧u Artinya : “Dan jika kamu khawatirkan ada persengketaan antara keduanya, Maka kirimlah seorang hakam dari keluarga laki-laki dan seorang hakam dari keluarga perempuan. jika kedua orang hakam itu bermaksud mengadakan perbaikan, niscaya Allah memberi taufik kepada suami-isteri itu. Sesungguhnya Allah Maha mengetahui lagi Maha Mengenal”.(Surat An-Anisa, ayat 35 ) 4. Fasakh Berarti rusak atau batal.22 Memfasakh akad nikah berarti membatalkan dan melepaskan ikatan perkawinan suami isteri. Fasakh dapat terjadi karena sebab berkenaan dengan akad (Sah atau tidaknya) atau sebab yang datang setelah berlakunya akad.23
21
Muktar Kamal. Azas-azas Hukum Islam, (Jakarta: PT.Bulan Bintang, 1993), Cet.ke-3,
h.204 22
Mahmud Yunus. Kamus Arab-Indonesia, (Jakarta: Hidakarya Agung,1990), h. 316
23
H.S.A. Al Hamdani. Risalah Nikah, (Pekalongan: Raja Murah.1980), h.42
Jadi fasakh berarti diputuskannya hubungan perkawinan (atas permintaan salah satu pihak) oleh hakim Pengadilan Agama karena salah satu pihak menemui cela pada pihak lain atau merasa tertipu atas hal-hal yang yang belum diketahui berlangsungnya perkawinan.24 5. Ta’lik Talak Arti ta’lik ialah ”Menggantungkan” dan jika dihubungkan dengan kata talak menjadi ”Ta’lik Talak” yang memiliki arti suatu talak yang digantungkan jatuhnya pada suatu hal memang mungkin terjadi yang telah disebutkan lebih dahulu dalam suatu perjanjian atau telah diperjanjikan lebih dahulu. 25 6. Zihar Secara bahasa zihar berarti punggung. Sedangkan menurut istilah kata zihar berarti suatu ungkapan suami terhadap isterinya ”Bagiku kamu seperti punggung ibuku” dengan maksud ia mengharamkan isterinya bagi dirinya. Dasar hukumnya Q.S Al.Mujadalah: ayat 2-4
7:$# 4 hd 8( 4#>
ef @ { md> x ,#b G md#CId{\% 2#E[ H0G mdWId{\% 67V{G1 Y md4o*M 1 Q,#b
h⌧9S 4 A:A8G1; HG1 Y S21 Kw6A G
]^ ⌦2A8"⌧¡ A8"I >
,# 4 hd 8( 4#> 1 24 25
Sayuti Thalib. Hukum Kekeluargaan Indonesia, (Jakarta: Uip.1997), Cet,ke 2 h.117 Sulaiman Rasyid. Fiqih Islam, (Bandung: Sinar Baru Algesindo.1985), h.106
4 JA 4( 7 m 67VK¢> x h(h 4W A: I☺# % 369 ,#b &x4& 12 6.:$#D ` Y £¤> I☺4C4( > 1 Y X#-. Az84A ] )h&IQ 4 A I☺ I☺. ¥ 1;P *MPd 5 m ,I☺ ,# I . 4W4C 4h6g⌧ ,I☺ £¤> I☺4C4( % 369 ¥ I * *#4W!¦ m ID ` Y SJP$# 4#WP¤ E> . A# W# JM §#1 Y X#%>A¤121 ⌧;4 Q,(h#" $#1 $ E>
(٤-٢ 5 >?¡ )اN#% Artinya :“Orang-orang yang menzhihar isterinya di antara kamu, (menganggap isterinya sebagai ibunya, padahal) tiadalah isteri mereka itu ibu mereka. ibu-ibu mereka tidak lain hanyalah wanita yang melahirkan mereka. dan Sesungguhnya mereka sungguhsungguh mengucapkan suatu perkataan mungkar dan dusta. dan Sesungguhnya Allah Maha Pemaaf lagi Maha Pengampun. Orangorang yang menzhihar isteri mereka, Kemudian mereka hendak menarik kembali apa yang mereka ucapkan, Maka (wajib atasnya) memerdekakan seorang budak sebelum kedua suami isteri itu bercampur. Demikianlah yang diajarkan kepada kamu, dan Allah Maha mengetahui apa yang kamu kerjakan. Barangsiapa yang tidak mendapatkan (budak), Maka (wajib atasnya) berpuasa dua bulan berturut-turut sebelum keduanya bercampur. Maka siapa yang tidak Kuasa (wajiblah atasnya) memberi makan enam puluh orang miskin. Demikianlah supaya kamu beriman kepada Allah dan Rasul-Nya. dan Itulah hukum-hukum Allah, dan bagi orang kafir ada siksaan yang sangat pedih".(Surat Al-Mujadalah, ayat 2 dan 4) 7. ‘Ila Secara bahasa ‘ila berarti melarang diri dengan menggunakan sumpah sedangkan menurut istilah kata ‘ila berarti sumpah untuk tidak mencampuri
lagi isteri dalam waktu 4 (empat) bulan atau dengan tidak dengan menyebutkan jangka waktunya. Dasar hukum ‘ila surat : Al Baqarah ayat 226
,# 4 A: ( 4# #l .4h 67d> x hV*q% #xI 4.62% _m;#-2 ⌦2A8"⌧¡ > { s:> (٢٢٦:اة4)ا Artinya : “Kepada orang-orang yang meng-ilaa' isterinya diberi tangguh empat bulan (lamanya). Kemudian jika mereka kembali (kepada isterinya), Maka Sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang”.(Surat Al-Baqarah, ayat 226) Meng-ilaa' isteri Maksudnya: bersumpah tidak akan mencampuri isteri, dan dengan sumpah ini seorang wanita menderita karena tidak disetubuhi dan tidak pula diceraikan. Dengan turunnya ayat ini maka suami setelah 4 (empat) bulan harus memilih antara kembali menyetubuhi isterinya lagi dengan membayar kafarat sumpah atau menceraikan.
8. Li’an Menurut bahasa artinya la’nat, termasuk dosa sebab salah satu dari suami isteri berbuat dosa. Li’an menurut istilah artinya suami menuduh isterinya berzina, ia bersumpah bersedia menerima la’nat apabila berbohong. 26 Jadi li’an tuduhan suami bahwa isterinya berbuat zina. Hal ini diatur dalam Kompilasi Hukum Islam pasal 126 bahwa : Li’an terjadi karena suami 26
M. Rifa’I, M. Zuhri Salomo. Tarjamah Khulasha Kifayatul Akhyar, (Semarang: CV.Toha Putra,1983), h. 329
menuduh isterinya berbuat zina dan atau mengikari anak dalam kandungan atua yang sudah lahir dari isterinya sedangkan menolak tuduhan dan atau pengingkaran tersebut.27 9. Riddah (Murtad) Adalah keluarga dari agama Islam, baik pindah pada agama lain atau tidak beragama. Di Indonesia putusan perkawinan karena murtadnya. Salah seorang dari suami isteri termasuk fasid atau batal demi hukum dan pemutusannya dilakukan di depan sidang Pengadilan Agama. Pengadilan Agama hanya dapat menerima riddahnya seseorang jika orang itu mengatakan sendiri dengan tegar di depan sidang Pengadilan Agama. Oleh karena itu, riddahnya seseorang yang dinyatakan bukan di depan sidang Pengadilan Agama dianggap tidak sah.28 D. Akibat Perceraian Ada beberapa akibat putusannya perkawinan karena perceraian adalah sebagai berikut: 1. Akibat bagi bekas suami dan isteri a. Kepada bekas suami wajib membayar atau melunasi maskawin yang belum dibayar atau dilunasi sebagaimana firman Allah Q.S. Annisa /4:4
27
H.Abdurrahman. Kompilasi Pressindo,1992), Cet. Ke-2, h.142 28
h.56
Hukum
Islam
di
Indonesia,
(Jakarta:
Akademika
Jamil Latief. Aneka Hukum Perceraian Di Indonesia, (Jakarta: Ghaila Indonesia.1981),
1:> #bS
A 1:1 Y = 4#© +,VK☺ M -#b %:~⌧E ,4 67:$ 4# E";#I@ A :$ ª"4o (٤: )ا<ءE"(+ Artinya : “Berikanlah maskawin (mahar) kepada wanita (yang kamu nikahi) sebagai pemberian dengan penuh kerelaan. Kemudian jika mereka menyerahkan kepada kamu sebagian dari maskawin itu dengan senang hati, Maka makanlah (ambillah) pemberian itu (sebagai makanan) yang sedap lagi baik akibatnya”.(Surat An-Nisa, ayat 4) Pemberian itu ialah maskawin yang besar kecilnya ditetapkan atas persetujuan kedua pihak, Karena pemberian itu harus dilakukan dengan ikhlas. b. Bekas suami wajib memberikan mut’ah yang layak kepada bekas isterinya, baik berupa uang atau benda. Kecuali bekas isteri tersebut qabla al dukhul. c. Bekas suami memberi nafkah, maskan, kiswah (tempat tinggal dan pakaian) kepada bekas isteri selama dalam masa ‘iddah kecuali bekas isteri telah dijatuhi talak bain atau nusyuz dan dalam keadaan tidak hamil. d. Bekas suami memberikan biaya hadhanah (pemeliharaan termasuk di dalamnya biaya pendidikan) untuk anak yang belum mencapai umur 21 tahun.29 Akibat bagi anak yang belum mumayyiz berhak mendapatkan hak hadhanah dari ibunya. Sedangkan anak yang sudah mumayyiz berhak 29
Lihat pasal 149 Kompilasi Hukum Islam
mendapatkan hadhanah dari ayah atau ibunya. Dan bapaknya berkewajiban memberikan nafkah, pemeliharaan, dan pendidikan dari bayi sampai dewasa dan dapat mandiri.30 Ketika terjadi perceraian, maka bekas suami berhak rujuk kembali kepada bekas isterinya selama dalam masa ‘iddah.
31
Dan untuk bekas
isterinya selama masa ‘iddah wajib menjaga diri dan kehormatannya serta tidak menerima pinangan orang lain. Adapun ‘iddah yang diwajibkan untuk bekas isterinya adalah: a. ‘Iddah isteri yang haid tiga kali suci; b. ‘Iddah isteri yang tidak haid tiga bulan; c. ‘Iddah yang ditinggal suaminya empat bulan sepuluh hari; d. ‘Iddah isteri yang hamil sampai melahirkan; e. Bagi isteri yang belum disetubuhi maka tidak ada ‘iddah baginya.32 2. Akibat bagi harta kekayaan Menurut pandangan Islam tidak mengenal percampuran harta kekayaan antara suami isteri karena pernikahan. Harta kekayaan isteri tetap milik menjadi isteri dan dikuasai sepenuhnya olehnya. Demikian pula kekayaan harta suami tetap milik suami dan dikuasai sepenuhnya olehnya.
30
Lihat pasal 156 Kompilasi Hukum Islam
31
‘Iddah adalah menanti yang diwajibkan atas isteri yang terputus ikatan perkawinannya dengan suaminya, baik karena ditinggal mati atau perceraian 32
Abdul Qadir Djaelani. Keluarga sakhinah, (Surabaya: PT. Bina Ilmu, 1993), h.338
Karena itu pula menurut hukum perempuan yang bersuami dianggap cakap bertindak hukum sehingga ia dapat melakukan segala perbuatan hukum dalam masyarakat. Jika dalam perkawinan diperoleh harta, maka harta ini adalah harta syirkah, yaitu harta bersama dari suami isteri. Tetapi dalam harta kekayaan yang terpisah masing-masing dari suami isteri tidak berhak dan berwenang atas harta kekayaan masing-masing. Harta kekayaan ini meliputi harta bawaan, harta yang diperoleh salah seorang suami isteri atas usahanya sendiri dan harta yang diperoleh hadiah atau warisan. 33
3. Akibat bagi anak Perceraian mengakibatkan adanya pemeliharaan anak (Hadhanah) serta aturan hidup tentang biaya hidup anak yang harus ditanggung orang tua, hal ini akan dibahas lebih lanjut dalam bab selanjutnya. E. Tata Cara Mengajukan Talak dan Persyaratan Administratif 1. Tata Cara Mengajukan Talak Mengenai tata cara perceraian di depan sidang Pengadilan diatur dalam Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 1975 Tentang Pelaksanaan UndangUndang Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan, gugatan perceraian diajukan 33
Ahmad Khuzairi. Nikah Sebagai Perikatan, (Jakarta: PT.Raja Grafindo persada,1995), h.56
kepada Pengadilan sedangkan tata cara mengajukan gugatan diatur dalam pasal 14 Peraturan Pemerintah Nomor 9 tahun 1975 Tentang Pelaksanaan UndangUndang Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan yang menyatakan bahwa: “Seorang isteri yang telah melangsungkan perkawinan menurut agama Islam yang akan melakukan gugatan cerai kepada suaminya, mengajukan surat gugatan kepada Pengadilan ditempat tinggalnya, yang berisi pemberitahuan bahwa ia bermaksud menggugat cerai disertai dengan alasan-alasannya, serta memilih kepada Pengadilan agar diadakan sidang untuk keperluan itu”. Dalam permohonan tersebut dimuat identitas para pihak yaitu pemohon (isteri) dan termohon (suami) yang meliputi: nama, umur, dan tempat kediaman serta alasan-alasan yang menjadi dasar cerai gugat. Ketika pemeriksaan permohonan tersebut dilakukan oleh majelis hakim selambat-lambatnya 30 hari serta berkas atau surat permohonan didaftarkan di panitera Pengadilan Agama. Dalam pemeriksaan permohonan yang dilakukan dalam sidang tertutup hakim berusaha mendamaikan kedua belah pihak. Dalam sidang perdamaian tersebut para pihak (suami isteri) harus datang secara pribadi selama permohonan belum ditetapkan, usaha mendamaikan dapat dilakukan dalam setiap sidang pemeriksaan. Apabila tercapai perdamaian maka tidak dapat diajukan lagi permohonan baru berdasarkan alasan yang ada dan telah diketahui oleh pemohon sebelum perdamaian tercapai. Pengadilan setelah berkesimpulan bahwa kedua belah pihak tidak mungkin lagi didamaikan dan telah cukup alasan perceraian, maka gugatan
perceraian diperiksa dalam sidang tertutup. Pemeriksaan dalam sidang tertutup ini berlaku
juga
bagi pemeriksaan saksi-saksi.
Apabila
berdasarkan
hasil
pemeriksaan terdapat alasan-alasan yang dapat dijadikan dasar perceraian, hakim mengabulkan kehendak suami isteri untuk melakukan perceraian.34 Dalam penetapan waktu sidang hendaknya jangka waktu penyampaian panggilan dan sidang diatur agar baik pihak-pihak maupun saksi-saksi mempunyai waktu yang cukup untuk mengadakan persiapan guna menghadapi sidang tersebut. Oleh karena itu, panitera Pengadilan Agama atau pejabat Pengadilan Agama yang ditunjuk berkewajiban selambat-lambatnya 30 hari mengirim satu helai penetapan tersebut tanpa materai kepada Pegawai Pencatatan Nikah (PPN) yang wilayahnya meliputi tempat kediaman pemohon dan termohon untuk mendaftarkan ketetapan perceraian dalam sebuah daftar yang disediakan untuk itu. Apabila perceraian dilakukan wilayah yang berbeda dengan wilayah pegawai pencatat nikah tempat perkawinan dilangsungkan, makan satu helai penetapan tanpa bermaterai dikirimkan pula kepada Pegawai Pencatat Nikah ditempat perkawinan dilangsungkan oleh Pegawai Pencatat Nikah (PPN) dicatat dibagian pinggir daftar pencatat perkawinan.
34
Sudarsono. Hukum perkawinan Nasional, (Jakarta: Direktorat Jendral Bimbingan Masyarakat Islam dan Urusan Haji,1997), h.36-38
Selain berkewajiban sebagaimana tersebut diatas, maka panitera berkewajiban pula memberikan akta cerai sebagai bukti surat cerai kepada pihak (penggugat-tergugat) selambat-lambatnya 7 (tujuh) hari terhitung dari setelah putusan memperoleh kekuatan hukum tetap.35 Sebuah perkara dijatuhkan suatu putusan, selama berlangsungnya gugatan perceraian atas permintaan pihak penggugat atau tergugat, Pengadilan dapat mengizinkan suami isteri tersebut untuk berpisah berlainan rumah, juga menentukan nafkah yang akan ditanggung oleh suami dan hal-hal yang perlu untuk menjamin pemeliharaan dan pendidikan anak barang-barang yang menjadi hak bersama serta hak masing-masing. Alasan-alasan perceraian yang diajukan oleh penggugat baik suami maupun isteri. Menurut Peraturan Pemerintahan Nomor 9 Tahun 1975 Tentang Pelaksanaan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan dalam pasal 19 jo Kompilasi Hukum Islam pasal 116 menyebutkan alasan bagi suami isteri untuk bercerai ialah: 1. Salah satu pihak berbuat zina atau menjadi pemabuk, pemadat, penjudi, dan lain sebagainya yang sukar disembuhkan; 2. Salah satu pihak meninggalkan pihak lain selama 2 (dua) tahun berturut-turut tanpa izin pihak lain tanpa alasan yang sah atau karena hal lain di luar ketentuan; 35
Departemen Agama, Pedoman Pegawai Pencatat nikah, h.12
3. Salah satu pihak mendapat hukuman 5 (lima) tahun atau hukuman yang lebih berat setelah perkawinan berlangsung; 4. Salah satu pihak melakukan kekejaman atau penganiayaan berat yang membahayakan pihak lain; 5. Salah satu pihak mendapat cacat badan atau penyakit yang mengakibatkan tidak dapat menjalankan kewajibannya sabagai suami isteri; 6. Antara isteri terus-menerus terjadi perselisihan dan pertengkaran dan tidak ada harapan akan hidup rukun lagi dalam rumah tangga; 7. Suami melanggar talik talak; 8. Peralihan agama atau murtad yang menyebabkan terjadinya ketidak rukunan dalam rumah tangga.36
2. Tata Cara Persyaratan Administratif Bagi para pihak yang mengajukan permohonan atau gugatan ke Pengadilan Agama selain berkewajiban menyampaikan permohonan gugatan secara lisan maupun tulisan dilengkapi dengan: 1. KTP; 2. Surat keterangan untuk talak dari kepala desanya (Tra); 3. Kutipan Akta Nikah (Model NA); 4. Membayar uang muka biaya perkara menurut peraturan yang berlaku; 5. Surat Izin Talak/Cerai bagi anggota TNI; 36
Departemen Agama,. Pedoman Pegawai Pencatat nikah, h.56-57
6. Surat Izin Talak/Cerai bagi PNS. Mengenai tata cara gugatan atau permohonan diatur dalan pasal 119 HIR Pasal 143 Rbg. Menurut ketentuan pasal yang dimaksud sebagai berikut: 1. Permohonan ditunjukan kepada ketua pengadilan; 2. Gugatan disampaikan kepada panitera Pengadilan; 3. Pemohon wajib membayar biaya perkara. Adapun formulasi cerai gugat dan cerai talak pada dasarnya tidak ada perbedaan dan harus disusun sesuai dengan sistematikanya yaitu: 1. Mencantumkan tanggal gugatan; 2. Mencantumkan alamat ketua Pengadilan; 3. Mencantumkan identitas dan kedudukan pihak yang berperkara untuk dipanggil dan diperiksa. Oleh karena itu berdasarkan sistematika formulasi gugatan di atas, bila dikaitkan dengan pasal 86 ayat (1) Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989 jo Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2006 Tentang Perubahan Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989 Tentang Peradilan Agama yang membolehkan pengajuan gugatan atau permohonan cerai bersama dengan penyelesaian tentang hadhanah. Maka susunan gugatan harus disusun secara sistematis.
BAB III TINJAUAN TEORITIS TENTANG HADHANAH A. Pengertian Hadhanah Secara Umum Hadhanah berasal dari kata ”Hidan” artinya lambung. Sebagaimana juga artinya: Burung itu mengepit C E '# اCﺡ telur dengan sayapnya.
kata
Begitu pula dengan perempuan (ibu) yang mengepit anaknya. 37
Hadhanah menurut bahasa berarti meletakkan sesuatu dekat tulang rusuk atau dipangkuan. 38 Menurut Muhammad bin Ismail Salah Al-Amir Al-Kahlani atau yang disebut dengan nama Sa’ani, mengartikan hadhanah ialah pemeliharaan anak yang belum mampu berdiri sendiri mengenai dirinya, pendidikannya serta pemeliharaannya dari segala sesuatu yang membinasakannya atau yang membahayakannya.39 Menurut para ahli fiqih hadhanah ialah melakukan pemeliharaan anakanak yang masih kecil baik laki-laki ataupun perempuan atau yang sudah besar tetapi belum tamyyiz, tanpa perintah dari padanya, menyediakan sesuatu yang menjadikan kebaikannya, menjaga dari sesuatu yang menyakitinya dan merusak, 37
38
Sayyid Sabiq, Fiqih Sunnah, (Bandung: PT. Al-Ma’arif, 1980), cet ke14, h.173.
DEPAG RI, Ilmu Fiqih, Direktorat Jendral Pembinaan Agama Islam Proyek Pembinaan Prasarana dan Sarana Perguruan Tinggi Agama IAIN Jakarta, 1984/1985. Jilid.2, h.206. 39
As-San’ani, Subulus Salam, (Surabaya: Al Ikhlas,1995), cet ke-3, h.37.
mendidik jasmani, rohani dan akalnya, agar mampu berdiri sendiri menghadapi hidup dan memikul tanggung jawabnya. 40 Dalam Ensiklopedi Islam dijelaskan, hadhanah yaitu mengasuh anak kecil atau anak normal yang belum atau tidak dapat hidup mandiri, yakni dengan memenuhi kebutuhan hidupnya, menjaga dari hal-hal yang membahayakan, memberinya pendidikan fisik maupun psikis mengembangkan kemampuan intelektual agar sanggup memikul tanggung jawab hidup. 41 Dari beberapa definisi yang telah disebutkan dapat disimpulkan, hadhanah ialah mengasuh atau memelihara anak yang masih kecil atau di bawah umur dari segala segi fisiknya, mentalnya, maupun moralnya dari pengaruh yang buruk dikarenakan anak tesebut belum dapat mengurus dirinya sendiri dan masih memerlukan bantuan orang lain, agar menjadi manusia yang dapat bertanggung jawab dalam hidupnya. Pada dasarnya pemeliharaan anak menjadi tanggung jawab kedua orang tua, pemeliharaan ini meliputi berbagai bidang baik masalah ekonomi, perhatian dan kasih sayang, maupun pendidikan yang mencakup pendidikan agama maupun pendidikan umum, dalam konsep Islam tanggung jawab ekonomi berada di
pundak suami sebagai kepala rumah tangga. Meskipun demikian tidak
menutup kemungkinan sebagai isteri turut membantu suami dalam menanggung
40
Sayyid Sabiq, Fiqih Al Sunnah, (Beirut: Dar al Fikr,1983), cet. Ke-4,Jilid 2, h.288. 41
Ensiklopedi Islam, (Jakarta: PT. Ichtiar Baru Van Hoeva, 1994), cet ke-3, h.37
kewajiban ekonomi keluarga tersebut, karena hal itu yang terpenting adalah kerjasama dan saling membantu antara suami isteri dalam memelihara anak tersebut sampai berdiri sendiri atau dewasa. 1. Hadhanah Menurut Hukum Islam Dalam Islam mengatur secara tegas tugas dan kewajiban suami isteri dalam keluarga. Salah satunya adalah suami mencari nafkah untuk menghidup anak isterinya dan isteri merawat serta memelihara anak. Tugas isteri atau ibu tidak
dapat
dipindah
tangankan
kecuali
ada
alasan
syar’i
yang
membolehkannya, misalnya meninggal dunia atau karena mempunyai penyakit yang membahayakan anaknya. Namun apabila tidak ada alasan syar’i maka ibu tidak boleh meninggalkan tugasnya itu. Dasar hukum hadhanah adalah firman Allah SWT :
4#>
xVM=[4( 6.:$8"o% |A A4 1:
S2 4o 6.:$;@%1 s{ {
I@JA 1 xV6)4v :!12 I«#4¬ 1 H0 J IM# s/⌧#¡ ¡x $Z[4 67 @4h4% > 4 > 4 Az 4( #F )ا4 s ( 4 4 A I "4(1 (٦:ی Artinya : “Hai orang-orang yang beriman, peliharalah dirimu dan keluargamu dari api neraka yang bahan bakarnya adalah manusia dan batu; penjaganya malaikat-malaikat yang kasar, keras, dan tidak mendurhakai Allah terhadap apa yang diperintahkan-Nya kepada mereka dan selalu mengerjakan apa yang diperintahkan”.(At-Tahrim : ayat 6)
Pada ayat di atas, orang tua diperintahkan Allah SWT memelihara keluarganya dari api neraka, dengan berusaha agar seluruh anggota
keluarganya itu melaksanakan perintah-perintah dan menjauhi laranganlarangan Allah, termasuk dalam anggota keluarga dalam ayat ini adalah anak. 42 Meskipun dalam pekerjaan orang tuanya selalu sibuk, anaklah yang menjadi prioritas utama karena masih sangat membutuhkan keperluan hidupnya serta kasih sayangnya terutama sebagai perempuan (ibu) misalnya menjadi wanita karier tetap saja hal ini tidak bisa dijadikan alasan untuk meninggalkan tugas pokoknya itu ”mengasuh anak”. Apabila ia meniggalkan tugas ini berarti ia tidak menjalankan tugas pokoknya. Melihat fenomena ini hukum Islam memandang ibu dikenakan sangsi hukum “berdosa” dari apa yang ia lakukan yaitu meninggalkan kewajiban yang utama seorang ibu. Hadhanah Menurut Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 Tentang
2.
Perkawinan Undang-undang perkawinan sampai saat ini belum mengartur secara khusus tentang penguasaan anak bahan Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun
42
Departeman Agama RI, Ilmu Fiqih, Direktorat Jendral Pembinaan Agama Islam Proyek Pembinaan Prasarana dan Sarana Perguruan Tinggih Agama IAIN Jakarta, 1984/1985. Jilid.2 h.208
1975 Tentang Pelaksanaan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan dan Inpres Nomor 1 Tahun 1991 Tentang Kompilasi Hukum Islam, masalah hadhanah menjadi hukum positif di Indonesia dan Pengadilan Agama diberi wewenang untuk memeriksa dan menyelesaikan.43
Kendati demikian, secara global sebenarnya undang-undang perkawinan telah memberi aturan pemeliharaan anak tersebut yang dirangkai akibat putusnya perkawinan, di dalam pasal 41 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan dinyatakan: Apabila perkawinan putus karena perceraian, maka akibat itu adalah : a. Baik ibu atau bapak tetap berkewajiban memelihara dan mendidik anaknya, semata-mata berdasarkan kepentingan anak. Bilamana ada perselisihan
mengenai penguasaan
anak,
Pengadilan
memberikan
keputusannya; b. Bapak bertanggung jawab atas semua biaya pemeliharaan dan pendidikan yang diperlukan anak. Akan tetapi bila bapak dalam kenyataan tidak dapat memenuhi kewajiban tersebut, Pengadilan dapat menentukan bahwa ibu ikut memikul biaya tersebut; c. Pengadilan dapat mewajibkan kepada bekas suami untuk memberikan biaya penghidupan dan atau menentukan sesuatu kewajiban bekas isteri.
43
Amiur Nuruddin dan Azhari Kamal, Hukum Perdata Islam di Indonesia, (Jakarta: Kencana,2006),h. 298
Menyangkut kewajiban orang tua terhadap anak dimuat di dalam Bab X mulai pasal 45-49, pasal-pasal tersebut menjelaskan bahwa kedua orang tua wajib memelihara dan mendidik anak-anak dengan sebaik-baiknya. Ketika
sebelum
perceraian
orang
tua
berkewajiban
untuk
memperhatikan segala anak sekaligus harta bendanya, begitu pula apabila terjadi perceraian orang tuanya. Menurut Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan, anak yang belum berumur 21 (dua puluh satu) tahun atau belum pernah melangsungkan perkawinan ada di bawah kekuasaan orang tua selama mereka tidak dicabut dari kekuasaannya. Kekuasaan orang tua dapat dicabut berdasarkan ketentuan UndangUndang Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan Pasal 49 (1), yaitu: a. Ia sangat melalaikan kewajibannya terhadap anaknya b. Ia berkelakuan buruk sekali. Dan ketika anak tidak berada di bawah kekuasaan orang tuanya, ia berada dibawah kekuasaan wali. Adapun hal-hal yang bersangkutan dengan perwalian adalah meliputi pribadi anak yang bersangkutan maupun harta bendanya hal Perwalian juga dapat dicabut berdasarkan Undang-Undang Perkawinan Nomor 1 Tahun Tentang Perkawinan 1974 Pasal 49 (1). Hadhanah Menurut Kompilasi Hukum Islam 3. Kompilasi Hukum Islam (KHI) dalam pasal-pasal menggunakan istilah pemeliharaan anak yang dimuat dalam bab XIV pasal 98, pasal 105, dan pasal 106. Dalam pasal 98 dijelaskan bahwa batas usia anak mampu
berdiri sendiri atau dewasa adalah 21 tahun, sepanjang anak tersebut tidak bercacat secara fisik maupun mental atau belum menikah. Pasal 105 dan pasal 106 secara eksplisit mengatur masalah kewajiban pemeliharaan anak dan harta. Dalam pasal tersebut dijelaskan jika terjadi perceraian, pemeliharaan anak yang belum mumayyiz atau belum mencapai umur 21 (dua puluh satu) tahun adalah hak ibunya, jika sudah mumayyiz maka anak tersebut disuruh memilih siapa diantara ayah atau ibu yang memegang hak pemeliharaannya. Namun biaya pemeliharaan anak tetap ditanggung oleh ayahnya, selain itu juga orang tua berkewajiban merawat dan mengembangkan harta anaknya yang belum dewasa, dan orang tua bertanggung jawab atas kerugian yang ditimbulkan karena kesalahan dan kelalaian dari kewajiban orang tua tersebut. Dalam Kompilasi Hukum Islam (KHI) batas usia yang di asuh dan dipelihara adalah sampai anak itu dewasa dan dapat mengurus dirinya sendiri. Batas usia itu adalah ketika anak berusia berumur 21 (dua puluh satu) tahun sebagaimana pasal 156 huruf (d): “Semua biaya hadhanah dan nafkah manjadi tanggungan ayah menurut kemampuannya, sekurang-kurangnya sampai anak tersebut dewasa dan dapat mengurus dirinya-sendiri (21 tahun)”. Dan Pasal 98 ayat (1) :“Batas usia anak yang mampu berdiri sendiri atau dewasa adalah 21 tahun, sepanjang anak tersebut tidak bercacat fisik maupun mental maupun belum pernah melakukan perkawinan ”.
Jadi menurut Kompilasi Hukum Islam (KHI) batas usia anak yang wajib diasuh dan dapat mengurus dirinya sendiri sepanjang anak tersebut tidak cacat fisik maupun mental, selain itu anak yang telah melangsungkan perkawinan dianggap telah dewasa, dan pada masa tersebut orang tua tidak berkewajiban memberikan pemeliharaan dan nafkah kepada anak. Dan juga pasal 156 huruf (a) menjelaskan akibat putusnya perkawinan karena perceraian, bahwa anak yang belum mumayyiz berhak mendapatkan hadhanah dari ibunya, kecuali bila telah meninggal dunia, maka kedudukannya dapat digantikan. Kemudian dalam Kompilasi Hukum Islam (KHI) pasal 156 huruf (c) dinyatakan apabila pemegang hadhanah ternyata tidak menjamin keselamatan jasmani dan rohani anak, meskipun biaya nafkah, dan hadhanah telah dicukupi, maka atas permintaan kerabat yang bersangkutan Pengadilan Agama dapat memindahkan hak hadhanah kepada kerabat lain yamg mempunyai hak hadhanah pula. Mengambil dari syarat-syarat yang terdapat pada pasal 49 ayat (1) undang-undang perkawinan dan pasal 156 huruf (c) Kompilasi Hukum Islam (KHI) maka seorang pengasuh harus dapat dipercaya dan mampu untuk melaksanakan kewajiban dalam pemeliharaan dan pengasuhan anak (hadhanah), di samping itu seorang pengasuh harus taat beribadah. Syarat-syarat Hadhanah B.
Ada beberapa syarat yang digariskan dalam hukum Islam tentang melaksanakan pemeliharaan anak (Hadhanah), yang berkenaan dengan masa depan anak. Seseorang yang melaksanakan hadhanah anak kecil atau belum mumayyiz harus mempunyai ketentuan-ketentuan dan kecakapan serta kecukupan yang harus dipenuhi dalam melakukan hadhanahnya dengan memerlukan persyaratan tertentu. Jika syarat-syarat tidak dapat dipenuhi, maka gugurlah haknya untuk memelihara anak tersebut. Adapun syarat utama untuk dapat mengasuh anak, orang tersebut mampu dan cakap. Dan untuk menilai mampu atau tidaknya lihat kepada beberapa syaratsyarat, yaitu: 1. Islam Wanita kafir tidak boleh mengasuh anak kecil yang beragama Islam, karena hadhanah itu adalah semacam kekuasaan dan wewenang. Sedangkan Allah SWT melarang orang kafir menguasai orang Islam 2. Baligh (Dewasa) Anak-anak tidak boleh mengasuh, karena
dia sendiri masih
memerlukan asuhan dari orang lain. Berakal sehat44 3. Tidak ada hak bagi orang yang kurang sehat akalnya, gila, dan keduanya tidak mampu bertugas mengatur dirinya sendiri.
44
Sayyid Sabiq, Terjemah Fiqih Sunah, (Jakarta: Kalam Mulia, 1990),Cet.Ke-1,Jilid 8,h.221
4. Mampu Mendidik Orang yang buta dan wanita berpenyakitan terus-menerus dan orang lanjut usia (pikun) dan wanita yang tidak sanggup mengurus rumah tangga, tidak boleh mengasuh anak. Jika mereka tunjuk untuk mengasuh dan mendidik, karena dikhawatirkan anak itu akan menjadi terlantar dan sia-sia.
5. Dapat dipercaya dan berakhlak mulia Orang fasik atau orang jahat dan tidak dapat dipercaya, tidak boleh mengurus anak asuhannya yang masih kecil dan tidak dapat dipercaya akan menuaikan tugas asuhannya. Orang yang dapat merusak budi pekerti anak seperti pezina, pencuri, pemabuk, tidaklah pantas melakukan hadhanah. 6. Belum kawin Jika seorang ibu telah kawin dengan laki-laki lain maka hilang hak hadhanahnya. Akan tetapi kalau kawin dengan laki-laki yang masih kerabatnya seperti dengan paman dari anak tersebut, maka hak hadhanah tidak hilang. 7. Merdeka Budak atau hamba sahaya tidak boleh mengasuh, karena ia sibuk melayani majikannya, sehingga tidak ada tempo untuk itu.45
45
Ibid, Sayyid Sabiq, Terjemah Fiqih Sunah, (Jakarta: Kalam Mulia, 1990),Cet.Ke-1,Jilid 8, h.219
Demikianlah syarat-syarat yang harus dipenuhi dalam pemeliharaan anak (hadhanah), dimana antara syarat-syarat yang dikemukakan diatas harus terpenuhi oleh orang yang berhak mengasuh anak tersebut. Hak Pemeliharaan Anak (Hadhanah) C. Keluarga merupakan sebuah istana yang dibangun berdasarkan kasih sayang antara anggota satu sama lain yang terdiri dari ayah, ibu, dan anak. Untuk itu Islam mengatur hubungan di antara ketiganya termasuk pesoalan mengasuh anak. Ketika terjadi perceraian persoalan yang timbul adalah siapa yang berhak untuk mengasuh anak karena dalam mengasuh anak atau mendidik anak yang masih dibawah umur sangat memerlukan bimbingan orang tua dan kasih sayangnya serta mempersiapkan untuk menghadapi kehidupan. Dalam literatur fiqih banyak disebutkan bahwa ibulah yang lebih berhak memelihara anak, dengan alasan bahwa fitrah seorang ibu adalah mengasuh, menyusui dengan kasih sayang dan kedekatan naluri seorang ibu terhadap anak tidak dapat dihilangkan, walaupun sang ayah tidak menutup kemungkinan diberi porsi yang sama. Dengan kata lain ibu diutamakan karena dialah yang berhak untuk melakukan hadhanah dan menyusui, serta dia lebih mengetahui dan lebih mampu untuk melaksanakan tugas ini dan mempunyai rasa kesabaran yang tinggi ketimbang ayah, selain itu juga ayah memiliki kewajiban yang mutlak dan penting yaitu mencari nafkah untuk ibu dan anak tersebut.
Hak memelihara dan mendidik anak yang masih dibawah umur adalah isteri yaitu ibu dari anak. Sebagaimana telah terjadi pada masa Rasulullah Saw yang dijelaskan dalam hadits sebagai berikut:
ُ َ ِْ'َ ََا آَنMَْلَ اِ إِن اِ ِْ هPُ َ یَ ر:ْHََ ََْ َْ>ِاِ ِْ ٍَْو أَن اﻡَْاة .Qَِِ ُ ﻡ+ََِْ وَأرَادَ أَنْ ی4َR ُ0َ ََاءً وَإِنْ أPَِءً وَﺡِ?ِْى َ ُ ﺡ4ِ ُ َ ْيMَFَوَِءٌ و > أﺡ0ِْ )روا#ِYَْF ََْ ِ ِ ﻡZ[ََ أَﺡHْ أَﻥ:ََ َْلُ اِ َ اُ ََ ْ ِ وPُ ََلَ ََ ر4َX 46
(آ# ا## داود وP وأ
Artinya: “Dari Abdullah bin ‘Amr. Bahwasannya seorang wanita berkata: Ya Rasulullah sesungguhnya anak saya ini perut sayalah yang mengandungnya dan susu sayalah minumannya, dan pangkuan sayalah jadi penjaganya, sedangkan ayahnya menceraikan saya, dan dia hendak mengambil anaknya dari pangkuannya. Maka Rasulllah Saw: bersabda kepadanya: Engkau lebih berhak pada anakmu selama engkau belum kawin”. ( H.R. Ahmad dan Abu Daud dan Imam Hakim menshahikannya) Menurut hadits diatas maka dapatlah ditetapkan bahwa ibulah yang lebih berhak untuk memelihara anaknya, selama ibunya tidak menikah dengan laki-laki lain. Apabila ibunya menikah, maka hak hadhanahnya beralih kepada ayahnya. Dengan alasan bahwa ibu anak tersebut menikah, maka besar kemungkinan perhatiannya akan beralih kepada suaminya yang baru dan mengalahkan atau bahkan mengorbankan anak kandungnya. 47`
46
Al-Imam al-Hafidz Daud Sulaiman, Sunan abi Daud, (Kairo: Dar al-Harin, 1988), Juz 2, h.292
47
Ahmad Rofiq, Hukum Islam di Indonesia, (Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada,2000), cet Ke-4, h.251
Apabila ibu berhalangan untuk memelihara anaknya atau perceraian terjadi ketika anak belum mumayyiz disusul dengan kematian ibunya, maka kedudukannya digantikan oleh: 1. Ibu dari ibu (nenek) dan seterusnya keatas; 2. Bapak; 3. Ibu dari bapak; 4. Ibu dari ibunya bapak dan seterusnya keatas; 5. Kerabat terdekat yang perempuan; dan 6. Kerabat yang terdekat laki-laki.48 Hal ini juga telah disebutkan dalam Kompilasi Hukum Islam pasal 156 (a) Anak yang belum mumayyiz berhak mendapatkan hadhanah dan ibunya, kecuali bila ibunya telah meninggal dunia, maka kedudukannya digantikan oleh: 1. Wanita-wanita dalam garis lurus keatas dari ibu; 2. Ayah; 3. Wanita-wanita dalam garis lurus keatas dari ayah; 4. Saudara perempuan dari anak yang bersangkutan; 5. Wanita-wanita kerabat sedarah menurut garis samping dari ayah.49 Masa Pemeliharaan Anak (Hadhanah) dan Biaya Hadhanah D. 1. Masa Pemeliharaan Anak (Hadhanah)
48
Peunoh Daly, Hukum Perkawinan Islam, (Jakarta: Bulan Bintang, 1988), Ke-1,h.403 49
Lihat Pasal 165 (a) Kompilasi Hukum Islam
Anak-anak yang masih di bawah umur masih sangat memerlukan bimbingan dan asuhan serta didikan dari orang tuanya hingga ia menjadi dewasa
dan
dapat
berdiri
sendiri
dalam
memenuhi
keperluannya.
Pemeliharaan anak tersebut pada saatnya akan berakhir dan yang menjadi persoalan adalah sampai kapankah berakhirnya masa pemeliharaan anak. Oleh karena itu mengenai lamanya masa mengasuh, para ulama fiqih berbeda pendapat, hal ini karena tidak ada ketentuan dalam nash dan dalam hadits yang menerangkan dengan tegas tentang hadhanah, hanya terdapat isyaratisyarat yang menerangkan masa tersebut.50 Adapun pendapat para ahli fiqih sebagai berikut: a. Madzhab Hanafi; Mengasuh anak laki-laki itu habis masanya kalau anak itu sudah tidak membutuhkan pemeliharaan wanita (ibu) dan sudah sanggup melaksanakan keperluan sehari-hari. Sedangkan masa mengasuh untuk wanita berakhir apabila ia sudah baligh atau sudah datang masa haid pertamanya. Jadi masa asuhannya adalah 7 (tujuh) tahun untuk laki-laki dan 9 (sembilan) tahun untuk perempuan. 51
50
DEPAG RI, Ilmu Fiqih, Direktorat Jendral Pembinaan Agama Islam Proyek Pembinaan Prasarana dan Sarana Perguruan Tinggih Agama IAIN Jakarta, 1984/1985. Jilid.2 , h.214
51
Muhammad Jawad Mughniyah, Fiqih Lima Madzhab, (Jakarta: PT. Lentera Basritama, 1996), Cet.Ke-1 h.417
b. Madzhab Syafi’i; Masa hadhanah itu berakhir setelah anak mumayyiz, yaitu berumur antara 5 (lima) dan 6 (enam) tahun52 c.
Madzhab Maliki; masa asuhan anak laki-laki adalah sejak ia dilahirkan
sampai ia baligh dan masa asuhan anak perempuan sejak lahir sampai menikah d.
Madzhab Hambali; memberi batas mengasuh anak yaitu sampai anak
berumur 7 (tujuh) tahun baik laki-laki maupun perempuan.53 Berdasarkan pendapat diatas bahwa masa pengasuhan terhadap anak tidak ada yang sama. Hal ini disesuaikan dengan masa hidupnya yang tidak sama dan disesuaikan dengan situasi anak tersebut. 2. Biaya Hadhanah Menurut Islam biaya hidup anak merupakan tanggung jawab bapaknya, baik selama perkawinan berlangsung maupun setelah perceraian. Apabila setelah perceraian, anak yang masih kecil dan menyusui berada di bawah pemeliharaan ibunya, sedangkan masa ‘iddahnya telah habis, maka ibu berhak mendapatkan upah atas pemeliharaan dan penyusuan tersebut. Hal ini karena tidak lagi menerima nafkah dari bapak anak tersebut. Upah tersebut wajib diberikan baik diminta ataupun tidak. Sebagaimana firman Allah SWT: 52
53
DEPAG RI, Ilmu Fiqih, Direktorat Jendral Pembinaan Agama Islam Proyek Pembinaan Prasarana dan Sarana Perguruan Tinggih Agama IAIN Jakarta, 1984/1985. Jilid.2 , h.418
M. Djamil latif, Aneka Hukum Perceraian di Indonesia, (Jakarta: Ghalia Indonesia, 1985), Cet. Ke-2, h.82
6.:$ Q, ®62% (٦:)ا'"ق... +, @12AT\% +, @A 4E Artinya: “…Kemudian jika mereka menyusukan (anak-anak)mu untukmu Maka berikanlah kepada mereka upahnya…(At-Thalaq: Ayat 6) Adapun besar biaya yang ditanggung oleh bapak untuk anaknya disesuaikan dengan kemampuan si bapak, sesuai dengan firman Allah SWT:
,#b &xI I¤ ` #"S;# 12#M ,41 X#-#CI I¤ #"S; n- 2 #-;4 /0 Y >
- 1: > +☺# > 4 H0G ¢"4o > #V $( > 3I *«1JI¤ Y Id 1: (٤:*) )ا'"ق+¦ )*+ IM 4. Artinya:“Hendaklah orang yang mampu memberi nafkah menurut kemampuannya. dan orang yang disempitkan rezkinya hendaklah memberi nafkah dari harta yang diberikan Allah kepadanya. Allah tidak memikulkan beban kepada seseorang melainkan sekedar apa yang Allah berikan kepadanya. Allah kelak akan memberikan kelapangan sesudah kesempitan.(At-Thalaq: Ayat 4) Akan tetapi jika bapak tidak mampu, karena ia orang susah, dan berpenghasilan rendah serta anak itu tidak mempunyai harta, sedangkan si ibu menolak untuk mengasuhnya kecuali dengan upah dan tiada seorang pun diantara kaum kerabat yang mau mengasuhnya, maka si ibu berkewajiban mengasuhnya secara mutlak. Dan biaya pemeliharaan atau rawatan itu tetap menjadi hutang suami yang tidak gugur, kecuali dengan ditunaikan. Kewajiban tersebut dapat ditanggung oleh kerabat ahli waris yang terdekat yang mampu. Tetapi apabila ada orang lain yang dengan suka rela mendidik
anak itu tanpa ongkos, maka hal tersebut dapat diserahkan kepada pendidik suka rela tersebut.54 Namun apabila bapak dengan sengaja melantarkan anaknya dengan tidak memberikan biaya hidupnya padahal bapak cukup mampu, maka Islam memperingatkan bahwa perbuatan tersebut adalah dosa. Dengan demikian masa pembiayaan anak akan berakhir yakni bagi anak laki-laki apabila ia dewasa, dapat bekerja dan berdiri sendiri. Sedangkan bagi perempuan sampai ia kawin, ketika anak perempuan telah kawin maka nafkahnya menjadi kewajiban suaminya.55
54
55
Kamal Muchtar, Asas-Asas Hukum Islam Tentang Perkawinan, (Jakarta: Bulan Bintang, 1974), Cet. Ke-1, h. 135
Zahri Hamid, Pokok-pokok Hukum Perkawinan Islam dan Undang-Undang Perkawinan di Indonesia, (Yogyakarta: Bina Cipta, 1978), Cet. Ke-1 h. 106
BAB IV PUTUSAN HAKIM PENGADILAN AGAMA No. 078/Pdt.G/2007/PA JAKARTA PUSAT DALAM CERAI GUGAT REKONPENSI DENGAN HAK HADHANAH A. Pengertian Rekonpensi, Syarat, dan Larangan Gugat Rekonpensi Pengertian Rekonpensi 1. Kata rekonpensi dari bahasa latin, yang aslinya reconventio, artinya tuntutan balasan, tuntutan balik, tuntutan tergugat dalam konvensi. Tergugat dalam konvensi
menjadi
mengartikannya
penggugat
tuntutan
dalam
kembali.57
rekonvensi. 56 Sedang
Menurut
Sudikno
Supomo,
Mertokusumo,
mengartikannya gugatan balik dimana penggugat dalam gugatan pertama atau gugatan konvensi disebut penggugat dalam konvensi atau tergugat dalam gugatan rekonvesi. Sedang tergugat disebut sebagai tergugat dalam konvensi atau penggugat dalam rekonvensi.58 Istilah dalam bahasa Indonesia sebagai terjemahan dari kata “rekonvensi”, menunjukan belum terdapat istilah yang baku bagi istilah
56
Andi Hamzah. Kamus Hukum, (Jakarta: Ghalia Indonesia, 1986), Cet.Ke-1, h. 502
57
R.Supomo. Hukum Acara Perdata Pengadilan Negeri, (Jakarta: Pradnya Paramitha, 1972), Cet. Ke-5, h.37
58
Sudikno Mertokusumo. Hukum Acara Perdata Indonesia, (Yogyakarta: Liberty,1998), Edisi Ke-5, Cet.1, h.99
hukum untuk kata ”rekonpensi” tersebut. Istilah yang tetap digunakan dalam hukum adalah ”rekonpensi”.59 Berdasarkan pengertian di atas, Penulis memahami bahwa rekonpensi merupakan gugatan yang diajukan tergugat atau termohon untuk memenuhi tuntutan tergugat atau termohon yang belum bisa terpenuhi dengan adanya gugatan dari penggugat atau tergugat merasa dirugikan oleh penggugat. Adanya rekonpensi merupakan gugatan yang belum terdapat dalam petitum gugatan mengenai kepentingan tergugat. Jadi pada dasarnya hanya kepentingan tergugat saja yang diutamakan dengan adanya gugatan rekonpensi ini. Selebihnya hanyalah supaya adanya hukum yang adil bisa diterapkan di Pengadilan dan tidak ada salah satu pihak yang dirugikan. Dengan demikian, adanya rekonpensi sangat berguna bagi kelancaran jalannya persidangan yang biasanya lama dan memakan biaya. Oleh sebab itu, rekonpensi memiliki tujuan sebagai berikut: a. Menggabungkan dua tuntutan yang berhubungan; b. Mempermudah prosedur; c. Menghindarkan putusan-putusan yang saling bertentangan satu sama lainnya; d. Menetralisir tuntutan konpensi; e. Acara persidangan dapat dipersingkat atau disederhanakan; f. Menghemat biaya.60
59
Departemen pendidikan dan kebudayaan. Kamus Besar Bahasa Indonesia, Jakarta: Balai Pustaka, 1989
Adanya gugatan rekonpensi tuntutan yang berhubungan sebagai akibat dari gugatan konpensi dapat digabungkan dan diselesaikan secara bersama-sama dalam gugatan, sidang yang sama dan majelis yang sama pula. Dengan adanya penggabungan dua atau beberapa tuntutan sekaligus menjadikan perkara yang menjadi tuntutan awal dalam konpensi beserta akibatnya dapat diselesaikan secara bersama-sama dengan tuntutan rekonpensi. Seperti dalam perkara perceraian sebagai akibatnya berkaitan erat dengan adanya penguasaan anak, nafkah anak, nafkah isteri, dan harta bersama suami isteri. Hal tersebut dapat diselesaikan dalam satu persidangan dan satu majelis melalui gugatan rekonpensi dari pihak lawan. Begitu juga dalam prosedur gugatan di Pengadilan Agama menjadi mudah dengan adanya gugatan rekonpensi. Karena dengan adanya gugatan rekonpensi tidak perlu mengajukan kembali gugatan sebagai perkara baru untuk mengajukan tuntutan yang berbeda dan dapat diselesaikan secara berbarengan dalam satu majelis. Namun ada kalanya harus ada satu syarat yakni, bahwa yang menjadi tuntutan dalam gugatan rekonpensi harus berhubungan erat dengan gugatan konpensi. Dalam perkara perceraian adanya persyaratan untuk mengabulkan gugatan rekonpensi tergantung pada dikabulkannya gugatan konpensi karena yang menjadi gugatan rekonpensi adalah merupakan “Assesor” (tambahan) dari
60
Hensyah Syahlani. Penemuan dan Pemecahan Masalah Hukum Dalam Pengadilan Agama, (Jakarta: Mahkamah Agung.RI, 1992), h.27
gugatan konpensi. Dengan demikian putusan yang dihasilkan pun setidaknya terhindar dari perbedaan ataupun tidak akan terjadi putusan konpensi (cerai) ditolak tetapi putusan rekonpensi (akibat cerai). Seperti pengasuhan anak, nafkah anak dikabulkan, yang demikian menimbulkan pertentangan. Pada
dasarnya
gugatan
konpensi
hanya
sekedar
mengutamakan
kepentingan Penggugat pada konpensi, karena gugatan konpensi adalah untuk memenuhi tuntutan dan menguntungkan penggugat, tanpa memperhatikan kepentingan tergugat. Namun dengan adanya rekonpensi, maka pihak yang menjadi tergugat dalam konpensi bisa mengajukan gugatan balik mengenai kepentingannya dalam gugatan rekonpensi. Maka dari itu, adanya rekonpensi tidak ada pihak yang merasa dirugikan, sama-sama memiliki tuntutan demi dapat memenuhi hak masing-masing pihak yang berperkara tersebut. Dalam tuntutan konpensi yang tidak menyangkut seluruh masalah mengenai perkara yang diajukan, dengan adanya gugat rekonpensi dapat menyelesaikan seluruh masalah yang berkaitan erat dengan perkara yang telah diajukan oleh penggugat dalam konpensi ke Pengadilan. Manfaat
dari
gugat
rekonpensi
seperti
mempersingkat
dan
menyederhanakan persidangan. Menurut hemat Penulis, bahwa hal tersebut kadang sebaliknya, persidangan menjadi lama dan berlarut-larut serta tidak manjadi sederhana lagi, malah menjadi terkesan berbelit-belit. Yang seharusnya menyelesaikan dalam satu tuntutan malah menjadi beberapa tuntutan yang terkadang saling tuding-menuding dalam replik-dupliknya karena para pihak
merasa harus dibenarkan dan dikabulkan dalam tuntutannya. Namun ada pendapat yang mengatakan adanya gugatan rekonpensi pemeriksaan perkara menjadi efisien, cepat, dan sederhana, tidak begitu saja dikatakan tidak dibenarkan karena memang dengan adanya gugat rekonpensi perkara yang diajukan menjadi efisien. Karena memang penggugat dalam rekonpensi tidak harus membuat surat lagi untuk mengajukan gugatan dalam perkara yang baru atau tuntutan yang berbeda. Dengan gugat rekonpensi maka menjadi hemat biaya karena tidak ada biaya tambahan (menyatu dengan rekonpensi) dan sudah mengikuti biaya perkara awal. Dalam Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989 Tentang Peradilan Agama jo Undang-undang Nomor 3 Tahun 2006 Tentang Perubahan Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989 Tentang Peradilan Agama sebagai Hukum acara di Pengadilan Agama secara yuridis tidak ada aturannya, akan tetapi ketentuan dalam Undang-undang No. 7 tahun 1989 Tentang Peradilan Agama jo Undangundang Nomor 3 Tahun 2006 Tentang Perubahan Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989 Tentang Peradilan Agama juga memberlakukan Hukum Acara yang berlaku pada Peradilan Umum. Hal ini dijelaskan pada pasal 54 Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989 Tentang Peradilan Agama jo Undang-undang Nomor 3 Tahun 2006 Tentang Perubahan Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989 Tentang Peradilan Agama, yaitu: “Hukum Acara yang berlaku pada Pengadilan dalam lingkungan Peradilan Agama adalah Hukum Acara Perdata yang berlaku pada
Pengadilan dalam lingkungan Peradilan Umum. Kecuali yang telah diatur secara khusus dalam undang-undang ini”. Maka dengan demikian, mengenai gugatan rekonpensi di Pengadilan Agama berlaku ketentuan acara perdata yang berlaku pada Peradilan Umum, yaitu dalam paal 132 a dan 132 b HIR. Sedangkan dalam R.Bg. tentang rekonpensi diatur dalam pasal 157 dan 158.61 Seperti pasal 132 a dan 132 b HIR dan 158 R.Bg. yang berbunyi: a. Tergugat dapat mengajukan gugat balas (reconvetio sama dengan rekonpensi) dalam segala perkara, kecuali: 1) Semula dalam perkara itu bukan bertindak untuk dirinya, sedang gugat balas kepada dirinya sendiri; 2) Apabila Pengadilan Negeri tidak mempunyai wewenang mutlak; 3) Dalam hal perselisihan tentang pelaksanaan putusan hakim; b. Jika dalam pemeriksaan tingkat pertama tidak diajukan gugatan balas, maka dalam tingkat banding tidak dapat diajukan lagi. Pasal 132 b/158 HIR/R.Bg. a. Tergugat harus mengajukan gugat balas (rekonpensi) bersama-sama dengan jawabannya, baik dengan tertulis maupun lisan; b. Tentang gugat balas (rekonpensi) berlaku juga peraturan ini;
61
Abdul Manan. Penerapan Hukum Acara Perdata di Lingkungan Peradilan Agama, (Jakarta: Yayasan Al-Hikmah, 2001), Cet.Ke-2, h.37
c. Kedua perkara itu diperiksa bersama-sama dan diputuskan dalam satu putusan, kecuali kalau Pengadilan berpendapat bahwa perkara yang satu dapat diselesaikan lebih dulu daripada yang lain. Dalam hal ini perkara yang dapat diperiksa dahulu boleh didahulukan, tetapi gugatan semula dan dan gugatan balas (rekonpensi) yang belum diputuskan tetap diperiksa oleh hakim yang sama, sampai dijatuhkan putusan yang terakhir; d. Dapat memohon banding, kalau
jumlah uang dalam gugatan semula
ditambahkan dengan gugatan balas lebih dari jumlah yang sebanyakbanyaknya yang dapat diputus oleh Pengadilan Negeri sebagai Pengadilan Tertinggi; e. Kalau kedua pemeriksaan dipisahkan dan diputuskan satu persatu, maka harus diurut peraturan biasa tentang naik banding.62 Sesuai dengan penjelasan pasal-pasal di atas, masalah perceraian yang memungkinkan adanya gugatan rekonpensi sebagai alternatif penyelesaian akibat perceraian tentunya harus memenuhi persyaratan yang telah diuraikan dalam HIR pasal 132 a dan 132 b beserta R.Bg. pasal 157 dan 158. Demikian juga dalam prakteknya di Pengadilan Agama berlaku juga ketentuan di atas, juga UndangUndang Nomor 7 Tahun 1989 Tentang Peradilan Agama dalam pasal 73-86 yang berkaitan dengan cerai gugat. Walaupun demikian yang mangatur masalah gugatan rekonpensi secara eksplisit tentang akibat perceraian hanya pasal 86 ayat 62
Abdul Manaf. Bulletin Berkala Hukum dan Peradilan, (Jakarta: Direktorat Pembinaan Badan Peradilan Agama, Direktorat Jenderal Pembinaan Kelembagaan Agama Islam, Nomor 7 Tahun 1997/1998), h. 8
(1) mengenai cerai gugat. Karena pasal tersebut sebenarnya hanya mengatur tentang kumulasi (penggabungan) gugatan. Akan tetapi tidak menutup kemungkinan pada pasal-pasal di atas dapat ditafsirkan bahwa gugat rekonpensi dapat pula dimungkinkan adanya dalam masalah perceraian
di Pengadilan Agama.
Syarat-syarat Mengajukan Rekonpensi
2.
Gugat rekonpensi biasanya hanya bisa dilakukan pada perkara yang mengandung masalah kebendaan dan tidak pada masalah tentang status atau nonkebendaan. Ada beberapa persyaratan yang harus dipenuhi dalam mengajukan gugatan rekonpensi. Menurut A. Roihan Rasyid, syarat-syarat dibolehkannya gugatan rekonpensi adalah sebagai berikut: a. Mengajukan gugatan rekonpensi itu selambat-lambatnya bersama-sama dengan jawaban pertama dari tergugat konpensi. Gugatan rekonpensi sama dengan gugatan konpensi, boleh saja lisan bagi yang buta huruf; b. Kalau dimuka Pengadilan tingkat pertama tidak mengajukan rekonpensi maka ditingkat banding dan kasasi tidak boleh mengajukan gugatan rekonpensi; c. Kalau menggugat dalam gugat rekonpensi bertindak untuk suatu kualitas sedangkan rekonpensi menyangkut diri pribadi penggugat rekonpensi sendiri, rekonpensi tidak diperbolehkan. Misal: penggugat asal (dalam konpensi) bertindak sebagai wali maka gugatan rekonpensi tidak bisa diajukan kepada
penggugat asal yang sebagai wali tersebut kecuali terhadap orang yang di bawah perwaliannya; d. Gugatan rekonpensi harus juga jenis perkara yang menjadi kekuasaan dari Pengadilan dalam konpensi; e. Walaupun antara gugatan konpensi dan rekonpensi tidak mesti adanya hubungan saling ketergantungan akan tetapi antara gugatan dalam konpensi dan dalam rekonpensi tersebut harus mengenai satu rangkaian yang berkaitan langsung. Misal: penggugat asal menggugat tergugat asal dalam bidang harta warisan yang dikuasai oleh tergugat asal, lalu tergugat asal menyatakan bahwa harta itu didapatkan melalui wasiat dari almarhum kepadanya dan oleh karena itu tergugat asal memohon kepada Pengadilan agar harta yang dikuasainya itu diputuskan sebagai miliknya yang didapati melalui wasiat almarhum. Dalam contoh ini, gugatan penggugat rekonpensi (tergugat asal) tidak diperbolehkan sebab sudah terlepaskan dari kaitan langsung dengan penggugat asal. 63 Syarat pertama yang dipaparkan oleh A. Raihan Rasyid, yang menentukan pengajuan rekonpensi harus ada jawaban pertama sebenarnya dalam prakteknya tidak demikian, karena jawaban tergugat tidak hanya selesai satu kali jawab menjawab. Proses jawab menjawab ( replik dan duplik ), bisa terjadi beberapa kali dalam sebuah persidangan. Menurut Wiryono Projodikoro:” gugatan
63
Roihan .A. Rasyid. Hukum Acara Peradilan Agama, (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2001), Cet. Ke-8, h.71-72
rekonpensi masih dapat diajukan dalam acara jawab menjawab sebelum acara pembuktian”. Yahya Harahap, berpendapat tentang pengajuan gugat rekonpensi mengenai tata cara mengajukan gugat rekonpensi: “ memang masih sering terjadi perbedaan pendapat, seolah-olah lain hakim lain pendapatnya”. Ada yang berpendirian “ sempit”, mereka membatasi kebolehan pengajuan gugat rekonpensi terbatas hanya pada saat jawaban pertama. Pendirian yang semacam itu dapat dilihat dalam keputusan Mahkamah Agung tanggal 26 April 1979 No. 436 K/Sip/1975. Dalam putusan ini gugat rekonpensi dinyatakan tidak dapat diterima atas alasan pertimbangan yang berbunyi: “ karena gugat rekonpensi baru diajukan pada jawaban tertulis kedua, gugat rekonpensi tersebut adalah terlambat”. Alangkah formalistiknya sikap dan pendapat tersebut, sangat bertentangan dengan semangat dan jiwa asas Peradilan yang sederhana, cepat, dan biaya ringan. Apalagi jika diuji pendapat di atas dengan ketentuan pasal 132 b HIR atau pasal 158 RBg. Dalam pasal ini tidak ditegaskan secara pasti kapan mesti mengajukan gugat rekonpensi. Rumusannya boleh dikatakan bersifat umum : “ Tergugat wajib mengajukan gugatan rekonpensi bersama-sama jawabannya, baik dengan surat maupun dengan lisan”. Jawaban yang keberapa tidak ditentukan kalau begitu tidak wajib mesti dalam jawaban pertama. Ditinjau dari segi praktek, yang dimasukkan dalam pengertian jawaban ialah disekitar proses replik-duplik. Replik dan duplik bisa berlangsung sampai beberapa kali persidangan. Oleh Karena itu, putusan dimaksud terlampau kaku dan formalistik. Seolah-olah hendak
memaksakan kekakuan sikap formalistik Rv kedalam kehidupan Peradilan Indonesia”. Menurut pemahaman Penulis, bahwa gugatan rekonpensi dapat diajukan bersamasama jawaban pertama adalah gugatan yang sejak awal sampai dalam proses replik duplik dilakukan secara tertulis. Adapun pengajuan gugatan rekonpensi bisa dilakukan sebelum pembuktian ini terjadi ketika sejak awal gugatan sampai proses replik duplik yang dilakukan secara lisan, karena pengajuan gugatan rekonpensi secara tertulis harus pada jawaban pertama untuk mencapai tujuan Peradilan yang cepat dan sederhana. Dengan mengajukan gugatan rekonpensi setelah jawaban selesai maka perkara bisa berlarut-larut dan kemungkinan dapat merugikan pihak penggugat. Dengan adanya syarat-syarat tersebut tidak akan ada kesalahan mungkin terjadi dalam praktek di Pengadilan, dalam menangani gugatan rekonpensi dan bisa terjauh dari kekeliruan mana hal rekonpensi dan mana yang bukan rekonpensi dalam gugatan perdata. Larangan mengajukan gugat rekonpensi 3. Rekonpensi pun menjadi terlarang ketika diajukan kepada: a. Kuasa hukum penggugat asal atau penggugat dalam kualitas yang berbeda. Misalnya, seorang nadzir mengajukan gugatan kepada seorang tergugat, kemudian tergugat mengajukan gugatan rekonpensi terhadap pribadi nadzir dalam kapasitas sebagai pribadi, hal ini tidak dibenarkan. Demikian pula
apabila dikuasakan kepada kuasa khusus, kemudian tergugat menggugat kuasa khusus tersebut; b. Pengadilan yang memeriksa gugatan konpensi, tidak berwenang memeriksa gugatan rekonpensi; c. Dalam perkara mengenai pelaksanaan keputusan; d. Diajukan bukan pada tahap jawaban (jawab-menjawab); e. Gugatan rekonpensi hendaknya berkaitan dengan hukum kebendaan dan tidak diajukan dalam perkara yang bekaitan dengan hukum perorangan atau yang berkaitan dengan status seseorang.64 B. Cara Mengajukan Gugatan Rekonpensi Dalam gugatan rekonpensi yang menjadi pihak penggugatnya adalah tergugat atau salah seorang dari tergugat dalam konpensi dan yang menjadi tergugatnya adalah penggugat dalam konpensi. Gugat rekonpensi ini bukan perkara baru dan tidak perlu diberi nomor dalam register baru, pihak penggugat juga tidak perlu membayar persekot biaya perkara yang sudah dibayar oleh penggugat dalam perkara awal (konpensi). Cara mengajukan gugat rekonpensi tidak ada bedanya sebagaimana mengajukan gugat konpensi. Gugat rekonpensi disusun sama dalam gugatan konpensi dibuat menurut pasal 120 HIR/ pasal 144 R.Bg. Identitas para pihak kedudukanya mengikuti gugatan dalam konpensi yang tidak dibuat baru dalam
64
A.Mukti Arto. Praktek Perdata Pada Pengadilan Agama, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2000), Cet. Ke-3, h.107
rekonpensi, tetapi posita dan petitumnya tetap harus diperjelas dan dipertegas yang merupakan tuntutan rekonpensi. Gugatan rekonpensi diajukan bersamasama pada saat tergugat menjawab gugatan konpensi baik secara tetulis maupun lisan dan sampai saatnya sebelum diajukan pembuktian apabila dalam pengajuan gugatannya secara lisan. Jika gugat rekonpensi diajukan secara tertulis, maka dalam jawaban tergugat terhadap gugatan konpensi sekaligus dikumulasikan dengan gugatan rekonpensi sebagaimana lazimnya membuat surat gugatan. Jika gugat rekonpensi diajukan secara lisan dalam persidangan, maka penggugat rekonpensi menyampaikan secara rinci baik posita
maupun petitum yang
dijadikan dasar tuntutannya. Panitera berkewajiban mencatat segala ihwal gugatan rekonpensi itu dalam berita acara persidangan secara lengkap dan juga apa yang menjadi petitum rekonpensinya sehingga jelas permintaannya. Akan tetapi kalau perkara pada pemeriksaan tingkat pertama naik banding dan kebetulan gugatan rekonpensi tidak diajukan, maka gugatan rekonpensi oleh penggugat dalam rekonpensi tidak bisa diajukan ditingkat banding. Begitu pula Peradilan yang menangani perkara rekonpensi haruslah yang mempunyai kompetensi mengadili akan hal perkara konpensinya. Dalam masalah perceraian, cerai gugat yang diajukan pihak isteri dalam perkaranya, apabila seorang isteri dalam permohonannya tidak menyinggung sedikit pun terhadap akibat cerai, seperti nafkah anak dan hak pemeliharaan anak (hadhanah) seorang suami harus tanggap akan hal ini, karena ada kemungkinan tidak dicantumkan nafkah anak dan hak pemeliharaan anak (hadhanah) isteri akan
melepas hal itu dan dia (isteri) ingin menguasai sepenuhnya. Maka dalam hal ini seorang suami dalam proses persidangan, dapat mengajukan gugatan rekopensi tentang nafkah anak dan hak pemeliharaan anak (hadhanah). C. Kronologis Perkara Dalam perkara cerai gugat ini, yang diajukan kepada Pengadilan Agama Jakarta Pusat oleh pemohon yang bernama Ningrum Mudi Pertama binti Abdul Radjak, W.A, yang berumur 26 tahun, beragama Islam, dan bekerja sabagai Pegawai Negeri Sipil (PNS) serta yang beralamat di Jl. KH. Mas Mansyur No. 25.A Blok 44-2-1 Rt/Rw. 006/011, Kelurahan Kebon Kacang, Kecamatan Tanah Abang, Kodya Jakarta Pusat, Propinsi DKI Jakarta. Sebagaimana pemohon atau penggugat ini adalah juga anak kandung dari ibu Drs. Hj. Nuryanis M.Ag binti H. Nurdin Sutan Muncak dalam perkara ini, si ibu menjadi saksi atas perkara yang diajukan oleh penggugat (anak). Kemudian Ningrum Mudi Pertama Binti Abdul Radjak.W.A. Pada tanggal 12 Januari 2007 mengajukan gugatan atas perkara perceraian yang didaftarkan di Kepaniteraan Pengadilan Agama Jakarta Pusat dengan nomor register nomor :078/Pdt.G/2007/PA.JP. Dalam hal ini, suami adalah sebagai Tergugat (Termohon) yang bernama Dicki Novandi Agoes Bin Arifin Buyung, umur 26 tahun, beragama Islam, yang bekerja sebagai Karyawan Swasta serta yang beralamat di jalan Rumah Susun Karet Pasar Baru Barat (Karet Tengsin) Blok A305 Kelurahan Karet Tengsin, Kecamatan Tanah Abang, Kodya Jakarta Pusat, Propinsi DKI Jakarta. Yang merupakan anak tiri dari ibu yang bernama Ria
Lestari Binti Budi Utomo dalam hal ini, si ibu menjadi saksi atas perkara perceraian anak tirinya tersebut. Dalam perkara ini juga, Tergugat memberikan kuasa hukumnya yang bernama John Sidi Sidabutar, SH. dan Ferdinand Robot, SH. dari kantor Jack yang beralamat di Bumi Daya Plaza lantai 24 Jalan Imam Bonjol No.61 Jakarta. Berdasarkan surat Kuasa Khusus bertanggal 12 Pebruari 2007 dimana dalam sidang sampai pada tahap putusan mereka selalu mendampingi pihak Tergugat. Sebelum terjadi perceraian, kedua belah pihak antara Ningrum Mudi Pertama Binti Abdul Radjak.W.A. dan Dicki Novandi Agoes Bin Arifin Buyung telah melangsungkan pernikahan pada tanggal 08 Januari 2004 yang dicatat oleh Pegawai Pencatat Nikah Kantor Urusan Agama Kecamatan Tanah Abang Jakarta Pusat dalam kutipan Akta Nikah Nomor : 26/26/1/2004 tanggal 08 Januari 2004. Bahwa setelah pernikahan tersebut Penggugat dengan Tergugat bertempat tinggal di rumah kediaman bersama di rumah orang tua Penggugat dengan alamat Penggugat yang tercantum di atas. Selama pernikahan tersebut telah hidup rukun sebagaimana layaknya suami isteri dan telah dikaruniai seorang anak yang bernama Muhammad Maulana Khoir, lahir pada tanggal 28 September 2004. Namun kurang lebih sejak bulan Januari tahun 2004 ketentraman rumah tangga Penggugat dengan Tergugat mulai goyah disebabkan: Pertama Tergugat di dalam rumah tangga kalau ada masalah kecil selalu menjadi besar dan diakhiri dengan ucapan kasar serta pemukulan (ringan tangan) dan Tergugat mempunyai tempramental sangat tinggi, bahkan setiap hari timbul perselisihan dan
percekcokan terus menerus membuat psikis Penggugat tertekan sampai saat ini, Kedua Tergugat sikapnya dalam rumah tangga sangat cemburuan padahal yang dicemburuinya hanya sebatas teman, akan tetapi Tergugat selalu tidak percaya bahkan suka mengeluarkan kata-kata yang tidak senonoh seperti selinguh/ berzinah. Ketiga Tergugat sejak menikah kurang memperhatikan masalah kebutuhan dalam rumah tangga seperti masalah keuangan yang di berikan hanya semaunya dan tidak pernah mencukupi untuk keperluan sebulan. Keempat Tegugat setelah menikah 2 hari pernah mengucapkan kata-kata cerai 3 kali dan juga pernah mengembalikan Penggugat kepada orang tua dengan tujuan untuk menceraikan. Kelima Penggugat dan Tergugat telah berpisah rumah sejak tanggal 9 Februari 2007 dimana Tergugat pergi ke rumah keluarganya dengan membawa anak serta pembantu tanpa kompromi dan sejak awal Februari 2007 tidak memberi nafkah bathin sedangkan nafkah lahir sudah tidak diberikan sejak bulan Januari 2007. Keenam Tergugat pada tanggal 5 Januari 2005 pergi bekerja ke luar negeri selama 1 tahun dan hanya memberikan nafkah lahir dengan mengirimkan uang sebanyak Rp.750.000,- perbulan untuk keperluan anaknya, seharusnya seorang kepala rumah tangga tidak berbuat hal seperti itu, karena itu sama sekali tidak akan mendapatkan rumah tangga yang diinginkan (sakinah). Berdasarkan permasalahan yang timbul dalam rumah tangga Penggugat dengan Tergugat di atas, pertengkaran dan percekcokan yang tak ujung damai dan membuat ketidak keharmonisan untuk hidup rukun lagi serta membuat psikis isteri yang merasa tertekan dan terutama pada psikis anaknya yang baru berumur
3 (tiga) tahun atau belum mumayyiz dan membutuhkan kasih sayang dari kedua orang tuanya secara intensif, sementara hal itu sudah tidak didapatkannya lagi karena adanya perselisihan dan persengketaan
yang terus-menerus, sehingga
mengharuskan adaya jalur perceraian yang menjadi solusi terakhir bagi permasalahan yang terjadi antara Penggugat dan Tergugat. Dengan demikian masalah yang pelik ini, Penggugat menunjuk Pengadilan Agama Jakarta Pusat dapat memberikan solusi dengan harapan besar dapat menemukan keadilan yang seadil-adilnya dalam menangani perkara ini. Kemudian agar mandapat keterangan yang lebih jelas dan bila memutuskan perkara sesuai dengan ketentuan hukum yang berlaku dilingkungan Peradilan, baik hukum materil maupun hukum formilnya. Maka Majelis Hakim meminta menghadirkan bukti-bukti dalam berperkara ini dan untuk mendukung dalildalilnya Penggugat telah mengajukan bukti foto copy surat bermaterai cukup yang telah diperiksa dan dicocokkan dengan aslinya sebagai berikut : a. Bukti Kutipan Akta Nikah Nomor : 26/26/1/2004 tanggal 008 Januari 2004 yang dikeluarkan oleh Kantor Urusan Agama Kecamatan Tanah Abang Jakarta Pusat.(P-1); b.
Akta kelahiran No. AL.500.0129730 tanggal 11 Pebruari 2005 atas nama Muhammad Maulana Khoir.(P-2);
c. Surat Tugas No.Dj.II/Set Dj II/2/Kp.075/476/06 tertanggal 08 Juni 2006. (P-3); d. Surat Tugas Menjalankan Lembur tertanggal 20 September 2006.(P-4);
e. Surat Penggugat kepada Tergugat tertanggal 7 Maret 2005.(P-5); f. Participation Certificate Female
Teachers Nation Workshop on Letarcy
Methodc Adequate for Girls and Women tanggal 24 s/d 29 Juli 2006.(P-6); g. Surat
Keputusan
Direktur
Jenderal
Pendidikan
Islam
o.Dj.II/Set,Dj
II/4/400/2006 (Perjalanan Dinas Luar Kota).(P-7); h. Surat Perjalanan Dinas Luar Kota tertanggal 8 September 2006 Di Yogyakarta tanggal 14 s/d 16 September 2006.(P-8); i.
Surat Perjalanan Dinas Luar Kota tertanggal 01 Nopember 2006 Tujuan Semarang tanggal 07 s/d 09 Nopember 2006.(P-9);
j.
Surat Tugas Menjalankan Lembur tertanggal 13 Desember 2006 dikuatkan dengan
Surat
Keputusan
Direktur
Jenderal
Pendidikan
Islam
No.
Dj.II/Setr.Dj.II/314B/2006 tanggal 28 Agustus 2006.(P-10); k. Surat Tugas menjalankan Lembur tertanggal 13 Desember 2006 dikuatkan dengan
Surat
Keputusan
Direktur
Jenderal
Pendidikan
Islam
No.Dj.II/Set.DJII/314B/2006 tanggal 28 Agustus 2006.(P-11); l.
Surat Perjalanan Dinas Luar Kota tertanggal 15 Januari 2007 Tujuan Puncak, Bogor. Tanggal 18 s/d 22 Januari 2007.(P-12);
m. Pengiriman uang Tergugat kepada Pergugat (P-13); n. Surat Pernyataan Tergugat kepada Penggugat Untuk mengembalikan Muhammad Maulana Khoir kepada Pernggugat yang dikuatkan pernyataan para saksi-saksi atas nama Abdul Haris Mugni dan Suparto.(P-14);
o. Surat Rekomendasi BFLN untuk TKI Cuti yang dikeluarkan oleh Departemen Tenaga Kerja dan Transmigrasi RI Balai Pelayanan Penempatan Tenaga Kerja Indonesia tertanggal 21 Pebruari 2006.(P-15); p. Asli Surat Izin atasan Nomor : Dj.I/HK.03.4/340/2007 tanggal 9 April 2007 dari Direktur Jenderal Pendidikan Islam, (P-16). Selain itu juga, para pihak dalam persidangan menghadirkan saksi-saksi untuk dapat menguatkan dalilnya tersebut, di antaranya dengan menghadirkan saksi keluarga atau orang yang dekat dengannya bernama : 1) Drs. Hj. Nuryanis M.Ag Binti H. Nurdin Sutan Muncak, dibawah sumpahnya memberikan keterangan didalam persidangan pada pokoknya adalah sebagai berikut: -
Bahwa saksi adalah ibu kandung Penggugat;
-
Bahwa saksi tahu mereka menikah tanggal 8 Januari 2004;
-
Setahu saksi pada tahun-tahun pertama, pemilik kontrakan bercerita bahwa Penggugat dan Tergugat sering bertengkar, Penggugat suka dipukul sama Tergugat, pernah juga di depan saksi di rumah Tergugat pernah mencekik Penggugat, menendang sampai Penggugat tersungkur kejadianya pada tahun 2004 akhir, dan saksi tidak tahu sebabnya Tergugat bertindak seperti itu;
-
Bahwa setahu saksi, Tergugat sering berkata kasar;
-
Bahwa Tergugat bekerja di Supermarket Club Store terakhir di Giant di Dubai, tetapi di Dubai pun Tergugat saya dengar pinjam uang sana-sini;
-
Bahwa setahu saksi, Tergugat selalu cemburu dengan Penggugat karena sering pulang malam karena lembur kantor dan cemburu Penggugat tidak beralasan dan tidak ada pihak ketiga;
-
Bahwa dari hasil perkawinan Penggugat dengan Tergugat telah dikaruniai anak 1 (satu) orang dan sekarang dibawa oleh Terggugat sejak tanggal sejak tanggal 9 Pebruari 2007 dan sebelumnya anak tersebut bersama Penggugat;
-
Bahwa saksi pernah mendengar saat pernikahan berjalan 4 (empat) bulan, Tergugat pernah mengucapkan ke saksi bahwa Tergugat mengembalikan ke saya;
-
Bahwa saksi sudah berusaha mendamaikan Penggugat dengan Tergugat tetapi tidak berhasil.
Saksi kedua yang merupakan mertua dari Penggugat juga sebagai ibu tiri Tergugat bernama Ria Lestari binti Budi Utomo yang pada intinya memberi keterangan yang sama seperti pada saksi pertama karena rumah mereka tidak jauh jadi menurutnya tahu sedikit banyaknya permasalahan yang terjadi pada kedua belah pihak. Setelah saksi memberikan keterangan di hadapan sidang Penggugat membenarkan atas kesaksian tersebut dan dari pihak kuasa hukum Tergugat tidak mengajukan pertanyaan kepada saksi. Kemudian pihak kuasa hukum Tergugat pun mengajukan bukti berupa saksi untuk menguatkan dalilnya yang bernama :
2) Ijah Haddijah Binti Amu Winata, dibawah sumpahnya memberikan keterangan sebagai berikut : -
Bahwa saksi sebagai Pembantu/ bekerja dirumah Penggugat selama kurang lebih 2 bulan sekitar Nopember dan Desember 2005;
-
Bahwa setahu saksi, Penggugat bekerja di Depag kalau berangkat kadang jam 9 terkadang 10 dan kalau pulang terkadang jam 9 malam;
-
Bahwa setahu saksi kalu anak dengan saksi, dijemput jam 20.00 malam terkadang jam 1.30 malam pada tahun 2005;
-
Setahu saksi yang mengantar Penggugat pulang temannya dan itu-itu saja;
Saksi yang kedua juga sebagai paman dari Tergugat yang bernama Ariyanto bin Agus yang memberikan keterangan pada Majelis Hakim yang pada intinya sama seperti pada keterangan saksi pertama karena menurutnya samasama pernah mengurus anaknya kedua belah pihak. Namun hal ini, setelah Penggugat mengajukan gugatannya di Pengadilan Agama Tergugat tidak tinggal diam atas alasan-alasan yang dikemukakan oleh Penggugat maka Tergugat menggugat kembali perkaranya tentunya dalam akibat perceraiannya yaitu masalah pemeliharaan dan pengasuhan anak (hadhanah). Maka kedudukan Penggugat dalam konpensi serta Tergugat dalam Rekonpensi. Selanjutnya akan dibahas secara rinci di bawah ini.
D. Pertimbangan dan Putusan Hakim 1. Pertimbangan Hakim Dalam setiap perkara perdata yang terjadi adalah sebuah wujud antara teori dan praktek harus dapat dilaksanakan sesuai dengan jalur hukum yang berlaku di lingkungannya. Maka dalam hal ini Pengadilan ditunjuk sebagai penegak keadilan bagi orang yang mencari keadilan, bagi perkara orang Islam dalam hal perdatanya seperti Perceraian akibat perkawinan yang bermasalah, untuk itu hakim di Pengadilan diminta menjadi penengah atau bisa menjadi juru damai (Hakamain) sekaligus penegasan hukum yang terjadi pada perkaranya yang diajukan oleh para pihak tersebut, dengan harapan menemukan keadilan. Sebagaimana yang telah diuraikan di atas tentang duduknya perkara No. 078/Pdt.G/2007/PA.JP, Majelis Hakim memberikan pertimbangan-pertimbangan dalam masalah gugatan rekonpensi mengenai perkara perceraian dan akibatnya terhadap hak hadhanahnya. Dalam ketentuan hukum yang berlaku bahwa berdasarkan bukti P-1 dihubungkan P-2 dan pengakuan Penggugat terbukti bahwa Penggugat dan Terggugat adalah isteri dan suami sah yang pernikahannya dilaksanakan pada tanggal 08 Januari 2004 dihadapan PPN Kecamatan Tanah Abang sebagaimana ternyata dalam Bukti Kutipan Akta Nikah Nomor: 28/05/1/2001 oleh karenanya keduanya mempunyai kualitas hukum untuk bertindak sebagai pihak-pihak dalam perkara ini.
Dengan adanya bukti pernikahan yang sah menurut hukum, Majelis Hakim memanggil secara patut sesuai dengan aturan perundangan-undangan yang berlaku di lingkungan Peradilan. Dalam persidangan yang pertama dihadirkan oleh Penggugat sedangkan tergugat diwakili oleh kuasa hukumnya John Sidi Sidabutar, dan Ferdinand Robot, Majelis Hakim berusaha untuk mendamaikan kedua belah pihak dengan memberikan nasehat kepada Penggugat untuk rukun kembali dengan Tergugat dengan ketentuan pasal 82 ayat 1 dan 4 UndangUndang Nomor 7 Tahun 1989 Tentang Peradilan Agama sebagaimana telah diamandemen oleh Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2006 jo pasal 31 ayat 1 dan 2 Peraturan Pemerintah Nomor 9
Tahun 1975, tetapi Penggugat tetap pada gugatannya.
Setelah sidang yang pertama hakim berusaha mendamaikan dan uraian Penggugat pada pokoknya mendalilkan bahwa rumah tangga Penggugat dengan Tergugat sudah tidak ada keharmonisan lagi dikarenakan adanya perselisihan dan pertengkaran yang terjadi terus menerus yang dipicu oleh sikap Tergugat yang pencemburu, Tergugat sangat temperamen masalah kecil menjadi besar yang mengakibatkan Penggugat secara psikis sangat tertekan. Namun dalam dalil yang dikemukan oleh Penggugat tersebut, Tergugat melalui kuasa hukumnya mendalilkan dalam jawaban dan dupliknya sebagian membenarkannya dan disebagianya dibantah seperti Tergugat menyatakan tidak benar dalam membina rumah tangga kalau ada masalah kecil selalu menjadi besar
dan diakhiri dengan ucapan kasar serta pemukulan dan bertemperamen sangat tinggi, serta setiap hari timbul perselisihan dan pertengkaran yang terus menerus. Pada sidang lanjutan, Tergugat mengajukan eksepsi yang pada pokoknya adalah bahwa Penggugat dalam mengajukan gugatan aquo terhadap Tergugat terlalu premature, karena Penggugat adalah seorang Pegawai Negeri Sipil (PNS) pada Departemen Agama, sehingga apabila seorang Pegawai Negeri Sipil akan mengajukan gugatan perceraian, maka harus terlebih dahulu mendapatkan ijin persetujuan dari atasan Penggugat, maka Majelis Hakim berpendapat atas eksepsi tersebut di atas bahwa ijin atasan bagi seorang Pegawai Negeri Sipil bukan merupkan syarat formal atau hukum acara bagi Peradilan Agama dan tidak meghalangi seorang Pegawai Negeri Sipil untuk menyelesaikan perkara perceraiannya, karena izin atasan langsung bisa diperoleh sebelum maupun sesudah perkara didaftarkan. Kemudian dalam gugatannya, Penggugat menuntut ditetapkan sebagai pihak yang merawat dan mengasuh seorang anak yang bernama Muhammad Maulana Khoir, lahir tanggal 28 September 2004. Serta Penggugat meminta kewajiban nafkah anak yang harus ditanggung oleh Tergugat, kemudian dalam jawaban dan dupliknya bahwa Tergugat menggugat balik (rekonpensi) atas hak pengasuhan terhadap Penggugat dengan alasan Penggugat tidak bisa merawat anak, selalu pulang malam dan kurang perhatian terhadap anaknya. Berdasarkan keterangan Penggugat dan keluarga atau yang dekat dengan Penggugat dan keluarga atau yang dekat dengan Tergugat dihubungkan dengan
keterangan Penggugat dan kuasa hukum Tergugat maka majelis hakim berkesimpulan bahwa Penggugat telah berhasil membuktikan dalil-dalilnya, oleh karenanya permohonan Penggugat dapat dikabulkan dengan menjatuhkan talak 1 (satu ) bain sughro. Majelis Hakim berpendapat anak Penggugat masih dibawah umur/ kecil dilihat secara psikologis maupun biologis anak yang masih kecil memerlukan belaian kasih sayang ibunya dan biasanya lebih dekat dengan ibunya dan sesuai dengan ketentuan pasal 105 huruf (a) Kompilasi Hukum Islam anak yang bernama Muhammad Maulana Khoir (lahir tanggal 28 September 2004) harus ditetapkan berada dalam asuhan dan pemeliharaan Penggugat sampai anak tersebut dapat menentukan pilihannya sendiri. Kemudian dalam sidang berikutnya, berdasarkan keterangan Penggugat dihubungkan dengan pengakuan kuasa hukum Tergugat yang menyatakan bahwa anak dibawah umur atau dikuasai oleh Tergugat tersebut dan sampai saat ini Tergugat masih berada di Dubai sehingga keberadaan anak yang bernama Muhammad Maulana Khoir lahir tanggal 28 September 2004 tidak diketahui. Oleh karena pihak Penggugat telah ditetapkan sebagai hadlin (pengasuhan dan pemeliharaan
anak)
dihubungkan
bukti
P-14
bahwa
Tergugat
akan
mengembalikan anak yang bernama Muhammad Maulana Khoir (lahir tanggal 28 September 2004) kepada Penggugat ternyata sampai perkara tersebut diputuskan Tergugat belum juga menyerahkan anak tersebut. Dengan hal ini, Majelis Hakim mengetengahkan hal-hal tersebut, sebagaimana diatur dalam Undang-Undang Nomor Tahun 2004 Tentang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga. Hal
demikian merupakan untuk mengingatkan agar para pihak-pihak dapat ikut menjaga keutuhan dan keharmonisan dalam rumah tangganya. Mengenai tuntutan Penggugat berupa nafkah anak harus ditanggung oleh Tergugat perbulan Rp. 5.000.000 (lima juta rupiah) dan untuk kemaslahatan anak meraih masa depan yang cemerlang perlu ditetapkan biaya pengasuhan dan pemeliharaan
anak.
Kemudian
berdasarkan
pengakuan
Penggugat
dan
dihubungkan dengan keterangan Kuasa Hukum Tergugat serta keterangan saksisaksi di persidangan bahwa Tergugat memiliki pekerjaan dan berpenghasilan tetap, dan sewaktu Tergugat memberikan nafkah kepada Penggugat sebesar Rp.750.000 (tujuh ratus lima puluh ribu rupiah). Dengan adanya hal demikian, Majlis Hakim berpendapat bahwa setiap orang tua manapun menginginkan yang terbaik bagi putra-putrinya begitu pula apa yang diinginkan oleh Penggugat, namun demikian keinginan yang terbaik tersebut harus disesuaikan dengan kemampuan dan penghasilan Tergugat sesuai dengan firman Allah SWT dalam surat At-Talak ayat 7:
,#b &xI I¤ ` #"S;# 12#M ,41 X#-#CI I¤ #"S; n- 2 #-;4 /0 Y > - 1: > +☺# H0G ¢"4o > #V $( 3I *«1JI¤ Y Id 1: > 4
)*+¦ )*+ IM 4. >
(٧: )ا'"ق Artinya : “Hendaklah orang yang mampu memberi nafkah menurut kemampuannya. dan orang yang disempitkan rezkinya hendaklah memberi nafkah dari harta yang diberikan Allah kepadanya. Allah
tidak memikulkan beban kepada seseorang melainkan sekedar apa yang Allah berikan kepadanya. Allah kelak akan memberikan kelapangan sesudah kesempitan”. Berdasarkan pertimbangan-pertimbangan tersebut di atas sesuai pasal 41 huruf (b) Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 jo pasal 105 huruf (c) KHI adalah dipandang patut dan layak untuk nafkah dua orang anak sebesar Rp.750.000 (tujuh ratus ribu rupiah) perbulan mengingat Tergugat usia produktif dan biaya tersebut dipandang dapat memenuhi kebutuhan hidup minimal di Jakarta. Dalam masalah pengasuhan dan pemeliharaan anak yang sudah ditetapkan oleh Majelis Hakim perlu mengetengahkan pasal 77 huruf (b) Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 Tentang Perlindungan anak yang menyebutkan bahwa setiap orang yang dengan sengaja melakukan tindakan penelantaran terhadap anak yang mengakibatkan anak mengalami sakit atau penderitaan, baik fisik, mental, maupun sosial dipidana paling lama 5 (lima) tahun dan/atau denda Rp.100.000.000 (seratus juta rupiah), oleh karena itu Majelis Hakim memerintahkan kepada pihak mentaati apa yang telah diputuskan dalam perkara ini. Mengenai gugatan Tergugat maka gugatan balik yang diajukan Penggugat Rekonpensi (Tergugat) cukup beralasan dan tidak bertentangan dengan hukum sesuai pasal 132 huruf (b) HIR maka gugatan balik (rekonpensi) Tergugat oleh karenanya dapat diterima dan dipertimbangkan.
Kemudian dalam tuntutan tersebut Majelis Hakim telah menetapkan dalam konpensi bahwa seorang anak bernama Muhammad Maulana Khoir (lahir tanggal 28 September 2002) berada dalam asuhan dan pemeliharaan Tergugat rekonpensi (Penggugat), maka berdasarkan pertimbangan tersebut di atas gugatan Penggugat rekonpensi (Tergugat) ditolak. Dengan demikian, oleh karena perkara ini termasuk dalam bidang perkawinan, maka sesuai pasal 89 ayat (1) Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989 Tentang Peradilan Agama sebagaimana yang telah diamandemen oleh UndangUndang Nomor 3 Tahun 2006 Tentang Perubahan Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989 Tentang Peradilan Agama, semua biaya yang timbul oleh perkara ini dibebankan kepada Penggugat. Dengan demikian, Majelis Hakim telah mempertimbangkan perkara perceraian dengan gugat rekonpensi agar dapat putusan yang memberikan kepastian hukum dengan seadil-adilnya menurut peraturan Undang-undang yang berlaku dalam hukum materil maupun hukum formil di lingkungan Peradilan. 2. Putusan Hakim Bedasarkan pertimbangan-pertimbangan tersebut di atas, majelis hakim memberikan berapa penetapan dan keputusan yang menyangkut perkara yang dalam konpensi antara Penggugat dengan Tergugat telah menyatakan bahwa: Pertama, Perkawinan suami isteri telah sah bercerai menjatuhkan thalak satu bain sughro Tergugat (Dicky Novandi Agoes bin Arifin Buyung) kepada Penggugat (Ningrum Mudi Pertami binti Abdul Radjak W.A). Kedua, Menetapkan seorang
anak yang bernama Muhammad Maulana Khoir (lahir tanggal 28 September 2004) berada dalam asuhan dan pemeliharaan Penggugat sampai anak tersebut menentukan pilihannya sendiri dan Tergugat dapat berkunjung untuk memberikan kasih sayangnya kepada anak tersebut. Ketiga, Menghukum Tergugat atau pihak lain/ keluarga Tergugat untuk menyerahkan anak yang bernama Muhammad Maulana Khoir (lahir tanggal 28 September 2004) kepada Penggugat. Keempat, Menetapkan nafkah anak seorang anak perbulan sebesar Rp.750.000 (tujuh ratus ribu rupiah) yang diserahkan kepada Penggugat setiap tanggal 5 (lima) bulan berjalan. Kelima, Serta dalam perkara ini membebankan kepada Penggugat untuk membayar semua biaya perkara ini sebesar Rp. 295.000 (dua ratus sembilan puluh lima ribu rupiah). Demikian diputuskan dalam rapat permusyawaratan Majelis Hakim pada hari Senin tanggal 16 April 2007 M, bertepatan dengan tanggal 28 Rabiul Awal 1428 Hijriyah, oleh Elvi Nailana, S.H. M.H yang yang ditetapkan oleh Ketua Pengadilan Agama Jakarta Pusat sebagai Ketua Majelis, Drs. H. Fauzi M.Nawawi dan Hj. Munifah Djam’an, S.H. masing-masing sebagai hakim anggota, dan ucapkan dalam sidang terbuka untuk umum pada hari Kamis tanggal 19 April 2007 Masehi bertepatan dengan tanggal 1 Rabiul Akhir 1428 Hijriyah, oleh Ketua Majelis dan Hakim-hakim anggota, dan dibantu oleh Endang Purwihartati, S.H. Panitera Pengganti dengan dihadiri Penggugat dan tanpa dihadiri kuasa hukum Tergugat. E. Analisis penulis
Dalam masalah cerai gugat yang besertakan adanya gugat rekonpensi dengan hak hadhanah, maka dalam hal ini Penulis menganalisis perkara No.078/Pdt.G/2007/PA.JP. Bahwa cerai gugat yang diajukan seorang isteri kepada suaminya, dengan alasan-alasan perceraian telah terpenuhi, maka perceraian pun tidak bisa dihindari demi terciptanya maslahat kedua belah pihak suami isteri. Mempertahankan perkawinan yang sudah tidak lagi harmonis dan ideal sangatlah percuma dan sia-sia karena akan menyebabkan hal-hal yang negatif baik antara keduanya, maupun keluarga besarnya. Seperti kasus yang ditangani oleh Pengadilan Agama Jakarta Pusat Mengenai cerai yang diajukan pihak isteri, atas pertimbangan Majelis Hakim diputuskan dengan menjatuhkan talak bain sughra dari suami kepada isterinya, karena memandang hal-hal yang menjadi alasan perceraian telah terpenuhi. Mengenai hal yang menjadi ketentuan suami dalam rekonpensi yang berkaitan dengan permohonan penguasaan anak oleh suami, karena anak tersebut masih di bawah umur (belum mumayyiz), maka pengasuhannya diserahkan pada ibunya. Dalam kerangka fiqih adalah bahwa sebelum mencapai masa mumayyiz, jika terjadi perceraian maka yang lebih berhak melakukan hadhanah terhadap anak adalah ibu kandungnya. Jika ibu kandungnya meninggal atau berhalangan, maka tugas hadhanah dilakukan oleh kerabat wanita garis lurus setelah ibu Hal ini sesuai dengan pendapat Imam seperti nenek dari ibu dan seterusnya. madzhab sebagai berikut: menurut Hanafiah ibu lebih utama terhadap anak hingga dia mampu memenuhi kebutuhannya sendiri. Apabila anak itu sudah
mampu berdiri sendiri, maka ayah lebih berhak terhadap anak lelaki dan ibu lebih berhak terhadap anak perempuan. Hal ini disetujui oleh imam Malik yang mengatakan: Bahwa ibu lebih berhak terhadap anak itu, baik lelaki maupun perempuan. Begitupula pendapat imam Syafi’i yang menghendaki bahwa pengasuhan anak di bawah umur jatuh kepada ibu. Menurut hemat Penulis pendapat Imam madzhab di atas sangat logis karena anak yang masih di bawah umur (belum mumayyiz) masih sangat membutuhkan kasih sayang dan perhatian yang lebih dominan dari seorang ibu sampai anak tersebut dapat menentukan pilihannya, karena fitrah seorang ibu adalah mengasuh, menyusui dengan kasih sayang dan kedekatan naluri seorang ibu terhadap anak tidak dapat dihilangkan. Walaupun demikian bukan berarti anak tersebut tidak memerlukan kasih sayang seorang ayah. Hal ini dilakukan demi kemaslahatan kebutuhan dan perkembangan mental anak. Dalam Undang-undang perkawinan mengatur dan melindungi hak anak setelah perceraian yang menyangkut pemeliharaan dan pendidikan anak, hal ini sesuai dengan pasal 41 (a) Undang-undang perkawinan yang berbunyi: ”Baik ibu atau bapak tetap berkewajiban memelihara dan mendidik anaknya, semata-mata berdasarkan kepentingan anak”. Begitu juga dengan kesejahteraan anak yang terdapat dalam pasal 9 Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1979 Tentang kesejahteraan Anak bahwa: “Orang tua adalah yang pertama-tama yang bertanggung jawab atas terwujudnya kesejahteraan anak baik secara rohani, jasmani, maupun sosial”. Anak juga mempunyai Hak asasi manusia dalam
mendapatkan kenyamanan dari kedua orang tuanya setelah perceraian sebagaimana yang diatur dalam pasal 1 ayat (5) Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 Tentang Hak Asasi Manusia yang berbunyi: “Anak adalah setiap manusia yang berusia dibawah 18 tahun dan belum menikah termasuk anak yang masih dalam kandungan apabila hal tersebut demi kepentingannya”. Hal tersebut juga terdapat dalam pasal 1 ayat (1) Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 Tentang Perlindungan Anak yang menyatakan bahwa: ”Anak adalah seseorang yang belum berusia 18 (delapan belas tahun) termasuk anak yang masih dalam kandungan”. Melihat kepada Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2004 Tentang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga pasal 9 ayat (1) yang berbunyi: ”Setiap orang dilarang menelantarkan orang dalam lingkup rumah tangganya, padahal menurut hukum yang berlaku baginya atau karena persetujuan atau perjanjian ia wajib memberikan kehidupan, perawatan, atau pemeliharaan kepada orang tersebut”. Dan yang termasuk lingkup rumah tangga dalam undang-undang ini adalah suami, isteri, dan anak. Adapun Pemeliharaan anak di bawah umur 12 tahun (belum mumayyiz) yang jatuh dalam asuhan ibunya sudah sesuai dengan pasal 105 (a) Kompilasi Hukum Islam yaitu: “Dalam terjadi perceraian pemeliharaan anak yang belum mumayyiz atau belum berumur 12 tahun adalah hak ibunya”. Meski Pengadilan telah menetapkan hak pengasuhan dan pemeliharaan anak kepada ibu. Namun pada kenyataannya ibu yang melahirkan tidak dapat bertemu atau tidak dipertemukan dengan anaknya karena bapak (Tergugat) telah
membawanya entah kemana?. Oleh karena itu Pengadilan menghukum kepada Tergugat atau pihak Keluarga yang menguasai anak yang bernama Muhammad Maulana Khoir (lahir tanggal 28 September tahun 2004) untuk menyerahkan kepada Penggugat (ibu). Menurut hemat Penulis bahwa seharusnya Pengadilan juga memberikan eksekusi anak dalam putusannya terhadap Tergugat yang telah menyalahi aturan yang sudah ditetapkan oleh Majelis Hakim dalam sidang putusan karena menurut keterangan kuasa hukumnya dan saksi-saksi, Tergugat tinggal di Dubai. Maka pihak Pengadilan Agama seharusnya mengirimkan surat putusan kepada konsulat untuk mencari keberadaan Tergugat agar segera dapat menyerahkan anaknya kepada Penggugat, hal ini sesuai dengan pasal 195 HIR atau pasal 206 Rbg Tentang eksekusi yakni : jika pihak yang kalah tidak mau mentaati putusan secara sukarela, putusan dapat dijalankan dengan paksa. Mengenai nafkah anak, Pengadilan Agama menghukum Tergugat untuk menafkahi anak yang dalam pengasuhan ibunya dan besarnya nafkah kebutuhan anak sehari-hari harus dapat dicukupi oleh pihak Tergugat apalagi pada kenyataannya anak tersebut sampai saat ini masih bersama ayah (Tergugat) dan tidak diketahui keberadaannya. Demikian kesan sepintas dari apa yang Penulis pahami dari jalan perkara ini. Seperti halnya dengan setiap analisis yurisprudensi yang penulis lakukan. Tulisan ini juga tidak bermaksud mengurangi bobot keputusan yang telah ada, tetapi sekadar upaya memperkaya perpustakaan dalam hukum Islam. Dikatakan demikian, karena Penulis menyadari bahwa kajian berkas perkara yang sampai ke Penulis yang dapat dipastikan sangat terbatas jangkauannya.
BAB V PENUTUP A. Kesimpulan Setelah
menguraikan
mengenai
pokok-pokok
permasalahan
yang
berkenaan dengan gugatan rekonpensi dalam sengketa cerai gugat dan implikasinya terhadap hak hadhanah di Pengadilan Agama. Penulis memiliki beberapa kesimpulan sebagai berikut : 1. Bahwa kasus sengketa cerai gugat yang terjadi bersama gugat balik menimbulkan kedudukan akibat hukum yang harus diselesaikan oleh Pengadilan. Diantara akibat
hukum tersebut
ialah penguasaan dan
pemeliharaan anak, serta nafkah anak. Akibat dari perceraian tersebut dapat diselesaikan dengan jalan mengabungkan gugatan (kumulasi gugatan) atau permohonan dengan cerai gugat dan dapat juga dilakukan dengan gugat balik (rekonpensi) dari Tergugat atau Termohon. 2. Dasar pertimbangan hakim dalam putusan cerai gugat rekonpensi yang berkenaan dengan hak hadhanah adalah dengan melihat pada alasan-alasan pengajuan perceraian oleh pihak isteri dan melihat dari hukum formil maupun hukum materilnya yang di jadikan pedoman untuk sebuah putusan dalam pertimbangan ini. 3. Menurut perspektif fiqih maupun perspektif hukum positip, hakim melihat dari kaidah fiqih dalam menerapkan hukum serta Undang-undang tentang kesejateraan anak, Undang-undang kekerasaan dalam rumah tangga, tentunya
mengacu pada Kompilasi Hukum Islam pasal 105 mengenai usia anak yang masih dibawah umur diputuskan berada dalam asuhan pihak ibu/ Penggugat. Tentang siapa yang berhak untuk memelihara anak yang masih dibawah umur tidak terdapat perbedaan yang prinsip dengan kata lain anak tersebut jatuh dalam asuhan pihak ibu. B. Saran Walaupun telah terjadi perceraian antara suami isteri, anak harus tetap 1. mendapatkan perlindungan baik secara jasmani, rohani maupun sosial dari kedua orang tuanya. Ini dilakukan agar kemaslahatan anak tetap terjaga dan kebutuhan anak tetap terpenuhi. Sebaiknya para hakim mempertimbangkan dalam memberikan putusan yang
2.
berkaitan dengan hak asuh anak dibawah umur dengan bijak agar antara kedua belah pihak tidak terjadi persengketaan yang berkepanjangan setelah adanya putusan. Hendaknya para ulama tidak bosan-bosan untuk memberikan tausiyyahnya
3.
kepada umatnya mengenai hidup berumah tangga agar menjadi keluarga sakinah, mawaddah, warrahmah. Sebaiknya pemerintah lebih gencar lagi dalam mensosialisasikan Undang- 4. undang perkawinan, agar masyarakat umum mengetahui betapa pentingnya arti dari sebuah perkawinan sehingga mempersulit terjadinya perceraian, karena dari perceraian tersebut selain berakibat negatif terhadap kedua belah pihak juga dampak terhadap anak hasil perkawinannya.
DAFTAR PUSTAKA
Al-Qur’anul karim. Al-Hafidz. Abu Dawud, Sunan Abu Dawud ,(Beirut: Dar al fiqri, 1994) Abbas, S. Ziyad, Fiqih Wanita Islam, Jakarta: Pustaka Panjimas,1991. Abdurrahman, Kompilasi Hukum Islam di Indonesia, Jakarta: Akademika Pressindo,1992. Al Hamdani, H.S.A.. Risalah Nikah, Pekalongan: Raja Murah.1980. Al-Habsyi, M.Baqir. Fiqih Praktis Menurut al-Qur’an , as-Sunah dan Pendapat Para Ulama, Bandung: Mizan.2002. Al-Munajid, M, Sholeh,. 40 Nasehat Memperbaiki Rumah Tangga. Dal Al Haq, Jakarta, 1998. As-San’ani, Subulus Salam, Surabaya: Al Ikhlas,1995. Daly, Peunoh, Hukum Perkawinan Islam, Jakarta: Bulan Bintang, 1988. DEPAG RI, Ilmu Fiqih, Direktorat Jendral Pembinaan Agama Islam Proyek Pembinaan Prasarana dan Sarana Perguruan Tinggi Agama IAIN Jakarta,1984/1985. DEPAG RI, Pedoman Pegawai Pencatat Nikah. Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, Kamus Besar Bahasa Indonesia, Jakarta: Balai Pustaka,1989 Djaelani, Abdul Qadir, Keluarga Sakinah. Surabaya: PT.Bina Ilmu.1993 Djamal, R. Abdul. Hukum Islam, Bandung: CV.Mundur Maju,1992. Drs. Sudarsono S.H.M.Si. Hukum Perkawinan Nasional, Jakarta:Direktorat Jendral Bimbingan Masyarakat Islam dan Urusan Haji.1997 Ensiklopedi Islam, Jakarta: PT. Ichtiar Baru Van Hoeva, 1994. Hamid, Zahri, Pokok-pokok Hukum Perkawinan Islam dan Undang-undang Perkawinan Di Indonesia(Yogyakarta: Bina Cipta, 1978).
Hamzah, Andi, Kamus Hukum, Jakarta: Ghalia Indonesia, 1986. Harahap, M. Yahya,.Hukum Acara Perdata, Tentang Gugatan, Persidangan, Penyitaan, Pembuktian, dan Putusan Pengadilan, Jakarta: Sinar Grafika, 2007. Kamal Mukhtar. Azas-Azas Hukum Islam Tentang Perkawinan, Jakarta: PT.Bulan Bintang,1993 Khuzari, Ahmad, Nikah Sebagai Perikatan, Jakarta: PT.RajaGrafindo persada.1995. Latief, Jamil, Aneka Hukum Perceraian Di Indonesia, Jakarta: Ghalia Indonesia.1981 Djaelani, H.A Abdul Qadi, Keluarga Sakinah, Surabaya: PT. Bina Ilmu. 1993 Manaf, Abdul, Bulletin Berkala Hukum dan Peradilan, Jakarta: Direktorat Pembinaan Badan Peradilan Agama, Direktorat Jenderal Pembinaan Kelembagaan Agama Islam, Nomor 7 Tahhun 1997/1998 Manan, Abdul, Penerapan Hukum Acara Perdata di Lingkungan Peradilan Agama, Jakarta: Yayasan Al-Hikmah, 2001. Mertokusumo, Sudikno, Liberty,1998.
Hukum
Acara
Perdata
Indonesia.,
Yogyakarta:
Mughniyah, Muhammad Jawad, Fikih Lima Madzhab, Jakarta: PT. Lentera Basritama, 1996. Nuruddin, Amiur, Azhari Akmal Tarigan, Hukum Perdata Islam di Indonesia, Jakarta: Kencana, 2006 Rasjid, Sulaiman, H..Fiqh Islam, Bandung: Sinar Baru Algesindo, 1985. Rasyid A, Raihan , Hukum Acara Peradilan Agama R Jakarta: RajaGrafindo Persada 2001 Rifa’I, M., M. Zuhri Salomo. Tarjamah Khulasha Kifayatul Akhyar, Semarang: CV.Toha Putra,1983 Rofiq, Ahmad, Hukum Islam Di Indonesia, Jakarta: PT. RajaGrafindo Persada, 2000. Sabiq, Al-Sayyid; Fiqih Sunnah Terjemah, Bandung: PT Alma'arif,1996 Sabiq, Al-Sayyid. Fiqih Al Sunnah, Beirut: Dar al Fikr, Jilid 2’1983
Sulaiman, Al-Imam al-Hafidz Daud, Sunan abi Daud, Kairo: Dar al-Harin, 1988, Juz 2 Supomo, R, Hukum Acara Perdata Pengadilan Negeri. Jakarta: Pradya Paramitha 1972. Thalib, Sayuti. Hukum Kekeluargaan Indonesia, Jakarta: UI press.1997 Yunus, Mahmud. Kamus Arab-Indonesia. Jakarta: Hidakarya Agung,1990 Buku Pedoman Penulisan Skripsi, Fakultas Syari’ah dan Hukum Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta 2007
Pedoman Wawancara
Nama
: Rizal Purnomo
NIM
: 104044201485
Narasumber : Drs. Nuheri, S.H. (Hakim Pengadilan Agama Jakarta Pusat)
Pertanyaan 1. Bagaimana pandangan hakim tentang pengertian rekonpensi antara teori dan praktek di Pengadilan Agama Jakarta Pusat? Jawaban : Gugat rekonpensi yakni gugatan balik yang diajukan oleh tergugat atau termohon terhadap penggugat dalam konpensi jadi antara teori dan praktek tidak ada bedanya selalu beriringan atau sejalan apa yang menjadi tuntutanya, namun secara formal tidak diatur dalam Undang-undang No.7 tahun 1989 maupun KHI, akan tetapi hanya menyangkut masalah penggabungan tuntutan dalam perkara cerai dengan akibatnya. 2. Menurut hakim apa dasar hukum adanya rekonpensi? Jawaban : Dalam praktek di lingkungan Pengadilan Agama yang menjadi dasar adanya gugatan rekonpensi adalah pasal 132 a dan pasal pasal 132 b HIR, dengan merujuk pada pasal 54 UU No. 7 Tahun 1989 yang berbunyi ''hukum yang berlaku pada Pengadilan dalam lingkungan Peradilan Umum, kecuali yang telah diatur secara khusus dalam undang-undang ini''sudah jelaskan,he-he. 3. Menurut hakim Apakah dalam konpensi harus ada rekonpensi? Jawaban : Oh..sudah barang tentu, soalnya itu merupakan satu sinkronisasi kalau ada konpensi maka rekonpensi pun harus ada. 4. Apakah gugat rekonpensi sama seperti kumulasi gugatan dalam masalah perceraian?
Jawaban : Sebenarnya gugat rekonpensi itu kan tuntutan daripada tergugat sedangkan kumulasi adalah tuntutan dari penggugat dimana dalam petitum itu sudah dicantumkan apa yang menjadi tersebut akibat perceraian itu. 5. Bagaimana prosedur pengajuan gugat rekonpensi dalam perceraian? Jawaban : Masalah prosedur gugatan rekonpensi sama seperti dalam konpensi selama masih dalam tahap jawab-menjawab tetapi kalau sudah lewat dari itu maka rekonpensi tidak boleh atau harus ditolak, coba baca pada bukunya Prof. Dr Yahya Harahap. 6. Apakah benar secara praktek dengan adanya gugat rekonpensi persidangan menjadi efisien, singkat, dan biaya menjadi ringan? Jawaban : Iya bisa dibilang begitu secara teorinya, namun tidak dipungkiri dalam prakteknya malah terkesan terbelit-belit dan berlarut-larut karena bertambahnya materi perkara yang harus diselasaikan secara serentak dan juga persidangan yang tadinya beberapa kali sidang saja dengan adanya rekonpensi persidangan menjadi lama. 7. Bagaimana pandangan hakim mengenai kedudukan gugat rekonpensi dalam sengketa cerai gugat dengan kumulasi hadhanah di Pengadilan Agama? Jawaban : Ya mengenai kedudukan gugat rekonpensi itu sendiri sah-sah saja kan di undangundangnya sudah dijelaskan bahwa adanya tuntutan tergugat untuk dapat memperoleh haknya tentunya dengan cara mengikuti aturan perundang-undangan yang berlaku agar tuntutan itu terpenuhi sedangkan penggabungan atau kumulasi adalah tuntutan penggugat yang apabila dari tergugat tidak memberikan gugat balik secara otomatis jatuh ketangan penggugat atas kumulasi apa yang diminta. 8. Bagaimana pertimbangan dan putusan hakim tentang gugat cerai rekonpensi dengan hak hadhanah?
Jawaban : Persoalan pertimbangan dan putusan mengenai rekonpensi itu lagi-lagi hakim mengacuh pada undang-undang yang berlaku di lingkungan Peradilan, baik Pengadilan Agama maupun Pengadilan Umum yang menjadi ketentuannya bisa ditolak bisa juga diterima atau dikabulkan dalam putusan tersebut. 9. Bagaimana perspektif fiqih dan hukum positip [undang-undang] tentang putusan hakim dalam rekonpensi gugat cerai dengan hak hadhanah? Jawaban : Maksudnya hak hadhanah paska perceraiannya, ulama fiqih sudah sepakat bahwa ketika melihat kasusnya anak itu masih kecil atau belum mumayyiz ibulah yang berhak mengasuh dan memelihara anak tersebut dan KHI pun demikian namun tidak menutup kemungkinan ayah pun bisa dapat memperoleh asuhan anak tersebut apabila melihat sang ibu tidak dapat mengurus atau melanggar dari ketentuan syariat Islam misalnya ibu yang murtad. 10. Bagaimana pandangan hakim hak hadhanah dalam putusan jatuh di tangan ibu akan tetapi ayah tidak memberikan haknya malahan anaknya dibawah kabur ? Jawaban : Wah.. itu namanya nekad perbuatan yang sudah jelas-jelas melanggar ketentuan undang-undang Penghapusan Kekerasan dalam rumah tangga No. tahun 2003 yang bisa dikenakan pidana ataupun denda. Namun juga bisa Pengadilan untuk memerintahkan eksekusi anak terhadap ayah yang merebut haknya daripada ibu agar dapat memperoleh keadilannya. 11. Bagaimana menurut hakim tentang rekonpensi yang diajukan dalam satu kwalitas yang sama pada gugatan pokoknya/petitum? Jawaban : Itu sebenarnya begini, mengenai satu kwalitas yang sama sudah barang tentu tidak dibolehkan misalnya istri ingin mengajukan cerai pada suami sedangkan suami malahan menggugat hal yang sama ataupun dalam akibat cerai seperti hadhanah.
12. Menurut hakim apakah rekonpensi menyangkut selain kebendaan diperbolehkan seperti pemilikan hak status orang? Jawaban : Yang namanya perkara sudah dapat diterima dan diadili oleh Pengadilan baik Pengadilan Negeri maupun Pengadilan Agama kalau memang memiliki ketentuan hukum yang menyakut masalah rekonpensi mengenai kebendanaan rasanya sempit dalam menemukan hukumnya jadi semakin banyak masalah kepemilikkan status oarng sudah tentu dapat diperbolehkan selagi berlaku diantara keduanya mengapa tidak boleh, yang pentingkan ada aturan mainnya.